tinjauan pustaka positive deviance · dibagi menjadi lingkungan pra natal dan ... terhadap tumbuh...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Positive Deviance
Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan
penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan
perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan
masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance
dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin
dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya
menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami
gizi kurang (Zeitlin et al 1990).
Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk
mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk
dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat
tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang
berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku
khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-
cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka
yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang
termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa
dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil
yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive
deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan,
pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003).
Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan
untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi
masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam
penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di
Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak
usia 6 – 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang
selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,
6
keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang
kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000).
Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tanda-
tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat
gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.
Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan
wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro
berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi
baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005).
Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa
penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang
sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang
tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan,
jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi,
persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling
tidak dapat terpisahkan. Unicef (1998) menyatakan bahwa status gizi balita tidak
hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar
disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsung dan
determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi
intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit
infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan
tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan
pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya
adalah kemiskinan.
7
Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga,
ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status
gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan,
pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan,
pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak
terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya
terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004).
Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan
penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi
tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan
data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara
mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara
yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum
dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran
antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per
Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan
(BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh
(IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan
Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi
saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik
karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi
badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator
BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini
(Soekirman 2000).
Alat ukur. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui berat badan yaitu
ada 2 macam timbangan yaitu tipe Salter spring balance (timbangan gantung) dan
tipe Bathroom scale. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui panjang/tinggi
badan yaitu Baby length board (untuk bayi) dan Vertical measures (microtoise).
Untuk mengukur lingkar lengan atas (LILA) dengan menggunakan pita ukur non-
elastis, sebagai alternatif bila tidak memungkinkan mengukur berat badan dan
tinggi badan .
8
Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan
Nilai Simpang Baku Rujukan
Nilai Individu Subjek
Nilai Median
Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa
digunakan, antara lain :
1. Nilai Skor-Z atau SD
Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai
SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan.
Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila
<-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD.
WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk
memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu :
- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U
- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB
- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U
Rumus perhitungan z-skor, adalah:
Z-skor =
2. Nilai persen terhadap nilai median
Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai
persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90%
median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai
-2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila
71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB
mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD.
Rumus perhitungan yang digunakan adalah:
X 100%
3. Nilai persentil
Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai
posisi individu dalam sebaran populasi rujukan. Dikatakan normal, bila
antara persentil 5 dan 95. Kurang, bila kurang persentil 5. Dan Lebih, bila
lebih persentil 95.
9
Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal
apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai
median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis
ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk,
apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di
atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk
sekali (Soekirman 2000).
Pertumbuhan
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang
merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu
(Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan
ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu.
Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat
(gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan
metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003).
Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis
kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-
obatan dan penyakit (Supariasa 2002).
a. Genetik
Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang
tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan.
Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan
pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh
orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara
langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang
diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa system biologis
yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen
dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari
glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan
terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon
pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan
10
mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara
gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia
(Bogin 1999).
b. Lingkungan
Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi
individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya
potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan
dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.
Lingkungan Pra Natal
Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh
terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara
lain seperti :
a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi
BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang
menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat
menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan
daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan
berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.
b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat
menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat
kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-
obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan,
kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah.
c) Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada
pertumbuhan janin adalah somatotropin, yang disebut juga hormon
pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatik
terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat
dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya
somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya
meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah
latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.
11
d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio
atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga
dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah
(BBLR).
Lingkungan Post Natal
Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain
lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan
kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi
metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan
faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut
berpengaruh.
c. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan
kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui
mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi
dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk
membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan
infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989).
Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan
gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat
badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of
growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia
2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan
ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi
ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert &
Hoffnung 1997).
Proses pertumbuhan anak berlangsung pada sel, organ dan tubuh.
Pertumbuhan tersebut terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya
jumlah sel), hyperplasia dan hipertropi (bertambahnya ukuran dan kematangan
sel). Selanjutnya, setiap organ atau bagian tubuh lain mengikuti pola pertumbuhan
yang berbeda dalam setiap tahapan tersebut (Anwar 2002).
12
Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil.
Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada
6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan
kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka
penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun
kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari
pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah
50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun
keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan
dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per
tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan
antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan
relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi
zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks
TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau
juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002).
Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)
Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi
kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak
mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan
dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan
pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat
indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi
underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei.
Tabel 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting
dan wasting
Klasifikasi Berat
Masalah Gizi
Prevalensi
Underweight (%)
Prevalensi
Stunting (%)
Prevalensi
Wasting (%)
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
<10
10-19
20-29
≥30
<20
20-29
30-39
≥40
<5
5-9
10-14
≥15
Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)
13
Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan
normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang
terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan
sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang
kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita
pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena
masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri
masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang
sifatnya kronis (Kemenkes 2010a).
Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui:
perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola
asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan
kerangka UNICEF (1998).
Kemiskinan dan Masalah Gizi
Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai
dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik
ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan
menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu
kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-
hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga
pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta
berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur
bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya
pemerintah semata (BPS 2011).
Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun
yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar
nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan
budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat
„kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup
pengertian yang berbeda (Cahyat 2004), antara lain :
14
Model Tingkat Konsumsi
Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi
ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat
ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah
pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari
240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin,
sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras
per orang per tahun.
Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun
1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase
penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial
ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi
penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator
yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100
kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya
terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.
Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus
dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi
statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model
BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis
Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional
maupun tingkat propinsi.
Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain
sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan
internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator
tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran.
Model Kesejahteraan Keluarga
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat
dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei yang
digunakan yaitu keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga
Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat
kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan
15
Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka
program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok
data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya
jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga
berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data
tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori
keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus.
4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll.
Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai
tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat
Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk
program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin.
Model Pembangunan Manusia
Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh lembaga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United
Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia
atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali
pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara.
Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang
pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai
model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia
Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan
keadaan pada tahun 1999 dan 2002.
HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih
komprehensif, di mana menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir.
Berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau
Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender
Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender
Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human
Poverty Index (HPI). Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas
16
tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan
memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia
dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan
sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia
sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi
yang ditingkatkan sampai kabupaten.
Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat
konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung
pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non
makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan
penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya
berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah
penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan
kota Bogor, menurut BPS (2011) yaitu Rp. 256.414,-.
Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi,
kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya
kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan
berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara.
Pertama, secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena
kelemahan fisik. Kedua, secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi
kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, dapat
menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk
berobat.
Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri,
atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya
(UU RI 1992). Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang
peranannya penting dalam tumbuh kembang anak.
Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga
tersebut dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Keadaaan sosial
17
ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan
yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga
tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa 2002):
a. Keadaan penduduk suatu masyarakat
b. Keadaan keluarga.
c. Tingkat pendidikan orang tua
d. Keadaan rumah
Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi :
a. Pekerjaan orang tua.
b. Pendapatan keluarga.
c. Pengeluaran keluarga.
d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim.
Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga yang diuraikan antara lain umur,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga.
Umur Orang Tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan
pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda
kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam
merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur
muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan
anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan
menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi
pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998).
Pendidikan orangtua. Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk
berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan
informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi
(Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimmya kualitas
sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara
keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan (years of schooling) adalah
sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk
18
sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam
Khomsan 2007).
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi
pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi
sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi
dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi,
kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung
mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik.
Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat
pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya
terhadap kesehatan anak dan keluarga.
Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan
anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi
penjagaan kesehatan, peningkatan pengasuhan, karakteristik keluarga,
peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004). Status
pendidikan keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan
dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau
pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004).
Besar Keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan
sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran
rumahtangga. Besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang
dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas
maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga
dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan
menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sukandar 2007).
19
Keluarga yang mempunyai banyak anak akan menimbulkan banyak masalah
bagi keluarga tersebut, jika penghasilan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam
penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga mempunyai anak hanya tiga
orang, maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi anak balita.
Keluarga/ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih
sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier 2004).
Jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar
dibandingkan dengan keluarga kecil dan jumlah anak yang mengalami gizi kurang
pada keluarga besar, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil
(Berg 1986).
Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam
satu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak
(Khomsan 2007). Selanjutnya hasil penelitian Suradi dan Chandradewi (2007)
menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai
waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat
dipantau.
Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga. Pekerjaan atau mata pencaharian
berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan akan terkait dengan faktor-
faktor lain seperti kesehatan. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga
miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga
dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan
(Harper, Deaton & Driskel 1986).
Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah,
melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meyer dan Dusek (1992) mengatakan
bahwa banyaknya waktu ibu rumah tangga yang digunakan untuk mengasuh anak
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Anak
yang belum dilepaskan sendiri, maka kebutuhan sehari-hari seperti makan,
berpakaian dan lain-lain tergantung pada orang lain terutama ibu. Seorang ibu,
baik sebagai ibu rumah tangga maupun pekerja selalu dihadapkan pada berbagai
kesibukan yang memerlukan pengaturan waktu. Menurut Satoto (1997), ibu
rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara
otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.
20
Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan
status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan
kualitas makanan yang dikonsumsi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan
merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini
diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat,
penyediaan lauk-pauk akan meningkat pula mutunya. Meningkatnya pendapatan
keluarga akan diikuti perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Keluarga
yang berpenghasilan rendah, menggunakan sebagian besar dari keuangannya
untuk membeli makanan dan bahan makanan. Pada kondisi pendapatan yang
rendah orang tidak memikirkan kualitas makanan yang dikonsumsi.
Tinggi Badan Orangtua. Tinggi badan orang tua merupakan salah satu
faktor dalam melihat tinggi badan anak. Bock (1986) dalam Bogin (1999),
melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup
dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar
belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi
pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang
anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam
penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang.
Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah
genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang faktor
lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan
dibandingkan dengan faktor genetik. Anak-anak di negara maju badannya lebih
tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara
miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari
suku atau ras yang sama (Jahari 1988).
Karakteristik Ibu
Karakteristik ibu dalam penelitian ini yang berkaitan dengan kebijaksanaan
yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan jumlah anak ideal, jarak
kelahiran anak yang ideal dan usia ideal untuk melahirkan dan mengakhiri
21
kehamilan. Selain itu, penyakit yang diderita ibu pada masa perencanaan
kehamilan akan mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan.
Kebijakan dalam Program KB Nasional dilakukan melalui „Reproduksi
Sehat‟ diharapkan bahwa perempuan tidak hamil dan melahirkan sebelum usia
20 tahun dan sesudah usia lebih dari 30 tahun. Jarak yang aman untuk hamil dan
melahirkan adalah usia 20–30 tahun dengan jarak melahirkan yang aman dari
anak yang satu ke anak berikutnya adalah 3-5 tahun, sehingga diharapkan selama
masa suburnya wanita hanya melahirkan dua orang anak saja dan maksimalnya
adalah tiga orang (Saputra 2009). Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat
menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan
pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus
memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki
jarak kelahiran kurang dari dua tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk
menderita anemia (Wibowo & Basuki 2006).
Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia
ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Bila seorang ibu telah
melahirkan anak lebih dari empat orang anak, maka resiko ibu dan anaknya makin
besar pada setiap kelahiran berikutnya. Taylor dalam penelitian di Thailand tahun
1970 menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang
melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko
kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34
tahun (Saputra 2009). Walaupun demikian, hasil penelitian Ventura et al. (1997),
usia ketika orang tua memulai keluarga telah berubah selama beberapa dekade
terakhir di Amerika Serikat, dengan peningkatan substantial angka kelahiran pada
wanita berusia 30 sampai 40 tahun dan penurunan angka kelahiran pada wanita
yang berusia 20 sampai 29 tahun (Wong 2008).
UU No 10 tahun 1992 menginsyaratkan agar keluarga-keluarga di Indonesia
mempunyai anak yang ideal. BKKBN sendiri sebagai pengelola dan pelaksana
Program KB menetapkan motto ”dua anak lebih baik”. UU NO 10 tahun 1992
menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok pembangunan keluarga berencana
menuju pembangunan keluarga sejahtera adalah upaya pengaturan kelahiran.
Program KB tidak hanya berupaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan
22
penduduk, namun juga menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Melalui
Program KB setiap pasangan bisa merencanakan kehidupan dengan lebih baik,
sehingga dengan motto ”dua anak lebih baik” setiap rumah tangga bisa mendidik
serta memberi nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Jumlah anak yang sedikit
dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang
lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat
(Saputra 2009).
Konsumsi makanan yang rendah disebabkan oleh adanya penyakit terutama
penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang
terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi
dalam keluarga (Supariasa 2002). Selanjutnya penelitian Wyon dan Gordon
tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan
bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari
2 tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun
dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Jumlah anak
yang dilahirkan oleh seorang ibu dan jarak anak yang terlalu dekat berhubungan
erat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap
kemampuan fisiologis tubuh ibu menyediakan nutrisi bagi bayinya. Hasil
penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan status gizi terhadap fertilitas
menunjukkan bahwa bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang
sedikit, status gizinya lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai
saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak (Zeitlin et al. 1990).
Hadirnya seorang anggota keluarga baru berpengaruh terhadap anak yang
lebih tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan
suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak paling tua masih
kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Seorang
anak yang lebih tua mempunyai tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap
situasi yang terjadi dan tidak lagi memandang kehadiran anggota baru sebagai
suatu ancaman walaupun ia mengalami kehilangan kedudukannya sebagai anak
semata wayang. Berbagai studi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa terdapat
kasih sayang yang lebih besar dan lebih sedikit persaingan atau perasaan kesepian
23
pada anak yang mempunyai adik baru dengan perbedaan usia sekitar 3 tahun atau
lebih. Namun, temuan tersebut tidak konsisten (Wong 2008).
Karakteristik Anak Balita
Karakteristik anak adalah segala hal yang melekat pada diri anak, baik fisik
maupun non fisik. Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh
kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan
urutan kelahiran anak (Hurlock 1997).
Jenis kelamin anak akan mempengaruhi bagaimana orangtua
memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan
oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003).
Umur anak mempengaruhi kuantitas waktu ibu untuk pengasuhan. Diatas
umur dua tahun anak makin mandiri dan mempunyai jaringan sosial yang lebih
luas dan ketergantungan dengan ibu mulai berkurang (Hurlock 1997). Hasil
penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur
anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al.
(2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan.
Urutan kelahiran anak mempengaruhi ibu dalam pengasuhan. Anak tunggal,
anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih
baik dibandingkan dengan anak lainnya (Maulani 2002). Anak tengah menurut
Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji,
menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut
untuk berkompromi dan beradaptasi. Penelitian Macharia et al. (2005)
menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting
pada anak balita.
Pengetahuan Gizi dan Kesehatan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal
yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi
fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui (Winkel 2007).
Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat
diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi
gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap
24
konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi
baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media
massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut
menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami
pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola
penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan
makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan
seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007).
Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif
pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan
konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan
peningkatan keluarga dengan memanfaatkan pekarangan sekitar rumah
(Sediaoetama 2006). Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di
kota masih kurang mencukupi. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau
sudah mengkonsumsi makanan pokok (Kartasapoetra 2005).
Menurut Suhardjo (2005) bahwa peningkatan pengetahuan gizi terhadap
konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu:
1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
2) Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang
dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan
tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.
3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat
belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh
terhadap status gizi anak balita. Penelitian Mariani (2002), menemukan bahwa ibu
yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk
lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian
Martianto et al. (2008), pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan
dengan pendidikan ibu.
Menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu
kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi
25
dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena
sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau
melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih
baik.
Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk
objektif. Menurut Syah (2002), bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya
dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan
sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan
berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian dan tes perlengkapan.
Khomsan (2007) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi
seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan
pilihan ganda (Multiple choice). Dan pengkategorian dalam pengetahuan gizi
berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen.
Masa Kehamilan
Kehamilan merupakan masa yang penting karena masa ini mempengaruhi
kualitas anak yang akan dilahirkan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari
perencanaan menu yang benar (Paath 2005).
Kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi
dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Zat besi
merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam
pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin. Kehadiran protein hewani,
vitamin C, zink (Zn), asam folat, dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam
tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat
yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999).
Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan
tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Menurut Arisman (2004), jika
seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan
akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui
suplementasi.
Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa
sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat,
26
cukup bulan dengan berat badan normal. Selama masa kehamilan metabolisme
energi semakin meningkat sehingga kebutuhan energi dan zat gizi lainnya
meningkat pula. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan,
perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi
tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak
sempurna. Oleh karena itu kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada
keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Lubis 2003).
Kebiasaan – kebiasaaan yang dilakukan saat kehamilan. Pemeriksaan
saat hamil merupakan suatu hal yang penting yang harus dilakukan untuk
mengetahui kesehatan janin. Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal (Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal
sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada
triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga.
Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan;
ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; Pemberian imunisasi (Tetanus
Toksoid) TT lengkap; Konsumsi Tablet tambah darah, minimum 90 tablet selama
kehamilan; Tes terhadap Penyakit Menular Seksual ; serta Temu wicara dalam
rangka persiapan rujukan.
Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan
risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih
intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan,
melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat
dilakukan terminasi (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006),
perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun
pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan
resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan
perawatan kehamilan.
Meminum jamu merupakan kebiasaan atau tradisi turun temurun yang
diwariskan dari nenek moyang. Menurut dr. Hasnah Siregar, Sp.OG, dari RSAB
Harapan Kita, Jakarta, bahwa baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah
melahirkan, walaupun ilmu kedokteran belum pernah meneliti tentang kandungan
27
dari bahan-bahan jamu tersebut. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada
di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri
yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga
terjamin kehigienisannya. Sesuaikan dosis pemakaiannya, disertai pemeriksaan
antenatal care pada ginekolognya. Selanjutnya Kepala Balitbangkes Depkes,
Prof.Dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD, jamu merupakan alternatif obat
alamiah yang berfungsi untuk menjaga kondisi kesehatan, "Bukan mencegah dan
mengobati kemungkinan seseorang terkena penyakit karena yang digunakan untuk
mengobati penyakit adalah obat-obatan" (Melindacare 2010).
Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat
keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada
trimester pertama yang merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan karena
pada tersebut janin sedang membentuk organ-organ vital seperti mata, hidung,
telinga, pertumbuhan otak, dan lainnya. Kemungkinan pada trimester kedua bisa
lebih longgar karena pembentukkan organ-organ janin sudah sempurna, tinggal
mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhannya, tapi meskipun demikian
harus tetap berhati-hati. Karena terkadang ada jamu yang pedas sehingga
membuat perut menjadi mulas. Dikhawatirkan akan mengakibatkan kelahiran
prematur (Melindacare 2010).
Umur saat hamil. Sebagian masalah kesehatan adalah berkaitan dengan
usia-resiko mengalami masalah kesehatan akan meningkat sejalan dengan
peningkatan usia. Usia mempengaruhi fertilitas (kesuburan), fertilitas mulai
menurun saat wanita berusia 20 tahun, menurun dengan cepat setelah anda berusia
35 tahun. Pasangan yang lebih tua dari 35 tahun membutuhkan waktu dua kali
lipat dari pasangan yang lebih muda (1,5 sampai 2 tahun). Seorang wanita yang
berusia di atas 40 tahun membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengandung
karena ovulasi sudah kurang sering terjadi (Curtis & Asih 2000).
Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan „kurun waktu
reproduksi sehat‟ antara umur 20 sampai 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum
matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu
maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin
menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stres) psikologis, sosial, ekonomi,
28
sehingga memudahkan terjadinya: keguguran, persalinan prematur, berat badan
lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia
kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang tinggi
(Manuaba 1998).
Wanita berusia lebih dari 30 tahun yang hamil sering kali mendapatkan
informasi yang lebih baik tentang kehamilannya. Mereka pada umumnya tertarik
dengan apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan bayi yang sedang tumbuh
dalam kandungannya serta berkeinginan untuk merawat kesehatan mereka.
Dengan alasan ini, banyak peneliti sekarang berkeyakinan bahwa resiko tidak
banyak meningkat hanya karena usia wanita hamil lebih tua. Kebanyakan wanita
dapat mempunyai kehamilan dan melahirkan bayi yang sehat pada usia mereka
yang memasuki usia 40 tahun, dengan perawatan pralahir yang baik secara
signifikan dapat mengurangi komplikasi kehamilan (Curtis & Asih 2000).
Masalah-masalah pada kehamilan. Beberapa peneliti menetapkan
kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur
di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm,
kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik),
serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah
persalinan prematur, lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan,
preeklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan
antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998).
Masalah-masalah yang lebih sering ditemukan dokter pada wanita hamil
dengan usia yang lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan yang diperberat oleh
diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Wanita yang berusia lebih
dari 30 tahun mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami keguguran,
kelahiran dengan abnormalitas genetik dan kromosom. Setelah usia 40 tahun,
wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih
terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri
pinggang (Curtis & Asih 2000).
Komplikasi yang sering terjadi di Indonesia yakni perdarahan, partus lama,
demam/infeksi, dan preeklamsia/eklamsia. Ibu hamil dikatakan mengalami
komplikasi persalinan jika mengalami salah satu atau gabungan dari dua atau
29
lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi
kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan
komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki
resiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu
yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe & Sulistiyowati 2004).
Riwayat Kelahiran
Berat dan panjang lahir menentukan status gizi dan pertumbuhan linier di
masa mendatang (Schimdt et al. 2002). Pengukuran panjang sangat mudah
dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga
(2011), panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan
bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia
selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai
manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan
sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang
badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi.
Berdasarkan Kemenkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52
cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Helath Statistics
(NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap
bulannya. Selanjutnya menurut Sinaga (2011), penambahan panjang akan
berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun
dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun.
Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan
kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g,
sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi
lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan
BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi
normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth
(<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin
(intrauterine).
Menurut Kusharisupeni (2008), berat bayi lahir rendah diakibatkan oleh
kurangnya gizi selama kehamilan yang dapat diukur melalui beberapa hal, antara
lain yaitu kenaikan berat badan yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah,
30
tinggi badan ibu yang pendek, defisiensi gizi mikro, Ibu hamil dengan usia muda,
menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil, dan merokok. Hal serupa
diungkapkan dalam penelitian Sistiarani (2008) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian BBLR diantaranya anemia dan kualitas pelayanan
antenatal. Berdasarkan Kemenkes (2010a), kejadian BBLR di Indonesia masih
mencapai angka 11,1%.
Riwayat Pemberian ASI
Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan
dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan
yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi
adalah ASI (Air Susu Ibu) karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan
bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan
perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina
2000).
ASI memiliki banyak keuntungan bagi bayi. Ramaiah (2006)
mengungkapkan bahwa didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi
sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan
mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi
karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi.
ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran
pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke
dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang
disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya
sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di
dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit.
Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi ibu adalah mengurangi pendarahan,
mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim,
menurunkan berat badan, mengurangi kemungkinan menderita kanker, memberi
kepuasan pada ibu, praktis dan ekonomis. ASI memberikan manfaat ekonomi
karena akan mengurangi biaya pengeluaran terutama untuk membeli susu.
Lebih jauh, bagi negara pemberian ASI dapat menghemat devisa negara,
menjamin tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, menghemat subsidi
31
biaya kesehatan masyarakat, dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat
gangguan plastik sebagai bahan peralatan susu formula (Depkes 2002a).
ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain
seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini
dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin
sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan
makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau
bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli 2000). Penelitian Chantry et al. (2006)
menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh
memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang
diberi ASI kurang dari enam bulan. Selanjutnya penelitian Utomo (2009)
menunjukkan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1,84 kali lebih banyak
pada anak yang riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan anak yang
diberi ASI secara eksklusif.
Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan
maupun secara psikologis, pada usia 6–9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai
diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka
makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan
gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll. Tubuh bayi belum memiliki
protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat
kelahiran dan setelah 3-4 bulan kemudian jumlahnya meningkat mendekati jumlah
untuk orang dewasa. Amilase, enzim yang diproduksi oleh pankreas belum
mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia
sekitar 6 bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan
sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki
jumlah lipase dan bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan
lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan
(Anonim 2008).
Di Indonesia, pemerintah mengatur mengenai ASI dalam Undang-undang
No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak
mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.
32
Berdasarkan penelitian Berek et al. (2007) yang menyatakan faktor yang
berhubungan dengan gangguan pertumbuhan adalah praktek pemberian prelactal
feeding. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap
status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Kerentanan status gizi selama
periode tersebut merupakan akibat dari rendahnya kualitas dan kuantitas makanan
yang diberikan (WHO 1998 dalam Pelto et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al.
(2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan
kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan
konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial
ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada
anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000).
Kesehatan Balita
Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu
asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara
lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita
infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan
mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Apabila anak menderita infeksi
saluran pernapasan, maka nafsu makan akan menurun, sementara kebutuhannya
meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami
penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit
baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang
gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan
dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).
Penyakit Diare
Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di
banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih
tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi
dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Hasil penelitian
Badan Litbangkes (2008), penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare
33
(31,4%) dan pneumonia (23,8%), sedangkan untuk penyebab kematian anak balita
terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%).
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,
yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer
tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Ciesla & Guerrant 2003).
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari
14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare
yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri,
dan parasit. Infeksi bakteri yang paling sering menimbulkan diare adalah infeksi
bakteri E. coli. Selain E. coli patogen, bakteri-bakteri yang dulu tergolong dalam
“non-pathogenic” bakteri seperti Pseudomonas, Pyocianeus, Proteus,
Staphylococcus, Streptococcus dan sebagainya menurut penyelidikan para ahli
sering pula menyebabkan diare (Lung 2003).
Penularan diare menyebar lewat makanan dan air dan melalui jalur fekal-
oral. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Procop & Cockerill 2003) :
a. Menjaga higiene pribadi yang baik. Mencuci tangan setelah keluar
dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia
harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus
terjaga dari kotoran manusia.
b. Menjaga kebersihan air. Air yang digunakan untuk membersihkan
makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan
diklorinasi atau direbus sebelum dikonsumsi.
c. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang
bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi.
Menurut Faber dan Benade (1999), selain asupan makanan, penyakit diare
dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada
awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap
tinggi badan menurut umur. Selanjutnya menurut Adeladza (2009) terdapat
interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi
34
penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya
nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat
menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan
sistem imunitas bayi dan anak terganggu.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik
dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari
mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-
penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi
kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan
terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ISPA dapat ditularkan melalui
air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup
oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (Smith 2010).
Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam
2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas
derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat.
Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas
bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian
besar penyakit jalan nafas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi
antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita.
Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin (Rasmaliah 2004).
Ada dua cara pokok untuk mencegah ISPA, meliputi:
a. Imunisasi.
b. Mengurangi faktor resiko ISPA, seperti : menjaga keadaan gizi agar tetap
baik, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan menjauhkan
anak dari orang yang menderita batuk/pilek.
Anak yang mengalami gejala-gejala ISPA berat/ pnemonia, seperti batuk
tambah sesak nafas/ nafas cepat, harus segera dibawa ke dokter. Dokter akan
memeriksa anak dan memutuskan apakah anak tersebut harus rawat inap atau
dapat diobati di rumah. Bila anak diobati di rumah, paling penting anak diberi
obat sesuai dengan jadwal dan dosis ditunjuk oleh dokter. Bila obat tidak diberi
35
secara benar, sakit akan semakin bertambah dan mungkin harus diobati rawat inap
(Smith 2010).
Menurut VSO Health Training & Information Resources, cara pengobatan
yang dapat dilakukan di rumah jika anak menderita ISPA ringan (batuk, pilek
biasa, dengan demam ringan tanpa ada masalah pernafasan), antara lain (Smith
2010) :
a. Menjaga anak supaya hangat
b. Memberi anak banyak minum
c. Memberi anak sirop madu-jeruk, 3 atau 4 kali sehari
d. Bila hidung tersumbat, membersihkan lubang hidung dengan kain bersih,
untuk membantu dia bernafas.
e. Bila anak demam, memberi obat parasetemol dengan dosis yang sesuai
dengan umur anak.
Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi
akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. sementara
kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan
mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di
bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan
menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).
Pengasuhan
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita adalah
pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya. Menurut kerangka UNICEF (1998)
pola pengasuhan yang tidak memadai dapat mempengaruhi status gizi anak balita.
FAO/WHO (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam
rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk
memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang
anak dan anggota keluarga lainnya. Definisi lain mengenai pengasuhan adalah
kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian, cinta
dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari
kelompok rawan gizi (Jallow 2006). Sedangkan Engle dan Lotska (1999) dalam
36
Jallow (2006) mendefinisikan pengasuhan sebagai perilaku dan praktek dari
pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan,
kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang
anak.
Pengasuhan dalam prakteknya meliputi beberapa aspek. Range et al.
(1997), mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi
empat yaitu : (1) pola asuh makan (2) pola asuh higiene dan kesehatan (3) pola
asuh yang berhubungan dengan psikososial dan (4) pengasuhan untuk ibu dan
sistem dukungan sosial. Range et al. (1997) berpandangan bahwa ke empat aspek
tersebut akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi zat gizi dan terjadinya
penyakit, kedua hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi.
Pola asuh yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
Pola Asuh Makan
Salah satu aspek dalam pengasuhan adalah pola asuh makan yang diberikan
pengasuh, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh ibu, nenek atau saudara kandung.
Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status
gizi anak. Definisi pola asuh makan menurut Karyadi (1985), sebagai praktek-
praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan
cara dan situasi makan. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan
pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status
gizinya.
Engle et al. (1996) mengemukakan bahwa dalam perilaku pemberian
makanan kepada anak balita ada beberapa aspek yang harus diperhatikan,
diantaranya yaitu:
1. Menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotor anak
2. Pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan,
memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian, kontrol terhadap
makanan antara anak dan pemberi makan, dan hubungan yang baik dengan
anak selama memberi makan.
3. Situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan
yang tertentu, seperti perhatian dan perlindungan selama makan.
37
Selama bertahun-tahun dipercayai bahwa penyimpangan pertumbuhan
akibat kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang kurang
baik disertai penyakit infeksi. Namun, sejak tahun 1970-an, ditemukan bahwa
pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain berhubungan
erat dengan terjadinya penyimpangan pertumbuhan (Engle & Ricciuti 1995).
Penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36
bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki
status gizi yang lebih bagus. Penelitian oleh Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu
yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak. Hasil
penelitian lain yang dilakukan Astari di Bogor (2005) bahwa pada keluarga sosial
ekonomi keluarga miskin memiliki praktek pengasuhan meliputi praktek
pemberian makan, praktek sanitasi pangan, praktek sanitasi lingkungan dan
praktek perawatan kebersihan serta kesehatan anak pada kelompok anak normal
lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak stunting.
Kebiasaan Pemberian Makan. Berbagai Kebiasaan baik, termasuk memberi
makan anak-anak kecil berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan
dalam porsi kecil setiap hari sebagai tambahan Air Susu Ibu (ASI), pemberian
makan secara aktif, pemberian makan selama sakit dan penyembuhan serta
menangani anak yang memiliki selera makan yang rendah (Turnip 2008).
Bagian pertumbuhan bayi yang penting adalah pemberian makanan dengan
kualitas dan kuantitas yang baik sehingga mencapai pertumbuhan yang normal
(Engle & Ricciuti 1995). Terjadi peningkatan interaksi antara ibu dan anak pada
saat makan, sehingga tidak hanya kuantitas dan kualitas antara ibu dan anak saja
tetapi lebih luas menyangkut cara pemberian dan penyiapan makan untuk anak.
Kebersamaan fisik saja tidak menjamin dapat membantu pertumbuhan dan
perkembangan anak, melainkan diperlukan juga kebersamaan juga secara
psikososial. Terlalu memaksakan anak untuk makan makanan yang tidak
disukainya secara terus menerus akan mempengaruhi status gizinya
(Karyadi 1985).
Kebiasaan Pengasuhan. Interaksi positif antara anak dan pengasuhan utama dan
pengganti, membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan
positif seperti sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan
38
menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya pembagian tugas
agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik, dan patisipasi aktif ayah
dalam pengasuhan anak, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan
anak yang normal namun sering kali terabaikan (Turnip 2008).
Pola Asuh Kesehatan
Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status
kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang
tua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Eagle et al. (1996)
mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan
dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi pola
asuh yang sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi maupun pola asuh ketika
anak dalam keadaan sakit.
Range et al. (1997) mengemukakan bahwa dalam pola asuh kesehatan tidak
terlepas juga dari praktek higiene yang diterapkan oleh ibu. Praktek higiene yang
mendukung dalam pola asuh kesehatan diantaranya adalah kebiasaan buang air
besar, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan makanan dan akses terhadap fasilitas
kesehatan yang modern.
Kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan berperan penting dalam
memelihara kesehatan akan serta mencegah penyakit-penyakit diare dan infeksi
kecacingan. Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit tertentu bakterial
dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygiene).
Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku,
hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan
sesudah buang air besar dan buang air kecil (Depkes 1995). Menurut Depkes
(1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti
memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi
sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan
sebelum tidur, menggunakan pakaian yang bersih dan sebagainya.
Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan
dengan perumahan sehat adalah sarana air bersih dan air minum, sarana
pembuangan air limbah, Jamban/kakus dan tempat sampah. Pemerintah mengatur
tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Undang Undang No.4 Tahun 1992.
39
Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat
apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari
udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan
kebisingan 45-55 dB.A.; (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi
penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air
bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang
saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi penghuninya dari
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah
yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek
listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Keman 2005).
Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan
menunjukkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan
penyebab kematian terbanyak kedua dan tuberkulosis yang merupakan penyebab
kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang
tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan yang tidak
memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare (penyebab
kematian urutan nomor empat) disamping penyakit kecacingan yang
menyebabkan produktivitas kerja menurun. Disamping itu, angka kejadian
penyakit yang ditularkan oleh vector penular penyakit demam berdarah, malaria,
pes dan filariasis yang masih tinggi (Ditjen PPM dan PL 2002).
Usaha yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak membahayakan
kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pembuangan limbah kotoran
manusia dan pengelolaan terhadap sampah. Pembuangan limbah kotoran manusia
yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water born disease
seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri. Pengelolaan
terhadap sampah, seperti penyimpanan pengumpulan dan pembuangan. Tempat
sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari bahan
yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup
sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat
dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori
tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh
pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga
40
karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya. Pembuangan sampah yang
tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan
pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terganggu
(Entjang 2000).
Faktor lain yang mempengaruhi masalah gizi anak balita adalah lingkungan
termasuk ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan, yang akan
mengakibatkan anak balita mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan
(Untoro 2004). Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, yaitu
(1) syarat fisik: jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau; (2) syarat
kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun,
dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari
jumlah yang telah ditentukan; (3) Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh
mengandung sesuatu bibit penyakit. Sumber yang dapat digunakan untuk
keperluan rumah tangga diantaranya yaitu air dalam tanah dan air permukaan. Air
dalam tanah adalah air yang diperoleh dari lapisan tanah yang dalam, contohnya
air sumur dan air yang berasal dari mata air. Sedangkan air permukaan adalah air
yang letaknya dipermukaan tanah, contohnya air kali, air danau, kolam, dan air
hujan yang ditampung (Entjang 2000).
Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berperan dalam peningkatan
status kesehatan. Dipandang dari segi fisik, persebaran sarana pelayanan
kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit maupun sarana kesehatan lain termasuk
sarana penunjang kesehatan lain sudah merata ke seluruh pelosok Indonesia. Akan
tetapi persebaran fisik tersebut tidak diikuti sepenuhnya peningkatan mutu
layanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat (Kemenkes 2011).
Pola Konsumsi Makan Balita
Konsumsi makan adalah makanan yang dimakan seseorang (Almatsier
2004). Konsumsi makan merupakan jumlah makanan (tunggal atau beragam)
yang dikonsumsi masyarakat, keluarga dan individu dengan tujuan untuk
memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa 2002).
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis, jumlah pangan yang
dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu
(Baliwati 2004).
41
Konsumsi makan oleh masyarakat atau keluarga tergantung pada jumlah
dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dalam
kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini tergantung pada pendapatan, agama,
adat kebiasaan dan pendidikan (Almatsier 2004). Dalam keluarga, jumlah anggota
keluarga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan anggota keluarga yaitu
pengetahuan, pendapatan rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola
konsumsi pangan berkurang pula (Harper 1986). Faktor ekonomi dan harga serta
faktor sosial budaya dan religi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
konsumsi pangan (Baliwati 2004).
Pola konsumsi makan. Merupakan berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari
oleh setiap orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat
tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok
orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh
fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo 2005).
Pola konsumsi pangan merupakan hasil budaya masyarakat yang
bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi
lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan
dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi
mendatang (Sediaoetama 2006).
Survei konsumsi pangan. Baik rumah tangga ataupun perorangan
merupakan cara pengamatan langsung. Data survey konsumsi pangan dapat
menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah (kota/desa), golongan
sosio-ekonomi dan sosial-budaya dari wilayah yang bersangkutan (Suhardjo
2005). Komponen anamnesis asupan pangan mencakup: method food recall 24
hours, food frequency questionnery, dietary history dan food records (Arisman
2004).
Metode food frequency questionnery (FFQ) menghasilkan data bahan
makanan dan frekuensi makan individu. Penggolongan bahan makanan di
Indonesia terdiri dari bahan makanan pokok, bahan makanan lauk-pauk, bahan
makanan sayur-mayur dan bahan makanan buah (Sediaoetama 2006). Proyek
Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) kerjasama FAO-European
Union, mengembangkan kuesioner untuk mengukur keragaman makanan baik
42
individu maupun rumah tangga dengan menjumlahkan kelompok makanan yang
dikonsumsi selama waktu yang ditentukan dengan cara di scoring sehingga dapat
dilihat kecukupan gizi. Kuesioner yang digunakan dapat melihat kemungkinan
mengkonsumsi mikronutrien penting yang cukup dan disesuaikan dengan daerah
setempat. Penelitian FANTA (2006) menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman
makanan berkorelasi positif dengan peningkatan rata-rata kecukupan
mikronutrien. Selanjutnya beberapa penelitian (Hatloy et al. 1998; Ruel et al.
2004; Steyn et al. 2006; Kennedy et al. 2007) korelasi terhadap kecukupan
mikronutrien anak yang tidak mendapatkan ASI (FAO 2011).
Pola makan. Konsumsi makanan untuk anak balita harus mengandung
kualitas dan kuantitas cukup untuk menghasilkan pertumbuhan anak yang baik.
Asupan gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di rumahtangga yang terkait
dengan kemampuan keluarga. Kurang energi, protein dan beberapa zat gizi mikro
merupakan gejala awal dari penyebab utama stunting. Di negara miskin seperti
Peru, stunting disebabkan karena defisiensi energi dan zat gizi, serta frekuensi
infeksi (Victoria et al. 1998). Penyimpangan pertumbuhan karena kurang energi
protein (KEP) dan defisiensi mineral, disebabkan terbatasnya konsumsi makanan
dan morbiditas (Dewey 2001).
Usia anak balita 3-5 tahun merupakan usia prasekolah. Pada usia ini
menurut PERSAGI (1992) anak bersifat konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat
memilih makanan yang disukai, di usia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak
dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun belum maksimal dan
bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan tetapi tetap
disertai dengan cairan atau sayuran berkuah.
Pola makanan yang sesuai untuk pemenuhan kebutuhan gizi anak balita
sebagai pendukung tumbuh kembang balita adalah pola makan gizi seimbang.
Berdasarkan piramida makanan gizi sehat seimbang, bahan makanan sehat
seimbang dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama gizi (triguna makanan) yang
terdiri dari sumber zat tenaga yaitu padi-padian atau serelia, sumber zat
pembangun yaitu sumber protein hewani dan sumber zat pengatur berupa sayuran
dan buah. Menurut Depkes (2002b), pola makan yang sehat menurut Pedoman
Umum Gizi Seimbang adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi
43
seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin,
mineral dan air. Dan sumber nutrisinya dipilih yang sealami mungkin.
Berdasarkan karakteristik anak balita, pola makan yang diberikan menurut
Uripi (2003) adalah porsi kecil dengan frekuensi sering, yaitu 7-8 kali sehari. Pola
tersebut terdiri dari 3 kali makan utama seperti orang dewasa (makan pagi, makan
siang dan makan sore) dan 2-3 kali makan selingan ditambah 2-3 kali susu. Anak
batita diberikan susu 3 kali sehari, setelah itu kurangi pemberian susu menjadi
2 kali sehari. Anjuran Depkes RI (2006) pola makan balita yaitu anak sudah bisa
diberikan makan makanan orang dewasa minimal 3 kali sehari, beri makanan
selingan 2 kali sehari, makanan yang diberikan harus bervariasi dan susu perlu
ditambahkan ke dalam menu sehari-hari.
Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang, angka kecukupan gizi rata-rata
per orang per hari dapat digunakan untuk merencanakan penyediaan makanan
bagi keluarga, kelompok maupun nasional. Angka kecukupan menurut takaran
konsumsi makanan sehari berdasarkan kelompok umur sebagai berikut :
Tabel 2. Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi
Bahan
Makanan
Anak Usia 1-3 Tahun
(1200 kkal)
Anak Usia 4-6 Tahun
(1700 kkal)
Nasi 3 p = 300 g 4 p = 400 g
Sayuran 1 p = 100 g 2 p = 200 g
Buah 3 p 3 p = 150 g
Tempe 1 p 2 p = 100 g
Daging 1 p 2 p = 100 g
ASI Dilanjutkan hingga 2 tahun
Susu 1 p 1 p = 200 g (1 gls)
Minyak 3 p 4 p = 20 g (4 sdm)
Gula 2 p 2 p = 20 g (2 sdm)
* 1 p susu dapat diganti dengan 1 p daging/ikan
Sumber : Depkes (2002b)