bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/41663/3/jiptummpp-gdl-arinanuril-48840-3-babii.pdf ·...

18
6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. HATI Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh, organ ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh (Sherwood, 2012). Hati menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa. Hati manusia mengandung 50.000 100.000 lobulus (Guyton, 2012). Hati melakukan banyak fungsi penting yang berbeda-beda bergantung pada sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat khusus (Corwin, 2010). 2.1.1. Anatomi Hati (Snell, 2012) Gambar 2.1. Anatomi Hati Hati mempunyai struktur yang lunak dan lentur, terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diafragma. Sebagian besar hati terletak di bawah arcus costalis dextra dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan hati dari pleura, paru-paru, pericardium dan jantung (Snell, 2012). Hati

Upload: others

Post on 13-May-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HATI

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh, organ ini

dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh (Sherwood, 2012). Hati

menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata

manusia dewasa. Hati manusia mengandung 50.000 – 100.000 lobulus (Guyton,

2012). Hati melakukan banyak fungsi penting yang berbeda-beda bergantung pada

sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat khusus (Corwin,

2010).

2.1.1. Anatomi Hati

(Snell, 2012)

Gambar 2.1. Anatomi Hati

Hati mempunyai struktur yang lunak dan lentur, terletak di bagian atas

cavitas abdominalis tepat di bawah diafragma. Sebagian besar hati terletak di

bawah arcus costalis dextra dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan

hati dari pleura, paru-paru, pericardium dan jantung (Snell, 2012). Hati

7

terbungkus oleh sebuah kapsul fibroelastik yang disebut kapsul (Corwin, 2010).

Permukaan atas hati yang cembung melengkung di bawah kubah diafragma.

Permukaan posteroinferior atau viseralis membentuk cetakan visera yang letaknya

berdekatan, karena itu bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini

berhubungan dengan pars abdominalis esofagus, lambung, duodenum, flexura coli

dextra, ren dextra dan glandula suprarenalis dextra dan vesika biliaris (Snell,

2012).

Batas-Batas Penting Hati yaitu :

Ke anterior: Diaphragma, arcus costalis dexter dan sinister, pleura dextra

dan sinistra, serta margo inferior pulmo dexter dan sinister, processus

xiphoideus, dan dinding anterior abdomen pada angulus subcostalis.

Ke posterior: Diaphragma, ren dexter, flexura coli dextra, duodenum,

vesica biliaris, vena cava inferior, oesophagus, dan fundus gastricus (Snell,

2012)

Hati dibagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan yang lebih besar dan

lobus kiri yang ukurannya lebih kecil (Betts, 2013). Lobus kana terbagi lagi

menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus dibatasi oleh vesica iliaris, fissura

untuk ligamen teres hepatis, vena cava inferior dan fissura untuk ligamen

venosum (Snell, 2012). Lobus kiri terletak di epigastrik dan hipokondrim bagian

kiri (Gray, 2000). Hati dihubungkan dengan dinding abdomen dan diafragma

melalui lima lipatan peritoneal, yaitu ligamentum falsiform, ligamen koroner, dua

ligamen lateral dan ligamentum teres hepatis. Ligamentum falsiform dan

ligamentum teres hepatis merupakan bekas vena umbilikalis dan yang

memisahkan lobus kanan dan kiri dari bagian anterior (Betts, 2013).

8

Porta hepatis atau hilus hepatis terdapat di permukaan posteroinferior dan

terletak diantara lobus caudatus dan lobus quadratus (Snell, 2012). Porta hepatis

merupakan tempat dimana arteri hepatik dan vena hepatik memasuki hati. Dua

pembuluh darah ini, berjalan melewati duktus hepatis, kemudian menuju

ommentum bawah bagian lateral (Betts, 2013). Sebagain darah hati sekitar 1000

ml per menit merupakan darah vena yang berasal dari lambung, usus halus dan

usus besar, pankreas dan limpa. Darah vena kurang mengandung oksigen tetapi

kaya zat-zat gizi, termasuk glukosa (Corwin, 2010). Setelah mengaliri hati, darah

arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hati melalui sinusoid dan dialirkan ke

vena centralis (Snell, 2012).

