bab 1- daftar pustaka

40
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat semakin tinggi, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan juga semakin meningkat, termasuk kesehatan gigi dan mulut. Oleh karena itu, kualitas pelayanan kesehatan juga harus ditingkatkan demi memenuhi keamanan pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi keamanan pasien adalah pentingnya kontrol infeksi untuk mendapat suatu pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, wajib memberikan jaminan keamanan kesehatan baik bagi tenaga kesehatan maupun pasiennya. Tindakan kontrol infeksi masuk ke dalam MDGs (Milenium Development Goals) ke-6 dan 7 yaitu pengendalian infeksi silang yang tepat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit menular selama perawatan gigi. Target WHO ( World Health Organization ) 2020 salah satunya adalah meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan yang kompeten untuk mengenali dan mengurangi risiko dari transmisi penyakit menular di lingkungan pelayanan kesehatan gigi dan mulut. 1 Di bidang kedokteran gigi, tingkat risiko terjadinya infeksi silang bisa dibilang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena dalam 1

Upload: marisa-intanries

Post on 15-Apr-2016

241 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kontrol infeksi di RSGM

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di era globalisasi ini, tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi

masyarakat semakin tinggi, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan

juga semakin meningkat, termasuk kesehatan gigi dan mulut. Oleh karena itu, kualitas

pelayanan kesehatan juga harus ditingkatkan demi memenuhi keamanan pasien. Salah

satu faktor yang mempengaruhi keamanan pasien adalah pentingnya kontrol infeksi

untuk mendapat suatu pelayanan kesehatan.

Sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, wajib memberikan jaminan

keamanan kesehatan baik bagi tenaga kesehatan maupun pasiennya. Tindakan kontrol

infeksi masuk ke dalam MDGs (Milenium Development Goals) ke-6 dan 7 yaitu

pengendalian infeksi silang yang tepat diperlukan untuk mencegah penularan penyakit

menular selama perawatan gigi. Target WHO (World Health Organization) 2020

salah satunya adalah meningkatkan jumlah pelayanan kesehatan yang kompeten untuk

mengenali dan mengurangi risiko dari transmisi penyakit menular di lingkungan

pelayanan kesehatan gigi dan mulut.1

Di bidang kedokteran gigi, tingkat risiko terjadinya infeksi silang bisa

dibilang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena dalam melaksanakan perawatan

gigi, operator dapat berkontak langsung dengan saliva, plak gigi, darah, pus, dan

cairan gingiva pasien. Mikroorganisme dapat menyatu dengan material-material

tersebut dan menyebabkan infeksi hingga dapat menularkan penyakit. Hal ini dapat

terjadi karena kelalaian seorang dokter gigi, perawat gigi, bahkan mahasiswa

kepaniteraan klinik (co-ass) dalam mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP)

yang berlaku sewaktu melaksanakan prosedur perawatan. Beberapa penyakit yang

paling umum adalah influenza, penumonia, tuberkulosis, herpes, hepatitis dan AIDS

(Acquired Immune Deficiency Syndrome).2

Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut di Indonesia mempunyai kewajiban

untuk selalu memenuhi salah satu kriteria standar pelayanan kedokteran gigi di

Indonesia, yaitu melaksanakan kontrol infeksi. Prosedur pelaksanaan kontrol infeksi

harus dilaksanakan pada semua fasilitas pelayanan kesehatan gigi dan mulut di

1

Page 2: BAB 1- Daftar Pustaka

seluruh Indonesia. Tindakan kontrol infeksi termasuk penggunaan alat pelindung diri

(APD) yang sesuai dengan SOP, pembuangan limbah, pembersihan, disinfeksi dan

sterilisasi peralatan serta bahan yang digunakan.1 SOP memberikan langkah yang

benar dan terbaik untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan

yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi, sesuai

yang dibutuhkan di rumah sakit.

Tenaga kesehatan gigi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan

penyakit infeksi baik dari pasien, dokter gigi, perawat gigi, dan mahasiswa

kepaniteraan klinik (co-ass). Manajemen kontrol infeksi yang baik dalam suatu rumah

sakit, dapat memberikan jaminan keamanankesehatan baik bagi tenaga kesehatan

maupun pasiennya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang menjadi pusat

perhatian dalam kunjungan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

- Bagaimana manajemen kontrol infeksi di RSGM Trisakti ?

- Bagaimana tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing di

RSGMP Trisakti ?

- Bagaimana tindakan kontrol infeksi terhadap pasien di RSGM Trisakti ?

- Bagaimana tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti ?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencegah dan mengendalikan

penyebaran infeksi pada pasien, operator, pembimbing, dan tenaga medis di RSGM

Trisakti.

D. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang pentingnya dokter gigi atau operator memproteksi

diri dan menghindari infeksi silang di RSGM Trisakti.

2. Mengendalikan penyebaran infeksi pada pasien, operator, pembimbing, dan

tenaga medis di RSGM Trisakti.

3. Mengevaluasi kinerja operator dan staf RSGM Trisakti dalam hal kontrol infeksi.

2

Page 3: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kontrol Infeksi

a. Definisi Kontrol Infeksi

Tujuan kontrol infeksi dalam praktek gigi adalah untuk mencegah penularan penyakit

seperti bakteri, virus dan jamur dari satu pasien ke pasien lain, dari dokter gigi dan staf

klinik ke pasien, dan dari pasien ke dokter gigi atau staf klinik lainnya. Kontrol infeksi

berfokus pada mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi penularan infeksi atau

yang berkontribusi terhadap penyebaran mikroorganisme. Tata laksana penanganan

pasien:

a) Lakukan pembersihan tangan.

b) Pakai alat pelindung diri (sarung tangan, masker).

c) Berkumur antiseptik sebelum diperiksa.

d) Pemberian antiseptik pada daerah operasi untuk tindakan invasif.

e) Penggunaan suction sekali pakai yang berdaya hisap tinggi.

f) Penggunaan gelas kumur disposable (sekali pakai).

g) Jumlah alat diagnosa yang tersedia minimal ½ jumlah rata-rata jumlah kunjungan

pasien per hari.

h) Perjelas area yang dikhususkan bagi bahan dan alat yang telah disterilkan dari bahan

dan alat yang belum dibersihkan.

i) Buat SOP untuk pemrosesan instrumen: mulai dari penerimaan instrumen

terkontaminasi, pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi dan penyimpanan.

j) Siapkan alat dan bahan yang diperlukan untuk perawatan sebelum memulai suatu

perawatan. Penempatan posisi pasien dengan benar sehingga memudahkan kerja

operator dan mencegah timbulnya kecelakaan kerja.

k) Dianjurkan pemakaian isolator karet (rubberdam) untuk mencegah terjadinya

percikan dari mulut pasien dan mereduksi kontak yang tidak perlu antara tangan dan

mukosa pasien.

