responsi hirschsprung ht fix
Post on 07-Sep-2015
43 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
1
RESPONSI ILMU PENYAKIT BEDAH
Pembimbing : dr. Hertanto, SP.B,
Penyusun : Hervina Yulanda
(2009.04.0.0147)
IDENTITAS PENDERITA :
Nama : Ny. I
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pamekasan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
MRS : 26 Januari 2015
Jam : 11.30
Pemeriksaan : 2 Februari 2015
Ruangan : B1
SUBYEKTIF(anamnesa)
Keluhan Utama : sesak
Keluhan Tambahan : sulit BAB, mual muntah.
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari sebelum
MRS. Pasien merasa sesak karena perut terasa penuh, nyeri, besar,
dan keras sehingga sulit menarik napas. Pasien sulit BAB sejak 6
minggu sebelum MRS. Pasien mengaku bahwa dalam 2-3 hari
hanya BAB 1 kali, hanya keluar sedikit dan meringkil seperti kotoran
kambing, warna hitam, tetapi tidak ada darah. Sebelumnya pasien
BAB rutin setiap hari 1 kali dan tidak meringkil seperti kotoran
kambing. Pasien juga merasa mual dan muntah tiap kali makan
sejak 6 minggu sebelum MRS, keluhan makin lama makin memberat
hingga pasien tidak bisa makan sama sekali sejak 3 hari sebelum
MRS.
-
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penderita pernah mengalami keluhan yang sama pada tahun
2006. Pasien merasa sulit BAB 2 minggu, perutnya terasa nyeri,
besar, keras namun tidak ada sesak. BAB sedikit dan meringkil sperti
kotoran kambing, berwarna hitam, tidak ada darah. Pasien hanya
datang ke klinik praktek dokter umum di dekat rumah dan hanya
diberi obat dulcolac (laxative) lalu pasien bisa BAB lagi.
Pesien tidak pernah mengalami sakit seperti ini saat masih kecil.
Riwayat Penyakit keluarga : tidak ada keluarga yang mengalami hal
yang sama.
Riwayat Penggunaan Obat :
Pasien sering menggunakan dulcolac lewat anus sejak tahun 2006,
apabila pasien tidak bisa BAB.
PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 2 Februari 2015)
Berat badan : 35 kg ; Tinggi badan : 150cm
BMI = 15,5 ; Status gizi = underweight
Kesadaran : Compos mentis ; GCS 4-5-6
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit, regular
T : 36,8 oC, axiller
RR : 20 x/menit
Skala nyeri : 7
Karakteristik : nyeri tumpul abdomen, difuse
Lokasi : Nyeri terutama pada regio umbilicalis, regio
lumbar sinistra, regio iliaca sinistra.
Durasi : Makin lama bertambah berat
Frekuensi : terus menerus
-
3
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi :distended, asimetris,
darm contour (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan - - -
- + +
- - +
Perkusi : Timpani
Pemeriksaan Rectal touch : TSA (+) kuat, mukosa rectum rata,
nyeri (-), pada handscoon terdapat
feses.
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG (1-2-2015)
DL : WBC : 6.3 x 103/uL (4.0-12.0)
RBC : 4.24 x 106/uL (3.50-5.20)
HGB : 13.4 g/dL (12.0-16.0)
PLT : 245 x 103/uL (150-400)
-
4
Elektrolit : Natrium = 133,3 mmol/L (tanggal 27-1-2015)
Kalium = 3,48 mmol/L
Clorid = 101,7
RADIOLOGI (tanggal 27 januari 2015)
BOF : tampak bayangan udara meningkat di dalam usus dengan
fecal material banyak (obstipasi). Tanda-tanda ileus
obstruksi / paralitik (-), penebalan dnding usus (-).
Masa intra cavum abdomen (-).
Barium Enema : jarak awal pelebaran rectum dari marker anus
sekitar 2,7cm yang tampak mendesak organ
sekitarnya (pankreas, Gallblader, buli, dan
uterus) dengan batas tegas.
CT scan : pelebaran diameter rectum mulai setinggi coccygeus
s/d colon (kesan seluruh colon) dengan paling lebar
setinggi os.coccygeus s/d flexura lienalis, dengan
diameter sekitar 13,6 cm yang tampak berisi fecal
material dengan tidak tampaknya penebalan dinding;
dengan bagian caudal terdapat zona transisional yang
sangat pendek;
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease
Planning
Penatalaksanaan : diet TKTP
Inj. Cefriaxone 2 x 1gr
Rencana selanjutnya : pro Sigmoidectomy
-
5
FOLLOW UP (3 Februari 2015)
S : nyeri perut (difuse), perut terasa penuh dan keras, BAB 17x
warna hitam, bau amis, lembek, lendir(-), mual (+), muntah (+).
O : Vital sign : Tensi 110/70 mmHg
Nadi 100x/menit
RR 24x/menit
Temperatur 36,5C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : distended, asimetris,
darm contour (+)
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Nyeri tekan - - -
- + -
- + -
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
-
6
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease dengan komplikasi
enterocolitis.
Planning
Penatalaksanaan : pro Sigmoidotomy
FOLLOW UP (4 Februari 2015)
S : nyeri perut disekitar stoma, kantong berisi banyak lendir dan
sangat bau.
O : Vital sign : Tensi 110/70 mmHg
Nadi 96x/menit
RR 24x/menit
Temperatur 38C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : terpasang stoma bag, mucosa
usus oedem, produksi lendir
sangat banyak dan sangat bau,
fecal cair hitam.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
-
7
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG (4 Februari 2015)
DL : WBC : 16.0 x 103/uL (4.0-12.0)
RBC : 5.37 x 106/uL (3.50-5.20)
HGB : 13.6 g/dL (12.0-16.0)
PLT : 203 x 103/uL (150-400
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease post Sigmoidotomy
Planning
Diet lunak (bubur kasar)
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
Inj. Metronidazole 3 x 500mg
Inj. Antrain 3 x 500mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Paracetamol 3 x 500 mg (bila temp >38o C).
FOLLOW UP (5 Februari 2015)
S : nyeri perut kiri bawah bekas operasi, usus bengkak, BAB cair
hitam, bau.
O : Vital sign : Tensi 110/70 mmHg
Nadi 97x/menit
RR 20x/menit
Temperatur 36,7C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
-
8
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : terpasang stoma bag, mucosa
usus oedem, produksi lendir
sangat banyak dan sangat bau,
fecal cair hitam.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease post op.Sigmoidectomy
Planning
Diet lunak (bubur kasar)
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
Inj. Metronidazole 3 x 500mg
Inj. Antrain 3 x 500mg
Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
Inj. Paracetamol 3 x 500 mg (bila temp >38o C).
-
9
FOLLOW UP (6 Februari 2015)
S : nyeri perut kiri bawah bekas operasi sudah berkurang, usus
bengkak, BAB mulai padat dan banyak, warna coklat kadang
kuning
O : Vital sign : Tensi 110/70 mmHg
Nadi 96x/menit
RR 20x/menit
Temperatur 36,4C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : terpasang stoma bag, mucosa usus
oedem, produksi lendir sedikit dan
masih bau, fecal mulai padat warna
coklat kekuningan.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
-
10
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease post op.Sigmoidectomy
Planning
Diet nasi TKTP
Putih telur 5-6 butir / hari
Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr
Inj. Metronidazole 3 x 500mg
FOLLOW UP (7 Februari 2015)
S : nyeri perut berkurang, usus bengkak, BAB mulai padat dan
banyak, warna coklat kadang kuning
O : Vital sign : Tensi 120/80 mmHg
Nadi 90x/menit
RR 18x/menit
Temperatur 36,9C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : terpasang stoma bag, mucosa usus
oedem, fecal mulai padat warna coklat
kekuningan.
