kel 2 hirschsprung

34
MAKALAH HIRSCHSPRUNG UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGI OF DIGESTIVE SYSTEM Oleh : Kelompok 2 HARIS FADJAR SETIAWAN (125070218113056) INNANI WILDANIA HUSNA (125070218113028) NYOMAN ANNISA ABDULLAH (125070218113016) RISSA DEVI PUTRI KARILIA (125070218113038) TRIREZIKA DIANINGRUM (125070218113026) 1 | Page

Upload: haris-fadjar

Post on 12-Dec-2015

265 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

silhkan

TRANSCRIPT

Page 1: Kel 2 Hirschsprung

MAKALAH HIRSCHSPRUNG

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH

FUNDAMENTAL PATHOPHYSIOLOGI OF DIGESTIVE SYSTEM

Oleh :

Kelompok 2

HARIS FADJAR SETIAWAN (125070218113056)

INNANI WILDANIA HUSNA (125070218113028)

NYOMAN ANNISA ABDULLAH (125070218113016)

RISSA DEVI PUTRI KARILIA (125070218113038)

TRIREZIKA DIANINGRUM (125070218113026)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2015

1 | P a g e

Page 2: Kel 2 Hirschsprung

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya

maka kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “HIRSCHSPRUNG” tepat

pada waktunya.

Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-

kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan

kemampuan yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat

penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih

kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, oleh karena itu kritik dan saran

dari semua pihak yang bersifat membangun penulis harapkan demi mencapai

kesempurnaan makalah berikutnya.

Sekian penulis sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Kediri, 26 April 2015

Penulis

2 | P a g e

Page 3: Kel 2 Hirschsprung

DAFTAR ISI

Halaman sampul......................................................................................................1

Kata pengantar........................................................................................................2

Daftar isi..................................................................................................................3

A. Pendahuluan....................................................................................................4

1.1Latar Belakang.............................................................................................4

1.2Rumusan Masalah.......................................................................................4

1.3Tujuan..........................................................................................................5

B. Pembahasan....................................................................................................6

1.1 Definisi........................................................................................................6

1.2 Epidemiologi ..............................................................................................6

1.3 Etiologi........................................................................................................6

1.4 Klasifikasi....................................................................................................7

1.5 Faktor resiko ..............................................................................................8

1.6 Patofisiologi................................................................................................9

1.7 Manifestasi klinis ........................................................................................10

1.8 Pemeriksaan diagnostik..............................................................................11

1.9 Komplikasi..................................................................................................11

1.10. Penatalaksanaan medis ........................................................................... 12

C. Penutup............................................................................................................23

Kesimpulan........................................................................................................23

D. Daftar pustaka ................................................................................................24

3 | P a g e

Page 4: Kel 2 Hirschsprung

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan

gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal

dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit

hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada

semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana

tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan

abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi

usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu

mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus

terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul

pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick

Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald

Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863.

Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun

1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang

dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus

defisiensi ganglion.

1.2 Rumusan masalah

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang definisi hirschsprung

2. Mahasiswa mampu mengidentifikasi epidemiologi

3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi etiologi

4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi klasifikasi

5. Mahasiswa mampu menyebutkan faktor resiko

6. Mahasiswa mampu menerangkan patofisiologi

7. Mahasiswa mampu menyebutkan manifestasi klinis

8. Mahasiswa mampu menentukan pemeriksaan diagnostik

4 | P a g e

Page 5: Kel 2 Hirschsprung

9. Mahasiswa mampu memilih penatalaksanaan medis

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui dan memahami tentang hirschsprung

5 | P a g e

Page 6: Kel 2 Hirschsprung

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Definisi hirschsprung

Penyakit Hirschsprung juga disebut megakolon kongenital, biasanya

dimanifestasikan pada saat masih bayi dan disebabkan oleh tidak adanya sel

ganglion parasimpatik kongenital di dalam pleksus submukosul dan intramuskular

dari salah satu atau lebih segmen kolon.( Tambayong, 2000)

1.2Epidemiologi

Di Amerika penyakit hirschsprung mempengaruhi sekitar 1 kasus per 5.400-

7.200 bayi yang baru lahir setiap tahunnya. Sementara kejadian di seluruh dunia

yang tepat tidak diketahui, studi internasional telah melaporkan berkisar antara

sekitar 1 kasus per 1.500-7.000 bayi yang baru lahir. Data dari RSUD Kota

Semarang pada Tahun 2013 sebanyak 5 kasus dan pada tahun 2014 menjadi 3

kasus. Data dari RSUD Tugurejo Semarang pada Tahun 2013 1 kasus dan pada

tahun 2014 pada bulan januari sampai april terdapat 2 kasus (Wagner,2014)

1.3Etiologi

Penyakit Hirschsprung terjadi pada satu dari 5.000 kelahiran

1. Penyakit ini disebabkan oleh kegagalan sel ganglion untuk bermigrasi

cephalocaudally melalui pial neural selama minggu empat sampai 12

kehamilan.

2. Menyebabkan tidak adanya sel ganglion di semua atau bagian dari usus

besar. Ukuran panjang yang bervariasi dari usus besar distal tidak mampu

rileks, menyebabkan obstruksi kolon fungsional sepanjang waktu. Segmen

aganglionik biasanya dimulai pada anus dan meluas ke proksimal.

3. Penyakit segmen pendek adalah yang paling umum dan terbatas pada

wilayah rectosigmoid kolon. Penyakit segmen panjang meluas melewati

daerah ini dan dapat mempengaruhi seluruh usus. Jarang, usus kecil dan

besar yang terlibat

6 | P a g e

Page 7: Kel 2 Hirschsprung

4. Sebagian besar pasien datang pada masa bayi, dan awal diagnosis ini

penting untuk menghindari komplikasi. Dengan perawatan yang tepat,

kebanyakan pasien hidup dengan normal.

1.4Klasifikasi

Dua kelompok besar, yaitu :

1. Tipe kolon spastik

Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi

periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare.

Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul

atau kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit

kepala, lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air

besar sering meringankan gejala-gejalanya.

2. Tipe yang kedua menyebabkan diare tanpa rasa nyeri dan konstipasi yang

relatif tanpa rasa nyeri. Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan.

Yang khas adalah diare timbul segera setelah makan. Beberapa penderita

mengalami perut kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.

Berdasarkan lokasi

7 | P a g e

Page 8: Kel 2 Hirschsprung

1.4 Faktor resiko

Memiliki saudara dengan penyakit Hirschsprung, karena penyakit ini dapat

diwariskan, jika memiliki satu anak dengan Hirsprung kemungkinan anak

selanjutnya akan juga beresiko

Laki-laki, penyakit Hirschsprung lebih sering terjaid pada laki-laki

Memiliki kondisi riwayat terwaris lainnya, penyakit hirschsprung dikaitkan

dengan memiliki kondisi tertentu, seperti masalah jantung dan sindrom down.

Hal tersebut dikaitkan dengan neoplasia endokrin multipel, tipe IIB – sebuah

sindrom yang menyebabkan tumor jinak di selaput lendir dan kelenjar adrenal

( terletak di atas ginjal) dan kanker tiroid ( berada di atas leher).

8 | P a g e

Page 9: Kel 2 Hirschsprung

Intervensi Pembedahan

Resiko Cidera

Fatigue

Lemas, lemah

Intake nutrisi tidak adekulat

Nutrisi ke otak menurun

Nekrosi jaringan

Hipoksia

Penurunan Kesadaran

Muntah hijau, berwarna akibat dari

warna empedu

Ketidakefektifan Nutrisi : < Keb. Tubuh

Anoreksia

Merangsang reflek gag

Mual, Muntah

Makanan naik ke esofagus

Makanan dalam duodenum naik ke

lambung

Penekanan akibat distensi & gangguan

motilitas usus

Spingter oddi mengalami relaksasi

akibat saraf nonandregenik

Cairan empedu bercampur dg dalam

usus duodenum

Resiko asidosis metabolik

Cairan imbalance, sehingga asam basa juga tidak seimbang

Penurunan cairan & elektrolit

Gangguan Rasa Nyaman

Gangguan pola nafas

Resiko Infeksi

Nyeri Akut (Post-

Operasi)

Koping keluarga tidak efektif

(Kecemasan Keluarga)

Perut bayi kembung dan malas konsumsi cairan

sehingga muntah

Distensi Abdomen & Perut membesar

Konstipasi

Obstruksi kolon distal

Obstruksi kolon proksimal

Dehidrasi

Ketidakseimbangan cairan & elektrolit

Absorbsi air inadekuat

(berlebihan)

Feses banyak tertimbun dan lama berada di kolon

Feses mengeras

HISPRUNG (MEGAKOLON)Terdapat akumulasi yang berlebihan pada usus Obstruksi mekanisme usus dan distensi saluran cerna

Mempengaruhi saraf simpatis dan parasimpatis yang mediator NO (Nitrogen Oxide) terganggu

Ketidakadekuatan motilitas usus

Saraf Parasimpatik (N=Relaksasi)

Saraf simpatis (N=Kontraksi) Berkurangnya

pengiriman sinyal ke otak

Asorbsi makanan tidak adekuat dan terdaat penahanan pada sfingter ani Sfingter ani mengalami

kontraksi

Mencegah keluarnya

feses dari usus besar

Faktor Genetik (Familial Congenital Defect)

Terjadi kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus

Sel ganglion di dinding kolorektal tidak ada/mengalami penurunan jumlah Submukosa (Meissner)

Muskularis (Aorbach)Mukosa

Empedu mengeluarkan cairan melalui spincter

oddi

Cairan empedu keluar ke duodenum

1.5Patofisiologi

9 | P a g e

1.5 PATOFISIOLOGI HISPRUNG

Page 10: Kel 2 Hirschsprung

1.6Manifestasi klinis

Gejala klinis yang menunjukan penyakit Hirschsprung umumnya muncul mulai saat

lahir dengan terlambatnya pengeluaran mekonium ( normal 48 jam setelah lahir).

Manifestasi pada bayi, terlihat abdomen besar, konstipasi, muntah. Gejala klinik

tergantung derajar aganglionosis atau pembesaran usus. Individu seringkali kurus,

anemil dan jarang defekasi. Sering sekali di sertai kelainan lain seperti sindrom

Down (Tambayong. 1999).

Beberapa manifestasi klinis klasik/ umum yang timbul pada penyakit hirschsprung

yaitu :

Obstruksi usus pada neonatal, dalam waktu 24 jam/ beberapa minggu setelah

lahir bayi akan sakit. Seringkaliperut bayi buncit, tidak dapat mentolerir

makanan dan muntah berulangkali dengan karakteristik warna kuning atau

hijau (empedu). Demam, lesu dan tampak mengalami dehidrasi. ( sekita 75%

anak-anak dengan penyakit hirschsprung memiliki gejala distensi abdomen

dan 25% memiliki gejala muntah empedu).

Perforasi usus pada neonatal, gejala termasuk distensi abdomen, susah

makan, muntah , lesu dan kurangnya buang air besar, kebanyakan perforasi

usus pada penyakit hirschsprung terjadi pada usia 2 bulan, dan sekitar 50%

anak dengan penyakit ini kehilangan sel-sel saraf setidaknya sedengah dari

usu besar.

Diare Berdarah pada neonatal, anak dengan penyakit hirsprung beresiko

tinggi mengalami peradangan usus/ penyakit hirschsprung dengan

enterocolitis. Diare yang sering di sertai dengan darah dan distensi abdomen

dan demam. Karena diare pada bayi baru lahir umumnya jarang terjadi ,

sehingga diare berdarah pada bayi baru lahir meningkatkan kecurigaan

kemungkinan penyakit hirschsprung.

Sebelit kronis, sembelit merupakan gejala yang fisiologis pada sebagian

anak, tetapi gejala sembelit yang tidak berubah setelah pengobatan harus di

curigai terutama jika terjadi pada beberapa bulan setelah lahir dan sembelit di

sertai dengan muntah, distensi abdomen atau pertumbuhan bayi yang buruk.

Enterokilitis, pengenalan dini enterokolitis sangat penting untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas.

10 | P a g e

Page 11: Kel 2 Hirschsprung

1.7 Pemeriksaan diagnostik

- Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat

penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.

- Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan

dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.

- Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada

penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.

- Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.

(Ngatsiyah, 1997 : 139)

- Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

- Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.

- Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

- Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan

eksterna.

(Betz, 2002 : 197).

1.8Komplikasi

Komplikasi angka panjang:

- Enterocolitis

- Sembelit

- Obstruksi usus

- Inkontinensia

- Strictucess

- Kekurangan gizi

- Syok hipovolemik

- Kematian

(Prem,2008)

1.9Penatalaksanaan medis

11 | P a g e

Page 12: Kel 2 Hirschsprung

Umum

Manajemen bayi sampai saat operasi terdiri dari lavage kolon setiap hari untuk

mengosongkan usus. Larutan normal saline harus digunakan. Jika jumlah obstruksi

ada pada neonatus, kolostomi sementara atau ileostomy diperlukan untuk

dekompresi usus besar.

Intervensi Bedah

Pengobatan bedah melibatkan menarik segmen ganglionik yang normal melalui

anus. Namun, operasi korektif biasanya ditunda sampai bayi berusia setidaknya 10

bulan dan lebih mampu bertahan. Persiapan usus dengan memberikan antibiotik,

seperti neomycin atau nistatin, diperlukan sebelum operasi. Teknik bedah yang

digunakan didasarkan pada tiga prosedur korektif utama: Duhamel, tarik Soave, atau

Swenson melalui operasi.

Pembedahan hirschprung dilakukan dalam 3 tahap, yaitu :

1. Kolostomi loop atau double-barrel

Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan gejala

obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita

sebelum operasi definitive. Berikan dukungan pada orang tua. Karena

kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua harus belajar bagaimana

merawat anak dengan kolostomi, obsevasi apa yang perlu dilakukan,

bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan kantong

kolostomi.

Pada kolostomi ini memungkinkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan

hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan)

Definisi

Suatu tindakan membuat lubang pada kolon tranversum kanan maupun kiri.

Merupakan kolonutaneustomi yang disebut juga anus prenaturalis yang

dibuat sementara atau menetap

Ruang Lingkup

Lesi/ kelainan sepanjang kolon sampai ke rektum. Dalam kaitan penegakan

diagnosis dan pengobatan lebih lanjut diperlukan beberapa disiplin ilmu yang

terkait: patologi anatomi dan radiologi

12 | P a g e

Page 13: Kel 2 Hirschsprung

Indikasi operasi

Trauma kolon dan sigmoid

Diversi pada anus malformasi

Diversi pada penyakit Hirschsprung

Diversi untuk kelainan lain pada rekto sigmoid anal kanal

Kontra indikasi

Keadaan umum tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi

Diagnosis banding

Karsinoma kolon dan rektum

Inflamatory bawel disease

Infeksi granulamator kolon dan rektum: TBC, amubana

Pemeriksaan Penunjang:

Foto polos abdomen 3 posisi

Colon inloop

Colonoscopy

USG abdomen

Teknik Operasi

Secara singkat teknik operasi kolostomi dapat dijelaskan sebagai

berikut. Setelah penderita diberi narkose denganendotracheal tube, penderita

dalam posisi terlentang. Desinfeksi lapangan pembedahan dengan larutan

antiseptik, kemudian dipersempit dengan linen steril. Dibuat insisi tranversal

setinggi pertengahan antara arcus costa dan umbilikus kanan maupun kiri.

Dibuka lapis demi lapis sehingga peritoneum kemudian dilakukan identifikasi

kolon tranversum. Kemudian kolon dikeluarkan ke dinding abdomen dan

dilakukan penjahitan ”spur” 3–4 jahitan dengan benang sutera 3/0 sehingga

membentuk double loop. Kemudian usus dijahit ke peritonium fascia dan kulit

sehingga kedap air ( water tied ). Selanjutnya usus dibuka transversal dan

dijahit ke kulit kemudian tepi luka diberi vaselin.

Komplikasi operasi

13 | P a g e

Page 14: Kel 2 Hirschsprung

Perdarahan

Infeksi

Hernia parastoma

Prolaps usus

Retraksi

Mortalitas

Sesuai kasus yang mendasari

Perawatan Pasca Bedah

Pasca bedah penderita dirawat diruangan selama 7 – 10 hari,diobservasi

kemungkinan terjadinya komplikasi dini yang membahayakan jiwa penderita

seperti perdarahan. Diet diberikan setelah penderita sadar dan pasase usus

baik.

Follow-Up

Evaluasi kelancaran stoma

Evaluasi terjadinya komplikasi seperti iritasi kulit

2. Operasi Definitive

Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang

mengalami osbtruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan dengan

teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap

kedua, dan Tahap ketiga rektosigmoidoskopi didahului oleh suatu kolostomi.

Kolostomi ditutup dalam prosedur tahap kedua. Pull-

through (Swenson,renbein dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan

mereksesi segmen yang menyempit dan menarik usus sehat ke arah anus.

a.      Operasi Swenson

Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi

ujung ke ujung usus aganglionik  dan ganglionik melalui anus dan reseksi

serta anastomosis sepanjang garis bertitik-titik. Secara lebih spesifik

prosedur Duhamel dilakukan dilakukan dengan cara menaikan kolon

normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus

aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubang aganglionik dan

bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.

14 | P a g e

Page 15: Kel 2 Hirschsprung

prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit

Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan

pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang

aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis

mukokutan kemudian dilakukan anastomosis  langsung diluar rongga

peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat terjadi sebagai

akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini

Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior. Prosedur ini disebut

prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum, 2003 ).

Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana

setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung

rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian

posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung.

Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani

dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca bedah dan bahkan

pada prosedur Swenson II kebocoran anastomosis lebih tinggi dibanding

dengan prosedur Swenson I (Lee, 2003; Kartono , 2004; Teitelbaum,

2003 ).

b.      Operasi Soave

operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian muscular

usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionik didorong sampai

menggantung dari anus. Cara Duhamel dan Soave bagian distal rectum

tidak dikeluarkan sebab merupakan pase operasi yang sukar dikerjakan,

anastomosis koloanal dibuat secara tarik terobos (Pull through).

Pada prinsipnya tehnik ini adalah merupakan diseksi ekstramukosa

rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia ani

letak tinggi. Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi

rektum, dilatasi anorektal manual serta pemberian antibiotik. ( Kartono,

2004 )

Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan

membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang

dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri

melewati lubang kolostomi dan dipasang kateter ( Kartono, 2004 )

15 | P a g e

Page 16: Kel 2 Hirschsprung

Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium

kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan

direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon

distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis

kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm

diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea

dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik kedistal melewati

cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong

setelah 21 hari. ( Kartono, 2004 ).

c. Operatis Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur

Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan

nervi erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis.

Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan

tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal yang

ganglionik melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam

posisi litotomi, dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan

maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen

dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis

superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon

proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus.

Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon

proksimal dengan cara menghindari regangan yang berlebihan. Setelah

segmen kolon yang aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong

sekitar 2-3 cm diatas dasar refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan

dua lapis. Rongga retrorektal dibuka sehingga seluruh permukaan

dinding belakang rektum dibebaskan. (Holschneider, 2005; Langer,

2005).

Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan

endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen kolon

proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus

dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis

“end to side” setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan

pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari

16 | P a g e

Page 17: Kel 2 Hirschsprung

anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan

septum yang tidak sempurna (Holschneider, 2005; Langer, 2005).

d. Prosedur Boley.

Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi

anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon

terlebih dulu ( Kartono, 2004 ).

e. Prosedur Rehbein.

Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan

anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan sisa

rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Tehnik ini sering

menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih

panjang (Rehbein, 1966; Holschneider dan Ure, 2005).

f. Prosedur miomektomi anorektal.

Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek,

pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum

dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana

dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat,

mulai dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion

( Teitelbaum at al, 2003 ).

g. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.

Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan

dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine,

mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata.

Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga

6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari

muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk

cerobong otot rektum tanpa mukosa (Tore, 2000 ).

Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi

lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding

dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada.

Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan

striktur anastomosis.

h. Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease

17 | P a g e

Page 18: Kel 2 Hirschsprung

Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Rincian teknik operasi 

adalah sebagai berikut:

Pesiapan preoperasi :

Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita,

adanya kelainan bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin,

albumin dan pemeriksaan rontgen dievaluasi secara cermat untuk

menentukan ada tidaknya kontraindikasi pembedahan dan pembiusan.

Bila ada dehidrasi, sepsis, gangguan eletrolit, enterokolitis, anemia atau

gangguan asam basa tubuh semuanya harus dikoreksi terlebih dahulu.

Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan pipa rektum dan

kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed consent

dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi,

lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila

terjadi komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin

terjadi (Rochadi, 2007).

Jalannya operasi :

Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung dan

kateter. Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath

yang sesuai dengan umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi

pasien tertelungkup Rochadi, 2007).

Setelah dilakukan desinfeksi pada daerah anogluteal kemudian daerah

operasi ditutup doek steril. Irisan pertama dimulai dengan irisan kulit

intergluteal dilanjutkan membuka lapisan-lapisan otot yang

menyusun “muscle complex” secara tumpul dan tajam sehingga terlihat

dinding rektum. Lapisan otot dinding rektum dibuka memanjang sampai

terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan operasi. Identifikasi daerah

setinggi linea dentata dilakukan dengan cara memasukkan jari telunjuk

tangan kiri ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm proksimal linea dentata

sampai zone transisi yang ditandai dengan adanya perubahan diameter

dinding rektum. Agar supaya tidak melukai mukosa rektum maka setelah

mukosa menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari mukosa

dengan cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah

terpisah dari mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5

cm dilepaskan dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi.

18 | P a g e

Page 19: Kel 2 Hirschsprung

Material ini dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan

pewarnaan hematoksilin-eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach

dan Meissner (Rochadi, 2007).

Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti semula

dengan benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang plain

cat-gut 2/0 dan lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl 3/0.

Dipasang pipa rektum untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan

operasi (Rochadi, 2007).

Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprung’s Disease ini dilakukan

satu tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull –through (Rochadi, 2007).

Perawatan pasca operasi :

Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila ada

indikasi dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit (ICU) untuk

pengamatan pasca operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila

fungsi gastrointestinal telah kembali normal dan kateter dilepas pada hari

kedua perawatan. Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi.

Pengawasan yang teliti pada daerah perineum untuk mencegah

terjadinya infeksi dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis.

Untuk mencegah ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari kasa

betadin diganti untuk menutup irisan operasi. Apabila tidak ada

komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari ke empat pasca

operasi. Dilatasi anorektal dimulai pada hari ke tujuh pasca operasi

dengan menggunakan busi hegar nomer enam, mula-mula dikerjakan di

poliklinik dan kemudian dilanjutkan dirumah. Tindakan ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya striktur. Apabila terjadi enterokolitis maka diperlukan

tindakan pencucian rektum, pemberian antibiotik dan suspensi kaolin-

pektin (Rochadi, 2007).

3. Penutupan kolostomi

Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah

operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi

seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.

Suatu tindakan pembedahan yang dilakukan untuk menutup colostomi atau

ileostomi

19 | P a g e

Page 20: Kel 2 Hirschsprung

Ruang lingkup

Usus halus

Kolon

Indikasi operasi

Penderita dengan colostomy/ileostomi yang telah memungkinkan untuk di

tutup.

Kontra indikasi operasi

Umum

Khusus (tidak ada)

Pemeriksaan penunjang

Toopagrafi untuk evaluasi bagian proksimal dan distal dari stomp

Tekhnik Operasi

Sebelum dilakukan operasi penderita harus disiapkan dulu untuk menjalani

operasi penutupan stoma, yaitu dengan mengatur diet yang rendah residu

dan antibiotik oral dan usus harus dibuat sekosong atau sebersih mungkin

sebelum operasi. Selama 24 jam sebelum operasi  harus dilakukan irigasi

pada kedua arah stoma.

Penderita dalam posisi terlentang

Dapat dilakukan spinal atau general anesthesia

Penutupan dimulai dengan membuat incisi circumferential disekeliling stoma,

termasuk sebagian kecil dari kulit. Incisi circumferential diperdalam hingga

menembus peritoneum dan colon/intestine  dan omentum disekitarnya dapat

dipisahkan dari dinding abdomen. Kemudian stoma ditarik keluar melalui

incisi tadi dan bagian serosanya harus tampak jelas seluruhnya.Hal ini

memerlukan reseksi omentum dan jaringan ikat serta lemak disekeliling

serosa tadi. Setelah hal ini dapat dilakukan maka penutupan stoma dapat

segera dilakukan. Penutupan stoma yang sudah disiapkan tadi dapat

dilakukan dengan :

linier stapling device

20 | P a g e

Page 21: Kel 2 Hirschsprung

Hand suture closure

end to end anastomosis

Komplikasi operasi

Perdarahan

Kebocoran anastomosis atau stenosis

Perawatan Pasca Bedah

Cairan parenteral dan antibiotik diberikan untuk beberapa hari, kemudian

dilanjutkan dengan diet cair untuk beberapa hari. Kemudian diikuti dengan

diet  rendah residu. Diet reguler/biasa dapat dilakukan jika fungsi usus telah

baik.

Follow – Up

Sesuai dengan penyakit yang mendasari dilakukan kolostomi ileostomi

Rujukan

Merujuk pasien ke dokter bedah untuk perawatan

Pendidikan pasien dan keluarga

- Ajarkan orang tua untuk mengetahui dan mengenali tanda kehilangan cairan

dan dehidrasi dan enterocolitis

- Sebelum dilakukan pembedahan, latih orang tua untuk melakukan lavage

kolon dengan normal saline untuk mengosongkaln kolon paling sedikit sekali

sehari, biasanya terjadi enema dan pemberian laxative tidak membersihkan

dengan adekuat.

- Setelah dilakukan pembedaahan, latih orang tua untuk tidak memberikan

makanan karena akan meningkatkan jumlah feses. Tenangkan orang tua

yang anak mereka mengharapkan dapat mengontrol spincter dan dapat

makan dengan normal, namun diperingatkan untuk melakukan pengawasan

penuh beberapa tahun untuk pemulihan dan konstipasi kemungkinan dapat

timbul.

21 | P a g e

Page 22: Kel 2 Hirschsprung

- Karena anak dengan Hisprung membutuhkan tindakan pembedahan dan

hospitalisasi dari kecil, orang tua memiliki kesulitan dalam menetapkan ikatan

emosi dengan anak. Untuk menciptakan ikatan, anjurkan orang tua untuk

berpartisipasi dalam segala perawatan anak sesering mungkin.

- Anak dilakukan follow up 1 hingga 2 minggu setelah pembedahan

Penatalaksanaan Konservatif

Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-

tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau tanpa

disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh

digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air, hal ini

disebabkan karena difusi cepat dari usus yang mengalami dialatasi air ke

dalam sirkulasi (Sacharin,1986). Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan

mencegah enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon mengunakan

garam faal. Cara ini efektif dilakukan pada Hisrchsprung tipe segmen pendek-

untuk tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan tindakan kolostomi

didaerah ganglioner.

22 | P a g e

Page 23: Kel 2 Hirschsprung

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah. Baik

masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan

perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang

air besar. Orang tua yang mengusahakan agar anaknya bisa buang air besar

dengan cara yang awam akan menimbulkan masalah baru bagi bayi/anak.

Penatalaksanaan yang benar mengenai penyakit hisprung harus difahami dengan

benar oleh seluruh pihak. Baik tenaga medis maupun keluarga. Untuk tecapainya

tujuan yang diharapkan perlu terjalin hubungan kerja sama yang baik antara pasien,

keluarga, dokter, perawat maupun tenaga medis lainnya dalam mengantisipasi

kemungkinan yang terjadi.

23 | P a g e

Page 24: Kel 2 Hirschsprung

DAFTAR PUSTAKA

Tambayong, jan. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC

Judith, A. Schilling. 2002. Disease Management for Nurse Practioners. USA :

Springhouse Corporation

Abdur-Rahman LO, Cameron B. 2010. Hirschsprung’s Disease In Africa In The 21

Century. Surgery in Africa

Madara, Bernadette., et al.2008.Obstetric and Pediatric Pathophysiology.Canada:

Jones and Bartlett Publishers

Lefkowitz, Mark., et al.2010.Atlas of Pathophysiology.3rd Edition.California: Lippincott

Williams & Wilkins

Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. 1996. Nelson Textbook og pediatrics. 15/E.

Philadelphia : Suanders Company

Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi Keperawatan. Jakarta : buku kedokteran EGC

Holly L Neville ( 2014). Pediatric Hirschsprung Disease Clinical Presentation.

Medscape [Online]. Tersedia : http://emedicine.medscape.com/article/929733-

clinical#a0216 . [26 April 2015].

Mayo Clinic Staff (2013). Disease and Coditions : Hirschsprung’s disease. Mayo

Clinic [online]. Tersedia :

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hirschsprungs-disease/basics/risk-

factors/con-20027602 . [24 April 2015].

St.Louis Hospital (2014). Hirschsprung Disease. Children’s Hospital – ST. Louis

[ online]. Tersedia: http://www.stlouischildrens.org/diseases-conditions/hirschsprung-

disease . [ 26 April 2015].

Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi

ke-3. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC

24 | P a g e

Page 25: Kel 2 Hirschsprung

Wagner,Justin P.2014. Hirschprung Disease. http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#a0199. Di akses tanggal 27 april 2015

M Sacharin, Rosa. 1986. Prinsip Keperawatan Pediatrik., Jakarta: EGC

Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto

Holschneider A. and Ure B. M, 2005. Hirschprung’s Disease in Pediatric Surgery. 4th Ed. Elsevier Saunders Philadelpia, Pensylvania

Lee, Steven L. 2005. Hirschprung Disease. Availableat:http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview.

Holschneider,Alexander M., Puri, Prem.2008. “Hiscprung’s disease and allied disorders”.3rd ed. New York: Springer Berlin Heidleber

25 | P a g e