14558331 laporan pendahuluan chronic kidney disease ckd
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE),UREMIC ENCHEPALOPATHY DAN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR KOTA MALANG
Oleh:
Jita Olisa
(0910720049)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE),UREMIC ENCHEPALOPATHY DAN HEMODIALISA
DI RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR KOTA MALANG
Oleh:
Jita Olisa
NIM.0910720049
PEMBIMBING KLINIK (C.I) PEMBIMBING AKADEMIK
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Masalah Kesehatan
Chronic Kidney Disease
B. Definisi
Gagal Ginjal Kronik (CRF) atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang
menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) ( KMB, Vol 2 hal 1448).
Gagal ginjal kronis adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang
bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, hal ini terjadi bila laju filtrasi
glomerular kurang dari 50 mL/min. (Suyono, et al, 2001)
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit sehingga terjadi uremia. (Smeltzer & Bare, 2001)
C. Etiologi
Penyebab dari gagal ginjal kronis antara lain :
1. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
2. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
3. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
4. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
5. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal)
6. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
7. Nefropati toksik
8. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)
(Price & Wilson, 1994)
Penyebab gagak ginjal kronik cukup banyak tetapi untuk keperluan klinis dapat dibagi dalam 2
kelompok :
1. Penyakit parenkim ginjal
Penyakit ginjal primer : Glomerulonefritis, Mielonefritis, Ginjal polikistik, Tbc ginjal
Penyakit ginjal sekunder : Nefritis lupus, Nefropati, Amilordosis ginjal, Poliarteritis
nodasa, Sclerosis sistemik progresif, Gout, Dm
2. Penyakit ginjal obstruktif : pembesaran prostat,Batu saluran kemih, Refluks ureter,
Secara garis besar penyebab gagal ginjal dapat dikategorikan
Infeksi yang berulang dan nefron yang memburuk
Obstruksi saluran kemih
Destruksi pembuluh darah akibat diabetes dan hipertensi yang lama
Scar pada jaringan dan trauma langsung pada ginjal
D. Klasifikasi
Tahap Deskripsi GRF
1 Kerusakan ginjal dengan GRF N/ ± 90
2 Kerusakan ginjal GFR ringan 60 – 89
3 GFR sedang 30 – 59
4 GFR berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15
E. Insidensi
Di negara maju, angka penderita gangguan ginjal tergolong cukup tinggi. Di Amerika Serikat
misalnya, angka kejadian gagal ginjal meningkat tajam dalam 10 tahun. Pada 1990, terjadi 166
ribu kasus GGT (gagal ginjal tahap akhir) dan pada 2000 menjadi 372 ribu kasus. Angka tersebut
diperkirakan terus naik. Pada 2010, jumlahnya diestimasi lebih dari 650 ribu.
Selain data tersebut, 6 juta-20 juta individu di AS diperkirakan mengalami GGK (gagal ginjal
kronis) fase awal. Dan itu cenderung berlanjut tanpa berhenti.
F. Prognosis Penyakit
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium
1. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % - 75 %). Tahap inilah yang paling
ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan
gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas
normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam
batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih
yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
2. Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan
tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini
pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam,
gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu
faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah
penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam
diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % - 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan
tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini
pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam,
gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu
faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah
penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang
berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal.
Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam
diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang
tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya
ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % - 25 % . faal ginjal
jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan
naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %)
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat
melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain
mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih
berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran
sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur.
Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml /
menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat
mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai
merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri
(pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun
proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal,
kompleks menyerang tubulus gijal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang
dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium
akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam
bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
G. Patofisiologi
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis
didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
1. Penurunan cadangan ginjal;
Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada
akumulasi sisa metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak,
dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan nocturia dan poliuri.
Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi
2. Insufisiensi ginjal;
Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa
sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai
terjadi akumulai sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan oliguri, edema.
Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR,
sehingga perlu pengobatan medis
3. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
4. Penyakit gagal ginjal stadium akhir;
Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional
yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubuluS. Akumulasi
sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal
sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa
atau penggantian ginjal.
(Corwin, 1994)
Pathways (terlampir)
2 pendekatan teoritis yang biasanya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada
Gagal ginjal Kronis:
1. Sudut pandang tradisional
Mengatakan bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium
yang berbeda-beda, dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi –
fungsi tertentu dapat saja benar-benar rusak atau berubah strukturnya, misalnya lesi
organic pada medulla akan merusak susunan anatomic dari lengkung henle.
2. Pendekatan Hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh
Berpendapat bahwa bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur,
namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul bila
jumlah nefron yang sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan
elektrolit tidak dapat dipertahankan lagi.
Adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi
dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal, terjadi peningkatan
percepatan filtrasi, beban solute dan reabsorpsi tubulus dalam setiap nefron yang
terdapat dalam ginjal turun dibawab normal.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah.
Namun akhirnya kalau 75 % massa nefron telah hancur, maka kecepatan filtrasi dan
beban solute bagi tiap nefron sedemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerolus-
tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun
konsentrasi solute dan air menjadi berkurang.
H. Tanda Dan Gejala
1. Gangguan pernafasan
2. Udema
3. Hipertensi
4. Anoreksia, nausea, vomitus
5. Ulserasi lambung
6. Stomatitis
7. Proteinuria
8. Hematuria
9. Letargi, apatis, penuruna konsentrasi
10. Anemia
11. Perdarahan
12. Turgor kulit jelek, gatak gatal pada kulit
13. Distrofi renal
14. Hiperkalemia
15. Asidosis metabolic
1. Kardiovaskuler
Hipertensi, gagal jantung kongestif, udema pulmoner, perikarditis
Pitting edema (kaki, tangan, sacrum)
Edema periorbital
Friction rub pericardial
Pembesaran vena leher
2. Dermatologi
Warna kulit abu-abu mengkilat
Kulit kering bersisik
Pruritus
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
3. Pulmoner
Krekels
Sputum kental dan liat
Nafas dangkal
Pernafasan kussmaul
4. Gastrointestinal
Anoreksia, mual, muntah, cegukan
Nafas berbau ammonia
Ulserasi dan perdarahan mulut
Konstipasi dan diare
Perdarahan saluran cerna
5. Neurologi
Tidak mampu konsentrasi
Kelemahan dan keletihan
Konfusi/ perubahan tingkat kesadaran
Disorientasi
Kejang
Rasa panas pada telapak kaki
Perubahan perilaku
6. Muskuloskeletal
Kram otot
Kekuatan otot hilang
Kelemahan pada tungkai
Fraktur tulang
Foot drop
7. Reproduktif
Amenore
Atrofi testekuler
(Smeltzer & Bare, 2001)
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Urine :
o Volume
o Warna
o Sedimen
o Berat jenis
o Kreatinin
o Protein
2. Darah :
o Bun / kreatinin
o Hitung darah lengkap
o Sel darah merah
o Natrium serum
o Kalium
o Magnesium fosfat
o Protein
o Osmolaritas serum
3. Pielografi intravena
o Menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
o Pielografi retrograd
o Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel
o Arteriogram ginjal
o Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, massa.