-
11
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease post op.Sigmoidectomy
Planning
Diet nasi TKTP
Putih telur 5-6 butir / hari
Per oral : Cefixime 2 x 100mg
Metronidazole 3 x 500mg
Edukasi cara penggantian stoma bag :
Kantong harus segera diganti bila fecal sudah mulai penuh
mengisi kantong stoma.
Menjaga higienitas mucosa usus yang berada di luar (pada
stoma).
FOLLOW UP (8 Februari 2015)
S : nyeri perut berkurang, usus bengkak, BAB mulai padat dan
banyak, warna coklat kadang kuning
O : Vital sign : Tensi 110/70 mmHg
Nadi 94x/menit
RR 18x/menit
Temperatur 36,6C
Kepala : A / I / C / D : - / - / - / -
Leher : Tidak ada pembesaran KGB dan thyroid
Thorax : Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
-
12
Perkusi : Ka: sternal line D ;
Ki: midclavicular line S
Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : Normochest, gerak napas simetris
Palpasi : Gerak nafas simetris
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Ves/Ves , Wheezing -/-, Ronkhi -/-
Abdomen :
(Status lokalis) Inspeksi : terpasang stoma bag, mucosa usus
oedem, fecal mulai padat warna coklat
kekuningan.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat , tidak ada edema
Collumna vertebra : Dalam batas normal
Assessment
Diagnosa kerja : Hirschsprung disease post op.Sigmoidectomy
Planning
Per oral : Cefixime 2 x 100mg
Metronidazole 3 x 500mg
Pasien KRS
-
13
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
1.1 Anatomi Intestinum Crasum
Intestinum crasum atau usus besar memiliki panjang sekitar 1,5
meter dengan diameter sekitar 6 cm, terdiri dari cecum yang
merupakan bagian awal pada usus besar dan merupakan tempat
bermuara usus halus, appendix, colon ascendens, colon
transversum, colon descenden, colon sigmoid, rectum dan anal
kanal yang merupakan bagian akhir anus. Sebagian besar
reabsorpsi air terjadi pada colon ascendens. Pembentukan feses
terjadi pada colon descenden dan colon sigmoid lalu
berakumilasi pada rectum sebelum defekasi (Moore, 2007).
Gambar 1.1 Anatomi intestinum crasum (Davis, 2007)
-
14
1.1.1 Cecum dan Appendix
Cecum merupakan bagian yang pertama pada intestinum
crasum yang berlanjut menjadi colon ascendens. Cecum dan
appendix terletak pada abdomen kuadran kanan bawah, dibatasi
dengan fossa iliaca inferior yang merupakan tempat penyambungan
akhir dari illeum dengan cecum. Ukuran cecum panjang 6cm dan
lebar 7,5 cm. Cecum terletak 2,5 cm dari ligamentum inguinal dan
cecum dibungkus oleh peritonemum. Penyerapan elektrolit dan air
banyak terjadi pada cecum dan yang juga terjadi pada colon
(Gray,2005).
Appendix berbentuk seperti cacing yang melekat pada dinding
posteromedial cecum. Letaknya 2cm dari illeocecal junction dan
arahnya bervariasi umumnya retrocecal. Appendix terletak pada
pertemuan tiga taenia coli yaitu mesocolica, omental, dan libera
(Moore,2007). Ukuran appendix 2-20 cm (Davis, 2007).
1.1.2 Colon Ascendens
Colon ascendens melintas dari caecum ke arah kranial pada
sisi kanan kavitas abdominalis menuju hepar, dan membelok ke kiri
sebagai flexura coli dextra. Colon ascendens terletak di
retroperitoneal. Peritonium di sebelah kanan dan kiri colon
ascendens membentuk fossa paracolica. Colon ascendens dan
flexura coli dextra mendapat suplai darah dari melauli arteri ileocolica
dan arteri colica dextra dan peredaran darah balik melalui vena
ileocolica dan vena colica dextra. Saraf untuk colon ascendens
berasal dari plexus mesentericus superior (Moore, 2007).
1.1.3 Colon Transversum
Colon transversum merupakan bagian intestinum crassum
yang terbesar dan paling mobile. Bagian ini melintasi abdomen dari
flexura coli dextra ke flexura coli sinistra, dan membelok ke arah
kaudal menjadi colon descenden. Flexura coli sinistra terletak pada
-
15
bagian kaudal ren sinister. Mesocolon transversum merupakan
mesenterium yang paling mobile, sehingga letak colon transverum
dapat berubah-ubah. Biasanya colon transversum tergantung ke
bawah sampai setinggi anulus umbilicalis, bahkan pada orang yang
tinggi dan kurus colon transversum dapat sampai ke pelvis. Colon
transversum mendapat suplai darah terutama dari melauli arteri
colica media dan peredaran darah balik melalui vena mesenterica
superior. Saraf untuk colon transversum berasal dari plexus
mesentericus inferior (Moore, 2007).
1.1.4 Colon Descenden
Colon descenden melintas secara retroperitoneal dari flexura
coli sinistra ke fossa iliaca sinistra, kemudian berubah menjadi colon
sigmoid. Pada lintasannya ke kaudal, colon melewati tepi lateral ren
sinister. Colon sigmoid merupakan bagian usus yang berbentuk
huruf S dengan panjang yang bervariasi, menghubungkan colon
descenden dengan rectum. Colon sigmoid meluas dari tepi pelvis
sampai ke segmen sacrum ketiga untuk berubah menjadi rectum.
Permulaan rectum ditandai dengan hilangnya taenia coli.
Rectosigmoid junction terletak kira-kira 15 cm dari anus. Arteri colon
descenden disuplai oleh arteri coli sinistra dan arteri sigmoidea
superior. Vena mesenterica superior membawa darah balik dari
colon descenden dan colon sigmoid. Persarafan simpatis colon
descenden dan colon sigmoid berasal dari truncus simpaticus bagian
lumbal dan plexus hipogastrikus superior. Sedangkan persarafan
parasimpatisnya berasal dari nervus splanicus pelvic (Moore, 2007).
1.1.5 Rectum
Rectum berawal mulai dari ventral vertebra S3 lalu mengikuti
lengkung os.sacrum dan os.coccyx, dan berakhir di sebelah
ventrocaudal ujung os.coccyx dan beralih menjadi canalis analis.
Bagian akhir rectum yang melebar ialah ampulla recti yang
-
16
menopang dan menyimpan massa tinja sebelum dikeluarkan
sewaktu defekasi. Rectum berbentuk S dan memiliki tiga lengkung
yang tajam sewaktu mengikuti lengkung sacro-coccygeal. Bagian
akhir rectum membelok tajam ke dorsal (lengkung anorektal) untuk
beralih menjadi canalis analis. Pada masing-masing dari ketiga
bagian cembung yang terjadi pelipatan karena lengkung-lengkung
tersebut terdapat pelipatan (plica transversa recti) yang terdiri dari
lapis mukosa dan submukosa dan hampir seluruh lapis otot sirkular
dinding rectum (Moore, 2007).
