analisis dampak lingkungan tambang
TRANSCRIPT
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi
kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, manusia tidak
dapat hidup tanpa adanya sumberdaya alam. Ketergantungan manusia akan
sumberdaya alam tersebut berpengaruh terhadap pola pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Di Indonesia, sebagai negara sedang
berkembang peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi mengakibatkan
semakin meningkatnya jumlah permintaan akan pemenuhan kebutuhan hidup dari
sumberdaya alam, sehingga berkorelasi terhadap semakin eksploitatifnya
pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini nyata dari adanya peningkatan
jumlah permintaan pasokan akan sumberdaya alam mineral bagi pemenuhan
kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar, namun seringkali tidak dapat
terpenuhi karena terbatasnya persediaan sumberdaya alam mineral yang ada.
Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya pengelolaan
dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral.
Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral
menjadi faktor penentu keberlanjutan dari lingkungan hidup dan aktivitas
kehidupan manusia ke depannya. Di Indonesia, pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya alam sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan pada masanya.
Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan
dampak yang sangat berbeda dibandingkan di era sentralisasi. Pemerintah daerah
yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam
di daerahnya, dapat mengalihkan haknya dengan memberikan izin kepada pihak
swasta atau industri yang bergerak di bidang pertambangan untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam mineral.
Menurut Smelter sebagaimana dikutip Budimanta (2007) selama ini
kegiatan pembangunan dan pembuatan kebijakan harus berasal dari pusat
(sentralistik), akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah sejak
era reformasi diberikan ruang untuk mengelola sumberdaya alam secara otonom. 2
Kondisi ini oleh pemerintah daerah dimanfaatkan untuk mengeluarkan kebijakan
mengenai pertambangan daerah, sedangkan di tingkat kota dimanfaatkan untuk
mengembangkan industri barang mineral.
Pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri pertambangan dilakukan
karena dipandang dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih
tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan Negara,
serta terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat di
luar lokasi penambangan. Selain itu, karena pihak industri sebagai pihak yang
memiliki modal berupa teknologi yang tinggi diharapkan mampu mengelola
sumberdaya mineral secara baik dan efisien. Namun pada pelaksanaannya,
pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri tidak selamanya berjalan seperti
apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan tersebut
merupakan aktivitas pengerukan terhadap sumberdaya alam yang terkandung di
tempat terbuka maupun bawah tanah, sedangkan pemanfaatan dengan penggunaan
teknologinya seringkali berlebihan dalam mengeruk sumberdaya mineral yang ada
sehingga pengelolaan sumberdaya alam tambang oleh industri pertambangan
memberikan dampak terhadap perubahan ekosistem lokal.
Perubahan pada ekosistem lokal meliputi perubahan pada tataran sosial,
ekonomi maupun lingkungan. Perubahan yang terjadi pada tataran sosial ekonomi
diantaranya terjadinya perubahan sistem mata pencaharian masyarakat lokal yang
awalnya bergerak di sektor pertanian sebagai sektor utama masyarakat, berubah
menjadi masyarakat non pertanian seperti buruh pabrik, pedagang maupun
kegiatan non pertanian lainnya. Hal ini disebabkan menurunnya produktivitas
lahan akibat rusaknya lahan pertanian yang ada dan berdampak terhadap
penurunan pendapatan masyarakat. Sementara itu pada tataran lingkungan,
terjadinya kerusakan ekologi seperti pencemaran air dan udara akibat limbah
industri, serta kekeringan air yang kemudian berimplikasi pada penurunan
produktivitas lahan pertanian.
Menurut Noor (2006) lubang-lubang bekas penambangan serta pembukaan
lapisan tanah yang subur pada saat penambangan dapat mengakibatkan daerah
yang semula subur menjadi daerah yang tandus dan akan memerlukan waktu yang
sangat lama untuk kembali ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi 3
lingkungan akan terjadi pada semua tahap dalam aktivitas pertambangan, mulai
dari tahap prosesing mineral serta semua aktivitas yang menyertainya dalam
seluruh tahap tersebut seperti penggunaan peralatan survei, bahan peledak, alatalat berat, limbah mineral padat yang tidak dibutuhkan.
Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input)
menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri
dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan
melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang
ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrikpabrik dan mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B-3). Bahan pencemar
keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air
dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahkan buangan yang
keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai
sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan
pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya (Kristanto,
2004).
Proses dalam menghasilkan produk sumberdaya mineral mempunyai
konstribusi yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan hal ini telah dikritisi
oleh para pemerhati lingkungan. Di satu sisi untuk menutup suatu tambang atau
industri pertambangan yang menghasilkan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh
manusia adalah sesuatu hal yang tidak bijaksana. Di sisi lain, dampak yang
ditimbulkan akibat pertumbuhan industri pertambangan harus disikapi dengan
cara mencegah agar dampak yang ditimbulkannya dapat diminimalkan (Noor,
2006).
Desa Cipinang sebagai salah satu desa bagian Kecamatan Rumpin
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang
memiliki potensi sumberdaya alam tambang jenis bahan galian golongan C
dengan tekstur tanah pertanian. Adanya aktivitas pertambangan di daerah tersebut
mengakibatkan perubahan struktur sosial yang pada awalnya bergerak di sektor
pertanian menjadi non pertanian. Banyaknya jumlah industri pertambangan
mengakibatkan semakin tingginya aktivitas blasting sehingga menyebabkan
perubahan struktur sosial ekonomi dan ekologi. Berbagai perubahan yang terjadi 4
pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi tersebut merupakan dampak aktivitas
pertambangan yang penting untuk dilakukan pengkajian.
1.2 Rumusan Masalah
Era otonomi daerah, yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dimana
pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk
memanfaatkan segala potensi atas sumberdaya alam yang ada di daerahnya
masing-masing. Kebijakan yang timbul dari adanya era desentralisasi ini
memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD
melalui pemanfaatan atas segala potensi sumberdaya alam yang ada. Salah
satunya adalah dengan mengalihkan hak izin pengelolaan sumberdaya alam
tambang kepada badan usaha.
Adanya pengalihan hak atas izin usaha tambang ini menjadikan badan usaha
sebagai pihak yang memiliki kuasa, sehingga dapat leluasa untuk mengelola dan
memanfaatkan sumberdaya alam tambang yang ada. Badan usaha menjadi pihak
yang mendominasi atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.
Dominasi ini pada akhirnya dapat menimbulkan marjinalisasi bagi kaum
minoritas terutama dalam hal akses atas sumberdaya alam dan ketidaksetaraan
posisi atau status atas kepemilikan lahan yang terdapat di sekitar wilayah
pertambangan.
Fakta dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah di
Indonesia, sebagaimana penelitian Antoro (2010) di Kabupaten Kulon Progo
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah yang potensial dengan
penambangan pasir, sama halnya dengan penelitian Qomariah (2002) di
Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menyatakan bahwa mayoritas posisi
marjinal di sekitar wilayah pertambangan ditempati oleh masyarakat lokal. Hal ini
dikarenakan masyarakat lokal merupakan pihak yang tidak memiliki kuasa dan
tidak memiliki akses atas sumberdaya alam. Selain itu, masyarakat lokal sebagai
pihak termarjinalkan menjadi pihak penerima berbagai dampak negatif yang
ditimbulkan oleh adanya aktivitas pertambangan. Dampak negatif yang
ditimbulkan pun tidak hanya terjadi pada tataran sosial dan ekonomi saja
melainkan juga pada tataran ekologi. Sehingga perubahan sosial, ekonomi dan 5
ekologi yang ada mendorong terjadinya perubahan kualitas hidup masyarakat
lokal dan ketidakadilan pada kualitas lingkungan hidup.
Berdasarkan paparan mengenai aktivitas pertambangan di atas, maka
rumusan masalah yang akan dikaji dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah:
1. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi
terhadap masyarakat lokal?
2. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi
terhadap masyarakat lokal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini
adalah untuk:
1. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi
terhadap masyarakat lokal.
2. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi
terhadap masyarakat lokal.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya:
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran
dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan akibat aktivitas
pertambangan dan mempelajari kondisi masyarakat sekitar pertambangan.
2. Bagi kalangan akademik, untuk menambah literatur dalam mengkaji
masalah perubahan sosio-ekonomi dan sosio-ekologi di pedesaan akibat
adanya aktivitas pertambangan bahan galian golongan C.
3. Bagi masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan untuk menambah pengetahuan mengenai situasi dan kondisi
sosio-ekonomi dan sosio-ekologi.
4. Bagi pemerintah, sebagai acuan dalam melakukan kebijakan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang bahan galian golongan C.
5. Bagi perusahaan, sebagai acuan dalam mengelola dan memanfaatkan
sumberdaya alam tambang yang berkelanjutan.6
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian Ekologi
Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan
oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi
berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang
berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumahtangga
makhluk hidup (Kristanto, 2004).
Menurut Silalahi (2001) hal yang paling penting dari ekologi ialah konsep
ekosistem. Ekosistem ialah suatu ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua
komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh
komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) di suatu tempat yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan oleh
adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara
komponen dalam ekosistem itu. Ketentuan ekosistem menunjukkan adanya suatu
keseimbangan tertentu dari ekosistem. Keseimbangan ini bukan statis melainkan
dinamis, karena berubah-ubah. Perubahan ini dapat besar atau kecil, dilakukan
baik oleh manusia maupun secara alami.
Sama halnya dengan Adiwibowo (2007) yang menyatakan bahwa dalam
ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan
lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic)
sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada
berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro
organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk
satu kesatuan sistem kehidupan.
2.1.2 Pengertian Pertambangan
Industri pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral
diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak diperlukan. Dalam 7
industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis
biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-mineral
dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Mineral-mineral
yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan
mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi
lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan
sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang
diperlukan oleh umat manusia di dunia (Noor, 2006).
Salim (2007) menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri atas usaha
penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan.
1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi
umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan
maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tandatanda adanya bahan galian pada umumnya.
2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk
menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian.
3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi
mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur
yang terdapat pada bahan galian.
5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil
pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat
pengolahan/pemurnian.
6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil
pengolahan/pemurnian bahan galian.
Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua
macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang
ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun
Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara
manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan
menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan lebih 8
banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat
merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.
Di Indonesia, segala bentuk kegiatan industri pada sektor pertambangan
diharapkan mampu menyumbang pada peningkatan ekonomi dan pembangunan
negara. Kegiatan eksploitasi oleh industri pertambangan terus dilakukan demi
pengejaran pembangunan melalui penghasilan devisa negara. Hal ini dilakukan
seiring dengan meningkatnya jumlah permintaan akan sumberdaya alam mineral
akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat
pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang dari
Tahun 1996-2008 di Indonesia.
Tahun Batu Bara
(ton)
Bauksit
(ton)
Nikel
(ton)
Emas
(ton)
Perak
(ton)
Granit
(ton)
Bijih Besi
(ton)
1996 50,332,047 841,976 3,426,867 83,564 255,404 4,827,058 425,101
1997 55,982,040 808,749 2,829,936 86,928 249,392 8,824,088 516,403
1998 58,504,660 1,055,647 2,736,640 123,862 383,191 9,662,649 509,978
1999 62,108,239 1,116,323 2,798,449 127,768 361,377 8,720,155 502,198
2000 67,105,675 1,150,776 2,434,585 109,612 310,430 5,941,370 420,418
2001 71,072,961 1,237,006 2,473,825 148,528 333,561 3,976,274 440,648
2002 105,539,301 1,283,485 2,120,582 140,246 281,903 3,975,434 190,946
2003 113,525,813 1,262,705 2,499,728 138,475 272,050 3,938,915 245,911
2004 128,479,707 1,331,519 2,105,957 86,855 255,053 4,035,040 79,635
2005 149,665,233 1,441,899 3,790,896 142,894 326,993 4,302,849 87,940
2006 162,294,657 2,117,630 3,869,883 138,992 270,624 4,514,654 84,954
2007 188,663,068 1 251 147 7 112 870 117 854 268 967 1 793 440 84 371
2008 178 930 188 1,152,322 6,571,764 64,390 226,051 2,050,000 445,525,932
Sumber: Data Badan Pusat Statistika, 20099
Tabel 1 menjelaskan jumlah produksi tambang dari tahun ke tahun,
berdasarkan potensi sumberdaya mineral yang ada di Indonesia. Peningkatan
jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah permintaan
sumberdaya mineral. Hal ini mendorong semakin dilakukannya eksploitasi
sumberdaya alam tambang yang ada.
2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan
Izin usaha dan atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis
untuk melakukan izin usaha dan atau kegiatan (UU No. 32 Tahun 2009).
Perizinan usaha pertambangan ini meliputi pelimpahan Kuasa Pertambangan dan
Kontrak Karya (KK). Dengan adanya otonomi daerah, perizinan pengelolaan
sumberdaya alam tambang saat ini berada di bawah wewenang pemerintah daerah.
Salim (2007) menyatakan bahwa apabila usaha pertambangan dilaksanakan
oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada
kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa
pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan, dan
kontrak production sharing.
Menurut Salim (2007) perusahaan tambang yang diberikan izin untuk
mengusahakan bahan tambang terdiri dari:
1. Instansi pemerintah yang di tunjuk oleh menteri;
2. Perusahaan negara;
3. Perusahaan daerah;
4. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah;
5. Koperasi;
6. Badan atau perseorangan swasta;
7. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan
koperasi dan atau badan/ perorangan swasta,
8. Pertambangan rakyat,
Kuasa pertambangan merupakan kuasa yang diberikan oleh pemerintah
sebagai pihak yang berwenang kepada pihak-pihak yang akan melakukan usaha
penambangan. Pemerintah yang berwenang dalam penerbitan kuasa pertambangan
ini adalah Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri. Kuasa pertambangan ini juga
meliputi kuasa pertambangan dalam penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, 10
pengolahan/pemurnian dan pengangkutan atau penjualan. Sedangkan kontrak
karya adalah perjanjian yang berisi kesepakatan bersama antara pemerintah
dengan pihak usaha penambangan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya ini di atur dalam
Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967.
Menurut Salim (2007) setiap perusahaan pertambangan yang ingin
memperoleh kontrak karya, harus mengajukan permohonan kontrak karya dalam
rangka penanaman modal asing (PMA)/PMDN kepada pejabat yang berwenang.
Pejabat berwenang menandatangi kontrak karya adalah Bupati/Walikota,
Gubernur dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Penandatanganan kontrak
karya oleh pejabat ini disesuaikan dengan kewenangannya. Apabila wilayah
kontrak karya yang di mohon berada dalam wilayah kebupaten, pejabat yang
menandatangi kontrak karya itu adalah Bupati/walikota, tetapi apabila wilayah
pertambangan yang di mohon berada dalam dua kebupaten/kota, sedangkan kedua
kabupaten/kota itu tidak menandatangani kerja sama, pejabat yang berwenang
untuk menandatangani kontrak karya itu adalah Gubernur. Sementara itu, apabila
wilayah pertambangan yang di mohon berada pada dua daerah provinsi, pejabat
yang berwenang menandatangani adalah Menteri Energi Sumber Daya Mineral
dengan pemohon.
Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan
yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. jangka waktu berlakunya kegiatan
eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang
(Salim, 2007).
2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang
Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi
batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral
bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai
dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor, 2006).
Menurut Ngadiran et al (2002) izin usaha pertambangan meliputi izin untuk
memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian
tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis
sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi indonesia. Dari sekian 11
jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) bahan
galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara,
batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam,
lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya
(antara lain kobalt, nikel dan timah); (2) bahan galian vital golongan B, terdiri
atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan,
khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium,
vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit,
belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa,
yodium, dan zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah
uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di
berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan dengan
merubah status komoditas tambang berdasarkan penggolongannya, dapat memicu
terhadap semakin bebasnya akses bagi setiap orang untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam tambang yang ada. Hal ini sebagaimana terjadi di daerah
Bangka, dimana sebelum adanya otonomi daerah timah dijadikan sebagai
komoditas vital yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Namun setelah
adanya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan
(Menperindag) Nomor 146/MPP/4/1999 mengenai otonomi daerah, yang
menjadikan timah sebagai komoditas strategis, pengelolaannya tidak lagi
dilakukan oleh negara sehingga semua pihak seperti swasta, BUMN, maupun
masyarakat dapat leluasa untuk melakukan eksploitasi terhadap timah yang ada.
Hal ini juga menimbulkan terhadap semakin meningkatnya jumlah Tambang
Inkonvensional (TI) di daerah Bangka.
Berdasarkan tipe bahan galian, sumberdaya mineral dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bahan Galian Vital; (2) Bahan Galian Strategis;
dan (3) Bahan Galian Industri. Penggolongan jenis mineral yang terdiri atas bahan
galian vital, strategis, dan industri merupakan bentuk lain dari bahan galian
golongan A, golongan B, dan golongan C. Pada bahan galian vital disebut juga
bahan galian golongan A. Bahan galian strategis merupakan bahan galian 12
golongan B, sedangkan bahan galian industri merupakan bahan galian golongan
C. Hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral
Bahan Galian Jenis Mineral Kegunaan
Vital
Uranium (U)
Thorium (Th)
Minyak/Gas Bumi
Emas (Au)
Perak (Ag)
Energi nuklir, senjata pemusnah, dll
Energi nuklir, senjata pemusnah, dll
Energi listrik, industri, petrokimia,
BBM, dll
Perhiasan, industri elektronik, dll
Perhiasan, industri elektronika, dll
Strategis
Besi (Fe)
Tembaga (Cu)
Nikel (Ni)
Timah (Sn)
Seng (Zn)
Aluminium (Al)
Muscovite
Industri baja, konstruksi,
manufaktur, dll
Kabel listrik, industri, manufaktur,
dll
Industri baja, metalurgi, manufaktur,
dll
Industri, manufaktur, dll
Industri, manufaktur, bangunan, dll
Industri manufaktur, dll
Industri electronics, dll
Industri
Batu gamping
Batu lempung
Batu pasir
Batuan beku
Gypsum
Industri cement
Bahan bangunan, batu bara, genteng,
dll
Bahan bangunan
Bahan bangunan
Campuran cement, bahan bangunan,
dll
Sumber: Noor , 2006
Jenis sumberdaya alam tambang yang terdapat pada Tabel 2 di atas
merupakan jenis sumberdaya alam tambang yang tersebar di beberapa wilayah 13
Indonesia. Pemanfaatan terhadap berbagai jenis sumberdaya alam tambang
tersebut terus dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber energi pemenuhan
kebutuhan hidup manusia.
2.1.5 Definisi Masyarakat Desa
Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan
bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa dicirikan sebagai
masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki
satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai
masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan
yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih.
Menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip Sudarmanto (1996) struktur
masyarakat pedesaan, khususnya di jawa dapat digolongkan menjadi tiga
golongan, yaitu:
1. Golongan pertama adalah mereka yang memiliki tanah cukup besar untuk
kehidupan yang cukup bagi keluarganya.
2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang
luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat
tergantung pada kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan
faktor pasar.
3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia
maupun di Asia, pada umumnya ialah mereka yang sama sekali tidak
mempunyai tanah.
2.1.6 Pengertian Konflik
Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang
disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan
sumberdaya (Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik dapat berwujud konflik tertutup
(latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent)
dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya
berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali
salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling
potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana
pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, 14
kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri
belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihakpihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,
mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan
buntu. Menurut level permasalahannya, konflik dibedakan menjadi konflik
vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal yaitu apabila pihak yang di lawan
oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal
terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik, diperlukan adanya
pemetaan konflik. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) pemetaan konflik
dilakukan dengan mengelompokkan konflik ke dalam ruang-ruang konflik
menggunakan kriteria-kriteria di bawah ini:
1. Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang
dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat
informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,
atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata
cara pengkajian yang berbeda.
2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.
3. Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi, atau tingkah laku
negatif yang berulang (repetitif).
4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, entah itu
hanya dirasakan atau memang ada.
5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih
memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak
terhadap pihak lain.
2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi 15
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan (UU No. 32 Tahun 2009).
Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) pola pembangunan berkelanjutan
mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan
bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti
sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan
produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan
keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batasan
yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai
sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh
aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan
didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia
yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan
akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa
mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan
kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2009).
Tiga pilar pembangunan berkelanjutan sejak deklarasi Stockholm 1972
menuju Rio de Janeiro, sampai dengan Rio + 10 di Johanesburg 2002 ditekankan
perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
sumberdaya buatan dalam setiap pembangunan nasional, dengan pendekatan
kependudukan, pembangunan, dan lingkungan sampai dengan integrasi aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan (Sugandhy dan Hakim, 2009).
Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) setiap keputusan pembangunan harus
memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, di
samping pengentasan kemiskinan dan pola konsumsi sehingga hasil pembangunan
benar-benar akan memberikan hasil yang baik bagi peningkatan kualitas hidup
manusia. Pertimbangan lingkungan yang menyangkut ekonomi lingkungan, tata
ruang, AMDAL dan social cost harus diinternalisasi dalam setiap pembuatan
keputusan pembangunan untuk dapat mewujudkan hal ini, keterpaduan antar 16
sektor, antar wilayah dan daerah dengan melibatkan semua stakeholders, menjadi
suatu keharusan sehingga diperlukan koordinasi yang mantap.
2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan
Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan
antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan
kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang
diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena
yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan
dampak negatif. Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para
pemilik atau pengusul proyek.
Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak negatifnya
saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot analisis yang sama.
Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak adalah setiap perubahan yang
terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan
karena adanya proyek, karena proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja,
sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada,
tetapi dampaknya besar. Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja dampak
proyek terhadap lingkungan, melainkan juga dampak lingkungan terhadap proyek
(Kristanto, 2004).
Menurut Salim (2007) setiap kegiatan pembangunan di bidang
pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi
nasional;
2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ;
3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;
4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;
5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;
6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan
7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.
Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:
1. Kehancuran lingkungan hidup;17
2. Penderitaan masyarakat adat;
3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;
4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;
5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan
6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah memacu
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk mendapatkan
lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang baru. Konsekuensi dari meningkatnya
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha
dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006).
2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi
Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pertambangan pada
aspek sosial ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif
akibat aktivitas pertambangan diantaranya adalah terjadinya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan pekerjaan, dan peningkatan
ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan sedangkan dampak
negatif dari adanya aktivitas pertambangan adalah terjadinya penurunan
pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena
menurunnya kualitas lahan yang digunakan.
Hasil penelitian Budimanta (2007) menunjukkan bahwa aktivitas
penambangan di daerah Bangka Belitung memberikan berbagai dampak positif
dan negatif pada kehidupan warga. Dampak positif akibat aktivitas penambangan
diantaranya adalah meningkatnya penghasilan devisa bagi Negara, terciptanya
lapangan pekerjaan. Selain itu, adanya perbaikan infrastruktur seperti akses jalan
ke Penagan dari Pangkal Pinang menjadi semakin mudah dan kondisi jalanan
semakin baik. Waktu tempuh menjadi semakin efisien dibandingkan sebelumnya
yang membutuhkan waktu hingga dua hari bagi para pejalan kaki. Pada aspek
ekonomi, pendapatan yang diperoleh warga menjadi semakin meningkat. Hal ini
terlihat dari adanya kemampuan warga untuk mendirikan rumah permanen yang
terbuat dari bahan bata dan semen, dibandingkan kondisi sebelumnya yang hanya
terbuat dari kayu penyangga. 18
2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi
Perubahan ekologi di wilayah pertambangan terjadi karena adanya aktivitas
eksploitasi terhadap sumberdaya alam tambang. Perubahan ekologi ini
mengakibatkan perubahan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Kerusakan
lingkungan seperti pencemaran air, polusi udara dan kekeringan air, mampu
mengubah sistem mata pencaharian masyarakat desa yang awalnya bergerak di
sektor pertanian menjadi sektor non pertanian.
Menurut Noor (2006) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral adalah terjadinya penurunan
kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi
air. Di indonesia dapat kita jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah
mengalami penurunan kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau
Bangka, tambang batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua.
Lubang-lubang bekas penambangan dan pembukaan lapisan tanah yang
subur pada saat penambangan, dapat mengakibatkan daerah yang semula subur
menjadi daerah yang tandus. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk kembali
ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi lingkungan akan terjadi pada
semua tahap dalam aktivitas pertambangan. Tahap tersebut dimulai pada tahap
prosesing mineral dan semua aktivitas yang menyertainya seperti penggunaan
peralatan survei, bahan peledak, alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak
dibutuhkan (Noor, 2006).
Menurut Noor (2006) permasalahan yang ditimbulkan dalam penggunaan
batu bara adalah pencemaran udara berupa kandungan belerang yang dilepaskan
oleh hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, dan debu batu bara
(partikel-partikel halus) hasil pembakaran yang masuk ke udara.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah (2002) dampak
akibat aktivitas pertambangan batu bara bukan hanya menimbulkan pencemaran
udara yang mengakibatkan penurunan kesehatan saja, melainkan juga timbulnya
cekungan besar yang dikelilingi tumpukan tanah bekas galian yang telah
bercampur dengan sisa-sisa bahan tambang (tailing). Pada saat musim hujan,
cekungan tersebut dialiri air dan berubah menjadi danau. Sisa-sisa bahan tambang
mengalir ke sungai-sungai dan menutupi lahan pertanian serta areal perkebunan. 19
Hal ini mengakibatkan hilangnya vegetasi (tanaman) populasi satwa liar dan
menurunnya kualitas air. Sementara itu di daerah bagian hilir pasca tambang,
rawan terjadinya bencana erosi akibat sedimentasi tanah.
Di beberapa daerah yang memiliki potensi penambangan pasir seperti
Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, aktivitas penambangan
mengakibatkan timbulnya tebing-tebing bukit yang rawan longsor akibat
penambangan yang tidak memakai sistem berteras. Hal ini mengakibatkan
semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan, berkurangnya debit air
permukaan atau mata air, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan
tingginya lalu lintas kendaraan drum truk di jalan desa yang kemudian membuat
rusaknya jalan, serta timbulnya polusi udara. Sementara itu, di beberapa daerah
lain di Indonesia seperti Bangka Belitung, Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB
dan Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan, aktivitas pertambangan
mengakibatkan terjadinya pencemaran air dan degradasi lahan. Hilangnya fungsi
atas sungai bagi masyarakat seperti air sungai Tongo-Sejorong yang pada awalnya
digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan, mandi, mencuci, minum
ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator aktivitas
limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu. Selain itu, terjadinya kekeringan air
sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran.
2.2 Kerangka Konseptual
Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang adanya pihak-pihak
berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.
pihak-pihak berkepentingan yang ada meliputi pemerintah seperti pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta. Pemerintah sebagai
institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya
alam tambang, swasta sebagai pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan
orang yang berada di sekitar lokasi penambangan dan sebagai pihak penerima
dampak langsung maupun tidak langsung dari adanya aktivitas pertambangan.
Pada awalnya, ketiga pihak yang ada memiliki akses terhadap sumberdaya
alam tambang. Namun dengan adanya izin usaha tambang yang diberikan oleh
pemerintah, menjadikan swasta sebagai pihak yang memiliki akses lebih tinggi. 20
Keterangan:
= saling mempengaruhi, = hubungan akibat, = akses
- - - - - = fokus penelitian
Gambar 1. Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek
Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi
Masyarakat Lokal
Pemerintah (Pemerintah
Pusat dan Pemerintah
Daerah)
Swasta/Perusahaan
Pertambangan
Sosio-Ekonomi
- Perubahan Pola Pekerjaan
- Pendapatan
- Kesempatan Kerja
- Konflik di Masyarakat
Sosio-Ekologi
- Terganggunya Sumber Air
- Perubahan Udara
- Polusi Suara
- Kesehatan
Pembangunan Berkelanjutan
Sumberdaya
Alam Tambang
Aktivitas Pertambangan
- Pabrik Industri Pertambangan
- Ledakan (Blasting)21
Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh swasta menimbulkan berbagai
dampak negatif dan positif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Berbagai
dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya paradigma pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan tidak hanya mengejar pada peningkatan
perekonomian negara saja melainkan juga melihat pada aspek Analisis
Manajemen dan Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum dilakukannya aktivitas
pertambangan, maupun upaya reklamasi lahan pasca tambang. Aktivitas
pembangunan terus dilakukan namun tidak mengurangi kualitas hidup manusia
dan lingkungan di masa yang akan datang.
2.3 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
= hubungan langsung (kuantitatif)
= hubungan tidak langsung (kualitatif)
= awal hipotesis (kualitatif)
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak aktivitas Pertambangan pada Aspek
Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa
Frekuensi Blasting
Sosial
Tingkat Konflik
di Masyarakat
Ekonomi
Ekologi
Tingkat Gangguan Terhadap
Sumber Air
Tingkat Polusi Suara
Tingkat Perubahan Udara
Tingkat Polusi Suara
Tingkat Kesehatan Masyarakat
Tingkat Kesempatan
Kerja Pertanian
Tingkat Kesempatan
Kerja Non Pertanian
Jumlah Pabrik
Industri
Pertambangan22
2.4 Hipotesis Penelitian
Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat
lokal akibat aktivitas pertambangan. Jika semakin banyak jumlah pabrik
industri pertambangan, maka:
Semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.
Semakin rendah tingkat kesempatan kerja sektor pertanian dan
semakin tinggi tingkat kesempatan kerja sektor non pertanian di
kawasan yang sama menyebabkan semakin tinggi tingkat
persaingan sehingga semakin tinggi tingkat konflik yang terjadi di
masyarakat.
2. Terdapat hubungan perubahan sosio-ekologi masyarakat lokal akibat
aktivitas pertambangan. Jika semakin tinggi tingkat frekuensi blasting,
maka:
Semakin tinggi tingkat gangguan terhadap air, perubahan udara,
dan polusi suara sehingga mengakibatkan tingkat kesehatan
semakin buruk dan semakin tinggi konflik yang terjadi di
masyarakat.
2.5 Definisi Konseptual
1. Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan terhadap
sumberdaya mineral yang terdapat di dalam tanah.
2. Pabrik industri pertambangan adalah tempat pengolahan bahan tambang
setelah sebelumnya dilakukan aktivitas pengerukan tanah.
3. Blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah tanah
dengan menggunakan dinamit.
4. Dampak sosio-ekonomi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh
adanya aktivitas pertambangan pada pola dan struktur ekonomi
masyarakat serta hubungan sosial antar masyarakat.23
5. Dampak sosio-ekologi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh adanya
aktivitas pertambangan pada aspek lingkungan di sekitar wilayah
pertambangan.
6. Sumber air adalah tempat dimana air tersedia, yang digunakan untuk
kehidupan sehari-hari.
7. Perubahan udara merupakan peristiwa terjadinya perubahan kondisi
udara akibat debu sebagai buangan limbah di sekitar wilayah
penambangan.
8. Polusi suara adalah bunyi atau suara berupa kebisingan yang ditimbulkan
oleh adanya aktivitas blasting ataupun kendaraan truk pengangkut barang
tambang.
9. Kesehatan adalah kondisi fisik atau tubuh seseorang yang memiliki
kondisi sehat dan terbebas dari penyakit.
10. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
11. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai
imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan.
12. Kesempatan kerja adalah peluang seseorang untuk memperoleh
pekerjaan.
13. Konflik merupakan hubungan pertentangan antara satu orang atau lebih
karena adanya perbedaan tujuan.
14. Bahan galian golongan C merupakan jenis bahan galian tambang yang
dipergunakan sebagai bahan bangunan industri seperti andesit, pasir, dsb.
2.6 Definisi Operasional
1. Jumlah pabrik industri pertambangan adalah banyaknya pabrik industri
pertambangan yang melakukan aktivitas pengerukan bahan tambang di
sekitar wilayah pertambangan.
Sedikit : jumlah pabrik industri pertambangan = 1 buah, skor 1
Banyak : jumlah pabrik industri pertambangan ≥ 2 buah, skor 2 24
2. Frekuensi blasting adalah frekuensi pengeboran bawah tanah dengan
menggunakan dinamit. Pengukuran dilakukan mulai dari skor terburuk
berdasarkan frekuensi paling rendah aktivitas blasting dalam waktu satu
hari.
a. Rendah : aktivitas blasting = 1 kali, skor 1
b. Sedang : aktivitas blasting = 2 kali, skor 2
c. Tinggi : aktivitas blasting > 2 kali, skor 3
3. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh
oleh responden. Tingkat pendidikan responden diukur dari tingkat
pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi.
a. Sangat rendah : tidak sekolah, skor 1
b. Rendah : tamat SD/sedejarat, skor 2
c. Sedang : tamat SMP/sederajat, skor 3
d. Tinggi : tamat SMA/sederajat, skor 4
e. Sangat tinggi : tamat perguruan tinggi, skor 5
4. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diperoleh oleh
responden sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam
kurun waktu satu tahun. Pengukuran didasarkan pada rata-rata pendapatan
rumahtangga dengan skor terendah pada pendapatan paling kecil.
a. Rendah : pendapatan < Rp 8.787.117, skor 1
b. Sedang : Rp 8.787.117 ≤ pendapatan < Rp 16.964.607, skor 2
c. Tinggi : pendapatan ≥ Rp 16.964.607, skor 3
5. Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya lahan pertanian yang
dimiliki oleh rumahtangga responden. Pengukuran dilakukan pada dua
bagian yaitu:
(i) Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya jumlah anggota dalam
keluarga responden yang memiliki lahan pertanian. Pengukuran
dilakukan mulai pada skor terendah dari kepemilikan lahan paling
rendah hingga paling tinggi.
a. Rendah : tidak memiliki lahan pertanian, skor 125
b. Tinggi : memiliki lahan pertanian, skor 2
(iii) Luas lahan pertanian adalah jumlah luas lahan pertanian yang dimiliki
oleh setiap rumahtangga responden setelah adanya aktivitas
pertambangan. Pengukuran dilakukan mulai dengan skor terendah dari
luas lahan yang paling sempit.
a. Sangat rendah : lahan < 0,001 hektar, skor 1
b. Rendah : 0,001 hektar ≤ lahan < 0,01 hektar, skor 2
c. Sedang : 0,01 hektar ≤ lahan < 0,1 hektar, skor 3
d. Tinggi : 0,1 hektar ≤ lahan < 0,5 hektar,skor 4
e. Sangat tinggi : lahan ≥ 0,5 hektar,skor 5
6. Kondisi tempat tinggal adalah kondisi tempat tinggal yang dihuni oleh
anggota keluarga responden. Pengukuran dibagi menjadi dua bagian yaitu:
(i) Kondisi fisik tempat tinggal adalah keadaan fisik tempat tinggal yang
dihuni oleh anggota keluarga. Pengukuran dimulai dari skor terendah
pada kapasitas rumah dan kekuatan bangunan yang paling rentan roboh.
a. Sangat tidak layak : bangunan non bangunan non permanen,
dinding dan alas dari tanah atau kayu, luas
bangunan tidak memadai untuk seluruh
anggota keluarga, skor 1
b. Tidak layak : bangunan non permanen, dinding dan alas dari
tanah atau kayu, skor 2
c. Sedang : bangunan permanen, dinding semen, alas
tanah, skor 3
d. Layak : bangunan permanen, dinding dan alas semen,
skor 4
e. Sangat layak : bangunan permanen, dinding dan alas semen,
luas bangunan memadai untuk seluruh anggota
keluarga, skor 5
(ii) Status tempat tinggal adalah status kepemilikan rumah yang ditempati
oleh responden. Pengukuran dimulai dari skor terendah pada status
tempat tinggal yang paling buruk.26
a. Buruk : menumpang pada orang lain, skor 1
b. Sedang : sebagai penyewa, skor 2
c. Baik : sebagai pemilik, skor 3
7. Tingkat gangguan terhadap sumber air adalah tingkat gangguan pada
kondisi sumberdaya air meliputi kuantitas maupun kualitas air yang
tersedia, yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Pengukuran
ditentukan berdasarkan pada kondisi sumber air dan kualitas air minum
responden.
(i) Kondisi sumber air adalah kondisi sumberdaya air yang digunakan
untuk kehidupan sehari-hari. Pengukuran dimulai dari skor terendah
dengan kondisi sumber air yang paling buruk.
a. Buruk : air tidak tersedia, skor 1
b. Sedang : air tersedia namun terbatas, skor 2
c. Baik : air tersedia dimana-mana, skor 3
(ii) Kualitas air minum adalah kondisi air minum secara fisik dilihat dari
bersih atau kotornya air minum tersebut. Pengukuran dilakukan
mulai dari skor terendah dari keadaan air yang buruk.
a. Buruk : air berwarna, skor 1
b. Baik : air jernih, skor 2
8. Persepsi tingkat perubahan udara adalah pandangan responden terhadap
tingkat perubahan kondisi udara akibat adanya limbah buangan industri
pertambangan yang dapat mencemari udara. Pengukuran dimulai dari
skor terendah pada kondisi udara yang dirasakan sangat tidak nyaman
oleh responden.
a. Tidak nyaman : suhu udara panas, berdebu, terlihat gersang, skor 1
b. Sedang : suhu udara panas, tidak berdebu, skor 2
c. Nyaman : suhu udara sejuk dan tidak berdebu, skor 3
9. Persepsi tingkat polusi suara adalah pandangan responden terhadap
tingkat kebisingan karena adanya bunyi atau suara yang ditimbulkan oleh 27
blasting dan kendaraan truk. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan
pada dua bagian yaitu:
(i) Persepsi tingkat kebisingan aktivitas blasting adalah pandangan
responden terhadap tingkat kebisingan yang disebabkan oleh adanya
bunyi atau getaran ledakan pengeboran tanah oleh dinamit.
Pengukuran dimulai pada skor terendah untuk aktivitas tidak
mengganggu menurut persepsi responden.
a. Rendah : tidak mengganggu sama sekali, suasana nyaman, skor 1
b. Sedang : biasa saja, tidak terlalu mengganggu, skor 2
c. Tinggi : sangat mengganggu, skor 3
(ii) Persepsi tingkat kebisingan kendaraan truk adalah pandangan
responden terhadap tingkat kebisingan yang disebabkan oleh adanya
aktivitas kendaraan truk pengangkut barang tambang. Pengukuran
dimulai pada skor terendah untuk aktivitas paling mengganggu.
a. Rendah : tidak mengganggu sama sekali, suasana nyaman, skor 1
b. Sedang : biasa saja, tidak terlalu menganggu, skor 2
c. Tinggi : sangat mengganggu, skor 3
10. Tingkat kesehatan masyarakat adalah tingkat terjadinya gangguan
kesehatan akibat adanya beberapa penyakit yang diderita dalam kurun
waktu satu tahun terakhir, yang disebabkan oleh limbah atau buangan
bahan tambang seperti debu, pencemaran air dan lain-lain. Pengukuran
dilakukan berdasarkan pada dua bagian yaitu:
(i) Jumlah rumahtangga yang menderita penyakit adalah jumlah atau
banyak anggota keluarga responden yang menderita penyakit selam
kurun waktu satu tahun terakhir dan disebabkan oleh aktivitas
pertambangan. Pengukuran dimulai dari skor terendah apabila ada
anggota keluarga responden yang mengalami sakit.
a. Buruk : ada anggota keluarga yang sakit, skor 1
b. Baik : tidak ada anggota keluarga yang sakit, skor 228
(ii) Frekuensi pengobatan adalah sering atau tidaknya anggota kelurga
responden memberikan obat yang diperoleh dari warung maupun
melakukan pemeriksaan ke rumah sakit. Pengukuran dimulai dari
skor terendah dari frekuensi pengobatan paling rendah yaitu tidak
pernah.
a. Rendah : tidak pernah melakukan pengobatan, skor 1
b. Sedang : hanya beberapa kali saja (1-3 kali), skor 2
c. Tinggi : sering melakukan pengobatan (> 3 kali), skor 3
11. Persepsi tingkat kesempatan kerja pertanian adalah persepsi responden
terhadap tingkat kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di sektor
pertanian. Pengukuran dilakukan berdasarkan skor terendah untuk tingkat
paling sulit hingga tertinggi sesuai kondisi sebelum dan setelah adanya
aktivitas pertambangan.
a. Sangat sulit : tidak ada kesempatan kerja, skor 1
b. Sulit : kesempatan kerja terbatas, skor 2
c. Netral : sama saja, tidak ada perubahan, skor 3
d. Mudah : kesempatan kerja terbuka luas, skor 4
e. Sangat mudah : kesempatan kerja pertanian paling banyak daripada
pekerjaan yang lainnya, skor 5
12. Persepsi tingkat kesempatan kerja non pertanian adalah persepsi
responden terhadap tingkat kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di
sektor non pertanian. Pengukuran dilakukan dari skor paling terendah
dari yang paling sulit hingga paling tinggi.
a. Sangat sulit : tidak ada kesempatan kerja, skor 1
b. Sulit : kesempatan kerja terbatas, skor
c. Netral : sama saja, tidak ada perubahan, skor 3
d. Mudah : kesempatan kerja terbuka luas, skor 4
e. Sangat mudah : kesempatan kerja non pertanian paling banyak dari
pada pertanian, skor 529
13. Tingkat konflik di masyarakat adalah tingkat terjadinya hubungan
pertentangan yang terjadi antara satu orang atau lebih. Pengukuran
dilakukan menjadi dua bagian yaitu:
(i) Hubungan yang terjadi antar sesama masyarakat lokal, dan hubungan
yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak pendatang. Skor
terendah dimulai pada hubungan paling dalam seperti gotong royong.
a. Sangat rendah : pekerjaan dilakukan secara bersama-sama dengan
sistem gotong royong yang masih terjalin erat,
skor 1
b. Rendah : peduli dan masih suka saling membantu, skor 2
c. Sedang : masih terjalin kontak dan komunikasi, skor 3
d. Tinggi :
tidak peduli dengan keadaan penduduk sekitar,
skor 4
e. Sangat tinggi : terjadi pertengkaran dengan penduduk, skor 5
(ii) Tingkat Kedalaman konflik sebagai akibat dari perubahan ekologi
yang mencakup perubahan udara, kebisingan, gangguan sumber air.
Pengukuran dilakukan dimulai dengan skor terendah pada derajat
kedalaman konflik paling ringan.
a. Sangat rendah : biasa saja, skor 1
b. Rendah : resah, skor 2
c. Sedang : mengeluh, skor 3
d. Tinggi : ketegangan/stres, skor 4
e. Sangat tinggi : bentrok, skor 5 30
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
3.1 Metode Penelitian
Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang
didukung oleh pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif, penelitian ini
menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian
dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakan melalui
angket atau interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi
(Fraenkel dan Wallen sebagaimana dikutip Wahyuni dan Muljono, 2009).
Sedangkan dalam metode penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara,
pengamatan, dan studi literatur.
Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah
pengambilan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden dan
informan untuk melakukan test sebagai preliminary research. Kemudian setelah
dilakukan test akan dilakukan editing kuesioner sebagai penelitian sesungguhnya
yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian.
Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat terjamin, baik realibilitas
maupun validitasnya.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan
menggunakan kuesioner yang disebarkan, kemudian diisi oleh responden.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang
berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, data potensi pertambangan,
potensi desa dan lainnya.
3.3 Teknik Penentuan Responden
Pada penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian yang terdiri dari informan
dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan
informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya.
Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola
salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang 31
karakteristiknya sesuai dengan masalah yang akan diteliti (kerangka sampling).
Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple
cluster random sampling. Dari Desa Cipinang diambil secara purposif dua
kampung sebagai perbandingan yang didasari pada banyaknya jumlah pabrik
industri pertambangan, yaitu kampung dengan jumlah pabrik industri
pertambangan banyak dengan sektor non pertanian yang lebih dominan.
Kemudian kampung yang sedikit jumlah pabrik industri pertambangan dengan
sektor pertanian yang lebih dominan. Kedua kampung tersebut diambil masingmasing satu RT/RW untuk menjadi sampel kedua. Responden dipilih secara acak
sebanyak 30 responden untuk masing-masing RT/RW yang dijadikan sampel
penelitian, dengan tiga responden cadangan sehingga jumlah total responden
adalah sebanyak 60 rumahtangga (sebagaimana pada lampiran 1). Secara lebih
rinci teknik pengambilan sampel diilustrasikan sebagai berikut.
Gambar 3. Teknik Kerangka Sampling dalam Pengambilan Responden
Desa Cipinang
Kampung dengan jumlah pabrik
industri pertambangan banyak:
Kampung Joglo
(RT 01/05)
Penentuan secara purposif
Kampung dengan jumlah pabrik
industri pertambangan sedikit:
Kampung Gunung Cabe
(RT 05/04)
Penentuan secara purposif
Jumlah total kampung:
21 kampung
Jumlah KK sebanyak 126 KK Jumlah KK sebanyak 139 KK
Secara acak dipilih 30 responden Secara acak dipilih 30 responden
Jumlah total: 60 responden 32
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Hal ini dikarenakan
rumahtangga merupakan unit terkecil dari masyarakat dalam hal pengambilan
keputusan keluarga, seperti besarnya bantuan pendapatan yang diberikan anggota
keluarga maupun aspek-aspek lain yang mempengaruhi keadaan sosial ekonomi.
3.4 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data menggunakan kuesioner yang dibagikan
kepada responden dengan diolah melalui beberapa langkah yaitu editing
kuesioner, pengkodean data, pemindahan data ke lembar penyimpanan data,
memasukkan data ke dalam program microsoft excel. Dalam melakukan analisis
data kuantitatif, menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi
silang dan tabel frekuensi.
Data yang ditampilkan berupa grafik, matriks, atau bagan. Kemudian data
tersebut digabungkan dengan hasil wawancara mendalam dan observasi berupa
kutipan untuk kemudian penarikan kesimpulan dari semua data yang telah diolah
sebelumnya.
3.5 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat yaitu di daerah sekitar wilayah pertambangan yang
terdapat bahan galian golongan C. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan
karakteristik dari desa tersebut sangat sesuai dengan penelitian yang dilakukan,
dimana Desa Cipinang merupakan desa yang mayoritas penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani.
Terjadinya peralihan atau transformasi pekerjaan dari sektor pertanian
menjadi sektor non pertanian sebagai akibat adanya aktivitas pertambangan,
merupakan salah satu pembahasan penting dari pokok penelitian yang dilakukan.
Adapun pelaksanaan waktu penelitian dilakukan selama satu bulan yang dimulai
pada pertengahan bulan Maret hingga April 2011. 33
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Desa Cipinang
Desa Cipinang merupakan salah satu desa yang terdapat di daerah
Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki
luas lahan sebesar 996.625 Ha dengan tekstur lahan pertanian sawah dan lahan
kering. Desa Cipinang dikenal sebagai salah satu daerah bagian Kabupaten Bogor
yang memiliki potensi sumberdaya alam tambang yang sangat melimpah.
Sumberdaya alam tambang yang ada meliputi bahan galian golongan C seperti
batu, pasir teras dan sumberdaya alam tambang lainnya. Mayoritas penduduk
Desa Cipinang beragama Islam yaitu sebanyak 12.046 jiwa dari jumlah total
penduduknya sebanyak 13.007 jiwa. Adapun jumlah kampung yang terdapat di
Desa Cipinang adalah sebanyak 21 kampung, yang tersebar di beberapa daerah
bagian dan terbagi menjadi tiga dusun sebagai batas wilayah.
4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Cipinang
Secara geografis Desa Cipinang dibatasi oleh beberapa wilayah yaitu
sebelah utara dibatasi oleh Desa Sukasari, sebelah timur dibatasi oleh Desa
Rumpin, sedangkan di sebelah selatan dibatasi oleh Desa Kampung Sawah dan
sebelah barat dibatasi oleh Desa Tegal Lega. Areal Pemukiman Desa Cipinang
terbagi menjadi delapan Rukun Warga (RW) dan 42 Rukun Tetangga (RT).
Suhu rata-rata harian Desa Cipinang mencapai 25
o
C dengan tinggi tempat
dari permukaan laut mencapai 132 mdpl. Jarak pemerintahan Desa Cipinang
dengan ibu kota kecamatan ditempuh dengan jarak tiga kilometer, sementara jarak
pemerintahan desa dengan ibu kota kabupaten ditempuh dengan jarak 42 km.
Akses jalan menuju Desa Cipinang masih tergolong sulit. Hal ini
dikarenakan kondisi jalan yang rusak dan sarana transportasi seperti kendaraan
umum masih jarang melintas di sekitar jalan raya menuju Desa Cipinang. Adapun
kendaraan yang melaju setiap hari adalah kendaraan truk pengangkut barang
tambang dan kendaraan umum yang hanya digunakan untuk menjemput anakanak ketika pulang sekolah. Akses menuju Desa Cipinang hanya dapat ditempuh
dengan menggunakan kendaraan motor melalui jasa tukang ojeg. 34
4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk
Jumlah penduduk Desa Cipinang tergolong padat. Hal ini terlihat dari
besarnya jumlah penduduk yang sudah mencapai 13.007 jiwa, sebagaimana Tabel
3 di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Kategori Umur di Desa
Cipinang, 2010.
No Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 0-4 1.276 10.42
2 5-9 1.390 11.35
3 10-14 1.322 10.79
4 15-19 1.347 11.00
5 20-24 1.222 9.98
6 25-29 1.117 9.12
7 30-34 907 7.41
8 35-39 851 6.95
9 40-44 587 4.79
10 45-49 553 4.52
11 50-54 414 3.38
12 55+ 1.260 10.29
Jumlah 13.007 100
Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010
Data pada Tabel 3 di atas menunjukkan jumlah penduduk Desa Cipinang
berdasarkan kategori umur. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penduduk
usia produktif yang berkisar antara 15 tahun hingga 64 tahun memiliki jumlah
yang lebih banyak daripada jumlah penduduk lainnya. Jumlah penduduk usia
produktif sebanyak 9.019 jiwa atau sebesar 69,34 persen, sedangkan jumlah
penduduk usia belum produktif yaitu penduduk dengan usia 15 tahun ke bawah
hanya berjumlah 3.988 jiwa atau sebesar 30,66 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar penduduk di Desa Cipinang telah memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu berdasarkan rasio 35
jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah
penduduk perempuan. Jumlah penduduk pria adalah sebanyak 6.741 jiwa
sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.266 jiwa. Hal ini menunjukan
bahwa penduduk pria lebih dapat bertahan hidup di wilayah pertambangan
dibandingkan penduduk perempuan.
Berdasarkan etnis, jumlah penduduk etnis Sunda lebih banyak daripada
etnis lainnya. Etnis Sunda berjumlah total 6.993 jiwa atau sebesar 53,77 persen,
etnis Jawa sebanyak 2.708 jiwa atau sebesar 20,82 persen, etnis Banjar sebanyak
lima jiwa atau sebesar 0,04 persen, etnis Makassar sebanyak satu jiwa atau
sebesar 0,008 persen, etnis Batak tujuh jiwa atau sebesar 0,05 persen, etnis
Melayu sebanyak 240 jiwa atau sebesar 1,85 persen, etnis Betawi sebanyak 3052
jiwa atau sebesar 23,47 persen. Meskipun etnis Sunda lebih banyak daripada etnis
lainnya di Desa Cipinang, namun berdasarkan data tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa hampir setengah penduduk yang berada di Desa Cipinang
merupakan penduduk pendatang. Kehadiran penduduk pendatang ini disebabkan
oleh adanya keinginan untuk bertahan hidup, yaitu dengan bekerja di sektor
pertambangan. Hal ini akan memberikan dampak terhadap semakin tingginya
tingkat persaingan kerja di sektor pertambangan, yang terjadi antara masyarakat
lokal dan pendatang. Namun rendahnya pendidikan, menjadikan masyarakat lokal
belum mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor
pertambangan.
Sebenarnya, disini itu penduduknya paling banyak jadi petani pisang. Ada
juga karyawan PT tapi karena pendidikannya rendah, jadinya mereka
derajatnya lebih rendah dibanding karyawan PT lainnya (Bapak Skd,
tokoh masyarakat berusia 33 tahun).
Tingkat pendidikan di Desa Cipinang masih tergolong rendah. Hal ini
terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat Desa
Cipinang, dimana mayoritas pendidikan yang ditempuh hanya tamat SD/sederajat
dengan persentase sebesar 29.97 persen atau sebanyak 3.898 jiwa atau. Di urutan
kedua terbesar tingkat pendidikan yang ditempuh masyarakat Desa Cipinang
adalah tidak tamat sekolah dengan persentase sebesar 25,88 persen atau sebanyak
3.366 jiwa. Kemudian pada urutan ketiga adalah penduduk yang sedang menjalani 36
sekolah dengan sebesar 18,61 persen atau sebanyak sebesar 2.420 jiwa. Hal
tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Desa Cipinang, 2010.
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Belum sekolah 1.563 12.02
2 Sedang sekolah 2.420 18.61
2 Tidak tamat sekolah 3.366 25.88
3 Tamat SD/Sederajat 3.898 29.97
4 Tamat SMP/Sederajat 1.344 10.33
5 Tamat SMA/Sederajat 406 3.83
6 Tamat Akademi 2 0.02
7 Tamat Perguruan Tinggi 8 0.08
Jumlah 13.007 100
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010
Pada Tabel 4 di atas terlihat bahwa jumlah penduduk Desa Cipinang yang
belum sekolah sebanyak 1.563 jiwa atau sebesar 12,02 persen, tamat
SMP/sederajat sebanyak 406 jiwa atau sebesar 3,83 persen, tamat perguruan
tinggi sebanyak delapan jiwa atau sebesar 0,08 persen, dan tamat akademi
sebanyak dua jiwa atau sebesar 0,02 persen. Rendahnya pendidikan akan
mempengaruhi tingkat kesejahteraan penduduk setempat. Selain itu, rendahnya
pendidikan juga akan mempengaruhi tingkat kesulitan akan akses terhadap sektor
pekerjaan yang mengharuskan tingginya tingkat pendidikan formal yang ditempuh
dan tingkat keterampilan yang dimiliki.
Terdapat beragam jenis mata pencaharian masyarakat Desa Cipinang sesuai
dengan jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 10.234 jiwa. Masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai petani berjumlah 1.071 jiwa dengan persentase 10,47
persen sedangkan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pengusaha
berjumlah 57 jiwa atau sebesar 0,56 persen, pengrajin sebanyak 415 jiwa atau 37
sebesar 4,06 persen, pertukangan sebanyak 29 jiwa atau sebesar 0,28 persen,
buruh perkebunan sebanyak 112 jiwa atau sebesar 1,09 persen, pedagang
sebanyak 976 jiwa atau sebesar 9,54 persen, pengemudi/jasa 327 jiwa atau sebesar
3,19 persen, PNS sebanyak 23 jiwa atau sebesar 0,22 persen, TNI/POLRI
sebanyak 14 jiwa atau sebesar 0,14 persen, pensiunan sebanyak 79 jiwa atau
sebesar 0,77 persen, dan sektor pekerjaan lainnya yang meliputi buruh tambang,
kuli bangunan, sopir truk dan sebagainya sebanyak 7.131 jiwa atau sebesar 69,68
persen. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cipinang, 2010
Berdasarkan data pada Gambar 4 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
saat ini sektor pekerjaan non pertanian di Desa Cipinang, paling banyak
dibandingkan dengan sektor pertanian yang hanya berjumlah sepuluh persen atau
sebanyak 1.071 jiwa dari total keseluruhan jenis mata pencaharian.
4.1.3 Tata Guna Tanah di Desa Cipinang
Tata guna tanah di Desa Cipinang sebagian besar digunakan sebagai lahan
sawah dengan persentase sebesar 41,29 persen atau seluas 411 hektar. Sementara
itu peruntukkan lahan lainnya digunakan sebagai lahan pemukiman dengan luas
274, 61 hektar atau sebesar 27,58 persen, lahan ladang/huma seluas 51,685 hektar
atau sebesar 5,19 persen, perkebunan seluas 231 atau sebesar 23,20 persen, kolam
seluas empat hektar atau sebesar 0,40 persen, sungai dua hektar atau sebesar 0,20
persen, jalan seluas 5,14 hektar atau sebesar 0,52 persen, situ seluas dua hektar 38
atau sebesar 0,20 persen, lahan pemakaman seluas 14 hektar atau sebesar 1,41
persen, perkantoran seluas 0.11 hektar atau sebesar 0,01 persen. Hal tersebut
sebagaimana terlihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Luas Lahan dan Persentasinya menurut Penggunaan Lahan di Desa
Cipinang, 2010.
No Penggunaan Lahan Luas Lahan (Hektar) Persentase (%)
1 Pemukiman 274.61 27.58
2 Sawah 411 41.29
3 Ladang/huma 51.685 5.19
4 Perkebunan 231 23.20
5 Kolam 4 0.40
6 Sungai 2 0.20
7 Jalan 5.14 0.52
8 Situ 2 0.20
9 Pemakaman 14 1.41
10 Perkantoran 0.11 0.01
Jumlah 995.545 100
Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010
Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa saat ini
masih banyak masyarakat Desa Cipinang yang bergerak di sektor pertanian. Hal
ini terlihat dari masih luasnya lahan sawah yang mencapai 411 hektar dari jumlah
total keseluruhan tata guna lahan.
4.2 Gambaran Umum Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe
Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe merupakan kampung yang
jaraknya berdekatan dengan aktivitas pertambangan. Kedua kampung tersebut
merupakan kampung bagian Desa Cipinang yang memiliki keunikan dan sejarah
masing-masing. Hal ini terlihat dari adanya latar belakang pemberian nama
Kampung Gunung Cabe, yang berawal dari sebuah cerita masyarakat lokal pada 39
zaman dulu. Kampung Gunung Cabe berasal dari areal perbukitan yang memiliki
tanaman cabai.
Kata para orang tua zaman dulu disini (Kampung Gunung Cabe) itu
merupakan bukit. Ceritanya, ada orang yang mendaki gunung, bisa disebut
sebagai pengembara. Dia melihat ada cabai berwarna kuning sebesar drum
yang dia kira adalah emas karena ukurannya besar. Namun ketika hendak mau
diambil, ternyata disekelilingnya ada harimau dan babi yang sedang
menunggu cabai tersebut. Si pendaki menjadi ketakutan dan tidak berani
mengambil cabai tersebut. Akhirnya dia pergi kemudian yang dulu sebuah
bukit kini menjadi kampung bernama Kampung Gunung Cabe (Bapak Skd,
tokoh masyarakat berusia 33 tahun).
Kampung Gunung Cabe dan Kampung Joglo memiliki karakteristik yang
berbeda. Salah satu perbedaan tersebut terlihat pada banyaknya jumlah pabrik
industri pertambangan yang terdapat di masing-masing kampung. Di Kampung
Gunung Cabe, hanya terdapat satu pabrik industri pertambangan jenis batu milik
perusahaan yang dikuasai oleh PT K. Sedangkan di Kampung Joglo terdapat tiga
pabrik industri pertambangan jenis batu dan pasir teras milik perusahaan yang
dikuasai oleh PT L dan PT M yang kini masih produktif. Sementara itu, terdapat
satu pabrik industri pertambangan lainnya yang akan segera melakukan aktivitas
pertambangan.
Jenis mata pencaharian masyarakat Kampung Gunung Cabe dan Kampung
Joglo sangat beragam, diantaranya yaitu sebagai petani, buruh tambang, sopir truk
pengangkut barang tambang, dan pedagang. Rata-rata hasil dari pertanian untuk
jenis komoditas padi tidak dijual ke orang lain. Secara subsisten, hasil pertanian
untuk jenis komoditas tersebut hanya cukup untuk makan anggota keluarga petani
itu sendiri. Hal ini dikarenakan sempitnya luas lahan sawah yang dimiliki oleh
perorangan dan banyaknya jumlah anggota dalam keluarga, sehingga hasil dari
pertanian hanya mencukupi konsumsi anggota keluarga petani saja.
4.3 Karakteristik Responden
Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 37 tahun. Sementara
itu berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas pendidikan responden di Kampung
Joglo dan Kampung Gunung Cabe adalah tidak tamat SD atau tidak sekolah.
Sebesar 50 persen atau sebanyak 15 responden di Kampung Joglo tidak tamat SD.
Sama halnya dengan responden di Kampung Gunung Cabe, dimana lebih dari 50
persen yakni sebesar 57 persen atau sebanyak 17 responden tidak tamat SD, 40
sebanyak 40 persen atau 12 responden tamat SD, dan tiga persen atau satu
responden tamat SMP. Sementara itu responden di Kampung Joglo lainnya,
sebesar 44 persen atau sebanyak 13 responden tamat SD, dan hanya sebesar tiga
persen atau satu responden yang dapat tamat SMA dan tamat perguruan tinggi.
Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 5 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 5. Tingkat Pendidikan Responden Desa Cipinang, 2011
Rendahnya pendidikan rumahtangga responden ini diikuti pula dengan
rendahnya tingkat pendidikan anak. Hal ini dikarenakan minimnya sarana dan
prasarana pendidikan sekolah, yang kemudian di perparah dengan letak dan jarak
sekolah yang sangat jauh.
Disini penduduknya kebanyakan hanya berpendidikan SD, tidak sekolah
malah karena di kampung ini kan tidak ada sekolahan. Ada sih, tapi tempatnya
jauh. Anak-anak juga tidak diijinkan sekolah sama orang tuanya karena pada
was-was, soalnya disini hanya ada truk yang suka gangkut-ngangkut barang
tambang sebagai kendaraannya. Yah, yang namanya anak kecil kan suka
bandel. Kalau misalnya nebeng, takutnya terjadi apa-apa gitu. Sekarang sih
saya sedang mengajukan pendirian sekolah karena kebetulan disini ada tanah
milik bersama, ya sekitar 7000 meter persegi-an lah (Bapak Skd, tokoh
masyarakat berusia 33 tahun).
Berdasarkan sektor pekerjaan, mayoritas responden di masing-masing
kampung bergerak di sektor non pertanian. Jumlah responden yang bergerak di
sektor non pertanian sebanyak 25 responden atau sebesar 83 persen dari Kampung
Persentase responden (%)41
Joglo, dan 16 responden atau sebesar 54 persen dari Kampung Gunung Cabe.
Sementara itu, sebanyak tiga responden atau sepuluh persen dari Kampung Joglo
dan tujuh responden atau 23 persen dari Kampung Gunung Cabe bergerak di
sektor pertanian. Sisanya, yaitu dua responden atau tujuh persen dari Kampung
joglo dan tujuh responden atau 23 persen dari Kampung Gunung Cabe bergerak di
dua sektor sekaligus, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Hal tersebut
sebagaimana terlihat pada Gambar 6 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 6. Jumlah Responden Berdasarkan Sektor Pekerjaan
Berdasarkan data pada Gambar 6 di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perekonomian Desa Cipinang saat ini sudah didominasi oleh sektor non pertanian.
Rumahtangga Desa Cipinang berdasarkan asal kependudukan pada
penelitian ini dibedakan menjadi dua kategori, yaitu penduduk asli dan penduduk
pendatang. Penduduk asli dalam hal ini didefinisikan sebagai setiap orang yang
telah lahir dan bertempat tinggal di daerah atau lokasi penelitian, sedangkan
penduduk pendatang merupakan setiap orang yang lahir di luar lokasi penelitian.
Sebanyak 22 responden atau sebesar 73 persen responden di Kampung Joglo
adalah masyarakat asli. Sisanya, yaitu 27 persen atau sebanyak delapan responden
merupakan masyarakat pendatang. Sementara itu di Kampung Gunung Cabe,
sebanyak 25 responden atau sebesar 83 persen merupakan masyarakat asli.
Sisanya yaitu sebanyak lima responden atau sebesar 17 persen merupakan
Persentase responden (%)42
masyarakat pendatang. Persentase responden berdasarkan asal kependudukan
terlihat pada Gambar 7 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 7. Kelompok Responden Berdasarkan Asal Kependudukan
Jumlah penduduk pendatang di Kampung Joglo lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah pendatang di Kampung Gunung Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah
pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo lebih banyak sehingga
kesempatan kerja lebih luas, dan menyebabkan para pendatang semakin terdorong
untuk bekerja di sektor pertambangan yang terdapat di Kampung Joglo.
4.4 Gambaran Umum Industri Pertambangan di Desa Cipinang
Desa Cipinang merupakan salah satu desa yang dialiri oleh Daerah Aliran
Sungai (DAS) Cisadane dan memiliki kekayaan sumberdaya alam tambang yang
sangat melimpah. Kekayaan sumberdaya alam tersebut menjadi faktor penarik
bagi para investor dari dalam dan luar negeri untuk melakukan investasi di sektor
pertambangan. Hal ini terlihat dari banyaknya aktivitas industri pertambangan
yang tersebar di beberapa kawasan Desa Cipinang. Jumlah total perusahaan yang
melakukan aktivitas pertambangan di Desa Cipinang sebanyak tujuh perusahaan.
Adapun jenis bahan tambang yang dikeruk adalah jenis bahan galian golongan C
Persentase responden (%)43
seperti batu, pasir teras dan jenis bahan tambang lainnya yang akan digunakan
sebagai bahan bangunan atau pemukiman.
PT H merupakan perusahaan pertambangan pertama yang ada di wilayah
Desa Cipinang. Perusahaan pertambangan tersebut telah ada sejak tahun 1976-an.
Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang telah mendapatkan izin langsung
dari pemerintah sehingga bersifat legal. Mulai pada awal tahun 1980-an, banyak
perusahaan pertambangan yang memasuki wilayah Desa Cipinang. Tujuh
perusahaan pertambangan yang berada dalam wilayah Desa Cipinang tersebut
diantaranya yaitu PT B, PT H, PT K, PT L, PT M, PT N, dan PT R.
PT B dan PT H merupakan perusahaan pertambangan yang jaraknya sangat
dekat dengan Kampung Ciater. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan
yang sudah berdiri paling awal dan paling lama dibandingkan dengan perusahaan
pertambangan lainnya di wilayah Desa Cipinang. Seiring dengan adanya aktivitas
pertambangan yang dilakukan, menimbulkan pertentangan dari masyarakat lokal.
Hal ini dikarenakan tingkat kedalaman lahan yang dikeruk dianggap sudah berada
pada tingkat ambang batas dan dirasakan sangat membahayakan kondisi
lingkungan dan masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
PT K merupakan perusahaan pertambangan yang terdapat di Kampung
Gunung Cabe. Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan batu/andesit yang
sudah berdiri sejak tahun 1981. Awalnya, wilayah pertambangan yang dikeruk
oleh perusahaan merupakan wilayah pegunungan bernama Gunung Eundeur.
Gunung tersebut di kelilingi oleh wilayah persawahan pada bagian bawah gunung.
Namun, saat ini wilayah pegunungan tersebut telah berubah menjadi wilayah
pertambangan karena sebagian warga telah menjual lahan sawahnya kepada pihak
perusahaan. Perusahaan tersebut saat ini dikuasai oleh pengusaha luar negeri yang
berasal dari etnis Tiong Hoa.
Kehadiran PT K di Kampung Gunung Cabe pernah mendapatkan
pertentangan dari masyarakat lokal. Pertentangan tersebut tumbuh menjadi
konflik terbuka seiring dengan adanya aktivitas blasting yang dilakukan. Konflik
yang terjadi sekitar empat tahun yang lalu tersebut merupakan konflik yang
melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan. Penyebab terjadinya konflik karena
dilatarbelakangi oleh adanya aktivitas peledakan batu yang berdampak terhadap 44
hancurnya kaca-kaca yang terdapat di setiap rumah milik warga. Serpihan batu
yang dihasilkan saat proses peledakan, terbang menuju arah rumah, hingga
menghancurkan setiap kaca rumah milik warga Kampung Gunung Cabe.
Akhirnya masyarakat Kampung Gunung Cabe melakukan aksi demontrasi ke
pihak perusahaan. Namun karena tidak ada tanggapan dari perusahaan, maka
masyarakat terpaksa menghentikan upaya tersebut.
Dulu sekitar empat tahun yang lalu semua warga Gunung Cabe pada demo
ke proyek soal ledakan. Soalnya waktu itu kan ada ledakan batu, terus batu
batu yang hancur itu pada terbang ke rumah-rumah warga. yaa akhirnya
kaca-kaca rumah warga pada pecah. Padahal udah di laporin juga ke
pemerintah tapi karena tidak ada tanggapan sama sekali dari proyek akhirnya
ya sudah warga nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Cuma bisa pasrah aja gitu
(Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33 tahun).
PT K merupakan perusahaan pertambangan yang jaraknya paling dekat
dengan Kampung Gunung Cabe. Selain aktivitas blasting yang mengganggu
pendengaran masyarakat, gangguan terhadap sumber air seperti kekeringan di
musim kamarau pun menjadi permasalahan yang paling dikeluhkan oleh
masyarakat. Namun, saat ini telah ada upaya dari pihak perusahaan maupun
pemerintah untuk mengatasi permasalahan kekeringan tersebut. Di Kampung
Gunung Cabe, pihak perusahaan menyediakan selang air bersih yang dapat
digunakan oleh semua warga sedangkan pada saat musim kemarau, pihak
pemerintah memberikan bantuan air lewat tangki-tangki yang diisikan ke bak-bak
penampungan air milik warga.
Di Kampung Joglo, PT L merupakan perusahaan pertambangan yang
sudah berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bergerak di bidang pertambangan
batu dan pasir teras. Awalnya daerah pertambangan tersebut merupakan area
pegunungan bernama Gunung Sariin, namun saat ini gunung tersebut telah
berubah menjadi area pertambangan yang terus menerus dikeruk dan tengah
dikuasai oleh pengusaha asal Cina. Perusahaan lainnya yaitu PT M merupakan
perusahaan pertambangan yang sudah berdiri sejak 15 tahun yang lalu.
Perusahaan ini bergerak di bidang batu dan pasir teras dengan nama gunung yang
dikeruk adalah Gunung Cirante. Sementara itu, PT H merupakan perusahaan yang
baru berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bergerak di bidang pasir teras. 45
Perusahaan ini merupakan perusahaan skala kecil yang mengeruk area
pegunungan bernama Gunung Cabe.
Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dampak pada
sektor perekonomian warga yang kini lebih dominan sebagai buruh harian lepas,
yang memanfaatkan sisa-sisa tambang hasil galian perusahaan tersebut. Kontur
wilayah Desa Cipinang yang dikelilingi bukit membuat kondisi tanahnya cukup
subur dan sangat potensial dalam pengembangan sektor pertanian.
4.4.1 Pabrik Industri Pertambangan di Desa Cipinang
Pada penelitian ini, studi perbandingan dilakukan berdasarkan pada
banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan untuk mengetahui dampaknya
pada sektor pertanian. Dari Desa Cipinang dilakukan pengklasteran menjadi dua
kampung yaitu Kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan
sedikit dengan sektor pertanian masih banyak yaitu Kampung Gunung Cabe
sedangkan kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan banyak
dengan sektor pertanian sedikit yaitu Kampung Joglo. Di Kampung Gunung Cabe
terdapat satu perusahaan yang dikuasai oleh PT K. Sementara itu di Kampung
Joglo, jumlah total pabrik industri pertambangan sebanyak empat perusahaan.
Dua perusahaan skala besar dikuasai oleh PT L dan PT M yang hingga kini masih
produktif dan dua perusahaan lainnya yaitu PT H sebagai perusahaan skala kecil
yang hanya dikuasai oleh beberapa orang saja, sedangkan PT N merupakan
perusahaan pertambangan yang dulu telah bangkrut namun dalam waktu yang
dekat akan segera melakukan aktivitas pertambangan kembali.
Bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan
oleh perusahaan pertambangan di kedua kampung tersebut masih tergolong
charity, karena kegiatan pemberdayaan masyarakat masih belum dilakukan. Hal
tersebut sebagaimana terlihat oleh adanya pemberian uang tunai yang diberikan
oleh perusahaan sebesar Rp 400.000 untuk pengelolaan masjid, Rp 300.000 untuk
kegiatan kepemudaan, dan Rp 600.000 untuk lingkungan. Sementara itu PT M
memberikan uang sebesar Rp 500.000 perbulan untuk lingkungan dan Rp 150.000
untuk kegiatan kepemudaan, sedangkan PT R memberikan uang setiap satu bulan
sekali sebesar Rp 200.000 untuk lingkungan. Selain itu, pihak PT L juga membuat
sumur sebanyak empat buah untuk dipergunakan oleh masyarakat, sedangkan PT 46
M membuat sumur sebanyak tiga buah yang dapat dipergunakan oleh masyarakat
Kampung Joglo.
4.4.2 Aktivitas Blasting
Aktivitas blasting atau peledakan bahan tambang yang terdapat di Kampung
Joglo dan Kampung Gunung Cabe dilakukan setiap hari pada saat siang dan sore
hari. Aktivitas blasting oleh PT K yang terdapat di Kampung Gunung Cabe
dilaksanakan sebanyak dua kali dalam waktu satu hari yaitu pada saat siang dan
sore hari pukul 12.00 WIB dan pukul 17.00 WIB. Sementara itu Aktivitas blasting
oleh PT L yang terdapat di Kampung Joglo dilakukan sebanyak satu kali pada
siang hari. Aktivitas blasting oleh PT M dilakukan sebanyak dua kali dalam
waktu satu hari, sehingga jumlah total aktivitas blasting yang dilakukan di
Kampung Joglo adalah sebanyak tiga kali dalam kurun waktu satu hari. Hal ini
sebagaimana terlihat pada Gambar 8 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 8. Tingkat Frekuensi Blasting
Gambar 8 di atas menunjukkan tingkat frekuensi blasting di Kampung Joglo
dan Kampung Gunung Cabe. Pada penelitian ini penggolongan aktivitas blasting
dibagi menjadi tiga bagian yaitu golongan tinggi, sedang dan rendah. Aktivitas
blasting tergolong rendah apabila blasting dilakukan sebanyak satu kali, aktivitas
blasting tergolong sedang apabila blasting dilakukan sebanyak dua kali,
sedangkan aktivitas blasting tergolong tinggi apabila dilakukan sebanyak lebih
Persentase responden (%)47
dari dua kali dalam jangka waktu satu hari. Di Kampung Joglo sebesar seratus
persen atau sebanyak 30 rumahtangga menyatakan blasting dilakukan sebanyak
tiga kali sehari. Hal tersebut merupakan akumulasi dari aktivitas blasting yang
dilakukan oleh PT L dan PT M, sehingga aktivitas blasting di Kampung Joglo
tergolong tinggi. Sementara itu di Kampung Gunung Cabe sebesar seratus persen
atau sebanyak 30 rumahtangga di menyatakan bahwa aktivitas blasting dilakukan
sebanyak dua kali dalam sehari, sehingga aktivitas blasting di Kampung Gunung
Cabe tergolong sedang. Data tersebut menunjukkan bahwa frekuensi blasting
yang dilakukan di Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan di Kampung Gunung
Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung
Joglo lebih banyak dibandingkan frekuensi blasting di Kampung Gunung Cabe
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah pabrik industri
pertambangan, maka semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.
4.5 Ikhtisar
Karakteristik responden dengan jumlah total 60 rumahtangga berdasarkan
pada tingkat pendidikan yang di tempuh, sektor pekerjaan, asal kependudukan,
jumlah pabrik industri pertambangan dan frekuensi blasting terangkum
sebagaimana Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Karakteristik Responden di Desa Cipinang, 2011.
Aspek Penelitian Kampung Joglo Kampung Gunung Cabe
Tingkat Pendidikan Sangat rendah Sangat rendah
Sektor Pekerjaan Non pertanian Non pertanian
Asal Kependudukan Asli Asli
Jumlah Pabrik Industri
Pertambangan
Banyak Sedikit
Frekuensi Blasting Tinggi Sedang
Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan di
Kampung Joglo dan Kampung tergolong sangat rendah. Hal ini dikarenakan
minimnya sarana pendidikan yang ada di Desa Cipinang. Berdasarkan sektor 48
pekerjaan, mayoritas masyarakat bergerak di sektor non pertanian yaitu dengan
bekerja di sektor pertambangan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini
perekonomian Desa Cipinang telah di dominasi oleh sektor non pertanian.
Mayoritas penduduk Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe merupakan
warga negara asli yang berasal dari daerah itu sendiri.
Jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo tergolong banyak
karena memiliki jumlah total sebanyak empat perusahaan pertambangan.
Sementara itu, jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Gunung Cabe
tergolong sedikit karena hanya memiliki jumlah total sebanyak satu perusahaan
pertambangan. Banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan akan
mempengaruhi tingkat frekuensi blasting yang dilakukan. Di Kampung Joglo,
tingkat frekuensi blasting tergolong tinggi. Sementara itu frekuensi blasting di
Kampung Gunung Cabe tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
banyak jumlah pabrik industri pertambangan, maka semakin tinggi tingkat
frekuensi blasting. 49
BAB V
DAMPAK SOSIO-EKONOMI AKTIVITAS PERTAMBANGAN
Pelaksanaan pembangunan di Indonesia dengan melakukan transformasi
sektor tradisional menjadi sektor industri, memberikan berbagai dampak terhadap
struktur sosial masyarakat Desa Cipinang. Mayoritas penduduk Desa Cipinang
yang pada awalnya bergerak di sektor pertanian kini mulai beralih meninggalkan
sektor tradisional tersebut dengan menjadi pekerja di sektor industri
pertambangan. Dampak kehadiran industri pertambangan bagi masyarakat Desa
Cipinang tidak hanya terlihat pada perubahan struktur mata pencaharian saja,
melainkan juga pada aspek sosial dan ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan
masyarakat, pelapisan sosial, kesempatan kerja sektor pertanian dan non
pertanian, serta tingkat konflik yang terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya
perubahan kondisi lingkungan.
Berbagai dampak positif dan negatif aktivitas pertambangan dirasakan
berbeda bagi setiap lapisan sosial yang terdapat di Desa Cipinang. Pada penelitian
ini, sistem pelapisan sosial yang ada berdasarkan pada struktur pendapatan yang
diperoleh masyarakat. Hal ini dikarenakan sistem pelapisan sosial di Kampung
Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong rendah dan masih bersifat
egaliter. Pada penelitian ini juga akan dilakukan studi perbandingan pada dua
kampung yang berbeda yaitu Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Studi
perbandingan ini berdasarkan pada banyaknya jumlah pabrik industri
pertambangan, untuk melihat pengaruhnya pada sektor pertanian. Selain itu, studi
perbandingan juga dilakukan pada persepsi masyarakat mengenai kondisi sosial
ekonomi dan lingkungan pada saat sebelum dan sesudah adanya aktivitas
pertambangan.
5.1 Struktur Pendapatan
Struktur pendapatan masyarakat pada penelitian digolongkan menjadi tiga
kategori yaitu kategori rendah apabila pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari
Rp 8.787.117, tingkat pendapatan sedang apabila pendapatan yang diperoleh
antara Rp 8.787.117 hingga lebih kecil dari Rp 16.964.607, sedangkan tingkat
pendapatan tergolong tinggi apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar atau 50
sama dengan Rp 16.964.607. Struktur pendapatan ini diperoleh dengan
menggunakan rumus sebaran normal pada rataan pendapatan berdasarkan jumlah
pendapatan dari aktivitas pekerjaan, yang dilakukan dalam kurun waktu satu
tahun selama bulan Januari hingga Desember 2010. Adapun pada penelitian ini,
sektor pekerjaan tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu sektor pertanian
dan sektor non pertanian. Pada umumnya, masyarakat pada lapisan atas
merupakan anggota masyarakat yang melakukan sistem atau pola nafkah ganda
yang dilakukan oleh suami, istri atau anak dengan bertani dan melakukan
pekerjaan lain seperti berdagang atau bekerja di perusahaan pertambangan.
Sementara itu, mayoritas masyarakat pada kategori lapisan menengah dan lapisan
bawah diduduki oleh anggota masyarakat yang hanya bekerja sebagai petani,
pedagang atau pekerja perusahaan pertambangan.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 9. Struktur Pendapatan Rumahtangga Desa Cipinang, 2011
Gambar 9 di atas menunjukkan perbandingan struktur pendapatan
masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Dari Gambar 9
tersebut terlihat bahwa mayoritas penduduk di Kampung Joglo berada pada
tingkat pendapatan sedang dan rendah dengan persentase sebesar 40 persen atau
sebanyak 12 rumahtangga untuk masing-masing golongan, sedangkan mayoritas
masyarakat di Kampung Gunung Cabe memiliki pendapatan sedang dengan
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)51
persentase sebesar 60 persen atau sebanyak 18 rumahtangga. Hanya sebesar 27
persen atau sebanyak delapan rumahtangga saja yang memiliki tingkat pendapatan
rendah. Sementara itu, masyarakat di Kampung Joglo yang memiliki pendapatan
tinggi dengan pendapatan di atas Rp 16.964.607 adalah sebesar 20 persen atau
sebanyak enam rumahtangga. Jumah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah masyarakat di Kampung Gunung Cabe yang hanya berjumlah sebanyak
empat rumahtangga atau sebesar 13 persen saja. Berdasarkan data tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan belum
dapat memberikan pengaruh pada kemajuan perekonomian masyarakat lokal dan
cenderung menimbulkan rantai kemiskinan karena pendapatan yang diperoleh
masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan. Pemerataan pembangunan
melalui sektor pertambangan masih belum dirasakan oleh masyarakat lokal.
Dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan hidup dan masih
rendahnya tingkat perekonomian masyarakat lokal menimbulkan ketidakadilan
dari hasil pembangunan yang telah dilakukan.
5.2 Kategori Lapisan Sosial Berdasarkan Struktur Pendapatan
Berdasarkan data struktur pendapatan yang diperoleh dari masyarakat
Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, maka terbentuk pelapisan sosial di
kedua kampung tersebut.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 10. Lapisan Sosial Desa Cipinang Berdasarkan Struktur Pendapatan
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)52
Penggolongan lapisan atas pada masyarakat di Kampung Joglo dan
Kampung Gunung Cabe, berdasarkan pada masyarakat yang menduduki struktur
pendapatan tinggi. Penggolongan lapisan menengah berdasarkan pada masyarakat
yang menduduki struktur pendapatan rata-rata, sedangkan penggolongan lapisan
sosial bawah berdasarkan pada struktur pendapatan rendah. Data pada Gambar 10
menunjukkan bahwa mayoritas lapisan sosial di kedua kampung ditempati oleh
lapisan menengah, dengan masing-masing persentase sebesar 40 persen atau
sebanyak 12 rumahtangga di Kampung Joglo dan 60 persen atau sebanyak 18
rumahtangga di Kampung Gunung Cabe. Kemudian golongan kedua terbesarnya
adalah lapisan bawah yaitu sebesar 40 persen atau 12 rumahtangga di Kampung
Joglo dan 27 persen atau sebanyak delapan rumahtangga di Kampung Gunung
Cabe. Sementara itu, masyarakat pada lapisan atas menduduki peringkat paling
rendah dengan masing-masing persentase 20 persen atau sebanyak enam
rumahtangga di Kampung Joglo dan 13 persen atau sebanyak empat rumahtangga
di Kampung Gunung Cabe.
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa pelapisan sosial di masyarakat
Kampung Joglo sebagai kampung yang memiliki jumlah pabrik industri
pertambangan banyak, belum dapat memberikan kestabilan pada pelapisan sosial
berdasarkan struktur pendapatan. Hal ini terlihat dari masih banyaknya jumlah
masyarakat yang menduduki lapisan sosial bawah dan lapisan sosial menengah
dibandingkan dengan masyarakat di Kampung Gunung Cabe sebagai kampung
yang memiliki jumlah pertambangan sedikit. Dari data tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan belum mampu memberikan
pemerataan pada sistem lapisan sosial dan justru menambah jumlah lapisan sosial
bawah yang mayoritas ditempati oleh rumahtangga miskin di wilayah pedesaan.
Di Kampung Gunung Cabe, pada umumnya jumlah anggota keluarga yang
sudah bekerja masih bertempat tinggal bersama orang tuanya. Anggota keluarga
tersebut bekerja di perusahaan pertambangan yang jaraknya dekat dengan lokasi
tempat tinggal dan seringkali memberikan bantuan dalam pembiayaan kebutuhan
hidup rumahtangga sehari-hari. Hal tersebut yang menjadikan pendapatan
rumahtangga di Kampung Gunung Cabe semakin bertambah, sehingga mayoritas
masyarakat menduduki lapisan sosial menengah. Bentuk strategi nafkah yang 53
dilakukan rumahtangga di Kampung Gunung Cabe tergolong lebih adaptif
dibandingkan dengan rumahtangga di Kampung Joglo. Hal tersebut terlihat oleh
adanya beberapa anggota rumahtangga di Kampung Joglo yang lebih memilih
untuk bekerja di luar kampung dengan mengikuti saudaranya.
5.3 Kondisi Tempat Tinggal
5.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat kondisi fisik tempat tinggal
masyarakat tersebut. Di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, mayoritas
kondisi fisik tempat tinggal untuk kategori sangat layak diduduki oleh lapisan atas
dan bawah. Tingginya pendapatan yang diperoleh masyarakat lapisan atas
memberikan kemampuan untuk melakukan perawatan dan renovasi rumah,
sehingga kondisi tempat tinggal menjadi sangat layak untuk dihuni. Sementara itu,
pada masyarakat lapisan bawah, hasil penjualan lahan pertanian sebagian besar
digunakan untuk biaya renovasi rumah. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada
Gambar 11 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 11. Kondisi Fisik Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial
Mayoritas masyarakat lapisan menengah di Kampung Joglo dan Kampung
Gunung Cabe dengan masing-masing persentase sebesar 50 persen, memiliki
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)54
kondisi fisik tempat tinggal dengan kategori layak. Hal ini dikarenakan
masyarakat pada lapisan menengah memiliki jumlah anggota keluarga yang
sangat banyak. Satu rumah dihuni oleh lebih dari dua kepala keluarga, sehingga
meskipun kondisi bangunan bersifat permanen, dinding dan alas terbuat dari
semen namun luas bangunan tidak memadai untuk seluruh anggota keluarga.
5.3.2 Status Tempat Tinggal
Masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe memiliki jumlah
penduduk yang sangat padat. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah kepala
keluarga yang tinggal dalam satu rumah bersama tanggungan anggota
keluarganya yang lain. Meskipun satu rumah dapat di huni oleh lebih dari dua
kepala keluarga, namun status kepemilikan tempat tinggal adalah milik pribadi.
Hal ini dikarenakan status tempat tinggal tersebut merupakan hasil warisan dari
orang tua.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 12. Status Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial
Berdasarkan Gambar 12 di atas, hanya sebesar delapan persen atau
sebanyak satu rumahtangga saja pada lapisan menengah di Kampung Joglo yang
memiliki status tempat tinggal sebagai penyewa. Hal ini dikarenakan rumahtangga
tersebut merupakan warga pendatang yang berstatus sebagai pasangan baru
menikah, sehingga belum memiliki tempat tinggal secara pribadi. Sementara itu,
sebesar 25 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan bawah di
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)55
Kampung Gunung Cabe memiliki status sebagai penumpang pada rumah milik
orang lain. Hal ini dikarenakan rumahtangga tersebut belum memiliki uang yang
cukup untuk mendirikan rumah sendiri, sehingga terpaksa menumpang di rumah
milik saudaranya.
5.4 Kepemilikan Lahan Pertanian
5.4.1 Rumahtangga yang Memiliki Lahan Pertanian
Kepemilikan lahan pertanian pada rumahtangga masyarakat Kampung Joglo
dan Kampung Gunung Cabe tergolong sangat rendah. Hal ini sebagaimana terlihat
pada Gambar 13 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 13. Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial
Mayoritas lapisan menengah dan lapisan bawah masyarakat Kampung Joglo
yaitu sebesar 92 persen untuk masing-masing kategori lapisan, tidak memiliki
lahan pertanian. Hal ini dikarenakan pada lapisan tersebut, lahan pertanian yang
dimiliki terpaksa dijual kepada pihak perusahaan pertambangan untuk digunakan
sebagai biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit dan renovasi rumah. Hanya
sebesar 67 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas saja yang
memiliki lahan pertanian.
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)56
Pada umumnya masyarakat lapisan atas di Kampung Joglo memiliki sistem
pola nafkah ganda atau bekerja pada dua sektor sekaligus yaitu sebagai petani dan
pedagang atau pekerja di perusahaaan pertambangan. Lahan pertanian yang
dimiliki digunakan sebagai lahan sawah untuk jenis komoditas padi dan pisang.
Lahan ini dikelola oleh orang lain sebagai buruh tani dengan sistem bagi hasil.
Sementara itu di Kampung Gunung Cabe sebagai kampung yang memiliki kondisi
pertanian lebih banyak dibandingkan dengan Kampung Joglo, mayoritas lahan
pertanian dimiliki oleh lapisan bawah dengan persentase sebesar 50 persen.
Mayoritas masyarakat pada lapisan atas dan lapisan menengah di kampung
tersebut tidak memiliki lahan. Hal ini dikarenakan lahan pertanian yang dimiliki
oleh lapisan atas dan menengah terpaksa dijual ke pihak perusahaan. Uang hasil
penjualan lahan pertanian digunakan untuk biaya renovasi rumah dan modal usaha
dengan membuka warung.
Bapak pernah sih menjual lahan sawah Bapak ke Proyek, luasnya ya
sekitar 5000 meter persegi buat biaya berobat istri Bapak yang sedang sakit.
Dulu harganya itu murah. Nyesel sih sekarang kenapa waktu dulu di jual ke
proyek (Bapak Hj. Rjk, tokoh agama berusia 57 tahun).
Di Kampung Gunung Cabe, jumlah rumahtangga yang masih memiliki
lahan pertanian, lebih banyak dibandingkan dengan Kampung Joglo. Banyaknya
jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo, menjadikan peluang dan
daya tarik bagi masyarakat untuk menjual lahannya kepada pihak perusahaan
pertambangan. Harga lahan yang semakin mahal yang dijanjikan pihak
perusahaan pertambangan menjadi faktor penarik bagi masyarakat untuk menjual
lahan pertaniannya. Hal tersebut yang mengakibatkan lahan pertanian di
Kampung Joglo menjadi semakin berkurang. Sementara itu, jumlah pertambangan
di Kampung Gunung Cabe masih tergolong sedikit. Sebagian masyarakat masih
tetap mempertahankan lahan pertanian sebagai sumber nafkah keluarga. Namun
sebagian lainnya lebih memilih untuk menjual lahannya kepada pihak perusahaan
pertambangan. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
kehadiran industri pertambangan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah
lahan pertanian. Semakin banyak jumlah pabrik industri pertambangan maka
semakin tinggi tingkat terjadinya transformasi sektor pertanian menuju sektor non57
pertanian, sehingga berpeluang terhadap semakin sempitnya pekerjaan di sektor
pertanian akibatnya semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki.
5.4.2 Luas Lahan yang dimiliki
Rendahnya kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipinang, akan
mempengaruhi rendahnya luas lahan yang dimiliki. Hal tersebut sebagaimana
terlihat pada Gambar 15 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumah tangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumah tangga
Gambar 14. Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial
Gambar 14 di atas menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Kampung
Gunung Cabe lebih banyak dibandingkan Kampung Joglo. Hal ini dikarenakan
jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo tergolong banyak,
sehingga banyak masyarakat yang menjual lahannya ke pihak perusahaan untuk
dijadikan sebagai area pertambangan. Sementara itu jumlah pabrik industri
pertambangan di Kampung Gunung Cabe tergolong sedikit, sehingga jumlah
anggota masyarakat yang menjual lahan pertaniannya kepada pihak perusahaan
pun masih sedikit. Sebesar 50 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada
kategori lapisan atas masyarakat Kampung Joglo memiliki luas lahan antara 100
hingga 1000 meter persegi. Hal ini dikarenakan masyarakat pada lapisan atas di
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)58
Kampung Joglo merupakan masyarakat yang bergerak di dua sektor pekerjaan
sekaligus yaitu sebagai petani dan pekerja perusahaan atau berdagang, sehingga
memiliki kemampuan keuangan yang lebih tinggi dalam menopang kebutuhan
hidup. Kebutuhan hidup utama ditopang dari hasil berdagang atau bekerja di
perusahaan pertambangan, sedangkan hasil pertanian hanya digunakan untuk
konsumsi keluarga saja atau subsisten.
Di Kampung Gunung Cabe, jumlah masyarakat lapisan bawah yang
memiliki luas lahan pertanian tinggi, lebih banyak dibandingkan dengan lapisan
atas. Sebesar 13 persen pada lapisan atas memiliki lahan dengan luas antara 1000
hingga 5000 meter persegi. Terdapat 24 persen atau sebanyak dua rumahtangga
yang memiliki luas lahan pertanian antara 100 hingga 1000 meter persegi,
sedangkan hanya sebesar 25 persen atau sebanyak satu rumahtangga saja pada
lapisan atas yang memiliki luas lahan antara 100 hingga 1000 meter persegi. Hal
ini dikarenakan mayoritas masyarakat pada lapisan bawah di Kampung Gunung
Cabe hanya bergerak di sektor pertanian. Pemenuhan kebutuhan hidup sangat
bergantung pada sektor pertanian sehingga rumahtangga tersebut lebih memilih
untuk tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun secara agregat, mayoritas
masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe berstatus tidak
memiliki lahan pertanian. Hal ini akan menimbulkan dampak pada semakin
sempitnya kesempatan kerja sektor pertanian.
5.5 Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian
Proses transformasi sektor pertanian menuju sektor non pertanian atau
sektor pertambangan di Desa Cipinang terlihat dengan semakin rendahnya jumlah
luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan
berdampak terhadap semakin menurunnya kesempatan kerja sektor pertanian.
Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat
Desa Cipinang. Mayoritas masyarakat yang pada awalnya bermatapencaharian
sebagai petani saat ini dituntut untuk melakukan strategi bertahan hidup yaitu
dengan bekerja di sektor non pertanian. Namun rendahnya pendidikan dan
keterampilan yang dimiliki, menjadikan masyarakat lokal tidak mampu bersaing
untuk menduduki posisi layak di sektor pertambangan. Tingginya tingkat
persaingan antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang untuk dapat 59
bekerja di sektor pertambangan menjadi pemicu terjadinya konflik antara kedua
pihak tersebut. Hal ini dikarenakan sektor pertanian yang pada awalnya menjadi
sumber matapencaharian utama masyarakat lokal mengalami penurunan seiring
dengan adanya keputusan dari masyarakat lokal untuk menjual lahan pertanian
yang dimiliki kepada pihak industri pertambangan.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 15. Jumlah Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian Berdasarkan
Lapisan Sosial
Berdasarkan Gambar 15 di atas terlihat bahwa sebesar 50 persen atau
sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan atas di Kampung Joglo pernah menjual
lahan pertaniannya kepada perusahaan pertambangan. Jumlah total luas lahan
yang dijual oleh ketiga rumahtangga tersebut adalah seluas 0,41 hektar. Pada
umumnya mayoritas lahan pertanian di Kampung Joglo dimiliki oleh lapisan atas,
sehingga hanya lapisan atas di kampung tersebut saja yang dapat menjual lahan
pertaniannya kepada pihak perusahaan pertambangan. Sementara itu di Kampung
Gunung terdapat sebesar 33 persen pada lapisan atas, enam persen lapisan
menengah dan 14 persen lapisan bawah menyatakan pernah menjual lahan
pertanian kepada pihak perusahaan pertambangan dengan jumlah total lahan yang
dijual adalah seluas 2,35 hektar. Pada umumnya hasil penjualan lahan pertanian
tersebut digunakan masyarakat untuk membiayai pengobatan anggota keluarga
yang sakit, renovasi rumah dan membeli sawah di tempat yang berbeda.
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)
Persentase responden (%)60
5.6 Persepsi Kesempatan Kerja
5.6.1 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian
Pada awalnya, mayoritas masyarakat Desa Cipinang bergerak di sektor
pertanian. Sebelum adanya industri pertambangan, wilayah Desa Cipinang
dikelilingi oleh area pegunungan. Di bawah pegunungan tersebut terdapat area
persawahan yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai sumber utama
pemenuhan kebutuhan hidup. Kesempatan kerja pertanian terbuka luas karena
lahan pertanian masih sangat luas.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 16. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian
Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Pada kondisi sebelum ada pertambangan, mayoritas masyarakat Kampung
Joglo disetiap kategori lapisan sosial menyatakan bahwa kesempatan kerja sektor
pertanian paling banyak dibandingkan sektor pekerjaan lainnya. Sebesar 67 persen
atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 50 persen atau
sebanyak enam rumahtangga pada lapisan menengah dan sebesar 33 persen atau
sebanyak empat rumahtangga pada lapisan bawah yang menyatakan kesempatan
kerja sektor pertanian paling banyak dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut juga
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)61
dirasakan oleh lapisan sosial menengah dan bawah di Kampung Gunung Cabe,
dimana mayoritas masyarakat menyatakan bahwa kesempatan kerja pertanian
paling banyak dibandingkan sektor pekerjaan lainnya.
Terdapat 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan sosial atas
di Kampung Gunung Cabe yang menyatakan bahwa kesempatan kerja pertanian
terbatas. Hal ini dikarenakan sebagian rumahtangga pada lapisan atas tersebut
tidak pernah bekerja secara langsung di sektor pertanian, sehingga tidak
mengetahui secara jelas kondisi pertanian sebelum ada pertambangan.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 17. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian
Setelah Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Kondisi kesempatan kerja di sektor pertanian mengalami perubahan seiring
dengan banyaknya lahan pertanian yang dijual oleh masyarakat kepada pihak
perusahaan, yaitu pada kondisi setelah adanya pertambangan.
Kalau disini, dulu itu hampir semuanya jadi petani. Soalnya pada saat dulu
gunung yang sekarang jadi proyek itu namanya Gunung Eundeur, di
bawahnya lahan sawah. Kalau sekarang pertanian sudah jadi sedikit,
palingan yang jadi petani ya cuma yang punya lahan saja (Bapak Sf, tokoh
masyarakat berusia 45 tahun).
Di Kampung Joglo pada kondisi setelah ada pertambangan, semakin tinggi
status rumahtangga pada maka semakin banyak yang menyatakan kesempatan
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)62
kerja pertanian terbatas. Hal tersebut dikarenakan rumahtangga lapisan atas di
Kampung Joglo merupakan rumahtangga yang paling akses terhadap pertanian.
Sementara itu rumahtangga lapisan bawah di Kampung Gunung Cabe merupakan
rumahtangga yang paling akses terhadap pertanian. Berdasarkan data tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan memberikan
dampak berupa transformasi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan. Hal
tersebut menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kesempatan kerja sektor
pertanian.
5.6.2 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian
Kesempatan kerja sektor non pertanian mengalami peningkatan seiring
dengan adanya aktivitas pertambangan. Mayoritas masyarakat di Kampung Joglo,
dengan persentase sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan
atas dan 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga lapisan bawah menyatakan
bahwa, tidak ada kesempatan kerja non pertanian pada saat sebelum ada
pertambangan. Sementara itu sebesar 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga
menyatakan kesempatan kerja terbatas. Hal ini dikarenakan kesempatan kerja di
bidang non pertanian masih sangat terbatas.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 18. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non
Pertanian Sebelum Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)63
Mayoritas masyarakat Kampung Gunung Cabe pada setiap kategori lapisan
sosial yaitu sebesar 100 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan
atas, sebesar 78 persen atau sebanyak 14 rumahtangga pada lapisan menengah,
dan sebesar 87 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada lapisan bawah
menyatakan bahwa pada saat kondisi sebelum ada pertambangan, kesempatan
kerja non pertanian terbatas. Hal ini dikarenakan sebelum adanya pertambangan,
mayoritas aktivitas kehidupan masyarakat bertumpu pada sektor pertanian.
Kesempatan kerja non pertanian sangat sulit di jangkau. Usaha non
pertanian seperti membuka warung, membutuhkan biaya atau modal yang tidak
sedikit. Selain itu, faktor pendidikan yang rendah menjadikan masyarakat tidak
memiliki keterampilan lain selain di bidang pertanian. Akibatnya masyarakat
tidak mampu bersaing dengan pihak lainnya untuk bekerja di sektor non
pertanian. Namun kondisi tersebut berubah setelah adanya kehadiran industri
pertambangan. Kehadiran industri pertambangan mampu memberikan kesempatan
kerja bagi masyarakat.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 19. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non
Pertanian Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)64
Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo
yaitu sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan sosial atas,
sebesar 42 persen atau sebanyak lima rumahtangga, dan sebesar 50 persen atau
sebanyak enam rumahtangga pada kategori lapisan bawah menyatakan bahwa
kesempatan kerja non pertanian setelah adanya industri pertambangan tergolong
terbuka luas.
Hal yang sama dirasakan oleh masyarakat di Kampung Gunung Cabe.
Sebesar 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan atas dan sebesar
50 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan
kesempatan kerja terbuka luas. Sementara itu sebanyak delapan rumahtangga atau
sebesar 44 persen menyatakan kesempatan kerja pada kondisi sebelum dan setelah
ada pertambangan tergolong sama saja. Hal ini dikarenakan masyarakat pada
lapisan tersebut menyatakan sangat sulit untuk menjadi pekerja di pertambangan.
Sebagian masyarakat dapat bekerja di perusahaan pertambangan. Namun
karena rendahnya pendidikan yang ditempuh, mayoritas warga bekerja sebagai
buruh kasar seperti supir truk pengangkut barang tambang dan buruh pengangkut
bahan tambang. Adanya standar perusahaan yang menetapkan bahwa setiap orang
yang ingin menjadi karyawan tetap, minimal pendidikan yang ditempuh adalah
lulusan SMA atau STM. Hal tersebut masih sangat sulit terjangkau, mengingat
pendidikan masyarakat lokal yang masih tergolong rendah. Namun hadirnya
perusahaan memberikan keuntungan bagi penduduk pendatang. Hal tersebut
terlihat dengan banyaknya jumlah penduduk pendatang yang bekerja di
perusahaan pertambangan dan berstatus sebagai karyawan tetap. Selain
memberikan kesempatan kerja, dampak positif kehadiran perusahaan
pertambangan juga dirasakan oleh para pedagang di sekitar pertambangan.
Peningkatan ekonomi dirasakan oleh para pedagang setelah hadirnya perusahaan
pertambangan. Banyak para pekerja yang ketika beristirahat makan di warung
milik pedagang, karena tidak sempat untuk pulang ke rumah.
5.7 Tingkat Kedalaman Konflik
5.7.1 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara
Dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosial terlihat dengan adanya
konflik sebagai akibat terjadinya perubahan lingkungan. Kondisi suhu udara yang 65
panas, berdebu dan terlihat gersang mengganggu kenyamanan hidup masyarakat
di sekitar wilayah pertambangan.
Konflik yang terjadi di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe
merupakan konflik terbuka (manifest), dimana pihak yang berselisih saling
melakukan negosiasi terkait permasalahan kerusakan lingkungan. Hal ini terlihat
dengan adanya masalah perubahan udara seperti kondisi suhu udara yang panas
dan berdebu mendapatkan perhatian lebih dari pihak perusahaan dengan
melakukan upaya penyiraman sebanyak tiga kali dalam satu hari. Hal tersebut
dilakukan agar kapasitas debu menjadi semakin berkurang. Adapun konflik yang
terjadi merupakan konflik yang melibatkan masyarakat lokal dengan pihak
perusahaan pertambangan.
Masalah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat disini itu adalah masalah
kebisingan dan debu. Namun untuk debu, sekarang sudah tidak lagi karena
suka ada penyiraman air sehari tiga kali oleh PT (Bapak Sop, sekertaris
Desa Cipinang berusia 30 tahun).
Tingkat konflik yang terjadi di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe
masih berada pada level sedang karena umumnya masyarakat hanya mengeluh
pada perusahaan. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 20 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 20. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara Berdasarkan
Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)66
Sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan atas
masyarakat Kampung Joglo menyatakan perubahan udara tergolong biasa saja.
Hal tersebut dikarenakan pada lapisan atas umumnya ditempati oleh tokoh
masyarakat. Pihak perusahaan selalu memberikan kompensasi berupa uang tunai
yang diberikan setiap bulan melalui tokoh masyarakat. Uang tunai tersebut
merupakan biaya ganti rugi atas kerusakan lingkungan dan berbagai dampak
negatif dari usaha pertambangan. Selain itu anggota keluarga pada masyarakat
lapisan atas, banyak yang bekerja di perusahaan pertambangan.
Kalau Bapak sih nggak bisa ngomong secara gamblang gitu untuk
ngomongin apa yang Bapak keluhkan ke proyek soalnya kan anak Bapak
ada yang kerja disana. Terus dari proyek juga suka ngasih uang untuk
tokoh masyarakat disini. Termasuk Bapak gitu hehehe (Bapak Hj.Rjk,
tokoh agama berusia 57 tahun).
Sementara itu, sebesar 93 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada
lapisan menengah dan sebesar 50 persen atau sebanyak enam rumahtangga pada
lapisan bawah di Kampung Joglo menyatakan mengeluh akibat perubahan udara
yang terjadi. Hal ini dikarenakan debu sebagai limbah buangan pabrik industri
pertambangan dirasakan sangat mengganggu masyarakat. Selain itu, masyarakat
pada lapisan menengah dan bawah juga tidak merasakan adanya kompensasi
seperti yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada lapisan atas.
Terjadi perbedaan tingkat kedalaman konflik antara masyarakat Kampung
Joglo dan masyarakat Kampung Gunung Cabe. Semua kategori lapisan sosial
masyarakat di Kampung Gunung Cabe yaitu sebesar 100 persen atau sebanyak
empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 94 persen atau sebanyak 17
rumahtangga pada lapisan menengah, dan sebesar 100 persen atau sebanyak
delapan rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan mengeluh akibat perubahan
udara. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan signifikan yang dirasakan oleh
masyarakat pada kondisi awal dimana suhu udara masih terasa sejuk dan tidak
berdebu namun kini berubah menjadi panas, berdebu dan terlihat gersang. hal
tersebut menyebabkan kenyamanan hidup masyarakat menjadi sangat terganggu.
Selain itu, masyarakat di Kampung Gunung Cabe juga tidak merasakan adanya
bentuk kompensasi atau biaya ganti rugi akibat terjadinya perubahan udara seperti
apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pertambangan di Kampung Joglo.67
5.7.2 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara
Aktivitas pertambangan memberikan dampak negatif berupa polusi suara
atau kebisingan yang berasal dari aktivitas blasting dan kendaraan truk
pengangkut bahan tambang. Kebisingan yang terjadi menimbulkan gangguan
pada pendengaran, proses komunikasi, aktivitas tidur, dan retakan pada rumah
warga. Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung
Joglo dan Kampung Gunung Cabe menyatakan mengeluh akibat polusi suara.
Di Kampung Joglo sebesar 100 persen atau sebanyak enam rumahtangga
pada kategori lapisan atas, sebesar 67 persen atau sebanyak delapan rumahtangga
pada kategori lapisan menengah dan sebesar 50 persen atau sebanyak enam
rumahtangga pada kategori lapisan bawah menyatakan mengeluh akibat polusi
suara. Jumlah persentase lapisan atas yang menyatakan mengeluh, lebih banyak
dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan bawah. Hal ini dikarenakan
tingkat kebisingan yang dirasakan oleh masyarakat pada lapisan atas, lebih tinggi
akibat jarak rumah yang lebih dekat dengan lokasi blasting dan jalan raya sebagai
tempat melajunya kendaraan truk pengangkut bahan tambang.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 21. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara Berdasarkan
Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)68
Hal yang sama terjadi pada masyarakat Kampung Gunung Cabe. Mayoritas
setiap kategori lapisan sosial di Kampung Gunung Cabe menyatakan mengeluh
akibat terjadinya polusi suara. Sebesar 75 persen atau sebanyak tiga rumahtangga
lapisan atas, sebesar 83 persen atau sebanyak 15 rumahtangga lapisan menengah,
dan sebesar 100 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada lapisan bawah
menyatakan mengeluh akibat polusi suara. Jumlah persentase yang mengeluh
pada lapisan bawah lebih besar dibandingkan dengan lapisan menengah dan
lapisan bawah. Hal ini dikarenakan tingkat kebisingan yang dirasakan oleh lapisan
bawah lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan atas dan lapisan menengah akibat
jarak rumah yang lebih dekat dengan lokasi blasting dan jalan raya sebagai tempat
melajunya kendaraan truk, sehingga jumlah masyarakat yang mengeluh pada
lapisan bawah lebih banyak dibandingkan dengan lapisan menengah dan atas.
Pada kategori lapisan sosial di Kampung Joglo, semakin tinggi status sosial
masyarakat maka semakin tinggi tingkat keluhan terhadap kebisingan. Sementara
itu pada kategori lapisan sosial di Kampung Gunung Cabe, semakin rendah status
sosial di masyarakat maka semakin tinggi tingkat keluhan terhadap kebisingan.
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sensitivitas kebisingan lapisan atas di
Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan menengah dan bawah.
Sebaliknya, tingkat sensitivitas kebisingan lapisan bawah di Kampung Gunung
Cabe lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan atas dan menengah.
5.7.3 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air
Masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe pada umumnya
menggunakan air sumur sebagai sumber air. Hanya sebagian kecil dari masyarakat
yang menggunakan sungai sebagai sumber air. Permasalahan yang ditimbulkan
oleh adanya aktivitas pertambangan pada sumber air tersebut adalah terjadinya
kekeringan pada saat musim kemarau. Permasalahan ini, menjadi salah satu
masalah yang paling dikeluhkan oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung
Gunung Cabe.
Data pada Gambar 22 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada
setiap kategori lapisan sosial menyatakan mengeluh akibat gangguan sumber air.
Di Kampung Joglo sebesar seratus persen atau sebanyak enam rumahtangga pada
lapisan atas, sebesar 75 persen atau sebanyak sembilan rumahtangga lapisan 69
menengah, dan sebesar 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada lapisan
bawah menyatakan mengeluh akibat adanya gangguan sumber air
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 22. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air
Berdasarkan Lapisan Sosial
Data pada Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi lapisan
sosial di Kampung Joglo, maka semakin tinggi tingkat persentase rumah tangga
yang mengeluh. Hal ini menunjukkan tingkat sensitivitas lapisan atas terhadap
gangguan sumber air lebih tinggi dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Hal
yang sama juga terjadi di Kampung Gunung Cabe, dimana mayoritas masyarakat
pada setiap kategori lapisan sosial menyatakan mengeluh akibat gangguan sumber
air. Sebesar 100 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas,
sebesar 75 persen atau sebanyak 15 rumahtangga lapisan menengah, dan sebesar
100 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan
mengeluh akibat gangguan sumber air.
Sebagian masyarakat di Kampung Joglo menyatakan masih dapat
mengambil air dari sumur yang disediakan oleh perusahaan jika terjadi
kekeringan, sedangkan yang lainnya lebih memilih untuk pergi ke kampung
terdekat yang masih terdapat air. Sementara itu, masyarakat di Kampung Gunung
Cabe masih dapat memperoleh air bersih yang berasal dari selang milik
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)70
perusahaan dan air yang disediakan oleh pemerintah melalui tangki-tangki jika
terjadi kekeringan saat musim kemarau.
5.8 Hubungan Antar Warga
5.8.1 Hubungan Antar Masyarakat Lokal
Masyarakat Desa Cipinang dikenal sebagai masyarakat yang masih sangat
kental unsur keagamaannya. Kegiatan kerohanian seperti pengajian masih sering
dilakukan di daerah tersebut. Melalui kegiatan pengajian tersebut, masyarakat bisa
bersilaturahmi dan menjalin komunikasi secara intens dengan masyarakat lainnya.
Kegiatan pengajian ini dilaksanakan setiap hari namun dibedakan berdasarkan
lapisan umur di masyarakat seperti orang tua, remaja, dan anak-anak. Selain
sebagai tempat berkomunikasi, pengajian juga dijadikan warga sebagai tempat
sharing dan pencarian solusi atas masalah yang dihadapi secara bersama-sama.
Hal tersebut yang menjadikan hubungan antar sesama masyarakat masih terjalin
dengan baik. Selain itu, jarak rumah yang berdekatan dan berdempetan pun
memudahkan terjadinya proses komunikasi antar warga.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 23. Hubungan Sesama Masyarakat Lokal Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)71
Mayoritas masyarakat pada setiap lapisan sosial di Kampung Joglo
menyatakan masih peduli dan suka membantu. Sebesar 83 persen atau sebanyak
lima rumahtangga lapisan atas, sebesar 84 persen atau sebanyak sepuluh
rumahtangga lapisan menengah dan 67 persen atau sebanyak delapan
rumahtangga lapisan bawah di Kampung Joglo menyatakan masih peduli dan suka
membantu.
Berdasarkan data pada Gambar 23 terlihat perbedaan antara hubungan yang
terjadi antar masyarakat lokal di Kampung Gunung Cabe dan Kampung Joglo.
Sistem gotong royong masih terdapat di Kampung Gunung Cabe dengan
persentase sebesar 11 persen pada lapisan menengah dan 13 persen pada
masyarakat lapisan bawah. Hal ini dikarenakan pada masyarakat Kampung
Gunung Cabe, kegiatan pengajian masih sangat sering dilakukan. Melalui
pengajian tersebut, masyarakat masih sering melakukan komunikasi. Kegiatan
seperti perbaikan mesjid pun masih sering dilakukan secara bersama-sama,
sehingga hubungan masih terjalin dengan erat. Sementara itu sebesar 100 persen
atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 72 persen atau
sebanyak 13 rumahtangga lapisan menengah dan sebesar 74 persen atau sebanyak
enam rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan masih peduli dan saling
membantu. Kegiatan gotong royong di Kampung Joglo sudah jarang dilakukan.
Hal ini dikarenakan para warga sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Ya kalau dulu sih disini warganya pada masih suka gotong royong. Kayak
untuk pembangunan mesjid begitu, semua masyarakat pada ikut bantu-bantu.
Dana pembangunannya aja dikumpulin dari semua masyarakat. Itu untuk
ngebangun mesjid yang disebelah situ tuh. Tapi sekarang sih gotong
royong sudah jarang sekali. Mungkin karena pada sibuk kali ya (Bapak Hj.
Rjk, tokoh agama berusia 57 tahun).
Pada umumnya, hubungan yang terjalin antar sesama masyarakat lokal di
Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong baik dan bersifat
kolektivis, karena mayoritas masyarakat menyatakan peduli dan suka membantu.
5.8.2 Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang
Pada umumnya, hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan
masyarakat pendatang masih tergolong baik. Sebesar 50 persen atau sebanyak tiga
rumahtangga lapisan atas di Kampung Joglo menyatakan masih peduli dan suka
membantu. Sebesar 67 persen atau sebanyak delapan rumahtangga lapisan 72
menengah menyatakan masih terjalin kontak dan komunikasi. Sementara itu
sebanyak 42 persen atau sebanyak lima rumahtangga lapisan bawah menyatakan
masih peduli dan suka membantu. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan
hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang di Kampung
Gunung Cabe. Sebesar 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga lapisan atas
menyatakan masih peduli dan suka membantu. Sebesar 44 persen atau sebanyak
delapan rumahtangga lapisan menengah menyatakan masih terjalin kontak dan
komunikasi. Sementara itu sebesar 63 persen atau sebanyak lima rumahtangga
pada lapisan bawah menyatakan masih peduli dan suka membantu.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 24. Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang Berdasarkan
Lapisan Sosial
Berdasarkan perbandingan, hubungan yang terjadi antar sesama masyarakat
lokal dengan hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang
maka hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang tergolong
lebih rendah. Hal ini dikarenakan adanya tingkat persaingan kerja di sektor
pertambangan. Terdapat beberapa rumahtangga di Kampung Joglo dan Kampung
Gunung Cabe yaitu sebesar 17 persen pada lapisan atas, sebesar 25 persen pada
lapisan menengah, dan sebesar 16 persen pada lapisan bawah di Kampung Joglo
menyatakan sudah tidak peduli dengan keadaan penduduk pendatang lagi.
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)73
Sementara itu, terdapat 23 persen lapisan menengah dan 12 persen pada lapisan
bawah di Kampung Gunung Cabe yang menyatakan sudah tidak peduli dengan
keadaan penduduk pendatang lagi. Hal dikarenakan adanya anggota keluarga yang
tidak mampu bersaing untuk bekerja di sektor pertambangan sehingga masyarakat
tersebut sulit menjangkau perusahaan.
Ibu sudah tidak peduli lagi sama penduduk pendatang. Soalnya anak Ibu
yang sudah susah payah melamar kerja di pertambangan tidak diterima. Tapi
giliran penduduk pendatang aja langsung diterima. Nggak tau ibu juga
kenapa bisa kayak gitu (Ibu Mae, pedagang dan Ibu rumahtangga berusia 60
tahun).
Rendahnya pendidikan yang di tempuh dan minimnya keterampilan yang
dimiliki, menjadikan masyarakat lokal tidak mampu bersaing dengan masyarakat
pendatang untuk bekerja dan menduduki posisi yang layak di perusahaan
pertambangan. Adanya tingkat persaingan antara masyarakat lokal dengan
pendatang ini berpeluang menimbulkan konflik, akibat dominasi perekonomian
oleh masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal.
5.9 Ikhtisar
Kehadiran industri pertambangan memberikan dampak positif dan negatif
pada aspek sosio-ekonomi masyarakat Desa Cipinang. Tingkat pendapatan yang
diperoleh masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe selama
kurun waktu satu tahun terakhir tergolong sedang, dengan kondisi fisik tempat
tinggal sangat layak. Kepemilikan lahan pertanian tergolong rendah karena
banyak dari anggota masyarakat yang menjual lahannya kepada pihak perusahaan.
Rendahnya kepemilikan lahan pertanian berkorelasi terhadap semakin rendahnya
luasnya lahan yang dimiliki. Selain itu, rendahnya kepemilikan lahan juga
menyebabkan sulitnya kesempatan kerja sektor pertanian. Terjadi perubahan
kesempatan kerja pertanian pada kondisi sebelum dan setelah ada pertambangan.
Kesempatan kerja sektor pertanian pada kondisi sebelum ada pertambangan
tergolong sangat mudah, namun menjadi sulit setelah ada pertambangan.
Di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, dampak pada aspek sosioekonomi seperti struktur pendapatan, kesempatan kerja sektor pertanian dan
kesempatan kerja sektor non pertanian, serta tingkat konflik yang terjadi di
masyarakat terangkum sebagaimana Tabel 7. 74
Tabel 7. Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi Terhadap
Masyarakat Lokal Desa Cipinang, 2011.
Aspek Penelitian Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan
banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan
sedikit)
Tingkat Pendapatan Sedang, rendah Sedang
Kondisi Fisik Tempat
Tinggal
Sangat layak Sangat layak
Status Tempat Tinggal Milik pribadi Milik pribadi
Kepemilikan Lahan
Pertanian
Rendah
(lahan < 0,001 hektar)
Rendah
(lahan < 0,001 hektar)
Luas Lahan yang dimiliki Sangat rendah
(lahan < 0,001 hektar
Sangat rendah
(lahan < 0,001 hektar)
Kesempatan Kerja
Pertanian Sebelum Ada
Pertambangan
Sangat mudah Sangat mudah
Kesempatan Kerja
Pertanian Setelah Ada
Pertambangan
Sulit Sulit
Kesempatan Kerja Non
Pertanian Sebelum Ada
Pertambangan
Sangat sulit Sulit
Kesempatan Kerja Non
Pertanian Setelah Ada
Pertambangan
Mudah Mudah
Tingkat Kedalaman
Konflik Akibat Perubahan
Udara
Sedang Sedang
Tingkat Kedalaman
Konflik Akibat Polusi
Suara
Sedang Sedang
Tingkat Kedalaman
Konflik Akibat Gangguan
Sumber Air
Sedang Sedang
Hubungan Antar Sesama
Masyarakat Lokal
Tinggi Tinggi
Hubungan Antara
Masyarakat Lokal dengan
Pendatang
Sedang Tinggi
Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011
Berdasarkan data pada Tabel 7 terlihat bahwa kesempatan kerja sektor non
pertanian sebelum ada pertambangan di Kampung Joglo tergolong sangat sulit dan
tergolong sulit menurut masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Hal ini
dikarenakan sebelum ada pertambangan, mayoritas masyarakat bekerja di sektor 75
pertanian. Kehadiran industri pertambangan memberikan peluang kerja bagi
masyarakat, sehingga mayoritas masyarakat tersebut menyatakan bahwa
kesempatan kerja di sektor non pertanian tergolong mudah.
Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan serta pemerintah
akibat perubahan lingkungan seperti perubahan udara, polusi suara, dan gangguan
sumber air di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong
sedang karena mayoritas masyarakat hanya mengeluh. Adanya penanganan dari
pihak perusahaan dengan membuka air sumur yang dapat digunakan saat musim
kemarau, dan upaya penyiraman air untuk mengurangi kapasitas debu
menyebabkan konflik semakin teratasi. Hubungan yang terjadi antar masyarakat
lokal di Kampung Joglo Kampung Gunung Cabe tergolong tinggi. Sementara itu,
Hubungan yang terjalin antara masyarakat lokal dengan pendatang di Kampung
Gunung Cabe tergolong masih tinggi, sedangkan di Kampung Joglo tergolong
sedang. Hal ini dikarenakan adanya persaingan antara masyarakat lokal dengan
pendatang untuk bekerja di sektor pertambangan. 76
BAB VI
DAMPAK SOSIO-EKOLOGI AKTIVITAS PERTAMBANGAN
Kondisi geografis Desa Cipinang yang dikelilingi oleh wilayah pegunungan
menunjukkan kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah didalamnya.
Kekayaan sumberdaya alam tersebut bukan hanya memberikan kenyamanan
hidup bagi masyarakat, melainkan juga bagi ekosistem yang berada disekitarnya.
Namun saat ini seiring dengan adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam
tambang, kondisi lingkungan hidup berada pada fase kritis dan sangat
mengkhawatirkan.
Pada awalnya, Desa Cipinang dikelilingi oleh wilayah pegunungan dan
terdapat lahan sawah pada bagian bawah gunung. Di pegunungan tersebut
terdapat mata air yang dijadikan sebagai sumber air utama oleh setiap masyarakat
Desa Cipinang. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan lahan di beberapa
bagian pegunungan sebagai lahan pertanian untuk jenis komoditas pisang. Kondisi
lahan yang sangat subur, menjadikan Desa Cipinang sebagai daerah yang
potensial bagi berkembangnya sektor pertanian. Kekayaan sumberdaya alam yang
ada, tidak hanya terlihat pada potensi yang tinggi bagi sektor pertanian saja
melainkan juga bagi sektor pertambangan.
6.1 Konversi Lahan Pertanian
Peralihan sektor pertanian menjadi sektor non pertanian atau sektor
pertambangan di Desa Cipinang, terjadi seiring dengan semakin banyaknya
jumlah masyarakat lokal yang menjual lahan pertanian yang dimiliki kepada pihak
perusahaan pertambangan untuk dijadikan sebagai lahan tambang. Sebelum ada
pertambangan masyarakat lokal memanfaatkan lahan di sekitar pegunungan untuk
menanam pisang dan padi. Banyaknya cadangan air di pegunungan tersebut
menjadikan kondisi lahan sangat subur dan potensial bagi sektor pertanian karena
banyaknya saluran irigasi. Namun seiring dengan masuknya perusahaan
pertambangan, jumlah lahan pertanian menjadi semakin menyempit karena
terkonversi menjadi area pertambangan. Di satu sisi, konversi lahan pertanian
menjadi pertambangan memberikan dampak negatif berupa semakin menurunnya
kesempatan kerja sektor pertanian. Namun di sisi lain kesempatan kerja sektor 77
pertambangan mengalami peningkatan sehingga memberikan kesempatan kerja
bagi masyarakat di sekitar dan di luar wilayah pertambangan. Konversi lahan
pertanian menjadi pertambangan juga menimbulkan dampak negatif pada aspek
sosio-ekologi seperti terjadinya gangguan resapan air berupa kekeringan.
6.2 Sumber Air yang digunakan Masyarakat
Desa Cipinang merupakan salah satu kawasan yang dikelilingi oleh
pegunungan dan dialiri Sungai Cisadane. Meskipun wilayah tersebut merupakan
wilayah yang dialiri Sungai Cisadane, namun Mayoritas masyarakat Desa
Cipinang menjadikan air sumur sebagai sumber air. Hal ini dikarenakan jarak
tempat tinggal menuju sungai sangat jauh sehingga mayoritas rumahtangga lebih
memilih air sumur sebagai sumber air.
Disini kebanyakan warga memperoleh air dari sumur soalnya kalau ke
sungai kan jauh. Dulu sih sempet kekeringan tapi sekarang sudah ada
penanganan dari PT, tuh yang deket jalan kan ada selang air bersih yang bisa
dipergunakan oleh siapapun warga disini (Bapak Skd, tokoh masyarakat
berusia 33 tahun).
Masyarakat menggunakan air sumur sebagai air untuk mandi, mencuci, dan
kakus atau MCK. Sebagian masyarakat juga menjadikan air sumur sebagai air
minum, namun sebagian lainnya lebih memilih mengkonsumsi air minum yang
berasal dari air galon atau air minum isi ulang. Sebelum akses pada sumur,
masyarakat lokal menggunakan mata air pegunungan sebagai sumber air utama.
Namun seiring dengan dilakukannya aktivitas pengerukan pertambangan, mata air
pegunungan tersebut mengalami kekeringan. Aktivitas blasting dan pengerukan
bahan tambang mengakibatkan penurunan kualitas lahan pertanian. Mata air yang
berasal dari gunung menjadi kering dan menghilang seiring dengan eksploitasi
sumberdaya alam tambang yang terus dilakukan. Guncangan blasting
menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal dari sumur dan semakin
berkurangnya saluran irigasi.
Saat ini, masalah kekeringan air merupakan salah satu masalah yang paling
dikeluhkan oleh masyarakat Desa Cipinang. Hal ini dikarenakan pada saat musim
kemarau, air sumur yang dimiliki oleh masyarakat selalu mengalami kekeringan.
Selain itu, guncangan blasting menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal
dari sumur karena air menjadi semakin keruh. Berbagai upaya terus dilakukan 78
oleh pemerintah dan perusahaan pertambangan. Upaya tersebut berupa pengadaan
air bersih yang berasal dari selang maupun membuat air sumur yang dapat
dipergunakan oleh setiap masyarakat di Desa Cipinang.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 25. Sumber Air yang digunakan Masyarakat Berdasarkan Lapisan Sosial
Berdasarkan data pada Gambar 25 di atas terlihat bahwa sebesar 100 persen
rumahtangga pada setiap lapisan sosial di Kampung Joglo dan Kampung Gunung
Cabe menggunakan air sumur sebagai sumber air. Sementara itu terdapat satu
rumahtangga atau sebesar delapan persen pada lapisan bawah di Kampung Joglo
yang menggunakan sungai sebagai sumber air. Hal ini dikarenakan air sumur yang
dimiliki oleh rumahtangga tersebut mengalami gangguan berupa kekeringan dan
diperparah dengan kondisi air yang sangat kotor, sehingga lebih memilih untuk
beralih menggunakan air sungai sebagai sumber air.
6.3 Kondisi Sumber Air
Sebelum masyarakat akses pada air sumur dengan menjadikannya sebagai
sumber air, mayoritas masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe
menjadikan mata air pegunungan sebagai sumber air utama. Hal ini dikarenakan
Kondisi mata air pegunungan memiliki kualitas yang sangat jernih. Kondisi mata
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan
sedikiti)79
air pegunungan sangat melimpah karena dikelilingi oleh banyak pohon sehingga
menyimpan banyak cadangan air.
Dulu disini itu ada banyak mata air di dekat gunung. Air melimpah bersih
lagi semua warga ngambilnya dari situ. Tapi setelah ada pertambangan
tanahnya dikeruk dan sekarang sudah di urug (timbun) jadinya agak susah
air sekarang itu. Apalagi kalau musim kemarau dua minggu saja sudah
kering disini gak ada air (Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33 tahun).
Kondisi sumber air berubah setelah adanya aktivitas pertambangan.
Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Desa Cipinang
menyatakan bahwa kondisi air pada saat sebelum ada pertambangan adalah
tersedia dimana-mana. Hal ini sebagaimana terlihat pada Gambar 26 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 26. Persepsi Kondisi Sumber Air Sebelum Ada Pertambangan
Berdasarkan Lapisan Sosial
Sebesar 100 persen pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo
dan Kampung Gunung Cabe menyatakan bahwa kondisi sumber air sebelum ada
pertambangan, sangat melimpah dan tersedia dimana-mana. Sementara itu
terdapat satu rumahtangga dengan persentase sebesar 17 persen pada lapisan atas
di Kampung Joglo yang menyatakan kondisi sumber air sebelum ada
pertambangan masih air tersedia namun terbatas. Hal ini dikarenakan
rumahtangga tersebut merupakan penduduk pendatang asal Garut yang baru
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)80
tinggal sekitar sepuluh tahun yang lalu sehingga tidak mengetahui dengan jelas
kondisi sumber air sebelum ada pertambangan di Kampung Joglo.
Persepsi masyarakat mengenai kondisi sumber air sebelum dan setelah ada
pertambangan dirasakan sangat berbeda oleh masyarakat Kampung Joglo dan
Kampung Gunung Cabe.
Dulu, disini yang namanya air itu sangat melimpah dan jernih. Para warga bisa
memperoleh air dengan mudah karena sumber airnya itu kan dari gunung.
Tapi sekarang, air sudah sangat terbatas soalnya kan gunung di keruk,
pohonnya jadi nggak ada. Apalagi saat musim kemarau, baru satu bulan saja
disini suka kekeringan. Tapi kalau sudah kayak gitu, biasanya pemerintah
suka ngasih air lewat tangki terus di isi ke bak-bak warga (Bapak Sf, tokoh
masyarakat berusia 45 tahun).
Perubahan terjadi pada kondisi awal sumber air yang sangat melimpah dan
tersedia dimana-mana, namun saat ini kondisi sumber air berubah menjadi
tersedia namun jumlahnya sangat terbatas. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada
Gambar 27 di bawah ini.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 27. Persepsi Kondisi Sumber Air Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan
Lapisan Sosial
Sebesar 100 persen pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo
dan Kampung Gunung Cabe menyatakan bahwa, kondisi sumber air setelah ada
pertambangan masih tersedia namun terbatas. Hal ini dikarenakan pada musim
kemarau semua sumber air yang digunakan warga mengalami kekeringan.
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(jumlah pertambangan sedikit)81
Terdapat satu rumahtangga pada lapisan menengah di Kampung Joglo yang
menyatakan bahwa kondisi air sebelum dan setelah ada pertambangan, sama saja
yaitu kondisi sumber air masih tersedia dimana-mana. Hal ini dikarenakan
rumahtangga tersebut masih dapat akses pada air sumur yang telah disediakan
oleh perusahaan jika terjadi kekeringan. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan memberikan dampak yang
sangat negatif terhadap kondisi sumber air.
6.4 Kualitas Air Minum
Masyarakat di Kampung Gunung Cabe dan Kampung joglo memiliki
persepsi bahwa kondisi air minum tergolong jernih, apabila kondisi air yang di
konsumsi tidak berwarna sama sekali.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 28. Kualitas Air Minum Responden Berdasarkan Lapisan Sosial
Gambar 28 di atas menunjukkan bahwa mayoritas kualitas air minum yang
di konsumsi oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih
tergolong jernih. Hanya terdapat dua rumahtangga atau sebesar 33 persen saja
pada kategori lapisan atas di Kampung Joglo menyatakan bahwa kualitas air
minum yang di konsumsi berwarna agak kecokelatan. Hal ini dikarenakan jarak
tempat tinggal masyarakat pada lapisan atas tersebut berdekatan dengan lokasi
aktivitas penambangan, sehingga goncangan aktivitas blasting berpengaruh
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)82
terhadap kualitas air minum yang diperoleh dari sumur. Sementara itu, dua
rumahtangga pada lapisan menengah di Kampung Joglo dan masing-masing satu
rumahtangga pada semua kategori lapisan sosial yang ada di Kampung Gunung
Cabe menyatakan bahwa kualitas air minum yang di konsumsi berwarna agak
kecokelatan. Hal tersebut dikarenakan air minum yang digunakan berasal dari air
sumur yang memiliki kondisi agak berwarna.
Ya sebersih bersihnya air sumur gimana ya. Di bilang bersih ya bersih tapi
airnya tetep saja suka agak kotor gitu (Bapak Skd, tokoh masyarakat
berusia 33 tahun).
Gangguan terhadap kualitas air minum, sama-sama dirasakan oleh
masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe terutama oleh
masyarakat lapisan atas. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas masyarakat
lapisan atas lebih tinggi daripada lapisan sosial menengah dan bawah.
6.5 Persepsi Kondisi Udara
Persepsi kondisi udara sebelum ada pertambangan pada penelitian ini dibagi
menjadi tiga kategori yaitu buruk apabila suhu udara panas, berdebu dan terlihat
gersang. Kondisi udara sedang jika suhu udara panas namun tidak berdebu, dan
kondisi udara baik jika suhu udara terasa sejuk dan tidak berdebu.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 29. Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Sebelum Ada
Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)83
Kondisi udara pada saat sebelum dan setelah ada pertambangan, dirasakan
sangat berbeda oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe.
mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Gunung
Cabe menyatakan bahwa kondisi udara sebelum ada pertambangan masih
tergolong sejuk dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan sebelum ada
pertambangan, kondisi kampung tersebut dikelilingi oleh wilayah pegunungan
dan pepohonan. Hanya terdapat 39 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada
lapisan menengah saja yang menyatakan suhu udara panas namun tidak berdebu.
Sementara itu, masyarakat pada kategori lapisan sosial yang ada di
Kampung Joglo menyatakan bahwa kondisi udara sebelum ada pertambangan
terasa panas dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan perusahaan pertambangan
yang terdapat di Kampung Joglo masih tergolong baru. Periode lamanya waktu
kehadiran perusahaan pertambangan tersebut akan mempengaruhi kondisi
lingkungan di setiap kawasan yang ada di Desa Cipinang. Kampung Joglo sebagai
kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan paling banyak
namun tergolong baru, dampak perubahan kondisi lingkungan sudah terasa akibat
aktivitas pertambangan yang dilakukan di kampung lainnya yang masih terdapat
di Desa Cipinang.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 30. Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Setelah Ada
Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)84
Sebanyak 100 persen masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung
Cabe menyatakan bahwa kondisi udara setelah ada pertambangan terasa panas,
berdebu dan terlihat gersang. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan
merupakan aktivitas pengerukan bawah tanah yang mengganggu ekosistem dan
zat-zat yang terkandung didalamnya. Area pegunungan yang sebelumnya menjadi
penyejuk udara karena menyimpan banyak pepohonan, kini jumlahnya semakin
berkurang. Aktivitas peledakan dan penggilingan bahan tambang serta kendaraan
truk yang melaju setiap hari menghasilkan limbah berupa debu dan asap, sehingga
meningkatkan kadar polusi udara.
6.6 Persepsi Rumahtangga terhadap Tingkat Kebisingan
6.6.1 Tingkat Kebisingan Blasting
Aktivitas blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah
tanah dengan menggunakan dinamit. Di Kampung Joglo, aktivitas blasting
dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu hari sebagai akumulasi dari aktivitas
blasting oleh PT L sebanyak satu kali dan oleh PT M sebanyak dua kali.
Sementara itu di Kampung Gunung Cabe, aktivitas blasting dilakukan sebanyak
dua kali dalam satu hari. Pada penelitian ini, tingkat kebisingan akibat blasting
dibagi menjadi tiga golongan yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 31. Tingkat Kebisingan Blasting Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)85
Aktivitas blasting tergolong tinggi jika aktivitas tersebut sangat
mengganggu masyarakat. Tingkat kebisingan tergolong sedang jika masyarakat
merasa biasa saja atau tidak terlalu terganggu, dan kebisingan tergolong rendah
jika kebisingan tidak mengganggu sama sekali atau kondisi masih nyaman.
Sebanyak 100 persen masyarakat pada lapisan atas di Kampung Joglo
menyatakan tingkat kebisingan blasting tinggi. Hal ini dikarenakan jarak tempat
tinggal masyarakat lapisan atas dengan lokasi peledakan sangat dekat sehingga
tingkat kebisingan blasting terasa sangat mengganggu. Sementara itu, sebanyak
tujuh rumahtangga atau sebesar 58 persen masyarakat pada lapisan bawah
menyatakan bahwa aktivitas blasting di kampung tersebut tergolong sedang. Lain
halnya dengan masyarakat pada lapisan menengah, sebanyak tujuh rumahtangga
menyatakan tinggi sedangkan sisanya yaitu sebanyak lima rumahtangga
menyatakan sedang. Sebagian rumahtangga sangat terganggu sedangkan sebagian
yang lainnya menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan akibat aktivitas
blasting. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas masyarakat terhadap
kebisingan blasting pada lapisan atas di Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan
dengan lapisan sosial menengah dan lapisan sosial bawah.
Kondisi masyarakat di Kampung Joglo berbanding terbalik dengan kondisi
masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Mayoritas masyarakat di Kampung
Gunung Cabe yaitu sebesar 63 persen atau sebanyak lima rumahtangga pada
lapisan bawah dan sebesar 61 persen atau sebanyak 11 rumahtangga lapisan
menengah menyatakan tinggi. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal
masyarakat lapisan bawah dan lapisan menengah sangat dekat dengan lokasi
peledakan, sehingga aktivitas tersebut terasa sangat mengganggu. Sementara itu
mayoritas masyarakat pada lapisan atas menyatakan bahwa tingkat kebisingan
akibat aktivitas blasting masih tergolong sedang. Hal ini dikarenakan kondisi
masyarakat pada lapisan atas menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan yang
terjadi.
Kalau ledakan sih emang suka kedengaran dan mengganggu, tapi ya karena
sudah terbiasa jadinya ya biasa saja begitu (Bapak Sf, tokoh masyarakat
berusia 45 tahun).
Berdasarkan data pada Gambar 31, jumlah persentase masyarakat yang
memiliki persepsi tingkat kebisingan blasting tinggi, lebih banyak di Kampung 86
Joglo dibandingkan Kampung Gunung Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik
industri pertambangan yang terdapat di Kampung Joglo lebih banyak daripada
Kampung Gunung Cabe sehingga semakin banyak jumlah pabrik industri
pertambangan maka semakin tinggi frekuensi blasting dan semakin tinggi tingkat
kebisingan yang dirasakan.
6.6.2 Persepsi Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk
Aktivitas kendaraan truk pengangkut barang tambang di Desa Cipinang
melaju setiap hari pada pukul 08.00 WIB hingga pagi hari pada pukul 02.00 WIB.
Gambar 33 di bawah ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada lapisan
atas di Kampung Joglo yaitu sebesar 100 persen menyatakan aktivitas kendaraan
truk dirasakan sangat mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal
masyarakat lapisan atas berdekatan dengan jalan raya sehingga aktivitas tersebut
tergolong tinggi.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 32. Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk Berdasarkan Lapisan
Sosial
Sementara itu, mayoritas masyarakat pada lapisan bawah menyatakan
bahwa aktivitas kendaraan truk dikampung tersebut biasa saja atau tidak terlalu
mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal yang berjauhan dengan
jalan raya sebagai tempat melajunya kendaraan truk, sehingga aktivitas tersebut
tergolong sedang.
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)87
Lain halnya dengan masyarakat pada lapisan menengah, sebesar 50 persen
atau sebanyak enam rumahtangga menyatakan tinggi sedangkan 50 persen lainnya
menyatakan sedang. Hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat pada lapisan
menengah menyatakan bahwa mereka sudah terbiasa dengan aktivitas kendaraan
truk. Kondisi kebisingan akibat kendaraan truk di Kampung Joglo berbanding
terbalik dengan kondisi masyarakat di Kampung Gunung Cabe.
Mayoritas masyarakat lapisan bawah di Kampung Gunung Cabe
menyatakan bahwa aktivitas truk sangat mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak
tempat tinggal masyarakat lapisan bawah berdekatan dengan jalan raya, sehingga
aktivitas tersebut tergolong tinggi. Sementara itu sebanyak tujuh rumahtangga
pada lapisan menengah menyatakan tinggi sedangkan sebanyak enam atau sebesar
33 persen menyatakan rendah. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat sangat
terganggu oleh kebisingan truk, sedangkan sebagian masyarakat lainnya
menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan truk. Lain halnya dengan
masyarakat pada lapisan atas di Kampung Gunung Cabe, sebesar 50 persen
menyatakan kebisingan yang ditimbulkan kendaraan truk tergolong rendah. Hal
ini dikarenakan jarak tempat tinggal dengan lokasi jalan raya yang berjauhan.
Kalau disini, truk itu jumlahnya ratusan. Berisik juga, soalnya dari pagi-pagi
terus menerus hingga pagi lagi jam 2-an setiap hari pula. Tapi ya kalau Bapak
sih sudah biasa jadinya ya biasa saja begitu. Ini rumah Bapak retak-retak
akibat truk sama blasting (Bapak Hj. Usn, tokoh agama berusia 70 tahun).
Aktivitas blasting dan kendaraan truk pengangkut bahan tambang bukan
hanya menimbulkan efek kebisingan bagi masyarakat Desa Cipinang saja
melainkan juga gangguan pada proses komunikasi, gangguan aktivitas tidur dan
timbulnya retakan rumah warga akibat getaran yang dihasilkan. Tingkat gangguan
kebisingan truk yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Joglo lebih tinggi
dibandingkan Kampung Gunung Cabe, karena Kampung Joglo merupakan
kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan sangat banyak
sehingga jumlah truk yang melaju lebih banyak.
6.7 Tingkat Kesehatan Masyarakat
6.7.1 Rumahtangga yang Mengidap Penyakit
Terjadinya berbagai perubahan lingkungan mengakibatkan rentannya
kondisi kesehatan masyarakat. Kondisi udara yang berdebu dan kualitas air yang 88
kotor menimbulkan indikasi mengenai tingginya tingkat penyakit pada saluran
pernafasan dan pencernaan masyarakat di Desa Cipinang. Pada penelitian ini,
tingkat kesehatan masyarakat digolongkan menjadi dua bagian yaitu tergolong
buruk apabila terdapat anggota rumahtangga di Kampung Joglo dan Kampung
Gunung Cabe yang terkena penyakit. Sementara itu, kesehatan masyarakat
tergolong baik apabila tidak ada anggota keluarga yang mengidap penyakit.
Adapun jenis penyakit dalam penelitian ini adalah jenis penyakit yang
berhubungan dengan aktivitas pertambangan seperti penyakit pada saluran
pernafasan dan diare.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 33. Jumlah Rumahtangga Pengidap Penyakit Berdasarkan Lapisan
Sosial
Gambar 33 di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Kampung Joglo lebih
banyak mengidap penyakit dibandingkan dengan masyarakat Kampung Gunung
Cabe. Kampung Joglo sebagai kampung yang memiliki jumlah pabrik industri
pertambangan sangat banyak, jumlah kapasitas limbah yang dihasilkan pun sangat
banyak. Hal ini sangat rentan menimbulkan penyakit yang dapat mengganggu
kesehatan masyarakat. Hal tersebut juga yang menyebabkan banyaknya jumlah
pengidap penyakit pada masyarakat di Kampung Joglo. Berdasarkan kategori
lapisan sosial, mayoritas pengidap penyakit di Kampung Joglo diduduki oleh
Persentase responden (%)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)89
masyarakat pada lapisan atas dengan persentase sebesar 67 persen atau sebanyak
empat rumahtangga. Hal ini berkenaan dengan banyaknya debu dan asap truk
yang dihirup, akibat jarak tempat tinggal rumahtangga lapisan atas yang
berdekatan dengan aktivitas blasting maupun jalan raya. Asap dan debu memasuki
rumah warga serta kondisi air minum yang berkualitas rendah.
Sementara itu di Kampung Gunung Cabe, lapisan bawah menjadi lapisan
sosial yang paling banyak mengidap penyakit dibandingkan dengan lapisan atas
ataupun lapisan menengah. Sebesar 37 persen atau sebanyak tiga rumahtangga
yang mengidap penyakit. Hal ini dikarenakan pada lapisan bawah tersebut, jarak
tempat berdekatan dengan aktivitas blasting dan jalan raya sehingga banyak
masyarakat yang menghirup debu dan asap kendaraan truk. Berdasarkan
perbandingan di dua kampung, jumlah rumahtangga di Kampung Joglo yang
mengidap penyakit saluran pernafasan dan diare lebih banyak dibandingkan
dengan masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin banyak jumlah pabrik industri pertambangan maka semakin rendah
tingkat kesehatan masyarakat. Saat ini jumlah masyarakat yang mengidap
penyakit saluran pernafasan dan diare lebih sedikit karena adanya penanganan
pemerintah yang bekerja sama dengan pihak rumah sakit.
Untuk masalah kesehatan, kebanyakan sih masalah pernafasan. Kan disini
banyak debu begitu. Namun sekarang sudah tidak ada kayaknya, karena ada
pengontrolan setiap sebulan sekali dari Puskesmas, ada bidan yang
berkeliling ke rumah-rumah juga (Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33
tahun).
Pengontrolan kesehatan tersebut dilakukan, sebagai bentuk perhatian lebih
dari pemerintah karena sebelumnya, kawasan Desa Cipinang dikenal sebagai
salah satu daerah yang paling banyak mengidap penyakit ISPA dan diare di
Kabupaten Bogor.
6.7.2 Pengobatan terhadap Penyakit
Jenis pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cipinang adalah
dengan membeli obat ke warung ataupun dengan membawa anggota keluarga
yang mengidap penyakit ke rumah sakit atau bidan desa. Jenis penyakit dalam
penelitian ini merupakan jenis penyakit yang berhubungan dengan aktivitas
pertambangan. Jenis penyakit tersebut disebabkan oleh kondisi air yang kotor dan 90
kondisi udara yang berdebu seperti batuk pilek, diare, dan sesak nafas. Adapun
frekuensi pengobatan dalam penelitian ini merupakan akumulasi penggunaan obat
dalam waktu satu tahun terakhir, baik yang berasal dari warung maupun
pengobatan yang membutuhkan penanganan khusus dari rumah sakit. Frekuensi
pengobatan tergolong tinggi apabila pengobatan dilakukan dengan frekuensi
sering yaitu lebih dari tiga kali. sementara itu, frekuensi pengobatan tergolong
sedang apabila pengobatan dilakukan hanya beberapa kali saja yaitu antara satu
hingga tiga kali, sedangkan frekuensi pengobatan tergolong rendah apabila
pengobatan tidak pernah dilakukan sama sekali.
Saat ini jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat Kampung Joglo dan
Kampung Gunung Cabe adalah batuk pilek. Jumlah total rumahtangga pada
seluruh lapisan sosial di Kampung Joglo yang menderita penyakit batuk pilek
adalah sebanyak sepuluh rumahtangga. Sisanya adalah jenis penyakit sesak nafas
yaitu sebanyak satu rumahtangga dan penyakit diare sebanyak tiga rumahtangga.
Sementara itu jenis penyakit yang diderita masyarakat Kampung Gunung Cabe,
seluruhnya adalah penyakit batuk pilek dengan jumlah total sebanyak sembilan
rumahtangga.
Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga
n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga
Gambar 34. Frekuensi Pengobatan Penyakit Berdasarkan Lapisan Sosial
Persentase responden (%)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan sedikit)
Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan banyak)91
Berdasarkan data pada Gambar 34 di atas, sebanyak 50 persen atau
sebanyak satu rumahtangga masyarakat pada lapisan atas di Kampung Joglo
melakukan pengobatan dengan kategori sering. Hal tersebut dikarenakan jenis
penyakit yang diderita merupakan jenis penyakit berat yaitu sesak nafas, sehingga
membutuhkan perawatan dalam proses penyembuhannya.
Kalau di rumah yang sakit sih cuma saya saja. Sesak nafas udah dua tahun.
kalau berobat sih sering. Sempat dirawat inap juga malahan. Sekarang masih
harus sering melakukan pemeriksaan ke dokter setiap satu bulan sekali
(Bapak Ttg, PNS asal Garut berusia 47 tahun).
Sementara itu pada masyarakat lapisan menengah dan lapisan bawah,
frekuensi pengobatan masih tergolong sedang karena pengobatan hanya dilakukan
beberapa kali saja. Hal ini dikarenakan jenis penyakit yang diderita masih
tergolong ringan yaitu batuk pilek dan diare.
Biasanya kalau anak saya sakit saya bawa ke bidan. Ini anak saya baru saja
sembuh dari sakit batuk pilek. Saya bawa ke bidan eh langsung sembuh
padahal diperiksanya cuma satu kali (Ibu Wwi, Ibu rumahtangga berusia 20
tahun).
Berbeda dengan kondisi masyarakat di Kampung Gunung Cabe, sebesar 67
persen atau sebanyak dua orang pada lapisan bawah dan sebesar 100 persen atau
sebanyak satu rumahtangga lapisan atas menyatakan sering melakukan
pengobatan. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penyakit batuk pilek masih sering
dirasakan dalam kurun waktu satu tahun terakhir sehingga pengobatan sering
dilakukan. Lain halnya pada lapisan menengah, frekuensi pengobatan masih
tergolong sedang karena pengobatan yang dilakukan hanya beberapa kali saja.
6.8 Ikhtisar
Kehadiran industri pertambangan memberikan dampak negatif pada aspek
sosio-ekologi masyarakat Desa Cipinang. Studi perbandingan yang dilakukan di
Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe menunjukkan bahwa terjadi
perubahan pada kondisi lingkungan seperti terganggunya kualitas air minum,
terjadinya perubahan kondisi udara, kebisingan akibat aktivitas blasting dan
kendaraan truk, serta tingkat kesehatan masyarakat yang terangkum sebagaimana
Tabel 8 di bawah ini.
Pada Tabel 8 tersebut terlihat bahwa mayoritas masyarakat di Kampung
Joglo dan Kampung Gunung Cabe menggunakan air sumur sebagai sumber air. 92
Terjadi perubahan kondisi sumber air pada saat sebelum dan setelah ada
pertambangan. Sebelum ada pertambangan masyarakat menyatakan mudah
mendapatkan air karena air tersedia dimana-mana, sedangkan setelah ada
pertambangan kondisi air masih tersedia namun terbatas sehingga akses
masyarakat terhadap sumber air tergolong sedang.
Tabel 8. Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekologi Terhadap
Masyarakat Lokal Desa Cipinang, 2011.
Aspek Penelitian Kampung Joglo
(Jumlah pertambangan
banyak)
Kampung Gunung Cabe
(Jumlah pertambangan
sedikit)
Sumber Air yang digunakan Sumur Sumur
Kondisi Sumber Air
Sebelum Ada
Pertambangan
Baik Baik
Kondisi Sumber Air Setelah
Ada Pertambangan
Sedang Sedang
Kualitas Air Minum Baik Baik
Kondisi Udara Sebelum
Ada Pertambangan
Sedang Nyaman
Kondisi Udara Setelah Ada
Pertambangan
Tidak nyaman Tidak nyaman
Tingkat Kebisingan Blasting Tinggi Tinggi
Tingkat Kebisingan
Kendaraan Truk
Tinggi Rendah
Tingkat Kesehatan
Masyarakat
Baik Baik
Frekuensi Pengobatan Sedang Tinggi
Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011
Kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat masih tergolong baik.
Sebagian masyarakat menggunakan air minum yang berasal dari sumur dan
sebagian lainnya menggunakan air galon. Perubahan lingkungan juga terjadi pada
kondisi udara, dimana sebelum ada pertambangan masyarakat Kampung Joglo
menyatakan kondisi suhu udara panas dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan
perusahaan yang terdapat di Kampung Joglo tergolong baru sehingga kondisi
udara panas sudah terasa akibat dampak aktivitas pertambangan yang dilakukan di
kampung lainnya di Desa Cipinang. Sementara itu, kondisi udara di Kampung 93
Gunung Cabe pada saat sebelum ada pertambangan terasa nyaman karena kondisi
udara yang sejuk dan tidak berdebu. Namun dampak yang sama dirasakan oleh
masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, dimana kondisi udara
menjadi tidak nyaman karena udara terasa panas, berdebu, dan terlihat gersang
setelah ada aktivitas pertambangan.
Tingkat kebisingan akibat blasting tergolong tinggi karena masyarakat
menyatakan sangat terganggu dengan adanya blasting tersebut. Tingkat
kebisingan akibat kendaraan truk pengangkut bahan tambang tergolong tinggi di
Kampung Joglo, sedangkan di Kampung Joglo kebisingan truk tersebut tergolong
rendah. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung
Gunung Cabe lebih sedikit dibandingkan Kampung Joglo, sehingga jumlah
kendaraan truk yang melaju lebih sedikit. Hal tersebut yang menjadikan
masyarakat di Kampung Gunung Cabe merasa tidak terganggu dengan adanya
kebisingan akibat kendaraan truk.
Tingkat kesehatan mayarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe
masih tergolong baik karena saat ini sudah ada penanganan dari pihak puskesmas
yang berkeliling ke rumah-rumah milik warga dan dilakukan sebanyak satu bulan
sekali. Frekuensi pengobatan yang dilakukan masyarakat Kampung Joglo
tergolong sedang karena penyakit yang diderita masyarakat dalam kurun waktu
satu tahun terakhir hanya dirasakan beberapa kali saja. Sementara itu, frekuensi
penyakit di Kampung Gunung Cabe tergolong tinggi karena frekuensi penyakit
yang dirasakan sangat sering terjadi pada kurun waktu satu tahun terakhir. 94
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Kehadiran industri pertambangan pada umumnya memberikan dampak
negatif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Pada aspek sosio-ekonomi, tingkat
kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan seiring dengan semakin
menurunnya luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat, sedangkan
kesempatan kerja non pertanian mengalami peningkatan seiring dengan
terbukanya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pihak industri
pertambangan. Namun kesempatan kerja di bidang pertambangan belum mampu
dijangkau oleh masyarakat lokal karena rendahnya pendidikan. Mayoritas
masyarakat lokal hanya bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan pertambangan,
sementara posisi karyawan swasta ditempati oleh penduduk pendatang. Hal ini
menimbulkan tingkat persaingan, sehingga memicu terjadinya konflik antara
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Selain itu terjadinya perubahan
kondisi lingkungan hidup sebagai akibat aktivitas pertambangan, memicu
terjadinya konflik antara pihak masyarakat dengan perusahaan pertambangan.
Pada aspek sosio-ekologi, aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan hidup seperti terjadinya perubahan pada kondisi udara
menjadi terasa panas, berdebu dan terlihat gersang. Sumber air mengalami
kekeringan pada saat musim kemarau. Aktivitas blasting dan kendaraan truk
menimbulkan kebisingan yang mengganggu aktivitas pendengaran, komunikasi,
tidur dan retakan pada rumah. Selain itu, masih adanya anggota masyarakat yang
mengalami sakit pada saluran pernafasan seperti sesak nafas, batuk pilek, diare
akibat banyaknya kapasitas debu yang terhirup, kondisi air minum yang kotor dan
kualitas makanan yang kurang higienis.
7.2 Saran
Terdapat beberapa saran terkait dengan hasil penelitian yang telah
dilakukan, diantaranya adalah.
1. Rusaknya kondisi lingkungan akibat aktivitas pertambangan dapat menurunkan
kualitas lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah 95
pertambangan, sehingga diperlukan adanya pengontrolan oleh pemerintah
terhadap setiap aktivitas pertambangan yang dilakukan seperti upaya reklamasi
lahan pasca tambang oleh pihak perusahaan pertambangan.
2. Keberlanjutan hidup masyarakat lokal tergantung pada kemampuannya dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada secara mandiri, sehingga kegiatan
pemberdayaan mutlak dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat lokal
agar terciptanya masyarakat yang mandiri.
3. Kondisi infrastruktur yang rusak akibat kendaraan truk pengangkut bahan
tambang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya suatu desa
sehingga diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan
perusahaan untuk melakukan perbaikan terhadap infrastruktur yang ada
4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia disebabkan rendahnya pendidikan
yang ditempuh, sehingga diperlukan adanya dukungan dari masyarakat
terutama para orang tua dan perhatian lebih dari pemerintah untuk melakukan
perbaikan sumberdaya manusia melalui pengadaan bangunan dan sarana
prasarana sekolah yang lebih baik. 96
DAFTAR PUSTAKA
Adiwibowo, S (Editor). 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistika. 2009. Produksi Barang Tambang Mineral di Indonesia,
Tahun 1996-2008.
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=10&
notab=3 di unduh pada hari Sabtu, 27 Nopember 2010 pukul 09.48 WIB.
Budimanta, A. 2007. Kekuasaan dan Penguasaan Sumberdaya Alam Studi Kasus
Penambangan Timah di Bangka. Jakarta: Indonesia center for sustainable
development.
Fuad, F.H. dan S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN.
Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Ngadiran et al. 2002. Dampak Sosial Budaya Penambangan Emas di Kecamatan
Mandor Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Dalam
Sosiohumanika, Volume 15, No.1, Januari 2002, Hal. 135.
Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Qomariah, R. 2002. Dampak Pertambangan Tanpa Izin Batu Bara Terhadap
Kualitas Sumberdaya Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat [Tesis].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Salim, H.S. 2007. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Silalahi, M.D. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum
Lingkungan Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Sudarmanto. 1996. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar
Hutan dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Prospek Pengembangannya
(Studi Kasus Pengembangan Desa Hutan di Sekitar Wilayah HPH PT.
INHUTANI V, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Dati II Musi
Banyuasin Provinsi Dati I Sumatera Selatan) [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Sugandhy, A dan R. Hakim. 2009. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyuni, E.S dan Muljono, P. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bogor:
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas
Ekologi Manusia, IPB