bab 4 pembahasan.docx
DESCRIPTION
pembahasanTRANSCRIPT
BAB IV
PEMBAHASAN
Infeksi parasit malaria pada manusia mulai bila nyamuk anopheles betina
menggigit manusia dan nyamuk akan melepaskan sporozoit ke dalam pembuluh
darah dimana sebagian besar dalam waktu 45 menit akan menuju hati dan
sebagian kecil sisanya akan mati di darah. Di dalam sel parenkim hati mulailah
perkembangan aseksual, memerlukan waktu 5,5 hari untuk plasmodium
falsiparum. Setelah sel parenkim hati terinfeksi terbentuk sizont hati yang apabila
pecah akan mengeluarkan banyak merozoit ke dalam sirkulasi darah. Setelah
berada dalam sirkulasi darah, merozoit akan menyerang eritrosit dan masuk
melalui reseptor permukaan eritrosit. Reseptor untuk P. falsiparum diduga suatu
glycophorins. Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk
ring, pada P. falsiparum menjadi bentuk stereo-headphones yang mengandung
kromatin dalam intinya dikelilingi sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan
hemoglobin dan dalam metabolismenya membentuk pigmen hemozoin. Ertrosit
yang berparasit menjadi lebih elastik dan pada P. falsiparum dinding eritrosit
membentuk tonjolan yang disebut knob, penting dalam proses cytoadherence dan
rosetting (1).
Pada hasil laboratorium pasien, ditemukan trofozoit (+1). Pada P.
falciparum, trofozoit biasanya jarang terlihat pada apusan darah perifer. Pada
perhitungan secara semi-kuantitatif, ring ditemukan (+3), artinya terdapat 1-10
parasit dalam 1 lapang pandang besar (LPB). Ring P. falciparum memiliki
sitoplasma yang halus, serta 1 atau 2 titik kromatin yang kecil (5).
29
Gambar 4.1. Perbedaan bentuk ring dan trofozoit pada 4 spesies
Plasmodium
Gambar 4.2. Gambaran mikroskopik apusan darah Malaria
falsiparum.
30
ring
Pemeriksaan miksroskopik darah tepi untuk menemukan parasit malaria
sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Tetesan preparat darah tebal
merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah
cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Tetesan darah tipis digunakan
untuk identifikasi jenis plasmodium (1).
Pemeriksaan darah tepi merupakan gold standar pada diagnosis malaria,
sehingga penting untuk mengetahui pembuatan apusan darah tebal dan tipis.
Pembuatan apusan darah tipis dan tebal berbeda dalam hal pemulasan. Langkah-
langkah pembuatan sediaan malaria dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menyiapkan semua peralatan dan bahan yang akan digunakan dalam
pengambilan sampel darah.
2. Meremas ujung jari yang akan diambil darahnya untuk
mengumpulkan darah ke ujung jari.
3. Mengusap ujung jari yang akan ditusuk menggunakan kapas alkohol
70 % dan biarkan kering angin (jangan ditiup).
4. Menusuk ujung jari tersebut menggunakan blood lancet steril.
5. Meneteskan darah yang keluar pada obyek glass, minimal 2 buah
obyek glass (satu untuk sediaan tipis satu lagi untuk sediaan tetes
tebal)
6. Untuk sediaan darah tipis lakukan penggeseran darah pada
obyek glass tersebut menggunakan deck glass atau obyek glass
lain, sedangkan untuk sediaan darah tebal, lebarkanlah sampel
darah kira-kira selebar 1,5 cm. Keringkanlah di udara.
31
7. Lakukanlah pewarnaan dengan larutan Giemsa 1 : 9, selama kurang
lebih 5 – 10 menit. (Pada sediaan darah tipis, sebelum diwarnai
hendaknya dilakukan fiksasi menggunakan larutan methanol selama 1
menit. Sedangkan pada sediaan darah tebal hendaknya dilakukan
proses hemolisis sampai sempurna sebelum diwarnai).
Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor
pejamu (host). Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi,
densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor
pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status
nutrisi, dan status imunologi (1).
Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua.
Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen Ring-erythrocyte
Surface Antigen (RESA) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
32
Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan
membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen
utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan
toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfotidilinositol yang merangsang
pelepasan TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag (1).
