tinjauan aspek penataan ruang dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Oleh: MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43 Di Surabaya, 8 Oktober 2003TRANSCRIPT
-
1
TINJAUAN ASPEK PENATAAN RUANG
DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR
Oleh:
MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH
Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43
Di Surabaya, 8 Oktober 2003
Abstrak Makalah
Makalah ini berisikan uraian tentang makna strategis wilayah laut dan pesisir dalam
konteks pengembangan wilayah nasional, ditinjau dari aspek geografis dan sosial-ekonomi.
Dalam mengelola potensi, isu, dan permasalahan di wilayah laut dan pesisir, perlu disadari
bahwa ruang laut dan pesisir merupakan bagian dari ruang wilayah sehinga
pengelolaannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah. Dalam makalah ini
juga disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang, sebagai pedoman
keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Pengelolaan
wilayah laut dan pesisir di Tuban akan disajikan sebagai studi kasus untuk memberikan
gambaran tentang implementasi pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
-
2
I. PENDAHULUAN
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia, yang memiliki 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang
108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia
memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari
perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2.
Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan
sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada
perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal).
2. Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis
dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya
sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional.
Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi
sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan
geografis yang dimilikinya.
3. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya laut dan pesisir bagi
pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum
secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan
khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Hal ini
seiring dengan agenda Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan
ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui
upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber daya setempat (resource-
based development), dimana sumberdaya pesisir dan lautan saat ini didorong
pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi pemulihan perekonomian
nasional, disamping sumberdaya alam darat.
4. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara
optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi
kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan
kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu
didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi hal-hal yang berkaitan
dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir serta dukungan sektor terkait
dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
-
3
II. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR
5. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia,
wilayah perairan Indonesia mencakup:
a. Laut teritorial Indonesia; adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
b. Perairan Kepulauan; adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam
garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak
dari pantai.
c. Perairan pedalaman; adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup.
Menurut Dayan1, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut
sungai, teluk yang lebar mulutnyanya tidak lebih dari 24 mil laut, dan di
pelabuhan.
6. Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6/1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar, di antara,
dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang menjadi bagian
dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak mempehitungkan luas atau
lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik
Indonesia. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa laut dan daratan
merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
7. Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak ekseklusif dalam
memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi
Ekseklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation Conventions on
The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.
a. Zona Ekonomi Ekseklusif adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan
berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum
khusus yang ditetapkan dalam Bab V UNCLOS-82. ZEE mencakup wilayah
laut sampai dengan 200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE
Indonesia memiliki hak-hak berikut:
1) Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi
sumber daya alam yang bernilai ekonomi.
1 Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 Terhadap
Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya Perorangan, Kursus Reguler Angkatan
XXVIII Lemhanas, 1985.
-
4
2) Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan
pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian, dan
perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.
3) Hak-hak dan kewajiban lainnya sesuai ketentuan UNCLOS-82.
Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan
dan mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan ketentuan UNCLOS-82 bahwa negara lain, terutama yang tidak
memiliki pantai, berhak untuk memanfaatkan surplus yang tidak
dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki ZEE.
b. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah
darat negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian
kontinen (continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas
kontinen adalah sebagai berikut:
1) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari
garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis
pangkal (sama dengan ZEE).
2) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari garis
pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350 mil dari
garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500 meter
isodepth.
Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas
kontinen.
Hak pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen merupakan
suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan, sejak
dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatannya.
8. Mengingat salah satu aspek penataan ruang adalah pemanfaatan sumber daya
untuk kesejahternaan masyarakat, ruang lautan menurut UU 24/1992
mencakup laut teritorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan, Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia, mengingat
Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya yang di dalamnya.
9. Pengertian laut menurut UU 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat
diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa laut merupakan unsur ruang
wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah.
Dalam hal ini penataan ruang wilayah propinsi mencakup wilayah laut sampai
-
5
dengan batas 12 mil, sesuai dengan ketentuan batas kewenangan menurut pasal
3 UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara penataan ruang
wilayah Kabupaten/Kota mencakup wilayah laut sampai dengan batas 4 mil
atau sepertiga wilayah laut propinsi, sesuai ketentuan batas kewenangan
menurut pasal 10 ayat 3 UU 22/1999.
10. Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang
saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara bio-
geofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik
yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di
daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan,
baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah
laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran. Dengan memperhatikan aspek kewenangan daerah di
wilayah laut, dapat disimpulkan bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah
administrasi Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.
11. Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa
ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling
berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,
wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak
kegiatan manusia.
12. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003
tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling
berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut
untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.
13. Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai
berikut:
a. Laut merupakan sumber dari common property resources (sumber daya
milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan
umum.
-
6
b. Laut merupakan open access regime, memungkinkan siapa pun untuk
memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.
c. Laut bersifat fluida, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydro-
oceanography tidak dapat disekat/dikapling.
d. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang
relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan
memanfaatkan laut sebagai prasarana pergerakan.
e. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang
terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
14. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis
bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah
satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah
dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan
hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah:
a. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau
60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km
dari garis pantai.2 Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal
perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
b. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah
Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah
masing-masing daerah otonom tersebut memeliki kewenangan yang lebih
luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
c. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar
mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung
berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki
nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar.
d. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi
terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain
itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future
resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini
belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang
saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
2 Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup (1998)
-
7
e. Wilayah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen
(exporter) sekaligus sebagai simpul transportasi laut di wilayah Asia
Pasifik. Sebagaimana diketahui, pasar Asia Pasifik diperkirakan akan
mencapai 70-80% pasar ekspor dunia. Pada tahun 1999 kontribusi peti kemas
Indonesia baru mencapai 11,6% dari total pasar Asia Pasifik (24 juta TEUs).
Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-
produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4% 9% per tahun).
f. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir
dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a)
pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan
dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik
penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan
keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat
tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan
ecotourism.
g. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity
laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang
dunia terdapat di Indonesia.
h. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan
antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi
terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
15. Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang demikian besar
dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan
kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan,
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita semua sudah
maklum bahwa berbagai kasus bencana banjir yang melanda hampir seluruh
pesisir utara Jawa, Madura dan beberapa tempat di Sumatera dan bencana
kekeringan yang tengah kita alami dewasa ini merupakan buah dari
pembangunan selama ini yang terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi
dan kepentingan jangka pendek semata. Pengalaman buruk ini, tentunya
menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua agar lebih hati-hati dalam
mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas
tersebut.
-
8
III. ISU DAN PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT
DAN PESISIR
16. Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir sebagaimana disamapaikan di
atas, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan
terkait dengan penataan ruang sebagai berikut:
a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar
sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah
pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya
pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces
sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama
bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam
hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar users, yakni sektoral
dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta,
namun juga antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun
tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritime seperti
perkapalan (iv), pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian
lainnya; (v) perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama
adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau
(mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.
b. Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan
dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai
konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi
menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan
kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah menyatakan bahwa kewenangan Daerah Propinsi terdiri atas darat
dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara menurut pasal 10 UU
22/1999, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas wilayah darat
dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi atau sejauh
4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan ini
diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan
sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya span control dan
semakin jelasnya akuntabilitas dalam pengelolaanya. Di sisi lain, justru hal
ini berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi
disintegrasi ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di
daerah otonom tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di
-
9
wilayah Kabupaten/Kota lainnya yang berada pada bagian atas daratan,
hulu atau yang bersebelahan.
c. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil
yang bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar
dari 126 kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian
Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d. Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari
dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini
merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai interface
antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki
keterkaitan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut,
maka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak
terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah
tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir
merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di
wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya.
Pembangunan wilayah daratan telah mengakibatkan 59 (lima puluh
sembilan) SWS berada dalam kondisi kritis. Hal ini berdampak pada
tingginya tingkat sedimentasi yang mengancam keberadaan padang lamun
(sea grass) dan terumbu karang (coral), selain bencana banjir yang menimpa
kawasan pesisir. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di
laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan
perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang mengancam ekosistem
pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di wilayah laut dan
pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus
dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan
pendangkalan laut di kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan
pengerukan, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung
dan pembangunan waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di
wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta
daerah aliran sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan
pengelolaan, dimana keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus
diperhatikan.
e. Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal,
terutama di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan
perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini
diindikasikan antara lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing
di perairan Indonesia; (ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap
-
10
yang melebihi potensi lestari3 sebagaimana terjadi di Selat Malaka yang
mencapai 108,8% dari potensi yang ada atau mengalami overfishing sebesar
18,8% dan Laut Jawa (88,98%); (iii) pemanfaatan potensi perikanan tangkap
yang belum optimal sebagaimana di Laut Cina Selatan (42,5%), Selat
Makassar dan Laut Flores (66,7%), Laut Maluku (43,1%), Laut Sulawesi dan
Samudera Pasifik (63,5%), dan Laut Arafura (53,8%); (iv) pemanfaatan
potensi budidaya perikanan juga masih rendah, yakni baru mencapai 330
ribu hektar dari potensi sebesar 830 ribu hektar dan hanya 80% yang berupa
tambak intensif; dan (v) nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk,
pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2%
dari total investasi di Indonesia.
f. Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan
pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih
banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak
adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional
serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks
ini, RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut
aturan-aturan pelaksanaanya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai
guidance dalam pengelolaan wilayah pesisir.
g. Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan
global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu
diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di
Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI
dan 10 kota di KTI) sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Secara umum
kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut: (a)
meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan
meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman
terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya
luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
1) Frekuensi dan intensitas banjir akan meningkat dikarenakan backwash
effect akibat efek pembendungan dari kenaikan muka air laut.
2) Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari
5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun
lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-
1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan
semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi,
3 Potensi lestari adalah 90% dari potensi yang ada
-
11
Tabel 1
Daftar Kota-kota yang Potensial Terkena
Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir
Kawasan Barat
Indonesia
Kawasan Timur
Indonesia
Lohkseumawe Pontianak Belawan Singkawang Bagan Siapiapi Sampit Tebingtinggi Makassar Lubuk Pakam Parepare Batam Sungguminasa
Dumai Takalar Tanjung Pinang Maros Jakarta Sinjai Bekasi Timika
Tangerang Indramayu Cirebon Tegal Semarang
Surabaya Lamongan Gresik Sidoarjo Bangkalan
Sumber: Kajian Penyempurnaan RTRWN
maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan
gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena
tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan
terancam dengan sendirinya.
3) Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan
muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat
penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan
mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
4) Ancaman terhadap kegiatan ekonomi masyarakat pesisir antara lain
adalah: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di
Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap
-
12
permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada
wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian
Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua;
(c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan,
dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta;
(d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di
DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi
kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
5) Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya
pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau,
tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi
kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan
pesisir yang hilang mencapai 202.500 hektar (Diposaptono, 2000).
h. Tingkat kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir sangat
mengkhawatirkan. Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi
kerusakan biofisik wilayah pesisir adalah:
1) Overeksploitasi sumberdaya hayati laut akibat penangkapan ikan yang
melampaui potensi (overfishing), pencemaran dan degradasi fisik hutan
mangrove dan terumbu karang sebagai sumber makanan biota laut
tropis
2) Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian di
darat (land-based pollution sources) maupun akibat kegiatan dilaut (marine-
based pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal tanker dan
kegiatan pertambangan dan energi lepas pantai.
3) Bencana alam seperti tsunami, banjir, erosi, dan badai
4) Konflik pemanfaatan ruang seperti antara pertanian dan kegiatan di
daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, permukiman. Konflik
pemanfaatan ruang disebabkan terutama karena tidak adanya aturan
yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang
terdapat di kawasan pesisir dan lautan.
5) Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan
terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali. Salah
satu faktor penyebabnya adalah belum adanya konsep pembangunan
masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir.
-
13
i. Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat
sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum
menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan
kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar
kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost,
dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah
menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan
seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang.
Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang
disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik
sosial-budaya setempat (local unique).
IV. KEDUDUKAN PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR DALAM
PENATAAN RUANG WILAYAH
17. Penanganan berbagai isu dan permasalahan di wilayah pesisir merupakan salah
satu aspek dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Sebelum membahas
lebih jauh tentang kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam
penataan ruang wilayah, perlu dipahami arti ruang menurut UU 24/1992
tentang penataan ruang, yakni wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan,
dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk
lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka penataan ruang, dengan ruang sebagai
obyek, harus secara integratif mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang
udara.
18. Menurut Menko Perekonomian dalam paparannya pada Rakernas BKTRN di
Surabaya tanggal 13-14 Juli 2003 yang lalu, ruang terbentuk atas unsur sumber
daya alam, sumber daya buatan, sumber daya manusia, dan aktivitas. Dalam
hal ini, wilayah laut dan pesisir memiliki keempat unsur tersebut. Selanjutnya
apabila dikaitkan dengan pengertian yang terkandung dalam Pasal 3 huruf c
angka 2 UU 24/1992 bahwa penataan ruang bertujuan untuk mencapai pemanfaatan
ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah laut dan pesisir merupakan
domain dari penataan ruang menurut UU 24/1992.
19. Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah
yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan
-
14
lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya
pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat
pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung,
termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir.
20. Pendekatan penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah sebagaimana
dijelaskan di atas terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni:
a. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah. Disamping sebagai guidance of future actions rencana tata
ruang wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan
agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat
berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan
pembangunan (development sustainability).
b. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana
tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, dan
c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme
pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap
sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
21. Dari penjelasan di atas jelas bahwa perencanaan tata ruang merupakan satu
tahapan yang sangat penting dalam penyelenggaraan penataan ruang, karena
rencana tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
22. Implementasi proses-proses penataan ruang tersebut di atas diselenggarakan
berdasarkan fungsi utama kawasan, aspek administratif, dan fungsi kawasan
sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU 24/1992:
a. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan
budidaya dan kawasan lindung.
b. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi penataan ruang
wilayah Nasional, wilayah Propinsi, dan wilayah Kabupaten/Kota.
c. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan meliputi penataan ruang
kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu.
23. Selanjutnya pasal 19 diatur bahwa rencana tata ruang wilayah dibedakan
menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota
-
15
(RTRWK). Adapun kedudukan rencana tata ruang kawasan perkotaan dan
rencana tata ruang kawasan perdesaan, menurut pasal 23 ayat 1 UU 24/1992
merupakan bagian dari RTRWK. Sementara rencana tata ruang kawasan
tertentu dalam rangka penataan ruang wilayah nasional merupakan bagian dari
RTRWP dan RTRWK terkait.
24. Perencanaan tata ruang laut dan pesisir harus diletakkan dalam sistem
perencanaan yang berlaku. Menurut pasal 9 ayat 1 UU 24/1992 diatur bahwa
RTRWP dan RTRWK disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang
lautan dan ruang udara sampai dengan batas tertentu yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Batas wilayah perencanaan, termasuk batas laut, dalam
RTRWP dan RTRWK disesuaikan dengan batas kewenangan Daerah Propinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UU 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah:
a. Berdasarkan pasal 3 UU 22/1999, wilayah yang menjadi kewenangan Daerah
Provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut
yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan.
b. Berdasarkan pasal 10 ayat 3 UU 22/1999, wilayah yang menjadi kewenangan
Daerah Kabupaten/Kota juga mencakup wilayah laut sejauh sepertiga dari
batas laut Daerah Provinsi.
25. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan berkaitan dengan
kedudukan penataan ruang wilayah laut dan pesisir dalam penataan ruang
wilayah sebagai berikut:
a. Wilayah laut dan pesisir merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah
perencanaan Propinsi dan Kabupaten/Kota, karena RTRWP dan RTRWK
telah mencakup seluruh ruang daratan dan ruang lautan yang menjadi
kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota.
b. Apabila diperlukan perencanaan tata ruang yang fokus pada ruang lautan
dan pesisir, rencana tata ruang yang dihasilkan harus merupakan bagian
dari rencana tata ruang wilayah terkait (Nasional, Propinsi,
Kabupaten/Kota). Pada tingkat mikro-operasional, produk rencana tersebut
dapat berupa rencana rinci yang difokuskan pada kawasan laut dan pesisir
dengan memberikan perhatian besar terhadap aspek-aspek pengelolaannya.
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah laut dan
pesisir diselenggarakan berdasarkan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK. Hal
ini sesuai dengan ketentuan UU 24/1992 :
-
16
1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas
rencana tata ruang.
2) Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (agar tetap
sesuai dengan rencana tata ruang).
3) RTRWN, RTRWP, dan RTRWK berfungsi sebagai pedoman untuk
penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau
masyarakat.
4) RTRWN, RTRWP, dan RTRWK menjadi pedoman untuk pelaksanaan
pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan
pembangunan.
V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN
PESISIR
26. Dengan memperhatikan karakteristik, isu, dan permasalahan wilayah laut dan
pesisir, serta kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam penataan
ruang wilayah sebagaimana diuraikan di atas, diperlukan kebijakan yang dapat
dijadikan landasan pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan
sumber daya laut dan pesisir secara optimal sekaligus mengatasi dan mencegah
permasalahan pembangunan. Beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan
pengelolaan wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Integrasi matra darat, laut, dan udara serta integrasi lintas yurisdiksi dalam
penyelenggaraan penataan ruang untuk mewujudkan keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan tata ruang. Penyelenggaraan penataan ruang
yang terintegrasi ini akan secara signifikan mengurangi faktor-faktor
penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir.
b. Revitalisasi kawasan berfungsi lindung, mencakup kawasan-kawasan
lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, dalam
rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan
kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu faktor penyebab
berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi
lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan
lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang
mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun,
dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).
-
17
c. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi
sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan
berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir
merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem
laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.
d. Peningkatan pelayanan jaringan prasarana wilayah untuk menunjang
pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan
prasarana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber
daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir
sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.
e. Peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
Adanya peran yang seimbang dari seluruh stakeholders, termasuk dalam
proses pengendalian, akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan pembangunan wilayah laut dan pesisir. Dengan
demikian diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan
konflik kewenangan.
f. Pengembangan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) yang fokus
terhadap pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Sejauh ini NSPM penataan
ruang yang langsung terkait dengan penyelenggaraan pembangunan di
wilayah laut dan pesisir masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Perlu
disadari bahwa adanya NSPM ini akan mendorong efektivitas dan efisienasi
penyelenggaraan penataan ruang di wilayah laut dan pesisir, sehingga
penyusunannya perlu diprioritaskan.
27. Adapun langkah-langkah strategis terkait dengan kebijakan tersebut di atas
adalah sebagai berikut:
a. Mengoperasionalkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
sebagai acuan spasial pelaksanaan pembangunan nasional yang di
dalamnya sudah memasukkan kebijakan pengembangan ruang daratan,
ruang lautan, dan ruang udara. Salah satu kebijakan pengembangan ruang
lautan di RTRWN adalah pemanfaatan sumber daya kelautan secara optimal,
termasuk yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia.
Dalam rancangan RTRWN hasil penyempurnaan, ditetapkan 34 kawasan
lindung laut sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 (terdiri atas 7 Taman
Nasional, 15 Taman Wisata, 2 Taman Laut, 8 Cagar Alam, dan 2 Suaka
Margasatwa). Selain itu juga ditetapkan 37 Kawasan Andalan Laut dan 47
kota pantai (Tabel 3). Keberadaan kawasan lindung laut, kawasan andalan
-
18
Tabel 2
DAFTAR KAWASAN LINDUNG LAUT NASIONAL MENURUT DRAFT RTRWN HASIL PENYEMPURNAAN
No Nama Kawasan Lindung Lokasi Luas (Ha)
1 TWL Pulau Weh NAD 3.900
2 TWL Kepulauan Banyak NAD 227.500
3 TWL Pulau Pieh Sumatera Barat 39.000
4 TWL Gili Meno, Gili Ayer, Gili Trawangan NTB 2.954
5 TWL Gili Moyo NTB 6.000
6 TWL Teluk Kupang NTT 50.000
7 TWL Teluk Maumere NTT 59.450
8 TWL Tujuh Belas Pulau NTT 9.900
9 TWL Kepulauan Kapoposang Sulawesi Selatan 50.000
10 TWL Telok Lasolo Sulawesi Tenggara 81.800
11 TWL Laut Banda Maluku 2.500
12 TWL Pulau Kassa Maluku 1.100
13 TWL Pulau Marsegu dsk Maluku 11.000
14 TWL Pombo Maluku 1.000
15 TWL Kep. Padaido Papua 183.000
16 TNL Kepulauan Seribu DKI Jakarta 110.000
17 TNL Karimun Jawa Jawa Tengah 111.625
18 TNL Komodo NTT 75.000
19 TNL Bunaken Sulawesi Utara 89.065
20 TNL Taka Bone Rate Sulawesi Selatan 530.765
21 TNL Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara 1.390.000
22 TNL Teluk Cendrawasih Irian Jaya 1.453.500
23 TL Pulau Weh NAD 3.900
24 TL Pulau Moyo NTB 6.000
25 CAL Pulau Anak Krakatau Lampung 11.200
26 CAL Bukit Barisan Lampung 21.600
27 CAL Leuweung Sancang Jawa Barat 1.150
28 CAL Karimata Kalimantan Barat 77.000
29 CAL Pantai Selimpai Kalimantan Barat 7.600
30 CAL Kepulauan Aru Tenggara Maluku 114.000
31 CAL Banda Maluku 2.500
32 CAL Riung NTT 2.000
33 SML Kep. Raja Ampat Papua 60.000
34 SML Sabuda Tataruga Papua 2.000
Sumber : Kajian Penyempurnaan RTRWN
Keterangan:
TWL : Taman Wisata Laut CAL : Cagar Alam Laut TNL : Taman Nasional Laut SML : Suaka Margasatwa Laut TL : Taman Laut
-
19
Tabel 3 DAFTAR KAWASAN ANDALAN LAUT DAN KOTA PANTAI
No. Kawasan Andalan Laut Kota Pantai No.
1 Sabang dsk. Sabang 1
2 Nias dsk. Meulaboh 2
Sibolga 3
3 Siberut dsk. Pariaman 4
4 Selat Malaka Tanjung Balai 5
Bagansiapi-api 6
5 Lhokseumawe dsk. Lhokseumawe 7
Medan/Belawan 8
6 Batam dsk. Tanjung Balai Karimun 9
Batam 10
Kuala Enok 11
7 Bengkulu dsk. Manna 12
8 Krakatau dsk. Kalianda 13
9 Bangka Belitung dsk. Pangkal Pinang 14
10 Kep. Seribu dsk. Jakarta 15
Indramayu 16
11 Cilacap dsk. Cilacap 17
12 Karimunjawa dsk. Semarang 18
Tegal 19
13 Madura dsk. Surabaya 20
Pasuruan 21
Sumenep 22
14 Bali dsk. Denpasar 23
15 Sumba dsk. Ende 24
16 Sawu dsk. Kupang 25
17 Flores dsk. Manggarai 26
18 Ketapang dsk, Ketapang 27
19 Kuala Pembuang dsk Banjarmasin 28
20 Natuna dsk Singkawang 29
21 Bontang dsk. Samarinda 30
22 Tarakan dsk. Tanjung Redep 31
23 Pulau Laut dsk. Samarinda 32
24 Bunaken dsk. Bitung 33
25 Teluk Tomini dsk. Gorontalo 34
26 Toli-toli dsk. Toli-toli 35
27 Teluk Tolo dsk. Luwuk 36
28 Kep. Tukang Besi dsk. Bau-bau 37
29 Teluk Bone dsk. Sinjai 38
30 Singkawang dsk. Pare-pare 39
Makassar 40
31 Selat Makassar Mamuju 41
32 Batutoli dsk. Ternate 42
33 Banda dsk. Ambon 43
34 Arafura dsk. Tual 44
35 Sorong dsk. Sorong 45
36 Cendrawasih dsk. Biak 46
37 Jayapura dsk. Jayapura 47
Sumber : Kajian Penyempurnaan RTRWN
-
20
laut, dan kota pantai tersebut dapat dijadikan entry point dalam
pengembangan ekonomi masyarakat, termasuk melalui pengembangan
ecotourism. Pemanfaatan RTRWN diharapkan mampu mendorong agar
pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan nasional dapat
dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.
b. Meningkatkan kerjasama penataan ruang antar-daerah dalam rangka
meningkatkan keterpaduan pembangunan lintas sektor dan lintas yurisdiksi.
Dalam konteks ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pulau perlu
dioptimalkan sebagai salah satu instrumen untuk keterpaduan lintas
propinsi dan lintas sektor dalam rangka mensinergikan potensi
pembangunan yang ada. Saat ini tengah disusun Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Pulau, khususnya untuk pulau-pulau besar (Kalimantan,
Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Bali, Maluku dan Papua) sebagai penjabaran
atau wujud operasionalisasi RTRWN. Upaya ini merupakan bagian dari
kebijakan revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang
berorientasi pada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Adanya RTRW Pulau dengan kedalaman yang lebih rinci diharapkan
mampu lebih mengintegrasikan ruang darat dan lautan dalam
pembangunan nasional.
c. Secara konsisten memanfaatkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) dalam pelaksanaan
pembangunan.
d. Menetapkan kawasan-kawasan yang memenuhi kriteria lindung sebagai
kawasan lindung serta mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan
dan mempertahankan kawasan lindung.
e. Melakukan penegakan hukum secara konsekuen dan konsisten dalam
pengendalian pemanfaatan ruang laut dan pesisir, agar pemanfaatan ruang
laut dan pesisir tidak melebihi daya dukung lingkungannya. Upaya
penegakan hukum ini sangat relevan dalam mempertahankan fungsi
kawasan-kawasan lindung.
f. Pengaturan alokasi ruang untuk kegiatan ekonomi masyarakat dengan
memberikan prioritas pada pengembangan kegiatan masyarakat setempat
dalam memanfaatkan sumber daya kelautan dan pesisir secara lestari.
g. Pengembangan jaringan prasarana wilayah, untuk menunjang kegiatan
ekonomi masyarakat. Terkait dengan bidang yang menjadi tanggung jawab
Dep. Kimpraswil, upaya yang perlu dilakukan adalah:
-
21
1) Pemantapan kehandalan prasarana jalan untuk mendukung kawasan
andalan (laut dan darat), termasuk sentra-sentra produksi di wilayah
pesisir, melalui: (a) harmonisasi sistim jaringan jalan terhadap tata
ruang, (b) pemantapan kinerja pelayanan prasarana jalan terbangun
melalui pemeliharaan, rahabilitasi serta pemantapan teknologi terapan,
(c) penyelesaian pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem
jaringan.
2) Pemantapan pelayanan sumber daya air, terkait dengan pembangunan
wilayah pesisir melalui: (a) Pengelolaan dan konservasi sungai, danau,
waduk dan sumber air lainnya untuk menjamin ketersediaan air dan
pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra ekonomi
(termasuk kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada
wilayah pesisir. (b) Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang
terkoordinasi secara lintas sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat
nasional, daerah dan wilayah sungai.
h. Peningkatan kualitas lingkungan di wilayah pesisir melalui:
1) Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, yang layak dan
terjangkau dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan
berpendapatan rendah (seperti pada permukiman nelayan), diantaranya
melalui pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat lokal.
2) Pengembangan prasarana dan sarana permukiman, khususnya untuk
kawasan perkotaan pesisir, melalui: (a) peningkatan prasarana dan
sarana perkotaan untuk mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat
Kegiatan Lokal (PKL); (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan dan
prasarana dan sarana antara desa-kota untuk mendukung
pengembangan agribisnis dan agropolitan (termasuk sentra-sentra
produksi kelautan); (c) mempertahankan tingkat pelayanan dan kualitas
jalan kota (arteri dan kolektor primer) bagi kota-kota metro, besar, dan
ibukota propinsi.
i. Mengedepankan pendekatan bottom-up dalam pelaksanaan pembangunan
dalam rangka mengakomodasi secara optimal berbagai kepentingan pelaku
pembangunan.
j. Meningkatkan kapasitas stakeholders (aparat pemerintah dan masyarakat
termasuk dunia usaha) melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan
pelatihan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
-
22
k. Menyusun Norma, Standa, Prosedur, dan Manual (NSPM) bidang
penataan ruang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir:
1) Menyelesaikan penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Penataan Ruang Lautan di Luar Wilayah Propinsi, Kabupaten, Kota yang
diamanatkan oleh UU 24/1992. Di dalam RUU ini perlu dimasukkan
pengaturan tentang upaya pemanfaatan sumber daya kelautan yang
terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang menjadi
hak Indonesia.
2) Menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir yang
menjadi kewenangan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota.
3) Menyusun pedoman-pedoman yang dibutuhkan seperti Pedoman
Pengelolaan Kawasan Lindung Laut, Pedoman Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Laut dan Pesisir, Pedoman Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Secara
Lestari, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pesisir (untuk
menunjang perwujudan struktur ruang nasional), Pedoman
Pengembangan Kawasan Andalan Laut, dan sebagainya.
Terkait dengan langkah ini, saat ini Departemen Permukiman dan Prasarana
Wilayah telah menyusun Petunjuk Pelaksanaan Penataan Ruang Kawasan Kota
Tepi Air sebagai acuan bagi masyarakat dan pemerintah dalam menata kota
tepi air.
VI. INTEGRASI ANTAR-SEKTOR DALAM PENGELOLAAN WILAYAH
LAUT DAN PESISIR MELALUI PENDEKATAN PENATAAN RUANG
28. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pengelolaan wilayah laut dan
pesisir memerlukan dukungan dari seluruh sektor terkait. Agar dukungan
dari berbagai sektor ini dapat menciptakan sinergi, perlu disusun visi bersama
yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah sebagai acuan spasial dalam
pelaksanaan pembangunan.
29. Terkait dengan isu dan permasalahan pengelolaan wilayah laut dan pesisir,
dukungan yang diperlukan dari sektor terkait antara lain adalah:
a. Sektor kehutanan: pengelolaan hutan lindung untuk mengurangi laju erosi
sehingga laju sedimentasi di wilayah pesisir dapat dikurangi. Pengurangan
laju sedimentasi ini akan berdampak positif pada pengurangan laju
kerusakan padang lamun dan terumbu karang.
-
23
b. Sektor sumber daya air: pengelolaan sistem tata air untuk mengatur debit
aliran sungai yang bermuara di wilayah pesisir, sekaligus mengurangi
potensi bencana banjir.
c. Sektor perhubungan: penyediaan sistem jaringan transportasi darat yang
terintegrasi dengan sistem transportasi laut, serta pengelolaan transportasi
laut agar tidak mencemari perairan laut dan pesisir.
d. Sektor pertanian: pengelolaan kegiatan pertanian yang berwawasan
lingkungan sehingga mengurangi volume polutan yang mencemari
perairan laut dan pesisir.
e. Sektor industri: pengembangan kegiatan industri yang terkait dengan
pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir serta pengelolaan kegiatan
untuk mengurangi pencemaran perairan laut dan pesisir.
f. Sektor perumahan dan permukiman: peningkatan kualitas lingkungan
permukiman di kawasan pesisir melalui penyediaan rumah berikut sarana
dan prasarana lingkungan guna meningkatkan kualitas sumber daya
masyarakat pesisir.
30. Implementasi dukungan sektor-sektor di atas merupakan tanggung jawab
seluruh stakeholders yang mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
dan masyarakat termasuk dunia usaha. Dalam konteks ini koordinasi antar
instansi Pemerintah Pusat dilakukan melalui forum Badan Koordinasi Tata
Ruang Nasional (BKTRN). Sementara koordinasi antar instansi pemerintah di
daerah dilakukan melalui forum Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah
(TKPRD).
VII. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TUBAN: TINJAUAN KASUS
30. Tinjauan kasus ini dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan dan
memahami model penataan ruang kawasan pesisir dan laut sebagai suatu
pendekatan pemecahan persoalan-persoalan pemanfaatan dan pengelolaan
kawasan pesisir dan laut.
31. Pemilihan kawasan pesisir dan laut Tuban didasarkan kepada fakta dan
kecenderungan pertumbuhan bahwa pesisir Tuban merupakan bagian kawasan
pantai utara Jawa Timur yang memiliki potensi dan permasalahan yang strategis
serta merupakan kawasan utama penggerak utama (prime mover) ekonomi
-
24
wilayah Gelangban dimana Kawasan Gelangban sendiri merupakan kawasan
pengembangan kawasan tertentu GKS (Gerbangkertosusila)
32. Tinjauan kasus kawasan laut dan pesisir Tuban ini dilakukan dengan melakukan
pendekatan terhadap karakteristik kawasan pesisir Tuban, isu permasalahan
yang dihadapi, serta kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam
penataan ruang wilayah.
33. Kawasan Pesisir dan laut Tuban memiliki karakteristik spesifik yang dapat
dicermati dari kondisi topografi, geografi, hidrologi dan potensi perikanan
sebagaimana disajikan dalam box berikut:
Karakteristik Kawasan Pesisir Tuban
a. Secara geografis terletak antara 11130 - 11235 Bujur Timur dan antara 640 - 718 Lintang Selatan b. Wilayah Kawasan Pesisir Tuban mempunyai luas 16.950 Ha, dan terdiri dari 5 Kecamatan (Kecamatan Palang,
Tuban,Jenu, Tambak boyo serta Bancar), dengan total jumlah penduduk kawasan pesisir sebanyak 134.024 jiwa
c. Panjang pantai sepanjang 65 km yang terbentang dari Barat ke Timur d. Kondisi topografi mempunyai kemiringan 0 2 %, serta ketinggian 0 7 M dpl.
e. Di Kabupaten Tuban saat ini dialokasikan 49.209,5 Ha luas lahan untuk industri dengan 25 % berada diwilayah pesisir. f. Kecamatan yang berada dipesisir : Kecamatan Palang , Tuban, Jenu, Tambakboyo dan Bancar.
No
Kecamatan Pesisir
Dan Pantai
Luas Kecamatan
(Ha)
Panjang Pantai (Km)
Luas Desa Pesisisr Dan Pantai (Ha)
Proporsi Wilayah Pesisir/Total (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Palang Tuban Jenu Tambak boyo Bancar
7.270,17 2.192,75 8.161,33 7.296,91 11.235,60
12 4,67 34,09 9,07 15,3
4.209 876,9 5.280,8 2.837,7 3.745,2
58 40 65 39 33
Jumlah 36.156,76 75,13 16.950 47
g. Iklim Kabupaten Tuban beriklim tropis dengan suhu rata rata 20C-33C dengan tipe iklim yang dimiliki C dan D,
dimana bulan basahnya dimulai dari Oktober sampai dengan Bulan Mei dan bulan keringnya dari Bulan Juli sampai September
No Kecamatan Pesisir
Dan Pantai
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kepadatan Kecamatan (jiwa/km2)
Jumlah Penduduk Pesisir dan pantai
Kepadatan Desa
(jiwa/km2)
1. 2. 3. 4. 5.
Palang Tuban Jenu Tambak boyo Bancar
68.772 77.833 44.489 36.540 52.994
945,95 3.549,56 545,12 500,76 471,22
42.093 28.466 29.905 14.322 19.238
1000,07 3.246,21 566,30 504,70 513,67
Jumlah 280.578 776 134.024 790,72
h. Pasang surut di perairan Tuban dan sekitarnya dhitung dengan rumus Formzahl sebesar 5,473, dimana bilangan tersebut
menunjukan bahwa perairan Tuban dan sekitarnya masuk dalam kategori tipe pasang surut harian tunggal beraturan yang mempunyai sekali pasang dan sekali surut dalam waktu sehari semalam.
i. Kedalaman daerah pesisir pantai tuban yang berada di Kecamatan Bancar dimulai pada jarak 800 m 4,8 Km dengan kedalaman mencapai 10 M, Kecamatan Tambak boyo dari jarak 600 m hingga 4,4 km kedalaman mencapai 11 m, Perairan di Kecamatan Jenu kedalaman 5 9 m ditemui pada jarak 22,4 km sampai 7,4 km sedangkan perairan Tuban kedalaman 5 11 m dijumpai pada jarak 2,8 km 7,6 km
j. Potensi perikanan yang ada di Kecamatan palang berada diantara area 20 mil, Kecamatan Tuban berada pada area 25 mil, Kecamatan Jenu berada pada area 5 mil sedangkan di Kecamatan Tambakboyo dan Bancar potensi ikannya tidak begitu tampak, total potensi lestari di Kabupaten tuban adalah 15.408 ton pertahun.
k. Kecamatan palang, Tuban, Kecamatan jenu , Tambakboyo serta bancar lebih didominasi oleh tambak sedangkan mangrove hampir tidak mendominasi daerah tersebut.
-
25
34. Kawasan pesisir dan laut Tuban dengan karakteristiknya yang spesifik
menghadapi isu dan permasalahan antara lain potensi konflik kepentingan
(conflict of interest) dan tumpang tindih antar-sektor dan stakeholders. belum
termanfaatkannya secara optimal potensi sumberdaya kemaritiman antara lain
Pantai Sowan di Kecamatan Bancar dan Pantai Boom di Kota Tuban. Kerusakan
biofisik lingkungan wilayah pesisir Tuban yang di sebabkan dikarenakan ulah
manusia. Oleh karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan
menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan
lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Isu dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir Tuban a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders.
Kawasan pesisir Tuban, seperti halnya kawasan pesisir lainnya memiliki nilai ekonomis lahan yang sangat tinggi karena akses yang dimiliki dan beragamnya sektor yang berkembang. Kegiatan yang saling tumpang tindih tersebut antara lain adalah perikanan tambak yang lokasinya berdekatan dengan jalan raya sepanjang pantai, perkembangannya perlu dipantau dengan kelestarian kawasan pesisir. Pola pemanfaatan kawasan permukiman juga cenderung berkembang secara linier (ribbon development) . Aktivitas guna lahan yang mixed tersebut dengan kepentingan yang berbeda akan menimbulkan benturan konflik kepentingan. Selain itu juga konflik kepentingan antara upaya pelestarian ekosistem kawasan pantai dengan pengembangan ekonomi dan pemanfaatan ruang.
b. Belum termanfaatkannya potensi sumber daya kemaritiman yang terletak antara lain di :
Pantai Sowan dengan panjang 9,3 Km, di kecamatan Bancar. Sebenarnya pantai Sowan ini memiliki beragam potensi antara lain letaknya yang strategis pada jalur pantura, memiliki perbukitan pasir, pantai yang luas dan bersih serta air lautnya yang jernih, pemandangan alam sekitar berupa hamparan rumput, hutan trambesi dan dinding karang yang menjorok ke laut, serta berpotensi sebagai wisata bahari.Yang sebeabranya jika dimanfaatkan secara opimal dapat dijadikan salah satu sumber PAD bagi Kabupaten Tuban.
Pantai Boom di kota Tuban, adalah salah sebuah pelabuhan kuno yang dikenal sebagai bekas pelabuhan internasional pada masa kerajaan majapahit dan menjadi tempat sandar tentara Ku Bi Lai Khan yang akan menyerbu kerajaan kediri yang memiliki daya tarik wisata tersendiri bagi turis domestic maupun mancanegara namun demikian kondisi saat ini pantai tersebut belum tertata, baik dari segi fisik , lingkungan maupun ekonominya sedangkan sarana pendukungnya telah tersedia yaitu berupa fasilitas terminal dengan luas 800 M2 yang disediakan oleh pemda setempat bagi pengunjung pantai tersebut, sehingga dengan kondisi yang demikian, pantai boom belum dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan PAD daerah.
c. Kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir Tuban sangat mengkhawatirkan, adapun faktor-faktor yang turut
mempengaruhi kerusakan biofisik wilayah pesisir Tuban antara lain :
Permukiman penduduk berbatasan langsung dengan garis pantai (Kecamatan Tuban, Bancar dan Tambakboyo) sepanjang 6,2 Km , hal demikian berdampak buruk bagi wilayah pesisir pantai dan menganggu ekosistem kelautan karena selain melanggar sempadan pantai juga kecenderungan terjadinya pencemaran lingkungan pantai dan pesisir diakibatkan pembuangan sampah rumah tangga baik cair maupun padat yang dibuang langsung kelaut,
Jalan raya terlalu dekat garis pantai dengan panjang 1,7 km yang berlokasi di Kecamtan Tuban , dalam hal ini yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya abrasi pantai dimana tebing tebing pantai terkikis yang mengakibatkan mundurnya garis pantai hingga dekat dengan jalan serta permukiman penduduk. Aberasi kritis terjadi di Kecamatan Jenu, dimana hal ini jika tidak ditangani secara serius seperti pembuatan bangunan panahan ombak dikhawatirkan permukiman serta jalan akan habis terkena abrasi.
d. Penurunan luas hutan mangrove dikawasan pesisir Tuban sekitar 70 % dari total luasan semula, apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi maka aberasi pantai akan semakin parah, karena hutan mangrove tersebut selain berfungsi sebagai tempat hidupnya ekosistem juga sebagai pencegah intrusi air laut serta penahan ombak.
e. Permasalahan limbah, dengan terkonsentrasinya industri di kecamatan jenu maka hal utama yang harus diperhatikan
adalah pembuangan limbah industrinya, dimana dibutuhkan pengawasan terpadu antara stakeholder di daerah agar selalu mengawasi industri-industri yang ada dalam hal pembuangan limbahnya.
-
26
35. Wilayah pesisir Tuban merupakan salah satu daerah yang sangat intensif
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, seperti sebagai kawasan pusat
pemerintahan, permukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian,
pariwisata dan sebagainya. Wilayah pesisir Tuban juga merupakan kawasan
pantai utara yang terkait dengan Gelangban (Gresik, Lamongan, Tuban) dalam
struktur perwilayahan dan ekonomi wilayah di mana Kawasan Gelangban
merupakan kawasan yang tidak terlepas dari pegembangan Kawasan Andalan
GKS (Gerbangkertosusila).
36. Namun demikian segala perwujudan peraturan yang mengatur tentang
pemanfaatan, penggunaan serta pegembangan Kawasan Pesisir dan Laut Tuban
tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat terlihat
dengan adanya isu permasalahan yang timbul.
37. Isu dan permasalahan tersebut tidak akan timbul jika sistem pengendalian
pemanfaatan ruang ataupun pengawasannya mendapatkan dukungan dari para
stakeholders di daerah. Dengan perkataan lain isu permasalahan tersebut tidak
akan timbul jika terdapat :
a. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerahnya dapat berfungsi secara optimal.
Produk produk hukum yang mengatur kawasan kawasan dalam lingkup Wilayah Kabupaten Tuban Serta Pesisir
RUTRW Kabupaten Tuban
Th 1992/1993
RUTRW Kab. Tuban
Th 1999/2000 2009/2010
RU/RDTRK IKK se Kab. Tuban
1990/1991 1995/1996
RUTR Kawasan Pantai
Kab. Tuban 1992/1993 2013/2014
RTRK Industri
Kab. Tuban 1996/1997 2006/2007
Review RU/RDRTK IKK
Plumpang dan Bangilan
Review RUTR Kota Tuban
1997/1998 2007/2008
Review RTRWK Industri
Kab. Tuban 2001/2002
Arahan Rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Berikat Gresik Lamongan Tuban
(GELANGBAN)
-
27
b. Produk peraturan yang ada mendapatkan dukungan serta melibatkan peran
serta masyarakat dari proses penyusunan sampai pengesahan.
c. Adanya suatu lembaga di tingkat daerah yang berdiri sendiri (otonom) yang
bertugas mengawasi secara ketat pemanfaatan kawasan pesisir dan laut
Tuban sesuai dengan arahan pemanfaatan, penggunaan maupun
pengembangannya yang tertuang dalam Perencanaan Kawasan Pesisir
khususnya serta perencanaan Kabupaten/Kota umunya.
d. Adanya penegakan hukum yang konsisten terhadap berbagai pihak, baik
individu maupun lembaga, yang melanggar ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam produk-produk hukum yang mengatur pemanfaatan ruang.
e. Sosialisasi yang dijalankan ke masyarakat maupun suatu lembaga dapat
berjalan sebagaimana semestinya menurut ketentuan-ketentuan yang ada.
f. Terjalinnya koordinasi antar lintas sektor yang kontinyu serta saling
mendukung dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut Tuban.
VIII. KESIMPULAN
38. Wilayah laut dan pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi
nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan
wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh
karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan
kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
39. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir menghadapi tantangan pembangunan
yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumber daya dan
bersifat open access. Dalam upaya menangani permasalahan di wilayah laut dan
pesisir perlu dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan
pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh
sumber daya yang ada di dalamnya agar berbagai permasalahan yang ada dapat
diselesaikan sejak dari sumbernya. Pendekatan penataan ruang merupakan
pendekatan yang memenuhi persyaratan integrasi lintas matra (darat, laut,
udara), lintas sektor (antar berbagai sektor kegiatan), dan lintas wilayah.
40. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir dimaksudkan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan sumber daya secara optimal
dan efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan
-
28
bottom-up, kerjasama antar-daerah, penegakan hukum, dan konsistensi dalam
memanfaatkan rencana tata ruang wilayah.
41. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir merupakan bagian tak terpisahkan dari
penataan ruang wilayah. Dengan demikian penyelenggaraannya harus
didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RTRWN, RTRWP, dan RTRWK)
yang telah ditetapkan.
42. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir nasional diselenggarakan dengan
memanfaatkan RTRWN sebagai acuan spasial, serta mencakup Zona Ekonomi
Eksklusif dan Landas Kontinen dimana Indonesia mempunyai hak untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
43. Agar pengelolaan wilayah laut dan pesisir dapat berjalan secara efektif dan
efisien, diperlukan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) yang
memadai. Bila dikaitkan dengan dinamika otonomi daerah, ketersediaan NSPM
ini dapat membantu Pemerintah Daerah dalam menyiapkan serta merumuskan
kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya pada wilayah pesisirnya
masing-masing secara tepat. Saat ini ketersediaan NSPM yang fokus pada
penataan ruang ruang laut dan pesisir masih sangat terbatas, sehingga
diperlukan upaya percepatan penyusunan NSPM oleh Pemerintah Pusat.
IX. TINDAK LANJUT
Bagian ini dirumuskan dari pokok-pokok rumusan hasil diskusi dalam seminar.
Beberapa langkah tindak lanjut yang perlu diambil dalam rangka pengelolaan
wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan sistem informasi terkait dengan ruang lautan dan pesisir yang
terintegrasi, serta menghindari tumpang tindih fungsi instansi dalam
pengembangan data dan informasi. Khusus dalam penyediaan peta ruang
lautan dan pesisir, perlu dilakukan koordinasi antara Bakosurtanal, Dishidros
TNI-AL, Dep. Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pertanahan Nasional
(menyangkut tanah timbul/hilang). Dalam hal ini Bakosurtanal berfungsi
sebagai koordinator untuk hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis dalam
pembuatan dan penyajian peta.
b. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM) dalam pengelolaan
wilayah laut dan pesisir, seperti pedoman reklamasi pantai, pedoman pendelolaan
-
29
kawasan lindung laut, pPedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
laut dan pesisir, pedoman penataan ruang kawasan perkotaan pesisir (untuk
menunjang perwujudan struktur ruang nasional), pedoman pengembangan
kawasan andalan laut, dsb.
c. Melakukan kajian tentang mekanisme penetapan batas antar daerah di wilayah laut.
Meskipun dalam UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah batas-batas
kewenangan daerah dinyatakan dengan jelas (12 mil untuk Daerah Provinsi dan
4 mil atau 1/3 keweangan Daerah Provinsi untuk Daerah Kabupaten/Kota),
penerapannya di lapangan banyak menghadapi masalah. Hal ini antara lain
disebabkan oleh dinamika hidrooseanografi di kawasan pesisir, yang
mengakibatkan garis pantai selalui berubah setiap saat baik karena sedimentasi
maupun abrasi. Akibatnya penetapan garis pangkal sebagai titik awal
pengukuran menjadi sulit dan potensial menimbulkan konflik.
d. Peningkatan kinerja penataan ruang di wilayah laut dan pesisir melalui peningkatan
perhatian terhadap aspek kelautan dalam perencanaan tata ruang serta
peningkatan kapasitas penyelenggara penataan ruang daerah.
-
30
REFERENSI
1. Akil. Sjarifuddin, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis
Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pengaruh Global
Warming, terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari Kenaikan Muka
Air Laut dan banjir, Jakarta 30-31 Oktober 2002.
2. Akil. Sjarifuddin, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan
Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi
Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia
Jakarta, 30 Mei 2002.
3. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Proceeding Seminar
Nasional: Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
ditinjau dari kenaikan permukaan air laut dan banjir, Jakarta, 30-31 Oktober
2002
4. BKTRN, Dokumen Kesepakatan Gubernur Seluruh Indonesia pada Rakernas
BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003.
5. BKTRN, Rumusan Pokok-Pokok Hasil RAKERNASBKTRN, Surabaya, 14 Juli
2003
6. Darwanto. Herry, Mekanisme Pengelolaan Penataan Ruang Wilayah Pesisir,
Laut dan Pulau-Pulau Kecil serta Hubungan dengan RTRWN, RTRWP, RTRW
Kabupaten/Kota, Makalah pada Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam
Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil,
Jakarta, 10 Oktober 2000
7. Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional
tahun 1982 Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya
Perorangan, Kursus Reguler Angkatan XXVIII, Lemhanas, 1985.
8. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan dan
Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Keynote Speech Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah dalam Workshop Perusakan Panatai dan Pesisir di wilayah
Pantura Jawa Tengah, Semarang, 12 Mei 2001
9. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bahan Rapat Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam Pembahasan Pengajuan Izin
Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah
Pesisir (RUU PWP), Depkimpraswil, Jakarta, 13 Agustus 2003
10. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Kebijakan Kimpraswil dalam
rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah Menteri
-
31
Kimpraswil pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan
Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia Jakarta, 30 Mei 2002.
11. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan dan
Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Keynote Speech Menteri Kimpraswil dalam
Workshop Perusakan Panatai dan Pesisir di wilayah Pantura Jawa Tengah,
Semarang, 12 Mei 2001
12. Diposaptono. Subandono, Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir, Ditjen Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002.
13. Ditjen Penataan Ruang. Depkimpraswil, Materi Teknis Amandemen PP 47/1997
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Jakarta, Nopember 2002.
14. Ditjen Penataan Ruang. Depkimpraswil, Petunjuk Pelaksanaan Penataan Ruang
Kawasan Kota Tepi Air, 2002.
15. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan,
Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dep. Kelautan dan Perikanan,
November 2001
16. Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),
Pemetaan Potensi Laut dan Pesisir Kabupaten Tuban Melalui Penginderaan Jauh,
Desember 2001
17. Fakultas Teknologi Kelautan, Visualisasi Potensi Laut Kabupaten Tuban,
Kerjasama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan Pemerintah
Kabupaten Tuban.
18. Kusumastanto. Tridoyo, Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil,
Makalah pada Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam Menunjang
Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta, 10
Oktober 2000
19. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Rencana Umum Tata Ruang
Kawasan Pantai Tuban Th. 1992/1993-2013/2014
20. Pratikto. Widi Agoes dan Subandono Diposaptono, Tinjauan Dampak Global
Warming terhadap Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia,
Makalah pada Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari kenaikan permukaan air laut dan banjir,
Jakarta, 30-31 Oktober 2002.
21. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
22. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
-
32
23. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
24. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang
Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu