tugas ginekologi yang relevan dengan androogi, eko
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
GINEKOLOGI YANG RELEVAN DENGAN ANDROLOGI
Pendahuluan
Perawatan dan penanganan yang berhasil pada pasangan yang infertil membutuhkan
suatu pendekatan multidisiplin yang mendukung dan memberikan konseling pada
pasangan tersebut sebagai suatu kesatuan. Skema alur di gambar 1 memampukan para
dokter non-ginekologi mengapresiasi langkah-langkah diagnostik dan terapeutik utama
yang perlu untuk mengevaluasi dan menangani faktor-faktor wanita dari infertilitas
suatu pasangan.
BAB I
Riwayat Medis dan Faktor-faktor Somatis
Usia
Penurunan dalam fertilitas wanita dengan bertambahnya usia telah diketahui dengan
baik; studi-studi inseminasi donor yang memungkinkan untuk suatu faktor pria yang
konstan menunjukkan penurunan fertilitas wanita dengan pertambahan usia wanita.
Gambar 2 memperlihatkan studi-studi contoh (Schwartz dan Mayaux 1982; Yeh dan
Seibel 1987). IVF/ICSI yang dilaporkan dalam Register IVF Jerman (2005) dan
dievaluasi secara prospektif menunjukkan suatu angka kehamilan klinis per transfer
39,7% untuk para wanita di bawah 31 tahun (n=1859), 33,5% untuk para wanita yang
berada di kelompok rentang usia 31-34 tahun (n=3366); angka ini turun menjadi
27,94% pada kelompok umur hingga 40 tahun (n=3923) dan lebih jatuh lagi hingga
12,3% pada pasien-pasien (n=778) yang berusia lebih dari 40 tahun. Fertilitas wanita
yang menurun dianggap berasal dari suatu penurunan yang tergantung-usia dalam
fungsi ovarium. Suatu peningkatan level-level (kadar-kadar) FSH yang paralel dengan
usia wanita mulai pada usia 25 tahun (Ebbiary dkk, 1994).
Level FSH, selain inhibin B pada fase folikuler awal dan juga AMH (Anti
Muller Hormone), terkombinasi dengan estradiol dan progesteron, adalah parameter
yang paling penting untuk mendiagnosis penurunan fungsi ovarium (Gulekli dkk. 1999;
Corson dkk. 1999). Sebaliknya, penelitian-penelitian tentang reproduksi yang dibantu
(assisted reproduction) pada pasangan-pasangan di mana wanita-wanita yang lebih tua
menerima oosit dari donor-donor yang lebih muda menunjukkan angka-angka fertilitas
yang normal (Gbr. 20.3). Namun demikian, bahkan di sini angka fertilitas menurun
setelah usia 35 tahun.
Bagan 1
Gambar 2
Gambar 3
Wanita yang lebih tua tak dapat disangkal memiliki peningkatan risiko perubahan-
perubahan patologis akan organ-organ reproduksinya. Lagipula, suatu subkelompok
pasien dengan penurunan fertilitas berkembang di antara mereka yang tidak mengalami
konsepsi meskipun telah bertahun-tahun berhubungan badan tanpa pelindung. Pada
kasus-kasus ini usia hanyalah suatu faktor yang nyata untuk penurunan fertilitas. Sebuah
studi retrospektif dengan wawancara terstruktur setelah persalinan menunjukkan bahwa
tidak ada perubahan yang terjadi dalam hal angka latensi hingga konsepsi pada wanita-
wanita fertil yang normal antara usia 26 hingga 35 tahun (Knuth dan Muhlenstedt
1991).
Frekuensi Koitus
Penurunan dalam fertilitas dengan bertambahnya usia dilihat oleh beberapa peneliti
sebagai akibat semata-mata dari suatu penurunan frekuensi koitus per siklus (James
1979). Studi-studi lain telah menunjukkan bahwa faktor ini harus dinilai sebelum
menyebut suatu prognosis dalam terapi pasangan yang infertil (Gbr. 20.4).
Frekuensi koitus yang bertambah meningkatkan probabilitas sperma yang fertil
mencapai tuba-tuba Fallopii pada waktu yang optimal. Orang kemudian dapat
melakukan deduksi bahwa frekuensi koitus yang kurang, mungkin hanya saat ovulasi,
dapat menghasilkan angka konsepsi yang dapat diterima. Namun demikian,
rekomendasi seperti itu seringkali kontraproduktif. Rekomendasi-rekomendasi untuk
melakukan hubungan badan pada hari-hari tertentu atau bahkan pada suatu waktu
tertentu dari suatu hari menyebabkan cukup stres, seringkali mencegah pasangan untuk
melakukan hubungan seksual normal dengan ejakulasi intravaginal karena disfungsi
ereksi (Agarwal dan Haney 1994).
Dokter yang berpengalaman hanya akan menyarankan hubungan seksual tanpa
pelindung sebelum dan selama “hari-hari subur”. Rekomendasi sehubungan dengan
frekuensi atau waktu dari hari harus ditahan. Studi-studi konsepsi alami telah
memperlihatkan bahwa suatu aksi tunggal hubungan seksual yang terjadi antara 6 hari
sebelum hingga 3 hari sesudah ovulasi menghasilkan kehamilan (France dkk. 1992).
Evaluasi ulang terhadap publikasi-publikasi terdahulu mengungkapkan bahwa angka
tertinggi konsepsi spontan terjadi ketika koitus berlangsung pada hari sebelum ovulasi
(Dunson dkk. 1999).
Lamanya tak memiliki anak
Lamanya tak memiliki anak secara langsung berhubungan dengan probabilitas konsepsi
dan merepresentasikan suatu parameter prognostik yang penting. Sebuah studi klinis
pada 969 pasangan orang Belanda (Eimers dkk. 1994) memperlihatkan penurunan 11%
dalam hal angka fertilitas dengan jumlah tahun hubungan seksual tak memakai
pelindung. Seorang wanita yang telah menghabiskan waktu 7 tahun tak memiliki anak
secara tak sengaja memiliki hanya 50% peluang untuk hamil dibandingkan dengan
wanita yang 1 tahun mengalami infertilitas. Namun, jika ia pernah hamil sebelumnya,
maka faktor ini meningkatkan peluang untuk probabilitas hamil 74% dibandingkan
dengan populasi yang mengalami infertilitas primer.
Model-model orisinil untuk memprediksi angka fertilitas spontan pada pasien-
pasien subfertil telah diperbaharui lebih lanjut (Hunault dkk. 2005) dan dapat
memberikan bantuan yang berguna bagi perencanaan intensitas terapi selanjutnya pada
kasus-kasus infertilitas idiopatik. Suatu estimasi yang terstandarisasi dapat dengan
mudah dikalkulasi dengan menggunakan parameter-parameter berikut: lamanya tak
memiliki anak yang tak disengaja, usia wanita, infertilitas primer atau sekunder,
persentase sperma yang motil dan penanganan sebelumnya (rujukan oleh ahli
ginekologi atau dokter umum). Termasuk hasil-hasil suatu tes pascakoitus sangat
meningkatkan kualitas prediksi. Fungsi eksponensial ditemukan pada appendix dari
publikasi aslinya.
Risiko Infeksi
Probablitas bahwa infertilitas pasangan adalah terkait dengan faktor tuba meningkat
dengan jumlah pasangan seksual sebelumnya dan juga berkorelasi dengan usia pada saat
hubungan seksual pertama kali.
Faktor-faktor Psikologis
Minat seksual wanita tampaknya berkorelasi dengan fase menstruasi. Meningkatnya
libido pada fase folikuler menghasilkan peningkatan alami dalam frekuensi koitus
selama fase subur (Dennerstein dkk. 1994). Namun, terapi infertilitas dapat sangat
mengganggu seksualitas pasangan, dengan menginterupsi kejadian-kejadian fisiologis
dan mengakibatkan infertilitas fungsional. Selama terapi infertilitas disfungsi seksual
yang inherent seringkali diperbesar. Ini dapat dibagi secara simptomatis ke dalam tiga
kelompok: hilangnya libido, disfungsi orgasme, dan ketidakmampuan untuk hubungan
seksual intravaginal (Herms 1989).
Disfungsi Libido dan Gangguan-gangguan Orgasme
Ketiadaan hasrat seksual primer (alibidinia) adalah sangat jarang. Penurunan atau
hilangnya libido biasanya merupakan suatu perubahan sekunder. Penyebab-penyebab
psikologis, seperti depresi atau ketakutan yang berakar-dalam, dapat berakibat pada
reaksi-reaksi aversions, hilangnya hasrat seksual, atau bahkan penyimpangan-
penyimpangan seksual. Kelompok penyebab-penyebab organik meliputi dispareunia
kronis, ketidakseimbangan endokrin, dan penyakit yang merusak. Obat-obat psikotropik
seperti anti-hipertensi, penenang atau sedatif dapat mengubah libido pasien. Bahkan
keberadaan konstan pasangan seksual dapat berakibat pada apati, hilangnya gairah
seksual dan bahkan aversion seksual. Hal ini tentu saja berakibat pada berkurangnya
frekuensi koitus dan menurunnya fertilitas. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
libido dapat juga mempengaruhi kemampuan orgasme.
Dispareunia
Berlawanan dengan terhambatnya hasrat seksual dan disfungsi orgasme, yang biasanya
adalah gangguan-gangguan psikologis, faktor utama bagi dispareunia adalah
ketidaknyamanan fisik. Hubungan seksual yang nyeri, yang disebut algopareunia,
dapat memiliki penyebab organik dan juga psikologis, yang dapat terjadi secara
sekuensial. Hubungan seksual berjangka yang direkomendasikan selama suatu program
terapi infertilitas dapat itu sendiri merupakan faktor utama dalam menginisiasi gejala
ini.
Pada beberapa pasien, vaginismus adalah suatu spasme yang nyeri dan tidak
disengaja pada lantai pelvis, menghambat hubungan seksual. Hal ini sering dikombinasi
dengan reaksi defensif dari keseluruhan tubuh dalam bentuk lordosis dan adduksi
ekstremitas bawah. Reaksi ini selalu psikologis sesungguhnya, dan sering bersama
dengan ketakutan seksual atau pengalaman seksual traumatis di masa lalu. Penanganan
pasien harus dalam bentuk psikoterapi, dan tidak pernah dalam bentuk pembedahan.
Hormon-hormon dan Seksualitas Wanita
Pengaruh faktor-faktor hormonal pada seksualitas wanita tidak sejelas seperti pada
seksualitas pria. Estrogen-estrogen diperlukan untuk reaksi vaginal yang normal selama
bangkitan seksual, namun pengaruh mereka pada hasrat seksual dan orgasme wanita
tidak sejelas yang terjadi pada pria. Suatu peran penting pada libido wanita dianggap
berasal dari testosteron. Pada wanita-wanita dengan defisiensi androgen kehilangan
libido adalah gejala klinisnya yang dominan (Davis 1999a). Kehilangan ini dapat secara
efektif dikompensasi dengan substitusi androgen-androgen yang tepat (tempelan
testosteron) atau prekursor-prekursor androgen seperti dehydroepiandrosterone (Arlt
dkk. 1999; Davis 1999b). Namun, peranan hormon-hormon pada seksualitas wanita
dimodifikasi dengan kuat baik oleh faktor-faktor psikososial atau oleh hasil-hasil pada
suatu reaksi yang jauh lebih terindividualisasi ketika dibandingkan dengan yang pada
pria (Bancroft 1993).
Suatu kajian ulang yang kritis mengenai terapi androgen pada wanita (Clinical
Guidelines of the Endocrine Society) merekomendasikan penahanan dari diagnosis
defisiensi androgen wanita pada saat kini, sebagai kriteria untuk diagnosis dan metode-
metode untuk determinasinya tidak adekuat (Wierman dkk 2006). Dari sudut pandang
klinis posisi ini dapat dipertanyakan (Traish dkk 2007).
Stres
Selama terapi infertilitas stres sering disebut sebagai salah satu penyebab yang mungkin
dari gagalnya konsepsi. Namun, tidak ada definisi yang jelas akan entitas ini yang dapat
digunakan untuk studi eksperimental yang dapat direproduksi. Stres mengimplikasikan
suatu pengumpulan banyak faktor-faktor negatif yang mempengaruhi kondisi sehat,
seperti kelelahan yang berasal dari kekurangan tidur atau istirahat, ketegangan dan
ketidakmampuan menemukan pelepasan dari tekanan yang nyata atau yang
diimajinasikan. Suatu penelitian pada 420 pasangan Denmark yang mencari pengobatan
infertilitas untuk pertama kali menunjukkan penurunan probabilitas konsepsi dari 16,5
—12,8% pada pasangan-pasangan dengan skor stres yang tinggi, yakni >80th persentil
pada General Health Questionaire (Hjollund dkk 1999). Di luar studi-studi sistematis
tersebut, seringkali bukti anekdotal dan kasuistik ditawarkan untuk mendukung thesis
bahwa faktor-faktor stres menurunkan fertilitas wanita. Satu contoh yang seringkali
dikutip adalah angka kehamilan yang dianggap meningkat setelah adopsi. Namun,
sebuah studi sistematis memperlihatkan bahwa angka konsepsi 4,3% adalah sama
dengan pasangan-pasangan yang tidak mengadopsi anak (Banks 1961). Suatu kajian
sistematik mengenai prevalensi infertilitas psikogenik mempertimbangkan 5% estimasi
yang realistik (Wischmann 2006). Bahwa situasi-situasi stres yang akut tidak perlu
menjadi penghalang bagi kehamilan dapat ditarik dari angka kehamilan yang tinggi
(5%) setelah pemerkosaan (Holmes dkk 1996). Walau demikian, perubahan-perubahan
siklus menstruasi yang disebabkan oleh stres telah terdokumentasi dengan baik dan
dibahas pada Sect. 20.2.4
Modulasi Imunologis dan Stres
Akhir-akhir ini hubungan resiprokal antara stres dan kejadian-kejadian imunologis telah
semakin banyak dicatat. Khususnya pada wanita tampaknya terdapat mekanisme-
mekanisme yang kuat dimana faktor-faktor imunologis menstimulasi faktor-faktor stres
dan mengakibatkan penurunan fertilitas.
Peningkatan sekresi corticotropin-releasing hormone (CRH), dengan akibat
stimulasi ACTH, menyebabkan kenaikan sekresi glukokortikoid. Hal ini memodulasi
sintesis prekursor-prekursor prostaglandin, platelet activating factor, serotonin,
cytokinins, interleukin-1 dan -6 dan tumor necrosis factor (TNF). CRH adalah bagian
dari sistem propriomelanocortin, sehingga meregulasi sekresi α-MSH dan β-endorphin,
yang dengan kombinasi bersama met-encephalin, secara langsung mempengaruhi fungsi
dan aktivitas imunosit-imunosit. Ini dapat disimpulkan bahwa suatu situasi stres dapat
secara negatif mempengaruhi implantasi melalui faktor-faktor otoimun. Interaksi
kompleks ini menjanjikan untuk menjadi area penelitian infertilitas wanita yang utama
di masa mendatang (Negro-Vilar 1993; Chrousos 1995).
Faktor-faktor Lingkungan
Yang disebut “faktor-faktor lingkungan” seringkali dikutip saat mencari penyebab
infertilitas. Namun, hampir tidak pernah mungkin untuk membuat pernyataan yang jelas
sehubungan dengan faktor-faktor lingkungan tertentu pada infertilitas wanita dan
pengaruh mereka terhadap infertilitas pasangan individual.
Definisi-definisi
Beberapa tahun yang lalu WHO menginisiasi sebuah studi tentang faktor-faktor
lingkungan yang relevan dengan fertilitas (Baranski 1993). Untuk mengukur zat-zat
yang berpotensi bahaya, maka dibutuhkan sebuah parameter yang terukur. Parameter
yang sering dikutip adalah angka infertilitas. Dengan menggunakan parameter ini,
angka infertilitas suatu kelompok pasien-pasien normal dibandingkan dengan angka
infertilitas kelompok pasien yang berada di bawah pengaruh faktor lingkungan eksternal
tertentu. Masalah-masalah metodis muncul kapanpun infertilitas akan didefinisikan,
karena kondisi ini dipengaruhi oleh beragam pra-kondisi:
1. Gagal mengalami konsepsi setelah 1 tahun hubungan seksual yang tak memakai
pelindung
2. Gagal mencapai kehamilan yang dapat di discernable secara klinis setelah 1 tahun
hubungan seksual yang tak memakai pelindung
3. Gagal melahirkan bayi yang sanggup hidup setelah 1 tahun hubungan seksual yang
tak memakai pelindung.
Tiga definisi yang berbeda ini telah menunjukkan bahwa metode-metode
mengkonfirmasi suatu kehamilan sendiri dapat mempengaruhi parameter “angka
infertilitas” dan juga hasil-hasilnya.
Karena organisme tidak pernah terpapar secara eksklusif terhadap satu faktor
lingkungan yang berpotensi bahaya, maka pengaruh kofaktor-kofaktor yang mungkin
seperti penyalahgunaan nikotin, alkohol, kafein, dan substansi/zat lain harus
dipertimbangkan pertama kali. Pola-pola perilaku tertentu juga berkorelasi dengan
faktor-faktor sosioekonomi lain, yang sekali lagi mempengaruhi angka fertilitas.
Epidemiologi
Meskipun daftar-daftar yang luas ada mengenai faktor-faktor lingkungan yang mungkin
mempengaruhi fertilitas wanita (Baranski 1993), mereka biasanya sedikit digunakan
untuk konseling praktis pasangan infertil individual, karena bahkan studi-studi
epidemiologis terbaik hanya menunjukkan sedikit peningkatan risiko bagi suatu
populasi yang terpapar dengan bahaya lingkungan yang potensial secara keseluruhan.
Angka-angka infertilitas pada wanita-wanita meningkat ketika mereka secara kontinu
terpapar akan toksin-toksin seperti zat-zat anestetik, asbestos, pewarna tekstil, dan
bahan-bahan pencuci kering. Risiko infertilitas meningkat oleh suatu faktor 2,4 pada
wanita-wanita yang terpapar dengan tingkat kebisingan yang tinggi (Rachootin dan
Olsen 1983). Bahkan database-database khusus tidak mampu memberi data yang
bermanfaat mengenai pengaruh-pengaruh toksik terhadap fungsi-fungsi reproduksi
manusia (Scialli 1994). Fakta bahwa kurang dari 1% dari lebih dari 60.000 zat kimia
yang termasuk dalam daftar bahan-bahan toksik telah diinvestigasi, menggambarkan
betapa besarnya masalah ini.
Bahkan studi-studi yang terkontrol baik tidak mampu memberi gambar yang
akurat tentang pengaruh faktor-faktor tertentu pada fertilitas. Sebagai contoh, sebuah
studi pada para asisten dokter gigi yang terpapar dengan uap air raksa menunjukkan
bahwa fertilitas para wanita yang membantu dalam lebih dari 30 proses pengisian per
minggu hanya mencapai 63% dari fertilitas para wanita yang tidak terpapar dengan uap
air raksa. Namun demikian, angka fertilitas para wanita dengan sedikit paparan dengan
uap air raksa adalah lebih baik daripada mereka yang menjadi kelompok kontrol yang
tidak terpapar (Rowland dkk, 1994).
Nikotin
Dibandingkan dengan faktor-faktor lingkungan yang kurang dapat didefinisikan,
paparan terhadap nikotin memiliki peran praktis yang dapat biasanya dihilangkan.
Meskipun efek nikotin terhadap fertilitas tidak secara konsisten digambarkan dalam
literatur, namun sebuah studi yang besar di Inggris dengan jelas menunjukkan efek
negatif nikotin terhadap fertilitas. konsumsi nikotin wanita mengakibatkan kenaikan
12% dalam latensi konsepsi pada 11.407 orang yang terlahir pada tahun 1958 dan
diikuti di Britania Raya. Merokok pada pria tidak menyebabkan efek negatif pada
fertilitas setelah data dikoreksi untuk faktor-faktor sosioekonomis (Joffe dan Li 1994).
Sebuah studi prospektif di Denmark pada 430 pasangan menunjukkan penurunan angka
fertilitas hingga 0,53 pada wanita-wanita yang merokok, dibandingkan dengan non-
perokok (95% confidence interval 0,31-0,91). Sebuah faktor penting adalah apakah para
ibu dari para wanita yang diteliti merokok selama kehamilan (Jensen dkk 1998).
Diketahui pula bahwa hasil-hasil IVF adalah lebih jelek pada para wanita yang merokok
(Zitzmann dkk. 2003), dan bahwa fungsi ovarium juga menurun lebih dini pada
populasi ini. Salah satu langkah awal dalam edukasi dan konseling pasien selama terapi
infertilitas adalah seharusnya meninggalkan konsumsi nikotin.
Sinar-X dan Radioaktivitas
Meskipun efek-efek negatif merokok terhadap fertilitas wanita telah terbukti, namun
kebanyakan wanita-wanita yang terkena tidak menyadari bahwa mereka perlu
mengubah perilaku mereka. Berlawanan dengan hal ini, pengaruh sinar-X dan
radioaktivitas terhadap fertilitas biasanya diestimasi berlebihan oleh populasi awam.
Studi-studi epidemiologis dan analisis yang rinci tentang paparan radioaktif pada
wanita-wanita sebelum konsepsi menunjukkan tidak adanya efek yang jelas (Committee
on the Biological Effect of Ionizing Radiation 1990). Sebuah studi pada 627 wanita
dengan karsinoma tiroid yang ditangani dengan iodine radioaktif (131I) memperlihatkan
tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal angka fertilitas ketika dibandingkan
dengan kelompok kontrol (Dottorini dkk. 1995). Dosis radioaktif ovarium dalam terapi
demikian ditentukan 1,14 + 0,34 Gy (mean + SEM) (Izembart 1992). Dalam studi ini 12
dari 50 pasien mengalami amenore dan 38 menunjukkan tidak adanya perubahan dalam
fungsi ovarium. Namun demikian, efek usia pada saat onset (awitan) menopause tidak
secara jelas di delineated dalam studi ini. Radiasi seluruh tubuh karena penyakit
neoplastik saat anak-anak menghasilkan secara pasti dosis seluruh tubuh yang lebih
tinggi. Ini mencakup kisaran antara 20 sampai 30 Gy. Para wanita yang telah melalui
dan selamat dari bentuk terapi ini dan meneruskan fungsi ovarium seringkali melahirkan
bayi-bayi yang berberat badan lahir rendah. Hal ini dijelaskan oleh hipoplasia jaringan
uterus dan gangguan vaskularisasi (Critchley dkk. 1992). Data penelitian menunjukkan
pengaruh yang beragam dari radiasi terhadap fertilitas wanita. Ini tidak bisa dideduksi
bahwa kehamilan tidak akan dapat diperoleh pada pasien-pasien ini. Suatu dosis
ovarium 4 Gy dapat menyebabkan sterilitas pada sekitar 30% wanita muda dan pada
100% wanita di atas usia 40 tahun (Ogilvy-Stuart dan Shalet 1993). Hasil-hasil ini
digarisbawahi oleh data yang diperoleh dari pasien-pasien yang ditangani dengan
kemoterapi dan radiasi pada penyakit Hodgkin (Bokemeyer dkk. 1994).
Bidang-bidang Elektromagnetik
Berbeda dengan sedikit jumlah pasien yang terpapar dengan bahan radioaktif atau
sinar-X, hampir setiap pasien yang dilihat untuk konseling infertilitas telah pernah atau
sedang terpapar dengan bidang-bidang elektromagnetik lemah. Beberapa orang
mempertimbangkan yang disebut “electro-smog” sebagai faktor kausal untuk
infertilitas. Hal ini belum terbukti untuk pasien rerata. Bahkan pada situasi-situasi yang
ekstrim, seperti personel bagian nuclear magnetic resonance imaging, tidak ada
perubahan dalam hal angka fertilitas yang nyata (Kanal dkk. 1993). Tidak bahayanya
ultrasonografi bagi fetus akan dibahas nanti.
Riwayat Medis yang Berhubungan
Fisiologi Kehamilan
Suatu penilaian riwayat medis bagi faktor-faktor wanita dan pria yang mempengaruhi
infertilitas adalah penting dalam konseling infertilitas karena seringkali pilihan-pilihan
terapeutik kausal menjadi mungkin. Notwithstanding, pertimbangan akan penyakit-
penyakit yang dapat memburuk selama kehamilan adalah penting juga, sehingga
pasangan dapat diberi konseling untuk forego terapi lanjut.
Perubahan-perubahan demikian dalam kehamilan dapat disebabkan oleh
adaptasi-adaptasi dalam sistem kardiovaskuler dan juga oleh kejadian-kejadian
imunologis. Sirkulasi ginjal meningkat 50% pada kehamilan awal. Volume darah yang
bersirkulasi bertambah selama kehamilan antara 27% dan 64%. Luaran kardiak
bertambah dari 4,5 menjadi 5,5 l/menit dan laju denyut juga naik dari 70 hingga sekitar
85 denyut/menit pada akhir kehamilan. Tidak ada perubahan besar dalam sistem
respirasi.
Ureter berdilatasi selama kehamilan dan dapat juga menjadi terkompresi. Hal ini
berakibat pada angka infeksi yang lebih tinggi dan/atau hidronefrosis. Motilitas saluran
gastrointestinal menurun. Fungsi liver biasanya tidak berubah. Aktivitas tiroid
distimulasi dengan kenaikan level iodine yang terikat-protein. Metabolisme karbohidrat
biasanya masih konstan, meskipun sedikit glukosuria adalah umum sebagai akibat dari
ambang batas ginjal yang lebih rendah untuk glukosa.
Gangguan-gangguan Medis yang Berhubungan
Penyakit paru. Tuberkulosis paru tidak akan memburuk selama kehamilan.
Kehamilan memiliki pengaruh yang baik terhadap perjalanan sarkoidosis tak
berkomplikasi dengan penurunan yang mungkin akan limfoma hilus paru. Perjalanan
asma juga biasanya tidak berubah selama kehamilan.
Sistem kardiovaskuler. Penyakit kardiovaskuler yang bermanifestasi dapat memburuk
dikarenakan oleh perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem
kardiovaskuler selama kehamilan. Oleh karena itu seorang pasien dengan penyakit
jantung harus berkonsultasi dengan dokter ahli jantung sebelum memulai terapi
infertilitas. Sekarang ini kehamilan bahkan mungkin setelah transplan jantung (Morini
dkk. 1998).
Penyakit gastrointestinal. Penyakit radang usus biasanya tidak memiliki efek pada
fertilitas. Namun, pada penyakit Crohn berat atau kolitis ulseratif kita sebaiknya
menunggu hingga fase kurang aktif atau tidak aktif untuk merencanakan kehamilan, jika
mungkin.
Hepatitis virus adalah suatu faktor yang jauh lebih bermakna dalam terapi infertilitas.
Sebuah kajian ditemukan dalam buletin: The Practice Committee of the ASRM (2006b).
Pada area-area yang endemis hepatitis A, para wanita biasanya menjadi imun terhadap
hepatitis A sebelum mencapai usia reproduksi. Anak-anak dari para ibu yang menderita
hepatitis A akut saat hamil menunjukkan tidak adanya efek-efek dari penyakit dan
transfer fetal dari virus HA adalah sangat jarang, hepatitis A bukanlah masalah sejati
dalam terapi infertilitas. Sebagai cara proteksi terbaik, vaksinasi dapat dilakukan saat
hamil.
Situasi dengan infeksi hepatitis B adalah lebih serius. Studi-studi pemeriksaan
pranatal di Jerman menunjukkan suatu antigen hepatitis B yang positif pada 0,73-1,73%
dari semua wanita yang diperiksa (Joosten dan Sturner 1980). Antara 20% dan 30% dari
semua ibu yang HBsAg positif menularkan virus ke anak-anaknya jika tidak dilakukan
imunoprofilaksis. Pada wanita-wanita yang seropositif untuk HbsAg dan HbeAg
angkanya meningkat hingga 90%. Namun demikian, transmisi intrauterin infeksi ini ke
fetus adalah jarang. Lebih dari 90% anak-anak yang terinfeksi mungkin disebabkan oleh
kontak langsung bayi baru lahir dengan darah ibu yang infeksius saat kelahiran per
vaginam (artikel kajian ulang oleh Heckers dan Lasch 1986).
Risiko yang relatif rendah akan infeksi hepatitis B intrauterin diperlihatkan saat
situasi yang tidak beruntung dimana 22 wanita terkontaminasi dengan hepatitis B pada
suatu program IVF. Semua wanita ini menderita hepatitis B akut saat trimester pertama.
Namun demikian, DNA-hepatitis B tidak bisa diisolasi dalam serum atau dalam
limfosit-limfosit dari 22 anak yang terpapar (Quint dkk. 1994).
Arti penting Hepatitis C adala lebih imminent daripada hepatitis B, karena
imunisasi pasif tampaknya tidak dimungkinkan pada infeksi ini. Pada penelitian Eropa
utara pada donor-donor darah menunjukkan angka penyakit antara 0,01% dan 0,05%.
Infeksi ini bertahan pada sekitar 80% dari semua kasus dan mengarah pada
hepatitis kronik persisten atau hepatitis aktif kronik, dengan 20-30% berkembang
menjadi sirosis. Imunisasi pasif saat ini tidak tersedia. Terapi standar dengan IFN-α dan
Ribavirin dikontraindikasikan selama kehamilan. Transmisi intrauterin hepatitis C akut
telah ditunjukkan dengan jelas. Follow-up pada 403 wanita pasca melahirkan dengan
antibodi-antibodi virus hepatitis C dan anak-anak mereka menunjukkan infeksi pada 13
dari 403 neonati (3,2%). Hal ini hanya berlaku pada bayi-bayi yang ibu-ibu mereka
positif virus-RNA. Karena enam bayi adalah positif virus RNA segera setelah kelahiran,
maka harus dianggap ada infeksi intrauterin (Resti dkk. 1998). Jika riwayat pasien
melaporkan hepatitis C, atau jika temuan demikian terjadi saat langkah diagnostik rutin
dalam terapi infertilitas, konseling harus mencakup risiko bagi fetus. Potensi terapi
interferon masih harus diklarifikasi pada kasus-kasus tertentu ini.
Risiko penularan hepatitis C kepada pasangan dari pembawa (carriers) belum
jelas (Van der Poel dkk. 1994). Hepatitis B, E, F, dan G lebih kurang arti pentingnya
(lihat detailnya dalam kajian ulang yang dikutip di atas).
Seorang pasien dengan hepatitis kronik tidak perlu mengharapkan progresi
penyakit selama kehamilan. Namun demikian, pada pasien-pasien dengan hepatitis
kronik agresif hanya bentuk otoimun tidak dipengaruhi oleh kehamilan. Prognosis pada
hepatitis B kronik agresif berkurang. Namun demikian, para ahli tidak mampu membuat
rekomendasi umum untuk situasi ini. Pada kasus varicosis esofagus oleh karena sirosis
hati, para ahli merekomendasikan sklerosis profilaksis sebelum kehamilan yang
direncanakan.
Berlawanan dengan berbagai bentuk hepatitis, penyakit ulseratif tidak
merupakan masalah baik sebelum atau selama kehamilan. Serangan awal jarang terjadi
selama kehamilan. Cholecystitis digambarkan lebih sering daripada penyakit ulkus
peptikum. Satu dari 1.300 cholecystectomies dilakukan saat selama kehamilan. namun,
tidak ada kebutuhan khusus akan konseling mengenai topik ini saat terapi infertilitas.
HIV. Berbeda dengan hepatitis, para wanita HIV-positif yang mencari kehamilan
merepresentasikan hanya sekelompok kecil di Jerman. Ketika ibunya seropositif, maka
probabilitas infeksi intrauterin adalah sekitar 20% jika dilakukan seksio sesarea dan jika
ibunya tidak memberi ASI. Jika ibunya diterapi (misalnya dengan azidothymide) selama
kehamilan, maka risiko infeksi bayi dapat dikurangi hingga sekitar 3%. Tidak
tergantung dari infeksi bayi yang mungkin, HIV merepresentasikan empat kali lipat
lebih tinggi risiko aborsi dan bayi lahir mati (Brocklehurst dan French 1998). Para
peneliti yang sama mendokumentasikan efek tambahan meskipun lemah dari kehamilan
terhadap perkembangan lanjut penyakit HIV (French dan Brocklehurst 1998).
Penelitian-penelitian terbaru tidak lagi mengkonfirmasi hal ini (Tai dkk. 2007). Dalam
pandangan perkembangan ini, kemungkinan-kemungkinan terapeutik harus dibahas
secara individual dengan pasangan yang terkena yang tergantung pada konseling
intensif (The Practice Committee of the ASRM 200a). Sebuah kajian tentang
rekomendasi-rekomendasi dari German AIDS Society dan German Society for
Gynecology and Obstetrics baru-baru ini terbit (Tandler-Schneider dkk. 2008).
Saluran kemih. Penyakit-penyakit pra-eksis pada saluran kemih dapat menyebabkan
komplikasi-komplikasi berat pada kehamilan. Pada kasus-kasus tertentu para pasien
harus diberi konseling untuk menolak terapi infertilitas lanjut. Saat penyakit ginjal akut
seperti pyelonephritis atau glomerulonephritis, kehamilan harus dihindari.
Tuberkulosis saluran kemih yang diterapi dengan kontrol-kontrol negatif adalah tidak
ada argumen melawan kehamilan. Riwayat pasien akan batu-batu ginjal atau suatu
hidronefrosis kongenital yang dikoreksi dengan pembedahan tidak memberi
kontraindikasi untuk kehamilan. Degenerasi polikistik ginjal yang progresif dengan
fungsi glomerulus dan tubulus yang terbatas memiliki prognosis buruk pada kehamilan,
dan karenanya juga dalam terapi infertilitas. Glomerulonefritis kronik dan
glomerulonefritis diabetik adalah berisiko tinggi terjadi eklampsia dan intrauterine
fetal demise. Selama konseling pasien-pasien dengan sindroma nefrotik kita kurang
lebih memberikan nasehat menolak terapi infertilitas lanjut. Namun, setelah
transplantasi ginjal pasien dapat mempertimbangkan kehamilan dengan berkonsultasi
dengan dokter ahli 2-3 tahun setelah pembedahan (Kremling 1986).
Neoplasia-neoplasia. Penyakit-penyakit ginekologis ganas seperti kanker payudara,
kanker serviks dan kanker ovarium berbeda-beda dalam hal efek dari suatu
kehamilan terhadap perjalanan penyakit (Borner 1986). Ringkasnya, kehamilan setelah
kanker payudara tidak akan menstimulasi lanjut penyakitnya atau memperburuk
prognosisnya. Pasien-pasien dengan riwayat carcinoma in situ of the uterine cervix
harus memberikan periode 6-12 bulan berlalu dimana kontrol-kontrol sitologis adalah
negatif sebelum mencoba terapi untuk infertilitas. Para pasien dengan tumor-tumor
ovarium ganas, yang dahulunya diterapi dengan salpingoovarektomi unilateral
konservatif harus diberi konseling untuk mengambil metode kontrasepsi selama
periode 2 tahun, karena kebanyakan kekambuhan terjadi dalam periode ini.
Adalah tidak mungkin untuk mencakup semua penyakit yang mungkin
dipengaruhi oleh kehamilan dalam bab ini. Kebanyakan penyakit-penyakit lain cukup
jarang, sehingga bahkan buku ajar ginekologi obstetri tidak mencukupi untuk memberi
konseling pasien individual. Pencarian literatur akan memberikan informasi yang
bermanfaat dan terkini.
BAB II Siklus Ovarium dan Ovulasi
Folikel-folikel
Pokok utama fisiologi reproduksi wanita adalah maturasi oosit dalam hubungannya
dengan siklus menstruasi. Evaluasi terhadap folikel ovarium yang mengalami
pematangan, terhadap ovulasi dan terhadap fase luteal adalah titik sentral dalam upaya
diagnosis pasien-pasien infertilitas.
Perkembangan Oosit Awal
Maturasi oosit adalah suatu proses panjang yang mulai saat perkembangan fetus.
Namun demikian, maturasi oosit terlengkapi hanya saat fertilisasi, yang seringkali
berlangsung hingga lebih dari 30 tahun setelah permulaan perkembangan oosit. Selama
kehidupan fetus 6-7 juta sel-sel germ berkembang dalam trimester kedua. Menjelang
waktu kelahiran, banyak sel-sel germ telah mengalami atresia, dan bayi wanita yang
baru lahir memiliki sekitar 2 juta ova. Pada saat ini, oosit primer telah menjalani
bagian pertama dari pembelahan meiosis pertama dan telah mencapai stadium
penangkapan pertama. Fase penangkapan ini berlangsung hingga pubertas, ketika mulai
terjadi ovulasi dari oosit.
Meiosis
Meiosis hanya berlanjut ketika telah terjadi ovulasi. Satu bagian dari kromosom yang
berpasangan terlemparkan dalam polar body I. Oosit kini menjadi haploid. Fase ini
disebut metaphase II dan oositnya adalah oosit sekunder. Ini adalah situasi pada saat
ovulasi. Jika oosit tidak difertilisasi, ia tetap dalam stadium ini. Jika terjadi fertilisasi,
satu bagian dari kromatin sekali lagi terlemparkan dalam bentuk polar body II. Oleh
karenanya, meiosis wanita berbeda dengan spermatogenesis, mulai pada periode fetus
dini dan berakhir pada titik fertilisasi pada wanita dewasa.
Perkembangan Folikel
Perkembangan folikel yang mengitari terjadi secara paralel dengan perkembangan oosit
ovarium. Saat minggu ke-8 kehamilan oosit-oosit primer dikelilingi oleh satu lapisan
sel-sel yang berbentuk-spindle. Sel-sel ini adalah prekursor dari sel-sel granulosa dan
sel-sel theca. Oosit dan sel-sel granulosa dikelilingi oleh suatu membran basalis yang
memisahkan folikel primordial dari stroma. Folikel dengan sel-sel granulosa yang
melapisi disebut folikel sekunder. Pada bulan ke-7 kehamilan sebuah antrum dapat
berkembang dalam lapisan sel granulosa, dan folikelnya kemudian disebut folikel
tersier atau deGraaf.
Mekanisme-mekanisme Regulasi
Sel-sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor-reseptor FSH saat bulan ke-5 ke-6
kehamilan. Jumlah reseptor per sel tetap konstan; namun, jumlah absolut reseptor FSH
per folikel bertambah dengan bertambahnya jumlah sel granulosa. Selama
perkembangan selanjutnya, reseptor-reseptor untuk estradiol, progesteron, testosteron
dan glukokortikoid dapat dideteksi. Untuk perkembangan lanjut folikel dibutuhkan
FSH. Hal ini didukung oleh pengaruh dari estrogen-estrogen. Sehingga suatu umpan
balik positif terjadi dimana bahkan konsentrasi FSH minimal dalam cairan molekuler
dijawab dengan suatu umpan balik positif. Perlu dicatat bahwa FSH hanya dapat
dideteksi dalam cairan folikuler jika rasio estrogen terhadap androgen didominasi oleh
estrogen dan angka quotient adalah di atas 1. Jika androgen meningkat maka FSH tidak
dapat dideteksi.
Selain estradiol dan FSH, faktor-faktor lain mempengaruhi pembelahan mitosis
sel-sel granulosa. Reseptor-reseptor aromatase dan LH diinduksi tergantung pada
konsentrasi FSH dan fase waktunya. Aromatase-aromatase mengkonversi androgen
menjadi estrogen. Perkembangan reseptor-reseptor LH dalam folikel yang
mendominasi mempersiapkannya untuk lonjakan LH pada pertengahan siklus dan
dengan demikian untuk ovulasi. Tambahan pula, reseptor-reseptor LH diperlukan untuk
produksi progesteron yang terjadi kemudian dalam korpus luteum. Selama
perkembangan folikel, estradiol tampaknya bekerja secara sinergis dengan FSH untuk
memfasilitasi perkembangan reseptor-reseptor FSH. Selanjutnya dalam siklus estradiol
menstimulasi densitas reseptor LH dan aktivitas reseptor LH. Ketika sintesis estrogen
diblokade, maka tidak satupun dari folikel-folikel deGraaf akan bertumbuh dengan
diameter di atas 2,2 mm. Jika stimulasi FSH diblokade saat perkembangan folikel, maka
jumlah reseptor FSH dan LH berkurang, dan sel-sel granulosa mati.
Seleksi folikel. Pengetahuan akan perkembangan folikel adalah penting untuk
memahami gangguan maturasi folikel. Kenaikan pra-ovulasi dalam estradiol
menginisiasi suatu umpan balik negatif, dan juga supresi sekresi FSH pituitari. Karena
folikel pra-ovulasi memiliki densitas reseptor yang lebih tinggi daripada folikel-folikel
yang lebih kecil lainnya, maka mungkin terjadi maturasi lanjut, sedangkan folikel-
folikel yang lebih kecil harus berdegenerasi menjadi folikel-folikel yang atretik. Efek
dari FSH dapat dimodulasi oleh prolaktin dan steroid-steroid seksual. Estrogen, insulin
dan faktor-faktor somatotropik lain dapat mempengaruhi aktivitas aromatase dan
perkembangan reseptor-reseptor LH. Stimulasi aromatase, reseptor-reseptor LH dan
reseptor-reseptor prolaktin oleh FSH tampaknya terbatas pada membran sel-sel
granulosa. Dengan demikian ada suatu sistem yang amat rumit mengenai mekanisme-
mekanisme pengaturan parakrin dan endokrin dimana terdapat beragam langkah-
langkah yang mana dapat terjadi gangguan maturasi folikel-folikel selama terjadinya
beragam langkah-langkah ini.
Teori dua-sel. Reseptor-reseptor LH lanjut berkembang dalam sel theca interna dari
folikel deGraaf. Theca interna terdiri atas sel-sel mesenkim yang mengitari keseluruhan
folikel. Di bawah pengaruh LH, sel-sel theca interna berubah menjadi sel-sel epitel yang
mampu memproduksi androgen-androgen, yang darinya paling penting adalah
androstenedione. Androgen ini adalah prekursor utama bagi produksi estradiol
folikuler dan suatu faktor yang signifikan bagi perkembangan folikel selanjutnya.
Produksi androgen yang berlebihan, yang melebihi kapasitas aromatase untuk
mensintesis estrogen, menyebabkan penurunan rasio quotient estrogen/androgen dan
atresia folikel seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalam suatu lingkungan yang kaya
androgen, arah konversi androstenedione berubah lagi dari pembentukan estrogen
menjadi produksi androgen tambahan. Sebuah folikel yang optimal hanya dapat
berkembang bila produksi androgen dalam sel-sel theca disertai oleh produksi estrogen
dari androgen-androgen ini dalam sel-sel granulosa. Mekanisme ini disebut teori-dua-
sel tentang produksi estrogen folikuler. Seperti halnya sel-sel granulosa, sel-sel theca
dapat juga dipengaruhi oleh hormon-hormon lain. Regulasi aksis hipotalamus pituitari
ovarium dan organ-organ target disederhanakan dalam Gbr. 20.5.
Regulasi parakrin akan fungsi ovarium. Dari hasil-hasil penelitian terbaru, model
klasik mengenai regulasi ovarium tampaknya tidak adekuat. Seleksi folikel,
pertumbuhan, maturasi dan ovulasi tampaknya diatur oleh mekanisme-mekanisme
intraovarium yang kompleks sehubungan dengan gonadotropin-gonadotropin dan
steroid-steroid seks. Faktor-faktor lokal ini agaknya memiliki efek-efek parakrin
maupun otokrin. Dalam sistem parakrin, zat-zat pembawa pesan (messenger) yang
disekresi secara lokal mempengaruhi sel-sel target sekitar dari organ yang sama,
sedangkan regulasi otokrin mempengaruhi sel-sel sekretoris di dalam organ melalui
reseptor-reseptor permukaan.
Daftar faktor-faktor otokrin/parakrin bertambah dengan cepat. Penelitian kini
dikonsentrasikan pada sistem IGF (insulin-like growth factor). Selain hati, ovarium
merupakan sumber utama insulin-like growth factor 1 (IGF 1). IGF 1 dan IGF 2
diproduksi oleh sel granulosa. IGF 1 meningkatkan efek LH dan FSH serta tampaknya
penting dalam koordinasi antara fungsi-fungsi sel theca dan granulosa. FSH dan LH
meningkatkan jumlah reseptor-reseptor pada sel granulosa dan reaksi ini diintensifkan
secara tambahan oleh estrogen-estrogen. Dalam sel theca, IGF 1 menstimulasi dan
meningkatkan pembentukan steroid. Secara keseluruhan, IGF 1 penting bagi
pembentukan dan peningkatan reseptor-reseptor FSH dan LH, untuk steroidogenesis,
untuk sekresi inhibin dan maturasi oosit.
Bersama dengan reseptor-reseptor IGF 1, sel granulosa memiliki reseptor-
reseptor untuk insulin, yang berikatan secara langsung dengan reseptor-reseptor IGF.
Reaktivitas-silang ini penting bagi banyak kejadian patofisiologis dalam ovarium,
karena insulin menyebabkan suatu modulasi fungsi ovarium. Cascade regulasi
diperumit oleh fakta bahwa molekul-molekul IGF terikat dan dinetralisir oleh protein-
protein pengikat-IGF. Dengan demikian konsentrasi protein-protein pengikat-IGF
secara langsung mempengaruhi regulasi sel. Selain itu, famili TGF (transforming
growth factor) β-gene adalah penting. Istilah ini mencakup zat-zat seperti activin,
inhibin dan “growth and differeniation factor 9” yang memodulasi efek-efek
stimulasi maupun penghambatan dari gonadotropin. “Growth and differentiation factor
9” tampaknya merupakan faktor pertumbuhan yang spesifik-oosit yang penting bagi
perkembangan jauh dari folikel primordial. Selain itu, suatu sistem interleukin-1
intraovarium tampaknya meregulasi kejadian-kejadian periovulasi secara resiprokal
dengan LH (Udoff dan Adashi 1999).
Selain proses-proses pertumbuhan yang terkoneksi dengan peningkatan jumlah
sel dalam maturasi folikel dan ovulasi, eliminasi sel-sel yang terlalu banyak dalam
ovarium adalah suatu faktor penentu pada fungsi ovarium yang normal. Kematian sel
yang terprogram ini (apoptosis) sedang menjadi minat penelitian utama (Chun dan
Hsueh 1999). Secara klinis, kebanyakan parameter-parameter parakrin yang telah
dibahasa tidak bisa dihitung. Untuk mengevaluasi perkembangan normal atau patologis
akan maturasi folikel, kita masih harus bersandar pada pengukuran klasik steroid-steroid
seksual dan gonadotropin. Gambar 20.6 menunjukkan perjalanan konsentrasi hormon
serum yang digunakan dalam diagnosis klinis rutin.
Anti-Muller hormone. Pada tahun-tahun belakangan ini, anti-Muller hormone, dikenal
juga dengan MIS (Muller-inhibiting substance) telah diidentifikasi sebagai sebuah
petanda penting akan fungsi ovarium (van Rooij dkk. 2002; Al-Qahtani dan Groome
2006). Aslinya glikoprotein homodimerik ini, yang ditemukan pada tahun 1940 oleh
Alfred Jost, dahulu diyakini sebagai suatu produk sekretoris dari sel-sel Sertoli yang
fungsinya adalah menginisiasi regresi duktus Mullerii pada fetus laki-laki (Josso dkk.
2006).
Pada organisme perempuan AMH diproduksi oleh sel-sel granulosa dan
tampaknya sebagai suatu petanda bagi kualitas dan kuantitas cadangan-cadangan folikel
(Visser dkk. 2006). Pada folikel-folikel yang lebih kecil AMH menghambat efek-efek
FSH hingga folikel-folikel mencapai ukuran 6 mm. Setelah itu konsentrasi AMH intra-
folikuler berkurang, membawa pada seleksi folikel yang dominan, yang kemudian tidak
mengandung AMH. Hal ini merepresentasikan satu bagian dari faktor-faktor otokrin
yang bekerja dalam seleksi folikel yang dominan. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa level-level AMH basalis adalah petanda tunggal terbaik yang mencerminkan
reaksi ovarium terhadap perlakuan gonadotropin di dalam kerangka cara-cara IVF.
Selama investigasi pada 132 ambilan kembali folikel tunggal sebuah batas yakni
< 1,26 ng/ml AMH (DSL-10-14400, Diagnostic System Laboratories Inc./Beckman-
Coulter) didefinisikan untuk membedakan antara reaksi yang kurang (kurang dari empat
ova yang diambil kembali) atau reaksi yang normal terhadap terapi IVF. Jika level
AMH adalah di bawah 0,5 ng/ml maka hanya sedikit sel-sel telur yang diambil kembali
meski ada stimulasi yang maksimal. Namun demikian, ditemukan tidak adanya korelasi
antara inisiasi kehamilan dengan level-level AMH yang rendah (Gnoth dkk. 2008).
Aplikasi rutin steroid-steroid seks, berlawanan dengan FSH atau inhibin,
difasilitasi oleh fakta bahwa konsentrasi serum AMH sebagian besar tidak tergantung
dari siklusnya (Hehenkamp dkk. 2006; Streuli dkk. 2008).
Risiko stimulasi berlebihan diberi signal dengan naiknya konsentrasi AMH
(Nakhuda dkk. 2006), agaknya oleh koneksi-koneksi yang rapat antara PCOS dan
naiknya sekresi AMH dalam adanya kenaikan jumlah folikel. Determinasinya dapat
diaplikasi baik untuk menilai awal maturasi folikel atau perkembangan prapubertas dan
juga fungsi ovarium yang menurun perimenopause. Karena saat ini tidak ada standar
yang seragam untuk sistem-sistem assay, metode yang digunakan harus diketahui ketika
menilai hasil-hasil, karena ini dapat bervariasi oleh suatu faktor 2.
Siklus Haid
Variasi-variasi Hormon
Siklus haid normal dapat dibagi menjadi dua fase: fase folikuler dan fase luteal. Hari
pertama haid merepresentasikan hari pertama dari siklus haid. Fase folikuler
berlangsung dari hari pertama haid hingga lonjakan LH pra-ovulasi. Ovulasi terjadi
sekitar 36-38 jam setelah lonjakan LH. Sebagaimana yang dibahas di atas, konsentrasi
estradiol meningkat selama perkembangan folikuler dan menyebabkan pengurangan
FSH selama bagian kedua dari fase folikuler. Sebaliknya, kenaikan estradiol memiliki
efek umpan balik positif terhadap produksi LH, sehingga menyebabkan lonjakan LH
tengah-siklus. Pada praktek klinik kita dapat menduga perkembangan mono-folikuler
peri-ovulasi yang normal dengan suatu konsentrasi estradiol 250 pg/ml di dalam serum.
Jika selama ovulasi ovum dikeluarkan dari folikel deGraaf, maka folikel yang tersisa
berkembang menjadi korpus luteum, yang menghasilkan progesteron, estradiol, dan
17α-hydroxyprogesterone. Produksi hormon-hormon ini distimulasi oleh LH dan
choriogonadotropin. Sekresi progesterone, terkombinasi dengan pelepasan estradiol
menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi gonadotropin, sehingga level-level
serum secara bertahap berkurang pada akhir fase luteal.
LH disekresi dalam denyut-denyutan; interval antar puncak selama fase folikuler
berkisar dari 60 sampai 90 menit. Amplitudo dan frekuensi naik secara kontinu dengan
dicapainya tengah-siklus. Setelah ovulasi, dicapai frekuensi yang lebih rendah yakni
100-300 menit. Namun, amplitudonya meningkat dalam fase luteal. Sekresi berdenyut
dari LH disebabkan oleh sekresi berdenyut GnRH. Pelepasan yang tidak terus-menerus
ini sangat penting bagi terapi infertilitas (lihat di bawah).
Fase luteal. Sekresi progesteron setelah ovulasi memiliki efek termogenik sentral pada
hipotalamus. Oleh karena itu representasi grafik dari pengukuran suhu basal (skema
temperatur suhu basal) dapat memberi kesan pertama akan kualitas siklus. Kenaikan
suhu pagi hari biasanya terjadi ketika level progesteron melebihi 3 ng/ml. Namun
demikian, level ini tidak representatif untuk fungsi luteal normal, sehingga bahkan
kurva suhu basal dengan fase hipertermik yang normal tidak harus pasti mengalami
perkembangan folikuler yang normal yang mendasarinya dengan fase luteal yang
nornal. Di lain pihak, beberapa wanita tidak menunjukkan kenaikan suhu basal setelah
menghasilkan the thermogenic pregnen-3 α-ol-20-one sehingga tidak adanya fase
hipertermik tidak pasti menandakan suatu anovulasi. The basal body temperature chart
(BBT chart) dengan demikian tidak lagi menjadi alat diagnostik sentral seperti dahulu
kala saat perkembangan folikel dan ovulasi tidak bisa dilihat secara sonografi.
Kita harus hati-hati khususnya untuk tidak menggunakan BBT chart guna mengatur
waktu untuk inseminasi atau hubungan seksual berjangka, karena level progesteron
yang dijelaskan di atas terjadi 1-2 hari setelah ovulasi. Kurva suhu basal sebaiknya
digunakan hanya dalam upaya menunjukkan variasi kualitas siklus dan/atau
menjadwalkan prosedur-prosedur diagnostik.
Fase siklik kedua, fase luteal, adalah relatif konstan dan berlangsung 13-14 hari pada
kebanyakan wanita. Namun, paruh pertama dari siklus haid bisa sangat bervariasi
sehingga panjang siklus haid antara 21 dan 35 hari dapat dianggap normal, jika fase
luteal tetap konstan.
Ovulasi. Titik tengah dari siklus haid adalah, secara alami, ovulasi, yang harus dicatat
saat evaluasi siklus haid (lihat Gbr. 20.7). Setelah ovulasi, terjadi perubahan-perubahan
siklik dalam serviks uteri dan endometrium. Perubahan-perubahan dalam mukus serviks
bermakna penting dalam evaluasi interaksi-sperma-mukus (lihat Gbr.20.8).
Perubahan-perubahan dalam Serviks Uteri dan dalam Produksi Mukus Serviks
Os serviks adalah jalan masuk ke rongga uterus dan terdiri atas suatu sistem lipatan dan
celah yang disebut kripta servikal atau kelenjar-kelenjar endoservikal. Kelenjar-kelenjar
endoservikal ini memiliki epitel sekretoris yang tergabung dengan epitel bersilia dalam
rasio 10:1. Sel-sel sekretoris menghasilkan mukus servikal dan terletak terutama pada
bagian atas serviks, dekat dengan uterus. Aktivitas sekresi dari epitel servikal
mengalami perubahan-perubahan siklis, sehingga dapat memberikan informasi yang
mudah didapat mengenai stadium siklus haid. Informasi penting dihasilkan oleh jumlah
mukus, lebarnya os servikal eksternal, Spinnbarkeit mukusnya, dan fern-like
pattern yang berkembang ketika mengering. Prognosis yang nyata lebih baik untuk
terapi lanjut diperoleh saat dalam kondisi optimal, sekurang-kurangnya satu
spermatozoon per lapangan ditemukan pasca koitus pada pembesaran 400x dalam
sekurang-kurangnya enam lapangan pandang (Hunault dkk. 2005). Jumlah estrogen
yang diperlukan untuk menstimulasi sekresi mukus servikal bervariasi pada pasien-
pasien individual, dan dapat bervariasi dari siklus ke siklus. Sekresi servikal
dipengaruhi oleh infeksi servikal, atau setelah prosedur pembedahan pada serviks. Pada
beberapa pasien, produksi mukus servikal dapat dilihat beberapa hari sebelum ovulasi;
pada kasus-kasus lain sekresi servikal yang optimal terjadi hanya beberapa jam sebelum
lonjakan LH. Hal ini harus diperhatikan ketika memeriksa interaksi sperma-mukus.
Perkembangan faktor servikal dapat dinilai dengan menggunakan cervical index of
Insler. Teknik diagnosis mukus servikal dijelaskan di WHO 1999.
Serviks uteri dan mukus servikal penting bagi naiknya sperma, karena mereka
memproteksi sperma dari lingkungan vagina yang asam. Serviks uteri menyediakan
substrat yang kaya-energi bagi spermatozoa, memfasilitasi transport sperma dari vagina
ke dalam kavum uteri, menyediakan suatu reservoir bagi sperma dalam kripta-kripta
servikal dan juga bekerja sebagai penyaring yang memisahkan sperma yang dibentuk
secara formal dari sperma-sperma yang mengalami malformasi. (Untuk kajian ulang
mengenai serviks lihat Joseph dkk. 2006).
Endometrium
Perubahan-perubahan siklik endometrium, seperti perubahan-perubahan faktor servikal,
mencerminkan fungsi ovarium siklik dan sangat penting bagi nidasi oosit yang
terfertilisasi. Endometrium menjadi lebih tebal selama fase folikuler. Kelenjar-kelenjar
uteri tertarik keluar sehingga mereka memanjang. Proliferasi ini telah memberikan
namanya pada paruh pertama dari siklus haid. Setelah ovulasi lengkap, vaskularisasi
endometrium meningkat. Terjadi edema, kelenjar-kelenjar endometrium menjadi
terkonvolusi dan mulai mensekresikan cairan yang jernih. Konsekuensinya, fase siklus
ini adalah yang disebut fase sekretoris atau luteal.
Jika tidak terjadi kehamilan, maka korpus luteum mengalami regresi; stimulasi
hormonal dari endometrium berkurang dan ia menjadi lebih tipis. Hal ini menambah
pada perkelok-kelokannya arteri dan terjadi nekrosis fokal dengan perdarahan lokal,
yang akhirnya confluates dan menyebabkan aliran haid. Penyebab nekrosis vaskuler
belum diketahui. Karena endometrium dan darah haid mengandung konsentrasi yang
tinggi prostaglandin, dan pemberian infus prostaglandin PGF 2α menyebabkan nekrosis
endometrium, maka tampaknya mungkin bahwa pelepasan prostaglandin menyebabkan
kontraksi pembuluh-pembuluh darah.
Tujuh puluh lima persen darah haid berasal dari arteri. Ia mengandung sel-sel
endometrium yang nekrotik, prostaglandin-prostaglandin dan proporsi yang relatif
tinggi akan fibrinolysin. Ini sebabnya mengapa biasanya tidak terjadi koagulasi darah
haid. Aliran darah haid biasanya berlangsung 3-5 hari. Aliran 1-8 hari masih dapat
dianggap normal, kecuali terjadi perubahan mendadak dalam aliran darah reguler
pasien. Darah yang hilang rata-rata sekitar 30 ml per siklus. Ini bervariasi antara bercak-
bercak darah hingga kehilangan darah 80 ml. Jika lebih dari 80 ml darah yang hilang,
maka harus dipertimbangkan penyebab patologis. Setelah haid endometrium sekali lagi
berkembang dari sel-sel yang tertinggal dari lapisan basal.
Epitel Vaginal
Epitel vaginal mengalami perubahan-perubahan siklik di bawah pengaruh sekresi
estrogen sebagaimana endometrium (untuk kajian ulang lihat Schnell 1973). Meskipun
perubahan-perubahan dalam epitel vaginal dapat mengindikasikan fase-fase siklus, ini
masih sangat bervariasi, sehingga tidak ada diagnosis siklik yang jelas yang bisa
didapatkan melalui analisis sitologis dari epitel vaginal.
Evaluasi Diagnostik Siklus
Secara esensial, evaluasi siklus wanita membutuhkan identifikasi maturasi folikel yang
optimal dengan ovulasi, perkembangan sebuah korpus luteum yang berkualitas bagus,
dan juga perkembangan siklik yang fisiologik dari endometrium yang diperlukan untuk
nidasi oosit yang telah terfertilisasi. Adalah penting untuk diingat bahwa semua tes yang
digunakan dalam evaluasi siklus adalah tes-tes tidak langsung yang memiliki
keterbatasan.
Ultrasonografi
Meskipun skema suhu tubuh basal, dan pengukuran konsentrasi hormon dalam serum,
urine dan saliva memberikan informasi tidak langsung mengenai ovulasi dan maturasi
folikel, ultrasonografi memungkin untuk mengikuti maturasi folikel, dan pemastian
ovulasi. Dengan demikian sonografi merupakan komponen utama dalam evaluasi faktor
wanita dalam infertilitas, dan merupakan alat yang tidak bisa dihilangkan.
Sonografi transabdomen yang dahulu digunakan telah digantikan dengan
pemeriksaan vaginal. Satu keuntungan besar adalah bahwa pasien tidak perlu memenuhi
kandung kemihnya supaya memberikan “jendela akustik” yang melaluinya uterus dan
ovarium dapat divisualisasi. Probe vaginal berada dalam aproksimasi yang dekat dengan
struktur-struktur pelvis sehingga dapat digunakan frekuensi yang lebih tinggi, yang
menghasilkan resolusi yang lebih baik. Selain sonografi klasik, mengukur aliran darah
dengan menggunakan sonografi Doppler memberi informasi lanjut. Kerusakan jaringan
karena energi yang dihasilkan oleh gelombang ultrasono belum pernah terlihat selama
penggunaan klinis alat diagnostik ini. Efek-efek negatif yang telah digambarkan pada
percobaan-percobaan hewan membutuhkan membutuhkan level output yang lebih tinggi
dari yang digunakan dalam sonografi klinis.
Gambaran sonografik sebuah ovarium adalah suatu elipsoid rotasional dengan
volume di bawah 6 ml. Perubahan-perubahan patologis dapat dilihat dengan cukup
jelas. Suatu gambaran patologis yang penting adalah polycistic ovary (PCO), yang
patofisiologinya akan dibahas nanti. Tipikalnya, akan terlihat folikel-folikel kecil di
bawah 1 cm akan diatur seperti seutas mutiara bersama dengan sebuah ovarium yang
lebih besar dari normal dengan stroma yang bertambah (Gbr.20.9). Selain sindroma
PCO, endometriosis dan perubahan-perubahan kistik lainnya dari ovarium dapat kapan-
kapan diidentifikasi dengan ultrasono. Perubahan-perubahan dalam tuba Fallopii seperti
sactosalpinx, dimana penutupan perifer tuba menyebabkan dilatasi tuba oleh cairan-
cairan intratuba, sering dapat didiagnosis secara sonografis. Jika sebuah sactosalpinx
dapat diidentifikasi secara sonografi, maka para wanita yang sedang berusaha hamil bisa
mendapatkan manfaat dari salpinektomi sebelum terapi IVF (Strandell dkk. 1999).
Namun, aspek terpenting dari sonografi pada terapi infertilitas adalah evaluasi
pertumbuhan folikel pada siklus normal dan yang terstimulasi. Selain itu, endometrium
dapat dievaluasi dan prosedur-prosedur invasif dapat dihindari.
Evaluasi endometrium. Secara ultrasonografi, endometrium tampil sebagai echo yang
relatif tipis dan homogen selama fase proliferasi. Selama fase proliferasi akhir ketebalan
meningkat dan ukuran-ukuran sekitar 5 mm pada diameter anterior-posterior. Edema
stroma sering menyebabkan tepian echo-tebal dari rongga uterus, sehingga sebelum
ovulasi terlihat gambaran multilapisan pada endometrium. Pada fase luteal ketebalan
endometrium berada di antara 7 sampai 9 mm.
Evaluasi ovarium-ovarium. Pada kasus-kasus optimal, resolusi ultrasono
mengidentifikasi struktur-struktur ovarium hingga 2 mm. Secepat hari ke-5 dari siklus
haid, folikel yang dominan diseleksi dari folikel-folikel primordial lain. Antara hari ke-8
dan ke-12 ia telah mencapai diameter 14 mm. Selama 4-5 hari terakhir sebelum ovulasi,
diameter folikel yang dominan bertambah antara 2 dan 3 mm per hari. Folikel ini
kemudian mencapai diameter 16-28 mm. Ukuran yang bervariasi ini tidak
memungkinkan prediksi waktu ovulasi berdasarkan hanya pada ultrasono saja, sehingga
diagnosis ultrasono selalu harus dikombinasikan dengan penentuan level estradiol dan
LH selama fase pra-ovulasi (Queenan dkk. 1980). Prediksi lonjakan LH berdasarkan
ultrasono adalah tidak akurat, serupa dengan memprediksikan lonjakan LH berdasarkan
hari siklus haid (Buttery dkk. 1983). Namun, ultrasonografi transvaginal bersama
dengan metode-metode endokrinologis dapat menggandakan angka fertilitas saat
prosedur-prosedur inseminasi.
Setelah lonjakan LH, jaringan theca menjadi semakin tervaskularisasi dan
lapisan granulosa berpisah dari sel-sel theca. Proses ini dapat divisualisasi secara
sonografi sekitar 24 jam sebelum mulainya ovulasi dan biasanya disertai dengan
kenaikan yang nyata level progesteron plasma. Selain itu, cumulus oophoros, dapat
dilihat secara sonografi pada sekitar satu per lima dari seluruh folikel yang lebih besar
dari 18 mm. Jika suplai vaskuler pada folikel, yang dapat dipastikan dengan sonografi
Doppler berwarna, juga dipertimbangkan, maka kualitas sel telur dapat dievaluasi
bahkan lebih baik dan angka konsepsi dapat diperbaiki (Bhal dkk. 1999).
Sekitar 25% pasien menunjukkan secara ultrasonografi cairan yang dapat terlihat
dalam culdesac setelah ovulasi. Transisi dari folikel ke korpus luteum terlihat dengan
suatu indentasi pada kapsul dan peningkatan densitas-echo intrafolikuler. Namun
kadangkala korpus luteum adalah suatu struktur yang agak padat yang tidak dapat
dengan mudahnya diidentifikasi dengan ultrasono.
Sindroma LUF. Gangguan ovulasi, yang biasanya disebabkan oleh masalah maturasi
folikel, seringkali menjadi penyebab infertilitas. Ini sering didiagnosis dengan
pemeriksaan ultrasono, karena tes-tes objektif lainnya seringkali normal. Suatu
gambaran klinis yang khas adalah sindroma luteinisasi folikel yang tidak ruptur
(sindroma LUF) yang pertama kali dibahas pada tahun 1967 (Kase dkk. 1967). Dalam
entitas klinis ini, profil-profil hormon berada dalam kisaran normal dan meski demikian
tidak terjadi ruptur folikel. Sekitar 5% dari seluruh siklus normal dikatakan terjadi
dalam bentuk ini. Namun demikian, arti pentingnya bagi infertilitas belum terbukti
karena sindroma ini bukanlah salah satu dari anovulasi yang kontinu. Pemeriksaan
ultrasono dapat menghasilkan diagnosis ketika 36 jam setelah lonjakan LH folikel kistik
masih tidak berubah dan tidak ada terlihat penyusutan. Dengan stimulasi clomiphene
maka angka LUF dapat meningkat hingga lebih dari 25% (Qublan dkk. 2006).
Suatu siklus haid dapat saja adalah anovulatoris bahkan jikapun haid terjadi pada
waktu yang tepat. Namun, pada siklus-siklus anovulatoris biasanya ditemukan level
progesteron yang rendah pada fase luteal. Kenaikan level estradiol pada siklus luteal
juga berkurang, sehingga pengukuran progesteron dan estradiol pada paruh kedua dari
siklus haid memberikan informasi penting mengenai ovulasi. Tentu saja suatu
pengecualian adalah sindroma LUF yang disebut di atas.
Selain evaluasi diagnostik akan pertumbuhan folikel dan perkembangan korpus
luteum, ultrasono dapat digunakan pada fase luteal untuk menentukan kualitas
endometrium. Deichert dkk (1986) membandingkan ketebalan endometrium dengan
parameter-parameter hormonal, dan menyimpulkan bahwa ketebalan endometrium di
bawah 10 mm adalah suatu indikasi bagi stimulasi atau substitusi hormonal dalam
upaya mengoptimalkan implantasi blastosit. Pada sebuah studi cohort prospektif yang
terdiri atas 1.186 wanita yang mencari terapi untuk infertilitas, tidak ada korelasi antara
ketebalan endometrium dengan angka kehamilan setelah IVF atau ICSI yang dapat
ditemukan. Sebaliknya, angka kehamilan ditemukan lebih rendah secara bermakna pada
wanita-wanita dengan endometrium yang tipis yang menjalani inseminasi intrauterin
(DeGeyter dkk. 2000).
Biopsi Endometrium
Kebanyakan ahli ginekologi mempertimbangkan pemeriksaan histologi dari suatu biopsi
endometrium sebagai metode utama untuk menilai kualitas luteal. Secara klasik,
pemeriksaan dilakukan tepat sebelum awitan alirah darah haid. Idealny sebuah strip
endometrium diperoleh melalui kuretase pasien rawat jalan pada hari 27 atau 28, atau
pada siklus haid yang lebih panjang, 1-2 hari sebelum mulainya aliran darah haid. Strip
endometrium seharusnya mencakup semua lapisan endometrium hingga ke
miometrium, sehingga lapisan fungsional maupun basal dapat diperiksa. Untuk evaluasi
biopsi endometrium, tanggal periode haid berikut harus diketahui. Tanggal ini diatur
sama dengan hari 28. Jika biopsi didapatkan 2 hari lebih dini, maka endometrium
harusnya menunjukkan gambaran histologis hari ke 26 siklus haid. Jika gambaran
histologis menyimpang lebih dari 2 hari, maka didiagnosis insufisiensi luteal. Walaupun
ini merupakan metode standar, pada beberapa pasien biopsi-biopsi endometrium serial
pada waktu-waktu yang berbeda dalam siklus haid menunjukkan perkembangan
patologis pada fase luteal awal yang menjadi normal segera sebelum mulainya aliran
darah haid. Ini mengindikasikan bahwa suatu biopsi endometrium yang diperoleh pada
waktu yang lebih dini saat siklus luteal dapat saja memiliki arti penting diagnostik,
karena struktur endometrium pada hari 20-24 dari siklus haid adalah penting bagi
blastosit. Yang sangat penting adalah perkembangan yang sinkron dari kelenjar-kelenjar
dan stroma endometrium (lihat Blasco 1994).
Level Progesteron dan Evaluasi Kualitas Luteal
Biopsi endometrium adalah metode standar untuk evaluasi kualitas luteal dalam
penelitian klinis. Namun tes diagnostik ini tidak biasanya digunakan dalam kondisi
klinis karena karakter invasifnya. Melainkan pengukuran progesteron dan estradiol pada
fase luteal yang biasanya dipakai. Karena sekresi progesteron bersifat denyutan
(pulsatile), metode ini sering dikritik karena memiliki angka diskrepansi yang tinggi.
Namun, level serum progesteron pertengahan-luteal tunggal di bawah 10 ng/ml (31,8
nmol/l) atau jumlah tiga level progesteron di bawah 30 ng/ml (95,4 nmol/l) berkorelasi
lebih baik dengan konsentrasi progesteron yang terintegrasi pada fase luteal daripada
skema suhu tubuh basal, panjangnya fase luteal, atau diameter folikel pra-ovulasi.
Berdasarkan beberapa data, level progesteron serum memprediksi kualitas fase luteal
lebih baik daripada biopsi endometrium (Jordan dkk. 1994).
Progesteron adalah hormon utama dari korpus luteum dan sangat penting bagi
nidasi dan pemeliharaan kehamilan awal. Suatu lutectomy pada minggu ke-7 kehamilan
menyebabkan keguguran (Csapo dkk. 1973). Namun, pengeluaran korpus luteum saat
minggu ke-9 kehamilan hanya menyebabkan penurunan yang sementara level serum
progesteron dan kehamilan terus berlanjut. Jika penurunan dini konsentrasi progesteron
pada minggu ke-7 kehamilan dikompensasi oleh substitusi hormon ini, maka kehamilan
terus berkembang.
Kehamilan pada wanita dengan insufisiensi ovarium yang hamil setelah donasi
oosit dapat disokong oleh substitusi progesteron selama minggu-minggu awal
kehamilan. Level-level serum 20 ng/ml adalah cukup. Level serum ini dicapai dengan
memberikan 50 mg progesteron per hari. Secara fisiologis, produksi progesteron harian
pada fase luteal adalah sekitar 25 mg. Suatu konsentraso progesteron pertengahan-luteal
yang di bawah 3,1 ng/ml dalam suatu siklus alami memberi tanda akan anovulasi.
Level-level progesteron median pada siklus-siklus konseptif adalah sekitar 17,8 ng/ml,
meskipun pada kasus-kasus ekstrim, konsepsi tunggal juga terjadi pada level yang lebih
rendah sekitar 3,8 ng/ml. Pada praktek klinis, level progesteron pertengahan-luteal 8
hari pasca ovulasi yang lebih besar dari 10 ng/ml menunjukkan fungsi luteal yang cukup
baik (kajian ulang pada Wathen dkk. 1984).
Fluktuasi harian level serum progesteron (terlihat pada Gbr.20.10) menyebabkan
kita untuk menduga bahwa secara statistik sekitar sepertiga dari semua pengukuran
progesteron akan berada di bawah 10 ng/ml, meski terlihat fase luteal yang normal.
Namun, pengukuran progesteron dalam kombinasi dengan estradiol, suatu cara
diagnostik yang relevan secara klinis yang memberi kesan pertama akan maturasi
folikel ketika estradiol dan progesteron ditentukan pada hari ke delapan pasca ovulasi.
Dalam batas-batas yang disebut di atas, maka adalah mungkin untuk menentukan
apakah telah terjadi ovulasi. Beberapa siklus haid harus dimonitor untuk menunjukkan
apakah pasien memiliki restriksi yang kontinu akan kualitas lutealnya ataukah tidak.
Pada kasus demikian, penyebab gangguan maturasi folikel harus diketahui sebelum
menentukan terapi selanjutnya.
Gangguan Maturasi Folikel
Bentuk yang ekstrim dari maturasi folikel yang terganggu adalah anovulasi dengan
amenorea, meskipun kasus-kasus ini adalah sangat jarang daripada yang mana siklus
haidnya masih tak terganggu (Grb. 20.11).
Amenorea
Amenorea adalah suatu gejala yang terjadi pada sebuah kelompok gangguan yang besar,
yang mengakibatkan tidak adanya menstruasi (haid). Amenorea dapat merupakan suatu
akibat dari endometrium yang disfungsional dengan level hormon yang normal atau bisa
dikarenakan gangguan aksis hipotalamo-pituitari-gonad dengan reaks endometrium
normal setelah substitusi hormon eksogen. Untuk tujuan ilmiah, amenorea dapat
diklasifikasi menurut kriteria WHO (Gbr. 20.12).
Amenorea bisa primer maupun sekunder. Klasifikasi ini tidak menceriterakan
apa-apa tentang penyebab amenorea, karena gangguan yang sama dapat berakibat
amenorea primer maupun sekunder. Amenorea primer didefinisikan sebagai tidak
adanya haid hingga usia 16 tahun. Hal ini penting secara klinis, karena pada 35-40%
pasien amenorea primer adalah akibat dari insufisiensi ovarium primer atau disgenesis
urogenital. Amenorea sekunder adalah tidak adanya haid untuk sekurang-kurangnya 4
bulan pada wanita yang telah mengalami sekurang-kurangnya satu kali siklus haid
spontan dalam riwayat hidupnya.
Amenorea primer. Pasien-pasien dengan amenorea primer tidak sering hadir pada
praktek infertilitas, karena kebanyakan penyebabnya adalah genetik dan telah
didiagnosis pada usia pubertas atau dewasa awal. Penyebab utama amenorea primer
adalah sindroma Turner dengan kariotip klasik X0. Pada kasus yang sangat langka,
pasien dengan sindroma Turner mengalami periode haid dan menderita amenorea
sekunder sebagai akibat dari insufisiensi ovarium.
Penyebab kedua yang palin sering untuk amenorea primer adalah Mullerian
dysgenesis, yang dikarakteristik oleh kegagalan kongenital tuba-tuba Fallopii, uterus
dan/atau vagina untuk berkembang. Sebuah contoh adalah sindroma Rokitansky-
Kuster-Hauser, yang merupakan suatu entitas klinis dengan aplasia vagina, uterus yang
rudimenter dan tuba-tuba Fallopii yang normal. Pada Mullerian dysgenesis, fungsi
ovarium adalah intak, sehingga gonadotropin-gonadotropin dan steroid-steroid seksual
menunjukkan level-level yang normal. Diagnosis diperoleh setelah klarifikasi
anatominya melalui pemeriksaan ginekologis, diagnostik pencitraan, histeroskopi, dan
mungkin laparoskopi diagnostik.
Pasien-pasien yang kekurangan berat badan sehubungan dengan tinggi badannya
dapat datang dengan amenorea primer. Arti penting berat badan untuk perkembangan
normal aksis hipotalamus pituitari ovarium terlihat pada hipotesis berat badan kritis,
yang mempostulasi bahwa berat badan tertentu harus dicapai sehubungan dengan tinggi
badannya sebelum haid dapat mulai (untuk kajian ulang lihat Knuth dkk. 1977). Selain
penyebab-penyebab umum amenorea primer ini, sejumlah defek-defek kongenital dan
eksogenik dapat mengganggu aksis hipotalamo-pituitari, yang berakibat pada defek
pengaturan hormon yang analog dengan yang telah dijelaskan pada pria.
Amenorea sekunder. Amenorea sekunder memainkan peran yang jauh lebih penting
dalam praktek infertilitas daripada amenorea primer yang telah digambarkan di atas.
Penyebab utama amenorea sekunder adalah kehamilan. Fakta ini harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang datang dengan gejala ini.
Bahkan jika seorang pasien telah didiagnosis dengan penyebab lain amenorea, harus
diingat bahwa suatu kehamilan berkembang dari suatu fase amenorea, dan bahwa haid
tidak perlu harus telah terjadi. Hal ini sering terlihat pada terapi yang efektif amenorea
hiperprolaktinemik.
Penyebab amenorea yang jarang adalah intrauterine synechia yang dapat
menyebabkan Asherman’s Syndrome dimana telah terjadi kerusakan endometrium
dengan akibat adhesi internal kavum uteri. Hal ini biasanya disebabkan oleh dilatasi dan
kuretase yang rumit seperti aborsi yang terinfeksi, atau kuretase yang sangat berlebihan,
namun sindroma ini dapat juga terjadi setelah endometriosis tak spesifik atau
tuberkulosis. Riwayat pasien adalah penting untuk diagnosis. Kecurigaan Asherman’s
Syndrome dapat diperkuat dengan level-level estradiol dan progesteron yang normal
pada fase luteal, atau melalui amenorea yang terus berlanjut setelah stimulasi hormonal.
Diagnosis diperoleh melalui histeroskopi, atau dengan keterbatasan, melalui
histerosalpingografi. Secara terapeutik, adhesiolisis kavum uteri harus disertai dengan
substitusi estrogen dan progesteron yang sekuensial dalam bentuk suatu pseudo-
pregnancy. Secara simultan, IUD dapat digunakan untuk menunda perkembangan
adhesi baru sambil endometrium berregenerasi.
Jika Asherman syndrome dan histerektomi dapat disingkirkan, maka penyebab
amenorea sekunder pada kasus-kasus sisa yang hadir di praktek infertilitas dapat dibagi
menjadi mereka yang dengan defek-defek hipotalamik dan pituitari, dan mereka yang
dengan kegagalan ovarium.
Amenorea hipotalamik adalah suatu diagnosis of exclusion dan merepresentasi defek
fungsional sekresi gonadotropin yang disebabkan oleh kehilangan berat badan yang
cepat, penambahan berat badan yang cepat, penyakit-penyakit sistemik, aktivitas fisik
yang ekstrim dan/atau situasi-situasi stres yang ekstrim (lihat Sect. 20.1.7). Amenorea
hipotalamik adalah kasus ekstrim dari gangguan maturasi folikel, dimana insufisiensi
luteal atau anovulasi dengan haid normal terjadi karena penyebab-penyebab yang
disebut di atas sebelum perkembangan amenorea sekunder.
Hiperprolaktinemia sering merupakan penyebab amenorea. Disini sekali lagi
merupakan akibat yang ekstrim dari hiperprolaktinemia; insufisiensi luteal dan
anovulasi dengan haid normal terlihat jauh lebih sering. Pada hiperprolaktinemia kita
harus berpikir akan suatu adenoma pituitari atau hipotiroidisme sebagai faktor
penyebabnya.
Sebuah penyebab penting dari gangguan maturasi folikel, dan amenorea, adalah
sindroma policystic ovarian (PCO syndrome). Utamanya kita memikirkan seorang
pasien yang obese dengan gejala-gejala hiperandrogenik dan gambaran khas pada
diagnosis ultrasono yang dijelaskan di atas. Namun, yang disebut PCO syndrome atau
Stein-Leventhal Syndrome hanyalah titik akhir dari sekelompok gangguan patologis
yang berbeda dan beragam dan merepresentasi gangguan fungsi ovarium siklik dengan
naiknya level androgen/estradiol dan rasio LH/FSH yang tidak seimbang.
Selain tiga penyebab umum amenorea sekunder dan gangguan maturasi folikel
ini, penyebab-penyebab yang jarang akan tumor dan kista hipotalamik dan penyakit-
penyakit infiltratif hipotalamus atau kelenjar pituitari seperti tuberkulosis, sarkoidosis
atau histiocytosis X ada. Namun, ini jarang bahkan di pusat-pusat spesialisasi.
Berbeda dengan disfungsi aksis hipotalamo-pituitari, yang telah dapat ditangani,
diagnosis umum kegagalan ovarium primer biasanya merupakan titik akhir dari upaya
penegakan diagnosis infertilitas di negara-negara dimana donasi oosit dilarang oleh
hukum, karena atresia folikel primordial berakibat pada kehilangan absolut oosit.
Kegagalan ovarium prematur dikarakterisir oleh hilangnya fungsi ovarium sebelu usia
35 tahun. Ini bisa merupakan akibat dari kemoterapi atau terapi radiasi atau juga bisa
memiliki penyebab imunologis.
Hiperprolaktinemia
Hubungan yang ada antara gangguan fungsi reproduksi dengan laktasi telah lama
diketahui. Nama-nama designation ditemukan dalam literatur tua seperti Chiari-
Frommel syndrome (amenorea pascapersalinan dengan laktasi yang tetap ada); Argonz-
Ahumada Castillo syndrome (galaktorea dan menurunnya konsentrasi estrogen urine)
dan Albright-Forbes syndrome (amenorea, berkurangnya konsentrasi FSH urine dan
galaktorea). Setelah 1972, ketika pertama kali dimungkinkan untuk mengukur prolaktin
manusia, semua sindroma-sindroma ini ditemukan memiliki denominator umum, yakni
hiperprolaktinemia.
Berbeda dengan hormon-hormon lain dari kelenjar pituitari, prolaktin terutama
diregulasi melalui suatu faktor inhibitori hipotalamik. Inhibitor utama adalah dopamine.
Pada eksperimen tikus 70% dari sekresi prolaktin dapat dihambat melalui infus
dopamine, jika sisntesis dopamine androgenik telah diblok sebelumnya. Namun, γ-
aminobutyric acid (GABA) adalah faktor inhibitoris lainnya yang mana lebih lemah
efeknya dibandingkan dopamine.
Sejumlah zat-zat yang mengstimulasi juga telah ditemukan yang mana penting
bagi sekresi prolaktin jangka pendek. Zat-zat ini mencakup thyrotropin releasing
hormone (TRH), vasoactive intestinal peptide (VIP) dan angiotensin. Prekursor-
prekursor serotonin menyebabkan kenaikan signifikan dalam hal konsentrasi prolaktin.
Sebaliknya, blokade serotonin menghambat sekresi prolaktin. Opioid-opioid endogen
meningkatkan sekresi prolaktin dengan menghambat sintesis dopamine dan mengurangi
sekresi dopamine. Histamine dan substance P keduanya menstimulasi sekresi prolaktin,
meskipun mekanisme regulasi yang pasti belum diketahui.
Regulasi yang berbeda dari sekresi prolaktin menjelaskan beragam penyebab
hiperprolaktinemia. Kenaikan sedikit dalam konsentrasi prolaktin serum dapat
merupakan gejala disregulasi neurogenik sentral, seperti reaksi stres, dalam bentuk
disregulasi fungsional. Hiperprolaktinemia dapat disebabkan oleh ingesti berbagai
macam obat. Hipotiroidisme primer dapat juga menjadi penyebab hiperprolaktinemia.
Bahkan tumor-tumor yang tidak aktif secara hormonal yang dekat dengan kelenjar
pituitari dapat menyebabkan hiperprolaktinemia melalui perubahan-perubahan dalam
sirkulasi portal. Namun, konsentrasi prolaktin yang sangat tinggi biasanya disebabkan
oleh prolactin secreting tumors (prolactinoma) (untuk kajian ulang lihat Schlechte
2003).
Sekitar sepertiga dari semua pasien dengan amenorea sekunder memiliki
adenoma pituitari. Pada pasien-pasien dengan galaktorea yang terjadi secara simultan,
50% dari wanita-wanita tersebut menunjukkan pandangan kerucut yang abnormal dari
sella tursica. Infertilitas pada pasien-pasien ini terkait lebih erat dengan
hiperprolaktinemia daripada dengan ukuran tumor, kecuali tentu saja pada kasus-kasus
ekstrim.
Sebuah prolaktinoma menyebabkan kenaikan dalam konsentrasi dopamine
hipotalamik, yang pada gilirannya menyebabkan umpan balik negatif terhadap sekresi
GnRH. Ini menyebabkan penurunan sekresi gonadotropin, yang kemudian berakibat
pada anovulasi. Secara terapeutik, kita harus mengeluarkan adenoma ataupun
menurunkan konsentrasi prolaktin dengan memberikan suatu inhibitor spesifik.
Karena tidak semua kasus hiperprolaktinemia mengembangkan gejala-gejala yang tipikal, pemeriksaan konsentrasi serum masuk dalam tata cara penegakan diagnosis rutin pada infertilitas faktor wanita.
Sampel darah paling baik diambil saat kondisi basal di jam-jam pagi hari. Karena ini
biasanya tidak dapat diambil pada rutinitas klinis, maka kita harus mempertimbangkan
ritme sirkadian dan situasi subjektif saat sampel darah diambil ketika mengevaluasi
level serum yang diperoleh. Jika didiagnosis hiperprolaktinemia, maka levelnya perlu
diperiksa pada sampel kedua. Level serum prolaktin menunjukkan fluktuasi besar yang
dapat disebabkan oleh variasi stimuli fisiologis seperti nutrisi dan perilaku tidur, stres
dan aktivitas fisik. Asupan obat-obat pengstimulasi prolaktin harus juga
dipertimbangkan.
Sebelum memulai terapi hiperprolaktinemia ringan hingga medium (lebih
rendah dari 15 ng/ml) dengan suatu obat penghambat prolaktin level TSH (kurang dari 3
µU/l) harus didapatkan dari sampel darah yang sama dalam upaya menyingkirkan
disfungsi tiroid. Dalam kasus ini, terapi tiroid mungkin berhubungan. Jika konsentrasi
prolaktin melebihi 50 ng/ml tanpa stimuli fisiologis yang diketahui, maka kita harus
melakukan MRI scan pada area hipotalamo pituitari.
Probabilitas adenoma pituitari adalah sekitar 1:5 ketika konsentrasi serum
prolaktin adalah di atas 50 ng/ml. Probabilitas meningkat hingga 1:2 jika konsentrasi
serum melebihi 100 ng/ml. Pada kasus-kasus dengan konsentrasi prolaktin yang lebih
tinggi, maka hampir semua pasien memiliki mikroadenoma. Ketika level meningkat di
atas 1.000 ng/ml maka makroprolaktinoma adalah sangat mungkin.
Adenoma pituitari. Adenoma-adenoma pengsekresi prolaktin adalah tumor yang
paling sering pada kelenjar pituitari. Sekitar 50% dari semua adenoma pituitari yang
ditemukan pada otopsi pria dan wanita masuk dalam kelompok ini. Sembilan sampai
72% dari manusia yang diotopsi memiliki prolaktinoma, dengan insidensi tertinggi
terjadi pada dekade ke-6 kehidupan manusia. Tidak ada perbedaan dalam insidensi
antara pasien pria dan wanita, meskipun gejala-gejala klinis terlihat lebih sering pada
pasien wanita. Hiperprolaktinemia dapat didiagnosis lima kali lebih sering pada wanita
daripada pada pria.
Ketika penyebab-penyebab lain untuk hiperprolaktinemia telah disingkirkan,
maka kecurigaan akan suatu prolaktinoma dapat dikonfirmasi oleh MRI scan.
Mikroadenoma (diameternya <10 mm) terbedakan dari makroadenoma.
MRI scan lebih baik daripada CT scan untuk identifikasi mikroadenoma, da
merupakan tes diagnostik terbaik untuk menyingkirkan suatu adenoma. Pemeriksaan
oftalmologis hanya perlu ketika adenoma lebih besar dari 10 mm dalam diameternya.
Empty-sella syndrome. Sella yang abnormal secara radiologis dapat dilihat pada
empty-sella syndrome. Pada kasus ini diafragma sellae mengalami malformasi
kongenital. Defek ini menyebabkan ekspansi rongga subaraknoid ke dalam fossa
pituitari yang berakibat pada penggeseran bilateral kelenjar pituitari yang menyebabkan
sella tampak kosong. Sindroma ini tidak jarang. Terlihat pada 5% dari semua otopsi,
85% darinya adalah wanita. Empty sella syndrome adalah biasanya sindroma yang
jinak, sedangkan secara radiologis kadangkala terjadi kekeliruan diagnosis sebagai
sebuah tumor. Pada kasus-kasus ini intervensi bedah harus dilarang. Setelah diagnosis
dibuat, pemeriksaan tahunan konsentrasi prolaktin harus dilakukan. Jika ditemukan
hiperprolaktinemia, maka terapi dengan inhibitor prolaktin dapat dimulai (untuk kajian
ulang lihat Speroff dkk. 1994).
Belum lama ini, efek inhibisi langsung dari naiknya level prolaktin terhadap
maturasi folikel telah dicurigai. Atresia folikel, anovulasi, perkembangan korpus luteum
yang tidak memadai, dan lutealisis prematur dahulu tampaknya disebabkan hanya oleh
kenaikan patologis konsentrasi prolaktin. Mekanisme-mekanisme ini telah ditetapkan
pada model tikus, tetapi belum jelas jika hal yang sama berlaku pada manusia.
Belakangan ini semakin banyak ahli percaya bahwa temuan-temuan yang
digambarkan di atas disebabkan oleh perubahan hipotalamik. Hiprprolaktinemia yang
diukur secara perifer tampaknya sekunder terhadap disregulasi saraf pusat yang
disebabkan terutama oleh suatu perubahan pada pola GnRH pulsatile. Perubahan pada
pola GnRH menunda sekresi gonadotropin normal, dan juga maturasi folikel.
Richardson dkk (1985) menunjukkan bahwa monyet-monyet rhesus dengan lesi-lesi
hipotalamik yang ditangani dengan GnRH pulsatile eksogenik konsentrasi progesteron
plasma pascaovulasi yang normal yang tidak tergantung dari level serum prolaktin.
Suatu korelasi antara level progesteron dengan prolaktin dalam satu kelompok wanita
dengan insufisiensi luteal tidak bisa ditunjukkan ketika dibandingkan dengan kelompok-
kelompok kontrol normal (untuk kajian ulang lihat Soules 1993).
Bahkan jika ini belum jelas secara keseluruhan apakah terdapat efek langsung
dari naiknya konsentrasi prolaktin serum terhadap maturasi folikel, atau jika asal-
muasalnya terletak pada perubahan sekresi gonadotropin, maka hiperprolaktinemia
secara meyakinkan adalah suatu penyebab infertilitas wanita dan makanya harus
diterapi.
Terapi bedah dan radiologis hiperprolaktinemia. Di masa lalu, sebelum agonis
dopamine tersedia untuk terapi hiperprolaktinemia, pasien-pasien dengan adenoma
pituitari dan tumor-tumor serupa lainnya dioperasi atau mendapat terapi radiasi. Data
mengenai pasien-pasien ini menunjukkan bahwa bedah saraf transpenoidal
menghasilkan siklus haid ovulatoris pada 80% dengan mikroadenoma, namun hanya
pada 40% dari mereka dengan makroadenoma. Namun, pada 30% dari pasien dengan
mikroadenoma, sebuah tumor muncul kembali. Angka kekambuhan makroadenoma
adalah sekitar 90%. Efek samping berat seperti panhipopituitarisme dan liquorfistula
terjadi dan membatasi indikasi untuk penanganan bedah saraf.
Hasil-hasil radiasi adalah inferior daripada yang pembedahan, sehingga bentuk
terapi ini hanya harus digunakan untuk penanganan pascaoperasi tumor-tumor besar
yang menunjukkan pertumbuhan baru, dan tidak berespon terhadap terapi farmakologis.
Di masa lalu, ditakutkan bahwa adenoma pituitari yang diterapi dapat
berekspansi selama kehamilan. Hal ini sangat tidak sering pada mikroadenoma (<1%)
dimana bahkan menyusui dapat dimungkinkan tanpa harus takut stimulasi adenoma
pituitari. Risiko pertumbuhan adenoma pituitari selama kehamilan meningkat, tentu
saja, dengan ukuran adenoma. Pada kasus makroadenoma dengan infiltrasi suprasella
kenaikan 15-35% dalam hal ukuran tumor sepertinya selama kehamilan, sehingga jika
diinginkan untuk memilik anak, maka direkomendasikan reduksi tumor. Pada kasus-
kasus ini harus dilakukan pemeriksaan oftalmologi selama kehamilan sekurang-
kurangnya setiap 3 bulan, dikombinasi dengan pengukuran prolaktin serum. Ketika
prolaktinoma meningkat selama perjalanan kehamilan maka harus dipertimbangkan
bromokriptin.
Karena bedah saraf saat kehamilan adalah, seperti waktu lampau, hanya
dilakukan ketika terjadi gejala-gejala akut, rekomendasi lenient yang baru ini
tampaknya konsisten. Namun, monitoring tradisionil dapat menjadi sesuatu yang
meyakinkan bagi pasien maupun dokternya.
Terapi farmakologis. Perkembangan inhibitor-inhibitor prolaktin sintetik
merepresentasikan suatu langkah penting dalam terapi hiperprolaktinemia.
Diperkenalkannya bromokriptine pada tahun 1970an memungkinkan terapi langsung
amenorea hiperprolaktinemik dan infertilitas untuk pertama kalinya.
Bromokriptine adalah sebuah lysergic acid derivative dengan aktivitas agonistik
dopamine, yang menghambat sekresi prolaktin dengan cara pengikatan pada reseptor
dopamine. Ketika kehamilan diinginkan maka ini adalah obat pilihan. Tergantung pada
konsentrasi prolaktin, dosis 0,625 - 2,5 mg di malam hari mungkin cukup untuk
menormalkan level prolaktin. Pada pasien-pasien dengan adenoma pituitari, mungkin
dibutuhkan 10 mg atau lebih sehari.
Meskipun bentuk terapi ini sangat efektif, reaksi-reaksi yang tidak diinginkan dapat
menyebabkan kurangnya kepatuhan. Sakit kepala dan mual sering terjadi selama
permulaan terapi. Pusing disebabkan oleh hipotensi ortostatik, karena transmitter neural
noradrenergik diganggu. Efek-efek ini dapat diminimalkan dengan cara perlahan-lahan
menaikkan dosisnya. Terapi harus selalu mulai dengan 0,625 mg yag diminum malam
hari. Dosis dapat dinaikkan tiap 3 hari 1,25 mg di pagi hari hingga dosis akhir dicapai.
Aplikasi vaginal tablet bromokriptin yang uncoated dapat secara nyata menurunkan
efek samping obat ini (Ginsburg dkk. 1992). Karena bentuk aplikasi ini menghasilkan
laju resorpsi yang lebih tinggi dan mengeliminasi first pass effect of the liver, maka
dosis harian yang lebih rendah dapat mencapai efek-efek yang sama. Hal ini sering
dipakai di klinis.
Data penelitian menunjukkan bahwa sekitar 80% pasien dengan amenorea
hiperprolaktinemia secara reguler mengalami haid sebagai hasil dari terapi dengan
bromokriptin.
Pada 50-75% pasien dengan adenoma pituitari, terapi dengan agonis-agonis
dopamine memiliki pengaruh yang bermakna pada ukuran tumor. Neoplasia-neoplasia
tidak lagi terdeteksi pada 25-30% kasus-kasus ini yang mendapatkan terapi jangka
panjang. Dalam pandangan aspek ini, terapi farmakologis terhadap adenoma pituitari
harus menjadi metode pilihan. Bedah saraf transphenoidal hanya harus dipertimbangkan
jika terapi bromokriptine tidak mereduksi ukuran tumor. Hal ini juga relevan pada
kasus-kasus dimana level prolaktin kembali ke normal. Pada kasus ini, bukti mengarah
pada tumor non-fungsional yang menyebabkan hiperprolaktinemia yang semata-mata
dengan cara mengganggu suplai dopamine dalam stalk pituitari.
Jika terjadi kehamilan, terapi bromokriptin biasanya dihentikan. Tiga studi berskala
besar telah menunjukkan bahwa bahkan dengan penerusan terapi, tidak ada
konsekuensi negatif bagi fetus yang perlu ditakutkan (Holmgren dkk. 1986).
Sejumlah inhibitor-inhibitor prolaktin baru sekarang ini tersedia. Lisuride memiliki
aktivitas yang lebih tinggi, waktu paruh yang lebih panjang dan lebih baik
ditoleransi oleh beberapa pasien, sehingga pasien-pasien yang tidak mampu
meneruskan terapi bromokriptine dapat berpindah ke Lisuride.
Metagoline adalah suatu zat antiserotinergik yang bekerja melalui suatu
mekanisme non-dopaminergik dan dapat dicoba sebagai produk alternatif (Bohnet
dkk. 1986)
Zat baru adalah Cabergoline, suatu inhibitor prolaktin, yang hanya perlu diminum
satu sampai dua kali per minggu, dan yang tampaknya ditoleransi lebih baik
daripada bromokriptine pada ujicoba klinis awal.
Hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh disfungsi tiroid harus ditangani melalui
terapi yang adekuat pada kelenjar tiroid.
Penyakit Polycystic Ovarian
Entitas-entitas berbeda yang terkombinasi di bawah istilah polycystic ovarian disease
adalah, berikut dari hiperprolaktinemia, penyebab yang paling penting dari infertilitas
anovulasi. Sebuah kajian ulang yang baik tentang penyakit kompleks ini baru-baru ini
terbit (Norman dkk. 2007). Gambaran klinis bervariasi dari pasien yang normal secara
fisiologis dengan siklus haid yang anovulasi hingga pasien oligoamenorik, adipose,
hirsutis yang pertama kali digambarkan oleh Stein dan Leventhal.
Tergantung pada sudut pandang penelitinya, tiga elemen kunci diagnostik yang
berbeda ditekankan: hiperandrogenemia, anovulasi kronik dan polycystic ovaries yang
diverifikasi dengan ultrasono. Asalnya perubahan tipikal dari ovarium, namun tidak
mutlak, membawa pada deskripsi penyakit ini. Saat ini dua sistem diagnostik
mendefinisikan PCOS: Definisi tahun 1990 dari National Institutes of Health (NIH)
memerlukan anovulasi kronik ditambah dengan gejala-gejala klinis atau laboratorium
hiperandrogenemia. Sebaliknya, kriteria yang disetujui pada tahun 2003 di Rotterdam
mengspesifikasi dua atau lebih gejala: anovulasi kronik, tanda-tanda klinis atau
biokimiawi hiperandrogenemia dan/atau polycystic ovaries (Rotterdam ESHRE/ASRM
Sponsored PCOS Consensus Workshop Group 2004).
Di masa lalu perubahan ovarium tipikal ini diasumsikan menyebabkan PCOS;
mekanisme patofisiologi yang mendasarinya disalahmengerti. Pada kenyataannya,
situasi anatomis diakibatkan oleh disregulasi hormonal perpetuated and aggravated in
suatu lingkaran setan. Perubahan-perubahan ini dapat disebabkan oleh disfungsi
hipotalamus, hipofisis, ovarium dan/atau adrenal yang semuanya sering dikombinasi
dengan oligo- atau amenorea, hirsutisme dan infertilitas. Polycystic ovaries yang
karakteristik terlihat ketika tidak ada ovulasi yang terjadi selama periode waktu yang
panjang. “Polycystic ovarian disease” bukanlah sebuah diagnosis, namun suatu bentuk
prototipe dari anovulasi hiperandronemik kronik.
Studi-studi terakhir menunjukkan bahwa gangguan-gangguan yang sedikit
diketahui tentang sekresi androgen dan regulasi yang disfungsional tentang
biosintesis steroid adalah kekeliruan, yang menurut analisis oleh Androgen Excess
Society, terutama disebabkan oleh biosintesis androgen yang berlebihan, asupan
androgen yang meningkat atau metabolisme androgen yang meningkat (Azziz dkk.
2006).
Morfologi ovarium yang tipikal dengan beragam folikel-folikel subkapsular yang kecil
adalah sering, namun tidak adekuat untuk diagnosis. Banyak wanita dengan tidak ada
disfungsi hormonal memiliki lebih dari delapan kista folikuler subkapsular yang
berukuran kurang dari 10 mm. Studi-studi epidemiologis menunjukkan bahwa sekitar
25% dari seluruh wanita pramenopause menunjukkan tanda-tanda tipikal untuk penyakit
ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasono. Bahkan para wanita yang memakai obat
kontrasepsi oral dapat menunjukka gambaran ultrasono yang tipikal pada 14% dari
semua kasus (Clayton dkk. 1992). Prevalensi gangguan yang terkait dengan anovulasi
adalah hanya 5% dan 10%.
Tiga karakteristik esensial dibutuhkan untuk tiba pada suatu diagnosis yang
tepat.
Hiperandrogenemia. Hiperandrogenemia adalah karakteristik predominan dari
sindroma PCO dan terjadi pada kebanyakan kasus. Naiknya androgen dapat didiagnosis
melalui tanda-tanda klinis, parameter-parameter biokimia atau suatu kombinasi dari hal-
hal ini. Hirsutisme ditemukan pada lebih dari 60% dari semua wanita dengan PCOS.
Perbedaan-perbedaan oleh karena etnisitas harus dipertimbangkan.
Parameter-parameter laboratorium biasanya didapatkan dari testosteron serum
total dan level-level SHBG, dalam upaya mengobjektifikasi suatu kenaikan fraksi
androgen. Sekitar 20-40% dari seluruh pasien PCOS menunjukkan tidak adanya tanda
jelas akan hiperandrogenemia (Chang dkk. 2005). Banyak tes (assay) testosteron di lab
rutin tidak mampu berurusan dengan nilai-nilai yang relatif rendah bagi wanita dan
tidak dapat membedakan antara pasien dengan nilai-nilai yang jelas normal dan mereka
yang dengan gejala-gejala hiperandrogenemik.
Anovulasi kronik. Suatu diagnosis anovulasi adalah kurang arbitrary daripada bukti
akan hiperandrogenemia. Ketika siklus melebihi 35 hari atau haid gagal terjadi selama
lebih dari 3 bulan, maka terdapat oligoamenorea atau amenorea. Namun siklus-siklus
reguler tidak menyingkirkan anovulasi sehingga penentuan progesteron pada paruh
kedua dari siklus adalah wajib untuk diagnosis. Jika terjadi anovulasi kronik, maka
prolaktin, LH atau FSH harus diukur sebagai tambahan.
Polycystic ovaries dikonfirmasi dengan ultrasono. Pada tahun-tahun belakangan
kemajuan teknologi, khususnya dalam resolusi teknologi pencitraan, telah sangat
memperbaiki kemampuan untuk diukurnya perubahan-perubahan ovarium. Standar-
standar sebelumnya yang berdasarkan pada pengukuran abdominal diadaptasi ke situasi
ginekologis. Saat ini lebih dari 12 folikel antara 2 dan 9 mm diameter selama fase
folikuler atau ukuran ovarium yang melebihi 10 ml adalah tanda-tanda suatu polycystic
ovary. Mengukur AMH (Anti-Muller Hormone) dapat memberikan petanda yang
potensial, karena konsentrasinya erat terkait dengan jumlah folikel-folikel antral (Pigny
dkk. 2006).
Meningkatnya produksi androgen berperan penting dalam patogenesis PCOS.
Biosintesis steroid. Dalam ovarium dan dalam korteks adrenal wanita mengikuti
mekanisme yang sama sebagaimana yang dijelaskan untuk laki-laki di Bab 2.
Androstenedione ovarium adalah dasar baik untuk testosteron maupun estrogen. Tidak
seperti pada laki-laki, LH dan ACTH tidak mengontrol produksi androgen melalui
mekanisme umpan balik inhibisi yang spesifik, karena androgen adalah hanya produk
sementara (byproducts) dari sintesis estrogen dan kortison. Agaknya kontrol
intraovarium terhadap produksi androgen memiliki peranan yang kritis. Dalam ovarium
androgen-androgen merepresentasikan suatu “necessary evil” (Rosenfield 1999). Di
satu pihak, mereka perlu untuk produksi estrogen dan mengakselerasi pertumbuhan
folikel-folikel kecil; di lain pihak, ketika sangat berlebihan mereka mencegah seleksi
folikel yang memimpin dan menyebabkan atresia. Pola-pola sekresi steroidal dari
pasien-pasien PCOS menunjukkan suatu disregulasi generalisata produksi androgen,
khususnya yang mempengaruhi level dari aktivitas 17-hydroxylase, dan 17,20 lyase.
Regulasi ini dapat memanifestasikan dirinya sendiri semata-mata sebagai
hiperandrogenemia ovarium, namun dapat juga menuju pada hiperandrogenemia
fungsional dari korteks adrenal. Kombinasi dari dua hal ini bukanlah jarang terjadi.
Dengan demikian PCOS dapat berasal dari produksi androgen patologis dari korteks
adrenal.
Tidak adanya pola ritmik yang benar sekresi gonadotropin dan steroid seksual
menyebabkan anovulasi yang persisten. Sehingga, level serum testosteron,
androstenedione, dyhydroepiandrosterone sulphate, ...7 Hydroxyprogesterone, dan
estrone meningkat. Kenaikan produksi estrogen-estrogen tidak terkait dengan sekresi
ovarium langsung. Produksi harian estradiol pada para wanita dengan penyakit ovarium
polikistik adalah sama dengan pada wanita-wanita normal dalam fase folikuler awal.
Naiknya konsentrasi estrogen serum agaknya berhubungan dengan aromatisasi perifer
androstenedione menjadi estrone di jaringan adiposa.
Tipikalnya, rasio LH terhadap FSH adalah lebih besar dari 3 pada penyakit
ovarium polikistik. Namun, 20 sampai 40% dari semua pasien dengan polycystic
ovaries tidak memiliki perubahan tipikal ini dalam rasio LH terhadap FSH. Analisis
pola denyut LH pada pasien-pasien PCO menunjukkan frekuensi yang identik dengan
para kontrol yang normal. Namun, amplitudo denyut individual, meningkat (12,2 + ..? 7
mU/ml) ketika dibandingkan dengan para kontrol normal pada fase awal atau
pertengahan folikuler (6,2 + 0,8 mU/ml) (Kazer dkk. 1987). Ini tampaknya merupakan
akibat dari suatu perubahan dalam frekuensi denyut GnRH.
Kenaikan dalam amplitudo denyut GnRH dengan frekuensi denyut yang konstan
mengurangi konsentrasi FSH perifer pada adanya pola-pola LH yang normal. Hal ini
menyebabkan pembalikan yang tipikal pada rasio LH terhadap FSH. Sehingga data
penelitian menunjukkan bahwa perubahan dalam sekresi gonadotropin yang sering
terkait dengan penyakit polikistik ovarium (polycystic ovarian disease) adalah karena
malfungsi dalam modulasi frekuensi dan amplitudo produksi GnRH. Namun, gangguan
primer sekresi LH tidak tampak sebagai asal muasal PCOS.
Opiat-opiat endogen mempengaruhi sekresi GnRH hipotalamik. Telah
diperlihatkan bahwa metabolisme endorphin dapat dimodulasi pada penyakit ovarium
polikistik ketika dibandingkan dengan para kontrol. β-endorphin dan adrenocorticotrope
hormone (ACTH) berasal dari prekursor yang sama yang disebut proopiomelanocortin
(POMC). Diketahui bahwa level β-endorphin meningkat pada situasi-situasi dimana
produksi ACTH meningkat. Konsentrasi ACTH dan kortisol adalah normal pada pasien-
pasien PCO namun ini tidak menyingkirkan laju metabolisme yang lebih tinggi
substansi-substansi ini. Karena level β-endorphin meningkat pada situasi-situasi stres,
dan pasien-pasien dengan PCO menunjukkan angka yang lebih tinggi akan reaksi stres
psikologis, adalah mungkin bahwa ini merupakan satu faktor sentral dalam gangguan
mekanisme pengaturan normal.
Pengaruh hiperprolaktinemia pada regulasi hormon sentral dibahas sebelumnya,
dan menjelaskan hubungan yang tinggi dari hiperprolaktinemia dengan penyakit
ovarium polikistik.
Konsentrasi testosteron yang meningkat mengurangi sex hormone binding
globulin (SHBG) bebas yang dapat diukur sehingga para wanita yang anovulatoris
dengan ovarium polikistik biasanya memiliki level SHBG yang berkurang 50% oleh
karena hiperandrogenemia sekunder. Berkurangnya konsentrasi SHBG menaikkan
konsentrasi estrogen bebas, yang sekali lagi berkorelasi positif dengan kenaikan rasio
LH terhadap FSH. Naiknya konsentrasi estradiol bebas, dan metabolisme perifer
androstenedione menjadi estrogen mengurangi level FSH. Namun, suatu aktivitas
residual dari FSH tetap ada sehingga stimulasi yang berlanjut pada ovarium dengan
terjadinya produksi folikel yang ensuing. Aksis hipotalamus pituitari sepenuhnya intak,
dan bahkan merupakan dasar bagi perkembangan lanjut penyakit ovarium polikistik.
Namun demikian, maturasi folikel pada PCOS tidak berakhir pada ovulasi.
Maturasi folikel-folikel yang lebih kecil meluas selama beberapa bulan sehingga
tipikalnya 2-6 mm kista-kista folikel besar dihasilkan, yang pada gilirannya
memberikan nama pada penyakit ini. Karena folikel-folikel terbungkus dalam suatu
lapisan theca yang hiperplastik, stroma folikuler membesar dan secara konstan
menghasilkan steroid-steroid di bawah stimulasi gonadotropin yang berlanjut. Hal ini
menutup lingkaran setan sehingga penyakit ini diabadikan. Setelah folikel-folikel mati
dan lapisan sel-sel granulosa terdisintegrasi, maka bagian theca menetap sehingga
produksi androstenedione dan testosterone meningkat, sesuai dengan teori dua-sel yang
dijelaskan di atas. Meningkatnya level testosterone selanjutnya mengurangi SHBG
dengan konsekuensi kenaikan estrogen-estrogen bebas. Secara bersamaan fraksi
testosterone bebas meningkat, dengan efek pada jaringan yang tergantung androgen.
Resistensi insulin. Sekitar 40% pasien dengan penyakit ovarium polikistik
menunjukkan meningkat resistensi insulin. Meskipun obesitas dan usia meningkatkan
probabilitas resistensi insulin, bahkan wanita non-obese dan wanita muda dengan PCOS
mungkin menunjukkan intoleransi glukosa. Pemberian infus glukosa menyebabkan
sekresi insulin yang berlebihan. Diperkirakan bahwa sekitar 10% dari semua kasus
intoleransi glukosa disebabkan oleh resistensi-insulin yang diinduksi-PCOS. Lima belas
persen dari semua kasus diabetes tipe II menunjukkan PCOS dalam riwayatnya.
Meskipun androgen-androgen dapat menginduksi sedikit resistensi insulin,
namun konsentrasi-konsentrasi yang ditemukan pada PCOS tidak mencukupi untuk
menjelaskan gangguan-gangguan metabolisme insulin. Jika produksi androgen
dihambat, maka sensitivitas insulin tidak mampu menormalkan. Sebaliknya, resistensi
insulin meningkat hanya dapat diabaikan ketika androgen diberikan, seperti pada
transeksual wanita-ke-pria. Tidak tergantung dari mekanisme meningkatnya level
insulin sirkulasi, pengikatan insulin pada reseptor IGF-I dalam sel-sel theca terjadi. Ini
meningkatkan produksi androgen thecal melalui stimulasi LH. Naiknya level insulin
sirkulasi meningkatkan produksi androgen pada resistensi insulin. Secara simultan,
level-level insulin yang meningkat menghambat produksi SHBG hepatik dan produksi
IGF binding protein-I. Meskipun terdapat indikasi bahwa hiperandrogenemia dapat
menyebabkan hiperinsulinemia, kebanyakan data percobaan menunjukkan bahwa
gangguan metabolisme insulin mendahului metabolisme androgen yang ireguler (Dunaif
1999).
Obesitas. Karena naiknya berat badan dan jaringan lemak abdomen menyebabkan
hiperinsulinemia dan berkurangnya toleransi glukosa, kita dapat mendeduksi bahwa
obesitas adalah faktor utama pada penyakit ovarium polikistik. Distribusi tipikal dari
distribusi jaringan lemak wanita di area pinggul tidak berperan besar. Sebuah metode
objektif untuk menentukan distribusi jaringan lemak adalah pengukuran rasio lingkar
pinggang-ke-pinggul. Jika rasio lebih besar daripada 0,85, maka mungkin terjadi
distribusi jaringan lemak yang android, dan harus diduga hiperinsulinisme. Jika rasio di
bawah 0,75 mungkin adalah distribusi gynoid, yang jarang bersama dengan perubahan-
perubahan dalam metabolisme insulin.
Penyebab dan Faktor Risiko
Asal mula PCOS masih kurang jelas. Diduga suatu kombinasi kondisi lingkungan dan
faktor-faktor genetik. Menurut pemahaman baru, faktor-faktor yang mencetuskan
tampaknya berada kurang di dalam ovarium daripada di level hipotalamus-hipofisis da
pada efek-efek insulin yang terganggu. Pewarisan familial telah diketahui bertahun-
tahun dan belum lama ini dikonfirmasi dengan studi kembar pada 79% pasien yang
diwawancarai (Vink dkk. 2006). Suatu asosiasi genetika dengan petanda mikrosatelit
(D19S884) pada kromosom 19p13.2 adalah kontroversial.
Faktor-faktor lingkungan dalam artian “pengganggu endokrin” adalah sulit
untuk dibuktikan pada manusia. Pada eksperimen-eksperimen hewan meningkatnya
paparan terhadap androgen selama kehamilan mengakibatkan gambaran yang mirip
PCOS pada keturunan dari para wanita tersebut (Abbott dkk. 2005).
Diagnosis. Pemeriksaan endokrinologis berperan utama dalam menyingkirkan
kemungkinan suatu PCOS dan wajib bahkan jika pasien menunjukkan tidak ada
stigmata fisiologis namun anovulatoris. Gambaran ultrasono yang tipikal tidak memadai
untuk diagnosis, sebagaimana yang diyakini dahulu (lihat Gbr.20.9). menentukan level
testosterone, androstenedione, DHEAS, estradiol, LH, FSH, dan prolaktin pada paruh
pertama dari siklus haid mungkin membantu dalam menentukan bentuk penanganan
individual. Level kortisol dan 17-OH-progesterone melengkapi langkah-langkah
diagnostik dasar ketika diduga adanya keterlibatan adrenal.
Terapi. Karena penyakit ovarium polikistik biasanya mencakup kenaikan level
androgen, kenaikan kronis level estrogen, dan rasio LH terhadap FSH yang terbalik,
maka terapi harus mengintervensi lingkaran setan ini sebagai upaya untuk
memungkinkan terjadinya ovulasi. Metode-metode terapi adalah sebagai berikut:
1. Anti-estrogen (mis., clomiphen, tamoxifen, aromatase inhibitors)
2. Glukokortikoid (Dexamethasone 0,25-05 )
3. Terapi GnRH pulsatile melalui suatu pompa siklik
4. Stimulasi HMG/FSH
5. Reduksi dengan pembedahan akan stroma ovarium
6. Medikasi anti-diabetik oral.
Bentuk-bentuk terapi 1-3 masih memungkinkan umpan balik dan mekanisme regulasi
maturasi folikel untuk terjadi. Sebaliknya terapi dengan hMG atau hCG/FSH secara
langsung bekerja pada level ovarium sehingga membawa risiko yang lebih tinggi akan
hiperstimulasi. Namun bahkan terapi clomiphen dikaitkan dengan angka 5% kehamilan
ganda. Reduksi bedah pada stroma ovarium penghasil androgen hanya dicoba bila
bentuk-bentuk terapi lain gagal.
Data penelitian menunjukkan bahwa 63-95% wanita yang infertil dengan
penyakit ovarium polikistik berovulasi setelah terapi clomiphen. Clomiphen adalah anti-
estrogen yang lemah dan menyebabkan kenaikan level gonadotropin. Senyawa ini
efektif secara oral dan mudah diresorbsi. Medikasi terdiri atas enclomiphene dan
zuclomiphene, dimana obat yang kedua ini menyebabkan akumulasi yang kuat setelah
siklus-siklus terapi yang berturut-turut (Young dkk. 1999). Terapi biasanya mulai
dengan 50 mg per hari selama 5 hari, mulai antara mulai antara hari ke-3 dan ke-7 siklus
haid. Dua puluh tujuh sampai 50% wanita berovulasi dengan dosis rendah ini. Pada
beberapa kasus, peningkatan hingga 150 mg per hari harus dipertimbangkan, dimana
26-29% berovulasi. Jika dosis ini tidak menghasilkan ovulasi, kita dapat menambahkan
dexamethasone (0,25-0,5 mg per hari), tergantung pada konsentrasi serum DHEA-
sulphate. Jika maturasi folikel terlihat pada ultrasono dan ditunjukkan dengan
konsentrasi hormone serum dan tidak terjadi ovulasi, maka ovulasi dapat diinduksi
dengan 5.000-10.000 IU hCG i.m. Jika kita mempertimbangkan bahwa normalnya
hanya 50% dari semua pasangan mencapai kehamilan dalam 3 bulan, dan bahwa 80%
membutuhkan waktu 1 tahun untuk terjadinya konsepsi, maka terapi harus dilanjutkan
untukn sekuang-kurangnya 6 bulan atau siklus jika ultrasono dan level-level hormon
menunjukkan fase luteal yang adekuat. Terapi ini memungkinkan angka keberhasilan
hingga 90% untuk terapi clomiphen, jika kofaktor lain untuk infertilitas telah
disingkirkan.
Tamoxifen bekerja serupa dengan clomiphen (Steiner dkk. 2005). Substansi ini
yang digunakan sebagai anti-estrogen sebagai terapi adjuvan untuk kanker payudara,
belum diberi lisensi untuk infertilitas namun jelas kurang mahal (biaya terapi per siklus
ca. 1 dan dipilih daripada clomiphen untuk pertimbangan farmakologis.
Inhibitor-inhibitor aromatase mis., letrozol telah dicoba untuk terapi stimulasi
karena cara kerja mereka yang mirip (Badawi dkk. 2008). Meskipun mahal namun tidak
ada kelebihan efek terapinya. Namun, efek embriotoksik yang telah dibahas, dapat
disingkirkan pada studi komparatif dengan clomiphen (Tulandi dkk. 2006).
hMG dan FSH. Jika terapi dengan clomiphen tidak menghasilkan ovulasi atau
konsepsi, langkah berikut adalah terapi dengan gonadotropin. pasien-pasien dengan
hiperandrogenemia memiliki angka keberhasilan yang lebih jelek daripada mereka yang
dengan amenorea hipotalamik murni. Karena pasien dengan penyakit ovarium polikistik
adalah sangat sensiti terhadap stimulasi hMG, terapi ini membentuk keberadaan pada
garis batas yang halus antara induksi ovulasi dengan hiperstimulasi dengan risiko
kehamilan ganda. Setelah ditemukannya FSH yang dimurnikan dahulu diharapkan
bahwa rasio LH/FSH dapat dikoreksi dalam upaya mencapai bentuk terapi yang lebih
baik. Namun, hasil-hasil klinis hingga saat ini tidak jelas menunjukkan hasil yang lebih
baik dalam terapi dengan FSH yang dimurnikan (Bairdt dan Howless 1994). Satu
keuntungan dari produk-produk FSH yang baru adalah injeksi subkutan yang mungkin.
Studi-studi yang tidak memiliki kontrol menunjukkan angka konsepsi yang lebih tinggi
dan angka hiperstimulasi yang lebih rendah.
GnRH Down-Regulation. Terapi dengan stimulasi hMG dan hCG murni sering
menghasilkan puncak LH yang prematur dengan luteinisasi folikel. Beberapa ahli
percaya bahwa puncak LH yang prematur ini adalah penyebab utama keguguran di
kemudian hari, yang sering ditemukan pada penyakit ovarium polikistik. Namun, data
klinis tidak jelas sehingga down-regulation tidak harus direkomendasikan pada terapi
penyakit ovarium polikistik dengan hMG dan hCG.
Terapi GnRH pulsatile. Studi-studi berskala besar pada tahun 1980an menunjukkan
bahwa bentuk terapi ini menghasilkan angka kehamilan yang relatif tinggi tanpa risiko
tinggi hiperstimulasi. Pada pasien-pasien yang resisten terhadap clomiphen citrate,
terapi dengan GnRH pulsatil menghasilkan angka konsepsi 26% per siklus. Angka
konsepsi bisa dinaikkan hingga 38% dengan down-regulation yang simultan dan disertai
dengan terapi GnRH pulsatil. Namun, angka keguguran 38% juga meningkat (untuk
kajian ulang lihat Filicori 1994).
Reseksi baji ovarium (ovarian wedge resection). Jika bentuk-bentuk terapi yang telah
disebut di atas tidak menghasilkan kehamilan, maka dapat dipertimbangkan reseksi baji
ovarium untuk mengurangi produksi androgen dalam stroma ovarium. Hingga 90%
pasien demikian menunjukkan siklus ovulasi normal setelah pembedahan. Namun,
sekitar sepertiga dari para wanita yang berhasil dioperasi mengalami oligoamenorea
dalam tahun berikutnya (Buttram dan Vaquero 1975). Angka konsepsi berkurang
hingga 1,8% per siklus, yang mungkin disebabkan oleh adhesi-adhesi adnexial setelah
operasi tersebut (Adashi dkk. 1981). Teknik bedah mikro dan endoskopik tampaknya
menghindari pembentukan adhesi dengan cara mengganti reseksi baji dengan
termokauterisasi, laser vaporisation dan elektrokoagulasi. Terapi-terapi ini sangat
efektif dan agaknya bertahan lama. Satu keuntungan adalah bahwa tidak ada angka
kehamilan ganda (Farquhar dkk. 2007).
Medikasi anti-diabetik oral. Studi-studi dilakukan dengan metformin dan troglitazone
untuk mengurangi resistensi insulin. Level androgen benar-benar membaik dan siklus-
siklus ovulatoris dicapai. Studi-studi sistematis telah dilakukan khususnya dengan
metformin. Di Jerman medikasi ini tidak diberi lisensi untuk induksi ovulasi pada
PCOS. Namun ini tidak mahal dan tampaknya tidak terkait dengan efek-efek toksik
fetus sehingga “off label use” tidak masalah. Angka ovulasi 46% dicapai dibandingkan
dengan plasebo (24%). Hal ini berkorespondensi dengan keefektifan clomiphen (Lord
dkk. 2003). Terapi komparatif 6 bulan langsung dengan mono-substansi Clomiphen vs.
Metformin menemukan angka kehamilan yang lebih baik secara signifikan (22,5 vs.
7,2% n=208, p< 0,001) pada kelompok clomiphen (Legro dkk. 2007). Kombinasi kedua
substansi tidak meningkatkan angka kehamilan (Moll dkk. 2006; Legro dkk. 2007).
Penurunan berat badan dan maturasi folikel. Tidak tergantung dari modalitas terapi
yang disebutkan di atas, terapi pasien-pasien obese harus berdasarkan pada penurunan
berat badan. Bahkan penurunan berat badan yang relatif kecil 2-5% dapat mencapai
perbaikan nyata dari hiperandrogenemia, resistensi insulin dan fertilitas (Moran
dkk.2006) dan superior dari medikasi antidiabetik oral.
Sedangkan kenaikan berat badan pada banyak pasien dengan penyakit ovarium
polikistik mempropagasi atau bahkan menginduksi disregulasi hormonal, pasien-pasien
yang kurang berat badan juga memiliki faktor risiko utama untuk gangguan maturasi
folikel dan amenorea. Proporsi besar pasien-pasien dengan amenorea hipotalamik
masuk dalam kelompok ini. Entitas klinis ini dikarakterisir oleh sekresi GnRH pulsatil
yang tidak adekuat. Diagnosisnya juga melalui eksklusi, dimana gangguan-gangguan
pituitari lain harus disingkirkan. Selain bukti berat badan yang kurang. Situasi stres
tertentu seperti amenorea pengungsi dapat menginduksi disregulasi hipotalamik. Pasien
demikian menunjukkan level gonadotropin yang sangat rendah atau tak dapat diukur.
Level-level prolaktin berada dalam batasan normal, dan pandangan kerucut pada sella
menunjukkan tidak adanya perubahan patologis. Tes tantangan progesteron dengan
dosis transformasi (seperti MPA gyn 5 mg 2xsehari selama 10 hari) tidak
mengakibatkan perdarahan, sehingga menunjukkan tidak adanya stimulus estrogen pada
endometrium.
Bentuk yang paling ekstrim dari amenorea berat badan rendah adalah anorexia
nervosa. Bentuk murni anoreksia sangat jarang ditemukan di klinik infertilitas. Namun
bentuk-bentuk minor dapat dilihat lebih sering pada pasien-pasien infertilitas.
Berbeda dengan anorexia nervosa, yang dapat memiliki disregulasi saraf pusat,
kehilangan berat badan sederhana mungkin suatu penyebab gangguan maturasi
folikel, dan mungkin mudah diabaikan. Namun, ketidakseimbangan elektrolit adalah
dapat dibandingkan dengan anoreksia. Studi-studi hormon menunjukkan konsentrasi LH
dan FSH yang rendah, naiknya level kortisol, prolaktin normal, level-level TSH dan L-
Thyroxine dengan fT3 normal rendah dan naiknya level-level T3 reverse. Kehilangan
berat badan yang ekstrim menyebabkan hilangnya sekresi LH episodik yang terkait
tidur, yang menunjukkan suatu pola yang biasanya ditemukan pada pubertas awal.
Pertambahan berat badan di dalam 15% dari berat badan ideal dapat menghasilkan
perbaikan gejala.
Selain berat badan rendah, aktivitas fisik dapat menyebabkan disregulasi siklik.
Banyak studi telah menunjukkan disregulasi haid pada para atlit, khususnya pada para
atlit lari jarak jauh dan penari ballet. Persentase amenorea adalah proporsional dengan
lari jarak jauh mingguan, dan terbalik proporsional dengan berat badan. Penurunan berat
badan berakibat pada insidensi yang lebih tinggi siklus-siklus anovulasi dan penuruan
kualitas fase luteal. Mekanisme teoretik untuk gangguan sekresi GnRH adalah suatu
perubahan dalam metabolisme estrogen, dimana estradiol dikonversi menjadi estrogen-
estrogen catechol yang tampaknya memiliki kandungan anti-estrogenik.
Meningkatnya aktivitas fisik seperti berlari sering mengakibatkan “Runner’s
high”, yang dianggap sebagai akibat dari peningkatan opiat-opiat endogen. Opiat-opiat
endogen ini dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi corticotropin releasing hormone
yang pada gilirannya mengurangi produksi gonadotropin. Produksi GnRH hipotalamik
tampaknya disupresi. Pada 49 dari 66 pasien dengan disregulasi hipotalamik maturasi
folikel, terapi dengan naltrexon 25-125 mg sehari menghasilkan siklus haid yang
normal. Angka kehamilan hampir sama dengan yang kontrol-kontrol normal (Wildt dkk.
1993). Alternatifnya, terapi GnRH pulsatil atau stimulasi hMG dan hCG dapat
dipertimbangkan, namun di sini sekali lagi terdapat risiko kehamilan ganda. Walau
demikian, pertama-tama berat badan harus dinormalkan.
Kegagalan Ovarium Primer
Pada pasien-pasien dengan amenorea sekunder, kegagalan ovarium primer harus
disingkirkan. Hal ini harus dilakukan selama pemeriksaan awal dimana level FSH dan
estradiol diukur. Jika seorang pasien dengan riwayat oligoamenorea memiliki level FSH
yang meningkat dan konsentrasi estradiol yang berkurang, maka dapat dibuat diagnosis
kegagalan ovarium primer. Level FSH harus berada sekurang-kurangnya dua standard
deviations di atas mean (rerata) pada fase folikuler, dan harus dikonfirmasi dengan
sampel kedua.
Satu persen dari semua wanita mengalami menopause prekoks dengan
kegagalan ovarium yang mulai sebelum usia 35 tahun. Penyebabnya biasanya tidak
diketahui. Kadangkala asal muasal kromosomnya dapat diidentifikasi; penyebab-
penyebab lainnya meliputi penyakit-penyakit otoimun, infeksi-infeksi virus, kemoterapi
dan/atau terapi radiasi sebelumnya.
Sindroma Turner dengan hilangnya satu kromosom X adalah salah satu dari defek-
defek kromosom manusia yang paling sering, dan terlihat pada satu dari 2.500 kelahiran
hidup. Tipikalnya, pasien-pasien ini menunjukkan perawakan yang pendek dan streak
gonads. Namun, disfungsi ovarium memperlihatkan variasi-variasi yang ekstrim. Studi
ultrasono pada 104 pasien Turner muda menunjukkan ovarium-ovarium yang dapat
didemonstrasikan secara visual pada sepertiga dari mereka (Massarano dkk. 1989).
Banyak dari wanita-wanita ini mengalami penghilangan yang tidak lengkap dari
kromosom X. Hal ini menjelaskan laporan-laporan kasus kehamilan dan kelahiran hidup
sebelum kegagalan ovarium prematur mulai pada wanita-wanita dengan sindroma X0
dan kehilangan X parsial.
Beragam abnormalitas genetik lainnya terkait dengan hipogonadisme
hipergonadotropik. Namun demikian, mereka sangat jarang di klinik infertilitas normal
yang pemeriksaan diagnostik genetik rutin tampaknya tidak dijamin.
Selain penyakit-penyakit kromosom, beberapa penyakit genetik seperti
galaktosemia, dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur.
Kemoterapi dengan antimetabolit dan terapi radiasi dapat mengganggu fungsi
ovarium, dan harus dapat diidentifikasi pada riwayat pasien.
Belum jelas apakah toksin-toksin eksogen lainnya dapat berperan pada
kegagalan ovarium prematur. Analog dengan orchitis pada pria, diasumsikan bahwa
oophoritis dapat terjadi setelah gondongan. Namun, terdapat hanya sedikit laporan kasus
yang tidak memungkinkan pernyataan yang jelas mengenai isu ini.
Penyakit-penyakit otoimun. Terdapat beberapa bukti bahwa antibodi-antibodi
otoimun dapat menyebabkan kegagalan ovarium prematur. Penyakit-penyakit otoimun
yang tipikal seperti tiroiditis Hashimoto, penyakit Basedow, penyakit Addison,
hipertiroidisme, diabetes juvenil, anemia pernisiosa, alopesia areata, vitiligo dan
miasthenia gravis terkait dengan kegagalan ovarium. Para pasien sering memiliki
beberapa penyakit otoimun secara bersamaan, yang dikenal dengan “polyglandular
failure syndrome”. Asosiasi yang paling sering adalah penyakit tiroid dan penyakit
Addison.
Otoantibodi sirkulasi terhadap stroma ovarium dapat ditemukan dalam serum
pasien-pasien dengan kegagalan ovarium primer. Namun, tidak jelas apakah antibodi-
antibodi adalah primer atau sekunder sebenarnya. Hal ini juga benar untuk penyakit
otoimun seluler dimana dapat ditemukan infiltrasi limfosit pada ovarium.
Argumen keempat untuk penyebab imunologis untuk kegagalan ovarium
prematur adalah korelasi yang signifikan secara statistik antara human leucocyte
antigens (HLA) dengan beberapa penyakit otoimun (untuk kajian ulang lihat Bakimer
dkk. 1994).
Selain penyebab-penyebab yang disebut di atas untuk hipogonadisme
hipergonadotropik, terdapat kasus-kasus jarang dengan reseptor-reseptor hormon FSH
yang defektif, dan lain-lain dengan gonadotropin-gonadotropin yang tidak aktif secara
biologis. Walau demikian, hal-hal ini tidak relevan dalam rutin klinis (lihat kajian ulang
oleh Themmen 2005).
Terapi. Setelah mendiagnosis kegagalan ovarium prematur, substitusi dengan
kombinasi estrogen dan progesteron harus direkomendasikan. Pada kasus-kasus jarang,
para pasien menunjukkan remisi dan mungkin dapat mengalami konsepsi (Shangold
dkk. 1977). Namun, suatu terapi kausal adalah tidak mungkin pada pasien-pasien
infertilitas dengan hipogonadisme hipergonadotropik. Donasi oosit dan embrio dilarang
secara hukum di Jerman. Di USA angka keberhasilan antara 22% sampai 50% dicapai
dengan prosedur-prosedur ini.
BAB III
Infertilitas karena Gangguan-gangguan Migrasi Gamet
Setelah memeriksa fungsi ovulasi pada infertilitas wanita, kita harus
mempertimbangkan suatu gangguan dalam perjalanan oosit dan sperma (lihat gambar
20.13 untuk pembahasan ringkas) Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam
vagina, serviks, uterus dan tuba Fallopii, dan juga pelviperitoneum.
Vagina dan Serviks
Variasi-variasi anatomis vagina, seperti septae transversa dan longitudinal, atau bahkan
aplasia vagina, adalah nyata. Perubahan-perubahan dalam lingkungan vaginal dapat
merupakan penyebab lain untuk infertilitas. Produksi asam laktat melalui glikogenolisis
memberi vagina pH 4-4,5, sehingga merepresentasikan lingkungan yang tidak
bersahabat bagi sperma. Produksi mukus serviks fisiologis pada waktu ovulasi
menciptakan prasyarat pertama bagi perjalanan sperma ke dalam saluran genital.
Infeksi-infeksi vaginal dengan meningkatnya duh tubuh, perubahan pH, dan
transudasi leukosit adalah mengganggu bagi motilitas dan naiknya sperma. Pemeriksaan
klinis pertama pada pasien seharusnya mencakup a wet mount of a vaginal smear dalam
upaya untuk menyingkirkan adanya bakteri patogenik dan leukosit. Infeksi vagina harus
juga disingkirkan bila jika tes pascakoitus patologis telah terdiagnosis karena mukus
yang jelek meski terdapat estrogenisasi yang baik. Infeksi bakteri, virus, dan jamur, dan
juga trichomadiasis harus dipertimbangkan. Patogen-patogen yang paling sering adalah
gardnerella vaginalis, neisserria gonorhoeae, chlamydia, mycoplasma, dan ureaplasma.
Infeksi-infeksi virus mungkin terkait dengan infeksi herpes dan cytomegaly. Candida
albicans adalah infeksi jamur yang paling sering.
Semua bentuk vaginitis dapat meliputi servisitis, yang menyebabkan perubahan
dalam pH mukus serviks, dan dapat merepresentasikan suatu penyebab infertilitas.
Terapi dapat lokal atau sistemik tergantung pada patogen yang terisolasi. Perubahan-
perubahan pasca infeksi di dalam serviks dapat mengakibatkan stenosis atau kerusakan
pada kripta servikal dengan produksi mukus yang jelek. Apusan serviks pada pasangan
yang infertil menunjukkan infeksi mycoplasma pada 12%, dan bakteri aerobik
patogenik pada 31% dari pasien-pasien yang diperiksa (Eggert-Kruse dkk. 1992).
Operasi-operasi serviks seperti elektrokoagulasi, cryotherapy, laser vaporization, atau
conization mungkin suatu indikasi untuk inseminasi uterine, jika perjalanan servikal
dari sperma tidaklah mungkin.
Anomali Saluran Genitalia Wanita
Asal usul embrionik dari sistem urogenital adalah kompleks dan menjelaskan banyak
anomali kongenital yang ditemukan. Gangguan pada satu dari banyak langkah fusi
dapat berakibat pada agenesis parsial atau komplit dari duktud-duktus tertentu.
Anomali-anomali kongenital sering mencakup sistem urinarius.
Uterus
Agenesis atau aplasia unilateral dari duktus Mullerii mengakibatkan suatu uterus yang
unicornis. 0,1-3% dari semua wanita memiliki anomali uteri yang bervariasi oleh karena
fusi Mullerii yang terganggu. Ini bervariasi dari uterus subseptus unicollis hingga
uterus, serviks, dan vagina yang ganda. Terapi bedah seharusnya hanya
direkomendasikan setelah dengan mempertimbangkan semua kemungkinan penyebab-
penyebab lain untuk infertilitas. Karena ko-eksistensi infertilitas dengan, sebagai
contoh, suatu uterus septate, tidak seharusnya jadi penyebab.
Anomali-anomali uteri yang didapat meliputi fibroid dan adhesi. Leiomyomata
uterina ditemukan pada 20-25% dari seluruh wanita yang berusia reproduksi. Mereka
biasanya asimptomatik. Fibroid-fibroid ini dapat saja subserosa, atau lebih penting lagi,
intramural, submukosa, dan/atau pedunculated, yang dapat menjadi penyebab
infertilitas. Sebuah kajian ulang terhadap 27 studi dari 1982 hingga 1996 yang
melaporkan angka kehamilan setelah myectomy. Sembilan studi adalah prospektif
(Vercellini dkk. 1998) angka kehamilan terkombinasi mereka adalah 57% (95%
confidence interval 48-65%). Interval median dari pembedahan sampai kehamilan
bervariasi antara 8 sampai 20 bulan. Sayangnya tidak ada studi yang membandingkan
hasil-hasil dari pembedahan dengan non-intervensi (hanya menunggu), sehingga
perbaikan apapun dalam probabilitas konsepsi setelah myectomy tidak bisa secara
dijamin secara pasti.
Tuba-tuba Fallopii
Defek-defek kongenital tuba Fallopii adalah sangat jarang, khususnya jika organ-organ
yang sisa adalah normal. Pada kasus-kasus yang jarang, aplasia satu sisi dari ovarium
dan anomali uteri dapat terkombinasi dengan aplasia satu sisi dari tuba Fallopii.
Penyebab untuk kasus langka bagian yang hilang dari tuba Fallopii belum diketahui.
Tuba Fallopii dapat dibagi secara morfologis ke dalam empat segmen:
Segmen interstisial adalah bagian dari tuba Fallopii yang melewati dinding uterus dan
dikelilingi dengan miometrium. Endosalpinx terdiri atas sel-sel sekretoris dan
bersilia yang membentuk lipatan-lipatan longitudinal dalam bentuk sebuah bintang.
Diameternya sekitar 400 µm.
2. Bagian isthmus dari tuba berada pada bagian ketiga proksimal dari tuba Fallopii.
Endosalphinx di sini memiliki lebih banyak sel-sel sekretoris daripada sel-sel
bersilia.
3. Ampulla terdiri atas dua pertiga lainnya dari lateral tuba Fallopii. Silia bergerak ke
arah uterus dan lebih penting untuk transport oosit dan embrio. Prosedur-prosedur
bedah pada bagian isthmus tuba Fallopii masih memungkinkan angka kehamilan
sekitar 80%. Namun, reseksi ampula menghasilkan angka kehamilan yang jelas lebih
rendah. Bagian besar dari kehamilan ektopik ditemukan di ampulla, karena fertilisasi
dan perkembangan embrio awal terjadi pada segmen tuba ini.
4. Infundibulum dikelilingi oleh fimbriae, yang memiliki kontak erat dengan ovarium.
Ostium menerima oosit saat ovulasi melalui mekanisme yang belum diketahui.
Perubahan-perubahan patologis karena penyakit infeksi, adhesi atau operasi
mengakibatkan angka infertilitas yang tinggi, dan sulit untuk diterapi dengan
pembedahan.
Fisiologi Fungsi Tuba
Motilitas tuba, sekresi, dan aktivitas siliaris adalah prasyarat bagi proses kompleks
transport sperma, kapasitasi, pengambilan kembali oosit, fertilisasi, perkembangan
zigot, dan transport oosit dan zigot (juga lihat Bab 3). Tuba Fallopii menunjukkan suatu
pola kontinu dan kompleks akan kontraksi spontan. Hubungan antara kontraksi dan
transport gamet belum jelas. Berbeda dengan saluran gastrointestinal, tidak ada gerakan
peristaltik reguler yang terjadi melebihi jarak yang lebih besar. Segmen-segmen
individual secara simultan berkontraksi dengan arah yang berlawanan dan jarak-jarak
yang pendek. Sehingga transport oosit menjadi diskontinu dengan gerakan yang menuju
dan menjauhi uterus. Karena gerakan terutama menuju uterus, maka oosit akhirnya
berakhir di endometrium kavum uteri.
Arti penting dari kontraktilitas tuba untuk transport sperma masih belum jelas.
Kita akan berasumsi bahwa perjalanan tubal adalah hasil dari motilitas sperma. Namun,
setelah inseminasi, sperma dapat ditemukan 5 menit kemudian dalam kavum peritoneal,
sehingga kontraksi tuba pasti memiliki peran besar dalam transport primer sperma.
Asumsi lanjut adalah bahwa kontraksi-kontraksi uterus dan tuba-tuba saat hubungan
seksual berperan dalam transport sperma yang cepat. Namun demikian sperma yang
mencapai tuba Fallopii dengan cara ini tampaknya tidak penting dalam fertilisasi.
Pergerakan siliaris tuba diarahkan menuju uterus, sehingga transport sperma
pada arah lain pasti karena mekanisme-mekanisme lain. Aktivitas sekretoris dari tuba
Fallopii mungkin berperan dalam transport sperma. Sekresi tuba terbanyak pada saat
ovulasi, dan glikoprotein-glikoprotein kental ini tampaknya melemahkan gerakan
siliaris dengan cara demikian sperma-sperma dapat melewati tuba Fallopii dengan
upayanya sendiri, seperti yang mereka lakukan pada mukus servikal pertengahan-siklus.
Setelah sekresi mukus berkurang, gerakan siliaris menuju uterus direaktivasi sehingga
oosit yang terfertilisasi dapat ditransportasikan dengan arah yang benar.
Produksi mukus tuba distimulasi oleh estrogen dan dihambat oleh progestin.
Sejumlah protein yang ditemukan dalam sekresi tuba, yang tidak dapat ditemukan
dalam serum, tampaknya penting bagi fungsi reproduksi.
Berbeda dengan testis, gamet-gamet wanita ditransportasikan melalui suatu
sistem terbuka. Setelah meninggalkan permukaan ovarium, oosit harus melalui kavum
peritoneum dalam upaya mencapai tuba Fallopii. Studi-studi mikroskopis pada manusia
telah menunjukkan bahwa pada waktu ovulasi fimbriae dan ostium tuba adalah
berkontak secara langsung dengan ovarium. Hal ini berhubungan dengan kontraksi-
kontraksi tuba Fallopii, mesosalpinx, dan fimbriae. Menariknya, kehamilan adalah
mungkin dengan hanya satu ovarium dan satu tuba Fallopii kontralateral.
Salpingostomi bedah pada kasus adhesi fimbriae menghasilkan hanya sedikit
angka kehamilan, yang menunjukkan arti penting dari mekanisme penjemputan ini.
Hanya bagian yang sangat kecil dari begitu banyaknya sperma yang
didepositkan secara intravagina saat hubungan seksual mencapai tuba Fallopii (lihat
Gbr. 20.14). Hanya sperma yang terbentuk optimal dan motil yang mampu melalui
mekanisme filtrasi dan seleksi saluran wanita untuk mencapai ampulla dan lokasi
fertilisasi.
Fertilisasi mungkin terjadi pada distal ampulla. Sperma tampaknya dapat
bertahan 24-48 jam dalam saluran genitalia wanita, dengan beberapa laporan
kemampuan bertahan hidup hingga 96 jam. Namun, oosit hanya dapat difertilisasi
selama 24 jam. Oosit yang terfertilisasi mulai pembelahan dalam tuba Fallopii. Zigot
manusia tidak memiliki sumber nutrisi ataupun kontak sel yang konstan saat
transportasi. Sehingga zigot yang sedang berkembang harus dipertahankan oleh sekresi
tuba hingga ia terimplantasi dalam kavum uteri setelah sekitar 1 minggu.
Penyakit-penyakit Tuba Fallopii
Proses-proses kompleks perjalanan tubal menunjukkan bahwa gangguan-gangguan pada
area ini dapat menyebabkan infertilitas. Anomali-anomali kongenital tidak sepenting
anomali yang didapat, seperti adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau infeksi.
Infeksi Chlamydia adalah yang paling penting.
Salpingitis
Sembilan belas persen dari semua wanita dengan salpingitis menunjukkan adanya
infeksi dengan chlamydia (Hoyme dkk. 1988). Empat persen dari pasien yang menjalani
laparoskopi oleh karena infertilitas tuba memperlihatkan kultur-positif chlamydia.
Karena banyak infeksi pelvis tidak memiliki gejala atau hanya gejala-gejala yang tidak
spesifik, maka perjalanan tubal harus diperiksa pada semua pasien yang tidak mencapai
kehamilan setelah 6 bulan, meskipun fungsi luteal baik.
Probabilitas infertilitas tuba pada pasangan-pasangan dengan sterilitas sekunder
meningkat dengan suatu faktor 7,5 dengan riwayat penyakit kelamin. Seorang pasien
dengan appendektomi memiliki risiko 4,7 untuk infertilitas faktor tuba ketika
dibandingkan dengan kontrol. Riwayat kehamilan ekstrauteri sebelumnya meningkatkan
risiko 21 kali lipat, dan riwayat penyakit radang panggul sebelumnya meningkatkan
risiko dengan suatu faktor 32 (Thonneau dkk. 1993).
Suatu oklusi tuba pada bagian fimbriae dapat menyebabkan pembengkakan yang
mirip sosis pada tuba dengan pengurangan struktur dinding (sactosalpinx).
Salpingectomy bilateral sebelum IVF yang direncanakan akan menggandakan
probabilitas kehamilan. Apakah obstruksi satu sisi juga harus dikoreksi tidak bisa
disimpulkan dengan pasti pada saat ini (Johnson dkk. 2004).
Tes-tes diagnostik untuk Patensi Uterus dan Tuba
Tes-tes yang ada untuk patensi tuba adalah
1. Insuflation tuba Fallopii dengan CO2
2. Histerosalpingografi
3. Chromopertubation dan laparoskopi diagnostik
Insuflasi Tuba
Metode ini pertama kali digambarkan pada tahun 1920an dan tidak dapat dihandalkan.
Tidak ada informasi jelas yang bisa didapatkan apakah obstuksi tuba terletak pada satu
atau kedua sisi. Perbandingan langsung dengan laparoskopi menunjukkan diskrepansi
yang besar pada hasil-hasilnya. Metode ini bahkan tidak seharusnya dipakai untuk
prosedur skrining.
Histerosalpingografi
Histerosalpingografi (HSG) adalah prosedur yang jauh lebih penting. Ini dapat
dilakukan pada pasien rawat jalan setelah memberikan analgesik seperti indomethacin
1-2 jam sebelumnya. Pemeriksaan tuba dilakukan dengan suatu fluoroscope. Pada
kasus-kasus jarang, spasme tuba dapat mengarahkan ke diagnosis yang keliru akan
oklusi tuba. Obat-obat spasmolitik seperti butylscopolaminebromide 1-2 ml i.v harus
dicoba.
Dosis radiasi ovarium bervariasi antara 1,7 mGy untuk 100 mm film
fluoroscopic dan 2,8 mGy untuk 24 x 30 cm spot film. Prosedur ini biasanya
dijadwalkan 2-5 hari setelah perdarahan haid untuk meminimalkan gangguan kehamilan
awal yang mungkin.
Risiko prosedur diagnostik radiografik ini adalah infeksi yang memiliki
probabilitas 1%. Identifikasi pasien yang berisiko telah diupayakan melalui sampel
darah yakni leukosit, c-reactive protein, dan laju sedimentasi. Namun, studi-studi kami
sendiri telah memperlihatkan bahwa ini memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang
kurang baik (Knuth dkk. 1982).
Beberapa penulis merekomendasikan antibiotik profilaksis seperti doksisiklin
200 mg dua hari sebelum prosedur yang diikuti dengan 5 hari yang 100 mg. Tidak ada
rekomendasi yang seragam, dan kami tidak menggunakan antibiotik profilaksis.
Selama histerosalpingografi kavum uteri dengan mudah dapat digambarkan da
septae, polip, dan fibroid submukosa mudah terlihat. Dalam upaya mengevaluasi arti
penting dari prosedur diagnostik ini, angka kehamilan yang merupakan konsekuensinya
harus dikorelasikan dengan hasil-hasil sebelumnya. Histerosalpingografi normal diikuti
dengan kehamilan pada 46% kasus dengan inseminasi donor. Anomali atau defek uterus
dengan patensi tuba bilateral menghasilkan angka kehamilan 34%. Anomali uterus
normal dengan oklusi tuba unilateral menghasilkan angka kehamilan 40% setelah
inseminasi donor (Stovall dkk. 1992).
Angka konsepsi yang relatif tinggi meski pemeriksaan histerosalpingografi yang
patologis mungkin terkait dengan faktor-faktor pria yang optimal saat inseminasi donor.
Hal ini harus dipertimbangkan jika faktor pria pada pasangan infertil juga terganggu.
Ketika membandingkan histerosalpingografi dengan laparoskopi dan
chromopertubation ditemukan diskrepansi yang lebih besar. Sehingga prediksi-prediksi
dari HSG tampaknya tidak optimal. Korelasi positif dari data ditemukan pada 62% dari
104 pasien yang diperiksa (Adelusi dkk. 1995). Jika hasil histerosalpingografi normal,
pada 96% kasus laparoskopi dan chromopertubation adalah juga normal. Jika hasil HSG
tidak jelas, dan diduga adanya lesi, maka laparoskopi hanya berkorelasi pada 63%
kasus. Lesi-lesi mencurigakan pada tuba-tuba Fallopii hanya berkorelasi pada 54%,
sehingga Opsahl dkk (1993) melakukan deduksi bahwa para wanita dengan HSG
normal yang tidak mengalami konsepsi harus menjalani laparoskopi diagnostik.
Interpretasi HSG dapat dioptimalisasi melalui suatu sistem kateter khusus yang
memperfusi tiap tuba Fallopii secara individual. Pada prosedur ini, adalah mungkin
untuk mengukur tekanan yang diperlukan untuk mencapai patensi pada tiap tuba
individual. Tuba normal membutuhkan tekanan 429 + 376 mmHg, tuba patologis
membutuhkan tekanan 957 + 445 mmHg (Gleicher dkk. 1992). Prosedur serupa dapat
dilakukan secara kurang invasif dengan sonografi dupleks (Allahbadia 1992). Zat-zat
kontras sonografik yang barusan dikembangkan memungkinkan HSG dilakukan secara
keseluruhan dengan ultrasono (Degenhardt dkk. 1995). Teknik baru ini dapat
menyediakan dapat menyediakan prosedur skrining sederhana di klinik infertilitas,
meskipun kita harus mempertimbangkan batas-batasnya dalam evaluasi patensi tuba.
Jika HSG dilakukan dengan cara klasik maka sebaiknya digunakan medium
kontras suspensi minyak karena ini memberi hasil suatu angka kehamilan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus dimana digunakan bahan hidrofilik (Watson
dkk. 1994). Namun, harus dipertimbangkan risiko kecil pembentukan granuloma yang
menyertai media berminyak.
Sebagai kesimpulan, sono-histerosalpingografi dapat direkomendasikan sebagai
suatu prosedur skrining untuk patensi tuba pada wanita-wanita dengan riwayat
sebelumnya yang uneventful, tes-tes chlamydia negatif, dan periode non-konsepsi
kurang dari 1 tahun. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, harus dilakukan laparoskopi
dan chromoperturbation.
Histeroskopi dan Laparoskopi
Metode standar untuk diagnosis kondisi pelvis dan patensi tuba adalah laparoskopi
dikombinasi dengan chromoperturbation dan histeroskopi. Berbeda dengan
histerosalpingografi, adhesi-adhesi endometriosis, penipisan tuba Fallopii, dan
perubahan-perubahan ovarium dapat didiagnosis secara optimal oleh seorang dokter ahli
bedah yang berpengalaman.
Histeroskopi. Prosedur ini dapat dilakukan tanpa anestesia umum bila tidak
direncanakan laparoskopi berikutnya. Sebuah endoskop yang kaku atau fleksibel
dilewatkan melalui os servikal ke dalam kavum uterus yang, karena biasanya ia kolaps,
harus diregangkan dengan sebuah medium. Dapat digunakan dextrin molekuler tinggi,
CO2 atau dextrosa 5% dalam air. Dapat digunakan channel instrumen yang terpisah,
yang melaluinya forseps, alat elektrokauter atau alat laser dapat dilewatkan.
Laparoskopi. Laparoskopi biasanya dilakukan dengan anestesi umum dan intubasi.
Setelah insisi sub umbilikus, dan insuflasi kavum peritoneal dengan CO2, dimasukkan
trocar laparoskopik dan laparoskop. Risiko prosedur ini adalah perforasi gastrointestinal
atau pembuluh besar. Ini terjadi pada sekitar 0,1% dari semua pemeriksaan. Setelah satu
atau dua insisi tambahan dibuat untuk memasukkan alat-alat lain, maka zat warna dapat
diinjeksikan melalui kanula intrauteri. Observasi langsung membuktikan patensi tuba
jika zat warna meluap dari ostium.
Karena adhesi-adhesi intrabdomen dapat diasosiasikan dengan patologi intratuba
tanpa gangguan jelas akan patensi tuba, maka telah diimplementasikan cara-cara
diagnostik baru. Falloskopi dilakukan dengan endoskop-endoskop yang sangat halus
yang mana melaluinya tuba Fallopii internal dapat diinspeksi saat histeroskopi atau
laparoskopi. Endoskop-endoskop ini memiliki sistem optik khusus dalam upaya
mencegah kerusakan pada mukosa Fallopii (Venezia dkk. 1993).
Terapi
Tergantung pada patologi tuba Fallopii baik itu adhesiolisis, fimbrioplasti,
salpingostomi atau anastomosis dapat dipertimbangkan. Adhesiolisis meliputi semua
prosedur bedah mikro yang dilakukan untuk mendapatkan kembali mobilitas tuba
Fallopii dan ovarium. Fimbriolisis dilakukan dalam upaya memobilisasi fimbriae,
defek-defek peritoneal dijahit dengan hati-hati. Fimbrioplasti adalah rekonstruksi
fimbriae yang ada pada suatu oviduct yang teroklusi parsial atau total pada kasus oklusi
total, ostium dibuka dan serosa di everted untuk membuat sebuah fimbriostium. Jika
oklusi ampularis membutuhkan reseksi sebagian dari tuba, maka dilakukan suatu
salpingoneostomi. Anastomosis dapat dilakukan pada setiap segmen dari tuba Fallopii.
Saat ini hasil-hasil prosedur-prosedur bedah mikro harus dibandingkan dengan
mereka yang program IVF. Namun, kita harus mempertimbangkan bahwa bedahmikro
mungkin merupakan bentuk terapi kuratif bagi seorang pasien, sedangkan IVF hanyalah
suatu bentuk terapi yang temporer. Angka-angka kehamilan setelah salpingolisis,
fimbriolisis, dan ovarialisis dengan pembedahan berada antara 39-69%. Pada statistik
ringkas, angka kehamilan median 40% telah dihitung setelah teknik-teknik
konvensional.
Namun demikian, penyakit-penyakit tuba pasca-inflamasi yang memerlukan
fimbrioplasti dan salpingostomi memiliki hasil-hasil yang lebih jelek. Sebuah penelitian
di University of Munster menunjukkan angka kehamilan hanya 25% pada pasien-pasien
demikian (untuk pembahasan ringkas lihat Schneider dan Karbowski, 1989). Ketika
memutuskan bentuk terapi, harus dipertimbangkan ketersediaan dokter ahli bedah yang
berpengalaman. Pasien harus dirujuk ke bagian bedah mikro khusus, jika tidak akan
direkomendasikan prosedur IVF yang segera.
BAB IV
Endometriosis
Meskipun dapat dipertanyakan apakah histerosalpingografi atau laparoskopi adalah tes
diagnostik yang lebih baik untuk mengecek patensi tuba, laparoskopi mutlak diperlukan
untuk mendiagnosis endometriosis peritoneal.
Patogenesis dan Epidemiologi
Endometriosis adalah suatu gangguan dimana endometrium atau jaringan mirip
endometrium ditemukan di lokasi-lokasi selain dari kavum uteri. Jaringan-jaringan
ektopik mungkin terlibat dalam perubahan-perubahan siklik yang patologis dan normal
pada endometrium. Penyebab sebenarnya endometriosis, yang dapat menyebabkan
infertilitas, adalah belum diketahui dan banyak teori telah dibahas. Hingga saat ini, teori
yang diterima adalah bahwa endometriosis terjadi melalui implantasi sel-sel
endometrium individual dan fragmen-fragmen endometrium yang dilewatkan melalui
tuba-tuba Fallopii ke dalam kavum peritoneum secara retrograde selama menstruasi.
Diasumsikan bahwa sel-sel ini kemudian berimplantasi pada permukaan peritoneum dan
tumbuh menjadi lesi-lesi endometrium. Setelah proliferasi lanjut partikel-partikel
jaringan ini bertumbuh sehingga memungkinkan visualisasi makroskopik. Sebuah
kajian ulang mengenai penyakit yang sering ini ditemukan dalam Giudice dan Kao
(2004).
Endometriosis ditemukan pada 5-10% dari semua wanita usia reproduksi.
Namun, prevalensinya jauh lebih tinggi pada wanita dengan masalah-masalah
infertilitas.
Gejala-gejala
Gejala-gejala utama dari endometriosis adalah nyeri pelvis, perdarahan disfungsional,
dan infertilitas. Patofisiologi bagaimana endometriosis menyebabkan infertilitas adalah
multifaktorial. Ini mencakup faktor-faktor mekanis, derivatif toksik dalam cairan
peritoneum, dan juga gangguan-gangguan imunologis dan hormonal.
Namun, penyebab utama infertilitas berada pada adhesi-adhesi yang ditemukan
pada tahap-tahap progresif endometriosis. Adhesi-adhesi perituba dan periovarium
menghambat interaksi antara tuba uterina dengan ovarium, yang penting pada waktu
ovulasi. Oklusi tuba proksimal sering ditemukan. Meskipun endometriosis sering ada
pada ovarium, lesi-lesi kecil tampaknya tidak memiliki peran dalam fertilitas.
Endometriosis yang lebih besar, atau endometrioma, dapat menginvasi stroma ovarium,
menghancurkan jaringan normal. Ini disebut “kista coklat”.
Patofisiologi
Secara fisiologi, ovarium-ovarium dan tuba-tuba dikelilingi oleh cairan peritoneum,
yang volumenya naik hingga sekitar 20 ml pada waktu ovulasi. Pengaturan volume
cairan peritoneum terganggu pada wanita-wanita dengan endometriosis. Zat-zat
embriotoksik juga ditemukan dalam cairan peritoneum dari wanita-wanita ini. Setelah
menginkubasi sperma dengan cairan peritoneum pasien-pasien endometriosis, kita
melihat penurunan motilitas pada analisis terkomputerisasi ketika dibandingkan dengan
kontrol. Agaknya, prostaglandin dan makrofag menghambat motilitas sperma.
Peningkatan konsentrasi prostaglandin dalam cairan peritoneum mungkin
mengubah kontraktilitas tuba, sehingga transport sperma, oosit dan zigot dimodifikasi.
Namun, antiphlogistics non-steroid tidak mampu memperbaiki infertilitas. Normalnya,
cairan peritoneum mengandung 0,5 - 2 juta leukosit per ml, porsi terbesar darinya
adalah makrofag. Jika endometriosis ditemukan pada peritoneum, maka terdapat
kenaikan proporsional dalam makrofag. Walau demikian, kita tidak bisa melihat apakah
perubahan-perubahan dalam cairan peritoneum ini adalah akibat atau penyebab
endometriosis.
Pasien-pasien dengan endometriosis memiliki level-level IgM, IgG dan IgA
yang meningkat bila dibanding dengan kontrol-kontrol normal. Namun, ditemukan
korelasi terbalik dari imunoglobulin dengan derajat keparahan endometriosis. Beberapa
penulis menduga bahwa endometriosis adalah penyakit otoimun, namun ini masih harus
dibuktikan.
Diagnosis endometriosis mungkin melalui observasi visual langsung atau
pemeriksaan histologis saat laparoskopi atau laparotomi. Kita harus teliti untuk
memeriksa seluruh peritoneum pelvis secara sistematis dalam upaya menemukan lesi-
lesi endometriotik yang diskret. Tidak cukup untuk hanya melakukan satu pandangan
diagnostik yang cepat melalui endoskop dan membiarkan pasien pulang ke rumah
dengan diagnosis endometriosis setelah melihat beberapa lesi coklat-hitam topikal.
Seringkali hanya pemeriksaan histologis akan menunjukkan perubahan-perubahan
endometriotik yang khas.
Penentuan Stadium Endometriosis
Setelah dibuat diagnosis endometriosis, maka harus dilakukan klasifikasi stadium. Hal
ini biasanya dilakukan dengan bantuan klasifikasi American Fertility Society yang
direvisi (Tabel 20.1)
Di Jerman kita sering menggunakan klasifikasi endoskopik untuk endometriosis
menurut Semm, yang dibagi ke dalam empat grup.
Grup I: Tuba yang paten dan normal dengan lesi-lesi endometriotik pada epitel
dengan diameter di bawah 5 mm
Grup II: Lesi-lesi endometriotik dengan diameter lebih dari 5 mm yang mungkin
melibatkan adhesi-adhesi periovarium, perituba, kandung kemih, dan/atau stenosis
atau fimosis tuba-tuba uterina.
Grup III: Adenomyomata dalam uterus atau dalam bagian intramural tuba uterina,
kista-kista coklat, lesi-lesi pada ligamen-ligamen sakrouterina atau suatu
sactosalpinx.
Grup IV: Endometriosis ekstragenital
Karena laparoskopi adalah tes invasif, metode skrining lain untuk endometriosis telah
dicari di masa lalu. Parameter yang paling banyak digunakan adalah petanda tumor Ca
12-5, yang merupakan antigen membran yang berasal dari epitel yang dapat diukur
dalam serum. Level-level Ca 12-5 meningkat pada wanita-wanita kanker ovarium
epitelial dan neoplasia-neoplasia lain pada pelvis. Kenaikan-kenaikan sedikit juga
ditemukan pada wanita-wanita dengan endometriosis. Namun, sensitivitas dan
spesifisitas parameter ini adalah sangat rendah sehingga wanita dengan endometriosis
ringan mungkin memiliki level yang normal.
Terapi
Karena patofisiologi penyakit ini belum sepenuhnya jelas, maka tidak ada terapi yang
ideal. Jika pembentukan adhesi dengan gangguan fungsi tuba, endometrioma-
endometrioma besar, atau tuba-tuba Fallopii yang teroklusi dapat didiagnosis, pilihan
utama terapi adalah bedah mikro, pada beberapa kasus setelah terapi obat sebelumnya.
Pada kasus-kasus lain belum jelas apakah terapi spesifik endometriosis bahkan
diperlukan. Bentuk terapi yang direkomendasikan harus disesuaikan dengan situasi
individual dari pasangan infertil.
Bentuk-bentuk terapi farmakologis tipikal mencakup
Progestin-progestin
Danazol
Analog-analog GnRH
Inhibitor-inhibitor aromatase
Kombinasi estrogen dan progestin, yang telah digunakan di masa lalu untuk mencapai
pseudo-pregnancy (kehamilan semu), hanya digunakan pada kasus-ksus jarang
(Schweppe 1995).
Danazol
Sebelum analog-analog GnRH diperkenalkan, danazol merupakan pilihan utama
setelah ditemukan pada tahun 1971. Bersama dengan agonis-agonis GnRH the Food
and Drug Administration (FDA) secara formal melisensi danazol untuk terapi
endometriosis. Namun, studi-studi buta-ganda terkontrol tidak pernah tampaknya
menunjukkan keefektifan yang lebih baik terapi danazol dibandingkan dengan terapi
progestin murni (misalnya, medroxyprogesterone acetate 20-30 mg/die selama 6
bulan). Dalam upaya memahami mekanisme kerja, kita harus berasumsi bahwa
reseptor-reseptor untuk estrogen dan progestin terkandung di dalam lesi-lesi
endometriotik, dan bahwa neutralisasi ligan-ligan akan menyebabkan atrofi lesi-lesi. Ini
adalah prinsip utama terapi farmakologis untuk endometriosis.
Walau demikian, pada wanita-wanita pramenopause, situasi hipogonadotropik
yang ekstrim tidak diproduksi, meskipun puncak-puncak LH dan FSH tengah-siklus
tertekan. Lebih penting lagi, danazol tampaknya mengganggu pengikatan hormon-
hormon seks dengan reseptor-reseptornya. Danazol terutama berikatan dengan
reseptor-reseptor progestin dan androgen, dan cukup menarik, tidak dengan reseptor
estrogen. Danazol menyingkirkan testosterone dan estradiol dari SHBG, dan
progesterone dan kortisol dari globulin pengikat kortikosteroid. Konsekuensinya,
kenaikan fraksi-fraksi bebas dari hormon-hormon ini dengan gejala-gejala klinis
masing-masing, seperti hiperandrogenemia, terjadi. Selain itu, danazol mengurangi
sintesis SHBG hepatik sehingga konsentrasi-konsentrasi serum androgen bebas naik
lebih lanjut. Danazol secara langsung menghambat enzim-enzim yang mensintesis
estrogen-estrogen.
Danazol tersedia secara internasional dalam tablet 200 mg; dosis harian adalah
sekitar 800 mg yang dibagi empat dosis. Tidak ada kehamilan yang bisa terjadi selama
terapi ini, yang biasanya dilakukan selama 6 bulan. Upaya untuk menurunkan dosis
mengurangi gejala-gejala klinis yang merugikan, namun tidak menunjukkan efek-efek
yang equivalen pada laparoskopi kontrol. Pada setiap kasus tujuan terapi seharusnya
amenorea. Level-level serum estradiol harus di bawah 40 µg/ml pada endometriosis
minimal, dan di bawah 20 µg/ml pada kasus-kasus yang lebih berat.
Angka kehamilan setelah terapi danazol berada antara 28-72%. Jika
endometrioma yang diameternya lebih besar dari 1 cm telah divisualisasi, maka harus
dilakukan terapi bedah. Satu studi menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan
endometriosis minimal yang diterapi selama 6 bulan dengan danazol mencapai angka
kehamilan 37% setelah fase kontrol 12 bulan. Namun, kelompok kontrol yang tidak
diterapi memiliki angka kehamilan 57% (Seibel dkk. 1982). Ini memberi keraguan
pada aturan bahwa endometriosis perlu terapi pada semua kasus. Dengan mendapatkan
gambaran klinis keseluruhan dengan deskripsi laparoskopik yang optimal dan diagnosis
penyakit adalah esensial sebelum menentukan suatu bentuk terapi.
Terapi endometriosis dengan danazol tidaklah kuratif, karena bahkan lesi-lesi
atrofik dapat lagi berproliferasi setelah penutupan terapi. Angka kekambuhan berada
antara 33% dan 39%. Kebanyakan kehamilan terjadi pada bulan ke-7 setelah terapi.
Jika tidak terjadi konsepsi selama waktu ini, maka kita harus pertimbangkan bentuk
terapi lainnya.
Kenaikan konsentrasi androgen menyebabkan virilisasi pada beberapa pasien.
Efek-efek samping terapi danazol mencakup penambahan berat badan, jerawat,
hirsutisme dan pengurangan volume payudara. Pada kasus-kasus jarang, suara menjadi
lebih dalam, yang mana harus dipertimbangkan bagi orang yang profesinya penting
untuk penggunaan suaranya. Efek-efek samping ini tampaknya ireversibel.
Analog-analog GnRH
Analog-analog GnRH adalah pilihan yang bagus untuk induksi pseudo-menopause yang
reversibel dimana kondisi hipogonadotropik dan hipoestrogenik yang equivalen dengan
kastrasi sementara dicapai. Prinsip bentuk terapi ini telah dibahas di bab lain buku ini.
Mekanisme pada wanita serupa dengan pada pria, dimana down-regulation
mengakibatkan konsentrasi estradiol rendah yang diinginkan. Keberhasilan terapi secara
langsung proporsional dengan besarnya pengurangan estradiol.
Agonis-agonis GnRH mungkin tidak memiliki efek langsung pada ovarium.
Terapi yang berhasil dikarenakan semata-mata oleh defisiensi estrogen. Evaluasi angka
kehamilan setelah terapi GnRH dan danazol memperlihatkan hasil-hasil yang serupa.
Karena efek samping hiperandrogenemik dari terapi danazol, maka tampaknya bahwa
terapi GnRH akan direkomendasikan.
Efek samping utama dari terapi agonis GnRH adalah hipoestrogenemia
profunda meliputi flushes, kekeringan vagina, libido berkurang, dan kadangkala depresi.
Tidak ada pengaruh pada lipoprotein plasma. Selama perjalanan terapi 6 bulan,
penurunan massa tulang dapat reversibel setelah penutupan terapi.
Inhibitor-inhibitor Aromatase
Studi-studi oleh Zeitoun dan Bulun (1999) menunjukkan ekspresi abnormal aromatase
dalam lesi-lesi endometrial, sehingga suatu pengurangan sistemik suplai estrogen akan
memberi sedikit efek. Di sini inhibitor-inhibitor aromatase dapat memberi kemungkinan
terapeutik yang inovatif (Shippen dan West 2004).
Terapi Bedah
Terapi bedah diindikasikan pada pasien-pasien infertil dengan pembentukan adhesi
yang ekstrim, ovarium-ovarium yang membesar, dan nyeri yang tidak berkurang setelah
terapi farmakologis dan pada pasien-pasien lanjut usia yang pada mereka terapi medis
yang berkepanjangan tidaklah tepat. Individualisasi terapi adalah penting karena
sebagaimana pada terapi bedah mikro, pengalaman dokter ahli bedah yang tersedia
memiliki arti penting untuk terapi yang berhasil.
IVF
In vitro fertilization dapat menawarkan kemungkinan satu-satunya bagi pasien-pasien
dengan endometriosis ekstrim, meskipun hasilnya buruk pada kelompok pasien ini
(Simon dkk. 1994). Namun, studi lainnya menunjukkan angka kehamilan 29% per
transfer pada pasien-pasien endometriosis dibandingkan dengan 25% pada kontrol
(Dmowski dkk. 1995).
BAB V
Antibodi-antibodi Sperma
Jika faktor-faktor hormonal dan klinis infertilitas wanita telah disingkirkan, maka
dipertimbangkan kemudian penyebab-penyebab imunologis.
Sistem imun mukosal merepresentasikan struktur imunokompeten terbesar pada tubuh
manusia, dan mencakup mayoritas sel-sel plasma yang memproduksi-antibodi endogen.
Antibodi-antibodi yang terdeteksi dalam sampel darah atau limfe biasanya merupakan
kelompok IgG, sedangkan antibodi-antibodi yang ditemukan dalam sekresi seperti
mukus servikal biasanya kelompok IgA.
Patofisiologi
Meskipun seorang wanita yang aktif secara seksual terpapar dengan sejumlah besar
antigen-antigen potensial dalam bentuk spermatozoa, sistem imun wanita dapat
biasanya tidak diaktivasi dengan cara ini. Faktor-faktor yang berbeda dapat memainkan
peran dalam mekanisme ini (Jones 1994). Sebagai contoh, antibodi-antibodi non-
spesifik yang mengitari sperma dengan cara protektif, yang menghalangi respon
imunologis, telah dibahas (untuk kajian ulang lihat Marshburn dan Kutteh 1994).
Tes Antibodi
Tes-tes antibodi sperma biasanya tergantung pada agglutinasi sperma dan immobilisasi
sperma oleh antibodi-antibodi serum. Namun demikian, pengukuran antibodi-antibodi
serum terhadap spermatozoa adalah tanpa arti penting klinis, karena level-levelnya tidak
berkorelasi dengan yang sekresi genital. Pengukuran ELISA memberi hasil yang sangat
bervariasi, tergantung pada antigen mana yang digunakan dari rentang protein-protein
spermatozoa yang lebar. Hal ini menjelaskan mengapa data penelitian sangat
kontradiktif.
Metode terbaik untuk menentukan antibodi-antibodi pada wanita tampaknya
adalah indirect immunobead test. Sperma donor diinkubasi dengan cairan tubuh yang
akan diperiksa, kemudian menjalani berbagai pencucian dengan sebuah buffer.
Antibodi-antibodi terhadap IgA, IgG, dan pada beberapa kasus IgM, yang terikat pada
partikel-partikel lateks kecil, ditambahkan dan kemudian jumlah spermatozoa donor
dengan immunobeads yang terlekat dihitung (WHO 2009).
Antibodi-antibodi spermatozoa ditemukan pada sekitar 2-3% dari populasi
umum. Kemungkinan menyebabkan suatu respon imunologis yang teramplifikasi
terhadap inseminasi intrauteri dengan menggunakan banyak sekali spermatozoa tidak
bisa dikonfirmasi dari beberapa studi (Marshburn dan Kutteh 1994).
Antibodi-antibodi sperma dalam mukus servikal berkorelasi terbalik dengan
jumlah sperma hidup selama tes pasca sanggama. Namun, korelasi yang positif antara
antibodi-antibodi sirkulasi dengan angka kehamilan tidak dapat dibuktikan (Eggert-
Kruse dkk. 1989). Sebagai kesimpulan, arti penting antibodi-antibodi wanita masih
harus ditentukan. Pemeriksaan antibodi serum jelas bukan merupakan bagian integral
dari skrining rutin pasangan infertil. Jika tes pasca sanggama patologis ditemukan
meskipun faktor-faktor serviks yang baik, maka sekresi serviks harus diperiksa untuk
antibodi-antibodi. Hal ini juga berlaku bagi kasus-kasus infertilitas yang tak terjelaskan
lainnya.
Terapi
Deteksi antibodi-antibodi sperma dalam kombinasi dengan keadaan tak memiliki anak
yang berlarut-larut dan tak disengaja hanya mengindikasikan subfertilitas, karena studi-
studi telah memperlihatkan bahwa antibodi-antibodi ini tidak mutlak menghalangi
kehamilan spontan. Strategi-strategi yang berbeda-beda telah direkomendasikan untuk
mengoptimalkan probabilitas konsepsi.
Pemakaian kondom untuk beberapa bulan telah direkomendasikan di masa lalu
dalam upaya menghambat boostering (pendorongan) respons imunologis. Namun,
angka kehamilan yang lebih tinggi tidak dicapai dengan metode ini.
Hasil-hasil dari terapi imunosupresif dengan glukokortikoid bervariasi. Karena
arti penting dari antibodi-antibodi wanita belum jelas, dan efek samping dari terapi
ini dapat saja berat, maka ini seharusnya tidak direkomendasikan.
Demikian pula inseminasi intrauteri tidak tampak menaikkan angka kehamilan
secara signifikan. Studi-studi klinis menunjukkan bahwa setelah 6 bulan inseminasi
intrauteri, angka kehamilan adalah sama dengan pasien-pasien yang tanpa antibodi-
antibodi sperma yang juga memiliki tes-tes pasca sanggama yang jelek (42,4% vs.
40,5%) (Check dkk. 1994). Hal ini menunjukkan bahwa antibodi-antibodi ini tidak
memainkan peran yang sangat besar dalam infertilitas.
Tidak jelas apakah luaran IVF dipengaruhi oleh antibodi-antibodi sperma wanita.
Beberapa penelitian memperlihatkan hasil fertilisasi yang lebih buruk pada kasus-kasus
ini. Pada sebuah studi dengan 2.363 pasien, tidak ada perbedaan dalam angka
kehamilan yang dapat ditemukan antara wanita-wanita yang dengan atau tanpa antibodi
sperma (Check dkk. 1995).
BAB VI
Abnormalitas Kehamilan Awal
Implantasi
Setelah terjadi fertilisasi di ampulla tuba Fallopii, maka mulailah pembelahan sel yang
cepat. Rincian perkembangan ini dijelaskan dalam Sect. 4.7. Sekitar 6-8 hari setelah
konsepsi, blastosit diimplantasi dalam kavum uterus, dan produksi hCG dapat diukur
sebagai tanda implantasi. Setelah kehamilan ditetapkan, ahli ginekologi akan
menghitung umur kehamilan, perlu untuk memonitor kehamilan, dan taksiran tanggal
persalinan. Dengan menggunakan aturan Nagele, tanggal kelahiran dapat ditentukan
dengan mengurangi 3 bulan dari tanggal periode haid terakhir dan menambahkan 7 hari
ke hari pertama haid terakhir. Aturan ini didasarkan pada siklus normal 28 hari, dan
jika ovulasi terjadi sebelum atau sesudah hari ke 14, maka taksiran tanggal partus harus
dikoreksi sesuai dengan perubahan itu. Penyimpangan dari konvensi yang sudah
diterima untuk mengkalkulasi umur kehamilan dapat menyebabkan kesalahpahaman
dan evaluasi yang tidak benar akan awal kehamilan.
Kehilangan Kehamilan
Konsepsi dan implantasi tidak mencukupi untuk mempertimbangkan terapi infertilitas
sebagai sesuatu yang telah berhasil karena banyak pasangan mengalami kehilangan
kehamilan.
Jika berat badan fetus di bawah 500 gr saat lahir, maka telah terjadi aborsi atau
keguguran. Berat fetus di atas 500 gr dari bayi yang lahir mati disebut stillbirth (lahir
mati). Sekitar 15% dari semua kehamilan berakhir dengan aborsi, dengan kehilangan
fetus yang diketahui secara klinis antara usia kehamilan minggu ke-4 dan ke-20.
Gambaran yang lebih akurat adalah sekitar 50% dari semua kehamilan yang berakhir
dengan aborsi karena banyak pasien mengalami aborsi antara minggu ke-2 dan ke-4
sebelum kehamilan menjadi terbukti secara klinis, di waktu mana pengukuran β-hCG
awal tidak dilakukan secara rutin.
Delapan puluh persen dari aborsi spontan terjadi dalam 12 minggu pertama
kehamilan. Tujuh puluh persen dari aborsi ini karena defek-defek kromosom.
Sedangkan wanita-wanita muda pada usia 20 tahun memiliki frekuensi aborsi sekitar
12%, wanita yang lebih tua pada akhir dari kehidupan reproduksi mereka memiliki
frekuensi aborsi 26%. Probabilitas aborsi meningkat secara signifikan ketika implantasi
tertunda (Wilcox dkk. 1999). Jika embrio normal dapat dideteksi dengan ultrasono,
maka probabilitas aborsi di kemudian waktu tenggelam hingga sekitar 5%. Namun, jika
terdapat riwayat lalu beberapa kali aborsi, angka ini meningkat oleh suatu faktor 4-5
(van Leeuwen dkk. 1993).
Epidemiologi
Satu keguguran adalah, seperti yang dapat dilihat di atas, bukan tidak biasa,
kenyataannya satu keguguran nyaris merupakan suatu pengalaman normal dari
kehidupan reproduksi wanita. Kehilangan kehamilan yang berulang adalah patologis
dan didefinisikan sebagai sekurang-kurangnya tiga keguguran berturut-turut.
Berdasarkan pada beberapa studi klinis, risiko keguguran selanjutnya berada di antara
30% dan 45% dan tidak, seperti yang dahulu diduga, naik lebih lanjut. Untuk kajian
ulang tentang penyebab-penyebab yang mungkin dan terapi lihat Rai dan Regan (2006).
Faktor-faktor Etiologi
Sebuah penelitian pada 500 pasien dengan kehilangan kehamilan yang berulang
memberi indikasi akan frekuensi beragam faktor yang mungkin (Clifford dkk. 1994).
Tujuh puluh enam persen dari para wanita yang diperiksa mengalami keguguran
sebelum usia kehamilan minggu ke-13. Hanya 3% yang mengalami aborsi klinis setelah
waktu ini.
Pada 3,6% dari semua pasangan yang diperiksa suatu defek kromosom dapat
ditemukan, dimana translokasi berimbang merupakan diagnosis yang paling sering.
Lima puluh enam persen dari para wanita memiliki tanda-tanda morfologis
polycystic ovarian disease. Dua belas persen dari wanita-wanita ini memiliki level
LH pertengahan-folikel lebih besar dari 10 IU/l
Analisis lanjut akan konsentrasi LH dengan menggunakan analisis urine pagi hari
setiap hari menunjukkan hipersekresi LH pada 57% wanita.
Dalam kelompok 372 wanita dengan keguguran dini, 14% memiliki antibodi anti-
fosfolipid yang dapat diukur.
Sembilan wanita menunjukkan anomali uterus dimana enam orang memiliki
uterus berseptae, dan tiga orang uterus bicornis. Penggolongan tipe HLA tidak
dilakukan pada pasien-pasien ini.
Riwayat kemoterapi atau riwayat radiasi pria meningkatkan potensi defek-defek
kromosom, sehingga selain anomali fetus, juga mungkin terjadi peningkatan angka
keguguran (Meistrich 1993).
Faktor-faktor lingkungan dan toksin-toksin lain seperti merokok, asupan kafein yang
tinggi, dan alkohol telah dibahas sebagai zat-zat penyebab keguguran. Zat-zat anestetik
dan pelarut-pelarut pembersih telah dibahas sebagai bahaya yang tipikal dari lingkungan
kerja. Penjelasan penyebab-penyebab biasanya tidak mungkin pada kasus individual.
Jika defek-defek kromosom dapat disingkirkan maka faktor-faktor endokrin
harus dipertimbangkan. Disfungsi tiroid, penyakit-penyakit otoimun, dan diabetes
melitus yang tidak terkontrol baik telah dikaitkan dengan keguguran, namun mungkin
tidak memiliki penyebab utama pada pasien-pasien infertilitas.
Makna penting dari suatu fase luteal yang tidak memadai dan polycystic
ovarian disease telah dibahas. Belum jelas apakah support pada fase luteal oleh
progesteron atau terapi hCG dapat memperbaiki angka kehamilan. Suatu efek yang
signifikan dari terapi hCG pada siklus-siklus IVF dengan analog GnRH dapat dilihat
pada fungsi luteal. Namun demikian, hasil-hasil ini adalah kontroversial pada situasi-
situasi klinis lainnya. Pada salah satu dari studi-studi klinis terakhir dapat diperlihatkan
bahwa pada pasien-pasien dengan down-regulation yang cukup oleh analog GnRH,
maka substitusi dengan hCG atau progesteron menghasilkan angka kehamilan yang
serupa (Soliman dkk. 1994).
Anomali-anomali uterus. Sekitar 12-15% dari semua wanita dengan kehilangan
kehamilan yang berulang memiliki anomali uterus yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan ultrasono vaginal dan/atau histerosalpingografi. Pada 1.200 pemeriksaan
HSG ditemukan 188 anomali uterus kongenital (Makino dkk. 1992). Angka keguguran
tidak berbeda antara mereka yang dengan anomali ringan atau mereka dengan variasi
yang lebih ekstrim. Setelah koreksi bedah dengan metroplasti, 84% dari kehamilan yang
dihasilkannya dapat dilanjutkan hingga aterm. Pada 74 wanita yang belum mendapatkan
terapi bedah dan digunakan sebagai kontrol, 94% dari kehamilan berakhir dengan aborsi
spontan sebelum usia kehamilan minggu ke-12. Data ini menunjukkan arti penting
pemeriksaan anomali uterus pada pasien-pasien dengan kehilangan kehamilan yang
berulang-ulang.
Infeksi-infeksi. Pentingnya penyakit infeksi khususnya pada aborsi yang terjadi setelah
usia kehamilan minggu ke-12 adalah perlu untuk diperhatikan. Sampel-sampel
mikrobial harus diperiksa untuk Chlamydia, ureaplasma, toxoplasmosis dan Listeria
monocytogenis dan juga Mycoplasma hominis.
Otoimun. Sepuluh sampai 16% dari para wanita dengan kehilangan kehamilan yang
berulang memiliki antibodi anti-fosfolipid (Plouffe dkk. 1992). Antibodi ini memblok
sintesis prostasiklin, dan menghasilkan aktivitas tromboksan yang tinggi dengan
vasokonstriksi dan trombosis. Hal ini pada gilirannya menyebabkan retardasi
pertumbuhan fetus atau kematian fetus, sering dalam bentuk keguguran yang berulang.
Prothrombine time dan partial thromboplastin time dinaikkan oleh antibodi-antibodi
anti-fosfolipid, dan dapat digunakan sebagai tes-tes skrining. Jika antibodi-antibodi
antifosfolipid diduga sebagai penyebab kehilangan kehamilan yang berulang, maka
terapi dalam bentuk aspirin dosis rendah dikombinasikan dengan heparin dapat dimulai
segera setelah didiagnosisnya kehamilan. Terapi dengan glukokortikoid dengan titrasi
dosis hingga tes-tes koagulasi menjadi normal juga telah direkomendasikan.
Alloimunitas. Sebuah teori yang diterima secara luas menyatakan bahwa sistem imun
maternal mengembangkan suatu toleransi tertentu terhadap trophoblast oleh karena
antibodi-antibodi protektif atau faktor-faktor pemblok. Faktor-faktor hipotetis ini
mungkin memblok penolakan embrio yang otoallogenik. Namun, mekanismenya belum
jelas. Suatu penolakan kehamilan diduga terjadi jika faktor-faktor pemblok gagal
diproduksi. Satu penjelasan yang memungkinkan telah dikemukakan oleh temuan-
temuan dalam pengukuran HLA, karena pasangan-pasangan dengan kehilangan
kehamilan yang berulang sering memiliki antigen-antigen HLA yang kompatibel.
Berdasarkan pada teori ini, pasien-pasien dengan keguguran yang berulang
diimunisasi dengan limfosit pasangan. Hasil-hasil pertama sangat mengesankan dengan
angka kehamilan 70-80%. Namun, ujicoba klinis, sangat berkonflik, dan tidak mampu
mengkonfirmasi hasil-hasil dari studi-studi awal yang tak berkontrol. Keadaan ini
menyebabkan penolakan bentuk terapi ini (Fraser dkk. 1993), namun, yang pada
gilirannya dikontradiksi oleh peneliti-peneliti lain (Cowchock dan Smith 1994). Jika
terdapat suatu efek imunisasi, ini sangat kecil dan memiliki keberhasilan kausal kurang
dari 5% dari mereka yang diterapi. Karena terapi imunisasi bukanlah tanpa risiko, maka
setiap kasus individual harus diputuskan dengan dokter yang bertanggung jawab.
Sebagai suatu bentuk terapi alternatif bagi imunisasi aktif beberapa ahli telah
merekomendasikan terapi dengan imunoglobulin yang tidak spesifik. Namun, sebuah
studi multisenter besar mendapat kesimpulan bahwa nilai diagnostik dan prognostik dari
penentuan tipe HLA telah diperkirakan secara berlebihan (Mueller-Eckhardt 1994).
Terapi intravena dengan imunoglobulin-imunoglobulin dan albumin terlihat sama
dengan yang memakai plasebo (Mueller-Eckhardt 1994). Sebuah meta-analisis yang
terkini mengenai terapi imun pada keguguran habitual sehubungan dengan angka
kelahiran hidup menunjukkan bahwa tidak ada efek imunisasi dengan sel-sel paternal,
leukosit donor, material trophoblast atau imunoglobulin i.v. dibandingkan dengan
plasebo (Porter dkk. 2006).
BAB VII
Infertilitas Idiopatik
Jika semua tes yang dijelaskan di atas menunjukkan hasil normal, dan tidak ada
penyebab infertilitas yang dapat ditemukan, maka ini disebut “infertilitas idiopatik”. Ini
harus dibedakan dari yang disebut infertilitas idiopatik pria, yang dikarakterisir oleh
reduksi yang tak terjelaskan dari kualitas semen. Pada 10-15% pasangan yang infertil
tidak ada penyebab jelas yang dapat didefinisikan (Crosignani dkk. 1993). Prognosis
kondisi ini berkorelasi dengan usia pasangan dan lamanya infertilitas (lihat di atas).
Berbeda dengan angka fecundity bulanan yang normal ...%, pasangan-pasangan
dengan infertilitas idiopatik memiliki angka konsepsi 1,5-3% per siklus. Kesabaran dan
waktu sendiri akan menghasilkan kehamilan pada sekitar 60% pasangan dengan
infertilitas idiopatik (Verkauf 1983). Sebagai aturan, tidak ada terapi yang harus
dilakukan jika diagnosis tidak bisa ditegakkan. Namun, studi-studi empiris
menunjukkan bahwa metode-metode reproduksi yang dibantu menghasilkan angka
kehamilan yang lebih tinggi pada pasangan-pasangan dengan infertilitas yang tak
terjelaskan. Jika pasangan dengan infertilitas idiopatik tidak mencapai kehamilan dalam
3 tahun, maka stimulasi dengan hMG dikombinasi dengan inseminasi intrauteri dapat
dipertimbangkan. Jika konsepsi tidak dicapai dalam 4-6 bulan, dapat dilakukan IVF.
Hasil dari terapi ini dapat juga bersifat diagnostik. Jika terjadi fertilisasi dan tidak
disertai kehamilan, maka ujicoba terapi konservatif lain dengan stimulasi hMG dapat
dijustifikasi. Dengan mengikuti strategi ini, angka kehamilan kumulatif 40% dicapai
setelah enam siklus dengan superovulasi atau setelah tiga siklus IVF (Simon dan Laufer
1993).
BAB VIII
Prospek dan Kesimpulan
Jika, walau semua upaya terapeutik, tidak bisa dicapai kelahiran seorang bayi, maka
terapi penutup adalah langkah utama. Dengan menentukan untuk mengakhiri terapi
menandakan kegagalan bagi pasangan dan juga dokternya, dan merepresentasikan
beban psikologis bagi semua orang yang terlibat. Dalam keputusasaan mereka, banyak
pasangan mungkin mencari terapi dengan dokter lain dan menjalani keseluruhan
prosedur untuk kedua kalinya. Pasangan harus diberi konseling sehingga mereka dapat
merencanakan sisa waktu dalam hidup mereka sesuai dengan keinginan mereka.
Konseling psikologis harus menjadi bagian integral tidak hanya selama terapi, namun
juga pada penutupannya. Kemungkinan-kemungkinan lanjut seperti inseminasi
heterolog atau adopsi harus dibahas secara hati-hati dan dengan empati pada pasangan.