referat hiponatremia
Post on 15-Dec-2015
441 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Cairan tubuh total secara umum dibagi ke dalam 2 kompartemen utama, yaitu
cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini
terdapat beberapa kation dan anion yang penting dalam mengatur keseimbangan
cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium.
Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan intaraseluler dan ekstraseluler dan
berhubungan langsung dengan fungsi sel. Kation utama dalam cairan ekstraseluler
adalah natrium dan kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium. Cairan dan
elektrolit menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi semua sel dan
jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit jika
terdapat penyakit dalam tubuh.1
Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh.
Konsentrasi normal dari Na+ dalam serum adalah 135-145 meq/L. Kadar natrium
dalam plasma bergantung pada hubungan antara jumlah natrium dan air pada cairan
tubuh. Kadar yang tidak seimbang antara natrium dan air akan berakibat pada
terjadinya kondisi hipernatremia dan hiponatremia.1
Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma
kurang dari dari 135 mEq/L.1 Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang
paling sering dijumpai di rumah sakit yaitu sebanyak 15-20 %.2 Berdasarkan
konsentrasinya hiponatremia terbagi atas tiga yaitu, hiponatremi ringan, sedang dan
berat. Insidensi hiponatremia ringan ( natrium plasma < 135 mEq/L) yaitu sebanyak
15-22 %, hiponatremia sedang ( natrium plasma < 130 mEq/L) 1-7 % dan
hiponatremia berat ( natrium plasma < 120 mEq/L) yaitu sekitar < 1% dari pasien
yang berobat ke rumah sakit.3 Hiponatremia ringan-sedang biasanya bersifat
asimptomatik. Kondisi hiponatremi penting untuk diketahui karena (1) hiponatremia
akut berat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, (2) peningkatan mortalitas
1
pada pasien yang memiliki penyakit dengan kondisi hiponatremia dan (3) terapi yang
terlalu cepat pada pasien hiponatremia kronik dapat menyebabkan kerusakan neuron
dan kematian.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan klasifikasiHiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam
plasma lebih rendah dari 135 mEq/L.1,2 Hiponatremi dapat diklasifikasikan
dalam beberapa kelompok:
1. Berdasarkan osmolalitas plasma
o Hiponatremia isotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas
plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H2O.
2
Contoh : pseudohiponatremia pada hiperlipidemia dan
hiperproteinemia.2
o Hiponatremia hipotonik
Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas
plasma normal yaitu < 280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia
hipotonik selalu menggambarkan ketidakmampuan ginjal
dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan
jumlah cairan intravaskular hiponatremia hipotonik dapat
dibagi menjadi 3 yaitu:
oHipovolemik
Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi
akibat kehilangan natrium renal atau ekstrarenal, dan
penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan
konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan
jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia dengan deplesi
volume dapat terjadi pada berbagai keadaan seperti yang
ditunjukkan tabel 1. Gejala klinis dari deplesi volume yaitu
penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi,
keringnya membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan
blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam
urat.2
Gangguan gastrointestinal
Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung
diberi cairan pengganti dapat menyebabkan kehilangan
sejumlah cairan dan natrium. Pada pemeriksaan
laboratorium akan ditemukan penurunan natrium urin
pada keadaan diare, tetapi mungkin dapat meningkat
pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga
pemeriksaan laboratorium yang baik dalam
3
menggambarkan deplesi volume yaitu pemeriksaan
klorida.2
Keringat yang berlebihan
Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat
menyebabkan deplesi volume, kehilangan natrium dan
klorida pada keringat yang berlebihan.2
Penggunaan diuretik yang berlebihan
Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan
karena penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi
thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh
furosemid.2
Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)
CSWS merupakan suatu sindroma yang terjadi setelah
prosedur neurosurgikal ataupun setelah terjadi trauma
kepala. Pada kondisi ini AVP disekresikan karena
stimulasi baroresptor.2
Defisiensi mineralokortikoid
Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan
pelepasan AVP akibat hipoosmolalitas.2
Euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan
adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus
dibedakan menurut pemeriksaan osmolalitas urin. Hal ini
terjadi karena intake cairan yang berlebihan sedangkan ginjal
4
tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal ini dapat terjadi pada
keadaan dibawah ini:
SIADH ( syndrome inappropiate anti diuretic hormon)
konsentrasi natrium yang rendah karena kelenjar
hipofisis di dasar otak mengeluarkan terlalu banyak
hormon antidiuretik
Sindroma nefrogenik
Defisiensi glukokortikoid
Hipotiroid
Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular
dan penurunan curah jantung yang menyebakan
gangguan perfusi ginjal.
