referat, trauma tumpul pada kepala, dr.chunin widyaningsih
Post on 06-Dec-2015
211 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Referat
TRAUMA TUMPUL PADA KEPALA
Oleh :Ekky Wibisono
Karina Shabrina Sari Medina
Pembimbing :Dr. Chunin Widyaningsih
KEPANITRAAN KLINIK SENIORBAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGALFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURSUD ARIFIN ACHMAD - RS BHAYANGKARA
PEKANBARU2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini yang
diajukan sebagai salah satu syarat untuk ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Legal Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Adapun
judul referat ini adalah “Trauma Tumpul Pada Kepala”.
Dalam menyelesaikan referat ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dorongan baik moral maupun material dari berbagai pihak, untuk itu pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter-dokter pembimbing di RSUD Arifin
Achmad Provinsi Riau dan RS Bhayangkara Pekanbaru. Penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan
penulisan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan di bidang Ilmu Kedokteran Forensik dan Legal Fakultas Kedokteran
Universitas Riau.
Pekanbaru, September 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................1
DAFTAR ISI.........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................3
1.1 Latar Belakang .............................................................................3
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................4
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................4
1.5 Metode Penulisan ........................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................5
2.1 Trauma Tumpul
2.1.1Definisi Asfiksia .................................................................5
2.1.2 Etiologi ..............................................................................5
2.1.3 Stadium Asfiksia................................................................6
2.1.4 Tanda Kardinal Asfiksia.....................................................6
2.2 Pembekapan .................................................................................8
2.2.1 Cara kematian .................................................................8
2.2.2 Etiologi kematian pada pembekapan...............................8
2.2.3 Tanda Khusus Asfiksia Pada Pembekapan......................9
2.2.4 Gambaran post mortem pembekapan..............................9
2.2.5 Pemeriksaan jenazah........................................................9
BAB III KESIMPULAN .................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian trauma (injury) dari aspek medikolegal sering berbeda dengan
pengertian medis.Pengertian medis menyatakan trauma atau perlukaan adalah
hilangnya diskontinuitas dari jaringan.Dalam pengertian medikolegal trauma
adalah pengetahuan tentang alat atau benda yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan seseorang.Artiya orang yang sehat, tiba-tiba terganggu
kesehatannya akibat efek dari alat atau benda yang dapat menimbulkan
cedera.Aplikasinya dalam pelayanan Kedokteran Forensik adalah untuk
membuat terang suatu tindak kekerasan yang terjadi pada seseorang.Trauma
tumpul adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh yang disebabkan oleh benda-benda yang mempunyai permukaan tumpul
seperti batu, kayu, bola, martil, jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas,
dan sebagainya.Trauma tumpul pada kepala adalah kekerasan tumpul pada
kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang kompleks di kulit kepala,
tulang tengkorak, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri.
Menurut Brain Injury Assosiation of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik..Setiap tahun, diperkirakan sekitar 0,3-0,5%
penduduk dunia mengalami trauma kapitis dan otak. Di Amerika Serikat,
insiden cedera otak karena trauma diperkirakan 180-220 kasus per 100.000
populasi. Dengan jumlah popuasi yang mencapai 300 juta jiwa, kira-kira
600.000 mengalami cedera kepala traumatik pertahunnya. Dalam sebuah
penelitian, jumlah data secara keseluruhan yang berasal dan 33 provinsi di
Indonesia adalah 972.317 responden.Adapun untuk responden yang pernah
mengalami cedera selama kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 77.248
3
orang.Responden bisa mempunyai jawaban lebih dan satu penyebab cedera
selama kurva waktu 12 bulan tersebut. Dan jumlah tersebut tiga proporsi
penyebab cedera terbesar yaitu jatuh sebanyak 45.987 orang (59,6%),
kecelakaan lalu lintas sekitar 20.829 orang (27%), dan terluka benda
tajam/tumpul Sebesar 144.127 orang (18,3 %).
1.2 Rumusan Masalah
Referat ini membahas tentang trauma tumpul pada kepala.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami tentang trauma tumpul pada kepala.
2. Memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Legal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
1.4 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pengetahuan penulis
mengenai trauma tumpul pada kepala.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada beberapa litelatur.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma
2.1.1 Definisi Trauma Tumpul
Trauma benda tumpul adalah luka yang disebabkan karena persentuhan
tubuh dengan benda yang permukaannya tumpul. Benda tumpul yang sering
mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi, sepatu, tinju, lantai, jalan dan
lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri adalah : (Idries, 2006)
- Tidak bermata tajam
- Konsistensi keras / kenyal
- Permukaan halus / kasar. (Vincent dan Dominick, 2001)
Luka trauma benda tumpul dapat terjadi karena dua sebab yaitu alat atau
senjata yang mengenai atau melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang
lain orang bergerak ke arah objek atau alat yang tidak bergerak. Luka akibat
trauma benda tumpul dibagi menjadi beberapa kategori yaitu luka lecet (abrasi),
luka memar (kontusio), dan luka robek (laserasi).(Idries, 2006)
Terdapat beberapa pola trauma akibat kekerasan tumpul yang dapat
dikenali, yang mengarah kepada kepentingan medikolegal.Pola trauma banyak
macamnya dan dapat bercerita pada pemeriksa medikolegal.Kadangkala sukar
dikenali, bukan karena korban tidak diperiksa, namun karena pemeriksa
cenderung memeriksa area per area, dan gagal mengenali polanya. Foto korban
dari depan maupun belakang cukup berguna untuk menentukan pola trauma.
Persiapan diagram tubuh yang memperlihatkan grafik lokasi dan penyebab trauma
adalah latihan yang yang baik untuk mengungkapkan pola trauma (Shkrum dan
Ramsay, 2007).
Contoh pola trauma:
5
a. Luka terbuka tepi tidak rata pada kulit akibat terkena kaca spion pada saat
terjadi kecelakaan, Ketika terjadi benturan, kaca spion tersebut akan menjadi
fragmen-fagmen kecil. Luka yang terjadi dapat berupa abrasi, kontusio, dan
laserasi yang berbentuk segiempat atau sudut.
b. Pejalan kaki yang ditabrak kendaraan bermotor biasanya mendapatkan fraktur
tulang panjang kaki. Hal ini disebut ‘bumper fractures’. Adanya fraktur
tersebut yang disertai luka lainnya pada tubuh yang ditemukan di pinggir jalan,
memperlihatkan bahwa korban adalah pejalan kaki yang ditabrak oleh
kendaraan bermotor dan dapat diketahui tinggi bempernya. Karena hampir
seluruh kendaraan bermotor ‘nose dive’ ketika mengerem mendadak,
pengukuran ketinggian bemper dan tinggi fraktur dari telapak kaki, dapat
mengindikasikan usaha pengendara kendaraan bermotor untuk mengerem pada
saat kecelakaan terjadi.
c. Penderita serangan jantung yang terjatuh dapat diketahui dengan adanya pola
luka pada dan di bawah area ‘hat band’ dan biasanya terbatas pada satu sisi
wajah. Dengan adanya pola tersebut mengindikasikan jatuh sebagai penyebab,
bukan karena dipukul.
d. Pukulan pada daerah mulut dapat lebih terlihat dari dalam. Pukulan yang
kepalan tangan, luka tumpul yang terjadi dapat tidak begitu terlihat dari luar,
namun menimbulkan edem jaringan pada bagian dalam, tepat di depan gigi
geligi. Frenum pada bibir atas kadang rusak, terutama bila korban adalah bayi
yang sering mendapat pukulan pada kepala.
e. Kekerasan benda tumpul pada leher dapat berakibat patah tulang leher, robek
pembuluh darah, otot, oesophagus, trachea/larynx, dan kerusakan syaraf
f. Kekerasan benda tumpul pada dada dapat berakibat patah os costae, sternum,
scapula, clavicula, robek organ jantung, paru, pericardium
g. Kekerasan benda tumpul pada perut dapat berakibat patah os pubis, os sacrum,
symphysiolysis, luxatio sendi sacro iliaca, robek organ hepar, lien, ginjal.
Pankreas, adrenal, lambung, usus,v.urinari
6
h. Kekerasan benda tumpul pada vertebra dapat berakibat fraktura, dislokasi os
vertebrae
i. Kekerasan benda tumpul pada anggota gerak dapat berakibat patah tulang,
dislokasi sendi, robek otot, pembuluh darah, dan kerusakan saraf
2.5 Jenis Luka Akibat Trauma Benda Tumpul
Luka akibat trauma benda tumpul dapat berupa salah satu atau kombinasi
dari luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan.
Derajat luka, perluasan luka, serta penampakan dari luka yang disebabkan oleh
trauma benda tumpul bergantung kepada:
- Kekuatan dari benda yang mengenai tubuh
- Waktu dari benda yang mengenai tubuh
- Bagian tubuh yang terkena
- Perluasan terhadap bagian tubuh yang terkena
- Jenis benda yang mengenai tubuh
Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara menahan
kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan
berbagai tipe luka. Luka akibat trauma benda tumpul dibagi menurut beberapa
kategori (Vincent dan Dominick, 2001).
a Luka Lecet (Abrasi)
Luka lecet adalah luka yang superfisial, kerusakan tubuh terbatas hanya
pada lapisan kulit epidermis.Jika abrasi terjadi lebih dalam dari lapisan epidermis
pembuluh darah dapat terkena sehingga terjadi perdarahan.Arah dari
pengelupasan dapat ditentukan dengan pemeriksaan luka.Dua tanda yang dapat
digunakan.Tanda yang pertama adalah arah dimana epidermis bergulung, tanda
yang kedua adalah hubungan kedalaman pada luka yang menandakan
ketidakteraturan benda yang mengenainya (Vincent dan Dominick, 2001).
Karakteristik luka lecet :
- Sebagian/seluruh epitel hilang terbatas pada lapisan epidermis
7
- Disebabkan oleh pergeseran dengan benda keras dengan permukaan kasar dan
tumpul
- Permukaan tertutup exudasi yang akan mengering (krusta)
- Timbul reaksi radang (Sel PMN)
- Sembuh dalam 1-2 minggu dan biasanya pada penyembuhan tidak
meninggalkan jaringan parut
Pola dari abrasi sendiri dapat menentukan bentuk dari benda yang
mengenainya.Waktu terjadinya luka sendiri sulit dinilai dengan mata telanjang.
Perkiraan kasar usia luka dapat ditentukan secara mikroskopik. Kategori yang
digunakan untuk menentukan usia luka adalah saat ini (beberapa jam sebelum),
baru terjadi (beberapa jam sebelum sampai beberapa hari), beberapa hari lau, lebih
dari benerapa hari. Efek lanjut dari abrasi sangat jarang terjadi.Infeksi dapat
terjadi pada abrasi yang luas (Idries, 2008).
Memperkirakan umur luka lecet:
- Hari ke 1 – 3 : warna coklat kemerahan
- Hari ke 4 – 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram
- Hari ke 7 – 14 : pembentukan epidermis baru
- Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkap
Luka lecet juga harus dibedakan terjadinya, apakah ante mortem atau post
mortem. Berikut ini tabel yang menunjukkan perbedaan dari keduanya:
Tabel 1. Perbedaan Luka Lecet Ante Motem dan Post Mortem
ANTE MORTEM POST MORTEM
Coklat kemerahan
Terdapat sisa sisa-sisa epitel
Tanda intravital (+)
Sembarang tempat
Kekuningan
Epidermis terpisah sempurna dari dermis
Tanda intravital (-)
Pada daerah yang ada penonjolan tulang
8
Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan
sebagai luka lecet gores (scratch), luka lecet serut (scrape), luka lecet tekan
(impact abrasion) dan luka lecet berbekas (patterned abrasion).
- Luka lecet gores(Scratch)
Diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores
kulit) yang menggeser lapisan permukaan kulit (epidermis) di depannya dan
mengakibatkan lapisan tersebut terangkat, sehingga dapat menunjukan arah
kekerasan yang terjadi.
- Luka lecet serut (Scraping)
Adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan
permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan di tentukan dengan melihat letak
tumpukan epitel.
Gambar 2.1 Bentuk dari abrasi dapat menandakan jenis permukaan yang kontak dengan kulit. (Dikutip dari forensic pathology 2nd edition)
- Luka lecet tekan (Impact abrasion)
Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit adalah
jaringan yang lentur maka, bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan
bentuk permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan
identifikasi benda penyebab yang mempunyai bentuk yang khas, misalnya kisi-
kisi radiator mobil, jejas gigitan dan sebagainya. Gambaran luka lecet tekan
9
yang di temukan pada mayat adalah daerah kulit yang kaku dengan warna yang
lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang
tertekan serta terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca kematian.
Gambar 2.2 Impact abrasion pada sisi kanan wajah.(Dikutip dari kepustakaan forensic pathology 2nd edition)
b. Kontusio (Luka Memar)
Kontusio terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang
singkat.Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan
dapat menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ
dibawahnya.Kontusio adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah
dalam jaringan yang terjadi sewaktu orang masih hidup, dikarenakan pecahnya
pembuluh darah kapiler akibat kekerasan benda tumpul (Vincent dan Dominick,
2001).
Bila kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan luka memar terjadi
pada daerah dimana jaringan longgar, seperti di daerah mata, leher, atau pada
orang yang lanjut usia, maka luka memar yang tampak seringkali tidaka
sebanding dengan kekerasan, dalam arti seringkali lebih luas; dan adanya jaringan
longgar tersebut memungkinkan berpindahnya “memar” ke daerah yang lebih
rendah, berdasarkan gravitasi.
10
Salah satu bentuk luka memar yang dapat memberikan informasi
mengenai bentuk dari benda tumpul, ialah apa yang dikenal dengan istilah
“perdarahan tepi” (marginal haemorrhages), misalnya bila tubuh korban terlindas
ban kendaraan, dimana pada tempat yang terdapat tekanan justru tidak
menunjukkan kelainan, kendaraan akan menepi sehingga terbentuk perdarahan
tepi yang bentuknya sesuai dengan bentuk celah antara kedua kembang ban yang
berdekatan.Perubahan warna pada memar berhubungan dengan waktu lamanya
luka, namun waktu tersebut bervariasi tergantung jenis luka dan individu yang
terkena. Tidak ada standar pasti untuk menentukan lamanya luka dari warna yang
terlihat secara pemeriksaan fisik.
Luka memar dapat diklasifikasikan sebagai luka memar superficial
(Superficial), Luka memar dalam (Deep), dan luka memar berbekas (Patterned/
imprint).
a. Luka memar superfisial
Luka memar superficial dapat terjadi secara segera, disebabkan oleh
akumulasi darah secara subkutan.
b. Luka memar dalam
Luka memar dalam menandakan adanya akumulasi pendarahan lebih
dalam dari lapisan kulit subkutan.Biasanya jenis luka ini memerlukan 1 sampai 2
hari untuk dapat terlihat di permukaan kulit.
c. Luka memar berbekas
Luka memar berbekas disebabkan oleh penekanan pada tubuh, biasanya
objek yang menekan tubuh meninggalkan bekas pada permukaan kulit.Pada mayat
waktu antara terjadinya luka memar, kematian dan pemeriksaan menentukan juga
karekteristik memar yang timbul. Semakin lama waktu antara kematian dan
pemeriksaan luka akan semakin membuat luka memar menjadi gelap.
Pemeriksaan mikroskopik adalah sarana yang dapat digunakan untuk menentukan
11
waktu terjadinya luka sebelum kematian.Namun sulit menentukan secara pasti
karena hal tersebut pun bergantung pada keahlian pemeriksa.
Gambar 2.3 Luka memar pada bagian dada kiri (Dikutip dari kepustakaan forensic pathology 2nd edition)
Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain terjadinya
penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas dan masif
sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan kematian. Yang
kedua adalah terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu
aliran balik vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren
dan kematian jaringan. Yang ketiga, memar dapat menjadi tempat media
berkembang biak kuman. Kematian jaringan dengan kekurangan atau ketiadaaan
aliran darah sirkulasi menyebabkan saturasi oksigen menjadi rendah sehingga
kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering adalah golongan clostridium yang
dapat memproduksi gas gangrene (Idries, 2006)
Memperkirakan umur luka memar :
- Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan
- Hari ke 2 – 3 : warna biru kehitaman
- Hari ke 4 – 6 : biru kehijauan–coklat
- > 1 minggu-4 minggu : menghilang / sembuh
Lebam mayat atau livor mortis sering salah diinterpretasikan dengan luka
memar. Livor mortis merupakan perubahan warna ungu kemerahan pada area
12
mengikuti posisi tubuh disebabkan oleh akumulasi darah oleh pembuluh darah
kecil secara gravitasi. Berikut ini perbedaan luka memar dengan lebam mayat:
(Vincent dan Dominick, 2001).
Tabel 2. Perbedaan Luka Memar dan Lebam Mayat
LUKA MEMAR LEBAM MAYAT
Di sembarang tempat
Pembengkakan (+)
Tanda Intravital (+)
Ditekan tidak menghilang
Diiris : tidak menghilang
Bagian tubuh yang terendah
Pembengkakan (-)
Tanda Intravital (-)
Ditekan Menghilang
Diiris : dibersihkan dengan kapas menjadi bersih
Luka memar atau kontusio juga dapar terjadi pada organ dan jaringan
dalam.Kontusio pada tiap organ memiliki karakteristik yang berbeda.Pada organ
vital seperti jantung dan otak jika terjadi kontusio dapat menyebabkan kelainan
fungsi dan bahkan kematian.
Kontusio pada otak, dengan perdarahan pada otak, dapat menyebabkan
terjadi peradangan dengan akumulasi bertahap produk asam yang dapat
menyebabkan reaksi peradangan bertambah hebat.Peradangan ini dapat
menyebabkan penurunan kesadaran, koma dan kematian. Kontusio dan perangan
yang kecil pada otak dapat menyebabkan gangguan fungsi organ lain yang luas
dan kematian jika terkena pada bagian vital yang mengontrol pernapasan dan
peredaran darah.
Hampir seluruh kontusio otak superfisial, hanya mengenai daerah abu-
abu.Beberapa dapat lebih dalam, mengenai daerah putih otak.Kontusio pada
bagian superfisial atau daerah abu-abu sangat penting dalam ilmu forensik.
Rupturnya pembuluh darah dengan terhambatnya aliran darah menuju otak
menyebabkan adanya pembengkakan dan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, lingkaran kekerasan dapat terbentuk apabila kontusio yang terbentuk
cukup besar, edema otak dapat menghambat sirkulasi darah yang menyebabkan
13
kematian otak, koma, dan kematian total. Poin kedua terpenting dalam hal
medikolegal adalah penyembuhan kontusio tersebut yang dapat menyebabkan
jaringan parut yang akan menyebabkan adanya fokus epilepsi.
Jantung juga sangat rentan jika terjadi kontusio.Kontusio ringan dan
sempit pada daeran yang bertanggungjawab pada inisiasi dan hantaran impuls
dapat menyebabkan gannguan pada irama jantung atau henti jantung.Kontusio
luas yang mengenai kerja otot jantung dapat menghambat pengosongan jantung
dan menyebabkan gagal jantung. Kontusio pada organ lain dapat menyebabkan
ruptur organ yang menyebabkan perdarahan pada rongga tubuh.
Perlu dipertimbangkan lokasi kontusio tipe superfisial yang berhubungan
dengan arah kekerasan yang terjadi.Hal ini bermakna jika pola luka ditemukan
dalam pemeriksaan kepala dan komponen yang terkena pada trauma sepeti pada
kulit kepala, kranium, dan otak.Ketika bagian kepala terkena benda yang keras
dan berat seperti palu atau botol bir, hasilnya dapat berupa, kurang lebihnya, yaitu
abrasi, kontusio, dan laserasi dari kulit kepala.Kranium dapat patah atau tidak.Jika
jaringan dibawahnya terkena, hal ini disebut coup.Hal ini terjadi saat kepala relatif
tidak bergerak. Kita juga harus mempertimbangkan situasi lainnya dimana kepala
yang bergerak mengenai benda yang padat dan diam. Pada keadaan ini kerusakan
pada kulit kepala dan pada kranium dapat serupa dengan apa yang ditemukan
pada benda yang bergerak-kepala yang diam. Namun, kontusio yang terjadi,
bukan pada tempat trauma melainkan pada sisi yang berlawanan. Hal ini disebut
kontusio contra-coup.
Pada pemeriksaan kepala penting untuk mengetahui pola trauma.Karena
foto dari semua komponen trauma kepala dari berbagai tipe kadang tidak tepat
sesuai dengan demontrasi yang ada, diagram dapat menjelaskan hubungan trauma
yang terjadi. Kadang-kadang dapat terjadi hal yang membingungkan, dapat saja
kepala yang diam dan terkena benda yang bergerak pada akhirnya akan jatuh atau
mengenai benda keras lainnya, sehingga gambaran yang ada akan tercampur,
membingungkan, yang tidak memerlukan penjelasan mendetail.
14
Tipe lain kontusio adalah penetrasi yang lebih dalam, biasanya mengenai daerah
putih atau abu-abu, diliputi oleh lapisan normal otak, dengan perdarahan kecil
atau besar. Perdarahan kecil dinamakan “ball haemorrhages” sesuai dengan
bentuknya yang bulat. Hal tersebut dapat serupa dengan perdarahan fokal yang
disebabkan hipertensi.Perdarahan yang lebih besar dan dalam biasanya berbentuk
ireguler dan hampir serupa dengan perdarahan apopletik atau stroke. Anamnesis
yang cukup mengenai keadaan saat kematian, ada atau tiadanya tanda trauma
kepala, serta adanya penyakit penyerta dapat membedakan trauma dengan kasus
lain yang menyebabkan perdarahan.
Perdarahan intraserebral tipe apopletik tidak berhubungan dengan trauma
biasanya melibatkan daerah dengan perdarahan yang dalam.Tempat predileksinya
adalah ganglia basal, pons, dan serebelum.Perdahan tersebut berhubungan dengan
malformasi arteri vena.Biasanya mengenai orang yang lebih muda dan tidak
mempunyai riwayat hipertensi.Edema paru tipe neurogenik biasanya menyertai
trauma kepala. Manifestasi eksternal yang dapat ditemui adalah “ foam cone”
busa berwarna putih atau merah muda pada mulut dan hidung. Hal tersebut dapat
ditemui pada kematian akibat tenggelam, overdosis, penyakit jantung yang
didahului dekompensasio kordis.Keberadaan gelembung tidak membuktikan
adanya trauma kepala.
c. Laserasi (Luka robek)
Suatu pukulan yang mengenai bagian kecil area kulit dapat menyebabkan
kontusio dari jaringan subkutan, seperti pinggiran balok kayu, ujung dari pipa,
permukaan benda tersebut cukup lancip untuk menyebabkan sobekan pada kulit
yang menyebabkan laserasi.Laserasi disebabkan oleh benda yang permukaannya
runcing tetapi tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit
dan menyebabkan kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit.Tepi dari laserasi
ireguler dan kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian
yang lebih rata dari benda tersebut yang mengalami indentasi (Vincent dan
Dominick, 2001).
15
Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan
dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan.Jembatan jaringan,
tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan laserasi dengan luka
oleh benda tajam (Shkrum dan Ramsay, 2007).
Gambar . Luka robek dengan terdapatnya jembatan jaringan(Dikutip dari kepustakaan forensic pathology 2nd edition)
Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan.Tepi yang
paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi
laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah awal kekerasan.
Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab
kekerasan tersebut.Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang
berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi.Sehingga pukulan yang
terjadi karena palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang
berbentuk semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya
berbeda dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan “swallow tails”. Beberapa
benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.
Seiring waktu, terjadi perubahan terhadap gambaran laserasi tersebut,
perubahan tersebut tampak pada lecet dan memarnya.Perubahan awal yaitu
pembekuan dari darah, yang berada pada dasar laserasi dan penyebarannya ke
sekitar kulit atau membran mukosa.Bekuan darah yang bercampur dengan bekuan
16
dari cairan jaringan bergabung membentuk eskar atau krusta.Jaringan parut
pertama kali tumbuh pada dasar laserasi, yang secara bertahap mengisi saluran
luka.Kemudian, epitel mulai tumbuh ke bawah di atas jaringan skar dan
penyembuhan selesai. Skar tersebut tidak mengandung apendises meliputi
kelenjar keringat, rambut dan struktur lain.
Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak
seperti luka atau memar.Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa
hari, dan lebih dari beberapa hari.Laserasi yang terjadi setelah mati dapat
dibedakan ddengan yang terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.
Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat.Sebuah laserasi kecil tanpa
adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi
terus menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis
dapat menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai
dengan kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat
menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit
yang luka masuk ke dalam jaringan. Port d entree tersebut tetap ada sampai
dengan terjadinya penyembuhan luka yang sempurna.
Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri, khususnya pada
saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi tersebut sehingga dapat
menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut. Benturan yang terjadi pada jaringan
bawah kulit yang memiliki jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada
paru atau sirkulasi sistemik.Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari
tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung, aorta, hati dan
limpa.Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit
yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat
menyebabkan perdarahan hebat (Idries, 2008).
d. Kombinasi dari luka lecet, memar dan laserasi
Luka lecet, memar dan laserasi dapat terjadi bersamaan. Benda yang sama
dapat menyebabkan memar pada pukulan pertama, laserasi pada pukulan
17
selanjutnya dan lecet pada pukulan selanjutnya. Tetapi ketiga jenis luka tersebut
dapat terjadi bersamaan pada satu pukulan.
Luka robek atau luka terbuka akibat kekerasan benda tumpul dapat
dibedakan dengan luka terbuka akibat kekerasan benda tajam, yaitu dari sifat-
sifatnya serta hubungan dengan jaringan sekitar luka.Luka robek mempunyai tepi
yang tidak teratur, terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan
kedua tepi luka, akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di
daerah yang berambut, di sekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau
luka memar.Oleh karena luka pada umumnya mendatangkan rasa nyeri yang hebat
dan lambat mendatangkan kematian, maka jarang dijumpai kasus bunuh diri
dengan membuat luka terbuka dengan benda tumpul mengenai tubuh korban
(Vincent dan Dominick, 2001).
2.6 Aspek Medikolegal Luka
Luka Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Dalam KUHP dikenal luka akibat kelalaian atau karena yang
disengaja.Luka yang terjadi ini disebut Kejahatan Terhadap Tubuh atau
Misdrijven Tegen Het Lijf.Kejahatan terhadap jiwa ini diperinci menjadi dua yaitu
kejahatan doleuse (yang dilakukan dengan sengaja) dan kejahatan culpose (yang
dilakukan karena kelalaian atau kejahatan).Jenis kejahatan yang dilakukan dengan
sengaja diatur dalam Bab XX, pasal 351 sampai dengan 358.Jenis kejahatan yang
disebabkan karena kelalaina diatur dalam pasal 359, 360, dan 361 KUHP. Dalam
pasal-pasal tersebut dijumpai kata-kata “mati, menjadi sakit sementar, atau tidak
dapat menjalankan pekerjaan sementara” yang tidak disebabkan secara langsung
oleh terdakwa, akan tetapi karena ‘salahnya’ diartikan sebagai kurang hati-hati,
lalai, lupa, dan amat kurang perhatian (Satyo, 2006).
Pasal 361 KUHP menambah hukuman nya sepertiga lagi jika kejahatan ini
dilakukan dalam suatu jabatan atau pekerjaan. Pasal ini dapat dikenakan pada
dokter, bidan, apoteker, supir, masinis kereta api dan lain-lain. Dalam pasal-pasal
18
tersebut tercantum istilah penganiayaan dan merampas dengan sengaja jiwa orang
lain, suatu istilah hukum semata-mata dan tidak dikenal dalam istilah medis
(Satyo, 2006).
Yang dikatakan luka berat pada tubuh pada pasal 90 KUHP adalah
penyakit atau luka yang tidak bisa diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna
atau yang dapat mendatangkan bahaya maut, terus-menerus tidak cakap lagi
dalam memakai salah satu panca indera, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih
dari empat minggu lamanya, menggugurkan atau memnbunuh anak dari
kandungan ibu (Satyo, 2006).
Disinilah dokter berperan bear sebagai saksi ahli di depan pengadilan.
Hakim akan mendengarkan keterangan spesialis kedokteran forensik maupun ahli
lain nya (setiap dokter) dalam tiap kejadian secara kasus demi kasus.
VeR Dalam KUHP
Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak
hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban perlukaan.
Dokter sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan mengenai :
- Jenis luka apa yang ditemui
- Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka dan
- Bagaimana kualifikasi dari luka itu
Sebagai seorang dokter, ia tidak mengenal istilah penganiayaan. Jadi
istilah penganiayaan tidak boleh dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan
tetapi sebaiknya dokter tidak boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai
misalnya luka lecet yang satu-dua hari akan sembuh sendiri secara sempurna dan
tidak mempunyai arti medis, tetapi sebaliknya dari kaca mata hukum.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak dijumpai istilah
Visum et Repertum. Pasal 133 KUHAP memakai istilah “surat keterangan ahli”
yang dibuat oleh spesialis kedokteran forensik atau “surat keterangan” bila dibuat
oleh dokter umum atau dokter spesialis lainnya, adalah identik dengan Visum et
Repertum.
19
Profesionalisme seorang dokter dapat dimunculkan pada kesimpulan
Visum et Repertum yang dapat menjadi pertimbangan pihak penegak hukum.
Ada empat kualifikasi (derajat) yang dapat dipilih dokter :
1. Orang yang bersangkutan tidak menjadi saksi atau mendapat halangan dalam
melakukan pekerjaan atau jabatan.
2. Orang yang bersangkutan menjadi sakit tetapi tidak ada halangan untuk
melakukan pekerjaan atau jabatan.
3. Orang yang bersangkutan menjadi sakit dan berhalangan untuk melakukan
pekerjaan atau jabatannya.
4. Orang yang bersangkutan mengalami :
a. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh.
b. Dapat mendatangkan bahaya maut.
c. Tidak dapat menjalankan pekerjaan.
d. Tidak dapat memakai salah satu panca indera.
e. Terganggu pikiran lebih dari empat minggu.
Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian
kepala tertentu dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek
2) Tengkorak dapat terjadi :
a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria
3) Otak
a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
20
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri
4) Selaput Otak
a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 7,8
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi dari ketiga
klasifikasi di atas. Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu :7-9
a. Besarnya energi benturan
21
b. Perbandingan antara besar energi dan luasnya daerah benturan, semakin besar
nilai perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur deppressed.
c. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi
seluruh ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek
yang keras dengan ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2.
Pada benturan yang terjadi, sebagian besar energi tidak digunakan untuk
menimbulkan deformitas lokal pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media,
perlu dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang
dijumpai melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka
perlu dicurigai adanya hematoma epidural vena.7,8
Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang
mengenai jalan raya akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan
No.10)
22
2. Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan
berakibat terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi
pada anak di bawah usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih
jarang. Fraktur diastase yang terjadi pada sutura lambdoidea memiliki resiko
terjadinya hematoma epidural. 7-9
Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture
Line (SSL). Dikutip dari kepustakaan No.10
3. Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu
fragmen patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur
tidak membedakan fraktur ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan
merupakan bentuk fraktur linier yang multipel. 7-9
23
Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted. ( Dikutip dari kepustakaan No.11
4. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar
daripada fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya
benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi
disini lebih terfokus dan lebih padat sehingga akhirnya melebihi kapasitas
elastisitas tulang dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed diartikan
sebagai fraktur dengan tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke
dalam sehingga terletak di bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak
sekitanya yang utuh. Sebagai akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi
terhadap duramater dan jaringan otak di bawahnya, dan dapat berakibat
kerusakan struktural dari jaringan otak tersebut.7,8
24
Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak
( Dikutip dari kepustakaan No.9 )
5. Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang
membentuk konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os
parietalis, dan os occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier,
deppressed, kominutif, atau diastase.7,8
Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas
(pemeriksaan postmortem) (Dikutip dari kepustakaan No.7)
6. Fraktur Basis Cranii
25
Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium,
yang dapat terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior.
Fraktur jenis ini merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan
memiliki komplikasi yang tidak ringan. Beberapa literatur memberikan perkiraan
kasus fraktur basis cranii mencapai 3 - 24 % dari total seluruh kasus cedera
kepala. Fraktur basis cranii sering disertai dengan robeknya lapsan duramater,
sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya rhinorea dan otorhea. Adanya kebocoran cairan serebrospinal
memberikan resiko tinggi terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan
otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus
clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah
rhinorea cairan serebrospinal, hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis
periorbita, bisa bilateral, biasa disebut sebagai brill hematoma atau raccoon eyes.
Ekimosis periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada struktur di
belakangnya, bukan karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk
membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu
terletak di bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada lapisan
kulit.7,8
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian
posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis
posterior dan dorsum sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis
pada mastoid (battle’s sign) yang muncul 24-48 jam setelah cedera kepala
terjadi, otorhea, dan hemotimpanum yaitu darah yang dijumpai pada canalis
auricularis eksterna, dapat terjadi bila membran timpani robek.7,8
26
Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii
fossa media (Dikutip dari kepustakaan No.7)
c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior
Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada
daerah ini kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak
disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian
dalam waktu singkat karena penekanan terhadap batang otak.7,8
B. Trauma Serebrum ( Cedera Otak )
Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder. 7,8
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi
segera saat benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang
27
menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun
difus.7,8
a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu
dari otak, tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang
timbul dapat berupa :7,8
Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya
piamater. Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau
gangguan pada jaringan otak yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan
memiliki karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik
perdarahan kapiler dan edema jaringan otak. Terutama melibatkan puncak-
puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan
tulang saat terjadi benturan.7,8
Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga
’burst lobe’ (Dikutip dari kepustakaan No.7)
28
Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan
countercoup yang disebut sebgai intermediate-coup contussion. 7,8
Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme
Cedera kepala (Dikutip dari kepustakaan No.7)
Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain
adalah perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh
edema vasogenik. Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat
mengakibatkan kematian karena adanya komplikasi yang ditimbulkan, misalnya
komplikasi kardiopulmonal.7,8
29
Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan
gangguan kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat
kerusakan atau robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subarachnoid traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi
dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak langsung. Laserasi langsung
disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau
penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat
kekuatan mekanis.7,8
Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara
duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh
trauma tumpul kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun
dapat pula tanpa disertai fraktur. Lokasi yang paling sering adalah di bagian
temporal atau temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di bagian frontal, oksipital,
dan fossa serebri posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk
bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media,
akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari
arteri dan vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak
30
disertai fraktur tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat,
karena peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi.7,8
Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)
2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater
dan arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging
vein yang melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang
subdural, dengan bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula
akibat robekan pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang
disertai robeknya lapisan arachnoidea.7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya
akut.7,8
31
Gambar 12. Hematoma subdural ( Dikutip dari kepustakaan No.10 )
3) Hematoma Sub Arachnoid
Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub
arachnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.