(Betts, 2013)

Gambar 2.2. Aliran darah di Hati

Hati menghasilkan banyak cairan limfe, sekitar sepertiga sampai

setengah dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan

hati dan masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis.

Pembuluh eferen berjalan ke nodi coeliaci. Beberapa pembuluh limfe berialan dari

9

area nuda hepatis melalui diaphragma ke nodi lymphoidei mediastinales

posteriore (Snell, 2012). Sedangkan persarafan pada hati melalui vagus kiri dan

simpatis, masuk lewat porta dan berjalan bersamaan dengan pembuluh darah

menuju celah interlobular (Gray, 2000).

2.1.2. Histologi Hati

Sel-sel parenkim hati disebut hepatosit (Gartner, 2012). Hepatosit

membentuk suatu lempeng yang berhubungan seperti susunan batu bata di tembok

dan lempeng ini tersusun radial di sekeliling vena sentral (Mescher, 2013).

Hepatosit mampu melakukan setiap fungsi hati. Fungsi eksokrin menghasilkan

cairan empedu, dialirkan ke dalam sistem duktus biliaris, yang kemudian langsung

menuju ke kandung empedu. Selain itu, hepatosit dapat melepaskan berbagai

molekul biosintetik ke dalam aliran darah untuk digunakan di seluruh tubuh.

Selanjutnya, benda-benda asing difagosit oleh sel-sel Kupffer dalam hati, suatu

makrofag yang berasal dari monosit (Gartner, 2012).

Setiap hepatosit berbatasan dengan ruang pembuluh darah yaitu sinusoid,

paling sedikit pada satu sisi dan hepatosit lainnya pada sisi satunya lagi (Mescher,

2013). Selain sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain : (1) sel

(Wolfgang, 2010)

Gambar 2.3. Histologi Hati

10

endotel khusus dan (2) sel Kuppfer besar (yang disebut juga sel retikuloendotelial)

yang mampu memfagosit bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus

hepatikus (Guyton, 2012).

(Barret, 2013)

Gambar 2.4. lobus hati dan vena sentral

Lapisan endotel sinusoid mempunyai pori-pori yang sangat besar,

beberapa diantaranya berdiameter hampir 1 mikrometer. Di bawah lapisan ini,

terletak diantara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang jaringan yang sangat

sempit yang disebut juga ruang Disse yang juga dikenal sebagai ruang

perisinusoidal (Guyton, 2012). Di dalam celah Disse terdapat mikrovili hepatosit,

terkadang sel penyimpan lemak (Sel Iito) dan serat retikulin halus yang

membentuk rangka hati. Sel Ito ini berfungsi menyimpan vitamin A (Mescher,

2013). Selain itu, pada gambaran histologi, akan ditemukan jaringan kolagen di

ruang Disse yang juga diproduksi oleh sel Ito atau yang lebih dikenal sebagai

HSCs (Hepatic Stellate Cells). Pada keadaan patologis, sel HSCs ini

11

berdiferensiasi menjadi miofibroblas yang memproduksi jaringan kolagen

berlebih sehinngga meyebabkan fibrosis hati ( Ross, 2011).

(Ross, 2011)

Gambar 2.5. Ruang Disse

2.1.3. Fisiologi Hati

Hati memiliki peran kunci pada metabolisme karohidrat termasuk

penyimpanan glikogen, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa dan

glukoneogenesis. Substrat-substrat tersebut dikirimkan ke hati setelah melalui

absorbsi di usus (intestine) (Barret, 2013). Hati terutama penting untuk

mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Penyimpanan glikogen

memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya,

dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa

darah mulai turun terlalu rendah. Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa hati

(Guyton, 2012).

Metabolisme lemak oleh hati meliputi : (1) oksidasi asam lemak untuk

menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) sintesis kolesterol, fosfoliid, dan

sebagian besar lipoprotein, (3) sintesis lemak dari protein dan karohidrat (Guyton,

2012). Hampir semua lemak yang dicerna diserap ke dalam sirkulasi limfe sebagai

12

kilomikron yang merupakan gabungan dari trigliserida, fosfolipid, kolesterol, dan

lipoprotein. Kilomikron disalurkan oleh pembuluh limfe kemudian menyatu

dengan sirkulasi sitemik. Trigliserida kemudian diubah kembali menjadi asam

lemak dan gliserol terutama oleh enzim kapiler hati. Dari kapiler, asam lemak

dapat berdifusi masuk ke sebagian besar sel (Corwin, 2010).

Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis di hati diubah menjadi garam

empedu, yang kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu (Guyton, 2012).

Hati mensintesis sebagian besar lipoprotein yang dibutuhkan tubuh dan menjaga

homeostasis kolesterol dengan sintesis molekul dan mengalihkan kelebihan

kolesterol menjadi asam empedu (Barret, 3013).

Selain itu, hati juga berperan dalam metabolisme protein. Jaringan utama

yang menyimpan protein di tubuh adalah hati (Corwin, 2010). Tubuh tidak bisa

menggantikan kontribusi hati pada metabolisme protein lebih dari beberapa hari

tanpa terjadi kematian (Guyton, 2012). Apabila tidak ada lagi asam amino yang

dapat disimpan sebagai protein, maka hati melakukan deaminasi asam amino dan

menggunakannya sebagai sumber energi atau mengubahnya menjadi glukosa,

glikogen, atau asam lemak (Corwin, 2010).

Hati juga berfungsi sebagai detoksifikasi darah dari benda asing. Peran ini

dimaiankan oleh sel kuppfer (Barret, 2013). Obat dan seringkali bahan toksik

dimodifikasi oleh hati dan dibuat menjadi inaktif atau larut air dengan

mengkonjugasikan dengan senyawa kimia lain. Dengan proses ini, hati memberi

sinyal pada tubuh untuk mengekskresikan zat-zat tersebut (Corwin, 2010).

Detoksifikasi tersebut bisa terjadi melalui dua mekanisme melalui

apoptosis oleh sel kuppfer dan reaksi biokimia. Tahap awal dari reaksi biokimia

13

melalui sejumlah besar enzim P450 (Cytochrome P450) yang terekspresi di

hepatosit . Enzim ini merubah xenobiotik dan toksin lain menjadi tidak aktif

(inactive). Detoksifikasi terbagi menjadi fase I (Oksidasi, hidroksilasi dan reaksi

melalui CYP450) dan fase II (esterifikasi). Kemudian, hasil metabolisme tersebut

disekresikan ke kantung empedu untuk dieliminasi melalui traktus gastrointestinal

(Barret, 2013). Begitu juga dengan sekresi seluruh hormon steroid. Kerusakan

hati dapat menyebabkan penimbunan yang berlebihan dari hormon-hormon

tersebut (Guyton, 2012).

Alkohol adalah salah satu contoh obat yang terutama dimetabolisasi di hati

(Corwin, 2010). Metabolisme alkohol di hati berlangsung melalui ADH (alcohol

dehydrogenase) yang terletak di sitosol dan MEOS (Microsomal ethanol oxidizing

system) yang berada di retkulum endoplasma (Caballeria, 2003; Corwin, 2010).

Meskipun begitu, metabolisme alkohol yang terjadi di hati menghasilkan beberapa

produk diantaranya adalah asetaldehid dan molekul reaktif yang disebut oksidatif

stres. Kemungkinan, produk-produk ini lebih bebahaya dan berperan besar pada

kerusakan hati yang diinduksi alkohol (Maher, 1997).

ADH (alcohol dehydrogenase) merupakan jalur utama dari metabolisme

oksidatif oleh ethanol. Metabolisme alkohol oleh ADH menghasilkan asetaldehid,

suatu bahan yang sangat reaktif dan toksik yang kemungkinan besar menyebabkan

kerusakan sel hati (Zakhari, 2006). Reaksi tersebut melibatkan elektron

intermediasi , nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) yang mana akan

direduksi oleh dua elektron untuk membentuk NADH (Avalos, 2010).

Jalur MEOS terutama teraktivasi pada konsumer alkohol kronik, yang

mekanismenya membantu membersihkan bahan-bahan toksik melalui cytochrome

14

P450 (CYP2E1) (Avalos, 2010). Jalur ini menghasilkan pembentukan asetaldehid

dan radikal bebas sebagaimana yang dihasilkan oleh jalur ADH. Selain itu,

CYP450 yang digunakan dalam jalur MEOS tidak hanya berfungsi sebagai

detoksifikasi alkohol, melainkan juga untuk detoksifikasi toksin dan obat lain.