4. Sistouretrogram berkemih
o Menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks kedalam ureter, retensi.
5. Ultrasono ginjal
o Menunjukkan ukuran kandung kemih, dan adanya massa, kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas.
6. Biopsi ginjal
o Mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologis
7. Endoskopi ginjal nefroskopi
o Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif
8. EKG
o Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa,
aritmia, hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.
1. Pemeriksaan Laboratorium
o Laboratorium darah :
BUN, Kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Phospat), Hematologi (Hb, trombosit, Ht, Leukosit),
protein, antibody (kehilangan protein dan immunoglobulin)
o Pemeriksaan Urin
Warna, PH, BJ, kekeruhan, volume, glukosa, protein, sedimen, SDM, keton, SDP, TKK/CCT
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan gangguan
elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia)
3. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim ginjal, anatomi
system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta prostate
4. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal Aretriografi dan
Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen dada, pemeriksaan rontgen
tulang, foto polos abdomen
J. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
K. Penatalaksanaan
1. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius, seperti
hiperkalemia, perikarditis dan kejang. Perikarditis memperbaiki abnormalitas biokimia ;
menyebabkan caiarn, protein dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas ;
menghilangkan kecendurungan perdarahan ; dan membantu penyembuhan luka.
2. Penanganan hiperkalemia
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan masalah utama pada gagal ginjal akut ;
hiperkalemia merupakan kondisi yang paling mengancam jiwa pada gangguan ini. Oleh
karena itu pasien dipantau akan adanya hiperkalemia melalui serangkaian pemeriksaan
kadar elektrolit serum ( nilai kalium > 5.5 mEq/L ; SI : 5.5 mmol/L), perubahan EKG (tinggi
puncak gelombang T rendah atau sangat tinggi), dan perubahan status klinis. Pningkatan
kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion pengganti resin (Natrium polistriren
sulfonat [kayexalatel]), secara oral atau melalui retensi enema.
3. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbanagan cairan didasarkan pada berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang,
tekanan darah dan status klinis pasien. Masukkan dan haluaran oral dan parentral dari
urine, drainase lambung, feses, drainase luka dan perspirasi dihitung dan digunakan
sebagai dasar untuk terapi penggantia cairan.
Glomerular Filtration Rate (GFR)=
[ (140 – age in years) × weight (kg) ]/plasma creatinine (µmol/l) × 0.82 (subtract 15 per cent for
females)
Penatalaksanaan terhadap gagal ginjal meliputi :
1. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan fosfat.
2. Obat-obatan : diuretik untuk meningkatkan urinasi; alumunium hidroksida untuk terapi
hiperfosfatemia; anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat yang dapat
menstimulasi produksi RBC seperti epoetin alfa bila terjadi anemia.
3. Dialisis
4. Transplantasi ginjal
(Reeves, Roux, Lockhart, 2001)
L. Asuhan Keperawatan Gagal Ginjal Kronis
Pengkajian
1. Aktifitas dan Istirahat
Kelelahan, kelemahan, malaise, gangguan tidur
Kelemahan otot dan tonus, penurunan ROM
2. Sirkulasi
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada
Peningkatan JVP, tachycardia, hipotensi orthostatic, friction rub
3. Integritas Ego
Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada kekuatan
Menolak, cemas, takut, marah, irritable
4. Eliminasi
Penurunan frekuensi urin, oliguri, anuri, perubahan warna urin, urin pekat warna
merah/coklat, berawan, diare, konstipasi, abdomen kembung
5. Makanan/Cairan
Peningkatan BB karena edema, penurunan BB karena malnutrisi, anoreksia, mual, muntah,
rasa logam pada mulut, asites
Penurunan otot, penurunan lemak subkutan
6. Neurosensori
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot, kejang, kebas, kesemutan
Gangguan status mental,penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, koma
7. Nyeri/Kenyamanan
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki
Distraksi, gelisah
8. Pernafasan
Pernafasan Kussmaul (cepat dan dangkal), Paroksismal Nokturnal Dyspnea (+)
Batuk produkrif dengan frotty sputum bila terjadi edema pulmonal
9. Keamanan
Kulit gatal, infeksi berulang, pruritus, demam (sepsis dan dehidrasi), petekie, ekimosis,
fraktur tulang, deposit fosfat kalsieum pada kulit, ROM terbatas
10. Seksualitas
Penurunan libido, amenore, infertilitas
11. Interaksi Sosial
Tidak mampu bekerja, tidak mampu menjalankan peran seperti biasanya
(Doengoes, 2000)
M. Diagnose Keperawatan Disertai Data Subjektif Dan Objektif
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium
sekunder terhadap penurunan fungsi ginjal
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,
pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase
diuretik)
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi,
ketidakseimbangan elektrolit
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisa
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit
kering, pruritus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
N. Intervensi Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan b.d. penurunan haluaran urin, retensi cairan dan natrium sekunder
terhadap penurunan fungsi ginjal
Tujuan : pasien menunjukkan pengeluaran urin tepat seimbang dengan pemasukan.