Kebersihan tangan merupakan hal yang paling penting dan merupakan pilar untuk

pencegahan dan pengendalian infeksi. Tenaga pelayanan kesehatan gigi dan mulut

harus melakukan kebersihan tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir jika

3

Page 4: BAB 1- Daftar Pustaka

tangan terlihat kotor (termasuk keadaan terkena serbuk dari sarung tangan),

terkontaminasi cairan tubuh, kontak langsung dengan individu pasien, setelah kontak

dengan permukaan dalam ruang praktik termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan gips.

Lamanya mencuci tangan 40-60 detik. Jika tangan tidak tampak kotor lakukan

kebersihan tangan dengan cara gosok tangan dengan handrub/cairan berbasis alkohol,

lamanya 20-30 detik.

Metode dan tata cara mencuci tangan tergantung pada beberapa tipe dan prosedur,

tingkat keparahan dari kontaminasi dan persistensi melekatnya anti mikroba yang

digunakan pada kulit. Untuk pelaksanaan rutin dalam praktik dokter gigi dan prosedur

non bedah, mencuci tangan dan antiseptik dapat dicapai dengan menggunakan sabun

detergen anti mikroba yang standar. Prosedur pembedahan, sabun anti mikroba bedah

yang mengandung chlorhexidin gluconate 4% harus digunakan. Hal-hal yang harus

diperhatikan mengenai kebersihan tangan:6

a) Sebelum kebersihan tangan, cincin, jam dan seluruh perhiasan yang ada di

pergelangan tangan harus dilepas.

b) Kuku harus tetap pendek dan bersih.

c) Jangan menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena dapat menjadi tempat

bakteri terjebak dan menyulitkan terlihatnya kotoran di dalam kuku.

d) Selalu gunakan air mengalir, apabila tidak tersedia, maka harus menggunakan salah

satu pilihan sebagai berikut:

• Ember berkeran yang tertutup.

• Ember dan gayung, dimana seseorang menuangkan air sementara yang lainnya

mencuci tangan.

e) Tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper towel atau membiarkan

tangan kering sendiri sebelum menggunakan sarung tangan.

b. Penyakit infeksius di tempat kerja

Banyak penyakit yang dijumpai pada praktek dokter gigi. Kadang-kadang pasien

yang terinfeksi datang untuk mencari perawatan, dan kadang-kadang juga staf dokter

tertular oleh kondisi penyakit dari pasien.

a). Hepatitis

Hepatitis A

4

Page 5: BAB 1- Daftar Pustaka

Virus hepatitis A (HAV) adalah penyakit keturunan dan merupakan virus

RNA (Ribonucleic Acid). Infeksi HAV menyebabkan penyakit kuning dan jarang

menyebabkan kematian. Pada orang dewasa tingkat kematian adalah sekitar 1

dari 1000 orang dan pada orang lebih dari 50 tahun tingkat kematian sekitar 27

dari 1000. Masa inkubasi virus hepatitis A adalah sekitar 4 sampai 6 minggu.

Setelah seseorang sembuh dari infeksi virus hepatitis A, orang tersebut akan

terlindungi seumur hidup. Vaksin untuk virus hepatitis A sekarang sudah tersedia.

Jika seseorang belum terkena HAV, vaksinasi satu kali dapat memberikan

kekebalan seumur hidup.7

Hepatitis B

Infeksi virus hepatitis B (HBV) disebabkan oleh virus DNA (Deoxyribonucleic

Acid) yang merupakan suatu hepadnavirus. Secara klinis kebanyakan pasien yang

terinfeksi HBV tidak teridentifikasi.7 Virus ini diperkirakan menginfeksi sepertiga

dari total populasi dunia dan sekitar sekitar 20% dari mereka terinfeksi kronis.

Tidak hanya menyebabkan infeksi kronis, virus ini juga dapat menyebabkan

sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Sebagai tahap awal dalam mencegah

infeksi HBV, small hepatitis B surface antigen (sHBsAg) digunakan sebagai

komponen utama dari vaksin hepatitis B.4

Sekitar 2-7% dari populasi di Asia Selatan, Timur Tengah, wilayah

Mediterania, Eropa Timur, Rusia, Bagian Tengah dan Selatan wilayah Amerika

terinfeksi dengan virus ini. Daerah Alaska dan Kanada (Tundra), Amerika

Selatan, Afrika, Asia Tenggara termasuk Cina dianggap memiliki prevalensi yang

tinggi (>8% dari populasi). Sebagian besar Amerika Utara, Amerika Selatan,

Australia, dan Eropa Barat dianggap memiliki prevalensi yang rendah (<2% dari

populasi). Masa inkubasi berlangsung 45-160 hari oleh karena itu disebut juga

infeksi hepatitis kronis. Transmisi dapat secara perkutan dan non-perkutan, tetapi

ditularkan terutama melalui darah. Virus hepatitis ini sangat menular dan telah

diakuisisi oleh dokter gigi occupationally di masa lalu. Menurut hasil infeksi

HBV, sekitar 90% dari yang terinfeksi menjadi sehat kembali, sekitar 9-10%

menjadi pembawa asimtomatik atau menderita hepatitis kronis persisten; sekitar

1% berkembang menjadi penyakit fulminan setelah terinfeksi dan menyebabkan

kematian. Vaksin terhadap infeksi HBV telah tersedia. Tingkat infeksi di

kalangan dokter gigi (termasuk dokter umum dan spesialis) berkisar dari 13,6%

5

Page 6: BAB 1- Daftar Pustaka

sampai 38,5%. Menurut Centers for Disease Control & Prevention (CDC) dosis

vaksin booster mungkin tidak dianggap perlu karena respon anemnistic dan

kurangnya bukti dari orang yang sebelumnya diimunisasi menjadi terinfeksi

kembali (tubuh akan menunjukkan respon imun protektif).7

c) Hepatitis C

Hepatitis C Virus (HCV) di identifikasi pertama kali pada tahun l998 dan

merupakan penyebab utama dari hepatitis non-A, non-B. Hepatitis C merupakan

penyakit yang penting karena bertanggung jawab atas sekitar 90% hepatitis pasca

transfusi dan diduga 3% populasi dunia telah terinfeksi virus hepatitis C yang

mempunyai masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu). Hepatitis C kronis

menjadi penyebab utama dari sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler.3 Lebih dari