Sitoaderensi ialah perlekatan antara EP stadium matur pada permukaan
endotel vaskular. Perlekatan terjadi dengan cara molekul adhesif yang terletak di
permukaan knob EP melekat dengan molekul-molekul adhesif yang terletak di
permukaan endotel vaskular. Molekul adhesif di permukaan knob EP secara
kolektif disebut P. falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1).
Molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular adalah CD36, trombospondin,
intercellular-adhesion molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1), endothel leucocyte adhesion molecule-1 (ELAM-1), dan
glycosaminoglycan chondroitin sulfate A (1).
Sitoadheren menyebabkan EP matur tidak beredar kembali dalam
sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular
disebut EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P. falciparum yang
mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi
pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan
hampir semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti
dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi ini diduga
memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat (1).
33
Rosetting ialah berkelompoknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih
eritrosit yang nonparasit. Plasmodium yang dapat melakukan sitoadherensi juga
dapat melakukan rosetting. Rosetting menyebabkan obstrusi aliran darah
lokal/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadheren (1).
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit, dan makrofag setelah
mendapat stimulasi dari malaria toksin (LSP, GPI). Sitokin ini antara lain tumor
necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), interleukin-3 (IL-3),
interleukin-6 (IL-6), lymphotoxin (LT), dan interferon-gamma (INF-G). dari
beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal
atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang
tinggi. demikian juga malaria tanpa komplikasi, kadar TNF-α, IL-1, dan IL-6
lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten
karena juga dijumpai pada penderita malaria berat dengan TNF-α normal/atau
rendah (1).
Malaria memiliki manifestasi umum, yaitu karakteristik demam periodik,
anemia, dan splenomegali (1). Hal ini sesuai dengan manifestasi pada pasien:
1. Pasien mengeluh demam menggigil berkeringat yang bersifat periodik
atau hilang timbul, disertai menggigil dan berkeringat. Hal ini sesuai
dengan gejala klasik yaitu trias malaria, secara berurutan: periode dingin (15-
60 menit): pasien membungkus diri dengan selimut saat menggigil, seluruh
badannya terasa gemetaran; dikuti dengan periode panas: penderita mukanya
merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan
keadaan berkeringat; periode berkeringat: penderita berkeringat banyak,
34
temperature turun. Pada kasus, keluhan utama pasien adalah menggigil. Pada
malaria falciparum menggigil dapat berlangsung berat.
Demam pada pasien yang terjadi secara periodik berhubungan dengan waktu
pecahnya skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran
darah (sporulasi). Infeksi Plasmodium falciparum menyebabkan demam
berulang setiap 36-48 jam dan hampir terus menerus.
2. Anemia. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan konjungtiva anemis serta kulit
dan telapak tangan yang pucat. Anemia pada pasien juga didukung oleh hasil
laboratorium. Saat pertama masuk rumah sakit, Hb pasien= 9,5 (tanggal 27
april). Dalam perkembangannya Hb pasien= 4,6 g/dl (tanggal 1 mei), 4,9 g/dl
(tanggal 3 mei), dan 8,8 g/dl (tanggal 8 mei). Saat kadar hemoglobin pasien
telah turun dibawah 7g/dl, gejala umum anemia semakin jelas terlihat. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada; derajat penurunan
hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung
atau peru sebelumnya. Gejala anemia disebut juga sindrom anemia, timbul
karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh
terhadap hemoglobin. Pada kasus, terdapat sindrom anemia yang dikeluhkan
pasien, yaitu: lemas lesu, cepat lelah, mata berkunang, dan dyspepsia (pasien
mengeluh nyeri ulu hati).
3. Splenomegali. Pada pemeriksaan fisik didapatkan objektif: splenomegali,
besar limpa diukur menurut schuffner, termasuk dalam schuffner 3.
Splenomegali pada pasien ini merupakan gejala spesifik dan khas pada
anemia hemolitik. Limpa akan teraba setelah 3 hari dari serangan infeksi akut,
35
limpa menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Pada anemia hemolitik, terjadi
hyperplasia limpa akibat penyakit infeksi atau parasit. Fungsi limpa sangat
luas mulai dari pembersihan bakteri, antigen, antibody, penggantian darah.
Pada anemia hemolitik, kerja limpa bertambah sehingga menyebabkan
pembesaran limpa sebagai kompensasi. Pembesaran limpa menyebabkan
peregangan kapsul limpa, sehingga akan dijumpai rasa sakit pada perut.
Selain splenomegali, gejala khas lain pada anemia hemolitik adalah ikterus
dan hepatomegali. Ikterus dan hepatomegali juga terdapat pada pasien, sehingga
semakin mendukung dan mendasari diagnosis anemia hemolitik. Ada dua
mekanisme hemolisis, yaitu hemolisis intravaskular dan hemolisis ekstravaskular.
Malaria adalah infeksi penyebab hemolisis intravaskular. Hemolisis intravaskular
terjadi karena ruptur atau lisisnya eritrosit di dalam sirkulasi. Ketika membran
eritrosit rupture, hemoglobin dilepaskan ke dalam plasma. Hemoglobin (tetramer)
dipecahkan menjadi hemoglobin dimer di dalam plasma. Haptoglobulin (ɑ-2
globulin yang diproduksi di hati) mengikat hemoglobin dimmers yang bebas di
plasma. Ketika haptoglobulin sudah mengalami saturasi (terjadi ketika konsentrasi
hemoglobin 150 mg/dL) dan hemolisis intravakular terus berlanjut, maka
hemoglobin dimmers yang berlebihan di plasma akan disaring melalui glomerulus
(karena ukurannya < 20 kd). Hal ini yang menyebabkan hemoglobinuria dan
reaksi positif untuk protein heme pada dipstick. Manifestasi klinis pada hemolisis
intravaskular adalah ikterik dan urin berwarna coklat seperti teh. Manifestasi
laboratoriumnya, yaitu penurunan haptoglobin (6).
36
Gambar 4.3. Mekanisme Hemolisis intravaskular.
Hemolisis ekstravaskular terjadi ketika sel darah merah difagositosis oleh
makrofag di dalam hepar, lien, dan sumsum tulang. Hemolisis ekstravaskular
dapat terjadi sendiri atau disertai dengan hemolisis intravaskular. Perbedaanya,
pada manifestasi, tidak ditemukan hemoglobinuria (urin berwarna merah
kecoklatan) pada hemolisis ekstravaskular. Pada hasil laboratorium akan
ditemukan peningkatan bilirubin dan peningkatan LDH. Pada kasus ditemukan
peningkatan bilirubin total dan peningkatan LDH (6).
37
Gambar 4.4. Mekanisme Hemolisis Ekstravaskular.
Anemia terjadi karena proses sporulasi dan destruksi eritrosit, baik yang
mengandung parasit maupun tidak. Anemia pada pasien termasuk anemia
normositik hipokromik, dikatakan normositik karena nilai MCV: 87,7 fl.
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi anemia
normositik (MCV: 80-100 fL), anemia mikrositik (MCV < 80 fl), dan anemia
makrositik (MCV > 100 fl). Dikatakan hipokromik karena MCH < 27,00 pg.
Anemia normositik biasanya disebabkan oleh: anemia pada penyakit ginjal
38
kronik, anemia sindrom kardiorenal, anemia hemolitik karena kelainan intrinsic
sel darah merah (kelainan membrane/sfrositosis herediter, kelainan
enzim/defisiensi G6PD, kelainan hemoglobin/ penyakit sickle cell), anemia
hemolitik karena kelainan ekstrinsik sel darah merah (imun, autoimun, alloimun,
mikroangipati, infeksi/malaria, dan zat kimia/bisa ular). Gejala klinis, parameter
MCV, RDW (red cell distribution width), hitung retikulosit, dan morfologi apus
darah tepi merupakan petunjuk penting dalam diagnosis penyebab anemia Untuk
menegakkan diagnosis lebih lanjut pada anemia normositik, dilakukan hitung
retikulosit. Retikulosit adalah sel darah merah imatur. Dari hasil laboratorium
pasien didapatkan peningkatan retikulosit. Peningkatan retikulosit merupakan
kompensasi sebagai respon penghancuran eritrosit oleh P. falciparum.