Keringat yang berlebihan
Biasanya terjadi pada atlet maraton.
Intake cairan yang rendah
Pada pasien yang mengkonsumsi bir “beer potomania”
dalam jangka waktu yang lama.
Polidipsia primer
Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik
khusunya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan
berlebihan tidak diikuti dengan diurnal diuresis.2
Hipervolemik
Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya
peningkatan total cairan tubuh yang selanjutnya dapat
dibedakan dengan pemeriksaan konsentrasi natrium pada urin.
Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan
cairan. Pada pasien ini ditemukan edema karena retensi cairan
dan natrium.2
Gagal jantung
5
Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada
awalnya terjadi akibat penurunan curah jantung dan
tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin,
katekolamin dan renin-angiotensin-aldosteron. Kadar
vasopressin yang meningkat telah dilaporkan pada
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal
jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang
memburuk, berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di
ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta dan arteriol
aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis,
system RAS, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang
osmotik, ditengah-tengah berbagai neurohormon lain.
Walaupun total air tubuh meningkat, peningkatan
aktivitas simpatis ikut menyebabkan retensi natrium
dan air. Pelepasan vasopresin yang bertambah
menyebabkan bertambahnya jumlah saluran akuaporin
di duktus koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang
bersifat abnormal dan hiponatremia hipervolemik.2
Sirosis
Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis
dikarenakan gagal jantung, pelepasan AVP.2
Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.2
Tabel 1. Penyebab Hiponatremia Hipotonik menurut Status Volume3
Hipervolemik Euvolemik Hipovolemik
Status azotemik
UNa > 20 mEq/L atau
FENa > 1%
Urin sangat terdilusi
UOsm < 100 mOsm/kg
Polidipsi psikogenik
Kehilangan natrium renal
(natriuresis primer)
UNa > 20 mEq/L or FENa
6
Gagal ginjal (polidipsi primer)
Low-solute potomania:
beer (alcohol) potomania
The
> 1%
Diuretik
Osmotik diuresis
Alkalosis metabolik
Metabolic alkalosis
Salt-losing nephropathies:
tubular asidosis tipe II,
penyakit ginjal polikistik,
uropati obstruktif,
insufisiensi
adrenal,hipokortisol,
hipoaldosteron, cerebral
salt-wasting syndrome
Status edema
UNa < 20 mEq/L or
FENa < 1% (tanpa
diuretik)
Gagal jantung kongestif
Sirosis hati
Sindroma nefrotik
Urin kurang terdilusi
(peningkatan AVP)
UOsm > 100 mOsm/kg
SIAD:† SIADH, NSIAD
Endokrinopati
Hipotiroid
Hipokortisol
7
Kehilangan natrium
ekstrenal
(dengan penggantian H2O
bebas)
UNa < 20 mEq/L or FENa
< 1% (tanpa diuretik)
Gastrointestinal: muntah,
diare
Sekuester cairan:
peritonitis, pankreatitis
Insensibel: keringat, luka
bakar
Dilusi urin bervariasi
UOsm bervariasi
Reset osmostat syndrome
o Hiponatremia hipertonik
Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas
plasma normal yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh :
hiperglikemia dan pemberian cairan hipertonik seperti
manitol.2
2. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma
o Hiponatremia ringan
Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L
o Hiponatremia sedang
Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L
o Hiponatremia berat
Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.2
3. Berdasarkan konsentrasi ADH
8
o Hiponatremia dengan ADH meningkat
Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume
sirkulasi efektif yang menyebabkan Na keluar
berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik, salt-losing
nephropaty, hipoaldosteron) dan non ginjal seperti
diare.2
Peningkatan ADH tanpa disertai deplesi volume
misalnya pada SIADH.2
o Hiponatremia dengan supresi ADH fisiologis
Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan
dimana eksresi cairan lebih rendah dibanding asupan cairan
yang menimbulkan respons fisiologis untuk supresi sekresi
ADH.2
4. Berdasarkan waktu
o Hiponatremia akut
Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung
kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang
berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi
akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk
ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat.2
o Hiponatremia kronik
Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat
yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala
yang berat seperti penurunan kesadaran ataupun kejang. Gejala
yang terjadi seperti mengantuk dan lemas. Kelompok ini
disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi
ringan.2
9
2.2. Patofisiologi hiponatremia
Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan
rangsangan haus. AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh
hipotalamus dan di transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP
berperan dalam mengatur homeostasis. Aktivasi reseptor AVP menyebabkan
ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem
saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil bagi
dari jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu
280-285 mOsm/Kg/H20.2,3,4,5
1. Hiponatremia isotonik
Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam
keadaan normal. Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan
hiperlipidemia ataupun hiperproteinemia. Plasma tersusun atas cairan
dan solut (zat terlarut). Hiperlipidemia dan hiperproteinemia
meningkatkan solut plasma dan menurunkan jumlah cairan plasma,
sehingga pada keadaan ini terjadi pseudohiponatremi. Dimana
denominator dalam penghitungan jumlah natrium plasma menjadi
lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi turun.2,3,4,5
2. Hiponatremia hipotonik
10
Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan
ekstraseluler. Pada keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan
plasma lebih besar dibandingkan jumlah solut sehingga osmolalitas
plasma menjadi turun.2,5
a. Hiponatremia hipotonik euvolemik
Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan
adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus
dibedakan menurut pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi
euvolemik dengan osmolalitas urin <100 mOsm/kg
menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-
solute potomania.2,3,4,5
Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling
sering pada pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air
yang berlebihan, dan biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi
euvolemik dipertahankan dengan supresi osmotik terhadap
pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas.