60% yang terinfeksi dapat menjadi penyakit hati kronis. Kelanjutan dari penyakit

ini, 30-60% menjadi penyakit hati aktif dan 5-20% menjadi sirosis hati.7

Virus hepatitis C biasanya menular melalui transfusi darah, kontak dengan

darah dan cairan tubuh lainnya. Penyakit ini juga biasa terlihat pada orang-orang

yang menggunakan berbagi jarum selama pemakaian narkoba, dan pada pasien

dengan penyakit menular seksual lainnya. Penyakit ini bisa sangat melemahkan

dan bisa berakibat fatal.7

Sebelum ditemukannya tes serologis untuk hepatitis C, diagnosis hepatitis

non-A non-B ditegakkan atas eksklusi hepatitis A, hepatitis B dan kemungkinan

penyebab hepatitis lain. Virus hepatitis C merupakan virus RNA beruntai tunggal

termasuk famili Flaviviridae. Genom HCV ditemukan pada tahun 1989 oleh

Choo dkk. Karena struktur genom HCV yang sangat heterogen dan mudah

mengadakan mutasi maka mudah terjadi variasi perjalanan klinik infeksi HCV,

respon terapi anti virus yang kurang baik dan sulitnya pembuatan vaksin.

Keberhasilan terapi anti virus terhadap infeksi HCV lebih rendah dibandingkan

dengan terapi hepatitis virus B dan angka relapsnya lebih tinggi.3

d) Hepatitis D

Virus hepatitis D adalah suatu virus seperti partikel yang selalu tergantung

pada kehadiran infeksi virus Hepatitis B pada pasien (piggy-back virus). Penyakit

ini mungkin terjadi sebagai koinfeksi dengan HBV atau setelah terinfeksi oleh

HBV. Cara penularannya dapat melalui darah dan kontak cairan tubuh lainnya.7

6

Page 7: BAB 1- Daftar Pustaka

Infeksi virus hepatitis D adalah infeksi paling berbahaya yang terjadi pada

pasien. Dokter gigi harus menghindari kontak dengan darah dan cairan tubuh lain

dari pasien dengan menggunakan teknik perlindungan yang baik dan benar serta

memiliki pembuangan limbah yang baik untuk menghindari infeksi silang antara

pasien lainnya.7

b). Human Immunodeficiency Virus

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) disebabkan oleh HIV (Human

Immunodeficiency Virus) yaitu suatu virus yang melumpuhkan sistem kekebalan

tubuh.5 HIV penularan terjadi melalui kontak dengan darah dan cairan tubuh lainnya.

Penyakit ini diidentifikasi pada bulan juni 1981 dan telah mewabah sampai abad ke-

20. Awalnya penyakit ini hanya terlihat pada masyarakat homoseksual dan

kemudian ditemukan pada semua lapisan masyarakat termasuk heteroseksual,

perempuan dan anak-anak. Infeksi ini meningkat di daerah Asia Selatan dan Asia

Tenggara, sementara tingkat infeksi menurun atau stabil di daerah Amerika Serikat.

Awalnya Infeksi HIV berkembang menjadi kondisi yang lebih parah dan

melemahkan dimana hal ini terkait dengan infeksi lain yang disebut AIDS. 7

Ada banyak klasifikasi untuk AIDS seperti Center For Disease Control’s

Surveilance Definition, Klasifikasi Walter- Reed atau klasifikasi WHO. Pada tahap

awal infeksi HIV tidak dapat terlihat dan biasa disertai dengan gejala seperti lemah,

artralgia, atau bahkan sama sekali tanpa gejala. Pada perkembangannya, infeksi HIV

dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi. Beberapa lesi oral yang terkait dengan

infeksi HIV dan AIDS adalah hairy leukoplakia, kaposi’s sarcoma dan candidiasis.

Sangat penting dokter gigi untuk mengetahui tampakan klinis dari lesi oral tersebut.

Selain kondisi dalam rongga mulut, ada juga kondisi sistemik seperti infeksi

protozoa, infeksi jamur, infeksi virus lain dan infeksi mikobakteri. Pasien yang telah

terinfeksi HIVoleh dokter gigi mungkin ada, namun di Florida, USA, tidak ada

kasus penularan HIV dari dokter gigi yang telah dilaporkan. Tidak ada eksposur

kepada dokter gigi atau perawat gigi yang terinfeksi selama perawatan gigi.7

c). Tuberkulosis

Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit menular yang paling lama

dikenal oleh manusia. Di masa lalu negara yang paling banyak terjangkit

tuberkulosis masih ada dibawah kontrol. Tapi sekarang penyakit ini telah muncul

kembali dengan tipe baru multi-drug-resistant-strains.7Mycobacterium tuberculosis

7

Page 8: BAB 1- Daftar Pustaka

adalah bakteri yang dibawa oleh infektif udara inti droplet dan dapat dihasilkan oleh

paru-paru, bersin, batuk, berbicara atau menyanyi. Partikel-partikel yang sangat

kecil (1-5 µm) dapat tinggal di udara selama berjam-jam. Infeksi dapat terjadi ketika

seeorang menghirup inti droplet yang mengandung M. tuberkulosis, yang kemudian

berjalan sampai ke alveoli paru-paru.8

Setiap tahun sekitar 8 juta orang terjangkit TBC dan 3 juta diantaranya

meninggal. TBC banyak menyerang sistem pernafasan, gejala penyakit TBC aktif

adalah batuk lebih dari 3 minggu (batuk produktif), dahak dengan darah, kelelahan,

malaise, demam, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, dan berkeringat

di malam hari. Pasien yang terdiagnosis infeksi aktif, harus dirawat sampai sembuh

dan kemudian dapat dilakukan perawatan gigi. Di Amerika Serikat, dokter gigi dapat

menunda perawatan gigi sampai pasien tersebut telah dikatakan sembuh, dan

pengobatan gigi darurat dapat diberikan tetapi harus dilengkapi dengan

perlengkapan khusus dengan kontrol kontaminasi silang dalam pekerjaan. Fasilitas

tersebut meliputi ruang pengobatan yang negatif terkontaminasi virus. Pendingin

udara dan sistem ventilasi juga harus dilengkapi dengan filter HEPA dan personil

harus menggunakan masker yang memiliki filter HEPA (High-Efficiency Particulate

Air) selama kontak dengan pasien yang terinfeksi. Dokter gigi dan staf harus

menjalani tes untuk penyakit secara periodik, terutama jika tinggal di daerah

endemis dengan prevalensi yang tinggi. Di daerah endemik, pengujian dapat

dilakukan setiap enam bulan. Rencana kontrol yang sama dapat diadopsi oleh klinik

individu untuk kepentingan personil dan pasien.7

c. Penyebaran Mikroorganisme

Dunia kedokteran gigi, penyakit dapat ditularkan dari pasien ke pasien, dokter gigi

ke pasien, dan pasien ke dokter gigi, jika tindakan pencegahan yang memadai tidak

dilaksanakan. Beberapa cara penularan penyakit berdasarkan keparahannya antara lain:7

