unud-765-374512805-tesis pdf
TRANSCRIPT
1
TESIS
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI
KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
RAMBU ERYANI DIKI DONGGA NIM 1191361007
ROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
2
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI
KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Pada Program Studi Ilmu Peternakan,
Program Pasca Sarjana Universitas Udayanan
RAMBU ERYANI DIKI DONGGA NIM 1191361007
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
Lembar Pengesahan
3
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 15 AGUSTUS 2013
Pembimbinga I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, M.S. M.M Ir. Ni Ketut Nuraini, M. Agr. Sc NIP. 19530319 198003 1 002 NIP. 19490517 197602 2 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Peternakan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Dr. Ir.G.A.M. Kristina Dewi.MS Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590813 198503 2 001 NIP 19590215 198510 2 001
4
Tesis ini telah diuji pada Tanggal 13 Agustus 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor: 16/2a/UN14.4/HK/2012, 23 Oktober 2012
Ketua : Prof. Dr. Ir. I Nyoman Suparta, MS. MM
Sekretaris : Ir. Ni Ketut Nuraini, MS
Anggota : Prof. Ir. I Dewa Ketut Harya Putra, M. Sc. Ph.D
Prof. Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes
Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, Ms
5
UCAPAN TERIMAKASIH
Pujian dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, atas berkat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Adopsi
Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba
Timur, Nusa Tenggara Timur” sebagai salah satu syarat akademik untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Peternakan di Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana.
Berhasilnya penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan,
saran dan koreksi dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti
mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr.
dr. I Made Bakta, Sp. P.D (KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
selama perkuliahan dan penyelesaian pendidikan di Program Magister Universitas
Udayana. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada Ibu Prof. Dr. dr. A. A.
Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Ibu Dr. Ir. G.A.M. Kristina Dewi. MS selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Peternakan beserta jajaran sebagai pelaksana teknis kegiatan
Program Studi Magister Ilmu Peternakan atas segala bantuan, dukungan, dan
dorongan selama perkuliahan sampai selesainya tesis ini.
Terimakasih juga peneliti ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. I Nyoman
Suparta, M.S.M.M selaku pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan
bimbingan, dorongan, dan nasehat dalam menulis tesis ini dan Ibu Ir. Ni Ketut
Nuraini, M. Agr. Sc, selaku pembimbing II, yang juga dengan penuh perhatian
6
dan teliti memberikan dorongan, bimbingan, dan saran-saran kepada penulis
dalam menyelesaikan tesis ini, karenanya penulis menghaturkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya atas kesabaran dan bimbingan selama ini. Ucapan yang sama
juga penulis ucapkan kepada Prof. Ir. I Dewa Ketut Harya Putra, M.Sc.Ph.D, Prof.
Dr. Drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes, Prof. Dr. Ir. I Gede Mahardika, MS, selaku tim
penguji yang banyak memberikan masukan, saran, koreksi sehingga tesis ini dapat
terwujud.
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya
kepada Ibu Bapak tercinta, Rambu Halla Anggung Praing, S.Pd dan Ferdy
Purumbawa, S.Sos, yang selalu dengan tulus dan tiada hentinya memberikan
kasih sayang, doa, semangat, dan dukungan materi sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini, “you both are my everything”. Keberhasilan penulis
dalam menyelesaikan studi ini, tidak terlepas juga dari bantuan dan doa dari kedua
kakak dan adik, Rambu Shanty Diki Dongga S.Pi, Umbu Yantho Diki Dongga,
S.H, Irene Rambu Yeti Diki Dongga dan saudara sepupu saya Rambu Yeni Diki
Dongga, S.E, dan Rambu Esy Diki Dongga, terimaksih selalu bersedia menemani
mencari data selama penelitian serta om sopir yang selalu setia menemani ke desa
K’herman dan Umbu Djanji serta kekasih tercinta sekaligus sahabat seperjuangan
saya selama menempuh kuliah di Universitas Udayana “Pasifikus Mala Meko,
S.S.T.Par” yang selalu setia memberikan kasih sayang yang begitu tulus dan
memberikan motivasi serta doa bagi penulis selama menempuh studi di Program
Magister Ilmu Peternakan Universitas Udayana.
7
Dalam kesempatan ini, peneliti juga menghaturkan terimakasih kepada
Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur yang telah memberikan bantuan
berupa data dan informasi untuk penelitian ini, staf –staf Magister Ilmu
Peternakan, serta para peternak kuda dan penyulu peternakan sebagai informan
yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan data dan mengisi
kuisioner dalam penyelesaian tesis ini.
Terkahir, namun sangat berarti, kepada semua teman-teman di Program
Pascasarjana Ilmu Peternakan, Awal Maulid Sari sebagai sahabat seperjuangan
dalam menyelesaikan tesis serta bantuan dalam segala hal, Indra, Yogik, Tutik,
Yanwar, Pak Rama dan Pak Gusti, terimakasih atas kebersamaan kita selama ini.
“our togetherness in one of the best moments that I've ever had”.
Besar harapan penulis, karya ini dapat diterima dan ada manfaatnya,
meskipun penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Semoga Tuhan Yang
Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa melimpahkan rahmat, berkat
dan perlindungan dari semua penjuru untuk kita semua.
Om Shanti Shanti Om
Denpasar, Agustus 2013
Peneliti,
Rambu Eryani Diki Dongga
8
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN
SUMBA TIMUR, NUSA TENGGARA TIMUR
ABSTRAK
Peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian di Kabupaten Sumba Timur. Tetapi, adanya penyakit surra merupakan masalah yang akan mengancam populasi kuda. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan penyuluhan, pengaturan, dan pelayanan. Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak tentang pengendalian penyakit surra; 2) mengetahui tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra; 3) menganalisis hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra terhadap perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak; 4) menganalisis hubungan antara perilaku peternak dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian yang terkena penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Responden peternak yang dipakai dalam penelitian ini ditentukan secara proporsional yaitu diambil 10% dari setiap kecamatan di mana penyakit surra lebih banyak terjangkit. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus populasi Slovin (Consuelo, 1993). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pengetahuan dan keterampilan peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, sedangkan sikap peternak kuda termasuk dalam kategori positif; 2) tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda termasuk dalam kategori sedang; 3) penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra berhubungan positif dengan tingkat pengetahuan peternak, tetapi tidak dengan keterampilan dan sikap peternak; 4) sikap peternak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur, tetapi tidak dengan pengetahuan dan keterampilan peternak.
Kata Kunci: Adopsi teknologi, pengendalian penyakit surra, peternak kuda,
Kabupaten Sumba Timur
9
THE ADOPTION OF TECHNOLOGY TO CONTROL SURRA DISEASE BY HORSE RAISER IN EAST SUMBA REGENCY,
EAST NUSA TENGGARA PROVINCE
ABSTRACT
Animal husbandry, particularly horse keeping, is considered as important sector in supporting economy of the East Sumba Regency. However, the outbreak of surra disease has become serious threat for the maintenance of horse population in this area. Various efforts have been done by the local government to control the disease, such as by performing extension on disease control, enacting regulations concerning prevention of disease spreading, and performing services to control the disease. But up to the present days, surra disease has not been controlled properly; there were still many cases of disease encountered by horse raisers. Thus, the present work was aimed to study: (1) level of behavior (knowledge, skill, and attitude) of horse raisers towards control of surra disease, (2) level of adoption of technology to control surra disease, (3) analysis of relationship between the actual conduct of extension on disease control and change of the horse raisers behavior, and (4) analysis of relationship between horse raisers behavior and their level of adoption of the technology. A stratified random sampling was employed to choose respondents in the current study throughout all areas suffering from surra disease; in this case, 10% respondents of each kecamatan were surveyed, according to the Slovin population formula (Consuelo, 1993). The present study indicated the following results. (1) The knowledge and skills concerning technology to control surra disease of horse raiser in East Sumba can be considered as mediocre, and their attitudes were positive. (2) Their level of adoption of the technology can also be considered as mediocre. (3) The actual course of extension has positive relationship with level of horse raisers knowledge, but not with their skills and attitudes. (4) Attitudes have significant relationship with level of adoption of the technology, but not with their knowledge and skills.
Keywords: Adoption of technology, control of surra disease, horse raisers, East Sumba Regency
10
RINGKASAN
ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NUSA
TENGGARA TIMUR
Bidang peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang
perekonomian di Kabupaten Sumba Timur. Sebagian besar petani peternak masih mengandalkan hidupnya dari sektor peternakan, di samping pertanian dalam arti luas. hasil ternak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Sumba Timur dapat berkurang apabila ada wabah penyakit yang menyerang ternak seperti penyakit surra yang menyebar luas di beberapa Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Penyakit surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyakit surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa yaitu Trypanosoma evansi. Data terakhir Dinas Peternakan Sumba Timur menyebutkan bahwa, penularan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur mulai ditemukan sejak bulan Agustus 2010 yang menyerang ternak kuda sandel dan kerbau, sedangkan pada ternak sapi tidak ditemukan gejala klinis maupun hasil pemeriksaan laboratorium.
Penyakit surra menyerang ternak kuda dan kerbau warga di tujuh kecamatan yang ada di Sumba Timur, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori Angu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu Ngala. Keberadaan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur merupakan masalah besar yang akan mengancam populasi ternak di Sumba Timur, dimana akibat serangan penyakit surra ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penularan penyakit surra dari daerah endemis. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan melakukan penyuluhan. Selain penyuluhan, pelayanan (service) dan pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah, semestinya diselenggarakan dengan baik, agar penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur dapat teratasi dengan baik.
Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik. Inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh serta pengaturan (regulation) yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya sebagian peternak yang mau mengikuti hal ini kemungkinan disebabkan oleh sumber daya manusia (SDM) yang masih kurang memadai, pola pikir peternak yang masih menganggap bahwa penyakit surra adalah penyakit yang sudah tidak bisa untuk disembuhkan lagi. Bagi mereka, surra adalah salah satu penyakit kutukan yang dapat mematikan ratusan ternak kuda. Dengan adanya persepsi yang demikian itu, secara langsung maupun tidak langsung akan berperan dalam penerimaan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, NTT.
11
Dari uraian di atas, maka penelitian mengenai “Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur“ perlu segera dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif dan analitis keadaan peternak sehingga dapat diberikan solusi untuk pengendalian penyakit selanjutnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1) mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak tentang pengendalian penyakit surra; 2) mengetahui tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra; 3) menganalisis hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra terhadap perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak; 4) menganalisis hubungan antara perilaku peternak dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra.
Populasi penelitian ini adalah semua peternak kuda yang ada di tujuh kecamatan endemis penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian. Jumlah sampel untuk peternak ditentukan berdasarkan rumus populasi Slovin (Consuelo, 1993) yaitu selanjutnya secara proporsional diambil 10% dari setiap kecamatan. Sehingga, jumlah sampel untuk peternak adalah 96 orang. Sedangkan, responden penyuluh ditentukan dengan cara mengambil semua penyuluh yang bertugas melakukan penyuluhan di tujuh kecamatan dilokasi penelitian dan untuk responden pemerintah diambil dari petugas dinas peternakan dan petugas kecamatan dinas setempat yang memberikan pelayanan dan pengaturan dalam pengendalian penyakit surra. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah pelayanan, penyuluhan, pengaturan, pengetahuan, keterampilan, sikap dan adopsi. Data mengenai variabel adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, pengetahuan, keterampilan, pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan responden diukur dengan skala jenjang lima (1,2,3,4,5). Skala ini menggunakan lima kategori jawaban dari setiap pertanyaan yang disusun. Setiap jawaban diberi skor secara konsisten. Sikap responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra diukur dengan menerapkan “Skala Likert”, dengan membentuk lima kategori jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Skor dinyatakan dalam bilangan bulat (1,2,3,4,5). Untuk pertanyaan positif respon sangat setuju diberikan skor 5, sebaliknya sangat tidak setuju diberikan skor 1, sedangkan untuk pertanyaan negatif respon sangat tidak setuju diberi skor 5, sebaliknya sangat setuju diberi skor 1. Hal ini sesuai dengan metode Singarimbun dan Effendi (1995). Data mengenai identitas responden dianalisis secara deskriptif sampai tahap tabulasi. Keterkaitan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan dan sikap responden, keterkaitan antara keterampilan dengan sikap, dan hubungan penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dengan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta keterkaitan perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) dengan adopsi responden tentang teknonologi pengendalian penyakit surra digunakan Analisis Jalur (Path Analysis) dengan menggunakan regresi bertahap. Analisis jalur (path analysis) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hubungan kausal antara dua atau lebih variabel (Sitepu, 1994).
12
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan pencapaian persentase skor pengetahuan dan keterampilan peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 49,75 (62,19%) dan 35,81 (65,11%) dari skor maksimal ideal 80 dan 55 (termasuk dalam kategori sedang), Sedangkan sikap peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%) dari skor maksimal ideal 80. Jika dilihat dari tingkat adopsi, rataan pencapaian skor tingkat adopsi peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 65,29 % termasuk dalam kategori sedang. Dari hasil analisis statistik didapatkan masing-masing bahwa pengetahuan peternak memiliki hubungan yang nyata (P<0,01) dengan keterampilan dan sikap, sedangkan keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan sikap peternak. Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur memiliki hubungan yang positif nyata (P<0,01) dengan pengetahuan peternak sedangkan dengan keterampilan dan sikap berhubungan tidak nyata (P>0,05). Pengetahuan peternak berhubungan negatif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra yang berarti semakin tinggi pengetahuan peternak maka semakin rendah tingkat adopsi peternak dan secara statistik tidak nyata (P>0,05). Keterampilan peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra, namun secara statistik tidak nyata (P>0,05) sedangkan sikap peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra dan secara statistik nyata (P<0,05). Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dan simpulan, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pemerintah : Untuk meningkatkan tingkat adopsi peternak, diperlukan berbagai upaya termasuk penyuluhan (pelatihan, pendampingan, ceramah dll) agar terjadi peningkatan motivasi dan perilaku peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra, sebaiknya penyuluh tinggal di lokasi endemis penyakit surra, terutama ketika terjadi wabah penyakit surra sehingga mempermudah dalam proses pelayanan serta intensitas komunikasi antara penyuluh dan peternak perlu ditingkatkan, perlu adanya kegiatan pencegahan dan penanggulangan melalui kegiatan vaksinasi dan pengobatan secara rutin dalam rangka pengendalian penyakit selanjutnya. 2) Masyarakat : rajin mengikuti kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh instansi terkait untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peternak dalam beternak, sehingga pengendalian penyakit surra dapat berjalan dengan baik. Memperbaiki pola pemeliharaan secara baik dan benar dengan cara mengandangkan ternak kuda dan memisahkan ternak yang sakit dan sehat. Pelaporan dan penanganan penyakit surra secepatnya serta melakukan pembakaran bangkai dan karkas terinfeksi sehingga penyakit surra tidak menyebar ke ternak lainnya.
DAFTAR ISI
13
Halaman
JUDUL ................................................................................................................................. i PRASYARAT GELAR ...................................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................................. iv UCAPAN TERIMAKASIH .............................................................................................. v ABSTRAK ......................................................................................................................... viii ABSTRACT ....................................................................................................................... ix RINGKASAN .................................................................................................................... x DAFTAR ISI ....................................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... xx DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................... xxi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................................... 5 1.3 Tujuan ............................................................................................................................ 6 1.4 Manfaat .......................................................................................................................... 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Penyakit Surra (Trypanosomiasis) ..................................................................... 8 2.2 Penyebab Penyakit Surra (Trypanosomiasis) ................................................................. 11 2.3 Penyakit Surra Pada Kuda .............................................................................................. 14 2.4 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Surra ............................................................... 16 2.5 Penyuluhan ..................................................................................................................... 18 2.6 Tujuan Penyuluhan ......................................................................................................... 21 2.7 Adopsi Inovasi ............................................................................................................... 25 2.8 Proses Adopsi ................................................................................................................. 30 2.9 Kecepatan Adopsi ........................................................................................................... 37 2.10 Peranan Penyuluhan dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi .................................... 38 2.11 Perilaku Peternak ......................................................................................................... 40 2.11.1 Pengertian Perilaku ........................................................................................... 40 2.11.2 Perubahan Perilaku ............................................................................................ 41 2.12 Unsur – Unsur Perilaku ................................................................................................ 42 2.12.1 Pengetahuan ..................................................................................................... 42 2.12.2 Keterampilan .................................................................................................... 45 2.12.3 Sikap ................................................................................................................. 46
14
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ......................................................................................................... 52 3.2 Hipotesis Penelitian ........................................................................................................ 56 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian ..................................................................................................... 57 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................................... 57 4.3. Populasi ......................................................................................................................... 58 4.4. Sampel ............................................................................................................................ 58 4.5. Pengumpulan Data ........................................................................................................ 61
4.5.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................................ 61 4.5.2 Tehnik Pengumpulan Data .................................................................................. 61
4.6 Instrumen Penelitian ...................................................................................................... 62 4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas ......................................................................................... 63 4.7.1 Uji Validitas .......................................................................................................... 63 4.7.2 Uji Reliabilitas ...................................................................................................... 64 4.8 Pengukuran Variabel dan Batasan Operasional ............................................................. 64 4.8.1 Pengukuran Variabel ............................................................................................ 64 4.8.2 Definisi Operasional ............................................................................................. 70 4.9 Analisis Data .................................................................................................................. 71 BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Letak Geografis Dan Letak Astronomis ........................................................................ 73 5.2 Iklim dan Curah Hujan ................................................................................................... 75 5.3 Penduduk dan Tenaga Kerja .......................................................................................... 76 5.3.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk ............................................. 76 5.3.2 Persebaran Penduduk ............................................................................................. 77 5.3.3 Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur .................... 78 5.3.4 Tingkat Pendidikan ................................................................................................ 80 5.3.5 Angkatan Kerja ...................................................................................................... 81 5.4 Kondisi Peternakan di Kabupaten Sumba Timur ........................................................... 83 BAB VI HASIL PENELITIAN 6.1 Karakteristik Responden ................................................................................................ 86 6.1.1 Umur ..................................................................................................................... 86 6.1.2 Pekerjaan ............................................................................................................... 87 6.1.3 Tingkat Pendidikan ............................................................................................... 88 6.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga ............................................................................... 89 6.1.5 Rataan Luas Lahan ................................................................................................ 90 6.1.6 Jumlah Pemilikan Ternak ...................................................................................... 91 6.2 Perilaku Responden ........................................................................................................ 93 6.2.1 Pengetahuan Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra .............................................................................................................................. 93 6.2.2 Keterampilan Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra ............................................................................................................................... 94 6.2.3 Sikap Responden Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra .................. 95
15
6.3 Tingkat Adopsi Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT ................................................................................. 96 6.4 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan, Pengaturan, dan
Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur, NTT ............................................................... 96 6.4.1 Kegiatan Penyuluhan tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............ 96 6.4.2 Kegiatan Pelayanan dalam Penyuluhan Penyakit Surra ...................................... 97 6.4.3 Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra ................................................... 98 6.5 Persepsi Penyuluh dan Pemerintah Mengenai Kegiatan Penyuluhan,
Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ............................................................................................................... 99
6.5.1 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra .............................................. 99
6.5.2 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ............................ 100
6.6 Tingkat Perilaku (pengtahuan, ketermpilan, sikap) dan Adopsi Responden tentang
Teknologi Pengendalian Penyakit Surra yang Di bedakan atas Jarak Tempat dari Penyuluh ................................................................................................................ 101 6.6.1 Pengetahuan Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh ......................................... 101 6.6.2 Keterampilan Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh .......................................... 101 6.6.3 Sikap Responden Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra
Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh ....................................................... 102 6.6.4 Tingkat Adopsi Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra Berdasarkan Tempat Tinggal dari Penyuluh .......................................... 103 6.7 Hasil Uji Mann-Whitney Perbedaan Signifikansi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari
Penyuluh ..................................................................................................................................... 103 6.8 Anlisis Jalur Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak, serta Hubungan
Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra .............................................................................................................................. 106
6.8.1 Model Strukturan Menggunakan Analisis Jalur (Path Analysis) ......................... 106 6.8.2 Hubungan Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................................ 107 6.8.3 Hubungan Penyuluhan Tentang Pengendalian Penyakit Surra Terhadap Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap)
Peternak ............................................................................................................... 108
16
BAB VII PEMBAHASAN 7.1 Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak
Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ........................................................................ 109 7.2 Tingkat Adopsi Peternak Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ................. 113
7.3 Hubungan Penyuluhan Dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan,
dan sikap) ...................................................................................................................... 116 7.4 Hubungan Perilaku Dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra .............................................................................................................................. 121
BAB VIII SIMPULAN DAN SARA 8.1 Simpulan ....................................................................................................................... 125 8.9 Saran ............................................................................................................................. 125 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 127 LAMPIRAN ........................................................................................................................ 133
17
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Populasi Kuda di Lokasi Penelitian ..................................................................... 58
Tabel 4.2 Populasi dan Sampel Peternak Lokasi Penelitian ................................................ 60
Tabel 4.3 Variabel dan Indikator Variabel Yang Diamati Dalam Penelitian ....................... 65
Tabel 4.4 Kategori Adopsi, Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, Pelayanan Penyuluhan, dan Pengaturan ................................................................................. 69 Tabel 5.1 Rata-Rata Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan di
Kabupaten Sumba Timur, 2011 .............................................................................................. 76 Tabel 5.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur ........................................................................................................ 78 Tabel 5.3 Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Sumba Timur ........................................................................................................ 79 Tabel 5.4 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011 ........................................................................... 80 Tabel 5.5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Sumba Timur, 2011 .............................................................................................. 81 Tabel 5.6 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegaiatan Utama di Kabupaten Sumba Timur 2010-2011 ................................................................ 82 Tabel 5.7 Penduduk 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011 ......................................... 83 Tabel 5.8 Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak, 2011 ............................ 84
Tabel 6.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ............................................................ 86
Tabel 6.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ..................................................... 88
Tabel 6.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...................................... 88
Tabel 6.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga ..................... 90
Tabel 6.5 Distribusi Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah ............................. 91
18
Tabel 6.6 Distribusi Ternak Berdasarkan Jenis dan Jumlah Ternak yang
Dipelihara ..................................................................................................................... 91
Tabel 6.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Ternak Kuda .............. 92
Tabel 6.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................. 93 Tabel 6.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................ 94 Tabel 6.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Sistem Pengendalian Penyakit Surra ................................................. 95 Tabel 6.11 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Terhadap Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 96 Tabel 6.12 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan Tentang
Teknologi Pengendalian Penyakit Surra ............................................................ 97 Tabel 6.13 Persepsi Responden Mengenai Pelayanan dalam Pengendalian
Penyakit Surra .................................................................................................... 98 Tabel 6.14 Persepsi Responden Mengenai Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit
Surra .................................................................................................................. 98 Tabel 6.15 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten
Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 99 Tabel 6.16 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan di Kabupaten
Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra ........................................... 100 Tabel 6.17 Persepsi Pemerintah Mengenai Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur
dalam Pengendalian Penyakit Surra .................................................................. 100 Tabel 6.18 Kategori Pengetahuan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................ 101 Tabel 6.19 Ketegori Keterampilan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh .............................................................................. 102 Tabel 6.20 Ketegori Sikap Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................. 102
Tabel 6.21 Ketegori Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh ................................................................. 103
19
Tabel 6.22 Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari
Penyuluh ............................................................................................................ 103 Tabel 6.23 Distribusi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Resonden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari
Penyuluh ............................................................................................................ 105 Tabel 6.24 Struktural Model – Jackknife Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra. ...................... 107 Tabel 6.25 Struktural model – Jackknife Hubungan Penyuluhan dengan
Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak ............................... 108
20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Peranan Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengaturan Dalam Pembangunan Pertanian ................................................................................ 23
Gambar 2.2 Komunikasi dan Proses Adopsi Inovasi .......................................................... 29
Gambar 2.3 Model Proses Putusan Inovasi ........................................................................ 35
Gambar 2.4 Klasifikasi Adopsi ........................................................................................... 37
Gambar 2.5 Paradigma Faktor-Faktor Yang Menentukan Kecepatan Adopsi
Inovasi .......................................................................................................................... 38
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur .............................................................................................................. 55
Gambar 4.1 Struktur Hubungan Antara Variabel Berdasarkan Diagram Kerangka Pemikiran ........................................................................................................ 72
Gambar 5.1 Peta Kabupaten Sumba Timur, NTT ................................................................ 85
Gambar 6.1 Model Struktural Menggunakan Analisi Jalur ................................................. 106
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Daftar Nama Responden .................................................................................. 133
Lampiran 2. Daftar Nama Penyuluh .................................................................................... 136
Lampiran 3. Rataan Persentase Skor Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak dan mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan dan pengaturan. ....................................................................................................... 137
Lampiran 4. Hasil Analisis Data Menggunakan Partial Least Square (PLS) .................. 140
Lampiran 5. Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Penyuluh ......................................................................................................................... 141
Lampiran 6. Reliabilitas Konstruk ....................................................................................... 144
Lampiran 7. Kuisioner .......................................................................................................... 154
22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peternakan merupakan sektor penting dalam menunjang perekonomian di
Kabupaten Sumba Timur. Sebagian besar petani peternak masih mengandalkan
hidupnya dari sektor peternakan, di samping pertanian dalam arti luas. Tahun
2011 jumlah peternak kuda sebanyak 8.285 kepala keluarga dan pengeluaran
ternak antarpulau mencapai 8.885 ekor terdiri atas 4.498 ekor sapi, 1.659 ekor
kerbau, dan 2.728 ekor kuda (Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2011).
Lebih jauh, dinyatakan bahwa hasil ternak memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD Sumba Timur dapat berkurang
apabila ada wabah penyakit yang menyerang ternak seperti penyakit surra yang
menyebar luas di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Sumba Timur,
NTT.
Penyakit surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke
Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyakit surra merupakan suatu
penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh sejenis protozoa, yaitu
Trypanosoma evansi.
Protozoa ini hidup dalam darah penderita dan mengisap glukosa yang
terkandung dalam darah. Selain itu, ia mengeluarkan sejenis racun yang disebut
trypanotoksin yang bisa mengganggu kesehatan ternak kuda yang menderita
penyakit ini (Arianto,2012).
23
Data terakhir Dinas Peternakan Sumba Timur menyebutkan bahwa
penularan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur mulai ditemukan sejak bulan
Agustus 2010 yang menyerang ternak kuda sandel dan kerbau, sedangkan pada
ternak sapi tidak ditemukan gejala penyakit surra maupun dari hasil pemeriksaan
laboratorium. Jumlah ternak kuda di Kabupaten ini sebanyak 32.667 ekor dan
kerbau sejumlah 37.295 ekor. Sementara itu, angka kematian ternak karena surra
dari tahun 2010-2011 menunjukkan grafik peningkatan dan pada tahun 2012
mengalami sedikit penurunan. Tahun 2010 sebanyak 44 ekor kuda yang mati,
meningkat di tahun 2011 menjadi 278 ekor, dan pada tahun 2012 sampai dengan
bulan Juni kematian ternak kuda akibat surra mengalami penurunan sedikit
menjadi 244 ekor sehingga total ternak kuda yang mati karena wabah penyakit
surra ini mencapai 566 ekor (Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2011).
Penyakit surra menyerang ternak kuda dan kerbau warga di tujuh kecamatan
yang ada di Sumba Timur, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori
Angu, Katala Hamulingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu
Ngala. Keberadaan penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur merupakan
masalah besar yang akan mengancam populasi ternak di Sumba Timur, dan yang
paling banyak terserang penyakit surra adalah ternak kuda. Akibat serangan
penyakit surra, ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya menderita sakit
dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat. Kuda
merupakan hewan yang sangat peka terhadap infeksi Trypanosoma evansi dengan
angka kematian (mortalitas) bisa mencapai 100% (Rodenwald dan Douwes, 1921
dalam Solihat, 2002).
24
Faktor yang mempengaruhi peningkatan penyebaran penyakit surra di
Kabupaten Sumba Timur sangat beragam. Beberapa hal diduga sebagai
penyebabnya, yaitu pemotongan ternak terinfeksi, pemusnahan karkas atau
bangkai terinfeksi surra tidak tuntas, ternak kuda yang digunakan dalam urusan
adat-istiadat seperti upacara kematian dan perkawinan antara warga lintas
kabupaten, kecamatan, dan desa turut menyebarkan penyakit surra. Melalui
perpindahan ternak, lalu lintas ternak antardesa dan antarkecamatan yang tidak
terkontrol, dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit surra dan
belum baiknya penerapan teknologi pengendalian penyakit surra sehingga
menyebabkan penyakit surra menular dari ternak satu ke ternak yang lainnya
(Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, 2012). Selain itu, penyebaran
penyakit surra juga disebabkan oleh faktor kesadaran atau kejujuran peternak
(pemilik hewan) yang minim, yaitu sikap yang tidak mau melaporkan dan
mengobati ternaknya yang sakit (Amirullah, 2012).
Penularan penyakit yang paling mudah adalah akibat adanya perpindahan
ternak dari daerah yang endemis ke daerah bebas penyakit surra (lalulintas
ternak). Terutama dari daerah endemis ke daerah endemis, sehingga dapat lebih
memperparah keadaan dan mempersulit pemberantasan. Sebagaimana diketahui
bahwa daerah yang memiliki kedekatan kultural dan hobi berkaitan erat dengan
kuda adalah Bima dan Sumba. Kedua daerah tersebut juga merupakan endemis
penyakit surra. Jika ada perlombaan pacuan kuda (olah raga berkuda) di Sumba,
maka para penyuka kuda pacu dari Bima kadang-kadang ikut meramaikannya
dengan membawa kudanya ke Sumba, demikian juga sebaliknya. Setelah kuda
25
tersebut kembali ke daerah masing-masing ada kemungkinan telah membawa
benih penyakit surra, yang akhirnya dapat menularkannya di daerah tersebut
(Amirullah, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi penularan
penyakit surra dari daerah endemis. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah
dengan melakukan penyuluhan. Menurut kepala bidang kesehatan hewan Bapak
Manuel M. Kitu, kegiatan penyuluhan di daerah endemis dilakukan setiap ada
kesempatan untuk turun ke lapangan baik dalam melakukan vaksinasi, maupun
pengobatan ternak yang sakit. Kegiatan penyuluhan ini dilakukan oleh kepala
seksi kesehatan hewan, tim dokter hewan, dan anak-anak SMK (Sekolah
Menengah Kejuruan Peternakan) yang sebelumnya telah diberikan pembekalan
atau pemahaman mengenai penyakit surra.
Selain penyuluhan, pemerintah juga melakukan pelayanan (service) dan
pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan pemerintah seperti
adanya surat ijin dan surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan
setempat untuk keluar masuknya ternak antarpulau. Selanjutnya untuk pelayanan,
pemerintah melakukan vaksinasi dan pemberian bantuan obatan-obatan dalam
rangka pemberantasan penyakit surra.
Namun, keberadaan penyakit surra masih belum dapat teratasi dengan baik.
Inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh serta pengaturan (regulation)
yang dikeluarkan oleh pemerintah hanya diikuti oleh sebagian peternak. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum
memadai dengan latar pendidikan yang rendah, pola pikir peternak yang
26
menganggap bahwa penyakit surra adalah penyakit yang sudah tidak bisa untuk
disembuhkan lagi. Bagi mereka, surra adalah salah satu penyakit kutukan yang
dapat mematikan ratusan ternak kuda. Adanya persepsi yang demikian itu, secara
langsung maupun tidak langsung akan berperan dalam penerimaan adopsi
teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba
Timur, NTT.
Dari uraian di atas, maka penelitian mengenai “Adopsi Teknologi
Pengendalian Penyakit Surra Oleh Peternak Kuda di Kabupaten Sumba Timur,
Nusa Tenggara Timur“ perlu segera dilakukan untuk mengetahui gambaran
deskriptif keadaan peternak sehingga dapat diberikan solusi untuk pengendalian
penyakit selanjutnya.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap)
peternak mengenai pengendalian penyakit surra?
1.2.2 Bagaimanakah tingkat adopsi peternak mengenai tekonologi pengendalian
penyakit surra?
1.2.3 Bagaimanakah hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian
penyakit surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan
sikap) peternak?
1.2.4 Bagaimanakah hubungan antara perilaku peternak dan tingkat adopsi
teknologi pengendalian penyakit surra?
27
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengetahui tingkat perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap)
peternak mengenai pengendalian penyakit surra.
1.3.2 Mengetahui tingkat adopsi peternak mengenai tekonologi pengendalian
penyakit surra.
1.3.3 Menganalisis hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian penyakit
surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap)
peternak.
1.3.4 Menganalisis hubungan antara perilaku peternak dan tingkat adopsi
teknologi pengendalian penyakit surra.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1.4.1 Bagi mahasiswa, agar dapat menambah wawasan pengetahuan tentang
adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di
Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
1.4.2 Bahan informasi bagi pemerintah atau pihak-pihak yang berkepentingan
untuk dapat mempertahankan populasi kuda yang ada di Kabupaten
Sumba Timur, NTT, melalui penanggulangan penyakit surra.
1.4.3 Bagi penyuluh, agar dapat melakukan introspeksi dan selanjutnya
memberikan masukan untuk pemerintah daerah dan perbaikan kegiatan
penyuluhan mengenai penyakit surra yang lebih efektif agar adopsi
28
teknologi ini oleh peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur, menjadi lebih baik.
1.4.4 Bagi peternak, agar dapat mengubah pola pikir mereka dalam proses
pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Sehingga,
populasi kuda dapat dipertahankan.
29
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Penyakit Surra
Trypanosomiasis yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi (T.evansi)
merupakan salah satu penyakit hewan menular penting pada ternak kuda dan
ruminansia besar, khususnya ternak sapi dan kerbau. Penyebaran parasit protozoa
T. evansi ini sangat luas hampir di seluruh pulau besar di Indonesia dan dapat
menyerang berbagai jenis hewan ternak dan satwa liar. Kejadian penyakit sangat
bervariasi tergantung kepada kepekaan hewan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi. Hewan unta, kuda, dan anjing sangat peka terhadap infeksi
T.evansi. Penyakit ini terjadi secara cepat, bersifat akut, dan berakibat fatal.
Di lain pihak, ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba dan
ruminansia lainnya) relatif lebih tahan dari serangan penyakit surra, yang
umumnya berlangsung lebih lambat, bersifat kronis, dan bahkan tanpa
menunjukkan gejala klinis/sub klinis. Akan tetapi, penyakit tersebut dapat juga
bersifat akut dan mewabah pada ternak ruminansia ketika hewan mengalami
stress, misalnya karena dipekerjakan atau difungsikan terlampau berat, akibat
kekurangan pakan/air, dan faktor kondisi lingkungan kritis, dan cuaca yang
ekstrem (Soulsby,1982).
Secara historis, infeksi T.evansi pertama kali ditemukan oleh Evans pada
tahun 1880 pada unta dan bangsa kuda lainnya di Distrik Dara Ismail Khan,
Punjab, India, dan selanjutnya diketahui mewabah pada kuda, unta, dan kerbau di
30
beberapa wilayah di India. Oleh karena dampak yang ditimbulkan wabah penyakit
tersebut sangat fatal, maka trypanosomiasis ini sering juga disebut penyakit surra
(Soulsby,1982). Selanjutnya pada akhir abad 19, penyakit tersebut dilaporkan
telah menyebar ke beberapa negara di antaranya Turkestan, Burma, Malaysia,
Philipina, Indonesia (Jawa dan Sumatra), dan di Vietnam mewabah pada tahun
1978 sampai tahun 1980-an. Dari populasi 650.000 ekor kerbau di Vietnam,
20.000 ekor di antaranya mati setiap tahunnya.
Di Indonesia, penyakit surra pertama kali dilaporkan oleh Penning pada
tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya
pada tahun 1898, terjadi wabah penyakit surra di Keresidenan Tegal, Provinsi
Jawa Tengah yang memakan korban sebanyak 500 ekor kerbau dari 7000 populasi
dan dalam tahun 1900-1901 terjadi wabah penyakit surra pada sapi di Keresidenan
Pasuruan, Provinsi Jawa Timur.
Setelah itu, dalam kurun waktu 60 tahun, penyakit berlangsung secara
sporadis dan dilaporkan berupa kasus berdasarkan pemeriksaan klinis. Akan
tetapi, pada tahun 1968-1969 letupan wabah penyakit surra terulang lagi di
Provinsi Jawa Tengah yang menimbulkan banyak kematian ternak.
Pada era yang sama, wabah surra juga terjadi di beberapa daerah di
Indonesia, termasuk di Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1971
terserang sebanyak 516 ekor hewan ternak besar. Sementara itu, dalam tahun
1974-1976, terjadi peningkatan kasus surra di Provinsi Nusa Tenggara Barat
(Sukanto, 1992).
31
Surra pertama kali ditemukan di Sumba Barat Daya, menyebar ke Sumba
Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur. Penyebaran penyakit surra lintas
kabupaten, kecamatan, dan desa di Sumba adalah akibat kegiatan adat istiadat.
Kuda dimanfaatkan masyarakat Sumba sebagai mas kawin utama, selain kerbau,
babi, dan kain tenun ikat asli Sumba. Perkawinan antara warga lintas kabupaten,
kecamatan, dan desa turut menyebarkan penyakit surra, melalui perpindahan
ternak. Tahun 2010, sekitar 500-an ekor ternak kuda dan sapi di Sumba Timur
mati akibat surra (Arianto, 2012).
Penyakit surra atau lumpuh layu menyerang ternak, terutama kuda di
Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyakit surra di Kabupaten
Sumba Timur muncul pertama kali pada tahun 2010. Akibat serangan kali ini,
ratusan ekor ternak besar dilaporkan mati dan ribuan lainnya menderita sakit dan
terancam mati jika tak mendapatkan pengobatan yang cepat (Antara, 2012).
Penyebaran penyakit surra ini melalui lalat. Lalat-lalat itu biasanya ada di kuda
dan sekitarnya, sementara kuda bagi masyarakat di pedesaan itu adalah alat
transportasi ke mana-kemana sehingga penyebarannya sangat cepat.
Menurut kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, penanganan
terhadap penyakit surra di pulau Sumba membutuhkan usaha yang sangat besar,
karena hewan-hewan masyarakat umumnya dilepas di padang penggembalaan,
sehingga menyulitkan petugas dalam pengendalian penyakit maupun pengobatan
penyakit surra. Hewan-hewan ini tidak bisa dengan mudah mendapat bantuan
pengobatan melalui petugas, tetapi harus ada pawang khusus.
32
2.2 Penyebab Penyakit Surra (Trypanosomiasis)
Parasit darah merupakan salah satu penyebab penyakit ternak yang cukup
penting dan bersifat endemik sehingga dapat menimbulkan kerugian ekonomi
cukup besar antara lain berupa penurunan berat badan, kehilangan tenaga kerja,
dan kematian ternak. Jenis penyakit parasit darah yang penting di Indonesia
adalah trypanosomiasis. Penyakit trypanosomiasis atau surra di Indonesia
disebabkan oleh parasit darah Trypanosoma evansi merupakan salah satu penyakit
ternak yang penting dan dapat menular dari hewan satu ke hewan lainnya
(Adiwinata dan Dachlan,1969).
Trypanosomiasis (surra) yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi
merupakan salah satu penyakit parasit darah yang penting dan secara sporadik
menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Parasit ini telah ditemukan di Indonesia
sejak 1808 (Partoutomo, 1996), tetapi patogenesis dan epidemiologinya pada sapi
dan kerbau belum banyak terungkap. Hewan yang dilaporkan banyak terserang
adalah kerbau, sapi, kuda, babi, dan anjing. Penyakit ini ditularkan dari hewan
satu ke lainnya oleh gigitan lalat penghisap darah yang bertindak sebagai vektor,
terutama Tabanus sp. dan lalat Haematopota spp. Penyakit ini bersifat akut pada
kuda dan berakibat fatal, apabila tidak segera diobati, sedangkan pada kerbau
bersifat kronis dan kurang patogen menurut Sukanto 1994 (dalam Tarmudji,
2003).
Penyakit ini ditandai oleh adanya anemia, oedema, dan demam. Hewan yang
dapat diserang antara lain sapi, kerbau, kuda, unta, gajah, kambing, domba,
anjing, kucing, babi dan hewan liar lainnya. Pada sapi dan kerbau,
33
Trypanosomiasis akut tidak pernah diketemukan baik pada infeksi alam maupun
infeksi buatan (Partoutomo et al., 1994). Menurut Partoutomo et al. (1995),
gejala kronis trypanosomiasis pada kerbau adalah berupa bulu dan kulit menjadi
kasar, hewan menjadi kurus dan nampak lemah, serta menunjukkan tanda-tanda
paresis (kelemahan otot pada lengan dan tungkai). Pengamatan yang dilakukan
menunjukkan bahwa gejala klinis pada kerbau nampak lebih jelas jika
dibandingkan dengan sapi, dan lebih jelas pada hewan muda daripada hewan
dewasa. Infeksi kronis juga ditandai oleh kenaikan suhu badan antara hari ke 1-5
pascainfeksi yang selanjutnya suhu badan berfluktuasi pada nilai normal.
Faktor pemicu terjadinya Trypanosomiasis antara lain: cara pemeliharaan
yang masih bersifat tradisional, hewan dalam transportasi yaitu pengangkutan
ternak yang digunakan untuk adat-istiadat, serta ada atau tidaknya infeksi
campuran, stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan sebagainya merupakan
faktor yang memicu kejadian penyakit surra.
Infeksi campuran T.evansi dengan kudis atau neoaskaris merupakan salah
satu penyebab anak kerbau kerdil (Partoutomo, 1992). Hal ini telah dilaporkan
oleh Partoutomo (1988a) bahwa T. evansi pada anak kerbau mengakibatkan
penurunan bobot badan, di samping infeksi skabies. Ini menunjukkan adanya
immunosupresi dari infeksi Trypanosoma sehingga anak kerbau mudah terkena
infeksi scabies (Partoutomo, 1988b). Selanjutnya, faktor yang berpengaruh atas
penyebaran dan patogenitas parasit antara lain: adanya jenis hewan karier, umur
hewan (anak umumnya memiliki maternal antibodi), serangga yang bertindak
sebagai vektor, dan ada tidaknya pengaruh stress. Stress merupakan fenomena
34
yang sejak lama diduga sebagai faktor penyebab timbulnya wabah
Tripanosomiasis (Partoutomo, 1996). Faktor penyebab yang dimaksud antara lain
pakan, dan penggunaan ternak untuk mengerjakan sawah. Di samping itu, faktor
pemicu lain sebagai penyebab terjadinya surra klinis/wabah adalah adanya
perbedaan respon imunologik yang terdapat antara ternak yang pernah dan yang
belum pernah mendapat infeksi (Losos, 1980).
Kasus surra sudah sering dilaporkan di beberapa daerah di Indonesia dan
wabah surra yang terbesar yang menyerang sapi dan kerbau terjadi pada tahun
1968-1969 di Jawa Tengah yang menimbulkan banyak kematian (Adiwinata dan
Dachlan 1969 dalam Solihat, 2002). Pada tahun 1988, terjadi lagi wabah di
Madura yang mengakibatkan kematian pada sapi, kerbau, dan kuda (Sukanto,
1992). Kuda merupakan hewan yang sangat peka terhadap infeksi T. evansi
dengan angka kematian (mortalitas) bisa mencapai 100% (Rodenwald dan
Douwes, 1921 dalam Solihat, 2002). Dalam penelitian lain, diketahui bahwa
kerbau-kerbau yang terinfeksi mempunyai level parasitaemia yang lebih lama dan
tinggi jika dibandingkan dengan sapi (Partoutomo et al., 1995).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Penyakit surra
merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi.
Parasit ini hidup dalam darah induk semang dan memperoleh glukosa sehingga
dapat menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi
tubuh akibat cekaman misalnya stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan
sebagainya merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini. Penularan
terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah seperti
35
Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Charysops dan Hematobia serta jenis
arthropoda yang lain seperti kutu.
2.3 Penyakit Surra Pada Kuda
Penularan penyakit surra melalui mekanik murni oleh vektor, puncaknya
pada siang hari, kongenital lewat induk atau plasma, mukosa kelamin, mukosa
usus, dan luka terbuka. Trypanosoma evansi di dalam tubuh lalat hidup bertahan
selama kurang lebih 6-12 jam. Vektor utama adalah lalat dan nyamuk (Stomoxys
calcitrans, Lyperosia, Glossina dan Tabanus). Trypanosoma evansi diketahui
hanya berbentuk tunggal (monomorfik) berbeda dengan spesies lain yang
berbentuk ganda (polimorfik). Dalam keadaan tertentu, protozoa ini tidak dapat
tertangkap saat dilakukan pemeriksaan karena dapat bersembunyi di dalam
kelenjar limfe (Subronto, 2006).
Penyakit Tripanosomiasis ditularkan secara mekanik melalui gigitan vektor
setelah ia menghisap darah penderita, baik hewan ternak maupun anjing. Setelah
memasuki peredaran darah, trypanosoma segera memperbanyak diri secara biner.
Dalam waktu pendek, penderita mengalami parasitemia dan suhu tubuh biasanya
mengalami kenaikan. Sel darah penderita yang tersensitisasi oleh parasit segera
dikenali oleh makrofag dan dimakan oleh sel darah putih tersebut. Bila sel darah
merah yang dimakan makrofag cukup banyak, kuda akan segera mengalami
anemia normositik dan normokromik. Sebagai akibat anemia, penderita tampak
lesu, malas bergerak, bulu kusam, nafsu makan menurun, dan mungkin juga
terjadi oedema di bawah kulit maupun serosa dan jika tidak ditangani secara cepat
maka akan mengakibatkan ternak kuda mati (Subronto, 2006).
36
Jenis Trypanosoma yang dalam siklus hidupnya hanya terdapat satu
stadium, contoh T. equiperdum dan T. evansi, disebut monomorf, dan
perlipatgandaannya berlangsung dengan pembelahan biner. Trypanosoma yang
dalam hidupnya terdapat 2 atau lebih stadium, disebut polimorf, contoh: T.
gambiense, T. rhodesiense, T. brucei, dan sebagainya.
Dalam tubuh vertebrata, stadium terakhirnya adalah Trypanosoma. Jika
bersama darah stadium tadi ditelan oleh serangga, dalam saluran pencernaan
parasit itu mengalami perubahan bentuk melalui satu atau lebih stadium, yaitu
stadium Leishmania, Leptomonas, atau chritidia. Tiga macam stadium itu tidak
infektif bagi vertebrata. Stadium yang infektif adalah Tripanosoma metasiklik.
Parasit bentuk infektif ini dikeluarkan bersama tinja serangga, dan penularan
terjadi bila tinja yang mengandung tripanosoma metasiklik itu kontak langsung
dengan kulit vertebrata inang. Masuknya parasit bentuk infektif ke dalam tubuh
inang dipermudah oleh luka karena gigitan serangga atau karena luka goresan atau
garukan (Mukayat, 1987).
Gejala klinis yang ditimbulkan adalah sebagai berikut (Dharma et al.,
1997).
1. Masa inkubasi bervariasai antara 5-60 hari.
2. Demam berselang-seling dengan suhu rektal 40oC.
3. Hewan lesu, nafsu makan turun, dan nampak lemah.
4. Selaput lendir mata kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis.
37
5. Biasanya terjadi oedema pada daerah dada dan perut sampai dekat
dengan alat kelamin. Pada kuda jantan sering terjadi oedema pada
skrotum.
6. Limfoglandula submaxillaris mengalami pembengkakan.
7. Muncul gejala syaraf, bila Trypanosoma terdapat dalam cairan otak
berupa gerakan yang berputar-putar.
Melalui Lalat ini, parasit Trypanosoma menyebar dari kuda yang sakit ke
kuda yang sehat. Selain lalat Tabanus bovinus, hewan lain pun bisa menjadi
perantara, seperti caplak, nyamuk Anopheles, dan pinjal atau kutu. Untuk
mencegah penularan, ternak kuda yang telah terinfeksi harus segera diasingkan di
kandang yang tertutup sehingga terlindung dari gigitan lalat. Selanjutnya, lakukan
penyemprotan terhadap semua peralatan ataupun lingkungan yang banyak
dihinggapi lalat.
2.4 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Surra
Pengendalian penyakit adalah suatu upaya mengurangi interaksi antara
hospes agent (penyebab penyakit) sampai pada tingkat dimana hanya sedikit
hewan yang terinfeksi, karena jumlah agen penyakit telah dikurangi atau
dimatikan. Salah satu cara untuk melakukan pengendalian terhadap penyakit
adalah dengan melakukan upaya pencegahan penyakit diantaranya dengan
melakukan vaksinasi.
Tujuan vaksinasi adalah memberikan kekebalan (antibodi) pada ternak
sehingga dapat melawan antigen atau mikroorganisme penyebab penyakit
(Dwicipto, 2013). Vaksinasi adalah pemberian antigen untuk merangsang sistim
38
kebal menghasilkan antibody khusus terhadap penyakit-penyakit yang disebabkan
oleh virus, bakteri dan protozoa. ‘Pengebalan hewan” dapat dilakukan melalui
vaksinasi, imunisasi (pemberian antisera), peningkatan status gizi dan hal lain
yang mampu meningkatkan kekebalan hewan.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan juga dengan memperhatikan
perkandangan yang baik misalnya ventilasi kandang, lantai kandang juga kontak
dengan ternak lain yang sakit. Sanitasi merupakan usaha pencegahan penyakit
dengan cara menghilangkan atau mengatur faktor-faktor lingkungan yang
berkaitan dengan perpindahan dari penyakit tersebut.
Prinsip sanitasi yaitu bersih secara fisik, kimiawi dan mikrobiologi. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam sanitasi yaitu: 1) ruang dan alat yang akan
disanitasi, 2) metode sanitasi yang digunakan. 3) bahan/zat kimia serta
aplikasinya, 4) Monitoring program sanitasi, 5) harga bahan yang digunakan, 6)
keterampilan pekerja, 7) sifat bahan/produk dimana kegiatan akan dilakukan.
Prinsip-prinsip dalam pencegahan penyakit : Pencegahan lebih baik
daripada mengobati, kuda -kuda baru yang akan dimasukkan ke kandang harus,
dipastikan bebas dari berbagai penyakit, lingkungan kandang harus bersih dan
kering, pisahkan kuda yang sakit dari kuda yang sehat, lakukan pencegahan stress
akibat transportasi karena stress akan menyebabkan kuda mudah, terserang
penyakit, pembersihan kandang dan peralatan dilakukan setiap hari, pengendalian
parasit internal (cacingan) dan eksternal (caplak, lalat dan pinjal).
39
2.5 Penyuluhan
Kata penyuluhan merupakan terjemahan dari kata extension (bahasa
Inggris), yang berasal dari kata dasar “to extend”, yang berarti “memperluas”.
Margono Slamet (1995) mengemukakan bahwa penyuluhan diartikan sebagai jasa
yang menawarkan pelayanan pendidikan (nonformal) dan informasi pertanian
kepada petani dan pihak-pihak yang memerlukan dan menurut Mardikanto (2009)
penyuluhan merupakan penyebarluasan informasi tentang ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang dihasilkan oleh perguruan tinggi ke dalam praktek atau
kegiatan praktis.
Menurut Ibrahim et al. (2003) penyuluhan berasal dari kata “suluh” yang
berarti “obor” atau “pelita” atau “yang memberi terang”. Dengan penyuluhan
diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Pengetahuan dikatakan meningkat bila terjadi perubahan dari tidak tahu menjadi
tahu dan yang sudah tahu menjadi lebih tahu. Keterampilan dikatakan meningkat
bila terjadi perubahan dari yang tidak mampu menjadi mampu melakukan suatu
pekerjaan yang bermanfaat. Sikap dikatakan meningkat, bila terjadi perubahan
dari yang tidak mau menjadi mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang
diciptakan.
Menurut Kartasapoetra (1994), penyuluhan merupakan suatu usaha atau
upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui
dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalah sendiri dalam usaha
atau kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan hasil usahanya dan tingkat
kehidupannya. Penyuluhan adalah suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan
40
untuk membantu masyarakat petani melalui proses pendidikan, memperbaiki
tingkat hidup mereka, serta meningkatkan pendidikan dan standar sosial
kehidupan pedesaan (Farquar 1961; dikutip oleh Hawkins et al., 1982).
Wiriaatmadja (1990) mendefinisikan penyuluhan sebagai pendidikan di luar
sekolah untuk keluarga tani di pedesaan, dengan cara belajar sambil berbuat
sehingga mereka menjadi mau, tahu, dan mampu menyelesaikan sendiri masalah
yang dihadapi secara baik, menguntungkan, serta memuaskan. Jadi, penyuluhan
merupakan bentuk pendidikan yang cara, bahan, dan tujuannya disesuaikan
dengan keadaan, kebutuhan, dan kepentingan, baik ditinjau dari segi khalayak,
waktu, maupun tempat.
Kegiatan penyuluhan itu adalah jasa layanan, yang harus dibuat bermutu
sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan harapan sasaran. Jasa layanan itu
dilakukan melalui proses pendidikan nonformal guna meningkatkan perilaku
sasaran, yang dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung. Dengan
demikian, sasaran diharapkan akan meningkat kemampuannya secara dinamis
untuk dapat menyelesaikan sendiri setiap permasalahan yang dihadapinya
(Suparta, 2005).
Departemen Pertanian (2002) dalam Setiawan et al. (2009) penyuluhan
pertanian adalah pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku
agribisnis melalui kegiatan pendidikan non-formal di bidang pertanian agar
mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial, maupun
politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai.
41
Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa penyuluhan pertanian adalah
suatu sistem pendidikan di luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan
keluarganya dengan tujuan agar mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai
warga Negara yang baik sesuai dengan bidang profesinya serta mampu, sanggup
dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan
masyarakatnya. Kata-kata mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai
warga negara yang baik sesuai dengan profesinya mengandung arti bahwa
penyuluhan pertanian harus bertujuan membuat petani sanggup berkorban demi
pembangunan nasional.
Lebih lanjut, Van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa
penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi
secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga
bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan dilakukan bertujuan untuk
menambah kesanggupan para petani dalam usahanya memperoleh hasil-hasil yang
dapat memenuhi keinginan mereka (Wiraatmadja, 1990).
Perubahan perilaku yang diharapkan sebagai hasil penyuluhan adalah:
perubahan tingkat pengetahuan yang lebih luas dan mendalam terutama mengenai
ilmu-ilmu teknis pertanian dan ilmu pengolahan usahatani, perubahan dalam
kecakapan atau keterampilan teknis yang lebih baik dan keterampilan dalam
mengelola ushatani yang lebih efisien dan perubahan mengenai sikapnya yang
lebih progresif serta motivasi tidakan yang lebih rasional (Mardikanto dan Sutarni,
1982).
42
Lebih lengkap lagi dijelaskan dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ( SP3K), bahwa
pengertian penyuluhan adalah: proses pembelajaran bagi pelaku utama serta
pelaku usaha agar mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dalam
mengakses informasi informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya
lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
Dari urain diatas dapat disimpulkan bahwa penyuluhan merupakan upaya
pemberdayaan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis
melalui kegiatan pendidikan non formal dibidang pertanian, agar mereka mampu
menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga
mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
2.6 Tujuan Penyuluhan
Berbicara tentang penyuluhan ibarat menyimak perilaku manusia, yang
terdiri atas komponen pengetahuan (P), keterampilan (K) dan sikap (S).
Menyoroti tujuan penyuluhan sama artinya dengan membahas proses pengubahan
perilaku. Berkenaan dengan itu, menjadi jelaslah bahwa pada dasarnya tujuan
penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku manusia, yang terdiri atas ketiga
komponen atau kawasan tersebut di atas. Walaupun demikian, penyuluh yang
telah berhasil mengubah atau memperbaiki pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap petani peternak, bukan berarti semuanya telah berakhir.
43
Agar para petani peternak mampu berusahatani atau bisa bertindak secara
nyata atas usaha yang ditekuninya, mereka memerlukan dua faktor pendukung
penting, yakni pelayanan (service) atau penyediaan sarana produksi, di samping
kepastian pengaturan (regulation) yang umumnya merupakan kebijakan
pemerintah.
Ketiga faktor penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan secara umum itu
merupakan pilar utama pembangunan pertanian dan peternakan, secara khusus
menjadi penentu keberhasilan usahatani petani peternak setelah berhasilnya petani
peternak melewati proses penyuluhan di satu sisi, serta adanya dukungan
pelayanan dan pengaturan di sisi lain, barulah mereka itu diharapkan akan
mencapai perbaikan peningkatan hasil pertanian (better farming), mencapai
keuntungan ekonomi (better business), yang pada akhirnya semuanya ini
menciptakan kesejahteraan hidup (better living) bagi petani. Skema kaitan faktor-
faktor tadi dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Tujuan penyuluhan adalah untuk mengubah perilaku manusia yang terdiri
atas komponen pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Untuk dapat mencapai
tujuan penyuluhan itu, maka seorang penyuluh harus selalu tetap berpegang pada
falsafah dasar dan prinsip-prinsip penyuluhan. Margono Slamet (1995), dan
Samsudin (1987) menyatakan bahwa falsafah dasar dari penyuluhan pertanian
terdiri atas (1) penyuluhan merupakan proses pendidikan, (2) proses demokrasi,
dan (3) proses yang berlangsung kontinyu. Dilain pihak, Dahama dan Bhatnagar,
(1980) mengemukakan bahwa prinsip-prinsip penyuluhan antara lain sebagai
berikut : (1) Penyuluhan akan efektif bila mengacu kepada minat dan kebutuhan
44
sasaran. (2) Penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk
bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (3)
Penyuluhan mendorong terjadinya belajar sambil bekerja. (4) Penyuluhan harus
dilakukan oleh orang yang sudah terlatih dan benar-benar menguasai materi yang
akan disuluhkan, (5) Metode penyuluhan disesuaikan dengan kondisi secara
spesifik sasaran (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) dan
(6) Penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan partisipatif.
n
Gambar 2.1 Peranan Penyuluhan, Pelayanan dan Pengaturan dalam Pembangunan Pertanian/ Peternakan
Sumber : Suparta et al. (2009)
Penyuluhan juga memiliki peranan yang penting dalam pengembangan
perusahaan, yaitu : (1) sebagai pengendali kekondusifan belajar sasaran secara
mandiri, (2) sebagai pelatih di tempat kerja untuk meningkatkan keterampilan
Pembangunan Pertanian/Peternakan
Pelayanan (Sevice)
Penyuluhan (Extension)
Pengaturan (Regulation)
Perubahan Perilaku 1. Pengetahuan 2. Keterampilan 3. Sikap
Tindakan nyata
Produksi usahatani meningkat
Usahatani menguntungkan
Kesejahteraan hidup masyarakat meningkat
45
sasaran, (3) sebagai pendamping dalam memecahkan masalah pertanian, (4)
sebagai pembina untuk meningkatkan nilai tambah usaha, dan (5) sebagai
motivator untuk menerapkan prinsip koordinasi vertikal dalam tatanan ekonomi
kerakyatan (Suparta, 2005).
Kegiatan penyuluhan dikatakan berhasil apabila mampu menimbulkan
perubahan perilaku pada diri sasaran penyuluhan. Agar pelaksanaan penyuluhan
dapat berhasil dengan baik, terlebih dahulu program dan rencana kerja penyuluhan
harus disusun dengan baik pula, melalui proses perencanaan atau penyusunan
program dan rencana kerja penyuluhan. Menurut Suparta et al. (2009) tahap
penyusunan program dan rencana kerja penyuluhan, yaitu: (1) tahap pengumpulan
data situasi atau keadaan, (2) tahap analisis data, (3) tahap menetapkan kebutuhan,
(4) tahap perumusan masalah, (5) tahap menetapkan tujuan, (6) tahap menetapkan
alternatif untuk mencapai tujuan, (7) tahap memilih alternatif yang baik, (8) tahap
menetapkan rencana kerja dan kelender kerja, (9) tahap pelaksaan rencana kerja,
(10) tahap evaluasi, dan (11) tahap rekonsiderasi.
Penyuluhan pada dasarnya berusaha untuk mengubah perilaku (pengetahuan,
sikap, dan keterampilan) khalayak. Agar para petani peternak bisa berhasil
mewujudkan perilaku mereka ke dalam tindakan nyata dalam berusahatani, maka
diperlukan dukungan pelayanan (service) dan pengaturan (regulation). Adanya
dukungan kedua faktor ini, para petani peternak diharapkan bisa meningkatkan
produksi usahatani secara menguntungkan demi kesejahteraan hidup mereka
dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (Suparta et al., 2009).
46
2.7 Adopsi Inovasi
Menurut Margono Slamet (1978) dalam (Lestari, 2009) proses adopsi inovasi
adalah proses yang terjadi sejak pertama sekali seseorang mendengar hal yang
baru sampai seseorang tersebut mengadopsi (menerima, menerapkan,
menggunakan hal baru tersebut). Penerimaan atau penolakan suatu inovasi ialah
keputusan yang dibuat oleh seseorang. Untuk mengadopsi suatu inovasi
memerlukan jangka waktu tertentu, dari mulai seseorang mengetahui sesuatu yang
baru hingga terjadi adopsi.
Adopsi inovasi adalah suatu proses mental yang terjadi pada diri individu
dari saat mengetahui sesuatu yang baru (inovasi) sampai menerapkan inovasi
tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971). Lebih lanjut, Feder et al., (1981)
menyatakan, adopsi didefenisikan sebagai proses mental seseorang dari
mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi. Dalam proses
penyuluhan, adopsi pada hakikatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan
perilaku, pada diri seseorang baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap
(affective), dan keterampilan (psychomotoric) setelah “menerima inovasi” yang
disampaikan melalui proses komunikasi (Mardikanto, 2009).
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971), inovasi merupakan ide, pratek atau
obyek yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh seseorang. Bahkan, pada
banyak kenyataan, seseorang biasanya tidak menerima begitu saja ide-ide atau
teknologi baru pada saat pertama kali mendengarnya. Akan tetapi, sebelum
inovasi diterima dan diterapkan oleh masyarakat secara keseluruhan, terlebih
dahulu anggota masyarakat akan mengalami penyesuaian yang kemudian dapat
47
meyakini bahwa inovasi yang diterima dan diterapkan adalah inovasi yang sesuai
dengan keinginan penerimanya.
Dikatakan pula bahwa suatu inovasi akan diterima dan membawa perubahan
sikap pada suatu masyarakat, bila inovasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pada
saat itu. Kecepatan adopsi juga dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh
penyuluh untuk mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh
menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula.
Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekedar sebagai
sesuatu yang baru, tetapi lebih luas daripada itu, yakni sesuatu yang dinilai baru
atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada
lokalitas tertentu. Pengertian “baru” disini, mengandung makna bukan sekedar
“baru diketahui” oleh pikiran (kognitif), tetapi juga baru karena belum dapat
diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap dan juga
baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan atau diterapkan oleh
seluruh warga masyarakat setempat.
Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil
produksi saja, tetapi mencakup idiologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi,
perilaku atau gerakan-gerakan kepada perubahan di dalam segala bentuk
kehidupan masyarakat. Mardikanto (2009) mengemukakan pengertian inovasi
secara luas yang dapat diartikan sebagai suatu ide, perilaku, produk, informasi,
dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, digunakan,
diterapkan, atau dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat dalam suatu
lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-
48
perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat, demi selalu terwujudnya
perbaikan mutu kehidupan setiap individu dan seluruh warga masyarakat
bersangkutan.
Di sisi lain, Samsudin (1987) menyatakan bahwa inovasi merupakan sesuatu
yang baru yang disampaikan kepada masyarakat, lebih baik dan lebih
menguntungkan daripada hal-hal yang sebelumnya. Dalam usaha penyebaran
inovasi, peran agen pembaru dan pemuka pendapat sangatlah penting dalam
mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain dan bertindak dalam cara
tertentu sampai pada tahap pengambilan keputusan, apakah inovasi itu diterima
atau ditolak (Rogers dan Shoemaker, 1971).
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi
inovasi, yaitu: sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri
sistem sosial, dan gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan inovasi
(Rogers dan Shoemaker, 1971).
Ditinjau dari sifat-sifat inovasi, dijelaskan bahwa kecepatan adopsi
ditentukan oleh besar kecilnya keuntungan yang diperoleh dari inovasi
(keuntungan relatif), cocok atau tidaknya inovasi dengan situasi dan kondisi
setempat yang ada di masyarakat (kompatibilitas), rumit tidaknya suatu inovasi
untuk dipahami dan dimengerti serta digunakan (kompleksitas), dapat tidaknya
inovasi tersebut dicoba secara kecil-kecilan (trialabilitas), serta mudah tidaknya
hasil inovasi dapat dilihat (observabilitas).
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) Secara menyeluruh kecepatan
adopsi inovasi dipengaruhi atau ditentukan oleh variabel-variabel sebagai berikut:
49
(1) Sifat-sifat inovasi, (2) Jenis keputusan inovasi, (3) Saluran komunikasi, (4)
Ciri-ciri sistem sosial, dan (5) Kegiatan promosi oleh penyuluh.
Sehubungan dengan ragam golongan masyarakat ditinjau dari kecepatannya
mengadopsi inovasi, Lionberger dan Gwin (1982) mengemukakan beberapa faktor
yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi.
a. Skala usahatani. Semakin besar skala usahatani yang dimiliki seseorang
biasanya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan
ekonomi yang lebih baik.
b. Tingkat pendapatan. Seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan
tingkat pendapatan semakin tinggi, biasanya akan semakin cepat mengadopsi
inovasi.
c. Keberanian mengambil risiko. Seseorang yang memiliki keberanian
mengambil risiko biasanya inovatif.
d. Umur. Kecenderungan semakin tua seseorang biasanya semakin lambat dalam
mengadopsi inovasi.
e. Tingkat partisipasi dalam kelompok dan organisasi di luar lingkungannya
sendiri. Seseorang yang suka bergabung dengan orang di luar sistem sosialnya
sendiri umumnya lebih inovatif daripada mereka yang hanya melakukan
kontak dengan warga masyarakat setempat.
f. Aktivitas mencari informasi. Seseorang yang aktif mencari informasi atau ide
baru, biasanya lebih inovatif bila dibandingkan dengan mereka yang pasif.
50
g. Sumber informasi yang dimanfaatkan. Seseorang yang aktif mencari informasi
(kelompok inovatif) biasanya banyak memanfaatkan sumber informasi seperti
majalah, buku dan lain-lain.
Adopsi merupakan hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan
berupa inovasi, sehingga proses adopsi tersebut dapat digambarkan sebagai suatu
proses komunikasi yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya
perubahan perilaku (Mardikanto, 2009).
Menurut Soekartawi (2005) proses adopsi inovasi sebenarnya menyangkut
pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Karena proses
adopsi inovasi pada sasaran terjadi mulai dari dikomunikasikannya inovasi oleh
penyuluh, proses adopsi dapat digambarkan sebagai suatu proses komunikasi yang
diawali oleh penyampaian ide baru sampai terjadinya perubahan perilaku sasaran
(lihat gambar 2.2)
Gambar 2.2. Komunikasi dan Proses Adopsi Inovasi
Sumber: Mardikanto (2009)
Inovasi (Pesan)
Informatif
Persuasif dan Menghibur
Afektif (Sikap)
Adopsi Inovasi (Perubahan Perilaku)
Kognitif (Pengetahuan)
Psikomotorik (Keterampilan)
51
Adopsi berbeda dengan adaptasi yang berarti “penyesuaian”. Dalam proses
adopsi, dapat saja terjadi proses adaptasi tetapi sebenarnya proses adaptasi terjadi
secara alami yang dilakukan oleh seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan
lingkungannya. namun, proses adopsi merupakan proses penerimaan “sesuatu
yang baru” yang diupayakan dan ditawarkan oleh pihak lain.
2.8 Proses Adopsi
Pertemuan para ahli sosiologi di Amerika Serikat tahun 1955 menetapkan
proses adopsi inovasi terdiri atas lima tahap seperti diuraikan oleh Rogers dan
Shoemaker (1971) sebagai berikut ini :
1. Tahap Kesadaran (Awareness stage)
Sasaran mengetahui keberadaan inovasi atau ide baru sebagai akibat adanya
proses komunikasi, yang berbeda dari apa yang mereka lakukan selama ini
tetapi masih kekurangan informasi mengenai inovasi tersebut.
2. Tahap minat (Interest stage)
Sasaran mulai tertarik perhatiannya terhadap inovasi dan timbul minatnya
untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang inovasi dengan jalan mencari
informasi tambahan mengenai inovasi pada orang-orang di sekitarnya yang
dianggapnya lebih mengetahui inovasi tersebut daripada dirinya sendiri.
3. Tahap penilaian (Evaluation stage)
Sasaran mulai menilai inovasi berdasarkan informasi yang dia terima maupun
dengan melihat pengalaman orang lain di sekitarnya yang sudah menerapkan
inovasi tersebut dikaitkan dengan keadaannya baik dari segi kemampuan fisik
52
maupun kemampuan ekonomi serta kemungkinan risiko yang terjadi
seandainya dia menerapkan inovasi tersebut.
4. Tahap mencoba (Trial stage)
Seandainya hasil evaluasi sasaran merasa bahwa inovasi itu cocok bagi
dirinya, maka sasaran mulai mencoba inovasi dalam jumlah sedikit. Jika hasil
percobaan ini sesuai dengan harapan sasaran, maka sasaran akan mencobanya
kembali dalam skala yang lebih besar hingga yakin akan manfaat inovasi
tersebut bagi dirinya.
5. Tahap adopsi atau penerimaan (Adoption stage)
Apabila sasaran sudah yakin akan inovasi itu, maka sasaran akan menerapkan
inovasi secara berkelanjutan dan dalam skala yang lebih besar atau
sepenuhnya.
Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh
petani, tetapi sekedar menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan
oleh peneliti maupun petani. Peneliti menunjukkan perlunya waktu yang lama
antara saat pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat melakukan
adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) ada beberapa kekurangan dari
model proses adopsi 5 tahap. Kekurangannya adalah sebagai berikut :
1. Proses adopsi lima tahap menyatakan proses selalu berakhir dengan adopsi
tetapi kenyataannya penolakan terhadap inovasi oleh sasaran mungkin saja
terjadi sebelum terjadinya adopsi.
53
2. Kelima tahapan ini tidak selalu terjadi menurut urutannya, beberapa tahapan
mungkin saja dilalui terutama tahap mencoba. Evaluasi bukan hanya terjadi
pada tahap ketiga namun terjadi pada setiap saat.
3. Proses adopsi jarang berakhir dengan adopsi karena masih ada informasi
lanjutan yang diperlukan untuk menegaskan keputusannya, atau mungkin saja
beralih dari mengadopsi menjadi menolak inovasi.
Berdasarkan pandangan mereka terhadap kelemahan model adopsi 5 tahap
maka Rogers dan Shoemaker (1971) menetapkan model yang dinyatakan lebih
sempurna yang disebut: Proses Putusan Inovasi (Innovation Decision Process)
yang terdiri dari 4 fungsi yaitu:
1. Fungsi pengetahuan (Knowledge function)
Pada tahap ini individu sasaran mengetahui keberadaan sesuatu hal yang baru
dari proses komunikasi yang dilakukan baik melalui sesama anggota
masyarakatnya, melalui penyuluh maupun melalui media massa. Individu
mengetahui bagaimana fungsi inovasi tersebut.
2. Fungsi persuasif atau bujukan (Persuasion function)
Individu mengadakan perenungan dan menilai inovasi dikaitkan dengan
keadaannya sendiri dan kemungkinan hasil yang akan diperoleh di masa depan.
Individu akan membentuk sikapnya terhadap inovasi. Semua inovasi secara
subjektif mengandung berbagai risiko untuk individu, dia mungkin akan
mencari informasi tambahan pada orang-orang disekitarnya melalui
komunikasi interpersonal untuk dapat menguatkan sikapnya terhadap inovasi.
