referat ginekologi
DESCRIPTION
adenomiosisTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
Adenomiosis merupakan endometriosis interna yang tumbuh di sela-sela
miometrium. Ciri khasnya adalah penetrasi progesif stroma dan kelenjar endometrium ke
dalam miometrium yang diikuti dengan hiperplasia otot polos dan perubahan lingkungan
imun lokal.1,2
Penyakit ini sangat sering ditemukan sebagai penyebab dismenorea,
menoragia dan infertilitas. Pertumbuhannya dipicu oleh kelemahan otot polos uterus atau
adanya peningkatan tekanan intrauterin atau gabungan keduanya. Kadar estrogen yang
tinggi dan perubahan imunitas seluler juga telah dihubungkan dengan kejadian
adenomiosis.1,2,3
Penyakit ini sebagian besar muncul pada akhir masa reproduksi dan
perimenopause.1 Angka kejadiannya beragam menurut cara pemeriksaan dan temuan
kasus; secara klinis ditemukan 10-20%,sedangkan berdasarkan histopatologis ditemukan
20-40%. Lebih dari 80% penderita adenomiosis memiliki uterus abnormal; 50% seiring
dengan miom uterus, 11% dengan endometriosis, dan 7% dengan polip endometrium.1,5
Kekambuhan pascabedah dan pascapengobatan medisinal adalah 33- 40,3%.6,7
Gejala
klinisnya sangat beragam, tersering adalah dismenorea (80%), selain itu juga ditemukan
nyeri pelvik (50%), infertilitas (40%), dan gangguan haid (20%). Gejala penyerta lain
adalah menoragia, dispareunia, nyeri suprapubik, pembesaran uterus, gangguan miksi dan
ada juga yang tanpa keluhan. Menoragia terjadi karena vaskularisasi jaringan bertambah
dan otot uterus tidak dapat berkontraksi dengan sempurna karena adanya jaringan mirip
endometrium di tengahnya.1,5,6,7
Hingga kini silang pendapat masih berlanjut tentang bagaimana melakukan
diagnosis dan penanganannya, khususnya pada perempuan yang masih menginginkan
uterus dan atau masih ingin memiliki keturunan. Diagnosis pastinya hanya dapat
ditegakkan secara histopatologis. Pada perempuan dengan paritas cukup atau perempuan
lanjut usia pilihan pengobatan adenomiosis yang dianjurkan adalah histerektomi total.
Tindakan bedah juga dianjurkan bilamana pengobatan hormonal 3 bulan tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Pada perempuan usia subur dengan masalah
infertilitas, maka tindakan yang perlu dipikirkan adalah melakukan reseksi
adenomiosis.1,3
-
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Endometrium
1. Anatomi
Uterus adalah organ yang terdiri atas suatu badan (korpus), yang terletak
di atas penyempitan rongga uterus (orifisium internum uteri), dan suatu struktur
silindris di bawah, yakni serviks, yang terletak di bawah orifisium internum uteri.
Uterus adalah organ yang memiliki otot yang kuat dengan ukuran panjang 7 cm,
lebar 4 cm, dan ketebalan 2,5 cm. Pada setiap sisi dari uterus terdapat dua buah
ligamentum broad yang terletak diantara rektum dan kandung kemih,
ligamentum tersebut menyangga uterus sehingga posisi uterus dapat bertahan
dengan baik. Bagian korpus atau badan hampir seluruhnya berbentuk datar pada
permukaan anterior, dan terdiri dari bagian yang cembung pada bagian posterior.
Pada bagian atas korpus, terdapat bagian berbentuk bulat yang melintang di atas
tuba uterina disebut fundus. Serviks berada pada bagian yang lebih bawah, dan
dipisahkan dengan korpus oleh ismus. Sebelum masa pubertas, rasio
perbandingan panjang serviks dan korpus kurang lebih sebanding; namun setelah
pubertas, rasio perbandingannya menjadi 2 : 1 dan 3 : 1.
-
3
Gambar 2.1 Sisi Anterior uterus (Glass office gynecology)
Gambar 2.2 pembagian sisi uterus
2. Histologi
Dari segi histologi, uterus terdiri dari tiga lapisan, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.2 .
a. Lapisan serosa atau peritoneum viseral yang terdiri dari sel mesotelial.
b. Lapisan muscular atau miometrium yang merupakan lapisan paling tebal di
uterus dan terdiri dari serat otot halus yang dipisahkan oleh kolagen dan
serat elastik. Berkas otot polos ini membentuk empat lapisan yang tidak
-
4
berbatas tegas. Lapisan pertama dan keempat terutama terdiri atas serat
yang tersusun memanjang, yaitu sejajar dengan sumbu panjang organ.
Lapisan tengah mengandung pembuluh darah yang lebih besar.
c. Lapisan endometrium yang terdiri atas epitel dan lamina propia yang
mengandung kelenjar tubular simpleks. Sel sel epitel pelapisnya
merupakan gabungan selapis sel sel silindris sekretorus dan sel bersilia.
Jaringan ikat lamina propia kaya akan fibroblas dan mengandung banyak
substansi dasar. Serat jaringan ikatnya terutana berasal dari kolagen tipe III.
Gambar 2.3 Uterus dan Jaringan Adnexa
Gambar 2.4 Lapisan dinding uterus
-
5
Lapisan endometrium dapat dibagi menjadi dua zona (Gambar 2.3), (1)
Lapisan fungsional yang merupakan bagian tebal dari endometrium. Lapsian
ini akan luruh pada saat terjadinya fase menstruasi. (2) Lapisan basal yang
paling dalam dan berdekatan dengan miometrium. Lapisan ini mengandung
lamina propia dan bagian awal kelenjar uterus. Lapisan ini berperan sebagai
bahan regenerasi dari lapisan fungsional dan akan tetap bertahan pada fase
menstruasi. Endometrium adalah jaringan yang sangat dinamis pada wanita
usia reproduksi. Perubahan pada endometrium terus menerus terjadi
sehubungan dengan respon terhadap perubahan hormon, stromal, dan vascular
dengan tujuan akhir agar nanitnya uterus sudah siap saat terjadi pertumbuhan
embrio pada kehamilan. Stimulasi estrogen dikaitkan erat dengan
pertumbuhan dan proliferasi endometrium, sedangkan progesteron diproduksi
oleh korpus luteum setelah ovulasi mengahmbat proliferasi dan menstimulasi
sekresi di kelenjar dan juga perubahan predesidual di stroma.
Gambar 2.5 Histologi Endometrium
-
6
B. Adenomiosis
1. Definisi
Adenomiosis adalah kelainan ginekologis yang ditandai dengan
adanya pertumbuhan lapisan endometrium secara ektopik yang ditemukan
diluar uterus. Secara lebih spesifik lagi dijelaskan sebagai suatu keadaan
dengan jaringan yang mengandung unsur unsur stroma dan unsur granular
endometrium khas terdapat secara abnormal pada berbagai tempat di dalam
rongga panggul atau daerah lain pada tubuh.
Adenomiosis adalah penetrasi dan bertumbuhnya jaringan
endometrium (jaringan yang melapisi dinding dalam rahim) ke dalam
myometrium (lapisan otot rahim), sering disebut pula dengan endometriosis
internal. Jadi penyakit ini sejenis dengan endometriosis. Adenomiosis dapat
ada bersamaan dengan endometriosis eksternal. Dan jaringan endometrium
yang salah tempat ini, seperti endometrium yang normal, akan mengikuti
siklus menstruasi, jadi cenderung mengalami pendarahan pada saat
menstruasi. Darah yang terkumpul di dalam jaringan otot rahim ini akan
menyebabkan pembengkakan; rahim menjadi lebih besar. Pembengkakan
(adenomiosis) ini dapat merata atau terfokus di satu tempat.
Adenomiosis adalah penyakit jinak uterus yang dicirikan dengan
adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik dalam myometrium. Hal ini
terjadi akibat rusaknya batas antara stratum basalis endometrium dengan
myometrium sehingga kelenjar endometrium dapat menembus miometrium.
Selanjutnya, terbentuklah kelenjar intramiometrium ektopik yang dapat
menyebabkan hipertrofi & hiperplasia miometrium (difus atau lokal). Pemicu
terjadinya peristiwa ini sampai sekarang masih belum jelas.
Umumnya adenomiosis salah didiagnosa sebagai fibroid rahim.
Sebenarnya terdapat perbedaan mendasar diantara fibroid (suatu tumor yang
jelas) dan adenomyoma. Fibroid berasal dari satu sel yang abnormal, yang
dibawah pengaruh hormon estrogen akan berkembangbiak. Pertumbuhan
tumor mungkin dapat menggeser dan menekan jaringan sekitarnya, tetapi dia
tidak pernah menyusup ke jaringan otot rahim, oleh karena tidak menyusup ke
-
7
jaringan otot rahim maka dimungkinkan untuk mengangkat seluruh tumor ini
tanpa mengganggu jaringan rahim yang normal selama proses pembedahan
yang disebut myomektomi (pembedahan untuk mengangkat fibroid).
Sebaliknya adenomyoma bukanlah suatu tumor dengan batas yang jelas, tetapi
lebih kea rah pembengkakan lokal dari dinding rahim sebagai akibat penetrasi
jaringan endometrium. Oleh karena itu tidak mungkin untuk mengangkat
jaringan yang terkena adenomiosis tanpa mengangkat jaringan otot rahim
yang dipenetrasi tadi.
Ada beberapa pendapat tentang batasan diagnosis adenomiosis. Secara
tradisional, diagnosis histologis adenomiosis ditegakkan ketika ditemukannya
kelenjar & stroma endometrium > 4 mm di bawah endomyometrial junction.
Sedangkan menurut Zaloudek & Norris, disebut adenomiosis jika jarak antara
batas bawah endometrium dengan daerah miometrium yang terkena + 2,5 mm.
Adenomiosis sub-basalis diartikan sebagai invasi minimal kelenjar
endometrium < 2 mm di bawah stratum basalis endometrium.
Gambar 2.6. Gambaran Adenomiosis
-
8
2. Epidemiologi
Adenomiosis merupakan salah satu penyakit organ reproduksi yang
paling sering terjadi. Adenomiosis sering ditemukan pada wanita usia remaja
dan usia reproduksi dari segala etnis dan kelompok masyarakat. Penyakit ini
terjadi pada 5 10 % pada wanita usia reproduksi. Epidemiologi adenomiosis
yang sesungguhnya telah disalahartikan oleh observasi awal yang sering kali
menyesatkan dan telah terjadi selama beberapa dekade. Adanya observasi
awal yang salah tersebut diperburuk dengan tingginya kesalahan diagnosis
visual pada saat dilakukan operasi.
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur
lain dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria
diagnostik yang dipakai. Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari
10% . Studi di Nepal oleh Shrestha et al. melaporkan insidens 23,4% pada
256 spesimen histerektomi. Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh
Parazzini et al. melaporkan insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita
yang menjalani histerektomi atas berbagai indikasi.
Meskipun insidensnya lumayan tinggi, tetapi studi epidemiologi
seputar adenomiosis masih sangat jarang. Telah disinggung pada bagian
pendahuluan bahwa perkembangan teknologi memungkinkan diagnosis
adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya dengan infertilitas
dapat dilakukan. De Souza et al. melaporkan insidens 54% hiperplasia JZ
pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan dismenore. Bukti lain
melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis
dengan agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. melibatkan
152 pasien in vitro fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ
uterus yang diukur dengan MRI terhadap keberhasilan implantasi, dilaporkan
bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan dengan
kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8%
pasien dengan JZ 7-10 mm versus 37,5% pada subjek lain.
Menurut Jacoeb dalam buku Berek and Novaks and gynecology,
angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan secara pasti karena
-
9
belum ada studi epidemiologik, namun, dari data temuan di rumah sakit,
angka kejadiannya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Pada
pasangan infertil dijumpai 25% diakibatkan oleh adenomiosis, sedangkan
pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai 80%. Di bagian
Obstetri dan Ginekologi FK-UI RSCM selama tahun 1990 tercatat 15,7%
kasus adenomiosis di Poliklinik Imunoendokrinologi.
3. Klasifikasi
Penentuan klasifikasi dan stadium adenomiosis sangat penting
dilakukan untuk menerapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi
hasil pengobatan. Stadium adenomiosis tidak memiliki korelasi dengan derajat
nyeri keluhan pasien maupun prediksi respon terapi terhadap nyeri atau
infertilitas. Hal ini dikarenakan adenomiosis dapat dijumpai pada pasien yang
asimptomatik. Klasifikasi Adenomiosis yang digunakan saat ini adalah
menurut American Society For Reproductive Medicine yang telah di revisi
pada tahun 1996 yang berbasis pada tipe, lokasi, tampilan, kedalaman invasi
lesi, penyebaran penyakit dan perlengketan.
Berdasarkan visualisasi rongga pelvis pada adenomiosis, dilakukan penilaian
terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan
densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai nilai dari
skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi
adenomiosis. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I), 5-15 adalah ringan
(stadium II), 16-40 adalah sedang (stadium III) dan lebih dari 40 adalah berat
(stadium IV).
Adenomiosis dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan lokasi dan
tipe lesi,yaitu:
a. Peritoneal adenomiosis
Lesi di peritoneum memiliki banyak vaskularisasi, sehingga
menimbulkan perdarahan saat menstruasi. Lesi yang aktif akan
menyebabkan timbulnya perdarahan kronik rekuren dan reaksi inflamasi
-
10
sehinggga tumbuh jaringan fibrosis dan sembuh. Lesi berwarna merah
dapat berubah menjadi lesi berwarna hitam tipikal dan setelah itu lesi
akan berubah menjadi lesi putih yang memiliki sedikit vaskularisasi dan
akan ditemukan debris glandular.
b. Ovarian Endometrial Cysts (Endometrioma)
Pada endoemtriosis yang terjadi di ovarium, dapat timbul kista
yang berwarna coklat dan sering terjadi perlengketan dengan organ
organ lain, kemudian membentuk konglomerasi. Kista endometrium
dapat berukuran >3cm dan multilokus, juga dapat tampak seperti kista
coklat karena penimbunan darah dandebris ke dalam rongga kista.
c. Deep Nodular Adenomiosis
Pada adenomiosis jenis ini, jaringan ektopik menginfiltrasi
septum rektovaginal atau struktur fibromuskuler pelvis seperti
uterosakral dan ligamentum utero-ovarium. Nodul-nodul dibentuk oleh
hiperplasia otot polos dan jaringan fibrosis di sekitar jaringan yang
menginfiltrasi. Jaringan adenomiosisakan tertutup sebagai nodul, dan
tidak ada perdarahan secara klinis yang berhubungan dengan
adenomiosis nodular dalam. Ada banyak klasifikasi stadium yang
digunakan untuk mengelompokkan adenomiosis dari ringan hingga
berat, dan yang paling sering digunakan adalah sistem American
Fertility Society (AFS) yang telah direvisi. Klasifikasi ini menjelaskan
tentang lokasi dan kedalaman penyakit berikut jenis dan perluasan
adhesi yang dibuat dalam sistem skor. Berikut adalah skor yang
digunakan untuk mengklasifikasikan stadium:
- Skor 1-5: Stadium I (penyakit minimal)
- Skor 6-15: Stadium II (penyakit sedang)
- Skor 16-40: Stadium III (penyakit berat)
- Skor >40: Stadium IV (penyakit sangat berat)
-
11
Gambar 2.7 Pembagian stadium adenomiosis
4. Etiopatogenesis
Mekanisme terjadinya adenomiosis belum dapat diketahui secara pasti.
Namun beberpa teori telah dikemukakan dan dipercaya sebagai mekanisme
dasar adenomiosis. Beberapa teori tersebut antara lain:
a. Menstruasi retrograde
Teori ini dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927, dijelaskan
bahwa adenomiosis terjadi karena darah menstruasi mengalir balik
melalui tuba ke dalam rongga pelvis (retrograde). Darah yang berbalik ke
rongga peritoneum diketahui mampu berimplantasi pada permukaan
peritoneum dan merangsang metaplasia peritoneum yang kemudian akan
merangsang angiogenesis. Hal ini dibuktikan dengan lesi adenomiosis
sering dijumpai pada daerah yang meningkat vaskularisasinya. Dewasa
ini, teori ini tidak lagi menjadi teori utama, karena teori ini tidak dapat
-
12
menjelaskan keadaan adenomiosis di luar pelvis (Januar, 2003). Teori
yang menguatkan bahwa teori Sampson tidak dapat laigi diterima adalah
telah ditemukan bahwa partikel endometrium memasuki rongga
peritoneal mereka akan diserang dan dihancurkan proses imunnologi
yang masih belum dapat diteliti. Selain itu, teori menstruasi retrograde
tidak dapat menjelaskan mekanisme terjadinya adenomiosis di organ-
organ lain, sehingga adenomiosis dipercaya memiliki beberapa
patogenesis lain.
b. Teori imunologik dan genetik
Gangguan pada imunitas terjadi pada wanita yang menderita
adenomiosis. Dmowski dkk mendapatkan adanya kegagalan dalam sistem
pengumpulan dan pembuangan zat-zat sisa saat menstruasi oleh makrofag
dan fungsi sel NK yang menurun pada adenomiosis. Beberapa penelitian
menemukan peningkatan IgA, IgG dan IgM dalam serum peritoneal
penderita adenomiosis. Kadar C3 juga berfluktuasi, tetapi meningkat di
dalam serum pada adenomiosis yang lebih berat. C3 merupakan
komplemen yang memegang kunci penting yang berawalnya kaskade
proses imunologis tubuh. Komplemen ini dipakai oleh antibodi untuk
proses penghancuran dinding sel sehingga merusak sel. Kadar C3 yang
tinggi di dalam serum menunjukkan komplemen tersebut tidak
dikonsumsi dalam proses imunologi dan proses sitolisis tidak
berlangsung.
c. Teori metaplasia
Teori metaplasia ini dikemukakan oleh Robert Meyer yang
menyatakan bahwa adenomiosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel
epitel yang berasal dari sel epitel selomik pluripoten dapat
mempertahankan hidupnya di daerah pelvis, sehingga terbentuk jaringan
adenomiosis. Teori ini didukung oleh penelitian-penelitian yang dapat
-
13
menerangkan terjadinya pertumbuhan adenomiosis di toraks, umbilikus
dan vulva.
d. Teori emboli limfatik dan vascular
Teori ini dapat menjelaskan mekanisme terjadinya adenomiosis di
daerah luar pelvis. Daerah retroperitoneal memiliki banyak sirkulasi
limfatik. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada 29 % wanita yang
menderita adenomiosis ditemukan nodul limfa pada pelvis. Hal ini dapat
menjadi salah satu dasar teori akan adenomiosis yang terjadi di luar
pelvis, contohnya di paru.
5. Lokasi Anatomis
Adenomiosis dapat tumbuh dimana saja di dalam pelvis dan pada
permukaan peritoneum ekstrapelvis lainnya. Ovarium, peritoneum pelvis, cul-de-
sac anterior dan posterior, dan ligamen uterosakral merupakan area yang paling
sering terlibat pada kasus adenomiosis. Selain beberapa area tersebut, septum
retktovaginal, ureter, kandung kemih, perikardium, bekas luka bedah, dan pleura
juga dapat menjadi lokasi adenomiosis. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
adenomiosis telah ditemukan pada seluruh organ, kecuali pada limpa. Beberapa
lokasi anatomis adenomiosis adalah:
a. Adenomiosis uteri interna ( Adenomiosis uteri)
Adenomiosis dikarakteristik dengan ditemukannya jaringan
adenomiosis tumbuh ke lapisan otot yang lebih dalam di uterus (miometrium).
Adenomiosis terdiri dari adeno ( kelenjar), mio (otot) dan osis (suatu kondisi)
yang secara jelas didefinisikan sebagai adanya atau tumbuhnya kelenjar
(endometrium) di lapisan otot (miometrium). Pada keadaan normal, terdapat
lapisan pembatas antara antara endometrium dan miometrium yang berfungsi
sebagai pertahanan terhadap invasi dari jaringan endometrium.
Sekalipun belum ada patogenesis pasti dari adenomiosis, namun para
peneliti berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh lemahnya lapisan otot
pembatas pada wanita yang menderita adenomiosis dan juga dipicu oleh
-
14
meningkatnya tekanan intra uterin antara kedua sisi. Ditemukannya
konsentrasi estrogen yang cukup tinggi dan adanya sistem imun
yangterganggu pada penderita adenomiosis juga dianggap menjadi mekanisme
penting dalam terjadinya adenomiosis. Rahim yang membesar dan lunak
merupakan gejala klasik dari adenomiosis.
Tidak seperti adenomiosis, beberapa peneliti percaya bahwa
adenomiosis dapat terjadi setelah kehamilan dan melahirkan, wanita berusia
empat puluhan dan lima puluhan yang telah melahirkan paling tidak satu anak
lebih mungkin untuk mengembangkan adenomiosis. Faktor genetik dan
hormon dipercaya menjadi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap
timbulnya adenomiosis. Adenomiosis merupakan kelainan patologis yang
sering ditemukan pada wanita multipara usia 40 50 tahun.
Gambar 2.8 Adenomiosis
-
15
b. Adenomiosis ovarium
Diduga terbentuk akibat invaginasi dari korteks ovarium setelah
penimbunan debris menstruasi dari perdarahan jaringan adenomiosis. Pada
adenomiosis yang terjadi di ovarium dapat terbentuk kista, namun kista
yang terbentuk disini bukan merupakkan kista sesungguhnya. Kista yang
normal berisi cairan dari lapisan sebuah struktur, sedangkan dinding dari
kista adenomiosis terdiri dari jaringan fibrosa, jaringan inflamasi, dan
endometrium tidak menghasilkan cairan.
c. Adenomiosis tuba
Saluran yang paling banyak mengalami adenomiosis adalah
saluran tuba tertutup. Gejala yang paling sering didapatkan dari kasus ini
adalah infertilitas. Pada wanita yang mengalami adenomiosis di tuba akan
lebih rentan mengalami kehamilan ektopik.
d. Adenomiosis retroservikalis
Pada rechtal toucher sering ditemukan adanya benjolan yang nyeri
pada cavum douglas, benjolan benjolan ini melekat dengan uterus dan
rektum, akibatnya terjadi dismenore, dispareuni, nyeri saat defekasi, serta
nyeri pelvis.
e. Adenomiosis ekstragenital
Setiap anggota tubuh yang dikeluhkan mengalami nyeri setiap kali
haid perlu dicurigai mengalami adenomiosis.
-
16
Gambar 2.9 Lokasi tersering terjadinya adenomiosis
6. Patogenesis
Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi
dari stratum basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat
adanya hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan
adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada plica
rectovaginal, adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari
sisa ductus Muller.
Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada
manusia masih dipelajari lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas
mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan dari sintesis DNA dan
ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapiran basalis.
Lapisan fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan
basalis sebagai sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat
-
17
degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat proses
regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan
sel-sel stroma endometrium yang membentuk system
mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran sitoplasma
pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar
endometrium adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi
invitro menunjukkan sel-sel endometrium memiliki potensial invasive dimana
endometrium ke dalam miometrium.
Dalam studi yang menggunakan hibridisasi dan imunohistokimia
insitu menunjukkan kelenjar-kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan
reseptor hCG/LH. Hal ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa
peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium berkaitan dengan
kemampuan untuk menembus miometrium dam membentuk fokal
adenomiosis. Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH
ditemukan pada Carsinoma Endometrii dibandingkan kelenjar endometrium
yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasive
dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.
Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan
hasil yang tidak konsisten. Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor
progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain menunjukkan
ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan estrogen.
Dengan menggunakan teknik pelacak imunohistokimia, ditemukan
konsentrasi yang tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan
basalis endometrium maupun adenomiosis.
Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium
yang menggunakan mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas
evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan dalam proses invaginasi
semenjak ditemukan adanya hyperplasia memiliki peranan dalam proses
invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hyperplasia endometrium pada
wanita dengan adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan
dalam perkembangan adenomiosis sebagaimana galnya endometriosis. Hal ini
-
18
didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen dengan pemberian
Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan
dengan gejala menoragia dan dismenorea.
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma
endometrii, endometriosis, adenomiosis dan leiomioma, tidak hanya terdapat
reseptor estrogen, namun juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi
androgen menjadi estrogen. Precursor utama androgen, Andronostenedione,
dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu
Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi
Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone
akan dikonversi lagi menjadi 17-estradiol yang meningkatkan tingkat
aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan
menstimulasi pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.
Gambar 2.10 skema mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent
Didalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase dan sulfatase.
Produksi estrogen local meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-
sama dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang pertumbuhan jaringan
yang termediasi oleh reseptor estrogen.
mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan komponen
utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom
terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.
-
19
7. Perkembangan Endometriosis dan Adenomiosis
Hiperperistaltik uterus mempunyai peranan penting dalam
perkembangan endometriosis dan adenomiosis. Hiperperistaltik dapat dipicu
oleh peningkatan kadar estradiol perifer di dalam darah. Namun, estradiol
yang memicu hiperperistaltik ini dapat juga berasal dari endometrium itu
sendiri. Adanya ekspresi P450 aromatase selama fase luteal, dimana lapisan
basalis endometrium merupakan kelenjar endokrin yang memproduksi
estrogen dari precursor androgen. Pada wanita dengan adenomiosis dan
endometriosis konsentrasi estrogen dalam darah saat haid lebih tinggi
dibandingkan wanita normal.
Konsep tentang hiperestrogenisme archimetrium non-ovarium
merupakan salah satu kejadian awal dalam tahap perkembangan endometriosis
yang dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lingkungan seperti perusak endokrin
dan konsumsi makanan, tetapi hal ini masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Pada penelitian hewan coba, dioxin meningkatkan aktivitas peristaltic tuba
dan diaktifkan melalui reseptor estrogen. Factor keturunan juga diteliti pada
koloni monyet Rhesus yang menunjukkan ada kaitannya dengan
endometriosis
Pada gambar berikut menerangkan konsep perkembangan
endometriosis dan adenomiosis. Archimiometrium distimulasi oleh
peningkatan lokal dari estradiol dan okd=sitosis endometrium beserta
reseptornya. Kejadian yang menyebabkan hiperestrogenisme archimetrium
sampai saat ini belum diketahui. Diduga karena peranan P450 aromatase yang
karena aktivasi P450 aromatase menyebabkan peningkatan produksi lokal dari
estrogen. Hperestrogenisme archimetrium menghasilkan hiperperistaltik
uterus dan peningkatan tekanan uterus.
-
20
Gambar 2.11 skema patofisiologi endometriosis dan adenomiosis
Hiperperistaltik menyebabkan trauma mekanik sehingga terjadi
peningkatan kapasitas transport uterus retrograde sehingga terjadi diseminasi
fragmen-fragmen tersebut melalui tuba. Fragmen-fragmen dapat berimplantasi
dimanapun didalam cavum peritoneum. Setelah proses implantasi, terjadi
proliferasi dan pertumbuhan infiltratif yang tergantung dari potensial
proliferatif daro fragmen basalis masing-masing. Gambaran endometriosis
pelvis yang pleimorfik merupakan rantai yang panjang sejak gangguan awal
pada tingkat archimetrium sampai berkembangnya lesi endometriosis.
Dalam perkembangan adenomiosis, rantai kejadian ini lebih pendek.
Adanya hiperperistaltik dan peningkatan tekanan uterus menyebabkan
dehisensi miometrium yang dapat terinfiltrasi oleh endometrium basalis.
Terbentuklah adenomiosis fokal atau difus. Adenomiosis fokal biasanya
berada di dinding anterior atau posterior, namun terutama di dinding posterior
dan tidak pernah berada di dinding lateral atau corpus uteri.
-
21
8. Faktor Resiko
Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara
lain usia antara 40-50 tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium,
riwayat abortus spontan, dan polimenore. Sedangkan usia menarke, usia saat
partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio sesarea,
endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid,
penggunaan kontrasepsi oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan
adenomiosis.
9. Gambaran Klinis
Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga
menyebabkan rendahnya tingkat akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah
studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis adenomiosis yang dibuat
dari specimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang
khas. Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan
pembesaran uterus. Gejala seperti ini juga umum terjadi pada kelainan
ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu dispareunia &
nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.
Presentasi klinis Adenomiosis
a. Asimtomatis
Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG
transvaginal atau MRI; bersama dengan patologi yg lain)
b. Perdarahan uterus abnormal
Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya
proses adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan berat).
Perdarahan ireguler relatif jarang, hanya terjadi pada 10% wanita dengan
adenomiosis.
c. Dismenorea pada > 50% wanita dengan adenomiosis
d. Gejala penekanan pada vesical urinaria dan usus dari uterus bulky (jarang).
e. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)
-
22
Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari
kelenjar adenomiosis ke dalam miometrium dan densitas pada gambaran
histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam miometirum. Kedalaman
adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan pilihan
strategi penatalaksanaannya. Mc Causland menunjukkan bahwa dari biopsi
reseksi endometrium, kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium
berhubungan dengan jumlah perdarahan banyak yang dilaporkan. Sehingga
pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi endometrium.
Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan
banyak yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional
yaitu histerektomi.
10. Diagnosis
Adanya riwayat menorrhagia dan dismenora pada wanita multipara
dengan pembesaran uterus yang difus seperti hamil dengan usia kehamilan 12
minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam kenyataannya, diagnosis
klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis
(25%). Sehingga kecurigaan klinis adenomiosis dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan pencitraan berupa USG transvaginal dan MRI
Prosedur yang paling akurat untuk diagnosis adenomiosis adalah
laparoskopi, metode bedah invasif. Diagnosis definitif didasarkan pada
visualisasi dari lesi karakteristik dan pada konfirmasi histologis. Beberapa
penelitian telah melaporkan bahwa CA-125, glikoprotein asal epitel
ditemukan pada sel normal, memiliki konsentrasi serum tinggi pada pasien
dengan adenomiosis, terutama ketika dievaluasi selama menstruasi flow1- 3.
Biomarker lain yang menarik untuk penelitian ini adalah larut CD-23, sebuah
protein yang diekspresikan pada permukaan membran sel, biasanya
diidentifikasi sebagai reseptor IgE afinitas rendah pada sel B, eosinofil,
monosit, sel dendritik, epitel sel Langerhans dan trombosit. Beberapa langkah
dalam menegakkan diagnosis adenomiosis antara lain :
-
23
a. Anamnesis
Keluhan utama pada adenomiosis adalah nyeri. Nyeri pelvis kronis
yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada
adenomiosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek
yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat
diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena
penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh
kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Adenomiosis juga lebih
mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada
dizigot.
b. Pemeriksaan Fisik Umum
Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita
menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non
ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang
letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan
dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai
lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.
c. Pemeriksaan fisik ginekologi
Pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada
kelainan. Lesi adenomiosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan
inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1%
penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan adenomiosis pada
penderita nyeri pelvik.
d. Pemeriksaan Penunjang
Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG
transvaginal yang menghasiljan kemampuan diagnostic yang lebih baik.
Kriteria diagnostic dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu
tekstur miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium
-
24
yang abnormal dengan batas yang tidak tegas, stria linier miometrium
dengan kista miometrium.
Gambar 2.11 USG transvaginal dari uterus yang membesar dengan miometrium posterior menebal (panah).
Gambar 2.12 USG transabdominal sagital dari uterus yang membesar dengan miometrium posterior
menebal (panah).
e. Diagnosis Laparoskopi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adenomiosis, dengan pemeriksaan visualisasi
langsung ke rongga abdomen, yang mana pada banyak kasus sering
-
25
dijumpai jaringan adenomiosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan
endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina,
kavum douglas, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvis
yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas,
permukaan kandung kemih dan usus. Penampakan klasik dapat berupa
jelaga biru-hitam dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di
sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpih
haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi
atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih.
Diagnosis adenomiosis secara visual pada laparoskopi tidak selalu
sesuai dengan pemastian histopatologi meski penderitanya mengalami
nyeri pelvis kronik. Adenomiosis yang didapat dari laparoskopi sebesar
36%, ternyata secara histopatologi hanya terbukti 18% dari pemeriksaan
histopatologi.
Gambar 2.13 Adenomiosis pada pemeriksaan laparoskopi
11. Penatalaksanaan
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi
reproduksi selanjutnya. Dismenorea sekunder yang diakibatkan oleh
adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi perlu
dilakukan intervensi noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), obat kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan
manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis pada prinsipnya sesuai
dengan protokol penanganan endometriosis.
-
26
a. Terapi Hormonal
Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tidak ada bukti klinis yang menunjukkan adanya
manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat adenomiosis.
Pemberian obat hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan
hilang setelah pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling
klasik adalah gonadotrophin releasing hormone agonist (GnRHa), yang
dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa
adalah dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang
mengkatalisis konversi androgen menjadi estrogen. Pada pasien dengan
adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan.
b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk
adenomiosis. Indikasi operasi antara lain ukuran adenomioma lebih dari 8
cm, gejala yang progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan
infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal
konvensional. Suatu teknik operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada
pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang baru ini,
jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus
direkonstruksi dengan teknik triple flap. Teknik ini diklaim dapat
mencegah rupture uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian tersebut,
dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil
dan 14 dapat mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi
sehat tanpa penyulit selama kehamilan. Akan tetapi teknik ini belum
diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut
12. Komplikasi
Komplikasi dari adenomiosis sering berhubungan dengan adanya
fibrosis dan jaringan parut yang tidak hanya berefek pada organ yang terkena,
namun juga dapat menyebabkan obstruksi kolon dan ureter. Ruptur dari
-
27
endemetrioma dan juga dihasilkannya zat berwarna coklat yang sangat iritan
juga dapat menyebabkan peritonitis. Meskipun jarang, lesi endometrium dapat
berubah menjadi malignan dan paling sering terjadi pada kasus adenomiosis
yang berlokasi di ovarium.
13. Prognosis
Pada kasus adenomiosis, salah satu yang terpenting adalah penderita
harus diberikan konseling dan pengertian tentang penyakit yang dideritanya
secara tepat. Pasien harus diberi pengertian bahwa pengobatan yang diberikan
belum tentu dapat menyembuhkan. Operasi definitif tidak dapat memberikan
kesembuhan total, sekalipun resiko kambuh sangat rendah resikonya ( 3 %).
Resiko kekambuhan lebih rendah dengan diberikannya terapi sulih hormone
estrogen. Setelah dilakukan operasi konservatif, tingkat kekambuhan yang
dilaporkan sangat bervariasi. Jumlah kasus yang terjadi.
-
28
BAB III
KESIMPULAN
Adenomiosis, dikenal pula dengan nama endometriosis interna. Bird et al.
mengemukakan definisi adenomiosis sebagai invasi jinak jaringan endometrium ke dalam
lapisan miometrium yang menyebabkan pembesaran uterus difus dengan gambaran
mikroskopis kelenjar dan stroma endometrium ektopik non neoplastik dikelilingi oleh
jaringan miometrium hipertrofik dan hiperplastik. Sathyanarayana membagi adenomiosis
kedalam 3 kategori berdasarkan kedalaman lokasi lesi. Gordts et al. mengusulkan sistem
klasifikasi adenomiosis sederhana berdasarkan analisis MRI pada JZ uterus
Pertama, hiperplasia JZ sederhana, ketebalan JZ 8 mm tetapi 12 mm pada wanita
berusia 35 tahun.
Kedua, adenomiosis parsial atau difus, ketebalan JZ 12 mm, focus miometrial
berintensitas sinyal tinggi, dan melibatkan komponen di luar miometrium < , < atau >
Ketiga, adenomioma, massa miometrial berbatas tidak jelas dengan intensitas sinyal
rendah pada semua sekuens MRI.
Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain
dilaporkan 8% hingga 61%, bergantung pada seleksi sampel dan kriteria diagnostic yang
dipakai . Diagnosis preoperatif sendiri masih kurang dari 10% . Berbagai keadaan telah
diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain :
Usia antara 40-50 tahun, bukan perokok, multipara, tingkat pendidikan rendah (
-
29
ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis, sedangkan yang lain
menunjukkan ekspresi reseptor progesteron yang lebih tinggi dibandingkan estrogen.
Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang
tinggi baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun
adenomiosis.
Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini
disebabkan gejala adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan
pada fibroid uterus, perdarahan uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Tidak
ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya
tingkat akurasi diagnosisi preoperatif.
Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi
selanjutnya.
a. Terapi Hormonal
b. Terapi Operatif
Dengan MRI dan USG Transvaginal, Adenomiosis dapat dideteksi lebih dari 90%
kasus. Prognosis Adenomiosis tidak ada resiko yang mengarah ke keganasan. Dan karena
kondisinya berkaitan dengan kadar esterogen, maka keadaan menopause dapat
menyebabkan kesembuhan alami, dimana tindakan histerektomi dapat dilakukan apabila
keluhan sangat mengganggu dan mengancam.
-
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Pernol ML. Benson and Pernols Handbook of Obstetrics and Gynecology 10 th Ed.
2001. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
2. Ferenczy A. Pathophysiology of adenomiosis. Human Reproduction Update 1998; 4:
312-322.
3. Benagiano G and Brosens I. History of adenomiosis (Abstract). Best Pract Res Clin
Obstet Gynaecol. 2006 Aug;20(4):449-63. Epub 2006 Mar 2.
4. Campo S, Campo V, Benagiano G. Review Article Adenomiosis and Infertility.
Obstetrics and Gynecology International Volume 2012, Article ID 786132.
5. Shrestha A,Shrestha R,Sedhai LB,Pandit U. Adenomiosis at Hysterectomy:
Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopatholgical
Findings.Kathmandu Univ Med J 2012;37(1):53-6.
6. DeCherney AH and Nathan L. Current Obstetric & Gynaecologic Diagnosis &
Treatment 9 th Ed. 2003. New York : The McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Reuter, K. Adenomiosis Imaging, Online (cited on Agustus 18, 2015).
www.medscape.com.
8. Edmonds DK. Dewhursts Handbook of Obstetrics and Gynaecology 7th Ed. 2007.
London : Blackwell Science, Ltd.
9. Chopra S, Lev-Toaff AS, Ors F, Bergin D. Adenomiosis: Common and Uncommon
Manifestations on Sonography and Magnetic Resonance Imaging, J Ultrasound Med
2006; 25:617627.
10. Parazzini F et al. Risk factors for adenomiosis. Human Reproduction vol.12 no.6
pp.12751279, 1997.
11. Berek, JS. Berek & Novak's Gynecology 14th Ed. 2007. Pennsylvania : Lippincott
Williams & Wilkins.
12. Roservear SK. Handbook of Gynecology Management. 2002. London : Blackwell
Science, Ltd