Kriteria Hasil :
a. Hasil laboratorium mendekati normal
b. BB stabil
c. Tanda vital dalam batas normal
d. Tidak ada edema
Intervensi :
a. Monitor denyut jantung, tekanan darah, CVP
b. Catat intake & output cairan, termasuk cairan tersembunyi seperti aditif antibiotic,
ukur IWL
c. Awasi BJ urin
d. Batasi masukan cairan
e. Monitor rehidasi cairan dan berikan minuman bervariasi
f. Timbang BB tiap hari dengan alat dan pakaian yang sama
g. Kaji kulit,wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (skala +1
sampai +4)
h. Auskultasi paru dan bunyi jantung
i. Kaji tingkat kesadaran : selidiki perubahan mental, adanya gelisah
Kolaborasi :
a. Perbaiki penyebab, misalnya perbaiki perfusi ginjal, me ↑ COP
b. Awasi Na dan Kreatinin Urine Na serum, Kalium serumHb/ Ht
c. Rongent Dada
d. Berikan Obat sesuai indikasi : Diuretik : Furosemid, Manitol; Antihipertensi :
Klonidin, Metildopa
e. Masukkan/pertahankan kateter tak menetap sesuai indikasi
f. Siapkan untuk dialisa sesuai indikasi
2. Resiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d katabolisme protein,
pembatasan diet, peningkatan metabolisme, anoreksi, mual, muntah
Tujuan : mempertahankan status nutrisi adekuat
Kriteria hasil : berat badan stabil, tidak ditemukan edema, albumin dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi
b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet
c. Kaji factor yang berperan merubah masukan nutrisi : mual, anoreksia
d. Berikan makanan sedikit tapi sering, sajikan makanan kesukaan kecuali kontra
indikasi
e. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut
f. Timbang BB tiap hari
Kolaborasi ;
a. Awasi hasil laboratorium : BUN, Albumin serum, transferin, Na, K
b. Konsul ahli gizi untuk mengatur diet
c. Berikan diet ↑ kalori, ↓ protein, hindari sumber gula pekat
d. Batasi K, Na, dan Phospat
e. Berikan obat sesuai indikasi : sediaan besi; Kalsium; Vitamin D dan B kompleks;
Antiemetik
3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan berlebihan (fase
diuretik)
Hasil yang diharapkan : klien menunjukkan keseimbangan intake & output, turgor kulit baik,
membrane mukosa lembab, nadi perifer teraba, BB dan TTV dalam batas normal, elektrolit
dalam batas normal
Intervensi :
a. Ukur intake & output cairan , hitung IWL yang akurat
b. Berikan cairan sesuai indikasi
c. Awasi tekanan darah, perubahan frekuansi jantung, perhatikan tanda-tanda
dehidrasi
d. Kontrol suhu lingkungan
e. Awasi hasil Lab : elektrolit Na
4. Resiko tinggi penurunan curah jantung b.d. ketidakseimbangan volume sirkulasi,
ketidakseimbangan elektrolit
Tujuan : klien dapat mempertahankan curah jantung yang adekuat
Kriteria Hasil :
a. TD dan HR dalam batas normal
b. Nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi :
a. Auskultasi bunyi jantung, evaluasi adanya, dispnea, edema perifer/kongesti
vaskuler
b. Kaji adanya hipertensi, awasi TD, perhatikan perubahan postural saat berbaring,
duduk dan berdiri
c. Observasi EKG, frekuensi jantung
d. Kaji adanya nyeri dada, lokasi, radiasi, beratnya, apakah berkurang dengan inspirasi
dalam dan posisi telentang
e. Evaluasi nadi perifer, pengisian kapiler, suhu, sensori dan mental
f. Observasi warna kulit, membrane mukosa dan dasar kuku
g. Kaji tingkat dan respon thdp aktivitas
h. Pertahankan tirah baring
Kolaborasi:
a. Awasi hasil laboratorium : Elektrolit (Na, K, Ca, Mg), BUN, creatinin
b. Berikan oksigen dan obat-obatan sesuai indikasi
c. Siapkan dialysis
5. Intoleransi aktivitas b.d. penurunan produksi energi metabolic, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisa
Tujuan : klien mampu berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi
Intervensi ;
a. Kaji tingkat kelelahan, tidur , istirahat
b. Kaji kemampuan toleransi aktivitas
c. Identifikasi faktor yang menimbulkan keletihan
d. Rencanakan periode istirahat adekuat
e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi
f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan aktifitas alternative sambil istirahat
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d gangguan status metabolic, edema, kulit kering,
pruritus
Hasil yang diharapkan : kulit hangat, utuh, turgor baik, tidak ada lesi
Intervensi :
a. Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, ekimosis, kerusakan,
suhu
b. Pantau intake & output cairan, hidrasi kulit dan membrane mukosa
c. Jaga kulit tetep kering dan bersih
d. Ubah posisi tidur dengan sering, beri bantalan pada penonjolan tulang
e. Beri perawatan kulit, batasi sabun, olesi lotion, salep, krim; tangani area edema
dengan hati-hati
f. Pertahankan linen kering dan kencang
g. Anjurkan menggunakan kompres lembab dan dingin pada area pruritus
h. Anjurkan menggunakan bahan katun, Berikan kasur dekubitus
7. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b.d
keterbatasan kognitif, kurang terpajan, misintepretasi informasi
Tujuan : klien menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan pengobatan,
melakukan dengan benar prosedur yang perlu, perubahan perilaku hidup
Intervensi :
a. Kaji ulang pengetahuan klien tentang proses penyakit/prognosa
b. Kaji ulang pembatasan diet ; fosfat dan Mg
c. Diskusi masalah nutrisi/diet tinggi karbohidrat, Rendah protein, rendah natrium
sesuai indikasi
d. Diskusikan terapi obat, nama obat, dosis, jadwal, manfat dan efek samping
e. Diskusikan tentang pembatasan cairan
f. Kaji ulang tindakan mencegah perdarahan : sikat gigi halus
g. Buat program latihan rutin, kemampuan dalam toleransi aktivitas
h. Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik segera :
Demam, menggigil, perubahan urin/ sputum, edema,ulkus,kebas,spasme
pembengkakan sendi, pe↓ ROM, sakit kepala, penglihatan kabur, edema
periorbital/sacral, mata merah
O. Daftar Pustaka
1. Long, B.C. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Alih bahasa
: Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)
2. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–surgical nursing.
8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)
3. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J.
Jakarta: Salemba Medika; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1999)
4. Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC; 2001
(Buku asli diterbitkan tahun 1996)
5. Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th
Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994 (Buku asli diterbitkan tahun 1992)
6. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
(Buku asli diterbitkan tahun 1993)
7. Suyono, S, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2001
8. Reeves, C.J., Roux, G., Lockhart, R. Medical – surgical nursing. Alih bahasa : Setyono, J.
Jakarta: Salemba Medika; 2001(Buku asli diterbitkan tahun 1999)
LAPORAN PENDAHULUAN UREMIC ENCHEPALOPATHY
Uremic encephalopathy merupakan salah satu bentuk dari ensefalopati metabolik.
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang menyebabkan
terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan oleh kelainan
pada otak maupun diluar otak.
Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan:
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa di sertai tanda – tanda infeksi bacterial yang jelas
Urea berasal dari hasil katabolisme protein. Protein dari makanan akan mengalami
perombakan di saluran pencernaan (duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam amino.
Selain asam amino, hasil perombakan protein juga menghasilkan senyawa yang mengandung
unsur nitrogen (N), yaitu amonia (NH3). Asam amino tersebut merupakan produk dari
perombakan protein yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Sedangkan amonia merupakan
senyawa toksik yang bersifat basa dan akan mengalami proses detoksifikasi di hati menjadi
senyawa yang tidak toksik, yaitu urea melalui siklus urea. Selain itu, urea juga disintesis di hati
melalui siklus urea yang berasal dari oksidasi asam amino. Pada siklus urea, kelompok asam
amino (amonia dan L-aspartat) akan diubah menjadi urea. Produksi urea di hati diatur oleh N-
acetylglutamate. Urea kemudian mempunyai sifat yang mudah berdifusi dalam darah dan
diekskresi melalui ginjal sebagai komponen urin, serta sejumlah kecil urea diekskresikan melalui
keringat.
Sedangkan uremia adalah suatu sindrom klinis yang berhubungan dengan
ketidakseimbangan cairan, elektrolit dan hormon serta abnormalitas metabolik yang berkembang
secara paralel dengan menurunnya fungsi ginjal. Uremia sendiri berarti ureum di dalam darah.
Uremia lebih sering terjadi pada chronic kidney disease (CKD), tetapi dapat juga terjadi
pada acute renal failure (ARF) jika penurunan fungsi ginjal terjadi secara cepat. Hingga
sekarang, belum ditemukan satu toksin uremik yang ditetapkan sebagai penyebab segala
manifestasi klinik pada uremia. 1
Gambar 1. Gejala klinis pada Uremia
II.3 Definisi
Uremic encephalopathy (UE) adalah kelainan otak organik akut maupun subakut yang
terjadi pada pasien dengan gagal ginjal akut maupun kronik. Biasanya dengan nilai kadar
Creatinine Clearance menurun dan tetap di bawah 15 mL/mnt. Sebutan “uremic
encephalopathy sendiri memiliki arti gejala neurologis non spesifik pada uremia. 2,3
II.4 Epidemiologi4
Prevalensi internasional tidak diketahui. Di Amerika Serikat, prevalensi UE sulit ditentukan.
UE dapat terjadi pada pasien manapun dengan end-stage renal disease (ESRD),dan secara
langsung tergantung pada jumlah pasien tersebut. Pada 1990an, lebih dari 165,000 orang
diobati untuk ESRD. Pada tahun 1970an, jumlahnya 40,000. Dengan bertambahnya jumlah
pasien dengan ESRD, diasumsikan jumlah kasus UE juga bertambah.
Gambar 2. Insidens ESRD
Mortalitas
Gagal ginjal fatal jika tidak ditangani
UE menunjukkan fungsi ginjal yang memburuk. Jika tidak ditangani, UE dapat
menyebabkan koma dan kematian.
Pasien memerlukan penanganan agresif untuk mencegah komplikasi dan menjaga
homeostasis yang tergantung pada intensive care dan dialisis. Di AS, lebih dari 200.000
pasien menjalani hemodialisa.
Ras
Gagal ginjal lebih sering pada ras Afrika Amerika dibandingkan ras lainnya.
Jenis Kelamin
Insidens pada pria dan wanita sama banyak.
Usia
Pasien pada berbagai usia dapat mengalami gagal ginjal, namun lebih progresif pada usia
lanjut, yaitu pasien di atas 65 tahun.
II.Patofisiologi
Patofisiologi dari UE belum diketahui secara jelas. Urea menembus sawar darah otak
melalui sel endotel dari kapiler otak. Urea sendiri tidak bisa dijadikan satu-satunya
penyebab dalam terjadinya ensefalopati, karena jumlah ureum dan kreatinin tidak
berhubungan dengan tingkat penurunan kesadaran ataupun adanya asterixis dan myoclonus.5
Perubahan yang ditemukan pada mayat pasien dengan chronic kidney disease
biasanya ringan, tidak spesifik dan lebih berhubungan dengan penyakit yang menyertainya.
Jumlah kalsium pada korteks serebri hampir dua kali lipat dari nilai normal. Peningkatan
jumlah kalsium ini mungkin diperantarai oleh aktivitas hormon Paratiroid. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian pada anjing yang mengalami gagal ginjal akut maupun kronik, EEG
dan abnormalitas kalsium dapat dicegah dengan dilakukannya paratiroidektomi. Pada
manusia dengan gagal ginjal, EEG dan gangguan psikologik juga dapat membaik dengan
paratiroidektomi.6
Pada gangguan ginjal, metabolisme otak menurun sehingga menyebabkan rendahnya
konsumsi oksigen serebri. Penjelasan yang memungkinkan pada perubahan ini adalah
reduksi neurotransmitter, menyebabkan aktivitas metabolik berkurang. Pompa Na/K
ATPase mengeluarkan kalsium dari sel eksitabel dan penting dalam menjaga gradien
kalsium 10 000:1 (di luar−di dalam sel). Dengan adanya uremia, terdapat peningkatan
kalsium transpor akibat PTH. Beberapa studi menyatakan bahwa aktivitas pompa Na/K
ATPase ouabain-sensitif menurun pada keadaan uremik akut maupun kronik. Karena pompa
ini penting dalam pelepasan neurotransmitter seperti biogenic amines, hal ini dapat
membantu menjelaskan gangguan fungsi sinaps dan menurunnya konsentrasi
neurotransmitter yang ditemukan pada tikus yang mengalami uremi. 6
Pada tahap awal UE, plasma dan LCS menunjukkan peningkatan jumlah glisin dan
glutamin serta menurunnya GABA, sehingga terjadi perubahan metabolisme dopamin dan
serotonin di dalam otak, menyebabkan gejala awal berupa clouded sensorium. Bukti
selanjutnya bahwa terdapat gangguan fungsi sinaps yaitu adanya studi bahwa dengan
memburuknya uremia, terjadi akumulasi komponen guanidino, terutama guanidinosuccinic
acid, yang meningkat pada otak dan LCS pada gagal ginjal, memiliki efek inhibisi pada
pelepasan ã-aminobutyric acid (GABA) dan glisin pada binatang percobaan, juga
mengaktivasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA). Toksin ini kemungkinan menganggu
pelepasan neurotransmitter dengan cara menghambat channel klorida pada membran
neuronal. Hal ini dapat menyebabkan myoklonus dan kejang. Sebagai tambahan,
methylguanidine terbukti menghambat aktivitas pompa Na/K ATPase.6,7,8
Gambar 3. Ilustrasi efek neurotoksik dari uremia pada sistem saraf pusat
Kontribusi aluminium pada UE kronik masih belum jelas diketahui. Sumber
alumunium diperkirakan dari diet dan obat-obatan terikat fosfat. Transpor aluminium
menuju otak hampir pasti melalui reseptor transferin pada permukaan luminal pada sel
endotel kapiler otak. Jika sudah melewati otak, aluminium dapat mempengaruhi ekspresi
âA4 protein prekursor yang melalui proses kaskade menyebabkan deposisi ekstraselular dari
âA4 protein. Secara ringkas, patofisiologi dari UE adalah kompleks dan mungkin
multifaktorial.6
II.6 Gejala klinis
Apatis, fatig, iritabilitas merupakan gejala dini. Selanjutnya, terjadi konfusi, gangguan
persepsi sensoris, halusinasi, dan stupor. Gejala ini dapat berfluktuasi dari hari ke hari,
bahkan dalam hitungan jam. Pada beberapa pasien, terutama pada pasien anuria, gejala ini
dapat berlanjut secara cepat hingga koma. Pada pasien lain, halusinasi visual ringan dan
gangguan konsentrasi dapat berlanjut selama beberapa minggu.
Pada gagal ginjal akut, clouded sensorium selalu disertai berbagai gangguan motorik,
yang biasanya terjadi pada awal ensefalopati. Pasien mulai kedutan, jerk dan dapat kejang.
Twitch dapat meliputi satu bagian otot, seluruh otot, atau ekstremitas,aritmik, asinkron pada
kedua sisi tubuh pada saat bangun ataupun tidur. Pada beberapa waktu bisa terdapat
fasikulasi, tremor aritmik, mioklonus, khorea, asterixis, atau kejang. Dapat juga terjadi
phenomena motorik yang tidak terklasifikasi, yang disebut uremic twitch-convulsive
syndrome.
Gambar 4. Asterixis
Jika keadaan uremia memburuk, pasien dapat jatuh dalam keadaan koma. Jika asidosis
metabolik yang mengikuti tidak dikoreksi, akan terjadi pernapasan Kussmaul yang berubah
sebelum kematian, menjadi pernapasan Cheyne-Stokes.9
Tabel 1. Gejala dan Tanda Ensefalopati Uremikum10
Ringan Sedang BeratAnoreksia Muntah GatalMual Lamban Gangguan
orientasiInsomnia Mudah lelah Kebingungan“restlessness” Mengantuk Tingkah laku anehKurang atensi Perubahan pola tidur Bicara peloTidak mampu menyalurkan ide
Emosional Hipotermia
Penurunan libido Paranoia Mioklonus
Penurunan kognitif AsterixisPenurunan abstraksi KejangPenurunan kemampuan seksual
Stupor
Koma
II. 7 Diagnosis
Diagnosis ensefalopati uremik biasanya berdasarkan gejala klinis dan kemajuannya setelah
dilakukan terapi yang adekuat. Pemeriksaan laboratorium pada UE antara lain darah
lengkap, elektrolit, glukosa, ureum, kreatinin, fungsi hati dan amonia. Pada UE terdapat
nilai kreatinin yang tinggi. Darah lengkap diperiksa untuk melihat adanya anemia karena
dapat berperan dalam beratnya perubahan status mental. Sementara jika ditemukan
leukositosis menunjukkan adanya proses infeksi. Elektrolit, dan glukosa diperiksa untuk
menyingkirkan penyebab ensefalopati lainnya.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan dugaan infeksi. Pada
ensefalopati uremik, LCS sering abnormal, kadangkala menunjukan pleositosis ringan
(biasanya <25 sel/mm3) dan meningkatnya konsentrasi protein (biasanya <100mg/dl).
EEG biasanya abnormal, tetapi tidak spesifik namun berhubungan dengan gejala
klinis. Selain itu, EEG dapat berguna untuk menyingkirkan penyebab lain dari konfusi
seperti infeksi dan abnormalitas struktural. Gambaran EEG yang sering ditemukan adalah
perlambatan secara general. Ritme tetha pada frontal yang intermiten dan paroksisimal,
bilateral, high voltage gelombang delta juga sering ditemukan. Kadangkala kompleks spike-
wave bilateral atau gelombang trifasik pada regio frontal dapat terlihat. 3,11,12
Gambar 5. Hasil elektroensefalografi pada pasien uremic encephalopathy, didapatkan perlambatan general dengan gelombang delta dan theta dan spikes bilateral12
Pencitraan otak seperti CT scan atau MRI dilakukan untuk menyingkirkan adanya
hematom subdural, stroke iskemik. Namun biasanya menunjukkan atrofi serebri dan
pelebaran ventrikel pada pasien dengan chronic kidney disease.11
II.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding UE antara lain ensefalopati hipertensif, ensefalopati hepatikum, sindrom
respons inflamasi sistemik pada pasien sepsis, vaskulitis sistemik, neurotoksisitas akibat
obat (opioid, benzodiazepin, neuroleptik, antidepresan), cerebral vascular disease, hematom
subdural. Kejang dapat terjadi pada UE, ensefalopati hipertensif, emboli serebral, gangguan
elektrolit dan asam-basa, tetanus.9,11
II.9 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan uremic encephalopathy, penyakit ginjal yang terjadi sangat penting,
karena pada keadaan irreversibel dan progresif, prognosis buruk tanpa dialisis dan
transplantasi renal. UE akut ditatalaksana dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis,
walaupun biasanya dibutuhkan waktu 1 sampai 2 hari dibutuhkan untuk mengembalikan
status mental. Kelainan kognitif dapatmenetap meskipun setelah dialisis. Kerugian dari
dialisis adalah sifat non-spesifik sehingga dialisis juga dapat menghilangkan komponen
esensial. Transplantasi ginjal juga dapat dipertimbangkan.12
Eliminasi toksin uremik juga dipengaruhi oleh uptake intestinal dan fungsi renal.
Uptake intestinal bisa dikurangi dengan mengatur diet atau dengan pemberian absorbent
secara oral. Studi menunjukkan untuk menurunkan toksin uremik dengan diet rendah
protein, atau pemberian prebiotik.atau probiotik seperti bifidobacterium. Menjaga sisa
fungsi ginjal juga penting untuk eliminasi toksin uremik.12
Dalam praktek klinis, obat antikonvulsan yang sering digunakan dalam menangani
kejang yang berhubungan dengan uremia adalah benzodiazepine untuk kejang myoklonus,
konvulsif atau non-konvulsif parsial kompleks atau absens; ethosuximide, untuk status
epileptikus absens; Fenobarbital, untuk status epileptikus konvulsif.13 Sementara itu,
gabapentin dapat memperburuk kejang myoklonik pada end stage renal disease. 14
Benzodiazepin (BZD) dan Fenobarbital bekerja meningkatkan aktivitas GABA dengan
berikatan pada kompleks reseptor GABA A, sehingga memfasilitasi GABA untuk berikatan
dengan reseptor spesifiknya. Terikatnya BZD menyebabkan peningkatan frekuensi
terbukanya channel klorida, menghasilkan hiperpolarisasi membran yang menghambat
eksitasi selular.15
Gambar 6. Mekanisme kerja Benzodiazepine15
Koreksi anemia dengan eritropoetin rekombinan pada pasien dialisis dengan target Hb
11 sampai 12 g/dl dapat berhubungan dengan meningkatnya fungsi kognitif dan
menurunkan perlambatan pada EEG.11
II.10 Prognosis
Dengan penatalaksaan yang tepat, tingkat mortalitas rendah. Dengan pengenalan terhadap
dialisis dan transplantasi ginjal, insidens dan tingkat keparahan dari UE dapat dikurangi.
II.11 Disequilibrium syndrome
Dialysis disequilibrium syndrome terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis.
Gejalanya antara lain sakit kepala,mual, muntah, penglihatan kabur, disorientasi, delirium,
hipertensi, tremor dan kejang.Kondisi ini biasanya sembuh dengan sendirinya dalam
beberapa jam. Hal ini terjadi karena adanya reverse urea effect. Urea dibersihkan lebih lama
dari otak daripada darah, sehingga menyebabkan perbedaan osmotik dan menyebabkan
serebral edema transien.12
II.12 Dialysis encephalopathy
Beberapa pasien yang menjalani dialisis dalam waktu lama dapat mengalami dialysis
encephalopathy atau dialysis dementia. Keadaan ini subakut, progresif dan seringkali fatal.
Gejalanya antara lain disartria, apraksia, perubahan kepribadian, psikosis, mioklonus, kejang
dan demesia. Pada sebagian besar kasus, keadaan ini dapat menyebabkan kematian dalam 6
bulan.12
DAFTAR PUSTAKA
1. Alper AB. Uremia . Diunduh dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/245296-
overview . Akses tanggal 19 April 2013.
2. Lohr JW. Uremic encephalopathy. Diunduh dari URL:
http://emedicine.medscape.com/article/239191-overview . Akses tanggal: 19 April 2013.
3. McCandless DW. Metabolic encephalopathy. Edisi 1. Springer. 2009
4. Bucurescu G. Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy. Diunduh dari
URL: http://emedicine.medscape.com/article/1135651-overview . Akses tanggal: 19
April 2013.
5. Wijdicks EFM. Neurologic complications of critical illness. Edisi 2. Oxfor Univ Press.
2002. Hlm 175
6. Burn, D.J., Bates, D. Neurology and the kidney. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry Vol.65,
No.6 810-821
7. Deguchi T, Isozaki K, Yousuke K, Terasaki T, Otagiri M. Involvement of organic anion
transporters in the efflux of uremic toxins across the blood-brain barrier. J Neurochem.
Feb 2006;96(4):1051-9.
8. De Deyn PP, Vanholder R, Eloot S, et al. Guanidino compounds as uremic
(neuro)toxins. Semin Dial. Jul-Aug 2009;22(4):340-5.
9. Ropper AH, Samuels MA. Principles of neurology. Edisi 9. McGrawHill. 2009.
10. Weiner HL,Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: EGC. 2006. Hlm 214.
11. Seifter JL, Samuels MA. Uremic encephalopathy and other brain disorders associated
with renal failure. Seminars in neurology/volume 31, number 2 2011. Pg 139-141.
12. Annemie Van Dijck, Wendy Van Daele and Peter Paul De Deyn (2012). Uremic
Encephalopathy, Miscellanea on Encephalopathies - A Second Look, Dr. Radu
Tanasescu (Ed.), ISBN: 978-953-51-0558-9, InTech
13. Krishnan V, Murray P. Pharmacological issues in the critically ill. Clin Chest Med 2003;24:671-88
14. Zhang C, Glenn DG, Bell WL, O'Donovan CA. Gabapentin-induced myoclonus in end-stage renal disease. Epilepsia 2005;46:156-8.
LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA
2.1 Definisi Hemodialisa
Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air
mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua tehnik utama yang
digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari
plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai
pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer)
kedalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian besar volume
cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan
aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.
Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi dializer yang
dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode yang dominan dalam pengobatan
gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat. (Tisher & Wilcox, 1997)
Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan
dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah
dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa
memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan
vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan. (NKF, 2006)
2.2 Indikasi Hemodialisa
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas berdasarkan
kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai. Kebanyakan ahli
ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat
sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak
sanggup lagi bekerja purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml
pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit.
Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai
kegiatan sehari-hari tidak dilakukan lagi.
Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara ideal
semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10
mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa
gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi khusus
yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia, asidosis metabolik
berulang, dan nefropatik diabetik.
Kemudian Thiser dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai
ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan kadar kreatinin
serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat
membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya Thiser dan Wilcox
(1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa adalah azotemia simtomatis
berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah
perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem
pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi.
2.3 Kontra Indikasi Hemodialisa
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang
tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas
hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia
multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.
2.4 Tujuan Hemodialisa
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang
sisa-sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang
lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
2.5 Proses Hemodialisa
Suatu mesin hemodialisa yang digunakan untuk tindakan hemodialisa berfungsi
mempersiapkan cairan dialisa (dialisat), mengalirkan dialisat dan aliran darah melewati suatu
membran semipermeabel, dan memantau fungsinya termasuk dialisat dan sirkuit darah korporeal.
Pemberian heparin melengkapi antikoagulasi sistemik. Darah dan dialisat dialirkan pada sisi
yang berlawanan untuk memperoleh efisiensi maksimal dari pemindahan larutan. Komposisi
dialisat, karakteristik dan ukuran membran dalam alat dialisa, dan kecepatan aliran darah dan
larutan mempengaruhi pemindahan larutan. (Tisher & Wilcox, 1997)
Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu saringan sebagai
ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk menyaring dan membersihkan darah
dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk
melaksanakan hemodialisa diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan
masuk ke dalam mesin hemodialisa. (NKF, 2006)
Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran semipermeabel yang
terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian lain untuk dialisat. Darah mengalir dari
arah yang berlawanan dengan arah dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran
darah. Dializer merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan
serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung
kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya. Dializer ini sangat kecil dan kompak karena
memiliki permukaan yang luas akibat adanya banyak tabung kapiler. (Price & Wilson, 1995)
Menurut Corwin (2000) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di luar tubuh. Selama
hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah kateter masuk ke dalam sebuah mesin
yang dihubungkan dengan sebuah membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua
ruangan. Satu ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh dializer darah
dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt (AV-shunt).
Selanjutnya Price dan Wilson (1995) juga menyebutkan bahwa suatu sistem dialisa terdiri
dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat. Darah mengalir dari pasien melalui
tabung plastik (jalur arteri/blood line), melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien
melalui jalur vena. Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan perantaraan pompa
pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke
dalam dializer, dimana cairan akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui
drainase. Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran semipermeabel dari
hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi.
Kemudian menurut Price dan Wilson (1995) komposisi dialisat diatur sedemikian rupa
sehingga mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-unsur
yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa. Urea, kreatinin, asam
urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini
tidak terdapat dalam dialisat. Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat,
akan berdifusi ke dalam darah. Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi bikarbonat. Glukosa dalam
konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam
dialisat yang dapat menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak
dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan cairan dapat dicapai
dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dengan dialisat.
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara darah
dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat dicapai dengan meningkatkan tekanan
positif di dalam kompartemen darah dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap
aliran vena, atau dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran dialisa juga
meningkatkan kecepatan difusi solut. Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan
garam atau NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah pasien
mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau
mungkin juga memerlukan pompa darah untuk membantu aliran dengan quick blood (QB)
(sekitar 200 sampai 400 ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-
menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah pembekuan darah.
Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau
bekuan darah kembali ke dalam aliran darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka
hemodializer modern dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai
parameter. (Price & Wilson, 1995)
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan dengan
kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu dengan QB 200–300 mL/menit. Sedangkan
menurut Corwin (2000) hemodialisa memerlukan waktu 3–5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu.
Pada akhir interval 2–3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak
normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah merah
rusak dalam proses hemodialisa.
Price dan Wilson (1995) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan meningkatkan
kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan hemolisis sel-sel darah merah
sehingga dapat menyebabkan pasien meninggal. Robekan pada membran dializer yang
mengakibatkan kebocoran kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar
dialisat. Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama pengobatan
berkisar dari 4 sampai 6 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa yang digunakan dan keadaan
pasien.
Gambar 2.1 Skema Proses Hemodialisa
(National Kidney Foundation, 2001)2.6 Komplikasi Hemodialisa
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1. Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai
mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi
(penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisat
natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan
berat cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada
pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-
osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang
mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien
osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem
serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani
hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien
yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6. Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan
mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan
faktor risiko terjadinya perdarahan.
7. Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena
hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak adekuat
ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
2.7 Peritoneal Dialisa
2.7.1 Definisi
Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penenganan pasien GGA (gagal ginjal akut) maupun GGK (gagal ginjal kronik),
menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermiabel. Melalui
membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan dialisis peritoneal (DP) bila
dibandingkan dengan hemodialasis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman
serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat di
lakukan di pati kedudukan cukup penting untuk menengani kasus–kasus tertentu
dalam rumah sakit besar dan modern.
2.7.2 Indikasi
Dialisis peritoneal dapat digunakan pada pasien :
1. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut )
2. Gangguan keseimbangan cairan , elektrolit atau asam basa
3. Intoksikasi obat atau bahan lain .
4. Gagal ginjal kronik (dialisat peritoneal kronik)
5. Keadaan klinis lain di mana DP telah terbukti manfaatnya
2.7.3 Kontra Indikasi
1. Kontra indikasi absolute : tidak ada
2. Kontra indikasi relative : keadaan–keadaan yang kemungkinan secara teknik akan
mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk
berlebihan, perlengketan peritoneum, perotinitis local, operasi atau trauma
abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intra abdomen yang belum di ketahui
sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama bila disertai
infeksi atau perawatan yang tidak adekuat, salah satu cara yang sering digunakan
untuk menilai efisiensi peritoneal dialisa adalah dengan menentukan peritoneal
clearance dengan rumus :
Cp = U
Cp : peritoneal clearance
U: konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar dari kavum peritoneal
(mg%)
P: konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg%)
V: volume cairan dialisat tiap menit (mL)
Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneal adalah besar kecilnya melekul,
kecepatan cairan dialisat, equilibration-time(dwell time yaitu lamanya cairan dialisat
berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan
dialisat, permeabilitas peritoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.
2.7.4 Komplikasi
1. Komplikasi Mekanis
o Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing atau hati)
o Perdarahan yang kadang-kadang menyumbat kateter
o Gangguan drainase (aliran cairan dialisat)
o Bocornya cairan dialisat
o Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut
2. Komplikasi metabolik
o Gangguan keseimbangan
cairan,elektrolik dan asam basa .
o Gangguan metabolisme karbohidrat
perlu diperhatikan terutama pada penyandang DM berupa hiperglikemia post
dialisis.
o Kehilangan protein yang terbuang lewat
cairan dialisat
o Sindrom disequilibrium.
2.8 Teknik Hemodialisa
2.8.1 Persiapan Mesin dan Perangkat HD
1. Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
2. Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
3. Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
4. Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat
dialisat yang telah disiiapkan.
5. Tunggu sampai lampu hijau
6. Tes conductivity dan temperatur
7. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin
sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
8. Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pasien
9. Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak banyaknya
10. Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (priming)
11. Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
12. Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu jalankan
blood pump (sirkulasi tertutup)
2.8.2 Persiapan Penderita
Indikasi hemodialisa :
1. Segera/indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, oliguri berat
atau anuria, asidosis, hipertensi maligna.
2. Dini/profilaksi : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit tulang,
gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup. Bila penderita baru
yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD terlebih dahulu periksa
kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit, ureum, kreatinin, dan
HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD :
1. Timbang dan catat berat badan
2. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan
kelebihan cairan)
3. Tentukan akses darah yang akan ditusuk
4. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70%
kemudian ditutup pakai duk steril
5. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil : spuit 2,5 cc sebanyak 1,
spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steril
6. Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonest dan heparin
7. Pakai masker dan sarung tangan steril
8. Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusuk
9. Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000 unit pada inlet
sedangkan outlet sebanyak 1000 unit
10. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan
11. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menit kemudian dinaikkan
perlahan sampai 200 ml/menit
12. Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan
13. Segera ukur kembali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang digunakan
dicatat dalam status yang telah tersedia.
2.8.3 Perawatan Pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu :
1.Perawatan sebelum hemodialisa
o Mempersiapkan perangkat HD
o Mempersiapkan mesin HD
o Mempersiapkan cara pemberian heparin
o Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor bio psiko sosial,
agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
o Mempersiapkan akses darah
o Menimbang berat badan, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
o Menentukan berat badan kering
o Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
2.Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita dan mesin HD
a. Observasi terhadap pasien HD
o Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dicatat dalam status
o Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
o Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam
status
o Akses darah dihentikan
b. Observasi terhadap mesin HD
o Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
o Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
o Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
o Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
o Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
3.Perawatan Sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada
pasien dan mesin HD.
a. Cara mengakhiri HD pada pasien
o Ukur tekanan darah dan nadi sebelum slang inlet dicabut
o Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
o Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
o Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak
50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi
ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
o Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah
berhenti dari luka tusukan
o Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
o Timbang berat badan lalu dicatat
o Kirimkan darah ke laboratorium
b. Cara mengakhiri mesin HD
o Kembalikan tekanan negative, tekanan positif, ke posisi nol
o Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu
kembalikan ke Hansen connector
o Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
o Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride pekat)
sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
o Bila formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali.
Gambar 2.2 Proses Hemodialisa
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Biodata
1. Nama :
2. Umur : Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun
3. Jenis Kelamin :
4. Pekerjaan :
5. Agama :
6. Alamat :
7. Pendidikan :
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Pada pasien GGK yang akan dilakukan hemodialisa biasanya mengeluh mual, muntah,
anorexia, akibat peningkatan ureum darah dan edema akibat retensi natrium dan
cairan.
2. Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu ditanya penyakit-penyakit yang pernah diderita klien sebagai penyebab terjadinya
GGK, seperti DM, glomerulonefritis kronis, pielonefritis. Selain itu perlu ditanyakan
riwayat penggunakan analgesik yang lama atau menerus.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan apakah orang tua atau keluarga lain ada yang menderita GGK erat
kaitannya dengan penyakit keturunannya seperti GGK akibat DM.
C. Data Biologis
1. Makan & minum
Biasanya terjadi penurunan nafsu makan sehubungan dengan keluhan mual muntah
akibat peningkatan ureum dalam darah.
2. Eliminasi
Biasanya terjadi gangguan pengeluaran urine seperti oliguri, anuria, disuria, dan
sebagainya akibat kegagalan ginjal melakukan fungsi filtrasi, reabsorsi dan sekresi.
3. Aktivitas
Pasien mengalami kelemahan otot, kehilangan tonus dan penurunan gerak sebagai
akibat dari penimbunan ureum dan zat-zat toksik lainnya dalam jaringan.
4. Istrahat/tidur
Pasien biasanya mengalami gangguan pola istrahat tidur akibat keluhan-keluhan
sehubungan dengan peningkatan ureum dan zat-zat toksik seperti mual, muntah, sakit
kepala, kram otot dan sebagainya.
D. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : lemah dan penurunan tingkat kesadaran akibat terjadinya uremia
Vital sign : biasanya terjadi hipertensi akibat retensi cairan dan natrium dari
aktivitas sistim renin
BB : Biasanya meningkat akibat oedema
1. Inspeksi
o Tingkat kesadaran pasien biasanya menurun
o Biasanya timbul pruritus akibat penimbunan zat-zat toksik pada kulit
o Oedema pada tungkai, acites, sebagai akibat retensi cairan dan natrium
2. Auskultasi
Perlu dilakukan untuk mengetahui edema pulmonary akibat penumpukan cairan
dirongga pleura dan kemungkinan gangguan jantung (perikarditis) akibat iritasi pada
lapisan pericardial oleh toksik uremik serta pada tingkat yang lebih tinggi dapat terjadi
gagal jantung kongestif.
3. Palpasi
Untuk memastikan oedema pada tungkai dan acietas.
4. Perkusi
Untuk memastikan hasil auskultasi apakah terjadi oedema pulmonar yang apabila
terjadi oedema pulmonary maka akan terdengar redup pada perkusi.
E. Data Psikologis
Pasien biasanya mengalami kecemasan akibat perubahan body image, perubahan peran
baik dikeluarga maupun dimasyarakat. Pasien juga biasanya merasa sudah tidak berharga
lagi karena perubahan peran dan ketergantungan pada orang lain.
F. Data Sosial
Pasien biasanya mengalami penurunan aktivitas sosial akibat penurunan kondisi kesehatan
dan larangan untuk melakukan aktivitas yang berat.
G. Data Penunjang
1. Rontgen foto dan USG yang akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan atropik
2. Laboratorium :
o BUN dan kreatinin, terjadi peningkatan ureum dan kreatinin dalam darah.
o Elektrolit dalam darah : terjadi peningkatan kadar kalium dan penurunan kalium.
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan pengeluaran urin, diet berlebihan
dan retensi air.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah, pembatasan diet dan perubahan membram mukosa mulut.
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penangananya
3.3 Fokus Intervensi
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan
pengeluaran urin, diet berlebihan dan retensi air.
Intervensi :
a. Kaji status pasien
o Timbang berat badan tiap hari
o Keseimbangan masukan dan keluaran
o Turgor kulit dan adanya oedema
o Tekanan darah, denyut nadi dan irama nadi
Rasionalisasi : Pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk
memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi
b. Batasi masukan cairan
Rasionalisasi :Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, keluaran urin dan
respon terhadap terapi dan sumber kelebihan cairan yang tidak
diketahui dapat diidentifikasi
c. Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat
pembatasan cairan
Rasionalisasi : Pemahaman meningkatkan kerja sama pasien dan
keluarga dalam pembatasan cairan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet dan perubahan membram mukosa
mulut.
Intervensi :
a. Kaji faktor berperan dalam merubah masukan nutrisi
o Anoreksia, mual, muntah
o Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien
o Depresi
o Kurang memahami pembatasan diet
o Stomatis
Rasionalisasi : Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau
dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
b. Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas diet
Rasionalisasi : Mendorong peningkatan masukan diet.
c. Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis
tinggi, telur, produk susu, daging.
Rasionalisasi : Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan
3. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penangananya
Intervensi :
Bantu pasien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai perubahan
akibat penyakit dan penanganan yang mempengaruhi hidupnya.
Rasionalisasi : Pasien dapat melihat bahwa kehidupannya tidak harus berubah akibat
penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Price dan Wilson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta :
EGC, 1991.
2. UNPAD Bandung. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Perkemihan Bagi Dosen
Dan Instruktur Klinik Keperawatan. Bandung : UNPAD Bandung, 2000.