Jika CYP450 lebih banyak digunakan untuk mendetoksifikasi alkohol, maka

enzim ini tidak dapat menjalankan peran lainnya dengan optimal. Sehingga, pada

pecandu alkohol, rentan terhadap kerusakan hati akibat obat-obatan dan bahan

toksin lainnya (Corwin, 2010).

2.2. Fibrosis Hati

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Fibrosis hati adalah akumulasi ECM (Extracellular matrix) yang

berlebihan di dalam hati. Fibrosis hati disebabkan oleh berbagai macam

patogenesis, zat mekanik, dan zat-zat toksik (Philippe, 2007). Fibrosis hati muncul

sebagai respon perbaikan kerusakan hati kronis yang justru merusak dan

dibungkus oleh extracellular matrix (ECM) (Reeves, 2002). Pada keadaa normal,

keseimbangan antara ECM diregulasi oleh metalloproteinases (MMP) dan

inhibitor spesifik (TIMPs) (Ramm, 2005). Fibrosis berhubungan erat dengan

perubahan dari jumlah ECM di hati terutama karena penigkatan TIMP-1

(Bertrand, 2004). Jika fibrosis hati berlangsung kronis tanpa perbaikan, maka

akan memperparah derajat fibrosis hati bahkan akan berkembang menjadi sirosis

hati dan Hepatocellular Carcinoma (HCC) (Philippe, 2007).

Sirosis hati adalah respon terhadap kerusakan kronis yang terjadi di hati

dan merupakan stadium akhir dari fibrosis hati yang ditandai dengan perubahan

abnormal dari bentuk dan fungsional sel hati (Lee, 2014). Di Amerika

15

Serikat,sirosis hati menjadi penyebab kematian di urutan ke-12 pada tahun 2007

dengan angka kematian mencapai 29.165 dan angka mortalitas 9,7 per 100.000

orang (Starr, 2011). Di eropa, sirosis hati menyebabkan 170.000 kematian setiap

tahunnya (Blachier, 2013). Sedangkan di Jepang pada tahun 2008, menurut

Nationwide Survey of Japan, sirosis hati akibat hepatitis C mencapai 60,9%

(Michitaka, 2010).

2.2.2. Etiologi dan Patogenesis

Etiologi atau penyebab dari fibrosis hati beraneka ragam, beberapa

diantaranya adalah alkohol, infeksi hepatitis C kronis, dan NAFLD (Nonalcoholic

fatty liver disease) (Zhou, 2014). Dari berbagai faktor tersebut, ada dua faktor

utama yang dapat menyebabkan terjadinya fibrosis, yaitu infeksi hepatitis C dan

penggunaan alkohol (Esparza, 2015).

Alkohol menginduksi kerusakan hati melalu dua jalur yang paling

dominan, yaitu stres oksidatif dan inflamasi(Lach, 2014). Metabolisme alkohol di

hati melalui jalur MEOS (melibatkan enzim CYP450) dan NADH menghasilkan

ROS (Reactive oxygen species) (Zakhari, 2006). Begitu juga dengan Hepatitis C

yang menyebabkan apoptosis sel hati dan kerusakan mitokondria, sehingga

menyebabkan ROS di hati meningkat (Lach, 2014).

Reactive oxygen species (ROS) memiliki peran yang penting pada

penyakit hati kronik dan fibrosis hati (Jiang, 2012). ROS akan menstimulasi

mumculnya berbagai macam mediator pro-inflamasi, salah satunya Tumor

Necroting Factor- α (TNF- α) dan sitokin-sitokin lainnya (Reeves, 2002). Sitokin

dan TNF-α mengaktivasi reaksi inflamasi yang menyebabkan sel mengalami jejas

dan kerusakan sel. Selain itu, ROS juga mengalami peroksidase di dalam

16

mitokondria menimbulkan kematian sel dan apoptosis (Zakhari, 2006). Dengan

adanya apoptosis, sel kupffer akan teraktivasi (Bataller, 2005). Aktivasi sel

kupffer meningkatkan fibrogenesis hati dengan keluarnya sitokin dan kemokin

yang nantinya menstimulasi sel HSCs (Czaja, 2014).

Hepatic Stellate Cell (HSCs) yang berada di ruang Disse, merupakan

faktor utama dari penumpukan ECM baik dalam keadaan normal maupun

fisbrosis hati (Philippe, 2007). HSCs pertama kali ditemukan oleh Von Kuppfer

pada tahun 1876, pada proses aktivasi fenotip yang terjadi saat hati mengalami

kerusakan kronis ditandai dengan banyaknya jaringan fibrin (Geerts, 2001). HSCs

yang juga dikenal sebagai liposit, sel Ito, atau sel perisinusoidal diduga

merupakan faktor utama pembentukan jaringan kolagen di hati (Bataller, 2005).

(Czaja, 2014)

Gambar 2.6. Aktivasi Fibrosis Hati

Inflamasi hati yang kronis mengaktivasi kupffer cell yang nantinya akan

meningkatkan kadar ROS, NOS, dan iNos. Kemudian terjadi apoptosis sel hati,

dan terbentuklah HSCs. HSCs ini akan mengeluarkan TGF-B yang menyebabkan

HSCs berdiferensiasi menjadi myofibroblast-like cellI. Myofibroblast-like cellI

menstimulasi terjadinya proliferas, inflamasi dan fibrogenesis. Selain itu,

myofibroblast-like cellI juga akan menghasilkan Extracellular Matrix (ECM)

yang sangat mempengaruhi terjadinya fibrosis hati

17

Saat terjadi luka kronis di hati, sel HSCs akan berdiferensiasi menjadi

myofibroblast-like cell yang menstimulasi terjadinya proliferasi, inflamasi dan

fibrogenesis (Philippe, 2007). Sel HSCs ini memproduksi terlalu banyak kolagen

yang nantinya menyebabkan fibrosis pada hati. HSCs juga memproduksi ROS

dan TGF-β. Sehingga akumulasi ROS di jaringan hati akan meningkat (Shimizu,

2012).

2.2.3. Diagnosis

Biopsi hati merupakan gold standar dalam mendiagnosis fibrosis hati.

Pemeriksaan histologis sangat berguna dalam menentukan penyebab dari fibrosis

hati dan menentukan seberapa berat inflamasi beserta stage fibrosisnya. Staging

pada fibrosis hati biasanya menggunakan Metavir (I-IV) dan Ishak Score (I-V).

Biopsi hati merupakan suatu tindakan yanng invasif intuk pasien. Scoring dapat

dilakukan juga dengan cara yang lebih mudah dan nyaman yaitu dengan

penghitungan platelet, aminotransferase serum, prothrombin time dan protein

serum (Regev, et all., 2002)

Dalam diagnosis fibrosis hati dapat juga dilakukan imaging dengan

menggunakan ultrasonography (USG) dan MRI. MRI dapat melihat perubahan

dari parenkim hati mulai dari kerusakan yang sedang hingga berat. Pada segi

biaya, USG lebih direkomendasikan daripada MRI. Namun, ketelitian pada USG

sangat bergantung pada operator (Callewaert, et all., 2004).

2.2.4. Tatalaksana dan Pencegahan

Saat ini belum ada terapi standart untuk mengobati fibrosis hati. Tetapi,

pada beberapa penelitian eksperimental mereka mencoba untuk menekan

progresifitas dari fibrosisnya, namun belum pernah dicoba efikasinya pada

18

manusia. Eliminasi dari faktor penyabab fibrosis hati juga merupakan tindakan

yang efektif untuk menekan progresifitasnya. Strategi ini lebih efektif untuk

sebagian besar penyakit kronis pada hati (Arthur, 2002)

Pada pasien dengan sirosis dan sudah mengalami komplikasi transplantasi

hati adalah satu satunya terapi yang dapat diambil. Transplantasi dapat

meningkatkan kualitas hidup pada pasien sirosis. Namun pada pasien dengan

sirosis akibat Hepatitis C Virus (HCV), virus biasanya dapat rekuren setelah

transplantasi (Arthur, 2002).

2.2.5. MDA Sebagai Produk Stress Oksidatif

Oksidatif stres yang tidak terkontrol (ketidakseimbangan antara pro-

oksidan dan antioksidan) menyebabkan kerusakan pada sel, jaringan dan organ.

Sudah diketahui sejak lama bahwa level yang tinggi pada oksidatif stres atau

reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan langsung pada lipid

(Moldovan, 2004). Peroksidase lipid atau reaksi antara oksigen dengan

unsaturated lipid menghasilkan banyak produk oksidase. Produk primer dari lipid

peroksidase yaitu lipid hidroperoksidase (LOOH). Sedangkan produk secondary

diantaranya yaitu malondialdehid (MDA), propanal, hexanal, dan 4-

hidroknonenal (4-HNE) yang secara mendalam telah diteliti oleh Estebauer dkk di

tahun 1980.

Malondialdehid (MDA) merupakan hasil akhir dari radikal bebas dan

seringsekali digunakan sebagai marker dari stres oksidatif (Grune T & Berger

MM, 2007). Pengukuran kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal

bebas secara tidak langsung sebagai indikator stres oksidatif. Pengukuran ini bisa

19

dilakukan dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test)

(Slater, 1984; Powers & Jackson, 2008).

2.3. Jintan Hitam

Jintan hitam (Nigella sativa) dipercaya berasal dari daerah Mediterania

namun saat ini telah dikembangbiakkan di berbagai belahan dunia, termasuk Arab

Saudi, Afrika Utara, dan sebagian Asia. Jinten hitam juga dikenal sebagai black

cumin, fennel flower, Nutmeg flower, Roman coriander, black seed, black

caraway, black onion seed, kalonji, habatussauda, dan habbat albarakah (biji

barakah) (Ramadan & Morsel, 2001). Secara tradisional biji jintan hitam telah

digunakan selama berabad-abad di Asia, Timur Tengah dan Afrika untuk

mengobati penyakit yang berhubungan dengan pernafasan, perut, saluran

pencernaan, fungsi ginjal dan liver, membantu sirkulasi darah dan sistim imun.

Minyak jintan hitam digunakan untuk mengobati sakit kulit seperti eksem dan

gejala panas-dingin (Badan POM RI, 2009).

2.3.1 Taksonomi dan Morfologi Jintan Hitam

(Sharma, et.al., 2009)

Gambar 2.7. Jinten Hitam, bunga, dan

bijinya

20

Berdasarkan ilmu toksonomi dan klasifikasi tumbuhan, jintan hitam

dikelompokkan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Ranunculales

Family : Ranunculaceae

Genus : Nigella

Species : N. sativa (Sharma, et.al., 2009)

2.3.2 Kandungan Biji Jintan Hitam

Black cumin atau jintan hitam (Nigella sativa L) mengandung beberapa

senyawa aktif, yang paling utama yaitu thymoquinone (30%-48%),

thymohydroquinone, dithymoquinone, p-cymene (7%-15%), carvacrol (6%-12%),

4-terpineol (2%-7%), t-anethol (1%-4) (Ahmad, 2013). Selain itu, biji Jinten

hitam mengandung 36%-38% fixed oil, pro-tein, alkaloid, saponin dan 0,4%-

2,5% minyak esensial (Lautenbucher dalam Ali & Blunden, 2003).

2.3.3 Efek Antioksidan Jinten Hitam

Biji dan ekstrak jinten hitam telah terbukti berperan sebagai

antioksidan karena memberikan efek proteksi pada kerusakan yang disebabkan

oleh proses oksidasi. Musa et.al dalam Malhotra (2012) membuktikan bahwa

ekstrak etanol dari jinten hitam. Kemudian Ibraheem (2010) melaporkan bahwa

jinten hitam memiliki efek antagonis terhadap kalsium, serta berfungsi sebagai

antioksidan, keduanya berperan penting dalam manajemen suatu penyakit. Nour

dan Mourad (2010) membuktikan bahwa minyak jinten hitam memiliki efek

21

antioksidan pada induksi oksidatif stres yang berupa Monosodium Glutamate

(MSG) pada otak tikus, dan ekstraknya juga dapat mencegah perburukan akibat

stres oksidatif.

2.3.3.1. Thymoquinone

Thymoquinone merupakan antioksidan yang terkandung di dalam

jintan hintam (Hurairah, 2014). Sebagai antioksidan, Thymoquinone

bekerja menghambat oksidatif stres dengan meningkatkan aktivitas enzim

SOD dan menghambat reaksi lipid peroksidase (Xin, 2013). Selain itu,

Thymoquinone juga menghambat pembentukan prostaglandin yang

merupakan pro inflamasi. Tymoquinone juga dapat berfungsi sebagai anti

bakteri, memiliki choleretic effect (menstimulasi produksi empedu),

berguna untuk metabolisme lemak dan racun (Hurairah, 2014)

2.3.3.2. Flavonoid

Dalam beberapa studi terdahulu telah menunjukkan pentingnya

letak gugus OH dari suatu fenol yang berfungsi sebagai anti radikal

bebas, dua hidroksil pada cincin B ( 3’ dan 4’) yang dapat bertindak

sebagai donor elektron merupakan target dari radikal bebas (Kumar,

2007).

2.3.3.3. Linoleic acid dan β-carotene

22

Asam linoleat atau linoleic acid berfungsi sebagai antioksidan

melalui aktifitasnya menghambat reaksi lipid peroksidase, sehingga

menurunkan produk-produk dari lipid peroksidase, salah satunya

malondyaldehyde (MDA) (Sultan et al, 2009 ; Septiana, 2002). Sedangkan

β-carotene, merupakan mikronutrien terbanyak dengan senyawa yang

efektif sebagai scavanger antioksidan yang bereaksi terhadap oksigen

tunggal radikal bebas, sehingga menghambat lipid peroksidase (Sultan et

al, 2009 ; Ardhie, 2011).

2.4. CCl4 sebagai Agen Hepatotoksik

Carbon tetrachloride adalah senyawa kimia dengan rumus molekul CCL4.

Carbon tetrachloride berupa cairan bening mudah menguap dan berbau khas.

Laporan kasus keracunan carbon tetrachloride didapat dari investigasi kasus

bunuh diri menggunakan carbon tetrachloride. Dari hasil pemeriksaan carbon

tetrachloride toksik terhadap hati dan ginjal. Pada hati kerusakan terjadi pada 24

jam pertama, pada ginjal terdeteksi setelah 1-6 hari tetapi paling sering 2-3

minggu setelah keracunan. Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang bersifat

toksik (WHO, 2004)

Karbon tetrachloride di dalam tubuh akan mengalami proses

biotransformasi oleh enzim CYP2E1 membentuk radikal bebas yaitu radikal

triklormetil (CCl3). Radikal ini kemudia akan bereaksi dengan oksigen dan

membentuk radikal triklorometil peroksi (OOCCl3) yang lebih reakti (WHO,

2004). Radikal triklorometil dapat menyebabkan terrjadinya kerusakan sitokrom

P-450. Radikal triklorometil akan berikatan secara kovalen dengan lemak

23

microsomal dan protein, dan akan bereaksi secara langsung dengan membrane

fosfolipid dan kolesterol. Reaksi ini juga menghasilkan kloroform, yang

merupakan salah satu metabolit dari karbon tetraklorida. Selain itu radikal

triklorometil dapat menginisiasi terjadinya radikal lipid yang menyebabkan

terbentuknya lipid hidroperoksidase (LOOH) dan radikal lipid alkoksil (LO)

melalui proses fragmentasi, radikal lipid alkoksi tersebut akan diubah menjadi

malondialdehid. Senyawa aldehid inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada

membran plasma dan meningkatkan permeabilitas membran (WHO, 2004).

CCl4 merupakan agen yang paling sering digunakan sebagai eksperimen

yang menginduksi terjadinya fibrosis hati di binatang percobaan. CCl4

menginduksi fibrosis atau sirosis dengan morfologi dan patofisiologi yang hampir

sama dengan yang terjadi pada manusia (WU J & Norton, 1996). CCl4 pada

hewan percobaan menyebabkan terjadinya regenerasi sel hati, infiltrasi sel-sel

inflamasi, proliferasi dan regenerasi sel stellate serta deposisi dari jaringan ikat

merupakan perubahan histopatologi stelah induksi CCl4 selama 6-9 minggu (Jiang

Z, 1992).