Peningkatan retikulosit khas menandakan adanya proses hemolitik. Jadi,
infeksi malaria pada pasien sesuai dengan teori, menyebabkan anemia normositik
karena kelainan ekstrinsik sel darah merah (7).
Malaria palcifarum bersifat sangat virulen dan yang paling
membedakannya dengan malaria lainnya adalah plasmodium falciparum dapat
menginfeksi sel darah merah pada semua stadium. Monitoring pada malaria
dilakukan pada hari ke-3, ke-7, ke-14, dan ke-28. Setelah dilakukan monitoring
pada hari ke-3, hapusan darah menunjukkan bahwa malaria sudah negatif. Namun,
dari hasil pemeriksaan darah rutin, didapatkan hemoglobin turun secara cepat
(Hb= 4,6 g/dl). Hal ini menunjukkan adanya malaria berat, karena malaria sudah
disertai satu komplikasi, yaitu anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokit < 15%)
(8).
39
Tahap dalam mendiagnosis anemia adalah; menentukan ada tidaknya
anemia, menentukan jenis anemia, menentukan etiologi atau penyakit dasar
anemia, dan menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan
mempengaruhi hasil pengobatan (1):
1. Pada kasus, jelas terdapat anemia pada pasien. Hb pasien= 9,5 g/dl (tanggal
27 april), termasuk dalam kategori anemia ringan. Sedangkan pada tanggal 1
mei, Hb pasien= 4,6 g/dl, dan tanggal 3 mei Hb pasien= 4,9 g/dl, termasuk
dalam kategori anemia berat.
Tabel 4.1. Klasifikasi anemia berdasarkan usia dan nilai hemoglobin (9)
2. Anemia yang terjadi pada pasien termasuk jenis anemia hemolitik yang
didapat. Menurut pendekatan klinis, anemia hemolitik merupakan anemia
yang timbul cepat (beberapa hari sampai minggu) (1).
3. Ada banyak penyebab pada anemia hemolitik, sehingga manifestasinya
tergantung penyakit yang mendasarinya. Etiologi atau penyakit dasar anemia
pada pasien adalah malaria falciparum. Hal ini didukung oleh hasil
pemeriksaan tetes darah tebal yang menunjukkan ring (+3) dan trofozoit (+1),
serta tetes darah ti[is yang menunjukkan jenis malaria falciparum. Manifestasi
40
klinis anemia e.c. malaria falciparum terjadi karena penghancuran eritrosit
oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses
complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan
pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin (10).
Penyebab malaria pada pasien kemungkinan berhubungan dengan
pekerjaan pasien yang sering keluar masuk hutan di daerah batu kayang. Ada
kemungkinan daerah tersebut merupakan daerah endemis malaria, dan pasien
datang dari daerah lain sehingga rentan terinfeksi. Endemisitas merupakan salah
satu faktor penjamu yang berperan dalam terjadinya malaria terutama malaria
berat. Selain itu, splenomegali umumnya sering ditemukan pada daerah endemis
(10).
Pada hasil laboratorium juga didapatkan trombositopenia. Mekanisme
trombositopenia masih belum pasti, lisis yang dimediasi imun, pengambilan di
limpa, dan proses dispoeitik pada sumsum tulang yang menyebabkan
berkurangnya produksi platelet telah dikemukakan. Penemuan trombositopenia
dan anemia pada pasien dengan demam akut merupakan prediktor penting dalam
mendiagnosis malaria. Trombositopenia juga merupakan observasi umum pada
malaria falciparum dengan penyembuhan spontan pada terapi (12).
Pada infeksi malaria falciparum, anemia lebih menonjol dan biasanya
disertai leukopenia dan monositosis. Hal ini sesuai pada kasus, dari hasil
laboratorium didapatkan leukosit=2,3 ribu/ul (tanggal 27 april) dan 2,1 ribu/ul
(tanggal 3 mei). Pada kasus ini juga didapatkan peningkatan LDH (laktat
dehidrogenase). Peningkatan serum LDH menunjukan terjadinya hemolisis.
41
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase
(LDH) terutama LDH2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan
destruksi eritrosit (13).
Pada anamnesis, pasien mengeluh kencingnya coklat seperti teh. Warna
urin yang gelap juga merupakan tanda dini hiperbilirubinemia. Hal ini terjadi
akibat eksresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid (14).
Pada pemeriksaan fisik berupa inspeksi kulit dan sclera, didapatkan hasil
ikterik pada pasien. Ikterik adalah pigmentasi kuning pada kulit dan sclera. Ikterik
merupakan manifestasi klinis dari hiperbilirubinemia. Hal ini didukung oleh hasil
laboratorium, yaitu terdapat peningkatan bilirubin total dan bilirubin direk. Gejala
ikterik biasanya baru dapat dilihat jika kadar bilirubin melebihi 2,0 hingga 2,5
mg/dL, namun gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih
rendah pada pasien yang kulitnya putih dan menderita anemia berat. Saat pertama
masuk rumah sakit, ikterik pada pasien jelas terlihat di sclera. Jaringan sclera kaya
dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga
ikterus pada sclera merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan
hiperbilirubinemia daripada ikterik yang menyeluruh (14).
Hepatomegali pada kasus terjadi karena hipertrofi sel RES. Saat serangan
akut malaria, terjadi pembesaran dan peningkatan jumlah sel kupffer (hipertrofi
dan hyperplasia, sehingga hepar membesar dan beratnya bisa sampai 2,5 kg. Pada
sinusoid dapat terlihat akumulasi fokal histiosit yang membentuk lesi
granulomatosa non spesifik (14).
42
Pada evaluasi morfologi apusan darah tepi ditemukan Eritrosit:
normokrom anisositosis, polikromasia. Normoblast. 5/100 leukosit. Normoblast
adalah sel darah merah berinti. Pada keadaan normal, tidak terdapat normoblas.
Normoblas ditemukan pada penderita dengan kelainan heamtologis (penyakit
sickle cell, talasemia, anemia hemolitik). Pada kasus, normoblas ditemukan
karena adanya proses hemolitik eritrosit. Anisositosis adalah suatu keadaan
dimana ukuran diameter eritrosit yang terdapat di dalam suatu sediaan apus
berbeda-beda. Anisositosis juga disebabkan karena proses hemolitk pada eritrosit
(7).
Gambar 4. 3. Anemia normositik
Komplikasi pada Malaria
Anemia merupakan komplikasi utama pada malaria, terutama malaria
falsiparum yang dapat menyebabkan anemia berat karenba proses hemolisis.
Komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu gagal ginjal akut pada malaria.
Kelainan fungsi ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 5-10%
disebabkan nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal disebabkan adanya anoksia
penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler. Sebagai
43
akibatnya terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi
fase oliguria atau poliuria. Apabila berat jenis (BJ) urin <1,010 menunnjukkan
dugaan nekrosis tubulus akut, sedangkan urin yang pekat BJ>1,015; rasio
urea:urin darah> 4:1 ; natrium urin < 20mmol/l ; menunjukkan keadaan dehidrasi
(1).
Pembahasan terapi
Lini pertama pengobatan malaria palcifarum adalah artesunat +
amodiakuin + primakuin. Lini pertama lainnya adalah dihydroartemisinin +
piperaquin + primakuin. Pada pasien, terapi antimalaria sudah sesuai dengan lini
pertamanya (2).
Secara global WHO telah menetapkan dipakainya pengobatan malaria
dengan memakai obat Artemisinin base Combination Therapy (ACT). Golongan
artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama karena efektif dalam
mengatasi plasmodium yang resisten terhadap pengobatan. Selain itu, ART juga
bekerja membunuh plasmodium dalam semua stadium termasuk gametosit dan
efektif terhadap semua spesies. Pemakain obat golongan artemisinin harus disertai
dengan pemeriksaan parasit yang positif, setidak-tidaknya dengan tes cepat
antigen yang postif (2).
Lini pertama pengobatan malaria adalah Artemisinin Combination
Therapy (ACT). Pada saat ini pada program pengendalian malaria mempunyai 2
sediaan yaitu: (1) Artesunate-Amodiaquin; (2) Dihydroartemisinin-Piperaquin.
WHO telah merekomendasikan artesunat sebagai terapi pilihan untuk dewasa dan
anak-anak pada kasus malaria berat. Lini pertama lainnya adalah
44
dihydroartemisinin + piperaquin + primakuin. Primakuin memiliki efek samping
anoreksia, mual, muntah, kejang-kejang, gangguan sistem hemopoietik, dan dapat
terjadi hemolisis pada penderita dengan defisiensi G6PD (2).
Pengobatan lini kedua malaria falsiparum adalah kombinasi kina-
doksisiklin atau tetrasiklin+primakuin. Pengobatan ini diberikan jika pengobatan
lini pertama tidak efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali (rekrudesensi).
Kina memiliki efek samping tinnitus, gangguan pendengaran, vertigo. Gejala akan
timbul bila konsentrasi plasma > 5mg/dl. Kina juga menyebabkan hipotensi berat
bila diinjeksi terlalu cepat. Hal yang penting diketahui, infus kina menyebabkan
hipoglikemia karena obat menstimuli sekresi insulin pada sel β pancreas,
terutama pada ibu hamil. (2,15).
Pasien diberikan injeksi antrain apabila diperlukan untuk meredakan
demam, sehingga pada follow up dari tanggal 30 april, tidak ditemukan febris
pada pengukuran suhu. Sebagian besar pasien menjadi afebris dan tidak
ditemukan parasit dalam tubuhnya dalam waktu 2-3 hari, termasuk pasien pada
kasus. Terdapat rasio kematian yang tinggi pada kasus malaria berat, terutama
pada pasien non imun. Obat antimalaria harus diteruskan sampai tuntas; apabila
terjadi terapi tidak adekuat, atau apabila parasitnya resisten secara parsial
terhadap obat yang digunakan, maka dapat terjadi infeksi kembali (16).
Ranitidin dan antasida bertujuan untuk mengatasi nyeri ulu hati yang
dialami pasien dan mengurangi efek samping obat antimalaria karena bersifat
45
iritasi lambung. Ondancentron diberikan untuk mengurangi keluhan mual muntah
pada pasien (17).
Pada pasien, diberikan transfusi PRC sebanyak 6 kolf untuk menaikkan
kadar Hb. Penggunaan darah untuk transfusi hendaklah selalu dilakukan secara
rasional dan efisien, yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang
diperlukan saja. PRC (packet red blood cell) /sel darah merah pekat berisi
eritrosit, trombosit, lekosit, dan sedikit plasma. PRC digunakan untuk
meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala
anemia. Transfusi menggunakan PRC dapat menaikkan kadar Hb secara
signifikan yakni 0,8-1 g/dl untuk setiap kantong darah. Namun, pemberian unit ini
disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, bukan hanya bergantng pada nilai Hb
dan hematokrit saja. Pada pasien, setelah mendapatkan transfusi PRC, keadaan
klinis mulai membaik dan Hb pun meningkat (1).
Pasien diperbolehkan pulang setelah dirawat selama 13 hari dan
disarankan untuk menjalani rawat jalan ke poliklinik penyakit dalam apabila
keluhan masih muncul.
Relaps pada Malaria falciparum
Malaria falsiparum dapat menimbulkan relaps. Plasmodium falciparum
tidak memiliki fase eksoeritrosit sekunder. Parasit tetap berada di dalam darah
selama berbulan-bulan atau bahkan sampai beberapa tahun dan menimbulkan
gejala berulang dari waktu ke waktu. Timbulnya relaps disebabkan oleh
proliferasi stadium eritrositik dan dikenal dengan istilah rekrudesensi (short
term relapse). Rekrudesensi (relaps jangka pendek) timbul karena parasit
46
dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Pada malaria falciparum,
rekrudesensi dapat terjadi dalam kurun waktu 28 hari. Oleh karena itu apusan
darah tepi perlu diperiksa ulang pada hari ke-3, 7, 14, dan 28. Pada pasien juga
harus diberikan pengobatan primakuin selama 14 hari untuk mencegah terjadinya
relaps tersebut (18).
47