54
3. Fungsi putusan (Decision function)
Berdasarkan pengetahuan dan sikapnya terhadap inovasi, individu akan
mengambil keputusan apakah dia akan menolak, menunda atau mengadopsi
inovasi tersebut. Dalam hal ini mungkin individu akan mencoba inovasi dalam
skala yang kecil sebelum dia memutuskan untuk menerima inovasi tersebut.
4. Fungsi penegasan (Confirmation fuction)
Pada tahap ini individu mencari informasi lanjutan untuk menegaskan atau
menguatkan putusan yang telah diambil. Apabila informasi lanjutan yang dia
terima bertentangan dengan apa yang dia lakukan, kemungkinan dia tidak
melanjutkan lagi adopsi inovasi tersebut. Bila informasi yang dia peroleh justru
memperkuat apa yang dia lakukan maka dia akan meneruskan mengadopsi
inovasi ini.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) model proses putusan inovasi terdiri
dari tiga bagian, yaitu: situasi awal, proses dan hasil (dapat dilihat pada gambar
2.3).
1. Situasi awal individu sebelum inovasi dianjurkan, terdiri atas:
a. Fungsi individu penerima seperti: (1) karakter pribadi individu seperti
sikapnya terhadap perubahan, umur, pendidikan, keberanian mengambil
risiko, motivasi berkarya, aspirasi, fatalism, (2) karakter sosial misalnya
tingkat kekosmopolitanan, (3) Kebutuhan yang dirasakan mengenai inovasi
b. Faktor sistem sosial : (1) norma sistem sosial, misalnya: dogmatism, (2)
toleransi terhadap penyimpangan, (3) integrasi komunikasi.
55
2. Terjadi proses dari saat individu menerima inovasi sampai putusan yang
diambil untuk menerima atau menolak inovasi. Setelah sasaran mengadopsi
inovasi, informasi penegasan dicari lebih lanjut. Bagi sasaran yang telah
mengadopsi mungkin akan terus mengadopsi inovasi jika informasi yang
diterima menguatkan putusannya, atau tidak akan melanjutkan adopsi bila
informasi yang dia terima bertentangan dengan putusannya. Dia mungkin
akan mengganti dengan inovasi lain atau dia tidak meneruskan adopsi
dengan rasa kekecewaan karena hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan
harapannya.
3. Hasil. Ada tiga kemungkinan yang terjadi dari hasil pengambilan keputusan,
yaitu: mengadopsi, menunda, dan menolak inovasi. Bagi mereka yang
menolak mungkin terus menolak atau kemungkinan mengadopsi di
kemudian hari setelah merasa cocok dengan inovasi setelah mengadakan
perenungan ulang dan dengan melihat pengalaman tetangganya.
Lamanya waktu yang diperlukan dari saat sasaran mengetahui sesuatu hal
yang baru (inovasi) sampai dia membuat suatu putusan disebut dengan istilah
“periode keputusan inovasi”, diukur dalam hari, bulan atau tahun (Rogers dan
Shoemaker, 1971), sedangkan kecepatan adopsi adalah kecepatan relatif inovasi
itu diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial. Umumnya diukur melalui jumlah
sasaran yang menerima inovasi pada waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker,
1971).
56
Gambar 2.3. Model Proses Putusan Inovasi Sumber : Rogers dan Shoemaker (1971)
Selanjutnya Rogers dan Shoemaker (1971) menyatakan pengklasifikasian
kelompok pengadopsi berikut persentasenya ditunjukkan dalam Gambar 2.4.
Simpangan baku (standar deviasi) dari rataan dijadikan ukuran atau garis
pembatas kelompok inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas lambat
dan kelompok lamban. Ciri-ciri yang membedakan setiap kelompok mengadopsi
diringkas sebagai berikut ini:
FAKTOR INDIVIDU - Karakteristik pribadi - Karakteristik sosial - Kakrakteristik terhadap
inovasi
FAKTOR SISTEM SOSIAL - Norma sosial - Toleransi - Integrasi komunikasi
FUNGSI PENGETAHU
AN
FUNGSI PERSUASIF
II
Persepsi mengenai sifat-sifat inovasi
FUNGSI PUTUSAN
III
MENOLAK ADOPSI MENUNDA
ADOPSI TERUS
Terus Menolak
FUNGSI PENEGASAN
IV
TIDAK MELANJUTKAN ADOPSI - Mengganti - Kekecewaan
Mengadopsi Kemudian
57
1. Kelompok pelopor (Innovator) : (a) lahan usaha tani luas, pendapatan tinggi,
(b) status sosial tinggi, (c) aktif di masyarakat, (c) banyak berhubungan dengan
orang lain secara formal dan informal, (c) mencari informasi langsung ke
lembaga penelitian dan penyuluh pertanian, (d) tidak disebut sebagai sumber
informasi oleh petani lainnya.
2. Pengadopsi awal (Early adoeptor) : (a) usia lebih muda, (b) pendidikan lebih
tinggi, (c) lebih aktif berpartisipasi di masyarakat, (d) lebih banyak
berhubungan dengan penyuluh pertanian, (e) lebih banyak menggunakan surat
kabar, majalah, dan bulletin.
3. Mayoritas awal (Early majority) : (a) sedikit di atas rata-rata dalam umur,
pendidikan dan pengalaman petani, (b) sedikit lebih tinggi dalam status sosial,
(c) lebih banyak menggunakan surat, majalah, dan bulletin, (d) lebih sering
menghadiri pertemuan pertanian, (e) lebih awal dan lebih banyak mengadopsi
daripada mayoritas lambat.
4. Mayoritas lambat (Late majority): (a) pendidikan kurang, (b) lebih tua, (c)
kurang aktif berpartisipasi di masyarakat, (d) kurang berhubungan dengan
penyuluhan pertanian, (e) kurang banyak menggunakan surat kabar, majalah,
bulletin. Untuk lebih jelasnya pengklasifikasian kelompok dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1986) menyatakan bahwa adopsi
inovasi dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang
58
telah ada, (b) struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi
masyarakat terhadap inovasi.
Menurut Departemen Pertanian (2001), kecepatan proses adopsi
dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri pribadi, sosial, budaya, dan
lingkungan serta sumber informasi. Di lain pihak, Lionberger dan Gwin
(1982) mengelompokkan faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain,
variabel internal (personal), variabel eksternal (situasional), dan variabel
kelembagaan (pendukung).
Gambar 2.4. Klasifikasi Adopsi (Rogers dan Shoemaker, 1971)
2.9 Kecepatan Adopsi
Sasaran dalam menerima inovasi umumnya tidak menerima inovasi tersebut
dengan seketika, mereka memerlukan waktu untuk mempertimbangkannya.
Antara individu yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan waktu. Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi sasaran untuk mengadopsi inovasi.
Kecepatan adopsi inovasi dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu seperti disajikan
pada Gambar 2.5.
59
1. Sifat inovasi a. Keuntungan relatif b. Kompatibilitas c. Kompleksitas d. Trialibilitas e. Observabilitas f. Input komplementer
2. Jenis putusan inovasi a. Opsional b. Kolektif c. Kekuasaan
3. Saluran komunikasi a. Media massa b. Interpersonal
4. Ciri-ciri sistem sosial
a. Modern atau tradisional b. Pola komunikasi
5. Kegiatan promosi agen perubahan
Gambar 2.5. Paradigma faktor-faktor yang menentukan kecepatan adopsi inovasi (Rogers dan Shoemaker, 1971 ; Mardikanto, 2009)
2.10 Peranan Penyuluhan Dalam Proses Adopsi dan Difusi Inovasi
Agar penyuluhan dapat mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi,
Margono Slamet (2003) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat
dilaksanakan oleh penyuluh, seperti berikut ini.
a. Mendiagnosa permasalahan-permasalahan masyarakat dan kebutuhan-
kebutuhan nyata yang belum dirasakan oleh masyarakatnya.
b. Membuat sasaran menjadi tidak puas dengan kondisi yang dialaminya dengan
menunjukkan kelemahan–kelemahan mereka dan kebutuhan-kebutuhan
KECEPATAN ADOPSI INOVASI
60
mereka sehingga sasaran secara sadar akan termotivasi untuk mengadakan
perubahan.
c. Menjalin hubungan yang semakin erat dan menunjukkan bahwa dia mampu
membantu sasaran untuk memecahkan masalahnya dan memenuhi
kebutuhannya.
d. Mendukung dan membantu masyarakat sasaran agar keinginan-keinginan
tersebut dapat menjadi tindakan nyata untuk melakukan perubahan.
e. Mengusahakan untuk memperkokoh perubahan-perubahan yang telah terjadi.
f. Mengakhiri hubungan dengan masyarakat sasaran sehingga mereka tidak
selalu menjadi tergantung dengan penyuluh, tetapi atas swakarsa dan swadaya
mampu mengadakan perubahan-perubahan demi kemajuan usaha mereka dan
demi kesejahteraan hidup mereka.
Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses perubahan perilaku pada diri seseorang baik yang berupa cara berfikir,
cara kerja, pengetahuan, dan sikap mentalnya yang lebih terarah dan lebih
menguntungkan, baik bagi dirinya beserta keluarga maupun lingkungannya
(Kartasapoetra, 1994).
Penerimaan inovasi oleh seorang individu mengandung arti tidak sekedar
tahu, tetapi sampai benar-benar dapat melaksanakan atau menerapkannya dalam
kehidupan dan usaha taninya (Mardikanto, 2009). Adopsi merupakan tujuan
akhir dalam komunikasi, sehingga proses adopsi juga berlangsung bertahap
sesuai tahapan komunikasinya.
61
2.11 Perilaku Peternak
2.11.1 Pengertian perilaku
Menurut Soekanto (1985), perilaku adalah segala tindakan manusia untuk
mencapai kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut, Soetarno (1994) menyatakan bahwa
segala perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh manusia disebut sebagai perilaku.
Azwar (2003) memandang perilaku manusia sebagai reaksi yang dapat bersifat
sederhana maupun bersifat kompleks.
Makmun (1996) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan manusia yang
memiliki tujuan tertentu, sedangkan Walgito (2003) berpendapat bahwa perilaku
merupakan respon terhadap stimulus, tetapi dalam diri individu itu ada
kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambil.
Selanjutnya, Arifin et al., (2003) menyimpulkan bahwa perilaku merupakan
segala hal yang dilakukan manusia secara langsung maupun tidak langsung
sehingga akan mempengaruhi keberadaan di lingkungannya. Dari beberapa
pengertian perilaku yang dipaparkan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku adalah segala perbuatan/tindakan manusia yang memiliki tujuan
sebagai reaksi dari rangsangan (stimulus) yang datang dari lingkungannya
sehingga akan mempengaruhi keberadaan manusia tersebut dan lingkungannya.
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) perilaku adalah cara bertindak yang
menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara
pengembangan anatomis, fisiologis, dan psikologis. Unsur perilaku terdiri atas
perilaku yang tidak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap (Affective),
serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psycomotoric), dan tindakan
62
nyata (action). Perilaku seseorang dapat berubah karena adanya rangsangan yang
dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diinginkan atau
kebutuhan untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Suparta et al., 2009).
2.11.2 Perubahan perilaku
Tujuan merupakan faktor penentu yang penting pada diri manusia untuk
menentukan perilaku yang diambilnya meskipun tanpa adanya perangsang
(stimulus) yang datang dari lingkungan (Makmun, 1996). Selanjutnya, dijelaskan
dalam pandangan behaviouristik ditekankan bahwa pola-pola perilaku dapat
dibentuk melalui proses pembiasaan dan pengkukuhan dengan mengkondisikan
rangsangan dalam lingkungan, sehingga perubahan perilaku memungkinkan untuk
terjadi.
Selain dipengaruhi oleh keadaan di sekitarnya yang terikat oleh hukum
alam, perilaku manusia juga dipengaruhi atau ditentukan oleh kemampuan yang
ada dalam diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai makluk hidup merupakan
makluk yang dinamik dalam pengertian manusia dapat mengalami perubahan-
perubahan sehingga tingkah laku manusia dapat berubah dari waktu–kewaktu.
Akibat dari unsur kehidupan yang ada pada diri manusia akan berkembang dan
mengalami perubahan-perubahan dalam segi fisiologi maupun dalam segi
psikologi (Su’adah dan Lendryono, 2003).
Perubahan perilaku biasa terjadi secara alamiah, maupun karena ada suatu
rekayasa sosial/berencana. Perubahan perilaku secara alamiah akan terjadi karena
secara naluriah manusia selalu ingin memperbaiki taraf hidupnya. Namun,
perubahan perilaku secara alamiah ini akan terjadi secara pelan-pelan/evolusioner
63
maupun revolusioner tergantung dari kebutuhan maupun perangsang yang ada.
Perubahan secara ini umumnya akan terjadi secara tidak bersamaan pada anggota
masyarakat karena tergantung dari tujuan maupun dari kemampuan masing-
masing individu. Sebaliknya pada perubahan perilaku secara berencana bisa diatur
oleh agen perubahan, tingkat perubahan yang ingin dicapai dan beberapa orang
yang ingin diubah perilakunya.
2.12 Unsur – Unsur Perilaku
2.12.1 Pengetahuan
Sebagaimana diketahui bahwa pengetahuan menurut Mardikanto (1993)
berasal dari kata “tahu” yang diartikan sebagai pemahaman seseorang tentang
sesuatu yang nilainya lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya. Pengertian tahu
dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi setiap ragam stimulus
yang berbeda, memahami beragam konsep, pikiran bahkan cara pemecahan
terhadap masalah tertentu, sehingga pengertian tahu tidak hanya sekedar
mengemukakan/mengucapkan apa yang diketahui, tetapi sebaliknya dapat
menggunakan pengetahuan dalam praktek dan tindakannya.
Selanjutnya Wiriaatmadja 1990 berpendapat bahwa pengetahuan adalah
aktivitas atau kegiatan yang melihat penyelesaian sesuatu dengan baik dalam
jenis, jumlah dan bentuk atau barang maupun dalam kegiatan informasi dan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh seseorang dari kegiatan yang
dilakukannya. Pengetahuan seseorang dapat diperoleh setelah melakukan
penginderaan melalui panca inderanya. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan
berdasarkan pengetahuan akan langsung dirasakan manfaatnya dibandingkan
64
dengan tindakan tanpa didasari pengetahuan. Hal ini sesuai pendapat Ray (1998)
yang menyatakan bahwa pengetahuan terjadi pada saat atau unit pengambil
keputusan lainnya, kontak dengan inovasi dan mendapatkan suatu fungsi inovasi
tersebut. Jadi fungsi pengetahuan pada intinya bersifat kognitif atau sekedar
mengetahui.
Depdikbud RI (2000) menyebutkan bahwa pengetahuan yang dimiliki
seseorang adalah hasil belajar baik formal maupun non formal dan terutama hasil
interaksi dengan masyarakat. Selajutnya disebutkan bahwa luasnya cakrawala
budaya seseorang tidak terlepas dari pengetahuannya dalam hidup bermasyarakat.
Akibatnya, pengetahuan seseorang tidaklah berbeda jauh dengan warga lainnya,
apabila pengetahuan yang didapatkan semata-mata berasal dari interaksi sosial
dengan sesama warga tempat ia hidup.
Wahyu (1986) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan produk akhir
dari kegiatan berpikir manusia, sedangkan Ahmadi (1991) menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai
hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali dengan kepercayaan,
takhayul, dan penerangan-penerangan yang keliru.
Pemindahan pengetahuan merupakan titik berat pada proses belajar
mengajar (Suparta et al., 2009). Selanjutnya Winkel (1986) yang dikutip oleh
(Suparta et al., 2009) menyatakan bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental
atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman dan nilai-
nilai sikap. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang berarti semakin tinggi
65
juga pengetahuannya, sehingga dengan pengetahuan yang tinggi orang lebih
tanggap terhadap keadaan sekitarnya (Ahmadi, 1991).
Menurut Soekanto (1985), pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia
sebagai hasil proses panca indera, yang berbeda dengan kepercayaan (beliefs),
takhyul (superstitions) dan penerangan yang keliru (misinformation). Selanjutnya
disebutkan bahwa pengetahuan berbeda dengan buah pikiran (ideas), karena tidak
semua buah pikiran merupakan pengetahuan. Pengetahuan itu bisa diperoleh dari
pengalaman-pengalaman, baik dari pengalaman diri sendiri maupun pengalaman
orang lain.
Pengetahuan merupakan aspek perilaku, yang terutama berhubungan
dengan kemampuan mengingat materi yang dipelajari dan kemampuan
mengembangkan intelegensia. Unsur-unsur perilaku pengetahuan tersebut
termasuk dalam golongan aspek perilaku pengetahuan. Sehingga pengetahuan
dikatakan sebagai kemampuan seseorang untuk mengingat-ingat dari suatu yang
telah dilakukan atau yang dipelajari (Soedijanto, 1987).
Perubahan pada pengetahuan seseorang merupakan manifestasi dari proses
belajar (Effendi dan Praja, 1984). Perubahan–perubahan yang terjadi sebagai hasil
proses belajar antara lain: 1) Pengetahuan baik jenis maupun jumlahnya, 2)
Keterampilan dalam melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan tujuan, 3)
Kecakapan dalam berpikir, dan 4) Sikap.
Selajutnya Rogers dan Shoemaker (1971), menyatakan bahwa dalam tahap
pengenalan inovasi ada tiga tipe pengetahuan yaitu : kesadaran/pengetahuan
mengenai adanya inovasi, pengetahuan teknis dan pengetahuan prinsip. Pada tipe
66
pengetahuan/kesadaran seseorang cenderung membuka diri terhadap ide-ide yang
sesuai dengan minat, kebutuhan dan sikap yang ada padanya. Pengetahuan teknis
meliputi informasi yang diperlukan mengenai cara pemakaian atau penggunaan
suatu inovasi. Pengetahuan prinsip berkenaan dengan fungsinya suatu inovasi.
Pengetahuan petani sangat menunjang kelancaran dalam berkomunikasi dan
mengadopsi teknologi baru. Supriyanto, 1978 (dalam Arthanu, 1985) mengatakan
bahwa tingkat pengetahuan petani mempengaruhi ia dalam mengadopsi teknologi
baru dan kelanggengannya dalam melaksanakan usahatani.
Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan merupakan hasil pemahaman seseorang terhadap suatu obyek, yang
diperoleh baik secara formal maupun non formal melalui pengalaman diri sendiri
maupun pengalaman orang lain, sehingga mereka lebih terbebas dari keterbatasan
dan subyektifitasnya. Dengan adanya pemahaman seseorang tentang suatu hal
secara obyektif atau seseorang memiliki pengetahuan yang memadai terhadap
suatu hal maka diharapkan dapat memberikan peran serta secara lebih optimal
dalam kegiatan produksi sehingga dapat meningkatkan produktifitasnya terhadap
hal tersebut, guna mewujudkan tujuan bersama.
2.12.2 Keterampilan
Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat saraf dan otot-
otot (Neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah, seperti
menulis, mengetik, olahraga dan sebagainya (Muhibbin, 1995). Sedangkan Reber
(1998) yang dikutip oleh Muhibbin (1995) menyatakan bahwa keterampilan
adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan
67
tersusun rapi secara meluas dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil
tertentu.
Ahmadi (1991) berpendapat bahwa keterampilan dapat diperoleh melalui
pendidikan formal, non formal, dan informal. Pendidikan formal misalnya sekolah
dan pendidikan non-formal diperoleh dari luar sekolah. Pendidikan informal
adalah pendidikan yang diperoleh seseorang berdasarkan pengalaman hidup
sehari-hari secara sadar maupun tidak sadar, sepanjang hidupnya, di dalam
lingkungan keluarga, masyarakat atau dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari.
Supriatna (2000) menyatakan metode pendidikan luar sekolah atau
keterampilan bagi orang dewasa seperti petani peternak dalam rangka
memperoleh pengetahuan, pengalaman, sikap, kepercayaan, keahlian dan
partisipasi sosial dilakukan dengan menerapkan metode andragogi. Alasannya
adalah : pertama, adanya konsep diri orang dewasa lebih mengarah pada self
directing, kedua, berorientasi pada pekerjaan praktis dan ketiga dapat menunjang
pemecahan masalah hidupnya.
2.12.3 Sikap
Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan atau sikap perasaan tertentu,
tetapi dibentuk sepanjang pengetahuannya. Peranan sikap dalam kehidupan
manusia adalah relatif besar, sebab apabila sudah dibentuk dalam diri manusia,
maka sikap manusia itu turut menentukan tingkah lakunya terhadap obyek
tersebut. Adanya sikap ini menyebabkan manusia bertindak secara khas terhadap
obyeknya. Sebagaimana halnya dengan konsep lainnya, banyak para ahli
memberikan definisi sikap dengan redaksi yang berbeda, tetapi pada prinsipnya
68
ada unsur-unsur yang sama. Tertentu, baik pada diri sendiri maupun luar diri
sendiri. Keadaan ini mencakup penilaian positif atau negatif serta kesediaan untuk
bereaksi terhadap situasi atau obyek tertentu dengan cara khas, sehingga dapat
diramalkan. Disisi lain, sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak dengan
cara konsisten terhadap situasi atau obyek tertentu (Depdikbud RI, 2000).
Walgito (2003) berpendapat bahwa sikap merupakan organisasi pendapat,
keyakinan seseorang mengenai obyek, yang disertai adanya perasaan tertentu dan
memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku
dalam cara tertentu yang dipilihnya. Di lain pihak, Dayakisni dan Hudaniah
(2001) menyimpulkan bahwa sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak,
untuk bereaksi terhadap rangsangan, oleh karena itu manifestasi sikap tidak dapat
langsung dilihat, akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku
yang masih tertutup.
Pada hakekatnya sikap merupakan suatu interaksi dari berbagai komponen,
dimana komponen-komponen tersebut menurut Allfort yang dikutip oleh
Dayakisni dan Hudaniah (2001) ada tiga yaitu : (1) komponen kognitif, yaitu
komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki
seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk
suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut; (2) komponen afektif, yaitu
yang berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif
yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang
dimilikinya; (3) komponen konatif, yaitu kesiapan seseorang untuk bertingkah
laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya. Sikap yang ada pada diri
69
seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal (faktor fisiologis dan psikologis)
serta faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-
norma yang ada dalam masyarakat (Walgito, 2003).
Soetarno (1994) menyebutkan bahwa sikap memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri
sikap tersebut adalah sebagai berikut : (1) sikap tidak dibawa seseorang sejak ia
lahir, melainkan dibentuk sepanjang perkembangannya; (2) sikap dapat berubah-
ubah, oleh karena itu sikap dapat dipelajari; (3) sikap tidak berdiri sendiri,
melainkan selalu berkaitan dengan suatu obyek; (4) obyek suatu sikap dapat
tunggal atau majemuk; (5) sikap mengandung motivasi dan perasaan.
Pengetahuan mengenai suatu obyek tanpa disertai motivasi belum berarti sikap.
Sikap merupakan proses sosialisasi, yaitu pembentuk sikap-sikap sosial pada
seseorang karena adanya interaksi manusia atau individu (Mar’at, 1984).
Seseorang bereaksi sesuai dengan rangsangan yang diterimanya. Pada tahap
persuasi, dari proses pengambilan keputusan inovasi seseorang membentuk sikap
berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi. Sebelum orang mengenal suatu ide
baru, iya tidak dapat membentuk sikap tertentu tehadap inovasi tersebut, (Rogers
dan Shoemaker, 1971). Sikap ini merupakan masalah penting dalam menentukan
corak atau warna dari tingkah laku atau perbuatan seseorang (Walgito, 2003).
Sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi,
kepribadian, dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental,
yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman, dan menyebabkan
timbulnya pengaruh khusus atas reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-
objek, dan situasi-situasi dengan siapa ia berhubungan (Winardi, 2004).
70
Dari definisi tentang sikap diatas, menimbulkan implikasi-implikasi
(Azwar, 2003) yaitu : 1) sikap dipelajari, 2) sikap menentukan predisposisi
seseorang terhadap aspek-aspek tertentu. 3) sikap memberikan landasan
emosional dari hubungan – hubungan antar pribadi seseorang dan identifikasi
dengan pihak lain. 4) sikap organisasi dan mereka erat sekali dengan inti
kepribadian.
Ada dua tingkatan sikap terhadap inovasi yaitu : 1) sikap terhadap inovasi
dan 2) sikap terhadap perubahan. Sikap terhadap inovasi adalah merupakan
berkenan atau tidaknya seseorang. Percaya atau tidaknya seseorang terhadap
inovasi khususnya dan sikap terhadap perubahan adalah umumnya menyangkut
respon seseorang terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yang dipengaruhi
oleh hasil pengamatan dan pengalaman sebelumnya (Rogers dan Shoemaker,
1971).
Selanjutnya dikatakan bahwa sikap khusus ini menjembatani antara suatu
inovasi dengan inovasi lainnya. Sebab pengalaman positif dengan pengadopsian
suatu inovasi terdahulu pada umumnya menimbulkan sikap-sikap positif pula
terhadap inovasi yang akan datang berikutnya. Sebaliknya, pengalaman pahit dari
pengadopsian suatu inovasi yang dianggapnya suatu kegagalan akan merupakan
penghalang bagi masuknya inovasi pada waktu yang akan datang. Oleh karena itu,
agen pembaharu yang baik haruslah memulai kegiatannya terhadap sasaran
tertentu dengan suatu inovasi yang memiliki taraf keuntungan relatif tinggi, sesuai
dengan kepercyaan yang terdapat dalam masyarakat tersebut serta mempunyai
71
pembentukan sikap positif terhadap perubahan dan memperlancar jalan untuk
inovasi-inovasi yang akan datang.
Sikap merupakan respon evaluatif atau suatu bentuk evaluasi atau suatu
kesiapan perasaan yang mendukung terhadap suatu objek dengan cara-cara
tertentu. Menurut Azwar (2003) sikap dikatakan sebagai respon. Respon hanya
akan terjadi apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
timbulnya reaksi individual. Respon evaluatif berarti bahwa bentuk respon yang
dinyatakan sebagai sikap itu didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu,
yang diungkapkan dalam bentuk baik atau buruk. Positif atau negatif,
menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak suka.
Dilihat dari strukturnya Azwar (2003) juga mengemukakan bahwa sikap
terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu, komponen kognitif,
komponen afektif dan komponen konatif. Komponen kognitif berupa apa yang
dipercayai oleh subyek pemilik sikap, komponen afektif merupakan perasaan
yang menyangkut aspek emosional dan komponen konatif merupakan
kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki subyek.
Sanafiah (1982) menyatakan bahwa sikap adalah perasaan seseorang dan
apa yang dia yakini. Pengukuran sikap biasanya dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tertentu, sehingga sebagian pendapat dari orang teresebut dapat
diketahui. Dari pendapat ini dapat diperkirakan sikapnya yaitu, apa yang
sesungguhnya dia yakini. Selanjutnya Walgito (2003) menyatakan bahwa dengan
pengukuran sikap ini orang akan mengetahui perbedaan sikap orang tertentu
dengan orang lainnya. Sikap selalu berkenaan dengan suatu objek dan selalu
72
berubah-ubah. Sherif (dalam Garungan, 1981) menyatakan bahwa objek sikap itu
dapat berupa suatu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-
hal tertentu. Jadi sikap itu dapat berkenaan dengan sederetan objek serupa.
Pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya (Azwar,
2003). Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial individu. Dalam
interaksi sosial terjadi hubungan yang saling mempengaruhi diantara individu
yang satu dengan yang lain. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan
sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan orang lain yang dianggap penting,
media massa, lembaga pendidikan serta faktor emosi dalam diri individu.
Dari pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sikap pada
hakikatnya merupakan tanggapan atau penilaian seseorang terhadap suatu hal atau
suatu obyek tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, yang disertai
kecenderungan untuk bertindak. Tindakan atau perilaku seseorang terhadap suatu
hal sangat dipengaruhi dari bagaimana tanggapan seseorang terhadap hal tersebut,
apakah setuju atau tidak mendukung atau tidak dalam batas skala sikap tertentu.
73
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP
3.1 Kerangka Berpikir dan Konsep
Surra merupakan suatu penyakit pada ternak kuda yang disebabkan oleh
sejenis protozoa, yaitu Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup dalam darah
penderita dan mengisap glukosa yang terkandung dalam darah. Selain itu, ia
mengeluarkan sejenis racun yang disebut trypanotoksin yang bisa mengganggu
kesehatan ternak kuda yang menderita penyakit ini. Keberadaan penyakit surra
menimbulkan masalah yang sangat serius di kalangan masyarakat Sumba di mana
akibat serangan penyakit surra ratusan ekor ternak kuda mati dan ribuan lainnya
menderita sakit dan terancam mati jika tidak mendapatkan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Untuk mengatasi permasalahan ini, maka dilakukan penyuluhan mengenai
pengendalian penyakit surra. Pengendalian penyakit surra dapat dilakukan dengan
melakukan vaksinasi, pengaturan manajemen pemeliharaan yang baik,
pengawasan lalulintas ternak, dan melalui tindakan karantina yang cukup ketat
sehingga dapat mencegah jalannya penularan suatu penyakit dari tempat yang satu
ke tempat yang lain, hewan penderita harus diasingkan sehingga terlindung dari
serangga pengisap darah, serta melakukan penyemprotan dengan insektisida untuk
memberantas vektor (Dharma et al., 1997).
Penyuluhan merupakan suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan untuk
membantu masyarakat petani melalui proses pendidikan, memperbaiki tingkat
74
hidup mereka, serta meningkatkan pendidikan dan standar sosial kehidupan
pedesaan (Farquar 1961, dikutip oleh Hawkins et al., 1982). Metode penyuluhan
yang digunakan di Kabupaten Sumba Timur adalah metode komunikasi langsung,
yaitu penyuluh tatap muka secara langsung dengan peternak-peternak kuda yang
ada di Kabupaten Sumba Timur, NTT. Dengan adanya penyuluhan, diharapkan
perilaku peternak mengalami perubahan baik dari segi pengetahuan, keterampilan,
dan sikap. Menurut Suparta et al. (2009), perubahan perilaku dapat terjadi karena
adanya rangsangan yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dengan
kondisi yang diinginkan atau kebutuhan untuk mencapai kondisi yang diinginkan.
Setelah adanya perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap), maka
perubahan itu akan berdampak pada peningkatan adopsi teknologi pengendalian
penyakit surra.
Selain penyuluhan agar para petani peternak mampu berusahatani atau
bertindak secara nyata atas usaha yang ditekuninya, mereka memerlukan dua
faktor pendukung penting, yakni pelayanan (service) atau penyediaan sarana
produksi, di samping kepastian pengaturan (regulation) yang umumnya
merupakan kebijakan pemerintah. Kedua faktor ini merupakan faktor eksternal
yang juga berpengaruh terhadap peningkatan adopsi peternak.
Kepala bidang kesehatan hewan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur
Bapak Manuel M. Kitu menyatakan bahwa kenyataan yang terjadi di lapangan,
pesan atau inovasi yang disampaikan oleh penyuluh tidak diterima dengan baik
atau diterapkan oleh peternak. Hanya 25% peternak yang menerapkan inovasi
tersebut. Hal ini terjadi karena masyarakat menganggap surra adalah penyakit
75
yang sudah tidak bisa untuk disembuhkan. Selain itu, kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang belum memadai dengan latarbelakang pendidikan sebagian
besar peternak yang masih rendah serta kondisi topografi pemukiman penduduk
yang masih berjauhan akan mempengaruhi tingkat adopsi dari peternak.
Kecepatan adopsi dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh untuk
mempromosikan inovasinya. Semakin rajin penyuluh menawarkan inovasi, proses
adopsi akan semakin cepat pula.
Proses adopsi juga dapat berjalan dengan baik apabila pesan yang
disampaikan oleh penyuluh dapat diterima dengan baik oleh para peternak
sehingga adanya penyuluhan tersebut dapat membantu masyarakat memperoleh
pemahaman mengenai teknologi pengendalian penyakit surra, yang
mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku peternak yang meliputi
pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Peternak yang semula tidak mengenal gejala-gejala penyakit surra, setelah
diberikan penyuluhan, mereka lalu mengetahui beberapa gejala atau ciri-ciri dari
penyakit surra, dan ini berarti mereka telah mengalami perubahan pengetahuan.
Setelah adanya perubahan pengetahuan maka akan berpengaruh terhadap
perubahan sikap dan keterampilan. Peternak yang awalnya tidak mau melakukan
vaksinasi pada ternak kuda setelah upaya yang gigih oleh penyuluh, serta diskusi
yang terus-menerus tentang teknologi pengendalian penyakit surra secara bertahap
mereka merelakan ternak mereka untuk divaksin. Hal ini berarti mereka telah
mengalami perubahan sikap. Peternak yang pada mulanya tidak bisa melakukan
vaksinasi sendiri pada ternak kuda, setelah diberikan penyuluhan melalui
76
demonstrasi cara vaksinasi, pada akhirnya mereka mampu melakukannya secara
tepat dan benar. Perubahan ini dikenal dengan perubahan keterampilan.
Adanya perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap)
peternak, akan berdampak pada peningkatan adopsi teknologi peternak mengenai
pengendalian penyakit surra. Peningkatan adopsi teknologi juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal yaitu pelayanan (service) dan pengaturan (regulation) yang
merupakan faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan dalam peningkatan
adopsi teknologi pengendalian penyakit surra. Pengaturan (regulation) merupakan
kebijakan pemerintah seperti adanya surat ijin dan surat keterangan sehat yang
dikeluarkan oleh dokter hewan setempat untuk keluar masuknya ternak
antarpulau. Selanjutnya untuk pelayanan, pemerintah melakukan vaksinasi dan
pemberian bantuan obatan-obatan dalam rangka pemberantasan penyakit surra.
Hal ini dirasakan mampu menekan angka kematian ternak kuda yang disebabkan
oleh penyakit surra. Untuk lebih jelasnya dapat dlihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.
Penyuluhan Pengendalian Penyakit surra
Pengetahuan Peternak
Sikap Peternak
Keterampilan Peterrnak
Adopsi teknologi pengendalian penyakit surra
Pengaturan (regulation)
Pelayanan (service)
Ternak kuda sehat
77
3.2 Hipotesis Penelitian
Dari hasil pemaparan latar belakang penelitian dan tinjauan pustaka maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
3.2.1 Pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak terhadap adopsi
pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur termasuk
kategori rendah.
3.2.2 Adopsi teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur
termasuk kategori sedang.
3.2.3 Penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra berhubungan
positif dengan perilaku peternak.
3.2.4 Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak berhubungan
positif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra.
78
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode survai yang bersifat explanatory
research design, yaitu menjelaskan dan menguraikan hubungan antara variabel-
variabel penelitian, yang menyangkut hubungan antara penyuluhan dan perubahan
perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap), dan hubungan antara perubahan
perilaku dan tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tujuh kecamatan dari 22 kecamatan yang ada di
Kabupaten Sumba Timur, NTT yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha Ori
Angu, Katala Hamulingu, Tabundung, Wulla Waijelu dan Kecamatan Ngadu
Ngala. Pemilihan lokasi ini ditentukan dengan menggunakan metode purposive
sampling, yaitu suatu metode penentuan daerah penelitian yang didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan tertentu (Hadi, 1988). Dasar pertimbangan yang
dipakai dalam memilih lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pada tujuh kecamatan ini, hampir semua warganya memelihara kuda sebagai
mata pencaharian utama
2. Adanya populasi kuda yang cukup banyak.
Data populasi kuda didapatkan dari Dinas Peternakan. Tujuh kecamatan
yang akan dijadikan tempat penelitian di Kabupaten Sumba Timur, populasi kuda
terbanyak ada di Kecamatan Nggaha Ori Angu 1.539 ekor dan populasi kuda
79
terendah ada di Kecamatan Lewa Tidahu 326 ekor. Data selengkapnya disajikan
pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Populasi Kuda di Lokasi Penelitian
No Kecamatan Populasi kuda 1 Lewa 1.392 2 Lewa Tidahu 326 3 Tabundung 1.523 4 Katala Hamu Lingu 1.058 5 Ngadu Ngala 554 6 Nggaha Ori Angu 1.539 7 Wula Waijelu 585
Sumber : Dinas Peternakan Kab. Sumba Timur (2012)
3. Lokasi penelitian ini sudah dikenal oleh peneliti dan mudah dicapai dengan
sarana transportasi.