Robekan pembuluh darah terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala
otak bergerak atau menggeser. Perdarahan terletak antara arachnoid dan
piamater, mengisi ruang subarachnoid dan masuk ke dalam sistem cairan
serebrospinalis. Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi serebri.
Perdarahan subarachnoid yang terjadi murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10
%. Darah yang masuk ke dalam subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis
tersebut akan menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.7,8
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami
spasme. Sebagai akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga
dapat turun hingga tinggal 40 %. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari
ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-8, dan akhirnya menghilang pada
hari ke-12. Vasospasme ini akan menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi
dalam otak dan sebagai dampaknya akan terjadi edema otak.7,8
32
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non
komunikan. Tipe komunikan terjadi bila produk darah mengobstruksi villi
arachnoid, sedangkan tipe non komunikans dapat terjadi bila bekuan darah
mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga.7,8
Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus
occipital pada kasus Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada
lobus frontal dan lobus parietal. (C) Hematoma subarachnoid yang kecil pada
fissura sylvii. (Dikutip dari kepustakaan No.9)
4) Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim
otak). Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia
alba hemisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau mungkin juga di corpus
callosum. Akan tetapi lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
33
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countre-coup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa
perdarahan yang luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi
akselerasi-deselerasi, sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau
kontusio serebri berat. Beberapa sumber menyatakan definisi hematoma
intraserebri adalah perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka
disebut petechial intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan dapat terjadi segera,
dapat pula beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien lanjut
usia.7,8
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya herniasi
uncus yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan
hematoma subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek
yang juga fatal, dan disebut sebagai ”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya
adalah yang disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma intraserebral yang
terjadi setelah beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama waktu
tersebuut pasien dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan
dengan keadaan hipotensi, syok, DIC, dan konsumsi alkohol.7,8
34
Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di
ganglia basal (kanan). (Dikutip dari kepustakaan No.12)
5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam
hal ini akibat trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan
biasanya sulit ditemukan, mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel,
korpus kalosum, septum pelusidum, forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat
pula sebagai perluasan dan perdarahan di lobus temporal atau frontal, atau
ganglia basalis.7,8
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma
subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan
intraventrikel ini merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki
mortalitas yang tinggi.7,8
35
Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)
b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh
dari otak, dan umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi
mekanisme akselerasi dan deselerasi. Angulasi, rotasi, dan peregangan yang
timbul menyebabkan robekan serabut saraf pada berbagai tempat yang sifatnya
menyeluruh. Berdasarkan gambaran patologinya, kerusakan difus ini dibedakan
atas:7,8
Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang
pada saat benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan
atau fragmentasi aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson akan
menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi ada yang memberi batas waktu
dalam 60 menit sejak kejadian (primer axotomy).7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada
36
sitoskeleton yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson
(retraction ball), yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi
antara 12 – 48 jam (secondary axotomy).7,8
Diffuse Vascular Injury (DVI)
DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh
hemisfer, khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak,
biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi
perubahan struktur menyeluruh pada endotel mikrovaskular otak. Sehingga
terjadi ekstravasasi sel darah merah.7,8
2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK
(Tekanan Tinggi Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan
mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua, yaitu :7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal
pengobatan. Kerusakan ini timbul karena :7,8
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada
37
diffuse brain swelling sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan
sebagai jenis kongestif karena kehilangan tonus vasomotor. 7,8
V. Patofisiologi
A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi)
saat benturan. Hal ini juga dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia
maka elastisitas jaringan tulang akan berkurang. Keadaan tulang yang
mempengaruhi adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula
eksterna di tempat benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna.
Peristiwa peregangan tabula interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah
kontak, tetapi meliputi seluruh tengkorak. Jika peregangan ini melebihi
kemampuan deformasi tulang tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu,
peristiwa fraktur pada tulang tengkorak berawal dari tabula interna yang
kemudian disusul oleh tabula eksterna.7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada
tulang tengkorak, mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang
yang terkena dan biasa pula terjadi variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah
luar (outbending). Apabila kekuatan benturan mengenai area yang kecil (misal:
pukulan atau senjata) maka fraktur biasanya memberikan gambaran inbending,
sedangkan apabila area yang terkena benturan itu luas, maka biasanya akan
memberikan gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang tengkorak
menyebabkan penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak
dari tulang tengkorak. Pada banyak kasus, fraktur linier akan bercabang
sepanjang diastase dan membentuk fraktur diastase. Sebaliknya, energi yang
38
terjadi pada basis tulang tengkorak (basis cranii) akan menyebabkan fraktur
linier yang akan mengakibatkan tejadinya kelemahan, memberikan berbagai
gambaran adanya udara dalam foramina dan sinus.7,8
B. Trauma Cerebrum (Otak)
Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yag tidak dapat ditekan, otak 1400 gr, cairan
serebrospinal ± 75ml, dan darah ± 75 ml. Peningkatan volume salah satu diantara
ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan pada ruangan yang ditempati oleh
unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Peningkatan Tekanan
Intrakranial (TIK) tudak hanya disebabkan oleh cedera kepala melainkan
mempunyai banyak penyebab lainnya.13
TIK normal berkisar antara 50-200 mmH2O atau 4-15 mmHg. TIK dalam
keadaan normal dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat
melebihi batas normal. Aktivitas tersebut antara lain pernapasan perut yang
dalam, batuk, dan mengedan. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan
kesukaran, tetapi kenaikan TIK yang menetap mempunyai akibat merusak pada
kehidupan jaringan otak.13
Mekanisme yang bekerja bila salah satu dari tiga elemen intrakranial
meningkat sangat penting untuk mempertahankan integritas otak. Perubahan
kompensatoris meliputi pengalihan cairan serebrospinal ke rongga spinal,
peningkatan aliran vena dari otak, dan sedikit tekanan pada jaringan otak. Tumor,
cedera otak, edema, dan obstruksi aliran cairan serebrospinalis semua dapat
meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi akan menjadi tidak efektif bila
menghadapi peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama. 13
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan TIK dan
memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
39
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral,meningitis, dan tentu
saja cedera kepala.
TIK pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai
maksimum. Peningkatan TIK sampai 33 mmHg ( 450 mmH2O ) mengurangi
Aliran Darah Otak (ADO) secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang
pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat
inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih
lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing yang
membantu mempertahankan ADO. Akan tetapi menurunnya pernapasan
mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang
mengakibatkan peningkatan TIK. Tekanan darah sistemik akan terus meningkat
sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik
dimana TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan akibat
kematian otak. 13
Cedera otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak
Sawar Darah Otak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga
timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan
akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan Aliran
Darah Otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan O2 dan penigkatan
CO2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga
terjadi kematian sel.13
40
Gambar 16. Siklus defisit neurologis progresif yang menyertai lesi massa
intrakranial yang membesar (Dikutip dari kepustakaan No.13)
Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan jalan napas
Penatalaksanaan jalan napas bertujuan untuk menstabilkan jalan napas dan
menyediakan ventilasi oksigen yang cukup. Dapat dilakukan intubasi
endotrakeal. Intubasi nasal atau nasogastric tube sebaiknya dihindari terutama
pada pasien yang dicurigai fraktur basis cranial. Kegagalan pernapasan dapat
terjadi karena cedera neurologist atau cedera thoraks. 14
2. Penatalaksanaan system kardiovaskular
41
Normotensi dan euvolemia adalah hasil yang diharapkan pada penatalaksanaan
kardiovaskular. Resusitasi volume menggunakan larutan isotonic sebaiknya
dilakukan untuk mempertahankan tekanan pengisian yang adekuat, cardiac
output yang normal dan normotensi. 14
3. Penatalaksanaan terhadap perfusi serebral dan peningkatan tekanan intracranial. 14
Penatalaksanaan peningkatan intracranial termasuk diantaranya menaikkan posisi
kepala sehingga membentuk sudut 30° terhadap tempat tidur dan
mempertahankan kepala dan leher pada posisi midline. Obat-obat sedasi dan
paralisis digunakan untuk mencegah agitasi dan aktivitas muscular yang dapat
menigkatkan tekanan intracranial. Penggunaan loop diuretic atau osmotic diuretic
ditujukan untuk menurunkan produksi cairan serebrospinal. 14
4. Penatalaksanaan Perdarahan.
Disseminated intravascular coagulopathy terjadi pada sepertiga pasien trauma
kepala dan membutuhkan manajemen yang aggresif dan koreksi factor-faktor
pembekuan untuk menurunkan resiko. 14
5. Pembedahan
Dekompresi melalui pembedahan dibutuhkan pada keadaan epidural dan
subdural hematoma yang berkembang sangat cepat yang menyebabkan
peningkatan tekanan intracranial dan kompresi fokal. 14
Hasil Pemeriksaan Autopsi
1. Fraktur tulang tengkorak. Pada pemeriksaan luar fraktur basis crania dapat
ditemukan adanya lebam periorbital (raccoon eyes), perdarahan sclera,
perdarahan retroauricular (Battle’s sign) dan perdarahan dari telinga. 9
42
Gambar: Manifestasi eksternal fraktur basis cranii. (A) Lebam periorbital
(raccoon eyes). (B) Perdarahan sclera. (C) Perdarahan dari telinga. (D) Lebam
dibelakang telinga (Battle’s sign).
2. Epidural Hematom. Temuan autopsi pada epidural hematom yang tidak ditangani
sangat jelas. Terdapat kontusio pada kulit kepala temporal di sisi hematom,
hematom yang besar pada ruang epidural dapat terlihat ketika tulang tengkorak
dibuka. Edema serebral berat difus yang hebat sebagai efek okupansi ruang
intracranial oleh hematom dapat diamati, termasuk herniasi subfalcine, yang
meluas dari sisi hematom ke arah yang berlawanan, dan herniasi transtentorial,
yang biasa lebih terlihat pada sisi yang hematom. Pembengkakan hemisfer
serebral dibawah hematom menyebabkan permukaan otak tampak mulus. 9
3. Subdural hematom.
a. Subdural hematom akut. Temuan luar pada kasus subdural hematom akut dapat
mencerminkan penyebab trauma. Banyak kasus pada pada subdural hematom
akut, baik apakah disebabkan oleh serangan atau jatuh, memiliki tanda trauma
benda tumpul pada pemeriksaa luar, lebih umum terdapat di wajah daripada di
43
kepala. Fraktur tengkorak umum terjadi. Pada kasus di hematom yang tidak
ditangani, hematom yang terjadi meluas pada ruang dibawah duramater karena
sifat dari duramater yang kaku. Hematoma tercetak pada permukaan otak di
bawahnya sehingga undulasi kortikal normal tetap terjaga bahkan ketika terjadi
udem otak berat (berkebalikan dengan permukaan otak yang mulus dibawah
epidural hematom. Kecembungan girus pada hemisfer pada arah yang
berlawanan mendatar dan sulcus di dekatnya tertekan, mencerminkan suatu efek
space-occupying dari hematom dan udem otak sekunder. Herniasi transtentorial
dan herniasi tonsillar sering terjadi. 9
b. Subdural hematom kronik. Pada subdural hematom kronik, terdapat berbagai
variasi penampakan yang berhubungan dengan ukuran dan lamanya. Umumnya,
kavitas hematom sempit dan mengandung darah cair atau cairan yang bercampur
dengan darah. Hematom ditutup oleh lapisan tipis membrane dalam dan lapiran
tebal membrane luar. Penampilannya bermacam-macam, terbentuk dari
perdarahan baru, perdarahan lama yang kelabu, hemosidering kuning dan
kolagen pucat serta jaringan fibrotic lainnya. Jika hematom merupakan penyebab
kematian, efek dari space-occupancy akan terlihat pada herniasi subfalcine, uncal
dan tonsillar. 9
4. Perdarahan subarachnoid. Perdarahan pada ruang subarachnoid yang diakibatkan
oleh trauma kranioserebral sering ekstensif karena cairan serebrospinal dan darah
subarachnoid yang tidak membeku mengalir bebas pada ruang subarachnoid.
Jumlah perdarahan subarachnoid proporsional terhadap interval antara waktu
trauma dan kematian (dapat minimal apabila kematian terjadi segera setelah
trauma) dan ukuran dari sumber perdarahan, dan, meskipun jejas darah
subarachnoid dapat menyebar luas, biasa yang paling jelas terletak dekat dengan
sumbernya. 9
5. Perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral dapat terjadi dalam bentuk
kontusio-hematom, perdarahan batang otak yang menyebabkan herniasi
transtentorial, himatom jauh di dalam otak terpisah dari konveksitas hemisfer,
hematom ekstraganglion atau lobar yang soliter dan berukuran sedang-besar,
44
hematom serebral yang terisolasi, dan tipe yang jarang di mana terjadi robekan
antara korpus kalosum dorsolateral dan girus cingulated menyebabkan
perdarahan ke dalam ventrikel dan hematom yang membelah white matter antara
dasar lateral korpus kalosum dan girus cingulate. 9
6. Perdarahan intraventrikular. Keberadaan darah yang berlebihan pada ventrikel
keempat, terlihat melalui foramen Luschka dan Magendie sebelum pengirisan
otak, dapat diambil pada saat autopsy sebagai bukti tidak langsung dari
perdarahan intraventrikular. 9
7. Kontusi.
a. Kontusi akut. Penampakan umum dari kontusi akut pada permukaan otak
bervariasi dari permukaan otak yang pucat ke kerusakan disertai perdarahan dan
nekrosis pada area yang luas. Perubahan tersebut dapat terletak pada gray matter
atau meluas dengan derajat dan karakteristik yang bervariasi ke white matter di
dekatnya. Pada irisan otak, kontusi yang kecil atau kontusi dengan interval antara
trauma dan kematian yang dekat, tampak sebagai perdarahan linear yang sejajar
dengan permukaan pial, mencerminkan jalur pembuluh darah kortikal dan
menggambarkan bagaimana robekan pembuluh darah tersebut mempengaruhi
kontusi. Kontusi-laserasi yang besar tampak sebagai area perdarahan yang
terpisah-pisah dengan bentuk yang irregular. Kontusi koup memiliki bentuk
menyempit dengan dasarnya pada permukaan pial. Udem otak terlokalisasi
disekitar kontusi yang setara dengan ukuran kontusi. 9
b. Kontusi lama. Resorpsi darah dan jaringan nekrotik dari kontusi meninggalkan
kavitas dan kistik yang jelas. 9
8. Diffuse Axonal Injury. Cedera kontak pada kulit kepala dan tulang jarang
ditemukan, tetapi bila ada dapat dihubungkan antara cedera aksonal dan kontak
pada kepala. Temuan pada permukaan otak juga jarang. Irisan otak sulit dinilai
melalui mata telanjang atau mengandung robekan perdarahan dengan dimensi
yang bervariasi pada korpus kalosum, pada sudut dorsal dari hemisfer serebral,
dan pada kuadran dorsolateral dari batang otak rostral pada sekitar pedunkel
45
serebellar superior dan tengah. Perdarahan pada thalamus dan ganglia basalis
sering terjadi. 9
9. Diffuse Vascural Injury. Diffuse vascular injury biasanya fatal, korban dapat
meninggal pada tempat kejadian atau bertahan hidup hanya beberapa jam. Cedera
kontak pada kepala mungkin tidak tampak jelas. Pemeriksaan pada otak
menunjukkan perdarahan subarachnoid yang jarang dan perdarahan petechi yang
tersebar luas. Hal yang terakhir dapat terlihat dibawah mikroskop.Perdarahan
tampak nyata pada banyak daerah subependymal, pons lateral dan otak tengah,
dan garis tengah hipotalamus dan batang otak rostral. 9
10. Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Otak tampak normal atau terlihat pembengkakan
difus atau local non-spesifik dan tampak pucat. Penampakan yang jelas hanya
dapat terlihat di bawah mikroskop dalam bentuk neuron dengan noda sitoplasmik
merah terang dan nuclei hiperkromatik menyusut pada area dengan hematoksilin
dan eosin. Gambaran diagnosis histologis pada nekrosis neuronal iskemik tidak
tampak sebelum 6-12 jam setelah cedera. 9
11. Brain Swelling. Gambaran patologis awal dari udem otak adalah pendataran dari
permukaan girus dan penyempitan sulcus. Efek keseluruhan dari udem otak
adalah gambaran umum otak yang mulus dan datar pada undulasi normal pada
permukaan hemisfer serebral. Gambaran otak dari dewasa muda normalnya
tampak full sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan apakah terjadi
udem otak atau tidak.
46
BAB III
KESIMPULAN
1. Asfiksia dapat disimpulkan sebagai keadaan yang ditandai dengan
gangguan pertukaran udara pernafasan yang dapat berakibat hingga
kematian.
2. Asfiksia yang paling sering dijumpai di dalam kasus tindak pidana yaitu
asfiksia mekanik, dimana terjadi obstruksi saluran pernafasan secara
mekanik.
3. Korban kematian akibat asfiksia merupakan urutan ke-3 terbanyak yang
diperiksa oleh dokter setelah kecelakaan lalu-lintas dan trauma mekanik.
4. Salah satu etiologi asfiksia adalah pembekapan.
5. Pembekapan merupakan salah satu bentuk mati lemas, dimana pada
pembekapan baik mulut maupun lubang hidung tertutup sehingga proses
pernafasan tidak dapat berlangsung.
6. Penyebab kematian pada kasus pembekapan yaitu asfiksia, edema paru
dan hiperaerasi.
7. Terdapat 3 cara kematian dalam kasus pembekapan yaitu bunuh diri,
kecelakaan dan pembunuhan.
8. Gambaran hasil pemeriksaan pada kasus pembekapan dapat kita lihat dari
tanda khusus asfiksia, pemeriksaan luar jenazah dan pemeriksaan dalam
jenazah.
47
DAFTAR PUSTAKA
. 1. Budiyanto A. Ilmu Kedokteran Forensik. EdI.Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997.Hal. 55-64.
2. Abdul Mun’in Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi I. Binarupa
Aksara. 1997.
3. Amir, A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi 2.Dalam : Nurina.
Tanda Kardinal Asfiksia Pada Kasus Gantung Diri Yang Diperiksa Di
Departemen Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/ Rsud Pirngadi Medan
Pada Bulan Januari 2007- Desember 2009 [skripsi]. Medan: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2010.hal 4-14.
4. Yustisiari, Shinta F. Pembekapan. Surakarta: USM; 2008
5. Andrew Baker, MD. Investigating asphyxia death[database on the Internet].
Hennepin County Medical Examiner’s Office Minneapolis, MN– [cited 2015
May 18] Avaible from:
https://www.umc.edu/uploadedFiles/UMCedu/Content
/Administration/Health_Equities/Childrens_Justice_Center/investigating_asp
hyxial_deaths.pdf
6. Michael J Skhrum, MD, David A. Ramsay, MB ChB. Forensic Pathology Of
Trauma – common Problems For The Pathologist. 2007.
7. Knight, B. Forensic Pathology. 2nd ed. New York: Oxford University Press.
1996., P 347-351.
8. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak) [cited 2015 May
18] Avaible from: http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?
attId=14.
9. Amir, A., 2nd ed. Autopsi Medikolegal.Dalam : Nurina. Tanda Kardinal
Asfiksia Pada Kasus Gantung Diri Yang Diperiksa Di Departemen Forensik
FK USU RSUP H. Adam Malik/ Rsud Pirngadi Medan Pada Bulan Januari
48
2007- Desember 2009 [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. 2010.hal 4-14.
10. Parikh CK. Parikh text book of medical jurisprudence forensic medicine and
toxicology. 6th ed.CBS publishers New Delhi. 2002; p 333-340
11. Muhammad Al Fatih II. Asfiksia dalam Forensik Klinik. 2007. [cited 2015
May 18] Avaible from: http://www.klinikindonesia.com/forensik.php
12. Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.36. Januari-Juni 2012. Hal. 114-120.
[cited 2015 may 18] Avaible from:
http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_1_2012/hal_114-120-isi.pdf
13. Hanson KA, Gilbert JD, James RA, Byard RW. Upper airway occlusion by
soil--an unusual cause of death in vehicle accidents. J Clin Forensic Med.
2002. P 96-9.
14. Maxeiner H, Schneider V.Suffocation death by occlusion of the airways with
sand. Journal of legal medicine.
15. Kettner M, Ramsthaler F, Horlebein B, Schmidt PH. Fatal outcome of a sand
aspiration. Int J Legal Med. 2008.
49
top related