bab 1,bab 2,bab 3,daftar pustaka

26
BAB 1 PENDAHULUAN Tonsilitis adalah penyakit yang umum. Hampir semua anak mengalami setidaknya satu episode tonsillitis. Di Amerika Serikat, antara 2,5% hingga 10,9% dari anak-anak dapat didefinisikan sebagai carier. Prevalensi rata-rata carier dari anak sekolah untuk kelompok A Streptococcus, penyebab dari radang amandel, adalah 15,9% dalam satu penelitian. Pada anak sekolah usia 5-18 tahun di Amerika Serikat Streptococcus beta hemmoliticus group A (SBHGA) didapatkan sebanyak 20-40%. Walaupun tonsilofaringitis akut dapat disebabkan oleh berbagai bakteri, namun SBHGA mendapat perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius, diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik, penyakit sendi rematik, dan glomerulonefritis. 1 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) ada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insidensi tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang yang dilaporkan oleh Aritmoyo (1978) sebanyak 23,36% dan 47% di antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan Udaya (1999) di RSUP Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 menemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh kunjungan. 2 Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan. 3 1

Upload: yohanes-susanto

Post on 05-Dec-2014

145 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

BAB 1

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah penyakit yang umum. Hampir semua anak mengalami setidaknya

satu episode tonsillitis. Di Amerika Serikat, antara 2,5% hingga 10,9% dari anak-

anak dapat didefinisikan sebagai carier. Prevalensi rata-rata carier dari anak

sekolah untuk kelompok A Streptococcus, penyebab dari radang amandel, adalah

15,9% dalam satu penelitian. Pada anak sekolah usia 5-18 tahun di Amerika

Serikat Streptococcus beta hemmoliticus group A (SBHGA) didapatkan sebanyak

20-40%. Walaupun tonsilofaringitis akut dapat disebabkan oleh berbagai bakteri,

namun SBHGA mendapat perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan

komplikasi yang serius, diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik,

penyakit sendi rematik, dan glomerulonefritis.1

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia)

ada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis

akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Insidensi tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi

Semarang yang dilaporkan oleh Aritmoyo (1978) sebanyak 23,36% dan 47% di

antaranya pada usia 6-15 tahun. Sedangkan Udaya (1999) di RSUP Hasan Sadikin

pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 menemukan 1024 pasien

tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh kunjungan.2

Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu

konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,

yaitu infeksi dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan

menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk

abses atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi

tonsilektomi perlu dilakukan.3

1

Page 2: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Embriologi

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke

dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa

tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian

yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga

terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal

dari epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut

dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid.

Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,

dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.4

Anatomi Tonsil5-8

Gambar 1 Anatomi Tonsil

2

Page 3: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan

ikat dengan kriptus di dalamnya. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar

limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

palatine (tonsil faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil Tuba

Eusthacius (lateral band dinding faring/Gerlach`s tonsil).

Gambar 2 Cincin Waldeyer

Fungsi

Mengenai fungsi dari tonsil, masih terdapat kontroversi, tetapi ada beberapa hal

yang dapat diterima, yaitu:

1. Membentuk zat-zat anti yang terbentuk di dalam sel plasma saat reaksi

seluler

2. Mengadakan limfositosis dan limfositolisis

3. Menangkap dan menghancurkan benda-benda asing maupun

mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut

4. Memproduksi hormon, khususnya hormon pertumbuhan.

3

Page 4: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

a. Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa

tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil

terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:

Lateral – m. konstriktor faring superior

Anterior – m. palatoglosus

Posterior – m. palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,

folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri

dari jaringan linfoid).

Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior

adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor

faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut,

mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah

otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan dasar

tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga

pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior

dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah

terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang

disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,

4

Page 5: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang

menutupi 4/5 bagian tonsil.

Plika Triangularis

Di antara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat plika

triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak masa

embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil

dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau

terpotongnya pangkal lidah.

Perdarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu:

a.maksilaris eksterna (a.fasialis) dengan cabangnya a.tonsilaris dan

a.palatina asenden;

a.maksilaris interna dengan cabangnya a.palatina desenden;

a.lingualis dengan cabangnya a.lingualis dorsal;

a.faringeal asenden.

Gambar 3 Vaskularisasi pada tonsil

5

Page 6: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh a.lingualis dorsal dan

bagian posterior oleh a.palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh a.tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh a.faringeal

asenden dan a.palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang

bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar

kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.

Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju

duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan

sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke-V melalui ganglion

sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari

keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada

tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat

sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel

dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses

transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin

spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.

6

Page 7: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Ukuran tonsil

T0 : Tidak ada tonsil (post tonsilektomi)

T1 : Tonsil terbatas pada fossa tonsilaris (belum melewati plika anterior)

T2 : Sudah melewati plika anterior, belum melewati plika posterior

T3 : Sudah melewati plika posterior, hampir menutupi uvula

T4 : Sudah menutupi uvula

Gambar 2.4 Ukuran pada tonsil

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid

yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun

teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong

diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian

tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.

Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring

terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke

fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada

masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal

antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.

7

Page 8: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

c. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.

2.2 Definisi

Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di

dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil

faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band

dinding faring/ gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne

droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.5

2.3 Etiologi

Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat

mengenai orang dewasa. Jarang mengenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun.

Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A,

yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis

akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari golongan pneumokokus dan

stafilokokus. Kadang streptococcus non hemoliticus atau streptococcus viridens.

Virus juga kadang ditemukan sebagai penyebab tonsilitis akut. Seperti

Adenovirus, ECHO, Virus influenza serta herpes.5,8,9

Pada tonsilitis kronis, dapat berupa komplikasi dari tonsilitis akut, infeksi

tonsil subklinis tanpa serangan akut, sering mengenai anak-anak dan dewasa

muda, jarang pada orang tua > 50 tahun, infeksi kronis pada sinus dari gigi dapat

menjadi faktor predisposisi.5,8,9

2.4 Klasifikasi

8

Page 9: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

2.4.1 Tonsilitis Akut

Tonsil terdiri dari epitel permukaan yang berlanjut dengan garis orofaring,

kripta-kripta yang seperti invaginasi tabung dari epitel permukaan dan

jaringan limfoid. Infeksi akut pada tonsil dapat melibatkan komponen-

komponen tersebut dan diklasifikasikan sebagai:8

a. Tonsilitis kataral akut atau superfisial. Disini tonsilitis merupakan

bagian dari faringitis dan sering diakibatkan infeksi virus.

b. Tonsilitis folikular akut. Infeksi menyebar ke dalam kripta yang

menjadi penuh dengan nanah, sehingga memberikan gambaran kripta

seperti titik-titik kuning.

c. Tonsilitis parenkimal akut. Disini substansi tonsil turut terlibat, tonsil

menjadi besar dan merah.

d. Tonsilitis membranosa akut. Tipe ini satu tingkat lanjut dari tonsilitis

folikular akut ketika eksudasi dari kripta bergabung membentuk

memran pada permukaan tonsil.

Gambar 5 Tonsilitis Membranosa

2.4.2 Tonsilitis Difteri5,8

9

Page 10: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun

dan frekuensi tertinggi pada usia 2 – 5 tahun walaupun pada orang dewasa

masih mungkin menderita penyakit ini.

Gambaran klinik dibagi dalam tiga golongan, yaitu gejala umum,

gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.

Gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan

suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,

badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan

Gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi

bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu

membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum

mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat

menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada

dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada

perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar

limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher

menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester’s

hals.

Gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini

akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung

dapat terjadi miokarditis sampai gagal jantung, mengenai saraf

kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot

pernafasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.

Diagnosis ditegakkan berdarasarkan gambaran klinis dan

pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan

bawah membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterium diphteria.

Penatalaksanaannya dapat diberikan anti difteri serum (ADS) tanpa

menunggu hasil kultur, dengan dosis 20.000 – 100.000 unit tergantung

dari umur dan beratnya penyakit. Antibiotik penisilin atau eritromisin 25 –

50 mg/kgBB dibagi dalam tiga dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2

mg/kgBB/hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini menular,

10

Page 11: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

pasien harus diisolasi dengan beristirahat di tempat tidur selama 2 – 3

minggu.

Komplikasi yang dapat terjadi berupa laringitis difteri, miokarditis,

kelumpuhan otot palatum mole, otot mata untuk akomodasi, otot faring

serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau,

kelumpuhan otot-otot pernafasan dan albuminuria.

2.4.3 Tonsilitis Kronik8

a. Tonsilitis folikular kronik. Disini kripta tonsil penuh dengan material

seperti keju yang terinfeksi yang memberikan gambaran pada

permukaannya bintik-bintik kuning.

b. Tonsilitis parenkimal kronik. Terjadi hiperplasi dari jaringan limfoid.

Tonsil menjadi sangat besar dan mengganggu dalam berbicara, proses

makan dan respirasi. Serangan kekurangan oksigen saat tidur dapat

terjadi.

c. Tonsilitis fibroid kronik. Tonsil berukuran kecil tetapi terinfeksi,

dengan riwayat nyeri tenggorok yang berulang.

2.5 Gambaran Klinis

Pada Tonsilitis akut keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sulit

menelan, demam yang bervariasi dari 38 – 40oC dan dapat berhubungan dengan

dingin serta kekakuan, sakit telinga yang merupakan nyeri alih dari tonsil atau

hasil otitis media akut sebagai komplikasinya, dan gejala konstitusional seperti

sakit kepala, nyeri sendi, malaise, konstipasi, nyeri perut. Tanda-tanda pada

tonsilitis akut dapat berupa nafas yang bau, kelenjar getah bening jugulodigastrik

membesar dan sakit, hiperemis plika, palatum, dan uvula, kemerahan dan

pembengkakan pada tonsil dengan bintik kuning berisi nanah pada kripta

(tonsilitis folikular akut) atau membran putih pada permukaan medial tonsil yang

dapat diusap secara mudah dengan penyeka (tonsilitis membranosa akut) atau

tonsil dapat sangat membesar dan padat sehingga hampir bertemu di garis tengah

bersamaan dengan edema dari uvula dan palatum (tonsilitis parenkimal akut).8-14

11

Page 12: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Gambar 6 Tonsilitis akut

Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh nyeri tenggorokan atau amandel

yang berulang, iritasi kronik pada tenggorokan dengan batuk, nafas berbau

(halitosis) akibat nanah pada kripta, sulit berbicara, sulit menelan dan perasaan

tercekik saat tidur (ketika tonsil membesar dan obstruktif). Pada pemeriksaan

didapati tonsil dapat membesar yang kadang bertemu di garis tengah (tipe

parenkimal kronik), bercak kuning pada permukaan medial tonsil (tipe folikular

kronik), tonsil berukuran kecil tapi tekanan pada plika anterior mengekspresikan

nanah seperti keju (tipe fibroid kronik). Pembesaran kelenjar getah bening

jugulodigastrik adalah tanda nyata, terutama saat serangan akut dapat membesar

dan terasa sakit.8,9

2.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik.

Tonsil membengkak dan tampak bercak-bercak perdarahan. Ditemukan

12

Page 13: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

nanah dan selaput putih tipis yang menempel di tonsil. Membran ini bisa

diangkat dengan mudah tanpa menyebabkan perdarahan. Dilakukan

pembiakan apus tenggorokan di laboratorium untuk mengetahui bakteri

penyebabnya.5,9

AKUTKRONIS EKSASERBASI

AKUTKRONIS

Tonsil hiperemis + + -

Tonsil edema + + +/-

Kriptus melebar - + +

Destruitus +/- + +

Perlengketan - + +

Tabel 1 Perbedaan Tonsilitis akut, tonsillitis kronis eksaserbasi akut dan

tonsillitis kronis

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan tonsilitis akut8,13,14

Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 7-10 hari dan obat

kumur atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan

eritromisin atau klindamisin.

Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari

komplikasi selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x

negatif.

Pemberian antipiretik dan analgesik untuk simtomatis nyeri lokal dan

demam.

Penatalaksanaan tonsilitis kronik5,8

13

Page 14: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Pengobatan konservatif yang terdiri dari kebersihan mulut dengan obat

kumur/hisap, diet, dan mengobati infeksi penyerta seperti pada gigi,

hidung dan sinus.

Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi

konservatif tidak berhasil/rekuren dan sudah menimbulkan gangguan

berbicara, menelan maupun respirasi.

Tonsilektomi12-15

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan

prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu,

tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini,

indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil. Berdasarkan

The American Academy of Otolaryngology&; Head and Neck Surgery (AAO-

HNS) tahun 1995, indikasi tonsilektomi terbagi menjadi:

a. Indikasi Absolut

Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, nyeri

telan yang berat, gangguan tidur atau komplikasi penyakit-penyakit

kardiopulmonal.

Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan

perbaikan dengan pengobatan dan drainase, kecuali jika dilakukan fase

akut.

Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.

Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk

menentukan gambaran patologis jaringan.

b. Indikasi Relatif

Jika mengalami tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak

menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan

medikamentosa yang adekuat

Bau mulut atau bau nafas tak sedap (halitosis) yang menetap akibat

tonsillitis kronis yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik.

14

Page 15: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Tonsillitis kronis atau berulang yang diduga sebagai carrier kuman

Streptokokus yang tidak menunjukkan respon positif terhadap

pemberian antibiotika.

Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai

berhubungan dengan keganasan (neoplastik)

Kontraindikasi Tonsilektomi :

Riwayat penyakit perdarahan

Risiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit yang tidak terkontrol

Anemia

Infeksi akut

Komplikasi Tonsilektomi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakkan dengan anestesi lokal

maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan

komplikasi tindakan bedah dan anestesi.

a. Komplikasi Anestesi

Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.

Komplikasi yang dapat ditemukan berupa:

Laringospasme

Gelisah pasca operasi

Mual muntah

Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemia

Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan

henti jantung

Hipersensitif terhadap obat anestesi

b. Komplikasi Bedah

Perdarahan

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).

Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi

atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000

15

Page 16: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena perdarahan dan

dalam jumlah yang sama membutuh transfusi darah.

Nyeri

Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut

saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot

faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut

sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari

setelah operasi.

Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernafas, gangguan terhadap suara

(1:10.000), aspirasi. Otalgia, pembengkakan uvula, stenosis faring,

lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

2.8 Komplikasi13-14

Komplikasi tonsilitis akut dapat berupa:

Tonsilitis kronik dengan serulang berulang. Hal ini dapat terjadi akibat

resolusi yang tidak komplit pada infeksi akut.

Abses pertonsil. Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan

palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan

biasanya disebabkan oleh streptococcus group A.

Abses Parafaringeal

Abses Servikal akibat supurasi dari kelenjar getah bening jugulodigastrik.

Otitis media akut. Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba

auditorius (eustachius) dan dapat mengakibatkan otitis media yang dapat

mengarah pada ruptur spontan gendang telinga.

Demam rematik, yang sering berhubungan dengan tonsilitis akibat kuman

streptokokus grup A beta-hemolitikus.

Glomerulonefritis akut

Endocarditis bakteri subakut. Tonsilitis akut pada pasien dengan penyakit

katub jantung dapat mengalami komplikasi endokarditis, biasanya akibat

infeksi streptokokus viridans.

16

Page 17: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Komplikasi tonsilitis kronik dapat berupa:

Abses peritonsil

Abses parafaringeal

Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi nanah pada substansi tonsil

yang memblok pembukaan kripta pada tonsilitis folikular akut, ditandai

dengan nyeri lokal dan disfagia. Tonsil tampak membesar dan merah.

Pemberian antibiotika dan drainase abses diperlukan; tonsilektomi juga

diindikasikan.

Tonsilolit (kalkulus pada tonsil). Terlihat pada tonsilitis kronik ketika

kripta terblok. Garam inorganik kalsium dan magnesium mengalami

deposit sehingga terbentuk formasi batu yang secara gradual membesar

dan menjadi ulkus sekitar tonsil. Sering pada usia dewasa dan

menimbulkan sensasi tidak nyaman.

Kista tonsilar. Akibat pembendungan kripta tonsilar dan tampak seperti

bengkak kekuningan pada tonsil. Sering tidak bergejala dan sangat mudah

didrainase.

Infeksi fokal pada demam rematik, glomerulonefritis akut, kelainan mata

dan kulit.

BAB 3

KESIMPULAN

17

Page 18: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer. Cincin waldeyer terdiri dari susunan kelenjar limfa yang terdapat di

dalam rongga mulut yaitu: tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsil

faucial), tonsil lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba eustachius (lateral band

dinding faring/ gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi melalui udara (air borne

droplets), tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.

Tonsilitis akut sering mengenai anak-anak usia sekolah, tetapi juga dapat

mengenai orang dewasa. Jarang mengenai bayi dan usia lanjut > 50 tahun.

Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A,

yaitu sekitar 50% dari kasus. Bakteri lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis

akut adalah Haemophilus influenza. Pada tonsilitis kronis, dapat berupa

komplikasi dari tonsilitis akut.

Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsilitis akut, tonsilitis difteri dan

tonsilitis kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda-beda.

Penatalaksanaan dari tonsilitis dapat secara konservatif maupun operatif. Terapi

konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi dan mengatasi

keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan

jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses atau tidak berhasil

dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan

dengan mempertimbangkan indikasi, kontraindikasi serta komplikasi yang

mungkin timbul.

DAFTAR PUSTAKA

18

Page 19: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

1. Shah, K. Udayan. Tonsolitis and Peritonsilar abcess. 2009. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape,com/article-overview. [Diakses pada 21 Desember

2011]

2. Farokah. Laporan Penelitian : Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi

Belajar Siswa Kelas II Sekolah dasar di Kota Semarang. 2005. Diunduh dari:

http://eprints.undip.ac.id/12393/1/2005FK3602.pdf (Diakses pada 17

Desember 2011)

3. Reeves, Charlene J., Roux, Gayle, Lockhart, Robin. Keperawatan Medikal

Bedah Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika, 2001.

4. Ballenger JJ. Anatomi Bedah Tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi 13. Jakarta: Binarupa

Aksara. 1994. Hal 321-7

5. Rusmardjono & Soepardi. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Buku

Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI, 2007; hal 223-4.

6. Wiatrak, BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease. Dalam:

Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery 4th ed. Hal 4136-52

7. Liston, S.L. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,

Esofagus dan Leher. Dalam: Adams, Boies dan Higler. eds. Buku Ajar

Penyakit THT Boies Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997; hal 263-71

8. Dhingra, PL. Acute and Chronic Tonsillitis. Dalam Diseases of Ear, Nose and

Throat fourth edition. Elsevier; hal 239-43.

9. Grevers, G,. Pharynx and Esophagus. Dalam: Probst, R., Grevers, G., Iro, H.

eds. Basic Otorhinolaryngology A Step-by-Step Learning Guide. USA: Georg

Thieme Verlag, 2006; Hal 113-9.

10. Bull, P.D. The Tonsils and Oropharynx. Dalam: Disease of The Ear, Nose and

Throat Ninth Edition. USA: Blackwell Science. 2002; hal 111-4

11. Bull, T.R. The Fauces and the Tonsils. Dalam: Color Atlas of ENT Diagnosis

4th edition, revised and expanded. USA: Georg Thieme Verlag, 2003; hal 189-

95.

19

Page 20: BAB 1,BAB 2,BAB 3,Daftar Pustaka

12. Pediatric Otolaryngology. Dalam: Toronto Notes: Otolaryngology. 2008; hal

41-3.

13. Pediatric Otolaryngology. Dalam: Irish, J., Papsin B., Chan, Y., Panu, N.,

Propst, E. eds. Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 2006; hal 28-9,50.

14. Dhillon, R.S., East, C.A. An Illustrated Coloured Text: Ear, Nose and Throat

and Head and Neck Surgery Second Edition. UK:Churchill Livingstone, 2000;

hal 73-5

15. National Guideline Primary Care Management Guidelines Tonsilitis. 2002.

Diunduh dari: http://www.cdhb.govt.nz/waitlist/PDF/pcmg_tonsillitis.pdf

[Diakses pada 22 Desember 2011]

20