uji aktivitas antibakteri sabun padat ekstrak daun …
TRANSCRIPT
1
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI SABUN PADAT EKSTRAK DAUN
JARAK MERAH (Jatropha gossypifolia L.) TERHADAP Staphylococcus
aureus
PROPOSAL PENELITIAN
Disusun Oleh:
Rodiya, S. Farm., M. M., Apt (8826223419)
Laela Tusliha (01014195)
Wafa Adzra Fadhilah (01014143)
Diah Alifah Kusuma ()
SEKOLAH TINGGI FARMASI YPIB CIREBON
PROGRAM PENDIDIKAN STRATA 1 (S.1) FARMASI
CIREBON
2017
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Padat Ekstrak
Daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
Terhadap Staphylococcus aureus
Pelaksana (Koordinator)
Nama Lengkap : Yuni Suwitaningsih, M.Si.
NIDN : 04070667306
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : GSP Jl. Rasamala V/B-30, Kesambi, Kota
Cirebon
Jabatan Fungsional : Tenaga Pengajar
No. Handphone : -
Email : -
Anggota (1)
Nama Lengkap : Rodiya, S. Farm., M. M., Apt
NIDN : 8826223419
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Cirebon
Jabatan Fungsional : Tenaga Pengajar
No. Handphone : -
Email : -
Anggota (2)
Nama Lengkap : Laela Tusliha
NIM : 01014195
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Segeran Lor Blok Porod RT 1 RW 1
Kec. Juntinyuat Kab. Indramayu
No. Handphone : 089674027666
Email : -
ii
Anggota (3)
Nama Lengkap : Wafa Adzra Fadhilah
NIM : 01014143
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : BTN Griya Pesona Praja RT 19 RW 06 Desa
Cinangsi Kec. Cibogo Kab. Subang
No. Handphone : 089674027666
Email : -
Anggota (4)
Nama Lengkap : Diah Alifah Kusuma
NIM :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No. Handphone :
Email : -
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung jawab : -
Biaya Kegiatan : Rp. 10.649.000,-
Sumber Dana : -
Lama Penelitian : 5 Bulan (Februai 2018 – Juli 2018)
Cirebon, Agustus 2017
Koordinator,
Yuni Suwitaningsih, M.Si.
NIDN 04070667306
iii
Mengetahui,
Ketua LPPM STF YPIB Cirebon, Ketua STF YPIB Cirebon,
Fitri Zakiah, S.Si., M.Farm., Apt H. Ahmad Azrul Zuniarto, S.Si.,M.Farm., Apt
NIDN 0408088008 NIDN 426066902
iv
RENCANA ANGGARAN PENELITIAN
NO Uraian Vol Satuan Total Harga
1 Pembentukan tim penelitian
- kordinator (1orang) 1 300.000 300.000
- Peneliti (5 orang) 5 800.000 4.000.000
2 Bahan
Ekstrak daun Jarak merah 300 gr
10.000 30.000
minyak sawit 150
ml
10.000 10.000
minyak zaitun 50
ml
20.000 20.000
NaOH 30gr 900 270.000
Aquadest 1
liter
10.000 10.000
Larutan Mc. Ferland 1 set 583.000 583.000
Nutrient Agar (NA) 1,5 200.000 200.000
Staphylococcus aureus 2,5
cc
350.000 350.000
Dettol Sabun padat 1 9.000 9.000
Basis Sabun 1 9.000 9.000
3 Alat
Perkamen 1 50.000 50.000
Timbangan digital 1 50.000 50.000
Spatel 1 10.000 10.000
tabung reaksi 1
Rak
50.000 50.000
kain kassa 2 6.000 12.000
v
pack
kapas steril 2
pack
10.000 20.000
benang kasur 1
gulu
ng
5.000 5.000
Erlenmeyer 3 30.000 30.000
Beakerglas 3 30.000 30.000
kaki tiga 2 20.000 20.000
kassa asbes 2 10.000 10.000
Autoklaf 1 160.000 160.000
batang pengaduk 3 11.000 11.000
pembakar spirtus/Bunsen 2 15.000 15.000
jarum ose 1 30.000 30.000
Incubator 1 100.000 100.000
Spuit 6 1.500 9.000
cawan petri 6 60.000 60.000
gelas ukur 3 30.000 30.000
spidol dan label 1 50.000 50.000
jangka sorong 1 20.000 20.000
pembuat sumuran 1 10.000 10.000
pipet tetes 6 1.000 6.000
rak tabung reaksi 1 5000 5.000
Masker 4 2.000 8.000
sarung tangan 4 2.000 8.000
penangas air 1 100.000 100.000
4 Pengumpulan Data
-Konsumsi + transport @ 4 orang 4 100.000 400.000
-Analisis Data 1 500.000 2.000.000
3 Studi Literatur 300.000 300.000
vi
4 Evaluasi dan Pembuatan Laporan 500.000
- Atk 1 200.000
- Penjilidan dan Penggadaan Laporan 4 100.000 400.000
Total Anggaran
10.649.000
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan ridho-Nya, sholawat serta salaam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Uji Efektivitas Sabun Padat Antibakteri Ekstrak Daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.)”. Skripsi ini diajukan untuk menyelesaikan
Pendidikan Program Studi S1 Farmasi di Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kekeliruan didalamnya. Namun dengan segala
kemampuan, keterbatasan ilmu yag penulis miliki dan berkat petunjuk Allah SWT
serta dorongan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar dan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini antara lain:
1) Kedua Orang Tua, Ibu dan Bapak yang telah mendidik, membesarkan, dan
selalu memberikan do’a, serta memberikan dukungan moril dan materil
sehingga dapat menyelesaikan proposal skripsi ini.
2) Segenap keluarga besar yang juga telah memberikan do’a dan memberikan
dukungan.
3) Bapak H. Satmaja, BA, selaku Ketua Yayasan Pendidikan Imam Bonjol.
4) Bapak H. Ahmad Azrul Zuniarto, M. Farm., Apt, selaku Ketua Sekolah
Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.
5) Ibu Hj. eti Haryati. Dra, M. Pd dan juga selaku Pembimbing Utama yang
telah membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.
6) Ibu Rizki Rahmah Fauzia, S. Farm., MH, Apt, selaku Pembimbing Serta
yang telah membimbing dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.
7) Dosen Pengajar Akademik Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.
viii
8) Staf dan Karyawan Sekolah Tinggi Farmasi YPIB Cirebon.
9) Teman-teman seperjuangan di lingkungan Kampus Sekolah Tinggi Farmasi
YPIB Cirebon.
10) Semua pihak yang secara tidak langsung membantu, sehingga dapat
tersusunnya proposal skripsi ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata
kesempurnaan. Untuk itu, penulis memohon maaf apabila banyak kesalahan
dalam penyusunannya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca
pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Cirebon, februari 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
JUDUL…………………………………………………………….HALAMAN
BIODATA ....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Identifikasi Masalah ......................................................................... 4
1.4 Perumusan Masalah .......................................................................... 5
1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6
1.7 Tempat dan Waktu ........................................................................... 6
1.8 Hipotesis .......................................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Jarak Merah....................................................................... 8
x
2.1.1 Klasifikasi Tanaman ............................................................ 9
2.1.2 Morfologi Tanaman ............................................................. 10
2.1.3 Kandungan Kimia ................................................................ 10
2.1.4 Khasiat ................................................................................. 10
2.2 Simplisia .......................................................................................... 11
2.2.1 Pengertian ............................................................................ 11
2.2.2 Proses pertumbuhan ............................................................ 12
2.3 Ekstraksi ........................................................................................... 15
2.3.1 Pengertian ............................................................................ 15
2.3.2 Metode Ekstraksi .................................................................. 16
2.4 Bakteri............................................................................................... 18
2.4.1 Pengertian Bakteri ............................................................... 18
2.4.2 Bentuk dan Struktur Bakteri ................................................. 18
2.4.3 Klasifikasi Bakteri ................................................................ 20
2.4.4 Media Pertumbuhan Mikroorganisme .................................. 20
2.4.5 Pertumbuhan Bakteri ............................................................ 21
2.4.6 Faktor – Faktor Pertumbuhan Bakteri .................................. 22
2.4.7 Fase Pertumbuhan Bakteri .................................................. 24
2.4.8 Patogenesis Infeksi ............................................................... 25
2.4.9 Penularan Infeksi .................................................................. 25
2.4.10 Proses Infeksi ..................................................................... 27
xi
2.5 Staphylococcus aureus ...................................................................... 27
2.6 Antibakteri .............................................................................. 30
2.6.1 Sejarah Antibakteri .............................................................. 30
2.6.2 Mekanisme Antibakteri ....................................................... 32
2.7 Metode Pengujian Antibakteri .......................................................... 33
2.8 Pewarnaan Gram ............................................................................... 36
2.9 Sterilisasi........................................................................................... 37
2.10 Sabun .............................................................................................. 40
2.10.1 Pengertian ........................................................................... 40
2.10.2 Fungsi Sabun ...................................................................... 41
2.11 Uji Evaluasi .................................................................................... 41
2.12 Uji Stabilitas ................................................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian ............................................................................... 44
3.1.1 Populasi ............................................................................... 44
3.1.2 Sampel ................................................................................. 44
3.1.3 Variabel Penelitian .............................................................. 44
3.1.4 Operasional Variabel ........................................................... 47
3.2 Metode Penelitan ............................................................................. 48
3.3 Desain Penelitian ............................................................................. 50
3.3.1 Desain Eksperimen .............................................................. 50
xii
3.3.2 Pengambilan Data ............................................................... 51
3.4 Alat dan Bahan ................................................................................ 54
3.4.1 Alat – alat yang digunakan .................................................. 54
3.4.2 Bahan – bahan yang digunakan ........................................... 55
3.5 Langkah Kerja ................................................................................. 55
3.5.1 Determinasi Tanaman Jarak Merah ...................................... 55
3.5.2 Pembuatan Simplisa ............................................................. 56
3.5.3 Pembuatan Ekstrak Daun Jarak Merah ................................ 56
3.5.4 Skrining Fitokimia................................................................ 57
3.5.5 Pembuatan Sabun ................................................................. 58
3.5.6 Uji Evaluasi ......................................................................... 60
3.5.7 Uji Stabilitas ......................................................................... 61
3.5.8 Sterilisasi Alat dan Bahan .................................................... 56
3.5.9 Pembuatan Media ................................................................. 56
3.5.10 Peremajaan Bakteri Staphylococcus aureus ...................... 64
3.5.11 Kesetaraan Mc. Farland...................................................... 64
3.5.12 Pembuatan Suspensi Biakan............................................... 66
3.5.13 Uji Pewarnaan Gram .......................................................... 66
3.5.14 Pengujian Daya Aktivitas Antibakteri ......................................... 67
3.5.15 Desinfeksi Alat – alat .................................................................. 68
3.6 Pengumpulan Data ........................................................................... 67
xiii
3.7 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data ..................................... 69
3.7.1 Uji Kruskall Wallis ....................................................................... 69
3.7.2 Uji Mann – Whitney ..................................................................... 70
DAFTAR TABEL
JUDUL HALAMAN
Tabel 1.1 Waktu Penelitian..................................................................... 7
Tabel 3.1 Alat – alat Penelitian .............................................................. 53
Tabel 3.2 Bahan – bahan Penelitian ....................................................... 54
Tabel 3.3 Pembuatan Ekstrak ................................................................ 55
Tabel 3.4 Formulasi Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah ............... 58
Tabel 3.5 Pengujian Cawan Petri............................................................ 61
Tabel 3.6 Pengujian Agar Miring ........................................................... 62
Tabel 3.7 Jumlah Bakteri Sesuai dengan Skala MC. Farland ................ 64
Tabel 3.8 Formulasi Pembuatan Susupensi Mc. Farland ....................... 65
Tabel 4.1 Hasil Pembuatan Simplisia Daun Jarak Merah ...................... 71
xiv
Tabel 4.2 Hasil Pembuatan Ekstrak Daun Jarak Merah ......................... 72
Tabel 4.3 Hasil Pembuatan Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah ... 73
Tabel 4.4 Hasil Evaluasi Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah ........ 74
Tabel 4.5 Hasil Uji Stabilitas Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
Kosentrasi
20% (X 1) .............................................................................................. 75
Tabel 4.6 Hasil Uji Stabilitas Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
Konsentrasi
30% (X 2) .............................................................................................. 76
Tabel 4.7 Hasil Uji Stabilitas Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
Konsentrsi
40% (X 3) .............................................................................................. 77
Tabel 4.8 Hasil Uji Stabilitas Kontrol Negatif ...................................... 78
Tabel 4.9 Hasil Pewarnaan Gram Staphylococcus aureus...................... 79
Merah (Hari – 1) 80
Tabel 4.11 Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak
Merah (Hari – 2) .................................................................................... 82
Tabel 4.12 Hasil Rekapitulasi Formulasi Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak
Merah ...................................................................................................... 84
Tabel 4.13 Hasil Uji Normalitas ............................................................. 86
Tabel 4.14 Hasil Uji Homogentias ......................................................... 87
Tabel 4.15 Hasil Uji Kruskall Wallis ..................................................... 88
xv
Tabel 4.16 Hasil Uji Mann Whutney Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak
Merah
Konsentrasi 20% .................................................................................... 89
Tabel 4.17 Hasil Uji Mann Whitney Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
Konsentrasi 30% .................................................................................... 90
Tabel 4.18 Hasil Uji Mann Whitney Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
Konsentrasi 40% .................................................................................... 91
DAFTAR GAMBAR
JUDUL
HALAMAN
Gambar 2.1 Jarak Merah ........................................................................ 9
Gambar 2.2 Bakteri ................................................................................ 27
Gambar 3.1 Keterkaitan Variabel .......................................................... 47
Gambar 3.2 Desain Penelitian ............................................................... 49
Gambar 3.3 Desain Eksperimen dengan Sumuran ................................. 50
Gambar 3.4 Pengukuran Diameter Zona Bening ................................... 52
Gambar 4.1 Grafik Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Padat Ekstrak
Daun
Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) Hari Ke – 1 ............................. 81
xvi
Gambar 4.2 Grafik Hasil Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Padat Ekstrak
Daun
Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) Hari Ke – 2 .............................. 83
Gambar 4.3 Grafik Hasil Rekapitulasi Aktivitas Sabun Padat Ekstrak Daun
Jarak
Merah ...................................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia sejak lama memanfaatkan bahan alam yang berasal
dari tumbuhan sebagai obat tradisional untuk menangani berbagai masalah
kesehatan. Hal ini sangat menguntungkan bagi masyarakat Indonesia karena
bahan bakunya mudah diramu sendiri di rumah.
Tumbuhan yang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional adalah jarak
merah. Jarak merah memiliki nama ilmiah Jatropha gossypifolia L. Ini merupakan
jenis jarak yang memiliki warrna daun merah keunguan. Tanaman berbentuk
perdu tegak, tinggi 1-2 m, batang bulat dengan banyak cabang, daun tunggal
bertangkai panjang, dan helaian daun berbentuk bulat telur sungsang sampai bulat.
Jarak merah juga memiliki nama daerah yaitu jarak ulung (Lampung), jarak cina
(Jawa Tengah), koleke jarak (Madura), (Hidayat S dan Napitupulu RM, 2015).
Bagian yang digunakan adalah daun dan bijinya. Senyawa kimia yang
terkandung di dalam jarak merah yang diketahui diantaranya alkaloid jatroiden,
tanin, kalsium oksalat, dan sulfur pectic substans. Senyawa aktif yang terdapat di
daun jarak merah adalah alkaloid jatroiden yang bersifat antibakteri, sehingga
daun jarak merah diduga dapat dijadikan sebagai obat tradisional untuk mengobati
penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Haryana A,2015). Jarak merah digunakan
untuk mengobati penyakit kulit seperti gatal- gatal, eksim, jerawat dan bisul.
Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri adalah bisul. Bisul
merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
2
Staphylococcus adalah sel sferis gram positif, biasanya tersusun dalam
kelompok ireguler seperti anggur. Organisme ini mudah tumbuh pada banyak
jenis medium dan aktif secara metabolis, memfermentasi karbohidrat dan
menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih sampai kuning tua. Beberapa
anggotanya adalah flora normal kulit dan membran mukosa manusia lainnya
menyebabkan supurasi, pembentukan abses, beberapa infeksi piogenik dan
bahkan seputikimia yang fatal. Stafilokok petogen sering kali menghemolisis
darah, menyebabkan koagulasi plasma, dan menghasilkan berbagai toksin serta
enzim ekstraseluler (Jawetz, 2007). Menurut agnes Sri Harti dalam bukunya yang
berjudul Mikrobiologi Kesehatan, bakteri merupakan organisme uni seluler,
nukleod atau tidak memiliki membran inti, tidak berklorofil, saprofit atau parasit,
pembelahan biner dan termasuk Protista masuk dalam jenis prokariotik.
Salah satu pemanfaatan antibakteri alami seperti yang terdapat dalam daun
Jarak Merah (Jatropha gossypifolia). Kandungan di dalam daun jarak merah
memiliki sifat antibakteri dan antikuman. Dimana keberadaan kuman dan bakteri
yang menyerang tubuh menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit bagi
tubuh. Sebelumnya beberapa kajian farmakologi telah dilakukan terhadap
Jatropha gossypifolia L. diantaranya adalah pengujian ekstrak daun terhadap 10
jenis mikroorganisme diantaranya adalah Stapylococcus aureus. Ekstrak etanol
dari jarak merah dapat mengakibatkan vaksorelaksan terhadap tikus dalam
keadaan normal.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Iwan Setiawan dkk (2016) yang
berjudul “Uji Ekstrak Etanol daun Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) terhadap zona
3
hambat bakteri Staphylococcus aureus secara invitro”, memperlihatkan bahwa
ekstrak daun Jarak dengan konsentrasi 40% merupakan KHM (Konsentrasi
Hambat Minimum) ekstrak daun jarak pagar yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar zona hambat 0,87 cm.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam
tentang khasiat tanaman Jarak merah sebagai antibakteri dengan dibuat sediaan
sabun padat karena bakteri Staphylococcus aureus mengakibatkan infeksi pada
kulit. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
“Uji Aktivitas Antibakteri Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) terhadap Stapylococcus aureus”.
1.2 Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada:
1. Pengujian aktivitas antibaktei sabun padat ekstrak daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) terhadap bakteri Stapylococcus aureus.
2. Metode uji aktivitas antibakteri ekstrak sabun padat daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) terhadap bakteri Stapylococcus aureus secara in
vitro dengan konsentrasi 20%, 30%, 40%.
3. Ekstraksi daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) dilakukan dengan
metode maserasi menggunakan etanol 70%.
4. Metode uji aktivitas antibakteri sabun padat ekstrak daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) terhadap bakteri Stapylococcus aureus secara in
vitro menggunakan metode diffusi / sumuran.
4
5. Uji evaluasi sediaan sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.) meliputi organoleptis, PH, tinggi busa dan stabilitas busa.
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan masalah di atas maka dapat di identifikasi masalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui aktivitas (Jatropha gossypifolia L.) terhadap Stapylococcus
aureus.
2. Mengetahui konsentrasi tertentu yang memiliki aktivitas sebagai
antibakteri sabun padat ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia
L.) terhadap Staphylococcus aureus.
3. Mengetahui uji stabilitas dan evaluasi sabun padat ekstrak daun Jarak
Merah (Jatropha gossypifolia L.).
1.4 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
memiliki aktivitas sebagai antibakteri terhadap Stapylococcus aureus?
2. Pada konsentrasi berapa sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.) yang paling besar memiliki aktivitas sebagai antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus.
5
3. Apakah uji sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia
L.) stabil pada suhu penyimpanan?
1.5 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui aktivitas sabun padat ekstrak daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) sebagai antibakteri terhadap Stapylococcus
aureus.
2. Untuk mengetahui pada konsentrasi berapa yang paling besar
memilikidaya aktivitas sebagai antibakteri sabun padat ekstrak daun Jarak
Merah (Jatropha gossypifolia L.) terhadap Stapylococcus aureus.
3. Untuk mengetahui stabilitas sabun padat ekstrak daun Jarak Merah
(Jatropha gossypifolia L.) yang meliputi organoleptis, PH dan tinggi busa
pada suhu penyimpanan.
1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat Bagi Penulis
Sebagai pengaplikasian dari ilmu yang telah diperoleh selama menuntut
ilmu di Sekolah Tinggi Farmasi (STF) YPIB Cirebon.
1.6.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan referensi mengenai bahan alam yang berkhasiat sebagai
antibakteri dari tanaman. Selain itu dapat pula dijadikan sebagai rujukan untuk
diadakannya penelitian ulang maupun penelitian lebih jauh mengenai hal ini di
kemudian hari.
6
1.6.3 Bagi Masyarakat
Memberikan alternatif lain bagi masyarakat dalam memilih cara pengobatan
yang disebabkan oleh bakteri dengan menggunakan bahan alam yang lebih mudah
digunakan.
1.7 Tempat dan Waktu
1.7. 1 Tempat penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasetik dan mikrobiologi
Sekolah Tinggi Farmasi (STF) YPIB Cirebon, jalan perjuangan no. 7 Cirebon.
1.7.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dimulai Februari – Maret 2017
1.8 Hipotesis
Ho : Sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) tidak
memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Stapylococcus aureus.
H1 : Sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Stapylococcus aureus
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
Jarak merah adalah tumbuhan yang masih banyak dimanfaatkan sebagai
obat tradisional. Jarak merah memiliki nama ilmiah Jatropha gossypifolia L.
Ini merupakan jenis jarak yang memiliki warna daun merah keunguan.
Tanaman berbentuk perdutegak, tinggi 1-2 m, batang bulat dengan banyak
cabang, daun tunggal bertangkai panjang, dan helaian daun berbentuk bulat
telur sungsang sampai bulat. Jarak merah juga memiliki nama daerah yaitu
jarak ulung (Lampung), jarak cina (Jawa Tengah), dan koleke jarak (Madura),
(Hidayat dan Napitupulu, 2015).
Bagian yang digunakan adalah daun dan bijinya. Sifat jarak merah belum
banyak diketahui, tetapi bahan kimia yang terkandung di dalam jarak merah
yang diketahui diantaranya alkaloid, tanin, kalsium oksalat, dan sulfur pectic
substans. Senyawa aktif yang terdapat di daun jarak merah merupakan senyawa
aktif yang bersifat antibakteri, sehingga daun jarak merah diduga dapat
dijadikan sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit yang disebabkan
oleh bakteri (Arief Hariana,2015). Sebelumnya jarak merah digunakan untuk
mengobati penyakit kulit seperti gatal-gatal, eksim, jerawat dan bisul,
(Nurcholis dan Sumarsih, 2007). Salah satu penyakit kulit yang disebabkan
oleh bakteri adalah bisul. Bisul merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Jarak merah jarang digunakan sebagai obat
8
karena sifat toksik yang terkandung dalamnya. Tanaman ini sudah menjadi
salah satu tanaman yang jarang di jumpai, (Arief Hariana, 2015).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Euphobiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha Gossypifolia L.
Gambar 2.1 Jarak Merah
2.1.2 Morfologi Tanaman
9
Tanaman berbentuk perdu tegak, tinggi 1-2 m mempunyai
batang bulat, berwarna coklat, dan banyak cabang. Daun tunggal
bertangkai panjang, helaian daun berbentuk bulat telur sungsang
sampai bulat, berbagi 3-5, panjang 7-22 cm, lebar 6-20 cm, daun
muda berwarna keunguan daun daun tua warnanya umgu kecoklatan.
Bunga majemuk dalam bentuk malai rantai bertangkai, berbentuk
corong, kecil, warnanya keunguan, keluar dari ujung batang. Buah
bulat telur, sedikit berlekuk tiga dengan enam alur memanjang,
warnanya hijau, bila masak menjadi hitam. Bijinya bulat, coklat
kehitaman, (Hidayat dan Napitupulu, 2015).
2.1.3 Kandungan Kimia
Kandungan senyawa pada Jarak merah diantaranya alkaloid
jatroiden, tanin, jatrofenon, isogadain, flaxetin, jatrofon, cleomiscosin,
propasin, kalsium oksalat, dan sulfur pectic substans. (Hidayat dan
Napitupulu, 2015).
2.1.4 Khasiat
Daun Jarak merah memiliki efek farmakologi sebagai berikut
diantaranya sebagai penurun demam (antipiretik), memperlancar
buang air besar (laksativa), mengobati bengkak (antiinflamasi),
penawar racun (antidotum) dan antibakteri. Jarak merah juga
10
berkhasiat untuk mengobati penyakit kulit dan menyehatkan gigi
(Hidayat dan Napitupulu, 2015).
2. Simplisia
2.2.1 Pengertian
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan
lain, berupa bahan yang telah di keringkan. (Gunawan dan Mulyani,
2004) terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Simplisia nabati adalah simplisa berupa tanaman utuh, bagian dari
tanaman (akar, batang, daun, dan sebagainya), atau eksudat
tanaman, atau gabungan antara ketiganya. Misalnya Piperis nigri
Fruktus. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan
dikeluarkan dari selnya. Eksudat tanaman dapat berupa zat – zat
atau bahan – bahan nabati lainnya yang dengan cara tertentu
dipisahkan atau diisolasi dari tanamannya dan belum berupa zat
kimia murni (Susilowati & Kiki W, 2004)
2. Simplisia hewani adalah simplisia yang dapat berupa hewan utuh,
bagian dari hewan atau zat berguna yang dihasilkan hewan dan
belum bahan kimia murni. Contoh madu (Mel depuratum)
(Gunawan, 2004).
3. Simplisia pelikan atau mineral adalah simplisia yang berupa
bahan pelikan atau mineral yang belum diolah secara sederhana,
11
akan tetapi belum atau bukan berupa zat kimia murni. (Gunawan
dan Mulyani, 2004)
2. Proses Pembuatan
Menurut Agoes goeswin (2007) tahapan pembuatan simplisia
melalui tahapan sebagai berikut:
1. Pengumpulan bahan baku
Kadar bahan aktif dalam simplisia bergantung pada:
a. Bagian tanaman yang digunakan
b. Usia tanaman atau bagian tanaman saat panen
c. Waktu panen
d. Lingkungan tumbuh simplisia
Pembersihan simplisia dari tanah dapat mengurangi jumlah
kontaminasi mikrobiologi.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan air bersih (sumur, PAM, atau
air dari mata air). Simplisia yang mengandung zat mudah larut
dalam air mengalir, dicuci dalam waktu sesingkat mungkin.
Dalam satu kali pencucian sayur-mayur akan dapat
menghilangkan kurang 25% jumlah mikroba awal, sedangkan tiga
kali pencucian, jumlah mikroba tertinggal 47% dari jumlah
12
mikroba awal. Jadi, penting sekali diperhatikan kualitas dari
pencucian yang digunakan.
3. Pengubahan bentuk
Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk
mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan
penggilingan. Tanaman yang baru dipanen, sebelum dirajang,
terlebih dahulu dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari.
Perajangan dapat dilakukan dengan pisau atau mesin perajangan
khusus sehingga diperoleh irisan tipis atau potongan dengan
ukuran tertentu.
4. Pengeringan
Pengeringan bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang
tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan untuk jangka waktu
yang lebih lama. Dengan penurunan kadar air, hal tersebut dapat
menghentikan reaksi enzimatik sehingga dapat dicegah terjadinya
penurunan mutu atau perusakan simplisia.
Suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara
pengeringan, pengeringan dapat dilakukan antara suhu 30°-90°C
(terbaik 60°). Jika simplisia mengandung bahan aktif tidak tahan
panas atau mudah menguap, pengeringan dilakukan pada suhu
serendah mungkin, misalnya 30°-40°C atau dengan cara
pengeringan vakum.
5. Sortasi kering
13
Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami
proses pengeringan. Pemilihan dilakukan terhadap bahan-bahan
yang terlalu gosong, bahan yang rusak akibat terlindas roda
kendaraan (misalnya dikeringkan di tepi jalan raya), atau
dibersihkan dari kotoran hewan.
6. Penggilingan
Penggilingan atau penyerbukan memang tidak semua jenis
simplisia perlu digiling atau dibuat serbuk. Penggilingan dapat
dilakukan dengan blender jika dalam jumlah kecil dan
mengunakan mesin penggiling untuk skala lebih besar. Untuk
menyamakan ukuran partikel dapat disempurnakan dengan
pengayakan ukuran tertentu.
7. Pengemasan dan penyimpanan
Simplisia dapat rusak atau berubah mutunya karena faktor
internal atau eksternal simplisia, yaitu cahaya, oksigen, udara,
dehidrasi, penguapan air, pengotoran, serangga, dan kapang.
Sedangkan persyaratan wadah yang digunakan sebagai
pembungkus simplisia sebagai berikut :
a. Harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain.
b. Tidak beracun bagi bahan yang diwadahinya maupun bagi
manusia yang menanganinya.
14
c. Mampu melindungi simplisia dari cemaran mikroba, kotoran
dan serangga.
d. Mampu melindungi bahan simplisia dari penguapan kandungan
aktif.
e. Mampu melindungi bahan simplisia dari pengaruh cahaya,
oksigen dan uap air, (Agoes, 2007).
3. Ekstraksi
2.3.1 Pengertian
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, ekstrak adalah
sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan
masa atau serbuk yang tersisa diperlukan sedemikian rupa sehingga
memenuhi baku yang telah di tetapkan.
Sedangkan menurut Yuliani dan Satuhu (2012), Ekstraksi
merupakan kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan
menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam
berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak
atsiri, alkaloida, flavonoid, dan lain – lain. Dengan diketahuinya
senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Sebagian besar
15
ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara
destilasi pengurangan tekanan agar bahan obat sedikit mungkin
terkena panas, (Syamsuni, 2007).
2.3.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Cara Dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara
teknologi termasuk ektrasksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik
berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-
menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
pertama, dan seterusnya, (Marjoni, 2016).
b. Perkolasi
16
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin
dengan cara mengalirkan pelarut secara kontinu pada simplisia
selama waktu tertentu, (Marjoni, 2016).
2. Cara panas
a. Infusa
Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air
mendidih, temperature terukur 96-98°C) selama waktu tertentu
(15-20 menit), (Gunawan & Mulyani, 2004).
b. Refluks
Refluks merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan
pelarut pada titik didih pelarut selama waktu dan jumlah
pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik (kondensor).
Proses ini umumnya dilakukan 3 – 5 kali pengulangan pada
residu pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup
sempurna (Marjoni, 2016).
a. Soxhletasi
Proses soxhletasi merupakan proses ekstraksi panas
menggunakan alat khusus berupa ekstraktor soxhlet. Suhu
yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan suhu pada
metode refluks, (Marjoni, 2016).
17
4. Bakteri
2.4.1 Pengertian Bakteri
Bakteri merupakan organisme unseluler, nukleoid atau tidak
memiliki membran inti, tidak berklorofil, saprofit atau parasit,
pembelahan biner, termasuk protista. Ukuran bakteri dinyatakan
dalam bentuk mikron dan setiap jenis bakteri ukuran selnya bervariasi.
Faktor yang mempengaruhi ukuran sel adalah umur sel, lingkungan,
teknik laboratorium. Contohnya metode pewarnaan, (Sri Harti, 2014).
Sedangkan menurut Dwidjo Seputro (2010) istilah bakteri berasal
dari kata bakterion (bahasa Yunani), yang berarti tongkat atau batang,
sekarang nama itu digunakan untuk menyebut sekelompok
Mikroorganisme bersel satu, tidak berklorofil, berkembang biak
dengan pembelahan diri dan berukuran sangat kecil sehingga hanya
nampak bila menggunakan mikroskop.
2. Bentuk dan Struktur Sel Bakteri
Bentuk sel bakteri ada tiga macam, yaitu : Bulat disebut dengan
Kokus, batang disebut dengan Basil dan Lengkung atau koma disebut
dengan spiral. Bakteri dapat membentuk kumpulan sel atau susunan
sel, contohnya pada bentuk kokus dapat berupa diplokokus (dua –
dua), tetrakokus (empat – empat), sarcina (delapan atau kubus),
streptokokus (seperti rantai), staphylococcus (bergerombol seperti
18
buah anggur). Bakteri pada umumnya monomorfik, namun karena
faktor lingkungan maka dapat berbentuk pleomorfik contohnya adalah
Rhizobium dan Corynebacterium. Struktur sel secara garis besar ada
tiga yaitu dinding sel, membran plasma dan sitoplasma.
Dinding sel merupakan struktur kompleks, semi kaku dengan
tebal 10-23 nanomikron dan mengelilingi membran sitoplasma yang
berfungsi memberi betuk sel dan melindungi isi sel dari pengaruh luar.
Dinding sel tersusun dari makromolekul peptidoglikan (murein) yang
terdiri dari disakarida dan polipeptida. Sitoplasma merupakan struktur
tipis di bawah dinding sel dan membungkus sitoplasma sel yang
tersusun fosfolipid dan protein membentuk struktur fosfolipid bilayer
yang terdiri dari bagian “kepala dan ekor”. Bagian kepala tersusun
dari fosfat dan gliserol, sehingga bersifat hidrofil (polar dan larut
dalam air), sedangkan bagian ekor tersusun dari asam lemak sehingga
bersifat hidrofob (nonpolar atau tidak larut air). Gugus polar pada
kedua permukaan dan gugus nonpolar pada bagian dalam bilayer.
Tidak mengandung strerol, sehingga kurang rigid dari pada membran
eukariotik. Sitoplasma sebagai substan sel dalam membran plasma,
bagian ini tersusun dari air (80%), protein, karbohidrat, lipid, ion
anorganik, senyawa dengan berat molekul rendah bersifat tebal,
aqueous, semitransparan, dan elastis, (Sri Harti, 2014).
3. Klasifikasi Bakteri
19
Bakteri dapat secara global dibagi dalam dua kelompok setelah
diwarnai oleh pewarnaan gram yaitu bakteri Gram Positif dan Gram
Negatif, (Tan Hoan Tjay & Kirana Rahardja, 2007). Bakteri gram
positif adalah bakteri yang dapat mengikat zat waarna pertama yaitu
kristal. Dinding sel bakteri Gram Positif mengandung banyak lapisan
Peptidoglikan (merein) yang membentuk struktur yang tebal dan kaku,
dan asam teikoat (teichoic acid) yang mengandung alkohol (gliserol
atau ribitol) dan fosfat.
Sedangkan bakteri gram negatif adalah bakteri yang dapat
mengikat zat warna kedua yaitu fuksin. Dinding sel bakteri Gram
Negatif mengandung satu atau beberapa lapisan peptidoglikan dan
membran luar (out membaran). Peptidoglikan terikat pada lipoprotein
pada membran luar. Dinding sel bakteri Gram Negatif tidak
mengandung asam teikoat, dan karena hanya mengandung sejumlah
kecil peptidoglikan maka dinding sel bakteri Gram Negatif relati
lebih tahan terhadap kerusakan mekanis, (Sylvia T. Pratiwi, 2008).
4. Media Pertumbuhan Mikroorganisme
Media berfungsi untuk menumbuhkan miroba, isolasi
memperbanyak jumlah, menguji sifat – sifat fisiologi dan perhitungan
jumlah mikroba, dimana dalam proses pembuatannya harus disterilkan
dan menerapkan metode aseptis untuk mennghindari kontaminasi
pada media, (Himenoaya, 2008).
20
Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan yang
terdiri dari campuran – campuran makanan (nutrisi) yang diperlukan
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroorganisme
memanfaatkan nutrisi media berupa molekul – molekul kecil yang
terakit untuk menyusun komponen sel. Media pertumbuhanjuga dapat
berfungsi untuk mengisolasi mikroorganisme menjadi kultur murni
dan juga memanipulasi komposisi media pertumbuhannya (Prasetyo,
2009).
5. Pertumbuhan Bakteri
Dalam buku Mikrobiologi Kesehatan media merupakan nutrien
yang dibutuhkan mikroorganisme untuk untuk pertumbuhan secara
invitro, (Agnes Sri Hartati, 2015).
Media mempunyai fungsi dalam penggunaanya yaitu secara
kualitatif yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi
mikroorganisme. Sedangkan secara kuantitatif, digunakan untuk
perbanyakan dan perhitungan jumlah mikroorganisme. alam uji
laboratorium, untuk pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh nutrisi
dalam media yang digunakan, dan Staphylococcus aureus ini sendiri
mudah tumbuh pada sebagian besar media laboratorium (Stephen
gillespie & Kathleen Bamford, 2009).
Selain faktor kimia yaitu nutrisi pertumbuhan bakteri juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, pH dan keadaan
21
oksigen. Suhu ini akan menentukan aktivitas enzim yang berperan
dalam kecepatan pertumbuhan bakteri sedangkan pH menentukan
konsentrasi ion hidrogen yang dapat mengionisasi gugus dalam
protein, amino, dan karboksilat yang menyebabkan denaturasi
sehingga dapat mengganggu pertumbuhan. Sedangkan keadaan
oksigen mempunyai karakteristik masing – masing bakteri, karena ada
bakeri yang bersifat aerob dan anaerob ( Sylvia T. Pratiwi, 2008).
6. Faktor – Faktor Pertumbuhan Bakteri
Menurut Irianto (2006) kondisi fisik dari lingkungan yang
dibutuhkan untuk bakteri tumbuh antara lain :
1. Suhu
Laju reaksi pada proses pertumbuhan bergantung pada
reaksi kimiawi dan dipengaruhi oleh suhu. Suhu juga
mempengaruhi pola laju pertumbuhan dan jumlah total
pertumbuhan organisme. Berdasarkan suhu tempat bakteri
tumbuh dibedakan menjadi :
a. Psikofil adalah bakteri yang tumbuh pada suhu 0 sampai 300 C
b. Mesofil adalah bakteri yang tumbuh pada suhu 250 C sampai 400 C.
c. Termofil adalah bakteri yang tumbuh pada suhu lebih dari 500C.
2. Atmosfer Gas
Gas utama yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri ialah :
Oksigen dan Karbon dioksa. Bakteri memperlihatkan keragaman
22
yang luas akan respon terhadap oksigen bebas dan atas dasar
inilah bakteri dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
a. Aerob adalah bakteri yang membutuhkan oksigen
untuk tumbuh.
b. Anaerob adalah bakteri yang dapat tumbuh tanpa
oksigen. Beberapa bakteri sensitif terhadap oksigen, bahkan
bila terkena oksigen akan terbunuh.
c. Anaerob fakultatif adalah bakteri yang dapat
tumbuh pada keadaan aerobic dan anaerobic.
d. Mikroaerifilik adalah bakteri yang pertumbuhannya
baik bila ada sedikit oksigen.
3. Derajat Keasaman (pH)
PH optimum pertumbuhan bagi kebanyakan bakteri terletak
antara 6,5 dan 7,5. Namun beberapa spesies dapat tumbuh dalam
keadaan sangat asam atau sangat basa. Bagi kebanyakan spesies,
sehiingga nilai pH minimum dan maksimum bakteri adalah 4 dan
9.
7. Fase Pertumbuhan Bakteri
Fase pertumbuhan baketeri dibagi menjadi beberapa tahapan dan
setiap tahapan mempunyai ciri – ciri untuk membedakannya. Tahapan
fase pertumbuhan baketri menurut Rohadi (2011) adalah sebagai
berikut :
23
a. Lamban / log memiliki ciri – ciri sebagai berikut : tidak
terdapat pertambahan populasi, periode adaptasi, substansi
intraseluler bertambah, sel mengalami perubahan dalam
komposisi kimiawi dan bertambah ukuran.
b. Logaritma / eksponensial memiliki ciri – ciri sebagai
berikut : sel membelah, massa menjadi dua kali lipat, aktivitas
metabolik konstan, dan menentukan waktu generasi.
c. Statis / stasioner memiliki ciri – ciiri diantaranya adalah
penumpukan produk beracun, kehabisan nutrisi, dan laju
pertumbuhan – kematian.
d. Kamatian terdapat ciri – ciri yaitu laju kematian lebih besar
dari pada laju pertumbuhan dan semua sel mati.
8. Patogenesis Infeksi Bakteri
Menurut Jawetz (2007) Patogenesis infeksi bakteri mencakup
permulaan proses infeksi dan mekanisme yang mengarah pada
perkembangan tanda dan gejala penyakit. Ciri bakteri yang patogen
meliputi bersifat menular, melekat pada sel pejamu, menginvasi sel
dan jaringan pejamu, menghasilkan toksin, dan mampu menghindari
sistem imun pejamu. Banyak infeksi oleh bakteri yang secara umum
dianggap patogen bersifat tidak jelas atau tidak menimbulkan gejala.
24
Manusia dan hewan mempunyai sejumlah besar flora normal
yang biasanya tidak menimbulkan penyakit tetapi membentuk suatu
keseimbangan yang memastikan kelangsungan hidup, pertumbuhan
dan pertambahan jumlah bagi keduanya antara bakteri dan pejamu.
Beberapa bakteri yang merupakan penyebab penting penyakit
umumnya dibiakkan dengan flora normal (misal, Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus). Kadang-kadang bakteri yang
jelas-jelas patogen (misal, Salmonella typhi) ditemukan, tetapi infeksi
tetap bersifat laten atau subklinis dan pejamu tersebut merupakan
“karier” bagi bakteri.
9. Penularan Infeksi
Jawetz (2007) juga menyebutkan mengenai penularan infeksi
dan proses infeksi. Bakteri dan mikroorganisme lain beradaptasi
terhadap lingkungan, termasuk pada hewan dan manusia dimana
tempat normal mereka berada dan hidup. Dengan demikian, bakteri
memastikan kelangsungan hidupnya dan meningkatkan kemungkinan
penularannya. Dengan menimbulkan infeksi asimtomatik atau
penyakit ringan, dan bukannya kematian pejamu, mikroorganisme
yang secara normal hidup pada manusia meningkatkan kemungkinan
penularan dari satu orang kepada yang lainnya.
Banyak bakteri yang ditularkan dari satu orang lain ke lainnya
melalui tangan. Seseorang yang pada lubang hidup anteriornya
25
terdapat Staphylococcus aureus saat menggosok-gosok hidungnya,
membawa stafilokok pada tangannya, dan menyebarkan bakteri ke
bagian lain pada tubuhnya atau orang ain, dan mengakibatkan infeksi.
Banyak patogen oportunisik yang menyebabkan infeksi nosokominal
ditularkan dari satu pasien ke pasien lain melalui tangan petugas
rumah sakit. Oleh sebab itu, mencuci tangan merupakan komponen
penting dalam mengendalikan infeksi.
Tempat masuk bakteri patogen ke dalam tubuh yang paling
sering adalah daerah pertemuan membran mukosa dengan kulit.
Daerah abnormal mukosa dan kulit (misalnya luka terbuka, luka
bakar, dan luka lainnya) juga sering menjadi tempat masuknya
bakteri. Kulit dan membran mukosa yang normal memberikan
petahanan primer terhadap infeksi. Untuk menimbulkan penyakit,
patogen harus menembus pertahanan ini.
10. Proses Infeksi
Sekali berada di tubuh, bakteri harus menempel atau melekat
pada sel pajamu, biasanya sel epitel. Sesudah bakteri menetapkan
lokasi primer infeksi, bakteri berkembangbiak dan menyebar secara
langsung melalui jaringan atau melalui sistem limfatik ke aliran darah.
Infeksi ini (bakteremia) dapat berlangsung sesaat atau menetap.
Bakteremia memungkinkan bakteri menyebar secara luas di dalam
26
tubuh dan memungkinkan bakteri mencapai jaringan tertentu yang
cocok untuk perkembangbiakannya.
5. Staphylococcus aureus
Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aures
(Sumber : http://google.search)
Klasifikasi Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacili
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus (G.M.Garrity, et al, 2007)
27
Staphylococcus adalah sel sferis gram positif, biasanya tersusun
dalam kelompok ireguler seperti anggur. Organisme ini mudah tumbuh
pada banyak jenis medium dan aktif secara metabolis, memfermentasi
karbohidrat dan menghasilkan pigmen yang bervariasi dari putih sampai
kuning tua. Beberapa anggotanya adalah flora normal kulit dan membran
mukosa manusia lainnya menyebabkan supurasi, pembentukan abses,
beberapa infeksi piogenik dan bahkan seputikimia yang fatal. Stafilokok
petogen sering kali menghemolisis darah, menyebabkan koagulasi
plasma, dan menghasilkan berbagai toksin serta enzim ekstraseluler
(Jawetz, 2007).
Genus Staphylococcus mempunyai paling sedikit 40 spesies. Tiga
spesies yang paling sering dijumpai yang mempunyai kepentikan klinis
adalah Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan
Staphylococcus saprophyticus. Staphylococcus aureus bersifat koagulese
positif, yang membedakan dari spesies yang lain Staphylococcus aureus
merupakan patogen utama untuk manusia. Hampir setiap orang akan
mengalami beberapa jenis infeksi Stapkhylococcus aureus sepanjang
hidup, dengan kisaran keparahan dari keracunan makanan atau infeksi
kulit minor hingga infeksi berat yang mengancam jiwa, (Jawetz, 2007).
Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif yang
menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak meghasilkan
spora dan tidak metil, umumnya tumbuh berpasangan maupun
28
berkelompok. Staphylococcus aureus tumbuh dengan optimum pada
suhu 300 C dengan waktu pembelahan 0,47 jam.
Menurut Stephen Gillespie & Karthleen Bamford (2009) bahwa
Staphylococcus aureus merupakan spesies yang paling invasif dan berbeda
dalam spesies lainnya karena memiliki enzim koagulasi, dan spesies ini
pernah dianggap sebagai satu – satunya patogen dari genusnya. Dan
Staphylococcus aureus merupakan salah satu kuman yang cukup kebal
diantara mikroorganisme dan tahan pada pemanasan 600 C selama 30
menit, (Sylvia T. Pratiwi, 2008).
Stephen Gillespie & Karthleen Bamford (2009) juga menjelaskan
bahwa patogenesis Staphylococcus aureus ini dengan cara memproduksi
koagulasi yang mengkatalis perubahan fibrinogen menjadi fibrin sehingga
dapat membantu organisme ini membentuk barisan perlindungan. Bakteri
ini juga memiliki reseptor terhadap permukaan sel pejamu yang membantu
organisme ini untuk melekat.
Infeksi oleh Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan
jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus adalah bisul, jerawat, impetigo
dan infeksi luka. Infeksi lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis,
plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis dan endokarditis.
Staphylococcus aureus juga merupakan penyebab utama infeksi
nosokominal, racunan makanan dan sindrom syok toksik, (Welsh, 2010).
29
6. Antibakteri
1. Sejarah antibakteri
Antibakteri yang biasa dikenal dengan sebutan antibiotik
dimulai pada akhir tahun 1800-an ketika teori tentang asal usul
penyakit yang menyebutkan bahwa bakteri dan mikoorganisme lain
sebagai penyebab penyakit diterima oleh masyarakat luas. Pada tahun
1877, Louis Pasteur menemukan kenyataan bahwa bakteri antraks
yang dapat menyebabkan penyakit antraks dan berakibat pada
kegagalan pernafasan, dapat dikurangi patogenitasnya pada hewan uji
setelah hewan uji tersebut diinjeksi dengan bakteri yang diisolasi dari
tanah. Pada tahun 1887, Rudolf Emmerich menunjukan bahwa
penyakit kolera yang merupakan penyakit infeksi intestinal dapat
dicegah pada hewan uji yang sebelumnya diinfeksi dengan bakteri
Streptococcus, (Sylvia T. Pratiwi, 2008).
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja (2007) antibiotik
adalah zat – zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman,
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat
tesebut yang dibuat secara semi sintetis dengan khasiat antibakkteri.
Pada tahun 1888, ilmuan Jerman E. de Freudenreich mengisolasi
produk dari bakteri yang memiliki kemampuan antibiotik.
Freudenreich menemukan bahwa pigmen biru yang dikeluarkan kultur
bakteri Bacillus pyocyaneus dapat menghambat pertumbuhan bakteri
30
lain pada kultur sel. Percobaan yang dilakukan menunjukan bahwa
pyocyanase yang merupakan produk yang diisolasi dari B.
pyocyaneus, dapat membunuh berbagai macam bakteri patogen.
Selanjutnya secara klinis pyocyanase terbukti toksik dan tidak stabil
sehingga antibiotik alami ini tidak dapat dikembangkan sebagai obat
yang efektif, (Sylvia T. Pratiwi, 2008).
Pada awal tahun 1920, ilmuan Inggris Alexander Fleming
menemukan enzim lisozim pada air mata manusia. Enzim tersebut
dapat melisi sel bakteri. Enzim pada air mata manusia ini merupakan
intoh agen antimikroba yang pertama kali ditemukan pada manusia.
Seperti pyocyanase, lisozim juga terbukti dapat membunuh sel bakteri.
Penemuan Fleming yang kedua terjadi tidak sengaja pada tahun 1928,
saat ia menemukan koloni Stapylococcus yang ia tumbuhkan dengan
metode streak (gores silang) pada media agar di cawan petri
mengalami lisis disekitar pertumbuhan koloni kapang tersebut
merupakan Penicillium sp, (Sylvia T. Pratiwi, 2008)
Penemuan Flemingini merupakan penemuan ulang pada tahun
1896, seorang mahasiswa kedokteran Perancis bernama Ernest
Duchesne merupakan orang pertama kali yang menemukan sifat
antibiotik dari kapang Penicillium, namun ia gagal melaporkan
hubungan antara kapang dan substansi yang dihasilkannya, yang
ternyata memiliki sifat antibakteri. Penemuan Penicillium ini
akhirnya dilupakan hingga Fleming menemukannya kembali. Fleming
31
menemukan bahwa Penicillium memproduksi substansi yang
berdifusi melalui media agar pada cawan petridan melisis sel bakteri
yang ada di sekitarnya. Substansi tersebut dinamalan penisillin sesuai
dengan nama kapang penghasilnya. Penisillin diketahui dapat
membunuh bakteri Stapylococcus aureus, (Sylvia T. Pratiwi, 2008)
2. Mekanisme Aksi Antibiotik
Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan spektrum atau
kisaran kerja, mekanisme aksi, strain penghasil, cara biosintesis
maupun berdarkan struktur biokimianya. Berdasarkan spektrum atau
kisaran kerjanya antibitik dapat dibedakan menjadi antibiotik
berspektrum sempit (narrow spectrum) dan antibiotik berspektrum
luas (broad spectrum. Antibiotik berspektrum sempit hanya mampu
menghambat segolongan bakteri saja, contohnya hanya mampu
menghambat atau membunuh bakteri dari golongan Gram negatif saja
atau Gram positif saja. Sedangkan antibiotik berspektrum luas dapat
menghambat atau membunuh bakteri dari Gram positif maupun Gram
negatif.
Berdasarkan mekanisme aksinya antibiotik dibedakan menjadi
lima, yaitu antibiotik dengan mekanisme penghambatan sintesis
dinding sel, perusakan membran plasma, penghambatan sintesis
protein, penghambatan sintesis asam nukleat, dan peghambat sintesis
metabolit esensial, (Sylvia T. Pratiwi, 2008).
32
7. Metode Pengujian Antibakteri
Sylvia T. Pratiwi (2008), pengujian mikrobiologi memanfaatkan
mikroorganisme sebagai indikator pengujian. Metode yang digunakan
dalam pengujian antibakteri yaitu metode difusi dan metode dilusi.
a. Metode Difusi
1. Metode disc diffusion (test Kirby & Bauer)
Untuk menentukan agen antimikroba. Piringan yang berisi
agen antimikroba diletakan pada media agar yang telah ditanami
mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.
Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media
agar.
1. E-test
Digunakan untuk mengestimasi kadar hambat
minimum yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba
untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
2. Ditch-plate technique
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba
yang diletakan pada parit yang dibuat dengan cara
memotong media agar dalam cawan petri pada bagian
tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimal 6
33
macam) digoreskan ke arah pari yang berisi agen
antimikroba..
3. Cup-plate technique
Metode ini serupa dengan metode disc diffusion,
dimana dibuat sumuran pada media agar yang telah
ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut
diberi agen antimikroba yang akan diuji.
4. Gradient-plate technique
Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada
media agar secara teoritis bervariasi dari 0 hingga
maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji
ditambahkan. Campuran kemudian dituangkan ke dalam
cawan petri dan diletakan dalam posisi miring. Nutrisi
kedua selanjutnya dituang di atasnya. Setelah diinkubasi,
mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah
mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hasil
diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan
mikroorganisme maksimal yang mungkin dibandingkan
dengan panjang pertumbuhan hasil goresan.
2. Metode Dilusi
1. Metode dilusi cair (broth dilution)
Mengukur kadar hambat minimum dan kadar bunuh
minimum. Cara yang dilakukkan adalah dengan membuat
34
seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang
ditambahkan dengan mikroba uji. Lartan uji agen
antimikroba pada kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa
adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai kadar
hambat minimum. Larutan yang ditetapkan sebagai kadar
hambat minimum tersebut selanjutnya dikultur ulang pada
media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen
antimikroba, dan diinkubasi selama 18 – 24 jam. Media cair
yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan
sebagai kadar bunuh minimum.
2. Metode dilusi padat (solid dilution)
Dilusi padat serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini
adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat
digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
8. Pewarnaan Gram
Pewarnaan gram merupakan cara untuk membedakan bakteri.
Pewarnaan gram ini tergolong dalam prosedur pewarnaan diferensial
(differential stain) yang menggunakan lebih dari satu warna yang
diciptakan oleh Hans Cristian Gram pada tahun 1884 (Sylvia T.
Pratiwi, 2008).
35
Pewarnaan gram ini dilakukan untuk memastikan atau
membuktikan golongan gram bakteri uji yang akan digunakan dalam
peneliitian. Jenis gram ini jelas berkaitan dengan ketahanan bakteri uji
terhadap senyawa antibakteri ekstrak daun Jarak Merah yang akan
diuji dalam penelitian, karena bakteri gram positif relatif lebih tahan
terhadap kerusakan mekanisme, hal ini dikarenakan terdapat
perbedaan penyusun struktur dinding sel antara bakteri gram positif
dan gram negatif. Bakteri gram positif banyak mengandung
Peptidoglikan yang membentuk struktur yang tebal, sedangkan bakteri
gram negatif hanya mengandung satu atau beberapa Peptidoglikan
dan lebih banyak mengandung Lipopolisakarida (Sylvia T. Pratiwi,
2008).
Dinding sel bakteri pada bakteri Gram negatif memiliki
tambahan membran plasma dalam strukturnya. Membran luar ini
terkadang toksik (beracun) bagi hewan dan dapat menimbulkan
penyakit (Ferdinand, 2009).
9. Sterilisasi
Menurut Sylvia T. Pratiwi (2008), strerilisasi dalam mikrobiologi
merupakan proses penghilangan semua jenis organisme hidup, dalam hal
ini mikroorganisme (protozoa, fungi, bakteri dan virus) yang terdapat
pada suatu benda atau di dalam suatu benda.
36
Menurut Hasdiana (2012), mengatakan bahwa cara sterilisasi dan
desinfektan adalah sebagai berikut :
1. Pembersihan
Pembersihan benda – benda atau permukaan tubuh akan
mengurangi jumlah mikroba sehingga memperkecil kemungkinan
terjadinya infeksi. Misalnya, cuci tangan dengan sabun dan dibilas
dengan air mengalir sebelum melakukan sterilisasi.
Sinar ultraviolet dalam sinar matahari bersifat germecida, dapat
membunuh bakteri bentuk vegetative maupun bentuk spora. Walaupun
untuk membunuh spora waktunya harus lebih lama. Sinar ultraviolet
digunakan untuk sterilisasi ruang bedah, ruang industri farmasi
dimana obat – obat steril dimasukkan ke dalam vial atau ampul.
Hanya saja sinar ultraviolet daya tembusnya kurang, sehingga hanya
dapat mematikan mikroba – mikroba yang terdapat pada permukaan
saja.
Sinar X dan sinar Gamma dapat membunuh mikroba karena
merusak DNA dan menyebabkan ionisasi komponen sel. Radiasi
dengan sinar X atau Gamma sering digunakan untuk strerilisasi benda
– benda yang tidak tahan suhu tinggi.
2. Pendinginan
Suhu rendah menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
mikroba terhenti. Beberapa bakteri patogen mati pada suhu 00 C.
3. Pemanasan
37
Umumnya bakteri bentuk vegetative mati dalam waktu 5 – 10
menit pada suhu 650 C, hal ini sama saja bakteri yang mampu
membentuk spora maupun tidak. Sedangkan bentuk spora perlu waktu
lebih lama misalnya bentuk spora Clostridiumbotulinu pada suhu 1000
C mati dalam waktu 5 jam. Pemanasan dapat mematikan bakteri,
karena mengumpulkan proto plasmanya, koagulasi protoplasma ini
akan lebih cepat bila terdapat lebih banyak air. Karena itu, sterilisasi
dengan uap air panas akan lebih cepat bila dibandingkan dengan udara
panas kering.
Metode strerilisasi dibagi menjadi dua, yaitu metode fisik dan
metode kimia. Metode strerilisasi kimia dilakukan dengan
menggunakan bahan – bahan kimia, sedangkan metode sterilisasi fisik
dapat dilakukan dengan cara panas baik panas kering maupun panas
basah, radiasi dan filtrasi.
a. Metode Sterilisasi Fisika
Metode ini digunakan untuk bahan yang tahan panas.
Dengan menggunakan uap air disebut metode strerilisasi panas
lembab atau strerilisasi basah. Sedangkan tanpa kembapan (tanpa
menggunakan uap air) disebut sterilisasi kering. Pada umumnya
untuk bahan yang sensitif terhadap kelembaban digunakan
metode sterilisasi panas kering pada temperatur 160 - 1800 C,
sedangkan untuk bahan yang resisten kelembaban digunakan
metode sterilisasi panas basah pada temperatur 115 - 1340 C.
38
Sterilisasi panas kering ini tidak dapat digunakan untuk
bahan yang terbuat dari karet atau plastik, waktu sterilisasinya
lama (sekitar 2 – 3 jam ) dan tidak memerlukan air sehingga tidak
ada uap air yang membasahi alat atau bahan yang disterilkan. Ada
dua cara yaitu pembakaran dengan api dari bunsen sekitar 3500 C
dan dengan udara panas oven dengan temperatur 160 - 1700 C`
Sedangkan sterilisasi panas basah dengan perebusan
menggunakan air mendidih 1000 C selama 10 menit, digunakan
untuk bahan yang sensitif panas. Alat yang digunakan yaitu
autoklaf dengan adanya pengaturan tekanan dan klep pengaman.
Proses sterilisasi dengan autoklaf ini dapat membunuh
mikroorganisme dengan mendenaturasi protein pada enzim
membran sel mikroorganisme. Proses ini juga dapat membunuh
endospora bakteri. Resistensi mikroorganisme terhadap panas
bervariasi tergantung dari spesiesnya.
b. Metode Sterilisasi Kimia
Metode ini dilakukan untuk bahan – bahan yang rusak bila
disterilkan pada suhu tinggi (misanya bahan dari plastik) dengan
menggunakan gas atau radiasi. Berapa bahan kimia yang dapat
digunakan untuk sterilisasi gas adalah etilen oksida, gas
formaldehid, asam parasetat, dan glutaraldehid alkalin. Dapat juga
dilakukan dengan penggunaan cairan desinfektan yaitu zat
39
kimiawi yang digunakan untuk objek tak hidup, dan berupa
senyawa aldehid, hipoklorit, fenolik dan alkohol.
10. Sabun
2.10.1 Pengertian Sabun
Sabun adalah kosmetik dengan daya pembersih dan dibuat
dengan mempersenyawakan lemak – lemak dengan basa dalam
jumlah berlebihan. Ini dilakukan dengan cara mencampurkan bahan
– bahan dasar tersebut dan memanaskannya. Karena pada proses ini
basa tersedia dalam jumlah berlebihan, maka dalam kebanyakan
sabun masih terdapat sisa-sisa basa sehingga kebanyakan sabun
pun bersifat basa. Pada persenyawaan tersebut berlangsung reaksi
berikut : asam lemak + basa – sabun + gliserin. Sebagai basa
digukan kalium hidroksida (KOH) atau natrium hidroksida
(NaOH). Sedang yang dibuat dengan kalium hidroksida
berkonsistensi lembek, sedangkan yang dibuat dengan natrium
hidroksida berkonsistensi keras (padat), (Rostamailis, 2005).
2.10.2 Fungsi Sabun
Fungsi sabun dalam anekaragam cara adalah sebagai bahan
pembersih kulit. Sabun terdiri dari surfaktan sehingga dapat
menurunkan tegangan permukaan, sabun bertindak sebagai suatu
zat pengemulsi untuk mendispersikan minyak dan gemuk ; dan
sabun teradsorpsi pada butirab kotoran, (Rahma N, 2017).
40
11. Uji Evaluasi
Pengujian evaluasi fisika sabun padat meliputi :
1. Organoleptik
Pengamata organoleptik dilakukan dengan cara visual dengan
mengamati bentuk, warna dan bau dari sabun padat yang
dihasilkan, (Tjitraresmi dkk, 2010).
2. pH
Sabun pada umumnya mempunyai pH sekitar 10 (Mitsui,
1997). Sabun yang baik memiliki pH yang tidak jauh dari pH
normal kulit yaitu 5,5 – 6,5 sampai pH netral yaitu 7.
Wasitaatmadja (1997) menjelaskan bahwa pH merupakan
parameter yang sangat penting dalam suatu produk kosmetik
karena pH dari kosmetik yang dipakai mempengaruhi daya
absorbsi kulit. Kosmetik dengan pH yang sangat tinggi atau sangat
rendah dapat meningkatkan daya absorbsi kulit sehingga kulit
menjadi teriritasi, (Ayu et al., 2010).
3. Tinggi busa
Busa adalah suatu dispersi koloid dimana gas terdispersi dalam
fase kontinyu yang berupa cairan, (Sachram, 2005). Busa
merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan mutu
sabun mandi. Pada penggunaannya, busa berperan dalam proses
pembersihan dan melimpahkan wangi sabun pada kulit. Adanya
senyawa tidak jenuh (asam lemak tidak jenuh) dalam campuran
41
minyak, tidak akan menstabilkan busa, (Gromophone, 1983 dalam
Hernani et al., 2010).
12. Uji Stabilitas
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk
mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang
dimilikinya. Pada saat dibuat (identitas, kekuatan, kemurnian) dalam
batasan yang diinginkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan. Uji stabilitas dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu :
1. Uji Stabilitas Jangka Pendek (real time)
Pada uji stabilitas ini dilakukan penyimpanan obat selama
jangka waktu dan kondisi penyimpanan yang tertentu (suhu,
cahaya, udara, kelembaban) di dalam lemari atau ruangan. Pada
selang waktu tertentu dan pada akhir percobaan dilakukan kontrol
terhadap kandungan bahan obat ataupun efektifitasnya, sifat
mikrobiologis serta sensoriknya dan kondisi galenik sediaan yang
dideteksi dengan metode fisika. Sampai dengan waktu yang sangat
lama, sampai dengan waktu kadaluarsa produk seperti yang tertera
pada kemasan. Pengujian dilakukan selama 3 bulan sekali pada
tahun pertama, setiap 6 bulan sekali pada tahun kedua, dan setiap
setahun sekali pada tahun ketiga, dan seterusnya. Uji stabilitas
jangka panjang harus dimulai pada waktu yang sama untuk tujuan
pembuktian kemudian harus melalui perhitungan, (Syahputri,
2006).
42
2. Uji Stabilitas Jangka Pendek (dipercepat)
Merupakan uji yang dirancang untuk meningkatkan kecepatan
penguraian kimia atau sifat fisika obat, bertujuan untuk memantau
reaksi penguraian dan memperkirakan masa edar pada kondisi
penyimpanan normal. Pada uji stabilitas dipercepat abat dilakukan
selama 6 bulan dengan kondisi ekstrim. Interval pengujian
dilakukan pada bulan ke-3 dan ke-6, (Syahputri, 2006).
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian
3.1.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek /
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2013).
Populasi pada penelitian ini adalah tanaman Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L) yang berasal dari Desa Tanjakan – kabupaten Indramayu
dan koloni bakteri Gram positif.
3.1.2 Sampel
Sampel adalah sebuah guggus atau jumlah anggota himpunan yang
dipilih dengan cara tertentu agar mewakili populasi (Sudibyo &
Surahman, 2014). Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan
metode Purposive sampling.
Sampel yang diteliti adalah daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.) dan bakteri Staphylococcus aureus.
44
3.1.3 Variabel Penelitian
Menurut sugiyono (2013) variabel penelitian adalah suatu atribut
atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai
variabel tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulan, macam – macam variabel yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari :
a. Variabel Bebas (X)
Variabel bebas merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat. Variabel
bebas dalam penelitian ini adalah Sabun padat Ekstrak daun Jarak
merah (Jatropha gossypifolia L) dengan konsentrasi 20%, 30% dan
40%.
b. Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah efektivitas antibakteri sabun padat ekstrak daun
Jarak merah (Jatropha gossypifolia L) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus, ditunjukan dengan zona bening di daerah
sekitar sumuran.
45
c. Variabel Kontrol
Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat
konstan sehingga hubungan variabel bebas terhadap variabel teriikat
tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti.
Variabel kontrol dalam penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu :
1) Variabel Positif (K+) adalah variabel kendali positif yang
mengandalkan atau sebagai perbandingan yang berkaitan dengan
variabel bebas.
Kontrol positif sebagai pembanding menggunakan sabun padat “
sabun padat Dettol”.
2) Kontrol Negatiif (K-) adalah variabel kendali negatif yang
digunakan sebagai variabel netral atau variabel dengan perlakuan
netral dalam penelitian.
Kontrol negatif sebagai perbandingan menggunakan formulasi
basis sabun padat.
46
3.1.4 Operasional Variabel
Bagan 3.1 Keterkaitan Variabel Bebas, Variabel Kontrol dan Variabel
Terikat
Keterangan :
X1 = Sabun padat ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia
L) konsentrasi 20%
X2 = Sabun padat ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia
L) konsentrasi 30%
X3 = Sabun padat ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia
L) konsentrasi 40%
Y
X1
X2
X3
K+
K-
47
Variabel Kontrol
K+ = Kontrol Positif adalah Sabun padat Dettol
K- = Kontrol Negatif adalah basis sabun padat
Variabel Terikat
Y= Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
3.2 Metode Penelitian
Menurut Margono (2010) metode penelitian adalah semua kegiatan
pencarian, penyelidikan dan percobaan secara alamiah dalam suatu bidang
tertentu, untuk mendapatkan fakta – fakta atau prinsip – prinsip baru yang
bertujuan untuk mendapatkan pengertian baru dan naikkan tingkat ilmu
serta teknologi. Sedangkan menurut Subagyo (2006) “metode penelitian
adalah suatu cara atau jalan untuk memperoleh kembali pemecahan
terhadap segala permasalahan”.
Metode penelitian dalam Uji Efektivitas Antibakteri Sabun Padat
Ekstrak Daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L) Terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus menggunakan penelitian eksperimenyang
dilakukan di laboratorium. Metode eksperimen digunakan untuk
memperoleh data dengan melakukan penelitian secara langsung terhadap
objek yang diteliti.
48
3.3 Desain Penelitian
Determinasi Jarak Merah Penyiapan Alat dan Bahan
Pembuatan Sabun Padat
Ekstrak Daun Jarak Merah
denan Konsentrasi 20%, 30%
dan 40%
Pengumpulan Bahan
Uji Stablitas Sabun Padat
Ekstrak Daun Jarak Merah
Sterilisasi Alat dan Bahan
Pembuatan Nutrient Agar
Uji Aktivitas Selama 2x24 Jam pada Suhu 370
Penanaman Bakteri
Peremajaan Bakteri
Analisa Data
Pewarnaan Gram
Pembuatan Ekstrak Daun
Jarak Merah
Skrining Fitokimia
49
Bagan 3.2 Desain Penelitian
3.3.1 Desain Eksperimen
Cawan I Cawan II
Cawan III
X
1
X
2
X
3
K- K
+
X
2
X
1
X
3
K
+
K-
X
2
X
1
X
3
K- K
+
X
2 X
2
X
3
X
3
X
1
X
1
K- K- K
+
K
+
50
Cawan IV Cawan V
Gambar 3.3 Desain Eksperimen dengan Sumuran
Keterangan :
X1 = Sabun padat Ekstrak daun Jarak merah (Jatropha
gossypifolia L) konsentrasi 20%
X2 = Sabun padat Ekstrak daun Jarak merah (Jatropha
gossypifolia L) konsentrasi 30%
X3 = Sabun padat Ekstrak daun Jarak merah (Jatropha
gossypifolia L) konsentrasi 40%
K+ = Kontrol Positif adalah Sabun padat Dettol
K- = Kontrol Negatif adalah basis sabun padat
3.3.2 Pengambilan Data
Daya hambat atau daerah bening pada sumuran yang tela diinduksi
oleh bakteri Staphylococcus aureus, sediaan Sabun padat Ekstrak daun
Jarak merah (Jatropha gossypifolia L) dan Sediaan Sabun padat tanpa
Ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L) dihitung
menggunakan jangka sorong dengan mengukur sisi Vertikal (V) dan
Horizontal (H) dalam satuan centimeter (cm).
51
V D
Gambar 3.4 Pengukuran Diameter (d) Zona Bening
Setelah didapat maka jumlah dari perhitungan horizontal dan vertikel
dijumlahkan agar mendapat hasil rata – rata dari nilai daya hambat atau
zona bening (cm).
H
52
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat yag Digunakan
Alat – alat yang digunakna dalam penelitian dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 3.1 Alat – alat yang Digunakan
Jenis Perlakuan Alat – alat
Peremajaan Bakteri Timbangan digital, kertas perkamen, spatel,
tabung reaksi, kain kassa, kapas steril, benang
kasur, erlenmeyer, beakerglas, kaki tiga, kassa
asbes, autoklaf.
Pembuatan Sabun Padat
Ekstrak daun Jarak
merah
Beaker glass, batang pengaduk, baskom,
penangas air, gelas ukur.
Pewarnaan Gram Pipet tetes, object glass, kertas isap, mikroskop.
Uji Antibakteri Timbangan digital, kertas perkamen, spatel,
erlenmeyer, batang pengaduk, gelas ukur, kaki
tiga, kassa asbes, pembakar spirtus/bunsen,
sumbat kaps dan kassa, tabung reaksi, jarum
ose, inkubator, spuit, cawan petri, spidol dan
label, jangka soronhg, pembuat sumuran, pipet
53
tetes, rak tabung reaksi, masker, sarung tangan.
Sterilisasi Kertas roti dan autoklaf.
3.4.2 Bahan yang Digunakan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 3.2 Bahan – bahan yang Digunakan
Jenis Perlakuan Bahan – bahan
Bahan Utama Ekstrak daun Jarak merah, minyak sawit, minyak
zaitun, NaOH, aquadest, parfum, cocamid DEA.
Larutan Mc. Ferland BaCl, larutan H2SO4, Aquadest.
Bahan Pewarnaan Gram Kristal violet, larutan iodium, alkohol, air,
safranin.
Bahan Uji Antibakteri Nutrient Agar (NA)
Bakteri Uji Staphylococcus aureus
Kontrol Positif Dettol Sabun padat
Kontrol Negatif Basis Sabun
3.5 Langkah Kerja
3.5.1 Determinasi Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L)
54
Tahap pertama penelitian adalah dilakukan determinasi tanaman
Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.). Determinasi bertujuan untuk
menetapkan kebenaran yang berkaitan dengan ciri – ciri morfologi secara
makroskopis tanaman Jarak merah (Jatropha gossypifolia L) terhadap
kepustakan. Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium STF YPIB
Cirebon.
3.5.2 Pembuatan Simplisia
Menyiapkan daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) yang segar
sebanyak 1 kg, kemudian dibersihkan dan dicusi dengan air mengalir, lalu
dirajang, dan ditimbang, kemudian dikeringkan. Pengeringan dilakukan
dengan suhu antara 30 – 900 C (terbaik 60
0 C) sampai menjadi simplisia.
3.5.3 Pembuatan Ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia L)
Tabel 3.3 Pembuatan Ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
No Filtrat 1 Filtrat 2
1 300 gram simplisia
2.250 ml etanol 96%
Filtrat 1 ditambahkan dengan 750
ml etanol 96%
Cara pembuatan ekstrak daun Jarak merah
1. menyiapkan serbuk simplisia kemudian ditimbang sebanyak 300 gram
dan masukkan ke dalam maserator.
55
2. Masukkan etanol 96% sebanyak 75 ml 2.250 ml ke dalam simplisia
(sampai terendam), kemudian diaduk sampai tercampur, tutup rapat dan
biarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya.
3. Setelah 5 hari, maserat dikeluarkan dari maserator kemudan diserkai,
ditampung.
4. Kemudiaan menambahkan dengan penyari penyari atau etanol 96%
sebanyak 750 ml (sampai terendam)`
5. Mengaduk sesering mungkin dan simpan kembali selama 2 hari untuk
tahap yang kedua.
6. Menyerkai kembali dan tampung filtrat yang kedua, setelah itu jadikan
satu dengan filtrat yang pertama.
7. Sejumlah volume maserat yang diukur, dimasukkan ke dalam cawan
penguap, kemudian diuapkan hingga diperoleh ekstrak kental,
kemudian timbang dan konversikan tahap volume ekstrak total yang
diperoleh, lalu timbang rendemennya.
Rendeman =
3.5.4 Skrining Fitokimia
A. Skrining Senyawa Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang dalam
strukturnya terdapat atom nitrogen heterosiklik. Pengenalan alkaloid
berdasarkan pada kemampuannya membentuk senyawa kompleks
56
tidak larut dengan pereaksi yang mengandung logam berat. Pereaksi
yang umum digunakan adalah :
a. Pereaksi Mayer, megandung kalium iodida dan raksa (II)
klorida.
b. Pereaksi Dragendorf, mengandung Bismutsubnitrat dan raksa
(II) klorida.
Pengujian dilakukan dengan memasukkan 5 gram simplisia
ditambah 5 ml Na4OH digerus dalam mortir kemudian ditambah 5
ml kloroform kemudian disaring, filtrat ditambahkan 2 ml HCl 2N,
ambil sedikit campurann tambahkan 1 ml pereaksi mayer terjadinya
endapan putih menunjukan adanya senyawa alkaloid.
3.5.5 Pembuatan Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.)
Resep sediaan sabun padat
R/ Minyak sawit 20 ml
Minyak zaitun 10 ml
NaOH 6 gram
Cocamid DEA 4 gram
Nipagin 0,1 gram
Aquadest 100 ml
Mf. Sabun Padat
57
Tabel 3.4 Formulasi Sediaan Sabun padat Ekstrak daun Jarak merah
(Jatropha gossypifolia L.)
Bahan Formulasi
20% 30% 40% K-
Ekstrak daun Jarak merah 20 g 30 g 40 -
Minyak sawit 20 mL 20 mL 20 mL 20 mL
Minyak zaitun 10 mL 10 mL 10 mL 10 mL
NaOH 6 g 6 g 6 g 6 g
Cocamid DEA 4 g 4 g 4 g 4 g
Nipagin 0,1 g 0,1 g 0,1 g 0,1 g
Oleum Rossae 3 gtt 3 gtt 3 gtt 3 gtt
Aquadest ad 100 ad 100 ad 100 ad 100
Cara Pembuatan
58
1. Siapkan alat dan bahan
2. Timbang semua bahan
3. Larutkan NaOH dalam aquadest dan aduk hingga larut, tempatkan
pada tempat yang tahan panas.
4. Kemudian masukkan minyak sawit dan minyak zaitun ke dalam
beaker glass, panaskan sampai suhu 700 C.
5. Masukkan Cocamid DEA aduk hingga homogeny.
6. Masukkan NaOH sedikit demi sedikit aduk sampai homogen.
7. Selanjutnya tambahkan ekstrak duan jarak merah (Jatropha
gossypifolia L.) untuk F1 sebanyak 20 gram, F2 30 gram dan F3
sebanyak 40 gram dengan pelan – pelan dicampukan ketika larutan
sudah dingin.
8. Tambahkan minyak mawar aduk sampai homogen.
9. Tunggu sampai larutan mengental membentuk biang sabun dan
hentikan pengadukan.
10. Setelah itu masukkan parfum ke dalam adonan lalu tuang dalam
cetakan.
3.5.6 Uji Evaluasi Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.)
A. Uji Organoleptis
59
Pengujian organoleptis dilakukan dengan mengamati perubahan
sediaan sabun padat dari bentuk, warna dan bau selama 28 hari,
(Tjitraresmi dkk, 2010).
B. Uji pH
Pengukuran nilai pH sediaan dilakukan dengan menggunakan
stikpH indikator. Nilai pH sediaan diukur mulai dari minggu 1, 2, 3
hingga minggu ke – 4. Nilai pH sediaan yang baik berkisar antar 6 –
8 sesuai dengan nilai pH pada kulit agar tidak mengiritasi.
Pengukuran pH dilakukan dengan cara melarutkan sabun padat
1 gram dengan 10 ml aquadest hingga homoogeny. Celupkan stik
selama 1 menit, kemudian diamkan hingga kering. Setelah keringg,
cocokkan warna yang terlihat dengan pH indikator yang terdapat
dalam kemasan.
C. Uji Tinggi Busa
Sampel sabun padat sebanyak 5 gram dilarutkan terlebih
dahulu dengan air 10 ml kemudian dimasukan ke dalam tabung dan
kemudian diitutup. Tabung dikocok selama 1 menit dan dibaca
tinggi busa yang terbentuk. Tinggi dan kestabilan busa diamati pada
60
waktu setelah pengocokan dan setelah 5 menit pengocokan (Piyali et
al, 1999 dalam Jannah, 2009).
3.5.7 Uji Stabilitas Sabun Padat Ekstrak Daun Jarak Merah (Jatropha
gossypifolia L.)
Sediaan sabun padat yang telah dibuat yaitu sabun padat Ekstrak
daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia L.)dengan konsentrasi 20%,
konsentrasi 30% dan konsentrasi 40%, masing-masing di uji
stabilitasnya sebanyak 5 ml menggunakam cara dipercepat dengan
parameter bentuk, bau, warna, pH, dan tinggi busa pada suhu 4ºC, 25ºC
dan 40ºC dan hari 8, 15, 22, dan 29.
3.5.8 Sterilisasi Alat dan Bahan
Sterilisasi alat – alat dan bahan yang diperlukan yaitu Nutrient Agar
(NA), cawan petri dilakukan dengan cara pemanasan basah yaitu
menggunakan autoklaf pada suhu 1210 C selama 15 menit, dan ada pula
alat tertentu yang disterilkan menggunakan pembakaran spiritus/bunsen
dengan cara diflambir.
3.5.9 Pembuatan Media
Media yang digunakan adalah media padat agar (NA) miring untuk
peremajaan biakan murni bakteri Staphylococcus aureus dan media cawan
61
petri untuk uji antibakteri sabun padat ekstrak daun Jarak merah (Jatropha
gossypifolia L.)terhadap bakteri Staphylococcus aureus, pembuatan media
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Tabel 3.5 Untuk Pengujian Cawan Petri
No Bahan 1 Cawan 5 Cawan
1 NA 0,25 1,25
2 Sukrosa 1 5
3 Aquadest 17 85
(sumber : Prof. Dwidjoseputro, 2008)
Tabel 3.6 Untuk Pengujian Agar Miring
No Bahan Tabung 1 Tabung 2 Tabung 3
1 NA 0,083 gram 0,083 gram 0,083 gram
2 Sukrosa 0,3 gram 0,3 gram 0,3 gram
3 Aquadest 5,6 gram 5,6 gram 5,6 gram
(sumber : Prof. Dwidjoseputro, 2008)
Perhitungan untuk agar miring :
NA :
Sukrosa :
Aquadest :
62
Cara Pembuatan media agar
1. Masukkan sukrosa 1 gram, nutrient agar 0,25 gram dan aquadest 17 ml
ke dalam erlenmeyer.
2. Memanaskan larutan nutrient agar sambil diaduk sampai larutan
nutrient agar jernih dan homogen.
3. Menyumbat mulut erlenmeyer dengan kapas dan kasa steril, kemudian
bungkus dengan kertas perkamen setelah itu diikat dengan benang.
4. Melakukan sterilisasi dengan suhu 1210 C selama 15 menit.
5. Setelah dilakukan sterilisasi tuang larutan nutrient agar ke dalam
tabung steril, untuk 3 tabung reaksi masing – masing 5 ml.
6. Memiringkan tabung reaksi dengan kemiringan 100 biarkan hingga
padat. Pembuatan media agar dilakkan secara aseptik.
3.5.10 Peremajaan Bakteri Staphylococcus aureus
1. setelah agar memadat dilakukan peremajaan bakteri.
2. Melakukan flambir jarum ose dari pangkal sampai ujung hingga
berwarna merah.
3. Mengambil inokulasi dari biakan induk Staphylococcus aureus dengan
menggunakan jarum ose yang sudah dipijar.
4. menanamkan inokulasi dalam media agar miring berbentuk zig – zag.
5. menginkubasi biakan selama 24 jam dengan suhu 370 C.
63
3.5.11 Kesetaraan Mc. Farland
Standar kekeruhan Mc.Farland berupa larutan yang dibuat dari
suspensi Barium Sulfat beskala dari 1 sampai 10, yang menjelaskan
konsentrasi spesifik dari bakteri per-ml. Ini didesain untuk mengestimasi
konsentrasi bakteri. Kekeruhan larutan bakteri pada tiap tube kurang
lebih sesuai dengan nomor skala Mc. Farland. Untuk menentukan
perkiraan populasi dari sebuah suspensi bakteri, kekeruhan secara visual
dapat dibandingkan dengan satu set larutan standr Mc. Farland.
Tabel 3.7 Jumlah Bakteri Sesuai dengan skala Mc. Farland
Skala Jumlah Bakteri (x 10/ml)
1 300
2 600
3 900
4 1.200
5 1.500
6 1.800
7 2.100
8 2.400
9 2.700
10 3.000
Cara membuat larutan standar Mc. Farland dengan mengguankan
standar Barium sulfat yaitu dengan mencampurkan Barium Klorida
64
1,175% dengan larutan Asam sulfat 1% disimpan pada tabung reaksi
yang telah diberi tanda dengan perbandingan sesuai pada tabel 3.8
formulasi pembuatan larutan standar Mc. Farland. Kemudian tabung
ditutup rapat dan disimpan pada suhu ruang di tempat gelap. Laruan ini
akan stabil paling tidak 6 bulan. Untuk menggunakannya, kocok tabung
beberapa kali untuk mensuspensi ulang endapan Barium sulfat.
Tabel 3.8 Formulasi Pembuatan Larutan Mc. Farland
Skala BaCl2 1,175% (ml) H2SO4 1% (ml)
1 0,1 9,9
2 0,2 9,8
3 0,3 9,7
4 0,4 9,6
5 0,5 9,5
6 0,6 9,4
7 0,7 9,3
8 0,8 9,2
9 0,9 9,1
10 1,0 9,0
3.5.12 Pembuatan Suspensi Biakan
Biakan Staphylococcus aureus yang telah diinkubasi, diekstraksi
dengan larutan NaCl fisiologis yang diambil dengan mengunakan spuit 2,5
cc disuspensikan ke dalam tabung reaksi kemudian goyang – goyangkan
65
tabung reaksi beberapa saat hingga tersuspensi secara sempurna, kemudian
dibandingkan dengan larutan Mc. Farland.
3.5.13 Uji Pewarnaan Gram Bakteri Staphylococcus aureus
Menurut Dwidjoseputro dalam Etty Haryati (2010)
1. Membuat sediaan mikroskopik dari biakan yang akan diwarnai.
2. Tuangilah sediaan dengan karbol kristal violet, biarkan selama 3 hari
menit.
3. Buanglah kelebihan zat warna pada sediaan tersebut.
4. Tuangi larutan lugol, biarkan selama 45 – 60 detik
5. Masukan ke dalam alkohol 96% dalam beaker glass, goyang –
goyangkan selama 1 menit.
6. Bilaslah dengan air dengan menggunakan botol semprot, keringkan
dengan kertas isap.
7. Tuangi larutan safranin, biarkan 3 menit.
8. Cuci dengan air menggunakan botol semprot dengan keringkan di
udara.
9. Amati sediaan di bawah mikroskop dengan menggunakan lensa
objektif 100 X, terlebih dulu sediaan ditetesi minyak imersi.
10. Hasil pewarnaan :
- berwarna ungu : Gram positif
- berwarna merah : Gram negatif
66
3.5.14 Pengujian Daya Efektivitas Antibakteri
1. Diawali dengan menandai bagian bawah cawan petri.
2. Kemudian tuangkan larutan NA yang sudah disterilkan (suhu 400 C)
ke dalam 5 cawan petri yang sudah disediakan, masing – masing
sebanyak 20 ml, diamkan sebentar hingga larutan NA tidak terlalu
panas.
3. Setelah itu masukkan susupensi bakteri Staphylococcus aureus ke
dalam masing – masing cawan petri yang telah berisi larutan NA
masing – masing sebanyak 0,2 ml dengan mengunakan spuit 1 cc.
4. Selanjutnya goyang – goyangkan agar suspensi menyebar dan
homogen dengan larutan NA.
5. Biarkan uap keluar pada suhu kamar selama beberapa menit agar
terbebas dari air kondensasi, lalu diamkan sampai padat.
6. Kemudian buat sumuran pada NA pada cawan petri yang telah
ditandai pada bagian bawah dan lubangi dengan menggunakan jarum
ose. Sumuran kemudian diisi dengan bahan yang sudah disiapkan
manggunakan spuit 1 cc, masing – masing sebanyak 0,1 ml. Masing –
masing bahan tersebut yaitu sabun padat Ekstrak daun Jarak merah
(Jatropha gossypifolia L.) dengan konsentrasi 20%, 30% dan 40%
masing – masing untuk satu sumuran, basis sabun padat sebagai
kontrol negatif untuk satu sumuran, dan sediaan sabun padat Dettol
sebagai kontrol positif untuk satu sumuran,
67
7. Selanjutnya inkubasi kelima cawan petri tersebut di dalam inkubator
suhu 220 C - 37
0 C selama 2 x 24 jam.
3.5.15 Desinfeksi Alat – alat
Alat – alat yang digunakan setelah penelitian didesinfeksi dengan
menggunakan lysol dengan cara merendam alat – alat dalam bejana
desinfektan dengan larutan lysol lalu didihkan selama 1 jam. Biarkan
rendaman tadi selama 24 jam, kemudian cuci alat – alat yang sudah
direndam dengan sabun dan bilas dengan air.
3.6 Pengumpulan Data
Pada penelitian ini pengumpulan data berdasarkan pada data hasil
efektiviitas antibakteri Staphylococcus aureus / zona bening dari sabun padat
Ekstrak daun Jarak merah (Jatropha gossypifolia L.) terhadap bakteri
Staphylococcus aureus. Cara penarikan kesimpulannya adalah :
1. Pengumpulan Data Primer
2. Pengumpulan Data Sekunder
Dalam melakukan pengumpulan data ini dilakukan dengan mencatat
hasil yang didapat selama melakukan eksperimen sebanyak 2x24 jam diamati
setiap hari selama 2 hari.
68
3.7 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data
3.7.1 Uji Kruskal Wallis Test
Uji kruskal-Wallis adalah tes nonparametrik yang digunakan pada
sampel independen yang berjumlah lebih dari dua. Uji ini bisa
digunakan sebagai alternatif uji parametrik Anova satu arah apabila
asumsi normalitas tidak terpenuhi atau nilai varians tidak sama (tidak
homogen), yang bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya
perbedaan yang signifikan antara 2 atau lebih kelompok variansi
independen dengan variabel independen (Hidayat dan Istiadah, 2011).
Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji Kruskal-Wallis yaitu :
1) Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima, yang
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan.
2) Jika nilai signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak, yang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
Hipotesis pembacaan uji Kruskal-Wallis sebagai berikut :
Ho : Sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
tidak memiliki efektivitas antibakteri terhadap Stapylococcus
aureus.
H1 : Sabun padat ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.)
memiliki efektivitas antibakteri terhadap Stapylococcus aureus.
69
3.7.2 Uji Mann–Whitney
Uji Mann-Whitney merupakan salah satu uji statistik
nonparametrik yang digunakan untuk uji sampel bebas yang berjumlah
2 sampel serta keduanya tidak saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Uji ini memiliki tujuan yang sama dengan uji t pada uji statistik
parametrik, untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata data dua
sampel yang tidak berpasangan (Hidayat dan Istiadah, 2011). Adapun
dasar pengambilan keputusan dalam uji Mann-Whitney yaitu :
1) Jika nilai signifikansi > 0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.
2) Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Hipotesis pembacaan uji Mann-Whitney yaitu :
H0 : Tidak terdapat perbedaan aktivitas antibakteri antara sabun padat
ekstrak daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) dengan
kontrol positif.
H1 : Terdapat perbedaan aktivitas antibakteri antara sabun padat ekstrak
daun Jarak Merah (Jatropha gossypifolia L.) dengan kontrol
positif.
70
BAB IV
JADWAL PELAKSANAAN
4.1 Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmasetik dan mikrobiologi
Sekolah Tinggi Farmasi (STF) YPIB Cirebon, jalan perjuangan no. 7 Cirebon.
4.2 Waktu Penelitian
Sedangkan waktu penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai
berikut:
Tabel 4.1 Rancangan Waktu Penelitian
Tahun 2017 – 2018
Rencana Pengerjaan Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar
Pengajuan Judul
Penelusuran Pustaka
Penyusunan Proposal
Sidang Proposal
Penelitian
Analis Pengumpulan Data
dan Penelitian
71
Penyusunan Skripsi
Sidang Skripsi
72
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Guswin.2007. Tenologi Bahan Alam. Bandung : Institut Teknologi
Bandung
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta
Dwitjoyoseputro. 2010. Dasar – dasar Mikrobiologi. Jakarta : Djambatan
Ferdinand, F. 2009. Praktis Belajar Biologi X. Jakarta : Departemen Pendidikan
Garrity, G.M, et al. 2007. Taxonomic Outline of The Procaryotes: Bergey’s
Manual of Systemic Bacteriology. 2nd ed. New York. Reales 5,0 Spring-
Verlag
Gillespie S, Bamford K. 2009. Mikrobiologi Medis dan Infeksi. Jakarta : Erlangga
Gunawan D, dan Sri Mulyani. 2004. Farmakognosi Cetakan pertama. Jakarta :
Penebar Swadaya
Hariana, H. 2015. Tumbuhan Obat dan Khasiat cetakan 2 Edisi Revisi. Jakarta :
Penebar Swadaya
Harti Sri. 2014. Dasar – dasar Mikrobiologi Kesehatan. Nuha Medika
Haryati, E. 2010. Diktat dan Petunjuk Praktikum Mikrobiologi. Cirebon : Sekolah
Tinggi Farmasi (STF) YPIB Cirebon.
Hidayat S, Napitupulu RM. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta : Agriflo
73
Irianto Koes. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 1.
Bandung : YRAMA WIDYA.
Irianto Koes. 2007. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid 2.
Bandung : YRAMA WIDYA.
Jawetz., et al. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz Melnick, & Adelberg.
Ed.23, Translation of Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical
Mikrobiology 23th
Ed. Alih bahasa oleh Hartanto, H., et al. Jakarta : EGC
Joko Subagyo, P. 2006. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta :
Rineka Cipta.
Margono. 2010. Metodologi dan Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineke Cipta
Marjoni, Riza. 2016. Dasar – dasar Fitokimia Untuk Diploma III Farmasi.
Jakarta : Tratis Info Media.
Mitsui, T. 1997. New Cosmetik Science. Amsterdam-Netherlands : Elsevier
Science B.V.
Pratiwi T.Sylvia. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta : Penebar Swadaya
Rohadi D. 2011. Diktat Kuliah Mikrobiologi dan Parasitologi. Cirebon. Akademi
Farmasi Muhamadia
Rostamailis. 2005. Perawatan Badan, Kulit dan Rambut. Jakarta : PT. Rineka
Cipta.
Scharam, Laurier L. 2005. Emulsion, Foams, and Suspensions. Germany : Wiley
VCH Verlag GmbH&Co. KgaA, Weinheim.
74
Sudibyo dan Surahman. 2014. Metode Penelitian Untuk Mahasiswa Farmasi.
Jakarta : Trans Indo Media
Sudjana. 2002. Metode Statistika edisi keenam. Bandung : Tarsito
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif Kualitatif
dan R & D). Bandung : Alfabeta.
Susilawati, Widyastuti K. 2204. Farmakognosi. Jakarta : Bakti Husada
Syahputri V Mimi. 2006. Pemastian Mutu Obat Volume 1. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Syamsuni H.A. 2007. Ilmu Resep. Jakarta : EGC
Tjay TH dan Kirana R. 2007. Obat – obat Penting edisi 6. Jakarta : PT Gramedia
Wasitaatmadja, S., M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta : UI Press.
Welsh. 2010. Clinical Characterristics, outcomes, and microbiologic associated
with Methicillin – Resistent Staphylococcus aureus Bacteial Pediatric
Patientstreated With Vancomycin. Jaournal Of Clinical Mirobiologi
Yuliani S, Satuhu S. 2012. Panduan Lengkap Minyak Atsiri. Depok. Penebar
Swadaya
Ayu, Dewi Fortuna., Akhyar Ali., dan Rudianda Sulaiman. 2010. Evaluasi Mutu
Sabun Padat Dari Minyak Goreng Bekas Makanan Jajanan Di Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru dengan Penambahan Natrium Hidroksida dan
Lama Waktu Penyabunan, Prosiding SEMNAS 2010. Riau : Fakultas
Pertanian Universitas Riau.
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/523/PROI
DING%20SEMNES%20LINGKUNGAN%20HIDUP%202010.pdf?seque
nce=3, (Diakses pada 23 November 2017 pukul 11:47).
75
Hernani., Tatit K. Bunasor., dan Fitriati. 2010. Fomulasi Sabun Transparan
Antijamur dengan Bahan Aktif Ekstrak Lengkuas (Alpinia galanga
L.Swartz.), Bul. Litro. Vol. 20 No. 2, 2010, 192 – 205. Bogor : Balitro
Litbang
Pertanian.https://balittro.litbang.Pertanian.go.id/ind/images/publikasi/bu
l.vol.21.n0.2sabun%20%ekstrak%20lengkuas.pdf, (Diakses pada 24
Desember 2017 pukul 13:38 WIB)
Jannah, Barlianty. 2009. Sifat Fisik Sabun Transparan dengan Penambahan Madu
Pada Konsentrasi yang Berbeda. Skripsi. Bogor: Fakultas Peternakan
Institut Peternakan Bogor. http://dokumen.tips/documents/uraian-
madu.html, diakses pada 23 Desember 2017 pukul 20:59.
Tjitraresmi, Ami., Sri Agung Fitri Kusuma dan Dewi Rusmiati. 2010. Formulasi
Dan Evaluasi Sabun Cair Antikeputihan Dengan Ekstrak Etanol Kubis
Sebagai Zat Aktif. Bandung : Fakultas Farmasi UniversitasPadjajaran
Bandung.
Trijtaresmi, Ami., sri Agung Fitri Kusuma dan Dewi Rusmiati. 2010. Formulasi
Dan Evaluasi Sabun Cair Antikeputihan DFengan Ekstrak Etanol Kubis
Sebagai Zat Aktif. Bandung : Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran
Bandung.
https://pustaka.unpad.ac.id/wpcontents/uploads/2011/09/pustaka_unpad
_formulasi_dan-evaluasi_sabun_cair.pdf, diakses pada tanggal 28
November 2017 pukul 20:30 WIB.