1.1.6 Sfingter Anal
Sfingter anal terdiri dari otot polos dan otot lurik yang
membentuk saluran anal. Otot polos sfingter anal interna terletak
secara instrinsik pada dinding usus dan menempati dua pertiga distal
saluran anal, sebagian besar terletak pada bagian distal dari linea
dentata. Otot tersebut merupakan penebalan dari muskulus sirkular
yang diperkuat oleh muskulus longitudinal pada bagian luarnya.
Sfingter anal merupakan lingkaran otot yang memanjang dan
mengelilingi katup anal (anal valves) sampai orifisium anal.
Persarafan rectum dan anus berasal dari cabang anterior
saraf sakralis ke 2, 3, dan 4. Persarafan preganglion ini membentuk
2 saraf erigentes yang memberikan cabang langsung ke rectum dan
berlanjut sebagai cabang utama ke pleksus pelvis. Di dalam rectum,
serabut saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach.
Persarafan simpatik berasal dari dalam ganglion lumbal ke 2, 3, 4,
dan pleksus praaorta. Persarafan ini bergabung pada kedua sisi
membentuk pleksus hipogastrikus di depan vertebral lumbal 5 dan
berlanjut ke arah posterolateral sebagai perserafan presakral yang
bersatu dengan ganglion pelvis pada kedua sisi (Moore, 2007).
-
17
1.2 Dinding Usus
Dinding usus terdiri dari dua lapisan otot polos. Lapisan terluar
tersusun dari sel-sel yang memanjang sepanjang usus membentuk
susunan lapisan otot polos longitudinal. Lapisan sel-sel yang lebih
tebal, yang berada di dalam otot longitudinal membentuk lapisan otot
polos sirkular. Di antara dua lapisan otot tersebut terdapat Pleksus
Myenterikus, yaitu suatu pleksus ganglion sel saraf yang telah
berkembang baik. Pada sisi lumen dari lapisan otot polos sirkular
adalah lapisan submukosa, yang mengandung jaringan penghubung,
kelenjar, pembuluh darah kecil, serta ganglion pleksus yang kedua
yaitu Pleksus Submukosa. Lapisan otot tipis memisahkan lapisan
submukosa dengan mukosa. Mukosa dipersarafi oleh serabut saraf
sensorik dari sel-sel saraf pleksus. Sel-sel enter-endokrin terlibat dalam
kontrol fungsi usus yang umumnya ditemukan pada tepi mukosa
(Gray,2005).
Diambil dari: Guyton & Hall, 2007. Bab 62. Hal.812.
1.2.1 Sel Otot Polos
Sel otot polos merupakan sel panjang tipis dengan inti sel besar.
Sel-sel tersebut dihubungkan melalui celah penghubung untuk
-
18
mengoperasikan unit mekanis fungsional yang lebih besar. Stimulus
elektrik dapat menyebar diantara sel-sel melalui celah penghubung,
menyebabkan bagian-bagian otot bekerja sebagai unit satuan. Tingkat
aktivitas muskular tergantung pada aktivitas myogenic intrinsik, seperti
pada neural. Gelombang elektrik pelan bertanggung jawab atas kontraksi
ritmis pada otot. Faktor yang memicu gelombang lambat tersebut adalah
jaringan sel-sel pacemaker yang disebut Interstitial Cells of Cajal
(Gray,2005).
Lapisan otot polos usus
Diambil dari: http://en.wikipedia.org/wiki/Human_gastrointestinal_tract
Pada otot polos usus, terbentuk dua lapisan otot, yaitu: otot longitudinal
dan otot sirkular. Kedua lapisan tersebut bersama menyebabkan gerak
gelombang peristaltik. Kontraksi sirkular menyebabkan segmentasi
sementara kontraksi lapisan longitudinal menyebakan kontraksi seperti
gelombang (Gray, 2005).
1.2.2 Sistem Saraf Enterik (ENS)
ENS merupakan sistem neuron dan sel-sel pendukung yang
terdapat dalam dinding saluran pencernaan. ENS bekerja sendiri serta
dipengaruhi oleh saraf simpatik dan parasimpatik yang dapat
mempengaruhi motilitas usus melalui saraf enterik. Badan sel neuron
http://en.wikipedia.org/wiki/Human_gastrointestinal_tract -
19
dikelompokan bersama dalam ganglia. ENS memiliki dua ganglion
pleksus, yaitu: Myenterikus dan Submukosa. Pleksus Myenterikus
(Auerbach) terletak di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal saluran
pencernaan, mulai dari esofagus hingga anus. Pleksus submukosa dibagi
menjadi dua pleksus yang berbeda: pleksus submukosa dalam (Meissner)
berada di bawah langsung muskularis mucosae dan pleksus submukosa
luar (Schabadasch atau Henle) berdekatan secara langsung dengan
lapisan otot sirkular. Pleksus submukosa tidak terdapat pada esofagus
dan lambung, hanya terdapat pada usus. Topografi ini memiliki relevansi
yaitu pleksus myenterikus utamanya mengatur fungsi motor sedangkan
pleksus submukosa utamanya terlibat dalam kontrol aliran darah, sekresi,
dan absorpsi. Densitas syaraf bervariasi antara ganglia myenterikus dan
submukosa. Umumnya, ganglia myenterikus lebih besar bila dibandingkan
ganglia submukosa. Saraf ENS walaupun mengelompok ke dalam
ganglia, tidak membentuk nuclei yang sama secara morfologi (Gray,
2005).
Sistem Saraf Enterik
Diambil dari: www.nature.com
http://www.nature.com/ -
20
2 FISIOLOGI
Persarafan simpatik dan parasimpatik pada rectum dan
saluran anal didapat melalui ganglion pleksus Auerbach dan
Meissner, yang akan mengatur peristaltik dan tonus sfingter anal
internal. Serabut saraf simpatik merupakan inhibitor dinding
usus dan motor sfingter anal internal, sedangkan serabut saraf
parasimpatis merupakan motor dinding usus dan inhibisi dari
sfingter. Sistem saraf parasimpatik juga merupakan persarafan
sensorik untuk rasa atau sensasi distensi rectum.
Saat keadaan istirahat, lumen saluran anal akan menutup
akibat puborectal sling yang terletak di sebelah kranial dari katup
anal (linea dentata) dan oleh tonus istirahat dari sfingter anal
eksterna dan interna. Peningkatan tekanan pada bagian kranial
saluran anal akan di deteksi oleh reseptor regangan pada sleeve
and sling complex. Peristalsis yang kuat akan menimbulkan
regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat gerakan
peristalsis tersebut, diperlukan kontraksi yang kuat yang harus
dibantu secara sadar untuk menimbulkan kontraksi sling dan
sfingter anal eksternal. Mekanisme sleeve and sling dapat
membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun
gabungan, juga dapat mengeluarkan salah satu tanpa
mengeluarkan yang lain. Setelah menilai isi, sling akan
mengubah bentuk bolus sehingga dapat melalui anus.Sfingter
anal internal merupakan bagian akhir otot pendorong yang
secara aktif mengeluarkan feses atau udara melalui anus.
Serabut otot ini, terdiri atas gabungan otot sirkular dan
longitudinal yang membantu peristalsis di saluran anal sampai ke
orifisium. Bagian longitudinal membantu peristalsis di seluruh
saluran anal sampai ke orifisium (Guyton, 2007).
-
21
3. HIRSCHSPRUNG DISEASE
3.1 Definisi
Suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik yang
ditandai oleh tidak adanya sel ganglion di pleksus myenterikus
(Auerbachs) dan submukosa (Meissners) yang mengakibatkan
obstruksi fungsional (Behrman, 2007).
3.2 Epidemiologi
Prevalensi terjadinya Hirschsprung diperkirakan terjadi pada 1
dalam 5000 kelahiran. Di Asia tingkat kejadian Hirschsprung
diperkirakan terjadi pada 2,8 dalam 10.000 kelahiran. Anak laki-
laki lebih banyak mengalami Hirschsprung dibandingkan dengan
wanita dengan resiko 5:1. Insiden tertinggi Hirschsprung terjadi
pada orang Asia dengan frekuensi 2,8 dalam 10.000 kelahiran.
Insiden tinggi berikutnya dimiliki oleh orang Afrika-Amerika
dengan frekuensi kejadian 2,1 dalam 10.000 kelahiran. Insiden
pada anak laki-laki non kulit putih sebesar 3,76 dalam 10.000
kelahiran (Keith, 2008).
3.3 Klasifikasi
Dengan internal anal sfingter sebagai batasan, pasien
Hirschsprung diklasifikasikan menjadi 4, yaitu (Kaneshiro,2011) :
Klasifikasi Hirschsprung Keterangan
Segmen Klasik Segmen aganglionik tidak
muncul melewati sigmoid
yang lebih atas.
Segmen Panjang Aganglionik di splenic flexure
atau colon transversus
Total Colonic
Aganglionosis
Aganglionik berada di colon
dan segmen kecil ileum
terminalis
Total Intestine
Aganglionosis
Tidak adanya sel-sel ganglion
dari duodenum hingga rectum
-
22
3.4 Etiologi
A. Teori Abnormalitas Migrasi Neural Crest.
Sel ganglion enteric berasal dari neural crest. Pada
perkembangan yang normal. Neuroblast akan menjadi usus kecil
pada minggu ke-7 kehamilan. Dan akan menjadi usus besar
pada minggu ke-12 kehamilan. Salah satu kemungkinan
penyebab Hirschsprung adalah kegagalan migrasi neuroblast ke
arah distal usus halus (Lee,2012).
Penyebab lainnya adalah kemungkinan migrasi neuroblast
normal tetapi neuroblast gagal untuk bertahan, proliferasi atau
berdifferensiasi pada bagian distal. Kemungkinan hal ini
disebabkan adanya distribusi abnormal dari komponen yang
berperan untuk perkembangan dan pertumbuhan syaraf, yaitu:
fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan
neurotrophic factors (Yamada, 2007).
B. Teori Abnormalitas Genetik
Lama diketahui jika Hirschsprung mungkin berhubungan
dengan genetik. Sekitar 10% anak mempunyai riwayat keluarga
dengan Hirschsprung. Hirschsprung biasa terjadi secara
sporadic, gen dominan maupun resesif dalam keluarga. Kelainan
genetik telah diidentifikasi pada banyak gen yang mengkode
protein pada jalur sinyal RET (RET, GDNF dan NTN) dan
semuanya terlibat pada jalur receptor endothelin (EDN) tipe B.
Mutasi yang umum terjadi adalah mutasi pada gen RET (7-35%
kasus), gen EDN tipe B (7% kasus), dan gen EDN3 (
-
23
gastrointestinal merupakan hal yang paling umum terjadi, diikuti
dengan sistem syaraf pusat dan abnormalitas genitourinary
(Lee,2012).
Terdapat beberapa gen familial yang diketahui berhubungan
dengan Hirschsprung. Gen itu terdiri atas RET protooncogen,
gen Endothelin familial dan beberapa lainnya yang masih dalam
penelitian (Lee, 2012).
i. RET protooncogen
RET protooncogen mengkode reseptor tyrosine
kinase. Mutasi pada gen ini diketahui sebagai penyebab
multiple endocrine neoplasia syndrome type 2, dan sekarang
ini, mutasi ini juga berhubungan dengan beberapa kasus
Hirschsprung. Mutasi ini ditemukan pada 17%-38% anak
dengan kelainan segmen pendek dan 70-80% dengan
kelainan pada segmen panjang (Yamada, 2007).
Pada penelitian denga menggunakan tikus dengan
RET protooncogen yang dihilangkan tampak adanya
kelainan perkembangan ginjal dan terdapat panintestinal
aganglionosis. Terdapat juga beberapa gen yang mengkode
RET ligan, termasuk glial cell line derived neurotrophic factor
(GDNF) dan neurturin. Tikus dengan GDNF dan neurturin
yang dihilangkan tampak adanya sel aganglion yang
abnormal dan pada kedua mutasi GDNF dan neurturin juga
ditemukan adanya hubungan abnormalitas RET pada jumlah
yang kecil pada pasien Hischsprung (Yamada, 2007).
ii. Gen Endothelin Familial
Gen Endothelin familial merupakan penyebab utama
yang dicurigai berhubungan dengan Hirschsprung.
Endothelin B-receptor dan ligand, serta endothelin 3
merupakan hal penting untuk perkembangan enteric nervous
system, sama pentingnya pada sel yang berasal dari neural
-
24
crest lainnya. Kombinasi aganglion dan piebaldism
(disebabkan oleh abnormalitas melanosit) tampak pada
penelitian dengan menggunakan tikus yang gen
endothelialnya dihilangkan. Kombinasi ini tampak pada
kelainan tuli kongenital (Waardenburg-Shah syndrome) yang
menunjukan adanya abnormalitas system endothelin.
Diperkirakan sekitar 3% sampai 7% kasus Hirschsprung
berhubungan dengan gen familial (Yamada, 2007).
iii. Gen lainnya
Gen lain yang diduga berhubungan adalah SOX-10
(transcriptional modulator). Gen ini ditemukan bermutasi
pada penelitian tikus dengan aganglion, dan mutasi pada
gen ini juga ditemukan pada jumlah kecil anak dengan
Waardenburg-Shah syndrome. Gen lainnya yang juga
tampak pada sebagian kecil anak dengan Hirschsprung
adalah SIP1 yang mengkode untuk transkripsi faktor Smad
interacting protein1.
Anak dengan kelainan gen ini juga akan mempunyai
kelainan retardasi mental, microcephaly, dan kelainan bentuk
wajah(Yamada, 2007).
3.5 Patologi
Observasi pada sel otot polos usus besar aganglionik, tidak
didapatkannya aktivitas listrik pada penelitian elektrofisiologi
yang menunjukan komponen myogenik pada perkembangan
Hirschsprung. Abnormalitas sel interstisial Cajal, sel pacemaker
yang menghubungkan syaraf enterik dan otot polos usus, juga
merupakan faktor yang berperan pada penyakit Hirschsprung
(Oldham, 2005).
Tiga plexus syaraf yang yang menginnervasi usus, yaitu:
submucosal (Meissnerr), intermuscular (Auerbach), dan plexus
-
25
mukosa yang kecil. Ketiga plexus ini berintegrasi dan
berhubungan dengan semua komponen fungsional usus, yaitu:
absorbsi, sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas normal terutama dibawah kontrol neuron intrinsik.
Fungsi usus masih tetap adekuat meskipun kehilangan
persyarafan ekstrinsik. Ganglia ini mengkontrol kontraksi
maupun relaksasi otot polis dengan relaksasi lebih dominan.
Ekstrinsik kontrol utamanya melewati serat kolinergik dan
adrenergik. Serat kolinergik berperan pada kontraksi dan serat
adrenergik berperan pada inhibisi (Oldham, 2005).
Pada pasien Hirschsprung, sel ganglion tidak ada sehingga
menyebabkan peningkatan persarafan ekstrinsik usus.
Persarafan sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali
dibandingkan persarafan normal. Sistem adrenergik (eksitatory)
lebih dominan dibanding sistem kolinergik (inhibitori),
menyebabkan peningkatan pada tonus otot polos. Dengan
hilangnya saraf intrinsik pada enterik, peningkatan tonus tidak
sejalan dan menyebabkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot
polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan obstruksi
fungsional (Oldham, 2005).
Segmen aganglionic terbatas pada rectosigmoid pada 75%
pasien, 10% lainnya tidak didapatkan ganglion sel pada seluruh
colon. Aganglion pada seluruh usus jarang terjadi. Pada
pemeriksaan histologi didapatkan tidak adanya plexus Meissner
dan Auerbach dan didapatkan hipertrofi serabut syaraf dengan
konsentrasi tinggi asetilkolinesterase antara lapisan muskular
dan submukosa (Oldham, 2005).
3.6 Gejala Klinis
Terdapat tiga karakteristik yang umumnya terdapat pada
Hirschsprung disease, yaitu: neonatal bowel obstruction, chronic
constipation, dan enterocolitis (Yamada, 2007).
-
26
A. Neonatal Bowel Obstruction.
Sekitar 50%-90% anak dengan Hirschsprung menunjukan
distensi abdomen dan vomit selama periode neonatal. Secara
khusus terdapat perlambatan saluran meconium, dimana 95%
pada bayi normal keluar meconium pada 24 jam pertama
setelah kelahiran, kurang dari 10% anak dengan Hirschsprung
dapat mengeluarkan meconium pada periode itu. Riwayat
prenatal dengan obstruksi intestinal jarang ditemukan, kecuali
anak dengan total colonic disease. Biasanya, obstruksi colon
distal sangat parah dan dapat menyebabkan perforasi caecal.
Foto polos radiologi biasanya menujukan dilatasi lumen usus
pada rongga abdomen. Diagnosis banding pada gambaran ini
termasuk semua kasus neonatal obstruksi usus distal, seperti:
jejunoileal atresia, meconium ileus atau meconium plug
syndrome, high anorectal malformasi (Pratignyo, 2014).
B. Konstipasi Kronik
Beberapa anak dapat menunjukan gejala konstipasi kronik
mulai periode neonatal sampai tahap perkembangan
selanjutnya. Umumnya, onset konstipasi terjadi saat berhenti
minum air susu ibu. Pada kebanyakan anak tampak adanya
kelainan segmen pendek setelah periode neonatal tetapi
riwayat ini juga dapat terjadi pada anak dengan kelainan
segmen panjang dan juga dapat melibatkan kelainan pada
seluruh colon, terutama pada anak dengan air susu ibu
eksklusif (Pratignyo, 2014).
Karena konstipasi sering terjadi pada anak-anak maka
Hirschsprung susah dibedakan dengan penyakit lain. Gejala
klinis yang mendukung adanya Hirschsprung adalah
kegagalan mengeluarkan meconium dalam 48 jam setelah
kelahiran, kegagalan perkembangan, distensi abdomen.
Beberapa klinisi juga melakukan pemeriksaan untuk
-
27
mengetahui kekuatan sfingter anal pada pemeriksaan colok
dubur, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dipercaya (Pratignyo,
2014).
C. Enterocolitis
Enterocolitis tampak adanya gejala: demam, distensi
abdomen dan diare. Sekitar 10% anak dengan Hirschsprung
mempunyai gejala enterokolitis dan karena penyakit ini
umumnya menyebabkan konstipasi maka diganosis dengan
enterocolitis sering kali terlewatkan. Pada kebanyakan kasus
curiga dengan Hirschsprung dapat ditegakan jika didapatkan
riwayat kegagalan mengeluarkan meconium dan terdapat
gejala obstruksi intermitten (Pratignyo, 2014).
Hubungan Hirschsprung dengan Anomali dan Syndrome
Hirschsprung dapat berhubungan dengan anomali lainnya
secara luas seperti malrotasi, kelainan genitourinary, kelainan
jantung bawaan, kelainan ecktremitas, bibir sumbing, hilangnya
pendengaran, retardasi mental, dan kelianan tubuh lainnya yang
berhubungan dengan kelainan kromosomal dan genetik.
Hirschsprung harus dicurigai pada anak-anak dengan konstipasi
atau tampak adanya obstruksi neonatal (Oldham, 2005).
3.7 Diagnosis
A. Radiologi
Langkah pertama diagnosis pada bayi yang baru lahir dengan
obstruksi usus distal adalah dengan water soluble contrast enema
yang biasanya dapat menyingkirkan intestinal atresia dan
meconium ileus, dua hal yang mirip dengan Hirschsprung. Pada
anak dengan Hirschsprung, kontras enema akan menunjukan
zona transisi antara bagian normal dengan bagian yang
aganglion. Tetapi, karena hanya 75% neonatus dengan
-
28
hirschsprung akan tampak zona transisi, tidak adanya zona
transisi tidak dapat menyingkirkan diagnosa Hirschsprung. Pada
anak yang lebih dewasa dengan Hirschsprung, tidak adanya zona
transisi lebih sering terjadi, tetapi mungkin terjadi karena segmen
aganglionik yang sangat pendek. Penemuan lain dengan kontras
enema yang mendukung Hirschsprung disease adalah
rectosigmoid index (rasio diameter rectal/ diameter sigmoid)
kurang dari 1.0 dan retensi barium pada 24 jam post-evakuasi
kontras (Yamada, 2007)
Pada Total Colonic Aganglionosis jarang terjadi dan sering sulit
untuk mendiagnosa, dimana colon tidak secara signifikan
menyempit. Jika reflux barium ke ileum yamng membesar dapat
teramati, maka diagnosis dapat dipertimbangkan. Katup ileocaecal
dapat mencegah pengisian ileal. Pada Barium enema menunjukan
penyempitan menyeluruh pada colon tanpa adanya tampilan
spesifik. Tidak ada kontras yang dapat melewati katup ileocaecal
sehingga diagnosa dibuat saat operasi (Oldham,2005)
A. Hirschsprung disease B. Normal Barium enema
D diambil dari: Textbook of Gastroenterology
-
29
Pada situasi ini Hirschsprung tidak dapat dibedakan
secara jelas dengan atresia ileal atau ileus meconium, dan
diagnosis total colonic Hirschsprung dapat dibuat dengan
pemeriksaan histologi spesimen operasi beku (Oldham, 2005).
Total Colonic Hirschsprung disease Diambil dari: drclintonb.files.wordpress.com
B. Anorectal Manometry
Pemeriksaan anorectal monometry dalam mendiagnosis
Horschsprung melalui identifikasi rectoanal inhibitory reflex,
tampak pada orang normal tapi tidak ada pada sebagian besar
anak dengan Hirschsprung. Meskipun anorectal manometry dapat
terjadi pada bayi yang baru lahir, tetapi kebanyakan tidak ada
pada usia ini dan pemeriksaan ini tidak dapat dipercaya. Pada
anak yang lebih dewasa, pemeriksaan ini secara teknis lebih
mudah, tetapi dapat menunjukan hasil false-positive karena
adanya masking respon relaksasi karena kontraksi dari sfingter
anal axternal (Oldham, 2005).
-
30
Anorectal Inhibitory reflex. Distensi rectum dengan balon
menujukan adanya reflex relaksasi pada sfingter internal dan
eksternal pada normal individu. Pada anak dengan Hirschsprung
tidak dada reflex relaksasi.
Diambil dari: Principle and Practice Pediatrics Surgery
C. Biopsi Rectal
Diagnosis definitive pada Hirschsprung berdasarkan pada
evaluasi histologic dari rectal biopsi, tampak adanya atau tidak
adanya sel ganglion dan tampak adanya hipretrofi syaraf. Biopsi
biasanya dilakukan 1 cm sampai 2 cm di atas linea dentata,
pengambilan terlalu distal dapat mengakinatkan false-positive
Hirschsprung karena ganglion sel dapat tidak ada secara normal
pada daerah ini. Teknik yang secara umum digunakan pada
-
31
biopsi rectal adalah suction pada daerah mukosa dan underlying
mukosa. Beberapa klinisi patologis yakin bahwa suction rectal
biopsi dengan tidak terdapatnya sel ganglion konsisten dengan
Hirschsprung. Evaluasi dari suction biopsi dapat diperjelas
dengan pengecetan untuk acetylcholinesterase, yang
mempunyai karakteristik pola pengecetan pada submukosa dan
mukosa. Pengecetan lain, seperti glial fibrillary, juga dapat
mendeskripsikan Hirschsprung, tetapi sering tidak digunakan.
Punch biopsi atau Full thickness biopsies, dengan mengambil
beberapa jaringan dan lapisan yang lebih dalam, mungkin
dibutuhkan jika suction biopsy inadekuat. Beberapa ahli bedah
lebih memilih cara ini sebagai yang pilihan pertama
(Oldham,2005).
Diambil dari: Principle and Practice Pediatrics Surgery
Hirschsprung. Pleksus Myentericus tanpa sel
ganglion.
Normal sel ganglion
-
32
3.8 Manajemen terapi
Tujuan terapi Hirschsprung terdiri dari:
I. Menghilangkan usus aganglionik dan merekonstruksi usus
dengan memberikan persyarafan yang baik pada usus
sampai dengan anus, dan menjaga fungsi sfingter tetap baik.
II. Menangani komplikasi dari Hirschsprung yang tidak
terdeteksi atau tidak tertangani (Yamada, 2007).
3.8.1 Pembedahan
Pembedahan pada Hirschsprung dilakukan setelah diagnosis
ditegakan melalui suction atau biopsi rectal. Beberapa teknik
operasi berbeda telah digunakan untuk penanganan
Hirschsprung. Terdapat 2 atau 3 tahap dalam operasi
Hirschsprung, dimana tahap pertama merupakan colostomy
yang biasanya dilakukan pada zona transisi yang diketahui
melalui biopsi seromuskular. Thap kedua dilakukan 3-12 bulan
kemudian, terdiri dari reseksi usus aganglionic dengan
anstomose coloanal. Colostomy ditutup baik melalui prosedur
pull-through selama operasi atau dilakukan kemudian sebagai
tahap ketiga (Pratignyo, 2014).
Tiga teknik yang paling sering digunakan adalah
rectosigmoidectomy yang dikembangkan oleh Swenson,
pendekatan retrorectal transanal oleh Duhamel, dan prosedur
endorectal oleh Soave. Prinsip dasar dari ketiga prosedur
tersebut adalah membawa usus ganglionik turun ke anus.
Tindakan bedah ini dikerjakan bila berat badan bayisudah cukup
( >9kg). Karena pada waktu itu megakolon dapat mengecil
mencapai ukuran colon normal. Ketiga prosedur tersebut
dilakukan dengan menggunakan teknik laparoscopy
(Pratignyo,2014).
-
33
A. Prosedur Swenson
Prosedur Swenson merupakan reseksi bagian bawah
anterior dari rectum dengan end-to-end anastomosis dengan
memotong rectum dan menarik (pull-through) usus keluar dari
anus. Beberapa publikasi telah mendokumentasikan hasil yang
bagus dengan prosedur ini, termasuk perkembangan pasien
setelah dilakukan prosedur Swenson (Pratignyo, 2014).
-
34
B. Prosedur Duhamel
Prosedur duhamel menggunakan cara dengan
meninggalkan rectum yang aganglionik dan menarik usus yang
secara normal terinervasi ke belakang rectum pada daerah
presacral. Kemudian dilakukan prosedur end-to end anastomose
dan kedua lumen digabungkan (Pratignyo, 2014).
-
35
C. Soave Prosedur
Soave prosedur (endorectal pull through) dilakukan untuk
mencegah adanya cedera pada pembuluh darah pelvis maupun
saraf, yang secara teori banyak terjadi pada teknik terdahulu,
khususnya Swenson prosedur. Operasi ini terdiri dari mucosal
proctectomy dengan menjaga rectal muscular cuff, dan colon yang
terinervasi normal ditarik, dihubungkan dengan muscular cuff dan
dianastomosis tepat diatas linea dentata. Pada awal teknik operasi
ini, usus yang ditarik dibiarkan menggantung selama beberapa
minggu dan kemudian diamputasi, setelah itu anastomosis
selesai. Modifikasi Boleys sering digunakan beberapa tahun ini
(Pratignyo, 2014).
-
36
D. Prosedur lain
Beberapa prosedur lain yang sering digunakan adalah
Rehbein prosedur dan penggunaan myectomy panjang tanpa
reseksi. Pada Rehbien operasi berkaitan dengan anastomosis
letak tinggi dibandingkan prosedur terdahulu, tetapi
perkembangan pasien menunjukan hasil yang baik pada orang
yang berpengalaman. Anak dengan segmen pendek, beberapa
ahli bedah melakukan simple myectomy, sekitar 5-6 cm ke
proximal. Meskipun telah dilaporkan memberikan hasil yang
bagus, tetapi teknik ini jarang digunakan di Amerika Utara
(Pratignyo, 2014).
Beberapa ahli bedah mendukung dilakukan preeliminary
colostomy. Hal ini dilakukan untuk mengetahui patologi definitif
dan decompresi colon yang diikuti dengan periode pertumbuhan
dan operasi rekonstruksi kemudian. Terdapat beberapa macam
teknik untuk melakukan stoma. Beberapa ahli bedah memilih
untuk membuat colostomy pada colon transversus dilanjutkan
dengan laparotomy dengan biopsi untuk menentukan zona
transisi dan melakukan teknik pull-through pada waktu yang
bersamaan. Colostomy kemudian ditutup pada tingkat ketiga.
Prosedur ini sulit dilakukan jika zona transisi berada dekat
splenic fissure karena panjang usus tidak akan cukup untuk
dilakukan metode pull-through. Secara umum, ahli bedah
melakukan laparotomy dengan biopsi pada tingkat pertama dan
melakukan colostomy di atas zona transisi. Ileostomy mungkin
dilakukan pada beberapa kasus dengan perforasi caecum dan
pada total colonic (Pratignyo, 2014).
E. Single-Stage Pull Through
Pada beberapa tahun ini, anak dengan Hirschsprung mengalami
malnutrisi, enterocolitis parah, dilatasi colon yang hebat, dan
colostomy merupakan prosedur untuk life-saving. Untuk
-
37
melakukan operasi rekonstruksi pada neonatus sangatlah sulit
dan salah satu tekniknya adalah menunggu anak tersebut lebih
besar. Prosedur standardnya adalah melakukan colostomy pada
langkah awal dan melakukan prosedur pull-through sekitar umur
1 tahun. Semakin berjalannya waktu, teknik operasi telah
berkembang dan beberapa ahli bedah melakukan operasi sesuai
berkembangnya waktu. Tetapi, teknik stoma tetap dilakukan oleh
beberapa ahli bedah anak, kecuali pada anak dengan usia yang
sudah dewasa dan tidak ada dilatasi colon proximal yang hebat
(Pratignyo, 2014).
Beberapa sumber menyarankan untuk melakukan operasi
secara satu tahap untuk menghindari morbiditas dari stoma pada
bayi. Stoma biasa dilakukan pada anak dengan enterocollitis
parah, perforasi, malnutrisi, dilatasi usus proximal yang hebat,
dan pada suatu keadaan dimana pemeriksaan penunjunag
patologi inadekuat untuk menyokong identifikasi zona transisi
pada spesimen beku (Pratignyo, 2014).
3.8.2 Pengobatan
Tujuan pengobatan Hirschsprung adalah:
A. Menanggulangi Infeksi
B. Menurunkan morbiditas
C. Mencegah komplikasi
Untuk mencapai tujuan tersebut dapat diberikan antibiotik
berupa: amoxicillin, ampicillin, gentamicin, maupun
metronidazole.
3.9 Komplikasi
1. Intraoperative dan Postoperative Awal
Komplikasi operasi Hirschsprung termasuk kelompok umum pada
komplikasi pembedahan abdominal, termasuk perdarahan, infeksi,
luka pada organ sekitar, dan resiko anastesi.
-
38
Anak yang mengalami prosedur stoma (pembukaan rongga
abdomen, untuk keperluan sistem pencernaan atau genitourinary,
sebagai tempat keluar faeces atau urine pada penyakit kanker
usus atau buli, Inflammatory Bowel Disease, atau kelainan
kongenital) dapat terjadi komplikasi striktur, retraksi, prolaps, dan
kelainan kulit. Komplikasi anastomotic, meskipun tidak umum,
dapat terjadi setelah standar pull through prosedur. Anastomotic
dapat dihindari dengan perhatian suplai darah pada usus yang
dilakukan prosedur pull through untuk meminimalkan ketegangan
anastomosis. Striktur dan retraksi pada prosedur pull-through
dapat mengakibatkan rendahnya suplai darah dan dapat terjadi
ketegangan pada daerah tersebut (Pratignyo, 2014).
2. Komplikasi lambat
Komplikasi lama yang terjadi pada anak dengan Hirschsprung
adalah gejala obstruksi, inkontinensia, dan enterocolitis. Sering
kali anak dapat mengalami kombinasi komplikasi, Insidensi
komplikasi ini bervariasi sesuai literatur, tetapi berkisar antar
50% kasus (Pratignyo, 2014).
2.1 Gejala Obstruksi
Gejala obstruksi dapat terlihat dari abdominal distensi, perut
mengembung, muntah, atau konstipasi kronik yang terus
berlanjut. Kebanyakan anak dapat mengalami gejala yang
serupa Hirschsprung seperti yang dialami mereka sebelum
mereka operasi. Pada beberapa kasus, anak akan mengalami
respon yang baik setelah pembedahan dan mereka akan
mengalami gejala obstruksi kemudian, sedangkan di lain kasus
anak tersebut tidak akan menunjukan perbaikan setelah operasi
(Pratignyo, 2014).
Terdapat 5 alasan untuk gejala obstruksi menetap setelah
dilakukan prosedur pull-through, yaitu: obstruksi mekanik,
-
39
aganglionosis yang menetap maupun didapat, kelainan motilitas
colon atau proximal usus halus,internal sfingter achlasia,
functional megacolon karena kebiasaan menahan buang air
besar (stool-holding behaviour) (Pratignyo, 2014).
Obstruksi mekanik merupakan akibat dari striktur (umumnya
terjadi setelah prosedur Swenson atau Soave) atau aganglionic
spur setelah Duhamel prosedur yang dapat terisi feses dan
menghambat usus yang dilakukan prosedur pull-through.
Prosedur Duhamel dapat terjadi komplikasi yaitu kekakuan pada
usus (kink) yang dapat menyebabkan obstruksi. Komplikasi ini
dapat dinilai dengan pemeriksaan colok dubur dan barium
enema.
Meskipun jarang, beberapa anak dapat mengalami aganglionik
yang tetap. Hal ini mungkin disebabkan oleh kelainan patologis
atau zona transisi pull-through, dan beberapa kasus terdapat
kehilangan ganglion sel setelah prosedur pull through. Sangat
penting dilakukan rectal biopsi untuk menentukan apakah ada
sel ganglion normal, dan jika tidak ditemukan, anak tersebut
harus dilakukan prosedur pull-through ulang. Hal ini dapat
dilakukan dengan tekhnik Soave atau Duhamel (Pratignyo,2014).
Telah diketahui anak dengan Hirschsprung mungkin dapat
mengalami gangguan motilitas, yang mungkin focal (biasanya
berkaitan dengan colon kiri) atau diffuse. Pada beberapa kasus,
abnormalitas ini mungkin berhubungan abnormalitas secara
histologi seperti intestinal neuronal dysplasia. Pada anak yang
menunjukan tidak adanya obstruksi mekanisdan yang
mempunyai normal ganglion sel pada rectal biopsi, pemeriksaan
untuk kelainan motilitas harus dilakukan. Pemeriksaan ini dapat
berupa pemeriksaan bentuk secara radiologi, colonic
manometry, dan laparoscopy biopsi untuk mencari tanda
intestinal neuronal dysplasia. Jika terdapat abnormalitas focal,
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi dan pull-through
-
40
ulang pada usus yang normal. Jika abnormalitas diffuse, terapi
yang disarankan adalah manajemen usus dan penggunaan
prokinetik agen (Pratignyo, 2014).
Internal sfingter achalasia berhubungan dengan
nonrelaxation internal anal sfingter pada semua anak dengan
Hirschsprung. Tetapi pada beberapa anak dapat mungkin terjadi
gejala obstruksi menetap. Secara tradisional, terapi untuk hal ini
adalah internal sfingterotomy atau myectomy, yang masih
disarankan beberapa ahli bedah.Hal lainnya dapat
dipertimbangkan penggunaan intrasfingter botulinum toxin atau
penggunaan pasta nitroglycerine yang keduanya dapat membuat
relax shincter (Pratignyo, 2014).
2.2 Inkontinentia
Ada tiga hal pada anak dengan inkontinensia yaitu:
abnormal fungsi sfingter, abnormal sensasi, atau overflow
inkintinensia karena konstipasi. Abnormal fungsi sphinter
mungkin terjadi karena cedera sfingter selama prosedur pull-
through atau karena myectomy dan sphincterotomy. Terdapat
beberapa cara untuk mengidentifikasi cedera ini termasuk
anorectal manometry, dan anal sonography (Pratignyo, 2014).
Abnormal sensai mungkin terjadi kehilangan sensai pada seluruh
rectum (dapat juga diidentifikasi melalui anorectal manometry)
atau cedera pada transisional epitel yang membedakan antara
udara, cairan, atau feses padat. Cedera ini dapat terjadi selama
pull-through, terutama jika anastomose terlalu rendah (Pratignyo,
2014).
2.3 Enterocolitis
Enterocolitis dapat terjadi setelah pembedahan. Gejala pada
enterocolitis dapat berupa demam, abdominal distention, dan
diare. Insidensi terjadinya enterocollitis post-operatif antara 17%
-
41
s/d 50%. Penyebab enterocollitis belum diketahui, namun
beberapa agen infeksius diduga sebagai penyebab, antara lain:
Clostridium diffcile atau rotavirus, tetapi hanya sedikit data yang
mendukung terjadinya spesifik patogen. Terdapat juga bukti yang
berhubungan dengan abnormalitas sistem mukosa imun sebagai
faktor predisposisi. Enterocollitis lebih sering terjadi pada anak
dengan kelainan ganglionik segmen panjang dan mereka
dengan kelainan trisomy 21 (Pratignyo, 2014).
Manajeman enterocollitis secara keseluruhan berupa
simptomatik, dan termasuk nasogastric drainase, intravenous
fluid, antibiotik spektrum luas, dan dekompresi rectum dan colon
dengan menggunakan stimulasi atau irigasi. Meminimalisasi
resiko enterocollitis dapat menggunakan pencegahan berupa
irigasi rutin atau penggunaan jangka lama metronidazole,
terutama pada anak dengan resiko tinggi berdasarkan riwayat
klinis maupun histologi. Oleh karena enterocollitis merupakan
penyebab utama kematian Hirshsprung dan dapat terjadi setelah
pembedahan, sangat penting bagi ahli bedah untuk memberikan
edukasi resiko pada komplikasi ini dan menyarankan untuk
segera kembali ke rumah sakit jika mengalami gejala yang mirip
dengan komplikasi (Pratignyo, 2014).
3.10 Diferensial Diagnosis
Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang
menyerupai penyakit Hirscshprung, antara lain:
1. Konstipasi
2. Ileus Obstruksi
3. Intestinal Motility Disorders
4. Irritable Bowel Syndrome (Lee, 2012)
http://emedicine.medscape.com/article/184704-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/178948-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/179937-overviewhttp://emedicine.medscape.com/article/180389-overview -
42
3.11 Prognosis
Semakin pendek segmen yang tidak memiliki ganglion, maka
prognosis akan semakin baik, asalkan tidak ada komplikasi.
Apabila sudah terdapat komplikasi seperti enterocolitis, maka
prognosis menjadi jelek (Pratignyo, 2014).
-
43
KESIMPULAN
Hirschsprung merupakan suatu gangguan perkembangan dari
sistem saraf enterik yang ditandai oleh tidak adanya sel ganglion di
pleksus myenterikus dan submucosa yang mengakibatkan obstruksi
fungsional. Penyakit ini diperkirakan terjadi pada 1 dalam 5000 kelahiran.
Anak laki-laki lebih banyak mengalami Hirschsprung dibandingkan dengan
wanita dengan resiko 5 :1.
Menurut etiologinya, terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya
Hirschsprung yaitu: teori abnormalitas migrasi neural crest dan
abnormalitas genetik. Pada abnormalitas migrasi neural crest
kemungkinan penyebab Hirschsprung adalah kegagalan migrasi
neuroblast ke arah distal usus halus. Sedangkan pada teori abnormalitas
genetik terdapat kelainan genetik yang dapat berhubungan dengan
riwayat keluarga baik secara dominan maupun resesif. Hirschsprung juga
sering kali terkait dengan abnormalitas kongenital dan sindrom terkait,
contohnya: Down Syndrome.
Pada Hirschsprung, sel ganglion tidak ada sehingga menyebabkan
peningkatan persarafan ekstrinsik usus. Dengan hilangnya saraf intrinsik
pada enterik, peningkatan tonus tidak sejalan dan menyebabkan
ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak
terkoordinasi, dan obstruksi fungsional. Segmen aganglionic terbatas
pada rectosigmoid pada 75% pasien, 10% lainnya tidak didapatkan
ganglion sel pada seluruh colon. Aganglion pada seluruh usus jarang
terjadi.
Terdapat tiga karakteristik yang umumnya terdapat pada
Hirschsprung disease, yaitu: bowel obstruction, konstipasi kronik, dan
enterocolitis. Selain anamnesa dan pemeriksaan fisik berdasarkan gejala
klinis tersebut, pemeriksaan penunjang dapat membantu menegakan
diagnosa Hirschsprung. Pemeriksan penunjang yanga dapat dilakukan
antara lain adalah: pemeriksaan radiologi dengan menggunakan BOF,
-
44
kontras barium enema, anorectal manometry, serta biopsi rectal sebagai
kriteria standar pemeriksaan Hirschsprung.
Tujuan terapi pada Hirschsprung adalah: untuk menghilangkan
usus aganglionik, menjaga fungsi sfingter tetap baik, dan mencegah dan
menangani komplikasi agar tidak jatuh dalam keadaan yang lebih buruk.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dapat dilakukan manajemen terapi
berupa pembedahan maupun konservatif.
Pada terapi pembedahan dikenal tiga prosedur yang sering dilakukan oleh
ahli bedah untuk mengangani Hirschsprung, yaitu: prosedur Swenson,
Duhamel maupun Soave. Ketiga prosedur ini memberikan hasil yang baik
dalam penanganan Hirschsprung. Sedangkan Terapi konservatif diberikan
untuk menanggulangi Infeksi, menurunkan morbiditas, mencegah
komplikasi.
Prognosa tergantung pada luasnya daerah aganglionik, semakin
luas daerah aanglionik maka prognosis semakin buruk. Bila pasien telah
mengalami komplikasi maka prognosisnya akan menjadi jelek.
-
45
DAFTAR PUSTAKA
Davis FA. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology.5th Ed.
Chap.16, The Degestive System. Page 385-390.
Gray, H; 2005; Anatomy of the Human Body, 20th Ed., Philadelphia:
Lea&Febriger. P. 1137-1162.
Guyton and Hall. 2007. Textbook of Medical Physiology, 11th Ed.
Elsevier. Chap.62. page 812-816.
Kaneshiro, N; 2011; Hirschsprung Disease; Washington: Adams;
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001140.htm
Lee, S. 2012. Hirschsprung Disease;
http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview
Moore, Keith L and Agur, Anne M.R, 2007. Essential Clinical Anatomy,
3rd Edition. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia
Oldham K, et al. 2005. Principles and Practice of Pediatrics Surgery
Volume 2; 4th Ed.;. P. 1348-1364
Ongkowijoyo, Y. 2011. Hirschsprung Disease.
http://www.scribd.com/doc/59720531/Refrat-Hirschprung
Pratignyo,MA. 2014. Penyakit Hirschsprung. SAP Publish Indonesia.
Tangerang.
Yamada, T, et al; 2007; Textbook of Gastroenterology Volume 2; 3rd
Ed.; Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins. P. 1917-1923
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001140.htmhttp://emedicine.medscape.com/article/178493-overviewhttp://www.scribd.com/doc/59720531/Refrat-Hirschprung
top related