acara 3

23
ONSET KERJA OBAT PADA BEBERAPA JALUR PEMBERIAN I. TUJUAN PRAKTIKUM Untuk mengetahui waktu antara pemberian obat sampai menmbulkan efek pada beberapa jalur pemberian II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian dan onset kerja obat a. Pengertian onset secara umum Onset adalah Waktu antara pemberian obat sampai timbulnya efek. ( Anief 2, 2007 ) b. Onset konvulasi Onset konvulasi adalah Rentan waktu antara pemberian obat sampai menimbulkan konvulsi / kejang. ( Anief , 2007 ) c. Onset mati Onset mati adalah Rentan waktu antara pemberian obat sampai hewan tersebut mati. ( Anief , 2007 ) 2. Macam-macam jalur pemberian obat 1. Intravena (IV) disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah. Larutan injeksinya harus betul-

Upload: ihsanulhakim

Post on 27-Jun-2015

749 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Acara 3

ONSET KERJA OBAT PADA BEBERAPA JALUR PEMBERIAN

I. TUJUAN PRAKTIKUM

Untuk mengetahui waktu antara pemberian obat sampai menmbulkan

efek pada beberapa jalur pemberian

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian dan onset kerja obat

a. Pengertian onset secara umum

Onset adalah Waktu antara pemberian obat sampai timbulnya

efek.

( Anief 2, 2007 )

b. Onset konvulasi

Onset konvulasi adalah Rentan waktu antara pemberian obat

sampai menimbulkan konvulsi / kejang.

( Anief , 2007 )

c. Onset mati

Onset mati adalah Rentan waktu antara pemberian obat sampai

hewan tersebut mati.

( Anief , 2007 )

2. Macam-macam jalur pemberian obat

1. Intravena (IV)

disuntikkan langsung ke dalam pembuluh darah. Larutan

injeksinya harus betul-betul jernih. Untuk infus yang

merupakan volume cairan yang besar mengandung elektrolit,

substansi nutrisi yang esensial diberikan hanya melalui

intravena injeksi.

( Anief, 2005 )

Pada pemberian intravena (IV) dosis tunggal, yang terjadi

adalah kecepatan distribusi seketika seluruh obat yang

diberikan, dan berlangsung amat cepat. Diketahui pula bahwa

sediaan rute pemberian intravena (IV) memiliki ciri-ciri:

Page 2: Acara 3

a. Solutio, yang larut dalam pelarut air.

b. Pelarut non air seperti minyak.

(Lazuardi, 2010)

2. Intraperitoneal (IP)

Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut, jarang dipakai

sebab bahaya infeksi besar.

3. Nasib obat dalam tubuh

Pada fase farmakokinetik, obat mengalami proses ADME yaitu

absorbsi, distribusi, biotransformasi ( metabolisme ) dan ekskresi

yang berjalan secara simultan langsung atau tak langsung melliputi

perjalanan suatu obat melintasi sel membran.

1. Absorbsi, merupakan transfer obat melintasi membran. Ada 3

tipe membran badan, yaitu :

a. Membran kulit

b. Membran epitel usus

c. Membran sel tunggal

Dalam melintasi sel membran obat melakukan dengan 2 cara,

yaitu transfer pasif dan transfer aktif khusus. Pada transfer

pasif membran tidak berperan aktif ketika obat melalui

membran tersebut. Transfer pasif dibedakan :

a. Filtrasi yaitu zat melalui pori-pori kecil dari membran,

misalnya dinding perifer.

b. Difusi yaitu zat melarut dalam lapisan lemak dari

membran sel.

Absorbsi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti :

a. Kelarutan obat.

b. Kemampuan difusi melintasi sel membran.

c. Konsentrasi obat.

Page 3: Acara 3

d. Sirkulasi pada letak absorbsi.

e. Luas permukaan kontak obat.

f. Bentuk obat.

g. Rute pemakaian obat.

2. Distribusi

Setelah obat terabsorbsi ke dalam aliran darah untuk mencapai

tepat pada letak dari aksi, harus melalui membran sel.

Distribusi obat dilakukan di dalam sususan syarat pusata dan

melalui sawar darah otak. Akumulasi obat dapat terjadi pada

tempat penyimpanantertentu, yaitu :

a. Ikatan pada protein plasma bersifat reversibel di dalam

darah dan jaringan lainnya.

b. Penyimpanan dalam lemak merupakan penyimpanan

kedua bagi obat.

3. Biotransformasi

Merupakan istilah yang sering digunakan untuk

menggambarkan metabolisme obat di badan.

Obat merupakan zat asing bagi badan dan tidak diinginkan,

maka badan berusaha merombak zat tadi menjadi metabolit

sekaligus bersifat hidrofil agar lebih lancar disekresi melalui

ginjal. Jadi reaksi biotransformasi merupakan peristiwa

detoksikasi, biotransformasi berlangsung terutama di hati,

tetapi ada beberapa obat mengalami biotransformasi dalam

ginjal, plasma, dan selaput lendir diusus. Reaksi

biotransformasi biasanya oksidasi, hidrolisa dan konjugasi.

4. Ekskresi

Ginjal merupakan organ yang paling penting dalam sekresi

obat. Obat disekresikan dalam struktur tidak berubah melalui

ginjal dalam urin. Obat yang disekresikan bersama feses bersal

dari :

a. Obat yang tidak diabsorbsi dari penggunaan obat

melalui oral.

Page 4: Acara 3

b. Obat yang disekresikan melalui empedu dan tidak

direabsorbsi dari usus.

Selain melalui ginjal obat dapat disekresikan melalui paru-

paru, air ludah, keringat, atau dalam air susu.

Dampak langsung akibat perubahan pola ADME suatu obat

terkait dengan perwatakan farmakodinamik obat adalah

sebagai berikut :

a. Respon dinamik suatu obat pada tubuh hewan, makin

lama. Pada keadaan demikian maka kerja obat dalam

tubuh hewan menjadi makin lama.

b. Respon dinamik suatu obat pada tubuh hewan tak

menunjukkan hasil berkhasiat, kendati diberikan dengan

dosis lazim. Pada keadaan demikian, yang ditemui

adalah fenomena model pengobatan subterapetik.

c. Respon dinamik suatu obat pada tubuh hewan menjadi

kurang jelas, hal tersebut disebabkan kerja obat tak

sepenuhnya optimal.

Dampak tak langsung akibat perubahan pola ADME suatu obat

adalah sebagai berikut :

a. Timbulnya toleransi tubuh hewan terhadap suatu obat. Bila

obat yang diberikan berjenis antibiotik dan kemoterapi,

maka akan ditemui kemungkinan timbulnya resistensi.

b. Kemungkinan timbulnya pemicu respons intoleran tubuh

pada suatu obat.

c. Kemungkinan pemicu timbulnya drug induce disease

dimana menghasilkan efek samping dengan dampak

menyebabkan penyakit baru karena obat.

d. Kemungkinan pemicu timbulnya adverse drug reaction

dengan tingkatan ringan (intoleran) hingga tingkatan berat

(anaphylatic syok)

Page 5: Acara 3

4. Pengertian, komposisi, fungsi dan mekanisme kerja stychnine

a. Pengertian

Striknin merupakan alkaloid utama yang terdapat pada nux

vomica yaitu merupakan suatu biji pohon yang berasal dari

India yaitu strychnous nuxvomica.

Penggunaannya sebagai pestisida bertahan sampai hari ini dan

merupakan suber keracunan striknin yang tidak disengaja pada

anak-anak dan hewan peliharaan di rumah. Stsiknin

menyebabkan eksitasi di semua sistem saraf pusat. Namun efek

ini bukan akhibat eksitasi langsung pada sinaps. Striknin

meningkatkan level eksitabilitas neuron dengan merintangi

penghambatan secara selektif. Impuls saraf biasanya terbatas

pad jalur yang tepat oleh pengaruh penghambatan. Jika

penghambatan dirintangi oleh strknin, aktifitas neuron yang

sedang berlangsung meningkat dan rangsang sensorik

menyebabkan efek refleks berlebihan.

b. Komposisi

Senyawa kimia yang terkandung : strychnine, bruchnine,

longanine, manosan, galactine, chlorogenic acid.

(Garner, 1961)

c. Mekanisme kerja

Striknin merupakan konvulsan kuat, dan kejangnya memounyai

pola motorik yang khas. Mengingat striknin mempunyai pola

penghambatan, termasuk menghambat anatara otot- otot yang

antagonistik, pola konvulai tersebut ditentukan oleh otot paling

kuat yang bekerja pada sendi tertentu.

Kerja konvulsan striknin adalah dengan mengganggu

penghambatan pasca sinaps yang diperantarai glisin. Glisin

merupakan transmiter penghambatan yang penting

kemotoneuron dan interneuron dispinalis kordata, dan striknin

bekerja sebagai antagonis kompetitif yang selektif untuk

merintangi efek penghambatan gliserin pada semua reseptor

Page 6: Acara 3

gliserin. Striknin merintangi penghambatan berulang ulang

pada pada sel renshaw-sinaps motoneuron dengan

mengantagonis kerja glisin yang dilepaskan oleh sel renhaw.

Fungsi Striknin :

Menyebabkan kekakuan pada otot wajah dan leher, kemudian

terjadi peningkat eksitabilitas refleks dengan cepat, setiap

rangsang sensori dapat menyebabkan respon motorik yang kuat

dengan tahap awal berupa hentakan ekstensor yang teratur, dan

pada tahap lebih lanjut berupa kejang tetanus penuh. Pada

konvulsi ini tubuh menjading lengkung pada hiperekstensi

sehingga kemungkinan hanya ubub- ubun kepala dan tumit

yang menyentuh lantai. Berhentinya nafas disebabkan oleh

kontraksi diafragma serta otot- otot dada dan perut. Kekejangan

ini dapat terjadi berulang diselingi oleh periode dperesi secara

intermiten; perangsangan sensori meningkatkan frekuensi dan

keparahan konvulsi. Kematian terjadi akibat paralisis medula ,

yang terutama disebabkan oleh hipoksia akibat adanya periode

gangguan pernafasan. Jika tidak ditangani, kematian akibat

striknin sering terjadi setelah konvulsi penuh kedua sampai

kelima, tetapi konvulsi yang pertama bisa fatal jika berlangsung

terus - menerus.

Page 7: Acara 3

III. MATERI DAN METODE

1. Materi

Alat dan bahan

3 Ekor tikus

Spet

Timbangan

Glass beker

Stowatch

Larutan stychnine

2. Metode

a. Per Oral (PO)

Seekor mencit ditimbang BB

Kemudian dihitung volume larutan srycnine yang akan di

berikan dengan dosis 10mg/kg konsentrasi 1mg/ml

Berikan larutan strycnine melalui jalur oral

Letakkan mencit pada glass beker kemudian catat waktu

terjadinnya kejang-kejang sampai mati

b. Intra Peritonial (IP)

Seekor mencit ditimbang BB

Kemudian dihitung volume larutan srycnine yang akan di

berikan dengan dosis 10mg/kg konsentrasi 1mg/ml

Berikan larutan strycnine melalui jalur intraperitonial

Letakkan mencit pada glass beker kemudian catat waktu

terjadinnya kejang-kejang sampai mati

Page 8: Acara 3

c. Sub Cutan (SC)

Seekor mencit ditimbang BB

Kemudian dihitung volume larutan srycnine yang akan di

berikan dengan dosis 10mg/kg konsentrasi 1mg/ml

Berikan larutan strycnine melalui jalur Sub Cutan

Letakkan mencit pada glass beker kemudian catat waktu

terjadinnya kejang-kejang sampai mati

IV. HASIL PRAKTIKUM

GroupOnset Konvulasi (detik) Onset Mati (detik)

Oral Subcutan IP Oral Subcutan IP

A1-1 65 219 184 80 239 219

A1-2 67 112 72 82 141 85

B1-1 486 92 184 514 136 200

B1-2 236 210 140 240 236 156

C1-1 90 255 120 100 261 138

C1-2 30 120 3 38 130 6

D1-1 5 185 120 10 199 125

D1-2 25 173 90 60 211 124

1. Kurve hasil praktikum keseluruhan

Onset Kovulasi (detik)

Page 9: Acara 3

A1-1 A1-2 B1-1 B1-2 C1-1 C1-2 D1-1 D1-20

100

200

300

400

500

oral

subcutan

IP

Onset Mati (detik)

A1-1 A1-2 B1-1 B1-2 C1-1 C1-2 D1-1 D1-20

100

200

300

400

500

600

Oral

Subcutan

IP

2. Kurve hasil praktikum kelompok

Page 10: Acara 3

PO SC IP0

50

100

150

200

250

300

onset konvulasi onset mati

Volume obat yang diberikan :

1. Per Oral (PO)

Dik : BB= 0,0377kg

D=10mg/kg

K=1mg/ml

Dit : V ?

Jawab

V=BBxD

K=0,0377 kg x10 mg /kg

1 mg /ml=0,377 ml

2. Subcutan (SC)

Dik : BB = 0,03kg

D = 10mg/kg

K = 1mg/ml

Dit : V ?

Jawab

V= BB x D

K=0,03 kg x 10 mg /kg

1 mg /ml=0,3 ml

Page 11: Acara 3

3. Intra Peritonial (IP)

Dik : BB = 0,033kg

D = 10mg/kg

K= 1mg/ml

\Dit V ?

Jawab

V= BB x D

K=0,033 kg x 10 mg /kg

1mg /ml=0,33 ml

V. PEMBAHASAN

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui waktu antara

pemberian obat sampai menimbulkan efek pada beberapa jalur

pemberian. Digunakan mencit sebagai hewan coba dan masing masing

mencit diberi strychnine dengan dosis 10 mg/kgBB dan dengan

konsentrasi 0,1% yang bekerja menstimulasi syaraf. Mencit 1

diberikan secara per oral, mencit 2 diberikan dengan jalur subcutan dan

mencit ketiga diberikan dengan jalur intra peritoneal.

Mencit 1 diberikan dengan per oral dengan

BB = 3,77 gram = 0,0377 kg

V = BB x D

K =

0,0377 kg x 10 mg /kgBB1 mg /ml

= 0,377ml

Jadi volume strychnine yang diberikan adalah 0,377ml dengan cara

per oral

Menci 2 diberikan dengan jalur subcutan dengan

BB = 30 gram = 0,03kg

Page 12: Acara 3

V = BB x D

K =

0,03 kg x10 mg / kgBB1 mg /ml

= 0,3ml

Jadi volume strychnine yang diberikan melalui jalur subcutan

adalah 0,3ml

Mencit 3 diberikan dengan jalur intra peritoneal dengan

BB = 33 gram = 0,033kg

V = BB x D

K =

0,033 kg x10 mg /kgBB1 mg /ml

= 0,33ml

` Jadi volume strychnine yang diberikan dengan jalur intra peritoneal

adalah 0,33ml

Pada praktikum ini terdapat hasil yang bervariasi dari 8 kelompok dengan

hasil sebagai berikut:

1. Hasil dari kelompok A1-1 didapatkan bahwa onset konvulasi dan onset

mati tercepat adalah melalui jalur peroral (PO) lalu intraperitoneal (IP)

dan yang paling lama menimbulkan efek adalah subkutan (SC), yang

seharusnya urutan paling cepat menimbulkan efek adalah

intraperitonial (IP), Subcutan (SC) kemudian peroral (PO). hal ini

mungkin disebabkan dosis yang diberikan pada jalur per oral terlalu

banyak atau saat pemberian obat masuk ke saluran pernafasan

sehingga mencit cepat menimbulakan efek dari pada perlakuan

Intaraperitonial (IP) dan Subcutan (SC).

2. Hasil praktikum kelompok A1-2 juga sama seperti kelompok A1-1

yaitu dengan hasil waktu tercepat adalah melalui jalur per oral, diikuti

intraperitoneal dan terakhir subkutan. Hal ini desebabkan oleh banyak

faktor antara lain adalah obat salah masuk kedalam saluran pernafasan

atau pemberian dosis yang berlebihan. Yang seharusnya pada literatur

urutan yang paling cepat menimbulkan efek adalah intarapenitonial

(IP), subcutan (SC) dan Peroral (PO)

3. Pada hasil praktikum dari kelompok B1-1 didapatkan onset lonvulasi

dan onset mati tercepat adalah pemberian obat melalui jalur subkutan

Page 13: Acara 3

(SC), hal ini mungkin disebabkan dosis yang berlebihan, selanjutnya

adalah pemberian obat melalui jalur intra peritoneal (IP) dan yang

terakhir adalah per oral (PO).

4. Pada hasil praktikum kelompok B1-2 didapatkan hasil dengan urutan

waktu yang sesuai dengan literatur yaitu dari yang tercepat adalah

intraperitoneal (IP), subkutan(SC), dan per oral(PO)

5. Pada kelompok C1-1 didapatkan hasil urutan waktu onset konvulasi

dan onset mati dari yang tercepat adalah per oral (PO), intra peritoneal

(IP) dan subkutan(SC) hal ini bisa disebabkan karena pemberian dosis

yang terlalu banyak mungkin karena salah perhitungan volume yang

harus diberikan atau ketika pemberian obat kurang tepat.

6. Pada kelompok C1-2 didapatkan hasil urutan waktu onset konvulasi

dan onset mati dari yang tercepat adalah intraperitoneal (IP), per

oral(PO) dan subkutan(SC) ini bias disebabkan karena dosis terlalu

banyak atau kesalahan dari praktikan saat pemberian obat.

7. Pada hasil praktikum D1-1 menunjukkan urutan waktu onset konvulasi

dan onset mati dari yang tercepat adalah per oral(PO), intraperitoneal

(IP) dan subkutan(SC). Ini terjadi bias karena dosis yang terlalu

banyak atau kesalahan pada saat pemberian obat.

8. Pada kelompok D1-2 didapatkan hasil urutan onset konvulasi dan

onset mati obat dari waktu tercepat adalah per oral (PO),

intraperitoneal(IP) dan subkutan(SC). Ini dikarenakan karena

pemberian obat yang terlalu banyak atau kesalahan pada saat

pemberian obat.

Menurut (Anief, 2007) urutan jalur pemberian obat dari

yang terlebih dahulu menimbulkan efek adalah intravena (IV),

intraperitoneal(IP), subkutan(SC), dan per oral(PO).

Dari hasil praktikum jalur pemberian obat yang diberikan adalah

Intrapena (IP), Subcutan(SC) dan Peroral (PO) hasil keseluruhan

setelah dihitung rata-ratanya didapatkan urutan onset obat dari waktu

tercepat adalah intraperitoneal (IP), per ora (PO)) dan terlama adalah

Page 14: Acara 3

subkutan(SC) . Hal ini mungkin bisa terjadi karena perhitungan dosis

obat yang tidak sesuai dengan berat badan mencit atau karena

kesalahan saat pemberian obat.

VI. KESIMPULAN

Cara pemberian dapat mempengaruhi kecepatan absorbsi obat yang

berpengaruh juga terhadap onset dan durasi. Pada literature dijelaskan

bahwa onset paling cepat adalah intraperitonial (IP),

intramuscular(IM), subkutan(SC), peroral(PO). Hal ini terjadi karena:

a. Intraperitonial (IP) mengandung banyak pembuluh darah

sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

b. Intramuscular(IM) mengandung lapisan lemak yang cukup

kecil sehingga obat akan terhalang oleh lemak sebelum

terabasorbsi.

c. Subkutan(SC) mengandung lemak yang cukup banyak.

d. Peroral(PO) disini obat akan mengalami rute yang panjang

untuk mencapai reseptor karena melalui saluran cerna yang

memiliki banyak factor penghambat seperti protein plasma.

Dan durasi paling cepat adalah peroral, intraperitonial,

intramuscular, subkutan. Hal ini terjadi karena :

a. Peroral(PO), karena melalui saluran cerna yang memiliki rute

cukup panjang dan banyak faktor penghambat maka

konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit dan efek obat

lebih cepat.

b. Intraperitonial, disini obat langsung masuk ke pembuluh darah

sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan

intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme

serempak sehingga durasinya agak cepat.

c. Intramuscular, terdapat lapisan lemak yang cukup banyak

sehingga obat akan konstan dan lebih tahan lama.

d. Subkutan, terdapat lapisan lemak yang paling banyak sehingga

durasi lebih lama disbanding intramuscular.

Page 15: Acara 3

VII. DAFTAR PUSTAKA

Anief, M . 2005. Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Pres

Anief, M . 2007. Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat.

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Garner, R.J . 1961. Veterinary Toxicology. London : Bailliere,

Tindall and Cox

Goodman ; gilman. 2001. Dasar Farmakologi Terapi Volume 2.

Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran

Lazuardi, M. 2010. Biofarmasetik dan farmakokinetik Klinik Medis

Veteriner. Jakarta: Ghali Indonesia

Young Hae Choi, et al . 2004. Analysis of strychnine from

detoxified Strychno nux-vomica seeds using liquid

chromatography–electrospray mass spectrometry.

Journal ethno-pharmacology 93 (2004 ) 109-112

Yuningsih, et al . 2004. Efek Toksiko-Patologik Beberapa

Tanaman Beracun Pada Mencit Dalam Upaya Mencari

Zat Pengganti Racun Strychnine Untuk Pemberantasan

Penyakit Rabies Pada Anjing. Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004