4.3 Populasi
Populasi penelitian ini adalah semua peternak kuda yang ada di tujuh
kecamatan endemis penyakit surra, yakni kecamatan Lewa, Lewa Tidahu, Nggaha
Ori Angu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Wula Waijelu, dan Kecamatan Ngadu
Ngala, sebanyak 2574 orang peternak. Hampir seluruh warga yang berada di tujuh
kecamatan ini memelihara ternak kuda sebagai mata pencaharian utama dan
digunakan dalam adat-istiadat seperti “mas kawin” dalam upacara pernikahan.
4.4 Sampel Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan secara stratified
random sampling dari seluruh peternak di daerah penelitian yang terkena penyakit
surra di Kabupaten Sumba Timur. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan rumus
populasi Slovin (Consuelo, 1993). Peternak yang dipakai sebagai responden
dalam penelitian ini ditentukan secara proporsional yaitu diambil 10% dari setiap
80
kecamatan yang lebih banyak terjangkit penyakit surra dengan klasifikasi ke
dalam tiga kelas berdasarkan jarak dari kota waingapu. 1) kecamatan yang dekat
dengan kota waingapu yaitu kecamatan Nggaha Ori Angu dengan jarak 40 km, 2)
agak dekat dengan kota Waingapu yaitu kecamatan Katala Hamu Lingu dengan
jarak 55 km, kecamatan Lewa 60 km, dan 3) kecamatan yang jauh dari kota
Waingapu yaitu kecamatan Lewa Tidahu dengan jarak 97 km, Wula Waijelu
dengan jarak 123 km, Tabundung dengan jarak 103 km, dan kecamatan Ngadu
Ngala dengan jarak 139 km.
Namun, untuk responden penyuluh ditentukan dengan cara mengambil
semua penyuluh yang berperan dalam melakukan penyuluhan di kecamatan-
kecamatan yang endemis penyakit surra yang dijadikan lokasi penelitian dan
responden pemerintah diambil dari dinas peternakan dan pemerintah setempat
yang memberikan pelayanan dan pengaturan dalam pengendalian penyakit surra.
Rumus Slovin : 21 αN
Nn+
=
= 2%)10(257412574
+
= 96)01,0(25741
2574=
+
Keterangan : n = Jumlah Sampel α = Peluang kesalahan (10%) N= Jumlah populasi Penentuan jumlah sampel yang akan diambil pada masing-masing
kecamatan sesuai dengan rumus Slovin adalah “ populasi peternak kuda di
81
masing-masing kecamatan” dibagi dengan “total populasi peternak semua
kecamatan di tempat penelitian (2574 orang) “, kemudian dikalikan dengan
jumlah sampel (n= 96) sebagai contoh: Untuk kecamatan yang dekat dengan kota
waingapu “Nggaha ori angu = 20962574562
=× orang, dan seterusnya dengan cara
yang sama digunakan untuk kecamatan yang agak dekat dari kota waingapu dan
jauh dari kota waingapu dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.
Penentuan sampel dari populasi peternak, peneliti menggunakan cara
proporsional random sampling dari daftar nama peternak sebagai populasi.
Penentuan responden dimasing-masing kelas lokasi penelitian dilakukan dengan
cara penetapan jarak tertentu dari daftar nama peternak. Hal ini dimaksudkan agar
pengambilan sampel diambil secara adil dan semua populasi peternak terwakili.
Tabel 4.2 Populasi dan Sampel Peternak Lokasi Penelitian
Jarak/Kelas Kecamatan Populasi Peternak Setiap
Kecamatan Sampel 1. Dekat dengan kota Waingapu a. Nggaha Ori Angu 562 20
2. Agak dekat dari kota Waingapu a. Katala Hamu Lingu 172 27
b. Lewa 530 3. Jauh dari kota Waingapu a. Lewa Tidahu 196 49
b. Wula Waijelu 199 c. Tabundung 617 d. Ngadu Ngala 298
TOTAL 2.574 96
82
4.5 Pengumpulan Data
4.5.1 Jenis dan sumber data
Dilihat dari jenis dan sumber data, maka data yang dikumpulkan dalam
penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data
yang didapat langsung dari responden, sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh melalui catatan-catatan atau laporan yang ada di Dinas Peternakan atau
sumber lain yang dapat dipercaya.
Data primer bersumber dari para peternak kuda, penyuluh dan petugas
pemerintah sebagai responden penelitian. Data primer ini terdiri atas data
kuantitatif dan kualitatif yang diangkakan melalui teknik scoring. Data sekunder
dalam penelitian ini diperoleh dari instansi terkait, yaitu Dinas Peternakan
Kabupaten Sumba Timur, NTT, Badan Pusat Statistik, Kabupaten Sumba Timur,
NTT, dan publikasi pendukung lainnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
4.5.2 Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut ini:
1) Wawancara langsung kepada peternak, penyuluh dan petugas pemerintah yang
menjadi sampel penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang
telah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara dilakukan dengan cara
mendatangi semua responden ke lokasi peternak, penyuluh, dan petugas
pemerintah kemudian melakukan wawancara langsung terinci dan terurut
sesuai dengan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan dan mencatat
jawaban/respon dari responden (berpedoman pada Singarimbun dan Effendi,
1995). `
83
2) Observasi, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan
pengamatan langsung ke lokasi peternak untuk mengamati kondisi peternak
dan usaha peternak secara langsung. Hal ini bertujuan selain untuk mengetahui
kondisi dari objek penelitian, juga untuk memperoleh informasi yang lebih
jelas mengenai keadaan para peternak responden.
3) Dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara meneliti
dokumen-dokumen yang ada untuk dapat digunakan menurut kehendak
peneliti, dilakukan dengan cara mengambil data sekunder seperti jumlah
peternak, keadaan umum daerah penelitian, dan dari catatan atau buku yang
ada pada instansi Dinas Peternakan, Kabupaten Sumba Timur, NTT; Badan
Pusat Statistik, Kabupaten Sumba Timur, NTT.
4.6 Instrumen Penelitian
Data primer diperoleh dengan tehnik wawancara mendalam dan diskusi
secara langsung yang didukung oleh sejumlah instrument/alat: kuisioner, dan alat
dokumentasi seperti kamera foto dan catatan.
Kuisioner untuk responden peternak terdiri dari pertanyaan-pertanyaan
mengenai pengetahuan, keterampilan, sikap dan persepsi peternak mengenai
kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan yang merupakan kebijakan
pemerintah. Kuisioner untuk penyuluh berupa pertanyaan-pertanyaan mengenai
“kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh dalam pengendalian penyakit
surra”. Sedangkan kuisioner untuk petugas pemerintah berupa pertanyaan-
pertanyaan mengenai pelayanan dan pengaturan yang merupakan kebijakan
pemerintah dalam pengendalian penyakit surra.
84
4.7 Uji Validitas dan Reliabilitas
4.7.1 Uji validitas Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa
yang ingin diukur sesuai dengan ukuran yang sebenarnya. Daftar pertnyaan di
katakan valid jika nilai korelasi product momet lebih besar dari r-Tabel 5% =
0,361 dan 1% = 0,463.
Dalam penelitian ini, cara yang digunakan untuk menguji validitas alat ukur
adalah validitas konstruk, yaitu penyusunan tolok ukur operasional dari suatu
kerangka berpikir. Upaya yang dilakukan adalah (1). membuat tolok ukur
berdasarkan kerangka berpikir yang diperoleh dari beberapa kajian pustaka, (2).
berkonsultasi dengan dosen pembimbing dan berbagai pihak yang dianggap
menguasai materi yang akan diukur, (3). membuat kuisioner penelitian, dan (4).
menetapkan lokasi uji. Langkah pengujian sbb: (1) membuat tabulasi skor untuk
setiap nomor pertanyaan untuk setiap responden; (2) pengujian validitas
menggunakan rumus korelasi “Product Moment” (Singarimbun dan Effendi,
1995) yang rumusnya sebagai berikut:
( ) ( )( ) ( )2222 ∑∑∑∑
∑ ∑∑−−
−=
YYNXXN
YXXYNr
Keterangan:
r = Koefisien korelasi “Product moment” X = Skor pertanyaan no 1, 2 dst Y = Skor total N = Banyaknya soal
85
4.7.2 Uji reliabilitas
Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau
dapat diandalkan dalam mengukur gejala yang sama dalam waktu yang berbeda.
Hal ini sama dengan uji validitas dilakukan pada tempat dan responden yang
sama. Hasil pengujian reliabilitas alat ukur akan menggunakan teknik belah dua,
yaitu mengkorelasikan jawaban belahan pertama dan belahan kedua. Rumus yang
digunakan adalah :
r- total = 2 (r.tt)
1 + r.tt
Keterangan :
r-total = angka reliabilitas keseluruhan item atau koefisien reliabilitas r.tt = angka korelasi belahan pertama dan belahan kedua
Nilai Reliabilitas Guttman Split-Half adalah 0,756 ≥ r-tabel, hal ini
menunjukkan bahwa alat ukur tersebut mempunyai reliabilitas yang tinggi.
Langkah pengujian sebagai berikut : (1) membuat tabulasi skor untuk setiap
nomor pertanyaan untuk setiap responden; dan (2) pengujian reliabilitas dengan
menggunakan rumus korelasi sederhana.
4.8 Pengukuran Variabel dan Batasan Operasional
4.8.1 Pengukuran variabel
Untuk dapat mengambil suatu kesimpulan dari data yang diperoleh dalam
pengolahan data digunakan metode deskriptif dan analisis statistika.
86
Tabel 4.3 Variabel dan Indikator Variabel yang Diamati dalam Penelitian
Variabel Indikator Variabel Parameter Skor
Pelayanan Pelayanan pemerintah a. Kegiatan Vaksinasi b. Pemeriksaan Ternak c. Pengobatan ternak sakit
1,2,3,4,5
Penyuluhan Penyuluh a. Rajin b. Konsisten c. Kontinyu d. Bekerja keras e. Bertanggung jawab f. Inovatif g. Kreatif
1,2,3,4,5
Materi penyuluhan a. Pengenalan penyakit surra b. Penyebab penyakit surra c. Gejala/ciri penyakit d. Cara penularan penyakit e. Pencegahan penyakit surra f. Karantina hewan sakit
Cara pengobatan penyakit surra
h. Jenis obat yang digunakan untuk penyakit surra
i. Penanganan hewan yang mati
1,2,3,4,5
Frekuensi penyuluhan
d. Frekuensi penyuluh bertemu dengan peternak
e. Frekuensi kehadiran peternak dalam kegiatan penyuluhan 1 tahun terakhir
1, 2, 3,4,5
Interaksi penyuluh peternak
a. Aktitas diskusi dalam
kegiatan penyuluhan
1,2,3,4,5
Pengaturan Aturan-aturan Dinas Peternakan
a. Kebijakan b. Peternak mengikuti aturan
yang ada c. Penanganan kasus
1,2,3,4,5
Pengetahuan Penyakit a. Penyakit surra b. Penyebab penyakit surra c. Ciri-ciri penyakit surra d. Cara penularan penyakit
surra
1,2,3,4,5
87
Pencegahan a. Apa itu pencegahan penyakit surra
b. Vaksinasi penyakit surra c. Pemberian pakan yang sehat d. Kandang yang sehat
Cara pemeliharaan yang sehat
f. Karantina hewan sakit
1,2,3,4,5
Pengobatan a. Cara pengobatan penyakit surra
b. Jenis obat yang digunakan untuk mengobati penyakit surra
1,2,3,4,5
Keterampilan Penyakit a. Mengidentifikasi penyakit 1,2,3,4,5
Pencegahan a. Cara melakukan vaksinasi b. Cara yang diterapkan untuk
menyembuhkan kuda yang sakit.
c. Cara menjaga kandang agar tetap sehat
d. Cara pemberian pakan yang sehat
e. Cara pemeliharaan agar ternak kuda tetap sehat
f. Cara melakukan karantina hewan sakit
g. Pemilihan bibit yang sehat
1,2,3,4,5
Pengobatan a. Cara melakukan pengobatan penyakit surra
b. Cara penanganan hewan mati.
1,2,3,4,5
Sikap Penyakit a. Bahaya penyakit surra b. Cara penanganan penyakit
surra
1,2,3,4,5
Pencegahan a. Kegiatan vaksinasi b. Pemberian pakan yang sehat c. Kandang yang sehat d. Cara pemeliharaan ternak
kuda yang sehat e. Cara karantina hewan yang
sakit. f. Pemilihan bibit kuda yang
sehat
1,2,3,4,5
88
Pengobatan a. Cara pengobatan kuda yang sakit
b. Cara penanganan hewan yang mati
1,2,3,4,5
Adopsi Penyakit a. Usaha yang dilakukan peternak dalam menangani kuda yang sakit.
1,2,3,4,5
Pencegahan a. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui vaksinasi
b. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui pemberian pakan yang sehat
c. Usaha peternak dalam mencegah penyakit surra melalui pemeliharaan kuda yang sehat.
d. Usaha peternak dalam mencegah penyebaran penyakit surra melalui karantina hewan yang sakit.
1,2,3,4,5
Pengobatan
a. Usaha yang dilakukan peternak untuk mengobati penyakit surra
b. Obat yang diberikan jika ternak kuda terserang penyakit surra
c. Usaha peternak dalam menangani kuda yang mati.
1,2,3,4,5
Data mengenai variabel adopsi teknologi sistem pengendalian penyakit
surra, pengetahuan, keterampilan, pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan
responden diukur dengan skala jenjang lima (1,2,3,4,5). Skala ini menggunakan
lima kategori jawaban dari setiap pertanyaan yang disusun. Setiap jawaban diberi
skor secara konsisten atau data kualitatif diubah terlebih dahulu menjadi data
kuantitatif dengan pemberian skor dan selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
89
Di sisi lain, sikap responden mengenai sistem pengendalian penyakit surra
diukur dengan menerapkan “Skala Likert”, dengan membentuk lima kategori
jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Skor dinyatakan dalam bilangan bulat
(1,2,3,4,5). Untuk pertanyaan positif respon sangat setuju diberikan skor 5,
sebaliknya sangat tidak setuju diberikan skor 1, sedangkan untuk pertanyaan
negatif respon sangat tidak setuju diberi skor 5, sebaliknya sangat setuju diberi
skor 1. Hal ini sesuai dengan metode Singarimbun dan Effendi (1995).
Perolehan total skor pelayanan, peyuluhan, pengaturan, pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan adopsi teknologi peternak terhadap sistem pengendalian
penyakit surra disajikan dalam bentuk persen (%) berdasarkan jumlah skor
maksimum ideal (Singarimbun dan Effendi, 1995 ) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
Proporsi skor = %100×SMI
X X = Perolehan skor
SMI = Skor maksimum ideal Berdasarkan hasil kuisioner maka didapatkan variabel pelayanan dengan
skor tertinggi 60 (100%) dan skor terendah 12 (20%), penyuluhan skor tertinggi
95 (100%) dan skor terendah 19 (20%), pengaturan skor tertinggi 40 (100%) dan
skor terendah 8 (20%), pengetahuan dengan skor tertinggi 80 (100 %) dan skor
terendah 16 (20%). Variabel keterampilan dengan skor tertinggi 55 (100 %) dan
skor terendah 11 (20%). Variabel sikap dengan skor tertinggi 80 (100%) dan skor
terendah 16 (20%) , dan Variabel adopsi dengan skor tertinggi 75 (100%) dan
skor terendah 15 (20%).
90
Nilai-nilai yang termasuk pada masing-masing kategori dilihat dari
persentase pencapaian skornya dengan menggunakan rumus Interval Kelas yang
dikemukakan oleh Dajan (1986), dengan rumus sebagai berikut:
IK = Jarak kelas
Banyaknya kategori
Keterangan:
I K = interval kelas Jarak kelas = persentase skor maksimal dikurangi dengan persentase
skor minimal Banyaknya kategori = jumlah kategori yang ditentukan Dengan menggunakan rumus interval kelas tersebut maka dapat diketahui
nilai kategori untuk setiap variabel yaitu kategori adopsi peternak tentang
teknologi pengendalian penyakit surra, pengetahuan, keterampilan, sikap,
pelayanan, penyuluhan, dan pengaturan masing-masing dikelompokkan seperti
berikut:
Tabel 4.4. Kategori Adopsi, Pengetahuan, Keterampilan, Sikap Pelayanan,
Penyuluhan, dan Pengaturan.
Persentase Pencapaian Adopsi Pengetahuan Keterampilan Pelayanan Penyuluhan Pengaturan Sikap
>84%-100% Sagat baik Sagat tinggi Sangat tinggi Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat positif >68%-84% Baik Tinggi Tinggi Baik Baik Baik Positif >52%-68% Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Ragu-ragu >36%-52% Buruk Rendah Rendah Buruk Buruk Buruk Negatif
0%-36% Sangat buruk Sangat rendah
Sangat rendah
Sangat buruk
Sangat buruk
Sangat buruk
Sangat Negtif
Sumber: Dajan (1986)
Data tentang identitas pribadi responden dianalisis sampai tahap tabulasi.
91
4.8.2 Definisi operasional penelitian
Definisi operasional penelitian adalah penjelasan atau pengertian dari
peubah-peubah yang terlibat dalam penelitian dengan maksud untuk membatasi
lingkup makna peubah kearah objek pengamatan sehingga dapat dilakukan
pengukuran. Definisi operasional dalam rencana penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Pelayanan (service) adalah faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan yang
merupakan penyediaan sarana dan prasarana seperti vaksin, obat-obatan dalam
upaya pengendalian penyakit surra.
b. Penyuluhan adalah suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan untuk
membantu peternak dalam pengendalian penyakit surra melalui proses
pendidikan non formal untuk menekan kematian ternak kuda akibat penyakit
surra.
c. Pengaturan (regulation) adalah faktor pendukung dalam kegiatan penyuluhan
yang merupakan kebijakan dari pemerintah untuk menangani penyakit surra di
Kabupaten Sumba Timur, NTT.
d. Pengetahuan adalah hasil pemahaman peternak terhadap segala ihwal yang
berkaitan dengan pengendalian penyakit surra.
e. Keterampilan adalah kemampuan seseorang secara terampil menerapkan
pengetahuan kedalam bentuk tindakan secara cepat dan refleks dalam
pengendalian penyakit surra.
92
f. Sikap adalah tanggapan atau penilaian seseorang terhadap suatu hal atau suatu
obyek tertentu, sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, yang disertai
kecenderungan untuk bertindak dalam menangani penyakit surra.
g. Adopsi adalah hasil dari kegiatan penyampaian pesan penyuluhan berupa
inovasi pengendalian penyakit surra, atau sebagai suatu proses komunikasi
yang diawali dengan penyampaian inovasi sampai terjadinya perubahan
perilaku peternak dalam pengendalian penyakit surra.
4.9 Analisis Data
Data mengenai identitas responden dianalisis secara deskriptif sampai tahap
tabulasi. Selanjutnya, hasil analisis data ini dapat memaparkan atau
mendeskripsikan sistem pemeliharaan kuda yang dipelihara.
Analisis yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan antara tingkat
pengetahuan dengan keterampilan dan sikap responden, keterkaitan antara
keterampilan dengan sikap, dan hubungan penyuluhan tentang pengendalian
penyakit surra dengan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan dan sikap)
serta keterkaitan perilaku (pengetahuan, sikap, keterampilan) dengan adopsi
responden tentang teknonologi pengendalian penyakit surra, digunakan Analisis
Jalur (Path Analysis) dengan menggunakan regresi bertahap. Analisis jalur (path
analysis) merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menguji hubungan
kausal antara dua atau lebih variabel (Sitepu, 1994).
93
Gambar 4.1. Struktur Hubungan Antara Variabel Berdasarkan Diagram Kerangka Pemikiran.
Keterangan : x1 = Variabel pengaturan, x2 = Variabel penyuluhan, x3 = Variabel pelayanan, x4 = Variabel pengetahuan, x5 = Variabel keterampilan, x6= Variabel sikap, Y= Variabel Adopsi, ρixi = koefisien jalur ke-i, є = Variabel residu Persamaan untuk Gambar 4.1.
BAB V
x4
x5
x6 Y
x4 = ρ2x2 + є x5 = ρ2x2 + ρ4x4 + є x6 = ρ2x2 + ρ4x4 + ρ5x5 + є Y = ρ4x4 + ρ5x5 + ρ6x6 + є
x1
x2
x3
94
BAB VI GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1 Letak Geografis dan Letak Astronomis
Secara astronomis Kabupaten Sumba Timur terletak antara 119o45-120o52
Bujur Timur/ BT dan 9o16-10o20 Lintang Selatan/LS (Sumber: Badan Pusat
Statistik Kab. Sumba Timur, 2012). Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten
Sumba Timur memiliki batas-batas : Utara berbatasan dengan Selat Sumba,
Selatan berbatasan dengan Laut Hindia, Timur berbatasan dengan Laut Sabu,
Barat berbatasan dengan Kabupaten Sumba Tengah.
Luas Wilayah daratan Sumba Timur 700.050 ha yang tersebar pada 1
pulau utama (Pulau Sumba) dan 3 pulau kecil yaitu Prai Salura, Pulau Mengkudu
dan Pulau Nuha (belum berpenghuni). Sekitar 40% luas Sumba Timur merupakan
daerah yang berbukit-bukit terutama di daerah bagian Selatan, dimana lereng-
lereng bukit tersebut merupakan lahan yang cukup subur, sementara daerah bagian
Utara berupa dataran yang berbatu dan kurang subur..
Kabupaten Sumba Timur terdiri dari 22 kecamatan, yaitu kecamatan
Lewa, Nggaha Ori Angu, Lewa Tidahu, Katala Hamu Lingu, Tabundung, Pinu
Pahar, Paberiwai, Karera, Matawai La Pawu, Kahunga Eti, Mahu, Ngadu Ngala,
Pahunga Lodu, Wula Waijelu, Rindi, Umalulu, Pandawai, Kambata
Mapambuhang, Kota Waingapu, Kambera, Haharu, Kanatang. dan beberapa
kecamatan diantaranya yang dijadikan lokasi penelitian adalah kecamatan Nggaha
Ori Angu, Lewa, Katala Hamu Lingu, Lewa Tidahu, Tabundung, Ngadu Ngala,
95
dan Wula Waijelu. Lokasi kecamatan yang di teliti dapat dilihat pada Gambar
5.1.
Kecamatan Nggaha Ori Angu, Lewa, Lewa Tidahu, Katala Hamu Lingu
dan Tabundung terletak di sebelah Barat dari ibukota Kabupaten Sumba Timur
sedangkan Kecamatan Wula Waijelu terletak di sebelah timur dari ibukota
Kabupaten Sumba Timur dan Kecamatan Ngadu Ngala terletak di sebelah Selatan
dari Ibu Kota Sumba Timur.
Jarak Kecamatan Nggaha Ori Angu dari kota Kabupaten yaitu 40 km.
Kecamatan Nggaha Ori Angu berbatasan dengan : 1) Sebelah utara dengan
Kecamatan Haharu, 2) Sebelah selatan dengan Kecamatan Tabundung, 3) Sebelah
Timur dengan Kota Waingapu , 4) Sebelah Barat dengan Kecamatan Lewa.
Jarak Kecamatan Lewa dari kota Kabupaten 60 km. Kecamatan Lewa
berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Haharu, 2) Sebelah
Selatan dengan Katala Hamu Lingu, 3) Sebelah Barat dengan Lewa Tidahu, 4)
Sebelah Timur dengan Nggaha Ori Angu.
Jarak Kecamatan Katala Hamu Lingu dari kota Kabupaten 55 km.
Kecamatan Katala Hamu Lingu 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Lewa, 2)
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Tabundung, 3) Sebelah Barat dengan
Kecamatan Lewa Tidahu, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Tabundung.
Jarak Kecamatan Lewa Tidahu dari kota Kabupaten 97 km. penduduk.
Kecamatan Lewa Tidahu berbatasan dengan 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan
Lewa, 2) Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, 3) Sebelah Barat dengan
96
Kabupaten Sumba Tengah, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Katala Hamu
Lingu.
Jarak Kecamatan Tabundung dari kota Kabupaten 103 km. Kecamatan
Tabundung berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Nggah Ori
Angu, 2) Sebelah Selatan dengan Kecamatan Pinupahar, 3) Sebelah Barat dengan
Kecamatan Kambata Mapambuhang, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Katala
Hamu Lingu.
Jarak Kecamatan Wulla Waijelu dari kota Kabupaten 123 km. Kecamatan
Wulla Waijelu berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Mahu, 2)
Sebelah Selatan dengan Samudra Indonesia, 3) Sebelah Barat dengan Kecamatan
Ngadu Ngala, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Pahungalodu.
Jarak Kecamatan Ngadu Ngala dari kota Kabupaten 139 km. Kecamatan
Ngadu Ngala berbatasan dengan : 1) Sebelah Utara dengan Kecamatan Paberiwai
2) Sebelah Selatan dengan Samudra Indoenesia, 3) Sebelah Barat dengan
Kecamatan Karera, 4) Sebelah Timur dengan Kecamatan Mahu dan Wulla
Waijelu.
5.2 Iklim dan Curah Hujan
Seperti halnya daerah lain di Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumba Timur
memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya
Sumba Timur diguyur hujan pada bulan Januari – April, sementara 8 bulan
lainnya mengalami kemarau dengan curah hujan yang sedikit, yang menyebabkan
wilayah Sumba Timur tergolong wilayah kering. Curah hujan tertinggi terjadi
pada bulan Januari, Februari, Maret dan April sedangkan kekeringan menurun
97
pada bulan Mei, puncak kekeringan terjadi pada bulan Juni sampai Oktober. Suhu
rata-rata minimum 24,1oC dan maksimum 28,6oC. (Sumber: BPS Kabupaten
Sumba Timur). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 5.1
Tabel 5.1 Rata-rata Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan di Kabupaten Sumba Timur, 2011
Sumber: Stasiun Meteorologi Kelas III Mau Hau, Waingapu, 2011
5.3 Penduduk dan Tenaga Kerja 5.3.1 Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk
Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2011 yang diproyeksikan sebanyak 234.642
jiwa terdiri dari 120. 779 jiwa penduduk laki-laki dan 113.863 jiwa penduduk
perempuan. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumba Timur selama
sepuluh tahun terakhir dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010 rata-rata
sebesar 2,11 persen pertahun.
Laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Nggaha Ori Angu merupakan yang
tertinggi dibanding dengan pertumbuhan penduduk kecamatan lain di Kabupaten
Bulan Jumlah Hujan (hari) Curah Hujan (mm) Januari 22 228,7 Februari 20 316,0 Maret 18 272,1 April 18 157,4 Mei 6 9,6 Juni - - Juli - - Agustus 1 0,3 September - - Oktober 2 2,0 November 5 39,7 Desember 9 78,4
98
Sumba Timur yaitu sebesar 28,09 persen pertahun diikuti Kecamatan mahu 11,57
persen per tahun, Kecamatan Kambata Mapambuhang 4,18 persen per tahun, dan
Kecamatan Kanatang 3,93 persen per tahun. Sedangkan kecamatan yang paling
lambat pertumbuhan penduduknya adalah Kecamatan Paberiwai dengan rata-rata
pertumbuhan 0,11 persen pertahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010.
5.3.2 Persebaran Penduduk
Pada Tabel 5.2 disajikan data tentang persebaran penduduk menurut
kecamatan pada tahun 2011. Kecamatan Kambera adalah paling padat
penduduknya yaitu sebanyak 609 jiwa per km2 diikuti oleh Kecamatan Kota
Waingapu 490 jiwa per km2 dan Kecamatan Lewa sebesar 57 jiwa per km2.
Kecamatan yang paling jarang penduduknya adalah Kecamatan Katala Hamu
Lingu, dan Kambata Mapambuhang yaitu rata-rata 8 jiwa per km2.
99
Tabel 5.2 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Sumba Timur
Sumber: Hasil Proyeksi BPS 5.3.3 Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur
Jumlah penduduk laki-laki Kabupaten Sumba Timur pada tahun 2011
sebanyak 120.779 jiwa, penduduk perempuan sebanyak 113.863 jiwa. Rasio Jenis
Kelamin (Sex Ratio) penduduk Kabupaten Sumba Timur adalah 106 yang berarti
setiap 100 penduduk perempuan terdapat 106 penduduk laki-laki. Dengan kata
No Kecamatan Luas (km2)
Persentase (%)
Penduduk (orang)
Persentase (%)
Kepadatan Penduduk
(orang/km2) 1 Lewa 281,1 4,02 16.053 6,77 57 2 Nggaha Ori Angu 286,4 4,09 8.978 3,81 31 3 Lewa Tidahu 322,1 4,60 6.460 2,95 20 4 Katala Hamulingu 453,1 6,47 3.755 1,59 8 5 Tabundung 514,4 7,35 8.404 3,76 16 6 Pinu Pahar 246,6 3,52 6.901 2,94 28 7 Paberiwai 199,7 2,85 5.786 2,45 29 8 Karera 334,6 4,78 7.594 3,21 23 9 Matawai La Pawu 405,4 5,79 5.973 2,54 15
10 Kahunga Eti 475,1 6,79 8.298 3,55 17 11 Mahu 196,6 2,81 4.050 1,71 21 12 Ngadu Ngala 207,9 2,97 4.915 2,10 24 13 Pahunga Lodu 349,8 5,00 12.218 5,21 35 14 WulA Waijelu 221,3 3,16 7.119 3,01 32 15 Rindi 366,5 5,24 9.282 3,96 25 16 Umalulu 307,9 4,40 16.549 7,06 54 17 Pandawai 412,6 5,89 15.285 6,48 37 18 Kambata Mapambuhang 412,7 5,90 3.504 1,50 8 19 Kota Waingapu 73,8 1,05 36.170 15,28 490 20 Kambera 52,0 0,74 31.692 13,49 609 21 Haharu 601,5 8,59 5.916 2,52 10 22 Kanatang 279,4 3,99 9.740 4,09 35
Sumba Timur 7000,5 100,00 234.642 100,00 33
100
lain, jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Sumba timur tahun 2011 lebih besar
dibanding penduduk perempuan. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Sumba Timur
tahun 2011 dapat dilihat lebih lengkap pada Tabel 5.4.
Tabel 5.3 Banyaknya Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur.
No Kecamatan Penduduk Rasio Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah 1 Lewa 8.306 7.747 16.053 107 2 Nggaha Ori Angu 4.542 4.436 8.978 102 3 Lewa Tidahu 3.225 3.235 6.460 100 4 Katala Hamu Lingu 1.882 1.873 3.755 100 5 Tabundung 4.275 4.129 8.404 104 6 Pinu Pahar 3.557 3.344 6.901 106 7 Paberiwai 3.041 2.745 5.786 111 8 Karera 3.924 3.670 7.594 107 9 Matawai La Pawu 3.063 2.910 5.973 105 10 Kahunga Eti 4.241 4.057 8.298 105 11 Mahu 2.147 1.903 4.050 113 12 Ngadu Ngala 2.576 2.339 4.915 110 13 Pahunga Lodu 6.127 6.091 12.218 101 14 Wula Waijelu 3.664 3.455 7.119 106 15 Rindi 4.752 4.530 9.282 105 16 Umalulu 8.567 7.982 16.549 107 17 Pandawai 7.913 7.372 15.285 107 18 Kambata Mapambuhang 1.831 1.673 3.504 109 19 Kota Waingapu 18.713 17.457 36.170 107 20 Kambera 16.353 15.339 31.692 107 21 Haharu 3.027 2.889 5.916 105 22 Kanatang 5.053 4.687 9.740 108 Sumba Timur 120.779 113.863 234.642 106 Sumber: Hasil Proyeksi BPS
101
5.4 Persentase Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kab. Sumba Timur, 2011
Kelompok Umur Penduduk (%)
Laki-laki Perempuan Jumlah < 2 4,79 4,68 4,73 2-4 8,28 8,05 8,17 5-9 12,48 13,86 13,16
10-14 12,04 11,88 11,96 15-49 48,51 46,66 47,60 50-64 9,64 9,36 9,50 65+ 4,25 5,51 4,87
Jumlah 100 100 100 Sumber: Hasil Proyeksi BPS
Dari tabel 5.4 terlihat bahwa persentase penduduk menurut kelompok
umur sebagian besar masyarakat Kabupaten Sumba Timur berada di kelompok
umur 15-49 Tahun (47,60%) sedangkan yang berumur 65 tahun ke atas sebanyak
(4,87%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Sumba Timur
berada pada umur produktif. Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap
kemampuan fisik, psikologis dan biologis seseorang serta berhubungan dengan
kemampuan seseorang dalam belajar, baik dalam mengaktualisasikan hasil belajar
dalam pengalaman hidup maupun hakekat serta jenis dari struktur sikap dalam
pemprosesan informasi yang dipunyainya.
5.3.4 Tingkat Pendidikan
Menurut tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk berusia 15 tahun
ke atas yang termasuk angkatan kerja di Kabupaten Sumba Timur yang tidak
tamat SD sebanyak 39. 684 orang (38,173%), Diikuti oleh tamat sekolah dasar
22.832 orang (21,963%) dan pendudukan yang tidak atau belum perna sekolah
sebanyak 11. 055 orang (10,634%). Sementara itu terdapat sebanyak 14.732
102
orang (14,171%) penduduk yang telah lulus Sekolah Menengah Atas (SMA).
Untuk kategori pendidikan tinggi, yang merupakan lulusan D I/II 686 orang
(0,659%), D III 1.107 orang (1,065%), S1 3.020 orang (2,905%), dan S2/S3 630
orang (0,606). Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pendidikan yang Ditamatkan di Kabupaten Sumba Timur, 2011
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012 5.3.5. Angkatan Kerja Tahun 2011, penduduk yang termasuk angkatan kerja sebanyak 103.957
orang (71,034%) terdiri dari yang bekerja sebanyak 101.711 orang (69,499%) dan
pengangguran sebanyak 2.246 orang (1,535%). Kemudian, yang bukan termasuk
angkatan kerja sebanyak 42.392 orang (28,966%). Berdasarkan lapangan
Pendidikan Tinggi yang Ditamatkan Laki-Laki
Perempuan Jumlah
%
Tidak / Belum Pernah Sekolah 5.344 5.711 11.055 10,634
Tidak/ Belum Tamat SD 25.821 13. 863 39.684 38,173
Sekolah Dasar 12.728 10.104 22.832 21,963
Paket A 296 170 466 0,488
SMTP 6.083 2.218 8.301 7,985
1. Umum 6.026 2.218 8.244 0
2.Kejuruan 57 0 57 0
Paket B 814 0 814 0,783
SLTA 6.937 7.795 14.732 14,171
1. Umum 4.518 4.894 9.412 0
2. Kejuruan 2.419 2.901 5.320 0
Paket C 630 0 630 0,606
D I/D II 174 512 686 0,659
D III 675 432 1.107 1,065
S1 1.446 1.574 3.020 2,905
S2/S3 560 70 630 0,606
Jumlah 61.508 42. 449 103.957 100
103
pekerjaan utama, sebagian besar penduduk bekerja sebagai tenaga usaha
pertanian, perkebunan, kehutanan yaitu sebanyak 69.192 orang. Menurut status
pekerjaan utama mereka, sebagian besar penduduk berusaha sendiri. Ditinjau dari
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk Kabupaten Sumba Timur
yang berumur 15 tahun ke atas tahun 2011 sebesar 71,03 persen (Tabel 5.5).
Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Jenis Lapangan
Usaha tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama di Kabupaten Sumba Timur, 2010 -2011
No Jenis Kegiatan Utama 2010
% 2011
%
I Angkatan Kerja 102. 697
71,569 103 .957
71,034
1. Bekerja 98. 779
68,838 101. 711
69,499
2. Pengangguran 3. 918
2,730 2.246
1,535
II Bukan Angkatan Kerja (sekolah, mengurus 40.797
28,431 42. 392
28,966 rumah tangga dan lainnya)
Jumlah 143.494
100 146.349
100 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) 71,57 71,03 Tingkat Pengangguran 3,82 2,16
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012
104
Tabel 5.7 Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten Sumba Timur, 2011
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional 2012
5.4 Kondisi Peternakan di Kabupaten Sumba Timur
Sektor peternakan di Kabupaten Sumba Timur memiliki sejarah yang
panjang dan cukup bervariasi dibandingkan daerah lain di Indonesia, karena
keadaan alam wilayah ini yang memiliki musim penghujan pendek dan padang
rumput yang luas. Sumba Timur terkenal sebagai pusat penangkaran dan
perdagangan kuda sejak abad ke-19. Kuda sandel, yang merupakan hasil
perbaikan (grading up) kuda lokal dengan kuda Arab, telah menjadi maskot dan
figurnya dimasukkan dalam lambang daerah.
Di subsektor peternakan, ternak babi, kambing/domba dan sapi potong
merupakan jenis ternak yang paling banyak dipelihara, diikuti ternak kerbau dan
kuda. Peternakan di Kabupaten Sumba Timur sangat ditunjang dengan kondisi
No Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan Jumlah %
1 Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, 42.288 26.904 69.192
68,028 Perburuan, dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 1.701 578 2.279 2,241
3 Industri Pengolahan 903 3.590 4.493 4,417
4 Listrik, Gas dan Air Minum 87 0 87 0,086
5 Konstruksi 1.41 0 1.410 1,386
6 Perdagangan, Rumah Makan, dan Jasa Akomodasi 3.059 3.448 6.507
6,397
7 Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi 2.827 0 2.827 2,779
8 Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan, 381 140 521
0,512
dan Jasa Perusahaan
9 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 7.797 6.598 14.395 14,153
Jumlah 60.453 41.258 101.711 100
105
daerah yang memiliki padang rumput yang luas sehingga peluang bagi
pengembangan populasi ternak dapat direspon dengan baik. Pengembangan sub
sektor peternakan, diarahkan untuk peningkatan pendapatan petani peternak dalam
rangka meningkatkan populasi maupun produksi ternak. Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Populasi Ternak Menurut Kecamatan dan Jenis Ternak, 2011
Sumber: Kecamatan Dalam Angka, 2012
No Kecamatan
Populasi Ternak (ekor) Sapi
potong Kerbau Kuda Kambing Babi 1 Lewa 1.787 1.665 1.392 1.858 4.606 2 Nggaha Ori Angu 2.468 1.968 1.539 1.380 3.538 3 Lewa Tidahu 689 577 326 887 1.339 4 Katala Hamulingu 882 1.280 1.058 915 1.489 5 Tabundung 1.282 3.235 1.523 1.761 4.018 6 Pinu Pahar 1.193 1.233 1.128 3.207 4.473 7 Paberiwai 1.197 1.926 943 2.012 5.005 8 Karera 2.176 3.144 1.504 1.175 2.538 9 Matawai La Pawu 1.890 3.689 1.538 3.435 2.857 10 Kahunga Eti 5.951 3.456 3.254 2.942 6.547 11 Mahu 599 1.308 663 367 1.812 12 Ngadu Ngala 475 1.554 554 1.147 1.230 13 Pahunga Lodu 5.337 3.848 3.728 2.440 8.707 14 Wula Waijelu 838 2.514 585 740 4.675 15 Rindi 5.157 1.105 1.857 1.135 5.219 16 Umalulu 2.463 937 714 8.803 7. 268 17 Pandawai 7.826 624 2.894 5.624 6.172
18 Kambata Mapambuhang 781 1.055 834 1.669 2.995
19 Kota Waingapu 731 325 1.249 4.761 6.055 20 Kambera 2.567 172 862 3.596 11. 388 21 Haharu 1.938 290 1.492 3.692 3.222 22 Kanatang 1.693 1.390 3.026 4.389 3.953
Sumba Timur 49.920 37.295 32.667 57.935 99.106
106
Gambar 5.1 Peta Kabupaten Sumba Timur, NTT
Waingapu
107
BAB VI
HASIL PENELITIAN
6.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden terdiri dari umur, pekerjaan, tingkat pendidikan,
jumlah tanggungan keluarga, rataan luas lahan, dan jumlah pemilikan ternak.
Data selengkapnya diuraikan sebagai berikut:
6.1.1 Umur Umur merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan produktivitas
peternak dalam menjalankan usahanya. Umur dapat mempengaruhi kemampuan
fisik dalam bekerja, cara berpikir, serta kemampuan untuk menerima inovasi baru
dalam mengelola usahanya. Berdasarkan hasil penelitian bahwa umur peternak
termuda adalah 19 tahun dan tertua adalah 67 tahun. Sebagian besar responden
yaitu sebanyak 38 orang (39,58%) berusia antara 40 sampai 49 tahun. Data
selengkapnya disajikan pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 19-29 9 9,38 30-39 18 18,75 40-49 38 39,58 50-59 26 27,08 60-69 5* 5,21
Jumlah 96 100 *Umur 65 = 1 orang Umur 67 = 1 orang (2 orang berusia tidak produktif)
108
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak (97,92%)
berada dalam usia kerja produktif. Usia kerja produktif berkisar antara umur 15-
64 tahun (Prijono, 2001). Umur mempengaruhi kemampuan fisik dan cara
berpikir serta dapat menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga
terdapat perubahan perilakunya berdasarkan usia yang dimiliki. Makin muda
petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka
ketahui, sehingga mereka berusaha agar lebih cepat melakukan adopsi inovasi,
walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi
inovasi tersebut (Kartasapoetra, 1994).
Soekartawi (2005) menyatakan bahwa petani yang lebih tua tampaknya
kurang termotivasi menerima hal-hal baru daripada mereka yang relatif berumur
muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya lebih bersemangat jika
dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Semakin tua (di atas 50 tahun) umur
seseorang, biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah diterapkan oleh warga masyarakat
setempat (Mardikanto, 2009).
6. 1.2 Pekerjaan
Pekerjaan responden dilihat dari prioritas penggunaan waktu dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: pekerjaan utama/pekerjaan pokok dan pekerjaan
sambilan/sampingan. Pekerjaan utama merupakan pekerjaan yang memerlukan
waktu lebih banyak (8 jam), sedangkan pekerjaan sampingan adalah pekerjaan
yang dilakukan pada waktu senggang (Anonimous, 2008b dalam Griawan,
2010:65). Berdasarkan hasil penelitian, pekerjaan utama yang terbanyak adalah
109
sebagai petani (62,5%) dan pekerjaan sampingan terbanyak (41,7%) dari 96
responden adalah sebagai peternak. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.2.
Tabel 6.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Pokok (orang) (%) Sampingan (Orang) (%) 1 Petani 60 62,5 20 20,8 2 Peternak 36 37,5 36 41,7 3 Buruh 0 0 0 0 4 Pedagang 0 0 0 0 5 Pegawai Sipil 0 0 0 0
Jumlah 96 100 56 62,5
6.1.3 Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam memajukan usaha
peternakan dan sangat terkait dengan tingkat kemampuan mengadopsi teknologi.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan petani peternak responden di
Kabupaten Sumba Timur cukup bervariasi. Sebagian besar (37,5%) peternak di
Kabupaten Sumba Timur tidak tamat SD, diikuti oleh tamat SD sebanyak 22
orang (22,9%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.3.
Tabel 6.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Tidak pernah sekolah 4 4,17 2 Tidak Tamat SD 36 37,5 3 Tamat SD 22 22,9 4 Tidak tamat SMP/SLTP 2 2,08 5 Tamat SMP/SLTP 19 19,81 6 Tamat SLTA 13 13,54 7 Perguruan tinggi 0 0 8 Kursus – dll 0 0
Jumlah 96 100
110
Tingginya persentase responden peternak yang tidak tamat SD yaitu
sebanyak 37,5% mencerminkan bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM)
peternakan kuda di Kabupaten Sumba Timur masih tergolong rendah.
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya meningkatkan
kualitas SDM. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka kualitas
mereka akan semakin meningkat dan sebaliknya semakin rendah tingkat
pendidikan maka kualitas mereka baik dari segi pengetahuan, keterampilan, sikap
dan wawasan, pengembangan daya nalar, dan analisis semakin rendah pula.
Keadaan pendidikan sangat menentukan kemampuan dalam pengambilan
keputusan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu
(Anonimus, 2008a) dalam Griawan (2010:64).
6.1.4 Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga akan mempengaruhi jumlah dana yang akan
dialokasikan. Jumlah tanggungan keluarga peternak terbesar berada pada kisaran
5-10 orang yaitu sejumlah 51 orang peternak (53,13%). Data selengkapnya di
sajikan dalam Tabel 6.4.
Menurut Ilyas (1987), jumlah tanggungan keluarga berkisar antara 3-4
orang tergolong sedang dan lebih dari 5 orang tergolong besar. Sesuai dengan
pendapat Ilyas tersebut jumlah tanggungan keluarga sebagian besar peternak di
Kabupaten Sumba Timur tergolong besar. Hal ini akan menyebabkan kepala
keluarga semakin sulit untuk memuhi kebutuhan keluarga dan sulit menerapkan
suatu inovasi yang diterimanya karena tanggungan keluarga yang tergolong besar,
111
sehingga tidak cukup tersedia dana untuk menyediakan sarana produksi yang
diperlukan.
Tabel 6.4 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
Tanggungan Keluarga Jumlah Persentase (%) 1- 4 37 38,54 5-10 51 53,13 > 10 8 8,33
Jumlah 96 100
Keadaan ini merupakan beban yang akan membebani biaya hidup dan
biasanya peternak akan menjual ternak-ternak kudanya untuk memenuhi
kebutuhannya. Hal ini didukung oleh pendapat Soekartawi et al. (1986) yang
menyatakan bahwa, semakin banyak jumlah anggota keluarga merupakan beban
disatu sisi, akan tetapi dari sisi lain merupakan sumber tenaga kerja keluarga.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah tanggungan keluarga turut
mempengaruhi keluarga untuk mengadopsi inovasi bahwa petani yang memiliki
jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menyulitkan mereka dalam
menerapkan teknologi baru, karena biaya untuk mencukupi kebutuhan keluarga
sangat tinggi, sehingga mereka sulit menerima risiko yang besar jika nantinya
inovasi tersebut tidak berhasil.
6.1.5 Rataan Luas Lahan Luas lahan yang dimiliki responden adalah 346,45 ha, terdiri dari sawah
(46%), dengan rataan pemilikan 1,662 ha per responden, tegalan 149,115 ha2
(43%) dengan luas pemilikan 1,553 ha per responden dan pekarangan 37,8 (11%)
dengan luas pemilikan 0,394 ha. Sebagian besar responden menggarap lahannya
sendiri. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.5.
112
Tabel 6.5 Distribusi Luas Lahan Berdasarkan Jenis Penggunaan Tanah
No Penggunaan Lahan Jumlah (ha) Persentase (%) 1 Sawah 159,535 46 2 Tegalan 149,115 43 3 Pekarangan 37,80 11
Jumlah 346,45 100
6.1.6 Jumlah Pemilikan Ternak
Jenis ternak yang dipelihara oleh responden adalah kuda, sapi, kerbau dan
babi. Ternak yang banyak dipelihara adalah ternak kuda yaitu sebanyak 3.913
ekor (47%) dengan rata-rata pemilikan 40,76 ekor per responden. Jumlah
pemilikan sapi 2313 ekor (28%) dengan rata-rata pemilikan 24,09 ekor per
responden, kerbau 1498 ekor (18%) dengan rata-rata pemilikan 15,60 ekor per
responden, dan sebagian kecil ternak babi 544 ekor (7%) dengan rata-rata
pemilikan 5,67 ekor per responden. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.6.
Tabel 6.6 Distribusi Ternak Berdasarkan Jenis dan Jumlah Ternak yang Dipelihara.
No Jenis Ternak Jumlah Persentase (%) 1 Kuda 3913 47 2 Sapi 2313 28 3 Kerbau 1498 18 4 Babi 544 7 5 Kambing 0 0
Jumlah 8268 100
Dari Tabel 6.6 terlihat bahwa, jumlah populasi ternak terbanyak yang di
pelihara oleh peternak adalah ternak kuda yaitu 47% dengan rataan pemilikan
40,76 ekor per responden. Makin banyak ternak yang dipelihara maka makin
tinggi pula resiko yang dihadapi. Semakin besar jumlah yang ternak yang
113
dipelihara akan memacu peternak untuk lebih giat belajar dalam hal menambah
pengetahuan dan keterampilan mereka agar dapat melaksanakan
pemeliharaan/pengandangan ternak yang lebih baik. Hal ini, sesuai dengan
pendapat (Margono Slamet, 2003) yang menyatakan bahwa besar kecilnya
pemilikan ternak akan mempengaruhi motivasi peternak untuk belajar lebih giat
menambah pengetahuan serta membina keterampilan mereka.
Komposisi ternak kuda yang didapatkan dari hasil pengamatan ini adalah
jumlah anak kuda jantan 529 ekor, anak kuda betina 755 ekor, kuda jantan dewasa
944 ekor dan kuda betina dewasa 1685 ekor dengan rataan pemilikan per
responden adalah untuk anak kuda jantan 5,5 ekor, anak kuda betina 7,8 ekor,
kuda jantan dewasa 9,8 ekor, dan kuda betina dewasa 17,6 ekor. Sebagian besar
responden 57 orang (59,38%) memelihara ternak kuda betina dewasa. Data
selengkapnya disajikan pada Tabel 6.7.
Tabel 6.7 Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Kepemilikan Ternak Kuda
Kepemilikan Ternak Kuda (ekor)
Peternak (orang) Peternak (orang) A*Jantan A*Betina Jantan D* Betina D*
0 17 (17,7%) 16 (16,7%) 0 0 1-10 59 (61,5%) 44 (45,8%) 51 (53%) 19 (19,79%)
10-20 20 (20,8%) 35 (36,5%) 42 (44%) 57 (59,38%) >20 0 1 (1%) 3 (3%) 20 (20,83%)
Jumlah 96 96 96 96 Keterangan: *A : Anak *D : Dewasa
Dari Tabel 6.7 terlihat, tidak semua responden memiliki anak kuda jantan
dan anak kuda betina. Dari 96 responden hanya 79 orang peternak yang
memelihara anak kuda jantan dan 80 orang peternak yang memilihara anak kuda
114
betina. Jadi ada 17 orang peternak yang tidak memiliki anak kuda jantan dan 16
orang peternak yang tidak memiliki anak kuda betina.
6.2 Perilaku Responden Perilaku responden terdiri atas pengetahuan, keterampilan, dan sikap
responden. Data selengkapnya dapat diuraikan sebagai berikut.
6.2.1 Pengetahuan responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra
Rataan tingkat pengetahuan responden mengenai teknologi pengendalian
penyakit surra termasuk dalam kategori sedang, dengan rataan pencapaian skor
adalah 49,75 (62,19%) (dapat dlihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden
yaitu sebanyak 66 orang (68,75%) memiliki pengetahuan sedang dan yang
memiliki pengetahuan sangat tinggi tidak ada, tetapi yang memiliki pengetahuan
dengan kategori tinggi ada 28 orang (29,17%). Data selengkapnya disajikan pada
Tabel 6.8.
Tabel 6.8 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat tinggi 0 0 2 Tinggi 28 29,17 3 Sedang 66 68,75 4 Rendah 2 2,08 5 Sangat Rendah 0 0
Jumlah 96 100
Pengetahuan responden yang sedang dilatarbelakangi oleh beberapa faktor
yaitu tingkat pendidikan peternak yang rendah, kondisi karakteristik peternak
yang sebagian besar adalah petani, serta sedikitnya informasi yang diperoleh oleh
115
peternak, karena akses terhadap sarana dan prasarana dalam memperoleh
informasi sangat sulit. Hal ini, diakibatkan oleh kodisi topografi sehingga
menyulitkan pelayanan dan penyuluhan dari pemerintah.
6.2.2 Keterampilan responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra
Rataan tingkat keterampilan peternak mengenai teknologi pengendalian
penyakit surra termasuk dalam ketegori sedang, dengan rataan pencapaian skor
35,81 (65,11%) dari skor maksimal ideal 55 (dapat dilihat pada lampiran 3).
Tingkat keterampilan sebagian besar responden yaitu sebanyak 50 orang
(52,08%) memiliki keterampilan sedang dan yang memiliki keterampilan sangat
tinggi hanya 1 orang (1,04%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.9.
Tabel 6.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Keterampilan Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Keterampilan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat tinggi 1 1,04 2 Tinggi 30 31,25 3 Sedang 50 52,08 4 Rendah 15 15,63 5 Sangat Rendah 0 0
Jumlah 96 100 Keterampilan Responden yang sedang, selain disebabkan oleh faktor
pengetahuan dan pendidikan, juga karena kurang aktifnya peternak dalam
mengikuti kegiatan penyuluhan serta belum adanya kegiatan pelatihan-pelatihan
seperti demonstrasi cara misalnya cara vaksinasi, cara menangani kuda yang sakit,
penanganan kuda yang mati, pemberian pakan yang sehat, kandang yang sehat
serta karantina hewan sakit.
116
6.2.3 Sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra
Rataan sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra
termasuk dalam kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%)
dari skor maksimal ideal 80 (dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar
responden yaitu sebanyak 65 orang (67,71%) memiliki sikap positif terhadap
teknologi pengendalian penyakit surra. Data selengkapnya disajikan pada Tabel
6.10.
Tabel 6.10 Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Sikap Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Sangat Positif 3 3,12 2 Positif 65 67,71 3 Ragu-ragu 28 29,17 4 Negatif 0 0 5 Sangat Negatif 0 0
Jumlah 96 100
Sikap responden yang positif disebabkan karena peternak menyadari akan
bahaya dan risiko dari penyakit surra yang memiliki tingkat kematian 100%.
Dengan adanya penyakit surra peternak merasa terganggu baik dari segi ekonomi
maupun sosial, yang tadinya bisa menunjukkan sikap solidaritas sosial dalam adat
istiadat dengan adanya kasus penyakit surra mengakibatkan peternak tidak bisa
lagi menyumbangkan ternak kuda sebagai bentuk solidaritas dalam keluarga dan
dalam kehidupan bermasyarakat.
117
6.3 Tingkat Adopsi Responden Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra di Kabupaten Sumba Timur, NTT.
Rataan adopsi responden mengenai teknologi pengendalian penyakit surra
termasuk dalam kategori sedang, dengan rataan pencapaian skor 48,96 (65,29 %)
dari skor maksimal ideal 75 (dapat dilihat pada lempiran 3). Sebagian besar
responden sebanyak 63 orang (65,62%) memiliki tingkat adopsi sedang dan
responden yang memiliki tingkat adopsi sangat buruk 2 orang (2,04%) mengenai
teknologi pengendalian penyakit surra . Data selengkapnya disajikan pada Tabel
6.11.
Tabel 6.11 Distribusi responden Berdasarkan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Adopsi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat Baik 3 3,13 2 Baik 26 27,08 3 Sedang 63 65,63 4 Buruk 2 2,08 5 Sangat Buruk 2 2,08
Jumlah 96 100 6.4 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Peyuluhan, Pengaturan dan
Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur, NTT. 6.4.1 Kegiatan Penyuluhan Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra.
Kegiatan penyuluhan dalam pengendalian penyakit surra termasuk dalam
kategori baik, dengan pencapaian skor 76,96 (81,01%) dari skor maksimal ideal
95 (Dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu sebanyak 63
orang (65,63 %) memiliki persepsi mengenai kegiatan penyuluhan baik, dan 31
118
orang (32,29%) memiliki persepsi sangat baik. Data selengkapnya disajikan pada
Tabel 6.12.
Persepsi responden mengenai kegiatan penyuluhan termasuk sebagian besar
berkategori baik dan sangat baik, karena munculnya kesadaran peternak mengenai
berbahayanya penyakit surra yang berpotensi memusnahkan ternak kuda, apabila
tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan penurunan populasi ternak kuda
di Kabupaten Sumba Timur.
Tabel 6.12 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Penyuluhan Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra
No Kategori Penyuluhan Jumlah Persentase (%) 1 Sangat Baik 31 32,29 2 Baik 63 65,63 3 Sedang 2 2,08 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 96 100 6.4.2 Kegiatan Pelayanan dalam Penyuluhan Penyakit Surra
Kegiatan pelayanan dalam kegiatan pengendalian penyakit surra termasuk
dalam kategori baik, dengan pencapaian skor 47,95 (79,91%) dari skor maksimal
ideal 60 (dapat dilihat pada lampiran 3). Sebagian besar responden yaitu
sebanyak 71 orang (73,95%) memiliki persepsi mengenai kegiatan pelayanan
baik, dan 23 orang (23,95%) memiliki persepsi mengenai kegiatan pelayanan
sangat baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.13.
119
Tabel 6.13 Persepsi Responden Mengenai Kegiatan Pelayanan dalam Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Pelayanan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat Baik 23 23,95 2 Baik 71 73,95 3 Sedang 2 2,08 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 96 100
Kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sumba
Timur dalam rangka pengendalian penyakit surra termasuk kategori baik, karena
pemerintah sudah berupaya memberikan bantuan pelayanan berupa obat-obatan,
vaksinasi dan pelayanan lainnya dalam rangka pengendalian penyakit surra.
6.4.3 Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra.
Pengaturan atau kebijakan pemerintah dalam kegiatan pengendalian
penyakit surra termasuk dalam kategori baik, dengan rataan pencapaian skor
33,33 (83,33%) dari skor maksimal ideal 40 (dapat dilihat pada lampiran 3).
Sebagian besar responden yaitu sebanyak 43 orang (44,79 %) memiliki
persepsi mengenai pengaturan sangat baik, dan 36 orang (37,5 %) memiliki
persepsi mengenai pengaturan baik. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.14.
Tabel 6.14 Persepsi Responden Mengenai Pengaturan dalam Penyuluhan Penyakit Surra.
No Kategori Pengaturan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat Baik 43 44,79 2 Baik 36 37,50 3 Sedang 17 17,71 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 96 100
120
Dari tabel 6.14 terlihat bahwa, pengaturan yang berupa kebijakan
pemerintah termasuk dalam kategori sangat baik, karena pemerintah sudah
berupaya mengeluarkan peraturan-peraturan dalam rangka pencegahan
penyebaran penyakit surra, seperti keluarnya ternak baik antarkecamatan,
kabupaten, dan antarpulau harus memiliki surat ijin dan surat keterangan sehat.
Sehingga, penyakit surra tidak menyebar dan angka kematian ternak kuda dapat
ditekan.
6.5 Persepsi Penyuluh, dan Pemerintah Mengenai Kegiatan Penyuluhan, Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
6.5.1 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten
Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
Rataaan persepsi penyuluh mengenai kegiatan penyuluhan dalam
pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori baik dengan pencapaian
skor 488,18 (81,36%) dari skor maksimal ideal 110. Sebagian besar penyuluh
yaitu sebanyak 5 orang (18,3 %) memiliki persepsi termasuk dalam kategori baik.
Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.15.
Tabel 6.15 Persepsi Penyuluh Mengenai Kegiatan Penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Penyuluhan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat Baik 1 16,7 2 Baik 5 18,3 3 Sedang-sedang 0 0 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 6 100
121
6.5.2 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan, dan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
Rataan persepsi pemerintah mengenai kegiatan pelayanan di Kabupaten
Sumba Timur termasuk dalam kategori sangat baik dengan pencapaian skor 850
(85%) dari skor maksimal ideal 60. Sebanyak 5 orang (50%) pemerintah termasuk
dalam kategori sangat baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.16.
Tabel 6.16 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pelayanan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Pelayanan Jumlah (orang) Persentase (%)
1 Sangat Baik 5 50% 2 Baik 5 50% 3 Sedang-sedang 0 0 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 10 100 Persepsi pemerintah mengenai kegiatan pengaturan dalam pengendalian
penyakit surra sebanyak 6 orang (60%) termasuk dalam kategori sangat baik. Dan
sebanyak 4 orang (40%) termasuk dalam kategori baik. Data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 6.17.
Tabel 6.17 Persepsi Pemerintah Mengenai Kegiatan Pengaturan di Kabupaten Sumba Timur dalam Pengendalian Penyakit Surra.
No Kategori Pelayanan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Sangat Baik 6 60% 2 Baik 4 40% 3 Sedang-sedang 0 0 4 Buruk 0 0 5 Sangat Buruk 0 0
Jumlah 10 100
122
6.6 Tingkat Perilaku (pengetahuan, keterampilan, sikap) dan Adopsi Responden tentang Teknologi Pengendalian Penyakit Surra yang di Bedakan atas Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
6.6.1 Pengetahuan responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra
berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh.
Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 16
orang (80%) memiliki pengetahuan termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan
pengetahuan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh
yaitu sebanyak 19 orang (70,37%) dan 43 orang (88%) memiliki pengetahuan
termasuk dalam kategori sedang. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.18.
Tabel 6.18. Kategori Pengetahuan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh
6.6.2 Keterampilan responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh.
Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 11
orang (55%) memiliki keterampilan termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan
keterampilan responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh
yaitu sebanyak 21 orang (77,78%) dan 21 orang (43%) memiliki keterampilan
termasuk dalam kategori sedang. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.19.
Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh Kategori
Pengetahuan Dekat Agak Dekat Jauh
Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Sangat tinggi 0 0 0 0 0 0 Tinggi 16 80 7 25,93 5 10 Sedang 4 20 19 70,37 43 88 Rendah 0 0 1 3,70 1 2 Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Jumlah 20 100 27 100 49 100
123
Tabel 6.19. Kategori Keterampilan Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
6.6.3 Sikap responden terhadap teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh.
Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 15
orang (75%), yang agak dekat sebanyak 17 orang (63%), dan yang jauh sebanyak
33 orang (67%) memiliki sikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit
Surra. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.20.
Tabel 6.20. Kategori Sikap Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun Kategori
Keterampilan Dekat Agak Dekat Jauh
Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Sangat tinggi 0 0 0 0 1 2 Tinggi 11 55 3 11,11 16 33 Sedang 8 40 21 77,78 21 43 Rendah 1 5 3 11.11 11 22 Sangat Rendah 0 0 0 0 0 0
Jumlah 20 100 27 100 49 100
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun
Kategori Sikap Dekat Agak Dekat Jauh
Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Sangat positif 0 0 3 11 0 0 Positif 15 75 17 63 33 67 Ragu-ragu 5 25 7 26 16 33 Negatif 0 0 0 0 0 0 Sangat Negatif 0 0 0 0 0 0
Jumlah 20 100 27 100 49 100
124
6.6.4 Tingkat adopsi responden tentang teknologi pengendalian penyakit surra berdasarkan tempat tinggal dari penyuluh.
Responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh yaitu sebanyak 8
orang (40%), yang agak dekat sebanyak 23 orang (85%), dan yang jauh sebanyak
32 orang (65%) memiliki tingkat adopsi dalam kategori sedang mengenai
teknologi pengendalian penyakit surra. Namun, lebih banyak responden (40%)
yang bertempat tinggal dekat dari penyuluh memiliki tingkat adopsinya tinggi
dibanding dengan yang agak dekat (15%) dan jauh (29%). Data selengkapnya
disajikan pada Tabel 6.21.
Tabel 6.21. Kategori Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
6.7 Hasil Uji Mann-Whitney Perbedaan Signifikansi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh
Tabel 6.22 Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat
Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
Keterangan : n: nyata tn: tidak nyata Z tabel P (0,01) = 2,58 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,65
Jarak Tempat Tinggal dari Penyulun
Kategori Adopsi Dekat Agak Dekat Jauh
Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Jumlah (orang) % Sangat tinggi 2 10 0 0 1 2 Tinggi 8 40 4 15 14 29 Sedang 8 40 23 85 32 65 Rendah 1 5 0 0 2 4 Sangat Rendah 1 5 0 0 0 0
Jumlah 20 100 27 100 49 100
Nilai Z- Mann-Whitney Jarak Pengetahuan Keterampilan Sikap Adopsi
Dekat - Agak dekat -4.333n -3.153n -0.691tn -1,445tn Dekat –Jauh -5.655n -1.468tn -2.805n -0.318tn Agak dekat - Jauh -3.099n -2.736n -2.199n -3.199 n
125
Berdasarkan Tabel 6.19 dan 6.20, jelas ditunjukkan bahwa ada perbedaan
pengetahuan (P<0,05) antara responden yang dekat, agak dekat, dan jauh dari
tempat tinggal penyuluh. Rataan persentase skor pengetahuan responden yang
dekat secara nyata lebih tinggi (72,31%) bila dibandingkan dengan pengetahuan
responden yang agak dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh.
Tingkat keterampilan responden yang dekat dengan yang agak dekat dari
tempat tinggal penyuluh memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05), sedangkan
dengan yang jauh berbeda tidak nyata (P>0,05).
Tingkat keterampilan yang agak dekat dengan yang jauh dari tempat tinggal
penyuluh memiliki perbedaan yang nyata (P<0,05). Rataan persentase skor
keterampilan responden yang dekat lebih tinggi (68%) dibandingkan dengan agak
dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh.
Sikap responden yang tinggal dekat dengan yang agak dekat dari tempat
tinggal penyuluh berbeda tidak nyata (P>0,05), sedangkan, dengan jauh berbeda
nyata (P<0,05).
Sikap responden yang agak dekat dengan yang jauh dari tempat tinggal
penyuluh berbeda nyata (P<0,05). Rataan persentase skor sikap yang dekat dari
tempat tinggal penyuluh lebih tinggi (75,25%) bila dibandingkan dengan yang
agak dekat (73,61%) dan jauh (70,54%) dari tempat tinggal penyuluh.
Tingkat adopsi responden yang dekat dari tempat tinggal penyuluh berbeda
tidak nyata (P>0,05) dengan responden yang agak dekat maupun yang jauh dari
tempat tinggal penyuluh. Sedangkan, tingkat adopsi responden yang tinggal agak
dekat berbeda nyata (P<0,05) dengan responden yang jauh dari tempat tinggal
126
penyuluh. Rataan persentase skor tingkat adopsi yang tinggal dekat dari tempat
tinggal penyuluh lebih tinggi (67,07%) dibandingkan dengan yang agak dekat dan
jauh. Untuk data selengkapnya disajikan pada Tabel 6.23.
Tabel 6.23. Distribusi Pengetahuan, Keterampilan, Sikap, dan Tingkat Adopsi Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dari Penyuluh.
Kategori
Dekat Total
Skor % Rataan %
skor Kategori Skor
1 2 3 4 5 Pengetahuan 2(0,63) 46 (14,38) 99 (30,94) 98 (30,63) 75 (23,44) 320 (100) 72,31 Tinggi Keterampilan 2 (0,91) 39 (17,73) 82 (37,27) 60 (27,27) 37 (16,82) 220 (100) 68 Sedang Sikap 19 (5,94) 46 (14,38) 38 (11,88) 106 (33,13) 111 (34,69) 320 (100) 75,25 Positif Adopsi 5 (1,67) 86 (28,67) 77 (25,67) 62 (20,67) 70 (23,33) 300 (100) 67,07 Sedang
Kategori
Agak Dekat Total Skor %
Rataan % skor Kategori Skor
1 2 3 4 5 Pengetahuan 0 142 (32,87) 157 (36,34) 92 (21,30) 41 (9,49) 432 (100) 61,48 Sedang Keterampilan 8 (2,69) 84 (28,28) 118 (39,73) 57 (19,19) 30 (10,10) 297 (100) 61,14 Sedang Sikap 6 (1,39) 80 (18.52) 55 (12,73) 190 (43,98) 101 (23,38) 432 (100) 73,61 Positif Adopsi 0 122 (30,12) 167 (41,23) 67 (16,54) 49 (12,09) 405 (100) 62,12 Sedang
Kategori Jauh
Total Skor %
Rataan % skor Kategori Skor
1 2 3 4 5 Pengetahuan 10 (1,28) 276 (35,20) 338 (43,11) 110 (14,03) 50 (6,38) 784 (100) 57,81 Sedang Keterampilan 20 (3,71) 89 (16,51) 207 (38,40) 155 (28,76) 68 (12,62) 539 (100) 66,01 Sedang Sikap 6 (0,77) 158 (20,15) 177 (22,58) 303 (38,64) 140 (17,86) 784 (100) 70,54 Positif Adopsi 9 (1,22) 158 (21,49) 267 (36,32) 190 (25,85) 111 (15,10) 735 (100) 66,42 Sedang
127
6.8 Analisis Jalur Hubungan Kegiatan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak, serta Hubungan Perilaku Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Pnyakit Surra.
6.8. 1 Model struktural menggunakan analisis jalur (path analysis)
Gambar 6.1 Model Struktural menggunakan analisis jalur Sumber: Hasil Pengolahan Data
Dari model struktural di atas terlihat bahwa penyuluhan berhubungan positif
sangat nyata (P<0,01) dengan pengetahuan, dengan nilai koefisien determinasi
0,471. Namun, hubungan penyuluhan dengan keterampilan dan sikap
berhubungan tidak nyata (P>0,05). Model pengaruh penyuluhan terhadap
pengetahuan memberikan nilai R2 sebesar 0,222, sedangkan model hubungan
penyuluhan terhadap keterampilan dan sikap memberikan nilai R2 sebesar 0,198
dan 0,348.
Pengetahuan memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan
keterampilan peternak dengan nilai koefisien determinasi 0,462. Model hubungan
pengetahuan dan keterampilan memberikan R2 sebesar 0,198.
Pengaturan
Penyuluhan
Pelayanan
Keterampilan
Pengetahuan
128
Pengetahuan memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan sikap
peternak, dengan nilai koefisien determinasi 0,542. Model hubungan pengetahuan
dan sikap memberikan R2 sebesar 0,348.
Keterampilan tidak memiliki hubungan yang nyata (P>0,05) dengan sikap
peternak, dengan nilai koefisien determinasi -0,172. Model hubungan
keterampilan dan sikap memberikan R2 sebesar 0,348.
Berdasarkan model struktural diatas jelas bahwa pengetahuan berhubungan
tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra dengan
koefisien determinasi sebesar -0,09. Model hubungan pengetahuan dengan tingkat
adopsi peternak memberikan R2 sebesar 0.056.
Keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, dengan koefisien determinasi 0,1. Sementara itu
sikap peternak berhubungan nyata (P<0,10) dengan tingkat adopsi pengendalian
penyakit surra, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,253. Untuk data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.24 dan 6.25.
6.8.2 Hasil uji analisis jalur (path analisys). Hubungan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak, dengan tingkat adopsi tekonologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur.
Tabel 6.24 Struktural Model – Jackknife Hubungan Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan
Sikap) Peternak dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
Path (Jalur)
Entire sample
estimate Mean of
subsamples Jackknife estimate
Standar eror t-statistik
Standar eror (adjusted)
t-statistik (adjusted)
Pengetahuan – adopsi -0,09 -0,0898 -0,1058 0,1363 -0,7764 0,1928 -0,549tn
Keterampilan-adopsi 0,1 0,0995 0,1435 0,1336 1,0745 0,1889 0,7598tn
Sikap-adopsi 0,253 0,2532 0,2302 0,0964 2,3877 0,1364 1,6883n
Keterangan : n: nyata tn: tidak nyata t tabel P (0,01) = 2,57 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,64
129
Berdasarkan Tabel 6.21 diatas menunjukkan bahwa, pengetahuan peternak
berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan tingkat adopsi teknologi pengendalian
penyakit surra, dengan nilai t-statistik (-0,7764).
Keterampilan berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, dengan nilai t-statistik (1,0745), sementara itu sikap
peternak berhubungan nyata (P<0,10) dengan tingkat adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, dengan nilai t-statistik (2,3877).
6.8.3 Hasil uji analisis jalur (path analisys). Hubungan antara penyuluhan tentang pengendalian penyakit surra dan perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak.
Kegiatan penyuluhan berhubungan sangat nyata (P<0,01) dengan
pengetahuan peternak, dengan nilai t-statitik (5,2488). Sedangkan, hubungan
antara penyuluhan dengan keterampilan dan sikap memiliki hubungan tidak nyata
(P>0,05) dengan nilai t-statistik (-0,592 dan 1,62). Data selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel 6.25.
Tabel 6.25 Struktural model – Jackknife Hubungan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak.
Hubungan Variabel
Entire sample
estimate Mean of
subsamples Jackknife estimate
Standar eror
t-statistik
Standar eror
(adjusted) t-statistik (adjusted)
Peyuluhan-pengetahuan 0.471 0.4712 0.4492 0.0856 5.2488 0.121 3.7115sn
Penyuluhan-keterampilan -0.042 -0.0419 -0.0549 0.0927 -0.592 0.1311 -0.4183tn
Penyuluhan-sikap 0.172 0.1724 0.1314 0.0811 1.62 0.1147 1.1455tn
Keterangan : sn: sangat nyata n: nyata tn: tidak nyata t tabel P (0,01) = 2,57 P ( 0,05) = 1,96 ; P (0,10) = 1,64
130
BAB VII
PEMBAHASAN
7.1 Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak Mengenai Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
Dari hasil analisis, didapatkan bahwa rataan pencapaian persentase skor
pengetahuan 49,75 (62,19%) dan keterampilan 35,81 (65,11%) (masing-masing
termasuk dalam kategori sedang) dari skor maksimal ideal 80 dan 55. Selain itu,
sikap peternak terhadap teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam
kategori positif dengan rataan pencapaian skor 57,98 (72,49%) dari skor
maksimal ideal 80
Pengetahuan dan keterampilan peternak yang termasuk kategori sedang
tentang teknologi pengendalian penyakit surra disebabkan oleh beberapa faktor
seperti misalnya latar belakang pendidikan peternak yang rendah. Sebagian besar
(37,5%) peternak tidak tamat Sekolah Dasar (SD). Latar belakang pendidikan
akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan, keterampilan, dan sikap peternak.
Hal ini, sesuai dengan pendapat Mosher (1987) yang menyatakan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan formal yang dialami oleh seseorang, maka tingkat
pengetahuan dan keterampilan makin tinggi, serta sikapnya lebih terbuka terhadap
teknologi baru.
Selain faktor pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan peternak yang
sedang juga disebabkan karena kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur
masih belum berjalan dengan baik. Hal ini, disebabkan karena kurangnya sarana
dan prasarana penyuluh dalam melakukan kegiatan penyuluhan, seperti belum
131
adanya alat-alat peraga/media yang mendukung kegiatan penyuluhan, serta belum
memadainya kegiatan pelatihan baik dari penyuluh maupun pemerintah, seperti
demonstrasi cara, misalnya cara vaksinasi, cara menangani ternak kuda yang sakit,
penanganan hewan yang mati, pemberian pakan yang sehat, kandang yang sehat,
serta cara karantina hewan sakit.
Kegiatan penyuluhan (pelatihan) belum berjalan dengan baik disebabkan
juga karena peternak sangat sulit untuk dikumpulkan, yang diakibatkan oleh
kondisi pemukiman penduduk yang masih berjauhan antara peternak yang satu
dengan yang lainnya. Akibatnya, penyuluh sulit untuk mengatur waktu yang tepat
untuk mengadakan kegiatan penyuluhan dan pelatihan-pelatihan secara langsung.
Selain itu, rendahnya informasi yang diperoleh oleh peternak karena akses
terhadap sarana dan prasarana dalam memperoleh informasi sangat sulit, yang
diakibatkan oleh kondisi topografi sehingga menyulitkan pelayanan seperti
penyuluhan dari pemerintah.
Faktor kesadaran pribadi peternak yang masih kurang untuk berusaha
memperoleh pengetahuan juga mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan
peternak yang sedang. Hal ini, terlihat jika ada penyuluhan peternak jarang
mengikuti kegiatan penyuluhan. Mahfudz (2012) menyatakan bahwa kesadaran
dalam mempengaruhi pengetahuan sangat penting mengingat seseorang bila tidak
menyadari untuk memiliki keinginan tumbuh dan maju, orang tersebut akan
mengalami keterlambatan dalam hal pengetahuan baik secara wawasan,
pemikiran, dan kemajuan dalam bidang lainya.
132
Meskipun memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang tergolong
sedang tentang teknologi pengendalian penyakit surra, peternak kuda di Kabupten
Sumba Timur tetap memiliki sikap positif terhadap teknologi pengendalian
penyakit surra. Hal ini, disebabkan karena peternak menyadari akan bahaya dan
risiko dari penyakit surra yang memiliki tingkat kematian 100%.
Sikap peternak yang positif disebabkan juga karena sumberdaya yang
mereka miliki khususnya sumberdaya lahan yang luas, dengan rataan pemilikan
untuk sawah 1,662 ha per responden dan tegalan dengan rataan pemilikan 1,553
ha per responden.
Hal ini, sesuai dengan pendapat Wiriaatmadja (1990) yang menyatakan
bahwa petani yang memiliki tanah yang luas memiliki sifat dan kegemaran untuk
mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang
diperlukan. Karena itu, mereka berusaha mengubah sikapnya untuk adopsi inovasi
karena dengan adanya penyakit surra, peternak merasa terganggu baik dari segi
ekonomi maupun sosial. Adanya penyakit surra mengakibatkan peternak tidak
bisa lagi menyumbangkan ternak kuda sebagai bentuk solidaritas dalam keluarga
dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Notoatmodjo ( 2003) menyatakan bahwa sikap seseorang akan dipengaruhi
oleh beberapa faktor, seperti faktor keluarga, adat istiadat yang berlaku, dan
informasi dari media massa yang diterima olehnya. Adanya sikap yang positif dari
peternak merupakan suatu modal dari penyuluh untuk meningkatkan motivasi
peternak dalam pengendalian penyakit surra.
133
Dari hasil analisis statistik, didapatkan bahwa pengetahuan peternak
memiliki hubungan yang sangat nyata (P<0,01) dengan keterampilan. Hal ini
sesuai dengan pendapat Wolf (1983) yang menyatakan pengetahuan yang tidak
terbatas menyebabkan keterampilan akan muncul. Petani peternak akan dapat
mengerjakan sesuatu dengan terampil bila mereka telah tahu dan meyakini suatu
obyek. Pengetahuan peternak yang didukung oleh keterampilan yang baik akan
mampu meningkatkan kemauan dan kemampuan dalam menerapkan teknologi
yang baru yang lebih menguntungkan, sehingga akan mengerjakannya dengan
baik dan sungguh-sungguh (Azwar, 2003).
Pengetahuan peternak memiliki hubungan yang nyata (P<0,01) dengan
sikap peternak. Hal ini berarti bahwa, pengetahuan petani peternak berperan
dalam meningkatkan sikap terhadap pengendalian penyakit surra. Mar’at (1984)
menyatakan bahwa pengetahuan memiliki peranan dalam memunculkan sikap dan
persepsi seseorang terhadap suatu objek tertentu yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuannya.
Keterampilan peternak memiliki hubungan tidak nyata (P>0,05) dengan
sikap peternak. Hal ini berarti bahwa peternak yang memiliki keterampilan tinggi
maupun rendah sama-sama berpeluang untuk bersikap positif maupun negatif.
Meskipun peternak memiliki keterampilan yang sedang, tetapi mereka tetap
bersikap positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra, yaitu dengan
melakukan perkandangan terhadap kuda-kuda yang diumbar, meskipun masih ada
peternak lain yang masih melepaskan ternak kudanya di padang penggembalaan.
134
Sikap positif peternak akan menunjang peningkatan penerapan teknologi
pengendalian penyakit surra, dalam menekan kematian ternak kuda demi
mempertahankan populasi ternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama ditolak.
Pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dihasilkan dari penelitian ini lebih
bagus dari hipotesis yang ditetapkan. Hal ini disebabkan karena adanya
penyuluhan mengenai teknologi pengendalian penyakit surra oleh penyuluh
maupun pemerintah, yang didukung oleh pengaturan dan pelayanan. Karena itu,
adanya penyuluhan akan mampu mengubah pengetahuan, keterampilan, dan
sikap peternak. Meskipun memiliki latar pendidikan yang rendah tetapi adanya
upaya yang serius dari penyuluh maupun pemerintah mampu membuat peternak
mengadopsi meskipun masih tergolong sedang.
7.2 Tingkat Adopsi Peternak Tentang Teknologi Pengendalian Penyakit
Surra.
Jika dilihat dari tingkat adopsi, rataan pencapaian skor tingkat adopsi
peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra adalah 65,29 % termasuk
dalam kategori sedang, berarti hipotesis 2 penelitian ini diterima. Keadaan ini
dapat dimengerti, karena kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur masih
belum berjalan dengan baik. Hal ini, dapat terlihat dari tingkat pengetahuan dan
keterampilan peternak yang masih tergolong sedang.
Supriyatno (1978) menyatakan bahwa pengetahuan seseorang tentang suatu
inovasi serta sikapnya terhadap inovasi menentukan kesiapan seseorang untuk
melaksanakan inovasi. Dengan demikian, pengetahuan maupun keterampilan
135
petani sangat menunjang kelancaran petani dalam mengadopsi suatu inovasi
maupun kelanggengan usaha taninya.
Tingkat adopsi peternak yang sedang, juga dipengaruhi oleh persepsi
peternak tentang ciri-ciri inovasi dan perubahan yang dikehendaki oleh inovasi di
dalam pengelolaan pertanian. Inovasi lambat diadopsi oleh peternak karena
peternak menganggap inovasi atau pesan yang disampaikan oleh penyuluh masih
rumit untuk dilakukan, seperti melakukan perkandangan pada kuda yang diumbar.
Hal ini, dilatar belakangi oleh faktor sosial budaya, ternak-ternak kuda dilepaskan
bebas di padang penggembalaan tanpa adanya manajemen pemeliharaan yang
baik.
Kemudahan dalam berinteraksi secara cepat dengan penyuluh yang masih
rendah juga turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak. Hal ini, karena adanya
faktor jarak yang jauh antara tempat tinggal penyuluh dan peternak. Sebagian
besar penyuluh bertempat tinggal di pusat kota Waingapu. Akibatnya, intensitas
komunikasi antara penyuluh dan peternak masih sulit karena sebagian besar
peternak tidak memiliki alat komunikasi seperti handphone yang mempermudah
dalam pelaporan ternak sakit. Selain itu, intensitas kegiatan penyuluhan dilakukan
2-3 kali dalam sebulan hal ini juga mempengaruhi peternak dalam mengadopsi
inovasi teknologi pengendalian penyakit surra. Menurut Mardikanto (2003)
keberhasilan penyuluhan bukan diukur dari seberapa banyak terjadi “alih
teknologi”, melainkan seberapa jauh terjadi proses belajar bersama melalui dialog
atau tukar pengalaman antara penyuluh dan yang disuluh.
136
Jumlah tanggungan keluarga yang tergolong besar (5-10) orang (53,12%)
dengan status sosial yang rendah turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak
dalam inovasi teknologi pengendalian penyakit surra, dimana sebagian besar
responden (62,5%) bermata pencaharian sebagai petani dan (37,5%) sebagai
peternak.
Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah
anggota keluarga merupakan beban di satu sisi, akan tetapi dari sisi lain
merupakan sumber tenaga kerja keluarga. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa jumlah
tanggungan keluarga turut mempengaruhi keluarga untuk mengadopsi inovasi.
Petani yang memiliki jumlah tanggungan keluarga yang banyak akan menyulitkan
mereka dalam menerapkan teknologi baru, karena biaya untuk mencukupi
kebutuhan keluarga sangat tinggi. Akibatnya, mereka sulit menerima risiko yang
besar jika nantinya inovasi tersebut tidak berhasil.
Ketersediaan sarana produksi yang masih kurang dalam pengendalian
penyakit surra turut mempengaruhi tingkat adopsi peternak, dimana kegiatan
pelayanan masih sulit dilakukan pemerintah dalam hal vaksinasi dan pengobatan
ternak sakit, yang diakibatkan karena pemukiman atau tempat tinggal peternak
berjauhan antara peternak yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dengan kondisi seperti ini perlu adanya perubahan
program kegiatan penyuluhan dan pelayanan dalam hal ini, kegiatan vaksinasi dan
pengobatan ternak perlu mendapat perhatian secara khusus oleh pemerintah
sehingga angka kematian ternak dapat berkurang.
137
7.3 Hubungan Penyuluhan dengan Perubahan Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) Peternak.
Dari hasil analisis statistika, kegiatan penyuluhan tentang teknologi
pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur memiliki hubungan yang
positif nyata (P<0,01) dengan pengetahuan peternak. Hal ini berarti hipotesis
diterima. Bagi peternak penyakit surra merupakan penyakit yang sangat
mengancam populasi ternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur. Dengan
adanya penyakit surra, maka peternak menganggap pentingnya pembinaan
melalui penyuluhan yang dilaksanakan oleh Dinas Peternakan Kabupaten Sumba
Timur.
Kartasapoetra (1994) menyatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu
usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya agar mereka
mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalah sendiri
dalam usaha atau kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan hasil usahanya dan
tingkat kehidupannya.
Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di
Kabupaten Sumba Timur berhubungan tidak nyata (P>0,05), dengan tingkat
keterampilan peternak, berarti hipotesis penelitian ini ditolak. Hal ini berarti,
kegiatan penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur belum mampu meningkatkan
keterampilan peternak, karena kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh
hanya berupa penyampaian informasi akan bahayanya penyakit surra, tanpa
disertai dengan pelatihan yang belum memadai, seperti melakukan vaksinasi
dengan sendiri dan manajemen pemeliharaan yang baik. Kegiatan vaksinasi
138
dilakukan sendiri oleh penyuluh, sehingga jika ada ternak yang sakit peternak-
peternak kuda ini menunggu penyuluh yang melakukan vaksinasi.
Pemahaman peternak yang kurang mengenai penyakit surra jika ada ternak
kuda yang mati dibiarkan begitu saja di padang penggembalaan, tanpa mengubur
atau membakar ternak kuda tersebut. Hal ini disebabkan, karena sebagian besar
ternak kuda dibiarkan bebas dipadang penggembalaan atau di hutan, sehingga jika
ada ternak kuda yang mati, peternak tidak mengetahui dan berpeluang dimakan
oleh binatang liar.
Jika hal ini dibiarkan secara terus menerus, maka akan mengakibatkan
penyakit surra terus menyebar dari ternak yang satu ke ternak yang lain. Tjito
Pranoto (2003) dan Subejo (2009) menyatakan bahwa penyuluh
pertanian/peternakan dituntut tidak hanya sekedar sebagai penyampai
(desiminator) teknologi dan informasi tetapi, lebih ke arah sebagai motivator,
dinamisator, pendidik, fasilitator, dan konsultan bagi petani.
Kegiatan penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra di
Kabupaten Sumba Timur berhubungan tidak nyata (P>0,05) dengan sikap
peternak, berarti hipotesis penelitian ini ditolak. Hal ini, disebabkan karena ada
dan tidak adanya penyuluhan sikap peternak terhadap pengendalian penyakit surra
tetap positif, mengingat manfaat dari ternak kuda yang sering digunakan oleh
masyarakat sebagai simbol status sosial dalam adat-istidat masyarakat Sumba
Timur.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan penyuluhan tentang
teknologi pengendalian penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur nampaknya
139
baru bisa mengubah pengetahuan peternak saja tanpa menyentuh sikap maupun
keterampilan peternak. Hal ini disebabkan karna belum efektifnya kegiatan
penyuluhan di Kabupaten Sumba Timur.
Belum efektifnya kegiatan penyuluhan di kabupaten Sumba Timur,
disebabkan karena faktor jarak tempuh penyuluh dalam melakukan penyuluhan
yang turut mempengaruhi perubahan perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan
sikap) peternak. Hal ini, terbukti dapat dilihat dari hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa, pengetahuan responden yang tinggal dekat dengan penyuluh
lebih baik dibandingkan dengan pengetahuan responden yang agak dekat dan jauh
dari tempat tinggal penyuluh dengan rataan persentase skor (72,31%), sedangkan
yang agak dekat (61,48%) dan jauh (57,81%).
Hal ini, dapat dimengerti karena intensitas penyuluhan lebih sering terjadi
antara penyuluh dengan yang disuluh dibandingkan dengan responden yang agak
dekat dan jauh dari tempat tinggal penyuluh. Semakin sering peternak mengikuti
penyuluhan, maka pengetahuannya tentang teknologi pengendalian penyakit surra
semakin meningkat dan akhirnya dapat mempengaruhi peternak mengadopsi
teknologi pengendalian penyakit surra. Setyarini (2009) menyatakan bahwa
intensitas penyuluhan mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang.
Jika dilihat dari segi keterampilan, keterampilan peternak yang dekat dan
jauh dari tempat tinggal penyuluh lebih baik dibandingkan dengan responden
yang agak dekat dengan rataan persentase skor (68%) dan (66,01%), (lihat Tabel
6.19 dan 6.20). Hal ini, disebabkan karena kegiatan penyuluhan di tempat yang
dekat dan jauh lebih intensif dibandingkan dengan yang agak dekat.
140
Penyuluh jika melakukan penyuluhan di tempat yang jauh lebih sering
tinggal atau bermalam beberapa hari di kecamatan yang jauh tersebut, sehingga
pada malam hari terjadi komunikasi antara penyuluh dan peternak, baik dalam hal
tukar pikiran serta pengalaman dalam hal pengobatan-pengobatan ternak sakit.
Hal ini, akan berpengaruh terhadap tingkat adospsi teknologi dimana tingkat
adopsi peternak yang dekat maupun jauh lebih baik dibandingkan dengan
responden yang tinggal agak dekat dari penyuluh.
Sedangkan, untuk kecamatan yang agak dekat, penyuluh hanya melakukan
penyuluhan tanpa harus tinggal dan nginap di kecamatan yang tersebut, sehingga
intensitas komunikasi belum begitu berjalan dengan baik, begitupun dengan
pelatihan-pelatihan baik dalam pengobatan ternak sakit maupun dalam vaksinasi.
Namun, dari segi sikap peternak yang dekat dan agak dekat lebih positif
dibandingkan sikap peternak yang jauh. Hal ini karena kemudahan dalam
pelayanan oleh pemerintah serta masyarakat menyadari bahaya dari penyakit surra
dan kepatuhan dalam mengikuti aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
dibandingkan dengan peternak yang jauh.
Keterjangkauan pelayanan seperti obat-obatan yang masih sulit karena
faktor topografi yang sulit di jangkau akan mempengaruhi sikap dari peternak itu
sendiri, serta kasus pencurian yang masih sering terjadi, sehingga penyebaran
penyakit surra semakin menyebar dari ternak yang satu ke ternak yang lain yang
mengakibatkan kesulitan pemerintah dalam menanggulangi penyakit surra.
Beberapa peternak memberikan alasan bahwa, meskipun diobati jika ternak
kuda tersebut sudah terinfeksi surra maka cepat atau lambat ternak kuda tersebut
141
akan mati juga, hal inilah yang mengakibatkan menurunnya semangat peternak
dalam menanggulangi penyakit surra. Secara psikologi peternak merasa terbebani
baik aspek sosial maupun ekonomi, sehingga ternak kuda sebagai andalan
penopang tambahan kehidupan mereka tidak bisa lagi diandalkan karena adanya
penyakit surra.
Selain faktor jarak, belum efektifnya kegiatan penyuluhan disebabkan juga
karena fasilitas atau alat bantu dalam melakukan penyuluhan belum memadai,
seperti slide, film, gambar, radio, spanduk dan lain-lain. Penyuluh hanya
melakukan ceramah tanpa disertai dengan menggunakan alat bantu yang
menunjang kelancaran penyuluhan, berupa materi tertulis maupun gambar. Alat
bantu penyuluhan ini sangat penting dalam menunjang perubahan perilaku
peternak. Semakin banyak panca indera yang digunakan utnuk menerima sesuatu
maka semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang
diperoleh.
Dengan pengetahuan dan keterampilan yang tergolong sedang dan sikap
yang positif dari peternak membuktikan bahwa, adanya upaya yang serius dari
penyuluh dan dukungan pemerintah untuk menyuluhkan teknologi pengendalian
penyakit surra. Hal ini, terbukti dari adanya persepsi peternak, penyuluh, dan
pemerintah mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan termasuk
dalam kategori baik dan sangat baik.
Bantuan pelayanan dan pengaturan berupa obat-obatan, vaksinasi dan
kebijakan pemerintah, seperti masuk keluarnya ternak baik antar kecamatan,
kabupaten, dan antar pulau harus memiliki surat ijin dan surat keterangan sehat.
142
Sehingga, peternak yang memiliki latar belakang pendidikan rendah mampu
mengadopsi meskipun masih tergolong sedang. Hal ini, terbukti dapat dilihat dari
kegiatan penyuluhan, pelayanan, dan pengaturan sistem pengendalian penyakit
surra oleh penyuluh dan pemerintah Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur
termasuk kategori baik dan sangat baik.
Suparta et al. (2009) menyatakan bahwa penyuluhan, pelayanan, dan
pengaturan secara umum merupakan pilar utama pembangunan pertanian dan
peternakan, secara khusus menjadi penentu keberhasilan usahatani petani
peternak.
7.4 Hubungan Antara Perilaku (Pengetahuan, Keterampilan, dan Sikap) dan Tingkat Adopsi Teknologi Pengendalian Penyakit Surra.
Dari hasil analisa statistika didapatkan bahwa, pengetahuan peternak
berhubungan negatif dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit surra yang
berarti semakin tinggi pengetahuan peternak maka semakin rendah tingkat adopsi
peternak dan secara statistik tidak nyata (P>0,05) hal ini berarti hipotesis ditolak.
Hal ini, bertentangan dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (1971) yang
menyatakan tingginya penerapan inovasi pada seseorang didukung pula oleh
pengetahuannya.
Tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan tingkat adopsi peternak
mengenai teknologi pengendalian penyakit surra karena peternak yang memiliki
pengetahuan tinggi maupun rendah sama-sama berpeluang dalam mengadopsi
teknologi pengendalian penyakit surra, mengingat penyakit surra merupakan
penyakit yang berbahaya bagi kelangsungan populasi ternak kuda di Kabupaten
Sumba Timur. Selain itu, pemikiran peternak yang menganggap bahwa penyakit
143
surra tidak bisa untuk disembuhkan karena meskipun diobati ternak-ternak kuda
ini tetap mati, hal inilah yang mengakibatkan peternak lambat mengadopsi
teknologi pengendalian penyakit surra.
Kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh baru sampai pada tahap
peningkatan pengetahuan dan belum begitu memadai. Sehingga, peternak baru
sekedar mengetahui informasi akan bahaya dari penyakit surra dan gejala-gejala
penyakit surra.
Efektivitas kegiatan penyuluhan yang belum bagus dikarenakan fasilitas
penyuluhan seperti komputer, dan alat-alat peraga lainnya yang digunakan dalam
melakukan penyuluhan masih kurang, serta faktor jarak yang jauh antara peternak
yang satu dengan peternak lain menyulitkan penyuluh dalam melakukan kegiatan
penyuluhan. Hal inilah yang mengakibatkan peternak masih lamban dalam
mengadopsi inovasi teknologi pengendalian penyakit surra.
Keterampilan peternak berhubungan positif dengan adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, yang berarti semakin tinggi keterampilan peternak
terhadap teknologi pengendalian penyakit surra maka semakin tinggi peluang
untuk mengadopsi teknologi tersebut. Kesimpulan ini secara teoritis dan intuitif
konsisten, namun secara statistik tidak nyata (P>0,05), hal ini berarti hipotesis
ditolak. Sehingga faktor ini tidak berpengaruh terhadap peluang adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra.
Kebanyakan peternak kuda yang berada di Kabupaten Sumba Timur
memiliki keterampilan sedang mengenai teknologi pengendalian penyakit surra.
Hal ini, disebabkan karena sumber daya manusia yang mereka miliki khususnya
144
pengetahuan masih tergolong sedang dengan latarbelakang pendidikan yang
rendah, serta belum adanya kegiatan pelatihan yang intensif dan pendampingan,
sehingga mereka kurang terampil dalam mengadopsi inovasi teknologi
pengendalian penyakit surra.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan peternak maka
diperlukan pendidikan terutama pendidikan nonformal misalnya kursus kelompok
tani, penyuluhan, studi banding dan pertemuan lapangan akan membuka
cakrawala petani/peternak, sehingga menambah keterampilan dan pengalaman
petani dalam mengelola usahataninya. Hal ini sangat diperlukan, mengingat
sebagian besar petani/peternak berpendidikan formal rendah (Suratiyah, 2006).
Hubungan antara sikap dengan adopsi teknologi pengendalian penyakit
surra positif dan secara statistik nyata (P<0,05). Semakin positif sikap peternak
terhadap teknologi pengendalian penyakit surra maka semakin tinggi peluang
untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Dari uraian di depan ternyata penyuluhan berhubungan tidak nyata dengan
sikap peternak. Nyatanya sikap peternak positif dengan tingkat adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra, hal ini berarti adanya tambahan pengetahuan dari
penyuluhan, aspek afektif (perasaan was-was akan kerugian yang besar akibat
penyakit surra nampaknya membuat sikap peternak menjadi positif). Penyuluhan
memicu pengetahuan, tapi faktor emosional peternak sendiri yang membangkitkan
sikap positif.
Sikap peternak yang positif terhadap teknologi pengendalian penyakit surra
disebabkan juga karena ternak kuda sangat erat kaitannya dengan budaya
145
masyarakat Sumba Timur. Pada setiap pesta adat kuda selalu dilibatkan sebagai
mahar dan alat transportasi penduduk, selain itu juga kuda sumba memiliki fungsi
sebagai kuda beban, hewan sembelihan, kuda pacu dan juga sarana
penggembalaan sapi.
Pengembangan ternak kuda telah menyatu dengan ritual adat serta kearifan
lokal yang ada di Sumba Timur, karena kepemilikan ternak merupakan simbol
kesejahteraan dan strata sosial masyarakat sumba. Oleh karena itu, sikap positif
peternak kuda terhadap adopsi teknologi pengendalian penyakit surra perlu
ditingkatkan, sehingga penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur dapat
ditanggulangi dengan baik dan julukan Pulau Sumba sebagai gudang ternak dapat
dipertahankan.
146
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Pengetahuan dan keterampilan peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur
mengenai teknologi pengendalian penyakit surra termasuk dalam kategori
sedang, sedangkan sikap peternak kuda termasuk dalam kategori positif.
2. Tingkat adopsi teknologi pengendalian penyakit surra oleh peternak kuda di
Kabupaten Sumba Timur termasuk dalam kategori sedang.
3. Penyuluhan tentang teknologi pengendalian penyakit surra secara positif dapat
meningkatkan pengetahuan peternak, tetapi belum pada keterampilan dan
sikap.
4. Sikap peternak memiliki hubungan yang nyata, tetapi pengetahuan dan
keterampilan berhubungan tidak nyata dengan tingkat adopsi teknologi
pengendalian penyakit surra.
5. 8.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka disarankan beberapa hal
sebagai berikut:
A. Untuk pihak pemerintah
1. Untuk meningkatkan tingkat adopsi peternak, diperlukan berbagai upaya
termasuk penyuluhan (pelatihan, pendampingan, ceramah dll) agar terjadi
147
peningkatan motivasi dan perilaku (sikap, pola pikir, dan keterampilan)
peternak tentang teknologi pengendalian penyakit surra.
2. Perlu adanya kegiatan pencegahan dan penanggulangan melalui kegiatan
vaksinasi dan pengobatan secara rutin dalam rangka pengendalian
penyakit selanjutnya.
3. Sebaiknya penyuluh tinggal di lokasi endemis penyakit surra, terutama
ketika terjadi wabah penyakit sehingga mempermudah dalam proses
pelayanan serta intensitas komunikasi antara penyuluh dan peternak perlu
ditingkatkan.
B. Untuk masyarakat
1. Rajin mengikuti kegiatan penyuluhan yang diadakan oleh instansi terkait
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan peternak dalam
beternak sehingga pengendalian penyakit surra dapat berjalan dengan baik.
2. Memperbaiki pola pemeliharaan secara baik dan benar dengan cara
mengandangkan ternak kuda dan memisahkan ternak yang sakit dan sehat.
3. Pelaporan dan penanganan penyakit surra secepatnya serta melakukan
pembakaran bangkai dan karkas terinfeksi sehingga penyakit surra tidak
menyebar ke ternak lainnya.
148
DAFTAR PUSTAKA
Adiwinata.T. dan A. Dachlan. .1969 . A brief note on Surra in Indonesia . Elveka
Fol . Vet. 3 : 11. Ahmadi, H. A. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Renika Cipta, Jakarta. Amirullah. 2012. Waspadai dan Cegah Penyakit Surra Pada Kuda, Kerbau, dan
Sapi di Pulau Sumbawa. Lombok. Antara. 2011. Penyakit Surra Mulai Menyerang Ternak.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-nasional/12/07/11/m6z2qz-penyakit-sura-mulai-serang-ternak. Diakses tanggal 12 November 2012.
Arianto, Marni. 2012. 481 Ekor Ternak Mati di Sumba. http://www.batukar.info/news/481-ekor-ternak-mati-di-sumba. diakses tanggal 12 November 2012.
Arifin, R., Amirulah, dan Fauziah, S. 2003. Perilaku Organisasi. Bayu Media, Malang.
Arthanu, I. B. K. 1985. Pengetahuan dan Sikap Petani dalam Pengalihan
Pemanfaatan Lahan Pertanian dari Kopi ke Cengkeh. Kasus di Kabupaten Buleleng. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
Azwar S. 2003. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Timur. 2012. Kabupaten Sumba Timur
dalam Angka 2012. Kabupaten Sumba Timur: Badan Pusat Statistik. Consuelo, G, S. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Dahama, D.P. and D.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communicatijon for Development. Oxford & IBH Publishing CO. New Delhi.
Dajan, A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jillid II. LP3ES, Jakarta. Dayakisni dan Hudaniah. 2001. Psikologi Sosial. Univeristas Muhammadiyah
Malang Press, Malang. Departemen, Pertanian. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan
Sinar Tani. Jakarta.
149
Depdikbud RI, 2000. Pengetahuan, Sikap, Kepercayaan dan Perilaku Generasi Muda terhadap Upacara Perkawinan Adat di Kota Padang. Cetakan pertama. PD Intisari, Padang.
Dharma, D. M., A. A, G. Putra. J. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali
Media Adhikharsa. Denpasar. Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur. 2011. Laporan Tahunan.
Dwicipto. 2013. Manajemen Kesehatan dan Kesejahteraan Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Sumedang.
Effendi, D. U. dan Praja, S. 1984. Pengantar Psikologi. Angkasa, Bandung. Feder, G. Richard, Ej. And David, Z, 1981. Adoption of Agricultural innovation in
Development Coutries. The Word Bank Washington OC., USA. Gerungan, W.A. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: PT. Eresko Griawan, I D. P. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan
Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (BLM-PUAP) Di Kabupaten Klungkung. [tesis]. Program Pascasarjana Universitas Udayana. Denpasar.
Hadi, S. 1988. Statistik II. Eresco Jakarta, Bandung.
Hawkins, H. S., A. M. Dunn, dan J. W. Carry. 1982. A Course Manual in Agricultural and Livestock Extensiom, Volume 2 : The Extension Process. AUIDP. Canberra.
Ibrahim, J. T. Ahmad, S dan Harpowo. 2003. Komunikasi Penyuluh Pertanian.
Bayumedia Publissing dan Universitas Muhamadiyah Malang Press. Malang.
Ilyas, Y. (1987). Kinerja: Teori Penilaian dan Penelitian. Jakarta: FKM UI. IQ.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kartasapoetra, G. A. 1994. Teknologi penyuluhan pertanian. Bumi Aksara.
Jakarta. Lestari, E. 2009. Adopsi Inovasi Sebagai Faktor Yang Berperan dalam Perubahan
Sosial. AA Power, No 9 Vol.9. Lionberger, H. and Gwin P. H., 1982. Communication Strateges, The Interstate
Printer Pub. Inc. Canville.
150
Losos, G.J. 1980. Disease Caused by Trypanosoma evansi, a Review. Vet. Res. Communication, 4: 165.
Mahfudz, S. 2012. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan Rendah.
http://paberasan.blogspot.com/2012/03/faktor-yang-yang- mempengaruhi.html. diakses tanggal 13 mei 2013.
Makmun, A.S. 1996. Psikologi Pendidikan. PT. Remaja Rosadakarya, Bandung. Mar ‘at. 1984. Sikap Manusia Perubahan dan Pengukurannya. Ghalia, Jakarta. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian, Acuan untuk Pelajar,
Mahasiswa, Dosen, Penyuluh, Pekerja Sosial, Penentu Kebijakan dan Peminat Ilmu/Kegaiatan Penyuluhan Pembangunan. Sebelas Maret Universitas Press, Surakarta.
Mardikanto, T. dan Sri Sutarni, 1982. Pengaturan Penyuluhan Pertanian.
Surakarta: Hapsara. Mardikanto, T.2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. LPP dan UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS.
Margono, S. 1995. Sumbang Saran Mengenai Pola, Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Pada PJP II. Didalam : Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian Pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang Tahap Kedua. Proseding Lokakarya ; Bogor, 4-5 juli 1995, Bogor.
Margono, S. 2003. Penyuluhan Pertanian. Kumpulan Bahan Bacaan. IPB. Bogor. Mosher AT. 1987. Menggerakan dan membangun pertanian. Yasaguna. Jakarta.
Muhibbin, S. 1995. Psikologi Kependidikan dengan Pendekatan Baru. Remaja Rosadakarya, Bandung.
Mukayat, D Brotowidjoyo. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: PT Melton
Putra. Notoatmodjo, S. (2003). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta,
Jakarta. Partoutomo, S. 1988a. Epidemiologi Trypanosoma evansi pada Sapi dan Kerbau.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Ruminansia. Cisarua, Bogor 8-10 Nopember 1988, 38-41.
151
Partoutomo, S. 1988b. PHA Skin Test pada Kerbau yang Diinfeksi dengan T. evansi. Seminar Nasional V dan Konggres P4I ke iv, Ciawi, Bogor.
Partoutomo, S. 1992. Variasi Antigenic Trypanosoma evansi Bakit 102 pada
Kerbau,Sapi FH dan Sapi PO. Penyakit Hewan, 24 (44): 125-129. Partoutomo, S., M. Soleh, F. Politedy, A. Day, P. Stevenson, A.J. Wilson, D.B.
Copeman dan L. Owen. 1994. The Epidemiology of Trypanosoma evansi and Trypanosoma theileri in Cattle and Buffalo in Small Holder Farms in Java. Penyakit Hewan 26 (48): 41- 46.
Partoutomo, S., M. Soleh, F. Politedy, A. Day, A.J. Wilson dan D.B.
Copeman.1995. Studi Patogenesis Trypanosoma evansi pada Kerbau, Sapi Friesian Holstein dan Sapi Peranakan Ongole.JITV 1 (1): 41-48.
Partoutomo, S. 1996. Trypanosomiasis Caused by Trypanosoma evansi (“Surra”)
in Indonesia. Proceeding of A Seminar on Diagnostic Techniques for Trypanosoma evansi in Indonesia. 10 January 1996. Balitvet, Bogor. 1-9.
Prijono, TP. 2001. Proyeksi Penduduk Angkatan Kerja, dan Peran Serikat
Pekerja dalam Peningkatan Kesejahteraan. Edisi 23. Majalah Perencanaan Pembangunan Jakarta.
Ray, G. L. 1998. Extension Communication and Management. Naya Prokash.
Calcutta. Rogers, E. M. dan F.F. Shoemaker. 1971.Communication of Innovations. The
Free Pres, New York. Samsudin, S. U. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian.
Bina Cipta, Bandung. Sanafiah, 1982. Sikap Seseorang dan Apek-Aspek Yang Mempengaruhi. PT
Eresco, Jakarta. Setiawan I, dkk. 2009. Peningkatan Efektivitas Integrasi Dan Koordinasi Peran
Antara Penyuluh Pertanian, Pemerintah, Swasta Dan Swadaya Bagi Pemberdayaan Petani Dan Pelaku Agroindustri Skala Kecil Menengah (Suatu Kasus Di Kec. Cililin Kab. Bandung Barat). Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran.
Setyarini, Dewi. 2009. Skripsi Pengaruh Intensitas Penyuluhan terhadap Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Penghijauan Kota : Studi Kasus Kecamatan Kota Kabupaten Wajo. Universitas Indonesia. Jakarta.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Edisi Kedua LP3ES, Jakarta.
152
Sitepu, N. SK. 1994. Analisis Jalur (Path Analysis). Bandung. Soedijanto, 1987. Beberapa Konsepsi Konsep Belajar dan Implikasinya.Badan
Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian, Ciawi-Bogor. Soekanto, S. 1985. Karl Mamheim Sosiologis Sistematis. Rajawali, Jakarta. Soekartawi A., J.L. Dillo, J.B. Hardaker. 1986. Ilmu Usaha Tani dan Penelitian
untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Soekartawi. 2005. Prinsip dasar komunikasi pertanian. UI-Press. Jakarta
Soetarno, R. 1994. Psikologi Sosial. Kanisius, Yogyakarta. Solihat, dan Lilis. 2002. Proses Pemeriksaan Sampel Penyakit-Penyakit Parasit
Darah Di Laboratorium Parasitologi Balivet. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated
Animals. 7th ed. Bailliere Tindall. London. Su’adah dan Lendryono, F. 2003. Pengantar Psikologi. Bayu Media, Malang. Subejo. 2009. Revolusi Hijau dan Penyuluhan Pertanian. Tokyo. Indonesian
Agricultural Sciences Association http://www.iasa-pusat.org/artikel/revolusi-hijau-dan-penyuluhan-pertanian. html. (12 April 2013).
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit & Mikroba pada Anjing &
Kucing.Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Sukanto, I.P. 1992. Petunjuk diagnosa parasit darah trypanosoma. babesia dan
anaplasma. Proyek Kerjasama Balitvet - ODA (1986 - 1992). Puslithangnak. Badan Lithang Pertanian. 13 – 16.
Suparlan, 1986. Perubahan Sosial Dalam Wilayah,A. W. (ed) Manusia Indonesia,
Individu, Keluarga, dan Masyarakat, Akademi Pressido. Jakarta.
Suparta, N. 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. Bali Media Adhikasa, Denpasar.
Suparta, N., K. K. Nuraini., I. B Sutrisna., W. Inggriati., I. G Suartha., I. G. N
Made. 2009. Penyuluhan Peternakan. Universitas Udayana, Denpasar. Supriatna, dan Tjahya, S.U. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan.
Rineka Cipta, Jakarta.
153
Supriyatno, 1978. Adopsi Teknologi Baru di Kalangan Petani. Agroekonomi,
Departemen Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Suratiyah K. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya, Jakarta
Tarmudji. 2003. Beberapa Penyakit Hewan. Balai Penelitian Veteriner. Bogor Vol 13 (4) : 164.
Tjitropranoto, P.2003. Penyuluh Pertanian: Masa Kini dan Masa Depan: Dalam
Indrasih, KS. Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Inovasi Teknologi Usahatani Terpadu. IPB Press : Bogor Usaha Pertanian Kedelai di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 6 (1): 50-63.
Van Den Ban, A.W dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius,
Yogyakarta.
Wahyu, 1986. Wawasan Ilmu Sosial Dasar, Usaha Nasional, Surabaya. Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Andi Offset, Yogyakarta.
Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Prenada Media, Jakarta.
Winkel, W.S. 1986. Psikologi Pengajaran.Cet Kedua. PT. Gramedia, Jakarta.
Wiriaatmadja, S. 1990. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian. PT Yasaguna, Jakarta.
Wolf, E. R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Anthropologis. Rajawali Press, Jakarta.
154
Lampiran 1 : Daftar Nama Peternak
No Daftar Nama Peternak Kecamatan 1 Yohanes Tenguwali Nggaha Ori Angu 2 Petrus Nggoa Madja Nggaha Ori Angu 3 Bakar Ngunju ndima Nggaha Ori Angu 4 Matius Laya Nggiku Nggaha Ori Angu 5 Stepanus Mada Andamai Nggaha Ori Angu 6 Nggaba Ndapa Tamu Nggaha Ori Angu 7 Gerson Karuta Lara Nggaha Ori Angu 8 Lanja Keba Ndiata Nggaha Ori Angu 9 Marten. R. Kamadjing Nggaha Ori Angu 10 Ndawa Talunggadja Nggaha Ori Angu 11 Andreas Anakonda Nggaha Ori Angu 12 Eben Koparihi Nggaha Ori Angu 13 Anus Kahapat Mbuhang Nggaha Ori Angu 14 Maria Tamu ina Nggaha Ori Angu 15 Hinna Pladjawa Nggaha Ori Angu 16 Henok Hamba Ndika Nggaha Ori Angu 17 Karippi Walu Wanja Nggaha Ori Angu 18 Yunus Luhamba wudi Nggaha Ori Angu 19 Pilipus Retang Kalambar Nggaha Ori Angu 20 Nikodemus Hamba Ndika Nggaha Ori Angu 21 Harun Nggala Mbaya Katala Hamu Lingu 22 Ayub Landu Wuhang Katala Hamu Lingu 23 Martinus Hunga Wai Katala Hamu Lingu 24 Hambai H. Ganju Katala Hamu Lingu 25 Ndilu H. Banggu Katala Hamu Lingu 26 Markus Katala Hamu Lingu 27 Andung Hamakonda Katala Hamu Lingu 28 Kawau Runga Katala Hamu Lingu 29 Jusuf Landu Pari Katala Hamu Lingu 30 Andreas Yanggu Rumar Katala Hamu Lingu 31 Umbu Rihi Tamu Katala Hamu Lingu 32 Yulius Remi Kati Katala Hamu Lingu 33 Yulius Namu Wali Katala Hamu Lingu 34 Lasarus Njuka Praing Lewa 35 Ling Dawan Untono Lewa
155
36 Rangga Kalla Upung Lewa 37 Agustinus Hanaul Hawulla Lewa 38 Kabalik Lalupingu Lewa 39 Kahumbu Nggiku Lewa 40 Jiwa Kana Koni Lewa 41 Dada Mbadi Lewa 42 Rangga Ngalu Mara Lewa 43 Natarius Hapu Landu Kara Lewa 44 Matius R. Madappu Lewa 45 Daniel Pulu Karanggulimu Lewa 46 Adronian Lewa 47 Daud D. Lodu Lewa 48 Marinus Kalikit Ngganga Lewa Tidahu 49 Gidion Nggiku Tana Lewa Tidahu 50 Hamang Meta Yiwa Lewa Tidahu 51 Lukas Laku Ndawa Lewa Tidahu 52 Pipa Kaya Lewa Tidahu 53 Simeon K. Waka Lewa Tidahu 54 Mikael Harumbha Lewa Tidahu 55 Joni Hamba Banju Lewa Tidahu 56 Yakobus Pilla Ndelu Lewa Tidahu 57 Silwanus K. Ndala Lewa Tidahu 58 Yakub Ndakularak Lewa Tidahu 59 Obed Ndamuwulang Lewa Tidahu 60 Tehu Ria Ngadu Ngala 61 NdamunG Kilimandu Ngadu Ngala 62 Aku Makaborang Ngadu Ngala 63 Pura Lity Ndai Ngadu Ngala 64 Randa Ahing Ngadu Ngala 65 Romu Konda Luta Ngadu Ngala 66 Umbu Hunga Meha Ngadu Ngala 67 Mesakh Tara Awang Ngadu Ngala 68 Marthen K. Awang Ngadu Ngala 69 Kalikit Taka Meha Ngadu Ngala 70 Umbu Konda Awang Ngadu Ngala 71 Kalikit Peka Rihi Ngadu Ngala 72 Benyamin Rihi Welem Wula Waijelu 73 El El wuki Wula Waijelu 74 Nikolas Wuki Wake Wula Waijelu 75 Paulus Uli Wula Waijelu
156
76 Yulius Kalukur Lidjang Wula Waijelu 77 Yohanes Hau Heji Wula Waijelu 78 Ndomu Hada Mburu Wula Waijelu 79 Melkianus Tono Hau Wula Waijelu 80 Marten Katoara Takandiwa Wula Waijelu 81 Padjaru Mbaku Ndima Wula Waijelu 82 Mada Wara Ndoi Wula Waijelu 83 Padjaru Maramba djua Wula Waijelu 84 Kaka Amah Tabundung 85 Jhon Kamalahina Tabundung 86 Bambang Amah Tabundung 87 Anthon Piranjawa Tabundung 88 Deha Taka Ndunu Tabundung 89 Daniel Manjapalit Tabundung 90 Anthon Piranjawa Tabundung 91 Hinna Kapu Endang Tabundung 92 Umbu Ndamu Tabundung 93 Ngguli Wenya Ndangu Tabundung 94 Katuhi Mbaha Tabundung 95 Kabukur Panjanji Tabundung 96 Marten Pura Mbida Nau Tabundung
157
Lampiran 2 : Daftar Nama Penyuluh
No Daftar Nama Penyuluh Kecamatan 1 Yunus Landukara Nggaha Ori Angu dan Lewa 2 Yohanes A. Balla Katala Hamulingu 3 Umbu Kahumbu Njurumanna Lewa Tidahu 4 Dominggus T. Teul Ngadu Ngala 5 Marthen Umbu Hamataki Tabundung 6 Antonius R. Galla Wula Waijelu
Lampiran 2 : Daftar Nama Pemerintah
No Pemerintah Jabatan 1 Ir Yunus Domu Wullang Kepala Dinas Peternakan/IV B 2 Manuel M. Kitu Kepala Bidang Kesehatan Hewan 3 Hamba Manu Korung Camat Nggahaoriangu/IV A 4 Rudolf Rihi Tude Sekcam Lewa/ III D 5 Oria A. Raramata Camat Wullawaijelu /IV A 6 Melkianus Etu Dundu Camat Tabundung /III D 7 Dominggus Kaborang Camat Ngadu Ngala/ III D 8 Agustinus Kandeku Sekretaris Camat/ III D 9 Dr Banju Ndakumanung Camat Lewa Tidahu/ III D 10 Drh Jeany Mira Mangi Dokter Hewan
158
Lampiran 3 : Rataan Persentase Skor Perilaku (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) peternak dan mengenai kegiatan penyuluhan, pelayanan dan pengaturan.
No Pengetahuan Keterampilan Sikap Adopsi Penyuluhan Pelayanan Pengaturan 1 64 44 50 56 80 47 32 2 61 39 62 63 87 57 30 3 55 35 53 49 80 43 31 4 59 41 64 60 74 49 28 5 61 40 65 38 85 50 34 6 60 41 63 64 82 42 30 7 52 38 53 47 78 48 38 8 58 37 57 43 82 51 31 9 56 27 61 40 72 46 28 10 66 36 64 55 87 50 31 11 49 40 63 42 85 43 34 12 58 29 68 34 78 45 34 13 59 35 67 59 73 40 25 14 56 43 63 49 88 55 34 15 49 35 58 41 83 47 36 16 53 35 68 51 60 47 27 17 58 34 59 44 76 42 24 18 61 42 53 57 76 51 36 19 64 38 52 53 73 44 34 20 59 42 61 59 67 44 33 21 42 27 52 46 81 50 31 22 45 31 55 46 83 50 32 23 56 40 51 44 78 48 34 24 59 30 51 48 75 47 35 25 54 35 53 45 74 46 36 26 53 34 47 43 74 46 34 27 57 37 54 46 78 50 35 28 57 33 54 54 78 55 36 29 55 39 58 48 89 51 39 30 49 35 55 50 87 53 38 31 56 38 59 51 80 54 36 32 50 37 61 51 84 50 30 33 61 36 59 48 77 57 36 34 42 28 63 43 83 53 38 35 40 31 66 43 86 51 35
159
36 47 28 63 42 90 53 37 37 45 31 63 43 82 48 37 38 46 33 66 47 86 46 39 39 47 32 61 42 83 51 38 40 48 38 63 45 80 49 34 41 48 35 69 47 78 51 36 42 49 36 67 48 77 49 35 43 45 34 60 45 78 48 32 44 42 30 59 45 71 44 34 45 43 32 61 45 72 47 34 46 46 33 68 47 76 41 34 47 46 35 58 54 87 48 33 48 46 38 59 59 67 45 37 49 41 30 59 46 75 44 27 50 44 43 61 62 84 56 38 51 43 34 59 46 68 47 34 52 46 36 51 54 76 50 34 53 63 41 52 57 76 50 33 54 59 34 59 66 81 47 33 55 47 38 54 42 78 53 36 56 59 33 53 56 77 47 33 57 48 30 60 39 69 44 31 58 46 28 58 40 73 44 28 59 58 34 59 54 78 49 39 60 39 34 58 46 71 45 33 61 49 37 54 55 71 48 36 62 43 39 57 52 69 47 36 63 45 34 55 49 75 48 34 64 46 36 53 50 69 43 35 65 44 39 60 50 76 47 33 66 43 39 56 52 69 47 29 67 40 37 53 55 64 47 34 68 38 37 58 48 72 48 33 69 41 37 60 50 58 39 35 70 46 40 57 50 78 53 37 71 44 38 60 50 66 46 35 72 42 33 56 49 73 44 32
160
73 45 32 56 38 72 40 27 74 42 34 51 47 74 48 34 75 42 33 53 39 74 48 26 76 43 42 55 55 79 55 33 77 46 27 55 49 76 42 32 78 46 26 62 49 79 45 30 79 43 37 58 56 75 47 34 80 47 35 61 50 76 46 35 81 45 34 60 52 81 45 37 82 45 35 56 47 76 44 29 83 50 34 59 51 80 52 34 84 46 37 58 44 71 46 34 85 53 37 56 46 83 53 32 86 51 37 62 46 78 51 28 87 48 35 54 47 81 48 36 88 49 35 54 46 75 49 29 89 49 37 49 51 74 49 32 90 47 39 49 51 80 47 32 91 49 41 54 49 79 49 36 92 48 42 53 47 74 48 34 93 45 39 52 49 74 45 31 94 49 45 60 52 81 49 36 95 54 48 61 55 80 54 34 96 48 39 58 48 70 48 32
Jumlah 4776 3438 5567 4701 7388 4603 3200 Rata-rata 49.75 35.81 57.98 48.97 76.96 47.95 33.33 Persentase 62.19 65.11 72.49 65.29 81.01 79.91 83.33
161
Lampiran 4 : Hasil Analisis Data Menggunakan Partial Least Square (PLS)
Structural Model - Jack Knife
Entire Sample estimate
Mean of Subsamples
Jackknife estimate
Standard eror
T-statistic
Standar eror
(Adjusted) T statistic (Adjusted)
Pengetahuan -> Keterampilan 0.462 0.462 0.4194 0.0998 4.2046 0.1411 2.9731 Keterampilan -> Adopsi 0.1000 0.1 0.1435 0.1336 1.0745 0.1889 0.7598 Pengetahuan -> Adopsi -0.0900 -0.09 -0.106 0.1363
-0.7764 0.1928 -0.5490
Sikap -> Adopsi 0.253 0.253 0.2302 0.0964 2.3877 0.1364 1.6883 Penyuluhan -> Sikap 0.1720 0.172 0.1314 0.0811 1.6200 0.1147 1.1455 Pengaturan -> Adopsi 0.0060 0.0060 0.0100 0.1523 0.0654 0.2154 0.0462 Pelayanan -> Adopsi 0.0190 0.019 0.0418 0.1387 0.3011 0.1961 0.2129 Pengaturan -> Penyuluhan 0.2580 0.258 0.2768 0.0956 2.8962 0.1352 2.0480 Pelayanan -> Penyuluhan 0.5880 0.588 0.6345 0.0981 6.4667 0.1388 4.5726 Pengetahuan -> Sikap 0.5420 0.542 0.5529 0.0954 5.7943 0.1349 4.0972 Keterampilan -> Sikap -0.1720 -0.172 -0.156 0.0870
-1.7943 0.1231 -1.2688
Penyuluhan -> Pengetahuan 0.4710 0.471 0.4492 0.0856 5.2488 0.1210 3.7115 Penyuluhan -> Keterampilan -0.0420 -0.042 -0.055 0.0927
-0.5916 0.1311 -0.4183
162
Lampiran 5: Signifikansi Perbedaan Pengetahuan, Keterampilan, Sikap dan Tingkat Adopsi Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Penyuluh
a. Dekat-agak dekat
Ranks Jarak N Mean Rank Sum of Ranks
Pengetahuan Dekat 20 34.05 681.00
Agak Dekat 27 16.56 447.00
Total 47
keterampilan Dekat 20 31.30 626.00
Agak Dekat 27 18.59 502.00
Total 47
Sikap Dekat 20 25.60 512.00
Agak Dekat 27 22.81 616.00
Total 47
Adopsi Dekat 20 27.35 547.00
Agak Dekat 27 21.52 581.00
Total 47
Test Statisticsa Pengetahuan keterampilan sikap Adopsi
Mann-Whitney U 69.000 124.000 238.000 203.000
Wilcoxon W 447.000 502.000 616.000 581.000
Z -4.333 -3.153 -.691 -1.445
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000 .002 .490 .149
a. Grouping Variable: Jarak
163
b. Dekat-Jauh
Ranks
Jarak N Mean Rank Sum of Ranks
Pengetahuan Dekat 20 56.35 1127.00
Jauh 49 26.29 1288.00
Total 69
keterampilan Dekat 20 40.52 810.50
Jauh 49 32.74 1604.50
Total 69
Sikap dekat 20 45.58 911.50
Jauh 49 30.68 1503.50
Total 69
Adopsi dekat 20 36.20 724.00
Jauh 49 34.51 1691.00
Total 69
Test Statisticsa Pengetahuan keterampilan sikap Adopsi
Mann-Whitney U 69.000 124.000 238.000 203.000
Wilcoxon W 447.000 502.000 616.000 581.000
Z -4.333 -3.153 -.691 -1.445
Asymp. Sig. (2-tailed)
.000 .002 .490 .149
164
c. Agak dekat-Jauh Ranks
Jarak N Mean Rank Sum of Ranks
Pengetahuan Agak Dekat 27 49.06 1324.50
Jauh 49 32.68 1601.50
Total 76
Keterampilan Agak Dekat 27 29.20 788.50
Jauh 49 43.62 2137.50
Total 76
Sikap Agak Dekat 27 45.96 1241.00
Jauh 49 34.39 1685.00
Total 76
Adopsi Agak Dekat 27 27.61 745.50
Jauh 49 44.50 2180.50
Total 76
Test Statisticsa
Pengetahuan keterampilan sikap Adopsi
Mann-Whitney U 376.500 410.500 460.000 367.500
Wilcoxon W 1601.500 788.500 1.685E3 745.500
Z -3.099 -2.736 -2.194 -3.199
Asymp. Sig. (2-tailed)
.002 .006 .028 .001
a. Grouping Variable: Jarak
165
Lampiran 6: Reliabilitas Konstruk
1. Pengetahuan
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100.0Excludeda 0 .0Total 30 100.0
.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized ItemsN of Items
.765 .950 17
166
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted P1 103.9000 519.541 .892 . .745P2 103.3667 529.826 .609 . .752P3 104.2000 536.234 .709 . .754P4 104.0000 527.103 .740 . .750P5 104.0333 534.378 .608 . .754P6 103.8000 529.131 .700 . .751P7 104.0000 536.966 .651 . .755P8 104.4000 543.490 .546 . .758P9 103.8667 516.395 .693 . .745P10 103.9333 523.513 .838 . .747P11 103.9333 523.513 .838 . .747P12 103.9000 526.231 .772 . .749P13 103.8667 528.878 .685 . .751P14 104.0667 532.202 .578 . .753P15 103.9000 519.541 .892 . .745P16 103.4667 529.292 .556 . .752TOTAL 53.6333 140.654 1.000 . .938
167
2. Keterampilan
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100.0Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items
N of Items
.762 .854 12
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted K1 62.3667 172.240 .621 . .737K2 62.9667 172.861 .526 . .741K3 62.4667 168.947 .627 . .733K4 62.5000 180.121 .459 . .750K5 63.0333 183.137 .349 . .756K6 62.9667 172.861 .526 . .741K7 62.6000 180.938 .393 . .753K8 62.7000 174.562 .615 . .740K9 62.4000 173.490 .637 . .738K10 62.2667 179.926 .466 . .750K11 62.1333 176.533 .559 . .744TOTAL 34.6667 52.920 .993 . .807
168
3. Sikap
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100.0Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on Standardized
Items N of Items
.762 .940 17
169
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted S1 105.6667 457.126 .659 . .742S2 105.6000 463.766 .781 . .744S3 105.7000 463.597 .765 . .744S4 105.1667 461.385 .746 . .743S5 105.6000 463.766 .781 . .744S6 105.8000 473.614 .677 . .750S7 106.2000 479.062 .597 . .754S8 105.8000 468.993 .652 . .748S9 105.1667 461.385 .746 . .743S10 105.4667 476.809 .459 . .753S11 106.0000 472.828 .739 . .750S12 105.8000 468.993 .652 . .748S13 105.1667 461.385 .746 . .743S14 105.4667 476.809 .459 . .753S15 106.2000 479.062 .597 . .754S16 105.7333 468.133 .687 . .747TOTAL 54.5333 124.671 1.000 . .926
170
4. Adopsi
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100.0Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based
on Standardized
Items N of Items
.762 .938 16
171
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted A1 89.0333 511.482 .636 . .751A2 88.7667 505.013 .730 . .747A3 88.5000 501.845 .667 . .746A4 89.1333 513.430 .638 . .752A5 88.9000 511.955 .523 . .752A6 89.0333 489.137 .697 . .740
A7 89.3000 510.010 .713 . .750A8 89.0333 511.482 .698 . .751A9 89.0667 496.340 .862 . .742A10 89.0333 489.137 .697 . .740A11 88.1000 505.266 .643 . .748A12 88.9333 501.375 .731 . .745A13 89.4667 501.706 .583 . .747A14 88.7667 504.047 .752 . .746A15 88.9333 513.375 .517 . .753TOTAL 46.0000 134.759 1.000 . .919
172
5. Penyuluhan
Case Processing Summary N %
Cases Valid 30 100.0Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on Standardized
Items N of Items
.759 .945 20
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted PNY1 150.4000 504.179 .690 . .748 PNY2 150.2667 497.306 .713 . .744 PNY3 150.2000 499.200 .774 . .745 PNY4 150.2000 503.200 .606 . .748 PNY5 150.4000 500.317 .802 . .745 PNY6 150.4667 500.395 .803 . .745 PNY7 150.4000 504.179 .690 . .748 PNY8 150.5000 502.052 .566 . .747 PNY9 150.2667 494.823 .772 . .743 PNY10 150.2000 500.717 .617 . .746 PNY11 149.9333 509.444 .584 . .751 PNY12 150.6667 501.747 .581 . .747 PNY13 150.2667 494.823 .772 . .743 PNY14 150.3000 496.907 .839 . .743 PNY15 150.6333 501.413 .537 . .747 PNY16 150.5000 499.638 .696 . .745 PNY17 150.4333 501.702 .504 . .748 PNY18 150.1333 510.740 .576 . .751 PNY19 150.2333 518.461 .433 . .755 TOTAL 77.2000 132.303 1.000 . .933
173
6. Pelayanan
Case Processing Summary
N % Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items
N of Items
.766 .931 13
Item-Total Statistics
Scale Mean
if Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted PL1 89.0333 209.689 .785 . .742PL2 89.3333 209.609 .773 . .742PL3 89.0667 208.547 .888 . .740PL4 89.2000 209.200 .735 . .742PL5 88.9667 209.757 .824 . .742PL6 88.7667 212.530 .798 . .745PL7 88.8333 220.351 .651 . .756PL8 88.7333 219.444 .601 . .755PL9 89.8333 217.454 .412 . .756PL10 89.2000 211.545 .651 . .746PL11 89.0667 214.340 .723 . .748PL12 90.2333 215.702 .398 . .755TOTAL 46.5333 57.913 1.000 . .902
174
7. Pengaturan
Case Processing Summary
N % Cases Valid 30 100.0
Excludeda 0 .0Total 30 100.0
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
.782 .924 9
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple
Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted PNG1 49.6667 151.402 .524 . .776PNG2 49.1333 135.637 .726 . .745PNG3 49.2000 140.234 .855 . .750PNG4 49.2000 140.234 .855 . .750PNG5 49.1667 142.075 .768 . .755PNG6 49.1333 145.085 .608 . .764PNG7 49.3333 144.989 .575 . .765PNG8 49.1667 138.695 .887 . .747TOTAL 26.2667 40.340 1.000 . .893
175
Lampiran 7 : Kuisioner
SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA
OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden peternak
I IDENTITAS RESPONDEN
1 Nama responden :
2 Alamat tempat tinggal responden :
3 Umur :
4 Jenis kelamin : 1) Laki-laki, 2) Perempuan
5 Agama : 1) Islam, 2) Kristen, 3) Hindu, 4) Budha, 5) Katolik
6 Status Perkawinan : 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
7 Pekerjaan :
Mohon disebutkan jenis pekerjaan pokok dan sambilan Bapak !
No Jenis Pekerjaan Pokok Sambilan 1 Petani 2 Peternak 3 Pedagang 4 Pengrajin 5 Buruh 6 Pegawai negri 7 Pegawai swasta 8 Lain-lain (sebutka) …….
176
8 Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan
No Tingkat Pendidikan Tamat (tahun) Tidak tamat/sampai Tingkat …(tahun)
1 Tidak pernah sekolah 2 SD/ Kejar paket A 3 SLTP/ Kejar paket B 4 SMU 5 Akademi 6 Perguruan tinggi 7 Kursus – Dll
9 Jumlah Tanggungan Keluarga ……orang
10 Luas lahan sendiri (ha) :
Jenis Lahan Dikerjakan sendiri
Tidak Dikerjakan Jumlah Keteragan
1. Sawah 2. Tegalan 3. Pekarangan 4. …………..
No
Jenis Kelamis Hubungan dengan
keluarga Umur
(Tahun) Pendidikan Pekerjaan L P
1 2 3 4 5 6
177
11 Apakah Bapak ikut menjadi anggota sesuatu organisasi? YA/TIDAK
Jika Ya, alasannya: ………….. ………………………………………………
………………………………………………….............................................
Jika Tidak, alasannya …………………………………………………...........
………………………………………………………………………………..
Jika Ya, manakah organisasi berikut yang dapat Bapak ikuti?
Organisasi Nama Bidang Anggota Pengurus
a. Kelompok ternak
b. Koperasi
c. Dll …………..
12 Apakah Bapak pernah mendapatkan penyuluhan ? YA/TIDAK
Jika Ya : Penyuluhan tentang apa yang bapak dapatkan? ……………………
13 Berapa kali mendapatkan penyuluhan dalam sebulan atau setahun? …………
14 Metode penyuluhan apa yang digunakan?
a. Datang sendiri berkunjung ke lokasi peternak
b. Bersama-sama dengan peternak lain
c. Melalui buku, brosur, tv, radio, dll
II JUMLAH KEPEMILIKAN TERNAK
1. Berapakah jumlah ternak yang Bapak pelihara saat ini?
No Jenis ternak Anak Dewasa Total
1 Ternak besar Jantan Betina Jantan Betina
a. Kuda
b. Sapi
c. Kerbau
2 Ternak kecil
a. Babi
b. Kambing
178
III SUMBER – SUMBER INFORMASI PENGENDALIAN PENYAKIT
1. Sumber informasi mana yang dipakai untuk mengetahui tentang pengendalian
penyakit pada ternak kuda?
a. Buku
b. Koran
c. Televisi
d. Internet
e. Pemerintah
f. Penyuluh
g. Dll …….
2. Dari sekian informasi tersebut, yang mana Bapak anggap paling berperan ?
(disebut salah satu dan diberi tanda silang dan dilinkari)
3. Berikan alasan mengapa Bapak memakai sumber itu ? …………......
179
IV PENGETAHUAN
Pilihlah jawaban yang saudara anggap paling benar !
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit surra?
a. Merupakan salah satu penyakit hewan menular penting pada ternak
kuda dan ruminansia besar
b. Penyakit yang disebabkan oleh protozoa
c. Penyakit parasit darah yang disebabkan oleh protozoa yang menyerang
mamalia hewan, yang bersifat akut dan kronis.
d. Penyakit yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis
e. Penyakit yang bersifat akut dan kronis
2. Apakah Bapak mengetahui ciri - ciri penyakit surra?
a. Hewan lesu, nafsu makan turun, nampak lemah, selaput lendir mata
kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis.
b. Terjadi lepuh-lepuh pada lidah
c. Terjadi adema pada daerah dada dan perut sampai dekat alat kelamin.
d. Keluar getah bening dari hidung dan mata, demam dan nafsu makan
menurun
e. Muncul gejala syaraf, gerakan berputar-putar
3. Bagaimana cara penularan penyakit surra?
a. Ditularkan oleh gigitan vektor lalat, kutu penghisap darah yang
menghinggap/menulari dari hewan yang sakit kehewan yang sehat
lainnya
b. Melalui lalat penghisap darah (hematophagous flies)
c. Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma apabila memakan
daging yang mengandung trypanosoma.
d. Penularan melalui air susu.
e. Penularan melalui nyamuk
180
4. Apakah Bapak mengetahui penyebab terjadinya penyakit surra?
a. Virus
b. Lalat, dan kutu pengisap darah
c. Protozoa Trypanosoma evansi. Protozoa ini hidup di dalam darah
penderita dan mengisap glukosa yang terkandung di dalam darah dan
mengeluarkan sejenis racun trypanotoksin.
d. Protozoa, dan kutu pengisap darah
e. Kutu pengisap darah, lalat dan protozoa
5. Apakah faktor pemicu terjadinya penyakit surra ?
a. Faktor lingkungan
b. Faktor iklim
c. Faktor kondisi yang menyebabkan stress pada hewan seperti malnutrisi,
kebuntingan, dan kelelahan.
d. Faktor angin berpengaruh yaitu berperan dalam penyebaran lalat
Tabanus.
e. Tidak ada faktor yang berpengaruh dalam penyebaran penyakit surra.
6. Apakah yang dimaksud dengan pencegahan penyakit surra?
a. Suatu usaha yang dilakukan manusia untuk mencegah masuknya
cacing-cacing pengganggu pada ternak kuda.
b. Suatu usaha yang manusia untuk melindungi ternaknya dari penyakit
yang disebabkan oleh virus, dll melalui tindakan menjaga lingkungan
kandang selalu sehat
c. Suatu usaha untuk melindungi agar ternak-ternak terhindar dari
penyakit melalui kegiatan yang meliputi penjagaan dan pemeliharaan
kebersihan kandang dan sekitarnya, peralatan dan perlengkapan
kandang.
d. Suatu tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam usaha pencegahan
dan pemberantasan penyakit menular pada ternak diantaranya yaitu
dengan mengetahui tanda-tanda atau gejala-gejala penyakit yang
181
menular serta mengerti tentang cara menularnya masing-masing jenis
penyakit
e. Usaha manusia dalam mempertahankan populasi ternak kuda melalui
pemilihan bibit yang terbebas dari penyakit menular.
7. Apakah yang dimaksud dengan vaksinasi?
a. Pemberian vaksin ke dalam tubuh hewan untuk memberikan kekebalan
terhadap penyakit.
b. Kekebalan tubuh hewan
c. Bahan antigen (zat yang merangsang respon kekebalan tubuh) yang
digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit.
d. Proses pemberian vaksin kedalam tubuh manusia atau hewan untuk
memberikan kekebalan terhadap penyakit tertentu sesuai dengan jenis
vansinnya.
e. Menyembuhkan kuda yang sakit
8. Mengapa ternak kuda perlu divaksinasi?
a. Memberikan kekebalan pada tubuh serta mencegah terjadinya infeksi
b. Mempercepat pertumbuhan, meningkatkan produksi, menyembuhkan
kuda yang sakit
c. Memberikan kekebalan tubuh
d. Mencegah terjadinya infeksi
e. Agar ternak kuda terhindar dari penyakit.
9. Menurut Bapak, hal-hal apa sajakah yang perlu diperhatikan dalam
melaksanakan vaksinasi ?
a. Program vaksinasi harus dilakukan dengan seksama dan diperhatikan
masa kekebalan yang ditimbulkan.
b. Umur ternak
c. Jenis ternak
d. Kesehatan ternak
e. Tidak tau
182
10. Apa saja yang sebaiknya diberikan pada ternak kuda sebagai pakan
tambahan (suplement)?
a. Rumput dan konsentrat (campuran jagung, kacang kedelai dan dedak
padi)
b. Dedak padi, Jagung, Kacang kedelai
c. Rumput, dedak padi dan bungkil kelapa
d. Rumput saja
e. Rumput dan dedak padi dan bungkil kacang tanah
11. Untuk menjaga kesehatan ternak, apakah ternak kuda perlu diberikan
pakan tambahan?
a. Sangat perlu
b.Perlu
c. Biasa-biasa saja
d.Kurang perlu
e. Tidak perlu
12. Apakah ternak kuda perlu dibuatkan kandang?
a. Sangat perlu
b. Perlu
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang perlu
e. Tidak perlu
13. Perlukah kandang didesinfektan?
a. Sangat perlu
b. Perlu
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang perlu
e. Tidak perlu
183
14. Bagaimanakah cara sebaiknya mengendalikan penyakit menular pada
ternak kuda?
a. Melaksanakan jadwal vaksinasi secara teratur
b. Memeriksakan kesehatan ternaknya secara rutin pada dokter hewan di
Dinas Peternakan atau dokter hewan praktek daerah asal.
c. Menjaga sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya),
d. Memisahkan (mengisolasi) kuda yang sakit dari kuda yang sehat
e. Membiarkan saja hewan sakit tanpa tindakan apapun
15. Apa yang Bapak ketahui tentang cara pengobatan penyakit surra?
a. Diobati dengan suramin
b. Dapat diobati dengan antibiotic
c. Diobati dengan trypamidium
d. Diobati dengan obat-obat tradisional
e. Dapat diobati dengan tryponil
16. Jika ternak kuda sakit, apakah Bapak perlu mengisolasi kuda yang sakit ?
a. Sangat perlu
b. Perlu
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang perlu
e. Tidak perlu
V. KETRAMPILAN
1. Bagaimana cara Bapak, mengidentifikasi penyakit surra?
a. Hewan akan terlihat lesu, nafsu makan turun, nampak lemah, selaput
lendir mata kekuning-kuningan dan sering terjadi keratitis.
b. Demam, lesu, lemah, nafsu makan berkurang, lekas letih, Anemia, kurus,
bulu rontok, busung daerah dagu dan anggota gera, keluar getah radang,
selaput lendir menguning, jalan sempoyongan dan kejang dan berputar-
putar.
c. Dimasukkan ke dalam kandang.
184
d. Keluar getah bening dari hidung dan mata, demam dan nafsu makan
menurun
e. Mulut lepuh-lepuh
2. Apakah Bapak bisa melakukan vaksinasi sendiri dengan lancar?
a. Sangat lancar
b. Lancar
c. Kurang lancar
d. Biasa-biasa saja
e. Tidak lancar
3. Bagaimana cara Bapak, melakukan vaksinasi ?
a. Ternak kuda di masukkan ke dalam kandang jepit kemudian divaksin
b. Memasukkan kuda kedalam gang kemudian di vaksin
c. Dimasukkan ke dalam gang, kemudian dijepit pada bibirnya setelah
tenang baru di vaksin.
d. Dimasukkan kedalam kandang jepit, dengan menahan ekor kuda
kemudian di vaksin
e. Melakukan vaksinasi tanpa menggunakan kadang jepit dengan hanya
mengikat kuda dibawah pohon.
4. Jika ternak terserang penyakit cara apa yang Bapak terapkan untuk
menyembuhkan penyakit yang menyerang ternak Bapak ?
a. Tidak melakukan tindakan apapun
b. Kuda sakit dipisahkan dari kuda yang sehat
c. Diobati dengan suramin atau triponil
d. Diobati dengan trypamidium
e. Melapor kepada dokter hewan setempat untuk di obati.
5. Bagaimana cara Bapak menjaga agar kandang tersebut tetap sehat ?
a. Melakukan desinfektan, membersihkan kandang secara teratur
b. Menerapkan tindakan pengamanan dalam kandang
c. Membersihkan kadang sebulan sekali
185
d. Kandang harus bebas dari hewan liar karena dapat membawa bibit
penyakit.
e. Melakukan pengamanan keluar masuknya ternak kedalam kandang.
