Transcript
  • 1

    TINJAUAN ASPEK PENATAAN RUANG

    DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR

    Oleh:

    MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH

    Disampaikan dalam Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-43

    Di Surabaya, 8 Oktober 2003

    Abstrak Makalah

    Makalah ini berisikan uraian tentang makna strategis wilayah laut dan pesisir dalam

    konteks pengembangan wilayah nasional, ditinjau dari aspek geografis dan sosial-ekonomi.

    Dalam mengelola potensi, isu, dan permasalahan di wilayah laut dan pesisir, perlu disadari

    bahwa ruang laut dan pesisir merupakan bagian dari ruang wilayah sehinga

    pengelolaannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah. Dalam makalah ini

    juga disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang, sebagai pedoman

    keterpaduan antar sektor dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Pengelolaan

    wilayah laut dan pesisir di Tuban akan disajikan sebagai studi kasus untuk memberikan

    gambaran tentang implementasi pengelolaan wilayah laut dan pesisir.

  • 2

    I. PENDAHULUAN

    1. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan

    terbesar di dunia, yang memiliki 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang

    108.000 km. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia

    memiliki kedaulatan atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari

    perairan kepulauan seluas 2,9 juta km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km2.

    Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan

    sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7 km2 pada

    perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal).

    2. Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis

    dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya

    sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional.

    Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi

    sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan

    geografis yang dimilikinya.

    3. Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya laut dan pesisir bagi

    pengembangan wilayah secara berkelanjutan dan menjamin kepentingan umum

    secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan

    khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Hal ini

    seiring dengan agenda Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan

    ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui

    upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber daya setempat (resource-

    based development), dimana sumberdaya pesisir dan lautan saat ini didorong

    pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi pemulihan perekonomian

    nasional, disamping sumberdaya alam darat.

    4. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara

    optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi

    kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan

    kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu

    didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha.

    Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi hal-hal yang berkaitan

    dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir serta dukungan sektor terkait

    dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.

  • 3

    II. PENGERTIAN DAN KARAKTERISTIK WILAYAH LAUT DAN PESISIR

    5. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia,

    wilayah perairan Indonesia mencakup:

    a. Laut teritorial Indonesia; adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis

    pangkal kepulauan Indonesia,

    b. Perairan Kepulauan; adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam

    garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak

    dari pantai.

    c. Perairan pedalaman; adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari

    garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk ke dalamnya semua

    bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup.

    Menurut Dayan1, perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut

    sungai, teluk yang lebar mulutnyanya tidak lebih dari 24 mil laut, dan di

    pelabuhan.

    6. Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6/1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar, di antara,

    dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang menjadi bagian

    dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak mempehitungkan luas atau

    lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik

    Indonesia. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa laut dan daratan

    merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

    7. Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak ekseklusif dalam

    memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi

    Ekseklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation Conventions on

    The Law of The Sea (UNCLOS) 1982.

    a. Zona Ekonomi Ekseklusif adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan

    berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum

    khusus yang ditetapkan dalam Bab V UNCLOS-82. ZEE mencakup wilayah

    laut sampai dengan 200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE

    Indonesia memiliki hak-hak berikut:

    1) Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi

    sumber daya alam yang bernilai ekonomi.

    1 Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 Terhadap

    Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya Perorangan, Kursus Reguler Angkatan

    XXVIII Lemhanas, 1985.

  • 4

    2) Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan

    pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian, dan

    perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.

    3) Hak-hak dan kewajiban lainnya sesuai ketentuan UNCLOS-82.

    Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan

    dan mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan

    dengan ketentuan UNCLOS-82 bahwa negara lain, terutama yang tidak

    memiliki pantai, berhak untuk memanfaatkan surplus yang tidak

    dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki ZEE.

    b. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah

    darat negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian

    kontinen (continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas

    kontinen adalah sebagai berikut:

    1) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari

    garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis

    pangkal (sama dengan ZEE).

    2) Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari garis

    pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350 mil dari

    garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500 meter

    isodepth.

    Sebagaimana ZEE, Indonesia juga memiliki hak untuk berdaulat atas

    eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam yang terkandung di landas

    kontinen.

    Hak pemanfaatan sumber daya alam di ZEE dan landas kontinen merupakan

    suatu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan, sejak

    dari perencanaan hingga pengendalian pemanfaatannya.

    8. Mengingat salah satu aspek penataan ruang adalah pemanfaatan sumber daya

    untuk kesejahternaan masyarakat, ruang lautan menurut UU 24/1992

    mencakup laut teritorial, perairan pedalaman, perairan kepulauan, Zona

    Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen Indonesia, mengingat

    Indonesia memiliki hak untuk mengelola sumber daya yang di dalamnya.

    9. Pengertian laut menurut UU 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat

    diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa laut merupakan unsur ruang

    wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah.

    Dalam hal ini penataan ruang wilayah propinsi mencakup wilayah laut sampai

  • 5

    dengan batas 12 mil, sesuai dengan ketentuan batas kewenangan menurut pasal

    3 UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara penataan ruang

    wilayah Kabupaten/Kota mencakup wilayah laut sampai dengan batas 4 mil

    atau sepertiga wilayah laut propinsi, sesuai ketentuan batas kewenangan

    menurut pasal 10 ayat 3 UU 22/1999.

    10. Wilayah pesisir merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang

    saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara bio-

    geofisik maupun sosial ekonomi, wilayah pesisir mempunyai karakteristik

    yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di

    daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan,

    baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut

    seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah

    laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-

    proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

    maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

    hutan dan pencemaran. Dengan memperhatikan aspek kewenangan daerah di

    wilayah laut, dapat disimpulkan bahwa pesisir masuk ke dalam wilayah

    administrasi Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota.

    11. Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa

    ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai

    kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling

    berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar,

    wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak

    kegiatan manusia.

    12. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003

    tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir

    didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling

    berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut

    untuk Kabupaten/Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

    13. Karakteristik umum dari wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai

    berikut:

    a. Laut merupakan sumber dari common property resources (sumber daya

    milik bersama), sehingga kawasan memiliki fungsi publik/kepentingan

    umum.

  • 6

    b. Laut merupakan open access regime, memungkinkan siapa pun untuk

    memanfaatkan ruang untuk berbagai kepentingan.

    c. Laut bersifat fluida, dimana sumber daya (biota laut) dan dinamika hydro-

    oceanography tidak dapat disekat/dikapling.

    d. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang

    relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan

    memanfaatkan laut sebagai prasarana pergerakan.

    e. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam, baik yang

    terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk

    memenuhi kebutuhan manusia.

    14. Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis

    bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah

    satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah

    dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan

    hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah:

    a. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau

    60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km

    dari garis pantai.2 Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal

    perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.

    b. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah

    Kabupaten berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah

    masing-masing daerah otonom tersebut memeliki kewenangan yang lebih

    luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.

    c. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar

    mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung

    berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki

    nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar.

    d. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi

    terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain

    itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future

    resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini

    belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang

    saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

    2 Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup (1998)

  • 7

    e. Wilayah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen

    (exporter) sekaligus sebagai simpul transportasi laut di wilayah Asia

    Pasifik. Sebagaimana diketahui, pasar Asia Pasifik diperkirakan akan

    mencapai 70-80% pasar ekspor dunia. Pada tahun 1999 kontribusi peti kemas

    Indonesia baru mencapai 11,6% dari total pasar Asia Pasifik (24 juta TEUs).

    Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-

    produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4% 9% per tahun).

    f. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir

    dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a)

    pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan

    dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik

    penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan

    keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat

    tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan

    ecotourism.

    g. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity

    laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang

    dunia terdapat di Indonesia.

    h. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan

    antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi

    terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia

    (NKRI).

    15. Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang demikian besar

    dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan

    kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan,

    baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita semua sudah

    maklum bahwa berbagai kasus bencana banjir yang melanda hampir seluruh

    pesisir utara Jawa, Madura dan beberapa tempat di Sumatera dan bencana

    kekeringan yang tengah kita alami dewasa ini merupakan buah dari

    pembangunan selama ini yang terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi

    dan kepentingan jangka pendek semata. Pengalaman buruk ini, tentunya

    menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua agar lebih hati-hati dalam

    mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas

    tersebut.

  • 8

    III. ISU DAN PERMASALAHAN DALAM PENGELOLAAN WILAYAH LAUT

    DAN PESISIR

    16. Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir sebagaimana disamapaikan di

    atas, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan

    terkait dengan penataan ruang sebagai berikut:

    a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar

    sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah

    pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya

    pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces

    sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama

    bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam

    hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar users, yakni sektoral

    dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta,

    namun juga antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun

    tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritime seperti

    perkapalan (iv), pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian

    lainnya; (v) perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama

    adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau

    (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.

    b. Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan

    dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai

    konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi

    menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan

    kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom.

    Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah

    Daerah menyatakan bahwa kewenangan Daerah Propinsi terdiri atas darat

    dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut

    lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara menurut pasal 10 UU

    22/1999, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas wilayah darat

    dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi atau sejauh

    4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan ini

    diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan

    sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya span control dan

    semakin jelasnya akuntabilitas dalam pengelolaanya. Di sisi lain, justru hal

    ini berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi

    disintegrasi ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di

    daerah otonom tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di

  • 9

    wilayah Kabupaten/Kota lainnya yang berada pada bagian atas daratan,

    hulu atau yang bersebelahan.

    c. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil

    yang bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar

    dari 126 kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian

    Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

    d. Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari

    dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini

    merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai interface

    antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki

    keterkaitan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut,

    maka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak

    terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah

    tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir

    merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di

    wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya.

    Pembangunan wilayah daratan telah mengakibatkan 59 (lima puluh

    sembilan) SWS berada dalam kondisi kritis. Hal ini berdampak pada

    tingginya tingkat sedimentasi yang mengancam keberadaan padang lamun

    (sea grass) dan terumbu karang (coral), selain bencana banjir yang menimpa

    kawasan pesisir. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di

    laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan

    perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang mengancam ekosistem

    pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di wilayah laut dan

    pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus

    dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan

    pendangkalan laut di kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan

    pengerukan, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung

    dan pembangunan waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di

    wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta

    daerah aliran sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan

    pengelolaan, dimana keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang harus

    diperhatikan.

    e. Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal,

    terutama di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan

    perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini

    diindikasikan antara lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing

    di perairan Indonesia; (ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap

  • 10

    yang melebihi potensi lestari3 sebagaimana terjadi di Selat Malaka yang

    mencapai 108,8% dari potensi yang ada atau mengalami overfishing sebesar

    18,8% dan Laut Jawa (88,98%); (iii) pemanfaatan potensi perikanan tangkap

    yang belum optimal sebagaimana di Laut Cina Selatan (42,5%), Selat

    Makassar dan Laut Flores (66,7%), Laut Maluku (43,1%), Laut Sulawesi dan

    Samudera Pasifik (63,5%), dan Laut Arafura (53,8%); (iv) pemanfaatan

    potensi budidaya perikanan juga masih rendah, yakni baru mencapai 330

    ribu hektar dari potensi sebesar 830 ribu hektar dan hanya 80% yang berupa

    tambak intensif; dan (v) nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk,

    pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2%

    dari total investasi di Indonesia.

    f. Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan

    pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih

    banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak

    adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional

    serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks

    ini, RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut

    aturan-aturan pelaksanaanya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai

    guidance dalam pengelolaan wilayah pesisir.

    g. Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan

    global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu

    diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di

    Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI

    dan 10 kota di KTI) sebagaimana disajikan dalam Tabel 1. Secara umum

    kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut: (a)

    meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan

    meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman

    terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya

    luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

    1) Frekuensi dan intensitas banjir akan meningkat dikarenakan backwash

    effect akibat efek pembendungan dari kenaikan muka air laut.

    2) Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari

    5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun

    lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-

    1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan

    semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi,

    3 Potensi lestari adalah 90% dari potensi yang ada

  • 11

    Tabel 1

    Daftar Kota-kota yang Potensial Terkena

    Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir

    Kawasan Barat

    Indonesia

    Kawasan Timur

    Indonesia

    Lohkseumawe Pontianak Belawan Singkawang Bagan Siapiapi Sampit Tebingtinggi Makassar Lubuk Pakam Parepare Batam Sungguminasa

    Dumai Takalar Tanjung Pinang Maros Jakarta Sinjai Bekasi Timika

    Tangerang Indramayu Cirebon Tegal Semarang

    Surabaya Lamongan Gresik Sidoarjo Bangkalan

    Sumber: Kajian Penyempurnaan RTRWN

    maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan

    gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena

    tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan

    terancam dengan sendirinya.

    3) Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan

    muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat

    penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan

    pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan

    mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.

    4) Ancaman terhadap kegiatan ekonomi masyarakat pesisir antara lain

    adalah: (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di

    Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera; (b) genangan terhadap

  • 12

    permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada

    wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian

    Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua;

    (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan,

    dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta;

    (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di

    DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi

    kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.

    5) Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya

    pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau,

    tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi

    kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan

    pesisir yang hilang mencapai 202.500 hektar (Diposaptono, 2000).

    h. Tingkat kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir sangat

    mengkhawatirkan. Adapun faktor-faktor yang turut mempengaruhi

    kerusakan biofisik wilayah pesisir adalah:

    1) Overeksploitasi sumberdaya hayati laut akibat penangkapan ikan yang

    melampaui potensi (overfishing), pencemaran dan degradasi fisik hutan

    mangrove dan terumbu karang sebagai sumber makanan biota laut

    tropis

    2) Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian di

    darat (land-based pollution sources) maupun akibat kegiatan dilaut (marine-

    based pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal tanker dan

    kegiatan pertambangan dan energi lepas pantai.

    3) Bencana alam seperti tsunami, banjir, erosi, dan badai

    4) Konflik pemanfaatan ruang seperti antara pertanian dan kegiatan di

    daerah hulu lainnya, aquakultur, perikanan laut, permukiman. Konflik

    pemanfaatan ruang disebabkan terutama karena tidak adanya aturan

    yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang

    terdapat di kawasan pesisir dan lautan.

    5) Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan

    terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali. Salah

    satu faktor penyebabnya adalah belum adanya konsep pembangunan

    masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumberdaya

    pesisir.

  • 13

    i. Walaupun telah menjadi common interests, proses pelibatan masyarakat

    sebagai subyek utama dalam pengelolaan wilayah pesisir masih belum

    menemukan bentuk terbaiknya. Persepsi yang berbeda mengenai hak dan

    kewajiban dari masyarakat seringkali menghadirkan konflik antar

    kepentingan yang sulit dicarikan solusinya, meningkatkan transaction cost,

    dan cenderung merugikan kepentingan publik. Hal lainnya adalah

    menyangkut tatacara penyampaian aspirasi agar berbagai kepentingan

    seluruh stakeholders dapat terakomodasi secara adil, efektif, dan seimbang.

    Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang

    disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik

    sosial-budaya setempat (local unique).

    IV. KEDUDUKAN PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN PESISIR DALAM

    PENATAAN RUANG WILAYAH

    17. Penanganan berbagai isu dan permasalahan di wilayah pesisir merupakan salah

    satu aspek dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Sebelum membahas

    lebih jauh tentang kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam

    penataan ruang wilayah, perlu dipahami arti ruang menurut UU 24/1992

    tentang penataan ruang, yakni wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan,

    dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk

    lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

    Berdasarkan pengertian tersebut maka penataan ruang, dengan ruang sebagai

    obyek, harus secara integratif mencakup ruang daratan, ruang lautan, dan ruang

    udara.

    18. Menurut Menko Perekonomian dalam paparannya pada Rakernas BKTRN di

    Surabaya tanggal 13-14 Juli 2003 yang lalu, ruang terbentuk atas unsur sumber

    daya alam, sumber daya buatan, sumber daya manusia, dan aktivitas. Dalam

    hal ini, wilayah laut dan pesisir memiliki keempat unsur tersebut. Selanjutnya

    apabila dikaitkan dengan pengertian yang terkandung dalam Pasal 3 huruf c

    angka 2 UU 24/1992 bahwa penataan ruang bertujuan untuk mencapai pemanfaatan

    ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber

    daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya

    manusia, maka dapat disimpulkan bahwa wilayah laut dan pesisir merupakan

    domain dari penataan ruang menurut UU 24/1992.

    19. Penataan ruang merupakan sebuah pendekatan dalam pengembangan wilayah

    yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat dan

  • 14

    lingkungan hidup. Dalam mencapai tujuan tersebut, dilakukan upaya

    pengelolaan kawasan melalui pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat

    pada kawasan-kawasan budidaya dan pelestarian kawasan-kawasan lindung,

    termasuk yang terdapat di ruang lautan dan kawasan pesisir.

    20. Pendekatan penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah sebagaimana

    dijelaskan di atas terdiri atas tiga proses yang saling berkaitan, yakni:

    a. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata

    ruang wilayah. Disamping sebagai guidance of future actions rencana tata

    ruang wilayah pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan

    agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat

    berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan

    manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan

    pembangunan (development sustainability).

    b. Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana

    tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, dan

    c. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme

    pengawasan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap

    sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

    21. Dari penjelasan di atas jelas bahwa perencanaan tata ruang merupakan satu

    tahapan yang sangat penting dalam penyelenggaraan penataan ruang, karena

    rencana tata ruang merupakan dasar bagi pemanfaatan ruang dan pengendalian

    pemanfaatan ruang.

    22. Implementasi proses-proses penataan ruang tersebut di atas diselenggarakan

    berdasarkan fungsi utama kawasan, aspek administratif, dan fungsi kawasan

    sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU 24/1992:

    a. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan meliputi kawasan

    budidaya dan kawasan lindung.

    b. Penataan ruang berdasarkan aspek administratif meliputi penataan ruang

    wilayah Nasional, wilayah Propinsi, dan wilayah Kabupaten/Kota.

    c. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan meliputi penataan ruang

    kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu.

    23. Selanjutnya pasal 19 diatur bahwa rencana tata ruang wilayah dibedakan

    menjadi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang

    Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

  • 15

    (RTRWK). Adapun kedudukan rencana tata ruang kawasan perkotaan dan

    rencana tata ruang kawasan perdesaan, menurut pasal 23 ayat 1 UU 24/1992

    merupakan bagian dari RTRWK. Sementara rencana tata ruang kawasan

    tertentu dalam rangka penataan ruang wilayah nasional merupakan bagian dari

    RTRWP dan RTRWK terkait.

    24. Perencanaan tata ruang laut dan pesisir harus diletakkan dalam sistem

    perencanaan yang berlaku. Menurut pasal 9 ayat 1 UU 24/1992 diatur bahwa

    RTRWP dan RTRWK disamping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang

    lautan dan ruang udara sampai dengan batas tertentu yang diatur dengan peraturan

    perundang-undangan. Batas wilayah perencanaan, termasuk batas laut, dalam

    RTRWP dan RTRWK disesuaikan dengan batas kewenangan Daerah Propinsi

    dan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam UU 22/1999 tentang

    Pemerintahan Daerah:

    a. Berdasarkan pasal 3 UU 22/1999, wilayah yang menjadi kewenangan Daerah

    Provinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut

    yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan

    kepulauan.

    b. Berdasarkan pasal 10 ayat 3 UU 22/1999, wilayah yang menjadi kewenangan

    Daerah Kabupaten/Kota juga mencakup wilayah laut sejauh sepertiga dari

    batas laut Daerah Provinsi.

    25. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan berkaitan dengan

    kedudukan penataan ruang wilayah laut dan pesisir dalam penataan ruang

    wilayah sebagai berikut:

    a. Wilayah laut dan pesisir merupakan bagian tak terpisahkan dari wilayah

    perencanaan Propinsi dan Kabupaten/Kota, karena RTRWP dan RTRWK

    telah mencakup seluruh ruang daratan dan ruang lautan yang menjadi

    kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota.

    b. Apabila diperlukan perencanaan tata ruang yang fokus pada ruang lautan

    dan pesisir, rencana tata ruang yang dihasilkan harus merupakan bagian

    dari rencana tata ruang wilayah terkait (Nasional, Propinsi,

    Kabupaten/Kota). Pada tingkat mikro-operasional, produk rencana tersebut

    dapat berupa rencana rinci yang difokuskan pada kawasan laut dan pesisir

    dengan memberikan perhatian besar terhadap aspek-aspek pengelolaannya.

    c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah laut dan

    pesisir diselenggarakan berdasarkan RTRWN, RTRWP, dan RTRWK. Hal

    ini sesuai dengan ketentuan UU 24/1992 :

  • 16

    1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program

    pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas

    rencana tata ruang.

    2) Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui kegiatan

    pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang (agar tetap

    sesuai dengan rencana tata ruang).

    3) RTRWN, RTRWP, dan RTRWK berfungsi sebagai pedoman untuk

    penetapan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau

    masyarakat.

    4) RTRWN, RTRWP, dan RTRWK menjadi pedoman untuk pelaksanaan

    pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan

    pembangunan.

    V. KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH LAUT DAN

    PESISIR

    26. Dengan memperhatikan karakteristik, isu, dan permasalahan wilayah laut dan

    pesisir, serta kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam penataan

    ruang wilayah sebagaimana diuraikan di atas, diperlukan kebijakan yang dapat

    dijadikan landasan pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan

    sumber daya laut dan pesisir secara optimal sekaligus mengatasi dan mencegah

    permasalahan pembangunan. Beberapa kebijakan nasional yang terkait dengan

    pengelolaan wilayah laut dan pesisir dapat disampaikan sebagai berikut:

    a. Integrasi matra darat, laut, dan udara serta integrasi lintas yurisdiksi dalam

    penyelenggaraan penataan ruang untuk mewujudkan keselarasan,

    keserasian, dan keseimbangan tata ruang. Penyelenggaraan penataan ruang

    yang terintegrasi ini akan secara signifikan mengurangi faktor-faktor

    penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir.

    b. Revitalisasi kawasan berfungsi lindung, mencakup kawasan-kawasan

    lindung yang terdapat di wilayah darat dan wilayah laut/pesisir, dalam

    rangka menjaga kualitas lingkungan hidup sekaligus mengamankan

    kawasan pesisir dari ancaman bencana alam. Salah satu faktor penyebab

    berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir adalah hilangnya fungsi

    lindung kawasan-kawasan yang seharusnya ditetapkan sebagai kawasan

    lindung, termasuk kawasan lindung di wilayah daratan yang

    mengakibatkan pendangkalan perairan pesisir, kerusakan padang lamun,

    dan kerusakan terumbu karang (coral bleaching).

  • 17

    c. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir berbasis potensi dan kondisi

    sosial budaya setempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

    melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara optimal dan

    berkelanjutan. Peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir

    merupakan salah satu kunci dalam mengurangi tekanan terhadap ekosistem

    laut dan pesisir dari pemanfaatan sumber daya yang tidak terkendali.

    d. Peningkatan pelayanan jaringan prasarana wilayah untuk menunjang

    pengembangan ekonomi di wilayah laut dan pesisir. Ketersediaan jaringan

    prasarana wilayah yang memadai akan menunjang pemanfaatan sumber

    daya kelautan dan pesisir secara optimal serta menunjang fungsi pesisir

    sebagai simpul koleksi-distribusi produk kegiatan ekonomi masyarakat.

    e. Peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.

    Adanya peran yang seimbang dari seluruh stakeholders, termasuk dalam

    proses pengendalian, akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas

    dalam pelaksanaan pembangunan wilayah laut dan pesisir. Dengan

    demikian diharapkan dapat mengurangi potensi konflik kepentingan dan

    konflik kewenangan.

    f. Pengembangan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) yang fokus

    terhadap pengelolaan wilayah laut dan pesisir. Sejauh ini NSPM penataan

    ruang yang langsung terkait dengan penyelenggaraan pembangunan di

    wilayah laut dan pesisir masih dalam jumlah yang sangat terbatas. Perlu

    disadari bahwa adanya NSPM ini akan mendorong efektivitas dan efisienasi

    penyelenggaraan penataan ruang di wilayah laut dan pesisir, sehingga

    penyusunannya perlu diprioritaskan.

    27. Adapun langkah-langkah strategis terkait dengan kebijakan tersebut di atas

    adalah sebagai berikut:

    a. Mengoperasionalkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)

    sebagai acuan spasial pelaksanaan pembangunan nasional yang di

    dalamnya sudah memasukkan kebijakan pengembangan ruang daratan,

    ruang lautan, dan ruang udara. Salah satu kebijakan pengembangan ruang

    lautan di RTRWN adalah pemanfaatan sumber daya kelautan secara optimal,

    termasuk yang terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Indonesia.

    Dalam rancangan RTRWN hasil penyempurnaan, ditetapkan 34 kawasan

    lindung laut sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 (terdiri atas 7 Taman

    Nasional, 15 Taman Wisata, 2 Taman Laut, 8 Cagar Alam, dan 2 Suaka

    Margasatwa). Selain itu juga ditetapkan 37 Kawasan Andalan Laut dan 47

    kota pantai (Tabel 3). Keberadaan kawasan lindung laut, kawasan andalan

  • 18

    Tabel 2

    DAFTAR KAWASAN LINDUNG LAUT NASIONAL MENURUT DRAFT RTRWN HASIL PENYEMPURNAAN

    No Nama Kawasan Lindung Lokasi Luas (Ha)

    1 TWL Pulau Weh NAD 3.900

    2 TWL Kepulauan Banyak NAD 227.500

    3 TWL Pulau Pieh Sumatera Barat 39.000

    4 TWL Gili Meno, Gili Ayer, Gili Trawangan NTB 2.954

    5 TWL Gili Moyo NTB 6.000

    6 TWL Teluk Kupang NTT 50.000

    7 TWL Teluk Maumere NTT 59.450

    8 TWL Tujuh Belas Pulau NTT 9.900

    9 TWL Kepulauan Kapoposang Sulawesi Selatan 50.000

    10 TWL Telok Lasolo Sulawesi Tenggara 81.800

    11 TWL Laut Banda Maluku 2.500

    12 TWL Pulau Kassa Maluku 1.100

    13 TWL Pulau Marsegu dsk Maluku 11.000

    14 TWL Pombo Maluku 1.000

    15 TWL Kep. Padaido Papua 183.000

    16 TNL Kepulauan Seribu DKI Jakarta 110.000

    17 TNL Karimun Jawa Jawa Tengah 111.625

    18 TNL Komodo NTT 75.000

    19 TNL Bunaken Sulawesi Utara 89.065

    20 TNL Taka Bone Rate Sulawesi Selatan 530.765

    21 TNL Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara 1.390.000

    22 TNL Teluk Cendrawasih Irian Jaya 1.453.500

    23 TL Pulau Weh NAD 3.900

    24 TL Pulau Moyo NTB 6.000

    25 CAL Pulau Anak Krakatau Lampung 11.200

    26 CAL Bukit Barisan Lampung 21.600

    27 CAL Leuweung Sancang Jawa Barat 1.150

    28 CAL Karimata Kalimantan Barat 77.000

    29 CAL Pantai Selimpai Kalimantan Barat 7.600

    30 CAL Kepulauan Aru Tenggara Maluku 114.000

    31 CAL Banda Maluku 2.500

    32 CAL Riung NTT 2.000

    33 SML Kep. Raja Ampat Papua 60.000

    34 SML Sabuda Tataruga Papua 2.000

    Sumber : Kajian Penyempurnaan RTRWN

    Keterangan:

    TWL : Taman Wisata Laut CAL : Cagar Alam Laut TNL : Taman Nasional Laut SML : Suaka Margasatwa Laut TL : Taman Laut

  • 19

    Tabel 3 DAFTAR KAWASAN ANDALAN LAUT DAN KOTA PANTAI

    No. Kawasan Andalan Laut Kota Pantai No.

    1 Sabang dsk. Sabang 1

    2 Nias dsk. Meulaboh 2

    Sibolga 3

    3 Siberut dsk. Pariaman 4

    4 Selat Malaka Tanjung Balai 5

    Bagansiapi-api 6

    5 Lhokseumawe dsk. Lhokseumawe 7

    Medan/Belawan 8

    6 Batam dsk. Tanjung Balai Karimun 9

    Batam 10

    Kuala Enok 11

    7 Bengkulu dsk. Manna 12

    8 Krakatau dsk. Kalianda 13

    9 Bangka Belitung dsk. Pangkal Pinang 14

    10 Kep. Seribu dsk. Jakarta 15

    Indramayu 16

    11 Cilacap dsk. Cilacap 17

    12 Karimunjawa dsk. Semarang 18

    Tegal 19

    13 Madura dsk. Surabaya 20

    Pasuruan 21

    Sumenep 22

    14 Bali dsk. Denpasar 23

    15 Sumba dsk. Ende 24

    16 Sawu dsk. Kupang 25

    17 Flores dsk. Manggarai 26

    18 Ketapang dsk, Ketapang 27

    19 Kuala Pembuang dsk Banjarmasin 28

    20 Natuna dsk Singkawang 29

    21 Bontang dsk. Samarinda 30

    22 Tarakan dsk. Tanjung Redep 31

    23 Pulau Laut dsk. Samarinda 32

    24 Bunaken dsk. Bitung 33

    25 Teluk Tomini dsk. Gorontalo 34

    26 Toli-toli dsk. Toli-toli 35

    27 Teluk Tolo dsk. Luwuk 36

    28 Kep. Tukang Besi dsk. Bau-bau 37

    29 Teluk Bone dsk. Sinjai 38

    30 Singkawang dsk. Pare-pare 39

    Makassar 40

    31 Selat Makassar Mamuju 41

    32 Batutoli dsk. Ternate 42

    33 Banda dsk. Ambon 43

    34 Arafura dsk. Tual 44

    35 Sorong dsk. Sorong 45

    36 Cendrawasih dsk. Biak 46

    37 Jayapura dsk. Jayapura 47

    Sumber : Kajian Penyempurnaan RTRWN

  • 20

    laut, dan kota pantai tersebut dapat dijadikan entry point dalam

    pengembangan ekonomi masyarakat, termasuk melalui pengembangan

    ecotourism. Pemanfaatan RTRWN diharapkan mampu mendorong agar

    pemanfaatan sumber daya alam dalam pembangunan nasional dapat

    dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.

    b. Meningkatkan kerjasama penataan ruang antar-daerah dalam rangka

    meningkatkan keterpaduan pembangunan lintas sektor dan lintas yurisdiksi.

    Dalam konteks ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pulau perlu

    dioptimalkan sebagai salah satu instrumen untuk keterpaduan lintas

    propinsi dan lintas sektor dalam rangka mensinergikan potensi

    pembangunan yang ada. Saat ini tengah disusun Rencana Tata Ruang

    Wilayah (RTRW) Pulau, khususnya untuk pulau-pulau besar (Kalimantan,

    Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Bali, Maluku dan Papua) sebagai penjabaran

    atau wujud operasionalisasi RTRWN. Upaya ini merupakan bagian dari

    kebijakan revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang

    berorientasi pada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

    Adanya RTRW Pulau dengan kedalaman yang lebih rinci diharapkan

    mampu lebih mengintegrasikan ruang darat dan lautan dalam

    pembangunan nasional.

    c. Secara konsisten memanfaatkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

    (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP), dan Rencana

    Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) dalam pelaksanaan

    pembangunan.

    d. Menetapkan kawasan-kawasan yang memenuhi kriteria lindung sebagai

    kawasan lindung serta mengambil langkah-langkah untuk mewujudkan

    dan mempertahankan kawasan lindung.

    e. Melakukan penegakan hukum secara konsekuen dan konsisten dalam

    pengendalian pemanfaatan ruang laut dan pesisir, agar pemanfaatan ruang

    laut dan pesisir tidak melebihi daya dukung lingkungannya. Upaya

    penegakan hukum ini sangat relevan dalam mempertahankan fungsi

    kawasan-kawasan lindung.

    f. Pengaturan alokasi ruang untuk kegiatan ekonomi masyarakat dengan

    memberikan prioritas pada pengembangan kegiatan masyarakat setempat

    dalam memanfaatkan sumber daya kelautan dan pesisir secara lestari.

    g. Pengembangan jaringan prasarana wilayah, untuk menunjang kegiatan

    ekonomi masyarakat. Terkait dengan bidang yang menjadi tanggung jawab

    Dep. Kimpraswil, upaya yang perlu dilakukan adalah:

  • 21

    1) Pemantapan kehandalan prasarana jalan untuk mendukung kawasan

    andalan (laut dan darat), termasuk sentra-sentra produksi di wilayah

    pesisir, melalui: (a) harmonisasi sistim jaringan jalan terhadap tata

    ruang, (b) pemantapan kinerja pelayanan prasarana jalan terbangun

    melalui pemeliharaan, rahabilitasi serta pemantapan teknologi terapan,

    (c) penyelesaian pembangunan ruas jalan untuk memfungsikan sistem

    jaringan.

    2) Pemantapan pelayanan sumber daya air, terkait dengan pembangunan

    wilayah pesisir melalui: (a) Pengelolaan dan konservasi sungai, danau,

    waduk dan sumber air lainnya untuk menjamin ketersediaan air dan

    pengamanan pantai untuk melindungi kawasan sentra ekonomi

    (termasuk kelautan), pemukiman (perkotaan dan perdesaan) pada

    wilayah pesisir. (b) Pengembangan pengelolaan sumber daya air yang

    terkoordinasi secara lintas sektoral dan multi-stakeholders pada tingkat

    nasional, daerah dan wilayah sungai.

    h. Peningkatan kualitas lingkungan di wilayah pesisir melalui:

    1) Pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman, yang layak dan

    terjangkau dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan

    berpendapatan rendah (seperti pada permukiman nelayan), diantaranya

    melalui pengembangan sistem pembiayaan dan pemberdayaan

    ekonomi masyarakat lokal.

    2) Pengembangan prasarana dan sarana permukiman, khususnya untuk

    kawasan perkotaan pesisir, melalui: (a) peningkatan prasarana dan

    sarana perkotaan untuk mewujudkan fungsi kota sebagai Pusat

    Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan Pusat

    Kegiatan Lokal (PKL); (b) pengembangan desa pusat pertumbuhan dan

    prasarana dan sarana antara desa-kota untuk mendukung

    pengembangan agribisnis dan agropolitan (termasuk sentra-sentra

    produksi kelautan); (c) mempertahankan tingkat pelayanan dan kualitas

    jalan kota (arteri dan kolektor primer) bagi kota-kota metro, besar, dan

    ibukota propinsi.

    i. Mengedepankan pendekatan bottom-up dalam pelaksanaan pembangunan

    dalam rangka mengakomodasi secara optimal berbagai kepentingan pelaku

    pembangunan.

    j. Meningkatkan kapasitas stakeholders (aparat pemerintah dan masyarakat

    termasuk dunia usaha) melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan

    pelatihan dalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir.

  • 22

    k. Menyusun Norma, Standa, Prosedur, dan Manual (NSPM) bidang

    penataan ruang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir:

    1) Menyelesaikan penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang

    Penataan Ruang Lautan di Luar Wilayah Propinsi, Kabupaten, Kota yang

    diamanatkan oleh UU 24/1992. Di dalam RUU ini perlu dimasukkan

    pengaturan tentang upaya pemanfaatan sumber daya kelautan yang

    terdapat di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang menjadi

    hak Indonesia.

    2) Menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur hal-

    hal yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah laut dan pesisir yang

    menjadi kewenangan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota.

    3) Menyusun pedoman-pedoman yang dibutuhkan seperti Pedoman

    Pengelolaan Kawasan Lindung Laut, Pedoman Pengendalian Pemanfaatan

    Ruang Laut dan Pesisir, Pedoman Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Secara

    Lestari, Pedoman Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pesisir (untuk

    menunjang perwujudan struktur ruang nasional), Pedoman

    Pengembangan Kawasan Andalan Laut, dan sebagainya.

    Terkait dengan langkah ini, saat ini Departemen Permukiman dan Prasarana

    Wilayah telah menyusun Petunjuk Pelaksanaan Penataan Ruang Kawasan Kota

    Tepi Air sebagai acuan bagi masyarakat dan pemerintah dalam menata kota

    tepi air.

    VI. INTEGRASI ANTAR-SEKTOR DALAM PENGELOLAAN WILAYAH

    LAUT DAN PESISIR MELALUI PENDEKATAN PENATAAN RUANG

    28. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, pengelolaan wilayah laut dan

    pesisir memerlukan dukungan dari seluruh sektor terkait. Agar dukungan

    dari berbagai sektor ini dapat menciptakan sinergi, perlu disusun visi bersama

    yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah sebagai acuan spasial dalam

    pelaksanaan pembangunan.

    29. Terkait dengan isu dan permasalahan pengelolaan wilayah laut dan pesisir,

    dukungan yang diperlukan dari sektor terkait antara lain adalah:

    a. Sektor kehutanan: pengelolaan hutan lindung untuk mengurangi laju erosi

    sehingga laju sedimentasi di wilayah pesisir dapat dikurangi. Pengurangan

    laju sedimentasi ini akan berdampak positif pada pengurangan laju

    kerusakan padang lamun dan terumbu karang.

  • 23

    b. Sektor sumber daya air: pengelolaan sistem tata air untuk mengatur debit

    aliran sungai yang bermuara di wilayah pesisir, sekaligus mengurangi

    potensi bencana banjir.

    c. Sektor perhubungan: penyediaan sistem jaringan transportasi darat yang

    terintegrasi dengan sistem transportasi laut, serta pengelolaan transportasi

    laut agar tidak mencemari perairan laut dan pesisir.

    d. Sektor pertanian: pengelolaan kegiatan pertanian yang berwawasan

    lingkungan sehingga mengurangi volume polutan yang mencemari

    perairan laut dan pesisir.

    e. Sektor industri: pengembangan kegiatan industri yang terkait dengan

    pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir serta pengelolaan kegiatan

    untuk mengurangi pencemaran perairan laut dan pesisir.

    f. Sektor perumahan dan permukiman: peningkatan kualitas lingkungan

    permukiman di kawasan pesisir melalui penyediaan rumah berikut sarana

    dan prasarana lingkungan guna meningkatkan kualitas sumber daya

    masyarakat pesisir.

    30. Implementasi dukungan sektor-sektor di atas merupakan tanggung jawab

    seluruh stakeholders yang mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,

    dan masyarakat termasuk dunia usaha. Dalam konteks ini koordinasi antar

    instansi Pemerintah Pusat dilakukan melalui forum Badan Koordinasi Tata

    Ruang Nasional (BKTRN). Sementara koordinasi antar instansi pemerintah di

    daerah dilakukan melalui forum Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah

    (TKPRD).

    VII. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TUBAN: TINJAUAN KASUS

    30. Tinjauan kasus ini dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan dan

    memahami model penataan ruang kawasan pesisir dan laut sebagai suatu

    pendekatan pemecahan persoalan-persoalan pemanfaatan dan pengelolaan

    kawasan pesisir dan laut.

    31. Pemilihan kawasan pesisir dan laut Tuban didasarkan kepada fakta dan

    kecenderungan pertumbuhan bahwa pesisir Tuban merupakan bagian kawasan

    pantai utara Jawa Timur yang memiliki potensi dan permasalahan yang strategis

    serta merupakan kawasan utama penggerak utama (prime mover) ekonomi

  • 24

    wilayah Gelangban dimana Kawasan Gelangban sendiri merupakan kawasan

    pengembangan kawasan tertentu GKS (Gerbangkertosusila)

    32. Tinjauan kasus kawasan laut dan pesisir Tuban ini dilakukan dengan melakukan

    pendekatan terhadap karakteristik kawasan pesisir Tuban, isu permasalahan

    yang dihadapi, serta kedudukan pengelolaan wilayah laut dan pesisir dalam

    penataan ruang wilayah.

    33. Kawasan Pesisir dan laut Tuban memiliki karakteristik spesifik yang dapat

    dicermati dari kondisi topografi, geografi, hidrologi dan potensi perikanan

    sebagaimana disajikan dalam box berikut:

    Karakteristik Kawasan Pesisir Tuban

    a. Secara geografis terletak antara 11130 - 11235 Bujur Timur dan antara 640 - 718 Lintang Selatan b. Wilayah Kawasan Pesisir Tuban mempunyai luas 16.950 Ha, dan terdiri dari 5 Kecamatan (Kecamatan Palang,

    Tuban,Jenu, Tambak boyo serta Bancar), dengan total jumlah penduduk kawasan pesisir sebanyak 134.024 jiwa

    c. Panjang pantai sepanjang 65 km yang terbentang dari Barat ke Timur d. Kondisi topografi mempunyai kemiringan 0 2 %, serta ketinggian 0 7 M dpl.

    e. Di Kabupaten Tuban saat ini dialokasikan 49.209,5 Ha luas lahan untuk industri dengan 25 % berada diwilayah pesisir. f. Kecamatan yang berada dipesisir : Kecamatan Palang , Tuban, Jenu, Tambakboyo dan Bancar.

    No

    Kecamatan Pesisir

    Dan Pantai

    Luas Kecamatan

    (Ha)

    Panjang Pantai (Km)

    Luas Desa Pesisisr Dan Pantai (Ha)

    Proporsi Wilayah Pesisir/Total (%)

    1. 2. 3. 4. 5.

    Palang Tuban Jenu Tambak boyo Bancar

    7.270,17 2.192,75 8.161,33 7.296,91 11.235,60

    12 4,67 34,09 9,07 15,3

    4.209 876,9 5.280,8 2.837,7 3.745,2

    58 40 65 39 33

    Jumlah 36.156,76 75,13 16.950 47

    g. Iklim Kabupaten Tuban beriklim tropis dengan suhu rata rata 20C-33C dengan tipe iklim yang dimiliki C dan D,

    dimana bulan basahnya dimulai dari Oktober sampai dengan Bulan Mei dan bulan keringnya dari Bulan Juli sampai September

    No Kecamatan Pesisir

    Dan Pantai

    Jumlah Penduduk (Jiwa)

    Kepadatan Kecamatan (jiwa/km2)

    Jumlah Penduduk Pesisir dan pantai

    Kepadatan Desa

    (jiwa/km2)

    1. 2. 3. 4. 5.

    Palang Tuban Jenu Tambak boyo Bancar

    68.772 77.833 44.489 36.540 52.994

    945,95 3.549,56 545,12 500,76 471,22

    42.093 28.466 29.905 14.322 19.238

    1000,07 3.246,21 566,30 504,70 513,67

    Jumlah 280.578 776 134.024 790,72

    h. Pasang surut di perairan Tuban dan sekitarnya dhitung dengan rumus Formzahl sebesar 5,473, dimana bilangan tersebut

    menunjukan bahwa perairan Tuban dan sekitarnya masuk dalam kategori tipe pasang surut harian tunggal beraturan yang mempunyai sekali pasang dan sekali surut dalam waktu sehari semalam.

    i. Kedalaman daerah pesisir pantai tuban yang berada di Kecamatan Bancar dimulai pada jarak 800 m 4,8 Km dengan kedalaman mencapai 10 M, Kecamatan Tambak boyo dari jarak 600 m hingga 4,4 km kedalaman mencapai 11 m, Perairan di Kecamatan Jenu kedalaman 5 9 m ditemui pada jarak 22,4 km sampai 7,4 km sedangkan perairan Tuban kedalaman 5 11 m dijumpai pada jarak 2,8 km 7,6 km

    j. Potensi perikanan yang ada di Kecamatan palang berada diantara area 20 mil, Kecamatan Tuban berada pada area 25 mil, Kecamatan Jenu berada pada area 5 mil sedangkan di Kecamatan Tambakboyo dan Bancar potensi ikannya tidak begitu tampak, total potensi lestari di Kabupaten tuban adalah 15.408 ton pertahun.

    k. Kecamatan palang, Tuban, Kecamatan jenu , Tambakboyo serta bancar lebih didominasi oleh tambak sedangkan mangrove hampir tidak mendominasi daerah tersebut.

  • 25

    34. Kawasan pesisir dan laut Tuban dengan karakteristiknya yang spesifik

    menghadapi isu dan permasalahan antara lain potensi konflik kepentingan

    (conflict of interest) dan tumpang tindih antar-sektor dan stakeholders. belum

    termanfaatkannya secara optimal potensi sumberdaya kemaritiman antara lain

    Pantai Sowan di Kecamatan Bancar dan Pantai Boom di Kota Tuban. Kerusakan

    biofisik lingkungan wilayah pesisir Tuban yang di sebabkan dikarenakan ulah

    manusia. Oleh karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan

    menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan

    lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

    Isu dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir Tuban a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders.

    Kawasan pesisir Tuban, seperti halnya kawasan pesisir lainnya memiliki nilai ekonomis lahan yang sangat tinggi karena akses yang dimiliki dan beragamnya sektor yang berkembang. Kegiatan yang saling tumpang tindih tersebut antara lain adalah perikanan tambak yang lokasinya berdekatan dengan jalan raya sepanjang pantai, perkembangannya perlu dipantau dengan kelestarian kawasan pesisir. Pola pemanfaatan kawasan permukiman juga cenderung berkembang secara linier (ribbon development) . Aktivitas guna lahan yang mixed tersebut dengan kepentingan yang berbeda akan menimbulkan benturan konflik kepentingan. Selain itu juga konflik kepentingan antara upaya pelestarian ekosistem kawasan pantai dengan pengembangan ekonomi dan pemanfaatan ruang.

    b. Belum termanfaatkannya potensi sumber daya kemaritiman yang terletak antara lain di :

    Pantai Sowan dengan panjang 9,3 Km, di kecamatan Bancar. Sebenarnya pantai Sowan ini memiliki beragam potensi antara lain letaknya yang strategis pada jalur pantura, memiliki perbukitan pasir, pantai yang luas dan bersih serta air lautnya yang jernih, pemandangan alam sekitar berupa hamparan rumput, hutan trambesi dan dinding karang yang menjorok ke laut, serta berpotensi sebagai wisata bahari.Yang sebeabranya jika dimanfaatkan secara opimal dapat dijadikan salah satu sumber PAD bagi Kabupaten Tuban.

    Pantai Boom di kota Tuban, adalah salah sebuah pelabuhan kuno yang dikenal sebagai bekas pelabuhan internasional pada masa kerajaan majapahit dan menjadi tempat sandar tentara Ku Bi Lai Khan yang akan menyerbu kerajaan kediri yang memiliki daya tarik wisata tersendiri bagi turis domestic maupun mancanegara namun demikian kondisi saat ini pantai tersebut belum tertata, baik dari segi fisik , lingkungan maupun ekonominya sedangkan sarana pendukungnya telah tersedia yaitu berupa fasilitas terminal dengan luas 800 M2 yang disediakan oleh pemda setempat bagi pengunjung pantai tersebut, sehingga dengan kondisi yang demikian, pantai boom belum dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan PAD daerah.

    c. Kerusakan biofisik lingkungan wilayah pesisir Tuban sangat mengkhawatirkan, adapun faktor-faktor yang turut

    mempengaruhi kerusakan biofisik wilayah pesisir Tuban antara lain :

    Permukiman penduduk berbatasan langsung dengan garis pantai (Kecamatan Tuban, Bancar dan Tambakboyo) sepanjang 6,2 Km , hal demikian berdampak buruk bagi wilayah pesisir pantai dan menganggu ekosistem kelautan karena selain melanggar sempadan pantai juga kecenderungan terjadinya pencemaran lingkungan pantai dan pesisir diakibatkan pembuangan sampah rumah tangga baik cair maupun padat yang dibuang langsung kelaut,

    Jalan raya terlalu dekat garis pantai dengan panjang 1,7 km yang berlokasi di Kecamtan Tuban , dalam hal ini yang perlu dikhawatirkan adalah terjadinya abrasi pantai dimana tebing tebing pantai terkikis yang mengakibatkan mundurnya garis pantai hingga dekat dengan jalan serta permukiman penduduk. Aberasi kritis terjadi di Kecamatan Jenu, dimana hal ini jika tidak ditangani secara serius seperti pembuatan bangunan panahan ombak dikhawatirkan permukiman serta jalan akan habis terkena abrasi.

    d. Penurunan luas hutan mangrove dikawasan pesisir Tuban sekitar 70 % dari total luasan semula, apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi maka aberasi pantai akan semakin parah, karena hutan mangrove tersebut selain berfungsi sebagai tempat hidupnya ekosistem juga sebagai pencegah intrusi air laut serta penahan ombak.

    e. Permasalahan limbah, dengan terkonsentrasinya industri di kecamatan jenu maka hal utama yang harus diperhatikan

    adalah pembuangan limbah industrinya, dimana dibutuhkan pengawasan terpadu antara stakeholder di daerah agar selalu mengawasi industri-industri yang ada dalam hal pembuangan limbahnya.

  • 26

    35. Wilayah pesisir Tuban merupakan salah satu daerah yang sangat intensif

    dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, seperti sebagai kawasan pusat

    pemerintahan, permukiman, industri, pelabuhan, pertambakan, pertanian,

    pariwisata dan sebagainya. Wilayah pesisir Tuban juga merupakan kawasan

    pantai utara yang terkait dengan Gelangban (Gresik, Lamongan, Tuban) dalam

    struktur perwilayahan dan ekonomi wilayah di mana Kawasan Gelangban

    merupakan kawasan yang tidak terlepas dari pegembangan Kawasan Andalan

    GKS (Gerbangkertosusila).

    36. Namun demikian segala perwujudan peraturan yang mengatur tentang

    pemanfaatan, penggunaan serta pegembangan Kawasan Pesisir dan Laut Tuban

    tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat terlihat

    dengan adanya isu permasalahan yang timbul.

    37. Isu dan permasalahan tersebut tidak akan timbul jika sistem pengendalian

    pemanfaatan ruang ataupun pengawasannya mendapatkan dukungan dari para

    stakeholders di daerah. Dengan perkataan lain isu permasalahan tersebut tidak

    akan timbul jika terdapat :

    a. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerahnya dapat berfungsi secara optimal.

    Produk produk hukum yang mengatur kawasan kawasan dalam lingkup Wilayah Kabupaten Tuban Serta Pesisir

    RUTRW Kabupaten Tuban

    Th 1992/1993

    RUTRW Kab. Tuban

    Th 1999/2000 2009/2010

    RU/RDTRK IKK se Kab. Tuban

    1990/1991 1995/1996

    RUTR Kawasan Pantai

    Kab. Tuban 1992/1993 2013/2014

    RTRK Industri

    Kab. Tuban 1996/1997 2006/2007

    Review RU/RDRTK IKK

    Plumpang dan Bangilan

    Review RUTR Kota Tuban

    1997/1998 2007/2008

    Review RTRWK Industri

    Kab. Tuban 2001/2002

    Arahan Rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Berikat Gresik Lamongan Tuban

    (GELANGBAN)

  • 27

    b. Produk peraturan yang ada mendapatkan dukungan serta melibatkan peran

    serta masyarakat dari proses penyusunan sampai pengesahan.

    c. Adanya suatu lembaga di tingkat daerah yang berdiri sendiri (otonom) yang

    bertugas mengawasi secara ketat pemanfaatan kawasan pesisir dan laut

    Tuban sesuai dengan arahan pemanfaatan, penggunaan maupun

    pengembangannya yang tertuang dalam Perencanaan Kawasan Pesisir

    khususnya serta perencanaan Kabupaten/Kota umunya.

    d. Adanya penegakan hukum yang konsisten terhadap berbagai pihak, baik

    individu maupun lembaga, yang melanggar ketentuan-ketentuan yang

    terdapat dalam produk-produk hukum yang mengatur pemanfaatan ruang.

    e. Sosialisasi yang dijalankan ke masyarakat maupun suatu lembaga dapat

    berjalan sebagaimana semestinya menurut ketentuan-ketentuan yang ada.

    f. Terjalinnya koordinasi antar lintas sektor yang kontinyu serta saling

    mendukung dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut Tuban.

    VIII. KESIMPULAN

    38. Wilayah laut dan pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi

    nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus merupakan

    wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan dan perusakan. Oleh

    karenanya diperlukan pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan

    kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik

    dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

    39. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir menghadapi tantangan pembangunan

    yang kompleks mengingat sifat ekosistemnya yang kaya akan sumber daya dan

    bersifat open access. Dalam upaya menangani permasalahan di wilayah laut dan

    pesisir perlu dikembangkan pendekatan yang mengintegrasikan pengaturan

    pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh

    sumber daya yang ada di dalamnya agar berbagai permasalahan yang ada dapat

    diselesaikan sejak dari sumbernya. Pendekatan penataan ruang merupakan

    pendekatan yang memenuhi persyaratan integrasi lintas matra (darat, laut,

    udara), lintas sektor (antar berbagai sektor kegiatan), dan lintas wilayah.

    40. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir dimaksudkan untuk mewujudkan

    pembangunan berkelanjutan melalui pemanfaatan sumber daya secara optimal

    dan efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip keterpaduan, pendekatan

  • 28

    bottom-up, kerjasama antar-daerah, penegakan hukum, dan konsistensi dalam

    memanfaatkan rencana tata ruang wilayah.

    41. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir merupakan bagian tak terpisahkan dari

    penataan ruang wilayah. Dengan demikian penyelenggaraannya harus

    didasarkan pada rencana tata ruang wilayah (RTRWN, RTRWP, dan RTRWK)

    yang telah ditetapkan.

    42. Pengelolaan wilayah laut dan pesisir nasional diselenggarakan dengan

    memanfaatkan RTRWN sebagai acuan spasial, serta mencakup Zona Ekonomi

    Eksklusif dan Landas Kontinen dimana Indonesia mempunyai hak untuk

    memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

    43. Agar pengelolaan wilayah laut dan pesisir dapat berjalan secara efektif dan

    efisien, diperlukan norma, standar, prosedur, dan manual (NSPM) yang

    memadai. Bila dikaitkan dengan dinamika otonomi daerah, ketersediaan NSPM

    ini dapat membantu Pemerintah Daerah dalam menyiapkan serta merumuskan

    kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumber daya pada wilayah pesisirnya

    masing-masing secara tepat. Saat ini ketersediaan NSPM yang fokus pada

    penataan ruang ruang laut dan pesisir masih sangat terbatas, sehingga

    diperlukan upaya percepatan penyusunan NSPM oleh Pemerintah Pusat.

    IX. TINDAK LANJUT

    Bagian ini dirumuskan dari pokok-pokok rumusan hasil diskusi dalam seminar.

    Beberapa langkah tindak lanjut yang perlu diambil dalam rangka pengelolaan

    wilayah laut dan pesisir adalah sebagai berikut:

    a. Pengembangan sistem informasi terkait dengan ruang lautan dan pesisir yang

    terintegrasi, serta menghindari tumpang tindih fungsi instansi dalam

    pengembangan data dan informasi. Khusus dalam penyediaan peta ruang

    lautan dan pesisir, perlu dilakukan koordinasi antara Bakosurtanal, Dishidros

    TNI-AL, Dep. Kelautan dan Perikanan, dan Badan Pertanahan Nasional

    (menyangkut tanah timbul/hilang). Dalam hal ini Bakosurtanal berfungsi

    sebagai koordinator untuk hal-hal yang berkaitan dengan aspek teknis dalam

    pembuatan dan penyajian peta.

    b. Penyusunan Norma, Standar, Pedoman, dan Manual (NSPM) dalam pengelolaan

    wilayah laut dan pesisir, seperti pedoman reklamasi pantai, pedoman pendelolaan

  • 29

    kawasan lindung laut, pPedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah

    laut dan pesisir, pedoman penataan ruang kawasan perkotaan pesisir (untuk

    menunjang perwujudan struktur ruang nasional), pedoman pengembangan

    kawasan andalan laut, dsb.

    c. Melakukan kajian tentang mekanisme penetapan batas antar daerah di wilayah laut.

    Meskipun dalam UU 22/1999 tentang Pemerintah Daerah batas-batas

    kewenangan daerah dinyatakan dengan jelas (12 mil untuk Daerah Provinsi dan

    4 mil atau 1/3 keweangan Daerah Provinsi untuk Daerah Kabupaten/Kota),

    penerapannya di lapangan banyak menghadapi masalah. Hal ini antara lain

    disebabkan oleh dinamika hidrooseanografi di kawasan pesisir, yang

    mengakibatkan garis pantai selalui berubah setiap saat baik karena sedimentasi

    maupun abrasi. Akibatnya penetapan garis pangkal sebagai titik awal

    pengukuran menjadi sulit dan potensial menimbulkan konflik.

    d. Peningkatan kinerja penataan ruang di wilayah laut dan pesisir melalui peningkatan

    perhatian terhadap aspek kelautan dalam perencanaan tata ruang serta

    peningkatan kapasitas penyelenggara penataan ruang daerah.

  • 30

    REFERENSI

    1. Akil. Sjarifuddin, Antisipasi Dampak Pemanasan Global dari Aspek Teknis

    Penataan Ruang, Makalah pada Seminar Nasional tentang Pengaruh Global

    Warming, terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari Kenaikan Muka

    Air Laut dan banjir, Jakarta 30-31 Oktober 2002.

    2. Akil. Sjarifuddin, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan

    Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi

    Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia

    Jakarta, 30 Mei 2002.

    3. Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Proceeding Seminar

    Nasional: Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

    ditinjau dari kenaikan permukaan air laut dan banjir, Jakarta, 30-31 Oktober

    2002

    4. BKTRN, Dokumen Kesepakatan Gubernur Seluruh Indonesia pada Rakernas

    BKTRN, Surabaya, 14 Juli 2003.

    5. BKTRN, Rumusan Pokok-Pokok Hasil RAKERNASBKTRN, Surabaya, 14 Juli

    2003

    6. Darwanto. Herry, Mekanisme Pengelolaan Penataan Ruang Wilayah Pesisir,

    Laut dan Pulau-Pulau Kecil serta Hubungan dengan RTRWN, RTRWP, RTRW

    Kabupaten/Kota, Makalah pada Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam

    Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil,

    Jakarta, 10 Oktober 2000

    7. Dayan. La Ode, Tindak Lanjut Atas Berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional

    tahun 1982 Terhadap Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kertas Karya

    Perorangan, Kursus Reguler Angkatan XXVIII, Lemhanas, 1985.

    8. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan dan

    Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Keynote Speech Menteri Permukiman dan

    Prasarana Wilayah dalam Workshop Perusakan Panatai dan Pesisir di wilayah

    Pantura Jawa Tengah, Semarang, 12 Mei 2001

    9. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Bahan Rapat Menteri

    Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam Pembahasan Pengajuan Izin

    Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah

    Pesisir (RUU PWP), Depkimpraswil, Jakarta, 13 Agustus 2003

    10. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Kebijakan Kimpraswil dalam

    rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah Menteri

  • 31

    Kimpraswil pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan

    Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia Jakarta, 30 Mei 2002.

    11. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Strategi Pengembangan dan

    Penataan Ruang Wilayah Pesisir, Keynote Speech Menteri Kimpraswil dalam

    Workshop Perusakan Panatai dan Pesisir di wilayah Pantura Jawa Tengah,

    Semarang, 12 Mei 2001

    12. Diposaptono. Subandono, Pengaruh Pemanasan Global terhadap Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, Direktorat Bina Pesisir, Ditjen Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002.

    13. Ditjen Penataan Ruang. Depkimpraswil, Materi Teknis Amandemen PP 47/1997

    tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Jakarta, Nopember 2002.

    14. Ditjen Penataan Ruang. Depkimpraswil, Petunjuk Pelaksanaan Penataan Ruang

    Kawasan Kota Tepi Air, 2002.

    15. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan,

    Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, Dep. Kelautan dan Perikanan,

    November 2001

    16. Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS),

    Pemetaan Potensi Laut dan Pesisir Kabupaten Tuban Melalui Penginderaan Jauh,

    Desember 2001

    17. Fakultas Teknologi Kelautan, Visualisasi Potensi Laut Kabupaten Tuban,

    Kerjasama Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dengan Pemerintah

    Kabupaten Tuban.

    18. Kusumastanto. Tridoyo, Perencanaan dan Pengembangan Pulau-Pulau Kecil,

    Makalah pada Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang dalam Menunjang

    Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta, 10

    Oktober 2000

    19. Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tuban, Rencana Umum Tata Ruang

    Kawasan Pantai Tuban Th. 1992/1993-2013/2014

    20. Pratikto. Widi Agoes dan Subandono Diposaptono, Tinjauan Dampak Global

    Warming terhadap Lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia,

    Makalah pada Seminar Nasional Pengaruh Global Warming terhadap Pesisir

    dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari kenaikan permukaan air laut dan banjir,

    Jakarta, 30-31 Oktober 2002.

    21. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

    22. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

  • 32

    23. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

    24. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang

    Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu


Top Related