Risiko transmisi penyakit bervariasi tergantung dari daya tahan tubuh host, virulensi,

infektivitas organisme, dosis atau jumlah mikroorganisme, waktu pemaparan, dan cara

transmisi.kontrol terhadap virulensi organisme patogen atau mengurangi kerentanan

pasien hampir tidak mungkin. Petugas klinis harus mengerti tentang proses penyakit,

rute transmisi, metode mengontrol transmisi, dan mengimplementasikan proteksi diri

selama praktek sebagai pencegahan terhadap infeksi silang. Imunisasi terhadap

penyakit, penggunaan peralatan pelindung, kontrol pada teknik dan tempat kerja,

8

Page 9: BAB 1- Daftar Pustaka

disinfeksi permukaan/peralatan, sterilisasi instrumen yang kritis dan semi-kritis,

penggunaan protokol aspetik selama perawatan dan secara luas mencakup wilayah

dental control infection dan keselamatan kerja dokter gigi.7

Kontak langsung

Infeksi dapat berasal dari tenaga pelayanan kesehatan gigi yang tidak menggunakan

alat pelindung diri (APD). Tersentuh atau terpaparnya kulit yang non-intact terhadap

lesi oral yang menginfeksi, permukaan jaringan yang terinfeksi, atau cairan yang

terinfeksi, percikan cairan yang terinfeksi.

Kontak tidak langsung

Melalui menyentuh permukaan benda mati yang terkontaminasi pada ruangan

perawatan atau ruang operasi. Limbah medis (cair dan padat) yang tidak dikelola

sesuai aturan yang benar, untuk itu perlu memiliki instalasi pengelolaan limbah

medis. Infeksi dapat berasal dari sumberair yang digunakan di tempat pelayanan

kesehatan gigi. Peralatan kedokteran gigi yang tidak dilakukan sterilisasi dengan

sempurna dan permukaan peralatan dental unit yang terkontaminasi yang paling

sering disentuh tenaga pelayanan kesehatan gigi.

Percikan

Menghirup bioaerosol yang mengandung material infektif saat menggunakan

handpiece dan scaler atau droplet nucleii yang berasal dari batuk. Percikan saliva

yang mengandung mikroorganisme

B. Metode Kontrol Infeksi

a. Penggunaan alat proteksi diri

a). Masker

Masker pada kedokteran gigi digunakan untuk mengendalikan paparan terhadap

rongga mulut dokter dan mukosa hidung terhadap material infeksius dan darah serta

cairan rongga mulut pasien.7 Sebuah masker bedah melindungi terhadap

mikroorganisme yang dihasilkan oleh para pemakainya, dengan > 95% efisiensi

filtrasi bakteri, dan juga melindungi penggunanya dari partikel besar yang mungkin

mengandung patogen dari darah atau mikroorganisme infeksius lainnya. Pada saat

diperlukan isolasi pencegahan infeksi udara (misalnya, untuk pasien TBC), Institut

Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja (NIOSH) mengeluarkan sertifikat

9

Page 10: BAB 1- Daftar Pustaka

untuk penggunaan particulate-filter respirator (misal: N95, N99, atau N100). N95

memiliki kemampuan untuk menyaring partikel 1-μm dengan filter efisiensi >95%

(penyaring kebocoran <5%), memberikan tingkat aliran <50 L/min (yaitu, perkiraan

laju aliran udara maksimum pekerja kesehatan saat bernafas). Data menunjukkan

ukuran infectious droplet adalah berinti 1-5 μm; oleh karena itu, respirator yang

digunakan dalam pengaturan layanan kesehatan harus dapat efisien menyaring

partikel terkecil dalam kisaran ini. Mayoritas masker bedah tidak bersertifikasi

NIOSH sebagai respirator, dan tidak melindungi penggunanya dari paparan TB.8

Masker yang menempel pada garis mata dapat dibuang setiap kali pakai. Setiap

kali menggunakan masker, pekerja kesehatan harus membuangnya setelah merawat

satu pasien. Jika prosedur melampaui 25-30 menit, mungkin perlu untuk mengganti

masker dengan yang baru. Ketika terlihat kontaminasi atau percikan yang berulang-

ulang, masker baru harus digunakan setelah mencuci muka dan mata (jika

diperlukan).

b). Sarung tangan

Sarung tangan dapat berupa single-use-disposable non-sterile exam gloves atau

single-use-disposable sterile surgical gloves dapat digunakan didalam mulut pasien.7

Sarung tangan digunakan untuk mencegah kontaminasi tangan petugas kesehatan.

Fungi sarung tangan:

Mengantisipasi kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh, selaput

lendir, kulit nonintact dan bahan lainnya yang berpotensi menular;

Mencegah kontak langsung dengan pasien yang terpapar atau terinfeksi

dengan patogen ditularkan oleh rute kontak misalnya, VRE (Vancomycin

Resistant Enterococci), MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus),

RSV (Respiratory Syncytial Virus).

Digunakan pada saat melakukan penanganan atau menyentuh peralatan

perawatan.

c). Kaca mata pelindung

Pada dunia kedokteran gigi pelindung mata dapat berupa goggles, glass

polikarbonat dengan sisi-perisai, face-shield dan prescription glasses dengan side-

shields sekali pakai. Kebanyakan kacamata setidaknya harus dibersihkan dengan

sabun dan air pada akhir setiap sesi atau ketika tampak terkontaminasi. Pada saat t

model, trimming model, gigi palsu, memotong kabel dan melakukan pekerjaan

10

Page 11: BAB 1- Daftar Pustaka

laboratorium atau selama pengolahan ulang pada instrumen, penggunaan pelindung

mata adalah suatu keharusan untuk mengurangi kemungkinan terpapar bahan

berbahaya dan partikel keras yang dapat merusak mata.

d). Pakaian pelindung

Pakaian pelindung dan peralatan (misalnya: gaun, jas laboratorium, sarung

tangan, masker, dan pelindung mata atau pelindung wajah) harus dipakai untuk

mencegah kontaminasi dari pakaian yang dikenakan dan melindungi kulit pekerja

kesehatan dari paparan darah dan zat tubuh lainnya. Lengan baju harus cukup

panjang untuk melindungi lengan saat baju dikenakan. Pekerja kesehatan harus

mengganti pakaian pelindung ketika terlihat kotor dan tertembus oleh darah atau

cairan lain yang berpotensi infeksius. Semua pakaian pelindung harus dibersihkan

sebelum meninggalkan daerah pekerjaan.8 Pakaian bedah harus terbuat dari bahan

yang dapat dicuci dengan mesin dengan deterjen yang pada suhu 65oC untuk

membasmi kontaminasi mikroba yang potensial.7

b. Sterilisasi dan larutan desinfektan

Barang-barang yang bersentuhan dengan pasien (instrumen dan peralatan dental)

dikategorikan sebagai kritis, semikritis, atau nonkritis, tergantung pada potensi risiko

infeksi yang berhubungan dengan penggunaannya. Barang-barang kritis adalah yang

digunakan untuk menembus jaringan lunak atau tulang memiliki risiko terbesar

penularan infeksi dan harus disterilkan dengan panas. Barang-barang semi kritis

menyentuh kulit atau membran mukosa yang tidak utuh dan memiliki risiko penularan

lebih rendah; karena mayoritas barang-barang semikritisdalam kedokteran gigi adalah

toleran terhadap panas, mereka juga harus disterilkan dengan menggunakan panas. Jika

barang semi kritis sensitif terhadap panas, maka dapat menggunakan desinfeksi tingkat

tinggi. Barang nonkritis memiliki resiko penularan infeksi yang paling rendah, karena

hanya berkontak dengan kulit yang utuh, yang berfungsi sebagai barier yang efektif

untuk mikroorganisme.

a). Metode sterilisasi

Ada beberapa metode sterilisasi:

Uap dibawah tekanan (autoclaving)

Di antara metode sterilisasi, sterilisasi uap adalah yang paling diandalkan dan

ekonomis. Sterilisasi uap digunakan barang-barang kritis dan semi kritis yang

11

Page 12: BAB 1- Daftar Pustaka

tidak sensitif terhadap panas dan kelembaban. Sterilisasi uap memerlukan

pemaparan langsung dari setiap item untuk langsung menguapinya pada suhu dan

tekanan pada jangka waktu tertentu untuk membunuh mikroorganisme. Dua tipe

dasar sterilisasi uap adalah perpindahan gravitasi dan high-speed prevacuum

sterilizer.

Dry Heat

Strerilisasi dry heat digunakan untuk sterilisasi material yang dapat rusak oleh

sterilisasi panas yang lembab (misalnya, bur dan beberapa instrumen ortodontik).

Dry heat memiliki keuntungan biaya operasional yang rendah dan tidak korosif,

namum membutuhkan waktu proses yang lama dan tempratur yang tinggi

sehingga tidak cocok untuk beberapa barang dan instrumen.

Unsaturated chemical vapor

Sterilisasi unsaturated chemical vapor melibatkan pemanasan larutan kimia

alkohol primer dengan 0.23% formaldehyde pada ruangan tertutup bertekanan.

Unsaturated chemical vapor mensterilisasi instrumen carbon steel (misal bur

dental) menghasilkan korosi yang lebih sedikit dibandingkan sterilisasi uap

karena rendahnya tingkat air yang terdapat selama siklus. Instrumen harus dalam

keadaan kering sebelum sterilisasi.

b). Cairan desinfektan

Pada dunia kedokteran gigi, digunakan beberapa jenis disinfektan. Beberapa yang

umum digunakan digolongkan dalam tiga kategori utama seperti cairan sterilants

(disinfektan tingkat tinggi), disinfektan (tingkat menengah dan rendah), dan

antiseptik.7

Jenis disinfektan:

Sterilants

• Glutaraldehyde

• Chlorine dioxide

• Hydrogen Peroxide

Disinfectants (Intermediate and Low Level)

• Hydrogen Peroxide

• Sodium Hypochlorite

• Chlorine Dioxide

• Iodophors

12

Page 13: BAB 1- Daftar Pustaka

• Synthetic Phenols

• Quaternary Ammonia Compounds

Antiseptik (untuk penggunaan oral dan non-oral)

• Active Chlorine Dioxide Germicides

• Essential Oil Compunds

• Chlorhexidine Compounds

• Cetylpiridium Compounds

• Sanguinarine Based Compounds

• Parachlorometaxylenol Compounds

• Other Bacteriostatic/Bactericidal Compounds

C. Limbah dokter gigi

a. Limbah benda tajam

Limbah benda tajam adalah objek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung, atau

bagian yang menonjol dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik,

perlengkapan intravena, pecahan gelas, pisau bedah. Benda-benda tajam yang terbuang

mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, dan bahan

beracun atau radioaktif.

b. Limbah Infeksius

Limbah infeksius adalah limbah yang diduga mengandung bahan patogen (bakteri,

virus, parasit atau jamur) dalam konsentrasi atau jumlah yang cukup untuk

menyebabkan penyakit pada penjamu yang rentan. Kultur infeksius, limbah dari otopsi,

bangkai hewan, dan limbah lain yang terkontaminasi, terinfeksi atau terpapar hal

semacam itu disebut limbah yang sangat infeksius. Dalam kategori ini antara lain

tercakup sebagai berikut.6

a) Kultur dan stok agen infeksius dari aktivitas di laboratorium.

b) Limbah buangan hasil operasi dan otopsi pasien yang menderita penyakit menular

(jaringan dan materi atau peralatan yang terkena darah atau cairan tubuh yang lain).

c) Limbah pasien yang menderita penyakit menular dari bangsal isolasi (seperti

pembalut luka bedah atau luka yang terinfeksi, pakaian yang terkena darah pasien,

atau cairan tubuh yang lain).

13

Page 14: BAB 1- Daftar Pustaka

d) Limbah yang sudah tersentuh pasien yang menjalani hemodialisis (peralatan dialisi

seperti selang dan filter, handuk, baju RS, apron, sarung tangan sekali pakai dan baju

laboratorium).

e) Hewan yang terinfeksi dari laboratorium.

f) Instrument atau materi lain yang tersentuh orang atau hewan yang sakit.

g) Limbah ini dapat menjadi sumber penyebaran penyakit pada petugas, pasien,

pengunjung, maupun masyarakat sekitar. Oleh karena itu, limbah ini memerlukan

wadah atau kontainer khusus dalam pengolahannya.

14

Page 15: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Observasi ini dilakukan di RSGM Trisakti Klinik Integrasi H pada hari Kamis, 5

November 2015 sampai Jumat, 6 November 2015.

B. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah observasional

deskriptif dengan rancangan potong silang dan pendekatan survei.

C. Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah para mahasiswa co-ass yang masih aktif menjalani

pendidikan di RSGM Trisakti, dan para pembimbing yang meliputi asdos dan dosen.

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple accidental sampling, yaitu

sebanyak 57 mahasiswa co-ass yang sedang merawat pasien dan dipilih secara acak.

Penentuan jumlah sampel ditentukan menggunakan Rumus Slovin:10

n= NN (d)2+1

n = sampel; N = populasi; d = nilai presisi 90% atau significance= 0,1

D. Variable Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tindakan kontrol infeksi

terhadap operator dan pembimbing, tindakan kontrol infeksi terhadap pasien, dan

tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi.

E. Cara Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, data yang sudah diperoleh melalui hasil observasi

ditabulasikan dan data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel.

15

Page 16: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing di RSGM

Trisakti

Tindakan kontrol infeksi terhadap

operator dan pembimbing

Ya Tidak

N % n %

Menggunakan masker co-ass 46 80,70% 11 19,30%

Menggunakan masker asdos 5 17,86% 23 82,14%

Menggunakan masker dosen 1 11,11% 8 88,89%

Menggunakan sarung tangan co-ass 53 92,98% 4 7,02%

Menggunakan sarung tangan asdos 17 60,71% 11 39,29%

Menggunakan sarung tangan dosen 2 22,22% 7 77,78%

Menggunakan kacamata pelindung co-ass 1 1,75% 56 98,25%

Menggunakan pakaian pelindung co-ass 57 100% 0 0%

Kebersihan unit selama kerja 16 28,07% 41 71,93%

Pembuangan limbah KEDOKGI yang

tepat

26 45,62% 31 54,38%

Rata-rata 22,4 46,10% 19,2 53,90%

Tabel 1 menunjukan bahwa 57 operator (100%) menggunakan pakaian pelindung,

sebanyak 46 (80,70%) dari 57 operator menggunakan masker, dan sebanyak 53 (92,98%) dari

57 operator menggunakan sarung tangan. Hanya 1 (1,75%) dari 57 operator menggunakan

kacamata pelindung dan 1 (11,11%) dari 9 dosen menggunakan masker pada saat melakukan

pemeriksaan.

16

Page 17: BAB 1- Daftar Pustaka

Tabel 2. Tindakan kontrol infeksi terhadap pasien di RSGM Trisakti

Tindakan kontrol infeksi terhadap

pasien

Ya Tidak

N % n %

Menggunakan alat steril sewaktu

kerja (alat diagnostik)

57 100% 0 0%

Menggunakan alat steril sewaktu

kerja (alat kerja)

35 76,09% 11 23,91%

Penggunaan poly bib sekali pakai 57 100% 0 0%

Penggunaan 1 gelas kumur untuk 1

pasien

57 100% 0 0%

Penggunaan tip suction sekali pakai 57 100% 0 0%

Disinfeksi dental unit 0 0% 57 100%

Rata-rata 43,83 79,35% 11,33 20,65%

Tabel 2 menunjukan bahwa seluruh operator (100%) menggunakan alat diagnostik

steril sewaktu kerja, menggunakan poly bib sekali pakai, menggunakan 1 gelas kumur untuk

1 pasien, dan menggunakan tip suction sekali pakai. Tidak ada operator (0%) yang

melakukan disinfeksi pada dental unit.

Tabel 3. Tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti

Tindakan sterilisasi alat kedokteran

gigi

Ya Tidak

N % n %

Mencuci alat setelah kerja dengan air

yang mengalir dan sabun

57 100% 0 0%

Menggunakan pelindung tangan saat

melakukan pembersihan

4 7,02% 53 92,98%

Penggunaan cairan disifektan 2 3,5% 55 96,5%

Alat disterilisasi autoklaf (alat

diagnostik)

57 100% 0 0%

Alat disterilisasi autoklaf (alat kerja) 21 45,65% 25 54,35%

Rata-rata 28,2 51,23% 26,60 48,77%

17

Page 18: BAB 1- Daftar Pustaka

Tabel 3 menunjukan bahwa seluruh operator (100%) mencuci alat setelah kerja

dengan air yang mengalir dan sabun, serta mensterilisasi autoklaf alat diagnostik. Terdapat 2

operator (3,5%) yang menggunakan cairan disinfektan untuk mencuci alat.

Tabel 4. Manajemen kontrol infeksi di klinik RSGM Trisakti

Manajemen kontrol infeksiYa Tidak

N % n %

Tindakan kontrol infeksi

terhadap operator dan

pembimbing

22,4 46,10% 19,2 53,90%

Tindakan kontrol infeksi

terhadap pasien

43,83 79,35% 11,33 20,65%

Tindakan sterilisasi alat

kedokteran gigi

28,2 51,23% 26,60 48,77%

Rata-rata 31,48 58,89% 19,04 41,11%

Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat diketahui bahwa manajemen kontrol infeksi

di RSGM Trisakti telah terlaksana 58,89%.

18

Page 19: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada orang-orang yang bekerja dalam bidang kedokteran gigi terjadi peningkatan

risiko terkena infeksi setelah merawat pasien. Penyebaran penyakit infeksi terjadi karena

sebagian mikroorganisme patogen pada manusia terdapat pada sekresi mulut. Sebagai akibat

dari kontak secara terus menerus dengan mikroorganisme yang terdapat pada darah dan

saliva, insiden dari beberapa penyakit infeksi secara bermakna terjadi paling banyak pada

orang yang bekerja pada bidang kesehatan gigi bila dibandingkan dengan penduduk lainnya.

Hepatitis, Tuberkulosis, HIV merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi

dilingkungan dokter gigi.9

Pada penelitian ini, peneliti menggambarkan penerapan kontrol infeksi terhadap

operator (co-ass) dan pembimbing, kontrol infeksi terhadap pasien, dan tindakan sterilisasi

alat kedokteran gigi di RSGM Trisakti sebagai upaya untuk mencegah terjadinya infeksi

silang. Peneliti memfokuskan penerapan kontrol infeksi terhadap operator, pasien, dan para

pembimbing untuk pencegahan bahaya terjadinya infeksi silang selama prosedur perawatan,

dan selama pemeriksaan pasien. Jumlah operator (co-ass) pada penelitian ini sebanyak 57

sampel, asdos (asisten dosen) 28 sampel, dosen 9 sampel.

Pada hasil penelitian ini didapatkan jumlah operator sebanyak 57 operator (100%)

menggunakan pakaian pelindung saat melakukan perawatan. Baju pelindung harus dipakai

untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada pakaian operator. Aerosol dan percikan dapat

mengkontaminasi baju kerja operator dan asistennya.9 53 operator (92,98%) yang

menggunakan sarung tangan dan 46 operator (80,70%) yang menggunakan masker saat

melakukan perawatan. Hal ini menunjukkan bahwa operator telah mencegah terjadinya

infeksi silang karena masker yang menutupi mulut dan hidung dapat mengurangi masuknya

mikroorganisme infeksius yang terdapat pada aerosol ke dalam saluran nafas. Masker juga

dapat melindungi membran mukosa dari mulut dan hidung terhadap kontaminasi langsung. 9Operator yang menggunakan kacamata pelindung hanya 1 orang (1,75%). Kebanyakan

operator tidak menggunakan kacamata pelindung beralasan bahwa menggunakan kacamata

pelindung dapat menghambat saat bekerja karena penggunaan kacamata pelindung dapat

menganggu kenyamanan saat bekerja. Padahal, pada saat merawat pasien, partikel besar dari 19

Page 20: BAB 1- Daftar Pustaka

debri dan saliva dapat tersembur pada wajah operator. Partikel ini dapat mengandung

konsentrasi tinggi dari bakteri dan secara fisik dapat melukai mata. Untuk ini kacamata

pelindung harus dipakai, bukan hanya untuk mencegah terjadinya luka, tetapi juga untuk

mencegah terjadinya infeksi, terutama sewaktu melakukan tindakan skeling dan penambalan.9

Pada hasil penelitian terdapat 5 asdos (17,86%) yang menggunakan masker dan 17

asdos (60,71%) yang menggunakan sarung tangan saat melakukan pemeriksaan. Dari hasil

observasi, kebanyakan asdos ditemukan menggunakan sepasang sarung tangan untuk

memeriksa banyak pasien. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya infeksi silang yang

ditularkan dari satu pasien ke pasien lain. Dari hasil penelitian juga ditemukan masih banyak

asdos yang tidak menggunakan masker saat melakukan pemeriksaan, ini menunjukan bahwa

kesadaran akan kontrol infeksi terhadap pembimbing di RSGM Trisakti masih harus

ditingkatkan lagi. Sedangkan dosen yang menggunakan masker saat melakukan pemeriksaan

hanya 1 orang (11,11%) dan 2 orang (22,22%) yang menggunakan sarung tangan saat

melakukan pemeriksaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hanya sedikit pembimbing

yang menggunakan masker dan sarung tangan saat melakukan pemeriksaan. Namun hasil ini

juga dipengaruhi oleh pembimbing yang tidak semua melihat secara langsung tindakan yang

dilakukan oleh operator.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa operator yang menjaga kebersihan

unit selama kerja sebanyak 16 operator (28,07%) dan yang melakukan pembuangan limbah

kedokteran gigi yang tepat sebanyak 26 operator (45,62%). Dapat disimpulkan bahwa tingkat

kebersihan unit saat melakukan tindakan perawatan masih sangat rendah. Masih banyak

barang-barang yang terdapat pada meja unit yang semestinya tidak boleh diletakan pada meja

(gambar 1). Hal ini menunjukan masih kurang sadarnya operator akan kebersihan di sekitar

tempat perawatan. Dapat disimpulkan pula pembuangan limbah klinik oleh operator masih

kurang. Hal ini ditunjukan dengan adanya pembuangan yang tidak tepat pada sampah

infeksius dan non-infeksius (gambar 2) (gambar 3).

20

Page 21: BAB 1- Daftar Pustaka

Gambar 1. Menunjukkan botol minum, tas terletak diatas meja unit. Tas tidak berada dalam

loker.

Gambar 2. Pembuangan limbah infeksius dan non-infeksius yang tidak tepat. Pada tempat

sampah non-infeksius terdapat sarung tangan dan poly bib, sedangkan pada

tempat sampah infeksius ditemukan bungkusan makan.

21

Page 22: BAB 1- Daftar Pustaka

Gambar 3. Poly bib, tisu, cotton roll ditemukan pada tempat sampah non-infeksius.

Tabel 2 tentang tindakan kontrol infeksi terhadap pasien yang dilakukan oleh operator

menunjukan bahwa 100% operator menggunakan alat steril sewaktu kerja (alat diagnostik),

menggunakan poly bib sekali pakai, menggunakan 1 gelas kumur untuk 1 pasien, dan

menggunakan tip suction sekali pakai. Terdapat 35 operator (76,09%) yang menggunakan

alat steril sewaktu kerja (alat kerja). Pada observasi ini, alat kerja yang dikatakan steril adalah

alat yang dikeluarkan dari tray tertutup, alat yang kerja yang masih terbungkung plastik steril.

Alat-alat yang dikeluarkan dari kotak plastik, alat dari tray tanpa tutup, alat yang terjatuh

kemudian dipakai kembali dianggap tidak steril. Tidak ada satupun operator (0%) yang

melakukan disinfeksi dental unit yang mereka gunakan sebelum melakukan tindakan

perawatan. Jumlah mahasiswa kepaniteraan klinik yang tidak sebanding dengan jumlah

dental unit sehingga pergantian penggunaan dental unit dilakukan dengan cepat. Akibatnya

tindakan disinfeksi pada dental unit terabaikan. Hal ini juga menunjukan bahwa kurangnya

kepedulian terhadap dental unit yang digunakan dan kurangnya kesadaran terhadap penularan

infeksi melalui permukaan kerja.

Tabel 3 menunjukan tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi. Dari hasil penelitian

menunjukan seluruh operator (100%) mencuci alat yang terkontaminasi setelah kerja dengan

air yang mengalir dan sabun. Namun masih banyak operator yang tidak menggunakan

pelindung tangan (92,98%) saat melakukan pembersihan alat tersebut, dan tidak

22

Page 23: BAB 1- Daftar Pustaka

menggunakan cairan disinfektan (96,5%) (gambar 4) setelah mencucinya dengan air mengalir

dan sabun. Posisi cairan disinfektan yang kurang terjangkau oleh operator menyebabkan

banyak operator yang tidak melakukan disinfeksi alat. Selain itu, dari hasil wawancara

dengan operator menyatakan 1 tempat disinfektan tidak mungkin mencukupi untuk 26 dental

unit. Cairan disinfektan cepat menjadi kotor dan perawat tidak segera mengganti cairan

tersebut. Sehingga percuma jika dilakukan perendaman dengan cairan disinfektan yang kotor.

Kemudian, tidak tersedianya perlatan perlindungan diri saat melakukan pembersihan

peralatan dan kurangnya kesadaran operator mengakibatkan pencegahn infeksi saat

penanganan instrumen diabaikan oleh sebagian besar operator. Sterilisasi alat diagnostik

dengan autoklaf telah terlaksana 100%, sedangkan pada sterilisasi alat kerja dengan autoklaf

baru terlaksana 54,35%. Pada saat observasi, yang termasuk sterilisasi alat kerja dengan

autoklaf adalah alat-alat yang langsung disterilisasi autoklaf setelah dicuci dengan air

mengalir dan sabun.

Gambar 4. Cairan disinfektan yang jarang digunakan oleh operator karena letak disinfektan

yang kurang terjangkau berada diantara Unit No. 2 dan 3.

Tabel 4 menunjukan tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing yaitu

46,10%, tindakan kontrol infeksi terhadap pasien 79,35%, dan tindakan sterisasi alat

kedokteran gigi 51,23%. Berdasarkan hasil observasi tersebut, dihitung rata-rata, maka

diperoleh manajemen kontrol infeksi di RSGM Trisakti baru terlaksana 58,89%. Angka ini

menunjukan angka yang kecil mengingat resiko infeksi yang dihadapi. Hal ini menunjukan

23

Page 24: BAB 1- Daftar Pustaka

bahwa tenaga kesehatan gigi di RSGM Trisakti belum melaksanakan tindakan kontrol infeksi

secara maksimal.

Tindakan kontrol infeksi seharusnya dilakukan secara menyeluruh baik oleh penyedia

pelayanan kesehatan maupun oleh tenaga pelayanan kesehatan gigi. Kedua pihak ini harus

sama kuat untuk melakukan tindakan kontrol infeksi, karena jika penyedia pelayanan telah

menyediakan fasilitas, namun kurangnya kesadaran dan pengetahuan dari tenaga pelayanan

kesehatan gigi maka infeksi tidak dapat dikendalikan secara maksimal dan begitupun

sebaliknya.

24

Page 25: BAB 1- Daftar Pustaka

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian manajemen control infeksi yang dilakukan pada klinik

integrasi H, RSGM Universitas Trisakti pada tanggal 5-6 oktober 2015, maka

disimpulkan bahwa :

1. Tindakan kontrol infeksi terhadap operator dan pembimbing yang meliputi

pemakaian masker, sarung tangan, kacamata, jas pelindung juga kebersihan unit

termasuk pembuangan limbah masih tergolong sangat rendah, berdasarkan hasil

penelitian yakni 46,10% melakukan tindakan kontrol infeksi dan 53,90% tidak.

2. Tindakan kontrol infeksi terhadap pasien yang meliputi penggunaan alat steril,

polybib, suction dan disinfeksi dental unit tergolong cukup baik, berdasarkan hasil

penelitian yakni dengan rata-rata 79,35% dilakukan kontrol infeksi pada pasien dan

20,65% tidak.

3. Tindakan sterilisasi alat kedokteran gigi pada klinik masih tergolong rendah,

berdasarkan hasil penelitian rata-rata 51,23% melakukan tindakan sterilisasi dan

48,77% tidak.

4. Berdasarkan Penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat tindakan manajemen

control infeksi pada klinik RSGM Universitas Trisakti masih tergolong rendah dan

baru terlaksana 58,89%.

B. Saran

1. Diharapkan seluruh operator dan pembimbing lebih memperhatikan proteksi

terhadap diri sendiri dan pasien dan mengerti bahaya-bahaya yang dapat

ditimbulkan jika mengabaikannya.

2. Diharapkan seluruh operator dan pembimbing dapat meningkatkan lagi tindakan

kontrol infeksi yang hanya 58,89% menjadi 100%.

25

Page 26: BAB 1- Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Standar pencegahan dan pengendalian infeksi pelayanan

kesehatan gigi dan mulut di fasilitas pelayanan kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan

RI; 2012: 1-2

2. Mubin AH. Proyeksi penyakit infeksi pada abad XXI. Jurnal Medika Nusantara; 2005:

26(3): 88-97

3. Brataatmadja D. Aspek laboratorium pada infeksi virus hepatitis C. JKM 2003; 3:1.

[internet] Available from URL:

http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/43/pdf. Accessed

November 10,2015

4. Jinata C, Arifin E, Rachman G, dkk. Molecular Analysis of immune-escape of hepatitis B

virus local clinical samples. Jurnal microbiologi Indonesia 2012; 6:1:p.9-14 [internet]

Available from URL: http://jurnal.permi.or.id/index.php/mionline/article/viewFile/109/pdf.

Accessed November 10,2015

5. Kamila N, Siwiendrayanti A. Persepsi orang dengan HIV dan AIDS terhadap peran kelompok

dukungan sebaya. KEMAS; 2010:6:1: p.36-43. Available from URL:

http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas/article/viewFile/1750/1945. Accessed Juni 14,

2012

6. Kementrian Kesehatan RI. Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan

Kesehatan Gigi dan Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan

RI; 2012. Hlm. 12-14, 20.

7. Kohli A., Puttaiah R. Infections Control And Occupational Safety recommendations For Oral

Health Professional. Dental Council of India. pp. 2-3, 5-6, 9-12, 25-6, 27-8, 30-3, 40-8.

[internet] Available from

URL:http://www.osap.org/resource/resmgr/Docs/India_Infectioncontrolbook_2.pdf.

Accessed November 10,2015

8. Kohn W., Collins A., Cleveland J., Harte J., Eklund K., Malvitz D. Guidelines for Infection

Control In Dental Health-Care Settings-2003; pp. 7-12, 14-8, 20-5. [internet] Available from

URL: http://www.cdc.gov/mmwr/pdf/rr/rr5217.pdf . Accessed November 10,2015

9. Sunoto, RI. 2010. Tindakan pencegahan penularan penyakit infeksi pada praktek dokter gigi.

Bagian Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti. Jakarta, Indonesia.

10. Sugiyono. Statistik Nonparametrik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2001.

26