6. Bagaimana cara Bapak menangani ternak yang mati akibat penyakit surra?
a. Membakar kuda-kuda yang terinfeksi surra
b. Menguburnya
c. Memotong dan memakan kuda-kuda yang mati.
d. Pemusnahan karkas yang terinfeksi surra
e. Memotong ternak kuda kemudian menguburnya
7. Hal apa yang Bapak lakukan pertama kali jika kuda bapak terserang
penyakit surra
a. Melaporkan kejadian tersebut ke dokter hewan/petugas lapangan
setempat
b. Memisahkan kandang ternak yang sakit dengan yang sehat
c. Melaporkan langsung kejadian tersebut di Dinas Peternakan
d. Mebiarkan ternak begitu saja tanpa tindakan apapun
e. Membakar kuda untuk menghindarkan ternak kuda yang lain terjangkit
penyakit surra.
8. Bagaimana cara bapak mempersiapkan makanan kuda yang sehat?
a. Memberikan pakan kuda sesuai dengan kebutuhan fisiologis
b. Memberikan pakan kuda yang memiliki kandungan protein, mineral dan
vitamin
c. Memberikan pakan yang memiliki kandungan gizi yang seimbang
d. Memberikan pakan hijauan, jagung dan kacang-kacangan
e. Membiarkan ternak kuda mencari pakannya sendiri dipadang tanpa
memperhatikan kebutuhan gizi
9. Bagaimana cara Bapak memilih bibit kuda yang sehat ?
a. Yang memiliki kaki pendek dan badan yang kecil
b. Memiliki postur tubuh yang ramping dan memiliki mata tajam serta
rahang yang besar dan bulat.
186
c. Memiliki pandangan tajam kedepan, matanya harus cukup menonjol dan
letaknya cukup terpisah satu sama lain.
d. Kaki kuat, telinga yang pendek tegak dan badan yang ramping
e. Memiliki postur tubuh yang ramping, tinggi, besar dan dada yang lebar.
10. Bagaimana cara Bapak melakukan karantina hewan yang sakit?
a. Hewan yang sakit dibuatkan kandang khusus secara terpisah dengan
hewan yang sehat
b. Hewan yang sakit diasingkan dari hewan yang sehat
c. Pencegahan penggembalaan hewan sehat bersama-sama dengan hewan
yang sehat.
d. Melakukan pengasingan terhadap hewan yang sakit kemudian diadakan
pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah
kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina.
e. Tidak melakukan karantina hewan sakit
11. Bagaimana cara Bapak memelihara ternak kuda, agar tetap sehat?
a. Memberikan pakan yang sehat dan mengandung gizi yang seimbang
b. Menjaga kondisi kandang agar selalu bersih
c. Pakan dan air minum harus tersedia dalam jumlah cukup, sesuai dengan
kebutuhan baik kuantitas maupun kualitasnya.
d. Menghindarkan ternak dari stress panas, hujan deras, dingin, angin
kencang dll.
e. Membiarkan ternak bebas di padang penggembalaan.
187
VI SIKAP PETERNAK TERHADAP SISTEM PENGENDALIAN
PENYAKIT SURRA.
Petani peternak diminta pendapatnya tentang berbagai pernyataan tertulis
pada kolom sebelah kiri. Mohon memberikan tanda silang (X) untuk jawaban
yang diberikan pada kolom sikap yang sesuai dengan yang ada disebelah
kanannya.
Keterangan : SS = Sangat setuju
S = Setuju
RR = Ragu – ragu
TS = Sangat tidak setuju
PERNYATAAN SIKAP
SS S RR TS STS
1. Ternak kuda pada umumnya sudah
tahan terhadap penyakit sehingga
tidak perlu untuk divaksinasi.
2. Kuda yang dewasa/besar belum
tentu lebih tahan terhadap penyakit
jika dibandingkan dengan kuda
muda, sehingga perlu divaksinasi.
3. Pemilihan bibit kuda yang baik
dapat mengurangi kemungkinan
kuda terserang penyakit.
4. Kuda yang berasal dari bibit yang
baik tidak perlu divaksinasi.
5. Vaksinasi pada kuda sebaiknya
dilakukan hanya jika terjadi wabah
penyakit.
6. Kuda yang dipelihara secara
diumbar tidak perlu diberi pakan
188
tambahan
7. Pemberian pakan tambahan yang
memadai akan dapat mengurangi
kemungkinan ternak tersebut
terserang penyakit.
8. Ternak kuda yang telah diketahui
terinveksi virus penyakit surra,
secepatnya harus
dimatikan/dipotong.
9. Faktor –faktor yang menyebabkan
penyakit surra pada ternak kuda
perlu mendapatkan perhatian dan
penanganan yang serius karena hal
ini akan mempengaruhi populasi.
10. Kuda yang mati karena sakit
sebaiknya dikubur.
11. Kuda yang baru saja mati terjangkit
penyakit surra masih bisa di
konsumsi.
12. Kuda yang sudah divaksin. Kalau
sakit tidak perlu lagi diobati.
13. Kuda yang sakit hendaknya
dipisahkan dari kuda yang sehat
untuk menghindari kuda sehat
tertular penyakit.
14. Jika terjadi wabah penyakit
sebaiknya segera melapor kepada
dinas atau PPL setempat.
15. Pengobatan pada kuda yang sakit
hanya boleh dilakukan oleh dinas
atau PPL setempat.
189
16. Peternak harus mengetahui jenis-
jenis penyakit dan cara
pengobatannya.
VII. ADOPSI PETERNAK TENTANG TEKNOLOGI PENGENDALIAN
PENYAKIT SURRA.
Saudara dapat memilih lebih dari satu jawaban !!!
1. Penanganan apa yang Bapak lakukan saat ternak kuda terserang penyakit
surra?
a. Melaporkan kejadian tersebut ke dinas peternakan
b. Mengisolasi kuda yang sakit sehingga tidak terjagkit pada kuda yang sehat
c. Pemotongan hewan terinfeksi
d. Melepaskan kuda yang sakit ke padang penggembalaan
e. Melakukan tindakan karantina
2. Apa yang Bapak lakukan untuk mencegah terdinya penyakit surra?
a. Melakukan vaksinasi
b. Membersihkan kandang
c. Melakukan pengawasan terhadap kuda-kuda yang diumbar
d. Ternak kuda diberikan pakan yang sehat
e. Membiarkan kandang dalam keadaan kotor
3. Bagaimanakah cara Bapak mengendalikan penyakit menular pada kuda yang
dipelihara?
a. Melaksanakan jadwal vaksinasi secara teratur
b. Membiarkan begitu saja tanpa tindakan apapun
c. Menjaga sanitasi kandang (membersihkan kandang dan peralatannya)
d. Memisahkan (mengisolasi) kuda yang sakit dari kuda yang sehat
e. Melaksanakan penyeprotan dengan insektisida pada kuda yang sehat
190
4. Usaha apa yang Bapak biasa lakukan agar kuda terhindar dari penyakit?
a. Menjaga lingkungan kandang tetap bersih
b. Memperlancar sirkulasi udara dalam kandang
c. Kuda yang sakit tidak dipisahkan dengan kuda yang sehat
d. Kuda yang sakit segera dipisahkan dari kelompoknya
e. Melakukan vaksinasi secara rutin
5. Usaha-usaha apa yang Bapak lakukan untuk mengobati kuda yang terinfeksi
penyakit surra?
a. Memberi obat tryponil
b. Memberi obat trypamidium
c. Memberikan pakan yang sehat
d. Tidak melakukan tindakan apapun
e. Selalu menjaga kondisi kandang agar tetap sehat
6. Obat apa yang sering Bapak berikan jika ternak kuda terserang penyakit ?
a. Trypamidium
b. trypolin
c. Larutan iodium
d. Penyemprotan dengan larutan coumaphos
e. Suramin
7. Apa yang Bapak lakukan untuk memberantas penyakit surra?
a. Melakukan pemotongan hewan terinfeksi
b. Melakukan karantina hewan
c. Pembatasan lalu lintas ternak di daerah wabah untuk mencegah penyebaran
penyakit.
d. Pelacakan (tracing) dan survei untuk mengetahui sumber infeksi dan
perluasan wabah penyakit.
e. Membiarkan ternak-ternak yang mati tanpa tindakan apapun
191
8. Usaha apa yang Bapak terapkan agar ternak kuda tidak terserang penyakit?
a. Dengan membasmi serangga penyebar penyakit secara rutin.
b. Kandang disemprot pestisida, terutama tempat-tempat yang banyak
dihinggapi lalat.
c. Lingkungan di sekitar kandang disemprot pestisida
d. Mengontrol keluar masuknya hewan dan manusia ke dalam kandang
e. Membiarkan ternak keluar masuk tanpa mengontrol dan melakukan
pemeriksaan.
9. Pakan yang bagaimanakah yang Bapak berikan agar ternak Bapak tetap
sehat?
a. Pakan yang berkualitas yaitu pakan yang tidak berjamur yang memiliki
gizi seimbang sesuai dengan kebutuhan ternak.
b. Pakan hijauan saja tanpa tambahan suplemen apapun
c. Pakan hijauan, dan kacang-kacangan yang memiliki gizi seimbang
d. Pakan yang mengandung protein, energi dan sehat
e. Pakan yang sehat seperti hijauan, bungkil kedelai, kacang dan bungkil
kelapa
10. Sejauh mana Bapak melakukan pengamatan terhadap ternak kuda yang
dipelihara?
a. Melakukan pengamatan sekali-sekali
b. Melakukan pengamatan setiap pagi dan sore
c. Tidak melakukan pengamatan sama sekali
d. Melakukan pengamatan setiap sore
e. Sesering mungkin menjaga.
11. Bagaimana cara pengandangan ternak kuda yang Bapak pelihara?
a. Ternak kuda dikandangkan pada sore hari saja sedangkan paginya kuda-
kuda dilepas dipadang penggembalaan untuk mencari pakan.
b. Kuda-kuda dikandangkan pada kandang berkelompok tanpa dilepaskan
dipadang penggembalaan
c. Kuda-kuda dikandangkan dan diberikan pakan dengan intensif
192
d. Kuda-kuda dilepas bebas dipadang penggembalaan tanpa dikandangkan
e. Kuda-kuda dikandangkan dengan menggunakan kandang individu.
12. Bagaimana Bapak merawat ternak kuda agar tetap sehat ?
a. Memandikan ternak kuda pagi dan sore
b. Memberikan pakan yang bergizi dengan kandungan energi yang seimbang
c. Melakukan vaksinasi secara teratur
d. Kandang kuda selalu di bersihkan dan diatur agar sirkulasi udara berjalan
dengan baik serta terlindung dari panas dan hujan.
e. Kuda-kuda dibiarkan bebas dipadang penggembalaan mencari pakan dan
minum sendiri.
13. Apakah ada perbedaan pakan, yang Bapak berikan untuk kuda yang sehat
dengan kuda yang sakit ?
a. Tidak ada perbedaan pemberian pakan untuk kuda yang sakit dan sehat
b. Pemberian pakan kuda yang sakit lebih intensif dibandingkan kuda sehat
c. Pakan kuda yang sakit dan sehat sama-sama memiliki gizi yang seimbang
d. Kuda sehat dan sakit diberikan pakan mengandung protein, mineral dan
sumber energi yang cukup
e. Kuda yang sehat dan sakit diberikan pakan yang mengandung vitamin,
protein dan mineral yang sumber energi yang seimbang.
14. Apa yang Bapak lakukan saat ternak kuda Bapak mati akibat penyakit surra?
a. Membakar kuda-kuda tersebut
b. Menguburnya saja
c. Membakar kuda-kuda yang mati
d. Memakan daging-daging kuda dengan cara di masak sampai benar-benar
matang
e. Melaporkan pada petugas dokter hewan setempat.
15. Apa yang Bapak lakukan untuk memisahkan hewan yang sakit dengan hewan
sehat?
a. Hewan yang sakit dibuatkan kandang khusus secara terpisah dengan hewan
yang sehat
193
b. Melakukan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk
mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina.
c. Hewan yang sakit tidak perlu untuk diasingkan dari hewan yang sehat
d. Pemeriksaan hewan yang sakit yang dilakukan oleh dokter hewan
e. Melakukan Pengasingan terhadap hewan yang sakit
PENYULUHAN, PELAYANAN DAN PENGATURAN di KABUPATEN SUMBA TIMUR
PENYULUHAN
1. Apakah penyuluh selalu mengunjungi rumah Bapak untuk berdiskusi mengenai penyakit surra?
a. Seminggu sekali
b. Dua minggu sekali
c. Tiga minggu sekali
d. Sebulan sekali
e. Lebih dari sebulan mengunjungi peternak
2. Apakah penyuluh selalu tepat waktu mengunjungi Bapak, Apabila Bapak melapor ada ternak yang sakit? a. Sangat tepat waktu
b. tepat waktu
c. Kadang-kadang
d. Kadang-kadang tepat waktu
e. Tidak pernah tepat waktu
3. Apakah penyuluh bersungguh-sunggung membantu Bapak, dalam proses
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat sungguh-sungguh
b. Sungguh-sungguh
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang sungguh-sungguh
e. Tidak sungguh-sungguh
194
4. Apakah dalam kegiatan penyuluhan, penyuluh menerapkan hal-hal yang baru
misalnya manajemen pemeliharan dalam hal pemberian pakan yang baik
untuk membantu proses pengendalian penyakit surra?
a. Sangat sering menghasilkan ide baru
b. Sering menghasilkan ide baru
c. Kadang-kadang menghasilkan ide baru
d. Jarang menghasilkan ide baru
e. Tidak pernah menghasilkan ide baru
5. Kegiatan apa saja yang dilakukan penyuluh dalam penyuluhan penyakit surra?
No Kegiatan Sangat sering
Sering Kadang-kadang
Jarang Tidak pernah
1 Memberikan materi yang diperlukan oleh peternak
2 Menjadi pemandu dalam diskusi
3 Memberikan teladan dalam pemeliharaan ternak kuda yang baik
4 Memotiovasi peternak
5 Memfasilitasi peternak dalam uji laboratorium dan permodalan
6. Apakah penyuluh menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan praktis
Bapak dalam menangani penyakit surra ? a. Sangat sesuai dengan kebutuhan praktis
b. Sesuai dengan kebutuhan praktis
c. Kadang-kadang sesuai dengan kebutuhan praktis
d. Jarang sesuai dengan kebutuhan praktis
195
e. Sangat jarang sesuai dengan kebutuhan praktis
7. Dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, apakah materi yang
disampaikan penyuluh dapat membantu mengatasi masalah Bapak dalam
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat membantu
b. Membantu
c. Kadang-kadang membantu
d. Kurang membantu
e. Sangat jarang membantu
8. Bagaimana jumlah kehadiran Bapak, dalam kegaiatan penyuluhan penyakit surra? a. 90-100 %
b. 80-90 %
c. 60-70 %
d. 40-50 %
e. 20-30 %
9. Dalam kegiatan penyuluhan bagaimana aktifitas diskusi Bapak dengan penyuluh? a. Aktifitas diskusi sangat baik
b. Aktifitas diskusi baik
c. Kadang – kadang melakukan diskusi
d. Jarang mengadakan diskusi
e. Tidak perna mengadakan diskusi
10. Bagaimana suasan diskusi tersebut?
No Suasana Sangat sering
Sering Kadang-kadang
Jarang Tidak pernah
1 Terjadi pertukaran ide antar peternak
2 Berbagi pengalaman
3 Mendengarkan pandangan masing-
196
masing antara peternak dan penyuluh
4 Pengambilan keputusan sebagai hasil diskusi
11. Bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh penyuluh pada saat berdiskusi dengan Bapak saat melakukan penyuluhan? a. Sangat ramah
b. Ramah
c. Sedang –sedang
d. Kurang ramah
e. Tidak ramah
12. Bagaimana pemahaman Bapak setelah mendapatkan penyuluhan? a. Sangat memahami
b. Memahami
c. Sedang-sedang
d. Kurang memahami
e. Tidak memahami
PELAYANAN
1. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan
pelayanan kepada Bapak dalam rangka pengendalian penyakit surra?
Kegiatan Sangat sering
Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Kegiatan vaksinasi
Pemeriksaan ternak
Pengobatan ternak sakit
197
Pelayanan informasi
2. Apakah pemerintah sangat antusias memberikan pelayanan pada Bapak dalam
rangka pengendalian penyakit surra?
a. Sangat antusias
b. Antusias
c. Kadang-kadang
d. Kurang antusias
e. Tidak melakukan pelayanan sama sekali
3. Bagaimanakah sikap Bapak, saat Bapak menerima pelayanan seperti
pelayanan obat-obatan, vaksin, pemeriksaan hewan sakit dll dalam
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat menerima
b. Menerima
c. Ragu-ragu
d. Kurang menerima
e. Tidak menerima
4. Bagaimana hubungan komunikasi Bapak dengan pemerintah atau orang yang
memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-obatan dll) dalam hal
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat akrab
b. Akrab
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang akrab
e. Tidak akrab
5. Menurut Bapak, apakah pelayanan (obat-obatan, vaksin, pemeriksaan ternak
sakit dll ) memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengendalian
penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur?
a. Sangat berperan besar
b. Berperan besar
c. Biasa-biasa saja
198
d. Kurang berperan
e. Tidak berperan
6. Bagaimana kemampuan pemerintah dalam membangun suasana hangat
dengan peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur dalam
proses pelayanan?
a. Menciptakan suasana yang sangat akrab dengan peternak
b. Melakukan diskusi dengan peternak-peternak kuda mengenai kendala-
kendala yang dihadapi dalam proses pengendalian penyakit surra
c. Melakukan pertukaran pikiran serta berbagi pengalaman dalam hal
menanggulangi penyakit pada ternak
d. Biasa-biasa saja tanpa adanya diskusi
e. Tidak akrab yaitu tanpa adanya diskusi atau membahas hal-hal mengenai
penyakit surra
7. Dalam kegiatan pelayanan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan
pemerintah atau orang yang memberikan pelayanan?
a. Aktifitas diskusi sangat baik
b. Aktifitas diskusi baik
c. Kadang – kadang melakukan diskusi
d. Jarang mengadakan diskusi
e. Tidak perna mengadakan diskusi
8. Apakah pemerintah selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke tempat
Bapak dalam proses pengendalian penyakit surra ?
a. 9-10 kali dalam sebulan
b. 7-8 kali dalam sebulan
c. 5-6 kali dalam sebulan
d. 3-4 kali dalam sebulan
e. 1-2 kali dalam sebulan
9. Bagaimana cara pemerintah memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi,
obat-obatan dan pemeriksaan hewan sakit dll) kepada Bapak di daerah
endemis surra?
a. Melakukan kunjungan langsung ke rumah peternak
199
b. Menitipkan vaksin, obat-obatan ke tokoh-tokoh masyarakat setempat
c. Mengumpulkan para peternak kuda lalu memberikan bantuan pelayanan
yang dibutuh dalam pengendalian penyakit surra
d. Memberikan pelayanan setiap saat peternak membutuhkan bantuan dalam
proses pengendalian penyakit surra
e. Melakukan pelayanan hanya pada saat peternak membutuhkan obat
PENGATURAN
1. Kebijakan apa saja yang diberikan pemerintah untuk menanggulangi kejadian
penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur?
a. Trasportasi hewan antar daerah, kecamatan dan desa di batasi, melakukan
karantina hewan, serta memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter
hewn setempat
b. Melakukan karantina hewan sakit saja
c. Adanya surat ijin pemasukan dan pengeluaran hewan baik antar kabupaten
maupun antar pulau
d. Melakukan Pemotongan hewan-hewan sakit akibat penyakit surra
e. Tidak ada kebijakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah
2. Bagaimana tanggapan Bapak mengenai kebijakan yang Bapak keluarkan?
a. Sangat tanggap d. Kurang tanggap
b. Tanggap e. Tidak tanggap
c. Sedang-sedang
3. Dalam penanganan penyakit surra apakah peraturan yang di keluarkan oleh
pemerintah sangat dipatuhi oleh peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten
Sumba Timur?
a. Sangat di patuhi
b. Di patuhi
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang dipatuhi
e. Tidak dipatuhi
200
4. Menurut Bapak apakah dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit
surra?
a. Sangat mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
b. Mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
e. Tidak mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
5. Menurut Bapak apakah peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam proses pengendalian
penyakit surra?
a. Sangat berperan besar
b. Berperan besar
c. Biasa-biasa saja
d. Kuran berperan
e. Tidak berperan
6. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian
ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat?
a. Ya ada aturan yaitu ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat harus
berasal dari tempat atau kecamatan yang akan diadakan proses adat-istiadat
b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-sistiada harus memiliki
surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat
c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk
daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan
d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor
lalat penyebab penyakit surra.
e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak
dibebaskan tanpa adanya karantina.
7. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah sehingga peternak-peternak kuda
mau mengikuti aturan-aturan yang di tetapkan?
201
a. Melakukan sosialisasi akan bahayanya penyakit surra yang mengancam
populasi ternak
b. Memberikan bantuan pelayanan dalam hal vaksnasi, obat-obatan dan
pemeriksaan hewan sakit
c. Selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke rumah peternak
d. Saling bertukar pikiran dalam hal menangani wabah penyakit sura
e. Tidak melakukan tindakan apapun, kunjungan dilakukan jika peternak
benar-benar butuh dalam hal pemeriksaan, pengobatan dan vaksinasi
8. Apakah yang dilakukan pemerintah jika aturan yang ditetapkan tidak diikuti
oleh peternak-peternak kuda?
a. Memberikan peringatan keras, jika peternak-peternak kuda melanggar
aturan yang telah ditetapkan
b. Langsung memberikan sanksi kepada peternak-peternak kuda yang
melanggar aturan
c. Memberikan sosialisasi sehingga peternak menyadari akan bahayanya
penyakit surra
d. jika ada peternak yang melanggar diberikan sanksi tidak mendapat bantuan
pelayanan seperti pemberian obat-obatan, vaksin dan pemeriksaan hewan.
e. Tidak memberikan sanksi, tetapi hanya mdapat teguran agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama.
202
DAFTAR PERTANYAAN
SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA
OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden penyuluh
I IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama Penyuluh :
2. Umur :
3. Masa kerja penyuluh (tahun) :
4. Penyuluh di kecamatan :
5. Pangkat/golongan :
6. Jabatan fungsional :
7. Jenis kelamin : 1) Laki-laki, 2) Perempuan
8. Status Perkawinan : 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
9. Isteri/suami :
- Nama :
- Umur :
- Pendidikan :
- Pekerjaan :
10. Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan
II PENYULUHAN
Pilihlah jawaban yang dianggap paling benar!
1. Seberapa seringkah Bapak mengunjungi peternak kuda yang ada di daerah
endemis penyakit surra ?
b. Seminggu sekali mengunjungi peternak
c. Dua minggu sekali mengunjungi peternak
d. Tiga minggu sekali mengunjungi peternak
e. Sebulan sekali mengunjungi peternak
f. Lebih dari sebulan mengunjungi peternak
203
2. Apakah Bapak selalu tepat waktu mengunjungi peternak kuda yang ada di
daerah endemis apabila mereka melaporkan ada ternak kuda yang sakit?
a. Sangat sering tepat waktu
b. Sering tepat waktu
c. Kadang-kadang
d. Kadang-kadang tepat waktu
e. Tidak pernah tepat waktu
3. Apakah Bapak selalu patuh terhadap undang-undang penyuluhan peternakan?
a. Sangat patuh
b. Patuh
c. Kadang-kadang patuh
d. Kurang patuh
e. Tidak pernah patuh
Apa alasan Bapak : …………………………………………………………….
………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………….
4. Apakah Bapak selalu bersungguh-sungguh membantu peternak kuda dalam
proses pengendalian penyakit surra?
a. Sangat sungguh-sungguh
b. Sungguh-sungguh
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang sungguh-sungguh
e. Tidak sungguh-sungguh
Mengapa, dan apa alasan Bapak : ……………………………………………...
………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………….
204
5. Apakah dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, Bapak
menerapkan hal-hal yang baru seperti manajemen pemeliharaan yaitu pola
pemberian pakan yang baik yang gampang diterapkan oleh peternak dalam
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat sering menerapkan hal-hal yang baru
b. Sering menerapkan hal-hal yang baru
c. Kadang-kadang menerapkan hal-hal yang baru
d. Jarang menerapkan hal-hal yang baru
e. Tidak pernah menerapkan hal-hal yang baru
6. Apakah dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, Bapak selalu
menghasilkan ide-ide baru dalam hal pemeliharaan ternak kuda untuk
membantu proses pengendalian penyakit surra?
a. Sangat sering menghasilkan ide baru
b. Sering menghasilkan ide baru
c. Kadang-kadang menghasilkan ide baru
d. Jarang menghasilkan ide baru
e. Tidak pernah menghasilkan ide baru
Tolong Bapak jelaskan : …………………………………………………….......
…………………………………………………………………………………..
7. Kegiatan apa saja yang Bapak lakukan dalam melakukan penyuluhan pada
peternak kuda?
No Kegiatan Sangat sering
Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
1 Memberikan materi yang diperlukan oleh peternak
2 Menjadi pemandu dalam diskusi
3 Memberikan teladan dalam pemeliharaan ternak kuda yang baik
205
4 Memotiovasi peternak
5 Memfasilitasi peternak dalam uji laboratorium dan permodalan
8. Apakah Bapak menyampaikan materi sesuai dengan kebutuhan praktis
peternak kuda di daerah endemis surra?
a. Sangat sering sesuai dengan kebutuhan praktis
b. Sering sesuai dengan kebutuhan praktis
c. Kadang-kadang sesuai dengan kebutuhan praktis
d. Jarang sesuai dengan kebutuhan praktis
e. Sangat jarang sesuai dengan kebutuhan praktis
Mohon dijelaskan, hal-hal apa saja, misalnya : ………………………………….
……………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………
9. Dalam kegiatan penyuluhan pengendalian penyakit surra, apakah materi yang
Bapak sampaikan dapat membantu mengatasi masalah peternak di daerah
endemis surra?
a. Sangat sering membantu
b. Sering membantu
c. Kadang-kadang membantu
d. Kurang membantu
e. Sangat jarang membantu
Mohon dijelaskan dalam hal apa saja : ………………………………………... ………………………………………………………………………………….. ………………………………………………………………………………….. …………………………………………………………………………………..
206
10. Bagaimana jumlah kehadiran peternak-peternak kuda dalam kegiatan
penyuluhan yang Bapak lakukan di daerah endemis yang Bapak tangani?
a. 90-100 %
b. 80-90 %
c. 60-70 %
d. 40-50 %
e. 20-30 %
11. Dalam kegiatan penyuluhan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan
peternak-peternak kuda di daerah endemis surra?
a. Aktifitas diskusi sangat baik
b. Aktifitas diskusi baik
c. Kadang – kadang melakukan diskusi
d. Jarang mengadakan diskusi
e. Tidak perna mengadakan diskusi
Mohon dijelaskan apa saja yang didiskusikan : …………………………….... ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………. 12. Bagaimana suasan diskusi tersebut?
No Suasana Sangat sering
Sering Kadang-kadang
Jarang Tidak pernah
1 Terjadi pertukaran ide antar peternak
2 Berbagi pengalaman
3 Mendengarkan pandangan masing-masing antara peternak dan penyuluh
4 Pengambilan keputusan sebagai hasil diskusi
207
13. Bagaimana sikap yang ditunjukkan oleh peternak kuda pada saat berdiskusi
dengan Bapak saat melakukan penyuluhan?
a. Sangat ramah
b. Ramah
c. Sedang –sedang
d. Kurang ramah
e. Tidak ramah
14. Menurut Bapak, bagaimana pemahaman para peternak-peternak kuda setelah
mendapatkan penyuluhan?
a. Sangat memahami
b. Memahami
c. Sedang-sedang
d. Kurang memahami
e. Tidak memahami
15. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian
ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat?
a. Ya ada aturan yaitu ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat
harus berasal dari tempat atau kecamatan yang akan diadakan proses adat-
istiadat
b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-sistiada harus memiliki
surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat
c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk
daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan
d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor
lalat penyebab penyakit surra.
e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak
dibebaskan tanpa adanya karantina.
208
DAFTAR PERTANYAAN
SURVAI ADOPSI TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENYAKIT SURRA
OLEH PETERNAK KUDA DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT
Untuk responden pemerintah
I IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama :
2. Umur :
3. Pangkat/golongan :
4. Jabatan fungsional :
5. Jenis kelamin : 1) Laki-laki, 2) Perempuan
6. Status Perkawinan : 1) Kawin, 2) Belum kawin, 3) Janda/Duda
7. Isteri/suami :
- Nama :
- Umur :
- Pendidikan :
- Pekerjaan :
8. Tingkat Pendidikan terakhir dan lama waktu pendidikan :
II PELAYANAN
1. Kegiatan apa saja yang Bapak lakukan dalam memberikan pelayanan kepada
peternak-peternak kuda yang endemis penyakit surra?
Kegiatan Sangat sering
Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah
Kegiatan vaksinasi
Pemeriksaan ternak
Pengobatan ternak sakit
Pelayanan informasi
209
2. Apakah Bapak sangat antusias memberikan pelayanan pada peternak kuda
dalam rangka pengendalian penyakit surra?
f. Sangat antusias
g. Antusias
h. Kadang-kadang
i. Kurang antusias
j. Tidak melakukan pelayanan sama sekali
Mengapa: …………………..…………………………………………………
………………………………………………………………………………..
………………………………………………………………………………..
3. Bagaimanakah sikap dari peternak kuda saat Bapak memberikan pelayanan
seperti memberikan obat-obatan, vaksin, pemeriksaan hewan sakit dll dalam
pengendalian penyakit surra?
a. Sangat menerima
b. Menerima
c. Ragu-ragu
d. Kurang menerima
e. Tidak menerima
Mengapa? : ……………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………... …………………………………………………………………………………... …………………………………………………………………………………...
4. Bagaimana hubungan komunikasi Bapak dengan peternak saat Bapak
memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-obatan dll) kepada mereka
dalam hal pengendalian penyakit surra?
a. Sangat akrab
b. Akrab
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang akrab
e. Tidak akrab
210
5. Menurut Bapak, apakah pelayanan (obat-obatan, vaksin, pemeriksaan ternak
sakit dll ) memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengendalian
penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur?
a. Sangat berperan besar
b. Berperan besar
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang berperan
e. Tidak berperan
6. Bagaimana kemampuan Bapak dalam membangun suasana hangat dengan
peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba Timur dalam proses
pelayanan?
a. Menciptakan suasana yang sangat akrab dengan peternak
b. Melakukan diskusi dengan peternak-peternak kuda mengenai kendala-
kendala yang dihadapi dalam proses pengendalian penyakit surra
c. Melakukan pertukaran pikiran serta berbagi pengalaman dalam hal
menanggulangi penyakit pada ternak
d. Biasa-biasa saja tanpa adanya diskusi
e. Tidak akrab yaitu tanpa adanya diskusi atau membahas hal-hal mengenai
penyakit surra
7. Dalam kegiatan pelayanan bagaimana aktifitas diskusi antara Bapak dengan
peternak-peternak kuda di Kabupaten Sumba Timur?
a. Aktifitas diskusi sangat baik
b. Aktifitas diskusi baik
c. Kadang – kadang melakukan diskusi
d. Jarang mengadakan diskusi
e. Tidak perna mengadakan diskusi
8. Apakah Bapak selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan kepada
peternak kuda yang berada diderah endemis?
a. 9-10 kali dalam sebulan
b. 7-8 kali dalam sebulan
c. 5-6 kali dalam sebulan
211
d. 3-4 kali dalam sebulan
e. 1-2 kali dalam sebulan
9. Bagaimana cara Bapak memberikan pelayanan (bantuan vaksinasi, obat-
obatan dan pemriksaan hewan sakit dll) kepada peternak kuda di Kabupaten
Sumba Timur?
a. Melakukan kunjungan langsung ke rumah peternak
b. Menitipkan vaksin, obat-obatan ke tokoh-tokoh masyarakat setempat
c. Mengumpulkan para peternak kuda lalu memberikan bantuan pelayanan
yang dibutuh dalam pengendalian penyakit surra
d. Memberikan pelayanan setiap saat peternak membutuhkan bantuan dalam
proses pengendalian penyakit surra
e. Melakukan pelayanan hanya pada saat peternak membutuhkan obat
III PENGATURAN
1. Kebijakan apa saja yang Bapak berikan untuk menanggulangi kejadian
penyakit surra di Kabupaten Sumba Timur?
a. Trasportasi hewan antar daerah, kecamatan dan desa di batasi, melakukan
karantina hewan, serta memiliki surat-surat keterangan sehat dari dokter
hewn setempat
b. Melakukan karantina hewan sakit saja
c. Adanya surat ijin pemasukan dan pengeluaran hewan baik antar kabupaten
maupun antar pulau
d. Melakukan Pemotongan hewan-hewan sakit akibat penyakit surra
e. Adanya surat keterangan sehat yang dikeluarkan oleh dokter hewan
setempat
2. Bagaimana tanggapan para peternak kuda mengenai kebijakan yang Bapak
keluarkan?
a. Sangat tanggap d. Kurang tanggap
b. Tanggap e. Tidak tanggap
c. Sedang-sedang
212
3. Dalam penanganan penyakit surra apakah peraturan yang Bapak keluarkan
sangat dipatuhi oleh peternak-peternak kuda yang ada di Kabupaten Sumba
Timur?
a. Sangat di patuhi
b. Di patuhi
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang dipatuhi
e. Tidak dipatuhi
4. Menurut Bapak apakah dengan kebijakan-kebijakan yang Bapak keluarkan
mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra?
a. Sangat mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
b. Mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
c. Biasa-biasa saja
d. Kurang mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
e. Tidak mampu menekan angka kematian ternak kuda akibat penyakit surra
5. Menurut Bapak apakah peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan memiliki
peran yang sangat penting dalam proses pengendalian penyakit surra?
a. Sangat berperan besar
b. Berperan besar
c. Biasa-biasa saja
d. Kuran berperan
e. Tidak berperan
6. Apakah ada aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah dalam hal pembelian
ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat?
a. Ternak-ternak yang digunakan dalam adat istiadat harus berasal dari tempat
atau kecamatan yang akan diadakan proses adat-istiadat
b. Ternak-ternak yang akan digunakan dalam adat-istiadat harus memiliki
surat-surat keterangan sehat dari dokter hewan setempat
c. Aturan-aturan hanya berlaku didaerah endemis surra, sedangkan untuk
daerah/kecamatan yang tidak endemis surra tidak diberlakukan aturan
213
d. Transportasi hewan antar kecamatan dilarang, untuk menghambat vektor
lalat penyebab penyakit surra.
e. Tidak ada peraturan yang ditetapkan pemerintah, transportasi ternak
dibebaskan tanpa adanya karantina.
7. Apakah yang dilakukan oleh pemerintah sehingga peternak-peternak kuda mau
mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan?
a. Melakukan penyuluhan akan bahayanya penyakit surra yang mengancam
populasi ternak
b. Memberikan bantuan pelayanan dalam hal vaksnasi, obat-obatan dan
pemeriksaan hewan sakit
c. Selalu mengadakan komunikasi dan kunjungan ke rumah peternak
d. Saling bertukar pikiran dalam hal menangani wabah penyakit sura
e. Tidak melakukan tindakan apapun, kunjungan dilakukan jika peternak
benar-benar butuh dalam hal pemeriksaan, pengobatan dan vaksinasi
8. Apakah yang dilakukan pemerintah jika aturan yang ditetapkan tidak diikuti
oleh peternak-peternak kuda?
a. Memberikan peringatan keras, jika peternak-peternak kuda melanggar
aturan yang telah ditetapkan
b. Langsung memberikan sanksi kepada peternak-peternak kuda yang
melanggar aturan
c. Memberikan sosialisasi sehingga peternak menyadari akan bahayanya
penyakit surra
d. jika ada peternak yang melanggar diberikan sanksi tidak mendapat bantuan
pelayanan seperti pemberian obat-obatan, vaksin dan pemeriksaan hewan.
e. Tidak memberikan sanksi, tetapi hanya mdapat teguran agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama.