wanita miftaqurrohman el qudsy

35
1 WANITA (ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA) MAKALAH Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan Mata Kuliah Islamic Worldview Oleh: MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020 Dosen Pengampu: DR. AHMAD MUNIR, M.Ag. PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO 2013

Upload: miftah-el-azhary

Post on 30-Jun-2015

244 views

Category:

Education


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Wanita miftaqurrohman el qudsy

1

WANITA (ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA)

MAKALAH

Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan

Mata Kuliah Islamic Worldview

Oleh:

MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020

Dosen Pengampu:

DR. AHMAD MUNIR, M.Ag.

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PONOROGO

2013

Page 2: Wanita miftaqurrohman el qudsy

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun forum

diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif dalam

masyarakat. Hal itu tidak terlepas dari isu-isu tentang perempuan (wanita) itu sendiri,

baik tentang historitas asal-usul kejadiannya, perannya dalam menjerumuskan nenek

moyang manusia (ab al-basyar, Adam) sehingga menyebabkan diusir dari surga, maupun

segala ketimpangan dalam realitas sosial dewasa ini yang kesemuanya ditujukan kepada

wanita sebagai faktor utamanya.

Hadis-hadis seperti ‚Lan yuflih} qawm wallaw amrahum imra’ah‛ (tidak akan

sukses suatu kaum yang meyerahkan kepemimpinan mereka kepada seorang wanita),1

‚Al-nisa>’ h}aba>’il al-shayt}a>n wa lawla> hadzih al-shahwah lamma> ka>nat kadza>lik‛

(wanita-wanita adalah umpan penjerat setan, seandainya tidak ada nafsu ini tentu

mereka tidak akan seperti itu),2 dan ‚Ya> bunayy imsyi khalf al-asad wa al-aswad wa la>

tamsy khalf al-mar’ah‛ (wahai anakku, berjalanlah dibelakang singa ataupun ular, dan

jangan berjalan di belakang wanita);3 dan ayat semisal ‚Al-rija>l qawwa>mu>n ‘ala> al-nisa>’‛

(laki-laki adalah pemimpin bagi wanita-wanita),4 ‚Li al-dzakar mithl h}adzdzi al-

unthayaynI‛ (Bagi laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan),5 ataupun ‚Fa ankih}u>

ma> t}a>ba lakum min al-nisa>’ mathna> wa thula>tha wa ruba>‘‛ (maka kawinilah wanita-

1 H.R. Abu> Tha’labah. Lihat Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl al-Suyûthî, al-Jami‘ al-Saghi>r

fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II (Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 453. 2 Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet. Ke-1

(Beirut: Da>r al-fikr, 1993), 153. 3 Perkataan Nabi Dawd kepada putranya Nabi Sulayman. Ibid., 154.

4 Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 34.

5 Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 11.

Page 3: Wanita miftaqurrohman el qudsy

3

wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat)6 oleh mayoritas kaum Muslim

sendiri malah dijadikan perangkat untuk melegitimasi pandangan-pandangan

subordinatif, inferioritif, marginalitif maupun diskriminatif terhadap perempuan.

Islam sesungguhnya adalah agama yang rah}mah li al-‘a>lami>n (menjadi kasih

sayang bagi alam semesta) dan sekaligus ramah terhadap perempuan.7 Hal itu bisa

diamati terhadap sikap, perlakuan, dan hak yang diterima oleh perempuan-perempuan di

sekitar Nabi SAW., baik istri-istri beliau maupun yang lain.8 Nabi tidak pernah

mendiskriminasi perempuan dalam hak-hak maupun kewajibannya, bahkan beliau –baik

secara revolusi maupun gradual- mempunyai misi besar mengentaskan keterpurukan

perempuan yang terjadi sejak masa-masa sebelumnya, mengangkat mereka pada posisi

terhormat, setara dan terbebaskan dari belenggu doktrin dan budaya.9 Walaupun ayat-

ayat maupun hadis-hadis di atas bersumber dari beliau.

Memahami posisi perempuan dalam Islam harus mengacu kepada sumber-sumber

Islam yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap

kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan tekstual, melainkan

memperhatikan juga segi kontekstualnya, baik konteks makro berupa tradisi masyarakat

Arab, kondisi sosio-politik dan sosio-historis ketika itu maupun konteks mikro dalam

wujud asba>b al-nuzu>l ayat dan asba>b al-wuru>d hadis. Pemaknaan non-literal terhadap

teks-teks suci agama dalam al-Qur’an dan al-Sunnah mengacu kepada tujuan-tujuan

hakiki syari’at atau yang lazim disebut dengan maqa>s}id al-shari>‘ah.10

6 Lihat Q.S. Al-Nisa>’: 3.

7 Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Kibar Press, 2007),

3. 8 Lihat Jamal Ma’mur Asmani, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi,

cet. ke-1 (Surabaya: Khalistha, 2007), 156-157. 9 Ibid., 149. Lihat juga, H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of

Life, 1994), 12. 10

Ibid., 7.

Page 4: Wanita miftaqurrohman el qudsy

4

Berdasarkan latarbelakang tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas

tentang wanita dalam perspektif Islam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahannya

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah asal-usul kejadian wanita?

2. Bagaimanakah posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial?

3. Tema apa saja yang menjadi diskursus tafsir wanita versus pria?

Page 5: Wanita miftaqurrohman el qudsy

5

BAB II

WANITA

(ASAL-USUL, POSISI, EKSISTENSI DAN TAFSIR DISKURSUS TENTANGNYA)

1. Asal-Usul Kejadian Wanita

a. Definisi wanita dan perempuan

i. Definisi wanita

Sejarah kontemporer bahasa Indonesia dewasa ini, mencatat bahwa kata

wanita menduduki posisi dan konotasi terhormat. Kata ini mengalami proses

ameliorasi, suatu perubahan makna yang semakin positif, arti sekarang lebih

tinggi daripada arti dahulu.11

Kata wanita merupakan bentuk eufemistis dari perempuan. Kata

kewanitaan, yang diturunkan dari wanita, berarti keputrian atau sifat-sifat khas

wanita. Sebagai putri (wanita di lingkungan keraton), setiap wanita diharapkan

masyarakatnya untuk meniru sikap laku, gaya tutur, para putri keraton, yang

senantiasa lemah gemulai, sabar, halus, tunduk, patuh, mendukung,

mendampingi, mengabdi, dan menyenangkan pria. Dengan kata wanita, benar-

benar dihindari nuansa memprotes, memimpin, menuntut, menyaingi,

memberontak, menentang, melawan.12

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1988: 1007), wanita

berarti perempuan dewasa.13

Berdasarkan Old Javanese English Dictionary

(Zoetmulder, 1982), kata wanita berarti yang diinginkan. Arti yang dinginkan

11

Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Semantik Historis, Pragmatik, Artikel. http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html. diakses oleh

Miftaqurrohman pada selasa, 4 Desember 2012. 12

Ibid. 13

Ibid.

Page 6: Wanita miftaqurrohman el qudsy

6

dari wanita ini sangat relevan dibentangkan di sini. Maksudnya, jelas bahwa

wanita adalah sesuatu yang diinginkan pria. Wanita baru diperhitungkan karena

(dan bila) bisa dimanfaatkan pria. Sudut pandangnya selalu dari sudut pandang

pria. Jadi, eksistensinya sebagai makhluk Tuhan menjadi nihil.14

ii. Definisi perempuan

Dalam pandangan masyarakat Indonesia, kata perempuan mengalami

degradasi semantis, atau peyorasi, penurunan nilai makna; arti sekarang lebih

rendah dari arti dahulu (Kridalaksana, 1993).15

Menurut KBBI, keperempuanan

berarti kehormatan sebagai perempuan. Di sini sudah mulai muncul kesadaran

menjaga harkat dan martabat sebagai manusia bergender feminin.16

Dalam tinjauan etimologisnya, kata perempuan bernilai cukup tinggi.

Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti

tuan, orang yang mahir/berkuasa, atau pun kepala, hulu, atau yang

paling besar; maka kita kenal kata empu jari yang berarti ibu jari, empu

gending yang berarti orang yang mahir mencipta tembang.

Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu yang berarti

sokong, memerintah, penyangga, penjaga keselamatan, bahkan wali;

kata mengampu artinya menahan agar tak jatuh atau menyokong agar

tidak runtuh; kata mengampukan berarti memerintah (negeri); ada lagi

pengampu yang berarti penahan, penyangga, penyelamat.

Kata perempuan juga berakar erat dari kata empuan; kata ini

mengalami pemendekan menjadi puan yang artinya sapaan hormat

14

Ibid. 15

Ibid. 16

Ibid.

Page 7: Wanita miftaqurrohman el qudsy

7

pada perempuan, sebagai pasangan kata tuan yaitu sapaan hormat pada

lelaki.

Prof. Slamet Muljana (1964: 61) pun mengakui bahwa kata yang sekarang

sering direndahkan, ditempatkan di bawah wanita, ini berhubungan dengan

makna kehormatan atau orang terhormat.17

b. Asal kejadian wanita

Berbedakah asal kejadian perempuan dari lelaki? Apakah perempuan

diciptakan oleh tuhan dari kejahatan ataukah mereka merupakan salah satu najis

(kotoran) akibat ulah setan? Benarkah yang digoda dan diperalat oleh setan hanya

perempuan dan benarkah mereka yang menjadi penyebab terusirnya manusia dari

surga?

Demikian sebagian pertanyaan yang dijawab dengan pembenaran oleh

sementara pihak sehingga menimbulkan pandangan atau keyakinan yang tersebar

pada masa pra-Islam dan yang sedikit atau banyak masih berbekas dalam pandangan

beberapa masyarakat abad ke-20 ini.

Pandangan-pandangan tersebut secara tegas dibantah oleh Al-Quran, antara

lain melalui ayat pertama surah Al-Nisa':

‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.‛ (Q.S. Al-Nisa': 1).

17

Ibid.

Page 8: Wanita miftaqurrohman el qudsy

8

Demikian Al-Quran menolak pandangan-pandangan yang membedakan

(lelaki dan perempuan) dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis

yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan

mengembangbiakkan keturunannya baik yang lelaki maupun yang perempuan.

Benar bahwa ada suatu hadis Nabi yang dinilai S{ah{i>h{ yang berbunyi:

‚Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari sahabat Abu Hurairah).‛18

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian maja>zi>

(kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar

menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan

kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari

akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan

mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha

akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.

Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsi>r Al-Mana>r, menulis: ‚Seandainya

tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama

(Kejadian II;21)19 dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas,

niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang

Muslim.‛

18

Lihat Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim al-Naysa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, vol. 1

(Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t.), 625. Lihat juga Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf al-Nawawi>,

S{ah}i>h} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>, cet. Ke-4, vol. V (Kairo: Dar al-H{adith, 2001), 313-314. No. Hadith

62/1468. 19

"Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika tidur, Tuhan Allah mengambil salah

satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging.(21). Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah

dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu (22)."

Page 9: Wanita miftaqurrohman el qudsy

9

Hampir semua agama dan kepercayaan membedakan asal-usul kejadian laki-

laki dan perempuan. Agama-agama yang termasuk di dalam kelompok Abrahamic

religions, yaitu Agama Yahudi, Agama Kristen, dan Agama Islam menyatakan

bahwa laki-laki (Adam) diciptakan lebih awal dari pada perempuan. Di Dalam Bibel

ditegaskan bahwa perempuan (Hawwa/Eva) diciptakan dari tulang rusuk Adam,

seperti dapat dilihat pada Kitab Kejadian (Genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi

Imamat 2:7, 5:1-2. Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antaranya yang paling jelas ialah

Kitab Kejadian 2:21-23.20

Berbeda dengan Bibel, al-Qur'an menerangkan asal-usul kejadian tersebut di

dalam satu ayat pendek (Q.S. al-Nisa': 1) sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.

Cerita tentang asal-usul kejadian itu hanya ditemukan di dalam beberapa hadits.

Keterangan dari Bibel dan hadits-hadits mengilhami para exegesist,

mufassir, penyair, dan novelis menerbitkan berbagai karya. Karya-karya tersebut

dapat mengalihkan pandangan bahwa seolah-olah manusia, terutama laki-laki,

secara biologis adalah makhluk supernatural, terlepas sama sekali dengan makhluk

biologis lainnya, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.

c. Tafsir tentang al-nafs al-wa>h{idah

Satu-satunya ayat yang mengisyaratkan asal usul kejadian perempuan adalah

Q.S. al-Nisa>' ayat 1. Akan tetapi maksud ayat ini masih terbuka peluang untuk

didiskusikan (debatable), karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap.

Para mufassir juga masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud

dengan diri yang satu (nafs al-wa>h}idah), siapa yang ditunjuk pada d}a>mi>r dari

padanya (minha>), dan apa yang dimaksud pasangan (zawj) pada ayat tersebut?

20

Lihat Nasaruddin Umar, Perspektif Jender Dalam Islam dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina.

http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html. diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa, 4

Desember 2012.

Page 10: Wanita miftaqurrohman el qudsy

10

Kitab-kitab tafsir mu'tabar dari kalangan jumhu>r seperti Tafsi>r al-Qurthu>bi>,

Tafsi>r al-Mi>za>n, Tafsi>r Ibn Katsi>r, Tafsi>r al-Bah}r al-Muhi>th, Tafsi>r Ru>h} al-Baya>n,

Tafsi>r al-Kasysya>f, Tafsi>r al-Sa‘u>d, Tafsi>r Jami al-Baya>n dan Tafsi>r al-Mara>ghi>,

semuanya menafsirkan kata nafs al-wa>h}idah dengan Adam, dan d}ami>r minha>

ditafsirkan dengan dari bagian tubuh Adam, dan kata zawj ditafsirkan dengan

Hawa, isteri Adam. Ulama lain seperti Abu Muslim al-Isfaha>ni>, sebagaimana

dikutip al-Ra>zi> dalam tafsirnya (Tafsi>r al-Ra>zi>), mengatakan bahwa da>mi>r ha> pada

kata minha> bukan dari bagian tubuh Adam tetapi dari jins (gen), unsur pembentuk

Adam. Pendapat lain dikemukakan oleh ulama Syi'ah yang mengartikan nafs al-

wa>h}idah dengan roh (soul).21

Kedua pendapat terakhir yang berbeda dengan pendapat jumhu>r ulama cukup

beralasan pula. Jika diteliti secara cermat penggunaan kata nafs yang terulang 295

kali dalam berbagai bentuknya dalam al-Qur'an, tidak satupun dengan tegas

menunjuk kepada Adam. Kata nafs kadang-kadang berarti jiwa (Q.S. al-Ma'idah:

32), nafsu (Q.S. al-Fajr: 27), nyawa/roh (Q.S. al-'Ankabut: 57). Kata al-nafs al-

wa>h}idah sebagai asal-usul kejadian terulang lima kali tetapi itu semua tidak mesti

berarti Adam, karena pada ayat lain, seperti Q.S. al-Syu'ra: 11, nafs itu juga menjadi

asal-usul binatang.22

Perhatikan sekali lagi ayat ini menggunakan bentuk nakirah/indefinite (min

nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definite (min al-nafs), berarti menunjukkan

kekhususan (yufi>d al-takhsi>s) lalu diperkuat (ta'ki>d) dengan kata yang satu

(wa>h}idah) sebagai shifat dari min nafsin. Semuanya ini menunjukkan kepada

substansi utama (the first resource), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan

21

Ibid. 22

Ibid.

Page 11: Wanita miftaqurrohman el qudsy

11

Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Di samping itu, seandainya yang

dimaksud pada kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wahidin

dengan bentuk gender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wahidah

dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafsmasuk

kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism 'alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an

sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk mawshuf-nya kemudian merujuk ke

hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh Si

Pembicara (Mukhathab).23

Kata al-nafs al-wahidah dalam ayat itu boleh jadi suatu genus dan salah satu

speciesnya ialah Adam dan pasangannya (zawj) (Q.S. al-A'raf: 189), sedangkan

species lainnya ialah binatang dan pasangannya (Q.S. al-Syura: 11) serta tumbuh-

tumbuhan dan pasangannya (Q.S. Thaha: 53). Surah al-Nisa' di atas agaknya kurang

relevan dijadikan dasar dalam menerangkan asal-usul kejadian manusia secara

biologis, karena dilihat dari konteks (munasabah), ayat itu berbicara tentang

tanggung jawab para wali terhadap orang di bawah perwaliannya. Ada ayat-ayat

lain lebih khusus berbicara tentang asal-usul kejadian, seperti asal-usul manusia dari

air/al-ma>'’(Q.S. al-Furqan: 54), air hina/ma>'in mahi>n (Q.S. al-Mursalat: 20), dan air

yang terpancar/ma>'in da>fiq (Q.S. al-Thariq: 6), darah/‘alaq (Q.S. al-'Alaq :2),

saripati tanah/sula>latin min thi>n (Q.S. al-Mu'minun: 12), tanah liat yang

kering/shalshalin min hama'in mahi>n (Q.S. al—Hijr: 28), tanah yang kering seperti

tembikar/shalsha>lin ka al-fakhkha>r (Q.S. al-Rahman:15), dari tanah/min thi>n (Q.S.

al-Sajdah: 7), dan diri yang satu (nafs al-Wa>h}idah (Q.S. al-Nisa': 1). Akan tetapi

asal-usul kejadian manusia masih perlu diteliti lebih lanjut, yang mana asal-usul

23

Ibid.

Page 12: Wanita miftaqurrohman el qudsy

12

dalam arti ciptaan awal (production) dan mana asal-usul dalam arti ciptaan lanjutan

(reproduction).

Konsep teologi yang menganggap Hawa berasal usul dari tulang rusuk Adam

membawa implikasi psikologis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Informasi dari

sumber-sumber ajaran agama mengenai asal usul kejadian wanita belum bisa

dijelaskan secara tuntas oleh ilmu pengetahuan. Kalangan feminis Yahudi dan

Kristen cenderung mengartikan kisah-kisah itu sebagai simbolis yang perlu

diberikan muatan makna lain. Sedangkan Feminis Muslimah seperti Mernissi

cenderung melakukan kritik terhadap jalur riwayat (sanad), materi hadis (matan),

asal-usul (asba>b al-wuru>d) terhadap beberapa hadits yang memojokkan kaum

perempuan, yang diistilahkannya dengan hadis-hadis misogyny, disamping

melakukan kajian semantik dan asba>b al-nuzu>l terhadap beberapa ayat al-Qur'an

yang berhubungan dengan perempuan.24

Pemahaman yang keliru mengenai asal-usul kejadian tersebut bisa

melahirkan sikap ambivalensi di kalangan perempuan; di satu pihak ditantang untuk

berprestasi dan mengembangkan karier agar tidak selalu menjadi beban laki-laki

tetapi di lain pihak, ketika seorang perempuan mencapai karier puncak,

keberadaannya sebagai perempuan sa>leh dipertanyakan. Seolah-olah keberhasilan

dan prestasi perempuan tidak cukup hanya diukur oleh suatu standar profesional

tetapi juga seberapa jauh hal itu direlakan kaum laki-laki. Kondisi yang demikian ini

tidak mendukung terwujudnya khali>fah fi al-ardl yang ideal, karena itu persoalan ini

perlu diadakan klarifikasi.25

24

Ibid. 25

Ibid.

Page 13: Wanita miftaqurrohman el qudsy

13

2. posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial

a. Posisi wanita

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah

persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa,

suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian

meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan

ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.

‚Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.‛ (Q.S. al-H}ujurat: 13)

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana

diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya

memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada

perempuan. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer

berkebangsaan Mesir, menulis:

‚Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.‛26

26

Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah,

1964), 138. Lihat http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqur-

rohman pada selasa, 4 Desember 2012.

Page 14: Wanita miftaqurrohman el qudsy

14

Almarhum Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin tertinggi) lembaga-

lembaga Al-Azhar di Mesir, menulis:

‚Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum Syari'at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.‛27

Di antara masalah yang sering dipersoalkan dalam kepustakaan maupun

forum diskusi, adalah kedudukan wanita dari berbagai sudut pandang dan perspektif

dalam masyarakat. Dalam masyarakat (adat) Indonesia misalnya, kedudukan wanita

berbeda-beda. Perbedaan itu setidaknya disebabkan oleh dua faktor: Pertama,

bentuk dan susunan masyarakat tempat wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai

yang dianut masyarakat bersangkutan. Sebab, sistem nilai adalah konsep yang hidup

dalam alam pikiran sebagian besar warga dari masyarakat bersangkutan mengenai

apa yang mereka anggap berharga dalam kehidupan mereka. Sistem nilai ini

sekaligus berfungsi sebagai pedoman kehidupan mereka. Sementara itu, dalam suatu

masyarakat yang dibina berdasarkan ajaran Islam, otomatis kedudukan wanita

sejatinya lebih ditentukan ajaran tersebut.28

Ajaran Islam sendiri memberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi

kepada wanita, dalam hukum ataupun masyarakat. Dalam kenyataan, jika

27

Mahmud Syaltut, Min Taujihat Al-Islam (Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959), 193. Lihat

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#Asal diakses oleh Miftaqurrohman pada selasa,

4 Desember 2012. 28

Lihat Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7, diakses oleh Miftaqur

rohman pada selasa, 4 Desember 2012.

Page 15: Wanita miftaqurrohman el qudsy

15

kedudukan tersebut tidak seperti yang diajarkan ajaran Islam maka itu adalah soal

lain. Sebab, struktur, adat, kebiasaan dan budaya masyarakat juga memberikan

pengaruh yang signifikan. Beberapa bukti yang menguatkan dalil bahwa ajaran

Islam memberikan kedudukan tinggi kepada wanita, dapat dilihat pada banyaknya

ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan wanita. Bahkan untuk menunjukkan betapa

pentingnya kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat surah bernama al-Nisa,

artinya wanita. Selain al-Qur’an, terdapat berpuluh hadits (sunnah) Nabi

Muhammad SAW. yang membicarakan tentang kedudukan wanita dalam hukum

dan masyarakat. Pada masyarakat yang mengenal praktik mengubur bayi wanita

hidup-hidup (wa‘d al-bana>t), ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW

sangat revolusioner, yakni: ‚Yang terbaik di antara manusia adalah yang terbaik

sikap dan prilakunya terhadap kaum wanita‛. Atau pula: ‚Barangsiapa yang

membesarkan dan mendidik dua putrinya dengan kasih sayang, ia akan masuk

sorga". Kemudian: "Sorga itu berada di bawah telapak kaki ibu‛ (hadits).29

Menurut ajaran Islam, wanita diposisikan secara istimewa dan sejajar dengan

laki-laki.30

Hal itu dapat diamati point-point berikut:

1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan Allah (Q.S. Al-Ahzab:

35, Muhammad: 19). Persamaan ini jelas dalam kesempatan beriman, beramal

saleh atau beribadah (shalat, zakat, berpuasa, berhaji) dan sebagainya.

2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk memperoleh,

memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya (Q.S. Al-

Nisa >’: 4 dan 32).

29

Ibid. 30

Mah{mu>d Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah (t.t.: Da>r al-Qalam, 1966), 14-15.

Page 16: Wanita miftaqurrohman el qudsy

16

3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli waris dan

memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan. (Q.S. Al-Nisa’: 7).

4. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam memperoleh pendidikan dan ilmu

pengetahuan: ‚Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban muslim pria dan

wanita‛ (al-Hadits).

5. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam kesempatan untuk memutuskan

ikatan perkawinan, kalau syarat untuk memutuskan ikatan perkawinan itu

terpenuhi atau sebab tertentu yang dibenarkan ajaran agama, misalnya melalui

lembaga fasakh dan khulu‘, seperti suaminya zhalim, tidak memberi nafkah,

gila, berpenyakit yang mengakibatkan suami tak dapat memenuhi

kewajibannya dan lain-lain.

6. Wanita adalah pasangan pria, hubungan mereka adalah kemitraan,

kebersamaan dan saling ketergantungan (Q.S. Al-Nisa’:1, Al-Tawbah: 71, Al-

Ru>m: 21, Al-Hujura>t: 13). Q.S. Al-Baqarah: 2 menyimbolkan hubungan saling

ketergantungan itu dengan istilah pakaian; ‚Wanita adalah pakaian pria, dan

pria adalah pakaian wanita‛.

7. Kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria untuk memperoleh pahala

(kebaikan bagi dirinya sendiri), karena melakukan amal saleh dan beribadah di

dunia (Q.S. Ali ‘Imra>n:195, Al-Nisa >’: 124, Al-Tawbah: 72 dan Al-Mu'min:40).

8. Hak dan kewajiban wanita-pria dalam hal tertentu sama (Q.S. Al-Baqarah:

228, Al-Tawbah: 71) dan dalam hal lain berbeda karena kodrat mereka yang

sama dan berbeda pula (Q.S. Al-Baqarah: 228, Al-Nisa >’:11 dan 43). Kodratnya

yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara pria dan wanita, maka

dalam kehidupan sehari-hari -misalnya sebagai suami-isteri- fungsi mereka

Page 17: Wanita miftaqurrohman el qudsy

17

pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga,

sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumahtangga.

Menurut ajaran Islam, seorang wanita tidak bertanggungjawab untuk

mencari nafkah keluarga, agar ia dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada

urusan kehidupan rumahtangga, mendidik anak dan membesarkan mereka. Walau

demikian, bukan berarti wanita tidak boleh bekerja, menuntut ilmu atau melakukan

aktivitas lainnya. Wanita tetap memiliki peranan (hak dan kewajiban) terhadap apa

yang sudah ditentukan dan menjadi kodratnya. Sebagai anak (belum dewasa),

wanita berhak mendapat perlindungan, kasih sayang dan pengawasan dari

orangtuanya. Sebagai isteri, ia menjadi kepala rumah tangga, ibu, mendapat

kedudukan terhormat dan mulia. Sebagai warga masyarakat dan warga negara,

posisi wanita pun sangat menentukan.31

b. Eksistensi wanita

Will Durant, seorang sejarawan Barat terkemuka, mengakui jasa Muhammad

dalam meningkatkan dan memperbaiki hak-hak wanita. Menurutnya, perlakuan

yang ditunjukkan oleh Nabi terhadap kaum perempuan sungguh-sungguh berbeda

dengan perlakuan masyarakat Arab saat itu menempatkan perempuan pada strata

sosial urutan paling bawah. Pada masa Nabi posisi perempuan justru mengalami

mobilitas vertikal. Gerak dan kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam

berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan terbuka luas. Sumbangan perempuan

bahkan sangat signifikan dalam upaya transformasi masyarakat ke arah yang lebih

31

Ibid.

Page 18: Wanita miftaqurrohman el qudsy

18

egaliter. Dalam seting sosial-kultur Arab yang sangat paternalistik, apa yang

dilakukan Muhammad adalah sangat revolusionar dan sangat modern.32

Islam telah membawa semangat reformasi, transformasi dan liberasi yang

membebaskan perempuan dari praktek-praktek dehumanisme dan feodalisme.

Ketika eksistensi perempauan sama sekali tidak mendapat tempat di masyarakat,

Muhammad telah menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang

ekuivalin (Lihat Q.S. al-Taubat: 71 dan al-Nisa: 124).33

Dengan fakta sejarah tersebut, pandangan modernis meyakini bahwa spirit

Islam yang dibawa Muhammad adalam membebaskan perempuan. Secara historis

dikatakan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Rasulullah berjalan secara gradual

disesuaikan dengan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu. Meski demikian

perubahan gradual itu dalam konteks historis dan kultural mestinya berjalan terus

dan tidak berhenti ketika Muhammad wafat. Karena menurut pandangan ini, pola

dialektika ajaran Islam menganut asas penerapan bertahap (relatifering process),

karenanya di dalam memposisikan perempuan, dalam prakteknya tidak dapat

sepenuhnya merujuk kepada pengalaman di masa Nabi.34

Wanita Arab -dalam ini Islam- jauh lebih dahulu daripada Eropa dan

Amerika dalam mengkritisi budaya patriarkhis. 15 abad yang lalu Ummu Salamah

telah mengajukan pertanyaan begitu cerdas, dia mengadu: ‚Kami masuk Islam

sebagaimana laki-laki masuk Islam Kami mengerjakan apa yang mereka kerjakan,

tapi mengapa mereka disebut di dalam al-Qur’an sedangkan kami tidak?‛ maka

turunlah ayat yang berbunyi ‚kaum beriman laki-laki dan kaum beriman

32

Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan Autokritik, Artikel. Hal. 8-9. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.

33 Ibid., 9.

34 Ibid., 9.

Page 19: Wanita miftaqurrohman el qudsy

19

perempuan...‛ Begitu juga pengaduan Khawlah bint Tha’lab tentang dzihar

suaminya yang akhirnya menjadi sebab turunnya Q.S. al-Muja>dalah: 1.35

Berbeda dengan paradigma patriarkhi yang acap meredusir perempuan hanya

sekedar menjadi the body, Islam sering mendeskripsikan eksistensi perempuan

dalam konteks kekuatan moralitas, intelektualitas dan spiritualitas. Hal ini

tercermin pada ungkapan seperti al-umm madrasah (Ibu adalah universitas

kehidupan) dan al-Jannah tah{ta aqda>m al-ummaha>t (Surga itu berada di bawah

naungan telapak kaki Ibu). Teks-teks ini bukti pengakuan bahwa derajat perempuan

memang sangat dimuliakan dalam Islam. Bahkan, perempuan kemudian diakui

sebagai yang paling berpengaruh dalam pembentukan peradaban sebuah generasi,36

Dalam al-Taubah ayat 72 Allah berfirman: ‚Dan orang-orang yang beriman,

laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain.

Mereka menyuruh berbuat yang makruf (amar makruf ) dan mencegah dari yang

mungkar (nahi mungkar ), melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada

Allah dan Rasul Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh Allah Maha

perkasa dan Bijaksana.‛

Dari ayat ini, dalam konteks gender, secara deskriptif perempuan

diperintahkan dapat berperan pertama sebagai mitra yang kompetitif dan aspiratif

sebagai personifikasi dari amar ma’ruf dan sekaligus -meminjam istilah Nurcholis

Madjid- oposan loyal sebagai personifikasi nahi mungkar bagi laki-laki.

i. Sebagai Mitra Sejajar

Penindasan terhadap etnis perempuan adalah penindasan

terpanjang sepanjang sejarah, lebih lama dari penindasan terhadap etnis

35

Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 235. 36

Ibid., 11-12.

Page 20: Wanita miftaqurrohman el qudsy

20

manapun.37

Ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi pada perempuan

di sektor manapun ia berada, semestinya tak akan pernah terjadi jika saja

perempuan mampu memposisikan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya

dan dapat diandalkan bagi kaum laki-laki dalam penyelesaian tugas-

tugasnya. Mitra yang memiliki hubungan sinergi berimbang, harmonis,

jauh dari semangat rivalitas yang saling menaklukan, menguasai dan

mendominasi satu sama lain.

Menurut Ami>nah Wadud, hal yang harus dilakukan perempuan

modern saat ini adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan

perempuan dalam interaksi sosial yang didasarkan pada semangat Al

Qur’an. Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan

masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi

kemajuan hidup manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam

mencapai kemajuan tersebut. Bagi Wadud ada beberapa aspek penting

dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama,

perspektif yang lebih adil dalam hak dan kewajiban individu baik laki-laki

ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran

tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur'an tentang

keadilan sosial, penghargaan atau martabat manusia, persamaan hak di

hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender

hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi

manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menjadi prinsip utama sebuah

37

Nasyithotul Jannah, Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendekatan Autokritik, makalah. Hal. 12. Lihat http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.

Page 21: Wanita miftaqurrohman el qudsy

21

‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi

penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.38

ii. Sebagai Oposan Loyal

Perempuan adalah oposan loyal yang melaksanakan peran

korektif-konstruktif atau nahi mungkar terhadap kaum laki-laki. Artinya

perempuan harus bisa memaknai bahwa eksistensinya di dunia ini adalah

sebagai bentuk oposisi dialektis - dalam arti positif - untuk laki-laki guna

mewujudkan equilibrium.39

Keberhasilan perempuan di ranah publik, bukan saja mereka telah

berhasil memasuki dunia maskulin, tetapi juga mengadopsi nilai-nilai

maskulin yang dikritiknya serta meninggalkan sikap kepedulian terhadap

pengasuhan dan pemeliharaan. Banyak perempuan yang telah menjadi

male clone (tiruan laki-laki) di peradaban modern, yaitu peradaban

ekonomi pasar berdasarkan untung rugi, kompetisi, kekuasaan, materi dan

eksploitasi. Status dan kekuasaan harus diperebutkan karena kesuksesan

di dunia maskulin diukur oleh itu semua.

Fenomena seperti itu terjadi disebabkan kaum perempuan tidak

mengfungsikan peran oposannya (nahi mungkar) terhadap laki-laki,

namun justru menjadi ‚sekutu‛nya atau bahkan menyediakan diri menjadi

‚korban‛nya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam setiap

kejatuhan sebuah masyarakat, perempuan selalu punya peran. Dalam

konteks inilah paradigma ‛ ‚Wanita adalah pilar negara, jika ia baik maka

negara akan menjadi baik dan bila ia buruk negara akan menjadi buruk ‚

38

Ibid., 14. 39

Ibid.

Page 22: Wanita miftaqurrohman el qudsy

22

menjadi menemukan relevansinya. Padahal menjadi pilar Negara berarti

menjadi subyek aktif yang bermanfaat untuk menentukan nasib bangsa

seperti ungkapan sang pionir, Kartini, ‚Perempuan itu adalah pembawa

peradaban.‛ ‚Saya sendiri yakin sungguh bahwa dari perempuan itu

mungkin timbul pengaruh yang besar, dalam hal membaikkan maupun

memburukkan kehidupan, bahwa dialah yang paling banyak membantu

memajukan kesusilaan manusia.‛ Nah, untuk mewujudkan sebuah tatanan

kehidupan yang beradab, kaum perempuan harus berani mengambil peran

strategis sebagai oposan loyal. Oposan loyal bukan bermakna asal tampil

beda atau mengambil posisi diametral dan kontraversial yang menjadikan

laki-laki sebagai musuh atau lawan yang vis a vis dengan dirinya.

Melainkan menfungsikan kefemininitasan sebagai simbol nilai-nilai

kelembutan yang persuasif untuk kepentingan nahi mungkar agar kaum

laki-laki tidak menggunakan energi kemaskulinannya (kekuatannya)

untuk membuat kerusakan (fasad) tetapi justru untuk melindungi nilai-

nilai humanisme dan kebenaran. Karenanya kualitas feminine harus dapat

ditingkatkan agar bisa menjadi penyeimbang (oposisi) agar semua

kerusakan dapat dikurangi. Perempuan hendaknya menyadari bahwa sifat

dan kualitas feminin bukan sesuatu yang rendah, justru sebaliknya Allah

menciptakan kualitas kefemininan ini sebagi potensi keperempuanan yang

perlu dijaga dalam arti yang aktif positif serta kreatif. Kualitas feminin

bukanlah bentukan kultur dan struktur melainkan kodrat keperempuanan;

kodrat yang harus diterima sebagai sebuah keniscayaan adanya. Dan

justru dalam diri keperempuananlah keseimbangan dualitas di muka bumi

ini tercipta. Di bumi ini tidak hanya hadir prinsip berjuangan dan

Page 23: Wanita miftaqurrohman el qudsy

23

memberi yang tersimbolkan dalam maskulinitas namun juga menerima

dan memelihara sebagai simbol femininitas. Agar kekuatan tidak

menjelma menjadi kekerasan, maka harus pula berbarengan dengan

kelembutan dan kasih. Dalam kosmologi Islam, bumi adalah lambang

menerima, penuh kasih, pasif dan damai. Inilah sifat-sifat feminin. Kodrat

tentu tidak bisa dilawan melainkan dikembangkan. Kemampuan manusia

merekonstruksi gender feminin dan maskulin tak akan merubah substansi

kualitas gender: kodrat. Bagaimanapun Islam tidak mengenal paradigma

gender yang strukturalis yang melihat relasi pria dan perempuan sebagai

hubungan atas dan bawah, antara inferior dan superior yang saling

menguasai, tetapi sebagai hubungan fungsional ekuivalen yang saling

melengkapi.40

3. Diskursus Tafsir Wanita Versus Pria

Di dalam pembahasan ini penulis ingin mengemukakan isu-isu tentang perempuan

perspektif tafsir al-Qur’an, yaitu:

a. Kepemimpinan Perempuan (Q.S. Al-Nisa >’: 34).

Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34:

‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain

40

Ibid., 17.

Page 24: Wanita miftaqurrohman el qudsy

24

(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.‛

Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini

sebabnya, peperangan hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada kaum

perempuan. Begitu pula tugas menafkahi keluarga. Peperangan merupakan suatu

urusan melindungi bangsa dan negara. Inilah yang menjadi dasar, mengapa kaum

laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dalam harta warisan. tetapi diluar

hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut, dan memimpin) maka

dalam masalah hak atau kewajiban yang lain, laki-laki dan perempuan adalah sama.

Derajat yang dimiliki laki-laki adalah memimpin dan mengurus rumah

tangga. Isteri mengurus rumah tangga dengan bebas, asal dalam batas-batas yang

ditetapkan syara’ dan diridhai (disetujui) oleh suami. Isteri memelihara rumah,

mengendalikannya dan memelihara serta mendidik anak-anak, termasuk

membelanjakan nafkah keluarga sesuai dengan kemampuan. Di bawah naungan

suami, isteri bisa menjalankan tugasnya, mengandung dan mengyusui bayinya.41

Al-Thabari>, al-Ra>zi> dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a> sepakat

menyatakan bahwa suami adalah pemimpin terhadap istrinya dalam rumah tangga.

Argumentasinya adalah pernyataan al-Qur’an al-rija>l qawwa >mun ‘ala> al-Nisa>’. Kata

qawwa>mun dalam kalimat tersebut diartikan sebagai pemimpin. Al-Qur’an

mengemukakan dua alasan mengapa suami menjadi pemimpin: pertama, karena

kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua, kewajiban mereka

41

Lihat H{amdu>n Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m, cet. ke-1 (Villach: Ligh of Life, 1994), 13-15.

Page 25: Wanita miftaqurrohman el qudsy

25

memberi nafkah keluarganya. Namun demikian para mufassir di atas berbeda

pendapat dalam menerangkan apa kelebihan suami atas istri. Apakah kelebihan

fisik, intelektual, agama, atau semuanya sekaligus.42

Menurut Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a>, kepemimpinan laki-laki dalam

rumah tangga bukan menunjukkan derajat perempuan lebih rendah dibanding laki-

laki, tapi karena kepemimpinan itu didasarkan pada kelebihan yang dimiliki laki-

laki dan tanggung jawab yang harus dipikulnya. Di samping itu, kepemimpinan laki-

laki terhadap perempuan dalam rumah tangga harus bersifat demokratis, bukan

kepemimpinan absolute yang membatasi kebebasan perempuan.43

Sementara itu, Asghar Ali Engineer mengakui keunggulan laki-laki adalah

sebagai keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin. Pada masa ayat itu

diturunkan, laki-laki itu bertugas mencari nafkah dan perempuan di rumah

menjalankan tugas domestik. Karena kesadaran social perempuan waktu itu masih

rendah, maka tugas mencari nafkah dianggap sebagai keunggulan. Oleh karena itu,

kepemimpinan laki-laki dan perempuan bersifat kontekstual, bukan normatif.

Apabila konteks sosialnya berubah, doktrin itu dengan sendirinya juga akan

berubah. Sedangkan Amina menerima kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga,

asal laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya dan kelebihan itu digunakan

untuk mendukung perempuan. Kelebihan laki-laki yang diakui Amina hanyalah

kelebihan hak waris yang secara jelas ditetapkan oleh Al-Qur’an.44

b. Konsep Kewarisan Perempuan (Q.S. Al-Nisa >’: 11).

Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 34:

42

Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1,

(Yogyakarta: Lkis, 2003), 325. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan

dalam Islam, pdf. 43

Ibid., 326. 44

Ibid.

Page 26: Wanita miftaqurrohman el qudsy

26

‚Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Bijaksana.‛

Para mufassir (Al-Thabari>, dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a> ) juga femi-

nis muslim (Asghar Ali Engineer) sepakat menyatakan bahwa formula kewarisan

2:1 (bagian laki-laki dua banding satu dengan perempuan) tidaklah bersifat

diskriminatif terhadap kaum perempuan, bahkan juga tidak menunjukkan

inferioritas perempuan dibanding laki-laki. Menurut mereka, formula kewarisan 2:1

berdasarkan asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.45

Sementara al-Ra>zi>, sekalipun menyebutkan juga asas keadilan berimbang

antara hak dan kewajiban, ia menambahkan alasan lain tentang hikmah mengapa

laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan. Menurutnya, karena

45

Ibid.; Lihat Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 242.

Page 27: Wanita miftaqurrohman el qudsy

27

kaum laki-laki lebih sempurna akhlaknya, akalnya, dan agamanya disbanding kaum

perempuan.46

Bahkan ia mengatakan lagi perempuan itu sedikit akal dan banyak

nafsu (keinginannya), sehingga apabila perempuan diberi banyak harta bisa

menyebabkan ia lebih banyak terjerumus dalam kerusakan (fasad).47

Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa pewarisan sangat tergantung pada

struktur sosial, ekonomi, dan fungsi jenis kelamin masing-masing dalam

masyarakat. Perempuan mempunyai peranan yang berbeda dengan laki-laki pada

saat turunnya al-Qur’an. Tanpa mengingat fakta semacam itu, maka sulit sekali

memahami secara tepat ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan waris. Jadi,

pembagian warisan semacam itu harus dilihat dari konteks sosiologi dan

ekonomisnya, demi terciptanya asas keadilan berimbang antara hak dan kewajiban.

Sedangkan Amina Wadud Muhsin secara implisit tidak setuju dengan

formula pewarisan semacam itu. Pembagian waris harus dilihat dari berbagai faktor

yang lain, seperti keadaan orang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggal.

Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang berhak,

kombinasinya dan kemanfaatannya.

Menurut Syahrur, ayat-ayat tentang warisan hanyalah merupakan ayat

h{udu>di>yah yang memberikan prinsip-prinsip tentang batas maksimum (al-h{add al-

a‘la>) dan batas minimum (al-h{add al-adna>). Di antara dua batas tersebut, para

ulama’ dipersilakan berijtihad sesuai dengan kondisi ekonomi, tanggungjawab

keluarga, dan keterlibatan kaum perempuan dalam memikul tanggung jawab

keluarga yang berkembang, sesuai dengan tempat dan waktu tertentu. Yang penting

46 Lihat Da>ghir, Maka>nat al-Mar’ah, 17. 47

Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 327.

Page 28: Wanita miftaqurrohman el qudsy

28

tidak, tidak lebih tinggi dari batas maksimum dan tidak lebih rendah dari batas

minimum.48

c. Poligami (Q.S. Al-Nisa >’: 3).

Allah berfirman dalam Surat al-Nisa’ ayat 3:

‚Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.‛

Poligami adalah sistem yang telah lahir sebelum Islam.49

Islam muncul di

tengah-tengah sistem yang memratekkan poligami. Poligami menjadi sebuah sistem

yang melekat di Arab, yang dilaksanakan semata-mata untuk kebutuhan biologis

dan beberapa aspek masyarakat.50

Islam tidak melarang umatnya berpoligami dan

tidak pula mengajaknya secara mutlak tanpa batasan. Tetapi Islam membatasinya

dengan ikatan keimanan yang terkandung dalam nash.51

Al-Thabari>, al-Ra>zi> dan Muh}ammad ‘Abduh-Rasyi>d Rid}a memahami ayat 3

dari al-Nisa >’ yang biasanya dijadikan sebagai dasar kebolehan berpoligami itu,

dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim atau perempuan-perempuan

yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama dari ayat tersebut adalah berbuat

adil terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang

dinikahi. Sangat penting bagi laki-laki berlaku adil terhadap pasangannya. Tanpa

48

Ibid., 328. 49

Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 186. 50

Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan Farhan. Cet.

Ke-1 (Jakarta: Senayan Publishing, 2007), 17. 51

Ibid.

Page 29: Wanita miftaqurrohman el qudsy

29

mampu berlaku adil, maka kawin dengan seorang perempuan lebih baik. Jadi ayat di

atas menegaskan bahwa keadilan adalah konsep utamanya, bukan terletak pada

poligaminya yang diperlakukan sebagai hak istimewa, seperti yang terjadi pada

masyarakat patriarkal.52

Dalam kaitannya dengan ayat di atas, al-Thaba>ri> dengan tegas mengatakan,

jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga

terhadap perempuan-perempuan lain yang disenangi, maka janganlah kamu kawini

mereka walaupun hanya satu orang, cukuplah kamu bersenang-senang dengan budak

yang kamu miliki. Karena yang demikian itu lebih selamat dari perbuatan dosa atau

dari penyelewengan terhadap perempuan. Berbeda dengan Al-Thabari>, al-Ra>zi

membolehkan poligami asal saja tidak lebih dari empat orang (batas maksimal), dan

harus berlaku adil terhadap semuanya. Jika khawatir tidak bisa berlaku adil, maka

nikahilah satu orang istri saja (batas minimal), sedangkan di antara dua batas

tersebut (maksimal dan minimal) boleh-boleh saja.53

Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin mengatakan, sebenarnya ayat

di atas lebih menekankan pada berbuat adil terhadap anak-anak yatim, bukan

mengawini lebih dari seorang perempuan. Karena konteks ayat ini adalah tentang

kondisi pada masa itu di mana mereka yang memelihara anak yatim sering berbuat

tidak semestinya, dan terkadang mengawini mereka tanpa mas kawin.54

Bahkan Amina Wadud berkesimpulan bahwa monogami merupakan bentuk

perkawinan yang lebih disukai oleh al-Qur’an. Dengan monogami, tujuan

perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram dapat

terpenuhi. Sementara itu, dalam poligami hal itu tidak mungkin tercapai, karena

52

Ismail, Perempuan dalam Pasungan, 328. 53

Ibid., 329. 54

Ibid.

Page 30: Wanita miftaqurrohman el qudsy

30

seorang suami akan membagi cintanya kepada lebih dari satu keluarga. Sementara

dalam membagi cinta, laki-laki sulit sekali –untuk tidak mengatakan mustahil- bisa

berlaku adil.55

Dalam Tafsir al-Manar, secara eksplisit Muhammad Abduh-Rasyid Ridha

tidak setuju terhadap praktik poligami yang ada dalam masyarakat. Poligami

walaupun secara normatif diperbolehkan, namun mengingat persyaratan yang sulit

untuk diwujudkan (keadilan di antara para istri), maka poligami sebetulnya tidak

dikehendaki oleh al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogamilah sebenarnya yang

menjadi tujuan perkawinan, karena perkawinan monogami akan tercipta suasana

tenteram dan kasih sayang dalam keluarga.56

Senada dengan pendapat al-Razi, Syahrur juga memandang ayat itu sebagai

ayat h{udu>di>yah, yang mengandung makna ‚batas-batas penetapan hukum‛, baik

yang bersifat kuantitatif (h}udu>d al-kamm) maupun yang bersifat kualitatif (h}udu>d

al-kayf). Dari segi kuantitatif, ayat itu menetapkan ‚batas minimal‛ (al-h}add al-

adna>) laki-laki disyari’atkan untuk menikah dengan seorang perempuan (istri), dan

‚batas maksimal‛ (al-h}add al-a‘la>) membolehkan laki-laki untuk menikahi empat

orang istri. Dari segi kualitatif, Syahrur menegaskan bahwa pembolehan praktik

poligami itu dikaitkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga dan keempat haruslah

‚perempuan-perempuan janda yang mempunyai anak yatim‛. Sebab, pada dasarnya

poligami itu bertujuan untuk mengatasi problem kemanusiaan, yaitu dengan

menolong para janda dan anak-anak yatim, bukan sebagai satu bentuk sistem

pernikahan untuk menuruti hawa nafsu.57

55

Ibid., 330. 56

Ibid. 57Ibid.

Page 31: Wanita miftaqurrohman el qudsy

31

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan tentang wanita, baik tentang asal-usul kejadian

wanita, posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial, diskursus tafsir wanita

versus pria, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa tentang asal-usul kejadian wanita yang disinggung oleh surat al-Nisa’ ayat 1,

para ulama’ masih berbeda pendapat, hal itu dikarenakan mereka masih berselisih

pendapat di dalam menafsirkan kata ‚diri yang satu‛ (al-nafs al-wa>h{idah), siapa yang

ditunjuk pada kata ganti (d{ami>r) ‚dari padanya‛ (minha>), dan apa yang dimaksud

‚pasangan‛ (zawj). Ada beberapa pendapat:

a. Perempuan diciptakan berasal dari bagian tubuh (tulang rusuk) laki-laki

(Adam). Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha>

bermakna tab’idiyah, dan zawj di tafsiri sebagai hawa.

b. Perempuan diciptakan berasal dari jenis dan unsur genetika yang sama dengan

laki-laki. Karena al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai Adam, min pada minha>

bermakna jinsiyah. Ataupun al-nafs al-wa>h{idah diartikan sebagai jenis yang

sama, yang mana nafs dan zauj masih netral.

2. Adapun posisi dan eksistensi wanita sebagai makhluk sosial dalah bahwasanya:

a. Dalam segala aspek sosialnya, Islam memposisikan wanita sejajar dan sama

dengan posisi laki-laki. Adapun perbedaan peran dan fungsi dalam kehidupan

masyarakat adalah dalam rangka pembagian tugas dalam lingkup keluarga

dalam rangka menjaga keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Dan hal

Page 32: Wanita miftaqurrohman el qudsy

32

ini samgat dipengaruhi oleh pertama, bentuk dan susunan masyarakat tempat

wanita tersebut berada. Kedua, sistem nilai yang dianut masyarakat

bersangkutan.

b. Di dalam aspek fungsi dan perannya dalam kehidupan sosial, Islam

menjadikan wanita sebagai patner dan mitra perjuanganlaki-laki, sebagai

tempat saring intelektual, moral dan spiritual yang saling berbagai tugas

dalam memenangkan dakwah. Di samping itu wanita juga di jadikan sebagai

oposan loyal yang melaksanakan peran korektif-konstruktif atau nahi mungkar

terhadap kaum laki-laki sebagai bentuk oposisi dialektis -dalam arti positif-

untuk laki-laki guna mewujudkan equilibrium.

3. Di antara diskursus tafsir wanita versus laki-laki adalah sebagai berikut:

a. Kepemimpinan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 34). Para pakar tafsir baik klasik

maupun kontemporer sepakat bahwa laki-laki adalah sebagai pemimpin

pertama, karena kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada mereka; kedua,

kewajiban mereka memberi nafkah keluarganya. Tetapi tafsir ini tidak

menegasikan kepemimpinan wanita dalam wilayah-wilayah keahliannya.

b. Konsep kewarisan perempuan (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir sepakat

menyatakan bahwa formula kewarisan 2:1 (bagian laki-laki dua banding satu

dengan perempuan) tidaklah bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan,

bahkan juga tidak menunjukkan inferioritas perempuan atas superioritas laki-

laki. Menurut mereka, formula kewarisan tersebut berdasarkan asas keadilan

berimbang antara hak dan kewajiban

c. Poligami (Q.S. Al-Nisa: 11). Para mufassir lebih cenderung pada bahwa asas

perkawinan dalam Islam adalah monogami. Adapun yang menjadi

pertimbangan utama poligami dalam ayat tersebut adalah berbuat adil

Page 33: Wanita miftaqurrohman el qudsy

33

terhadap hak-hak anak yatim dan kepentingan perempuan-perempuan yang

dinikahi. Ketika dimungkinkan berbuat adil terhadap beberapa istri, dapat

menciptakan suasana tenteram dan kasih sayang dalam keluarga, poligami

menjadi sah-sah saja. Akan tetapi potensi ke arah tersebut sangat minim.

Adapun menurut Syahrur, ayat tersebut termasuk ke dalam cakupan ayat-ayat

h{udu>di>yah.

B. Saran-saran

1. Sebagai sesama makhluk ciptaan Allah SWT. sudah seharusnya kita saling

menghormati dan memulyakan atas nama sama-sama sebagai hamba-Nya dan

khalifah-Nya di bumi ini dengan tanpa memandang suku, ras, golongan, dan jenis

kelamin. Masing-masing kita dibekali dengan kelebihan dan kekurangan masing-

masing untuk saling melengkapi. Hanya kadar ketakwaan yang bisa dibuat pembeda

terhadap kedudukan seseorang di sisi-Nya.

2. Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu saran

dan kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk

penyempurnaannya.

Page 34: Wanita miftaqurrohman el qudsy

34

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Karim Hilmi Farhat. Poligami: Berkah atau Musibah? (ter.) Munirul Abidin dan

Farhan. Cet. Ke-1. Jakarta: Senayan Publishing, 2007.

Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi, cet. ke-1. Surabaya: Khalistha, 2007.

Da>ghir, H{amdu>n. Maka>nat al-Mar’ah fi al-Isla>m. Cet. Ke-1. Villach: Ligh of Life, 1994.

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Mukhtasar Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, cet.

Ke-1. Beirut: Da>r al-fikr, 1993.

Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1.

Yogyakarta: Lkis, 2003.

Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, cet. Ke-1. Yogyakarta: Kibar

Press, 2007.

Al-Naysa>bu>ri>, Abu> al-H{usayn Muslim ibn al-H{ajja>j ibn Muslim. S{ah}i>h} Muslim. vol. 1.

Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-Islamiyah, t.t.

Al-Nawawi>, Abu> Zakari>ya Yah}ya> ibn Syaraf. S{ah}i>h} Muslim bi Syarh{ al-Nawawi>. cet. Ke-4,

vol. V .Kairo: Dar al-H{adith, 2001.

Shalt{u>t, Mah{mu>d. Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah. t.t.: Da>r al-Qalam, 1966.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Kedudukan Perempuan dalam Islam, pdf.

Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl. al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, cet. ke-4, vol. II. Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.

Sudarwati dan D. Jupriono, Betina, Wanita, Perempuan: Telaah Semantik Leksikal, Seman tik Historis, Pragmatik, Artikel.

http://www.angelfire.com/journal/fsulimelight/betina.html.

Umar, Nasaruddin. Perspektif Jender Dalam Islam dalam Jurnal Pemikiran Islam

Paramadina. http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Jender4.html.

Al-Ghazali, Muhammad. Al-Islam wa Al-Thaqat Al-Mu'attalat. Kairo: Dar Al-Kutub Al-

Haditsah, 1964. http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#.

Page 35: Wanita miftaqurrohman el qudsy

35

Syaltut, Mahmud. Min Taujihat Al-Islam. Kairo: Al-Idarat Al-'Amat li al-Azhar, 1959.

http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Perempuan.html#. Kedudukan Wanita dalam Islam http://muslimahui.my-php.net/?p=7 Jannah, Nasyithotul. Implementasi Konsep Gender Dalam Pemikiran Islam: Sebuah Pendeka

tan Autokritik, Artikel. http://www.google.co.id/url.jurnal%2fimplementasi_konsep_gender.pdf.