Sehingga, urin terdilusi dan osmolalitas rendah (biasanya < 100
mOsm/kg).2,3,4,5
Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat
berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold untuk
pelepasan AVP dan disregulasi stimulus osmotik terhadap
rangsangan haus. Terlebih lagi, pada penggunaan antipsikotik
tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga lebih
11
dianjurkan penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti
ini. 2
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang
berlebihan terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan
hiponatremia hipotonik euvolemik. Contohnya adalah konsumsi
alkohol yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut (seringkali
< 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut dapat
menyebabkan dan memperburuk hiponatremia terutama pada
pasien sirosis alkoholik, dimana seringkali mengalami
peningkatan sirkulasi AVP dan memiliki insufisiensi ginjal.
Meskipun begitu potomania sendiri seringkali tidak sufisien
untuk mengakibatkan kondisi hiponatremia, sehingga adanya
disregulasi dan gangguan pada ekskresi ginjal dibutuhkan untuk
dapat menyebabkan kondisi hiponatremia. 2
Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and
cerebral salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi)
juga dilaporkan dapat menyebabkan hiponatremia pada
pengguna alkohol. 2
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan
osmolalitas urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana
terdapat peningkatan AVP yang mengakibatkan adanya urin
yang kurang terdilusi. Kondisi lainnya seperti endokrinopati dan
syndrome of inappropriate antidiuresis (SIAD), dimana adanya
sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan
sindrom nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu,
pada SIAD terdapat peningkatan ekskresi asam urat pada urin
dan kalkulasi dari fraksi ekskresi asam urat yang dapat
memberikan tanda untuk diagnosis, dimana pada pasien normal
fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10 %.2
12
Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal,
penting untuk diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap
hiponatremia hipotonik euvolemik karena juga dapat
mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP. Hipotiroid jarang
menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun dapat
bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L),
dan meskipun mekanisme penyebabnya masih belum jelas,
adanya peningkatan sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat
menjadi penyebab adanya retensi cairan. 2
Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik
euvolemik, meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang
jelas dan juga berhubungan dengan insufisiensi adrenal dan
peningkatan plasma AVP. 2
SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik
euvolemik dan gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak
ditemukannya insufisiensi renal, insufisiensi adrenal, ataupun
adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya. 2
SIADH ditemukan beberapa tahun sebelum
teridentifikasinya AVP sebagai hormon penyebab. Awalnya,
pelepasan AVP diperkirakan menjadi penyebab independen
terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak ditemukan
pada semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien
hiponatremia dengan urin yang terdilusi, pelepasan AVP
biasanya tersupresi walaupun pada konsentrasi natrium plasma
dibawah normal, kondisi yang disebut reset osmostat
syndrome.2
Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi
genetik yang menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi
dengan tidak adanya pelepasan AVP, fenomena yang disebut
NSIAD. Contohnya adanya aktivasi mutasi dari reseptor V2,
13
mutasi pada gen yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin
air pada tubulus kolektivus ginjal, dan mutasi yang
memproduksi molekul yang memiliki mimik AVP. 2
Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk
dapat terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik,
memiliki osmolalitas urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki
efektivitas osmolalitas plasma yang rendah. Selain itu, intake air
yang berlebihan dibutuhkan untuk terjadinya hiponatremia. 2
Penyebab SIAD sangat bervariasi. Obat yang memiliki
aksi mimik AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau
menguatkan aksi AVP dapat menyebabkan SIAD. Termasuk
AVP analog, narkotik, atau antipsikotik. Contohnya oksitosin
yang memiliki AVP-like effect yang dapat menyebabkan
intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat
meningkatkan efek AVP, terutama pada lansia, dan wanita,
pengguna diuretik, atau pada konsentrasi plasma natrium yang
rendah. Exercise-associated hiponatremia juga menjadi kriteria
diagnosis esensial pada SIAD. Konsumsi cairan hipotonik pada
saat olahraga yeng berlebihan mengakibatkan adanya absorbsi
yang tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang
memanjang dan retensi air. Intake air yang berlebihan dan
perubahan hormon saat olahraga merupakan faktor utama
dibandingkan faktor-faktor lainnya. Stimuli nonosmostik
lainnya juga berhubungan saat olahraga yang cukup lama.
Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan
nonosmotik terus merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya,
regulasi normal volume cairan ekstraseluler dan translokasi
natrium yang aktif pada sirkulasi ke tempat penyimpanan tidak
dapat terjadi. 2
14
Tabel 2. Penyebab Syndrome of Inappropriate Antidiuresis
Neoplasma Paru-paru (karsinoma paru small cell, mesotelioma)
Karsinoma pada saluran gastrointestinal, saluran urogenital, prostat, and endometrium
Lainnya (timoma, limfoma, Ewing’s sarkoma)
Paru-paru Infeksi (pneumonia, tuberkulosis, empiema)
Gangguan ventilasi (gagal napas akut, penyakit paru obstruktif kronis)
Kondisi intracranial Inflamasi (meningitis, systemic lupus erythematosus)
Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor, perdarahan subaraknoid, hidrosefalus)
Lainnya (sklerosis multipel, Guillain-Barré syndrome, delirium tremens)
Obat-obatan Analog AVP (vasopresin, desmopresin, oksitosin)
Obat yang menstimulasi pelepasan AVP atau mengaugmentasi AVP (Klorpropamid,meperidin, teofilin, amiodaron,SSRIs, antidepresan trisiklik, karbamazepin, klorpromazin,klozapin, siklofosfamide vinkristin, angiotensin-converting enzyme inhibitors, nikotin, 3,4-methylenedioxymetamfetamine)
Lainnya Mutasi genetik (AVP atau reseptor, water channels)
Postoperatif (nyeri, mual, administrasi cairan yang tidak sesuai)
Berhubungan dengan olahraga (maraton, suhu yang ekstrim,atlet)
AIDS
Idiopatik
15
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan
osmolalitas urin yang bervariasi, mungkin berperan dalam
terjadinya reset osmotat syndrome, terutama jika osmolalitas
urin meningkat secara progresif akibat respons terhadap
restriksi cairan. Sindrom menunjukkan adanya pola pelepasan
AVP dalam respons terhadap pemberian infus NaCl hipertonik.
Pelepasan AVP dapat terjadi cepat dan progresif, sehingga
menghasilkan urin yang terdilusi. Meskipun tidak normal, kadar
AVP terkait erat hubungannya dengan peningkatan osmolalitas
plasma,pada osmolalitas plasma yang sangat rendah pelepasan
AVP tersupresi. Namun, saat osmolalitas plasma kembali
mendekati normal, pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena
ambang osmotik yang normal telah diturunkan. Pelepasan AVP
pada ambang subnormal ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi
untuk batas dibawah normal. Urin yang terdilusi sesuai masih
bisa dicapai, hanya pada osmolalitas plasma yang rendah. Reset
osmotat syndrome ini sering terlihat pada orang tua, pasien
dengan penyakit paru (misalnya, tuberkulosis), dan malnutrisi.
Reset osmotat syndrome dapat terjadi secara fisiologis selama
kehamilan, menyebabkan osmolalitas plasma turun sekitar 10
mOsm / kg air. 2
b. Hiponatremia hipotonik hipovolemik
Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi
peningkatan AVP meningkat dan retensi H2O bebas untuk
mempertahankan volume intravaskular. Namun, retensi H2O
bebas saja tidak cukup untuk mengembalikan volume
ekstraseluler cairan pada keadaan hipovolemia. Selain itu,
penggantian kehilangan natrium dan H2O dengan H2O bebas
16
dapat mempotensiasi peningkatan kadar plasma AVP yang tidak
sesuai, yang dapat memperburuk hiponatremia. 2
Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L
atau FENa kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal
yang aktif untuk mengkompensasi kehilangan ekstrarenal,
seperti kehilangan pencernaan atau insensible water loss dengan
penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik dengan natrium
urin melebihi 20 mEq / L atau melebihi FENa 1% menunjukkan
adanya kehilangan natrium ginjal akibat pemberian diuretik,
osmotik diuresis, salt-losing nephropaty, alkalosis metabolik,
atau insufisiensi adrenal. 2
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan
oleh pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-
diuretics. Diuretik thiazide dapat menyebabkan kehilangan
natrium ginjal yang berlebihan dan deplesi volume, sehingga
timbul hiponatremia berat segera setelah mulai terapi. 2
Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular
asidosis ginjal, penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif.
Baik tubular asidosis ginjal tipe II dan alkalosis metabolik
menyebabkan hiponatremia sebagai akibat dari bikarbonaturia,
yang menimbulkan ekskresi natrium. 2
Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat
mengakibatkan defisiensi glukokortikoid dan / atau
mineralokortikoid, yang mengakibatkan hiponatremia. 2
17
Tabel 3. Penyebab hiponatremia hipovolemik
Renal loss of sodium with water retention Extrarenal loss of sodium with water retention
Diuretic therapy Cerebral salt wasting Mineralcorticoid deficiency
o Autoimmune Adrenal only Polyglandular
endocrinopathyo Adrenal hemorrhage
Meningococcemia Idiopathic
o Infection TB Fungus cytomegalovirus
o Adrenal enzyme deficiencies (congenital adrenal hyperplasia)
Salt wasting nephropaty Bicarbonaturia, glycosuria, ketonuria
Gastrointestinal losseso Vomitingo diarrhea
Third space losseso Bowel obstructiono Pancreatitiso Muscle traumao burns
Sweat losseso Endurance exercise
c. Hiponatremia hipotonik hipervolemik
Pasien hipervolemik dengan natrium urin >20 meEq/L
atau ekskresi fraksi natrium (FENa) >1 tipikal pada pasien
dengan gagal ginjal berat. Sedangkan pada pasien hipervolemik
dengan natrium urin < 20 mEq/L atau FENa < 1% tipikal pada
kondisi edema, termasuk CHF, sirosis, dan sindroma nefrotik. 2
Hiponatremia dengan adanya edema mengindikasikan
adanya peningkatan pada TBW yang lebih besar dibandingkan
total natrium pada tubuh. Meskipun begitu, pada CHF dan
sirosis keadaan ini menunjukan adanya kondisi volume sirkulasi
yang terdeplesi. Retensi natrium dan air pada kondisi edema
biasanya terjadi karena mediasi oleh baroreseptor dengan
pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin-
aldosteron, yang responsnya terutama untuk mempertahankan
18
perfusi jaringan. Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami
reduksi pada volume intravaskular yang sama. 2
Tabel 4. Penyebab hiponatremi euvolemik dan hipervolemik
Impaired renal free water excretion
Euvolemic
SIADHo Tumor
Pulmonary/mediastinal (bronchogenic carcinoma mesothelioma,thymoma)
Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic carcinoma, ureteral,uterine carcinoma, nonpharyngeal carcinoma, leukemia)
o CNS disorders Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural hematoma) Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis, SLE) Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal cord lesions) Miscellaneous (SAH, head trauma, acute psychosis, delirium
tremens, pituitary stalk section, hydrochepalus)o Drug induced
Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines, tricyclics) Direct renal effect and ot potentiation of AVP effects (DDAVP,
oxytocin, prostaglandin synthesis inhibitor) Mixed or uncertain action (ACE inhibitors, carbamazepine and
oxcarbazepine, chlorpropamide, clofibrate, clozapine, 3,4-methylendioxymethamphetamine (ectasy), omeprazole, serotonin reuptake inhibitors, vincristine)
o Pulmonary disease Infection (TB, pneumonia,aspergilosis, empyema) Mechanical/ventilator (acute respiratory failure, COPD, positive
pressure ventilation)o Other
AIDS and ARC Prolonged strenuous exercise (marathon) Senile atrophy Idiopathic
Glucocorticoid defisiensy Hypothyroidsm Decreased urinary solute excretion
o Beer potomaniao Very low protein diet
19
Hypervolemic CHF Chirrosis Nephrotic syndrome Renal failure
o Acuteo Chronic
Excessive water intake
Primary polydipsia Dilute infant formula Freshwater drowning
3. Hiponatremia hipertonik
Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas
bisa terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar
masuk kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau
sorbitol sehingga terjadi perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga
menurunkan kadar natrium ECF. Hiponatremia jenis ini biasanya
dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien
hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun
1 mmol/L. 2
2.3. Manifestasi klinis hiponatremia
Gejala klinis hiponatremia tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Secara umum gejala klini pada hiponatremia dapat dilihat
dibawah ini.
Tabel 5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi
Sistem tubuh Hiponatremia
Sistem Saraf Pusat
Muskuloskeletal
Sakit kepala, confusion, hiper atau hipoaktif refleks tendon dalam, kejang, koma, peningkatan tekanan intrakranial. Weakness, fatigue, muscle cramps/twitching
20
Gastrointestinal
Cardiovascular
Jaringan
Ginjal
Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair
Hipertensi dan bradikardia secara signifikan meningkatkan tekanan intrakranial
Lakrimasi, salivasi
Oligouria2
2.4. Diagnosis
Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema
otak, yang menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik
(CHF, Sirosis), hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel
dengan mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya
edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced), gejala
tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia, kesemutan,
mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan
letargi, dimana gejala lanjut yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan
status mental, kejang, koma, dan gagal napas, dan dapat menyebabkan
kematian. Saat gejala neurologis dari hiponatremia muncul, disebut sebagai
ensefalopati hiponatremia.
Hiponatremia terkalsifikasi berdasarkan osmolalitas plasma yang
ditentukan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume
yang ditentukan melalui pemeriksaan fisik. Penentuan hiponatremia secara
sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab dan terapi yang akan
diberikan. Dapat dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume,
konsentrasi natrium urin dan osmolalitas.
Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan
hiponatremia hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia,
hiponatremia isotonik, 280–295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan
osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan
penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran
21
osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan
sebagai penentuan terapi.
Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan
diagnosis banding. Status volume diklasifikasikan secara klinis sebagai
hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi yang
adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti edema, crackles
pada paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan terdapat S3 pada
auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada kondisi hipovolemik yaitu adanya
hipotensi orthostatik, takikardia, dan oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan
tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan sebagai keadaan euvolemik.
Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.
Tabel 6. Langkah Diagnosis dan Terapi Hiponatremia
Langkah 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (termasuk penentuan status volume)
Langkah 2. Pengukuran osmolalitas plasma
Hiponatremia hipertonik (POsm > 295 mOsm/kg)
Hiponatremia isotonik (POsm 280–295 mOsm/kg)
Hiponatremia hipotonik (POsm < 280 mOsm/kg)
Langkah 3. Pengukuran natrium urin dan osmolalitas (ditambahkan informasi status
volume)
Hiponatremia hipotonik hipervolemik
UNa > 20 mEq/L or Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L or Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%
Hiponatremia hipotonik euvolemik
22
UOsm < 100 mOsm/kg Polidipsia (primer) Psikogenik
Low-solute (beer) potomania
UOsm > 100 mOsm/kg Peningkatan AVP or mimic
Syndrome of inappropriate antidiuresis
Endokrinopati
UOsm bervariasi Reset osmostat syndrome
Hiponatremia hipotonik hipervolemik
UNa > 20 mEq/L atau Natriuresis primer (renal)
FENa > 1%
UNa < 20 mEq/L atau Kehilangan natrium ekstrarenal (dengan
FENa < 1% penggantian dengan H2O bebas)
Langkah 4. Terapi Inisial
Hiponatremia hipertonik Memperbaiki kondisi hiperglikemia
Hiponatremia isotonik Mengobati penyebab gangguan
metabolisme protein atau lipid
Hiponatremia hipotonik Pemberian cairan ± diuretics, restriksi H2O
Pemberian obat farmakoterapi
Langkah 5. Reevaluasi dan penyesuaian terapi
2.5. Penatalaksanaan Hiponatremia
Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial
hiponatremia. Pada hiponatremia hipertonik, tata laksana diberikan langsung
pada penyebabnya. Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia isotonik
selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme lipid dan protein yang
mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara simptomatis,dan
berdasarkan status volume.2,8
23
Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat
konsentrasi plasma natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume,
terapi hiponatremia hipotonik diberikan bertahap, dari pemberian salin
hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin isotonik pada kasus
ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada
kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara
agresif untuk pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa.
Salin hipertonik hanya diberikan pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan
hanya dalam waktu singkat.2
Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya
potensial volume overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus
dikurangi dan terfokus pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air dan
natrium. Reevaluasi serial dan tappering down harus dilakukan secara hati-
hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik.2,8
Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat
terkoreksi secara cepat. Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik
asimptomatik terkadang tidak diberikan, seperti pada pasien sirosis atau reset
osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang berlebihan dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang
permanen dapat muncul akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat
dari adanya central pontine myelinolysis akibat osmotically-induced
demyelination.2
Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan
dalam 12 jam pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus
dibawah dapat digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam
konsentrasi plasma natrium.2
Perubahan dalam natrium plasma = (Natrium pada infus – Natrium plasma)
(Total body water + 1)
24
Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan
0.5 pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5 pada
lansia pria.2
Konsentrasi natrium pada infus yaitu pada salin 3% = 513 mEq/L,
salin 0.9% =154 mEq/L, salin 0.45% = 77 mEq/L. Rumus lainnya juga ada
yang memperhitungkan infus natrium yang mengandung kalium dan elektrolit
lainnya.2,8
Nonpeptide arginine vasopressin reseptor (AVP-R) antagonis adalah
kelas obat baru yang mempromosikan aquaresis, istilah yang digunakan untuk
menggambarkan ekskresi air bebas elektrolit tanpa ekskresi natrium atau
kalium. Sering disebut sebagai "vaptans" atau "aquaretics" untuk menunjukan
efek mereka yang kontras dengan diuretik, AVP-R antagonis menghambat
aksi AVP pada reseptornya secara langsung, khususnya menargetkan pada
V1A reseptor pembuluh darah sel-sel otot dan reseptor V2 pada sel duktus
kolektivus ginjal. Saat ini hanya conivaptan aquaretic yang disetujui oleh
Food and Drug Administration AS, diindikasikan untuk pengobatan
simtomatik dan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik pada pasien rawat
inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu efek samping
dari obat ini, diperlukan restriksi cairan.2,8
Tabel 7. Farmakoterapi untuk Hiponatremia Hipotonik.2
Nama Obat Indikasi Mekanisme Dosis
Demeklosiklin (antibiotik)
Gagal restriksi air pada hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth. SIAD)
Inhibisi cAMP
Idiosinkronasi menginduksi diabetes insipidus nefrogenik
2 x 300-600 mg po
Furosemid hiponatremia Inhibisi Dosis
25
hipotonik hipervolemik kronis (cth : CHF)
hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIAD)
kotransport renal Na+/K+/Cl pada loop of henle asendens dan tubulus distal
Meningkatkan ekskresi dari H2O bebas bersama dengan natriuresis dan kaliuresis
bervariasi
40 mg IV dalam 1-2 menit; dapat diulang jika respons tidak sesuai
Per oral untuk maintenance
Conivaptan hiponatremia hipotonik hipervolemik simtomatik (cth : CHF)
hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIAD)
Antagonis AVP-R
Meningkatkan ekskresi dari elektrolit- H2O bebas
20 mg IV loading dose dalam 30 menit; selanjutnya 20 mg IV selama 24 jam
Dapat ditingkatkan sampai 40 mg selama 24 jam; maksimal dalam 1-4 hari
Fludrokortison Cerebral salt-wasting syndrome
Meningkatkan reabsorbsi natrium dan kehilangan kalium pada tubulus distal ginjal
1 x 0,05-0,2 mg perhari
Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik
26
Tujuan tatalaksana pada pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik
adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2
mEq / L / jam baik menggunakan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-
kadang dalam kombinasi dengan diuretik, sampai gejala mayor (misalnya,
perubahan status mental yang berat, kejang) mereda. Yang penting untuk
diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan kontraindikasi relatif pada
hipervolemia, sehingga penggunaan salin isotonik lebih direkomendasikan
pada pasien sebagai terapi inisial. Sekali gejala mayor membaik, pengobatan
harus kemudian menjadi kurang agresif dan diarahkan pada memperbaiki
penyebab dasar hiponatremia. Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan
pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1 L / hari, dengan atau tanpa diuretik,
mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/ L/jam. AVP-R antagonis dapat
diperlukan pada pasien simptomatik dengan CHF. Perawatan awal pasien
asimtomatik adalah restriksi air bebas dengan atau tanpa diuretik untuk
memperbaiki hiponatremia dan meningkatkan status volume.2,8
Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik
Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia
hipotonik euvolemik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma
dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam menggunakan salin hipertonik sampai gejala
mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam
setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan
selama pengobatan, tetapi penggunaannya harus diminimalkan. Setelah
kondisi telah asimtomatik, tata laksana dapat diganti menjadi restriksi air
bebas. Tatalaksana inisial pada pasien asimptomatik adalah restriksi cairan
0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih dari 0,5 mEq / L / jam selama jangka
waktu beberapa hari.2,8
Terdapat manifestasi klinis yang luas dan bervariasi pada SIAD karena
spektrum luas dari penyebab yang teridentifikasi menyebabkan disfungsi
osmoregulator. Akibatnya, perbedaan respon terapi terhadap masing-masing
27
individu cukup signifikan. Pengobatan SIAD dapat berkisar dari restriksi air
bebas pada pasien asimtomatik, sampai pemberian infus salin isotonik
hipertonik pada pasien simtomatik berat, dan juga farmakoterapi pada kasus
tertentu. Untuk pasien yang tidak terdapat respons atau tidak dapat mematuhi
pembatasan air dapat diberikan farmakoterapi dengan demeclocycline. Agen
ini memberikan efek antagonis AVP pada tubulus distal, pada dasarnya dapat
menginduksi diabetes insipidus nefrogenik. Namun, demeclocycline memiliki
onset lambat,sehingga membatasi kegunaannya pada SIAD kronis. antagonis
AVP-R diindikasikan untuk pasien rawat inap dengan SIADH simptomatik.2,8
Tabel 8. Tata Laksana pada Hiponatremia Hipotonik berdasarkan Volume dan
gejala. 2,8
28
Semua Pasien Mengobati penyakit penyebab
Reevaluasi serial status volume
Step down saat gejala telah teratasi
Pengukuran serial terhadap elektrolit
Pemberian farmakoterapi sesuai indikasi (tabel c)
Status Volume Simtomatik berat Salin hipertonik ± diuretik
Rate koreksi : 1-2 mEq/l/jam sampai gejala mayor mereda
Simtomatik ringan atau sedang
Salin isotonik ± diuretik
Rate koreksi : 0,5-1 mEq/l/jam sampai asimtomatik
Hipervolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari ± diuretik
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
Euvolemik Asimtomatik Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
Hipovolemik Asimtomatik Salin isotonik
29
Rate koreksi : 0,5 mEg/l/jam
BAB III
KESIMPULAN
30
Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih
rendah dari 135 mEq/L. Secara garis besar hiponatremia dapat diklasifikasikan menurut
osmolalitas plasma yaitu hiponatremia isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Dimana pada
hiponatremia hipotonik dibagi lagi menurut status volumenya, yaitu hipovolemik,
euvolemik, dan hipervolemik.
Evaluasi hiponatremia membutuhkan pendekatan yang sistematis. Selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pengukuran osmolalitas plasma merupakan
petunjuk diagnostik yang penting. Hiponatremia hipotonik membutuhkan penilaian
status volume yang akurat, dan pengukuran natrium urin dan osmolalitas yang dapat
mempersempit diagnosis banding penyebab yang mendasarinya.
Pasien dengan gejala simptomatis harus ditangani secara agresif untuk
mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. Jika dilakukan pemberian salin
hipertonik, harus diberikan dalam ruang perawatan intensif dengan konsultasi ahli.
Pasien hipervolemik asimtomatik diberikan tata laksana dengan restriksi air bebas,
dan sering dikombinasikan dengan pemberian diuretik. Pasien euvolemik
asimtomatik juga diberikan tata laksana dengan restriksi air bebas. Pasien
hipovolemik asimtomatik dirawat dengan penggantian volume yang tepat dengan
saline isotonik. Koreksi yang terlalu cepat dapat menyebabkan central mielinolisis
pontine dan kerusakan otak permanen dan dengan demikian harus dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
31
1. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania:
W.B. Saunders company. 1997
2. Brenner B, Singer G. Fluid and electrolyte disturbances. In: Kasper DL,
Braunwald E, Fauci A, et al, editors. Harrison’s principles of internal
medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005:251–63.
3. Reynolds RM, Padfield PL, Seckl JR. Disorders of sodium balance. BMJ
2006; 332:702-5.
4. Horacio J.Adrogue, Nicolaos E.Madias. The Challenge of
Hyponatremia.JASN.2012
5. Rudolph et al. Hyponatremia. Hospital Physician. January 2009; 23–32.
6. Parikh C, Berl T. Disorders of water metabolism. In: Feehally J, Floege J,
Johnson RJ, editors. Comprehensive clinical nephrology. 3rd ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier; 2007:97.
7. Agrawal V, Shashank R Joshi. Hyponatremia and Hypernatremia : Disorder
of Water Balance. JAPI. December 2008
8. Richard H.Sterns, Sagar U. The Treatment of Hyponatremia.UPHS.2009.
32
top related