askep gangguan eliminasi
TRANSCRIPT
2.1 Sistem Tubuh yang Berperan dalam Eliminasi Urine
Sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal,
kandung kemih, dan uretra.
2.1.1 Ginjal
Ginjal merupakan organ retroperitoneal (di belakang selaput perut), terdiri atas
ginjal sebelah kanan dan kiri tulang punggung. Ginjal berperan sebagai pengatur komposisi
dan volume cairan dalam tubuh serta penyaring darah untuk dibuang dalam bentuk urine
sebagai zat sisa yang tidak diperlukan oleh tubuh dan menahannya agar tidak bercampur
dengan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Pada bagian ginjal terdapat nefron (berjumlah
kurang lebih satu juta) yang merupakan unit dari struktur ginjal. Melalui nefron, urine
disalurkan ke dalam bagian pelvis ginjal, kemudian disalurkan melalui ureter ke kandung
kemih.
2.1.2 Kandung Kemih
Kandung kemih (buli-buli—bladder) merupakan sebuah kantong yang terdiri atas
otot halus, berfungsi menampung urine. Dalam kandung kemih terdapat beberapa lapisan
jaringan otot yang paling panjang, memanjang ditengah dan melingkar yang disebut sebagai
detrusor, berfungsi untuk mengeluarkan urine bila terjadi kontraksi. Pada dasar kandung
kemih terdapat lapisan tengah jaringan otot berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut
sebagai otot lingkar yang berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih dan uretra,
sehingga uretra dapat menyalurkan urine dari kandung kemih ke luar tubuh.
Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan rangsangan motoris ke otot lingkar
bagian dalam diatur oleh sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot lingkar menjadi
kendor dan terjadi kontraksi sfingter bagian dalam sehingga urine tetap tinggal dalam
kandung kemih. Sistem parasimpatis menyalurkan rangsangan motoris kandung kemih dan
rangsangan penghalang ke bagian dalam otot lingkar. Rangsangan ini dapat menyebabkan
terjadinya kontraksi otot detrusor dan kendurnya sfingter.
2.1.3 Uretra
Uretra merupakan organ yang berfungsi menyalurkan urine ke bagian luar. Fungsi
uretra pada wanita berbeda dengan yang terdapat pada pria. Pada pria, uretra digunakan
sebagai tempat pengaliran urine dan sistem reproduksi, berukuran panjang 13,7-16,2 cm, dan
terdiri atas tiga bagian, yaitu prostat, selaput (membran) dan bagian yang berongga (ruang).
Pada wanita, uretra memiliki panjang 3,7-6,2 cm dan hanya berfungsi sebagai tempat
menyalurkan urine kebagian luar tubuh.
3
Saluran perkemihan dilapisi oleh membran mukosa, dimulai dari meatus uretra
hingga ginjal. Meskipun mikroorganisme secara normal tidak ada yang bisa melewati uretra
bagian bawah, membran mukosa ini, pada keadaan patologis, yang terus-menerus akan
menjadikannya media yang baik untuk pertumbuhan beberapa patogen.
2.2 Proses Berkemih
Berkemih (mictio, mycturition, voiding atau urination) adalah proses pengosongan
vesika urinaria (kandung kemih). Proses ini dimulai dengan terkumpulnya urine dalam vesika
urinaria yang merangsang saraf-saraf sensorik dalam dinding vesika urinaria (bagian
reseptor). Vesika urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila berisi kurang lebih 250-
450 cc (pada orang dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak).
Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat
menimbulkan rangsangan, melalui medulla spinalis dihantarkan ke pusat pengontrol
berkemih yang terdapat di korteks serebral, kemudian otak memberikan impuls/rangsangan
melalui medulla spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, serta terjadi koneksasi otot
detrusor dan relaksasi otot sfingter internal.
Komposisi urine :
1. Air (96%)
2. Larutan (4%)
a. Larutan Organik
Urea, amonia, kreatin, dan uric acid.
b. Larutan Anorganik
Natrium (sodium), klorida, kalium (potasium), sulfat, magnesium, dan fosfor. Natrium
klorida merupakan garam anorganik yang paling banyak.
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi Urine
2.1.1 Diet dan Asupan
Jumlah dan tipe makanan merupakan faktor utama yang memengaruhi output atau
jumlah urine. Protein dan natrium dapat menentukan jumlah urine yang dibentuk. Selain itu,
kopi juga dapat meningkatkan pembentukan urine.
2.1.2 Respon Keinginan Awal untuk Berkemih
Kebiasaan mengabaikan keinginan awal untuk berkemih dapat menyebabkan urine
banyak tertahan di dalam vesika urinaria sehingga memengaruhi ukuran vesika urinaria dan
jumlah pengeluaran urine.
2.1.3 Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi, dalam
kaitannya dengan ketersediaan fasilitas toilet.
2.1.4 Stres Psikologis
Meningkatnya stres dapat mengakibatkan seringnya frekuensi keinginan berkemih.
Hal ini karena meningkatnya sensitivitas untuk keinginan berkemih dan jumlah urine yang
diproduksi.
2.1.5 Tingkat Aktivitas
Eliminasi urine membutuhkan tonus otot vesika urinaria yang baik untuk fungsi
sfingter. Hilangnya tonus otot vesika urinaria menyebabkan kemampuan pengontrolan
berkemih menurun dan kemampuan tonus otot didapatkan dengan beraktivitas.
2.1.6 Tingkat Perkembangan
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan dapat memengaruhi pola berkemih. Hal
tersebut dapat ditemukan pada anak-anak, yang lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami kesulitan mengontrol buang air kecil. Namun dengan bertambahnya usia,
kemampuan untuk mengontrol buang air kecil meningkat.
2.1.7 Kondisi Penyakit
Kondisi penyakit tertentu, seperti diabetes melitus, dapat memengaruhi produksi
urine.
2.1.8 Sosiokultural
Budaya dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan eliminasi urine, seperti adanya
kultur masyarakat yang melarang untuk buang air kecil di tempat tertentu.
2.1.9 Kebiasaan Seseorang
Seseorang yang memiliki kebiasaan berkemih di toilet dapat mengalami kesulitan
untuk berkemih dengan melalui urinal atau pot urine bila dalam keadaan sakit.
2.1.10 Tonus Otot
Tonus otot yang memiliki peran penting dalan membantu proses berkemih adalah
kandung kemih, otot abdomen, dan pelvis. Ketiganya sangat berperan dalam kontraksi
pengontrolan pengeluaran urine.
2.1.11 Pembedahan
Efek pembedahan dapat menurunkan filtrasi glomerulus yang dapat menyebabkan
penurunan jumlah produksi urine karena dampak dari pemberian obat anestesi.
2.1.12 Pengobatan
Efek pengobatan menyebabkan peningkatan atau penurunan jumlah urine. Misalnya,
pemberian diuretik dapat meningkatkan jumlah urine, sedangkan pemberian obat
antikolinergik atau antihipertensi dapat menyebabkan retensi urine.
2.4 Pemeriksaan Diagnostik
Prosedur diagnostik yang berhubungan dengan tindakan pemeriksaan saluran kemih
seperti intravenouspyelogram (IVP), dengan membatasi jumlah asupan dapat memengaruhi
produksi urine. Kemudian, tindakan sistokopi dapat menimbulkan edema lokal pada uretra
yang dapat mengganggu pengeluaran urine.
2.5 Masalah Kebutuhan Eliminasi Urine
2.5.1 Retensi Urine
Merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat ketidakmampuan
kandung kemih untuk mengosongkan isinya, sehingga menyebabkan distensi dari vesika
urinaria. Atau, retensi urine dapat pula merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Kandungan urine normal dalam vesika
urinaria adalah sebesar 250-450 ml, dan sampai batas jumlah tersebut urine merangsang
refleks untuk berkemih. Dalam keadaan distensi, vesika urinaria dapat menampung sebanyak
3000-4000 ml urine.
Tanda-tanda klinis pada retensi :
Ketidaknyamanan daerah pubis
Distensi vesika urinaria
Ketidaksanggupan untuk berkemih
Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50 ml)
Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih
Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih
Penyebabnya yaitu :
Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis vesika urinaria
Trauma sumsum tulang belakang
Tekanan uretra yang tinggi disebabkan oleh otot detrusor yang lemah
Sfingter yang kuat
Sumbatan (striktur uretra dan pembesaran kelenjar prostat)
2.5.2 Inkontinensia Urine
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekskresi urine. Secara umum, penyebab dari inkontinensia yaitu :
proses penuaan, pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat
narkotik atau sedatif. Inkontinensia urine terdiri dari :
1. Inkontinensia Dorongan
Inkontinensia dorongan merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urine tanpa sadar, tetapi segera setelah merasa dorongan yang kuat untuk
berkemih.
Kemungkinan penyababnya yaitu :
Penurunan kapasitas kandung kemih
Iritasi pada reseptor regangan kandung kemih yang menyebabkan spasme (infeksi sluran
kemih)
Minum alkohol atau kafein
Peningkatan cairan
Peningkatan konsentrasi urine
Distensi kamdung kemih yang berlebihan
Tanda-tanda inkontinensia dorongan :
Sering miksi (miksi lebih dari 2 jam sekali)
Spasme kandung kemih
2. Inkontinensia Total
Inkontinensia total merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urine yang terus-menerus dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebabnya adalah :
Disfungsi neurologis
Kontraksi independen dan refleks detrusor karena pembedahan
Trauma atau penyakit yang memengaruhi saraf medula spinalis
Fistula
Neuropati
Tanda-tanda inkontinensia total :
Aliran konstan yang terjadi pada saat tidak diperkirakan
Tidak ada distensi kandung kemih
Nokturia
Pengobatan inkontinensia tidak berhasil
3. Inkontinensia Stres
Inkontinensia stres merupakan keadaan seseorang yang mengalami kehilangan urine
kurang dari 50 ml, terjadi dengan peningkatan tekanan abdomen.
Kemungkinan penyebanya adalah :
Perubahan degeneratif pada otot pelvis dan struktur penunjang yang berhubungan dengan
penuaan
Tekanan intra abdomen tinggi (obesitas)
Distensi kandung kemih
Otot pelvis dan struktur penunjang lemah
Tanda-tanda inkontinensia stres :
Adanya urine menetes dengan peningkatan tekanan abdomen
Adanya dorongan berkemih
Sering miksi (lebih dari 2 jam sekali)
4. Inkontinensia Refleks
Inkontinensia refleks merupakan keadaan dimana seseorang mengalami pengeluaran
urine yang tidak dirasakan, terjadi pada interval yang dapat diperkirakan bila volume
kandung kemih mencapai jumlah tertentu.
Kemungkinan penyebab :
Kerusakan neurologis (lesi medula spinalis)
Tanda-tanda inkontinensia refleks :
Tidak ada dorongan untuk berkemih
Merasa bahwa kandung kemih penuh
Kontraksi atau spasme kandung kemih tidak dihambat pada interval teratur
5. Inkontinensia Fungsional
Inkontinensia fungsional merupakan keadaan seseorang yang mengalami pengeluaran
urine secara tanpa disadari dan tidak dapat diperkirakan.
Kemungkinan penyebab :
Kerusakan neurologis (lesi medula spinalis)
Tanda-tanda inkontinensia fungsional :
Adanya dorongan untuk berkemih
Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urine
2.5.3 Enuresis
Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih (mengompol) yang
diakibatkan tidak mampu mengontrol sfingter eksterna. Enuresis biasanya terjadi pada anak
atau orang jompo, umumnya pada malam hari.
Faktor penyebab enuresis yaitu :
1. Kapasitas vesika urinaria lebih besar dari kondisi normal.
2. Anak-anak yang tidunya bersuara dan tanda-tanda dari indikasi keinginan berkemih tidak
diketahui yang mengakibatkan terlambatnya bangun tidur untuk ke kamar mandi.
3. Vesika urinaria peka rangsang dan seterusnya tidak dapat menampung urine dalam jumlah
besar.
4. Suasana emosional yang tidak menyenangkan di rumah (misalnya persaingan dengan saudara
kandung atau cekcok dengan orang tua).
5. Orang tua yang mempunyai pendapat bahwa anaknya akan mengatasi kebiasaannya tanpa
dibantu untuk mendidiknya.
6. Infeksi saluran kemih atau perubahan fisik atau neurologis sistem perkemihan.
7. Makanan yang banyak mengandung garam dan mineral, atau makanan pemedas.
8. Anak yang takut jalan gelap untuk ke kamar mandi.
2.5.4 Ureterotomi
Ureterotomi adalah tindakan operasi dengan jalan membuat stoma pada dinding
perut untuk drainase urine. Operasi ini dilakukan karena adanya penyakit atau disfungsi pada
kandung kemih.
2.6 Perubahan Pola Eliminasi Urine
Perubahan pola eliminasi urine merupakan keadaan seseorang yang mengalami
gangguan pola eliminasi urine, disebabkan oleh multipel (obstruksi anatomis), kerusakan
motorik sensorik, infeksi saluran kemih. Perubahan pola eliminasi terdiri atas :
2.6.1 Frekuensi
Frekuensi merupakan jumlah berkemih dalam sehari. Meningkatnya frekuensi
berkemih dikarenakan meningkatnya jumlah cairan yang masuk. Frekuensi yang tinggi tanpa
tekanan asupan cairan dapat diakibatkan oleh sistitis. Frekuensi yang tinggi dijumpai pada
keadaan stres atau hamil.
2.6.2 Urgensi
Urgensi adalah perasaan seseorang untuk berkemih, takut mengalami inkontinensia
jika tidak berkemih. Pada umunya, anak kecil memiliki kemampuan yang buruk dalam
mengontrol sfingter eksternal dan perasaan segera ingin berkemih biasanya terjadi pada
mereka.
2.6.3 Disuria
Disuria adalah rasa sakit dan kesulitan dalam berkemih. Hal ini sering ditemukan
pada penyakit infeksi saluran kemih (ISK), trauma, dan striktur uretra.
2.6.4 Poliuria
Poliuria merupakan produksi urine abnormal dalam jumlah besra oleh ginjal tanpa
adanya peningkatan asupan cairan. Hal ini biasanya ditemukan pada penderita diabetes
melitus, defisiensi anti diuretik hormon (ADH), dan penyakit ginjal kronik.
2.6.5 Urinaria Supresi
Urinaria supresi adalah berhentinya produksi urine secara mendadak. Secara normal,
urine diproduksi oleh ginjal secara terus-menerus pada kecepatan 60-120 ml/jam.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Nama : Tn. N
Umur : 41 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tingkat Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Suku : Madura
Status Perkawinan : Menikah
Tgl. MRS : 23 Januari 2009
Tgl. Pengkajian : 26 Januari 2009
Alamat : Pamekasan
No. RM : 184395
Diagnosa Medis : Batu ginjal sebelah kiri
2. Identitas Keluarga
Nama Keluarga : Ny. N
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Umur : 39 tahun
Hubungan : Isteri
Alamat : Pamekasan
3. Status Kesehatan Saat Ini
Keluhan utama : Klien mengeluh nyeri pinggang kiri hilang timbul. Nyeri muncul dari pinggal sebelah kiri,
menjalar ke depan sampai ke ujung penis.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 tahun yang lalu, klien mengeluh nyeri pinggang kiri hilang timbul, nyeri muncul dari
pinggang sebelah kiri dan menjalar ke depan sampai ke penis. Penyebab nyeri tidak
diketahui. Akhirnya pasien berobat ke mantri, setelah diberi obat (nama tidak tahu) keluhan
berkurang tetapi kadang muncul lagi. 1tahun yang lalu, klien mengalami nyeri pinggang yang
hebat, akhirnya oleh keluarga di bawah ke RSU. Setelah dilakukan pemeriksaan, klien
dinyatakan menderita kencing batu. Setelah pulang dari RSU, klien tidak kontrol, tetapi
berobat ke mantri lagi. 2 bulan yang lalu, klien mengalami serangan nyeri hebat lagi dan
dibawa ke RSU. Sehubungan dengan keterbatasan alat, maka klien dirujuk ke RSCM, untuk
penanganan selanjutnya
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien mengatakan tidak mempunyai penyakit hipertensi, jantung tidak diketahui, hepatitis
tidak pernah, kencing batu tidak pernah.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami sakit seperti pasien, TB,
DM, Hipertensi.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit sedang, kesadaran komposmentis, suara bicara jelas, tekanan darah 120/70
mmHg, suhu tubuh 36,7oC, pernapasan 20x/menit, nadi 80x/menit (regular), GCS 4 5 6.
b. Sistem integument
Tidak tampak ikterus, permukaan kulit tidak kering, tekstur tidak kasar, rambut hitam dan
bersih, tidak botak, perubahan warna kulit tidak ada, dekubitus tidak ada.
c. Kepala
Normo cephalic, simetris, nyeri kepala (+), benjolan tidak ada.
d. Muka
Simetris, odema (+), otot muka dan rahang kekuatan lemah, sianosis tidak ada.
e. Mata
Alis mata, kelopak mata normal, konjungtiva anemis, pupil isokor sclera ikterus, reflek
cahaya positif, tajam penglihatan normal, mata tidak cowong.
f. Telinga
Sekret, serumen, benda asing, dan membran timpani normal.
g. Hidung
Deformitas, mukosa, sekret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada.
h. Mulut dan faring
Bau mulut (+), stomatitis (-), gigi banyak yang hilang, lidah merah muda, kelainan lidah tidak
ada.
i. Leher
Simetris, kaku kuduk tidak ada, pembesaran vena jugularis.
j. Thoraks
Gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi
+/+ pada basal paru, wheezing -/-, vocal fremitus tidak teridentifikasi.
k. Jantung
Batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal kanan dan
ics 5 mid axilla kanan, perkusi dullness. Bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (-),
capillary refill 2-3 detik.
l. Abdomen
Bising usus (+), tidak ada benjolan, nyeri tekan tidak ada, perabaan massa tidak ada, hepar
tidak teraba, asites (-).
m. Inguinal-Genitalia-Anus
Nadi femoralis teraba, tidak ada hernia, pembengkakan pembuluh limfe tidak ada, tidak ada
hemoroid.
n. Ekstrimitas
Akral hangat, edema -/- , kekuatan 5/5, gerak yang tidak disadari -/-, atropi -/-, capillary refill
3 detik, abses tidak ada, ganggren (-), reflek patella N/N, achiles N/N.
Pembuluh darah perifer : radialis (+/+), femoralis (+/+), poplitea (+/+), tibialis posterior
(+/+), dorsalis pediss (+/+).
o. Tulang belakang
Tidak ada lordosis, kifosis atau scoliosis.
3.2 Analisa DataDATA KEMUNGKINAN
PENYEBABMASALAH
KEPERAWATANDSØ Klien mengeluh sakit pinggang tembus belakangØ Klien menyatakan nyeri tekan pada pinggang kananØ Klien menyatakan sakit saat miksi
Penekanan/distorsi jaringan setempat
Pelepasan mediator kimia
(bradikidin)
Merangsang nosireseptor
Implus ke thalamus
Cortex serebri
Nyeri
Nyeri
DSØ Klien menyatakan kurang minumØ Klien menyatakan sakit saat miksiDOØ Warna urine klien jernih dan kekuning-kuningan
Obstruksi saluran kemih
Pengeluaran urine inkomplit
Kapasitas vesika urinaria
Perubahan eliminasi urine
Perubahan Eliminasi Urine
DSØ Klien menyatakan tidak tahu tentang penyakitnya
Perubahan status kesehatan
Hospitalisasi
Kurang pengetahuan
Kurang informasi tentang
penyakit
Kurang pengetahuan
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Pre-Operasi
a. Nyeri b.d peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi ureteral.
b. Perubahan pola eliminasi b.d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral.
c. Risti kekurangan volume cairan b.d mual, muntah.
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurangnya
informasi.
2. Post-Operasi
a. Resiko kekurangan volume cairan b.d haemoragic atau hipovolemik
b. Nyeri b.d insisi bedah
c. Perubahan pola eliminasi b.d inverse perkemihan sementara (selang nefrostomi, kateter
uretra, intervensi pembedahan)
d. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d insisi operasi dan pemasangan kateter.
3.4 Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Pre-Operasi :
a. Nyeri (akut) b.d peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi uretral, trauma jaringan,
pembentukan edema, iskemia jaringan.
Tujuan : Klien dapat menunjukkan rasa nyeri berkurang/hilang setelah
dilakukan asuhan keperawatan.
TTV dalam batas normal
TD : 120/80 mmHg
N : 80-100 x/ menit
P : 12-20 x/ menit
S : 36- 37’5 o C
Ekspresi wajah tampak rileks
Skala nyeri 1-3
Klien dapat tidur dan istirahat
Rencana Tindakan :
1) Kaji dan catat lokasi, lamanya, intensitas nyeri (0-10) dan penyebarannya.
2) Jelaskan penyebab nyeri dan pentingnya melaporkan bila terjadi perubahan
kejadian/karakteristik nyeri.
3) Berikan tindakan nyaman contoh pijatan punggung, lingkungan istirahat.
4) Bantu atau dorong penggunaan napas dalam, bimbingan imajinasi.
5) Dorong/bantu dengan ambulasi sering sesuai indikasi dan tingkatkan pemasukan cairan
sekitar 3-4 liter/hari.
6) Perhatikan keluhan peningkatan/menetapnya nyeri abdomen.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi analgesik.
b. Perubahan pola eliminasi urin b.d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau
ureteral.
Tujuan : Klien dapat menunjukkan pola eliminasi normal setelah dilakukan
asuhan keperawatan
Aliran urine lancar
Klien bebas dari tanda-tanda obstruksi (hematuria)
Klien berkemih dengan jumlah normal dan pola biasanya.
Rencana Tindakan :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran dan karakteristik urin.
2) Tentukan pola berkemih normal pasien dan perhatikan variasi.
3) Dorong meningkatkan pemasukan cairan : 3 – 4 liter/hari.
4) Periksa semua urin, catat adanya keluaran batu.
5) Palpasi untuk distensi suprapubik dan perhatikan penurunan keluaran urin, adanya edema
periorbital/tergantung.
6) Observasi perubahan status mental, perilaku atau tingkat kesadaran.
Kolaborasi
Pemeriksaan laboratorium : elektrolit, BUN, kreatinin.o Ambil urine untuk kultur dan sensitivitas.
o Berikan obat sesuai indikasi, contoh : Asetazolamid (diamox), alopurinol (ziloprim).
o Hidroklorotiazid (esidrix, hidroiuril), klortalidon (higroton).
o Amonium Klorida; kalium atau natrium fosfat (sal hepatica).
o Agen antigout, contoh alupurinol (ziloprim).
o Antibiotik.
o Natrium bikarbonat.
o Asam askorbat.
o Pertahankan patensi kateter tak menetap (ureteral atau nefrostomi) bila digunakan.
o Irigasi asam atau larutan alkalin sesuai indikasi.
o Siapkan pasien/ bantu untuk procedure endoskopi, contoh:
Prosedur basket.o Stents uretral.
o Pielolitotomi terbuka atau perkutaneus, nefrolitotomi, ureterolitotomi.
c. Risiko tinggi terhadap kekurangan cairan tubuh b.d mual, muntah
Tujuan : Pasien dapat mempertahankan cairan yang adekuat setelah dilakukan asuhan keperawatan.
TTV dalam batas normal
TD : 120/80 mmHg
N : 80-100 x/menit
S : 36- 37 o C
P : 12-20 x/menit
Turgor kulit elastik
Membran mukosa lembab
Intake dan output seimbang
Rencana Tindakan :
1) Awasi pemasukan dan pengeluaran.
2) Catat insiden muntah, diare, perhatikan karakteristik dan frekuensi muntah dan diare, juga
kejadian yang menyertai atau mencetuskan.
3) Tingkatkan pemasukan cairan sampai 3-4 l/hari dalam toleransi jantung.
4) Awasi tanda-tanda vital, evaluasi nadi, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
5) Timbang berat badan tiap hari.
Kolaborasi
Awasi pemeriksaan laboratorium : Hb, Ht, elektrolit.o Berikan cairan IV.
o Berikan diet tepat, cairan jernih, makanan lembut sesuai toleransi.
o Berikan obat sesuai indikasi : antiemetic, contoh : proklorperazin (compazin).
d. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d kurangnya
informasi.
Tujuan : Klien dan keluarga dapat meningkatkan pengetahuan tentang penyakitnya setelah dilakukan
asuhan keperawatan.
- Klien mampu mengungkapkan pemahaman tentang proses penyakit.
- Klien mampu menghubungkan gejala dan faktor penyebab
- Klien mampu melakukan perubahan perilaku dan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Rencana Tindakan :
1) Kaji ulang proses penyakit dan harapan masa datang.
2) Tekankan pentingnya peningkatan pemasukan cairan, contoh 3-4 L/hari atau 6-8 L/hari.
Dorong klien untuk melaporkan mulut kering, dieresis berlebihan/ berkeringat dan untuk
meningkatkan pemasukan cairan baik bila haus atau tidak.
3) Kaji ulang program diet, sesuai individual.
4) Diet rendah purin contoh membatasi daging berlemak, kalkun, tumbuhan polong, gandum,
alkohol.
5) Diet rendah kalsium, membatasi susu, keju, sayur berdaun hijau, yogurt.
6) Diet rendah oksalat contoh pembatasan coklat minuman mengandung kafein, bit, bayam.
7) Diet rendah kalsium/fosfat.
8) Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas dan membaca semua label
produk/ kandungan dalam makanan.
9) Mendengar dengan aktif tentang program terapi/perubahan pola hidup.
10) Identifikasi tanda/gejala yang menentukan evaluasi medik. Contoh, nyeri berulang,
hematuria, oliguria
11) Tunjukan perawatan yang tepat terhadap insisi/ kateter bila ada
Post-Operasi
a. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan.
Tujuan : Klien dapat mempertahankan volume cairan yang adekuat setelah dilakukan asuhan
keperawatan HYD :
Tanda-tanda vital stabil
TD : 120/80 mmHg
N : 80-100 x/menit
P : 12-20 x/menit
S : 36-37,5oC
Membran mukosa lembab
Pengisian kapiler < 3 detik
Kulit hangat dan kering
Intake output seimbang
Tidak ada perdarahan melalui selang.
Rencana Tindakan :
1) Pantau dan catat intake output tiap 4 jam dan laporkan bila terjadi ketidakseimbangan.
2) Observasi tanda-tanda dehidrasi.
3) Observasi tanda-tanda vital dan turgor kulit, suhu tiap 4-8 jam.
4) Anjurkan pasien untuk merubah posisi atau kateter saat mengubah posisi.
5) Kaji balutan selang kateter terhadap perdarahan setiap jam dan lapor ke dokter.
b. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.
Tujuan : Klien dapat melaporkan nyeri terkontrol/hilang dan meningkatnya kenyamanan setelah
dilakukan asuhan keperawatan.
Pasien mampu bergerak dengan mudah
Pasien mampu menunjukkan ekspresi wajah dan tubuh rileks.
Rencana Tindakan :
1) Kaji intensitas, lokasi, pencetus, skala nyeri dan penghilang faktor-faktor nyeri.
2) Berikan tindakan kenyamanan non farmakologis, ajarkan teknik relaksasi, bantu pasien
memilih posisi yang nyaman.
3) Kaji insisi dari kemerahan, nyeri tekan, bengkak.
4) Anjurkan pasien menekan daerah insisi bila batuk.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk penghilang nyeri.
c. Perubahan pola eliminasi perkemihan berhubungan dengan kateter uretral atau tindakan
pembedahan.
Tujuan : Klien dapat menunjukan pola eliminasi normal setelah dilakukan asuhan
keperawatan.
Pasien dapat berkemih dengan baik
Warna urine kuning jernih
Klien dapat berkemih spontan bila kateter dilepas
Rencana Tindakan :
1) Kaji pola berkemih normal pada pasien.
2) Kaji keluhan disetensi kandung kemih tiap 4 jam.
3) Ukur intake dan output cairan.
4) Observasi warna urine, bau dan jumlah urine.
5) Anjurkan pasien minum air putih 2-3 L/hari kecuali bila ada kontra indikasi.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya kateter, insisi pembedahan.
Tujuan : Klien tidak menunjukan tanda-tanda infeksi setelah dilakukan asuhan keperawatan.
Suhu dalam batas normal
Insisi kering dan penyembuhan mulai terjadi
Drainage dari selang dan kateter kuning jernih/bersih
Rencana Tindakan :
1) Kaji dan laporkan tanda dan gejala adanya infeksi (demam, nyeri tekan, pus).
2) Ukur suhu tiap 4 jam.
3) Ganti balutan dengan sering, pembersihan dan pengeringan kulit sepanjang waktu
4) Anjurkan pasien menghindari/menyentuh insisi, balutan dan drainage.
5) Pertahankan teknik steril untuk mengganti balutan dan melakukan perawatan luka..
6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antibiotik.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari makalah ini kami dapat menarik kesimpulan bahwa kebutuhan eliminasi urine
merupakan bagian dari kebutuhan fisiologis dan bertujuan untuk mengeluarkan bahan sisa.
Dimana sistem tubuh yang berperan dalam terjadinya proses eliminasi urine adalah ginjal,
kandung kemih, dan uretra. Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine
yang dapat menimbulkan rangsangan, melalui medulla spinalis dihantarkan ke pusat
pengontrol berkemih yang terdapat di korteks serebral, kemudian otak memberikan
impuls/rangsangan melalui medulla spinalis ke neuromotoris di daerah sakral, serta terjadi
koneksasi otot detrusor dan relaksasi otot sfingter internal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi urine yaitu : diet dan asupan, respon
keinginan awal untuk berkemih, gaya hidup, stres psikologis, tingkat aktivitas, tingkat
perkembangan, kondisi penyakit, sosiokultural, kebiasaan seseorang, tonus otot, pembedahan,
dan pengobatan. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Penyakit diare sering disebut dengan Gastroenteritis, yang masih merupakan masalah masyarakat indonesia. Dan diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di negara berkembang.
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara 150-430 per seribu penduduk setahunnya. Dengan uapaya yang sekaranag telah dilaksanakan, angka kematian di RS dapat ditekan menjadi kurang dari 3%. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan ditemukan penderita diare sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya. Sebagian besar antara 70-80% dari penderita adalah anak dibawah umur 5 tahun (kurang lebih 40 juta kejadian). Sebagian dari penderita (1-2%) akan jatuh kedalam dehidrasi dan apabila tidak segera ditanggulangi dengan benar akan berakibat buruk. Untuk itu saya tertarik membuat Asuhan Keperawatan Kepada Ny.’’S’’ umur 23 tahun dengan Gastroenteritis di Balai Pengobatan “AS SYIFA” Desa Waru Kulon Pucuk Lamongan.
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Gastroenteritis atau diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari biasanya (Mansjoer Arief dkk, 1999)
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam, virus dan parasit yang patogen (Whaley dan wang’s, 1995)
2.2 Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu :
a) Faktor infeksi
Infeksi internal adalah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare meliputi :
1) Infeksi Bakteri : vibrio E.coli Salmonella, Shigella, Campyio bacter, Aeromonas
2) Infeksi virus : Enteriviru ( virus echo, coxsacle, poliomyelitis ), Adenovirus, Astrovirus, dll
3) Infeksi parasit : Cacing (ascaris, trichuris, oxyguris) Protozoa (entamoeba histoticia, trimonas hominis), Jamur (candida albacus)
Infeksi parental adalah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA), Bronco pneumonia, dan sebagainya.
b) Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat
2) Malabsorbsi Lema
c) Faktor Makanan
Makanan yang tidak bersih, basi, beracun dan alergi terhadap makanan.
2.3 Patogenesis
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare.
1) Gangguan asmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan mengakibatkan tekanan asmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkan sehingga timbul diare.
2) Gangguan sekresi
Akibat adanya rangsangan toksin pada dinding uterus sehingga akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3) Gangguan motilitas usus
Hiperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Bila peristaltik menurun akan menyebabkan bakteri tumbuh berlebihan, sehingga timbul diare juga.
2.4 Penggolongan Diare
2.4.1 Diare Akut
Adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat dalam beberapa jam sampai 7 atau 14 hari.
a) Penularan
1) Transmisi orang keorang melalui aerosolisasi
2) Tangan yang terkontaminasi (clostridium diffale)
b) Penyebab
1) Faktor penyebab yang mempengaruhi adalah penetrasi yang merusak sel mukosa
2) Faktor penjamu adalah kemampuan pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme
c) Manifestasi klinis
Pasien sering mengalami muntah, nyeri perut akibat diare akibat infeksi dan menyebabkan pasien merasa haus, lidah kering, turgor kulit menurun karena kekurangan cairan.
2.4.2 Diare Kronik
Adalah diare yang berlangsung lebih dari 3 minggu bagi orang dewasa dan 2 minggu bagi bayi dan anak.
2.5 Patofisiologi
Dipengaruhi dua hal pokok yaitu konsistensi feses dan motilitas usus gangguan proses mekanik dan enzimatik disertai gangguan mukosa akan mempengaruhi pertukaran air dan elektrolit sehingga mempengaruhi konsistensi feses yang terbentuk.
2.6 Komplikasi
Akibat diare karena kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi berbagai komplikasi sebagai berikut :
a) Dehidrasi
b) Renjatan hipofolomi
c) Hipokalemi
d) Hipoglikemi
e) Kejang, terjadi pada dehidrasi hipertonik
f) Malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare jika lama atau kronik)
2.7 Pengobatan
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula,air tajin, tepung beras dan sebagainya).
1) Obat anti sekres
a) Asetosal, dosis 25 mg/th,dengan dosis minimum 30 mg
b) Klorpromazin, dosis 0,5-1 mg/kg BB/hr
2) Obat spasmolitik
Seperti papaverin, ekstrak beladona, opinum loperamid, tidak untuk mengatasi diare akut lagi.
3) Antibiotik
Tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas, bula penyebab kolera, diberikan tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hr. Juga diberikan bila terdapat penyakipenyerta seperti : OMA, faringitis, bronkitis, atau bronkopneumonia ( Ngastiyah, 1997 : 149)
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medik
Dasar pengobatan diare adalah pemberian cairan, dietetik (cara pemberian makanan) dan obat-obatan.
Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dengan mempertahankan derajat dehidrasi dan keadaan umum.
1) Cairan per oral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan per oral beberapa cairan yang berisikan NaCL,NaHCO3,KCL dan Glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan/sedang, kadar Natrium 50-60 mEg/1 formula lengkap sering disebut oralit. Sebagai pengobatan sementara yang dibuat sendiri (formula tidak lengkap) hanya air gula dan garam (NaCL dan sukrosa) atau air tajin yang diberi garam dan gula.
2) Cairan parental
Pada umumnya digunakan cairan Ringel laktat (RL) yang pemberiannya bergantung pada berat ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai umur dan berat badannya (Ngastiyah, 1997 : 146)
BAB 3TINJAUAN KASUS
3.1 PENGKAJIAN
MRS : 02 Mei 2013 Jam : 18.00 WIB
No Ruangan : 5
Pengkajian tanggal : 03 Mei 2013 Jam : 16.00 WIB
A.Identitas Pasien
Nama pasien : Ny.” S “
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 23 Tahun
Alamat : Ds.Waru kulon pucuk
Agama : islam
Pekerjaa : Swasta
Suku bangsa : Jawa
Diagnosa medic : Gastroenteritis
Yang bertanggung jawab
Nama : Tn. “ F “
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Ds. Waru Kulon Pucuk
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Hub. Dengan pasien : Ayah
B. Riwayat Kesehatan
I. Keluhan Utama
Saat MRS : Demam, diare, disertai muntah
Saat pengkajian : Klien mengatakan bahwa badannya terasa lemas, demam, disertai muntah.
II. Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu mengatakatan badannya panas 2 hari yang lalu, BAB 5x/hari warna kuning kehijauan bercampur lendir, dan disertai dengan muntah 2x/hari, lalu dibawa ke Balai Pengobatan AS SYIFA Desa Waru Kulon Pucuk Lamongan.
III. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu mengatakan bahwa dahulu pernah sakit Diare 8x/hari tiap 1-2 jam sekali warna kuning, disertai muntah, badan panas dan tidak mau makan.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu mengatakan dalam anggota keluarga ada yang perna mengalami sakit diare seperti yang di alami klien.
V. Riwayat Sosial
Ibu mengatakan bahwa tinggal di lingkungan yang berdebu dan padat penduduknya dan ingin sekali cepat sembuh dan pulang kerumah.
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : klien lemah, panas, muntah dan diare
Kesadaran : composmentis
TTV : Tensi 80/50 mmHg, Nadi 112x/mnt, suhu 390 C,RR 22x/mnt
Pemeriksaan Head to toe
a. Kepala : Bentuk kepala bulat, warna rambut hitam, tidak ada benjolan,kulit kepala bersih.
b. Mata : Simetris, tidak ada sekret, konjungtiva merah muda, sklera putih, mata cowong.
c. Mulut : Mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis, lidah bersih.
d. Hidung : Simetris, tidak ada sekret, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak ada polip.
e. Telinga : Simetris, tidak ada benjolan, lubang telinga bersih, tidak ad serumen.
f. Leher : Tidak ada pembesaran kenjar tyroid, limphe, tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada kaku kuduk.
g. Dada
Inspeksi : dada simetris, bentuk bulat datar, pergerakan dinding dada simetris, tidak ada retraksi otot bantu pernapasan.
Palpasi : Tidak ada benjolan mencurigakan
Perkusi : paru-paru sonor, jantung dullnes
Auskultasi : Irama nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan.
h. Perut
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Peristaltik meningkat 40x/mnt
Palpasi : Turgor kulit tidak langsung kembali dalam 1 detik
Perkusi : Hipertimpan,perut kembung
Punggung : Tidak ada kelainan tulang belakang (kyfosis, lordosis, skoliosis) tidak ada nyeri gerak.
Genetalia : jenis kelamin perempuan, tidak odem, tidak ada kelainan, kulit perineal kemerahan
Anus : Tidak ada benjolan mencurigakan,kulit daerah anus kemerahan.
Ekstremitas : Lengan kiri terpasang infus, kedua kaki bergerak bebas, tidak ada odem.
D. Pengkajian Fungsional Gordon
1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Keluarga mengatakan kesehatan merupakan hal yang penting, jika ada keluarga yang sakit maka akan segera dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.
2. Pola nutrisi dan metabolik
Makan : Ny. “ S “ tidak nafsu makan, makan hanya 3 sendok, tapi sebelum sakit diare mau menghabiskan 1 porsi makan.
Minum : Ny. “ S “ minumnya tidak terlalu banyak.
3. Pola Eliminasi
BAK :5x/hari
BAB :5x/hari warna kuning kehijauan bercampur lendir
4. Pola aktifitas dan latihan
Pasien merasa lemah dan mengeluh kesakitan
5. Pola istirahat tidur
Pasien sering mengeluh tentang sulit untuk tidur
6. Pola persepsi sensoris dan kognitif
Pasien sudah mengenal dengan orang-orang di sekilingnya
7. Pola hubungan dengan orang lain
Pasien sudah saling mengenal orang-orang disekitarnya
8. Pola reproduksi / seksual
Klien berjenis kelamin perempuan, tidak mengalami gangguan genetalia
9. Pola persepsi diri dan konsep diri
Klien ingin sembuh dengan cepat
10. Pola mekanisme koping
Jika pasien tidak enak badan, maka akan mengeluh kesakitan
11. Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Keluarga semua beragama islam, keluarga yakin semuanya sudah diatur oleh Allah SWT.
Pemeriksaa Serologi/ Imunologi
Jenis pemeriksaan Hasil Pemeriksaan Nilai Normal
Tes widal
-O - (Negatif) Negatif
-H 1/80 Negatif
-PA - (Negatif) Negatif
-PB -(Negatif) Negatif
Therapy :
1. Infus RL 15 tpm (750 cc) : Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang.
2. Injeksi Novalgin 3x1 amp (metampiron 500 mg/ml) : Golongan Analgesik
3. Injeksi Ulsikur 3x1 amp (simetidina 200mg/ 2ml) : Antasida dan Ulkus
4. Injeksi Cefotaxime 3x1 amp (sefotaksim 500mg/ml) : Antibiotik.
3.2 ANALISA DATA
Nama pasien : Ny. “S” No. Ruangan : 5
Umur : 23 tahun
Data Masalah keperawatan Etiologi
DS : klien mengatan berak kuning kehijauan bercampur lendir
DO : Turgor kulit menurun, mulut kering, malas makan
Gangguan keseimbangan cairan
Output yang berlebihan
DS : Pasien mengatakan bahwa mengalami perut kembung
DO : setelah dilakukan perkusi
Gangguan rasa nyaman (nyeri)
Hiperperistaltik
diketahui klien distensi, klien tampak menahan kesakitan.
Peristaltik : 40x/ menit
Skala nyeri :
P : sebelum dan sesudah BAB
Q : nyeri seperti teremas
R : pada regio epigastrium
S : skala nyeri 5
T : sering
DS : klien mengatakan bahwa klien BAB berkali-kali
DO :klien tampak lemas, mata cowong.
Gangguan pola eliminasi BAB
Infeksi bakteri
3.3 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan keseimbangan cairan b/d output yang berlebihan
2. Gangguan rasa nyaman ( nyeri ) b/d hiperperistaltik
3. Gangguan eliminasi BAB : diare b/d infeksi bakteri
3.4 INTERVENSI
No.
DxTujuan dan KH Intervensi Rasional
1 Setelah Dilakukan Tindakan Keperawatan 2x24 Jam denganTujuan : volume cairan dan elektrolit dalam tubuh seimbang (kurangnya cairan dan elektrolit
1. pantau tanda kekurangan cairan
2. observasi/catat hasil intake output cairan
3. anjurkan klien untuk banyak
1. Menentukan intervensi selanjutnya
2. Mengetahui keseimbangan cairan
3. Mengurangi kehilangan cairan
4. Meningkatkan partisipasi dalam
terpenuhi)
Dengan KH :
Turgor kulit cepat kembali.
Mata kembali normal
Membran mukosa basah
Intake output seimbang
minum
4. jelaskan pada ibu tanda kekurangan cairan
5. berikan terapi sesuai advis :
Infus RL 15 tpm
perawatan
5. mengganti cairan yang keluar dan mengatasi diare
2 Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam dengan Tujuan : rasa nyaman terpenuhi, klien terbebas dari distensi abdomen dengan KH :
Klien tidak menyeringai kesakitan.
Klien mengungkapkan verbal (-)
Wajah rileks
Skala nyeri 0-3
1. Teliti keluhan nyeri, cacat intensitasnya (dengan skala0-10).
2. Anjurkan klien untuk menghindari allergen
3. Lakukan kompres hangat pada daerah perut
4. Kolaborasi
Berikan obat sesuai indikasi
Steroid oral, IV, & inhalasi
Analgesik : injeksi novalgin 3x1 amp (500mg/ml)
Antasida dan ulkus : injeksi ulsikur 3x1 amp (200mg/ 2ml)
1. Identifikasi karakteristik nyeri & factor yang berhubungan merupakan suatu hal yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok & untuk mengevaluasi ke efektifan dari terapi yang diberikan.
2. Mengurangi bertambah beratnya penyakit.
3. Dengan kompres hangat, distensi abdomen akan mengalami relaksasi, pada kasus peradangan akut/peritonitis akan menyebabkan penyebaran infeksi.
4. Kortikosteroid untuk mencegah reaksi alergi.
5. Analgesik untuk mengurangi nyeri.
3 Setelah Dilakukan Tindakan Keperawatan 2x24 Jam denganTujuan : Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari dengan KH :
Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : < 40 x/mnt )
Leukosit : 4000 – 11.000
Hitung jenis leukosit : 1-
1. Mengobservasi TTV
2. Jelaskan pada pasien tentang penyebab dari diarenya
3. Pantau leukosit setiap hari
4. Kaji pola eliminasi klien setiap hari
5. Kolaborasi
- Konsul ahli gizi untuk memberikan diet sesuai kebutuhan klien.
- Antibiotik: cefotaxime 3x1 amp
1. kehilangan cairan yang aktif secar terus menerus akan mempengaruhi TTV
Klien dapat mengetahui penyebab dari diarenya.
Berguna untuk mengetahui penyembuhan infeksi
Untuk mengetahui konsistensi dan frekuensi BAB
Metode makan dan kebutuhan kalori didasarkan pada kebutuhan.
3/2-6/50-70/20-80/2-8 (500mg/ml)
3.5 IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama pasien : Ny. “ S “ No.ruangan : 5
Umur : 23 tahun
TGL/
JAM
NO.
DxIMPLEMENTASI RESPON PS TTD
Jumat, 03/5/13
16.00
16.15
16.25
1,2,3
1
1,2
Mengkaji keluhan pasien
Mengobservasi TTV setiap 8 jam
Menentukan tanda-tanda kekurangan cairan
Memasang infus RL 15 tpm
Memberikan obat:
Injeksi Novalgin 1 amp
Injeksi Ulsikur 1 amp
Injeksi Cefotaxime 1 amp
Menganjurkan untuk klien banyak minum
DS : Klien mengatakan bahwa BAB berkali-kali, muntah, dan perut kembung.
DO : Turgor kulit menurun, mulut kering, mata cowong, dan menahan kesakitan
TD = 80/50 mmHg, S = 390 C, N= 112, tampak lemah ,RR 22x/mnt
DS : klien mengatakan akan minum yang banyak
DO :Turgor kulit berkurang, mukosa mulut kering,disertai muntah.
DS : expesi wajah klien sedikit rileks
DO : keluarga kooperatif,dan akan memberikan banyak minum agar klien tidak dehidrasi
DS : -
DO : Ny. “ S “ keluarga kooperatif
21.00
Sabtu,04/5/13
06.30
07.30
08.50
11.30
1,2
1,3
2,3
1,3
1,2
Menganjurkan klien untuk istirahat dan melakukan kompres hangat pada daerah perut
Mengobservasi TTV
Mengganti infus RL 15 tpm
Mengkaji pola eliminasi klien
Memberikan obat:
Injeksi Novalgin 1 amp
Injeksi Ulsikur 1 amp
Injeksi Cefotaxime 1 amp
Observasi/catat hasil intake output cairan
Menganjurkan makan dalam porsi sedikit tapi sering.
Menyuruh pasien banyak minum agar tidak dehidrasi
Jelaskan pada keluarga tanda-tanda kekurangan cairan
Memberikan obat:
Injeksi Dexa 1 amp
Injeksi Ulsikur 1 amp
Injeksi Cefotaxime 1 amp
DS : -
DO : TD = 100/70, S = 380, N = 100x/mnt, RR = 20x/mnt
DS : -
DO : Keluarga kooperatif
DS : Klien mengatakan akan makan dalam porsi kecil tapi sering.
DO : Keluarga kooperatif
DS : pasien mengatakan akan minum sesering mungkin
DO : Ny. “S” keluarga kooperatif
DS : -
DO : Ny. “ S “ keluarga kooperatif
DS : -
DO : TD = 100/70, S = 370, N = 100x/mnt, RR = 22x/mnt
DS : klien mengatakan akan makan
14.00
Minggu, 05/5/13
06.00
06.30
08.00
08.30
3,2
1,2,3
3
1,3
2,3
3
Mengopservasi TTV
Mengganti cairan infus + drip Neurobio
Menganjurkan makan dalam porsi dikit tapi sering
Mengopservasi tanda tanda dehidrasi
Memberikan obat
Injeksi Ulsikur 1 amp
Injeksi Cefotaxime 1 amp
Observasi leukosit
dalam porsi kecil tapi sering.
DO : keluarga kooperatif
DS : -
DO : Turgor kulis sedikit membaik , mukusa mulut lembab, muntah berkurang,diare berkurang.
DS :pasien mengatakan nyeri saat disuntik
DO : Obat masuk tidak ada tanda alergi
DS : -
DO : Leukosit : 8600/mm3
Hitung jenis leukosit : 1-3/2-6/50-70/20-80/2-8
10.00
3.6 EVALUASI KEPERAWATAN
No.
DxHari/tgl Catatan Perkembangan TTD
1.
2.
3.
Jumat,03/5/2013 S : Kien mengatakan bahwa masih merasa lemas
O : - Klien masih tampak lemas
Aktifitas klien masih dibantu keluarganya
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi 1-4 dilanjutkan
S : Klien mengatakan bahwa perutnya masih tersa sakit
O : - Kien tampak menyeringai kesaklitan
Klien terus memegangi perutnya
Skala nyeri 3
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi 1,3,4,5 dan 6 dilanjutkan
S : klien mengatakan bahwa klien BAB berkali-kali,sudah mulai berkurang 2x/hari, masih merasa mual tapi tidak sampai muntah.
O : - klien BAB 2x/hari
- Turgor kulit kembali < 1 detik
- Mata tidak cowong
- Klien merasa mual sehingga tidak menghabiskan porsi makannya
- Klien tidak muntah
A : Masalah gangguan pola eliminasi BAB teratasi sebagian
P : Pertahankan intervensi 1-4 dilanjutkan
Kaji intak output cairan setiap 8 jam
Pantau tanda-tanda dehidrasi
1.
2.
3.
Sabtu,04/5/2013 S : Klien mengatakan bahwa merasa lebih sehat
O : - Klien tampak lebih sehat
Klien lebih mandiri dalam melakukan aktifitasnya
Turgor kulit < 1 detik kembali
Mata tidak cowong
Mukosa mulut tidak kering
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
S : Kien mengatakan bahwa sakit perutnya sedikit berkurang
O : Klien menyeringai menahan sakit, skala nyeri 2
A : Masalah tertasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
S : Klien mengatakan bahwa BAB sudah lembek 1-2/hari mual sudah berkurang, tidak muntah lagi.
O : - Klien BAB 1-2x/hari, konsistensi sedikit lunak
Klien menghabiskan makanannya
Klien tidak muntah
Turgor kulit kembali < 1 detik
Mata tidak cowong
Mukosa mulut tidak kering
Klien minum 1000cc/hari
A : Masalah teratasi sebagaian
P : Intervensi 1-4 dilanjutkan
1.
2.
Minggu, 05/5/2013
S: Klien mengatakan bahwa perutnya sudah tidak sakit
O : - Skala nyeri 0
Klien tidak menyeringai kesakitan
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
S : Klien mengatakan bahwa sudah tidak merasa mual dan muntah, konsistensi BAB lunak.
O : - Klien BAB dengan konsistensi lunak
Klien tidak merasa mual dan muntah
Klien menghabiskan porsi makannya dan minum kurang lebih 1500cc/hari
Jumlah leukosit normal
A : Masalah teratasi
P : Intervensi dihentikan
BAB 4PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Setelah melakukan Asuhan keperawatan pada Ny. “S” dengan Gastroenteritis didapatkan kesimpulan bahwa dalam pengkajian telah dilakukan anamnesa yang meliputi data subjektif dan obyektif. Dari pengkajian tersebut diambil suatu diagnosa dan masalah berdasarkan data yang menunjang untuk diambil suatu diagnosa. Setelah melakukan pengkajian pada Ny. “S “ didapatkan diagnosa bahwa Ny. “S “ degan Gastroenteritis dengan masalah gangguan keseimbangan cairan dan resiko kerusakan integritas kulit.
Intervensi yang diberikan disesuaikan dengan ketentuan yang ada, sedangkan dalam penerapannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Evaluasi dilakukan setelah implementasi dilakukan. Dalam evaluasi Ny. “S “ menunjukkan suatu kemajuan yaitu frekwensi BAB mulai berkurang, dehidrasi dapat ditangani, resiko kerusakan integritas kulit yang lebih parah tidak terjadi.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai keadaan dimana membengkaknya jaringan dinding dubur (anus) yang mengandung pembuluh darah balik (vena), sehingga saluran cerna seseorang yang mengalami pengerasan feses dan kesulitan untuk melakukan buang air besar. Semua orang dapat mengalami konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik (gerakan semacam memompa pada usus, red) lebih lambat dan kemungkinan sebab lain yakni penggunaan obat-obatan seperti aspirin, antihistamin, diuretik, obat penenang dan lain-lain. Kebanyakan terjadi jika makan makananan yang kurang berserat, kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih dari tiga hari berturut-turut.
Konstipasi merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut. Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4% sampai 30% pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata wanita lebih sering mengeluh konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34% wanita dan pria 26%. Di Inggris ditemukan 30%
penduduk di atas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita konstipasi dan lebih banyak pada wanita dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, wanita dan orang usia 65 tahun ke atas.
Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik.
Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur. Jika penderita konstipasi ini mengalami kesulitan mengunyah, misalnya karena ompong, caranya haluskan sayur atau buah tersebut dengan diblender.
A. Pengertian
Berikut pengertian konstipasi dari beberapa sumber sebagai berikut:
Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang defekasi yang mungkin karena feses keras atau kering sehingga terjadi kebiasaaan defekasi yang tidak teratur, faktor psikogenik, kurang aktifitas, asupan cairan yang tidak adekuat dan abnormalitas usus. (Paath, E.F. 2004) .
Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah penurunan frekunsi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas usus halus melambat, masa feses lebih lama terpapar pada dinding usus dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses. Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri pada rektum. (Potter & Perry, 2005).
Normalnya pola defekasi yang biasanya setiap 2 sampai 3 hari sekali tanpa ada kesulitan, nyeri, atau perdarahan dapat dianggap normal.
B. Tipe Konstipasi
Berdasarkan International Workshop on Constipation, adalah sebagai berikut:
1. Konstipasi Fungsional
Kriteria:
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan:
a. Mengedan keras 25% dari BAB
b. Feses yang keras 25% dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada muara rektum
Kriteria:
a. Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang lambat dari feses, sedangkan penundaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ditandai adanya perasaan sumbatan pada anus.
C. Etiologi
Penyebab umum konstipasi yang dikutip dari Potter dan Perry, 2005 adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan defekasi yang tidak teratur dan mengabaikan keinginan untuk defekasi dapat menyebabkan konstipasi.
2. Klien yang mengonsumsi diet rendah serat dalam bentuk hewani (misalnya daging, produk-produk susu, telur) dan karbohidrat murni (makanan penutup yang berat) sering mengalami masalah konstipasi, karena bergerak lebih lambat didalam saluran cerna. Asupan cairan yang rendah juga memperlambat peristaltik.
3. Tirah baring yang panjang atau kurangnya olahraga yang teratur menyebabkan konstipasi.
4. Pemakaian laksatif yag berat menyebabkan hilangnya reflex defekasi normal. Selain itu, kolon bagian bawah yang dikosongkan dengan sempurna, memerlukan waktu untuk diisi kembali oleh masa feses.
5. Obat penenang, opiat, antikolinergik, zat besi (zat besi mempunyai efek menciutkan dan kerja yang lebih secara lokal pada mukosa usus untuk menyebabkan konstipasi. Zat besi juga mempunyai efek mengiritasi dan dapat menyebabkan diare pada sebagian orang), diuretik, antasid dalam kalsium atau aluminium, dan obat-obatan antiparkinson dapat menyebabkan konstipasi.
6. Lansia mengalami perlambatan peristaltic, kehilangan elastisitas otot abdomen, dan penurunan sekresi mukosa usus. Lansia sering mengonsumsi makanan rendah serat.
7. Konstipasi juga dapat disebabkan oleh kelainan saluran GI (gastrointestinal), seperti obstruksi usus, ileus paralitik, dan divertikulitus.
8. Kondisi neurologis yang menghambat implus saraf ke kolon (misalnya cedera pada medula spinalis, tumor) dapat menyebabkan konstipasi.
9. Penyakit-penyakit organik, seperti hipotirodisme, hipokalsemia, atau hypokalemia dapat menyebabkan konstipasi.
Ada juga penyebab yang lain dari sumber lain, yaitu:
10. Peningkatan stres psikologi. Emosi yang kuat diperkirakan menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan sistem syaraf simpatis. Stres juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi hipertonik atau iritasi colon ). Yang berhubungan dengan konstipasi tipe ini adalah kram pada abdominal, meningkatnya jumlah mukus dan periode bertukar-tukarnya antara diare dan konstipasi.
11. Umur
Otot semakin melemah dan melemahnya tonus spinkter yang terjadi pada orang tua turut berperan menyebabkan konstipasi.
D. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal (Dorongan untuk defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap kerja, antara lain: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi otot sfingter external dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen). Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai 14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon
sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus.
Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Selain itu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum, sebagai berikut:
1. Diskesia Rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum
2. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
E. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala akan berbeda antara seseorang dengan seseorang yang lain, karena pola makan, hormon, gaya hidup dan bentuk usus besar setiap orang berbeda-beda, tetapi biasanya tanda dan gejala yang umum ditemukan pada sebagian besar atau kadang-kadang beberapa penderitanya adalah sebagai berikut:
1. Perut terasa begah, penuh, dan bahkan terasa kaku karena tumpukan tinja (jika tinja sudah tertumpuk sekitar 1 minggu atau lebih, perut penderita dapat terlihat seperti sedang hamil).
2. Tinja menjadi lebih keras, panas, dan berwarna lebih gelap daripada biasanya, dan jumlahnya lebih sedikit daripada biasanya (bahkan dapat berbentuk bulat-bulat kecil bila sudah parah).
3. Pada saat buang air besar tinja sulit dikeluarkan atau dibuang, kadang-kadang harus mengejan ataupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat mengeluarkan tinja.
4. Terdengar bunyi-bunyian dalam perut.
5. Bagian anus terasa penuh, dan seperti terganjal sesuatu disertai sakit akibat bergesekan dengan tinja yang panas dan keras.
6. Frekuensi buang angin meningkat disertai bau yang lebih busuk daripada biasanya (jika kram perutnya parah, bahkan penderita akan kesulitan atau sama sekali tidak bisa buang
7. Menurunnya frekuensi buang air besar, dan meningkatnya waktu transit buang air besar (biasanya buang air besar menjadi 3 hari sekali atau lebih).
8. Terkadang mengalami mual bahkan muntah jika sudah parah.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
1. Konsistensi feses yang keras,
2. Mengejan dengan keras saat BAB,
3. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB, dan
4. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
F. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Namun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan yang berpotensi mempengaruhi fungsi usus besar.
Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran batang nadi. Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja.
Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus. Sedang pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar.
Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor risiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur.
Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan kolonoskopi. Bagi sebagian orang konstipasi hanya sekadar mengganggu. Tapi, bagi sebagian kecil dapat menimbulkan komplikasi serius. Tinja dapat mengeras sekeras batu di poros usus (70%), usus besar (20%), dan pangkal usus besar (10%). Hal ini menyebabkan kesakitan dan meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan berpotensi menimbulkan akibat yang fatal. Pada konstipasi kronis kadang-kadang terjadi demam sampai 39,5oC , delirium (kebingungan dan penurunan kesadaran), perut tegang, bunyi usus melemah, penyimpangan irama jantung, pernapasan cepat karena peregangan sekat rongga badan. Pemadatan dan pengerasan tinja berat di muara usus besar bisa menekan kandung kemih menyebabkan retensi urine bahkan gagal ginjal serta hilangnya kendali otot lingkar dubur, sehingga keluar tinja tak terkontrol. Sering mengejan berlebihan menyebabkan turunnya poros usus.
G. Penatalaksanaan
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi:
1. Pengobatan non-farmakologis
a. Latihan usus besar:
Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini.
b. Diet:
Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
c. Olahraga:
Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada otot perut.
2. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
c. Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol, laktulose, gliserin
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil, Fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
H. Pencegahan
Berikut beberapa pencegahan untuk mencegah terjadinya konstipasi:
1. Jangan jajan di sembarang tempat.
2. Hindari makanan yang kandungan lemak dan gulanya tinggi.
3. Minum air putih minimal 1,5 sampai 2 liter air (kira-kira 8 gelas) sehari dan cairan lainnya setiap hari.
4. Olahraga, seperti jalan kaki (jogging) bisa dilakukan. Minimal 10-15 menit untuk olahraga ringan, dan minimal 2 jam untuk olahraga yang lebih berat.
5. Biasakan buang air besar secara teratur dan jangan suka menahan buang air besar.
6. Konsumsi makanan yang mengandung serat secukupnya, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran.
7. Tidur minimal 4 jam sehari.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN KONSTIPASI
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata Pasien
b. Keluhan Utama
c. Riwayat Kesehatan
d. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dibuat untuk mendapatkan informasi tentang awitan dan durasi konstipasi, pola emliminasi saat ini dan masa lalu, serta harapan pasien tentang elininasi defekasi. Informasi gaya hidup harus dikaji, termasuk latihan dan tingkat aktifitas, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, serta stress. Riwayat medis dan bedah masa lalu, terapi obat-obatan saat ini, dan penggunaan laksatif serta enema adalah penting. Pasien harus ditanya tentang adanya tekanan rektal atau rasa penuh, nyeri abdomen, mengejan berlebihan saat defekasi, flatulens, atau diare encer.
e. Riwayat / Keadaan Psikososial
f. Pemeriksaan Fisik
g. Pola Kebiasaan Sehari-hari
h. Analisa Data
Pengkajian objektif mencakup inspeksi feses terhadap warna, bau, konsistensi, ukuran, bentuk, dan komponen. Abdomen diauskultasi terhadap adanya bising usus dan karakternya. Distensi abdomen diperhatikan. Area peritonial diinspeksi terhadap adanya hemoroid, fisura, dan iritasi kulit.
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
B. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Konstipasi
Contoh kasus:
Seorang kakek bernama Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya karena kurang nafsu makan. Setelah dikaji inspeksi terdapat pembesaran abdomen dan saat dipalpasi ada impaksi feses.
1. Pengkajian
Nama : Evart
Tanggal lahir : 5 November 1945
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal MRS : 30 November 2010
Alamat : Surabaya
Diagnosa Medis : Konstipasi
Sumber Informasi : Klien, pemeriksaan fisik, kolonoskopi
Keluhan utama : nyeri pada perut, seminggu belum BAB
Riwayat penyakit sekarang :
Evart yang berumur 65 tahun mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Kakek mengatakan bahwa sudah seminggu belum BAB. Biasanya kakek bisa BAB tiga hari sekali. Sejak saat itu kakek tidak pernah menghabiskan porsi makan sehari-harinya. Selain itu, kakek mengaku mudah lelah untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Riwayat kesehatan keluarga : -
Review of system :
a. B1 (Breath) : RR meningkat
b. B2 (Blood) : denyut jantung meningkat, TD meningkat
c. B3 (Brain) : nyeri pada abdomen bawah
d. B4 (Bladder) : -
e. B5 (Bowel) : nafsu makan turun, BB turun
f. B6 (Bone) : -
Hasil pemeriksaan fisik umum :
a. keadaan umum : lemah
b. TTV : tekanan darah 130/95 mmHg, nadi : 90x/mnt, RR 23x/mnt
Pemeriksaan fisik abdomen
a. Inspeksi : pembesaran abdomen
b. Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
c. Perkusi : redup
d. Auskultasi : bising usus tidak terdengar
Analisa Data:
No Data Etiologi Masalah
1. Data subjektif :
Seminggu tidak BAB, kebiasaan BAB tiga kali sehari
Data objektif :
Inspeksi : pembesaran abdomen.
Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses.
Perkusi : redup.
Auskultasi : bising usus tidak terdengar
Pola BAB tidak teratur
Eliminasi feses tidak lancar
konstipasi
Konstipasi
2. Data subjektif:
Klien tidak nafsu makan
Data objektif:
Bising usus tidak terdengar
Sulit BAB
Perut terasa begah
Nafsu
makan menurun
Menurunnya intake makanan
Nutrisi kurang dari kebutuhan
3. Data subjektif:
Keluhan nyeri dari pasien
Data objektif:
Perubahan nafsu makan
konsistensi tinja yang keras
sulit keluar
Akumulasi di kolon
Nyeri abdomen
Nyeri Akut
2. Diagnosa
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan.
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen.
3. Intervensi dan Rasional
a. Diagnosa : Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
Tujuan : pasien dapat defekasi dengan teratur (setiap hari)
Kriteria hasil :
1) Defekasi dapat dilakukan satu kali sehari.
2) Konsistensi feses lembut
3) Eliminasi feses tanpa perlu mengejan berlebihan
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Tentukan pola defekasi bagi klien dan latih klien untuk menjalankannya
b. Atur waktu yang tepat untuk defekasi klien seperti sesudah makan
c. Berikan cakupan nutrisi berserat sesuai dengan indikasi
d. Berikan cairan jika tidak kontraindikasi 2-3 liter per hari
2. Kolaborasi:
Pemberian laksatif atau enema sesuai indikasi
a. Untuk mengembalikan keteraturan pola defekasi klien
b. Untuk memfasilitasi refleks defekasi
c. Nutrisi serat tinggi untuk melancarkan eliminasi fekal
d. Untuk melunakkan eliminasi feses
Untuk melunakkan feses
b. Diagnosa : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu makan
Tujuan : menunjukkan status gizi baik
Kriteria Hasil :
1) Toleransi terhadap diet yang dibutuhkan
2) Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal
3) Nilai laboratorium dalam batas normal
4) Melaporkan keadekuatan tingkat energi
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Buat perencanaan makan dengan pasien untuk dimasukkan ke dalam jadwal makan.
b. Dukung anggota keluarga untuk membawa makanan kesukaan pasien dari rumah.
c. Tawarkan makanan porsi besar disiang hari ketika nafsu makan tinggi
d. Pastikan diet memenuhi kebutuhan tubuh sesuai indikasi.
e. Pastikan pola diet yang pasien yang disukai atau tidak disukai.
f. Pantau masukan dan pengeluaran dan berat badan secara periodik.
g. Kaji turgor kulit pasien
a. Menjaga pola makan pasien sehingga pasien makan secara teratur
b. Pasien merasa nyaman dengan makanan yang dibawa dari rumah dan dapat meningkatkan nafsu makan pasien.
c. Dengan pemberian porsi yang besar dapat menjaga keadekuatan nutrisi yang masuk.
d. Tinggi karbohidrat, protein, dan kalori diperlukan atau dibutuhkan selama perawatan.
e. Untuk mendukung peningkatan nafsu makan pasien
f. Mengetahui keseimbangan intake dan pengeluaran asuapan makanan.
g. Sebagai data penunjang adanya perubahan nutrisi yang kurang dari kebutuhan
1) Untuk dapat mengetahui tingkat
2. Kolaborasi:
a. Observasi:
1) Pantau nilai laboratorium, seperti Hb, albumin, dan kadar glukosa darah
2) Ajarkan metode untuk perencanaan makan
b. Health Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga tentang makanan yang bergizi dan tidak mahal
kekurangan kandungan Hb, albumin, dan glukosa dalam darah.
2) Klien terbiasa makan dengan terencana dan teratur.
Menjaga keadekuatan asupan nutrisi yang dibutuhkan.
c. Diagnosa : Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
Tujuan : menunjukkan nyeri telah berkurang
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai kenyamanan
2) Mempertahankan tingkat nyeri pada skala kecil
3) Melaporkan kesehatan fisik dan psikologisi
4) Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk mencegah nyeri
5) Menggunakan tindakan mengurangi nyeri dengan analgesik dan non-analgesik secara tepat
Intervensi Rasional
1. Mandiri:
a. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas dari nyeri dengan melakukan penggalihan melalui televisi atau radio.
b. Perhatikan bahwa lansia mengalami peningkatan sensitifitas terhadap efek analgesik opiat
c. Perhatikan kemungkinan interaksi obat – obat dan obat penyakit pada lansia
a. Klien dapat mengalihkan perhatian dari nyeri
b. Hati-hati dalam pemberian anlgesik opiate
2. Kolaborasi
a. Observasi
1) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidak nyaman pada skala 0 – 10
2) Gunakan lembar alur nyeri
3) Lakukan pengkajian nyeri yang komperhensif
b. Health education
1) Instruksikan pasien untuk meminformasikan pada perawat jika pengurang nyeri kurang tercapai
2) Berikan informasi tetang nyeri
c. Hati-hati dalam pemberian obat-obatan pada lansia
a. Observasi
1) Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan klien
2) Mengetahui karakteristik nyeri
3) Agar mngetahui nyeri secara spesifik
b. Health Education
1) Perawat dapat melakukan tindakan yang tepat dalam mengatasi nyeri klien
2) Agar pasien tidak merasa cemas
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar) dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses kurang, atau fesesnya keras dan kering. Konstipasi bisa terjadi di mana saja, dapat terjadi saat bepergian, misalnya karena jijik dengan WC-nya, bingung caranya buang air besar seperti sewaktu naik pesawat dan kendaraan umum lainnya. Penyebab konstipasi bisa karena faktor sistemik, efek samping obat, faktor neurogenik saraf sentral atau saraf perifer. Bisa juga karena faktor
kelainan organ di kolon seperti obstruksi organik atau fungsi otot kolon yang tidak normal atau kelainan pada rektum, anak dan dasar pelvis dan dapat disebabkan faktor idiopatik kronik. Mencegah konstipasi secara umum ternyata tidaklah sulit. Kuncinya adalah mengonsumsi serat yang cukup. Serat yang paling mudah diperoleh adalah pada buah dan sayur.
B. Saran
Saran dari kami tim penulis adalah sebaiknya bagi penderita kuncinya adalah dengan mengonsumsi makanan yang berserat.
: