analisis dampak lingkungan tambang

117
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, manusia tidak dapat hidup tanpa adanya sumberdaya alam. Ketergantungan manusia akan sumberdaya alam tersebut berpengaruh terhadap pola pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Di Indonesia, sebagai negara sedang berkembang peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi mengakibatkan semakin meningkatnya jumlah permintaan akan pemenuhan kebutuhan hidup dari sumberdaya alam, sehingga berkorelasi terhadap semakin eksploitatifnya pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini nyata dari adanya peningkatan jumlah permintaan pasokan akan sumberdaya alam mineral bagi pemenuhan kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar, namun seringkali tidak dapat terpenuhi karena terbatasnya persediaan sumberdaya alam mineral yang ada. Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral. Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral menjadi faktor penentu keberlanjutan dari lingkungan hidup dan aktivitas kehidupan manusia ke depannya. Di Indonesia, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan pada masanya. Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan dampak yang sangat berbeda dibandingkan di era sentralisasi. Pemerintah daerah

Upload: okananda-ferry-kusuma

Post on 06-Aug-2015

542 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi

kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan dalam kehidupannya, manusia tidak

dapat hidup tanpa adanya sumberdaya alam. Ketergantungan manusia akan

sumberdaya alam tersebut berpengaruh terhadap pola pemanfaatan dan

pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Di Indonesia, sebagai negara sedang

berkembang peningkatan jumlah penduduk yang terus terjadi mengakibatkan

semakin meningkatnya jumlah permintaan akan pemenuhan kebutuhan hidup dari

sumberdaya alam, sehingga berkorelasi terhadap semakin eksploitatifnya

pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Hal ini nyata dari adanya peningkatan

jumlah permintaan pasokan akan sumberdaya alam mineral bagi pemenuhan

kebutuhan manusia dalam jumlah yang besar, namun seringkali tidak dapat

terpenuhi karena terbatasnya persediaan sumberdaya alam mineral yang ada.

Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan adanya pengelolaan

dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral.

Pengelolaan dan pemanfaatan yang baik terhadap sumberdaya alam mineral

menjadi faktor penentu keberlanjutan dari lingkungan hidup dan aktivitas

kehidupan manusia ke depannya. Di Indonesia, pemanfaatan dan pengelolaan

sumberdaya alam sangat tergantung pada kebijakan pemerintahan pada masanya.

Pada era desentralisasi saat ini, pemberian wewenang dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam memberikan

dampak yang sangat berbeda dibandingkan di era sentralisasi. Pemerintah daerah

yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala potensi sumberdaya alam

di daerahnya, dapat mengalihkan haknya dengan memberikan izin kepada pihak

Page 2: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

swasta atau industri yang bergerak di bidang pertambangan untuk mengelola dan

memanfaatkan sumberdaya alam mineral.

Menurut Smelter sebagaimana dikutip Budimanta (2007) selama ini

kegiatan pembangunan dan pembuatan kebijakan harus berasal dari pusat

(sentralistik), akan tetapi dengan adanya otonomi daerah, pemerintah daerah sejak

era reformasi diberikan ruang untuk mengelola sumberdaya alam secara otonom. 2

Kondisi ini oleh pemerintah daerah dimanfaatkan untuk mengeluarkan kebijakan

mengenai pertambangan daerah, sedangkan di tingkat kota dimanfaatkan untuk

mengembangkan industri barang mineral.

Pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri pertambangan dilakukan

karena dipandang dapat memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang lebih

tinggi sehingga dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan Negara,

serta terciptanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal maupun masyarakat di

luar lokasi penambangan. Selain itu, karena pihak industri sebagai pihak yang

memiliki modal berupa teknologi yang tinggi diharapkan mampu mengelola

sumberdaya mineral secara baik dan efisien. Namun pada pelaksanaannya,

pengelolaan sumberdaya mineral oleh industri tidak selamanya berjalan seperti

apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan tersebut

merupakan aktivitas pengerukan terhadap sumberdaya alam yang terkandung di

tempat terbuka maupun bawah tanah, sedangkan pemanfaatan dengan penggunaan

teknologinya seringkali berlebihan dalam mengeruk sumberdaya mineral yang ada

sehingga pengelolaan sumberdaya alam tambang oleh industri pertambangan

memberikan dampak terhadap perubahan ekosistem lokal.

Perubahan pada ekosistem lokal meliputi perubahan pada tataran sosial,

ekonomi maupun lingkungan. Perubahan yang terjadi pada tataran sosial ekonomi

diantaranya terjadinya perubahan sistem mata pencaharian masyarakat lokal yang

awalnya bergerak di sektor pertanian sebagai sektor utama masyarakat, berubah

Page 3: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

menjadi masyarakat non pertanian seperti buruh pabrik, pedagang maupun

kegiatan non pertanian lainnya. Hal ini disebabkan menurunnya produktivitas

lahan akibat rusaknya lahan pertanian yang ada dan berdampak terhadap

penurunan pendapatan masyarakat. Sementara itu pada tataran lingkungan,

terjadinya kerusakan ekologi seperti pencemaran air dan udara akibat limbah

industri, serta kekeringan air yang kemudian berimplikasi pada penurunan

produktivitas lahan pertanian.

Menurut Noor (2006) lubang-lubang bekas penambangan serta pembukaan

lapisan tanah yang subur pada saat penambangan dapat mengakibatkan daerah

yang semula subur menjadi daerah yang tandus dan akan memerlukan waktu yang

sangat lama untuk kembali ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi 3

lingkungan akan terjadi pada semua tahap dalam aktivitas pertambangan, mulai

dari tahap prosesing mineral serta semua aktivitas yang menyertainya dalam

seluruh tahap tersebut seperti penggunaan peralatan survei, bahan peledak, alatalat berat, limbah mineral padat yang tidak dibutuhkan.

Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input)

menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri

dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan

melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang

ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrikpabrik dan mengandung Bahan Beracun dan Berbahaya (B-3). Bahan pencemar

keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air

dan tanah yang merupakan komponen ekosistem alam. Bahkan buangan yang

keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai

sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan

pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya (Kristanto,

2004).

Proses dalam menghasilkan produk sumberdaya mineral mempunyai

Page 4: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

konstribusi yang besar terhadap pencemaran lingkungan dan hal ini telah dikritisi

oleh para pemerhati lingkungan. Di satu sisi untuk menutup suatu tambang atau

industri pertambangan yang menghasilkan mineral-mineral yang dibutuhkan oleh

manusia adalah sesuatu hal yang tidak bijaksana. Di sisi lain, dampak yang

ditimbulkan akibat pertumbuhan industri pertambangan harus disikapi dengan

cara mencegah agar dampak yang ditimbulkannya dapat diminimalkan (Noor,

2006).

Desa Cipinang sebagai salah satu desa bagian Kecamatan Rumpin

Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang

memiliki potensi sumberdaya alam tambang jenis bahan galian golongan C

dengan tekstur tanah pertanian. Adanya aktivitas pertambangan di daerah tersebut

mengakibatkan perubahan struktur sosial yang pada awalnya bergerak di sektor

pertanian menjadi non pertanian. Banyaknya jumlah industri pertambangan

mengakibatkan semakin tingginya aktivitas blasting sehingga menyebabkan

perubahan struktur sosial ekonomi dan ekologi. Berbagai perubahan yang terjadi 4

pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi tersebut merupakan dampak aktivitas

pertambangan yang penting untuk dilakukan pengkajian.

1.2 Rumusan Masalah

Era otonomi daerah, yang mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004 dimana

pemerintah pusat menyerahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk

memanfaatkan segala potensi atas sumberdaya alam yang ada di daerahnya

masing-masing. Kebijakan yang timbul dari adanya era desentralisasi ini

memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD

melalui pemanfaatan atas segala potensi sumberdaya alam yang ada. Salah

satunya adalah dengan mengalihkan hak izin pengelolaan sumberdaya alam

tambang kepada badan usaha.

Adanya pengalihan hak atas izin usaha tambang ini menjadikan badan usaha

Page 5: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

sebagai pihak yang memiliki kuasa, sehingga dapat leluasa untuk mengelola dan

memanfaatkan sumberdaya alam tambang yang ada. Badan usaha menjadi pihak

yang mendominasi atas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.

Dominasi ini pada akhirnya dapat menimbulkan marjinalisasi bagi kaum

minoritas terutama dalam hal akses atas sumberdaya alam dan ketidaksetaraan

posisi atau status atas kepemilikan lahan yang terdapat di sekitar wilayah

pertambangan.

Fakta dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di beberapa daerah di

Indonesia, sebagaimana penelitian Antoro (2010) di Kabupaten Kulon Progo

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah yang potensial dengan

penambangan pasir, sama halnya dengan penelitian Qomariah (2002) di

Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan menyatakan bahwa mayoritas posisi

marjinal di sekitar wilayah pertambangan ditempati oleh masyarakat lokal. Hal ini

dikarenakan masyarakat lokal merupakan pihak yang tidak memiliki kuasa dan

tidak memiliki akses atas sumberdaya alam. Selain itu, masyarakat lokal sebagai

pihak termarjinalkan menjadi pihak penerima berbagai dampak negatif yang

ditimbulkan oleh adanya aktivitas pertambangan. Dampak negatif yang

ditimbulkan pun tidak hanya terjadi pada tataran sosial dan ekonomi saja

melainkan juga pada tataran ekologi. Sehingga perubahan sosial, ekonomi dan 5

ekologi yang ada mendorong terjadinya perubahan kualitas hidup masyarakat

lokal dan ketidakadilan pada kualitas lingkungan hidup.

Berdasarkan paparan mengenai aktivitas pertambangan di atas, maka

rumusan masalah yang akan dikaji dalam bentuk pertanyaan penelitian adalah:

1. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi

terhadap masyarakat lokal?

2. Bagaimana dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi

terhadap masyarakat lokal?

Page 6: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pemaparan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini

adalah untuk:

1. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekonomi

terhadap masyarakat lokal.

2. Menjelaskan dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosio-ekologi

terhadap masyarakat lokal.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi beberapa pihak, diantaranya:

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran

dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan akibat aktivitas

pertambangan dan mempelajari kondisi masyarakat sekitar pertambangan.

2. Bagi kalangan akademik, untuk menambah literatur dalam mengkaji

masalah perubahan sosio-ekonomi dan sosio-ekologi di pedesaan akibat

adanya aktivitas pertambangan bahan galian golongan C.

3. Bagi masyarakat, terutama masyarakat lokal di sekitar wilayah

pertambangan untuk menambah pengetahuan mengenai situasi dan kondisi

sosio-ekonomi dan sosio-ekologi.

4. Bagi pemerintah, sebagai acuan dalam melakukan kebijakan pengelolaan

dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang bahan galian golongan C.

5. Bagi perusahaan, sebagai acuan dalam mengelola dan memanfaatkan

sumberdaya alam tambang yang berkelanjutan.6

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pengertian Ekologi

Ekologi didefinisikan sebagai ilmu tentang hubungan timbal-balik antara

Page 7: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

makhluk hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali diperkenalkan

oleh Haeckel, seorang ahli biologi, pada pertengahan dasawarsa 1860-an. Ekologi

berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga, dan logos yang

berarti ilmu, sehingga secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumahtangga

makhluk hidup (Kristanto, 2004).

Menurut Silalahi (2001) hal yang paling penting dari ekologi ialah konsep

ekosistem. Ekosistem ialah suatu ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal

balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam sistem ini, semua

komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Ekosistem terbentuk oleh

komponen hidup (biotic) dan tak hidup (abiotic) di suatu tempat yang berinteraksi

membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan terjadi disebabkan oleh

adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara

komponen dalam ekosistem itu. Ketentuan ekosistem menunjukkan adanya suatu

keseimbangan tertentu dari ekosistem. Keseimbangan ini bukan statis melainkan

dinamis, karena berubah-ubah. Perubahan ini dapat besar atau kecil, dilakukan

baik oleh manusia maupun secara alami.

Sama halnya dengan Adiwibowo (2007) yang menyatakan bahwa dalam

ekologi dipelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan

lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotic) maupun tak hidup (abiotic)

sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu jaring-jaring sistem kehidupan pada

berbagai tingkatan organisasi. Di dalam ekosistem, tumbuhan, hewan, dan mikro

organisme saling berinteraksi melakukan transaksi materi dan energi membentuk

satu kesatuan sistem kehidupan.

2.1.2 Pengertian Pertambangan

Industri pertambangan adalah suatu industri dimana bahan galian mineral

diproses dan dipisahkan dari material pengikut yang tidak diperlukan. Dalam 7

industri mineral, proses untuk mendapatkan mineral-mineral yang ekonomis

Page 8: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

biasanya menggunakan metode ekstraksi, yaitu proses pemisahan mineral-mineral

dari batuan terhadap mineral pengikut yang tidak diperlukan. Mineral-mineral

yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan

mempunyai kontribusi yang cukup signifikan pada pencemaran dan degradasi

lingkungan. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan

sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang

diperlukan oleh umat manusia di dunia (Noor, 2006).

Salim (2007) menyatakan bahwa usaha pertambangan terdiri atas usaha

penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan penjualan.

1. Penyelidikan umum merupakan usaha untuk menyelidiki secara geologi

umum atau fisika, di daratan perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan

maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tandatanda adanya bahan galian pada umumnya.

2. Usaha eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk

menetapkan lebih teliti/seksama adanya sifat letakan bahan galian.

3. Usaha eksploitasi adalah usaha pertambangan dengan maksud untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

4. Usaha pengolahan dan pemurnian adalah pengerjaan untuk mempertinggi

mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur

yang terdapat pada bahan galian.

5. Usaha pengangkutan adalah segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil

pengolahan serta pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat

pengolahan/pemurnian.

6. Usaha penjualan adalah segala sesuatu usaha penjualan bahan galian dan hasil

pengolahan/pemurnian bahan galian.

Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua

macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang

Page 9: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun

Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara

manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan

menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan lebih 8

banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat

merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.

Di Indonesia, segala bentuk kegiatan industri pada sektor pertambangan

diharapkan mampu menyumbang pada peningkatan ekonomi dan pembangunan

negara. Kegiatan eksploitasi oleh industri pertambangan terus dilakukan demi

pengejaran pembangunan melalui penghasilan devisa negara. Hal ini dilakukan

seiring dengan meningkatnya jumlah permintaan akan sumberdaya alam mineral

akibat meningkatnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun, sebagaimana terlihat

pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Produksi Barang Tambang (Ton) menurut Jenis Tambang dari

Tahun 1996-2008 di Indonesia.

Tahun Batu Bara

(ton)

Bauksit

(ton)

Nikel

(ton)

Emas

(ton)

Perak

(ton)

Granit

(ton)

Page 10: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Bijih Besi

(ton)

1996 50,332,047 841,976 3,426,867 83,564 255,404 4,827,058 425,101

1997 55,982,040 808,749 2,829,936 86,928 249,392 8,824,088 516,403

1998 58,504,660 1,055,647 2,736,640 123,862 383,191 9,662,649 509,978

1999 62,108,239 1,116,323 2,798,449 127,768 361,377 8,720,155 502,198

2000 67,105,675 1,150,776 2,434,585 109,612 310,430 5,941,370 420,418

2001 71,072,961 1,237,006 2,473,825 148,528 333,561 3,976,274 440,648

2002 105,539,301 1,283,485 2,120,582 140,246 281,903 3,975,434 190,946

2003 113,525,813 1,262,705 2,499,728 138,475 272,050 3,938,915 245,911

2004 128,479,707 1,331,519 2,105,957 86,855 255,053 4,035,040 79,635

2005 149,665,233 1,441,899 3,790,896 142,894 326,993 4,302,849 87,940

2006 162,294,657 2,117,630 3,869,883 138,992 270,624 4,514,654 84,954

2007 188,663,068 1 251 147 7 112 870 117 854 268 967 1 793 440 84 371

2008 178 930 188 1,152,322 6,571,764 64,390 226,051 2,050,000 445,525,932

Sumber: Data Badan Pusat Statistika, 20099

Tabel 1 menjelaskan jumlah produksi tambang dari tahun ke tahun,

berdasarkan potensi sumberdaya mineral yang ada di Indonesia. Peningkatan

jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah permintaan

sumberdaya mineral. Hal ini mendorong semakin dilakukannya eksploitasi

sumberdaya alam tambang yang ada.

2.1.3 Kebijakan Perizinan Usaha Pertambangan

Izin usaha dan atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis

untuk melakukan izin usaha dan atau kegiatan (UU No. 32 Tahun 2009).

Perizinan usaha pertambangan ini meliputi pelimpahan Kuasa Pertambangan dan

Kontrak Karya (KK). Dengan adanya otonomi daerah, perizinan pengelolaan

sumberdaya alam tambang saat ini berada di bawah wewenang pemerintah daerah.

Page 11: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Salim (2007) menyatakan bahwa apabila usaha pertambangan dilaksanakan

oleh kontraktor, kedudukan pemerintah adalah memberikan izin kepada

kontraktor yang bersangkutan. Izin yang diberikan oleh pemerintah berupa kuasa

pertambangan, kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan, dan

kontrak production sharing.

Menurut Salim (2007) perusahaan tambang yang diberikan izin untuk

mengusahakan bahan tambang terdiri dari:

1. Instansi pemerintah yang di tunjuk oleh menteri;

2. Perusahaan negara;

3. Perusahaan daerah;

4. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah;

5. Koperasi;

6. Badan atau perseorangan swasta;

7. Perusahaan dengan modal bersama antara negara dan atau daerah dengan

koperasi dan atau badan/ perorangan swasta,

8. Pertambangan rakyat,

Kuasa pertambangan merupakan kuasa yang diberikan oleh pemerintah

sebagai pihak yang berwenang kepada pihak-pihak yang akan melakukan usaha

penambangan. Pemerintah yang berwenang dalam penerbitan kuasa pertambangan

ini adalah Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri. Kuasa pertambangan ini juga

meliputi kuasa pertambangan dalam penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, 10

pengolahan/pemurnian dan pengangkutan atau penjualan. Sedangkan kontrak

karya adalah perjanjian yang berisi kesepakatan bersama antara pemerintah

dengan pihak usaha penambangan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

Ketentuan mengenai Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya ini di atur dalam

Undang-Undang Pokok Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967.

Menurut Salim (2007) setiap perusahaan pertambangan yang ingin

Page 12: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

memperoleh kontrak karya, harus mengajukan permohonan kontrak karya dalam

rangka penanaman modal asing (PMA)/PMDN kepada pejabat yang berwenang.

Pejabat berwenang menandatangi kontrak karya adalah Bupati/Walikota,

Gubernur dan Menteri Energi Sumber Daya Mineral. Penandatanganan kontrak

karya oleh pejabat ini disesuaikan dengan kewenangannya. Apabila wilayah

kontrak karya yang di mohon berada dalam wilayah kebupaten, pejabat yang

menandatangi kontrak karya itu adalah Bupati/walikota, tetapi apabila wilayah

pertambangan yang di mohon berada dalam dua kebupaten/kota, sedangkan kedua

kabupaten/kota itu tidak menandatangani kerja sama, pejabat yang berwenang

untuk menandatangani kontrak karya itu adalah Gubernur. Sementara itu, apabila

wilayah pertambangan yang di mohon berada pada dua daerah provinsi, pejabat

yang berwenang menandatangani adalah Menteri Energi Sumber Daya Mineral

dengan pemohon.

Jangka waktu berlakunya kontrak karya tergantung kepada jenis kegiatan

yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. jangka waktu berlakunya kegiatan

eksploitasi adalah tiga puluh tahun. Jangka waktu itu juga dapat diperpanjang

(Salim, 2007).

2.1.4 Penggolongan Sumberdaya Alam Tambang

Sumberdaya mineral adalah sumberdaya yang diperoleh dari hasil ekstraksi

batuan-batuan yang ada di bumi. Adapun jenis dan manfaat sumberdaya mineral

bagi kehidupan manusia modern semakin tinggi dan semakin meningkat sesuai

dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara (Noor, 2006).

Menurut Ngadiran et al (2002) izin usaha pertambangan meliputi izin untuk

memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian

tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis

sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi indonesia. Dari sekian 11

jenis bahan tambang yang ada itu di bagi menjadi tiga golongan, yaitu: (1) bahan

Page 13: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

galian strategis golongan A, terdiri atas: minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara,

batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam,

lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahan-bahan galian radio aktif lainnya

(antara lain kobalt, nikel dan timah); (2) bahan galian vital golongan B, terdiri

atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan,

khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium,

vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit,

belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa,

yodium, dan zirkom); dan (3) bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah

uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di

berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Adanya kebijakan pemerintah yang mengeluarkan peraturan dengan

merubah status komoditas tambang berdasarkan penggolongannya, dapat memicu

terhadap semakin bebasnya akses bagi setiap orang untuk mengeksploitasi

sumberdaya alam tambang yang ada. Hal ini sebagaimana terjadi di daerah

Bangka, dimana sebelum adanya otonomi daerah timah dijadikan sebagai

komoditas vital yang pengelolaannya dilakukan oleh negara. Namun setelah

adanya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan

(Menperindag) Nomor 146/MPP/4/1999 mengenai otonomi daerah, yang

menjadikan timah sebagai komoditas strategis, pengelolaannya tidak lagi

dilakukan oleh negara sehingga semua pihak seperti swasta, BUMN, maupun

masyarakat dapat leluasa untuk melakukan eksploitasi terhadap timah yang ada.

Hal ini juga menimbulkan terhadap semakin meningkatnya jumlah Tambang

Inkonvensional (TI) di daerah Bangka.

Berdasarkan tipe bahan galian, sumberdaya mineral dapat digolongkan

menjadi tiga golongan, yaitu: (1) Bahan Galian Vital; (2) Bahan Galian Strategis;

dan (3) Bahan Galian Industri. Penggolongan jenis mineral yang terdiri atas bahan

Page 14: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

galian vital, strategis, dan industri merupakan bentuk lain dari bahan galian

golongan A, golongan B, dan golongan C. Pada bahan galian vital disebut juga

bahan galian golongan A. Bahan galian strategis merupakan bahan galian 12

golongan B, sedangkan bahan galian industri merupakan bahan galian golongan

C. Hal ini sebagaimana terlihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Penggolongan Sumberdaya Mineral Berdasarkan Jenis Mineral

Bahan Galian Jenis Mineral Kegunaan

Vital

Uranium (U)

Thorium (Th)

Minyak/Gas Bumi

Emas (Au)

Perak (Ag)

Energi nuklir, senjata pemusnah, dll

Energi nuklir, senjata pemusnah, dll

Energi listrik, industri, petrokimia,

BBM, dll

Perhiasan, industri elektronik, dll

Perhiasan, industri elektronika, dll

Strategis

Besi (Fe)

Tembaga (Cu)

Nikel (Ni)

Timah (Sn)

Seng (Zn)

Aluminium (Al)

Muscovite

Page 15: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Industri baja, konstruksi,

manufaktur, dll

Kabel listrik, industri, manufaktur,

dll

Industri baja, metalurgi, manufaktur,

dll

Industri, manufaktur, dll

Industri, manufaktur, bangunan, dll

Industri manufaktur, dll

Industri electronics, dll

Industri

Batu gamping

Batu lempung

Batu pasir

Batuan beku

Gypsum

Industri cement

Bahan bangunan, batu bara, genteng,

dll

Bahan bangunan

Bahan bangunan

Campuran cement, bahan bangunan,

dll

Sumber: Noor , 2006

Jenis sumberdaya alam tambang yang terdapat pada Tabel 2 di atas

merupakan jenis sumberdaya alam tambang yang tersebar di beberapa wilayah 13

Indonesia. Pemanfaatan terhadap berbagai jenis sumberdaya alam tambang

Page 16: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tersebut terus dilakukan untuk dijadikan sebagai sumber energi pemenuhan

kebutuhan hidup manusia.

2.1.5 Definisi Masyarakat Desa

Masyarakat desa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang hidup dan

bertempat tinggal di wilyah pedesaan. Masyarakat desa dicirikan sebagai

masyarakat yang memiliki ikatan yang relatif kuat karena adanya rasa memiliki

satu sama lain. Pada umumnya masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai

masyarakat yang homogen dari segi pekerjaan, agama, adat istiadat dan hubungan

yang terjalin menganut sistem kekeluargaan sehingga cenderung tanpa pamrih.

Menurut Soedjatmoko sebagaimana dikutip Sudarmanto (1996) struktur

masyarakat pedesaan, khususnya di jawa dapat digolongkan menjadi tiga

golongan, yaitu:

1. Golongan pertama adalah mereka yang memiliki tanah cukup besar untuk

kehidupan yang cukup bagi keluarganya.

2. Golongan kedua, terdiri dari petani yang memiliki atau menguasai tanah yang

luasnya atau kualitasnya marginal, sehingga kehidupan keluarganya sangat

tergantung pada kesempatan kerja sampingan, selain karena faktor iklim dan

faktor pasar.

3. Golongan ketiga, yang makin lama makin besar jumlahnya baik di Indonesia

maupun di Asia, pada umumnya ialah mereka yang sama sekali tidak

mempunyai tanah.

2.1.6 Pengertian Konflik

Konflik adalah benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang

disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan

sumberdaya (Fuad dan Maskanah, 2000). Konflik dapat berwujud konflik tertutup

(latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest). Konflik tertutup (latent)

dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya

Page 17: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

berkembang, dan belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik. Seringkali

salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik, bahkan yang paling

potensial sekalipun. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana

pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, 14

kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri

belum berkembang. Konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihakpihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi,

mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan

buntu. Menurut level permasalahannya, konflik dibedakan menjadi konflik

vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal yaitu apabila pihak yang di lawan

oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda. Sedangkan konflik horizontal

terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.

Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik, diperlukan adanya

pemetaan konflik. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) pemetaan konflik

dilakukan dengan mengelompokkan konflik ke dalam ruang-ruang konflik

menggunakan kriteria-kriteria di bawah ini:

1. Konflik data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang

dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana atau mendapat

informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan,

atau menterjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata

cara pengkajian yang berbeda.

2. Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan

atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian.

3. Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif

yang kuat, salah persepsi atau stereotipe, salah komunikasi, atau tingkah laku

negatif yang berulang (repetitif).

4. Konflik nilai, disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak sesuai, entah itu

Page 18: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

hanya dirasakan atau memang ada.

5. Konflik struktural, terjadi ketika adanya ketimpangan untuk melakukan akses

dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki

wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih

memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak

terhadap pihak lain.

2.1.7 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi 15

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan (UU No. 32 Tahun 2009).

Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) pola pembangunan berkelanjutan

mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan secara rasional dan

bijaksana. Hal ini berarti bahwa pengelolaan sumberdaya alam, seperti

sumberdaya alam pertambangan, hutan pelestarian alam, hutan lindung dan hutan

produksi, dapat diolah secara rasional dan bijaksana dengan memperhatikan

keberlanjutannya. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan

pengelolaan lingkungan hidup.

Konsep pembangunan berkelanjutan memberikan implikasi adanya batasan

yang ditentukan oleh tingkat masyarakat dan organisasi sosial mengenai

sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menyerap berbagai pengaruh

aktivitas manusia. Proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan

didukung sumberdaya alam yang ada dengan kualitas lingkungan dan manusia

yang semakin berkembang dalam batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan

akan memungkinkan generasi sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa

mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan

Page 19: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

kesejahteraannya (Sugandhy dan Hakim, 2009).

Tiga pilar pembangunan berkelanjutan sejak deklarasi Stockholm 1972

menuju Rio de Janeiro, sampai dengan Rio + 10 di Johanesburg 2002 ditekankan

perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan

sumberdaya buatan dalam setiap pembangunan nasional, dengan pendekatan

kependudukan, pembangunan, dan lingkungan sampai dengan integrasi aspek

sosial, ekonomi, dan lingkungan (Sugandhy dan Hakim, 2009).

Menurut Sugandhy dan Hakim (2009) setiap keputusan pembangunan harus

memasukkan berbagai pertimbangan yang menyangkut aspek lingkungan, di

samping pengentasan kemiskinan dan pola konsumsi sehingga hasil pembangunan

benar-benar akan memberikan hasil yang baik bagi peningkatan kualitas hidup

manusia. Pertimbangan lingkungan yang menyangkut ekonomi lingkungan, tata

ruang, AMDAL dan social cost harus diinternalisasi dalam setiap pembuatan

keputusan pembangunan untuk dapat mewujudkan hal ini, keterpaduan antar 16

sektor, antar wilayah dan daerah dengan melibatkan semua stakeholders, menjadi

suatu keharusan sehingga diperlukan koordinasi yang mantap.

2.1.8 Dampak Aktivitas Pertambangan

Menurut Kristanto (2004) dampak diartikan sebagai adanya suatu benturan

antara dua kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan pembangunan dengan

kepentingan usaha melestarikan kualitas lingkungan yang baik. Dampak yang

diartikan dari benturan antara dua kepentingan itupun masih kurang tepat karena

yang tercermin dari benturan tersebut hanyalah kegiatan yang menimbulkan

dampak negatif. Pengertian ini pula yang dahulunya banyak di tentang oleh para

pemilik atau pengusul proyek.

Perkembangan selanjutnya, yang dianalisis bukan hanya dampak negatifnya

saja melainkan juga dampak positifnya dan dengan bobot analisis yang sama.

Apabila didefinisikan lebih lanjut, maka dampak adalah setiap perubahan yang

Page 20: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia. Disini tidak disebutkan

karena adanya proyek, karena proyek sering diartikan sebagai bangunan fisik saja,

sedangkan banyak proyek yang bangunan fisiknya relatif kecil atau tidak ada,

tetapi dampaknya besar. Jadi yang menjadi objek pembahasan bukan saja dampak

proyek terhadap lingkungan, melainkan juga dampak lingkungan terhadap proyek

(Kristanto, 2004).

Menurut Salim (2007) setiap kegiatan pembangunan di bidang

pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak negatif.

Dampak positif dari kegiatan pembangunan di bidang pertambangan adalah:

1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi

nasional;

2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) ;

3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang;

4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang;

5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang;

6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan

7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang.

Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah:

1. Kehancuran lingkungan hidup;17

2. Penderitaan masyarakat adat;

3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal;

4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;

5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan

6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan

Meningkatnya kebutuhan sumberdaya mineral di dunia telah memacu

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral serta untuk mendapatkan

lokasi-lokasi sumberdaya mineral yang baru. Konsekuensi dari meningkatnya

Page 21: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral harus diikuti dengan usaha-usaha

dalam pencegahan terhadap dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral tersebut (Noor, 2006).

2.1.8.1 Dampak Aspek Sosio-Ekonomi

Dampak sosial ekonomi merupakan dampak aktivitas pertambangan pada

aspek sosial ekonomi yang dapat bersifat positif dan negatif. Dampak positif

akibat aktivitas pertambangan diantaranya adalah terjadinya peningkatan

Pendapatan Asli Daerah (PAD), terciptanya lapangan pekerjaan, dan peningkatan

ekonomi bagi masyarakat di sekitar wilayah pertambangan sedangkan dampak

negatif dari adanya aktivitas pertambangan adalah terjadinya penurunan

pendapatan bagi masyarakat yang bergerak di sektor pertanian, karena

menurunnya kualitas lahan yang digunakan.

Hasil penelitian Budimanta (2007) menunjukkan bahwa aktivitas

penambangan di daerah Bangka Belitung memberikan berbagai dampak positif

dan negatif pada kehidupan warga. Dampak positif akibat aktivitas penambangan

diantaranya adalah meningkatnya penghasilan devisa bagi Negara, terciptanya

lapangan pekerjaan. Selain itu, adanya perbaikan infrastruktur seperti akses jalan

ke Penagan dari Pangkal Pinang menjadi semakin mudah dan kondisi jalanan

semakin baik. Waktu tempuh menjadi semakin efisien dibandingkan sebelumnya

yang membutuhkan waktu hingga dua hari bagi para pejalan kaki. Pada aspek

ekonomi, pendapatan yang diperoleh warga menjadi semakin meningkat. Hal ini

terlihat dari adanya kemampuan warga untuk mendirikan rumah permanen yang

terbuat dari bahan bata dan semen, dibandingkan kondisi sebelumnya yang hanya

terbuat dari kayu penyangga. 18

2.1.8.2 Dampak Aspek Sosio-Ekologi

Perubahan ekologi di wilayah pertambangan terjadi karena adanya aktivitas

eksploitasi terhadap sumberdaya alam tambang. Perubahan ekologi ini

Page 22: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

mengakibatkan perubahan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Kerusakan

lingkungan seperti pencemaran air, polusi udara dan kekeringan air, mampu

mengubah sistem mata pencaharian masyarakat desa yang awalnya bergerak di

sektor pertanian menjadi sektor non pertanian.

Menurut Noor (2006) permasalahan yang sering muncul dari kegiatan

eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral adalah terjadinya penurunan

kualitas lingkungan hidup seperti pencemaran pada tanah, udara, dan hidrologi

air. Di indonesia dapat kita jumpai beberapa contoh lokasi tambang yang telah

mengalami penurunan kualitas lingkungan, antara lain tambang timah di Pulau

Bangka, tambang batu bara di Kalimantan Timur dan tambang tembaga di Papua.

Lubang-lubang bekas penambangan dan pembukaan lapisan tanah yang

subur pada saat penambangan, dapat mengakibatkan daerah yang semula subur

menjadi daerah yang tandus. Diperlukan waktu yang sangat lama untuk kembali

ke dalam kondisi semula. Polusi dan degradasi lingkungan akan terjadi pada

semua tahap dalam aktivitas pertambangan. Tahap tersebut dimulai pada tahap

prosesing mineral dan semua aktivitas yang menyertainya seperti penggunaan

peralatan survei, bahan peledak, alat-alat berat, limbah mineral padat yang tidak

dibutuhkan (Noor, 2006).

Menurut Noor (2006) permasalahan yang ditimbulkan dalam penggunaan

batu bara adalah pencemaran udara berupa kandungan belerang yang dilepaskan

oleh hasil pembakaran batu bara pada pembangkit listrik, dan debu batu bara

(partikel-partikel halus) hasil pembakaran yang masuk ke udara.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Qomariah (2002) dampak

akibat aktivitas pertambangan batu bara bukan hanya menimbulkan pencemaran

udara yang mengakibatkan penurunan kesehatan saja, melainkan juga timbulnya

cekungan besar yang dikelilingi tumpukan tanah bekas galian yang telah

bercampur dengan sisa-sisa bahan tambang (tailing). Pada saat musim hujan,

Page 23: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

cekungan tersebut dialiri air dan berubah menjadi danau. Sisa-sisa bahan tambang

mengalir ke sungai-sungai dan menutupi lahan pertanian serta areal perkebunan. 19

Hal ini mengakibatkan hilangnya vegetasi (tanaman) populasi satwa liar dan

menurunnya kualitas air. Sementara itu di daerah bagian hilir pasca tambang,

rawan terjadinya bencana erosi akibat sedimentasi tanah.

Di beberapa daerah yang memiliki potensi penambangan pasir seperti

Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung, aktivitas penambangan

mengakibatkan timbulnya tebing-tebing bukit yang rawan longsor akibat

penambangan yang tidak memakai sistem berteras. Hal ini mengakibatkan

semakin tingginya tingkat erosi di daerah pertambangan, berkurangnya debit air

permukaan atau mata air, menurunnya produktivitas lahan pertanian, dan

tingginya lalu lintas kendaraan drum truk di jalan desa yang kemudian membuat

rusaknya jalan, serta timbulnya polusi udara. Sementara itu, di beberapa daerah

lain di Indonesia seperti Bangka Belitung, Kabupaten Sumbawa Provinsi NTB

dan Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan, aktivitas pertambangan

mengakibatkan terjadinya pencemaran air dan degradasi lahan. Hilangnya fungsi

atas sungai bagi masyarakat seperti air sungai Tongo-Sejorong yang pada awalnya

digunakan warga untuk minum, membersihkan makanan, mandi, mencuci, minum

ternak. Sungai tercemar oleh limbah yang berasal dari konsentrator aktivitas

limbah dan pembukaan hutan di bagian hulu. Selain itu, terjadinya kekeringan air

sumur milik warga akibat adanya aktivitas pengeboran.

2.2 Kerangka Konseptual

Gambar 1 di bawah ini menjelaskan tentang adanya pihak-pihak

berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tambang.

pihak-pihak berkepentingan yang ada meliputi pemerintah seperti pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan swasta. Pemerintah sebagai

institusi yang berperan sebagai pemberi kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya

Page 24: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

alam tambang, swasta sebagai pengelola dan pemanfaat langsung dari kebijakan

yang dikeluarkan oleh pemerintah, serta masyarakat lokal sebagai sekumpulan

orang yang berada di sekitar lokasi penambangan dan sebagai pihak penerima

dampak langsung maupun tidak langsung dari adanya aktivitas pertambangan.

Pada awalnya, ketiga pihak yang ada memiliki akses terhadap sumberdaya

alam tambang. Namun dengan adanya izin usaha tambang yang diberikan oleh

pemerintah, menjadikan swasta sebagai pihak yang memiliki akses lebih tinggi. 20

Keterangan:

= saling mempengaruhi, = hubungan akibat, = akses

- - - - - = fokus penelitian

Gambar 1. Kerangka Konseptual Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek

Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi

Masyarakat Lokal

Pemerintah (Pemerintah

Pusat dan Pemerintah

Daerah)

Swasta/Perusahaan

Pertambangan

Sosio-Ekonomi

- Perubahan Pola Pekerjaan

- Pendapatan

- Kesempatan Kerja

- Konflik di Masyarakat

Sosio-Ekologi

- Terganggunya Sumber Air

- Perubahan Udara

Page 25: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

- Polusi Suara

- Kesehatan

Pembangunan Berkelanjutan

Sumberdaya

Alam Tambang

Aktivitas Pertambangan

- Pabrik Industri Pertambangan

- Ledakan (Blasting)21

Aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh swasta menimbulkan berbagai

dampak negatif dan positif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Berbagai

dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya paradigma pembangunan

berkelanjutan. Pembangunan tidak hanya mengejar pada peningkatan

perekonomian negara saja melainkan juga melihat pada aspek Analisis

Manajemen dan Dampak Lingkungan (AMDAL) sebelum dilakukannya aktivitas

pertambangan, maupun upaya reklamasi lahan pasca tambang. Aktivitas

pembangunan terus dilakukan namun tidak mengurangi kualitas hidup manusia

dan lingkungan di masa yang akan datang.

2.3 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

= hubungan langsung (kuantitatif)

= hubungan tidak langsung (kualitatif)

= awal hipotesis (kualitatif)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Dampak aktivitas Pertambangan pada Aspek

Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologi Masyarakat Desa

Frekuensi Blasting

Sosial

Tingkat Konflik

Page 26: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

di Masyarakat

Ekonomi

Ekologi

Tingkat Gangguan Terhadap

Sumber Air

Tingkat Polusi Suara

Tingkat Perubahan Udara

Tingkat Polusi Suara

Tingkat Kesehatan Masyarakat

Tingkat Kesempatan

Kerja Pertanian

Tingkat Kesempatan

Kerja Non Pertanian

Jumlah Pabrik

Industri

Pertambangan22

2.4 Hipotesis Penelitian

Dari kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan perubahan pola kehidupan sosio-ekonomi masyarakat

lokal akibat aktivitas pertambangan. Jika semakin banyak jumlah pabrik

industri pertambangan, maka:

Semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.

Semakin rendah tingkat kesempatan kerja sektor pertanian dan

semakin tinggi tingkat kesempatan kerja sektor non pertanian di

kawasan yang sama menyebabkan semakin tinggi tingkat

persaingan sehingga semakin tinggi tingkat konflik yang terjadi di

masyarakat.

Page 27: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

2. Terdapat hubungan perubahan sosio-ekologi masyarakat lokal akibat

aktivitas pertambangan. Jika semakin tinggi tingkat frekuensi blasting,

maka:

Semakin tinggi tingkat gangguan terhadap air, perubahan udara,

dan polusi suara sehingga mengakibatkan tingkat kesehatan

semakin buruk dan semakin tinggi konflik yang terjadi di

masyarakat.

2.5 Definisi Konseptual

1. Aktivitas pertambangan merupakan aktivitas pengerukan terhadap

sumberdaya mineral yang terdapat di dalam tanah.

2. Pabrik industri pertambangan adalah tempat pengolahan bahan tambang

setelah sebelumnya dilakukan aktivitas pengerukan tanah.

3. Blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah tanah

dengan menggunakan dinamit.

4. Dampak sosio-ekonomi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh

adanya aktivitas pertambangan pada pola dan struktur ekonomi

masyarakat serta hubungan sosial antar masyarakat.23

5. Dampak sosio-ekologi merupakan dampak yang ditimbulkan oleh adanya

aktivitas pertambangan pada aspek lingkungan di sekitar wilayah

pertambangan.

6. Sumber air adalah tempat dimana air tersedia, yang digunakan untuk

kehidupan sehari-hari.

7. Perubahan udara merupakan peristiwa terjadinya perubahan kondisi

udara akibat debu sebagai buangan limbah di sekitar wilayah

penambangan.

8. Polusi suara adalah bunyi atau suara berupa kebisingan yang ditimbulkan

oleh adanya aktivitas blasting ataupun kendaraan truk pengangkut barang

Page 28: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tambang.

9. Kesehatan adalah kondisi fisik atau tubuh seseorang yang memiliki

kondisi sehat dan terbebas dari penyakit.

10. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari.

11. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai

imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan.

12. Kesempatan kerja adalah peluang seseorang untuk memperoleh

pekerjaan.

13. Konflik merupakan hubungan pertentangan antara satu orang atau lebih

karena adanya perbedaan tujuan.

14. Bahan galian golongan C merupakan jenis bahan galian tambang yang

dipergunakan sebagai bahan bangunan industri seperti andesit, pasir, dsb.

2.6 Definisi Operasional

1. Jumlah pabrik industri pertambangan adalah banyaknya pabrik industri

pertambangan yang melakukan aktivitas pengerukan bahan tambang di

sekitar wilayah pertambangan.

Sedikit : jumlah pabrik industri pertambangan = 1 buah, skor 1

Banyak : jumlah pabrik industri pertambangan ≥ 2 buah, skor 2 24

2. Frekuensi blasting adalah frekuensi pengeboran bawah tanah dengan

menggunakan dinamit. Pengukuran dilakukan mulai dari skor terburuk

berdasarkan frekuensi paling rendah aktivitas blasting dalam waktu satu

hari.

a. Rendah : aktivitas blasting = 1 kali, skor 1

b. Sedang : aktivitas blasting = 2 kali, skor 2

c. Tinggi : aktivitas blasting > 2 kali, skor 3

3. Tingkat pendidikan adalah tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh

Page 29: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

oleh responden. Tingkat pendidikan responden diukur dari tingkat

pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

a. Sangat rendah : tidak sekolah, skor 1

b. Rendah : tamat SD/sedejarat, skor 2

c. Sedang : tamat SMP/sederajat, skor 3

d. Tinggi : tamat SMA/sederajat, skor 4

e. Sangat tinggi : tamat perguruan tinggi, skor 5

4. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diperoleh oleh

responden sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam

kurun waktu satu tahun. Pengukuran didasarkan pada rata-rata pendapatan

rumahtangga dengan skor terendah pada pendapatan paling kecil.

a. Rendah : pendapatan < Rp 8.787.117, skor 1

b. Sedang : Rp 8.787.117 ≤ pendapatan < Rp 16.964.607, skor 2

c. Tinggi : pendapatan ≥ Rp 16.964.607, skor 3

5. Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya lahan pertanian yang

dimiliki oleh rumahtangga responden. Pengukuran dilakukan pada dua

bagian yaitu:

(i) Kepemilikan lahan pertanian adalah banyaknya jumlah anggota dalam

keluarga responden yang memiliki lahan pertanian. Pengukuran

dilakukan mulai pada skor terendah dari kepemilikan lahan paling

rendah hingga paling tinggi.

a. Rendah : tidak memiliki lahan pertanian, skor 125

b. Tinggi : memiliki lahan pertanian, skor 2

(iii) Luas lahan pertanian adalah jumlah luas lahan pertanian yang dimiliki

oleh setiap rumahtangga responden setelah adanya aktivitas

pertambangan. Pengukuran dilakukan mulai dengan skor terendah dari

luas lahan yang paling sempit.

Page 30: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

a. Sangat rendah : lahan < 0,001 hektar, skor 1

b. Rendah : 0,001 hektar ≤ lahan < 0,01 hektar, skor 2

c. Sedang : 0,01 hektar ≤ lahan < 0,1 hektar, skor 3

d. Tinggi : 0,1 hektar ≤ lahan < 0,5 hektar,skor 4

e. Sangat tinggi : lahan ≥ 0,5 hektar,skor 5

6. Kondisi tempat tinggal adalah kondisi tempat tinggal yang dihuni oleh

anggota keluarga responden. Pengukuran dibagi menjadi dua bagian yaitu:

(i) Kondisi fisik tempat tinggal adalah keadaan fisik tempat tinggal yang

dihuni oleh anggota keluarga. Pengukuran dimulai dari skor terendah

pada kapasitas rumah dan kekuatan bangunan yang paling rentan roboh.

a. Sangat tidak layak : bangunan non bangunan non permanen,

dinding dan alas dari tanah atau kayu, luas

bangunan tidak memadai untuk seluruh

anggota keluarga, skor 1

b. Tidak layak : bangunan non permanen, dinding dan alas dari

tanah atau kayu, skor 2

c. Sedang : bangunan permanen, dinding semen, alas

tanah, skor 3

d. Layak : bangunan permanen, dinding dan alas semen,

skor 4

e. Sangat layak : bangunan permanen, dinding dan alas semen,

luas bangunan memadai untuk seluruh anggota

keluarga, skor 5

(ii) Status tempat tinggal adalah status kepemilikan rumah yang ditempati

oleh responden. Pengukuran dimulai dari skor terendah pada status

tempat tinggal yang paling buruk.26

a. Buruk : menumpang pada orang lain, skor 1

Page 31: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

b. Sedang : sebagai penyewa, skor 2

c. Baik : sebagai pemilik, skor 3

7. Tingkat gangguan terhadap sumber air adalah tingkat gangguan pada

kondisi sumberdaya air meliputi kuantitas maupun kualitas air yang

tersedia, yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Pengukuran

ditentukan berdasarkan pada kondisi sumber air dan kualitas air minum

responden.

(i) Kondisi sumber air adalah kondisi sumberdaya air yang digunakan

untuk kehidupan sehari-hari. Pengukuran dimulai dari skor terendah

dengan kondisi sumber air yang paling buruk.

a. Buruk : air tidak tersedia, skor 1

b. Sedang : air tersedia namun terbatas, skor 2

c. Baik : air tersedia dimana-mana, skor 3

(ii) Kualitas air minum adalah kondisi air minum secara fisik dilihat dari

bersih atau kotornya air minum tersebut. Pengukuran dilakukan

mulai dari skor terendah dari keadaan air yang buruk.

a. Buruk : air berwarna, skor 1

b. Baik : air jernih, skor 2

8. Persepsi tingkat perubahan udara adalah pandangan responden terhadap

tingkat perubahan kondisi udara akibat adanya limbah buangan industri

pertambangan yang dapat mencemari udara. Pengukuran dimulai dari

skor terendah pada kondisi udara yang dirasakan sangat tidak nyaman

oleh responden.

a. Tidak nyaman : suhu udara panas, berdebu, terlihat gersang, skor 1

b. Sedang : suhu udara panas, tidak berdebu, skor 2

c. Nyaman : suhu udara sejuk dan tidak berdebu, skor 3

9. Persepsi tingkat polusi suara adalah pandangan responden terhadap

Page 32: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tingkat kebisingan karena adanya bunyi atau suara yang ditimbulkan oleh 27

blasting dan kendaraan truk. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan

pada dua bagian yaitu:

(i) Persepsi tingkat kebisingan aktivitas blasting adalah pandangan

responden terhadap tingkat kebisingan yang disebabkan oleh adanya

bunyi atau getaran ledakan pengeboran tanah oleh dinamit.

Pengukuran dimulai pada skor terendah untuk aktivitas tidak

mengganggu menurut persepsi responden.

a. Rendah : tidak mengganggu sama sekali, suasana nyaman, skor 1

b. Sedang : biasa saja, tidak terlalu mengganggu, skor 2

c. Tinggi : sangat mengganggu, skor 3

(ii) Persepsi tingkat kebisingan kendaraan truk adalah pandangan

responden terhadap tingkat kebisingan yang disebabkan oleh adanya

aktivitas kendaraan truk pengangkut barang tambang. Pengukuran

dimulai pada skor terendah untuk aktivitas paling mengganggu.

a. Rendah : tidak mengganggu sama sekali, suasana nyaman, skor 1

b. Sedang : biasa saja, tidak terlalu menganggu, skor 2

c. Tinggi : sangat mengganggu, skor 3

10. Tingkat kesehatan masyarakat adalah tingkat terjadinya gangguan

kesehatan akibat adanya beberapa penyakit yang diderita dalam kurun

waktu satu tahun terakhir, yang disebabkan oleh limbah atau buangan

bahan tambang seperti debu, pencemaran air dan lain-lain. Pengukuran

dilakukan berdasarkan pada dua bagian yaitu:

(i) Jumlah rumahtangga yang menderita penyakit adalah jumlah atau

banyak anggota keluarga responden yang menderita penyakit selam

kurun waktu satu tahun terakhir dan disebabkan oleh aktivitas

pertambangan. Pengukuran dimulai dari skor terendah apabila ada

Page 33: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

anggota keluarga responden yang mengalami sakit.

a. Buruk : ada anggota keluarga yang sakit, skor 1

b. Baik : tidak ada anggota keluarga yang sakit, skor 228

(ii) Frekuensi pengobatan adalah sering atau tidaknya anggota kelurga

responden memberikan obat yang diperoleh dari warung maupun

melakukan pemeriksaan ke rumah sakit. Pengukuran dimulai dari

skor terendah dari frekuensi pengobatan paling rendah yaitu tidak

pernah.

a. Rendah : tidak pernah melakukan pengobatan, skor 1

b. Sedang : hanya beberapa kali saja (1-3 kali), skor 2

c. Tinggi : sering melakukan pengobatan (> 3 kali), skor 3

11. Persepsi tingkat kesempatan kerja pertanian adalah persepsi responden

terhadap tingkat kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di sektor

pertanian. Pengukuran dilakukan berdasarkan skor terendah untuk tingkat

paling sulit hingga tertinggi sesuai kondisi sebelum dan setelah adanya

aktivitas pertambangan.

a. Sangat sulit : tidak ada kesempatan kerja, skor 1

b. Sulit : kesempatan kerja terbatas, skor 2

c. Netral : sama saja, tidak ada perubahan, skor 3

d. Mudah : kesempatan kerja terbuka luas, skor 4

e. Sangat mudah : kesempatan kerja pertanian paling banyak daripada

pekerjaan yang lainnya, skor 5

12. Persepsi tingkat kesempatan kerja non pertanian adalah persepsi

responden terhadap tingkat kemudahan dalam mendapatkan pekerjaan di

sektor non pertanian. Pengukuran dilakukan dari skor paling terendah

dari yang paling sulit hingga paling tinggi.

a. Sangat sulit : tidak ada kesempatan kerja, skor 1

Page 34: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

b. Sulit : kesempatan kerja terbatas, skor

c. Netral : sama saja, tidak ada perubahan, skor 3

d. Mudah : kesempatan kerja terbuka luas, skor 4

e. Sangat mudah : kesempatan kerja non pertanian paling banyak dari

pada pertanian, skor 529

13. Tingkat konflik di masyarakat adalah tingkat terjadinya hubungan

pertentangan yang terjadi antara satu orang atau lebih. Pengukuran

dilakukan menjadi dua bagian yaitu:

(i) Hubungan yang terjadi antar sesama masyarakat lokal, dan hubungan

yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pihak pendatang. Skor

terendah dimulai pada hubungan paling dalam seperti gotong royong.

a. Sangat rendah : pekerjaan dilakukan secara bersama-sama dengan

sistem gotong royong yang masih terjalin erat,

skor 1

b. Rendah : peduli dan masih suka saling membantu, skor 2

c. Sedang : masih terjalin kontak dan komunikasi, skor 3

d. Tinggi :

tidak peduli dengan keadaan penduduk sekitar,

skor 4

e. Sangat tinggi : terjadi pertengkaran dengan penduduk, skor 5

(ii) Tingkat Kedalaman konflik sebagai akibat dari perubahan ekologi

yang mencakup perubahan udara, kebisingan, gangguan sumber air.

Pengukuran dilakukan dimulai dengan skor terendah pada derajat

kedalaman konflik paling ringan.

a. Sangat rendah : biasa saja, skor 1

b. Rendah : resah, skor 2

c. Sedang : mengeluh, skor 3

Page 35: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

d. Tinggi : ketegangan/stres, skor 4

e. Sangat tinggi : bentrok, skor 5 30

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang

didukung oleh pendekatan kualitatif. Pada pendekatan kuantitatif, penelitian ini

menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian

dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakan melalui

angket atau interview supaya menggambarkan berbagai aspek dari populasi

(Fraenkel dan Wallen sebagaimana dikutip Wahyuni dan Muljono, 2009).

Sedangkan dalam metode penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara,

pengamatan, dan studi literatur.

Pengambilan data dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah

pengambilan data melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden dan

informan untuk melakukan test sebagai preliminary research. Kemudian setelah

dilakukan test akan dilakukan editing kuesioner sebagai penelitian sesungguhnya

yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan daerah lokasi penelitian.

Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dapat terjamin, baik realibilitas

maupun validitasnya.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan

menggunakan kuesioner yang disebarkan, kemudian diisi oleh responden.

Sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi dan studi literatur yang

berkaitan dengan tujuan penelitian seperti buku, data potensi pertambangan,

potensi desa dan lainnya.

Page 36: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

3.3 Teknik Penentuan Responden

Pada penelitian ini, terdapat dua subjek penelitian yang terdiri dari informan

dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan

informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya.

Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola

salju). Teknik ini juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang 31

karakteristiknya sesuai dengan masalah yang akan diteliti (kerangka sampling).

Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik simple

cluster random sampling. Dari Desa Cipinang diambil secara purposif dua

kampung sebagai perbandingan yang didasari pada banyaknya jumlah pabrik

industri pertambangan, yaitu kampung dengan jumlah pabrik industri

pertambangan banyak dengan sektor non pertanian yang lebih dominan.

Kemudian kampung yang sedikit jumlah pabrik industri pertambangan dengan

sektor pertanian yang lebih dominan. Kedua kampung tersebut diambil masingmasing satu RT/RW untuk menjadi sampel kedua. Responden dipilih secara acak

sebanyak 30 responden untuk masing-masing RT/RW yang dijadikan sampel

penelitian, dengan tiga responden cadangan sehingga jumlah total responden

adalah sebanyak 60 rumahtangga (sebagaimana pada lampiran 1). Secara lebih

rinci teknik pengambilan sampel diilustrasikan sebagai berikut.

Gambar 3. Teknik Kerangka Sampling dalam Pengambilan Responden

Desa Cipinang

Kampung dengan jumlah pabrik

industri pertambangan banyak:

Kampung Joglo

(RT 01/05)

Penentuan secara purposif

Page 37: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kampung dengan jumlah pabrik

industri pertambangan sedikit:

Kampung Gunung Cabe

(RT 05/04)

Penentuan secara purposif

Jumlah total kampung:

21 kampung

Jumlah KK sebanyak 126 KK Jumlah KK sebanyak 139 KK

Secara acak dipilih 30 responden Secara acak dipilih 30 responden

Jumlah total: 60 responden 32

Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga. Hal ini dikarenakan

rumahtangga merupakan unit terkecil dari masyarakat dalam hal pengambilan

keputusan keluarga, seperti besarnya bantuan pendapatan yang diberikan anggota

keluarga maupun aspek-aspek lain yang mempengaruhi keadaan sosial ekonomi.

3.4 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data menggunakan kuesioner yang dibagikan

kepada responden dengan diolah melalui beberapa langkah yaitu editing

kuesioner, pengkodean data, pemindahan data ke lembar penyimpanan data,

memasukkan data ke dalam program microsoft excel. Dalam melakukan analisis

data kuantitatif, menggunakan analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi

silang dan tabel frekuensi.

Data yang ditampilkan berupa grafik, matriks, atau bagan. Kemudian data

tersebut digabungkan dengan hasil wawancara mendalam dan observasi berupa

kutipan untuk kemudian penarikan kesimpulan dari semua data yang telah diolah

sebelumnya.

3.5 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cipinang, Kecamatan Rumpin,

Page 38: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kabupaten Bogor, Jawa Barat yaitu di daerah sekitar wilayah pertambangan yang

terdapat bahan galian golongan C. Lokasi ini dipilih secara sengaja dikarenakan

karakteristik dari desa tersebut sangat sesuai dengan penelitian yang dilakukan,

dimana Desa Cipinang merupakan desa yang mayoritas penduduknya

bermatapencaharian sebagai petani.

Terjadinya peralihan atau transformasi pekerjaan dari sektor pertanian

menjadi sektor non pertanian sebagai akibat adanya aktivitas pertambangan,

merupakan salah satu pembahasan penting dari pokok penelitian yang dilakukan.

Adapun pelaksanaan waktu penelitian dilakukan selama satu bulan yang dimulai

pada pertengahan bulan Maret hingga April 2011. 33

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Desa Cipinang

Desa Cipinang merupakan salah satu desa yang terdapat di daerah

Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki

luas lahan sebesar 996.625 Ha dengan tekstur lahan pertanian sawah dan lahan

kering. Desa Cipinang dikenal sebagai salah satu daerah bagian Kabupaten Bogor

yang memiliki potensi sumberdaya alam tambang yang sangat melimpah.

Sumberdaya alam tambang yang ada meliputi bahan galian golongan C seperti

batu, pasir teras dan sumberdaya alam tambang lainnya. Mayoritas penduduk

Desa Cipinang beragama Islam yaitu sebanyak 12.046 jiwa dari jumlah total

penduduknya sebanyak 13.007 jiwa. Adapun jumlah kampung yang terdapat di

Desa Cipinang adalah sebanyak 21 kampung, yang tersebar di beberapa daerah

bagian dan terbagi menjadi tiga dusun sebagai batas wilayah.

4.1.1 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Cipinang

Secara geografis Desa Cipinang dibatasi oleh beberapa wilayah yaitu

sebelah utara dibatasi oleh Desa Sukasari, sebelah timur dibatasi oleh Desa

Page 39: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Rumpin, sedangkan di sebelah selatan dibatasi oleh Desa Kampung Sawah dan

sebelah barat dibatasi oleh Desa Tegal Lega. Areal Pemukiman Desa Cipinang

terbagi menjadi delapan Rukun Warga (RW) dan 42 Rukun Tetangga (RT).

Suhu rata-rata harian Desa Cipinang mencapai 25

o

C dengan tinggi tempat

dari permukaan laut mencapai 132 mdpl. Jarak pemerintahan Desa Cipinang

dengan ibu kota kecamatan ditempuh dengan jarak tiga kilometer, sementara jarak

pemerintahan desa dengan ibu kota kabupaten ditempuh dengan jarak 42 km.

Akses jalan menuju Desa Cipinang masih tergolong sulit. Hal ini

dikarenakan kondisi jalan yang rusak dan sarana transportasi seperti kendaraan

umum masih jarang melintas di sekitar jalan raya menuju Desa Cipinang. Adapun

kendaraan yang melaju setiap hari adalah kendaraan truk pengangkut barang

tambang dan kendaraan umum yang hanya digunakan untuk menjemput anakanak ketika pulang sekolah. Akses menuju Desa Cipinang hanya dapat ditempuh

dengan menggunakan kendaraan motor melalui jasa tukang ojeg. 34

4.1.2 Kondisi Sosial dan Ekonomi Penduduk

Jumlah penduduk Desa Cipinang tergolong padat. Hal ini terlihat dari

besarnya jumlah penduduk yang sudah mencapai 13.007 jiwa, sebagaimana Tabel

3 di bawah ini.

Tabel 3. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Kategori Umur di Desa

Cipinang, 2010.

No Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 0-4 1.276 10.42

2 5-9 1.390 11.35

3 10-14 1.322 10.79

4 15-19 1.347 11.00

Page 40: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

5 20-24 1.222 9.98

6 25-29 1.117 9.12

7 30-34 907 7.41

8 35-39 851 6.95

9 40-44 587 4.79

10 45-49 553 4.52

11 50-54 414 3.38

12 55+ 1.260 10.29

Jumlah 13.007 100

Sumber : Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010

Data pada Tabel 3 di atas menunjukkan jumlah penduduk Desa Cipinang

berdasarkan kategori umur. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penduduk

usia produktif yang berkisar antara 15 tahun hingga 64 tahun memiliki jumlah

yang lebih banyak daripada jumlah penduduk lainnya. Jumlah penduduk usia

produktif sebanyak 9.019 jiwa atau sebesar 69,34 persen, sedangkan jumlah

penduduk usia belum produktif yaitu penduduk dengan usia 15 tahun ke bawah

hanya berjumlah 3.988 jiwa atau sebesar 30,66 persen. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar penduduk di Desa Cipinang telah memiliki kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu berdasarkan rasio 35

jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah

penduduk perempuan. Jumlah penduduk pria adalah sebanyak 6.741 jiwa

sedangkan jumlah penduduk perempuan sebanyak 6.266 jiwa. Hal ini menunjukan

bahwa penduduk pria lebih dapat bertahan hidup di wilayah pertambangan

dibandingkan penduduk perempuan.

Berdasarkan etnis, jumlah penduduk etnis Sunda lebih banyak daripada

etnis lainnya. Etnis Sunda berjumlah total 6.993 jiwa atau sebesar 53,77 persen,

etnis Jawa sebanyak 2.708 jiwa atau sebesar 20,82 persen, etnis Banjar sebanyak

Page 41: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

lima jiwa atau sebesar 0,04 persen, etnis Makassar sebanyak satu jiwa atau

sebesar 0,008 persen, etnis Batak tujuh jiwa atau sebesar 0,05 persen, etnis

Melayu sebanyak 240 jiwa atau sebesar 1,85 persen, etnis Betawi sebanyak 3052

jiwa atau sebesar 23,47 persen. Meskipun etnis Sunda lebih banyak daripada etnis

lainnya di Desa Cipinang, namun berdasarkan data tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa hampir setengah penduduk yang berada di Desa Cipinang

merupakan penduduk pendatang. Kehadiran penduduk pendatang ini disebabkan

oleh adanya keinginan untuk bertahan hidup, yaitu dengan bekerja di sektor

pertambangan. Hal ini akan memberikan dampak terhadap semakin tingginya

tingkat persaingan kerja di sektor pertambangan, yang terjadi antara masyarakat

lokal dan pendatang. Namun rendahnya pendidikan, menjadikan masyarakat lokal

belum mampu bersaing untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di sektor

pertambangan.

Sebenarnya, disini itu penduduknya paling banyak jadi petani pisang. Ada

juga karyawan PT tapi karena pendidikannya rendah, jadinya mereka

derajatnya lebih rendah dibanding karyawan PT lainnya (Bapak Skd,

tokoh masyarakat berusia 33 tahun).

Tingkat pendidikan di Desa Cipinang masih tergolong rendah. Hal ini

terlihat dari rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat Desa

Cipinang, dimana mayoritas pendidikan yang ditempuh hanya tamat SD/sederajat

dengan persentase sebesar 29.97 persen atau sebanyak 3.898 jiwa atau. Di urutan

kedua terbesar tingkat pendidikan yang ditempuh masyarakat Desa Cipinang

adalah tidak tamat sekolah dengan persentase sebesar 25,88 persen atau sebanyak

3.366 jiwa. Kemudian pada urutan ketiga adalah penduduk yang sedang menjalani 36

sekolah dengan sebesar 18,61 persen atau sebanyak sebesar 2.420 jiwa. Hal

tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Page 42: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Desa Cipinang, 2010.

No Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Belum sekolah 1.563 12.02

2 Sedang sekolah 2.420 18.61

2 Tidak tamat sekolah 3.366 25.88

3 Tamat SD/Sederajat 3.898 29.97

4 Tamat SMP/Sederajat 1.344 10.33

5 Tamat SMA/Sederajat 406 3.83

6 Tamat Akademi 2 0.02

7 Tamat Perguruan Tinggi 8 0.08

Jumlah 13.007 100

Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010

Pada Tabel 4 di atas terlihat bahwa jumlah penduduk Desa Cipinang yang

belum sekolah sebanyak 1.563 jiwa atau sebesar 12,02 persen, tamat

SMP/sederajat sebanyak 406 jiwa atau sebesar 3,83 persen, tamat perguruan

tinggi sebanyak delapan jiwa atau sebesar 0,08 persen, dan tamat akademi

sebanyak dua jiwa atau sebesar 0,02 persen. Rendahnya pendidikan akan

mempengaruhi tingkat kesejahteraan penduduk setempat. Selain itu, rendahnya

pendidikan juga akan mempengaruhi tingkat kesulitan akan akses terhadap sektor

pekerjaan yang mengharuskan tingginya tingkat pendidikan formal yang ditempuh

dan tingkat keterampilan yang dimiliki.

Terdapat beragam jenis mata pencaharian masyarakat Desa Cipinang sesuai

dengan jumlah keseluruhan penduduk sebanyak 10.234 jiwa. Masyarakat yang

bermatapencaharian sebagai petani berjumlah 1.071 jiwa dengan persentase 10,47

persen sedangkan masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pengusaha

berjumlah 57 jiwa atau sebesar 0,56 persen, pengrajin sebanyak 415 jiwa atau 37

sebesar 4,06 persen, pertukangan sebanyak 29 jiwa atau sebesar 0,28 persen,

Page 43: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

buruh perkebunan sebanyak 112 jiwa atau sebesar 1,09 persen, pedagang

sebanyak 976 jiwa atau sebesar 9,54 persen, pengemudi/jasa 327 jiwa atau sebesar

3,19 persen, PNS sebanyak 23 jiwa atau sebesar 0,22 persen, TNI/POLRI

sebanyak 14 jiwa atau sebesar 0,14 persen, pensiunan sebanyak 79 jiwa atau

sebesar 0,77 persen, dan sektor pekerjaan lainnya yang meliputi buruh tambang,

kuli bangunan, sopir truk dan sebagainya sebanyak 7.131 jiwa atau sebesar 69,68

persen. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cipinang, 2010

Berdasarkan data pada Gambar 4 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

saat ini sektor pekerjaan non pertanian di Desa Cipinang, paling banyak

dibandingkan dengan sektor pertanian yang hanya berjumlah sepuluh persen atau

sebanyak 1.071 jiwa dari total keseluruhan jenis mata pencaharian.

4.1.3 Tata Guna Tanah di Desa Cipinang

Tata guna tanah di Desa Cipinang sebagian besar digunakan sebagai lahan

sawah dengan persentase sebesar 41,29 persen atau seluas 411 hektar. Sementara

itu peruntukkan lahan lainnya digunakan sebagai lahan pemukiman dengan luas

274, 61 hektar atau sebesar 27,58 persen, lahan ladang/huma seluas 51,685 hektar

atau sebesar 5,19 persen, perkebunan seluas 231 atau sebesar 23,20 persen, kolam

seluas empat hektar atau sebesar 0,40 persen, sungai dua hektar atau sebesar 0,20

persen, jalan seluas 5,14 hektar atau sebesar 0,52 persen, situ seluas dua hektar 38

atau sebesar 0,20 persen, lahan pemakaman seluas 14 hektar atau sebesar 1,41

persen, perkantoran seluas 0.11 hektar atau sebesar 0,01 persen. Hal tersebut

sebagaimana terlihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Luas Lahan dan Persentasinya menurut Penggunaan Lahan di Desa

Cipinang, 2010.

No Penggunaan Lahan Luas Lahan (Hektar) Persentase (%)

1 Pemukiman 274.61 27.58

Page 44: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

2 Sawah 411 41.29

3 Ladang/huma 51.685 5.19

4 Perkebunan 231 23.20

5 Kolam 4 0.40

6 Sungai 2 0.20

7 Jalan 5.14 0.52

8 Situ 2 0.20

9 Pemakaman 14 1.41

10 Perkantoran 0.11 0.01

Jumlah 995.545 100

Sumber: Data Kependudukan Kantor Desa Cipinang, 2010

Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas, dapat disimpulkan bahwa saat ini

masih banyak masyarakat Desa Cipinang yang bergerak di sektor pertanian. Hal

ini terlihat dari masih luasnya lahan sawah yang mencapai 411 hektar dari jumlah

total keseluruhan tata guna lahan.

4.2 Gambaran Umum Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe

Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe merupakan kampung yang

jaraknya berdekatan dengan aktivitas pertambangan. Kedua kampung tersebut

merupakan kampung bagian Desa Cipinang yang memiliki keunikan dan sejarah

masing-masing. Hal ini terlihat dari adanya latar belakang pemberian nama

Kampung Gunung Cabe, yang berawal dari sebuah cerita masyarakat lokal pada 39

zaman dulu. Kampung Gunung Cabe berasal dari areal perbukitan yang memiliki

tanaman cabai.

Kata para orang tua zaman dulu disini (Kampung Gunung Cabe) itu

merupakan bukit. Ceritanya, ada orang yang mendaki gunung, bisa disebut

sebagai pengembara. Dia melihat ada cabai berwarna kuning sebesar drum

yang dia kira adalah emas karena ukurannya besar. Namun ketika hendak mau

Page 45: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

diambil, ternyata disekelilingnya ada harimau dan babi yang sedang

menunggu cabai tersebut. Si pendaki menjadi ketakutan dan tidak berani

mengambil cabai tersebut. Akhirnya dia pergi kemudian yang dulu sebuah

bukit kini menjadi kampung bernama Kampung Gunung Cabe (Bapak Skd,

tokoh masyarakat berusia 33 tahun).

Kampung Gunung Cabe dan Kampung Joglo memiliki karakteristik yang

berbeda. Salah satu perbedaan tersebut terlihat pada banyaknya jumlah pabrik

industri pertambangan yang terdapat di masing-masing kampung. Di Kampung

Gunung Cabe, hanya terdapat satu pabrik industri pertambangan jenis batu milik

perusahaan yang dikuasai oleh PT K. Sedangkan di Kampung Joglo terdapat tiga

pabrik industri pertambangan jenis batu dan pasir teras milik perusahaan yang

dikuasai oleh PT L dan PT M yang kini masih produktif. Sementara itu, terdapat

satu pabrik industri pertambangan lainnya yang akan segera melakukan aktivitas

pertambangan.

Jenis mata pencaharian masyarakat Kampung Gunung Cabe dan Kampung

Joglo sangat beragam, diantaranya yaitu sebagai petani, buruh tambang, sopir truk

pengangkut barang tambang, dan pedagang. Rata-rata hasil dari pertanian untuk

jenis komoditas padi tidak dijual ke orang lain. Secara subsisten, hasil pertanian

untuk jenis komoditas tersebut hanya cukup untuk makan anggota keluarga petani

itu sendiri. Hal ini dikarenakan sempitnya luas lahan sawah yang dimiliki oleh

perorangan dan banyaknya jumlah anggota dalam keluarga, sehingga hasil dari

pertanian hanya mencukupi konsumsi anggota keluarga petani saja.

4.3 Karakteristik Responden

Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 37 tahun. Sementara

itu berdasarkan tingkat pendidikan, mayoritas pendidikan responden di Kampung

Joglo dan Kampung Gunung Cabe adalah tidak tamat SD atau tidak sekolah.

Sebesar 50 persen atau sebanyak 15 responden di Kampung Joglo tidak tamat SD.

Page 46: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Sama halnya dengan responden di Kampung Gunung Cabe, dimana lebih dari 50

persen yakni sebesar 57 persen atau sebanyak 17 responden tidak tamat SD, 40

sebanyak 40 persen atau 12 responden tamat SD, dan tiga persen atau satu

responden tamat SMP. Sementara itu responden di Kampung Joglo lainnya,

sebesar 44 persen atau sebanyak 13 responden tamat SD, dan hanya sebesar tiga

persen atau satu responden yang dapat tamat SMA dan tamat perguruan tinggi.

Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 5 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 5. Tingkat Pendidikan Responden Desa Cipinang, 2011

Rendahnya pendidikan rumahtangga responden ini diikuti pula dengan

rendahnya tingkat pendidikan anak. Hal ini dikarenakan minimnya sarana dan

prasarana pendidikan sekolah, yang kemudian di perparah dengan letak dan jarak

sekolah yang sangat jauh.

Disini penduduknya kebanyakan hanya berpendidikan SD, tidak sekolah

malah karena di kampung ini kan tidak ada sekolahan. Ada sih, tapi tempatnya

jauh. Anak-anak juga tidak diijinkan sekolah sama orang tuanya karena pada

was-was, soalnya disini hanya ada truk yang suka gangkut-ngangkut barang

tambang sebagai kendaraannya. Yah, yang namanya anak kecil kan suka

bandel. Kalau misalnya nebeng, takutnya terjadi apa-apa gitu. Sekarang sih

saya sedang mengajukan pendirian sekolah karena kebetulan disini ada tanah

milik bersama, ya sekitar 7000 meter persegi-an lah (Bapak Skd, tokoh

masyarakat berusia 33 tahun).

Berdasarkan sektor pekerjaan, mayoritas responden di masing-masing

kampung bergerak di sektor non pertanian. Jumlah responden yang bergerak di

sektor non pertanian sebanyak 25 responden atau sebesar 83 persen dari Kampung

Persentase responden (%)41

Page 47: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Joglo, dan 16 responden atau sebesar 54 persen dari Kampung Gunung Cabe.

Sementara itu, sebanyak tiga responden atau sepuluh persen dari Kampung Joglo

dan tujuh responden atau 23 persen dari Kampung Gunung Cabe bergerak di

sektor pertanian. Sisanya, yaitu dua responden atau tujuh persen dari Kampung

joglo dan tujuh responden atau 23 persen dari Kampung Gunung Cabe bergerak di

dua sektor sekaligus, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Hal tersebut

sebagaimana terlihat pada Gambar 6 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 6. Jumlah Responden Berdasarkan Sektor Pekerjaan

Berdasarkan data pada Gambar 6 di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

perekonomian Desa Cipinang saat ini sudah didominasi oleh sektor non pertanian.

Rumahtangga Desa Cipinang berdasarkan asal kependudukan pada

penelitian ini dibedakan menjadi dua kategori, yaitu penduduk asli dan penduduk

pendatang. Penduduk asli dalam hal ini didefinisikan sebagai setiap orang yang

telah lahir dan bertempat tinggal di daerah atau lokasi penelitian, sedangkan

penduduk pendatang merupakan setiap orang yang lahir di luar lokasi penelitian.

Sebanyak 22 responden atau sebesar 73 persen responden di Kampung Joglo

adalah masyarakat asli. Sisanya, yaitu 27 persen atau sebanyak delapan responden

merupakan masyarakat pendatang. Sementara itu di Kampung Gunung Cabe,

sebanyak 25 responden atau sebesar 83 persen merupakan masyarakat asli.

Sisanya yaitu sebanyak lima responden atau sebesar 17 persen merupakan

Persentase responden (%)42

masyarakat pendatang. Persentase responden berdasarkan asal kependudukan

terlihat pada Gambar 7 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Page 48: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Gambar 7. Kelompok Responden Berdasarkan Asal Kependudukan

Jumlah penduduk pendatang di Kampung Joglo lebih banyak dibandingkan

dengan jumlah pendatang di Kampung Gunung Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah

pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo lebih banyak sehingga

kesempatan kerja lebih luas, dan menyebabkan para pendatang semakin terdorong

untuk bekerja di sektor pertambangan yang terdapat di Kampung Joglo.

4.4 Gambaran Umum Industri Pertambangan di Desa Cipinang

Desa Cipinang merupakan salah satu desa yang dialiri oleh Daerah Aliran

Sungai (DAS) Cisadane dan memiliki kekayaan sumberdaya alam tambang yang

sangat melimpah. Kekayaan sumberdaya alam tersebut menjadi faktor penarik

bagi para investor dari dalam dan luar negeri untuk melakukan investasi di sektor

pertambangan. Hal ini terlihat dari banyaknya aktivitas industri pertambangan

yang tersebar di beberapa kawasan Desa Cipinang. Jumlah total perusahaan yang

melakukan aktivitas pertambangan di Desa Cipinang sebanyak tujuh perusahaan.

Adapun jenis bahan tambang yang dikeruk adalah jenis bahan galian golongan C

Persentase responden (%)43

seperti batu, pasir teras dan jenis bahan tambang lainnya yang akan digunakan

sebagai bahan bangunan atau pemukiman.

PT H merupakan perusahaan pertambangan pertama yang ada di wilayah

Desa Cipinang. Perusahaan pertambangan tersebut telah ada sejak tahun 1976-an.

Perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang telah mendapatkan izin langsung

dari pemerintah sehingga bersifat legal. Mulai pada awal tahun 1980-an, banyak

perusahaan pertambangan yang memasuki wilayah Desa Cipinang. Tujuh

perusahaan pertambangan yang berada dalam wilayah Desa Cipinang tersebut

diantaranya yaitu PT B, PT H, PT K, PT L, PT M, PT N, dan PT R.

PT B dan PT H merupakan perusahaan pertambangan yang jaraknya sangat

dekat dengan Kampung Ciater. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan

Page 49: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

yang sudah berdiri paling awal dan paling lama dibandingkan dengan perusahaan

pertambangan lainnya di wilayah Desa Cipinang. Seiring dengan adanya aktivitas

pertambangan yang dilakukan, menimbulkan pertentangan dari masyarakat lokal.

Hal ini dikarenakan tingkat kedalaman lahan yang dikeruk dianggap sudah berada

pada tingkat ambang batas dan dirasakan sangat membahayakan kondisi

lingkungan dan masyarakat sekitar wilayah pertambangan.

PT K merupakan perusahaan pertambangan yang terdapat di Kampung

Gunung Cabe. Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan batu/andesit yang

sudah berdiri sejak tahun 1981. Awalnya, wilayah pertambangan yang dikeruk

oleh perusahaan merupakan wilayah pegunungan bernama Gunung Eundeur.

Gunung tersebut di kelilingi oleh wilayah persawahan pada bagian bawah gunung.

Namun, saat ini wilayah pegunungan tersebut telah berubah menjadi wilayah

pertambangan karena sebagian warga telah menjual lahan sawahnya kepada pihak

perusahaan. Perusahaan tersebut saat ini dikuasai oleh pengusaha luar negeri yang

berasal dari etnis Tiong Hoa.

Kehadiran PT K di Kampung Gunung Cabe pernah mendapatkan

pertentangan dari masyarakat lokal. Pertentangan tersebut tumbuh menjadi

konflik terbuka seiring dengan adanya aktivitas blasting yang dilakukan. Konflik

yang terjadi sekitar empat tahun yang lalu tersebut merupakan konflik yang

melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan. Penyebab terjadinya konflik karena

dilatarbelakangi oleh adanya aktivitas peledakan batu yang berdampak terhadap 44

hancurnya kaca-kaca yang terdapat di setiap rumah milik warga. Serpihan batu

yang dihasilkan saat proses peledakan, terbang menuju arah rumah, hingga

menghancurkan setiap kaca rumah milik warga Kampung Gunung Cabe.

Akhirnya masyarakat Kampung Gunung Cabe melakukan aksi demontrasi ke

pihak perusahaan. Namun karena tidak ada tanggapan dari perusahaan, maka

masyarakat terpaksa menghentikan upaya tersebut.

Page 50: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Dulu sekitar empat tahun yang lalu semua warga Gunung Cabe pada demo

ke proyek soal ledakan. Soalnya waktu itu kan ada ledakan batu, terus batu

batu yang hancur itu pada terbang ke rumah-rumah warga. yaa akhirnya

kaca-kaca rumah warga pada pecah. Padahal udah di laporin juga ke

pemerintah tapi karena tidak ada tanggapan sama sekali dari proyek akhirnya

ya sudah warga nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Cuma bisa pasrah aja gitu

(Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33 tahun).

PT K merupakan perusahaan pertambangan yang jaraknya paling dekat

dengan Kampung Gunung Cabe. Selain aktivitas blasting yang mengganggu

pendengaran masyarakat, gangguan terhadap sumber air seperti kekeringan di

musim kamarau pun menjadi permasalahan yang paling dikeluhkan oleh

masyarakat. Namun, saat ini telah ada upaya dari pihak perusahaan maupun

pemerintah untuk mengatasi permasalahan kekeringan tersebut. Di Kampung

Gunung Cabe, pihak perusahaan menyediakan selang air bersih yang dapat

digunakan oleh semua warga sedangkan pada saat musim kemarau, pihak

pemerintah memberikan bantuan air lewat tangki-tangki yang diisikan ke bak-bak

penampungan air milik warga.

Di Kampung Joglo, PT L merupakan perusahaan pertambangan yang

sudah berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bergerak di bidang pertambangan

batu dan pasir teras. Awalnya daerah pertambangan tersebut merupakan area

pegunungan bernama Gunung Sariin, namun saat ini gunung tersebut telah

berubah menjadi area pertambangan yang terus menerus dikeruk dan tengah

dikuasai oleh pengusaha asal Cina. Perusahaan lainnya yaitu PT M merupakan

perusahaan pertambangan yang sudah berdiri sejak 15 tahun yang lalu.

Perusahaan ini bergerak di bidang batu dan pasir teras dengan nama gunung yang

dikeruk adalah Gunung Cirante. Sementara itu, PT H merupakan perusahaan yang

baru berdiri sejak satu tahun yang lalu dan bergerak di bidang pasir teras. 45

Page 51: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Perusahaan ini merupakan perusahaan skala kecil yang mengeruk area

pegunungan bernama Gunung Cabe.

Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dampak pada

sektor perekonomian warga yang kini lebih dominan sebagai buruh harian lepas,

yang memanfaatkan sisa-sisa tambang hasil galian perusahaan tersebut. Kontur

wilayah Desa Cipinang yang dikelilingi bukit membuat kondisi tanahnya cukup

subur dan sangat potensial dalam pengembangan sektor pertanian.

4.4.1 Pabrik Industri Pertambangan di Desa Cipinang

Pada penelitian ini, studi perbandingan dilakukan berdasarkan pada

banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan untuk mengetahui dampaknya

pada sektor pertanian. Dari Desa Cipinang dilakukan pengklasteran menjadi dua

kampung yaitu Kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan

sedikit dengan sektor pertanian masih banyak yaitu Kampung Gunung Cabe

sedangkan kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan banyak

dengan sektor pertanian sedikit yaitu Kampung Joglo. Di Kampung Gunung Cabe

terdapat satu perusahaan yang dikuasai oleh PT K. Sementara itu di Kampung

Joglo, jumlah total pabrik industri pertambangan sebanyak empat perusahaan.

Dua perusahaan skala besar dikuasai oleh PT L dan PT M yang hingga kini masih

produktif dan dua perusahaan lainnya yaitu PT H sebagai perusahaan skala kecil

yang hanya dikuasai oleh beberapa orang saja, sedangkan PT N merupakan

perusahaan pertambangan yang dulu telah bangkrut namun dalam waktu yang

dekat akan segera melakukan aktivitas pertambangan kembali.

Bentuk kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan

oleh perusahaan pertambangan di kedua kampung tersebut masih tergolong

charity, karena kegiatan pemberdayaan masyarakat masih belum dilakukan. Hal

tersebut sebagaimana terlihat oleh adanya pemberian uang tunai yang diberikan

oleh perusahaan sebesar Rp 400.000 untuk pengelolaan masjid, Rp 300.000 untuk

Page 52: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

kegiatan kepemudaan, dan Rp 600.000 untuk lingkungan. Sementara itu PT M

memberikan uang sebesar Rp 500.000 perbulan untuk lingkungan dan Rp 150.000

untuk kegiatan kepemudaan, sedangkan PT R memberikan uang setiap satu bulan

sekali sebesar Rp 200.000 untuk lingkungan. Selain itu, pihak PT L juga membuat

sumur sebanyak empat buah untuk dipergunakan oleh masyarakat, sedangkan PT 46

M membuat sumur sebanyak tiga buah yang dapat dipergunakan oleh masyarakat

Kampung Joglo.

4.4.2 Aktivitas Blasting

Aktivitas blasting atau peledakan bahan tambang yang terdapat di Kampung

Joglo dan Kampung Gunung Cabe dilakukan setiap hari pada saat siang dan sore

hari. Aktivitas blasting oleh PT K yang terdapat di Kampung Gunung Cabe

dilaksanakan sebanyak dua kali dalam waktu satu hari yaitu pada saat siang dan

sore hari pukul 12.00 WIB dan pukul 17.00 WIB. Sementara itu Aktivitas blasting

oleh PT L yang terdapat di Kampung Joglo dilakukan sebanyak satu kali pada

siang hari. Aktivitas blasting oleh PT M dilakukan sebanyak dua kali dalam

waktu satu hari, sehingga jumlah total aktivitas blasting yang dilakukan di

Kampung Joglo adalah sebanyak tiga kali dalam kurun waktu satu hari. Hal ini

sebagaimana terlihat pada Gambar 8 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 8. Tingkat Frekuensi Blasting

Gambar 8 di atas menunjukkan tingkat frekuensi blasting di Kampung Joglo

dan Kampung Gunung Cabe. Pada penelitian ini penggolongan aktivitas blasting

dibagi menjadi tiga bagian yaitu golongan tinggi, sedang dan rendah. Aktivitas

blasting tergolong rendah apabila blasting dilakukan sebanyak satu kali, aktivitas

blasting tergolong sedang apabila blasting dilakukan sebanyak dua kali,

sedangkan aktivitas blasting tergolong tinggi apabila dilakukan sebanyak lebih

Page 53: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Persentase responden (%)47

dari dua kali dalam jangka waktu satu hari. Di Kampung Joglo sebesar seratus

persen atau sebanyak 30 rumahtangga menyatakan blasting dilakukan sebanyak

tiga kali sehari. Hal tersebut merupakan akumulasi dari aktivitas blasting yang

dilakukan oleh PT L dan PT M, sehingga aktivitas blasting di Kampung Joglo

tergolong tinggi. Sementara itu di Kampung Gunung Cabe sebesar seratus persen

atau sebanyak 30 rumahtangga di menyatakan bahwa aktivitas blasting dilakukan

sebanyak dua kali dalam sehari, sehingga aktivitas blasting di Kampung Gunung

Cabe tergolong sedang. Data tersebut menunjukkan bahwa frekuensi blasting

yang dilakukan di Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan di Kampung Gunung

Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung

Joglo lebih banyak dibandingkan frekuensi blasting di Kampung Gunung Cabe

sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah pabrik industri

pertambangan, maka semakin tinggi tingkat frekuensi blasting.

4.5 Ikhtisar

Karakteristik responden dengan jumlah total 60 rumahtangga berdasarkan

pada tingkat pendidikan yang di tempuh, sektor pekerjaan, asal kependudukan,

jumlah pabrik industri pertambangan dan frekuensi blasting terangkum

sebagaimana Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Karakteristik Responden di Desa Cipinang, 2011.

Aspek Penelitian Kampung Joglo Kampung Gunung Cabe

Tingkat Pendidikan Sangat rendah Sangat rendah

Sektor Pekerjaan Non pertanian Non pertanian

Asal Kependudukan Asli Asli

Jumlah Pabrik Industri

Pertambangan

Banyak Sedikit

Page 54: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Frekuensi Blasting Tinggi Sedang

Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011

Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas terlihat bahwa tingkat pendidikan di

Kampung Joglo dan Kampung tergolong sangat rendah. Hal ini dikarenakan

minimnya sarana pendidikan yang ada di Desa Cipinang. Berdasarkan sektor 48

pekerjaan, mayoritas masyarakat bergerak di sektor non pertanian yaitu dengan

bekerja di sektor pertambangan sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa saat ini

perekonomian Desa Cipinang telah di dominasi oleh sektor non pertanian.

Mayoritas penduduk Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe merupakan

warga negara asli yang berasal dari daerah itu sendiri.

Jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo tergolong banyak

karena memiliki jumlah total sebanyak empat perusahaan pertambangan.

Sementara itu, jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Gunung Cabe

tergolong sedikit karena hanya memiliki jumlah total sebanyak satu perusahaan

pertambangan. Banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan akan

mempengaruhi tingkat frekuensi blasting yang dilakukan. Di Kampung Joglo,

tingkat frekuensi blasting tergolong tinggi. Sementara itu frekuensi blasting di

Kampung Gunung Cabe tergolong sedang. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

banyak jumlah pabrik industri pertambangan, maka semakin tinggi tingkat

frekuensi blasting. 49

BAB V

DAMPAK SOSIO-EKONOMI AKTIVITAS PERTAMBANGAN

Pelaksanaan pembangunan di Indonesia dengan melakukan transformasi

sektor tradisional menjadi sektor industri, memberikan berbagai dampak terhadap

struktur sosial masyarakat Desa Cipinang. Mayoritas penduduk Desa Cipinang

yang pada awalnya bergerak di sektor pertanian kini mulai beralih meninggalkan

sektor tradisional tersebut dengan menjadi pekerja di sektor industri

Page 55: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pertambangan. Dampak kehadiran industri pertambangan bagi masyarakat Desa

Cipinang tidak hanya terlihat pada perubahan struktur mata pencaharian saja,

melainkan juga pada aspek sosial dan ekonomi yang meliputi tingkat pendapatan

masyarakat, pelapisan sosial, kesempatan kerja sektor pertanian dan non

pertanian, serta tingkat konflik yang terjadi di masyarakat sebagai akibat adanya

perubahan kondisi lingkungan.

Berbagai dampak positif dan negatif aktivitas pertambangan dirasakan

berbeda bagi setiap lapisan sosial yang terdapat di Desa Cipinang. Pada penelitian

ini, sistem pelapisan sosial yang ada berdasarkan pada struktur pendapatan yang

diperoleh masyarakat. Hal ini dikarenakan sistem pelapisan sosial di Kampung

Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong rendah dan masih bersifat

egaliter. Pada penelitian ini juga akan dilakukan studi perbandingan pada dua

kampung yang berbeda yaitu Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Studi

perbandingan ini berdasarkan pada banyaknya jumlah pabrik industri

pertambangan, untuk melihat pengaruhnya pada sektor pertanian. Selain itu, studi

perbandingan juga dilakukan pada persepsi masyarakat mengenai kondisi sosial

ekonomi dan lingkungan pada saat sebelum dan sesudah adanya aktivitas

pertambangan.

5.1 Struktur Pendapatan

Struktur pendapatan masyarakat pada penelitian digolongkan menjadi tiga

kategori yaitu kategori rendah apabila pendapatan yang diperoleh lebih kecil dari

Rp 8.787.117, tingkat pendapatan sedang apabila pendapatan yang diperoleh

antara Rp 8.787.117 hingga lebih kecil dari Rp 16.964.607, sedangkan tingkat

pendapatan tergolong tinggi apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar atau 50

sama dengan Rp 16.964.607. Struktur pendapatan ini diperoleh dengan

menggunakan rumus sebaran normal pada rataan pendapatan berdasarkan jumlah

pendapatan dari aktivitas pekerjaan, yang dilakukan dalam kurun waktu satu

Page 56: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tahun selama bulan Januari hingga Desember 2010. Adapun pada penelitian ini,

sektor pekerjaan tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu sektor pertanian

dan sektor non pertanian. Pada umumnya, masyarakat pada lapisan atas

merupakan anggota masyarakat yang melakukan sistem atau pola nafkah ganda

yang dilakukan oleh suami, istri atau anak dengan bertani dan melakukan

pekerjaan lain seperti berdagang atau bekerja di perusahaan pertambangan.

Sementara itu, mayoritas masyarakat pada kategori lapisan menengah dan lapisan

bawah diduduki oleh anggota masyarakat yang hanya bekerja sebagai petani,

pedagang atau pekerja perusahaan pertambangan.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 9. Struktur Pendapatan Rumahtangga Desa Cipinang, 2011

Gambar 9 di atas menunjukkan perbandingan struktur pendapatan

masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe. Dari Gambar 9

tersebut terlihat bahwa mayoritas penduduk di Kampung Joglo berada pada

tingkat pendapatan sedang dan rendah dengan persentase sebesar 40 persen atau

sebanyak 12 rumahtangga untuk masing-masing golongan, sedangkan mayoritas

masyarakat di Kampung Gunung Cabe memiliki pendapatan sedang dengan

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)51

persentase sebesar 60 persen atau sebanyak 18 rumahtangga. Hanya sebesar 27

persen atau sebanyak delapan rumahtangga saja yang memiliki tingkat pendapatan

rendah. Sementara itu, masyarakat di Kampung Joglo yang memiliki pendapatan

tinggi dengan pendapatan di atas Rp 16.964.607 adalah sebesar 20 persen atau

sebanyak enam rumahtangga. Jumah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan

jumlah masyarakat di Kampung Gunung Cabe yang hanya berjumlah sebanyak

Page 57: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

empat rumahtangga atau sebesar 13 persen saja. Berdasarkan data tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa banyaknya jumlah pabrik industri pertambangan belum

dapat memberikan pengaruh pada kemajuan perekonomian masyarakat lokal dan

cenderung menimbulkan rantai kemiskinan karena pendapatan yang diperoleh

masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan. Pemerataan pembangunan

melalui sektor pertambangan masih belum dirasakan oleh masyarakat lokal.

Dampak negatif berupa penurunan kualitas lingkungan hidup dan masih

rendahnya tingkat perekonomian masyarakat lokal menimbulkan ketidakadilan

dari hasil pembangunan yang telah dilakukan.

5.2 Kategori Lapisan Sosial Berdasarkan Struktur Pendapatan

Berdasarkan data struktur pendapatan yang diperoleh dari masyarakat

Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, maka terbentuk pelapisan sosial di

kedua kampung tersebut.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 10. Lapisan Sosial Desa Cipinang Berdasarkan Struktur Pendapatan

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)52

Penggolongan lapisan atas pada masyarakat di Kampung Joglo dan

Kampung Gunung Cabe, berdasarkan pada masyarakat yang menduduki struktur

pendapatan tinggi. Penggolongan lapisan menengah berdasarkan pada masyarakat

yang menduduki struktur pendapatan rata-rata, sedangkan penggolongan lapisan

sosial bawah berdasarkan pada struktur pendapatan rendah. Data pada Gambar 10

menunjukkan bahwa mayoritas lapisan sosial di kedua kampung ditempati oleh

Page 58: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

lapisan menengah, dengan masing-masing persentase sebesar 40 persen atau

sebanyak 12 rumahtangga di Kampung Joglo dan 60 persen atau sebanyak 18

rumahtangga di Kampung Gunung Cabe. Kemudian golongan kedua terbesarnya

adalah lapisan bawah yaitu sebesar 40 persen atau 12 rumahtangga di Kampung

Joglo dan 27 persen atau sebanyak delapan rumahtangga di Kampung Gunung

Cabe. Sementara itu, masyarakat pada lapisan atas menduduki peringkat paling

rendah dengan masing-masing persentase 20 persen atau sebanyak enam

rumahtangga di Kampung Joglo dan 13 persen atau sebanyak empat rumahtangga

di Kampung Gunung Cabe.

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa pelapisan sosial di masyarakat

Kampung Joglo sebagai kampung yang memiliki jumlah pabrik industri

pertambangan banyak, belum dapat memberikan kestabilan pada pelapisan sosial

berdasarkan struktur pendapatan. Hal ini terlihat dari masih banyaknya jumlah

masyarakat yang menduduki lapisan sosial bawah dan lapisan sosial menengah

dibandingkan dengan masyarakat di Kampung Gunung Cabe sebagai kampung

yang memiliki jumlah pertambangan sedikit. Dari data tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan belum mampu memberikan

pemerataan pada sistem lapisan sosial dan justru menambah jumlah lapisan sosial

bawah yang mayoritas ditempati oleh rumahtangga miskin di wilayah pedesaan.

Di Kampung Gunung Cabe, pada umumnya jumlah anggota keluarga yang

sudah bekerja masih bertempat tinggal bersama orang tuanya. Anggota keluarga

tersebut bekerja di perusahaan pertambangan yang jaraknya dekat dengan lokasi

tempat tinggal dan seringkali memberikan bantuan dalam pembiayaan kebutuhan

hidup rumahtangga sehari-hari. Hal tersebut yang menjadikan pendapatan

rumahtangga di Kampung Gunung Cabe semakin bertambah, sehingga mayoritas

masyarakat menduduki lapisan sosial menengah. Bentuk strategi nafkah yang 53

dilakukan rumahtangga di Kampung Gunung Cabe tergolong lebih adaptif

Page 59: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

dibandingkan dengan rumahtangga di Kampung Joglo. Hal tersebut terlihat oleh

adanya beberapa anggota rumahtangga di Kampung Joglo yang lebih memilih

untuk bekerja di luar kampung dengan mengikuti saudaranya.

5.3 Kondisi Tempat Tinggal

5.3.1 Kondisi Fisik Tempat Tinggal

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

kesejahteraan masyarakat adalah dengan melihat kondisi fisik tempat tinggal

masyarakat tersebut. Di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, mayoritas

kondisi fisik tempat tinggal untuk kategori sangat layak diduduki oleh lapisan atas

dan bawah. Tingginya pendapatan yang diperoleh masyarakat lapisan atas

memberikan kemampuan untuk melakukan perawatan dan renovasi rumah,

sehingga kondisi tempat tinggal menjadi sangat layak untuk dihuni. Sementara itu,

pada masyarakat lapisan bawah, hasil penjualan lahan pertanian sebagian besar

digunakan untuk biaya renovasi rumah. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada

Gambar 11 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 11. Kondisi Fisik Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial

Mayoritas masyarakat lapisan menengah di Kampung Joglo dan Kampung

Gunung Cabe dengan masing-masing persentase sebesar 50 persen, memiliki

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)54

kondisi fisik tempat tinggal dengan kategori layak. Hal ini dikarenakan

masyarakat pada lapisan menengah memiliki jumlah anggota keluarga yang

sangat banyak. Satu rumah dihuni oleh lebih dari dua kepala keluarga, sehingga

meskipun kondisi bangunan bersifat permanen, dinding dan alas terbuat dari

Page 60: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

semen namun luas bangunan tidak memadai untuk seluruh anggota keluarga.

5.3.2 Status Tempat Tinggal

Masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe memiliki jumlah

penduduk yang sangat padat. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah kepala

keluarga yang tinggal dalam satu rumah bersama tanggungan anggota

keluarganya yang lain. Meskipun satu rumah dapat di huni oleh lebih dari dua

kepala keluarga, namun status kepemilikan tempat tinggal adalah milik pribadi.

Hal ini dikarenakan status tempat tinggal tersebut merupakan hasil warisan dari

orang tua.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 12. Status Tempat Tinggal Berdasarkan Lapisan Sosial

Berdasarkan Gambar 12 di atas, hanya sebesar delapan persen atau

sebanyak satu rumahtangga saja pada lapisan menengah di Kampung Joglo yang

memiliki status tempat tinggal sebagai penyewa. Hal ini dikarenakan rumahtangga

tersebut merupakan warga pendatang yang berstatus sebagai pasangan baru

menikah, sehingga belum memiliki tempat tinggal secara pribadi. Sementara itu,

sebesar 25 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan bawah di

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)55

Kampung Gunung Cabe memiliki status sebagai penumpang pada rumah milik

orang lain. Hal ini dikarenakan rumahtangga tersebut belum memiliki uang yang

cukup untuk mendirikan rumah sendiri, sehingga terpaksa menumpang di rumah

milik saudaranya.

Page 61: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

5.4 Kepemilikan Lahan Pertanian

5.4.1 Rumahtangga yang Memiliki Lahan Pertanian

Kepemilikan lahan pertanian pada rumahtangga masyarakat Kampung Joglo

dan Kampung Gunung Cabe tergolong sangat rendah. Hal ini sebagaimana terlihat

pada Gambar 13 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 13. Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial

Mayoritas lapisan menengah dan lapisan bawah masyarakat Kampung Joglo

yaitu sebesar 92 persen untuk masing-masing kategori lapisan, tidak memiliki

lahan pertanian. Hal ini dikarenakan pada lapisan tersebut, lahan pertanian yang

dimiliki terpaksa dijual kepada pihak perusahaan pertambangan untuk digunakan

sebagai biaya pengobatan anggota keluarga yang sakit dan renovasi rumah. Hanya

sebesar 67 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas saja yang

memiliki lahan pertanian.

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)56

Pada umumnya masyarakat lapisan atas di Kampung Joglo memiliki sistem

pola nafkah ganda atau bekerja pada dua sektor sekaligus yaitu sebagai petani dan

pedagang atau pekerja di perusahaaan pertambangan. Lahan pertanian yang

dimiliki digunakan sebagai lahan sawah untuk jenis komoditas padi dan pisang.

Lahan ini dikelola oleh orang lain sebagai buruh tani dengan sistem bagi hasil.

Sementara itu di Kampung Gunung Cabe sebagai kampung yang memiliki kondisi

pertanian lebih banyak dibandingkan dengan Kampung Joglo, mayoritas lahan

Page 62: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pertanian dimiliki oleh lapisan bawah dengan persentase sebesar 50 persen.

Mayoritas masyarakat pada lapisan atas dan lapisan menengah di kampung

tersebut tidak memiliki lahan. Hal ini dikarenakan lahan pertanian yang dimiliki

oleh lapisan atas dan menengah terpaksa dijual ke pihak perusahaan. Uang hasil

penjualan lahan pertanian digunakan untuk biaya renovasi rumah dan modal usaha

dengan membuka warung.

Bapak pernah sih menjual lahan sawah Bapak ke Proyek, luasnya ya

sekitar 5000 meter persegi buat biaya berobat istri Bapak yang sedang sakit.

Dulu harganya itu murah. Nyesel sih sekarang kenapa waktu dulu di jual ke

proyek (Bapak Hj. Rjk, tokoh agama berusia 57 tahun).

Di Kampung Gunung Cabe, jumlah rumahtangga yang masih memiliki

lahan pertanian, lebih banyak dibandingkan dengan Kampung Joglo. Banyaknya

jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo, menjadikan peluang dan

daya tarik bagi masyarakat untuk menjual lahannya kepada pihak perusahaan

pertambangan. Harga lahan yang semakin mahal yang dijanjikan pihak

perusahaan pertambangan menjadi faktor penarik bagi masyarakat untuk menjual

lahan pertaniannya. Hal tersebut yang mengakibatkan lahan pertanian di

Kampung Joglo menjadi semakin berkurang. Sementara itu, jumlah pertambangan

di Kampung Gunung Cabe masih tergolong sedikit. Sebagian masyarakat masih

tetap mempertahankan lahan pertanian sebagai sumber nafkah keluarga. Namun

sebagian lainnya lebih memilih untuk menjual lahannya kepada pihak perusahaan

pertambangan. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

kehadiran industri pertambangan menyebabkan semakin berkurangnya jumlah

lahan pertanian. Semakin banyak jumlah pabrik industri pertambangan maka

semakin tinggi tingkat terjadinya transformasi sektor pertanian menuju sektor non57

pertanian, sehingga berpeluang terhadap semakin sempitnya pekerjaan di sektor

pertanian akibatnya semakin sempitnya luas lahan yang dimiliki.

Page 63: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

5.4.2 Luas Lahan yang dimiliki

Rendahnya kepemilikan lahan masyarakat di Desa Cipinang, akan

mempengaruhi rendahnya luas lahan yang dimiliki. Hal tersebut sebagaimana

terlihat pada Gambar 15 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumah tangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumah tangga

Gambar 14. Luas Kepemilikan Lahan Pertanian Berdasarkan Lapisan Sosial

Gambar 14 di atas menunjukkan bahwa luas lahan pertanian di Kampung

Gunung Cabe lebih banyak dibandingkan Kampung Joglo. Hal ini dikarenakan

jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung Joglo tergolong banyak,

sehingga banyak masyarakat yang menjual lahannya ke pihak perusahaan untuk

dijadikan sebagai area pertambangan. Sementara itu jumlah pabrik industri

pertambangan di Kampung Gunung Cabe tergolong sedikit, sehingga jumlah

anggota masyarakat yang menjual lahan pertaniannya kepada pihak perusahaan

pun masih sedikit. Sebesar 50 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada

kategori lapisan atas masyarakat Kampung Joglo memiliki luas lahan antara 100

hingga 1000 meter persegi. Hal ini dikarenakan masyarakat pada lapisan atas di

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)58

Kampung Joglo merupakan masyarakat yang bergerak di dua sektor pekerjaan

sekaligus yaitu sebagai petani dan pekerja perusahaan atau berdagang, sehingga

memiliki kemampuan keuangan yang lebih tinggi dalam menopang kebutuhan

hidup. Kebutuhan hidup utama ditopang dari hasil berdagang atau bekerja di

perusahaan pertambangan, sedangkan hasil pertanian hanya digunakan untuk

konsumsi keluarga saja atau subsisten.

Di Kampung Gunung Cabe, jumlah masyarakat lapisan bawah yang

Page 64: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

memiliki luas lahan pertanian tinggi, lebih banyak dibandingkan dengan lapisan

atas. Sebesar 13 persen pada lapisan atas memiliki lahan dengan luas antara 1000

hingga 5000 meter persegi. Terdapat 24 persen atau sebanyak dua rumahtangga

yang memiliki luas lahan pertanian antara 100 hingga 1000 meter persegi,

sedangkan hanya sebesar 25 persen atau sebanyak satu rumahtangga saja pada

lapisan atas yang memiliki luas lahan antara 100 hingga 1000 meter persegi. Hal

ini dikarenakan mayoritas masyarakat pada lapisan bawah di Kampung Gunung

Cabe hanya bergerak di sektor pertanian. Pemenuhan kebutuhan hidup sangat

bergantung pada sektor pertanian sehingga rumahtangga tersebut lebih memilih

untuk tidak menjual lahan yang dimiliki. Namun secara agregat, mayoritas

masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe berstatus tidak

memiliki lahan pertanian. Hal ini akan menimbulkan dampak pada semakin

sempitnya kesempatan kerja sektor pertanian.

5.5 Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian

Proses transformasi sektor pertanian menuju sektor non pertanian atau

sektor pertambangan di Desa Cipinang terlihat dengan semakin rendahnya jumlah

luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat. Hal ini kemudian akan

berdampak terhadap semakin menurunnya kesempatan kerja sektor pertanian.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat

Desa Cipinang. Mayoritas masyarakat yang pada awalnya bermatapencaharian

sebagai petani saat ini dituntut untuk melakukan strategi bertahan hidup yaitu

dengan bekerja di sektor non pertanian. Namun rendahnya pendidikan dan

keterampilan yang dimiliki, menjadikan masyarakat lokal tidak mampu bersaing

untuk menduduki posisi layak di sektor pertambangan. Tingginya tingkat

persaingan antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang untuk dapat 59

bekerja di sektor pertambangan menjadi pemicu terjadinya konflik antara kedua

pihak tersebut. Hal ini dikarenakan sektor pertanian yang pada awalnya menjadi

Page 65: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

sumber matapencaharian utama masyarakat lokal mengalami penurunan seiring

dengan adanya keputusan dari masyarakat lokal untuk menjual lahan pertanian

yang dimiliki kepada pihak industri pertambangan.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 15. Jumlah Rumahtangga yang Menjual Lahan Pertanian Berdasarkan

Lapisan Sosial

Berdasarkan Gambar 15 di atas terlihat bahwa sebesar 50 persen atau

sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan atas di Kampung Joglo pernah menjual

lahan pertaniannya kepada perusahaan pertambangan. Jumlah total luas lahan

yang dijual oleh ketiga rumahtangga tersebut adalah seluas 0,41 hektar. Pada

umumnya mayoritas lahan pertanian di Kampung Joglo dimiliki oleh lapisan atas,

sehingga hanya lapisan atas di kampung tersebut saja yang dapat menjual lahan

pertaniannya kepada pihak perusahaan pertambangan. Sementara itu di Kampung

Gunung terdapat sebesar 33 persen pada lapisan atas, enam persen lapisan

menengah dan 14 persen lapisan bawah menyatakan pernah menjual lahan

pertanian kepada pihak perusahaan pertambangan dengan jumlah total lahan yang

dijual adalah seluas 2,35 hektar. Pada umumnya hasil penjualan lahan pertanian

tersebut digunakan masyarakat untuk membiayai pengobatan anggota keluarga

yang sakit, renovasi rumah dan membeli sawah di tempat yang berbeda.

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)

Persentase responden (%)60

5.6 Persepsi Kesempatan Kerja

5.6.1 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Pertanian

Page 66: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Pada awalnya, mayoritas masyarakat Desa Cipinang bergerak di sektor

pertanian. Sebelum adanya industri pertambangan, wilayah Desa Cipinang

dikelilingi oleh area pegunungan. Di bawah pegunungan tersebut terdapat area

persawahan yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai sumber utama

pemenuhan kebutuhan hidup. Kesempatan kerja pertanian terbuka luas karena

lahan pertanian masih sangat luas.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 16. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian

Sebelum Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Pada kondisi sebelum ada pertambangan, mayoritas masyarakat Kampung

Joglo disetiap kategori lapisan sosial menyatakan bahwa kesempatan kerja sektor

pertanian paling banyak dibandingkan sektor pekerjaan lainnya. Sebesar 67 persen

atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 50 persen atau

sebanyak enam rumahtangga pada lapisan menengah dan sebesar 33 persen atau

sebanyak empat rumahtangga pada lapisan bawah yang menyatakan kesempatan

kerja sektor pertanian paling banyak dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut juga

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)61

dirasakan oleh lapisan sosial menengah dan bawah di Kampung Gunung Cabe,

dimana mayoritas masyarakat menyatakan bahwa kesempatan kerja pertanian

paling banyak dibandingkan sektor pekerjaan lainnya.

Terdapat 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan sosial atas

di Kampung Gunung Cabe yang menyatakan bahwa kesempatan kerja pertanian

Page 67: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

terbatas. Hal ini dikarenakan sebagian rumahtangga pada lapisan atas tersebut

tidak pernah bekerja secara langsung di sektor pertanian, sehingga tidak

mengetahui secara jelas kondisi pertanian sebelum ada pertambangan.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 17. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Pertanian

Setelah Ada Aktivitas Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Kondisi kesempatan kerja di sektor pertanian mengalami perubahan seiring

dengan banyaknya lahan pertanian yang dijual oleh masyarakat kepada pihak

perusahaan, yaitu pada kondisi setelah adanya pertambangan.

Kalau disini, dulu itu hampir semuanya jadi petani. Soalnya pada saat dulu

gunung yang sekarang jadi proyek itu namanya Gunung Eundeur, di

bawahnya lahan sawah. Kalau sekarang pertanian sudah jadi sedikit,

palingan yang jadi petani ya cuma yang punya lahan saja (Bapak Sf, tokoh

masyarakat berusia 45 tahun).

Di Kampung Joglo pada kondisi setelah ada pertambangan, semakin tinggi

status rumahtangga pada maka semakin banyak yang menyatakan kesempatan

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)62

kerja pertanian terbatas. Hal tersebut dikarenakan rumahtangga lapisan atas di

Kampung Joglo merupakan rumahtangga yang paling akses terhadap pertanian.

Sementara itu rumahtangga lapisan bawah di Kampung Gunung Cabe merupakan

rumahtangga yang paling akses terhadap pertanian. Berdasarkan data tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan memberikan

Page 68: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

dampak berupa transformasi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan. Hal

tersebut menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kesempatan kerja sektor

pertanian.

5.6.2 Persepsi Kesempatan Kerja Sektor Non Pertanian

Kesempatan kerja sektor non pertanian mengalami peningkatan seiring

dengan adanya aktivitas pertambangan. Mayoritas masyarakat di Kampung Joglo,

dengan persentase sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan

atas dan 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga lapisan bawah menyatakan

bahwa, tidak ada kesempatan kerja non pertanian pada saat sebelum ada

pertambangan. Sementara itu sebesar 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga

menyatakan kesempatan kerja terbatas. Hal ini dikarenakan kesempatan kerja di

bidang non pertanian masih sangat terbatas.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 18. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non

Pertanian Sebelum Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)63

Mayoritas masyarakat Kampung Gunung Cabe pada setiap kategori lapisan

sosial yaitu sebesar 100 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan

atas, sebesar 78 persen atau sebanyak 14 rumahtangga pada lapisan menengah,

dan sebesar 87 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada lapisan bawah

menyatakan bahwa pada saat kondisi sebelum ada pertambangan, kesempatan

kerja non pertanian terbatas. Hal ini dikarenakan sebelum adanya pertambangan,

mayoritas aktivitas kehidupan masyarakat bertumpu pada sektor pertanian.

Kesempatan kerja non pertanian sangat sulit di jangkau. Usaha non

Page 69: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pertanian seperti membuka warung, membutuhkan biaya atau modal yang tidak

sedikit. Selain itu, faktor pendidikan yang rendah menjadikan masyarakat tidak

memiliki keterampilan lain selain di bidang pertanian. Akibatnya masyarakat

tidak mampu bersaing dengan pihak lainnya untuk bekerja di sektor non

pertanian. Namun kondisi tersebut berubah setelah adanya kehadiran industri

pertambangan. Kehadiran industri pertambangan mampu memberikan kesempatan

kerja bagi masyarakat.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 19. Persepsi Responden terhadap Kesempatan Kerja Sektor Non

Pertanian Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)64

Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo

yaitu sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan sosial atas,

sebesar 42 persen atau sebanyak lima rumahtangga, dan sebesar 50 persen atau

sebanyak enam rumahtangga pada kategori lapisan bawah menyatakan bahwa

kesempatan kerja non pertanian setelah adanya industri pertambangan tergolong

terbuka luas.

Hal yang sama dirasakan oleh masyarakat di Kampung Gunung Cabe.

Sebesar 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga pada lapisan atas dan sebesar

50 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan

kesempatan kerja terbuka luas. Sementara itu sebanyak delapan rumahtangga atau

sebesar 44 persen menyatakan kesempatan kerja pada kondisi sebelum dan setelah

Page 70: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

ada pertambangan tergolong sama saja. Hal ini dikarenakan masyarakat pada

lapisan tersebut menyatakan sangat sulit untuk menjadi pekerja di pertambangan.

Sebagian masyarakat dapat bekerja di perusahaan pertambangan. Namun

karena rendahnya pendidikan yang ditempuh, mayoritas warga bekerja sebagai

buruh kasar seperti supir truk pengangkut barang tambang dan buruh pengangkut

bahan tambang. Adanya standar perusahaan yang menetapkan bahwa setiap orang

yang ingin menjadi karyawan tetap, minimal pendidikan yang ditempuh adalah

lulusan SMA atau STM. Hal tersebut masih sangat sulit terjangkau, mengingat

pendidikan masyarakat lokal yang masih tergolong rendah. Namun hadirnya

perusahaan memberikan keuntungan bagi penduduk pendatang. Hal tersebut

terlihat dengan banyaknya jumlah penduduk pendatang yang bekerja di

perusahaan pertambangan dan berstatus sebagai karyawan tetap. Selain

memberikan kesempatan kerja, dampak positif kehadiran perusahaan

pertambangan juga dirasakan oleh para pedagang di sekitar pertambangan.

Peningkatan ekonomi dirasakan oleh para pedagang setelah hadirnya perusahaan

pertambangan. Banyak para pekerja yang ketika beristirahat makan di warung

milik pedagang, karena tidak sempat untuk pulang ke rumah.

5.7 Tingkat Kedalaman Konflik

5.7.1 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara

Dampak aktivitas pertambangan pada aspek sosial terlihat dengan adanya

konflik sebagai akibat terjadinya perubahan lingkungan. Kondisi suhu udara yang 65

panas, berdebu dan terlihat gersang mengganggu kenyamanan hidup masyarakat

di sekitar wilayah pertambangan.

Konflik yang terjadi di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe

merupakan konflik terbuka (manifest), dimana pihak yang berselisih saling

melakukan negosiasi terkait permasalahan kerusakan lingkungan. Hal ini terlihat

dengan adanya masalah perubahan udara seperti kondisi suhu udara yang panas

Page 71: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

dan berdebu mendapatkan perhatian lebih dari pihak perusahaan dengan

melakukan upaya penyiraman sebanyak tiga kali dalam satu hari. Hal tersebut

dilakukan agar kapasitas debu menjadi semakin berkurang. Adapun konflik yang

terjadi merupakan konflik yang melibatkan masyarakat lokal dengan pihak

perusahaan pertambangan.

Masalah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat disini itu adalah masalah

kebisingan dan debu. Namun untuk debu, sekarang sudah tidak lagi karena

suka ada penyiraman air sehari tiga kali oleh PT (Bapak Sop, sekertaris

Desa Cipinang berusia 30 tahun).

Tingkat konflik yang terjadi di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe

masih berada pada level sedang karena umumnya masyarakat hanya mengeluh

pada perusahaan. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 20 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 20. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Perubahan Udara Berdasarkan

Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)66

Sebesar 50 persen atau sebanyak tiga rumahtangga pada lapisan atas

masyarakat Kampung Joglo menyatakan perubahan udara tergolong biasa saja.

Hal tersebut dikarenakan pada lapisan atas umumnya ditempati oleh tokoh

masyarakat. Pihak perusahaan selalu memberikan kompensasi berupa uang tunai

yang diberikan setiap bulan melalui tokoh masyarakat. Uang tunai tersebut

merupakan biaya ganti rugi atas kerusakan lingkungan dan berbagai dampak

negatif dari usaha pertambangan. Selain itu anggota keluarga pada masyarakat

lapisan atas, banyak yang bekerja di perusahaan pertambangan.

Page 72: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kalau Bapak sih nggak bisa ngomong secara gamblang gitu untuk

ngomongin apa yang Bapak keluhkan ke proyek soalnya kan anak Bapak

ada yang kerja disana. Terus dari proyek juga suka ngasih uang untuk

tokoh masyarakat disini. Termasuk Bapak gitu hehehe (Bapak Hj.Rjk,

tokoh agama berusia 57 tahun).

Sementara itu, sebesar 93 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada

lapisan menengah dan sebesar 50 persen atau sebanyak enam rumahtangga pada

lapisan bawah di Kampung Joglo menyatakan mengeluh akibat perubahan udara

yang terjadi. Hal ini dikarenakan debu sebagai limbah buangan pabrik industri

pertambangan dirasakan sangat mengganggu masyarakat. Selain itu, masyarakat

pada lapisan menengah dan bawah juga tidak merasakan adanya kompensasi

seperti yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada lapisan atas.

Terjadi perbedaan tingkat kedalaman konflik antara masyarakat Kampung

Joglo dan masyarakat Kampung Gunung Cabe. Semua kategori lapisan sosial

masyarakat di Kampung Gunung Cabe yaitu sebesar 100 persen atau sebanyak

empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 94 persen atau sebanyak 17

rumahtangga pada lapisan menengah, dan sebesar 100 persen atau sebanyak

delapan rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan mengeluh akibat perubahan

udara. Hal tersebut dikarenakan adanya perubahan signifikan yang dirasakan oleh

masyarakat pada kondisi awal dimana suhu udara masih terasa sejuk dan tidak

berdebu namun kini berubah menjadi panas, berdebu dan terlihat gersang. hal

tersebut menyebabkan kenyamanan hidup masyarakat menjadi sangat terganggu.

Selain itu, masyarakat di Kampung Gunung Cabe juga tidak merasakan adanya

bentuk kompensasi atau biaya ganti rugi akibat terjadinya perubahan udara seperti

apa yang dilakukan oleh pihak perusahaan pertambangan di Kampung Joglo.67

5.7.2 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara

Aktivitas pertambangan memberikan dampak negatif berupa polusi suara

Page 73: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

atau kebisingan yang berasal dari aktivitas blasting dan kendaraan truk

pengangkut bahan tambang. Kebisingan yang terjadi menimbulkan gangguan

pada pendengaran, proses komunikasi, aktivitas tidur, dan retakan pada rumah

warga. Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung

Joglo dan Kampung Gunung Cabe menyatakan mengeluh akibat polusi suara.

Di Kampung Joglo sebesar 100 persen atau sebanyak enam rumahtangga

pada kategori lapisan atas, sebesar 67 persen atau sebanyak delapan rumahtangga

pada kategori lapisan menengah dan sebesar 50 persen atau sebanyak enam

rumahtangga pada kategori lapisan bawah menyatakan mengeluh akibat polusi

suara. Jumlah persentase lapisan atas yang menyatakan mengeluh, lebih banyak

dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan bawah. Hal ini dikarenakan

tingkat kebisingan yang dirasakan oleh masyarakat pada lapisan atas, lebih tinggi

akibat jarak rumah yang lebih dekat dengan lokasi blasting dan jalan raya sebagai

tempat melajunya kendaraan truk pengangkut bahan tambang.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 21. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Polusi Suara Berdasarkan

Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)68

Hal yang sama terjadi pada masyarakat Kampung Gunung Cabe. Mayoritas

setiap kategori lapisan sosial di Kampung Gunung Cabe menyatakan mengeluh

akibat terjadinya polusi suara. Sebesar 75 persen atau sebanyak tiga rumahtangga

lapisan atas, sebesar 83 persen atau sebanyak 15 rumahtangga lapisan menengah,

Page 74: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

dan sebesar 100 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada lapisan bawah

menyatakan mengeluh akibat polusi suara. Jumlah persentase yang mengeluh

pada lapisan bawah lebih besar dibandingkan dengan lapisan menengah dan

lapisan bawah. Hal ini dikarenakan tingkat kebisingan yang dirasakan oleh lapisan

bawah lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan atas dan lapisan menengah akibat

jarak rumah yang lebih dekat dengan lokasi blasting dan jalan raya sebagai tempat

melajunya kendaraan truk, sehingga jumlah masyarakat yang mengeluh pada

lapisan bawah lebih banyak dibandingkan dengan lapisan menengah dan atas.

Pada kategori lapisan sosial di Kampung Joglo, semakin tinggi status sosial

masyarakat maka semakin tinggi tingkat keluhan terhadap kebisingan. Sementara

itu pada kategori lapisan sosial di Kampung Gunung Cabe, semakin rendah status

sosial di masyarakat maka semakin tinggi tingkat keluhan terhadap kebisingan.

Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa sensitivitas kebisingan lapisan atas di

Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan menengah dan bawah.

Sebaliknya, tingkat sensitivitas kebisingan lapisan bawah di Kampung Gunung

Cabe lebih tinggi dibandingkan dengan lapisan atas dan menengah.

5.7.3 Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air

Masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe pada umumnya

menggunakan air sumur sebagai sumber air. Hanya sebagian kecil dari masyarakat

yang menggunakan sungai sebagai sumber air. Permasalahan yang ditimbulkan

oleh adanya aktivitas pertambangan pada sumber air tersebut adalah terjadinya

kekeringan pada saat musim kemarau. Permasalahan ini, menjadi salah satu

masalah yang paling dikeluhkan oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung

Gunung Cabe.

Data pada Gambar 22 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada

setiap kategori lapisan sosial menyatakan mengeluh akibat gangguan sumber air.

Di Kampung Joglo sebesar seratus persen atau sebanyak enam rumahtangga pada

Page 75: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

lapisan atas, sebesar 75 persen atau sebanyak sembilan rumahtangga lapisan 69

menengah, dan sebesar 58 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada lapisan

bawah menyatakan mengeluh akibat adanya gangguan sumber air

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 22. Tingkat Kedalaman Konflik Akibat Gangguan Sumber Air

Berdasarkan Lapisan Sosial

Data pada Gambar 22 di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi lapisan

sosial di Kampung Joglo, maka semakin tinggi tingkat persentase rumah tangga

yang mengeluh. Hal ini menunjukkan tingkat sensitivitas lapisan atas terhadap

gangguan sumber air lebih tinggi dibandingkan lapisan menengah dan bawah. Hal

yang sama juga terjadi di Kampung Gunung Cabe, dimana mayoritas masyarakat

pada setiap kategori lapisan sosial menyatakan mengeluh akibat gangguan sumber

air. Sebesar 100 persen atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas,

sebesar 75 persen atau sebanyak 15 rumahtangga lapisan menengah, dan sebesar

100 persen atau sebanyak delapan rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan

mengeluh akibat gangguan sumber air.

Sebagian masyarakat di Kampung Joglo menyatakan masih dapat

mengambil air dari sumur yang disediakan oleh perusahaan jika terjadi

kekeringan, sedangkan yang lainnya lebih memilih untuk pergi ke kampung

terdekat yang masih terdapat air. Sementara itu, masyarakat di Kampung Gunung

Cabe masih dapat memperoleh air bersih yang berasal dari selang milik

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)70

perusahaan dan air yang disediakan oleh pemerintah melalui tangki-tangki jika

terjadi kekeringan saat musim kemarau.

Page 76: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

5.8 Hubungan Antar Warga

5.8.1 Hubungan Antar Masyarakat Lokal

Masyarakat Desa Cipinang dikenal sebagai masyarakat yang masih sangat

kental unsur keagamaannya. Kegiatan kerohanian seperti pengajian masih sering

dilakukan di daerah tersebut. Melalui kegiatan pengajian tersebut, masyarakat bisa

bersilaturahmi dan menjalin komunikasi secara intens dengan masyarakat lainnya.

Kegiatan pengajian ini dilaksanakan setiap hari namun dibedakan berdasarkan

lapisan umur di masyarakat seperti orang tua, remaja, dan anak-anak. Selain

sebagai tempat berkomunikasi, pengajian juga dijadikan warga sebagai tempat

sharing dan pencarian solusi atas masalah yang dihadapi secara bersama-sama.

Hal tersebut yang menjadikan hubungan antar sesama masyarakat masih terjalin

dengan baik. Selain itu, jarak rumah yang berdekatan dan berdempetan pun

memudahkan terjadinya proses komunikasi antar warga.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 23. Hubungan Sesama Masyarakat Lokal Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)71

Mayoritas masyarakat pada setiap lapisan sosial di Kampung Joglo

menyatakan masih peduli dan suka membantu. Sebesar 83 persen atau sebanyak

lima rumahtangga lapisan atas, sebesar 84 persen atau sebanyak sepuluh

rumahtangga lapisan menengah dan 67 persen atau sebanyak delapan

rumahtangga lapisan bawah di Kampung Joglo menyatakan masih peduli dan suka

membantu.

Berdasarkan data pada Gambar 23 terlihat perbedaan antara hubungan yang

terjadi antar masyarakat lokal di Kampung Gunung Cabe dan Kampung Joglo.

Page 77: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Sistem gotong royong masih terdapat di Kampung Gunung Cabe dengan

persentase sebesar 11 persen pada lapisan menengah dan 13 persen pada

masyarakat lapisan bawah. Hal ini dikarenakan pada masyarakat Kampung

Gunung Cabe, kegiatan pengajian masih sangat sering dilakukan. Melalui

pengajian tersebut, masyarakat masih sering melakukan komunikasi. Kegiatan

seperti perbaikan mesjid pun masih sering dilakukan secara bersama-sama,

sehingga hubungan masih terjalin dengan erat. Sementara itu sebesar 100 persen

atau sebanyak empat rumahtangga pada lapisan atas, sebesar 72 persen atau

sebanyak 13 rumahtangga lapisan menengah dan sebesar 74 persen atau sebanyak

enam rumahtangga pada lapisan bawah menyatakan masih peduli dan saling

membantu. Kegiatan gotong royong di Kampung Joglo sudah jarang dilakukan.

Hal ini dikarenakan para warga sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Ya kalau dulu sih disini warganya pada masih suka gotong royong. Kayak

untuk pembangunan mesjid begitu, semua masyarakat pada ikut bantu-bantu.

Dana pembangunannya aja dikumpulin dari semua masyarakat. Itu untuk

ngebangun mesjid yang disebelah situ tuh. Tapi sekarang sih gotong

royong sudah jarang sekali. Mungkin karena pada sibuk kali ya (Bapak Hj.

Rjk, tokoh agama berusia 57 tahun).

Pada umumnya, hubungan yang terjalin antar sesama masyarakat lokal di

Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong baik dan bersifat

kolektivis, karena mayoritas masyarakat menyatakan peduli dan suka membantu.

5.8.2 Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang

Pada umumnya, hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan

masyarakat pendatang masih tergolong baik. Sebesar 50 persen atau sebanyak tiga

rumahtangga lapisan atas di Kampung Joglo menyatakan masih peduli dan suka

membantu. Sebesar 67 persen atau sebanyak delapan rumahtangga lapisan 72

menengah menyatakan masih terjalin kontak dan komunikasi. Sementara itu

Page 78: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

sebanyak 42 persen atau sebanyak lima rumahtangga lapisan bawah menyatakan

masih peduli dan suka membantu. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan

hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang di Kampung

Gunung Cabe. Sebesar 50 persen atau sebanyak dua rumahtangga lapisan atas

menyatakan masih peduli dan suka membantu. Sebesar 44 persen atau sebanyak

delapan rumahtangga lapisan menengah menyatakan masih terjalin kontak dan

komunikasi. Sementara itu sebesar 63 persen atau sebanyak lima rumahtangga

pada lapisan bawah menyatakan masih peduli dan suka membantu.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 24. Hubungan Antara Masyarakat Lokal dengan Pendatang Berdasarkan

Lapisan Sosial

Berdasarkan perbandingan, hubungan yang terjadi antar sesama masyarakat

lokal dengan hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang

maka hubungan yang terjadi antara masyarakat lokal dengan pendatang tergolong

lebih rendah. Hal ini dikarenakan adanya tingkat persaingan kerja di sektor

pertambangan. Terdapat beberapa rumahtangga di Kampung Joglo dan Kampung

Gunung Cabe yaitu sebesar 17 persen pada lapisan atas, sebesar 25 persen pada

lapisan menengah, dan sebesar 16 persen pada lapisan bawah di Kampung Joglo

menyatakan sudah tidak peduli dengan keadaan penduduk pendatang lagi.

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)73

Sementara itu, terdapat 23 persen lapisan menengah dan 12 persen pada lapisan

bawah di Kampung Gunung Cabe yang menyatakan sudah tidak peduli dengan

keadaan penduduk pendatang lagi. Hal dikarenakan adanya anggota keluarga yang

tidak mampu bersaing untuk bekerja di sektor pertambangan sehingga masyarakat

Page 79: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tersebut sulit menjangkau perusahaan.

Ibu sudah tidak peduli lagi sama penduduk pendatang. Soalnya anak Ibu

yang sudah susah payah melamar kerja di pertambangan tidak diterima. Tapi

giliran penduduk pendatang aja langsung diterima. Nggak tau ibu juga

kenapa bisa kayak gitu (Ibu Mae, pedagang dan Ibu rumahtangga berusia 60

tahun).

Rendahnya pendidikan yang di tempuh dan minimnya keterampilan yang

dimiliki, menjadikan masyarakat lokal tidak mampu bersaing dengan masyarakat

pendatang untuk bekerja dan menduduki posisi yang layak di perusahaan

pertambangan. Adanya tingkat persaingan antara masyarakat lokal dengan

pendatang ini berpeluang menimbulkan konflik, akibat dominasi perekonomian

oleh masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal.

5.9 Ikhtisar

Kehadiran industri pertambangan memberikan dampak positif dan negatif

pada aspek sosio-ekonomi masyarakat Desa Cipinang. Tingkat pendapatan yang

diperoleh masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe selama

kurun waktu satu tahun terakhir tergolong sedang, dengan kondisi fisik tempat

tinggal sangat layak. Kepemilikan lahan pertanian tergolong rendah karena

banyak dari anggota masyarakat yang menjual lahannya kepada pihak perusahaan.

Rendahnya kepemilikan lahan pertanian berkorelasi terhadap semakin rendahnya

luasnya lahan yang dimiliki. Selain itu, rendahnya kepemilikan lahan juga

menyebabkan sulitnya kesempatan kerja sektor pertanian. Terjadi perubahan

kesempatan kerja pertanian pada kondisi sebelum dan setelah ada pertambangan.

Kesempatan kerja sektor pertanian pada kondisi sebelum ada pertambangan

tergolong sangat mudah, namun menjadi sulit setelah ada pertambangan.

Di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, dampak pada aspek sosioekonomi seperti struktur pendapatan, kesempatan kerja sektor pertanian dan

Page 80: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

kesempatan kerja sektor non pertanian, serta tingkat konflik yang terjadi di

masyarakat terangkum sebagaimana Tabel 7. 74

Tabel 7. Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekonomi Terhadap

Masyarakat Lokal Desa Cipinang, 2011.

Aspek Penelitian Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan

banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan

sedikit)

Tingkat Pendapatan Sedang, rendah Sedang

Kondisi Fisik Tempat

Tinggal

Sangat layak Sangat layak

Status Tempat Tinggal Milik pribadi Milik pribadi

Kepemilikan Lahan

Pertanian

Rendah

(lahan < 0,001 hektar)

Rendah

(lahan < 0,001 hektar)

Luas Lahan yang dimiliki Sangat rendah

(lahan < 0,001 hektar

Sangat rendah

(lahan < 0,001 hektar)

Kesempatan Kerja

Pertanian Sebelum Ada

Page 81: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Pertambangan

Sangat mudah Sangat mudah

Kesempatan Kerja

Pertanian Setelah Ada

Pertambangan

Sulit Sulit

Kesempatan Kerja Non

Pertanian Sebelum Ada

Pertambangan

Sangat sulit Sulit

Kesempatan Kerja Non

Pertanian Setelah Ada

Pertambangan

Mudah Mudah

Tingkat Kedalaman

Konflik Akibat Perubahan

Udara

Sedang Sedang

Tingkat Kedalaman

Konflik Akibat Polusi

Suara

Sedang Sedang

Tingkat Kedalaman

Konflik Akibat Gangguan

Sumber Air

Sedang Sedang

Hubungan Antar Sesama

Page 82: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Masyarakat Lokal

Tinggi Tinggi

Hubungan Antara

Masyarakat Lokal dengan

Pendatang

Sedang Tinggi

Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011

Berdasarkan data pada Tabel 7 terlihat bahwa kesempatan kerja sektor non

pertanian sebelum ada pertambangan di Kampung Joglo tergolong sangat sulit dan

tergolong sulit menurut masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Hal ini

dikarenakan sebelum ada pertambangan, mayoritas masyarakat bekerja di sektor 75

pertanian. Kehadiran industri pertambangan memberikan peluang kerja bagi

masyarakat, sehingga mayoritas masyarakat tersebut menyatakan bahwa

kesempatan kerja di sektor non pertanian tergolong mudah.

Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan serta pemerintah

akibat perubahan lingkungan seperti perubahan udara, polusi suara, dan gangguan

sumber air di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih tergolong

sedang karena mayoritas masyarakat hanya mengeluh. Adanya penanganan dari

pihak perusahaan dengan membuka air sumur yang dapat digunakan saat musim

kemarau, dan upaya penyiraman air untuk mengurangi kapasitas debu

menyebabkan konflik semakin teratasi. Hubungan yang terjadi antar masyarakat

lokal di Kampung Joglo Kampung Gunung Cabe tergolong tinggi. Sementara itu,

Hubungan yang terjalin antara masyarakat lokal dengan pendatang di Kampung

Gunung Cabe tergolong masih tinggi, sedangkan di Kampung Joglo tergolong

sedang. Hal ini dikarenakan adanya persaingan antara masyarakat lokal dengan

pendatang untuk bekerja di sektor pertambangan. 76

BAB VI

Page 83: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

DAMPAK SOSIO-EKOLOGI AKTIVITAS PERTAMBANGAN

Kondisi geografis Desa Cipinang yang dikelilingi oleh wilayah pegunungan

menunjukkan kekayaan sumberdaya alam yang sangat melimpah didalamnya.

Kekayaan sumberdaya alam tersebut bukan hanya memberikan kenyamanan

hidup bagi masyarakat, melainkan juga bagi ekosistem yang berada disekitarnya.

Namun saat ini seiring dengan adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam

tambang, kondisi lingkungan hidup berada pada fase kritis dan sangat

mengkhawatirkan.

Pada awalnya, Desa Cipinang dikelilingi oleh wilayah pegunungan dan

terdapat lahan sawah pada bagian bawah gunung. Di pegunungan tersebut

terdapat mata air yang dijadikan sebagai sumber air utama oleh setiap masyarakat

Desa Cipinang. Selain itu, masyarakat juga memanfaatkan lahan di beberapa

bagian pegunungan sebagai lahan pertanian untuk jenis komoditas pisang. Kondisi

lahan yang sangat subur, menjadikan Desa Cipinang sebagai daerah yang

potensial bagi berkembangnya sektor pertanian. Kekayaan sumberdaya alam yang

ada, tidak hanya terlihat pada potensi yang tinggi bagi sektor pertanian saja

melainkan juga bagi sektor pertambangan.

6.1 Konversi Lahan Pertanian

Peralihan sektor pertanian menjadi sektor non pertanian atau sektor

pertambangan di Desa Cipinang, terjadi seiring dengan semakin banyaknya

jumlah masyarakat lokal yang menjual lahan pertanian yang dimiliki kepada pihak

perusahaan pertambangan untuk dijadikan sebagai lahan tambang. Sebelum ada

pertambangan masyarakat lokal memanfaatkan lahan di sekitar pegunungan untuk

menanam pisang dan padi. Banyaknya cadangan air di pegunungan tersebut

menjadikan kondisi lahan sangat subur dan potensial bagi sektor pertanian karena

banyaknya saluran irigasi. Namun seiring dengan masuknya perusahaan

pertambangan, jumlah lahan pertanian menjadi semakin menyempit karena

Page 84: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

terkonversi menjadi area pertambangan. Di satu sisi, konversi lahan pertanian

menjadi pertambangan memberikan dampak negatif berupa semakin menurunnya

kesempatan kerja sektor pertanian. Namun di sisi lain kesempatan kerja sektor 77

pertambangan mengalami peningkatan sehingga memberikan kesempatan kerja

bagi masyarakat di sekitar dan di luar wilayah pertambangan. Konversi lahan

pertanian menjadi pertambangan juga menimbulkan dampak negatif pada aspek

sosio-ekologi seperti terjadinya gangguan resapan air berupa kekeringan.

6.2 Sumber Air yang digunakan Masyarakat

Desa Cipinang merupakan salah satu kawasan yang dikelilingi oleh

pegunungan dan dialiri Sungai Cisadane. Meskipun wilayah tersebut merupakan

wilayah yang dialiri Sungai Cisadane, namun Mayoritas masyarakat Desa

Cipinang menjadikan air sumur sebagai sumber air. Hal ini dikarenakan jarak

tempat tinggal menuju sungai sangat jauh sehingga mayoritas rumahtangga lebih

memilih air sumur sebagai sumber air.

Disini kebanyakan warga memperoleh air dari sumur soalnya kalau ke

sungai kan jauh. Dulu sih sempet kekeringan tapi sekarang sudah ada

penanganan dari PT, tuh yang deket jalan kan ada selang air bersih yang bisa

dipergunakan oleh siapapun warga disini (Bapak Skd, tokoh masyarakat

berusia 33 tahun).

Masyarakat menggunakan air sumur sebagai air untuk mandi, mencuci, dan

kakus atau MCK. Sebagian masyarakat juga menjadikan air sumur sebagai air

minum, namun sebagian lainnya lebih memilih mengkonsumsi air minum yang

berasal dari air galon atau air minum isi ulang. Sebelum akses pada sumur,

masyarakat lokal menggunakan mata air pegunungan sebagai sumber air utama.

Namun seiring dengan dilakukannya aktivitas pengerukan pertambangan, mata air

pegunungan tersebut mengalami kekeringan. Aktivitas blasting dan pengerukan

bahan tambang mengakibatkan penurunan kualitas lahan pertanian. Mata air yang

Page 85: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

berasal dari gunung menjadi kering dan menghilang seiring dengan eksploitasi

sumberdaya alam tambang yang terus dilakukan. Guncangan blasting

menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal dari sumur dan semakin

berkurangnya saluran irigasi.

Saat ini, masalah kekeringan air merupakan salah satu masalah yang paling

dikeluhkan oleh masyarakat Desa Cipinang. Hal ini dikarenakan pada saat musim

kemarau, air sumur yang dimiliki oleh masyarakat selalu mengalami kekeringan.

Selain itu, guncangan blasting menyebabkan penurunan kualitas air yang berasal

dari sumur karena air menjadi semakin keruh. Berbagai upaya terus dilakukan 78

oleh pemerintah dan perusahaan pertambangan. Upaya tersebut berupa pengadaan

air bersih yang berasal dari selang maupun membuat air sumur yang dapat

dipergunakan oleh setiap masyarakat di Desa Cipinang.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 25. Sumber Air yang digunakan Masyarakat Berdasarkan Lapisan Sosial

Berdasarkan data pada Gambar 25 di atas terlihat bahwa sebesar 100 persen

rumahtangga pada setiap lapisan sosial di Kampung Joglo dan Kampung Gunung

Cabe menggunakan air sumur sebagai sumber air. Sementara itu terdapat satu

rumahtangga atau sebesar delapan persen pada lapisan bawah di Kampung Joglo

yang menggunakan sungai sebagai sumber air. Hal ini dikarenakan air sumur yang

dimiliki oleh rumahtangga tersebut mengalami gangguan berupa kekeringan dan

diperparah dengan kondisi air yang sangat kotor, sehingga lebih memilih untuk

beralih menggunakan air sungai sebagai sumber air.

6.3 Kondisi Sumber Air

Sebelum masyarakat akses pada air sumur dengan menjadikannya sebagai

sumber air, mayoritas masyarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe

menjadikan mata air pegunungan sebagai sumber air utama. Hal ini dikarenakan

Page 86: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kondisi mata air pegunungan memiliki kualitas yang sangat jernih. Kondisi mata

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan

sedikiti)79

air pegunungan sangat melimpah karena dikelilingi oleh banyak pohon sehingga

menyimpan banyak cadangan air.

Dulu disini itu ada banyak mata air di dekat gunung. Air melimpah bersih

lagi semua warga ngambilnya dari situ. Tapi setelah ada pertambangan

tanahnya dikeruk dan sekarang sudah di urug (timbun) jadinya agak susah

air sekarang itu. Apalagi kalau musim kemarau dua minggu saja sudah

kering disini gak ada air (Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33 tahun).

Kondisi sumber air berubah setelah adanya aktivitas pertambangan.

Mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Desa Cipinang

menyatakan bahwa kondisi air pada saat sebelum ada pertambangan adalah

tersedia dimana-mana. Hal ini sebagaimana terlihat pada Gambar 26 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 26. Persepsi Kondisi Sumber Air Sebelum Ada Pertambangan

Berdasarkan Lapisan Sosial

Sebesar 100 persen pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo

dan Kampung Gunung Cabe menyatakan bahwa kondisi sumber air sebelum ada

pertambangan, sangat melimpah dan tersedia dimana-mana. Sementara itu

terdapat satu rumahtangga dengan persentase sebesar 17 persen pada lapisan atas

di Kampung Joglo yang menyatakan kondisi sumber air sebelum ada

Page 87: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pertambangan masih air tersedia namun terbatas. Hal ini dikarenakan

rumahtangga tersebut merupakan penduduk pendatang asal Garut yang baru

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)80

tinggal sekitar sepuluh tahun yang lalu sehingga tidak mengetahui dengan jelas

kondisi sumber air sebelum ada pertambangan di Kampung Joglo.

Persepsi masyarakat mengenai kondisi sumber air sebelum dan setelah ada

pertambangan dirasakan sangat berbeda oleh masyarakat Kampung Joglo dan

Kampung Gunung Cabe.

Dulu, disini yang namanya air itu sangat melimpah dan jernih. Para warga bisa

memperoleh air dengan mudah karena sumber airnya itu kan dari gunung.

Tapi sekarang, air sudah sangat terbatas soalnya kan gunung di keruk,

pohonnya jadi nggak ada. Apalagi saat musim kemarau, baru satu bulan saja

disini suka kekeringan. Tapi kalau sudah kayak gitu, biasanya pemerintah

suka ngasih air lewat tangki terus di isi ke bak-bak warga (Bapak Sf, tokoh

masyarakat berusia 45 tahun).

Perubahan terjadi pada kondisi awal sumber air yang sangat melimpah dan

tersedia dimana-mana, namun saat ini kondisi sumber air berubah menjadi

tersedia namun jumlahnya sangat terbatas. Hal tersebut sebagaimana terlihat pada

Gambar 27 di bawah ini.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 27. Persepsi Kondisi Sumber Air Setelah Ada Pertambangan Berdasarkan

Lapisan Sosial

Page 88: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Sebesar 100 persen pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Joglo

dan Kampung Gunung Cabe menyatakan bahwa, kondisi sumber air setelah ada

pertambangan masih tersedia namun terbatas. Hal ini dikarenakan pada musim

kemarau semua sumber air yang digunakan warga mengalami kekeringan.

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(jumlah pertambangan sedikit)81

Terdapat satu rumahtangga pada lapisan menengah di Kampung Joglo yang

menyatakan bahwa kondisi air sebelum dan setelah ada pertambangan, sama saja

yaitu kondisi sumber air masih tersedia dimana-mana. Hal ini dikarenakan

rumahtangga tersebut masih dapat akses pada air sumur yang telah disediakan

oleh perusahaan jika terjadi kekeringan. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa kehadiran industri pertambangan memberikan dampak yang

sangat negatif terhadap kondisi sumber air.

6.4 Kualitas Air Minum

Masyarakat di Kampung Gunung Cabe dan Kampung joglo memiliki

persepsi bahwa kondisi air minum tergolong jernih, apabila kondisi air yang di

konsumsi tidak berwarna sama sekali.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 28. Kualitas Air Minum Responden Berdasarkan Lapisan Sosial

Gambar 28 di atas menunjukkan bahwa mayoritas kualitas air minum yang

di konsumsi oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe masih

tergolong jernih. Hanya terdapat dua rumahtangga atau sebesar 33 persen saja

pada kategori lapisan atas di Kampung Joglo menyatakan bahwa kualitas air

Page 89: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

minum yang di konsumsi berwarna agak kecokelatan. Hal ini dikarenakan jarak

tempat tinggal masyarakat pada lapisan atas tersebut berdekatan dengan lokasi

aktivitas penambangan, sehingga goncangan aktivitas blasting berpengaruh

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)82

terhadap kualitas air minum yang diperoleh dari sumur. Sementara itu, dua

rumahtangga pada lapisan menengah di Kampung Joglo dan masing-masing satu

rumahtangga pada semua kategori lapisan sosial yang ada di Kampung Gunung

Cabe menyatakan bahwa kualitas air minum yang di konsumsi berwarna agak

kecokelatan. Hal tersebut dikarenakan air minum yang digunakan berasal dari air

sumur yang memiliki kondisi agak berwarna.

Ya sebersih bersihnya air sumur gimana ya. Di bilang bersih ya bersih tapi

airnya tetep saja suka agak kotor gitu (Bapak Skd, tokoh masyarakat

berusia 33 tahun).

Gangguan terhadap kualitas air minum, sama-sama dirasakan oleh

masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe terutama oleh

masyarakat lapisan atas. Hal ini menunjukkan bahwa sensitivitas masyarakat

lapisan atas lebih tinggi daripada lapisan sosial menengah dan bawah.

6.5 Persepsi Kondisi Udara

Persepsi kondisi udara sebelum ada pertambangan pada penelitian ini dibagi

menjadi tiga kategori yaitu buruk apabila suhu udara panas, berdebu dan terlihat

gersang. Kondisi udara sedang jika suhu udara panas namun tidak berdebu, dan

kondisi udara baik jika suhu udara terasa sejuk dan tidak berdebu.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

Page 90: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 29. Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Sebelum Ada

Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)83

Kondisi udara pada saat sebelum dan setelah ada pertambangan, dirasakan

sangat berbeda oleh masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe.

mayoritas masyarakat pada setiap kategori lapisan sosial di Kampung Gunung

Cabe menyatakan bahwa kondisi udara sebelum ada pertambangan masih

tergolong sejuk dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan sebelum ada

pertambangan, kondisi kampung tersebut dikelilingi oleh wilayah pegunungan

dan pepohonan. Hanya terdapat 39 persen atau sebanyak tujuh rumahtangga pada

lapisan menengah saja yang menyatakan suhu udara panas namun tidak berdebu.

Sementara itu, masyarakat pada kategori lapisan sosial yang ada di

Kampung Joglo menyatakan bahwa kondisi udara sebelum ada pertambangan

terasa panas dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan perusahaan pertambangan

yang terdapat di Kampung Joglo masih tergolong baru. Periode lamanya waktu

kehadiran perusahaan pertambangan tersebut akan mempengaruhi kondisi

lingkungan di setiap kawasan yang ada di Desa Cipinang. Kampung Joglo sebagai

kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan paling banyak

namun tergolong baru, dampak perubahan kondisi lingkungan sudah terasa akibat

aktivitas pertambangan yang dilakukan di kampung lainnya yang masih terdapat

di Desa Cipinang.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

Page 91: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 30. Persepsi Responden terhadap Kondisi Udara Setelah Ada

Pertambangan Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)84

Sebanyak 100 persen masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung

Cabe menyatakan bahwa kondisi udara setelah ada pertambangan terasa panas,

berdebu dan terlihat gersang. Hal ini dikarenakan aktivitas pertambangan

merupakan aktivitas pengerukan bawah tanah yang mengganggu ekosistem dan

zat-zat yang terkandung didalamnya. Area pegunungan yang sebelumnya menjadi

penyejuk udara karena menyimpan banyak pepohonan, kini jumlahnya semakin

berkurang. Aktivitas peledakan dan penggilingan bahan tambang serta kendaraan

truk yang melaju setiap hari menghasilkan limbah berupa debu dan asap, sehingga

meningkatkan kadar polusi udara.

6.6 Persepsi Rumahtangga terhadap Tingkat Kebisingan

6.6.1 Tingkat Kebisingan Blasting

Aktivitas blasting merupakan aktivitas peledakan dan pengeboran bawah

tanah dengan menggunakan dinamit. Di Kampung Joglo, aktivitas blasting

dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu hari sebagai akumulasi dari aktivitas

blasting oleh PT L sebanyak satu kali dan oleh PT M sebanyak dua kali.

Sementara itu di Kampung Gunung Cabe, aktivitas blasting dilakukan sebanyak

dua kali dalam satu hari. Pada penelitian ini, tingkat kebisingan akibat blasting

dibagi menjadi tiga golongan yaitu tinggi, sedang dan rendah.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

Page 92: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 31. Tingkat Kebisingan Blasting Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)85

Aktivitas blasting tergolong tinggi jika aktivitas tersebut sangat

mengganggu masyarakat. Tingkat kebisingan tergolong sedang jika masyarakat

merasa biasa saja atau tidak terlalu terganggu, dan kebisingan tergolong rendah

jika kebisingan tidak mengganggu sama sekali atau kondisi masih nyaman.

Sebanyak 100 persen masyarakat pada lapisan atas di Kampung Joglo

menyatakan tingkat kebisingan blasting tinggi. Hal ini dikarenakan jarak tempat

tinggal masyarakat lapisan atas dengan lokasi peledakan sangat dekat sehingga

tingkat kebisingan blasting terasa sangat mengganggu. Sementara itu, sebanyak

tujuh rumahtangga atau sebesar 58 persen masyarakat pada lapisan bawah

menyatakan bahwa aktivitas blasting di kampung tersebut tergolong sedang. Lain

halnya dengan masyarakat pada lapisan menengah, sebanyak tujuh rumahtangga

menyatakan tinggi sedangkan sisanya yaitu sebanyak lima rumahtangga

menyatakan sedang. Sebagian rumahtangga sangat terganggu sedangkan sebagian

yang lainnya menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan akibat aktivitas

blasting. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat sensitivitas masyarakat terhadap

kebisingan blasting pada lapisan atas di Kampung Joglo lebih tinggi dibandingkan

dengan lapisan sosial menengah dan lapisan sosial bawah.

Kondisi masyarakat di Kampung Joglo berbanding terbalik dengan kondisi

masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Mayoritas masyarakat di Kampung

Gunung Cabe yaitu sebesar 63 persen atau sebanyak lima rumahtangga pada

Page 93: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

lapisan bawah dan sebesar 61 persen atau sebanyak 11 rumahtangga lapisan

menengah menyatakan tinggi. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal

masyarakat lapisan bawah dan lapisan menengah sangat dekat dengan lokasi

peledakan, sehingga aktivitas tersebut terasa sangat mengganggu. Sementara itu

mayoritas masyarakat pada lapisan atas menyatakan bahwa tingkat kebisingan

akibat aktivitas blasting masih tergolong sedang. Hal ini dikarenakan kondisi

masyarakat pada lapisan atas menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan yang

terjadi.

Kalau ledakan sih emang suka kedengaran dan mengganggu, tapi ya karena

sudah terbiasa jadinya ya biasa saja begitu (Bapak Sf, tokoh masyarakat

berusia 45 tahun).

Berdasarkan data pada Gambar 31, jumlah persentase masyarakat yang

memiliki persepsi tingkat kebisingan blasting tinggi, lebih banyak di Kampung 86

Joglo dibandingkan Kampung Gunung Cabe. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik

industri pertambangan yang terdapat di Kampung Joglo lebih banyak daripada

Kampung Gunung Cabe sehingga semakin banyak jumlah pabrik industri

pertambangan maka semakin tinggi frekuensi blasting dan semakin tinggi tingkat

kebisingan yang dirasakan.

6.6.2 Persepsi Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk

Aktivitas kendaraan truk pengangkut barang tambang di Desa Cipinang

melaju setiap hari pada pukul 08.00 WIB hingga pagi hari pada pukul 02.00 WIB.

Gambar 33 di bawah ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat pada lapisan

atas di Kampung Joglo yaitu sebesar 100 persen menyatakan aktivitas kendaraan

truk dirasakan sangat mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal

masyarakat lapisan atas berdekatan dengan jalan raya sehingga aktivitas tersebut

tergolong tinggi.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

Page 94: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 32. Tingkat Kebisingan Kendaraan Truk Berdasarkan Lapisan

Sosial

Sementara itu, mayoritas masyarakat pada lapisan bawah menyatakan

bahwa aktivitas kendaraan truk dikampung tersebut biasa saja atau tidak terlalu

mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak tempat tinggal yang berjauhan dengan

jalan raya sebagai tempat melajunya kendaraan truk, sehingga aktivitas tersebut

tergolong sedang.

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)87

Lain halnya dengan masyarakat pada lapisan menengah, sebesar 50 persen

atau sebanyak enam rumahtangga menyatakan tinggi sedangkan 50 persen lainnya

menyatakan sedang. Hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat pada lapisan

menengah menyatakan bahwa mereka sudah terbiasa dengan aktivitas kendaraan

truk. Kondisi kebisingan akibat kendaraan truk di Kampung Joglo berbanding

terbalik dengan kondisi masyarakat di Kampung Gunung Cabe.

Mayoritas masyarakat lapisan bawah di Kampung Gunung Cabe

menyatakan bahwa aktivitas truk sangat mengganggu. Hal ini dikarenakan jarak

tempat tinggal masyarakat lapisan bawah berdekatan dengan jalan raya, sehingga

aktivitas tersebut tergolong tinggi. Sementara itu sebanyak tujuh rumahtangga

pada lapisan menengah menyatakan tinggi sedangkan sebanyak enam atau sebesar

33 persen menyatakan rendah. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat sangat

terganggu oleh kebisingan truk, sedangkan sebagian masyarakat lainnya

menyatakan sudah terbiasa dengan kebisingan truk. Lain halnya dengan

Page 95: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

masyarakat pada lapisan atas di Kampung Gunung Cabe, sebesar 50 persen

menyatakan kebisingan yang ditimbulkan kendaraan truk tergolong rendah. Hal

ini dikarenakan jarak tempat tinggal dengan lokasi jalan raya yang berjauhan.

Kalau disini, truk itu jumlahnya ratusan. Berisik juga, soalnya dari pagi-pagi

terus menerus hingga pagi lagi jam 2-an setiap hari pula. Tapi ya kalau Bapak

sih sudah biasa jadinya ya biasa saja begitu. Ini rumah Bapak retak-retak

akibat truk sama blasting (Bapak Hj. Usn, tokoh agama berusia 70 tahun).

Aktivitas blasting dan kendaraan truk pengangkut bahan tambang bukan

hanya menimbulkan efek kebisingan bagi masyarakat Desa Cipinang saja

melainkan juga gangguan pada proses komunikasi, gangguan aktivitas tidur dan

timbulnya retakan rumah warga akibat getaran yang dihasilkan. Tingkat gangguan

kebisingan truk yang dirasakan oleh masyarakat Kampung Joglo lebih tinggi

dibandingkan Kampung Gunung Cabe, karena Kampung Joglo merupakan

kampung yang memiliki jumlah pabrik industri pertambangan sangat banyak

sehingga jumlah truk yang melaju lebih banyak.

6.7 Tingkat Kesehatan Masyarakat

6.7.1 Rumahtangga yang Mengidap Penyakit

Terjadinya berbagai perubahan lingkungan mengakibatkan rentannya

kondisi kesehatan masyarakat. Kondisi udara yang berdebu dan kualitas air yang 88

kotor menimbulkan indikasi mengenai tingginya tingkat penyakit pada saluran

pernafasan dan pencernaan masyarakat di Desa Cipinang. Pada penelitian ini,

tingkat kesehatan masyarakat digolongkan menjadi dua bagian yaitu tergolong

buruk apabila terdapat anggota rumahtangga di Kampung Joglo dan Kampung

Gunung Cabe yang terkena penyakit. Sementara itu, kesehatan masyarakat

tergolong baik apabila tidak ada anggota keluarga yang mengidap penyakit.

Adapun jenis penyakit dalam penelitian ini adalah jenis penyakit yang

berhubungan dengan aktivitas pertambangan seperti penyakit pada saluran

Page 96: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pernafasan dan diare.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 33. Jumlah Rumahtangga Pengidap Penyakit Berdasarkan Lapisan

Sosial

Gambar 33 di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Kampung Joglo lebih

banyak mengidap penyakit dibandingkan dengan masyarakat Kampung Gunung

Cabe. Kampung Joglo sebagai kampung yang memiliki jumlah pabrik industri

pertambangan sangat banyak, jumlah kapasitas limbah yang dihasilkan pun sangat

banyak. Hal ini sangat rentan menimbulkan penyakit yang dapat mengganggu

kesehatan masyarakat. Hal tersebut juga yang menyebabkan banyaknya jumlah

pengidap penyakit pada masyarakat di Kampung Joglo. Berdasarkan kategori

lapisan sosial, mayoritas pengidap penyakit di Kampung Joglo diduduki oleh

Persentase responden (%)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)89

masyarakat pada lapisan atas dengan persentase sebesar 67 persen atau sebanyak

empat rumahtangga. Hal ini berkenaan dengan banyaknya debu dan asap truk

yang dihirup, akibat jarak tempat tinggal rumahtangga lapisan atas yang

berdekatan dengan aktivitas blasting maupun jalan raya. Asap dan debu memasuki

rumah warga serta kondisi air minum yang berkualitas rendah.

Sementara itu di Kampung Gunung Cabe, lapisan bawah menjadi lapisan

sosial yang paling banyak mengidap penyakit dibandingkan dengan lapisan atas

ataupun lapisan menengah. Sebesar 37 persen atau sebanyak tiga rumahtangga

yang mengidap penyakit. Hal ini dikarenakan pada lapisan bawah tersebut, jarak

Page 97: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tempat berdekatan dengan aktivitas blasting dan jalan raya sehingga banyak

masyarakat yang menghirup debu dan asap kendaraan truk. Berdasarkan

perbandingan di dua kampung, jumlah rumahtangga di Kampung Joglo yang

mengidap penyakit saluran pernafasan dan diare lebih banyak dibandingkan

dengan masyarakat di Kampung Gunung Cabe. Hal ini menunjukkan bahwa

semakin banyak jumlah pabrik industri pertambangan maka semakin rendah

tingkat kesehatan masyarakat. Saat ini jumlah masyarakat yang mengidap

penyakit saluran pernafasan dan diare lebih sedikit karena adanya penanganan

pemerintah yang bekerja sama dengan pihak rumah sakit.

Untuk masalah kesehatan, kebanyakan sih masalah pernafasan. Kan disini

banyak debu begitu. Namun sekarang sudah tidak ada kayaknya, karena ada

pengontrolan setiap sebulan sekali dari Puskesmas, ada bidan yang

berkeliling ke rumah-rumah juga (Bapak Skd, tokoh masyarakat berusia 33

tahun).

Pengontrolan kesehatan tersebut dilakukan, sebagai bentuk perhatian lebih

dari pemerintah karena sebelumnya, kawasan Desa Cipinang dikenal sebagai

salah satu daerah yang paling banyak mengidap penyakit ISPA dan diare di

Kabupaten Bogor.

6.7.2 Pengobatan terhadap Penyakit

Jenis pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Cipinang adalah

dengan membeli obat ke warung ataupun dengan membawa anggota keluarga

yang mengidap penyakit ke rumah sakit atau bidan desa. Jenis penyakit dalam

penelitian ini merupakan jenis penyakit yang berhubungan dengan aktivitas

pertambangan. Jenis penyakit tersebut disebabkan oleh kondisi air yang kotor dan 90

kondisi udara yang berdebu seperti batuk pilek, diare, dan sesak nafas. Adapun

frekuensi pengobatan dalam penelitian ini merupakan akumulasi penggunaan obat

dalam waktu satu tahun terakhir, baik yang berasal dari warung maupun

Page 98: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

pengobatan yang membutuhkan penanganan khusus dari rumah sakit. Frekuensi

pengobatan tergolong tinggi apabila pengobatan dilakukan dengan frekuensi

sering yaitu lebih dari tiga kali. sementara itu, frekuensi pengobatan tergolong

sedang apabila pengobatan dilakukan hanya beberapa kali saja yaitu antara satu

hingga tiga kali, sedangkan frekuensi pengobatan tergolong rendah apabila

pengobatan tidak pernah dilakukan sama sekali.

Saat ini jenis penyakit yang banyak diderita masyarakat Kampung Joglo dan

Kampung Gunung Cabe adalah batuk pilek. Jumlah total rumahtangga pada

seluruh lapisan sosial di Kampung Joglo yang menderita penyakit batuk pilek

adalah sebanyak sepuluh rumahtangga. Sisanya adalah jenis penyakit sesak nafas

yaitu sebanyak satu rumahtangga dan penyakit diare sebanyak tiga rumahtangga.

Sementara itu jenis penyakit yang diderita masyarakat Kampung Gunung Cabe,

seluruhnya adalah penyakit batuk pilek dengan jumlah total sebanyak sembilan

rumahtangga.

Keterangan: n Kampung Joglo = 30 rumahtangga

n Kampung Gunung Cabe = 30 rumahtangga

Gambar 34. Frekuensi Pengobatan Penyakit Berdasarkan Lapisan Sosial

Persentase responden (%)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan sedikit)

Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan banyak)91

Berdasarkan data pada Gambar 34 di atas, sebanyak 50 persen atau

sebanyak satu rumahtangga masyarakat pada lapisan atas di Kampung Joglo

melakukan pengobatan dengan kategori sering. Hal tersebut dikarenakan jenis

penyakit yang diderita merupakan jenis penyakit berat yaitu sesak nafas, sehingga

membutuhkan perawatan dalam proses penyembuhannya.

Page 99: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kalau di rumah yang sakit sih cuma saya saja. Sesak nafas udah dua tahun.

kalau berobat sih sering. Sempat dirawat inap juga malahan. Sekarang masih

harus sering melakukan pemeriksaan ke dokter setiap satu bulan sekali

(Bapak Ttg, PNS asal Garut berusia 47 tahun).

Sementara itu pada masyarakat lapisan menengah dan lapisan bawah,

frekuensi pengobatan masih tergolong sedang karena pengobatan hanya dilakukan

beberapa kali saja. Hal ini dikarenakan jenis penyakit yang diderita masih

tergolong ringan yaitu batuk pilek dan diare.

Biasanya kalau anak saya sakit saya bawa ke bidan. Ini anak saya baru saja

sembuh dari sakit batuk pilek. Saya bawa ke bidan eh langsung sembuh

padahal diperiksanya cuma satu kali (Ibu Wwi, Ibu rumahtangga berusia 20

tahun).

Berbeda dengan kondisi masyarakat di Kampung Gunung Cabe, sebesar 67

persen atau sebanyak dua orang pada lapisan bawah dan sebesar 100 persen atau

sebanyak satu rumahtangga lapisan atas menyatakan sering melakukan

pengobatan. Hal tersebut dikarenakan frekuensi penyakit batuk pilek masih sering

dirasakan dalam kurun waktu satu tahun terakhir sehingga pengobatan sering

dilakukan. Lain halnya pada lapisan menengah, frekuensi pengobatan masih

tergolong sedang karena pengobatan yang dilakukan hanya beberapa kali saja.

6.8 Ikhtisar

Kehadiran industri pertambangan memberikan dampak negatif pada aspek

sosio-ekologi masyarakat Desa Cipinang. Studi perbandingan yang dilakukan di

Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe menunjukkan bahwa terjadi

perubahan pada kondisi lingkungan seperti terganggunya kualitas air minum,

terjadinya perubahan kondisi udara, kebisingan akibat aktivitas blasting dan

kendaraan truk, serta tingkat kesehatan masyarakat yang terangkum sebagaimana

Tabel 8 di bawah ini.

Page 100: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Pada Tabel 8 tersebut terlihat bahwa mayoritas masyarakat di Kampung

Joglo dan Kampung Gunung Cabe menggunakan air sumur sebagai sumber air. 92

Terjadi perubahan kondisi sumber air pada saat sebelum dan setelah ada

pertambangan. Sebelum ada pertambangan masyarakat menyatakan mudah

mendapatkan air karena air tersedia dimana-mana, sedangkan setelah ada

pertambangan kondisi air masih tersedia namun terbatas sehingga akses

masyarakat terhadap sumber air tergolong sedang.

Tabel 8. Dampak Aktivitas Pertambangan pada Aspek Sosio-Ekologi Terhadap

Masyarakat Lokal Desa Cipinang, 2011.

Aspek Penelitian Kampung Joglo

(Jumlah pertambangan

banyak)

Kampung Gunung Cabe

(Jumlah pertambangan

sedikit)

Sumber Air yang digunakan Sumur Sumur

Kondisi Sumber Air

Sebelum Ada

Pertambangan

Baik Baik

Kondisi Sumber Air Setelah

Ada Pertambangan

Sedang Sedang

Kualitas Air Minum Baik Baik

Kondisi Udara Sebelum

Ada Pertambangan

Sedang Nyaman

Page 101: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Kondisi Udara Setelah Ada

Pertambangan

Tidak nyaman Tidak nyaman

Tingkat Kebisingan Blasting Tinggi Tinggi

Tingkat Kebisingan

Kendaraan Truk

Tinggi Rendah

Tingkat Kesehatan

Masyarakat

Baik Baik

Frekuensi Pengobatan Sedang Tinggi

Sumber: hasil pengolahan data primer, 2011

Kualitas air minum yang dikonsumsi masyarakat masih tergolong baik.

Sebagian masyarakat menggunakan air minum yang berasal dari sumur dan

sebagian lainnya menggunakan air galon. Perubahan lingkungan juga terjadi pada

kondisi udara, dimana sebelum ada pertambangan masyarakat Kampung Joglo

menyatakan kondisi suhu udara panas dan tidak berdebu. Hal ini dikarenakan

perusahaan yang terdapat di Kampung Joglo tergolong baru sehingga kondisi

udara panas sudah terasa akibat dampak aktivitas pertambangan yang dilakukan di

kampung lainnya di Desa Cipinang. Sementara itu, kondisi udara di Kampung 93

Gunung Cabe pada saat sebelum ada pertambangan terasa nyaman karena kondisi

udara yang sejuk dan tidak berdebu. Namun dampak yang sama dirasakan oleh

masyarakat Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe, dimana kondisi udara

menjadi tidak nyaman karena udara terasa panas, berdebu, dan terlihat gersang

setelah ada aktivitas pertambangan.

Tingkat kebisingan akibat blasting tergolong tinggi karena masyarakat

menyatakan sangat terganggu dengan adanya blasting tersebut. Tingkat

Page 102: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

kebisingan akibat kendaraan truk pengangkut bahan tambang tergolong tinggi di

Kampung Joglo, sedangkan di Kampung Joglo kebisingan truk tersebut tergolong

rendah. Hal ini dikarenakan jumlah pabrik industri pertambangan di Kampung

Gunung Cabe lebih sedikit dibandingkan Kampung Joglo, sehingga jumlah

kendaraan truk yang melaju lebih sedikit. Hal tersebut yang menjadikan

masyarakat di Kampung Gunung Cabe merasa tidak terganggu dengan adanya

kebisingan akibat kendaraan truk.

Tingkat kesehatan mayarakat di Kampung Joglo dan Kampung Gunung Cabe

masih tergolong baik karena saat ini sudah ada penanganan dari pihak puskesmas

yang berkeliling ke rumah-rumah milik warga dan dilakukan sebanyak satu bulan

sekali. Frekuensi pengobatan yang dilakukan masyarakat Kampung Joglo

tergolong sedang karena penyakit yang diderita masyarakat dalam kurun waktu

satu tahun terakhir hanya dirasakan beberapa kali saja. Sementara itu, frekuensi

penyakit di Kampung Gunung Cabe tergolong tinggi karena frekuensi penyakit

yang dirasakan sangat sering terjadi pada kurun waktu satu tahun terakhir. 94

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Kehadiran industri pertambangan pada umumnya memberikan dampak

negatif pada aspek sosio-ekonomi dan ekologi. Pada aspek sosio-ekonomi, tingkat

kesempatan kerja pertanian mengalami penurunan seiring dengan semakin

menurunnya luas lahan pertanian yang dimiliki oleh masyarakat, sedangkan

kesempatan kerja non pertanian mengalami peningkatan seiring dengan

terbukanya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh pihak industri

pertambangan. Namun kesempatan kerja di bidang pertambangan belum mampu

dijangkau oleh masyarakat lokal karena rendahnya pendidikan. Mayoritas

masyarakat lokal hanya bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan pertambangan,

Page 103: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

sementara posisi karyawan swasta ditempati oleh penduduk pendatang. Hal ini

menimbulkan tingkat persaingan, sehingga memicu terjadinya konflik antara

masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Selain itu terjadinya perubahan

kondisi lingkungan hidup sebagai akibat aktivitas pertambangan, memicu

terjadinya konflik antara pihak masyarakat dengan perusahaan pertambangan.

Pada aspek sosio-ekologi, aktivitas pertambangan menyebabkan penurunan

kualitas lingkungan hidup seperti terjadinya perubahan pada kondisi udara

menjadi terasa panas, berdebu dan terlihat gersang. Sumber air mengalami

kekeringan pada saat musim kemarau. Aktivitas blasting dan kendaraan truk

menimbulkan kebisingan yang mengganggu aktivitas pendengaran, komunikasi,

tidur dan retakan pada rumah. Selain itu, masih adanya anggota masyarakat yang

mengalami sakit pada saluran pernafasan seperti sesak nafas, batuk pilek, diare

akibat banyaknya kapasitas debu yang terhirup, kondisi air minum yang kotor dan

kualitas makanan yang kurang higienis.

7.2 Saran

Terdapat beberapa saran terkait dengan hasil penelitian yang telah

dilakukan, diantaranya adalah.

1. Rusaknya kondisi lingkungan akibat aktivitas pertambangan dapat menurunkan

kualitas lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat di sekitar wilayah 95

pertambangan, sehingga diperlukan adanya pengontrolan oleh pemerintah

terhadap setiap aktivitas pertambangan yang dilakukan seperti upaya reklamasi

lahan pasca tambang oleh pihak perusahaan pertambangan.

2. Keberlanjutan hidup masyarakat lokal tergantung pada kemampuannya dalam

memanfaatkan sumberdaya yang ada secara mandiri, sehingga kegiatan

pemberdayaan mutlak dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat lokal

agar terciptanya masyarakat yang mandiri.

3. Kondisi infrastruktur yang rusak akibat kendaraan truk pengangkut bahan

Page 104: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

tambang menjadi salah satu faktor penghambat berkembangnya suatu desa

sehingga diperlukan adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan

perusahaan untuk melakukan perbaikan terhadap infrastruktur yang ada

4. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia disebabkan rendahnya pendidikan

yang ditempuh, sehingga diperlukan adanya dukungan dari masyarakat

terutama para orang tua dan perhatian lebih dari pemerintah untuk melakukan

perbaikan sumberdaya manusia melalui pengadaan bangunan dan sarana

prasarana sekolah yang lebih baik. 96

DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo, S (Editor). 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Badan Pusat Statistika. 2009. Produksi Barang Tambang Mineral di Indonesia,

Tahun 1996-2008.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=10&

notab=3 di unduh pada hari Sabtu, 27 Nopember 2010 pukul 09.48 WIB.

Budimanta, A. 2007. Kekuasaan dan Penguasaan Sumberdaya Alam Studi Kasus

Penambangan Timah di Bangka. Jakarta: Indonesia center for sustainable

development.

Fuad, F.H. dan S. Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan

Sumberdaya Hutan. Bogor: Pustaka LATIN.

Kristanto, P. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Ngadiran et al. 2002. Dampak Sosial Budaya Penambangan Emas di Kecamatan

Mandor Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat. Dalam

Sosiohumanika, Volume 15, No.1, Januari 2002, Hal. 135.

Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Qomariah, R. 2002. Dampak Pertambangan Tanpa Izin Batu Bara Terhadap

Kualitas Sumberdaya Lahan dan Sosial Ekonomi Masyarakat [Tesis].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Page 105: Analisis Dampak Lingkungan Tambang

Salim, H.S. 2007. Hukum Pertambangan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.

Silalahi, M.D. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum

Lingkungan Indonesia. Bandung: PT. Alumni.

Sudarmanto. 1996. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di Sekitar

Hutan dalam Pemanfaatan Hasil Hutan dan Prospek Pengembangannya

(Studi Kasus Pengembangan Desa Hutan di Sekitar Wilayah HPH PT.

INHUTANI V, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Dati II Musi

Banyuasin Provinsi Dati I Sumatera Selatan) [Tesis]. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Sugandhy, A dan R. Hakim. 2009. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan

Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.

Wahyuni, E.S dan Muljono, P. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bogor:

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas

Ekologi Manusia, IPB