volume vii, september 2004

18

Upload: doannga

Post on 11-Jan-2017

248 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN

Dominasi Objek

Wisata Rekreasi

di Jawa Barat

Ir. Ina Herliana

Koswara, MSc

4

3 penanggulangan kemiskinan adalah sek-tor pariwisata. Pertanyaan kritis bisa kitamunculkan, bagaimana prospek pengem-bangan pariwisata di era otonomi daerahterhadap penanggulangan kemiskinan?Bagaimana kita mereorientasikan kebija-kan pariwisata agar turut serta menga-tasi masalah kemiskinan, juga turut sertamelestarikan lingkungan dan tradisi bu-daya lokal?

Pariwisata sebagai Alternatif untukMengurangi Kemiskinan

Penduduk miskin di Indonesia pada ta-hun 2003 tercatat sebanyak 37,34 jutajiwa atau 17,42 % dari total pendudukIndonesia. Mereka hidup dengan kondisiyang serba kekurangan, serta keterba-tasan fasilitas umum seperti air bersih,sanitasi, kesehatan dan pendidikan. Ba-nyak diantara mereka tidak bekerja se-cara tetap, penghasilan pas-pasan, dankurang memiliki harapan. Anak-anak ke-luarga miskin banyak yang tidak berseko-lah dan terpaksa membantu orangtua.Kondisi lebih lengkapnya jumlah pen-

Latar Belakang

Masalah kemiskinan di Indonesia sampaisaat ini masih merupakan salah satu ma-salah pokok di antara sekian masalahyang dihadapi oleh bangsa Indonesia.Krisis multidimensi yang dialami bangsaIndonesia pada tahun 1997 masih mem-berikan dampak yang cukup berat bagibangsa ini bahkan hingga saat ini masihbelum pulih. Lebih khusus lagi yang ber-kaitan dengan kemiskinan, penganggurandan kesenjangan yang terjadi di berbagaidaerah. Akar kemiskinan di Indonesia,bukan karena sumberdaya alam yangkurang, tetapi diantaranya disebabkanberbagai ketidaksinkronan kebijakan danketidaksinergian birokrasi.

Kemiskinan di Indonesia masih menjadibelenggu bagi sebagian besar rakyat, se-hingga perlu dilakukan upaya yang men-dasar guna mengatasinya secara ber-sama-sama oleh berbagai aktor melaluiberbagai sektor. Dari sekian banyak sek-tor yang ada, salah satunya yang diharap-kan dapat memberikan kontribusi dalam

Pelatihan Pro-

mosi Destinasi

Wisata

Bandung, 2-7

Agustus 2004

Ir. Martini

M.Paham, MBA

Volume VII, Nomor 4 12 September – 12 November 2004

I S S N 1 4 1 0 - 7 1 1 2

WARTA PARIWISATAWARTA PARIWISATAWARTA PARIWISATAwww.p2par . i tb .ac . id /warta

Kelompok Penel i t ian dan

Pengembangan Kepar iw isa taan

Lembaga Penel i t ian dan

Pemberdayaan Masyarakat

Ins t itu t Teknolog i Bandung

Pel indung: Lembaga Penel i t ian dan Pemberdayaa nMasy ara ka t Inst i tu t Teknologi Bandung

Penanggung Jawab: Dr . I r .Rin i Ra ksadjay a, M.S.A.Pemimpin Redaksi : I r . Ina Her l i an a, M.Sc.

Redaktur Rubr i k : I r .Agus R.Soer iaatmadja , MLA.Rina Pr i ya ni , ST. ,MT.

Yani Adr ia n i , ST.Redaktur Pelaksa na : Fictor Ferdinand, Ssi .

Riyan t i Yul ia .Bendahara : Novi Indr iyant i , S. Par .

Promosi : Neneng Rosl i ta , S.T.Dist r ibusi : Ri ta Rosi ta .

Desthy Ar iant i .

Pengembangan Pariwisata

dalam Kontribusinya untuk

Penanggulangan Kemiskinan*

Muhammad Arifin Siregar, ST

WACANA

Dari Redaksi:

Benarkah pariwisata adalah sebuah tongkat ajaib untuk mengentaskan kemiskinandengan cara membuka kesempatan kerja? Mungkin benar, tapi pariwisata yang bagai-mana? Pariwisata lebih mirip pedang bermata dua ketimbang tongkat ajaib. Seiringdengan meningkatnya popularitas daerah wisata tersebut, kemungkinan timbul dampaknegatif juga lebih besar. Tanpa keterampilan dan kehati-hatian dalam merencanakan danmengelola, bukan hanya jurang antara masyarakat miskin dan kaya yang makin lebar,kualitas lingkungan hidup pun dapat makin terpuruk.

1Pengembangan

Pariwisata

dalam Kontri-

businya untuk

Penangulangan

Kemiskinan

Muhammad Arifin

Siregar, ST

Siklus Hidup

Objek Wisata :

Studi Kasus

Pulau Simeulue

dan Pantai

Pangandaran

Fictor Ferdinand,

Ssi & Yosep

Purnama, ST

2

ASEAN Sustain-

able Tourism

Development

Workshop,

Bandung, 23 –

25 Juli 2004

Ir. Agus R.

Soeriaatmadja,

MLA

Sepekan di

Kepala Burung

Abrilianty O.

Noorsya, ST &

Komang E.

Equitari, ST

* disarikan dari Pertemuan Nasional Koordinasi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata,Kementrian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat RI, Jakarta, 20 Juli 2004

4ASEAN Sustain-

able Tourism

Development

Workshop,

Bandung, 23 –

25 Juli 2004

Ir. Agus R.

Soeriaatmadja,

MLA

5

Page 2: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 2

duduk miskin di Indonesia dari tahun ke tahun dapatdilihat pada Tabel 1.

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa persentasejumlah penduduk miskin di Indonesia dari tahun ketahun relatif sama dan masih menunjukkan angka yangcukup tinggi, yakni pada kisaran 17% - 19% dari pen-duduk total.

Apabila dilihat dari distribusinya, maka jumlah pen-duduk miskin yang ada di Indonesia sebagian besarterdapat di daerah perdesaan, sebagaimana yang ter-dapat pada tabel di bawah ini. Secara umum dapatdilihat bahwa jumlah penduduk miskin yang masih ter-

dapat di perdesaan dua kali lebih besar daripada yangada di perkotaan.

Pengangguran juga meningkat tajam selama krisis, se-bagai akibat dari penutupan sejumlah pabrik dan peru-sahaan. Tenaga kerja muda mengalami kesulitan mem-peroleh pekerjaan, karena harus berebut dengan yangsudah berpengalaman. Kesenjangan secara sosial se-makin nampak nyata dari penampilan orang kayadengan mobil mewah “berseliweran” di depan matakelompok miskin terutama yang hidup di jalanan. Ke-senjangan juga nampak secara spasial antar daerah,ada yang sangat maju dan ada yang terbelakang.

Pariwisata di banyak negara berkembang, termasukIndonesia memiliki peran penting dalam memecahkanmasalah kemiskinan, yaitu melalui penyerapan tenaga

No Tahun Jumlah Pen-duduk Miskin(juta jiwa)

Prosentase terha-dap Penduduk

Total

1 2000 38,74 19,14 %

2 2001 37,87 18,41 %

3 2002 38,39 18,20 %

4 2003 37,34 17,42 %

Tabel 1

Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun

2000-2003

(Sumber : BPS, 2004)

Tabel 2

Distribusi Penduduk Miskin Kota-Desa

(Sumber : BPS, 2004)

No Tahun Kota(juta jiwa)

Desa(juta jiwa)

1 2000 12,3 26,4

2 2001 8,6 29,3

3 2002 13,3 25,1

4 2003 12,3 25,1

Siklus Hidup Objek Wisata : Studi Kasus Pulau

Simeulue dan Pantai Pangandaran

Fictor Ferdinand, Ssi ; Yosep Purnama, ST

WACANA

Siklus hidup objek wisata memiliki kemiripan dengansiklus hidup populasi dalam Biologi. Dinamika suatupopulasi dimulai dari pertumbuhan hingga kema-tian/kepunahannya, akibat faktor-faktor yang mem-pengaruhinya. Secara sederhana, konsep ini digambar-kan dalam kurva pertumbuhan populasi (Gb. 1). Per-tumbuhan populasi ini (sumbu Y) dibatasi oleh faktor-faktor pembatas yang ketersediaan ruang, jumlahmakanan, yang membentuk ambang batas perkem-bangannya. Ketika ambang batas terlampaui, makapopulasi akan mengalami penurunan.

Menarik untuk membandingkan siklus ini dengan siklusperkembangan objek wisata. Model hipotetis per-kembangan daerah tujuan wisata yang dibuat olehButler (1980), juga memperlihatkan beberapa fasedalam siklus hidup objek wisata (Gb 2.).

Beberapa fase yang terdapat pada model Butler iniadalah fase eksplorasi, fase keterlibatan, fase per-kembangan, fase konsolidasi, fase stagnasi dan fasepenurunan. Pada fase eksplorasi jumlah wisatawanmasih sedikit karena daerah tersebut belum dikenal.

Ketika jumlah wisatawan mencapai jumlah signifikan,sejumlah fasilitas dan pelayanan kecil mulai ber-kembang. Pada saat itulah, perkembangan telah men-capai fase keterlibatan. Pada fase perkembangan pe-ningkatan pembangunan sarana secara intensif dilaku-kan untuk mengakomodasi jumlah kunjungan yangterus meningkat. Tahapan ini adalah tahapan yang

Bersambung ke halaman 6

Waktu

Jumlah

individu

A m b a n g

Batas

1 32

Gb. 1. Kurva Pertumbuhan. Keterangan : 1: Fase Pertumbuhan; 2: FaseStasioner; 3: Fase Kematian/Kepunahan (Gause, 1934 dalam Stiling, 1996)

Page 3: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 3

Bersambung ke halaman 17

Bersambung ke halaman 10

paling kritis dan menentukan, karena peningkatan jum-lah wisatawan dan pembangunan fasilitas seringkalimenyebabkan dampak-dampak sosial dan lingkunganyang negatif.

Bila daerah tujuan tersebut semakin dikenal luas –disebut juga fase konsolidasi – model Butler ini mem-prediksikan penurunan kunjungan wisatawan atau te-lah memasuki fase stagnasi. Saat ini, maka daerahwisata tersebut memiliki dua pilihan memasuki fasepenurunan atau memperbaiki diri menuju fase per-tumbuhan kedua (rejuvenasi).

Model-model di atas menunjukkan bahwa pengem-bangan wisata, tak luput dari faktor-faktor pembatasyang membentuk ambang batas, seperti yang teriden-

tifikasi dalam model pertumbuhan populasi di Gb. 1.Jumlah maksimum wisatawan yang dapat berkunjungdan tingkat pengembangan sarana dan prasarana pen-dukungnya hanya bisa dilakukan sampai tingkatan dimana keduanya tidak menimbulkan dampak lingkungandan sosial yang dapat merusak daya tarik daerah tu-juan wisata itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan para-digma pariwisata berkelanjutan, di mana faktor pem-batas dalam siklus hidup objek wisata terutama ke-lestarian objek wisata tersebut. Ketika jumlah kun-jungan wisatawan telah melebihi ambang batas yangdapat ditampung oleh objek wisata dan lingkungansekitarnya, maka lambat laun objek wisata tersebutakan mengalami kerusakan. Tentunya setiap objekwisata memiliki nilai ambang batas yang berbeda-bedatergantung kondisi lingkungan fisik, sosial dan karak-teristik wisatawan yang mengunjungi objek wisatatersebut.

Perkembangan objek wisata dapat mengalami penu-runan atau fase kematian/kepunahan karena berbagaipenyebab internal dan eksternal. Penyebab internalmisalnya karena kerusakan objek wisata tersebutkarena jumlah pengunjung yang terlampau banyak ataupembangunan sarana dan prasana yang tidak tepatguna dan ramah lingkungan. Penyebab eksternal misal-nya karena gangguan keamanan, atau dibukanya tem-pat wisata lain yang lebih menarik minat wisatawan.

1 32 54 6

7

Gb 2.Model Hipotetis Siklus Hidup Daerah Tujuan Wisata Ket : (1) Fase

Eksplorasi; (2)Fase Keterlibatan; (3) Fase Perkembangan; (4)Fase Konsoli-

dasi (5) Fase Stagnasi; (6) Fase Penurunan; (7) Fase Pertumbuhan kedua/

rejuvenasi (sumber : Butler , 1980 dalam Gartner, 1996)

Potensi objek dan daya tarik wisata di Propinsi JawaBarat sangat beragam dan tersebar di kabupaten/kotadi Jawa Barat. Objek dan daya tarik wisata tersebuttelah menarik kunjungan tidak hanya wisnus tetapijuga wisman. Wisata rekreasi berbasis alam menjadidaya tarik utama selain juga wisata budaya dan buatanyang mulai berkembang di beberapa daerah. Hal initerkait dengan profil wisatawan, khususnya wisnusyang umumnya memiliki motivasi utama perjalananwisata untuk berekreasi.

Berdasarkan data jumlah kunjungan wisatawan ke ob-jek dan daya tarik wisata yang terdapat di Jawa Barat,tercatat ada 7 objek wisata yang memiliki jumlah kun-jungan terbanyak pada tahun 2002 (lihat tabel di hala-man 17). Ke-7 objek wisata tersebut adalah KebunRaya Bogor (Kota Bogor), Air Panas Ciater (Kab.Subang), Makam Sunan Gunung Jati (Kab. Cirebon),Kebun Binatang Bandung (Kota Bandung), Taman Sa-fari Indonesia (Kab. Bogor), Pantai Pangandaran (Kab.Ciamis) serta Gunung Tangkuban Parahu (Kab. Band-ung).

Ketujuh objek wisata utama di Jawa Barat relatif telahberkembang sejak lama dan didukung oleh sarana danprasarana penunjang yang lengkap. Objek-objek terse-but berada atau dekat pada lokasi jalur wisata unggu-lan Jawa Barat, yaitu jalur Bopunjur, Bandung, Pangan-daran dan Cirebon. Jalur wisata tersebut juga meru-pakan jalur overland tour Jakarta-Jawa-Bali. Keberadaansuatu objek wisata di lokasi yang strategis dengan ak-sesibilitas yang tinggi dapat menunjang perkembanganobjek wisata dan menarik lebih banyak kunjunganwisatawan.

Demikian juga jika dilihat keberadaan ketujuh objekwisata dengan potensi sumber pasar wisatawan. Sum-ber pasar wisatawan utama Jawa Barat adalah pen-duduk DKI Jakarta dan penduduk Jawa Barat yang ter-dapat di kota-kota utama (seperti Bandung), selainjuga dari Propinsi Banten dan Jawa Tengah. Ketujuhobjek wisata utama tersebut berada atau dekat den-gan kota-kota berpenduduk tinggi. Jumlah penduduksuatu kota merupakan potensi pasar wisatawan untuk

Dominasi Objek Wisata Rekreasi di Jawa Barat

Ir. Ina Herliana Koswara, MScWASKITA

Page 4: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 4

Sejak dicanangkannya pariwisata sebagai salah satuandalan Indonesia untuk mengantisipasi menipisnyapersediaan migas sebagai sumber devisa, sektor inimenjadi primadona hampir semua daerah di Indone-sia. Hal tersebut menyebabkan persaingan antardaerah meningkat dalam menarik minat wisatawanuntuk mengunjungi daerahnya. Selama ini promosimerupakan cara utama yang dipilih daerah untukmencapai tujuan tersebut sebagai salah satu kegiatandari serangkaian proses dalam pemasaran.

Pada prinsipnya promosi merupakan kegiatan yangpenting sebagai upaya untuk dapat menawarkan danmenjual produk/jasa yang dihasilkan kepada targetpasar. Agar dihasilkan program-program promosiyang realistis, efisien, dan efektif, diperlukan pema-haman terhadap konsep dan teknik-teknik promosisebagai unsur yang memberi ‘nafas’ terhadap programpemasaran secara keseluruhan pada suatu destinasiwisata. Dengan demikian promosi pariwisata daerahsebagai destinasi wisata tidak dapat dilakukan secara

seadanya melainkan memerlukan rangkaian kegiatandan proses berpikir yang berkesinambungan.

Kelompok Penelitian dan Pengembangan Kepariwisa-taan – KP2Par ITB menyelenggarakan Pelatihan Pro-

mosi Destinasi Wisata pada tanggal 2-7 Agustus2004 di Hotel Sawunggaling, Bandung. Pelatihan inibertujuan untuk memberikan pengetahuan tentangstrategi promosi pariwisata daerah.

Pelatihan ini diikuti oleh 19 orang peserta yangberasal dari jajaran pemerintah daerah khususnya dariDinas Pariwisata, Seni dan Budaya Daerah(Kota/Kabupaten/Propinsi), Bappeda, dan lembagapendidikan. Peserta berasal dari daerah paling baratsampai daerah paling timur Indonesia, yaitu dari Pro-pinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Kali-mantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Maluku, danPapua.

Pembangunan yang berkelanjutan telah diakui secaraglobal sebagai suatu konsep pembangunan untuksegala jenis pembangunan, termasuk pariwisata.Pergeseran tren wisata dari wisata massal ke wisatakhusu s ( ekow i s a t a )menunjukkan bahwa adatuntutan pasar wisatawanuntuk mendapatkan pro-duk wisata yang lebih‘hijau’.

Bagi negara-negara yangbergabung dalam Associa-tion of South East Asian Na-tions (ASEAN) upaya pe-nerapan konsep pem-bangunan par iwisataberkelanjutan penting tidakhanya untuk memenuhituntutan pasar wisatawansaja. ASEAN telah yangtelah mencanangkan AsiaTenggara sebagai satu des-tinasi wisata, sehingga semua negara anggotanya salingtergantung dalam pengembangan pariwisatanya. Oleh

karena itu pelestarian sumber daya alam dan budayapun menjadi tanggung jawab bersama.

Sebagai langkah awal, Indonesia melalui KementerianKebudayaan dan Pariwisatamemprakarsai ASEAN Work-shop on Sustainable TourismDevelopment. Bekerja samadengan Kelompok Penelitiandan Kepariwisataan – InstitutTeknologi Bandung (KP2Par-ITB) lokakarya ini diikuti seki-tar 25 peserta yang terdiridari delegasi Malaysia, Sin-gapura, dan Indonesia sebagaituan rumah, serta pesertadari akademisi dan pemerin-tah daerah.

Upacara pembukaan lo-kakarya diisi oleh sambutandari Ketua KP2Par-ITB, Dr.Ir. Rini Raksadjaya, MSA, di-

ikuti oleh pembukaan oleh Asisten Deputi Urusan

WARITA

SEKARYA

Pelatihan Promosi Destinasi Wisata

Bandung, 2-7 Agustus 2004

Ir. Martini M. Paham, MBA

WARITA

SEKARYA

ASEAN Sustainable Tourism Development

Workshop, Bandung, 23 – 25 Juli 2004

Ir. Agus R. Soeriaatmadja, MLA

Bersambung ke halaman 12

Bersambung ke halaman 13

Suasana ASEAN Workshop on Sustainable Tourism

Development (foto: Fictor F)

Page 5: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 5

Wara

Wiri

Sepekan di Kepala Burung

Abrilianty O. Noorsya, ST ; Komang E. Equitari, ST

Malam itu ,tepat pukul00.00 dini hari,kami sedangm e n a n t ib e b e r a p ateman, tepat didepan sebuahkomplek (realestate) baru did a e r a hPadalarang, JawaBarat. Hari itu

kami beserta 8 orang lainnya akan berangkat ke KotaSorong, di Pulau Papua, untuk survei dalam rangkapenyusunan Rencana Induk Pengembangan PariwisataDaerah (RIPPDA) Kota Sorong dan KabupatenSorong Selatan.

Perjalanan malam itu sangat lancar, pukul 04.10 WIBpagi kami sudah tiba di Bandara InternasionalSoekarno-Hatta Jakarta. Pukul 06.30 WIB pesawatyang kami tumpangi meninggalkan Jakarta menujuSorong dengan terlebih dahulu transit di KotaMakassar. Rasa kantuk dan lelah selama perjalanansekitar 2,5 jam menuju Makassar tidak terasa karenasuasana di luar kabin sangat cerah dengan gumpalanawan yang begitu indah, layaknya sebuah lukisan alam.Setibanya di Makassar pukul 11.00 WIT, mataharibersinar sangat terang dan terasa menyengat. BandaraHassanuddin cukup padat saat itu, cukup banyak jugaorang asing yang terlihat hilir mudik di ruang tunggukeberangkatan. Empat puluh lima menit kemudianpetugas bandara sudah memanggil kami untuk kembalimelanjutkan perjalanan ke Kota Sorong.

Bandar Udara Kota Sorong terletak di sebuah pulau,yaitu Pulau Jeffman, sekitar 8 mil perjalanan laut dariarah Barat Kota Sorong. Turun dari pesawat kamisudah dikerumuni oleh penduduk asli dengan logatbahasa yang belum pernah kami dengar sebelumnya.Mereka menawarkan jasa pengambilan barang dibagasi maupun speedboat untuk mengantarkan kamimenuju Kota Sorong. Usai dari pendaratan, rasa lelahdan lapar mulai terasa, tapi setelah disuguhi ikan segarserta air dingin di rumah makan kawasan bandara,rasanya tenaga mulai terkumpul kembali.

Pukul 14.00 kami sudah ada di atas speedboatmenggunakan life jacket, untuk menuju ke PulauMataan yang masih merupakan salah satu pulau diKepulauan Raja Ampat. Ombak tidak terlalu besarnamun saya mulai pusing karena bau bensin tercium

cukup menyengat selama perjalanan. Setibanya kami diPulau Mataan, angin laut yang membawa butiran airterasa segar. Pulau berpasir putih ini indah, namuntidak terkelola dengan baik. Menurut cerita BapakAndi, yang mengantarkan kami, pulau ini dahulupernah akan dijadikan resort oleh seorangberkewarganegaraan Belanda namun entah kenapakemudian ditinggalkan begitu saja. Beliau jugabercerita beberapa meter ke arah laut dalam daripulau ini terdapat lokasi diving. Kondisi tersebutmenjadi daya tarik bagi beberapa kapal pesiar untukdatang membawa wisatawan menyelam di sana, dankemudian kembali pergi melanjutkan perjalanannya.

Perjalanan kami hari itu dilanjutkan menuju PulauTsiof yang biasa disebut Pulau Sop oleh penduduksetempat. Speedboat sedikit kesulitan merapat karenapantainya terlalu dangkal dan penuh dengan bebatuan.Setelah berjalan sekitar 100 meter melewati air lautsetinggi kurang lebih 0,5 meter, akhirnya kami berhasilmenjejakkan kaki di Pulau Tsiof. Di pulau ini terdapatbeberapa benteng pertahanan peninggalan Jepangberupa gua yang terbuat dari batu. Saat kami tiba disana anak-anak kecil dan beberapa penduduksetempat ikut menemani kami berkeliling. Setelahpuas melihat gua-gua peninggalan Jepang, kami berjalanmengelilingi pulau melalui permukiman penduduk yangtertata rapi di sepanjang jalan. Selama perjalanan, kamidapat melihat lingkungan hunian yang tertata rapilengkap dengan kebun, peternakan, ibu-ibu yangsedang duduk di beranda rumah bermain bersamaanak-anaknya serta para lelaki yang sedang bekerjamembangun rumah maupun membuat batu bata. Kamiterus berjalan kaki sekitar 20 menit menuju ke sebuahdermaga kayu, sesampainya di dermaga itu kamibertanya-tanya dimanakah speedboat yang membawakami? Ternyata, speedboat yang membawa kamiterombang-ambing karena mesinnya tidak dapat hidupdan sedikit kehilangan orientasi. Setelah menunggusekitar 1 jamdi dermagad e n g a nditemani olehp e n d u d u ks e t e m p a tyang sangatr a m a h ,a k h i r n y as p e e d b o a tkami datangjuga.

Bersambung ke halaman 14

Tim survei berfoto sesaat sebelum

keberangkatan (foto: Fictor F)

Suasana gua peninggalan Jepang

yang terdapat di Pulau Tsiof (foto:

Abrilianty O.N.)

Page 6: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 6

No Tahun Keterangan Nilai

1 1998-2002 Pertumbuhan sektor pariwisata 4,19 % nilai ini diatas rata-rata pertumbuhan PDB (sumber :BPS, 2003)

2 1998-2002 Pertumbuhan jumlah wisatawan 4,31 %

3 1998-2002 Pertumbuhan jumlah wisatawan 10,20 %

4 2002 Sumbangan terhadap pendapatannegara

Rp. 38 triliun (kunjungan wisman)

Rp. 69 triliun (kunjungan wisnus)

Menumbuhkan investasi sebesar Rp. 15 triliun

6,12 % (sumbangan terhadap PDB)

6,41 % (terhadap total upah)

7,81 % (terhadap pajak)

8,16 % (terhadap peluang kerja nasional) = tersedianya 17 jutalapangan kerja secara nasional yang secara lebih luas men-yentuh pula sektor informal dan usaha mikro kecil.

5 2014 Proyeksi World Travel & Tourism

Council (WTC)Devisa sektor pariwisata tumbuh sebesar 7,1 % atau senilaiUSD 68,8 milyar.

Tersedianya 12,8 juta lapangan kerja di bidang pariwisata (9,1% total lapangan kerja).

Sebanyak 3,2 juta lapangan kerja langsung pada usaha pari-wisata.

Tabel 3

Kontribusi Sektor Pariwisata Tahun 1998-2002

kerja, peluang usaha ekonomi rakyat, pengembanganwilayah terpencil. Di sisi lain juga ikutserta men-dorong pelestarian tradisi budaya rakyat. Pariwisatatidak hanya fenomena ekonomi, tetapi juga meru-pakan ekspresi budaya dari masyarakat, baik sebagaituan rumah maupun tamu wisatawan. Pariwisata diIndonesia memiliki kontribusi yang besar dalam berba-gai bidang kehidupan. Di bidang ekonomi, pariwisatamenjadi penghasil devisa terbesar kedua setelah min-yak dan gas bumi.

Pariwisata Indonesia saat ini mengalami pasang surut,akibat dari berbagai kondisi krisis multidimensi, ma-salah terorisme dan kerawanan sosial serta gangguankeamanan di berbagai daerah. Sebagai akibatnya aruswisatawan mancanegara menunjukkan penurunan,namun demikian arus wisatawan domestik antardaerah masih tetap menunjukkan kegairahan.

Sektor pariwisata, sebagai salah satu sektor yang ber-basis pada potensi lokal (alam, budaya, dan jasa), ter-catat tumbuh sebesar 4,19% (perhitungan hanya di-dasarkan pada sub sektor hotel dan restauran), diatasrata-rata pertumbuhan PDB tahun 1998-2002 (BPS,2003). Sangat menarik pula bahwa ketika bangsa ini

dilanda krisis kepercayaan dan citra global, pertum-buhan kunjungan wisatawan nasional secara kumulatifmasih cukup meyakinkan, sebesar rata-rata 9,40% ta-hun 1998-2002 dengan pertumbuhan wisatawan man-canegara sebesar 4,31% dan wisatawan nusantara se-besar 10,20%. Pertumbuhan ini cukup mengejutkankarena ketika krisis dimulai (1998) tercatat terjadipenurunan jumlah kunjungan kumulatif sebesar30,40%. Kebutuhan untuk berwisata ternyata terbuktitidak dapat dihentikan oleh krisis yang terjadi.

Berdasarkan Tabel 3, terlihat jelas bahwa sektor pari-wisata secara nyata telah dan dapat memberikan kon-tribusi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Tidakhanya itu, sektor pariwisata bahkan mampu men-jalankan fungsinya sebagai katup pengaman pada saatkrisis sekaligus memberikan dampak ganda (multipliereffect) yang cukup besar pada pertumbuhan sektor-sektor lain. Perkembangan ini pun mampu menghidup-kan banyak usaha kecil sektor informal yang terkaitdengan kegiatan wisata, antara lain asongan, warung,jasa, pemandu wisata dan sebagainya.

Strategi-strategi yang dapat dilakukan untuk men-dorong sektor pariwisata dalam upaya penanggulangan

Pengembangan Pariwisata dalam ….

Lanjutan dari halaman 2

WACANA

Page 7: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 7

kemiskinan, antara lain :

1. Mendorong tumbuhnya wisatawan nusantara. Darisisi ekonomi, sebanyak 29,8 juta wisnus (BPS,2004. Tercatat hanya wisnus yang menginap di ho-tel, jumlah riil dapat jauh lebih besar) secara lang-sung mampu memperluas transaksi ekonomi sam-pai pada segmen masyarakat paling bawah.

2. Pengembangan konsep Community Based Tourismyang merupakan dasar dari sustainable tourism de-velopment. Masyarakat bukan lagi menjadi obyekpembangunan akan tetapi sebagai penentu pemba-ngunan itu sendiri.

3. Program-program pelatihan yang mendorong tum-buhnya wiraswastawan lokal (entrepreneur) yanglebih mampu bersaing.

4. Mendorong tumbuhnya partnership. Kemitraan da-pat berupa antar skala usaha (besar-kecil), antarjenis usaha, dan pengembangan sumber daya manu-sia serta ilmu pengetahuan dan teknologi, misalnyakemitraan antara hotel dengan pedagang kaki limauntuk perbaikan kualitas makanan yang dijual, atau-pun pembinaan atraksi oleh travel biro.

5. Mendorong tumbuhnya kekuatan lokal untuk ber-saing. Kekuatan pariwisata adalah karena keuni-kannya yang tidak dimiliki pesaing, dengandemikian, memperkuat local identity harus meru-pakan fokus utama dalam upaya pemberdayaanmasyarakat.

Poverty Alleviation : Perpektif Kebijakan Publik

Hubungan antara pariwisata dan kemiskinan dalamperspektif kebijakan publik dapat dilihat dalam kon-teks political economy. Pendekatan political economy iniadalah mempersoalkan who gets and how much of whatdari sektor pariwisata. Di dalam hal ini kemiskinantidak hanya dilihat dari perspektif individual, akantetapi juga dari perspektif struktural. Sektor pari-wisata memang mempunyai potensi yang amat besaruntuk mengurangi kemiskinan (poverty alleviation ), akantetapi di sisi lain sektor pariwisata juga mempunyaipotensi untuk menimbulkan “pemiskinan”(impoverishment) maupun memperbesar kesenjangansosial.

Pembangunan pariwisata seringkali harus dilakukandengan berbagai tindakan yang mengakibatkan dislo-kasi dan marginalisasi penduduk. Penduduk terjeboldari lingkungan yang selama ini memberinya sumbermata pencarian dan memutus mata rantai hubunganantara penduduk dengan sumber mata pencariannya.Sektor pariwisata daam hal ini seringkali gagal me-

wujudkan trickle down effect dari benefit yang ditimbul-kan, akan tetapi sebaliknya yang terjai justru menim-bulkan trickle up effect. Melalui trickle up effect inirakyat miskin dipaksa memberi subsidi kepada merekayang kaya dan mengakibatkan terjadinya proses pemis-kinan (impoverishment).

Kebijakan publik di dalam bidang pariwisata haruslahmemperhatikan potensi pariwisata untuk menanggu-langi kemiskinan, akan tetapi juga mewaspadai potensipariwisata untuk melakukan pemiskinan dan mencipta-kan kesenjangan. Euphoria pembangunan pariwisataseringkali melupakan efek negatif pariwisata ini. Salahsatu kebijakan dan strategi yang dapat dilakukanadalah Pro Poor Tourism. Kebijakan publik yang dengansengaja melakukan diskriminasi yang menguntungkanrakyat miskin ini mempunyai ciri-ciri yang spesifik,antara lain :

1. Menggunakan s t ra t eg i pemberdayaan(empowerment strategy) dan bukan strategi karitasdalam pembangunan pariwisata. Strategi pember-dayaan menuntut perubahan di dalam hubungankekuasaan antara elite, pemodal, birokrat danmasyarakat. Dalam hal ini pemerintah dapat men-ciptakan kondisi yang membuka akses yang lebihbesar bagi masyarakat miskin di lokasi tujuanwisata pada informasi dan proses pengambilankeputusan.

2. Strategi pemberdayaan ini diharapkan dapat mewu-judkan pembangunan pariwisata yang bersifatmandiri (self-reliant development) dengan mencobamemanfaatkan berbagai sumber lokal secara maksi-mal.

3. Modal sosial (social capital), pemanfaatan secaraoptimal modal sosial. Sebagai contoh, pemanfaatanSekaha, suatu lembaga adat informal di Bali yangmenyelenggarakan penyewaan mobil, sepeda danmembuka rumah makan sebagai modal sosial yangtelah dimanfaatkan secara produktif dan kreatifoleh masyarakat Bali. Demikian pula di kawasanwisata Pegunungan Tengger penyewaan kuda danmobil diorganisasikan oleh modal sosial setempat,dan di Indonesia banyak sekali dijumpai modalsosial ini di berbagai daerah.

4. Pembangunan pariwisata yang bertujuan untukmengurangi kemiskinan akan dapat efektif apabilapada tingkat akar rumput (grassroots) dikembang-kan kewirausahaan indigen (indigenous entrepreneur-ship). Pengembangan kewirausahaan endogen inidapat dilakukan antara lain melalui pelatihan, pem-berian kredit, pengembangan pemasaran dan seba-gainya.

5. Membangun keterkaitan (linkage) antara industripariwisata dengan pemasok barang dan jasa lokal.

Page 8: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 8

per lengkapan ker ja , bantuan tek-nis/pendampingan, biaya pendidikan, biayapengobatan, dan konsultasi.

4. Kegiatan sosial yang dilakukan hotel tersebuttidak melembaga. Artinya, tidak satu pun hotelyang mengaku terikat pada suatu aturan mainyang tetap dengan melibatkan representasikelompok masyarakat secara permanen.

Meskipun demikian, kemauan hotel melakukan berba-gai aktivitas sosial sebagai bentuk kepedulian padaupaya pemberdayaan masyarakat patut dicatat sebagaisuatu langkah maju. Kegiatan tersebut setidaknya da-pat dijadikan sebagai embrio pengembangan modelkepedulian sosial yang lebih besar dan tidak hanyaberfungsi untuk memberdayakan masyarakat lokal,tetapi juga menjadi modus bagi pengembangan brandimage baru hotel.

Hotel yang mewujudkan kepedulian sosial dengan tu-juan pemberdayaan masyarakat dan pembentukanbrand image inilah yang dinamakan dengan friend ofcommunity hotel. Friend of community dimaknai sebagaisuatu label produk jasa wisata, khususnya jasa akomo-dasi, yang memiliki nilai (value) keharmonisan dankedekatan dengan kehidupan masyarakat. Nilai-nilaitersebut ditunjukkan oleh adanya komitmen yang kuatdari hotel untuk memberdayakan potensi-potensisosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal melaluiberbagai program kemitraan, seperti pemanfaatanproduk-produk pertanian kerajinan, kebiasaan danadat-istiadat serta tenaga kerja lokal.

Gagasan pengembangan friend of community hotel dapatditindaklanjuti sehingga bentuk kepedulian sosial hotelyang telah ada selama ini dapat dikonversikan menjadipola pemberdayaan dan kemitraan dalam pengem-bangan produk wisata antara masyarakat pemilik po-tensi atraksi, tour operator dan hotel itu sendiri.Adalah menjadi tantangan yang sangat berarti bagi se-mua stakeholder pariwisata untuk dapat merumuskanbentuk-bentuk kemitraan yang sinergis antaramasyarakat lokal, industri, pemerintah, pers dan lem-baga swadaya masyarakat di dalam pengelolaan sum-berdaya pariwisata.

Penutup

Terlepas dari penyebab utamanya, fakta menunjukkanbahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sampaisaat ini belum menunjukkan penurunan yang cukupberarti. Penduduk miskin ini terdistribusi tidak hanyadi perkotaan tetapi juga di wilayah per-desaan (bahkanangkanya cenderung dua kali lipat lebih besar diban-ding perkotaan).

Berbagai strategi dan kebijakan multisektoral danmulti aktor telah dilakukan dalam upaya penang-

Hal ini dilakukan antara lain dengan meningkatkankualitas, reliabilitas dan daya saing produk lokal,pemerintah diharapkan dapat memfasilitasi prosespengembangan keterkaitan ini melalui penurunanbiaya transaksi.

6. Membina kemitraan antara stakeholders yang ber-skala besar dengan micro-enterprises pada tingkatlokal, antara sektor publik dan sektor swasta dalammenanggulangi kemiskinan melalui pariwisata.

7. Melakukan mainstreaming agar penanggulangan ke-miskinan melalui pariwisata dapat menjadi bagianintegral dari program penanggulangan kemiskinanpada umumnya dan program pembangunan pari-wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism deve-

lopment).

8. Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa penanggu-langan kemiskinan melalui pariwisata menyangkutpembinaan kesadaran para pelaku pariwisata bahwaapa yang mereka lakukan dapat menimbulkan efekpada masyarakat miskin (baik secara positif mau-pun negatif) dan mengidentifikasikan berbagai pe-luang untuk dapat mengikutsertakan rakyat miskindalam kegiatan pariwisata membangun pariwisataberpangkal pada apa yang telah mereka miliki.

Model Kemitraan Friend of Community Hotel

Hotel merupakan salah satu inti bisnis pariwisata yangmenuntut investasi besar. Sebagai unit bisnis makapengelolaannya hampir sepenuhnya didasarkan padarasionalitas ekonomi. Jadi dapat dimaklumi apabilatimbul kesulitan mengembangkan kerjasama denganhotel dengan mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan sebaliknya mengede-pankan perhitungan nonekonomi.

Data prasurvei yang dilakukan Pusat Studi Pariwisata(Puspar UGM) beberapa bulan yang lalu tentang“pemberdayaan masyarakat” terhadap 13 hotel bin-tang dua ke atas menunjukkan bahwa :

1. Setidaknya terdapat 24 jenis kegiatan sosialyang pernah dilakukan oleh hotel. Namun, se-mua kegiatan tersebut umumnya merupakanpemberian/penyaluran bantuan “karitatif”. Ho-tel menyerahkan bantuan tersebut sebagai wu-jud kepedulian (belas kasihan?) kepada masyara-kat luar.

2. Hampir tidak ada di antara 13 hotel tersebutyang menilai kegiatan sosial ini memberikan ke-untungan ekonomis.

3. Jenis bantuan yang diberikan hotel berbintangadalah : bahan pangan, bahan sandang/papan,

Page 9: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 9

ASEAN JOURNAL ON HOSPITALITY AND TOURISMVol .3 Number 2, July 2004

Informasi berlangganan dapat diperoleh diKelompok Penelitian dan Pengembangan KepariwisataanGedung Litbang LPPM-ITB (Ex Gedung PAU) Lantai III

Jl. Ganesha 10, Bandung 4013Telp : (022) 2534272, 2506285 Fax : (022) 2506285

E-mail : [email protected], Website : www.aseanjournal.com

Patterns and Process of Tourism Develop-

ment on the Gili Island, Lombok Indonesia

Arisetiarto Soemodinoto & P,P.Wong

Environmental Management in the Hotel

Sector : Searching for Best Practise in

Penang.

Azilah Kasim

Entrance Fee System for Recreational

Forest in Selangor, Malaysia

Jamal Othman & Shahariah Asmuni

Tour Coach Operations in the Austra-

lian Senior Market

Bruce Prideaux, Sherrie Binney &

Hein Ruys

Entrance Fee System for Recreational

Forest in Selangor, Malaysia

Jamal Othman & Shahariah Asmuni

Meeting The Needs Of The Chinese

Tourist—The Operators’ Perspective

Olga Junek, Wayne Binney & Marg

Deery

Telah Terb

it

gulangan kemiskinan (poverty alleviation). Hasilnya me-mang menunjukkan penurunan angka jumlah pen-duduk miskin, namun masih relatif kecil. Sektor pari-wisata sebagai salah satu sektor yang berbasis padapotensi lokal tampil sebagai salah satu alternatif dalamupaya penanggulangan kemiskinan. Kontribusi sektorpariwisata dapat dilihat dalam penyerapan tenagakerja, memperluas peluang usaha ekonomi rakyat,pengembangan wilayah terpencil, penghasil devisa baginegara, dan mendorong pelestarian tradisi budayarakyat. Namun demikian, harus tetap diwaspadaibahwa hubungan antara pariwisata dan kemiskinanbisa bernilai positif dan juga negatif. Bernilai positifapabila memang benar-benar terjadi proses pengu-rangan/penanggulangan kemiskinan dan bernilai negatifapabila yang terjadi justru yang sebaliknya, yakniproses pemiskinan “impoverishment”.

S trateg i pemberdayaan dan penerapancommunity based tourism dalam penanggulangan ke-miskinan melalui pariwisata dapat terus dikembang-kan. Salah satu model aplikatif yang dapat dikembang-kan adalah gagasan friend of community hotel. Gagasanini dapat menjadi prototipe sekaligus model dalamupaya penanggulangan kemiskinan. Selain hotel, ga-

gasan friend of community pada masa mendatang bisajuga dipikirkan penerapannya, misalnya friend of com-munity tour operator, resort, tourism objects, dan usahajasa pariwisata lainnya.

Referensi

1. Ardika, I Gede. 20 Juli 2004, Kebijakan Nasional Penguran-gan Kemiskinan Melalui Pariwisata, makalah dalam Perte-muan Nasional Koordinasi Kebijakan Penanggulangan Ke-miskinan Melalui Pariwisata – Kementrian KoordinasiKesejahteraan Rakyat, Jakarta.

2. Tjokrowinoto, Prof. Muljarto. 20 Juli 2004, PenguranganKemiskinan Melalui Pariwisata : Perspektif Kebijakan Publik,makalah dalam Pertemuan Nasional Koordinasi KebijakanPenanggulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata – Kemen-trian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.

3. Kusworo, Hendrie Adji dan Janianton Damanik. 20 Juli2004, Friend of Community Hotel : Menuju Kemitraan angMelembaga dalam Pengembangan Pariwisata, makalahdalam Pertemuan Nasional Koordinasi Kebijakan Penang-gulangan Kemiskinan Melalui Pariwisata – KementrianKoordinasi Kesejahteraan Rakyat, Jakarta.

CALL FOR PAPERASEAN JOURNAL ONHOSPITALITY & TOURISM

Vol. 4, No. 1, January 2005

ASEAN Journal mengundang insan pariwisata, baik akademisi, praktisi, maupun pemerhati, untuk mengirimkan artikel mengenai peneli-tian, isu atau topik di seputar pariwisata. Artikel akan dikaji (review) oleh dua orang pengkaji (nasional dan internasional) yang menilaikesesuaiannya dan kelaikan artikel untuk penerbitan dalam ASEAN Journal. Bahasa pengantar jurnal ini adalah bahasa Inggris. Bila bahasamenjadi kendala, penulis dapat menuliskannya dalam bahasa Indonesia. Bila artikel dinilai baik maka ASEAN Journal akan menterje-mahkan artikel tersebut ke dalam bahasa Inggris.

Artikel dikirimkan kepada (hardcopy 3 rangkap dan file format MSWord):ASEAN Journal on Hospitality & TourismD/a Kelompok Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan – ITBGedung Litbang LPPM (ex-Gedung PAU), Lt.IIIJl.Ganesa 10, Bandung 40132

Tenggat (deadline) pemasukan artikel adalah 30 September 2004.Untuk informasi lebih jelas kunjungi website http://www.aseanjournal.com atau hubungi [email protected].

Page 10: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 10

Untuk memberikan gambaran lebih nyata tulisan inimembandingkan siklus perkembangan objek wisata didua lokasi yaitu Pangandaran dan Pulau Simeulue.Kedua tempat ini memiliki daya tarik yang sama, na-mun berada pada fase yang berbeda dalam model But-ler.

Pulau Simeulue

Kepulauan Simeulue terletak di bagian Barat dari Pro-pinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dikelilingi olehSamudera Hindia dan berbatasan dengan perairan in-ternasional. Jaraknya kurang lebih 105 mil laut dariMeulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Dengan lamawaktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan udara dariMedan, pulau ini memiliki potensi untuk dikunjungiwisatawan. Pulau yang termasuk dalam kepulauan yangberada di tengah lautan Hindia ini memiliki potensiobjek dan daya tarik wisata berupa panorama dan pe-mandangan alam. Simeulue memiliki hamparan pasir

putih, ibarat sabuk putih yang mengelilingi pulau. De-ngan dihiasi formasi bebatuan yang mengesankan, airlaut yang biru dan deburan ombak putih berkejarandan mengempas keras di pantai, pantai-pantai di PulauSimeulue memang indah.Pulau Simeulue sangat cocok untuk wisatawan yangmenyukai tempat-tempat alami dengan pemandanganyang indah, karena sebagian besar pantai di daerah ini,seperti Pantai Lasikin, Pantai Nasreuhue, Pantai Nai-bos (di bagian utara Sinabang), dan Pantai Angkeo,memang belum dikelola untuk kegiatan wisata samasekali. Selain pemandangan, ombak yang tidak terlalubesar namun panjang dan menerus juga cocok untukpenggemar olahraga air seperti snorkeling, diving,surfing, atau parasailing.

Jumlah kunjungan wisatawan Simeulue masih rendah.Tercatat hanya 24 wisatawan mancanegara yangberkunjung ke Simeulue selama tahun 2002. Namundemikian, “Keindahan Pulau Simeulue, terutama pan-tai-pantainya, tidak kalah dengan Pulau Bali. Itu pernah

dinyatakan wisatawan dari beberapa negara yang per-nah berkunjung ke sini," kata Drs. Arsin Rustam,Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Simeulue.

Komitmen pemerintah Kabupaten Simeulue terhadappengembangan pariwisata ini terlihat setelah kabu-paten ini terbentuk, seperti membuat suatu RencanaInduk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA),mengembangkan sarana penunjang kepariwisataanseperti memperpanjang Bandar Udara Lasikin, pem-benahan sarana transportasi darat, dan laut, juga pe-nerapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.Langkah-langkah ini diupayakan agar Simeulue yangselama ini seakan terisolasi, “terlihat“ oleh dunia luar.Hal ini dapat dipahami karena aksesibilitas ke PulauSimeulue masih sangat terbatas. Selain itu wisatawanlokal dan mancanegara masih ragu menyikapi isu kea-manan yang ditimbulkan oleh Gerakan Aceh Merdeka(GAM). Padahal pulau ini sejak dulu aman dan tenangdari gangguan tersebut.

Pantai Pangandaran

Pantai Pangandaran terletak di sebelah selatan pro-pinsi Jawa Barat, termasuk dalam wilayah di Kabu-paten Ciamis. Pangandaran dibuka sebagai daerah tu-juan wisata, sejak tahun 1978. Pemandangan pantaipada saat matahari terbit dan tenggelam dapat dinik-mati di Pangandaran, karena Pangandaran berada didaerah semenanjung. Selain pantai, daya tarik lainadalah terumbu karang serta flora dan fauna yang ter-dapat di daerah Cagar Alam Pananjung.

Saat ini, PantaiPangandaran ramaidikunjungi wisata-wan domestik,terutama yangberdomisili di JawaBarat dan JawaTengah. Puncakjumlah kunjunganbiasanya terjadipada Hari RayaIdul Fitri dan ma-lam pergantiantahun. Pada malampergantian tahun2003 yang lalu,tercatat sekitar50.000 orang men-g u n j u n g i P a -ngandaran.

Siklus Hidup Objek Wisata …

Lanjutan dari halaman 3.WACANA

Suasana Pantai Lasikin dan Pantai Teupah Selatan di Pulau

Simeulue (foto: M. Arifin Siregar)

Sempadan pantai yang sempit

membuat wisatwan asing yang

menikmati sinar matahari tidak lagi

nyaman (foto: R.E. Soeriaatmadja)

Page 11: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 11

Ketersediaan fasilitas seperti hotel, restoran, tempatcindera mata hingga tempat hiburan di Pangandarancukup lengkap. Bahkan tenaga penjaga pantai yang ter-latih secara profesional telah ada di Pangandaran.Transportasi untuk mencapai pantai ini juga telah sa-ngat berkembang. Bahkan Bandar Udara Nusawiruakan segera diaktifkan kembali.Masyarakat di Pangandaran sebagian besar hidup seba-gai pedagang dan nelayan, sedangkan sebagian lagi ter-kait dengan penyediaan jasa yang berkaitan denganpariwisata, seperti pengusaha hotel dan restoran,pengrajin, serta penjual cinderamata.

Namun demikian komposisi wisatawan yang mengun-jungi Pantai Pangandaran, saat ini mengalami peruba-han. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara me-ngalami penurunan. Bahkan menurut H. Yachya Mach-moed, ketua DPD ASITA Jawa Barat, banyak biro per-jalanan yang tidak lagi mencantumkan Pantai Pangan-daran sebagai salah satu daerah tujuan dalam paket-paketnya. Hal ini adalah salah satu indikasi adanya pe-nurunan kualitas objek wisata yang sudah melewatiambang batas.

Terjadinya penurunan kualitas objek wisata PantaiPangandaran terjadi akibat lemahnya perencanaan danpembangunan. Masalah kebersihan, keindahan dankenyamanan terjadi akibat sampah yang menumpuk dipantai, pedagang kaki lima yang bertebaran di jalansepanjang pantai, bangunan-bangunan yang terkesantidak teratur, serta perahu nelayan yang bersandar disekitar daerah wisata, membuat Pantai Pangandarantidak lagi nyaman dan cukup indah untuk dikunjungi.

Belum lagi kerusakan lingkungan yang disebabkan olehbuangan limbah dari hotel, restoran dan WC umum.Selain itu kerusakan terumbu karang, abrasi serta in-trusi air laut, penurunan populasi banteng, serta pe-rubahan perilaku hewan liar di Cagar Alam Pananjungmenyebabkan daya tarik wisata di tempat tersebutmengalami penurunan.

Analisis

Perkembangan pariwisata di Pantai Pangandaransepertinya bergulir begitu saja atau berjalan sepihak,tanpa disertai perencanaan yang matang dan menyelu-ruh dari sektor-sektor lain. Hal-hal yang di kemudianhari berkembang menjadi masalah, sebenarnya sudahdapat diidentifikasi dan dapat diselesaikan sejak se-mula. Saat ini pengelolaan Pantai Pangandaranmemiliki masalah yang bertumpuk-berkelindan satudengan lainnya. Kerusakan lingkungan dan penurunanjumlah kunjungan wisatawan, yang ditandai dengandihilangkannya Pangandaran dari paket-paket wisataanggota ASITA menunjukkan bahwa Pangandaran te-lah memasuki ambang fase stagnasi seperti diungkap-kan di awal tulisan ini. Saat ini Pangandaran harus me-nentukan pilihan: ditinggalkan wisatawan/pasar atausegera memperbaiki diri. Atau, pada model pertumbu-han populasi di Gb 1. memasuki fase kematian.

Upaya-upaya pihak-pihak terkait di Pangandaran untukmemperbaiki dan berbenah diri, sudah mulai terlihat.Pihak-pihak tersebut mengupayakan pertemuan-pertemuan untuk mencari solusi terhadap masalahyang sudah demikian kompleks di Pangandaran. Na-mun nampaknya hingga saat ini belum ada pembagianperan serta action plan yang jelas dan runut.

Bagaimanapun, upaya pencarian solusi harus diiringidengan perubahan cara berpikir. Keberhasilanpengembangan pariwisata tidak bisa selalu diukurhanya dari jumlah kunjungan wisatawan dan perkem-bangan fasilitas saja. Banyak parameter lain yang jugaharus dilihat, namun pada umumnya ditandai denganpeningkatan jumlah wisatawan serta kualitas hidupmasyarakat yang berada di sekitar daerah tujuanwisata tersebut sebagai tuan rumah. Secara sederhanahal tersebut ditandai dengan adanya restrukturisasi dibidang ekonomi, fisik dan sosial.

Pengembangan pariwisata di Kabupaten Simeulue da-pat belajar dari kasus Pangandaran. Dengan jumlahkunjungan yang relatif kecil Kabupaten Simeulue masihberada dalam fase eksplorasi. Seiring dengan perkem-bangan sarana transportasi serta perkembangan situasikeamanan yang kondusif, objek-objek wisata di PulauSimeulue akan mengalami peningkatan kunjunganwisatawan.

Pada tahapan awal pengembangan ini sebaiknya sudahdapat diidentifikasi berapa ambang batas, misalnyajumlah pengunjung dan pengembangan fasilitas yangtidak merusak objek wisata, yang akan dituju di masadepan. Dengan demikian, pembangunan kawasan wisa-tanya dapat dilakukan secara bertahap dan terencana.Seperti kata pepatah, if you fail to plan, you plan to fail.

Proses pengembangan yang tidak terencana denganbaik akan menyebabkan daerah wisata mencapai fase

Suasana pantai di Pangandaran yang dipenuhi perahu

nelayan (foto: R.E. Soeriaatmadja)

Page 12: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 12

stagnasi dalam jangka waktu yang pendek. Panganda-ran dalam hal ini, mencapai fase stagnasi dalam jangkawaktu sekitar 25 tahun, dengan masalah yang sudahdemikian kompleks. Sebagai sebuah sistem, perenca-naan dan penyelesaian masalah dalam pariwisata harusdiselesaikan secara komprehensif dan terintegrasidengan melibatkan berbagai sektor yang berhubungandengan pariwisata.

Setiap tempat dan jenis objek wisata memiliki karak-teristik lingkungan fisik, sosial, dan ekologi yang ber-beda-beda sehingga membutuhkan perencanaan dantahapan pengembangan yang berbeda-beda pula. Am-bang batas di Pangandaran tidak akan sama persis de-gan Pulau Simeulue, meskipun objek wisatanya sama:pantai.

Yang tidak kalah penting juga adalah adanya meka-nisme kontrol yang dilakukan secara berkala untukmendapatkan umpan balik untuk perencanaanpengembangan selanjutnya. Untuk itu dibutuhkan ba-tasan-batasan yang terukur, yang telah ditentukanpada tahap perencanaan. Dengan mekanisme kontrolyang baik, maka potensi-potensi masalah dapat dengancepat diidentifikasi dan diselesaikan, sebelum akhirnyamembesar dan mempengaruhi keberlanjutan pari-wisata.

Banyak objek wisata di Indonesia yang akhirnya me-masuki fase penurunan dalam waktu yang relatif sing-kat. Apakah siklus hidup objek wisata memang pastiterjadi atau dapat dihindari? Atau dengan kata lain,

apakah setiap daerah yang dikembangkan menjadidaerah wisata, kemudian akan mengalami kerusakan?Kerusakan pasti akan terjadi, tapi waktunya dapat diu-payakan lewat perencanaan dan manajemen yang baik.Yang pasti semakin baik kita menjaga dan merawatdaya tarik wisata, semakin lama ia akan memberikankeuntungan ekonomi. Apa yang sudah terjadi seharus-nya dapat dijadikan pelajaran.

Pustaka

1. Stiling, Peter D. 1996. Ecology : Theories and Applications 2nd ed.Prentice Hall Int. Inc. New Jersey

2. Garter, William C. 1996. Tourism Development : principles,

processes, and policies. International Thompson Publ. Co. NewYork.

Catatan :

Data-data mengenai Pangandaran, diperoleh melalui pengamatanlapangan pada tahun 2003 dan 2004, serta hasil Lokakarya “JawaBarat Daerah Budaya dan Daerah Tujuan Wisata di Masa Datang :Studi Kasus Pangandaran” diadakan di Bandung, tanggal 28 Agustus2004.

Data-data mengenai Pulau Simelue diperoleh dari kunjungan lapa-ngan pada tahun 2004.

Pengembangan Sumber Daya Manusia, I Gusti PutuLaksaguna, mewakili Deputi Bidang Peningkatan Ka-pasitas dan Kerjasama Luar Negeri. Keynote speech

disampaikan oleh Prof. Dr. R. E. Soeriaatmadja seka-ligus memaparkan tujuan dan arah dari lokakarya.

Sesi-sesi berikutnya terdiri dari kombinasi antara pre-sentasi delegasi, penyampaian materi dan kunjunganlapangan. Presentasi delegasi berkisar pada upaya im-plementasi pembangunan pariwisata berkelanjutan dinegara masing-masing. Delegasi Indonesia menyampai-kan pengembangan ekowisata di Pulau Togean yangberbasis masyarakat. Malaysia menyoroti kebijakandan panduan pengembangan ekowisata yang sudahberlakukan di negaranya. Singapura mempresentasikanpengembangan ekowisata di hutan bakau Sungai Bulohyang sudah dilengkapi dengan beragam alat bantupengelolaan. Sesi ini ditutup dengan paparan wakilSekertariat ASEA mengenai program-program dankesepakatan kerjasama antara negara-negara ASEAN,khususnya di bidang pariwisata.

WARITA

SEKARYA

ASEAN Sustainable Tourism …

Lanjutan dari halaman 4

Peserta saat kunjungan lapangan ke Gedung Sate, Ban-

dung (foto: Diden Muttaqien)

Page 13: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 13

Beberapa pakar turut memberikan buah pikirannya.Prof. Dr. R. E. Soeriaatmadja dengan makalahberjudul ”ASEAN Ecology as Tourism Resource,”Frances B. Affandy membawakan ”Culture and SocialEmpowerment in ASEAN Tourism”, Prof. Dr. Sri EdiSwasono berbicara mengenai ”Economy of ASEANTourism”, dan Gary M. Yusouf (diwakili oleh Bpk.Priatna) dari Departemen Luar Negeri RI membahasmengenai ”Security of ASEAN Tourism.”

Kunjungan lapangan dilaksanakan setiap hari di akhirpenyelenggaraan. Tujuan dari kunjungan lapanganadalah untuk memperlihatkan contoh-contohpenerapan pariwisata berkelanjutan yang baikmaupun kurang baik. Tempat-tempat yang dikunjungiantara lain sekeliling Kota Bandung, sepertiCihampelas, Gedung Sate, dan Saung Mang Udjo,selain itu di luar kota Bandung, seperti Taman SafariIndonesia dan Kebun Raya Cibodas.

Penutupan dilakukan secara sederhana di udara segarKebun Raya Cibodas. Minimnya peserta dari negara-negara ASEAN tidak mengurangi nilai lokakarya ini.Lokakarya ini dianggap telah membuka mata pesertaakan pentingnya komunikasi yang lancar, dialog,pertukaran pengalaman dan kerjasama yang eratantar negara dalam penerapan pembangunanpariwisata berkelanjutan di Asia Tenggara. Delegasiyang berpartisipasi dalam lokakarya ini berkomitmenuntuk menindaklanjuti bekal yang didapat darilokakarya ini dalam bentuk seminar, lokakarya, ataurapat kerja.

Para nara sumber yang membawakan makalah jugamelemparkan pemikiran-pemikiran yang tidak kalahpenting. Prof. Dr. R.E. Soeriaatmadja menekankanbahwa sumber daya alam di seluruh kawasan memangmerupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan olehbatas administrasi negara. Oleh karena itu semuanegara di kawasan ini memang harus mau bekerjasama dalam melestarikan lingkungan. Frances B.Affandy mengajak delegasi untuk mengembalikantradisi, seni dan budaya untuk bangsa-bangsa AsiaTenggara dan melestarikan budaya tidak semata-matahanya untuk komoditas pariwisata. Sudah waktunyabangsa-bangsa ASEAN memiliki suatu kegiatan yangdirayakan bersama. Prof. Dr. Sri Edi Swasono lebihmenyoroti potensi pariwisata sebagai alat untukmemberdayakan masyarakat. Menurut pandangannyaekonomi seharusnya hanya menjadi alat, bukan tujuan,pengembangan pariwisata . Kesejahteraanmasyarakatlah yang seharusnya menjadi tujuanpengembangan pariwisata.

Pelajaran penting yang bisa dipetik dari lokakarya iniadalah bahwa jelas tampak ketimpangan pengertiandan upaya penerapan pembangunan pariwisata berke-lanjutan, baik antar negara, tingkat pemerintahan didalam negeri, pemerintah dengan swasta, dan antarswasta yang berkecimpung dalam pariwisata. Berbagaibentuk pertemuan, baik berupa seminar, lokakarya,ataupun rapat yang mempertemukan berbagai unsurmasyarakat dan pemerintahan, seperti ASEAN Work-shop on Sustainable Tourism Development ini, sangatberguna dalam mengurangi ketimpangan tersebut.

saran bagi Pariwisata Daerah, Penelitian Pasar danStrategi Segmentasi Pasar), dan promosi destinasiwisata beserta teknik-teknik penyelengaraan kegiatan-kegiatan promosi (Bursa dan Pameran Pariwisata,Public Relation & Press Conference, Brosur danPeriklanan, Familiarization Trip). Selain itu, diberikanpula materi pendukung yaitu Consumer RelationshipManagement dan Pemanfaatan Teknologi Informasidalam Promosi Destinasi Wisata.

Selain mengikuti perkuliahan dan diskusi di dalam ke-las, para peserta pun memperoleh kesempatan untukmengunjungi objek dan daya tarik wisata (alam, bu-daya, dan buatan) di wilayah Kota Bandung dan seki-tarnya, seperti Gunung Tangkuban Perahu, MuseumGeologi, Gedung Sate, dan Saung Angklung Udjo.Adapun tujuan dari kunjungan lapangan ini adalah agarpara peserta dapat menemukenali jenis-jenis dayatarik wisata (sebagai komponen penting dalamkegiatan promosi pariwisata), komponen-komponen

Pembicara pada pelatihan ini tidak hanya para staf dariKP2Par – ITB, tetapi juga melibatkan pihak luar yaituKementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pari-wisata Kota Bandung, serta para praktisi promosiindustri pariwisata.

Pembicara dari Kementerian Kebudayaan dan Pari-wisata diwakili oleh Deputi Menteri Kebudayaan danPariwisata Bidang Pemasaran, Drs. Udin Saifuddin,yang memberikan materi mengenai Kebijakan Pema-saran Pariwisata Nasional. Sementara itu, pembicaradari Disbudpar Kota Bandung, Bapak Tjep Dahyat,menyampaikan materi dengan topik PengembanganKepariwisataan Kota Bandung.

Selain materi-materi yang diberikan oleh kedua pem-bicara di atas, materi yang juga disajikan pada pelati-han ini meliputi pengetahuan umum mengenai kepari-wisataan (Mengenal Struktur dan Karakteristik Indus-tri Pariwisata), pemasaran pariwisata (PerencanaanPemasaran Destinasi Wisata, Strategi Bauran Pema-

WARITA

SEKARYA

PELATIHAN PROMOSI DESTINASI...

Lanjutan dari halaman 4

Page 14: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 14

Perjalanan hari ini berakhir di Pelabuhan Doom KotaSorong, setelah sebelumnya speedboat kami merapatsekitar pukul 17.00 WIT. Tugu di Pulau Dofiormenyambut kedatangan kami, “Dewobok Nefeden PauMaladum”, artinya selamat datang di Kota Sorong.Sorong sendiri berasal dari kata “Soren” yang dalamBahasa Biak Numfor mempunyai arti “laut yang dalamdan bergelombang”. Menurut sejarahnya, daerahSorong ditemukan pertama kali oleh orang Biaksebelum Belanda datang ke Papua, yang berlayar padajaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari satupulau ke pulau lain hingga menetap di Kepulauan RajaAmpat. Suku Biak inilah yang memberi nama DaratanMaladum dengan sebutan Soren yang kemudiandilafalkan oleh para pedagangTionghoa, misionaris dari Eropa,Maluku dan Sangir Talaud dengansebutan Sorong. Di masa selanjutnya,dengan masuknya para surveyorminyak bumi dari Belanda yangmemulai eksplorasi pada tahun 1908d i K l amono , p emb a ng u na npermukiman di Sorong dimulai. Sejakitu, Sorong menjadi pusat kegiatandan merupakan pintu gerbang masukdan keluar Papua. Peninggalan sejarahmembuat Kota Sorong dikenal dengan sebutan KotaNederlands Neuw Guinea Petroleum Matschcapeij(NNGPM) atau kota yang penuh dengan sisa-sisapeninggalan sejarah minyak milik Pemerintah Belanda.

Kami beristirahat di salah satu hotel terbaik di KotaSorong yaitu Hotel Sahid Mariat, dengan tarif Rp.350.000,- semalam untuk 2 orang. Hotel tempat kamimenginap bersih dan bagus dengan fasilitas danpelayanan yang lebih dari cukup.

Pada malam harinya kami diundang untuk makanmalam bersama dengan beberapa orang pejabatPemerintah Daerah Kota Sorong. Dalam perjalananke Rumah Makan Ratu Sayang, kami melalui sebuah

kawasan public space yang bernama Tembok Dofior.Tembok Dofior lebih dikenal oleh masyarakat sekitardengan sebutan Tembok Berlin, karena pada saatpembangunannya bertepatan dengan runtuhnyaTembok Berlin di Jerman. Tembok ini pada awalnyadibangun untuk menangkal abrasi air laut dengan tinggikurang lebih 1,5 meter. Seiring berjalannya waktu,tembok ini ternyata berfungsi juga sebagai tempatrekreasi penduduk Kota Sorong yang ramaidikunjungi, khususnya oleh para muda-mudi padamalam Minggu. Mereka duduk-duduk berkelompokdan tampak asik bercengkrama satu sama lain.Pemandangan yang hampir sama dengan kawasanDago di Kota Bandung atau kawasan Blok M dan

Menteng di Jakarta pada malamMinggu.

Menu makan malam kali itu sangatlezat. Kami disuguhi ikan-ikan lautdan berbagai seafood segar lainnyayang berasal dari para nelayan KotaSorong. Membuat hidangan kali itut e r a s a i s t imewa dan ama tmengguggah selera. Makanan laut diKota Sorong umumnya disajikandengan berbagai sambal. Sambal yang

khas disana dikenal dengan nama dabu-dabu yangterdiri dari bahan tomat iris, cabai, minyak, dsb.Jangan terkejut karena sambal ini terasa sangat pedas.

Hari kedua, kegiatan pagi hari kami awali denganberjalan-jalan di sekitar hotel. Kami merasa kagumdengan penduduk Kota Sorong yang taat beribadah.Pada awalnya kami sempat merasa bingung, karenakota ini tampak sepi, mengingat hari itu adalah hariMinggu yang seharusnya ramai. Kebingungan kamiterjawab, karena sebagian besar dari penduduk kotamelakukan kebaktian di hari Minggu sehingga kegiatanbiasanya baru dimulai setelah jam 12 siang. Jalan-jalanpagi itu terasa menyenangkan karena langit begitucerah dan memang tersedia trotoar yang cukup lebar

Tugu Selamat Datang di Pulau

Dofior (foto: Brosur Pariwisata

Kota Sorong)

Wara

Wiri

Sepekan di Kepala Burung

Lanjutan dari halaman 5

pendukung perjalanan wisatawan (yang mencakupfasilitas pendukung dan aksesibilitas menuju dan seki-tar objek dan daya tarik wisata), serta karakteristikpasar wisatawan sebagai faktor utama dalam menen-tukan strategi segmentasi pasar dan target pasar pari-wisata.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kajian datasekunder, dan wawancara dengan para pengelola ob-jek wisata, peserta diajak untuk berlatih menyusunprogram promosi pariwisata Kota Bandung, sekaligus

membuat brosur promosinya, yang kemudian dipre-sentasikan pada akhir kegiatan pelatihan.

Kegiatan pelatihan promosi ini diharapkan dapatmemberikan bekal yang memadai bagi insan pari-wisata di daerah dalam upaya memasarkan keunggu-lan yang dimiliki daerahnya, baik melalui prosesperkuliahan dan diskusi di dalam kelas, maupun me-lalui kegiatan kunjungan lapangan dan kerja kelompokserta diskusi dengan para pengelola daya tarik wisata.

Page 15: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 15

untuk pejalan kaki, sehingga kami dapat tenangberjalan menyusuri kota. Kami mengunjungi ViharaBudha yang terletak di kawasan Perbukitan Malanu,puncak tertinggi Kota Sorong. Saat itu kami diperbolehkan untuk melihat-lihat ke dalam vihara dannaik hingga lantai 7 di vihara tersebut. Dari lantaitertinggi tersebut kami dapat melihat dengan jelaspanorama Kota Sorong yang tertata cukup rapilengkap dengan laut serta pulau-pulau kecil yangterlihat dikejauhan. Perjalanan kami pagi itu berakhirdi sebuah pasar tradisional yang bernama PasarBozwesen yang juga merupakanKm.0 Kota Sorong.

Kami pun segera kembali ke hotelkarena orang-orang yang akanmengantar kami sudah siap. Hariitu, kami berangkat menuju kePantai Tanjung Kasuari, sebuahkawasan yang merupakan lokasiutama andalan wisata KotaSorong. Dalam perjalanan menujuT a n j u n g K a s u a r i , k a m imengunjungi beberapa tempatyang menarik. Seperti Bukit Malanu yang juga terletakdi ketinggian dan terdapat beberapa tangki minyakpeninggalan Belanda, serta Tugu Pepera yangmerupakan tugu perjuangan rakyat Irian. PantaiTanjung Kasuari mulai tampak ramai, tapi kamimemutuskan untuk meneruskan perjalanan terlebihdahulu menuju Pantai Dukuh Saoka, sekitar 20 menitperjalanan dari pantai Tanjung Kasuari. Pantai DukuhSaoka cukup bersih dan indah, pengunjungnya punmasih amat jarang. Ketika kami datang hanya adasekumpulan muda-mudi yangsedang bercengkrama dansepasang suami-istri. DariDukuh Saoka ini, kita dapatmemandang laut lepas dengantenang, karena tempat ini sepidan teduh akibat banyaknyapepohonan rindang di pinggirpantai. Garis pantai di sanamemang tidak panjang denganpantainya yang agak berbatu.Sehingga membuat pengunjungyang akan bermain air, terpaksamengurungkan niatnya, apalagisaat ombak datang. Tapiperpaduan antara birunya air laut dan langit yangseakan tanpa batas, kerindangan pepohonan sertakeheningan di pantai ini telah menjadi daya tariktersendiri bagi wisatawan yang akan berkunjung.

Pantai Tanjung Kasuari, dipenuhi pengunjung pada hariitu. Pengunjung terlihat melakukan berbagai aktivitasseperti berenang, bermain air, naik perahu sewaanatau sekedar duduk-duduk bercengkrama dengan

keluarga dan teman serombongan di “honai” -semacam gazebo kecil- yang banyak tersedia, sembarimenikmati pantai di siang itu. Tapi sejauh mata kamimemandang, yang terlihat hanya wisatawan domestikyang datang ke Pantai Tanjung Kasuari.

Dalam perjalanan kembali ke kota, kami melewatiKampung Garam, beberapa desa nelayan dan tugukedatangan Jepang pertama kali di Kota Sorong.Kawasan Perbukitan Pertamina yang dilewati jugamenjadi pemandangan yang terlalu sayang untuk

dilewatkan, walau rasa kantuk danlapar mulai terasa menganggu.Perjalanan hari ini menjadi sangatmenyenangkan dan lengkap,melihat Kota Sorong mulai dariarsitektur dan peninggalanbersejarah kotanya, pantai yangindah serta penduduk kota yangramah.

Jadwal kami di hari ketiga adalahmelakukan presentasi di depanwalikota dan aparat Pemerintah

Daerah Kota Sorong. Kegiatan hari itu diakhiri denganmelakukan perjalanan bersama para aparatpemerintah Kota Sorong ke lokasi Bandara SorongDaratan yang belum selesai dibangun. Dari bandara,kami menuju Kawasan Hutan Wisata ArboretumKlasaman yang merupakan objek wisata alam KotaSorong. Keteduhan dan rimbunnya pepohonan yangdidominasi pohon damar (Agathis alba) kurang mampumenarik minat pengunjung untuk datang berwisata ditempat ini. Apalagi setelah dua tahun sebelumnya

kawasan Pantai TanjungKasuari resmi dibuka untukkegiatan wisata. Alhasilselain kurang diminatipengunjung, hutan wisata inisekarang menjadi lahan bagipenebang kayu sertapenambang minyak ‘liar’yang beroperasi di kawasanitu. Kunjungan terakhirsebe lum kemba l i kepenginapan, rombonganmenyempatkan diri untukmengunjungi Sungai Makbonyang berada di perbatasan

antara Kabupaten Sorong dengan Kota Sorong.

Hari keempat kami beranjak ke Kabupaten SorongSelatan. Jarak Kota Sorong dan Kabupaten SorongSelatan sekitar 200 km yang dapat ditempuh dalamwaktu 9 jam. Perjalanan kali ini cukup berat, denganmedan yang kami lalui sebagian besar masih berupatanah dan naik-turun. Dalam perjalanan terlihatbeberapa mobil selip dan harus ditarik dengan

Tembok Dofior (foto: Abrilianty O.N)

Suasana wisatawan di Pantai Tanjung Kasuari

pada hari Minggu (foto: Abrilianty O.N.)

Page 16: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 16

kendaraan berat.Perjalanan kalii n i memangseperti offroad.

S e p a n j a n gperjalanan kamidapat melihatpohon -p ohontinggi disebelahkiri dan kananjalan. Kami punm e l a l u i

perkampungan penduduk yang sangat terbuka danramah, kemudian kami juga sempat berfoto denganmereka.

Sungai Hilang yang merupakan sungai bawah tanah danbatu yang menyerupai ‘pantat kapal’ pun kami lalui.Hari sudah beranjak siang, kami pun berhenti untukberistirahat sembari makan siang di Sungai Soroanyang sangat bersih, asri dan indah. Sungai ini sangatjernih sehingga kami dapatmelihat sampai ke dasar SungaiSoroan ini.

Setelah makan siang, kamimelanjutkan perjalanan ke DanauAyamaru kemudian menujuibukota Kabupaten SorongSelatan. Kondisi perjalanan keDanau Ayamaru tidak terlaluberat karena jalan yang ada sudahberupa jalan kapur, namun kamiharus berhati-hati karenajalannya cukup curam dengan belokan yang tajam.Sesampai di Danau Ayamaru, udara sangat segar danbersih. Danau Ayamaru merupakan danau yang belum‘tersentuh’ dan dikelola sehingga danau ini masihsangat alami. Setelah berkeliling menikmati keindahanDanau Ayamaru dari berbagai sudut, kami lalu kembalimelanjutkan perjalanan ke Teminabuan, yangmerupakan ibukota Kabupaten Sorong Selatan.Keadaan jalan Ayamaru-Teminabuan sudah diaspaldengan baik.

Di sepanjang perjalanan kami melewati beberapaperkampungan. Kami sangat kagum dan menghormatisikap mereka yang peduli akan lingkungan sekitar, baiksesama manusia maupun hewan peliharaan. Hal initercermin dari sikap tegas mereka yang akanmengenakan sangsi apabila ada yang menyakitimakhluk hidup di sekitarnya. Jika ada yang melanggarprinsip mereka, maka siapapun itu harus maumenanggung sangsi yang diberikan. Misalnya jika tidaksengaja menabrak anak kecil atau pengangguran kitaharus membayar sebesar 50 juta dan jika korbannyaseorang pegawai kita harus merogoh kocek 100 juta,ayam 50 ribu dan dihitung setiap telurnya denganharga yang sama jika ayam tersebut mempunyai telur.Untuk anjing sebesar 500 ribu dan jika betinaharganya ditambah 500 ribu dikalikan setiap putingsusunya. Sapi yang sedang mengandung, hargadendanya bisa mencapai harga sebuah mobil kijang.Cerita ini membuat kami sadar akan pentingnya sikapsaling menghargai kehidupan.

Pukul 5 sore kami tiba diTeminabuan, sebuah kota kecilberpenduduk sekitar 12.463jiwa. Penerangan listrik di kotaini masih dipakai secarabergiliran. Kami tiba di sebuahpenginapan sederhana yangmer upakan s a tu - s a t unyapenginapan di kota itu. Malamhari setelah perjalanan yangmelelahkan itu ditutup olehmakan malam ikan laut segar danudang yang sungguh lezat.

Keesokan harinya kami kembali lagi ke Kota Sorongmenempuh jalur darat yang sama. Namun saat itu hu-jan turun sehingga medan yang dilalui semakin berat.Tak terasa 9 jam perjalanan yang cukup berat berakhirsudah. Setibanya di Kota Sorong kami duduk santai ditepi Tembok Dofior, menikmati langit sore Kota So-rong sambil melepas lelah sembari melihat lampu ka-pal berkelap-kelip di kejauhan. Hari-hari berikutnyakami mengerjakan tugas lain yaitu mengumpulkan datauntuk keperluan penyusunan RIPPDA Kota Sorong.Selain itu kami juga masih sempat mengunjungi tokocenderamata (souvenir) yang menjual berbagai pernak-pernik khas Irian Jaya mulai dari koteka sampai ukirankhas Irian Jaya, khususnya ukiran yang berasal dariSuku Asmat.

Sehari-hari kami menggunakan angkutan kota yangbertarif 1000 rupiah baik jauh maupun dekat atau se-kedar jalan kaki menikmati ruang-ruang kota di So-rong. Uniknya, angkutan kota di sana memperdengar-kan berbagai jenis musik serta memberikan lampuberwarna-warni dan kaca pada bagian interiornya.Hampir di setiap sudut jalan, orang-orang yang kami

Sungai Soroan yang jernih (foto: Fictor F)

Kami dan penduduk desa setempat (foto: Fictor F.)

Hutan Wisata Arboretum Kla-

saman (foto: Abrilianty O.N.)

Page 17: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 17

temui semuanya bersikap ramah dan sering menyapa.

Sebagai kota dengan sebagian besar penduduk yangmerupakan pendatang, Kota Sorong memiliki akultu-rasi budaya yang unik, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Papua. Ini terasa dari makanan yangtidak sulit dicari, selain hidangan laut (seafood), masa-kan Padang, Makassar dan Jawa semua tersedia diKota Sorong. Tapi memang disadari biaya hidup disana cukup mahal jika dibandingkan dengan di PulauJawa. Hal ini kami rasakan tidak saja saat membelimakanan, tapi juga saat membeli barang-barang lain-nya. Kondisi tersebut wajar karena biaya transportasibarang lebih mahal.

Tak terasa hampir satu minggu lamanya kami telahberada di Kota Sorong dan tiba saatnya harus kembalike Kota Bandung. Rasanya kami sudah terbiasa dengankehidupan di sana, seperti perbedaan waktu 2 jam de -ngan Kota Bandung. Dengan berat hati kami mening-galkan Kota Sorong yang penuh kenangan indah. Sam-pai tiba akhirnya pesawat yang kami tumpangi lepaslandas dari Bandara Pulau Jeffman, birunya air laut danpulau-pulau kecil di kejauhan seakan berkejaran den-gan gumpalan awan yang putih. Kata-kata yang tetapteringat dalam ingatan kami adalah “Kitorang semuabersaudara”.

mengunjungi objek wisata yang terdapat di atau dekatdengan kota tersebut.

Jika dilihat berdasarkan jumlah kunjungan wisman danwisnus, ternyata terdapat perbedaan yang cukup men-colok terhadap urutan objek wisata tersebut. Dari ketujuh objek ternyata wisman terbanyak mengunjungiTaman Safari Indonesia; kemudian Kebun Raya Bogor,Air Panas Ciater dan Tangkuban Perahu. Sementarawisnus terbanyak mengunjungi Kebun Raya Bogor, AirPanas Ciater dan Makam Sunan Gunung Jati. TamanSafari yang merupakan objek utama bagi wismanberada pada urutan ke-5 bagi wisnus. Selain itu terli-hat pula bahwa Makam Sunan Gunung Jati yang dikun-jungi jutaan wisnus (di urutan ke-3), ternyata hanyadikunjungi oleh sedikit wisman, demikian juga denganKebun Binatang Bandung.

Dari ketujuh objek wisata di atas, kecuali Makam Su-nan Gunung Jati yang merupakan objek wisata ziarah,objek wisata lainnya merupakan objek wisata rekreasi

yang berbasiskan alam. Jika dilihat profil wisatawan(khususnya wisnus) di Jawa Barat, motivasi wisnusyang utama adalah untuk berekreasi selain mengun-jungi keluarga/teman. Padahal jika dilihat lebih jauh, diobjek wisata tersebut dapat digali kegiatan lain yangtidak hanya sekedar berekreasi.

Kebun Raya Bogor misalnya, menjadi tujuan wisatautama bagi warga Jakarta karena lokasinya yang dekatdan mudah dicapai dari Jakarta; tiket masuk yang ter-jangkau menjadikan objek ini ramai dikunjungi khusus-nya pada hari Minggu atau libur. Padahal selain sebagaiobjek rekreasi, Kebun Raya Bogor merupakan objekwisata pendidikan yang sarat dengan tambahan penge-tahuan yang terkait dengan berbagai spesies tumbuh-tumbuhan yang terdapat di kebun raya tersebut.

Air Panas Ciater dan Tangkuban Perahu dapat digalilebih lanjut menjadi objek geowisata yang sarat de-ngan muatan keilmuan yang terkait dengan fenomenagunung api; kawah dan keterkaitannya dengan pemun-

Dominasi Objek Wisata Rekreasi…

Lanjutan dari halaman 3WASKITA

NO. NAMA OBJEK WISATA JUMLAH KUNJUNGAN %

WISMAN WISNUS JUMLAH

1 KEBUN RAYA BOGOR 53,702 15,858,078 15,911,780 59.66

2 AIR PANAS CIATER 34,644 3,021,955 3,056,599 11.46

3 MAKAM SUNAN GUNUNG JATI 431 2,787,150 2,787,581 10.45

4 KEBUN BINATANG BANDUNG 2,502 1,463,234 1,465,736 5.50

5 TAMAN SAFARI 312,208 1,133,693 1,445,901 5.42

6 PANTAI PANGANDARAN 4,098 1,158,157 1,162,255 4.36

7 TANGKUBAN PARAHU 32,858 809,378 842,236 3.16

440,443 26,231,645 26,672,088 100.00JUMLAH KUNJUNGAN KE TUJUH OBJEK

Tabel

Jumlah Kunjungan ke-7 Objek Wisata Utama di Jawa Barat tahun 2002Sumber: Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat dalam Angka 2003, Disbudpar Jawa Barat.

Page 18: Volume VII, September 2004

VOLUME VII NOMOR 4

HALAMAN 18

Warta Pariwisata mengundang pembaca mengirim artikel, karikatur, foto, ilustrasi, saran, kritik, opini atau penda-pat pembaca mengenai apa pun yang berkaitan dengan pariwisata. Masukan tersebut dapat dikirimkan melalui fax,

email ataupun surat. Warta Pariwisata berhak mengedit tanpa menghilangkan maksud dan tujuan penulis.

Seluruh Staf Kelompok Penelitian dan Pengembangan Pariwisata—Institut Teknologi

Bandungmengucapkan

Selamat menempuh Hidup Barukepada

Neneng Roslita, ST.(Staf Kelompok Penelitian dan Pengembangan Pariwisata)

Dan

Said Keliwar, S.ST.Par.Semoga berbahagia dan dikaruniaiNya rahmat dan berkat dalam hidup pernikahan.

culan air panas. Demikian juga dengan Pantai Pangan-daran yang memiliki Cagar Alam Pananjung, sebetul-nya dapat menjadi objek geowisata yang terkait de-ngan fenomena bentang alam, juga wisata pendidikanyang terkait dengan hutan cagar alam.

Saat ini pada umumnya objek wisata yang ramai dikun-jungi wisatawan khususnya di Jawa Barat adalah objekyang menawarkan kegiatan (utamanya) rekreasi. Lebihkhusus bahkan tempat-tempat yang memungkinkanpengunjung berekreasi bersama keluarganya akanmenjadi pilihan utama wisatawan. Objek wisata yang

terlalu bersifat ilmiah pendidikan cenderung tidakmenarik kunjungan wisatawan.

Dalam pengembangannya, objek wisata rekreasi ten-tunya dapat meningkatkan diri untuk menawarkankegiatan rekreasi yang juga bersifat edukatif, dimanawisatawan dapat menambah “pengetahuan” dan keil-muan dengan datang ke tempat wisata tersebut. Pro-gram interpretasi di suatu objek wisata misalnya, akansangat membantu wisatawan untuk dapat lebih mema-hami objek yang dikunjunginya. Demikian juga denganJawa Barat yang sangat potensial dalam mengembang-kan objek wisatanya, hendaknya mengarahkan padapengembangan objek wisata rekreasi yang edukatif..

Volume VII, Nomor 4 SEPTEMBER 2004

WARTA PARIWISATA

Kelompok Penelitian dan Pengembangan KepariwisataanInstitut Teknologi BandungGedung Integrasi dan Aplikasi LPPM ITB, Lantai 3JL. Ganesha 10 Bandung 40132

Telp: (022) 2534272 Fax : (022) 2506285Email: [email protected], [email protected]