unud-375-1751444521-tesis gede wiratmaja(0991961008)
TRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah
memasuki tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari
metode pemecahan masalahnya, termasuk Indonesia. Menurut data PDSI (2008), saat
ini sumber energi dunia masih didominasi oleh sumber daya alam yang tidak
terbarukan antara lain minyak bumi, batubara dan gas alam, yakni sekitar 80,1%,
dimana masing - masing penggunaanya adalah olahan minyak bumi sebesar 35,03%,
batubara sebanyak 24,59% dan gas alam sekitar 20,44%. Sumber energi terbarukan
lainnya, tetapi mengandung resiko yang cukup tinggi adalah energi nuklir yaitu sekitar
6,3%. Sementara itu sumber energi terbarukan lainnya yang baru dikembangkan sekitar
13,6%, terutama biomassa tradisional, yaitu hanya sekitar 8,5% saja.
Kelangkaan yang disertai tingginya harga bahan bakar minyak secara
global beberapa tahun terakhir membuat banyak negara di dunia meningkatkan
upayanya untuk menggunakan biofuel sebagai bahan bakar alternatif. Salah satu
biofuel yang paling banyak digunakan adalah etanol, zat ini diekstrak dari
tanaman pangan seperti tebu dan singkong (Prihandana dkk, 2007). Pemerintah
Indonesia juga telah mengeluarkan dua kebijakan penting tentang energi alternatif
ini. Kebijakan itu adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006
tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1
Tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati atau biofuel.
2
Kebijakan tersebut adalah instruksi untuk mengambil langkah-langkah untuk
melaksanakan percepatan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati
(biofuels) sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar konvensional yang
digunakan saat ini.
Pemakaian biogasoline (campuran bensin dan etanol) pada mesin
kendaraan berbahan bakar bensin ternyata mempunyai efek positif terhadap
lingkungan, karena dapat menekan emisi CO2, CO, hidrokarbon dan SOX.
Meningkatnya penggunaan etanol sebagai salah satu sumber energi
alternatif akan meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini
teknologi generasi pertama pembuatan etanol yang telah mantap dikembangkan
adalah teknologi starch - based (Sun and Cheng, 2002), maka dikhawatirkan akan
terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan
sumber energi. Selain itu, untuk menggantikan semua kebutuhan bahan bakar
minyak dunia saat ini dengan etanol maka diperlukan luas tanah, lahan pertanian,
hutan, dan lain-lain yang tidak terbatas. Apalagi jika melihat bahwa saat ini di
berbagai negara, khususnya negara berkembang sudah menunjukkan indikasi
adanya krisis pangan dan energi sehingga sangatlah perlu untuk segera dicari
sumber bahan baku pembuatan etanol yang lain.
Sumber bahan baku potensial yang ketersediaannya melimpah, berharga
murah, belum banyak dimanfaatkan orang dan mengandung struktur gula
sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah bahan-bahan berlignosellulosa
(Ho dkk, 1998), yang dalam beberapa dekade terakhir, menjadi salah satu obyek
penelitian yang menarik untuk mengetahui potensi dari bahan – bahan
3
lignoselulosa dalam usaha memproduksi etanol generasi kedua (Curreli dkk,
1997; Gaspar dkk, 2005).
Proses pembuatan etanol dari bahan berselulosa memerlukan beberapa
tahapan sebelum menghasilkan etanol, salah satunya adalah tahapan fermentasi.
Hal ini disebabkan karena struktur selulosa yang lebih kompleks sehingga harus
dirombak agar proses fermentasi sebagai tahapan awal pembuatan etanol dapat
berlangsung dengan optimal. Menurut Shofiyanto (2008), bahan selulosa pada
limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk produksi etanol dengan
melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan gula sederhana dan mempermudah kerja yeast dalam
proses fermentasi.
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000
km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati
yang sangat besar dan beragam. Berbagai sumberdaya hayati tersebut merupakan
potensi pembangunan yang sangat penting sebagai sumber-sumber pertumbuhan
ekonomi baru. Salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan adalah rumput laut. Hal ini dikarenakan jumlah permintaan rumput laut
di pasar lokal dan ekspor masih lebih besar dari pada penawarannya. Oleh karena itu
pemerintah saat ini tengah menggalakkan peningkatan produksi komoditi rumput laut,
sehingga untuk kedepannya produksi rumput laut di Indonesia akan terus mengalami
peningkatan yang signifikan.
Perkembangan penelitian pendayagunaan rumput laut di Indonesia telah
dimulai sejak Ekspedisi Siboga yang dilakukan antara tahun 1899 - 1900. Penelitian
4
selanjutnya dilakukan Van Bosse pada tahun 1913 - 1928 telah berhasil mengoleksi
jenis rumput laut yang tumbuh di perairan Indonesia sebanyak 555 jenis. Pada
penelitian Van Bosse tahun 1914 - 1916 di Kepulauan Kai pada Ekspedisi Danish
menemukan sebanyak 25 jenis alga merah, 28 jenis alga hijau dan 11 jenis alga coklat.
Tidak semua hasil panen Eucheuma cottonii dapat diekspor sebagai bahan baku
kosmetik dan bahan makanan, karena ada saja bagian – bagian yang tidak masuk
kedalam kriteria kelayakan sebagai bahan baku untuk diekspor. Sisa hasil panen ini ada
yang terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat karena kurangnya nutrisi yang
sangat dibutuhkan dalam masa pertumbuhan, serangan gulma, serta adanya serangan
predator luar seperti ikan yang merusak pertumbuhan Eucheuma cottonii. Sehingga
Eucheuma cottonii yang tidak masuk kriteria ekspor tersebut, menjadi kurang
termanfaatkan dan cenderung dibiarkan begitu saja sehingga teronggok membusuk dan
pada akhirnya menjadi sampah pantai yang mengganggu kesehatan, terutama bagi para
wisatawan. Alangkah baiknya apabila sisa hasil panen Eucheuma cottonii yang tidak
termanfaatkan tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi salah satu bahan baku
pembuatan etanol pengganti bahan baku yang selama ini digunakan seperti jarak,
singkong dan tebu.
Peluang pemanfaatan limbah Eucheuma cottonii ini mempunyai prospek yang
sangat bagus sebagai salah satu sumber energi alternatif nabati di masa depan
khususnya sebagai bahan baku pembuatan etanol, melihat kondisi Indonesia sebagai
negara maritim dimana dua per tiga luas wilayahnya merupakan lautan, dan rumput laut
sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat disepanjang pesisir pantai – pantai di
Indonesia pada umumnya dan di Provinsi Bali pada khususnya.
5
Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas tentang pemanfaatan alga
sebagai bahan bakar alternatif, salah satunya adalah penelitian dari Jorge Alberto Vieira
Costa dan Michele Greque de Morais dari Laboratory of Biochemical Engineering,
College of Chemistry and Food Engineering, Federal University of Rio Grande, Brazil
(2010) yang melaporkan bahwa mikroalga ternyata dapat dijadikan sebagai sumber
bahan baku utama dalam pembuatan biofuel pengganti energi fosil karena ramah
lingkungan, dan mampu mengurangi emisi gas karbondioksida yang berdampak pada
efek rumah kaca dan pemanasan global.
Selanjutnya ada pula hasil penelitian sebelumnya tentang rumput laut dari jenis
Eucheuma cottonii yaitu dari hasil penelitian Luthfy (1988) yang melaporkan bahwa
rumput laut jenis Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein
2,80 %, lemak 1,78 %, serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup
tinggi yaitu sekitar 68,48 %.
Dari paparan hasil penelitian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa limbah
Eucheuma cottonii dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan etanol dengan
tahapan awal proses fermentasi, melihat kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi,
yaitu sekitar 68,48%. Salah satu hal yang belum menarik banyak orang dalam bidang
penelitian tentang pengolahan Eucheuma cottonii menjadi etanol adalah adanya
senyawa lignin yang membungkus selulosa didalam matriks Eucheuma cottonii.
Adanya lignin dalam bahan berselulosa ini akan menghambat aktifitas enzim yang
terdapat didalam ragi dalam proses pengkonversian gula sederhana menjadi etanol.
Sehingga untuk meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu dilakukan proses
delignifikasi untuk mendegradasi lignin dari struktur selulosa dengan menggunakan
6
bantuan senyawa katalis, salah satu caranya adalah dengan menggunakan katalis kimia
berupa senyawa NaOH. Dari hasil penelitian Samsul Rizal (2005), penambahan
konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan kandungan
selulosa dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum
selulosa sekitar 91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2
% saja.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka rumusan permasalahan
yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi senyawa NaOH pada tahapan
proses delignifikasi dalam usaha mengoptimalkan proses pembuatan etanol
berbahan baku limbah Eucheuma cottonii ?
2. Bagaimanakah perbandingan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan
laju fermentasi yang dihasilkan dari setiap variasi delignifikasi, variasi
perbandingan ragi dengan limbah Eucheuma cottonii, variasi perlakuan dan
variasi waktu fermentasi pada rangkaian proses fermentasi limbah
Eucheuma cottonii?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Menganalisa pengaruh variasi konsentrasi senyawa NaOH pada proses
delignifikasi dalam usaha mempermudah proses pembuatan etanol generasi
kedua dari limbah Eucheuma cottonii.
2. Menganalisa perbandingan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan
laju fermentasi yang dihasilkan yang dihasilkan dari setiap variasi
delignifikasi, variasi perbandingan ragi dengan limbah Eucheuma cottonii,
variasi perlakuan dan variasi waktu fermentasi pada proses fermentasi
limbah Eucheuma cottonii.
1.3.2 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menggali potensi limbah rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottonii
sebagai salah satu sumber bahan baku alternatif dalam pembuatan etanol
generasi kedua pengganti etanol generasi pertama berbahan baku biomassa
darat yang selama ini digunakan.
2. Memberikan salah satu solusi alternatif dalam usaha mengatasi permasalahan
sumber energi terbarukan di Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat-
manfaat seperti yang tercantum di bawah ini :
1. Diperoleh data-data signifikan yang dapat dijadikan acuan awal dalam hal
penggunaan, pemanfaatan serta pengoptimalan pemakaian limbah Eucheuma
8
cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku pembuatan etanol sehingga
untuk kedepannya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber energi alternatif
pengganti bahan bakar fosil yang digunakan selama ini.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat luas terkait potensi menjanjikan
dari limbah Eucheuma cottonii sebagai salah satu sumber bahan baku
alternatif pembuatan etanol sebagai bahan bakar ramah lingkungan di masa
depan.
3. Dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam usaha mendukung gerakan
green energy.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dari permasalahan yang dihadapi perlu kiranya diberikan batasan – batasan
atau ruang lingkup, sehingga rumusan permasalahan dapat diselesaikan dengan cara
yang lebih sederhana tanpa ada bias tanpa mengurangi keakuratan dari hasil penelitian.
Adapun beberapa batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan etanol disini menggunakan bahan baku limbah makroalga dari
jenis Eucheuma cottonii yang masuk dalam katagori ganggang merah.
2. Khamir (ragi) yang digunakan dalam proses fermentasi disini adalah jenis
Saccharomyces cerevisiae yang mana merupakan khamir terbaik dan tercepat
dalam membantu proses fermentasi.
3. Senyawa kimia yang digunakan dalam usaha pendegradasian lignin dalam
limbah Eucheuma cottonii pada tahap pretreatment menggunakan senyawa
Natrium Hidroksida (NaOH).
9
4. Senyawa yang digunakan dalam usaha mengoptimalisasi proses fermentasi
dengan perlakuan secara biologi menggunakan larutan Effective
Microorganism (EM4).
5. Variasi – variasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variasi delignifikasi limbah Eucheuma cottonii dengan larutan NaOH :
a) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 10% Larutan NaOH
b) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 15% Larutan NaOH
c) 30 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 20% Larutan NaOH
Variasi treatment limbah Eucheuma cottonii dari setiap variasi delignifikasi:
a) 15 kilogram limbah Eucheuma cottonii ditreatment dengan proses
perlakuan fisika seperti penekanan, penggilingan dan penghancuran
serta dilanjutkan dengan pemasakan (proses hidrolisis).
b) 15 kilogram limbah Eucheuma cottonii ditreatment dengan proses
pemasakan (hidrolisis) yang dilanjutkan dengan perlakuan secara
biologi yaitu dengan penambahan Effective Microorganism (EM4).
Variasi konsentrasi ragi yang digunakan dalam satu kali rentang proses
fermentasi adalah sebagai berikut:
a) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 1,5 gram ragi
b) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 3 gram ragi
c) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 4,5 gram ragi
d) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 6 gram ragi
e) 1 kilogram limbah Eucheuma cottonii + 7,5 gram ragi
10
Variasi waktu fermentasi:
a) 3 hari, 6 hari dan 9 hari
6. Analisa – analisa penelitian yang dilakukan antara lain:
a) Analisa pengaruh variasi proses delignifikasi terhadap proses
fermentasi limbah Eucheuma cottonii.
b) Analisa pengaruh variasi perlakuan, variasi komposisi perbandingan
ragi dengan limbah Eucheuma cottonii dan variasi waktu fermentasi
terhadap kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju
fermentasi yang dihasilkan dalam proses fermentasi limbah
Eucheuma cottonii.
c) Pemodelan matematis proses laju fermentasi dalam usaha
memprediksi hasil penelitian kedepannya.
7. Reaksi atau proses kimia tidak dijabarkan dalam penelitian ini.
8. Pengujian dan analisa data dilakukan di Pusat Kajian Industri dan Energi
Jurusan Teknik Mesin serta Laboratorium Bioteknologi, Gedung
Pascasarjana Universitas Udayana.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Rumput Laut
Alga laut diklasifikasikan menjadi makroalga dan mikroalga. Makroalga terdiri
dari banyak sel yang membentuk koloni (Eastro dan Huber, 2003). Makroalga
termasuk alga merah, alga hijau, dan alga coklat dan pada umumnya disebut dengan
rumput laut. Struktur rumput laut lebih kompleks dari pada alga uniselular. Rumput laut
tidak memiliki daun, batang dan akar sejati. Bagian tubuhnya disebut dengan thallus,
dapat berupa filamen, lembaran tipis berdaun banyak.
Rumput laut (seaweed), alga, ganggang dan lamun (seagrass) adalah tumbuhan
yang memiliki perbedaan. Rumput laut atau yang biasa disebut dengan seaweed
merupakan tanaman makro alga yang hidup di laut yang tidak memiliki akar, batang
dan daun sejati dan pada umummnya hidup di dasar perairan. Rumput laut disebut
tanaman karena memiliki klorofil (zat hijau daun) sehingga bisa berfotosintesis.
Rumput laut juga sering disebut sebagai alga atau ganggang pada daerah - daerah
tertentu di Indonesia. Akan tetapi rumput laut (seaweed) berbeda dengan lamun
(seagrass). Lamun adalah tanaman yang hidup dilaut dan tidak memiliki klorofil.
Bagian-bagian rumput laut secara umum terdiri dari holdfast yaitu bagian dasar
dari rumput laut yang berfungsi untuk menempel pada substrat dan thallus yaitu
bentuk-bentuk pertumbuhan rumput laut yang menyerupai percabangan. Tidak semua
rumput laut bisa diketahui memiliki holdfast atau tidak. Rumput laut memperoleh atau
menyerap makanannya melalui sel-sel yang terdapat pada thallusnya. Nutrisi terbawa
11
12
oleh arus air yang menerpa rumput laut akan diserap sehingga rumput laut bisa tumbuh
dan berkembangbiak. Perkembangbiakan rumput laut melalui dua cara yaitu generatif
dan vegetatif. Gambar bagian - bagian dari holdfast dan thallus dari rumput laut dapat
dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.
Gambar 2.1 Morfologi Rumput Laut (Sumber : Afrianto dan Liviawati, 1993)
Secara morfologis rumput laut merupakan tanaman laut yang berklorofil dan
memiliki thallus (batang). Rumput laut tidak memiliki perbedaan yang jelas antara
akar, batang dan daun. Pertumbuhan dan percabangan thallus rumput laut antara jenis
yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Bentuk thallus rumput laut juga
bervariasi, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong,
lembaran dan juga ada yang berbentuk seperti helai rambut.
Pada umumnya klasifikasi alga ditentukan dari pigmennya. Selain mengandung
klorofil, alga yang juga disebut rumput laut ini juga mengandung zat warna lainnya
seperti biru,keemasan, pirang, coklat dan merah. Karena memiliki klorofil, maka rumput
laut dikatakan bersifat autotrop, yaitu dapat hidup sendiri tanpa harus tergantung pada
makhluk lainnya.
Para ahli menggolongkan alga dalam 5 kelas berdasarkan pigmentasinya, yaitu :
1. Cyanophyta (alga biru)
13
2. Chlorophyta (alga hijau)
3. Chrysophyta (alga keemasan)
4. Phaeophyta (alga coklat)
5. Rhodophyta (alga merah)
Penggolongan tersebut di atas berdasarkan pada kandungan warna (pigmen)
yang terkandung di dalamnya dan terlihat, baik pada saat hidup maupun ketika mati
kekeringan. Cyanophyta mengandung warna biru sehingga disebut alga biru.
Chlorophyta mengandung warna hijau, Chrysophyta mengandung warna keemasan,
Phaeophyta mengandung warna coklat dan Rhodophyta mengandung warna merah.
2.2 Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi budidaya rumput laut
adalah sebagai berikut:
1. Keterlindungan lokasi, dimana lokasi harus terlindung untuk cmenghindari
kerusakan fisik rumput laut dari terpaan angin dan gelombang yang besar.
2. Dasar perairan yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah dasar
perairan yang stabil yang terdiri dari potongan karang mati bercampur dengan
pasir karang, dan adanya seagrass. Hal ini menunjukkan adanya gerakan air yang
baik.
3. Kedalaman air berkisar antara 30 -50 cm pada surut terendah, supaya rumput laut
tidak mengalami kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung dan
masih memperoleh penetrasi sinar matahari pada waktu pasang. Kedalaman
maksimal adalah setinggi orang berdiri dengan mengangkat tangannya.
14
Umur panen yang tepat akan sangat mempengaruhi kualitas dari rumput laut
tersebut. Yunizal dkk,(2000) menyatakan bahwa sebagai bahan baku pengolahan,
rumput laut harus dipanen pada umur yang tepat. Untuk rumput laut jenis Gracilaria
pemanenan dilakukan setelah berumur 3 bulan, sedangkan untuk jenis Eucheuma
dipanen setelah berumur 1,5 bulan atau lebih.
2.3 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Rumput Laut
Faktor-faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut
dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Suhu
Suhu merupakan indikasi jumlah energi (panas) yang terdapat dalam satu
sistem atau massa (Permatasari, 2003). Karena sifat fisiknya, air, terutama dalam
jumlah besar seperti lautan menunjukan perubahan suhu yang kecil dan jarang melebihi
batas letal organisme (Nyabakken, 1992). Namun, wilayah pantai dipengaruhi oleh
suhu udara selama periode yang berbeda-beda dan suhu ini mempunyai kisaran yang
luas baik secara harian maupun secara musiman.
Perubahan suhu ini terjadi saat terjadinya pasang atau surut maksimal. Suhu
juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap organisme laut. Organisme laut
dapat mati kehabisan air, meningkatnya suhu dapat mempercepat kehabisan air. Suhu
air di permukaan nusantara berkisar antara 28 – 31°C (Permatasari, 2003). Suhu di
dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada di lepas pantai.
Suhu perairan sangat mempengaruhi laju fotosintesis, nilai suhu perairan yang
optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis rumput laut. Secara prinsip
15
suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat
merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada
suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai
akibat terbentuknya kristal di dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat
mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan rumput laut, seperti
kehilangan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan
respirasi (Eidman, 1991). Selanjutnya menurut Sulistijo (1994) menyatakan kisaran
suhu perairan laut yang baik untuk rumput laut jenis Eucheuma adalah berkisar antara
27 - 30 oC.
b. Arus
Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh
tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan pasang surut yang bergelombang panjang
dari laut terbuka (Nontji, 1987). Arus mempunyai peranan penting dalam penyebaran
unsur hara di laut. Arus ini sangat berperan dalam perolehan makanan bagi alga laut
karena arus dapat membawa nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan rumput
laut.
Aslan (1991) menyatakan bahwa dalam budidaya rumput laut, kerugian yang
ditimbulkan bila ombak atau gelombang cukup kuat adalah rumput laut kesulitan
menyerap nutrisi yang berguna bagi pertumbuhan, perairan menjadi keruh sehingga
menghalangi proses fotosintesis, dan menurut Sulistijo (1994), salah satu syarat untuk
menentukan lokasi Eucheuma sp adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 - 0,66
m/detik.
16
c. Salinitas
Salinitas merupakan kadar garam yang terkandung dalam air laut. Perubahan
salinitas dapat mempengaruhi organise-organisme yang hidup di laut dan zona
intertidal (Nybakken, 1992). Pada keadaan tertentu penurunan salinitas yang melewati
batas toleransi akan mengakibatkan matinya organisme tertentu. Salinitas akan
mengalami penurunan saat hujan dan mengalami kenaikan saat siang hari yaitu saat
terjadi penguapan.
Kenaikan salinitas akan menurunkan potensi air yang menyebabkan percepatan
plasmolisis sel dan stress pada rumput laut (Graham dan Wilcox, 2000). Rumput laut di
daerah intertidal dapat mentoleransi perubahan salinitas lebih baik dibandingkan
rumput laut di daerah subtidal.
Jenis Eucheuma sp tumbuh berkembang dengan baik pada tingkat salinitas
yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat
menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp menurun. Sadhori (1989)
menyatakan bahwa salinitas yang cocok untuk pertumbuhan rumput laut berkisar antara
31-35 ppt. Selanjutnya menurut Dawes (1981), kisaran salinitas yang baik bagi
pertumbuhan Eucheuma sp adalah 30-35 ppt. Sementara itu Soegiarto dkk. (1978)
menyatakan kisaran salinitas yang baik untuk Eucheuma sp adalah 32 - 35 ppt.
d. pH
Keasaman atau derajat pH merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Aslan (2005)
menyatakan bahwa kisaran pH maksimum untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5 -
8,5.
17
e. Pasang Surut
Naik dan turunnya permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu
tertentu disebut pasang-surut (Nybakken, 1992). Pasang-surut terjadi karena interaksi
antara gaya gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang
ditimbulkan oleh rotasi bumi dan sistem rotasi bulan. Pasang-surut berpengaruh
terhadap kehidupan rumput laut. Pola pasang surut mempengaruhi struktur komunitas
rumput laut (Graham dan Wilcox, 2000). Perbedaan pasang surut yang terlalu tinggi
dapat menghambat budidaya rumput laut. Perbedaan pasang surut yang terlalu tinggi
menyebabkan spine (ujung tanaman) menjadi kering dan rusak.
f. Substrat dan Nutrien
Tipe dan sifat substratum dan dasar perairan merupakan faktor penting dalam
pemilihan lokasi. Keadaan substratum ini merupakan refleksi dari keadaan oseanografi
perairan karang dan dapat pula digunakan untuk menentukan derajat kemudahan dalam
pembangunan konstruksi budidaya. Area yang sangat berkarang umumnya sangat
terbuka terhadap ombak (wave exposed), sedangkan tipe substratum yang terdiri dari
fine sand atau silt umumnya terlindung dari segala macam gerak air. Kedua macam
substratum ini tidak tepat untuk dipilih (Mubarak, 1982).
2.4 Kandungan Dan Manfaat Rumput Laut
Rumput laut telah lama digunakan sebagai makanan maupun obat-obatan di
negeri Jepang, Cina, Eropa maupun Amerika. Diantaranya sebagai nori, kombu, puding
atau dalam bentuk hidangan lainnya seperti sop, saus dan dalam bentuk mentah sebagai
sayuran. Adapun pemanfaatan rumput laut sebagai makanan karena mempunyai gizi
18
yang cukup tinggi yang sebagian besar terletak pada karbohidrat di samping lemak dan
protein yang terdapat di dalamnya.
Menurut Harvey (2009), secara kimia rumput laut terdiri dari air (27,8%),
protein (5,4%), karbohidrat (33,3%), lemak (8,60%), serta serat kasar (3,0%), dan abu
(22,25%) dan menurut Suriawiria (2003), uji proksimat yang dilakukan pada limbah
rumput laut kering didapatkan presentase masing-masing komponen kadar air adalah
11.28%, kadar abu 36,05%, kadar lemak 0,42%, kadar protein 1.86%, kadar serat kasar
8,96% dan karbohidrat 41,43%.
2.5 Alga Merah (Rhodophyta)
Alga merah merupakan kelompok alga yang jenis-jenisnya memiliki berbagai
bentuk dan variasi warna. Salah satu indikasi dari alga merah adalah terjadi perubahan
warna dari warna aslinya menjadi ungu atau merah apabila alga tersebut terkena panas
atau sinar matahari secara langsung. Alga merah merupakan golongan alga yang
mengandung karaginan dan agar yang bermanfaat dalam industri kosmetik dan
makanan. Alga merah pun dapat berproduksi dengan cepat yaitu sekitar 7-13% bahkan
dapat bertambah sampai 20% per harinya.
Dapat dibayangkan apabila harus menggunakan pohon yang harus menunggu
puluhan tahun. Dengan adanya bahan baku untuk energi alternatif ini diharapkan
pohon-pohon di dunia tidak semakin berkurang karena pohon merupakan hal yang
sangat penting bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian ekologi. Budidaya alga
merah ini dapat dilakukan oleh siapa saja karena mudah dikembangkan. Alga ini dapat
ditemukan di perairan dengan arus yang tenang. Beberapa contoh rumput laut jenis alga
19
merah yang bernilai ekonomis dan terdapat di perairan laut Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1
Jenis Alga Merah Yang Memiliki Nilai Ekonomis Di Perairan Laut Indonesia
No Nama Spesies Contoh gambar Ciri –ciri dan Habitat
1 Eucheuma
cottonii
Thallus silindris, permukaan
licin, warna hijau, kuning,
abu – abu dan merah.
Melekat pada substrat
dengan alat perekat dengan
cakram.
2 Eucheuma
spinossum
Thallus silindris,permukaan
licin, warna coklat tua, hijau
coklat, hijau kuning atau
merah ungu. Tumbuh di
daerah bersubstrat batu.
3 Eucheuma
edule
Thallus silindris, permukaan
licin, warna hijau kuning
atau coklat hijau. Pada
thallus terdapat benjolan.
Menepel pada batu di
daerah rataan terumbu
karang.
4 Gelledella
acerosa
Thallus silindris dengan
percabangan tidak teratur
yang keluar dari stolon.
Thallus mempunyai ranting
– ranting pendek.
Sumber: Rumput Laut, Jenis Dan Morfologinya,Wahid Junaedi, 2004
20
2.6 Eucheuma cottonii
Rumput laut jenis Eucheuma cottonii merupakan salah satu rumput laut dari
jenis alga merah (Rhodophyta). Rumput laut jenis ini memiliki thallus yang licin dan
silindris, berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu dan merah. Tumbuh melekat pada
substrat dengan alat perekat berupa cakram (Atmadja dkk,1996).
Klasifikasi Eucheuma cottonii menurut Doty (1985) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma alvarezii
Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning,
abu-abu atau merah sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini
merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen
dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 1998). Penampakan thallus bervariasi
mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada thallus runcing
memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke
berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal
(pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang
pertama dan kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan mengarah
ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja dkk, 1996).
21
Umumnya Eucheuma cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu
(reef). Habitat khasnya adalah daerah yang memperoleh aliran air laut. Kondisi perairan
yang sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii yaitu perairan terlindung dari
terpaan angin dan gelombang yang besar, kedalaman perairan 7,65 - 9,72 m, salinitas 33
-35 ppt, suhu air laut 28-30 oC, kecerahan 2,5-5,25 m, pH 6,5-7,0 dan kecepatan arus 22-
48 cm/detik (Wenno, 2009).
2.7 Lignoselulosa
Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman
dengan komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Fujita dan Harada,
1991). Ketersediaannya yang cukup melimpah, terutama sebagai limbah
pertanian, perkebunan, dan kehutanan, menjadikan bahan ini berpotensi sebagai
salah satu sumber energi melalui proses konversi, baik proses fisika, kimia
maupun biologis. Lignoselulosa mengandung tiga komponen penyusun utama,
yaitu selulosa (30-50%-berat), hemiselulosa (15-35%-berat), dan lignin (13-30%-
berat).
Selulosa adalah senyawa kerangka yang menyusun 40% - 50% bagian
kayu dalam bentuk selulosa mikrofibril, di mana hemiselulosa adalah senyawa
matriks yang berada di antara mikrofibril mikrofibril selulosa. Lignin, di lain
pihak adalah senyawa yang keras yang menyelimuti dan mengeraskan dinding sel.
Salah satu proses konversi bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah
proses konversi bahan berlignoselulosa menjadi etanol generasi kedua yang
22
selanjutnya dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk
keperluan transportasi.
2.7.1 Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan istilah umum bagi polisakarida yang larut dalam
alkali. Hemiselulosa sangat dekat asosiasinya dengan selulosa dalam dinding sel
tanaman (Fengel dan Wegener, 1984). Hemiselulosa merupakan polisakarida yang
mempunyai berat molekul lebih kecil daripada selulosa. Molekul hemiselulosa
lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak
antar molekul yang lebih luas dari selulosa (Oshima, 1965). Berbeda dengan
selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-
macam jenis gula. Lima gula netral, yaitu glukosa, mannosa, dan galaktosa
(heksosan) serta xilosa dan arabinosa (pentosan) merupakan konstituen utama
hemiselulosa (Fengel dan Wegener, 1984). Berbeda dari selulosa yang merupakan
homopolisakarida dengan monomer glukosa dan derajat polimerisasi yang tinggi
(10.000– 14.000 unit), rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas hanya satu
jenis monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih
monomer (heteropolimer), seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa pun
lebih pendek dari pada selulosa.
2.7.2 Selulosa
Sifat fisik selulosa adalah zat yang padat, kuat, berwarna putih, dan tidak larut
dalam alkohol dan eter. Kayu terdiri dari 50% selulosa, daun kering mengandung 10-
23
20% selulosa, sedangkan kapas mengandung 90% selulosa. Selulosa digunakan dalam
industri pulp, kertas, dan krayon. Selulosa adalah unsur struktural dan komponen utama
dinding sel dari pohon dan tanaman tinggi lainnya. Senyawa ini juga dijumpai dalam
tumbuhan rendah seperti paku, lumut, ganggang, dan jamur. Serat alami yang paling
murni ialah serat kapas, yang terdiri dari sekitar 98% selulosa.
Selulosa hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam,
melainkan selalu berikatan dengan bahan lain seperti lignin dan hemiselulosa.
Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan-satuan dan mempunyai
massa molekul relatif yang sangat tinggi, tersusun dari 2.000-3.000 glukosa. Rumus
molekul selulosa adalah (C6H10O5)n. Selulosa terdapat dalam tumbuhan sebagai bahan
pembentuk dinding sel dan serat tumbuhan. Molekul selulosa merupakan mikrofibil
dari glukosa yang terikat satu dengan lainnya membentuk rantai polimer yang
sangat panjang. Adanya lignin serta hemiselulosa di sekeliling selulosa
merupakan hambatan utama untuk menghidrolisis selulosa (Sjostrom,1995).
Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu
glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari
selulosa yaitu selobiosa (Fan dkk, 1982). Selulosa dapat dihidrolisis menjadi
glukosa dengan menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau
enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasi menjadi menjadi
prodik fermentasi yang nantinya dapat diolah lagi menjadi etanol.
Alga coklat dan hijau memiliki sebuah struktur polisakarida berupa selulosa
yang secara esensial mirip dengan tumbuhan terestrial dan terdapat sekitar 10% dari
bobot keringnya (Kennedy,1989). Penggunaan terbesar selulosa di dalam industri
24
adalah berupa serat kayu dalam industri kertas dan produk kertas dan karton.
Pengunaan lainnya adalah sebagai serat tekstil yang bersaing dengan serat sintetis.
Gambar 2.2 Struktur Selulosa Yang Merupakan Polimer Dari Glukosa
Pada Tabel 2.2 dapat diketahui besarnya kandungan selulosa dalam Gracilaria
sebesar 19,7 % dan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan
rumput laut jenis lain. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai
ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan cara
menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan
cara hidroloisis secara asam atau basa (Kim dkk, 2008).
25
Tabel 2.2
Komposisi Kimia Rumput Laut
Jenis alga
Selulosa Galaktan Karbohidrat Protein
etc (lipid, ash) (%)
(%) (%) (%) (%)
Alga
Merah
Gelidium amansii.
Marocco 16,8 55,2 72,0 21,1 6,9
Gelidium amansii, joju 23 56,4 79,4 11,8 8,8
Gracilaria 19,7 44,4 74,1 11 14,9
Eucheuma Cottoni 7,1 43,4 50,5 4,9 44,6
Alga
Hijau Codium Fragile 10,9 47,8 58,7 34,7 6,6
Alga
Coklat
Undaria pinattinda 2,4 38,7 41,1 24,2 34,7
Laminaria japonica 6,7 40,0 46,7 12,2 38,1
Sumber : Kim dkk. 2008
2.7.3 Lignin
Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan.
Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin
merupakan zat organik polimer yang banyak dan yang penting dalam dunia
tumbuhan. Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi
merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat. (Sun
dan Cheng, 2002).
Dalam kayu, kandungan lignin berkisar antara 20% hingga 40%. Kayu
lunak normal mengandung 26-32% lignin, sedangkan kandungan lignin kayu
keras adalah 35-40%. Lignin yang terdapat dalam kayu keras sebagian larut
26
selama hidrolisis asam. Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat
komponen penyusun lainnya, sehingga suatu pohon bisa berdiri tegak (seperti
semen pada sebuah batang beton). Berbeda dengan selulosa yang terbentuk dari
gugus karbohidrat, struktur kimia lignin sangat kompleks dan tidak berpola sama.
Gugus aromatik ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai
alifatik, yang terdiri dari 2-3 karbon. Proses pirolisis lignin menghasilkan senyawa
kimia aromatis berupa fenol, terutama kresol.
Lignin mempunyai struktur molekul yang sangat berbeda dengan
polisakarida karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil
propana. Kandungan lignin dalam kayu daun jarum lebih tinggi daripada dalam
kayu daun lebar. Di samping itu, terdapat beberapa perbedaan struktur lignin
dalam kayu daun jarum dan dalam kayu daun lebar (Fengel dan Wegener, 1984).
Selain itu lignin merupakan tandon karbon utama di dalam biofer, kalau
dihitung kira-kira 30% dari 1.4 x 1012
kg karbon disimpan di dalam lignin
tanaman setiap tahunnya. Karena lignin merupakan salah satu komponen utama
sel tanaman, karena itu lignin juga memiliki dampak langsung terhadap
karakteristik tanaman. Misalnya saja, lignin sangat berpengaruh pada proses
pembuatan pulp dan kertas. Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah
kondisi suhu yang tinggi dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi
mengakibatkan lignin terpecah menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari
selulosa (Taherzadeh dan Karimi, 2008).
27
Gambar 2.3 Struktur Lignin
Saat ini biomassa lignoselulosa sedang dilirik untuk bahan baku
pembuatan bahan bakar masa depan (etanol). Kandungan lignin merupakan salah
satu penghambat utama biokonversi lignoselulosa menjadi etanol. Lignin dalam
hal ini melindungi selulosa, sehingga selulosa sulit untuk dihidrolisis menjadi
glukosa. Proses pretreatment saat ini banyak dilakukan untuk memecah pelindung
ini sehingga selulosa menjadi mudah dihidrolisis tanpa banyak kehilangan
polysakaridanya.
Penelitian tentang lignin & biosintesa lignin saat ini banyak dilakukan
untuk memaksimalkan pemanfaatan biomassa lignoselulosa. Seperti misalnya
penelitian tentang struktur alami lignin, biosintesis lignin dan bagaimana
menanipulasinya, di mana inisiasi lignin di dalam sel, transportasi monolignol dari
dalam sel ke dinding sel, polymerasi lignin, dan topik-topik mendasar lainnya.
2.8 Karbohidrat
Kata karbohidrat berasal dari kata karbon dan air. Secara sederhana karbohidrat
didefinisikan sebagai polimer gula. Karbohidrat adalah senyawa karbon yang
mengandung sejumlah besar gugus hidroksil.
aldehid (disebut polihidroksialdehid atau
polihidroksiketon atau ketosa). Berdasarkan pengertian di atas berarti diketahui bahwa
karbohidrat terdiri atas atom C, H dan O. Adapun ru
adalah: Cn(H2O)n atau
Kata karbohidrat berasal dari kata karbon dan air. Secara sederhana karbohidrat
didefinisikan sebagai polimer gula. Karbohidrat adalah senyawa karbon yang
mengandung sejumlah besar gugus hidroksil. Karbohidrat paling sederhana bisa berupa
isebut polihidroksialdehid atau aldosa) atau berupa keton (disebut
polihidroksiketon atau ketosa). Berdasarkan pengertian di atas berarti diketahui bahwa
karbohidrat terdiri atas atom C, H dan O. Adapun rumus umum dari karbohidrat
atau CnH2nOn.
Gambar 2.4 Klasifikasi Karbohidrat (Sumber : Mc Donald, 1973)
28
Kata karbohidrat berasal dari kata karbon dan air. Secara sederhana karbohidrat
didefinisikan sebagai polimer gula. Karbohidrat adalah senyawa karbon yang
Karbohidrat paling sederhana bisa berupa
aldosa) atau berupa keton (disebut
polihidroksiketon atau ketosa). Berdasarkan pengertian di atas berarti diketahui bahwa
s umum dari karbohidrat
29
Struktur komponen karbohidrat akan mengalami perubahan selama proses
penyimpanan, hal ini tergantung pada bahan pakan yang disimpan. Perubahan pada
komponen karbohidrat dari kelompok sugar pada bahan sereal akan meningkatkan gula
reduksi dan mengurangi gula nonreduksi. Melalui terjadinya pernafasan, gula dirubah
menjadi karbondioksida dan air pada kondisi kadar air diatas 14%. Sedangkan pada
bahan pakan berserat yang mengandung banyak komponen karbohidrat kelompok
nonsugar akan mengalami perubahan fisik berupa perubahan warna bahan dan bau,
lepasnya ikatan-ikatan kuat komponen penyusun dinding sel dan terurainya komponen
karbohidrat rantai panjang menjadi komponen karbohidrat yang memiliki rantai
molekul lebih pendek.
2.8.1 Klasifikasi Karbohidrat
Karbohidrat dapat dikelompokkan menurut jumlah unit gula, ukuran dari rantai
karbon, lokasi gugus karbonil, serta stereokimia.
Berdasarkan jumlah unit gula dalam rantai, karbohidrat digolongkan menjadi 4
golongan utama yaitu:
1. Monosakarida (terdiri atas 1 unit gula)
2. Disakarida (terdiri atas 2 unit gula)
3. Oligosakarida (terdiri atas 3-10 unit gula)
4. Polisakarida (terdiri atas lebih dari 10 unit gula)
Pembentukan rantai karbohidrat menggunakan ikatan glikosida. Berdasarkan
lokasi gugus –C=O, monosakarida digolongkan menjadi 2 yaitu:
1. Aldosa (berupa aldehid)
2.
Gambar 2.5 Klasifikasi Karbohidrat Menurut Lokasi Gugus Karbonil
Berdasarkan jumlah atom C
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gambar 2.6
Ketosa (berupa keton)
Klasifikasi Karbohidrat Menurut Lokasi Gugus Karbonil
Berdasarkan jumlah atom C pada rantai, monosakarida digolongkan menjadi:
Triosa (tersusun atas 3 atom C)
Tetrosa (tersusun atas 4 atom C)
Pentosa (tersusun atas 5 atom C)
Heksosa (tersusun atas 6 atom C)
Heptosa (tersusun atas 7 atom C)
Oktosa (tersusun atas 8 atom C)
Klasifikasi Karbohidrat Menurut Jumlah Atom C
30
Klasifikasi Karbohidrat Menurut Lokasi Gugus Karbonil
monosakarida digolongkan menjadi:
Klasifikasi Karbohidrat Menurut Jumlah Atom C
Gambar 2.8 di atas (sebelah kiri) menunjukkan sebuah monosakarida triosa
(memiliki 3 atom C), aldosa (berstruktur aldehid/
aldotriosa. Sedangkan
monosakarida heksosa (memiliki 6 atom C), ketosa (berstruktur keton/R
sehingga dinamakan gula ketoheksosa.
2.9 Etanol
Etanol (Etil Alkohol)
hydrogen dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai turunan senyawa hidrokarbon
yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C
alkohol, etanol memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih),
berfase cair pada temperatur kamar, mudah
(Sudaryanto,2007).
Gambar 2.7 Contoh Monosakarida
di atas (sebelah kiri) menunjukkan sebuah monosakarida triosa
(memiliki 3 atom C), aldosa (berstruktur aldehid/-COH) sehingga dinamakan gula
Sedangkan contoh kedua (sebelah kanan) menunjukkan sebuah
monosakarida heksosa (memiliki 6 atom C), ketosa (berstruktur keton/R
sehingga dinamakan gula ketoheksosa.
(Etil Alkohol) merupakan senyawa alkohol yang terdiri dari karbon,
dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai turunan senyawa hidrokarbon
yang mempunyai gugus hidroksil dengan rumus C2H5OH. Karena merupakan senyawa
memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih),
ada temperatur kamar, mudah menguap, serta mudah terbakar
31
di atas (sebelah kiri) menunjukkan sebuah monosakarida triosa
ngga dinamakan gula
contoh kedua (sebelah kanan) menunjukkan sebuah
monosakarida heksosa (memiliki 6 atom C), ketosa (berstruktur keton/R-CO-R)
yang terdiri dari karbon,
dan oksigen, sehingga dapat dilihat sebagai turunan senyawa hidrokarbon
. Karena merupakan senyawa
memiliki beberapa sifat yaitu larutan yang tidak berwarna (jernih),
menguap, serta mudah terbakar
32
Etanol bersumber dari bahan baku gula sederhana, pati dan selulosa. Setelah
melalui proses fermentasi dan distilasi maka dihasilkan etanol. Etanol adalah senyawa
organik yang merupakan zat cair, tidak berwarna, berbau spesifik, mudah terbakar dan
menguap, dapat bercampur dalam air dengan segala perbandingan. Etanol mempunyai
titik beku -114,1°C, titik didih pada 78,5°C serta density 0,789 g/ml pada 20°C
(Shakashiri,2009). Secara garis besar penggunaan etanol adalah sebagai pelarut untuk
zat organik maupun anorganik, bahan dasar industri asam cuka, ester, spirtus,
asetaldehid, antiseptik.
Selain digunakan di dalam arak, etanol juga digunakan sebagai bahan bakar
pengganti bensin. Hal ini dikarenakan nilai oktan etanol lebih tinggi dari bensin
premium yaitu 108, sehingga akan terbakar lebih sempurna pada rasio kompresi yang
tinggi dan temperatur penguapan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
temperatur penguapan bensin sehingga akan menghasilkan perbandingan energi yang
lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan bensin. Fungsi lain dari alkohol
adalah sebagai octane booster, artinya etanol mampu menaikkan nilai oktan secara
positif terhadap efisiensi bahan bakar. Fungsi lain ialah oxigenating agent, yakni
alkohol mengandung oksigen sehingga menyempurnakan pembakaran bahan bakan
dengan efek positif meminimalkan pencemaran udara. Etanol bisa digunakan dalam
bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun
hidrogen. Dan perbandingan 10% ethanol dan 90% gasoline (E10), merupakan
perbandingan campuran yang paling banyak digunakan sebagai bahan bakar
kendaraan dalam usaha meningkatkan efisiensi pembakaran serta mengurangi
33
dampak dari gas karbon monoksida yang diperoleh dari pembakaran yang tidak
sempurna.
Setiap mol glukosa akan diubah menjadi dua mol etanol, oleh karena itu secara
teoritis setiap glukosa memberikan 0.51 gram etanol. Pada kenyataannya etanol kadar
alkoholnya tidak melebihi 90-95% dari hasil teoritis (Oura,1983). Etanol mengandung
35 persen oksigen, maka etanol dapat meningkatkan efisiensi pembakaran. Etanol juga
ramah lingkungan karena emisi gas buangnya rendah kadar karbon monoksida,
nitrogen oksida, dan gas-gas rumah kaca yang menjadi polutan.
Karena proses pembuatan etanol meliputi proses fermentasi dan berbahan dasar
biomassa, maka etanol juga dapat diartikan sebagai cairan biokimia dari proses
fermentasi gula (sumber karbohidrat) dengan menggunakan bantuan mikroorganisme
(Lowenstein, 1985).
Tabel 2.3
Sifat Fisika Etanol
SIFAT JUMLAH
Massa molekul relatif (g/mol) 46,07
Titik beku (°C) -114,1
Titik didih normal (°C) 78,32
Dentitas pada 20°C (g/ml) 0,7893
Kelarutan dalam air (20°C) Sangat larut
Viskositas pada 20°C (cP) 1,17
Kalor spesifik, 20°C (kal/g°C) 0,579
Kalor pembakaran, 25°C (kal/g) 092,1
Kalor penguapan 78,32°C (kal/g) 200,6 Sumber : Rizani. 2000
34
Mengingat pemanfaatan etanol beraneka ragam, maka grade etanol yang
dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk etanol yang
mempunyai grade alkohol 96-99,5% volume dapat digunakan sebagai campuran untuk
miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya grade etanol yang
dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan, harus betul-betul kering
dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga etanol yang dibutuhkan untuk campuran
kendaraan bermotor harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% (Reksowardojo,
2006).
Etanol dapat dicampur dengan bensin dalam kuantitas yang bervariasi untuk
mengurangi konsumsi bahan bakar minyak bumi, dan juga untuk mengurangi polusi
udara. Bahan bakar tersebut dikenal di AS sebagai gasohol dan di Brasil sebagai bensin
tipe C. Dua campuran umum di AS adalah E10 dan E85 yang mengandung 10% dan
85% etanol. Sedangkan campuran yang umum di Brasil adalah bensin tipe C dan jenis
oktan tinggi, yang mengandung 20-25% etanol (Wargiono, 2006).
2.9.1 Etanol Generasi Kedua
Pembuatan etanol secara konvensional di hasilkan melalui proses fermentasi
bahan pati atau gula dari tanaman menjadi tanol dan air. Proses ini sering diistilahkan
sebagai generasi pertama untuk memproduksi etanol. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian pembuatan etanol generasi kedua yang diharapkan dapat dikembangkan
secara komersial. Etanol generasi pertama bahan bakunya berbasis pada bahan
makanan seperti singkong, jagung, dimana bahan baku tersebut lebih mudah
diolah menjadi etanol, namun terdapat kekurangan mendasar dimana akan terjadi
35
persaingan antara kebutuhan akan energi dengan kebutuhan pangan, terbentur
pada penggunaan lahan yang luas sebagai media tanam dari tanaman pangan
tersebut.
Pada metode generasi yang kedua, bahan baku yang ada mempunyai jumlah
yang cukup besar, seperti bahan – bahan berlignoselulosa dikonversikan menjadi etanol
dengan menghidrolisis selulosa dan diteruskan dengan memfermentasikan gula yang
kemudian dilanjutkan dengan proses untuk menghasilkan etanol. Pada pengembangan
metode generasi yang kedua, etanol akan dihasilkan didasarkan pada bahan baku
berselulosa dari limbah pertanian pasca panen seperti bagas tebu, jerami dan sekam
padi, batang & tongkol jagung, tandan kosong sawit, serta limbah industri dan
domestik (Soeprijanto,2010).
2.9.1.1 Proses Pembuatan Etanol Generasi Kedua
Pretreatment limbah lignoselulosa harus dilakukan untuk meningkatkan
hasil gula yang diperoleh dari tahapan hidrolisis. (Mosier, dkk., 2005). Gula yang
diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment
dapat meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005). Tujuan pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer
polisakarida menjadi monomer gula. Proses penggilingan merupakan salah satu
cara pretreatment limbah lignoselulosa. Tujuan dari penggilingan yaitu untuk
memperkecil ukuran bahan selulosa dan memecah ikatan kimia pada rantai
36
molekul yang panjang. Proses ini tidak dapat menghilangkan lignin, tetapi akan
memepermudah perlakuan selanjutnya.
Hidrolisis adalah salah satu tahapan selanjutnya dalam pembuatan etanol
berbahan baku limbah lignoselulosa. Hidrolisis bertujuan untuk memecah selulosa
dan hemiselulosa menjadi monosakarida (glukosa & xylosa) yang selanjutnya
akan difermentasi menjadi etanol. Secara umum teknik hidrolisis dibagi menjadi
dua, yaitu: hidrolisis berbasis asam dan hidrolisis dengan enzim. Hidrolisis
sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan
beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6).
Pembuatan etanol dari glukosa melibatkan proses fermentasi. Fermentasi
adalah perubahan 1 mol glukosa menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Proses
fermentasi dilakukan dengan menambahkan yeast atau ragi untuk mengkonversi
glukosa menjadi etanol yang bersifat anaerob yaitu tidak memerlukan oksigen (O2).
Menurut Judoadmidjojo dkk.(1989), proses fermentasi pembentukan etanol
membutuhkan bantuan yeast atau khamir. Untuk bahan yang mengandung gula dalam
bentuk polisakarida atau oligosakarida, terlebih dahulu harus diubah dulu dalam bentuk
yang lebih sederhana yaitu monosakarida (fruktosa atau glukosa). Yeast tersebut akan
merubah gula-gula sederhana yaitu fruktosa atau glukosa (C6H12O6) menjadi etanol
(C2H5OH) dan karbondioksida (CO2).
Proses pembuatan etanol secara garis besar meliputi persiapan bahan baku,
proses fermentasi, dan pemurnian (distilasi). Secara singkat teknologi proses produksi
etanol tersebut dapat dibagi dalam empat tahap, yaitu pretreatment, treatment,
sakarifikasi, fermentasi dan distilasi (Nurdyastuti, 2008).
37
2.9.1.1.1 Proses Perlakuan Awal (Pretreatment)
Proses pretreatment atau perlakuan awal sangat penting dalam langkah awal
memudahkan pemecahan pati dan selulosa menjadi glukosa. Pretreatment biomassa
lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang tinggi di mana
sangat penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala komersial
(Mosier, dkk, 2005). Pretreatment merupakan tahapan yang banyak memakan
biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai contoh
pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan dalam
proses hidrolisis (Wyman,dkk.2005).
Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah
dipelajari melalui pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun & Cheng,
2002) tahapan pretreatment seharusnya memenuhi kebutuhan seperti berikut:
1) Meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula
pada proses berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;
2) Menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat;
3) Menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat
proses hidrolisis dan fermentasi,
4) Biaya yang dibutuhkan ekonomis. Teknik pretreatment yang telah
dikembangkan lebih banyak dilakukan secara mekanik atau fisiko-
kimia.
Pretreatment secara biologi sedikit dilaporkan. Berbagai metode
pretreatment telah diulas secara mendalam oleh Mosier dkk. (2005). Pretreatment
dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang diperoleh tanpa
38
pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat meningkat
menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, 2005). Selain itu tujuan
dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa
menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida
menjadi monomer gula.
Larutan alkali seperti NaOH, Ca(OH)2 dan ammonia sering digunakan
untuk pretreatment biomassa, dan pengaruh pretreatment tergantung pada
kandungan lignin didalam batang tanaman (Bjerre,dkk,1996). Bila biomassa
ditreatment dengan NaOH encer, luas permukaan internal bahan meningkat
dengan pembesaran permukaan. Pembesaran permukaan ini menyebakan
penurunan derajad polimerisasi, pemisahan ikatan struktur lignin dan karbohidrat
dan merusak struktur lignin (Fan,dkk,1987).
2.9.1.1.2 Natrium Hidroksida (NaOH)
Natrium hidroksida (NaOH), juga dikenal sebagai soda kaustik atau
sodium hidroksida, adalah sejenis basa logam kaustik. Natrium hidroksida
terbentuk dari oksida basa Natrium oksida dilarutkan dalam air. Natrium
hidroksida membentuk larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan ke dalam air.
Fungsi umum penggunaan dalam proses pembuatan kertas NaOH ada pada proses
pendegradasian lignin.
Proses delignifikasi menggunakan NaOH menurut Fengel dan Wegener
(1995), merupakan proses dengan bahan aktif yang paling murah. Dalam proses
chemical recovery-nya biasanya digunakan bahan kimia lain yakni Natrium
39
Karbonat. Natrium hidroksida digunakan di berbagai macam bidang industri,
kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi bubur kayu dan kertas,
tekstil, air minum, sabun dan deterjen dan natrium hidroksida adalah basa yang
paling umum digunakan dalam laboratorium kimia.
Tabel 2.4
Sifat Fisika NaOH
Rumus molekul NaOH
Massa molar 39,9971 g/mol
Penampilan zat padat putih
Densitas 2,1 g/cm³, padat
Titik leleh 318 °C (591 K)
Titik didih 1390 °C (1663 K)
Kelarutan dalam air 111 g/100 ml (20 °C)
Kebasaan (pKb) -2,43 Sumber: Wikipedia
Natrium Hidroksida murni berbentuk putih padat dan tersedia dalam
bentuk pelet, serpihan, butiran ataupun larutan jenuh 50%. NaOH bersifat lembab
cair dan secara spontan menyerap karbon dioksida dari udara bebas. NaOH sangat
larut dalam air dan akan melepaskan panas ketika dilarutkan. NaOH juga larut
dalam etanol dan metanol, walaupun kelarutan NaOH dalam kedua cairan ini
lebih kecil daripada kelarutan KOH. NaOH tidak larut dalam dietil eter dan
pelarut non-polar lainnya
Gambar 2.8 Natrium Hidroksida
40
2.9.1.1.3 Proses Treatment
Proses treatment atau perlakuan yang digunakan didalam penelitian
menggunakan dua macam treatment, yaitu treatment secara fisika dan treatment secara
biologi. Treatment secara fisika dilakukan dengan proses penggilingan dan
penghancuran, sedangkan treatment dengan cara biologi dilakukan dengan
menggunakan bantuan cairan EM4, dimana EM4 ini mengandung Azotobacter sp.,
Lactobacillus sp., ragi, bakteri fotosintesik dan jamur pengurai selulosa.
Gambar 2.9 Effective Microorganism (EM4)
EM4 adalah kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan
bagi pertumbuhan tanaman. Sebagian besar mengandung mikroorganisme
Lactobacillus sp. bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri
41
fotosintetik Streptomyces sp. dan ragi. EM4 mampu meningkatkan dekomposisi
limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta
menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen.
Tabel 2.5
Komposisi Kandungan EM4
No Komposisi Kadar (netto 1 Liter)
1 Lactobacillus 8,7 x 105
2 Bakteri Pelarut Fosfat 7,5 x 106
3 Yeast/Ragi 8,5 x106
4 Calsium (Ca) 1.675 ppm
5 Magnesium (Mg) 597 ppm
6 Besi (Fe) 5,54 ppm
7 Aluminium (Al) 0,1 ppm
8 Zinc (Zn) 1,90 ppm
9 Cooper (Cu) 0,01 ppm
10 Mangan (Mn) 3,29 ppm
11 Sodium (Na) 363 ppm
12 Boron (B) 20 ppm
13 Nitrogen (N) 0,07 ppm
14 Nickel (Ni) 0,92 ppm
15 Kalium (K) 7,675 ppm
16 Phospor (P) 3,22 ppm
17 Chlorida (Cl) 414,35 ppm
18 C Organik (C) 27.05 ppm
19 pH 3,9 Sumber : Lab Fak. MIPA IPB Bogor, 2006
EM4 diaplikasi sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman dan
populasi mikroorganisme di dalam tanah dan tanaman, yang selanjutnya dapat
meningkatkan kesehatan, pertumbuhan, kuantitas dan kualitas produksi tanaman
secara berkelanjutan.
Keuntungan dan manfaat EM4 adalah sebagai berikut:
a) Memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
42
b) Meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman, serta menekan aktivitas
serangga hama dan mikroorganisme patogen.
c) Meningkatkan dan menjaga kestabilan produksi tanaman dan menjaga
kestabilan produksi.
d) Mempercepat proses fermentasi pada pembuatan kompos. Kompos yang
dibuat dengan teknologi EM4 disebut dengan bokashi.
e) Memperbaiki komposisi dan jumlah mikroorganisme pada perut ternak
sehingga pertumbuhan dan produksi ternak meningkat.
EM4 juga dapat digunakan untuk mempercepat pengomposan sampah
organik atau kotoran hewan, membersihkan air limbah, serta meningkatkan
kualitas air pada tambak udang dan ikan.
Proses perlakuan fisika dapat dilakukan dengan cara pemotongan,
penggilingan, pemanasan dan penekanan. Proses ini dinamakan juga dengan proses
gelatinasi. Dalam proses gelatinasi bahan baku yang mengandung karbohidrat seperti
ubi kayu, ubi jalar, atau jagung dihancurkan dan dicampur air sehingga menjadi bubur,
yang diperkirakan mengandung pati antara 27-30 persen. Kemudian bubur pati tersebut
dimasak atau dipanaskan selama 2 jam sehingga berbentuk gel. Proses gelatinasi
tersebut dapat dilakukan seperti dibawah ini:
a) Bubur pati dipanaskan sampai 130°C selama 30 menit, kemudian didinginkan
sampai mencapai temperatur 95°C yang diperkirakan memerlukan waktu sekitar 15
menit. Temperatur 95°C tersebut dipertahankan selama sekitar 1 jam 15 menit,
sehingga total waktu yang dibutuhkan mencapai 2 jam.
43
Pemanasan dengan suhu tinggi (1300 C) dimaksudkan untuk memecah granula
pati, sehingga lebih mudah terjadi kontak dengan air enzim. Perlakuan pada suhu tinggi
tersebut juga dapat berfungsi untuk sterilisasi bahan, sehingga bahan tersebut tidak
mudah terkontaminasi.
2.9.1.1.4 Proses Sakarifikasi
Pada tahap sakarifikasi, selulosa diubah menjadi selobiosa dan selanjutnya
menjadi gula-gula sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakukan
menggunakan larutan asam atau secara enzimatis, masing-masing dengan
kelebihan dan kekurangannya. Proses hidrolisis secara enzimatis biasanya
berlangsung pada kondisi yang ringan (pH sekitar 4,80 dan suhu 45–50°C) dan
tidak menimbulkan masalah korosi. Kelemahannya adalah harga enzim cukup
mahal. Komponen biaya enzim dapat mencapai 53 – 65% dari biaya bahan kimia,
dan biaya bahan kimia sekitar 30% dari biaya total.
2.9.1.1.5 Proses Fermentasi
Fermentasi merupakan proses mikrobiologi yang dikendalikan oleh manusia
untuk memperoleh produk yang berguna, dimana terjadi pemecahan karbohidrat dan
asam amino secara anaerob. Peruraian dari kompleks menjadi sederhana dengan
bantuan mikroorganisme sehingga menghasilkan energi. (Perry, 1999).
Fermentasi dapat diartikan juga sebagai perubahan gradual oleh enzim
beberapa bakteri, khamir dan jamur. Contoh perubahan kimia dari fermentasi meliputi
44
pengasaman susu, dekomposisi pati dan gula menjadi alkohol dan karbondioksida, serta
oksidasi senyawa nitrogen organik (Hidayat, dkk, 2006).
Sementara itu menurut Winarno dan Fardiaz, (1990), fermentasi adalah suatu
reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi, dimana
sebagai donor dan akseptor elektron menggunakan senyawa organik. Senyawa organik
yang biasa digunakan sebagai substrat adalah karbohidrat dalam bentuk glukosa.
Senyawa tersebut akan diubah oleh reaksi-reaksi dengan katalis enzim menjadi suatu
bentuk lain misalnya aldehida dan dapat dioksidasi menjadi asam.
Ragi mempunyai kemampuan dapat memfermentasi gula yaitu glukosa,
galaktosa, sukrosa, maltosa, laktosa, dan polisakarida. Oksigen tidak ikut serta pada
proses peragian karena peragian glukosa oleh ragi merupakan peristiwa anaerob tetapi
ragi sendiri adalah organisme aerob. Ragi dapat ditemukan pada media yang dapat
membentuk gula yang dapat diragikan seperti nectar dari bunga, buah dan dedaunan.
Pertumbuhan ragi tergantung dari ketersediaan air. Bahan-bahan yang terlarut dalam air
digunakan oleh mikroorganisme untuk membentuk bahan sel dan memperoleh energi
yaitu bahan makanan.
Selama fermentasi berlangsung, gula dalam bentuk glukosa dirombak menjadi
etanol dan berbagai substansi lainnya seperti gliserol dan asam laktat yang disebut
sebagai produk fermentasi. Perombakan tersebut berlangsung bersamaan dengan
pembentukkan asam, khususnya asam asetat yang semakin meningkat jumlahnya dari
asam-asam volatile lainnya (Winton, 1958).
Secara umum proses fermentasi alkohol terjadi dari pemecahan karbohidrat
melalui suatu degradasi dari monosakarida yaitu glukosa menjadi asam piruvat. Asam
45
piruvat ini selanjutnya akan dirombak menjadi etanol dan juga CO2 yang biasanya
berlangsung melalui proses oksidasi reduksi dengan menggunakan DNPH +
H+ sebagai
donor elektron (Winarno dan Fardiaz, 1990).
Proses fermentasi akan berlangsung dengan baik apabila mengikuti kaidah –
kaidah seperti dibawah ini:
1. Mikroorganisme dapat membentuk produk yang diinginkan.
2. Organisme ini harus berpropagasi secara cepat dan dapat mempertahankan
keseragaman biologis, sehingga memberikan yield yang dapat diprediksi.
3. Fermentasi dapat berlangsung dengan cepat.
4. Produk mudah diambil dan dimurnikan.
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang
digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang
merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol
(2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi
makanan.
Mikroba-mikroba dalam fermentasi meliputi ragi, kapang, dan bakteri. Karena
organisme tersebut tidak memiliki klorofil sendiri, mereka tidak dapat melakukan
fotosintesis, sehingga mereka harus mendapatkan makanannya dari bahan-bahan
organik. Tiap jenis mikroba memiliki ciri morfologi, bentuk dan ukuran, serta
perkembangbiakan yang berbeda, namun mereka memiliki persamaan, yaitu dapat
menghasilkan enzim. Menurut produk yang paling banyak dihasilkan, dikenal beberapa
macam fermentasi, yaitu fermentasi etanol, fermentasi asam sitrat, fermentasi asam
propinoat, fermentasi asam butirat, dan fermentasi asam asetat.
46
Salah satu jenis mikroorganisme yang memiliki daya konversi gula menjadi
etanol yang sangat tinggi adalah Saccharomycess cereviceae. Mikroorganisme ini
menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai pemecah
sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Enzim invertase selanjutnya
mengubah glukosa menjadi etanol. Konsentrasi gula yang umumnya dibuat dalam
pembuatan etanol sekitar 14-20 persen. Jika konsentrasi gula terlalu tinggi akan
menghambat aktivitas ragi. Lama fermentasi diperkirakan sekitar 30-70 jam dengan
kondisi fermentasi anaerob (Judoamidjojo, dkk, 1992).
Fermentasi etanol berlangsung secara anaerob (tanpa oksigen) dan untuk
kelangsungan hidupnya, Saccharomyces cereviceae membutuhkan energi. Di dalam
proses fermentasi, Saccharomyces cereviceae memperoleh energi dari bahan yang
difermentasikan.
Kondisi – kondisi yang memungkinkan fermentasi berlangsung secara anaerob adalah :
a) Menggunakan khamir Saccharomyces cereviceae.
b) Mampu mengubah glukosa menjadi produk fermentasi.
c) Temperatur proses sekitar 45- 65 oC dan pH 2-6.
d) Memerlukan nutrisi yang mengandung karbon, nitrogen dan senyawa
anorganik.
Adapun kelebihan-kelebihan apabila fermentasi menggunakan proses anaerob :
a) Mengubah gula menjadi etanol dengan satu langkah.
b) Bakteri tumbuh dengan baik pada temperatur 60oC. Perbedaan
temperatur yang besar antara suhu media dengan suhu air pendingin
memudahkan dalam pembuangan panas.
47
c) Kontaminasi dengan organisme yang membutuhkan bisa
diminimalisasi karena bekerja pada kondisi anaerob.
d) Organisme yang hanya dapat hidup dalam kondisi mendekati pH netral
akan mati karena operasi fermentasi dilakukan pada kondisi asam
dengan pH 4,5- 6.
Kekurangan proses anaerob :
a) Kosentrasi etanol lebih rendah dibandingkan dengan proses aerob.
b) Biaya proses lebih mahal dibandingkan dengan proses aerob.
Secara garis besar, fermentasi karbohidrat oleh dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1. Pemecahan karbohidrat (pati) menjadi gula pereduksi
Pemecahan karbohidrat menjadi gula pereduksi karena difermentasi oleh enzim
diastase dan zymase yang terkandung dalam ragi, seperti yang terlihat pada reaksi
berikut :
2(C6H10O5)n + nH2O diastase nC12H22O11
pati Maltosa
C12H22O11 Zymase C6H12O6
Maltosa Glukosa
2. Perubahan gula pereduksi menjadi etanol
Perubahan gula pereduksi menjadi etanol dilakukan oleh enzyme invertrase, yaitu
enzim kompleks yang terkandung dalam ragi. Reaksinya adalah sebagai berikut :
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP
Glukosa Etanol + karbondioksida+ (Energi = 118 kJ per mol)
invertrase
48
Ditinjau dari reaksi diatas, dapat dilihat bahwa oksigen (O2) ternyata tidak
diperlukan, yang ada hanya pengubahan zat organik yang satu menjadi zat organik
yang lain (glukosa menjadi etanol).
3. Fermentasi Asam Asetat
Merupakan kelanjutan dari proses fermentasi alkohol. Proses dimulai dari
proses pemecahan gula menjadi alkohol, selanjutnya alkohol menjadi asam
asetat.
bakteri
2C2H5OH + 2 O2 2 CH3COOH + 2H2O
Bakteri yang aktif :
Acetobacter aceti
Acetobacter pasteurianum
Acetobacter oxydans, dll
Selanjutnya adalah proses pemecahan selulosa menjadi glukosa dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu :
1. Pemecahan dengan media air (proses hidrolisis)
Hidrolisis adalah suatu proses antara reaktan dengan air agar suatu senyawa
pecah terurai. Reaksi hidrolisis antara selulosa dengan air dapat dijabarkan sebagai
berikut:
(C6H10O5)n + n H2O nC6H12O6
Polisakarida air Glukosa
Reaksi antara selulosa dengan air ini berlangsung sangat lambat sehingga
diperlukan bantuan katalisator untuk memperbesar kereaktifan air. Katalisator ini bisa
berupa asam maupun enzim katalisator asam yang biasa digunakan adalah asam
klorida, asam nitrat dan asam sulfat dan natrium hidroksida (NaOH). Dalam industri
umumya digunakan asam klorida sebagai katalisator.
49
2. Pemecahan dengan Menggunakan enzim Selulase
Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan bantuan enzim sebagai
katalis. Selulosa dapat dihidrolisis oleh enzim selulase menjadi glukosa dan selobiosa,
dan glukosa merupakan hasil hidrolisis sempurna dari selulosa. Reaksinya dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Enzim Selulase
(C6H10O5)n nC6H12O6
Selulosa Glukosa
Efektivitas hidrolisis enzimatis selulosa dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemanasan terhadap bahan baku yang akan dihidrolisis yaitu dengan menggunakan uap
air pada suhu yang tinggi. Pemanasan ini menyebabkan proses degradasi hemiselulosa
menjadi pentosa.
Pada penelitian sebelumnya sudah banyak yang memanfaatkan metode
fermentasi dalam menghasilkan etanol, dan kebanyakan masih menggunakan biomassa
darat sebagai bahan baku dalam proses fermentasi. Penelitian Aminah dan Suparti
(2009) yang meneliti tentang lama fermentasi dan dosis ragi terhadap kadar glukosa
dan etanol pada gaplek ketela pohon dan didapatkan hasil bahwa waktu fermentasi dan
variasi dosis ragi cukup berpengaruh terhadap kadar glukosa pada fermentasi.
Selanjutnya dari penelitian Endah dan Adrian (2007) bahwa suhu proses fermentasi
berpengaruh terhadap hasil etanol dan jenis yeast kering (dried yeast) memberikan hasil
etanol yang lebih besar. Menurut Agnes pada pembuatan etanol dari buah nangka
(2009) variabel yang paling berpengaruh adalah waktu fermentasi, kadar nutrisi, suhu
dan kadar ragi. Berdasarkan hasil penelitian Sriyanti (2003), bahwa tinggi rendahnya
kadar gula dan kadar alkohol tiap gramnya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
50
kandungan karbohidrat. Hal ini menunjukkan kadar karbohidrat yang lebih tinggi
mempengaruhi kadar alkohol yang dihasilkan dalam proses fermentasi karbohidrat.
Sedangkan dalam penelitian Sugiarti (2007), menyimpulkan bahwa semakin lama
waktu fermentasi maka semakin tinggi pula kadar alkohol yang dihasilkan dan semakin
banyak dosis ragi yang diberikan maka kadar alkohol juga akan semakin tinggi.
Selanjutnya adalah dari penelitian Ratna Putri (2009) yang membuat etanol
dari nira sorgum dengan proses fermentasi didapat hasil bahwa percobaan pada 9%
volume starter dan waktu fermentasi 7 hari memberikan kadar alkohol yang paling
tinggi yaitu sekitar 11,82 %. Berikutnya adalah penelitian Wahyudi (2007) yang
memproduksi alkohol dari tetes tebu (molase) dengan starter Saccharomycess
ellipsoideus dan randemen produk substrat yang tinggi diperoleh kadar alkohol
tertinggi yaitu sebesar 11,85%.
Secara garis besar kelemahan mendasar dari serangkaian penelitian diatas
adalah masih rendahnya kadar alkohol yang dihasilkan dan dan masih statis pada
proses fermentasi konvensional saja, selain itu mereka masih memanfaatkan tanaman
pangan dan biomassa yang pembudidayaannya masih terbatas, lambat dan memerlukan
lahan tanam yang sangat luas dan akan timbul persaingan dengan kebutuhan pangan,
sehingga dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Selain itu ketersediaannya
juga tidak kontinyu dan cenderung musiman, padahal salah satu syarat mutlak
pembuatan etanol dari biomassa adalah harus adanya ketersediaan bahan baku yang
kontinyu, cepat, mudah dikembangkan serta kemudahan dalam hal penanganan dan
penyimpanan serta ramah lingkungan dan tidak mengancam kebutuhan manusia akan
kebutuhan pangan.
51
Untuk itu perlu ditawarkan solusi alternatif dalam hal pembuatan etanol dari
limbah rumput laut khususnya jenis Eucheuma cottonii yang kontinyu ketersediaannya,
karena dikembangkan oleh sebagian besar petani rumput laut di Indonesia, dan
mempunyai lahan tanam yang sangat luas karena letaknya diperairan. Proses
pembuatan etanol disini dapat dioptimalkan dengan serangkaian proses- proses
perlakuan sebelum memasuki tahapan proses fermentasi yang diharapkan mampu
meningkatkan kadar alkohol dalam produk fermentasi dan pada akhirnya dapat dikaji
kembali sebagai bahan bakar nabati yang ramah lingkungan serta terbarukan.
2.10 Mekanisme Fermentasi
Di dalam proses fermentasi, kapasitas mikroba untuk mengoksidasi tergantung
dari jumlah aceptor electron terakhir yang dapat dipakai. Sel-sel melakukan fermentasi
menggunakan enzim - enzim yang akan mengubah hasil dari reaksi oksidasi, dalam hal
ini yaitu asam menjadi senyawa yang memiliki muatan positif, sehingga dapat
menangkap elektron terakhir dan menghasilkan energi (Winarno dan Fardiaz, 1990).
Menurut Reed (1982), bahwa sukrosa mula-mula dihidrolisis menjadi glukosa
dan fruktosa oleh enzim invertase kemudian glukosa dan fruktosa juga menjadi asam
pyruvat melalui tahap-tahap reaksi pada jalur Embden-Meyerhof-Parnas. Selanjutnya
asam pyruvat didekarbosilasi menjadi asetaldehida menjadi etanol.
Untuk memperoleh hasil fermentasi yang optimum, persyaratan untuk
pertumbuhan ragi harus diperhatikan, yaitu:
1. pH dan kadar karbohidrat dari substrat
2. Temperatur selama fermentasi
3. Kemurnian dari ragi itu sendiri (Winarno,
Jika tumbuh dalam keadaan
memfermentasi substrat karbohidrat untuk menghasilkan
akhir sesuai dengan mekanisme fermentasi
Gamb(Sumber : Departemen Biologi
2.11 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
1. Temperatur
Fermentasi etanol
temperatur 24 – 30
mikroba Saccharomyces cereviceae
baik. Diatas temperatur tersebut aktifitas enzim yang dihasilkan akan menurun
karena mengalami denaturasi. Sedangkan diba
fermentasi akan berlangsung lambat.
3. Kemurnian dari ragi itu sendiri (Winarno, dkk., 1980).
Jika tumbuh dalam keadaan anerobik, kebanyakan khamir lebih cenderung
memfermentasi substrat karbohidrat untuk menghasilkan etanol bersama sedikit produk
sesuai dengan mekanisme fermentasi sebagai berikut :
Gambar 2.10 Mekanisme Fermentasi Alkohol (Sumber : Departemen Biologi Davidson College, 2010)
Faktor Yang Mempengaruhi Proses Fermentasi
etanol sebagai eksi enzimatik akan berlangsung dengan baik antara
30oC, sebab pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan oleh
Saccharomyces cereviceae dapat melangsungkan aktifitasnya dengan
baik. Diatas temperatur tersebut aktifitas enzim yang dihasilkan akan menurun
karena mengalami denaturasi. Sedangkan dibawah temperatur 24
akan berlangsung lambat.
52
, kebanyakan khamir lebih cenderung
bersama sedikit produk
sebagai eksi enzimatik akan berlangsung dengan baik antara
C, sebab pada temperatur tersebut enzim yang dihasilkan oleh
dapat melangsungkan aktifitasnya dengan
baik. Diatas temperatur tersebut aktifitas enzim yang dihasilkan akan menurun
wah temperatur 24oC proses
53
2. pH
Aktifitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH dari medium fermentasi. Aktifitas
enzim terletak pada trayek pH tertentu dan mempunyai pH optimal. Di luar pH
optimal, enzim akan bekerja lebih lambat. Untuk enzim yang melangsungkan
fermentasi etanol, pH optimalnya adalah 4,5- 6,0.
3. Oksigen
Oksigen pada proses fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk
memperbanyak atau menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Misalnya
Saccharomyces cereviceae yang menghasilkan etanol dari gula akan lebih baik
dalam keadaan anaerobik. Setiap mikroba membutuhkan oksigen yang berbeda
jumlahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru dan untuk
fermentasi. Seperti misalnya Saccharomyces cereviceae akan tumbuh lebih baik
pada keadaan aerobik tetapi bila melakukan terhadap gula jauh lebih cepat dalam
keadaan anaerobik.
4. Konsentrasi Gula (substrat) dan Konsentrasi Enzim
Untuk mendapatkan hasil etanol yang optimal, diperlukan konsentrasi enzim
tertentu untuk mengubah semua substrat menjadi produk. Hal ini berarti jumlah
etanol optimal yang dihasilkan bergantung pada konsentrasi gula (substrat) yang
akan diubah oleh enzim. Konsentrasi gula yang diperlukan untuk fermentasi
adalah 10 sampai 18 %. Apabila konsentrasi gula terlalu tinggi maka proses
fermentasi akan berjalan lambat.
5. Jenis Mikroba
54
Setiap jenis fermentasi mempergunakan mikroba dengan jenis yang berbeda.
Sebagai contoh dalam fermentasi yang digunakan adalah mikroba jenis
Saccharomyces cereviceae.
6. Konsentrasi Etanol
Seperti mikroba lainnya, Saccharomyces cereviceae tidak tahan terhadap
konsentrasi etanol yang lebih besar dari 14% dan pada konsentrasi etanol 16%
kegiatan Saccharomyces cereviceae sudah hampir tidak ada sehingga kecepatan
fermentasi juga terhenti.
7. Waktu Fermentasi
Laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi
pertumbuhannya. Pada kondisi optimal, bakteri akan membelah sekali setiap 20
menit. Untuk beberapa bakteri memilih waktu generasi, yaitu selang waktu antara
pembelahan, dapat dicapai selama 12 menit. Jika waktu generasinya 20 menit,
pada kondisi yang cocok sebuah sel dapat menghasilkan beberapa juta sel selama
7 jam.
8. Makanan
Semua mikroorganisme memerlukan makanan dan nutrien yang berfungsi untuk
menyediakan:
- Energi, biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, yang salah
satu sumbernya adalah gula.
- Nitrogen, sebagian besar mikroba yang digunakan dalam fermentasi berupa
senyawa organik maupun anorganik sebagai sumber nitrogen. Salah satu contoh
sumber nitrogen yang dapat digunakan adalah urea.
55
- Mineral, mineral yang diperlukan mikroorganisme salah satunya adalah phospat
yang dapat diambil dari pupuk TSP.
- Vitamin, sebagian besar sumber karbon dan nitrogen alami mengandung semua
atau beberapa vitamin yang dibutuhkan. Defisiensi vitamin tertentu dapat diatasi
dengan cara mencampur berbagai substrat sumber karbon atau nitrogen
(Fessenden, 1982).
Fermentasi dihentikan bila kadar alkohol telah mencapai 14-16%. Jika
diinginkan kadar yang lebih tinggi campuran itu harus disuling. Destilat (sulingan)
berupa campuran azeotrop 95% alkohol, 5% air (suatu campuran azeotrop ialah suatu
campuran yang mendidih pada suatu titik didih konstan seakan-akan suatu senyawa
murni). Destilat ini dapat dicampurkan kembali ke campuran peragian atau fermentasi
untuk meningkatkan keadaan kadar alkoholnya atau dapat ditambahi air untuk
mendapatkan kadar yang diinginkan (Fessenden, 1982).
2.12 Laju Fermentasi
Laju fermentasi disini merupakan massa produk fermentasi yang dihasilkan
dari suatu proses fermentasi per satuan waktu fermentasi. Massa yang dihasilkan dari
proses ini adalah massa dari produk fermentasi yang terbentuk selama proses
fermentasi dalam rentang waktu tertentu. Berikut ini merupakan persamaan untuk
menentukan laju fermentasi dalam proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii :
t
mm b
b
∆
∆=
•
……………………………………………............... (2.1)
56
dimana :
bm•
= Laju Fermentasi ( kg / hari)
bm∆ = Massa Produk Fermentasi Yang Dihasilkan ( kg )
t∆ = Selang Waktu fermentasi ( hari)
2.13 Khamir (Yeast)
Sejak dahulu kala, yeast telah digunakan oleh manusia untuk menghasilkan
makanan dan minuman yang diinginkan. Dapat dinyatakan disini bahwa yeast
merupakan jasad renik (mikroorganisme) yang pertama yang digunakan manusia dalam
industri pangan.
Gambar 2.11 Ragi Roti (Saccharomyces cerevisiae)
Khamir dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa, maupun
gula kompleks disakarida yaitu sukrosa. Selain itu untuk menunjang kebutuhan hidup
diperlukan oksigen, karbohidrat, dan nitrogen. Pada uji fermentasi gula-gula
mempunyai reaksi positif pada gula dekstrosa, galaktosa, sukrosa, maltosa, raffinosa,
trehalosa, dan negatif pada gula laktosa (Lodder, 1970) .
57
Jenis khamir yang populer dikembangkan adalah Saccharomyces cerevisiae
yang disebut dengan Baker’s yeasts. Sejak saat itu, perusahan roti, minuman dan para
ahli mulai berupaya untuk memproduksi strain murni yeast yang tepat untuk keperluan
industri yang disesuaikan dengan rasa dan keperluan kualitas serta karateristik lainnya.
Sedangkan di Indonesia yang dikenal dengan ragi untuk tape sebenarnya ada yang tidak
murni dari jenis yeast saja akan tetapi dicampur dengan jenis bakteri dimana
disesuaikan dengan kebutuhan produk yang akan dihasilkannya.
2.14 Sumber Energi Yeast
Untuk keperluan hidupnya khamir (yeast) memerlukan bahan-bahan organik
dan anorganik. Khamir mendapatkan energi dari ikatan karbon untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya yang berasal dari molekul sederhana seperti gula, asam organik
atau alkohol yang diubah menjadi senyawa kompleks seperti protein, polisakarida,
lemak dan lignin (Garraway dan Evans, 1984).
Sementara itu menurut Prescott dan Dunn (1981), khamir memerlukan media
dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Unsur-unsur
dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, potasium zat besi
dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari gula, sedangkan sebagai sumber
notrogen dapat digunakan amonia, garam amonium, asam amino, peptida, pepton,
nitrat atau urea tergantung dari jenis khamir. Sementara itu menurut Buckle,dkk, (1987)
karbon dan energi dapat diperoleh dari karbohidrat sederhana seperti glukosa.
Karbohidrat tersebut merupakan sumber karbon yang paling banyak digunakan dalam
proses fermentasi oleh sel khamir.
58
2.15 Saccharomyces cerevisiae
Saccharomyces cerevisiae merupakan mikroorganisme unggul yang digunakan
dalam proses fermentasi dalam usaha menghasilkan etanol. Dalam melakukan proses
fermentasi, Saccharomyces cerevisiae dipengaruhi oleh faktor tumbuh yang meliputi
pH pertumbuhan antara 2,0-8,6 dengan pH optimum antara 4,5-5,0. Laju fermentasi
gula oleh Saccharomyces cerevisiae relatif intensif pada pH 3,5-6,0 (Goebol, 1987).
Sedangkan menurut Fraenkel (1982), temperatur pertumbuhan yang optimum
untuk Saccharomycess cereviceae adalah 28 - 36°C dan pH optimum untuk
pertumbuhan sel khamir 4,5 - 5,5 ( Moat and Foster, 1988).
Saccharomyces cerevisiae dapat memfermentasi glukosa, sukrosa, galaktosa
serta rafinosa (Kunkee dan Mardon,1970). Saccharomyces cerevisiae merupakan
top yeast tumbuh cepat dan sangat aktif memfermentasi pada suhu 20oC (Frazier
dan Westhoff , 1978). Saccharomyces cerevisiae dapat toleran terhadap kadar
alkohol yang cukup tinggi (12-18 % abv), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan
tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 4-32oC (Harisson dan Graham,1970).
Saccharomycess cereviseae mempunyai bentuk sel bundar, oval atau elongasi.
Berkembang biak secara vegetatif dengan membentuk tunas dan membentuk spora
aseksual pada askus 1 - 4 spora dengan bentuk yang beragam. Reproduksi generatif
berlangsung dengan konjugasi isogami maupun heterogami (Pelczar, dkk., 1983).
Taksonomi Saccharomyces sp adalah sebagai berikut (Sanger, 2009) :
Super Kingdom : Eukaryotik
Phylum : Fungi
Subphylum : Ascomycota
Class
Order
Family
Genus
Species
Menurut Hartoto
tinggi Saccharomyces
rendah. Sedangkan pada kondisi
jalur katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan
karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi
aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa
lintasan proses. Pada respir
air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain
intermediet.
Komposisi Sel Khamir
Sumber : Surawiria (1990
Saccharomyces
minuman beralkohol karena
: Saccharomycetes
: Saccharomycetales
: Saccharomycetaceae
: Saccharomyces
: Saccharomyces cerevisiae
Menurut Hartoto (1992), pada kondisi aerobik atau konsentrasi glukosa
cerevisiae tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan
Sedangkan pada kondisi anaerobik, pertumbuhan lambat dan piruvat dari
katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan
karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi
aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa
lintasan proses. Pada respirasi oksidasi sempurna dari glukosa menghasilkan CO
air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain
Tabel 2.6
Komposisi Sel Khamir Saccharomyces cerevisiae
1990)
Saccharomyces cerevisiae telah lama digunakan dalam industri alkoho
minuman beralkohol karena memiliki kemampuan dalam memfermentasi glukosa
59
atau konsentrasi glukosa
tumbuh dengan baik, namun alkohol yang dihasilkan
, pertumbuhan lambat dan piruvat dari
katabolik dipecah oleh enzim piruvat dekarboksilase menjadi asetaldehid dan
karbondioksida secara reduksi oleh enzim alkohol dehidrogenase. Pada kondisi
aerobik, pemecahan gula mengikutsertakan oksigen atmosfir melalui beberapa
asi oksidasi sempurna dari glukosa menghasilkan CO2 dan
air, sedang oksidasi tidak sempurna diikuti oleh akumulasi asam dan lain-lain produk
industri alkohol dan
mfermentasi glukosa
60
menjadi etanol. Saccharomyces cerevisiae membutuhkan mineral tertentu (misalnya,
Ca, Mg, Mn, Co, Fe, Cu, K, Na, Zn) untuk pertumbuhan dan fermentasi etanol.
Sebagian besar nutrisi yang dibutuhkan biasanya sudah tersedia dalam bahan baku
industri untuk produksi etanol.
61
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dimulai dari usaha untuk mengkaji
potensi pengembangan bahan bakar alternatif untuk mensubstitusi bahan bakar
konvensional yang tidak terbarukan. Bahan bakar alternatif yang dikembangkan saat ini
adalah etanol, dimana selama ini teknologi yang baru dikembangkan adalah teknologi
pembuatan etanol generasi pertama dengan menggunakan bahan baku yang masih
terpaku pada penggunaan biomassa darat yang mengandung karbohidart (starch
based), yang dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan pangan serta
penggunaan lahan pertanian, sehingga perlu dilakukan diversifikasi energi dengan
mengembangkan teknologi pembuatan etanol generasi kedua dengan memanfaatkan
bahan baku biomasaa lain khususnya limbah bahan baku yang mengandung selulosa.
Salah satu sumber bahan baku alternatif yang dapat dikaji dalam usaha pembuatan
etanol generasi kedua dengan fokus pada biomassa yang hidup di perairan, khususnya
dengan memanfaatkan limbah rumput laut Eucheuma cottonii yang dari sepengetahuan
penulis dan kajian literatur ternyata mengandung karbohidrat sekitar 68,48%
(Luthfy,1988) dan belum dikembangkan secara massal sebagai salah satu bahan baku
pembuatan etanol di Indonesia, sehingga dapat dijadikan kajian penelitian sebagai
salah satu sumber bahan baku untuk bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar
konvensional sebagai antisipasi dari kekhawatiran penggunaan etanol generasi pertama
61
62
yang mengancam kelangsungan tanaman pangan, serta mengantisipasi semakin
menipisnya cadangan minyak bumi yang tidak terbarukan.
3.2 Konsep
Adapun konsep penelitian yang digunakan disini dapat disederhanakan untuk
memudahkan pemahaman dalam bentuk penjabaran seperti yang terlihat pada bagan di
bawah ini:
Mengantisipasi krisis energi akibat penggunaan bahan bakar fosil yang tidak terbarukan,
serta kelangsungan etanol generasi pertama yang meragukan karena proses produksinya
dapat mengancam kelangsungan komoditi pangan
Gambar 3.1 Skema Konsep Penelitian
Usaha pembuatan etanol generasi kedua dari limbah bahan baku yang mengandung
selulosa terutama dari biomassa yang hidup di kawasan perairan, khususnya limbah
rumput laut jenis Eucheuma cottonii
Diperlukan usaha yang lebih kompleks dalam tahapan awal pembuatan etanol generasi
kedua dari bahan berlignoselulosa karena adanya senyawa lignin yang membungkus
matriks selulosa yang menghambat kerja yeast dalam proses fermentasi
Usaha – usaha yang diperlukan antara lain meliputi, proses pretreatment, delignifikasi,
treatment secara fisika dan biologi, proses sakarifikasi, proses fermentasi, hingga
dilanjutkan dengan pengukuran kadar alkohol, volume produk fermentasi dan
perhitungan laju fermentasi
Dihasilkan produk fermentasi yang selanjutnya dapat dimurnikan lagi menjadi etanol
generasi kedua sebagai jawaban atas permasalahan krisis energi dan pangan di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya
63
3.3 Hipotesis
Dalam penelitian ini diberikan beberapa hipotesis awal dalam hal
memperkirakan hasil penelitian kedepannya.
a) Dari kajian pustaka dan perbandingan literatur yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, penulis mengambil hipotesis awal bahwa untuk setiap perlakuan
awal pada tahap variasi konsentrasi NaOH pada proses delignifikasi, yang
kemudian dilanjutkan dengan variasi pada proses treatment, akan
mempengaruhi kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi.
Dimana kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi pada
limbah Eucheuma cottonii yang melalui proses delignifikasi akan menghasilkan
hasil yang lebih baik, jika dibandingkan dengan spesimen tanpa perlakuan awal.
b) Penentuan waktu fermentasi terbaik dilakukan dengan menggunakan starter
Saccaromyces cereseviciae pada variasi konsentrasi yang berbeda serta
pengukuran dilakukan selama 9 hari. Dari kajian pustaka dan perbandingan
literatur, hipotesa awal yang dapat diambil untuk semua jenis perlakuan pada
limbah Eucheuma cottoni, baik tanpa proses delignifikasi maupun dengan proses
delignifikasi akan menunjukan peningkatan kadar alkohol pada hari ke 3, dan
terjadi peningkatan kadar alkohol tertinggi pada hari ke 6, selanjutnya akan
mengalami penurunan sampai pada batas hari ke 9. Hal ini disebabkan karena
jumlah glukosa yang terkandung didalam limbah sudah semakin sedikit bahkan
sudah hampir habis dikonversi menjadi produk fermentasi oleh Saccaromyces
cereseviciae.
64
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Adapun rancangan penelitian yang digunakan yang dipakai penulis dalam
penelitian tesis ini mengandung beberapa urutan bagian yang dimulai dari penentuan
data primer atau data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun data – data
utama diperoleh dari berbagai ulasan baik berupa jurnal – jurnal nasional maupun
internasional, buku – buku pendukung, yang membahas tentang kelangkaan bahan
bakar fosil serta kelangsungan etanol generasi pertama sebagai bahan bakar alternatif
yang berkompetisi dengan produksi pangan yang dikhawatirkan mengganggu
keseimbangan pangan. Selanjutnya diperoleh juga informasi dari berbagai sumber
yang membahas tentang berbagai pemanfaatan terbaru bahan berlignoselulosa
khususnya limbah Eucheuma cottonii sebagai bahan baku pembuatan etanol sehingga
dari komparasi literatur dan kajian pustaka dapat diperoleh sesuatu yang belum
dikembangkan sehingga dapat diangkat menjadi salah satu topik penelitian saat ini,
yaitu tentang tahapan proses pembuatan etanol dari limbah rumput laut Eucheuma
cottonii, dimana penulis menitikberatkan pada tahapan proses fermentasi yang
berorientasi pada penggunaan dan pengembangan metode baru dalam hal pengolahan
limbah Eucheuma cottonii yang selama ini belum termanfaatkan secara optimal untuk
dapat dijadikan salah satu sumber bahan baku pembuatan etanol generasi kedua yang
nantinya dapat digunakan sebagai pengganti energi konvensional yang selama ini telah
64
digunakan dan menepis kekhawatiran
pangan.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Proses perlakuan awal (delignifikasi)
fermentasi limbah Eucheuma cottoni
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.
Selanjutnya untuk pengujian
Laboratorium Bioteknologi Gedung
Gambar 4.1 Limbah
4.3 Penentuan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah rumput laut
dari jenis Eucheuma cottonii
Indonesia pada umumnya.
Serangan, dan sepanjang pantai
sekiranya dijadikan tempat pengambilan data awal penelitian adalah
dan menepis kekhawatiran umat manusia terhadap kelangsungan ta
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
perlakuan awal (delignifikasi), perlakuan, sampai dengan proses
Eucheuma cottonii dilakukan di Pusat Kajian Industri dan Energi
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.
Selanjutnya untuk pengujian kadar alkohol produk fermentasi
teknologi Gedung Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar Bali
Gambar 4.1 Limbah Eucheuma cottonii
Penentuan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah rumput laut
ucheuma cottonii yang tersebar di sepanjang pantai Bali khususnya
Indonesia pada umumnya. Obyek penelitian ini adalah di sekitar pantai Sawangan dan
sepanjang pantai Nusa Penida. Dimana populasi
sekiranya dijadikan tempat pengambilan data awal penelitian adalah
65
terhadap kelangsungan tanaman
sampai dengan proses
dilakukan di Pusat Kajian Industri dan Energi
Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.
produk fermentasi dilakukan di
Udayana, Denpasar Bali.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah rumput laut
di sepanjang pantai Bali khususnya dan
pantai Sawangan dan
i penelitian yang
sekiranya dijadikan tempat pengambilan data awal penelitian adalah obyek penelitian
66
rumput laut jenis Eucheuma cottonii cukup besar karena mayoritas dikembangkan oleh
para petani rumput laut, sehingga dapat diasumsikan produksi limbahnya pun juga akan
lebih besar, karena untuk memenuhi standard ekspor harus memenuhi kriteria yang
cukup ketat. Selanjutnya sumber pengambilan data juga diperoleh dari kajian literatur
pada proses penelitian yaitu dari proses perlakuan awal (pretreatment) dengan metode
delignifikasi dan proses perlakuan secara fisika dan biologi, dimana dari setiap variasi
perlakuan awal dan perlakuan inilah diperoleh komparasi data yang pada akhirnya
dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan data penelitian.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel – variabel penelitian disini merupakan variabel – variabel yang
sekiranya berpengaruh terhadap hasil penelitian dan dapat divariasikan dalam usaha
diperoleh komparasi data – data penelitian. Adapun variasi – variasi variabel penelitian
adalah sebagai berikut:
1. Variasi konsentrasi NaOH dalam pretereatment (delignifikasi). Variasi
konsentrasi ini sangat berperan dalam usaha pendegradasian lignin sehingga akan
berpengaruh terhadap jumlah/ konsentrasi selulosa didalam limbah Eucheuma cottonii,
dimana diharapkan dari variasi konsentrasi NaOH ini diperoleh variasi konsentrasi
yang tepat di dalam proses delignifikasi sehingga dapat mengoptimalkan proses
fermentasi.
2. Variasi treatment, yaitu treatment secara fisika dan treatment secara biologi,
dimana dari variasi treatment ini dapat diperoleh perbandingan data – data penelitian,
sehingga dapat diperoleh data pada kondisis treatment yang manakah lebih mampu
67
dalam mengoptimalkan proses konversi selulosa menjadi karbohidrat dan selanjutnya
dikonversi menjadi gula sederhana (glukosa).
3. Variasi konsentrasi ragi (Saccaromyces cereviciae), dimana variasi ini
dilakukan untuk mengetahui pada variasi konsentrasi ragi berapakah yang berpengaruh
signifikan pada laju fermentasi, volume produk fermentasi dan kadar alkohol yang
dihasilkan.
4. Variasi waktu fermentasi sangat berpengaruh terhadap peningkatan kadar
alkohol, karena hanya dalam rentang waktu yang tepatlah diperoleh kadar alkohol
tertinggi sebelum pada akhirnya mulai menurun.
4.5 Bahan Penelitian
Adapun bahan - bahan penelitian yang dibutuhkan dalam proses fermentasi
limbah Eucheuma cottonii adalah sebagai berikut :
1. Limbah Eucheuma cottonii : ± 120 kg
2. Saccaromyces cereviciae (yeast) : ± 500 gram
3. NaOH : 1 kg
4. Effective Microorganism (EM4) : 3 liter
5. Kapur (CaCO3) : 1 kg
4.6 Instrumen Penelitian
Dalam menunjang penelitian ini maka diperlukan instrumen – instrumen
penelitian yang digunakan dalam hal membantu kelancaran penelitian. Adapun
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
68
1. Baskom besar : 1 buah
Digunakan sebagai tempat penampungan limbah Eucheuma cottonii untuk
melakukan proses penetralan garam dan proses delignifikasi, sebelum masuk
ke tahapan proses treatment.
2. Gelas ukur : 1 buah
Digunakan untuk menampung dan mengukur volume produk fermentasi
limbah Eucheuma cottonii.
3. Heater : 1 buah
Digunakan dalam proses hidrolisis dengan pemanasan pada bahan baku limbah
Eucheuma cottonii dalam proses treatment sebelum memulai proses
fermentasi.
4. Timbangan digital : 1 buah
Digunakan untuk menimbang perbandingan massa limbah Eucheuma cottonii
dengan ragi (yeast) agar diperoleh komposisi yang sesuai.
5. pH meter : 1 buah
Digunakan mengukur derajat keasaman limbah Eucheuma cottonii sebelum
memulai tahapan proses fermentasi.
6. Basin : 2 buah
Digunakan sebagai media dalam proses hidrolisis limbah Eucheuma cottonii
dalam proses treatment.
7. Vinometer : 1 buah
Digunakan untuk mengukur kadar alkohol dalam skala rendah produk
fermentasi limbah Eucheuma cottonii (rentang 0-25% alcohol by volume ).
69
Gambar 4.2 Vinometer
4.7 Prosedur Penelitian
Adapun langkah-langkah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sebanyak 90 kg limbah rumput laut jenis Eucheuma cottonii ditaruh pada baskom
besar, lalu dicuci dan dibilas dengan air bersih untuk memisahkan butiran pengotor
dan pasir.
2. Setelah itu limbah Eucheuma cottonii memasuki tahapan proses penghilangan
garam yang bertujuan untuk menghilangkan kandungan garam yang ada di dalam
limbah Eucheuma cottonii agar nantinya tidak menghambat/ mengganggu kerja
yeast dalam proses fermentasi. Proses penghilangan kandungan garam dalam
limbah Eucheuma cottonii ini dilakukan dengan menggunakan senyawa kapur
(CaCO3) yang dicampur dengan air dimana dalam penelitian ini penulis
menggunakan perbandingan 1 kg CaCO3 dilarutkan dalam 100 liter air.
Selanjutnya limbah Eucheuma cottonii dimasukkan dan direndam selama 24
jam. Adapun persamaan reaksi secara teoritis yang terjadi dalam proses
penghilangan garam adalah sebagai berikut :
2 NaCl + CaCO3 Na2CO3 + CaCl2
70
3. Selanjutnya dilakukan pretreatment berupa proses delignifikasi. Proses delignifikasi
disini merupakan proses degradasi lignin yang membungkus selulosa didalam
matriks limbah Eucheuma cottonii, dimana keberadaan lignin ini akan menghambat
aktifitas dari Saccharomyces cerevisiae yang terdapat dalam ragi dalam tahapan
proses fermentasi. Adapun proses delignifikasi ini menggunakan proses delignifikasi
secara kimia yaitu dengan menggunakan senyawa NaOH sebagai katalis dalam
proses delignifikasi dengan variasi sebagai berikut:
a. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 10 %
selama 1 jam.
b. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 15%
selama 1 jam.
c. 30 kg limbah Eucheuma cottonii di delignifikasi dengan larutan NaOH 20 %
selama 1 jam.
Pada proses delignifikasi pertama menggunakan 30 kg limbah Eucheuma
cottonii yang di delignifikasi dengan larutan NaOH 10%. Untuk perbandingan
antara media air dengan massa NaOH yang digunakan dapat diperoleh dengan
rumus pengenceran sebagai berikut:
a) Pengenceran dengan menggunakan NaOH 10%
NaOH 10% = 10 gram NaOH dalam 100 ml air
Mr NaOH = 40
Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml
Molaritas NaOH per 100 ml = (10 gram / 40)/100 ml = 0.25 mol/0,1 liter
= 2,5 M
71
Rumus Pengenceran :
V1.M1 = V2.M2
V1. 2,5 M = 5 liter .0,1M
V1 = 0,5 M liter/2,5 M
V1 = 0,2 liter
V1 = 200 ml
Massa NaOH = 200 ml x 1.087 gr/ml
Jadi massa NaOH yang dibutuhkan untuk pengenceran dengan 5 liter air adalah
217,4 gram
b) Pengenceran dengan menggunakan NaOH 15%
NaOH 15% = 15 gram NaOH dalam 100 ml air
Mr NaOH = 40
Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml
Molaritas NaOH per 100 ml = (15 gram / 40)/100 ml = 0,375 mol/0,1 liter
= 3,75 M
Rumus Pengenceran :
V1.M1 = V2.M2
V1. 3,75 M = 5 liter .0,1M
V1 = 0,5 M liter/3,75 M
V1 = 0,133 liter
V1 = 133 ml
Massa NaOH = 130 ml x 1.087 gr/ml = 144,9 gram
72
c) Dengan cara yang sama dilakukan untuk kadar NaOH 20 %
NaOH 20% = 20 gram NaOH dalam 100 ml air
Mr NaOH = 40
Massa jenis (ρ) NaOH = 1,087 gr/ml
Molaritas NaOH per 100 ml = (20 gram / 40)/100 ml = 0,5 mol/0,1 liter
= 5 M
Rumus Pengenceran :
V1.M1 = V2.M2
V1. 5 M = 5 liter .0,1M
V1 = 0,5 M liter/5 M
V1 = 0,1 liter
V1 = 100 ml
Massa NaOH = 100 ml x 1.087 gr/ml
Massa NaOH = 108,7 gram
(a) (b)
Gambar 4.3. (a) Senyawa NaOH (b) Proses Pengukuran Massa NaOH
73
4. Selanjutnya untuk setiap variasi pretreatment delignifikasi pada langkah nomor 3
diberikan treatment yang bertujuan untuk menghidrolisis selulosa menjadi gula
sederhana. Adapun variasi yang digunakan dalam proses treatment ini adalah
sebagai berikut:
a) 15 kg limbah Eucheuma cottonii di treatment secara fisika, yaitu dengan
dikukus selama 30 menit di dalam basin stainless steel pada temperatur
100 °C, lalu ditiriskan selama 1 jam (dalam hal ini proses sakarifikasi
untuk menstabilkan derajat keasaman) dalam suhu ruangan (27°C-30°C).
Setelah itu barulah masuk pada tahapan proses fermentasi dengan
penambahan ragi dengan variasi komposisi 1:0,0015, 1:0,003, 1:0,0045,
1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi.
b) Treatment secara biologi dilakukan dengan menggunakan 15 kg limbah
Eucheuma cottonii yang di panaskan selama 30 menit di dalam basin
stainless steel pada temperatur 100° C lalu ditiriskan selama 1 jam dalam
suhu ruangan (27°C-30°C). Setelah itu ditambahkan cairan EM4 dengan
perbandingan 1 kg limbah Eucheuma cottonii ditambahkan dengan 50 ml
EM4 yang selanjutnya masuk pada tahapan proses fermentasi dengan
penambahan ragi dengan variasi komposisi 1:0,0015, 1:0,003, 1:0,0045,
1:0,006, 1:0,0075 untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi.
74
(a) (b)
Gambar 4.4 Proses Perlakuan Limbah Eucheuma Cottonii (a) Perlakuan
Secara Fisika, (b) Perlakuan Secara Biologi
Kelima variasi campuran ragi dan limbah Eucheuma cottonii pada setiap
pembagian treatment tersebut dimasukkan kedalam toples kaca agar tidak terjadi
kontaminasi dengan udara luar dan ditutup dengan rapat, sehingga tercipta kondisi
anaerob sehingga Saccharomyces cerevisiae dapat bekerja dengan baik dalam proses
fermentasi.Proses fermentasi ini dilakukan dengan menggunakan media topless
kaca untuk menjaga kondisi anaerob (tanpa udara) dengan pH awal 6, didalam
ruang tertutup dalam suhu kamar (27-30°C). Tahapan proses fermentasi ini
berlangsung selama 9 hari dimana pencatatan data dilakukan setiap 3 hari sekali
untuk mengukur volume produk fermentasi dan kadar alkohol yang dihasilkan.
Gambar 4.5 (a) Proses Fermentasi Limbah
Anaerob Pada Perlakuan Fisika, (b)
cottonii dalam Kondisi
5. Dalam setiap rentang waktu 3 hari
ditampung dalam gelas
dari setiap variasi treatment
variasi konsentrasi ragi.
Gambar 4.6 Proses Penekanan Limbah
Memperoleh
(a) (b)
Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Pada Perlakuan Fisika, (b) Proses Fermentasi Limbah
dalam Kondisi Anaerob Pada Perlakuan Biologi
Dalam setiap rentang waktu 3 hari, hasil fermentasi limbah Eucheuma cotto
tampung dalam gelas ukur, lalu diukur volume produk fermentasi
treatment (fisika dan biologi), variasi delignifikasi
variasi konsentrasi ragi.
Proses Penekanan Limbah Eucheuma cottoni
Memperoleh Volume Produk Fermentasi
75
dalam Kondisi
Proses Fermentasi Limbah Eucheuma
Pada Perlakuan Biologi
Eucheuma cottonii
produk fermentasi yang dihasilkan
variasi delignifikasi NaOH dan
ottonii Untuk
76
6. Selanjutnya dilakukan proses pengukuran kadar alkohol dengan menggunkan alat
ukur vinometer, yang penggunaannya dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Masukkan produk fermentasi kedalam vinometer hingga penuh, diamkan
beberapa saat sehingga berada dalam keadaan steady, kemudian vinometer
yang sudah terisi penuh dengan produk fermentasi tersebut dibalik,
sehingga akan terjadi proses penurunan cairan, tunggu sesaat hingga
penurunan cairan berhenti dan dari angka yang tertera pada skala vinometer
dapatlah ditentukan berapa kadar alkohol dari produk fermentasi tersebut,
dalam satuan persen volume (% abv).
Gambar 4.7 Skema Proses Pengukuran Kadar Alkohol
7. Selanjutnya adalah menghitung laju fermentasi dalam satuan (kg/hari) dari setiap
rentang waktu fermentasi dari setiap variasi delignifikasi, variasi perlakuan fisika
dan biologi dan variasi perbandingan konsentrasi limbah Eucheuma cottonii dengan
ragi (yeast).
78
4.8 Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan metode analisa dan komparasi data – data
pengujian dari uji kuantitatif dilapangan, dimana analisa penelitian diacu dari hipotesis
awal yang membandingkan setiap data – data penelitian dari setiap variasi yang
dilakukan serta berbagai variabel yang berpengaruh dalam proses penelitian sehingga
dari hasil komparasi data pengujian tersebut diperoleh data terbaik dari setiap alur
proses suatu penelitian dan dapat ditarik suatu kesimpulan dari komparasi data – data
tersebut.
79
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Pengukuran kadar alkohol dilakukan untuk mengetahui besarnya kadar alkohol
yang mampu dihasilkan dalam serangkaian proses fermentasi limbah Eucheuma
cottonii sehingga pada akhirnya dapat dilakukan perbandingan kadar alkohol antara
limbah Eucheuma cottonii yang melalui tahapan perlakuan awal (proses
delignifikasi) dan perlakuan (fisika dan biologi), dengan kadar alkohol pada
limbah Eucheuma cottonii yang tanpa melalui tahapan delignifikasi dan tanpa
perlakuan.
Gambar 5.1 Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Pada
Delignifikasi NaOH 15 %, Dengan Perbandingan (1:0,006) Untuk Limbah
Eucheuma cottonii dan Ragi
79
80
Dari hasil pengukuran kadar alkohol hasil fermentasi limbah Eucheuma cottonii
dengan starter Saccaromyces ceresiviciae maka didapatkan hasil pengukuran yang
dapat ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 5.1
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Waktu
(hari)
Kadar Alkohol Produk Fermentasi(% abv) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3 4,2 4,3 4,7 5,2 4,6
6 5,1 5,3 6,7 6,9 5,9
9 4,5 4,8 5,6 5,8 5,4
Tabel 5.2
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 10 %
Waktu
(hari) Treatment
Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 4,5 4,8 5,1 5,9 5,4
Perlakuan
Biologi 4,9 5,3 6,4 6,7 6,2
6
Perlakuan
Fisika 6,7 7,2 7,5 7,9 7,3
Perlakuan
Biologi 7,4 7,7 8,1 8,3 7,9
9
Perlakuan
Fisika 6,3 6,5 6,7 7,2 6,6
Perlakuan
Biologi 7,2 7,3 7,6 7,8 7,1
81
Tabel 5.3
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 15%
Waktu
(hari) Treatment
Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 13,1 13,3 13,6 14,3 11,5
Perlakuan
Biologi 13,4 13,8 14,1 14,7 12,8
6
Perlakuan
Fisika 13,4 13,7 14,5 14,8 13,8
Perlakuan
Biologi 13,6 14,3 14,7 15,5 14,5
9
Perlakuan
Fisika 11,6 12,2 12,7 13,4 12,3
Perlakuan
Biologi 12,5 12,7 13,1 13,7 13,2
Tabel 5.4
Tabel Hasil Pengukuran Kadar Alkohol Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii Dengan Delignifikasi NaOH 20%
Waktu
(hari) Treatment
Kadar Alkohol Produk Fermentasi (% abv) Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 6,3 7,5 7,8 8,1 7,2
Perlakuan
Biologi 6,8 7,9 8,2 8,5 8,1
6
Perlakuan
Fisika 7,2 7,7 8,4 8,7 7,8
Perlakuan
Biologi 7,6 8,3 8,6 9,1 8,3
9
Perlakuan
Fisika 6,8 7,2 7,5 7,9 7,2
Perlakuan
Biologi 7,1 7,4 8,1 8,4 7,8
82
5.2 Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Proses pengukuran volume produk fermentasi selama proses fermentasi
dilakukan untuk mengetahui seberapa banyak volume produk fermentasi yang
dihasilkan selama proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii dalam setiap
rentang waktu fermentasi. Dari hasil pengukuran volume inilah dapat ditentukan
massa dari produk fermentasi yang dihasilkan dan pada akhirnya dapat
dilanjutkan untuk perhitungan laju fermentasi. Dari hasil pengukuran volume
produk fermentasi yang dilakukan dengan proses penekanan dengan tekanan 0,5
bar dilaboratorium, diperoleh data – data dapat ditampilkan dalam bentuk tabel
dibawah ini.
Tabel 5.5
Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Waktu
(hari) Volume Produk Fermentasi (ml)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3 110 145 156 176 124
6 135 158 170 211 165
9 152 184 195 235 177
83
Tabel 5.6
Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 10%
Waktu
(hari) Treatment
Volume Produk Fermentasi (ml)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 125 155 170 188 135
Perlakuan
Biologi 148 166 182 196 152
6
Perlakuan
Fisika 154 177 194 215 163
Perlakuan
Biologi 162 186 213 224 178
9
Perlakuan
Fisika 165 190.5 215 243 182
Perlakuan
Biologi 186 212 232 255 196
Tabel 5.7
Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 15%
Waktu
(hari) Treatment
Volume Produk Fermentasi (ml)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 143 172 184 200 150
Perlakuan
Biologi 155 183 195 215 166
6
Perlakuan
Fisika 160 196 210 227 178
Perlakuan
Biologi 172 212 225 244 192
9
Perlakuan
Fisika 176 217 230 250 195
Perlakuan
Biologi 210 226 244 272 213
84
Tabel 5.8
Tabel Hasil Pengukuran Volume Produk Fermentasi Limbah
Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi NaOH 20 %
Waktu
(hari) Treatment
Volume Produk Fermentasi (ml)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 134 165 175 194 146
Perlakuan
Biologi 155 174 189 205 162
6
Perlakuan
Fisika 160 176 195 220 170
Perlakuan
Biologi 174 188 205 234 186
9
Perlakuan
Fisika 180 193 210 240 192
Perlakuan
Biologi 196 215 235 265 205
5.3 Perhitungan Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Proses perhitungan laju fermentasi dapat dilakukan dengan membandingkan
massa produk fermentasi dengan selang waktu fermentasi.
Massa produk fermentasi diperoleh dari persamaan massa jenis:
ρ = m/v (kg/ml)
m = ρ x v (kg)
dimana ρ alkohol = 0,7 kg/liter
ρ air = 0,97 kg/liter
Sebagai contoh untuk pengukuran kadar alkohol pada limbah Eucheuma cottonii tanpa
delignifikasi pada hari ketiga fermentasi dengan perbandingan limbah Eucheuma
cottonii dan ragi terbaik (1:0.006) didapatkan data sebagai berikut :
a) Kadar alkohol = 5,2% (alcohol by volume)
85
b) Kadar air = 94,8 % (water by volume)
c) Volume produk fermentasi = 176 ml = 0,176 liter
Sehingga dari data diatas didapatkan massa jenis dan massa produk fermentasi
sebagai berikut:
ρ produk fermentasi = ((5,2% x 0,7 kg/liter)/100%) + ((94,8% x 0,97 kg/liter)/100%)
ρ produk fermentasi = 0,96 kg/liter
m produk fermentasi = ρ produk fermentasi x v produk fermentasi (kg)
m produk fermentasi = 0,96 kg/liter x 0,176 liter
m produk fermentasi = 0,16896 kg = 168,96 gram
Laju fermentasi ditentukan dengan persamaan di bawah ini :
t
mm b
b
∆
∆=
•
dimana :
bm•
= Laju Fermentasi ( kg / hari)
bm∆ = Massa Produk Fermentasi yang dihasilkan ( kg )
t∆ = Selang waktu fermentasi ( hari)
Sehingga laju Fermentasi pada hari ke 3 dapat dihitung sebagai berikut :
�� � = ��������
���� = 0,05632 kg/hari
Dengan cara perhitungan yang sama seperti diatas maka diperoleh data – data laju
fermentasi yang dapat ditampilkan seperti pada tabel berikut ini:
86
Tabel 5.9
Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Waktu
(hari)
Laju Fermentasi (kg/hari)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3 0.035 0.046 0.050 0.056 0.040
6 0.022 0.025 0.027 0.034 0.026
9 0.016 0.020 0.021 0.025 0.019
Tabel 5.10
Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi
NaOH 10%
Waktu
(hari) Treatment
Laju Fermentasi (kg/hari)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 0.040 0.050 0.054 0.060 0.043
Perlakuan
Biologi 0.047 0.053 0.058 0.063 0.049
6
Perlakuan
Fisika 0.024 0.028 0.031 0.034 0.026
Perlakuan
Biologi 0.026 0.030 0.034 0.036 0.028
9
Perlakuan
Fisika 0.018 0.020 0.023 0.026 0.019
Perlakuan
Biologi 0.020 0.022 0.025 0.027 0.021
87
Tabel 5.11
Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi
NaOH 15%
Waktu
(hari) Treatment
Laju Fermentasi (kg/hari)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 0.045 0.054 0.058 0.063 0.047
Perlakuan
Biologi 0.049 0.058 0.061 0.068 0.052
6
Perlakuan
Fisika 0.025 0.031 0.033 0.036 0.028
Perlakuan
Biologi 0.027 0.033 0.035 0.038 0.030
9
Perlakuan
Fisika 0.019 0.023 0.024 0.026 0.021
Perlakuan
Biologi 0.022 0.024 0.026 0.029 0.022
Tabel 5.12
Tabel Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Delignifikasi
NaOH 20 %
Waktu
(hari) Treatment
Laju Fermentasi (kg/hari)
Dengan Perbandingan Konsentrasi yeast
(1:0.0015) (1:0.003) (1:0.0045) (1:0.006) (1:0.0075)
3
Perlakuan
Fisika 0.043 0.053 0.056 0.062 0.047
Perlakuan
Biologi 0.049 0.055 0.060 0.065 0.052
6
Perlakuan
Fisika 0.026 0.028 0.031 0.035 0.027
Perlakuan
Biologi 0.028 0.030 0.033 0.037 0.030
9
Perlakuan
Fisika 0.019 0.021 0.022 0.025 0.020
Perlakuan
Biologi 0.021 0.023 0.025 0.028 0.022
88
5.4 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol Pada
Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Gambar 5.2 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada
Delignifikasi NaOH 10%
3.0
3.5
4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
7.5
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (%
Vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
3
4
5
6
7
8
9
3 6 9
ka
da
r A
lko
ho
l (%
vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
89
Gambar 5.4 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada
Delignifikasi NaOH 10%
Gambar 5.5 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada
Delignifikasi NaOH 15%
4
5
6
7
8
9
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (
% V
olu
me
)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
10
11
12
13
14
15
16
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (%
vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
90
Gambar 5.6 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada
Delignifikasi NaOH 15%
Gambar 5.7 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Fisika Pada
Delignifikasi NaOH 20%
9
10
11
12
13
14
15
16
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (%
Vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
5
6
7
8
9
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (%
vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
91
Gambar 5.8 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Kadar Alkohol
Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Biologi Pada
Delignifikasi NaOH 20%
5.5 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume Produk
Fermentasi Pada Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Gambar 5.9 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Tanpa
Delignifikasi
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5
3 6 9
Ka
da
r A
lko
ho
l (%
vo
lum
e)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
50
100
150
200
250
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
92
Gambar 5.10 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 10%
Gambar 5.11 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 10%
50
100
150
200
250
300
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
50
100
150
200
250
300
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
93
Gambar 5.12 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 15%
Gambar 5.13 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 15%
50
100
150
200
250
300
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
50
100
150
200
250
300
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
94
Gambar 5.14 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Fisika Pada Delignifikasi NaOH 20%
Gambar 5.15 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi Dengan Volume
Produk Fermentasi Pada Proses Fermentasi Eucheuma cottonii Dengan
Perlakuan Biologi Pada Delignifikasi NaOH 20%
50
100
150
200
250
3 6 9
vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
50
100
150
200
250
300
3 6 9
Vo
lum
e P
rod
uk
Fe
rme
nta
si (
ml)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
95
5.6 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju Fermentasi Pada
Proses Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Gambar 5.16 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Tanpa Delignifikasi
Gambar 5.17 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Fisika
Dengan Delignifikasi NaOH 10%
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
96
Gambar 5.18 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi
Dengan Delignifikasi NaOH 10%
Gambar 5.19 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan secara Fisika
Dengan Delignifikasi NaOH 15%
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
97
Gambar 5.20 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi
Dengan Delignifikasi NaOH 15%
Gambar 5.21 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii Dengan Perlakuan Secara Fisika
Dengan Delignifikasi NaOH 20%
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
0.080
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
98
Gambar 5.22 Grafik Perbandingan Waktu Fermentasi dengan Laju
Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii dengan Perlakuan Secara Biologi
Dengan Delignifikasi NaOH 20%
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
(1:0.0015)
(1:0.003)
(1:0.0045)
(1:0.006)
(1:0.0075)
99
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh Variasi Komposisi Senyawa NaOH Pada Proses Delignifikasi
Limbah Eucheuma cottonii
Proses atau teknologi konversi biomassa menjadi etanol dewasa ini sudah
cukup mapan untuk biomassa penghasil karbohidrat jenis pati atau sukrosa, seperti
ubi kayu, jagung, molasse, dan gula tebu. Untuk biomassa lignoselulosa,
masalahnya menjadi agak berbeda karena didalam bahan berlignoselulosa terdapat
senyawa lignin yang terlebih dulu harus dipisahkan (didegradasi) dari selulosa dan
hemiselulosa. Selain itu, selulosa merupakan senyawa yang mempunyai bagian
yang berstruktur kristal yang agak sulit didegradasi oleh mikroba atau enzim
selulase.
Salah satu faktor penting dalam seleksi bahan berlignoselulosa untuk
dikonversi menjadi etanol adalah rasio selulosa terhadap lignin. Untuk
memperoleh rendemen yang tinggi, harus dipilih bahan baku dengan kandungan
selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi, dan sebaliknya kandungan lignin
harus rendah (Kendry, 2002).
Secara garis besar ilustrasi proses penghancuran dinding lignin yang
membungkus struktur hemiselulosa dalam proses pretreatment dapat dilihat pada
gambar 6.1 berikut ini:
99
Gambar 6.1. Skema Tujuan
Dari gambar diatas dapat
membungkus senyawa
(dalam hal ini limbah
sisi luar tanaman menjadi keras dan dapat berdiri kokoh. Namun
menjadi masalah dalam proses fermentasi, dimana keberadaan lignin ini akan
menyulitkan kerja dari
fermentasi, sehingga proses
selanjutnya dikonversi menjadi
luar untuk membantu usaha penghancuran dinding lignin sehingga akan diperoleh
lebih banyak selulosa yang dapat dikonversi menjadi gula
Dari data - data
spesimen dengan proses delignifikasi
kondisi data terbaik
cottonii dan ragi diperoleh
Gambar 6.1. Skema Tujuan Pretreatment Biomassa Lignoselulosa(Mosier,dkk., 2005)
gambar diatas dapat dilihat bahwa lignin laksana dinding
senyawa selulosa dalam suatu matriks tumbuhan berlignoselulosa
limbah Eucheuma cottonii). Senyawa lignin inilah yang membuat
tanaman menjadi keras dan dapat berdiri kokoh. Namun
menjadi masalah dalam proses fermentasi, dimana keberadaan lignin ini akan
dari enzim dan mikroba dalam starter yeast
fermentasi, sehingga proses konversi selulosa menjadi gula sederhana,
dikonversi menjadi etanol akan terhambat. Untuk itu diperlukan usaha
luar untuk membantu usaha penghancuran dinding lignin sehingga akan diperoleh
lebih banyak selulosa yang dapat dikonversi menjadi gula sederhana
data yang diperoleh pada penelitian ini didapatkan hasil
proses delignifikasi menggunakan senyawa NaOH 15%
kondisi data terbaik dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah
dan ragi diperoleh kadar alkohol dari perlakuan secara
100
Biomassa Lignoselulosa
gnin laksana dinding kokoh yang
berlignoselulosa
lignin inilah yang membuat
tanaman menjadi keras dan dapat berdiri kokoh. Namun hal ini akan
menjadi masalah dalam proses fermentasi, dimana keberadaan lignin ini akan
yeast dalam proses
losa menjadi gula sederhana, yang
diperlukan usaha
luar untuk membantu usaha penghancuran dinding lignin sehingga akan diperoleh
ana (glukosa).
didapatkan hasil bahwa
menggunakan senyawa NaOH 15% pada
perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma
dari perlakuan secara biologi yaitu
101
sebesar 15,5% dan kadar alkohol yang diperoleh dari perlakuan fisika yaitu
sebesar 14,8% pada hari ke 6 proses fermentasi (lihat tabel 5.3). Begitu juga
dengan volume produk fermentasi yang mampu dihasilkan adalah sebanyak 272
ml pada perlakuan biologi dan 250 ml pada perlakuan fisika pada hari ke 9
fermentasi (lihat tabel 5.7). Sementara itu laju fermentasi yang terjadi selama
proses fermentasi adalah sebesar 0,068 kg/hari pada perlakuan biologi dan 0,063
kg/hari pada perlakuan fisika pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 5.11).
Sementara itu data – data penelitian pada spesimen dengan delignifikasi
NaOH 10% dan 20% dapat dilihat bahwa secara garis besar kadar alkohol, volume
produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan memang meningkat jika
dibandingkan dengan spesimen tanpa delignifikasi, tetapi tidak sesignifikan hasil
yang diperoleh pada spesimen yang melalui proses delignifikasi dengan
menggunakan NaOH 15%. Dimana pada spesimen dengan proses delignifikasi
NaOH 10% pada kondisi data terbaik penelitian dengan perbandingan (1:0,006)
untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi didapatkan hasil kadar alkohol sebesar
8,3% pada perlakuan biologi dan 7,9% pada perlakuan fisika pada hari ke 6 proses
fermentasi (lihat tabel 5.2). Volume produk fermentasi yang dihasilkan adalah
sebanyak 255 ml pada perlakuan biologi dan 243 ml pada perlakuan fisika pada
hari ke 9 fermentasi (lihat tabel 5.6), serta laju fermentasi yang mampu dihasilkan
adalah sebesar 0,063 kg/hari pada perlakuan biologi dan sebesar 0,06 kg/hari
dengan perlakuan fisika pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 5.10).
Sementara itu pada spesimen dengan proses delignifikasi menggunakan NaOH
20% pada kondisi data terbaik penelitian dengan perbandingan (1:0,006) untuk
102
limbah Eucheuma cottonii dan ragi didapatkan hasil kadar alkohol yang mampu
dihasilkan adalah sebesar 9,1% pada perlakuan biologi dan 8,7% pada perlakuan
fisika pada hari ke 6 fermentasi (lihat tabel 5.4). Volume produk fermentasi yang
dihasilkan adalah sebesar 265 ml pada perlakuan biologi dan 240 ml pada
perlakuan fisika pada hari ke 9 fermentasi (lihat tabel 5.8), serta laju fermentasi
yang dihasilkan adalah sebesar 0,065 kg/hari pada perlakuan biologi dan sebesar
0,062 kg/hari pada perlakuan fisika pada hari ke 3 fermentasi (lihat tabel 5.12).
Dari paparan diatas dapat dilihat secara keseluruhan dalam penelitian ini,
spesimen pada ketiga variasi delignifikasi diatas menghasilkan kadar alkohol,
volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang lebih baik jika dibandingkan
dengan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang
dihasilkan dari limbah Eucheuma cottonii tanpa melalui proses delignifikasi.
Dimana spesimen dengan kondisi tanpa delignifikasi pada kondisi data terbaik
dengan perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi, kadar
alkohol tertinggi yang mampu dihasilkan adalah sebesar 6,9% pada hari ke 6
fermentasi (lihat tabel 5.1), sementara itu volume produk fermentasi tertinggi
yang dihasilkan adalah sebesar 235 ml pada hari ke 9 proses fermentasi (lihat
tabel 5.5), serta laju fermentasi tertinggi adalah sebesar 0,056 kg/hari pada hari ke
3 proses fermentasi (lihat tabel 5.9). Dari paparan penjelasan perbandingan data
diatas dapat dilihat bahwa spesimen dengan proses delignifikasi dengan senyawa
NaOH 15% menunjukkan hasil penelitian yang paling baik diantara ketiga variasi
delignifikasi dan dengan spesimen tanpa melalui proses delignifikasi. Hal ini
disebabkan dari ketiga variasi delignifikasi, komposisi delignifikasi NaOH 15%
103
merupakan rasio yang paling tepat dalam penelitian ini dalam usaha mendegradasi
lignin yang membungkus selulosa dalam matriks limbah Eucheuma cottonii,
sehingga jumlah lignin yang mampu di degradasi menjadi lebih optimal dengan
kemungkinan prosentase kehilangan selulosa yang lebih kecil sehingga akan
berimplikasi pada lebih banyak selulosa yang didapatkan serta mempermudah
kerja ragi dalam proses konversi selulosa menjadi produk fermentasi, yang
nantinya dapat dilanjutkan dengan proses distilasi untuk meningkatkan kadar
alkoholnya.
Dari pembahasan hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa variasi
delignifikasi yang dilakukan mampu membuktikan bahwa perlakuan awal
(pretreatment) dengan NaOH encer, mampu mendegradasi lignin yang
membungkus selulosa. Hal ini diakibatkan oleh luas permukaan internal bahan
baku yang meningkat yang disertai dengan terjadinya pembesaran permukaan.
Pembesaran permukaan ini menyebakan penurunan derajad polimerisasi,
pemisahan ikatan struktur lignin dan karbohidrat dan merusak struktur lignin
(Fan,dkk,1987).
6.2 Pengaruh Proses Treatment Fisika Dan Biologi Terhadap Proses Fermentasi
Limbah Eucheuma cottonii
Dengan semakin gencarnya tuntutan proses treatment yang ramah
lingkungan, maka dalam penelitian ini digunakan perlakuan secara fisika dan
biologi dalam treatment limbah Eucheuma cottonii sebelum masuk pada tahapan
proses fermentasi. Perlakuan secara fisika disini berupa penggilingan, penekanan,
104
dan penghancuran yang dilanjutkan dengan proses pemanasan (hidrolisis) dengan
suhu 100°C. Sementara itu perlakuan secara biologis dilakukan dengan
menggunakan bantuan mikroba lain dan senyawa – senyawa kimia yang
terintegrasi dalam suatu larutan yang dinamakan dengan larutan Effective
Microorganism (EM4). Dimana dari variasi proses treatment ini akan diperoleh
suatu perbandingan data - data penelitian sehingga dapat ditentukan pada kondisi
perlakuan yang manakah yang merupakan treatment terbaik, yang menghasilkan
kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi terbaik.
Dari data – data hasil penelitian didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan
spesimen limbah Eucheuma cottonii dengan perlakuan secara biologi
menghasilkan kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang
rata – rata lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar alkohol, volume produk
fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan spesimen limbah Eucheuma
cottonii yang melalui perlakuan secara fisika, dimana kadar alkohol tertinggi yang
mampu dihasilkan dengan perlakuan biologi adalah sebesar 15,5% pada hari ke 6
fermentasi, volume produk fermentasi tertinggi yang dihasilkan adalah sebanyak
272 ml pada hari ke 9 proses fermentasi dan laju fermentasi terbaik diperoleh
sebesar 0,068 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat tabel 6.1).
Sementara itu pada perlakuan secara fisika, kadar alkohol yang dihasilkan
adalah sebesar 14,8% pada hari ke 6 proses fermentasi, volume produk fermentasi
tertinggi yang dihasilkan sebesar 250 ml pada hari ke 9 fermentasi serta laju
fermentasi tertinggi sebesar 0,063 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi (lihat
tabel 6.1).
105
Dari paparan diatas dapat dilihat bahwa pada kondisi data terbaik dalam
penelitian ini, spesimen yang melalui proses treatment dengan cara biologi
ternyata memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh pada spesimen yang melalui proses treatment secara fisika. Hal ini
mungkin disebakan karena pengaruh penambahan larutan EM4, dimana didalam
larutan EM4 terdapat banyak nutrisi dan unsur hara yang sangat dibutuhkan
Saccaromyches cereviciae sebagai substrat tambahan dalam proses fermentasi dan
adanya bantuan bakteri pengurai lain yang mampu membantu kerja dari
Saccaromyches cereviciae dalam proses fermentasi.
Berikut ini ditampilkan tabel data – data kadar alkohol, volume produk
fermentasi, dan laju fermentasi pada rasio terbaik untuk limbah Eucheuma cottonii
dan ragi untuk melihat trend data dari kadar alkohol, volume produk fermentasi,
dan laju fermentasi pada proses fermentasi limbah Eucheuma cottonii.
106
Tab
el 6
.1
Perb
an
din
gan
Kad
ar
Alk
oh
ol, V
olu
me
Pro
du
k F
erm
enta
si d
an
Laju
Fer
men
tasi
Pad
a K
on
dis
i D
ata
Ter
baik
Pen
elit
ian
Pretreatment
Waktu
Fer
men
tasi
(hari
)
Kadar
Alk
ohol P
ada
Per
bandin
gan L
imbah
Eucheuma Cottonii d
an
Ragi T
erbaik
(%
(abv))
Volu
me
Pro
duk F
erm
enta
si
Pada P
erbandin
gan L
imbah
Eucheuma C
ott
onii d
an R
agi
Ter
baik
(m
l)
Laju
Fer
men
tasi
Pada
Per
bandin
gan L
imbah
Eucheuma cottonii d
an R
agi
Ter
baik
(kg/h
ari
)
(1:0
.006)
(1:0
.006)
(1:0
.006)
Per
lakuan
Fis
ika
Per
lakuan
Bio
logi
Per
lakuan
Fis
ika
Per
lakuan
Bio
logi
Per
lakuan
Fis
ika
Per
lakuan
Bio
logi
NaO
H 1
0%
3
5.9
6.7
188
196
0.0
60
0.0
63
6
7.9
8.3
215
224
0.0
34
0.0
36
9
7.2
7.8
243
255
0.0
26
0.0
27
NaO
H 1
5%
3
14.3
14.7
200
215
0.0
63
0.0
68
6
14.8
15.5
227
244
0.0
36
0.0
38
9
13.4
13.7
250
272
0.0
26
0.0
29
NaO
H 2
0%
3
8.1
8.5
194
205
0.0
62
0.0
65
6
8.7
9.1
220
234
0.0
35
0.0
37
9
7.9
8.4
240
265
0.0
25
0.0
28
106
107
Dari tabel 6.1 untuk data – data perbandingan kadar alkohol, secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan kadar alkohol yang dimulai dari
rentang hari ke 1 sampai hari ke 3 proses fermentasi dan mencapai puncaknya pada
hari ke 6 proses fermentasi, dan dari rentang hari ke 6 hingga hari ke 9 mulai terjadi
penurunan kadar alkohol. Jika dibandingkan dengan penelitian Kusnadi (2009) yang
meneliti pemanfaatan sampah organik menjadi etanol dengan penambahan asam sulfat
encer (1%), diperoleh kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada hari ke 6 untuk
fermentasi dengan ragi tape dan pada hari ke 2 fementasi dengan penambahan
starter Saccharomyces cerevisiae. Tinggi rendahnya kadar alkohol ditentukan oleh
aktivitas yeast dengan substrat gula yang terfermentasi. Menurunnya kadar
alkohol setelah hari ke 6 proses fermentasi menunjukkan bahwa bakteri
Saccharomyces cerevisiae dalam yeast memasuki fase terakhir yang merupakan
fase stasioner dikarenakan ketersediaan glukosa dan nutrisi dalam media fermentasi
jumlahnya sudah mulai berkurang sehingga tidak sebanding dengan banyaknya
jumlah Saccharomyces cerevisiae yang terus berkembang biak selama proses
fermentasi, sehingga ada kemungkinan Saccharomyces cereviseae lebih banyak
menggunakan nutrisi tersebut untuk bertahan hidup dari pada merombak gula
menjadi alkohol. Dan pada saat substrat mulai habis (fase decay/menuju
kematian), kemungkinan mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri untuk
mempertahankan kondisi fisiologisnya sehingga kadar alkohol menjadi menurun
dimana alkohol yang sudah terbentuk dijadikan substrat oleh mikroba dalam
proses metabolismenya serta adanya kontaminasi dengan adanya mikroba yang
mati akibat substrat yang digunakan untuk bertahan hidup semakin menipis.
108
Dari tabel 6.1 untuk data – data perbandingan volume produk fermentasi,
secara umum dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan volume produk fermentasi
dimulai dari rentang hari ke 1 sampai hari ke 3 fermentasi dan berlanjut hingga hari ke
6, dan mencapai puncaknya pada hari ke 9. Peningkatan volume produk fermentasi ini
disebabkan oleh aktifitas bakteri Saccharomyces cerevisiae yang terus berkembang
biak selama proses fermentasi, dan pada rentang hari ke 6 sampai hari ke 9 dimana
saat substrat mulai habis mikroba menghasilkan aktivitas antibakteri untuk
mempertahankan kondisi fisiologisnya dimana produk fermentasi yang sudah
terbentuk kemungkinan terkontaminasi oleh bakteri yang sudah mati serta
dijadikan substrat oleh mikroba dalam proses metabolismenya dan terjadi
fermentasi lanjutan etanol, sehingga produk fermentasi yang telah terbentuk
terkonversi menjadi asam asetat dan air.
Dari tabel 6.1 untuk data-data perbandingan laju fermentasi secara umum
dapat dilihat bahwa laju fermentasi tertinggi berlangsung pada hari ke 3 proses
fermentasi, dan mulai menurun di hari ke 6 proses fermentasi, dan terus menurun
hingga batas hari ke 9 proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena rentang waktu
efektif fermentasi berlangsung dari hari ke 1 hingga ke 3 proses fermentasi, dimana
setelah melewati hari ke 3 sampai hari ke 6 proses fermentasi, proses fermentasi mulai
berlangsung lambat dan cenderung menurun sehingga laju fermentasinya juga
menurun. Hal ini mungkin disebabkan karena starter Saccaromyces cereviciae telah
melewati batas maksimumnya dalam usaha mengkonversi glukosa menjadi produk
fermentasi diakibatkan oleh mulai menurunnya kandungan glukosa dan nutrisi didalam
limbah Eucheuma cottonii sehingga hanya tersisa sedikit glukosa yang dapat
109
dikonversi menjadi produk fermentasi sedangkan sisa nutrisi yang lainnya digunakan
mikroba untuk bertahan hidup.
6.3 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Limbah Eucheuma cottonii
Perumusan matematis dalam penelitian ini digunakan untuk memprediksi
hasil penelitian kedepannya sebagai bahan hipotesis awal penelitian sebelum memasuki
tahapan eksperimen. Perumusan matematis laju fermentasi juga dapat digunakan untuk
mengetahui seberapa besar penyimpangan data yang diperoleh dengan perhitungan
matematis dengan data – data penelitian yang diperoleh melalui eksperimen.
6.3.1 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii
Dengan Perlakuan Fisika
Gambar 6.2 Perumusan Matematis Pada Perbandingan Waktu Fermentasi
Dengan Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii
Dengan Perlakuan Fisika
Dari grafik laju fermentasi dengan perlakuan fisika diatas dapat diperoleh
suatu pendekatan perumusan matematis dalam usaha memberikan hipotesis untuk
y3= 0.062x-0.79
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
Kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
Delignifikasi NaOH 15%
110
memperkirakan hasil penelitian kedepannya. Dimana dari gambar 6.2, dapat dilihat laju
fermentasi terbaik mempunyai perumusan matematis sebagai berikut:
a. Perumusan matematis laju fermentasi limbah Eucheuma cottonii dengan
delignifikasi NaOH 15% :
y = 0,062x-0,79
dimana y = laju fermentasi (kg/hari)
x = waktu fermentasi (hari)
Dalam rumus pendekatan ini diperoleh hasil bahwa waktu fermentasi
mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap trend laju fermentasi limbah
Eucheuma cottonii.
6.3.2 Perumusan Matematis Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii
Dengan Perlakuan Biologi
Gambar 6.3 Perumusan Matematis Pada Perbandingan Waktu Fermentasi
Dengan Laju Fermentasi Terbaik Limbah Eucheuma cottonii
Dengan Perlakuan Biologi
y3= 0.067x-0.78
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0.070
3 6 9
Laju
Fe
rme
nta
si (
kg
/ha
ri)
Waktu Fermentasi (hari)
Delignifikasi NaOH 15%
111
Dari analisa grafik laju fermentasi dengan perlakuan biologi diatas dapat
diperoleh suatu pendekatan perumusan matematis dalam usaha memberikan hipotesis
dan memperkirakan hasil penelitian kedepannya. Dari gambar 6.3, untuk data laju
fermentasi terbaik mempunyai perumusan matematis sebagai berikut:
a. Perumusan matematis laju fermentasi limbah Eucheuma cottonii dengan
delignifikasi NaOH 15%
y = 0,067x-0,78
dimana y = laju fermentasi (kg/hari)
x = waktu fermentasi (hari)
Dalam pendekatan disini diperoleh kesimpulan bahwa selang waktu fermentasi
mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap trend laju fermentasi.
112
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Dari variasi – variasi yang dilakukan pada penelitian ini maka diperoleh
kadar alkohol, volume produk fermentasi dan laju fermentasi terbaik pada
spesimen dengan perlakuan secara biologi, dengan perbandingan
(1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi pada delignifikasi
dengan menggunakan NaOH 15%. Dimana kadar alkohol didapatkan
sebesar 15,5% pada hari ke 6 proses fermentasi, sementara itu volume
produk fermentasi yang dihasilkan adalah sebanyak 272 ml pada hari ke 9
proses fermentasi. Sementara itu laju fermentasi yang dihasilkan sebesar
0,068 kg/hari pada hari ke 3 proses fermentasi.
2. Dalam penelitian ini pada kondisi data – data terbaik diperoleh
perbandingan hasil data sebagai berikut:
a. Kadar alkohol yang dihasilkan sebesar 15,5% pada spesimen dengan
perlakuan biologi dan 14,8% pada spesimen dengan perlakuan fisika,
sementara itu untuk spesimen tanpa perlakuan adalah sebesar 6,9%.
b. Volume produk fermentasi yang dihasilkan sebesar 272 ml pada
spesimen dengan perlakuan biologi dan 250 ml pada spesimen dengan
perlakuan fisika, sementara itu untuk spesimen tanpa perlakuan adalah
sebesar 235 ml.
112
113
c. Laju fermentasi yang dihasilkan sebesar 0,068 kg/hari untuk spesimen
dengan perlakuan secara biologi dan 0,063 kg/hari untuk spesimen
dengan perlakuan fisika, sementara itu untuk spesimen tanpa
perlakuan adalah sebesar 0,056 kg/hari.
Dari perbandingan data diatas dapat disimpulkan bahwa kadar alkohol,
volume produk fermentasi dan laju fermentasi yang dihasilkan dari spesimen
dengan perlakuan secara biologi memberikan hasil yang lebih baik jika
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh pada spesimen dengan perlakuan
fisika. Dan hasil penelitian untuk spesimen dengan perlakuan secara fisika dan
biologi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh pada spesimen tanpa perlakuan. Hal ini kemungkinan akibat
pengaruh kondisi delignifikasi NaOH yang mampu mendegradasi lignin yang
membungkus selulosa dan pengaruh cairan EM4 yang didalamnya terkandung
banyak unsur hara dan nutrisi yang sangat membantu dalam mengoptimalkan
kerja bakteri Saccharomyces cereviciae dalam proses fermentasi limbah
Eucheuma cottonii.
3. Dari data – data hasil penelitian yang telah dilakukan, maka rekomendasi yang
dapat disampaikan dalam usaha mendapatkan alkohol khususnya untuk skala
industri, maka kondisi spesimen yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Melalui proses delignifikasi dengan menggunakan NaOH 15%.
b. Perbandingan (1:0,006) untuk limbah Eucheuma cottonii dan ragi.
c. Kondisi perlakuan secara biologi.
114
d. Rentang waktu yang dibutuhkan adalah hari ke 1 s/d hari ke 3 proses
fermentasi.
Dari segi optimalisasi pembuatan alkohol, maka waktu fermentasi yang
disarankan cukup samapai hari ke 3 proses fermentasi. Hal ini disebabkan
peningkatan volume produk fermentasi, kadar alkohol dan laju fermentasi
tidaklah begitu signifikan di hari ke 6 dan hari ke 9 proses fermentasi,
selanjutnya untuk meningkatkan kadar alkoholnya maka dapat dilanjutkan
dengan proses penyulingan/destilasi.
7.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meneliti lebih spesifik tentang
pengaruh katalis asam/basa dalam proses delignifikasi untuk dapat melihat
banyaknya kandungan lignin yang terdegradasi akibat delignifikasi pada
matriks limbah Eucheuma cottonii.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat meneliti sifat – sifat fisika
etanol berbahan baku limbah Eucheuma cottonii serta analisa unjuk kerja
mesin akibat penggunaannya.
115
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto. E dan E, Liviawati.1989. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya.
PT Bhratara Niaga Media. Jakarta.
Amin, Muh, dkk. 2005.Kajian Budidaya Rumput Laut (E. cottonii) Dengan Sistim dan
Musim Tanam Yang Berbeda di Kabupaten Pangkep Sulawesi Tengah. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.8.
Anggadiredja, J., Zatnika, A., dan Istini, S.1996. Potensi dan Manfaat Rumput laut
Indonesia dalam Bidang Farmasi. Seminar Nasional Industri Rumput Laut.Jakarta. 18
hal.
Aslan, L.M. 1998. Budidaya rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 97 hal.
Atmadja WS. Kadi A. Sulistijo dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan Jenis-jenis Rumput
Laut Indonesia. PUSLITBANG Oseanologi. Jakarta: LIPI.
Atmaja, W. S. 1996. Pengenalan Jenis Algae Coklat (Phaeohyta). Di dalam Atmaja,
W. S.,Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia.
Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 57, 64–77.
Atmaja, W. S. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah (Rhodophyta). Di dalam Atmaja,
W. S., Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput LautIndonesia.
Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 117.
Balitbang.1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut.Badan Penelitian
danPengembangan Pertanian Departemen Pertanian dan InternationalDevelopment
Research Centre, Jakarta. 93 hal.
Basmal J. 2001. Perkembangan Teknologi Riset Penanganan Pasca Panen dan Industri
Rumput Laut. Forum Rumput Laut. Jakarta: Pusat Riset PengolahanProduk dan Sosial
Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautandan Perikanan. hlm 16-22.
Cengel, Yunus A., dan Boles, Michael A. 1994. Thermodynamic: An Engineering
Approach.United States of America. Mc. Graw-Hill Inc.
Chapman, V. J. and Chapman, D. J. 1980. Seaweed and Their Uses. Chapman and
Hall. London. 333 pp. Furia, T. E. 1975. Handbook of Food Additives: Gums. 2nd ed.
CRC Press, Inc, Boca-Raton. Florida. p. 295- 359.
Dahuri, R. 2004.Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
116
Dawes, C.J. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons. Singapura. 229 hal.
Dean and Dalrymple.1992.Water Wave Mechanics for Engineer and Scientist.World
Scientific Publishing, Singapore.
Departemen Kelautan dan Perikanan .2001. Potensi Lingkungan Laut untuk Kegiatan
Budidaya-Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan SeaFarming di Indonesia.
Kerjasama dengan Japan InternasionalCooperation Agency, DKP. Jakarta.
Ditjenkan Budidaya.2004. Petunjuk teknis Budidaya Laut : Rumput Laut Eucheuma
spp. Direktorat Budidaya Ditjenkan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan,
Jakarta. 40 hal.
Ditjenkan Budidaya.2004. Prosiding Pertemuan Teknis Budidaya. Jakarta.
Doty, M.S. 1973. Farming the red seaweed, Eucheuma, for carrageenans. Micronesia
9:59-73.
Doty.1987.dalam Yusron. 2005.Kajian Filogenetis dan Tipe KeraginanEucheuma
cottonii. Jakarta.
Drapcho, M Caye.,Phu Nuan, Nghiem., Walker,Terry H.2008. Biofuels Engineering
Process Technology. United States of America. Mc. Graw-Hill Inc.
Eastro P dan Michael H. 2003. Marine Biology. 4thed. New York: McGraw-Hill
Companies. Inc.
Eidman, M.1991. Studi Efektivitas Bibit Algae Laut (Rumput Laut). Salah Satu Upaya
Peningkatan Produksi Budidaya Algae Laut (Eucheuma sp.). LaporanPenelitian.
Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor.
Fan, L.T., Y.H. Lee, dan M.M.Gharpuray. 1982. The Nature of Lignocellulosics
and Their Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv. Bichem. Eng. 23: 158 –
187.
Fardiaz.S.1992.Mikrobiologi Pangan.Jakarta.Gramedia
Fardiaz, S. 1989. Fistologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor.
Frank Keppler, John T. G. Hamilton, Marc Bra, and Thomas Röckmann. 2006.
Methane emissions from terrestrial plants under aerobic conditions. Nature 439: 187–
191.
Glicksman. M. 1983. Food Hydrocoloids. Vol. III.Florida .Boca Raton: CRE Press.
117
Goebol, O.H. 1987. Ullmann's Encyclopedia of Industrial Chemistry : Ethanol.
Weinheim: VCH Publisher.
Grethlein. 1978. Chemical Breakdown of Cellulosic Material. New York. Reinhold
PubL, Corporation.
Grethlein, H. E. 1984. Pretreatment for Enhanced Hydrolysis of Cellulosic
Biomass. Biotechnology Advances 2(1), 43-62.
Guisseley, K. B. 1968. Seaweed colloids. In Othmer, K. (ed.). Encyclopedia of
Chemical Technology. Volume17. John Willey and Sons, Inc., USA. p. 763-784.
Guisseley, K. B. 1970. The relationship between methoxyl content and gelling
temperature of agarose. Carbohydr. Res. 13:247-256.
Guist, G. G., Jr., C. J. Dawes, and J. R. Castle. 1985.Mariculture of the red seaweed
Eucheuma isiforme.Fla. Sci. 48:56-57.
Hadioetomo, R.S. 1990. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek : Teknik dan Prosedur
Dasar Laboratorium. Jakarta: PT. Gramedia.
Handayani, Utami S.2008. Pemanfaatan Etanol Sebagai Bahan Bakar Pengganti
Bensin. .Program Diploma III Teknik Mesin Fakultas Teknik. Semarang : Universitas
Diponegoro.
Harrison JS, Graham JCJ.1970. Yeasts in distillery practice. In: The Yeasts Vol. 3 ed.
Rose AH, Harrison JS. pp. 283-332. LondonAcademic Press.
Harvey F. 2009. Produksi Etanol dari Limbah Karaginan. Skripsi. Bogor: Departemen
Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan. Insitut Pertanian
Bogor.
Hirmen. Pedju M. Mous PJ, Jos. 2002. Seaweed Culture as an Alternative Livelihood
for Local Eastal Villages .Around Komodo National Park.
Hamelinck, C. N.; Hooijdonk, G. v. & Faaij, A. P. 2005. Etanol from
Lignocellulosic Biomass: Techno-Economic Performance in Short, Middle, and
Long-Term. Biomass and Bioenergy 28(4), 384–410.
Hujaya, S. D. 2008. Isolasi Pigmen Klorofil, Karoten, dan Xantofil Dari Limbah Alga
Di Area Budi Daya Ikan Bojongsoang. Skripsi. Program Studi Kimia. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. p. 5–25.
Indriyani. 1994. Mutu Anggur Sari Buah yang Dibuat dari Beberapa Jenis Pisang
(Musa paradisiaca). Majalah Ilmiah tahun b1994 edisi 0852-2372,28-35.
118
Jimenez J, Benitez T.1986.Characterization of wine yeasts for ethanol production.
Appl. Microbiol. Biotechnol. 25: 150-154.
Judoamidjojo, M., A.A. Darwis, dan E.G. Said. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta:
Rajawali Press.
Kadi, A. 1996. Pengenalan Jenis Algae Hijau (Chlorophyta). Di dalam Atmaja, W. S.,
Kadi, A., Sulistijo, an Satari, R. Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia.
Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. p. 11, 50–53.
Kartika, B., A.D. Guritno, D. Purwadi dan Dyah Ismoyowati. 1992. Petunjuk Evaluasi
Produk Industri Hasil Pertanian. Yogyakarta : PAU Pangan dan Gizi UGM.
Kim GS. Myung KS, Kim YJ. Oh KK, Kim JS, Ryu HJ, dan Kim KH. 2007. Methode
of Producing Biofuel Using Sea Algae. Seoul: World Intelectual Property Organization.
Kreger-van Rij NJW (Ed.).1984. The Yeasts - A taxonomic study, 3rd edn. Amsterdam,
Elsevier Science.
Layokun SK.1984. Use of the palm wine cultures for ethanol production from black
strap molasses with particular reference toconditions in the tropics. Proc. Biochem. 19:
180-182.
Lowenstein, M. Z. 1985. Energy Applications of Biomass. Solar Energy Research
Institute. Colorado. USA.
Mangunwidjaja, D. dan A. Suryani. 1994. Teknologi Bioproses. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Marshall, A. T. 2007. Bioenergy from Waste: A Growing Source of Power, Waste
Management World Magazine, April, hal. 34-37.
Mc Cabe, W. L, Smith, J. C., and Harriot, P.1993. Operasi Teknik Kimia,
Erlangga,Jakarta.
Mosier, Nathan, et al. 2005. Features of Promising Technologies for Pretreatment
of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology 96 , pp. 673–686.
Mukti.1987. Estimasi dan Analisa Sifat Fisika Dan Kimia Rumput Laut. Karya
Ilmiah.Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor : 17 hal.
Nixon, M. 1999. Distillation-How It Works. Nottingham University. England.
Novak M, Stretiajano P, Moreno M, Goma G .1981. Alcoholic fermentation: Inhibitory
effect of ethanol. Biotechnol. Bioeng. 23: 20,211.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. PT.Gramedia.Jakarta.
119
Odum, E.P. 1993. Dasar – dasar Ekologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Okafor N.1977.Microorganism associated with cassava fermentation for gari
production. J. Appl. Bacteriol. 42: 279-284.
Oshima, M. 1965. Wood Chemistry Process Engineering Aspect. Noyes Develop.
Corp. New York.
Oura E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Dalam H. Dellweg (ed).
Biotechnology Volume 111. New York: Academic Press.
Pambayun, R., B. Haryono, dan D. Wibowo. 1996. Fermentasi Etanol pada Ubi Tolas
Liar (Colocasia esculenta (L.) Schott) Tanpa Pemanasan oleh Saccharomycopsis
fibuligeradan Saccharomyces cerevisiae. Yogyakarta BPPS-UGM, 9 (2B), Mei
1996,291 - 304.
Palonen, Hetti. 2004. Role of Lignin in the Enzymatic Hydrolysis of
Lignocellulose. VTT Biotechnology.
Pelczar, M. J., Chan, E. C. S. & Pelczar, M. F.1982. Element of Microbiology. McGraw
Hill Book Company, New York.
Pelczar.M.J dan Reid.R.D.1979.Microbiology.McGraw Hill Books Co.NewYork.
PDSI. Pusat Data dan Sistem Informasi. 2008. Indonesia menjajagi perkembangan
biodiesel dari rumput laut. www.dkap.go.id.
Perez, J. et al. 2005. Biodegradation and Biolgical Treatments of Cellulose,
Hemicellulose, and Lignin: An Overview. Int Microbiol, Vol. 5, pp. 53-63.
Puslitbangkan, 1991. Budidaya rumput laut (Eucheuma sp.) dengan rakit dan lepas
dasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta. 9 hal.
Prescott, S.C. dan D.C. Dunn. 1982. Industrial Microbiology. First Edition. New York:
McGrawfhll Book Co. Inc.
Roy, F. R.,Perrin, C. H. & Graham, V. E.1993. Notes on Sugar Determination. Applied
Biochemistry and Biotechnology 195:19-32.
Samsul.Rizal Jalaludin.2005.Pembuatan Pulp dari Jerami Padi Dengan Menggunakan
Natrium Hidroksida. Jurnal Sistem Teknik Industri.Vol 6.
120
Saquido, M. A. P., Cayabyab, V. A. & Uyenco, F. R.1983. Production of Microbial
Protein for Feed from Banana Rejects.Natural Science Research center, University of
Philippines. Quezon City. Philippines.
Schlegel, H. G.1999. General Microbiology. Cambridge University Press, 7th edition.
Selveira Semida. 2005. Bioenergy-Realising The Potential. Swedish. Elsevier Science
and Technology Books.
Senez, J. C. 1987. Single Cell Protein. Past and Present Developments. In Microbial
Technology in the DevelopingCenturies. Dasilva, E. J., Dommergues, Y. R., Nyns, E.J.,
and Ratledge, C. (eds). Oxford University Press, Oxford.
Soerawidjaja, T.H., T. Adrisman, U.W. Siagian, T. Prakoso, l.K. Reksowardojo, K.S.
Permana, 2005. Studi Kebijakan Penggunaan Biodiesel di Indonesia. Kajian Kebijakan
dan Kumpulan Artikel Pene1itian BiodieseL Kementrian Ristek dan Teknologi RI
MAKSI IPB Bogor.
Sudarmadii, S., Bambang Haryono, dan Suhardi. 1984. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Sudaryanto. 2007. Pengembangan Etanol di Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sulistijo.1996. Perkembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Puslitbang
Oseanologi. LIPI.Jakarta.Hal 120-151.
Sun, Y. and Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol
Production: A Review. Bioresource Technology, Vol. 83, pp. 1-11.
Suriawiria,U. 1990. Pengantar Biologi Umum. Penerbit angkasa. Bandung.
Stewart, G.G., C. J. Panchal, I. Russel, A.M. Sills. 1983. Biology of Ethanol Producting
Microorganism. Critical Review in Biotech, 1. 161-188.
Taherzadeh, Muhammad J. and Karimi, Keikhosro. 2008. Pretreatment of
Lignocellulosic Waste to Improve Bioethanol and Biogas Production. Int. J. Mol.
Sci 9, pp. 1621-1651.
Taherzadeh, M.J. and Karimi, K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for
Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bioresources 2(3), pp. 472-
499.
Tim Nasional Pengembangan BBN. 2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Tjahjono, A. E. dan M. A. Yudiarto. 2007. Pemilihan Bahan Baku dan Teknologi
Pengolahan Etanol Skala Kecil dan Industri. Trubus. Jakarta.
121
Trubus. 2007. Produksi Etanol Ramah Lingkungan. Pelatihan Produksi Etanol skala
Rumahan. Jakarta.
Wahono. S. 2006. Kajian Komperhensif dan Teknologi Pengembangan Etanol Sebagai
Bahan Bakar Nabati. Seminar Bioenergi : Pospek Bisnis dan Peluang Investasi.
Departemen Pertanian RI, Jakarta.
Walisiewicz, M. 2003. Energi Alternatif : Panduan ke Masa Depan Teknologi Energi.
Penerbit Erlangga, Jakarta.
Widianta, A. dan W.P. Deva. 2008. Proses Pembuatan Etanol dari Ubi Kayu. SMA
Negeri 6. Bengkulu.
Winarno, F.G. 1990. Teknologi pengolahan rumput laut. Pustaka Sinar Harapan.
Jakarta. 109 hal.
Winarno dan Donny. 2007. Prospek Market Etanol untuk Biofuel. Trubus. Jakarta.
Winarno, F.G., S. Fardiaz.1990.Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Penerbit:
Angkasa. Bandung.
Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz.1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT.
Gramedia. Jakarta.
Winarno.F.G.,Fardiaz.S.dan Fardiaz.D.1992. Kimia Pangan Gizi. Gramedia Pustaka
Utama.Jakarta
Winton, A.L., and K.B. Winton.1958. The Analysis of Food. New York-John Wiley
and Sons, Inc., Chapman and Hall, Ltd. London.
Yeliana.2004. Bahan Bakar dan Teknik PembakaranBahan Bakar.Program Studi
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Udayana. Denpasar.
Zatnika, A. 2000. Manfaat, Pascapanen dan Pengolahan Rumput Laut.
WorkshopAplikasi IPTEK Teknologi Budidaya dan Pengolahan Rumput
Laut.Mataram, 7-9 Desember 2000. P.31-42.
Zatnika, A. 1993. Menyimak Pasang Surut Rumput Laut Indonesia. Majalah Techner
08 Tahun II.P.51-54.
122
Riwayat Hidup Penulis
Nama : I Gede Wiratmaja,ST.
Tempat/Tanggal Lahir : Klungkung, 28 Oktober 1988
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Pekerjaan : Engineer (MEP)
Alamat Rumah : Jln Pengsong I No 36 BTN Pengsong Indah
Kecamatan Labuapi Lombok Barat Prov.NTB
Phone : 08175781958
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
Pendidikan Tempat Dari Sampai Ijasah Spesialisasi
SD Mataram 1993 1999 STTB -
SMP Mataram 1999 2002 STTB -
SMA Mataram 2002 2005 STTB IPA
Sarjana Universitas 2005 2009 Sarjana Teknik Mesin
Udayana (ST)
Riwayat Penelitian :
1. Analisa Karakteristik Fisika Biogasoline Sebagai Pengganti Bensin Murni
serta Analisa Unjuk Kerja Motor Bensin Akibat Pemakaian Biogasoline
(Dana Pribadi, Ketua, 2009).
2. Proses Fermentasi Limbah Rumput Laut Eucheuma Cottonii Sebagai
Tahap Awal Pembuatan Etanol Generasi Kedua (Dana Pribadi, ketua
,2011)
Publikasi Ilmiah :
1. Analisa Karakteristik Fisika Biogasoline Sebagai Pengganti Bensin Murni,
Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin, Mataram, 25 Mei 2010, ISBN
978-602-8373-06-7.
2. Analisa Unjuk Kerja Motor Bensin Akibat Pemakaian Biogasoline,
Prosiding Seminar Nasional Teknik Mesin, Mataram, 25 Mei 2010, ISBN
978-602-8373-06-7.
3. Pembuatan Etanol Generasi Kedua dengan Memanfaatkan Limbah
Rumput Laut Eucheuma cottonii Sebagai Bahan Baku, Jurnal Cakram
Teknik Mesin Unud, vol 5, periode April 2011.
Riwayat Pekerjaan :
1. Tergabung dalam Tim Audit Energi PT Indonesia Power UBP Bali,
Pesanggaran (Juni-Agustus 2010)
2. Engineer Bagian Mechanical Engineering dan Plumbing di Conrad Bali
Hotel Resort and Spa, Nusa Dua (Nopember 2010 sampai sekarang).