teori modifikasi menurut para ahli

31
TEORI MODIFIKASI MENURUT PARA AHLI Modifikasi secara umum dapat diartikan sebagai hampir segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku. Menurut Bootzin, 1975. Modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku manusia. Powers & Osborn (1976) memberi batasan modifikasi perilaku sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku social tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut. Eyenk dalam Soetarlinah Soetadji (1983) menyatakan bahwa modifikasi perilaku adalah usaha mengubah perilaku dan emosi manusia dengan cara yang menguntungkan berdasarkan hukum-hukum teori modern proses belajar. Wolpe (1973) memberi batasan tentang modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaan – kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif ditimbulkan dan dikukuhkan. Menurut Sutarlinah Soekadji (1983), ada dua dasar pikiran modifikasi perilaku, yaitu perilaku sebagai hasil belajar dan pendekatan simtomatis. Definisi tersebut tampak bahwa mereka lebih menekankan pada penerapan teori dan hukum belajar pada modfikasi perilaku. Mereka berpendapat bahwa mengubah perilaku baru disebut modifikasi perilaku bila teknik kondisioning diterapkan secara ketat: tanggapan (respons), konsekuensi (akibat), dan stimulus (perangsang) didefinisikan secara objektif da dicatat secara cermat. Dari contoh-contoh definisi tersebut diatas, tampak adanya dua hal pokok, yaitu (1) adanya penerapan prinsip proses belajar, dan (2) adanya suatu teknik mengubah perilaku berdasar prinsip-prinsip belajar.

Upload: nia-indah-pujiati

Post on 02-Feb-2016

1.434 views

Category:

Documents


41 download

DESCRIPTION

modifikasi perilaku

TRANSCRIPT

TEORI MODIFIKASI MENURUT PARA AHLI

Modifikasi secara umum dapat diartikan sebagai hampir segala tindakan yang bertujuan mengubah perilaku.

Menurut Bootzin, 1975. Modifikasi perilaku adalah usaha untuk menerapkan prinsip-prinsip proses belajar maupun prinsip-prinsip psikologis hasil eksperimen lain pada perilaku manusia.

Powers & Osborn (1976) memberi batasan modifikasi perilaku sebagai penggunaan secara sistematis teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan frekuensi perilaku social tertentu atau tindakan mengontrol lingkungan perilaku tersebut.

Eyenk dalam Soetarlinah Soetadji (1983) menyatakan bahwa modifikasi perilaku adalah usaha mengubah perilaku dan emosi manusia dengan cara yang menguntungkan berdasarkan hukum-hukum teori modern proses belajar.

Wolpe (1973) memberi batasan tentang modifikasi perilaku adalah penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah teruji secara eksperimental untuk mengubah perilaku yang tidak adaptif, kebiasaan – kebiasaan yang tidak adaptif dilemahkan dan dihilangkan, perilaku adaptif ditimbulkan dan dikukuhkan.

Menurut Sutarlinah Soekadji (1983), ada dua dasar pikiran modifikasi perilaku, yaitu perilaku sebagai hasil belajar dan pendekatan simtomatis.

Definisi tersebut tampak bahwa mereka lebih menekankan pada penerapan teori dan hukum belajar pada modfikasi perilaku. Mereka berpendapat bahwa mengubah perilaku baru disebut modifikasi perilaku bila teknik kondisioning diterapkan secara ketat: tanggapan (respons), konsekuensi (akibat), dan stimulus (perangsang) didefinisikan secara objektif da dicatat secara cermat.

Dari contoh-contoh definisi tersebut diatas, tampak adanya dua hal pokok, yaitu (1) adanya penerapan prinsip proses belajar, dan (2) adanya suatu teknik mengubah perilaku berdasar prinsip-prinsip belajar.

Perilaku tak-adaptif dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip proses belajar. Cara-cara pengubahan disesuaikan dengan perilkau sasaran dan dengan situasi dan kondisi serta interaksi klien dengan lingkungan.

Pendekatan simtomatis dalam modifikasi perilaku berawal dari praktik penelitian terhadap proses belajar yang dilakukan di laboratorium dengan menggunakan subjek coba binatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa asal-usulnya, perilaku subjek dapat diubah. Kesimpulan ini diterapkan pada manusia. Kebanyakan manusia pertama yang dikenai percobaan adalah anak-anak tunagrahita, anak-anak yang mengalami kelainan kepribadian, anak-anak autism. Percobaan ini ternyata berhasil baik, sehingga pendekatan simtomatis dapat dipertahankan.

Kritik terhadap pendekatan simtomatis dilancarkan dari kelompok terapis psikoanalis. Mereka memperingatkan bahwa menghilangkan simtom tanpa menghilangkan masalah yang mendasari akan menimbulkan simtom pengganti (subsitusi). Keadaan ini memang didak semua benar. Memang kadang-

kadang simtom lain menggantikan simtom yang hilang, namun banyaknya kasus masing bersifat kebetulan.

Upaya perbaikan terhadap kritik ini pendekatan simtomatis dalam modifikasi perilaku mulai dilakukan. Modifikasi perilaku mulai menyadari perlunya sumber-sumber kekuatan manusiawi yang dapa dimanfaatkan dalam mengubah perilaku. Sumber-sumber tersebut adalah analisis terhadap asal-usul perilaku sasaran dan penataan lingkungan yang dimanfaatkan secara efektif.

Prinsip-prinsip proses belajar telah dimanfaatkan dalam usaha-usaha mengembangkan teknik-teknik praktis untuk menangani perilaku-perilaku menimpang dan masalah-masalah pribadi. Penerapan ini sering disebut dengan terapi perilaku. Terapi perilaku menyimpang yang sering diubah dengan terapi perilaku tersebut misalnya perilaku agresif, perilaku kejahatan, pobia, kompulsi, obsesi, menghentikan merokok, dan sebagainya. Meskipun modifikasi perilaku lebih luas cakupannya dibandingkan dengan terapi perilaku, namun keduanya tidak dapat terpisahkan.

Modifikasi perilaku berbeda dengan pengubahan perilaku yang didasarkan pada teknik media-biologis dan psikodinamika. Pengubahan perilaku melalui teknik medik-biologis lebih didasarkan pada efek medik, bukan merupakan penerapan prinsip-prinsip perilaku dalam teori belajar. Misalnya pemberian obat, bedah syaraf, dan electro-convulsive therapy.

Perbedaan khas modifikasi perilaku dengan terapi yang didasarkan psikodinamika adalah bahwa dalam modifikasi perilaku campur tangan terapis bersifat rasional dan predektif, perilaku yang akan diubah dideskripsikan secara jelas, sedangkan dalam psikodinamika tidak jelas, tampak sebagai proses batin. Selain itu, langkah-langkah dalam modifiksi perilaku tampak nyata, sedangkan dalam psikodinamika dibiarkan, misalnya asosiasi bebas dan reflektif.

ANALISIS FUNGSI

Langkah awal dalam modifikasi perilaku disebut analisis fungsi. Dalam analisis ini informasi yang relevan dikumpulkan sesuai dengan permasalahan yang akan ditangani. Ada tiga hal yang perlu diungkap dalam analisis fungsi, yaitu faktor-faktor penyumbang terjadinya perilaku, yang ”memelihara” perilaku, dan tuntutan melakukan analisis fungsi dapat digunakan formula ABC. Formula tersebut adalah:

A (Antecedent) ialah segala hal yang mencetuskan atau menyebabkan perilaku yang dipermasalahkan. Antecedent ini berkaitan dengan situasi tertentu (bila sendiri, bila bersama teman, saat tertentu, tempat tertentu, selagi melakukan aktivitas tertentu, dan sebagainya)

B (Behavior) ialah segala hal mengenai perilaku yang dipermasalahkan. Behavior ini dilihat dari sisi frekuensinya, intensitasnya, dan lamanya.

C (Cosequence) ialah akibat-akibat yang diperoleh setelah perilaku itu terjadi. Konsekuensi inilah yang biasanya ’memelihara” perilaku yang menjadi masalah. Misalnya: mendapat pujian atau perhatan, peerasaan lebih tenang, bebas dari tugas, dan sebagainya.

Setelah informasi yang relevan diperoleh, barulah diambil kesimpulan berkaitan dengan:

1. Siapa yang perlu dikenai perlakuan, dan sipakah yang perlu diikutsertakan dalam pemberian perlakuan.

2. Perilaku mana yang merupakan sasaran perubahan lebih dahulu.

3. Teknik apa yang akan digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Purwanta, Edi.2012.Modifikasi Perilaku.Yogyakarta:Pustaka Pelajar

http://rindapradita.wordpress.com/2012/01/18/modifikasi-perilaku/

FADING

diposting oleh m-f-s-fpsi08 pada 07 June 2012di PSIKOLOGI - 0 komentar

Fading (Raymond, 2004) adalah salah satu cara untuk mentransfer stimulus kontrol dari promts ke stimulus diskriminatif. Fading juga merupakan perubahan perlahan-lahan, pada treatment yang dilakukan berulang-ulang, dimana stimulus mengontrol respon, sehingga respon yang terjadi diubah atau menjadi stimulus baru yang lebih lengkap (Deitz&Malone, 1985). Kesimpulannya bisa dikatakan fading merupakan perubahan sedikit demi sedikit dalam situasi treatment sehingga terjadi penurunan, memperkenalkan keadaan agar bisa melihat perubahan perilaku.

Prompting adalah stimulus yang diberikan sebelum atau selama terjadinya perilaku. Fungsi dari prompting adalah membantu terjadinya perilaku yang diinginkan, sehingga siapapun yang melakukan perilaku tersebut bisa memperoleh penguatan dari instruktur (guru, konselor, dan sebagainya) (Cooper, Heron, & Heward, 1987, hal 312).

1. Verbal prompts, merupakan perilaku verbal dari orang lain yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang benar pada subjek.

2. Gestural prompts, merupakan gerakan fisik atau gesture dari orang lain yang diharapkan dapat menghasilkan respon yang benar pada subjek.

3. Modeling prompts, merupakan demonstrasi terhadap perilaku yang benar dari orang lain sehingga dapat menyebabkan subjek mampu melakukan perilaku yang diharapkan dengan menirunya.

4. Physical prompts, merupakan sentuhan secara fisik dari orang lain kepada subjek untuk membantunya melakukan perilaku yang diinginkan secara benar. Sulzer-Azaroff dan Mayer (1991) mengemukakan bahwa physical prompts digunakan ketika verbal, gestural, dan modeling prompts belum dapat menghasilkan perilaku yang diinginkan secara tepat.

Keempat tipe response prompts membutuhkan orang lain sebagai instruktur untuk membantu seseorang menghasilkan perilaku yang diinginkan secara tepat.

Perubahan dalam beberapa aspek dari stimulus diskriminatif bisa berupa penambahan atau pengurangan stimulus yang membuat perilaku yang tepat dapat dimunculkan oleh subjek. Macam dari stimulus promptadalah within stimulus prompt dan extrastimulus prompt.

TRANSFER KONTROL STIMULUS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa prompting hanya perlu dilakukan sampai subjek dapat memunculkan perilaku yang tepat. Setelah itu, perlu dilakukan pengurangan prompting, yang disebut sebagai proses fading untuk melakukan transfer kontrol stimulus, supaya perilaku yang muncul berada di bawah kendali stimulus diskriminatif alami, bukan di bawah kendali prompting.

Ada sejumlah cara untuk mentransfer kontrol stimulus, yaitu: prompt fading, delay prompt, dan stimulus fading. Tujuan dari masing-masing metode adalah untuk mengubah kontrol perilaku yang berasal dari stimulus buatan berupa prompting, ke stimulus alami (stimulus diskriminatif) yang relevan.

1. Prompt Fading

Prompt fading merupakan metode yang paling umum digunakan untuk melakukan transfer kontrol stimulus. Dengan prompt fading, respon yang dihasilkan dari prosedur prompting akan dihapus secara bertahap dalam keseluruhan proses pembelajaran sampai prosedur prompting tidak lagi disediakan (Martin & Pear, 1992). Hal ini bisa disebut secara teknis sebagai prompt fading (pengurangan prosedur prompting untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan).

Bentuk lain dari prompt fading adalah dengan mengurangi sedikit demi sedikit berbagai bentuk prompting, yang biasanya disebut sebagai fading across prompts. Hal ini menggambarkan bahwa prompt fading bisa dilakukan untuk jenis prompting yang berbeda-beda dalam satu kasus.

1. Prompt Delay

Cara lain untuk melakukan transfer kontrol stimulus dari respon yang berada di bawah kendali promptingpada respon yang berada di bawah kendali stimulus diskriminatif alami adalah prompt delay. Dalam prosedur ini, yang perlu dilakukan pertama kali adalah menyajikan stimulus diskriminatif alami, kemudian tunggu beberapa saat. Jika setelah beberapa saat tidak muncul respon yang tepat, maka perlu diberikan prosedurprompting. Jadi intinya, prosedur prompting tidak langsung diberikan begitu saja pada subjek, tapi perlu waktu tunggu terlebih dahulu, untuk melihat apakah subjek sudah dapat memunculkan perilaku yang tepat ataukah belum. Waktu tunggu antara penyajian stimulus diskriminatif alami dengan prosedur prompting bisa berbeda antara kasus yang satu dengan kasus lainnya (Handen & Zane, 1987; Snell & Cast, 1981).

1. Stimulus Fading

Setiap kali stimulus prompt digunakan untuk memunculkan respon yang tepat pada subjek, beberapa aspek dari stimulus diskriminatif diubah untuk membantu subjek membuat diskriminasi benar. Namun demikian, pada akhirnya stimulus promptpun harus dihilangkan melalui proses stimulus fading untuk melakukan transfer kontrol stimulus untuk memunculkan peran dari stimulus diskriminatif alami. Ketika diterapkanextrastimulus prompt, yang mana diberikan banyak stimulus tambahan untuk merangsang munculnya perilaku yang tepat pada subjek, jika apa yang diinginkan, yaitu perilaku yang tepat tersebut benar-benar bisa muncul, maka lama-kelamaan stimulus tambahan harus dikurangi sedikit demi sedikit. Jika setelah pengurangan stimulus ini tetap diperoleh respon yang tepat dari subjek, itu berarti bahwa subjek telah dapat memunculkan perilaku yang tepat di bawah kendali stimulus diskriminatif alami.

MENGGUNAKAN STRATEGI PROMPTING DAN TRANSFER STIMULUS KONTROL

1. Pilih strategi prompting yang paling sesuai untuk dilakukan;

2. Dapatkan terlebih dahulu perhatian subjek yang akan diubah tingkah lakunya;

3. Tampilkan stimulus diskriminatif terlebih dahulu;

4. Berikan bantuan supaya bisa muncul perilaku yang diinginkan;

5. Beri penguatan atau ganjaran bagi perilaku yang tepat;

6. Transfer stimulus kontrol;

7. Lanjutkan memberikan penguatan pada perilaku yang muncul setelah prompting dihilangkan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS FADING:

1. Memilih stimulus akhir yang diinginkan (stimulus yang kita harap dapat menghasilkan perilaku pada bagian akhir dari prosedur fading). Kita harus berhati-hati dalam memilih stimulus ini. Sehingga munculnya respon atas stimulus ini dapat dipertahankan di lingkungan pasien sehari-hari. Salah satufading yang salah yaitu ketika fading tidak memasukkan aspek-aspek situasi yang sering dijumpai oleh pasien di lingkungannya sehari-hari.

2. Memilih stimulus awal. Penting untuk memilih stimulus awal, yang secara konstan/reliabel, dapat membangkitkan perilaku yang diinginkan. Stimulus tambahan yang mengontrol perilaku yang diinginkan tetapi bukan merupakan bagian dari stimulus akhir yang diinginkan disebut denganprompts. Ada berbagai macam prompts, antara lain: verbal prompts, gestural prompts, enviromental prompts, physical prompts. Seorang guru mungkin akan memberikan sebagian atau semua jenisprompt ini untuk memastikan respon yang benar. Memilih beberapa jenis prompt, secara bersamaan, yang secara konstan menghasilkan respon yang diinginkan akan meminimalkan kesalahan dan memperbesar keberhasilan program fading.

3. Memilih langkah-langkah fading. Penting untuk mengawasi secara dekat performa pelajar untuk menentukan seberapa lama seharusnya fading dilaksanakan.

Pedoman penerapan fading yang efektif:

1. Memilih stimulus akhir yang diinginkan. Tentukan secara jelas stimuli apa yang akan diberikan ketika target perilaku seharusnya muncul.

2. Memilih penguat yang pantas.

3. Memilih stimulus awal dan langkah-langkah fading:

1. Menentukan secara jelas kondisi ketika perilaku yang diinginkan terjadi.

2. Menentukan secara jelas dimensi-dimensi (misalnya, warna) yang ingin dipudarkan (fade)untuk mencapai stimulus kontrol yang diinginkan.

3. Menekankan langkah-langkah fading yang spesifik untuk dipatuhi dan aturan-aturan tentang perpindahan dari suatu tahap ke tahap selanjutnya.

4. Merencanakan antisipasi kegagalan:

Pemudaran (fading) isyarat-isyarat haruslah secara bertahap sehingga kemunculan kesalahan dapat diminimalkan. Jika kesalahan terjadi, kita harus kembali lagi ke langkah sebelumnya dan melakukan beberapa kali latihan serta memberikan prompt-prompt tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad Baitul (2010). Fading, Modifikasi Perilaku. Diakses pada tanggal 11 November 2011 dari http://www.psikologizone.com/fading-modifikasi-perilaku/065111017

Annianingrum, Naning (2011). Prompting and Transfer Stimulus Control. Diakses pada tanggal 11 November 2011 dari http://raneebk.blogspot.com/2011/02/prompting-and-transfer-stimulus-control.html

Miltenberger, Raymond G. (2004). Behavior Modification 3rd edition. United States of America: Thomson Learning,Inc.

modifikasi tingkah laku

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak usia dini merupakan pribadi yang unik, yang berbeda dengan orang dewasa. Anak usia dini mempunyai karakteristik tersendiri, yang terkadang membuat orang dewasa disekitarnya menjadi

terkaget-kaget bila melihat dan mendengarkan perilaku maupun percakapan mereka dengan teman sebayanya.

Berbicara mengenai perkembangan perilaku sosial pada anak usia dini ( 3 – 4 tahun ), banyak hal yang menarik di dalamnya. Anak usia 3-4 tahun yang dalam hal ini masih berada di rentang usia kelompok Bermain, mempunyai karakteristik tersendiri dalam perkembanganya. Khususnya dalam perkembangan perilaku sosial, anak perlu dibiasakan dan diajarkan bagaimana cara mereka berinteraksi dalam lingkungan sosial di lingkungannya.

Pembelajaran perkembangan perilaku sosial yang biasa dilakukan dalam lingkungan keluarga, sangat penting agar kelak anak – anak menjadi pribadi yang santun, mempunyai rasa empati, simpati, tenggang rasa, saling menghormati, dan mempunyai sifat sosial yang baik. Dengan mempunyai bekal dengan pembiasaan berinteraksi sosial dan berperilaku yang baik, maka insya Allah, kelak anak-anak kita akan menjadi generasi penerus bangsa yang mempunyai kecerdasan sosial dan kecerdasan interpersonal yang akan mengaharumkan bangsa dan negaranya.

B. Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Shaping

Shaping adalah pembentukan perilaku baru atau perilaku yang belum pernah dilakukan individu, dan sulit atau tidak mungkin untuk memunculkan perilaku baru yang diinginkan tersebut, dengan cara memberi pengukuh/penguat jika telah muncul perilaku-perilaku yang menyerupai atau mendekati perilaku yang diinginkan, sehingga pada akhirnya memunculkan perilaku yang sama sekali baru yang diinginkan.

Jadi shaping itu adalah prosedur yang digunakan untuk membentuk perilaku seorang individu. Karena perilaku memiliki tingkat kejadian, maka tidak mungkin untuk meningkatkan frekuensi perilaku hanya

dengan menunggu sampai terjadi dan kemudian baru menguatkannya. Oleh karena itu, untuk memperkuat perilaku harus memperkuat respon mulai dari nol sampai ke frekuensi yang lebih besar.

Shaping didefinisikan sebagai perkembangan perilaku baru oleh penguatan berturut-turut dari perilaku yang ingin dikuatkan sebelumnya. Kadang-kadang perilaku baru terjadi ketika seorang individu menampakkan beberapa perilaku awal, dan lingkungan (orang lain) memperkuat variasi-variasi kecil dalam perilaku. Akhirnya bahwa perilaku awal dapat dibentuk sehingga bentuk akhir tidak lagi menyerupai perilaku awal.

Kebanyakan orang tua menggunakan prosedur pembentukan dalam mengajar anak-anak mereka untuk berbicara, misalnya saja ketika pertama kali bayi mulai mengoceh, ia mengikuti bahasa asli orangtua walaupun masih mereka-reka. Pada saat mulai mengoceh inilah orangtua memperkuat perilaku misalnya dengan belaian, pelukan atau ciuman pada sang anak.

Ada dua cara untuk membentuk sebuah respon, yaitu :

1. Eksternal shaping

Jika kita menghendaki seseorang melakukan sebuah respon tertentu, misalnya menekan pengumpil untuk memperoleh makanan, maka lingkungan dapat diatur sedemikian rupa sehingga respon ini kemungkinan besar dilakukan. Dalam bahasa skinner, respon-respon dalam conditional klasik dibentuk secara tidak begitu kaku, sedang respon-respon instrumental dibentuk secara tidak begitu kaku tetapi masih tetap berada dibawah penguasaan kondisi luar.

2. Internal shaping

Internal shaping dapat terjadi dalam lingkungan yang sangat bebas dan sangat tidak berstruktur. Diberi nama internal shaping karena tekanan konstan terhadap tingkah laku datangnya dari dalam organisme, bukan dari lingkungan fisik. Skinner (1951) bahwa proses internal shaping dapat dilukiskan dengan cukup obyektif, tetapi pelaksanaannya memerlukan kecerdasan, akal, dan keahlian yang besar dari orang yang melakukan shaping.

Proses shaping akan sangat berjalan dengan sangat cepat dan efektif bila reinforcement tepat bersamaan waktu dengan respon. Dalam shaping ada tahapan-tahapan dalam menuju perilaku akhir, meskipun belum sampai pada perilaku akhir yang diharapkan, apabila seseorang itu telah berubah atau membentuk perilaku baru maka diberikan penguatan (reinforcement).

B. Aspek Perilaku Yang Dapat Dibentuk

Ada tiga aspek perilaku yang bisa dibentuk :

1. Topografi

Pembentukan bentuk respon tertentu atau tindakan spesifik. Mencetak kata / mengikuti perkataan dan menulis kata yang sama adalah respon yang sama yang dibuat dengan dua topografi yang berbeda. Contohnya membentuk seorang anak untuk mengatakan “mama” buka “ma-ma”

2. Jumlah

Pembentukan perilaku yang dilakukan dengan peningkatan jumlah. Contoh; seorang anak yang belajar berjalan, pada mulanya dia hanya bisa berjalan beberapa langkah saja, namun lama kelamaan karena diperkuat akhirnya anak dapat berjalan dengan mulus tanpa tertatih.

3. Intensitas kekuatan suatu respon

Pembentukan perilaku yang dilakukan dengan peningkatan intensitas/keseringan. Contohnya, seorang anak yang kurang diperhatikan orangtuanya, lalu ia rajin membersihkan rumah dan sang anak mendapatkan perhatian orangtuanya, akhirnya anak tersebut akan lebih sering mengulangi perbuatannya agar terus mendapatkan perhatian orangtuanya.

Contoh untuk ketiga aspek tersebut:

Anak dapat menyimpan sepatu di rak sepatu.

Secara topografi : hari ke1 anak bisa menyimpan sepatunya sendiri

Secara jumlah : hari ke2 anak dapat menyimpan sepatu temannya

Secara intensitas : hari ke3 anak dapat menyipan lebih dari dua pasang sepatu dengan rapi.

C. Penerapan Shaping

Penerapan untuk melaksanakan shaping yaitu:

1. Menentukan perilaku akhir yang diinginkan

Langkah pertama dalam shaping adalah mengidentifikasikan dengan jelas perilaku akhir yang diinginkan, yang sering disebut sebagai perilaku terminal (tujuan akhir). Dalam kasus anak yang mencoba berjalan tadi, perilaku terakhir yang diinginkan adalah berjalan tanpa bantuan, misalnya dari ruang TV sampai ruang makan. Dengan definisi yang spesifik seperti ini, ada sedikit kemungkinan bahwa orang yang berbeda akan mengembangkan harapan yang berbeda mengenai kinerja sang anak. Jika orang yang berbeda bekerja dengan individu yang mengharapkan hal yang berbeda, maka kemajuan cenderung terbelakang. Akhir perilaku yang diinginkan harus dinyatakan sedemikian rupa sehingga semua karakteristik dari perilaku (topografi, jumlah maupun intensitas) diidentifikasi.

2. Pemilihan pemulaian tingkah laku (memilih perilaku)

Karena terminal perilaku yang diinginkan tidak terjadi pada awalnya perlu memperkuat beberapa perilaku yang mendekati itu, dan mengidentifikasi titik awal. Tujuan program awal ini adalah untuk membentuk perilaku, dengan memperkuat titik awal ke final yang diinginkan meskipun titik awal mungkin sama sekali berbeda dengan perilaku terminal.

3. Pemilihan langkah-langkah pembentukan (langkah memilih Shaping)

Tahap ini membantu kita untuk mendekati akhir perilaku yang diinginkan. Contoh; anggaplah akhir perilaku yang diharapkan dalam program membentuk seorang anak berkata “papa”, telah ditetapkan bahwa anak berkata “Paa” dan respon ini diatur sebagai perilaku awal. Kita andaikan bahwa kita memutuskan untuk pergi dari perilaku awal “Paa” melalui langkah-langkah beriku “Paa-Paa”, “Pa-Pa”, dan “Papa”.

Untuk memulai, penguatan diberikan pada sejumlah kesempatan untuk memancarkan perilaku awal (“Paa”). Ketika perilaku ini terjadi pelatih bergerak ke langkah berikutnya dan memperkuat langkah demi langkah sampai anak akhirnya berkata “papa”.

Memang tidak ada seperangkat pedoman untuk mengidentifikasi ukuran langkah yang ideal, namun dalam usaha untuk menentukan langkah-langkah perilaku awal ke terminal perilaku, pelatih sudah bisa membayangkan langkah-langkah yang akan dilalui.

4. Bergerak untuk memperbaiki

Ada beberapa aturan praktis untuk memperkuat respon akhir yang diinginkan :

a) Jangan bergerak terlalu cepat ke langkah berikutnya. Masuk ke langkah selanjutnya dapat dilakukan apabila langkah sebelumnya telah mapan.

b) Lanjutkan dalam langkah-langkah cukup kecil. Jika tidak, langkah sebelumnya akan hilang. Namun, jangan membuat langkah-langkah kecil yang tidak perlu.

c) Jika kehilangan suatu perilaku karena anda bergeerak terlalu cepat atau terlalu besar mengambil langkah, kembali ke langkah awal dimana anda dapat mengambil perilaku lagi.

Pedoman ini mungkin tidak begitu membantu. Di satu sisi, disarankan untuk tidak bergerak terlalu cepat dari satu pendekatan ke pendekatan lain. Di sisi lain, disarankan untuk tidak bergerak terlalu lambat. Jika kita bisa menyertai pedoman ini dengan rumus matematika untuk menghitung ukuran yang tepat langkah-langkah ynang harus diambil dalam setiap situasi dan persis berapa banyak bala bantuan harus diberikan pada setiap langkah, pedoman akan jauh lebih berguna. Shaping memerlukan banyak latihan dan keterampilan jika harus dilakukan dengan efektivitas maksimum.

D. Perilaku Untuk Pembentukan Umum

1. Memilih perilaku akhir, pilihlah perilaku yang spesifik ( seperti bekerja dengan tenang selama 10 menit di meja ) dan bukan yang umum ( seperti perilaku yang baik di kertas ). Jika memungkinkan pilihlah perilaku yang akan terjadi dengan reinforcer alami.

2. Pilihlah memperkuat (reinforcer) yang alami

3. Rencana awal. Membuat daftar perilaku yang dianggap berhasil yang mendekati perilaku yang diinginkan untukperilaku paling awal, pilihlah perilaku yang mirip dengan yang sudah dilakauakan dengan subjek yang bersangkutan.

4. Penerapan rencana. Katakan pada siswa sebelum menerapkan program mengenai program yang bersangkutan. Mulailah memberikan reinforcer begitu dengan yang dijalankan. Jangan menuju ke langkah berikutnya sebelum siswa berhasil melakukan tugas dengan sempurna. Berikan reinforcer secukupnya jangan berlebihan atau terlalu pelit. Jika anak mogok, dengan kemungkinan tugas yang terlalu berat atau langkah yang terlalu cepat, atau reinforcer tidak efektif.

E. Faktor-Faktor Yang Memperngaruhi Ke Efektifan Shaping

1. Menentukan Perilaku Diinginkan Akhir (Specifying the Final Desired Behavior)

Tahap pertama dalam penerapan shaping adalah mengidentifikasi secara jelas perilaku akhir yang diinginkan, Biasa disebut dengan terminal behavior. Jika terapis dan klien memiliki tujuan perilaku akhir yang berbeda, maka akan menghambat tercapainya kemajuan, karenanya perilaku akhir harus diidentifikasi secara jelas termasuk dalam dimensi yang mana.

2. Memilih Perilaku Mulai (Choosing a Starting Behavior)

Karena reinforcement diberikan pada perilaku yang mendekati target, maka kita harus menentukan starting pointnya. Baik yang similar atau bahkan tidak similar.

3. Memilih Langkah Membentuk (Choosing the Shaping Steps)

Tahap shaping harus ditentukan secara teliti dan jelas. Tidak ada ukuran yang pasti dalam menyusun tahapan shaping. Setelah tahapan shaping ditentukan namun kemajuannya tidak signifikan, maka dapat secara fleksibel berubah.

4. Pindahan Pase yang Benar (Moving Along at the Correct Pace).

Ada beberapa aturan yang dapat diterapkan dalam memberikan reinforcement dalam suatu tahap shaping.

a. Berikan reinforcement paling tidak beberapa kali sebelum melanjutkan ke tahap berikutnya.

b. Hindari pemberian penguatan (reinforcement) yang terlalu sering pada tiap tahap. Jika pemberian penguatan (reinforcement) pada satu tahap bertahan dalam waktu yang lama, maka perilaku itu akan menetap secara kuat dan sulit untuk beralih ke tahap selanjutnya.

c. Jika kehilangan salah satu perilaku karena bergerak terlalu cepat, maka kembalilah ke perilaku sebelumnya.

Pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, justru perilaku merusak yang diperkuat atau orang tua terkadang tidak responsif dengan kemajuan yang telah dicapai anak karena mungkin pengharapan bahwa jika anak sudah mencapai prilaku.

1. Prilaku (behavior)

a. Tentukan perilaku secara spesifik

b. Jika memungkinkan pilih perilaku yang dapat tetap terkontrol oleh natural reinforcer setelah dilakukan prgram shaping

2. Penguat (reinforce)

Memilih reinforcer yang sesuai untuk klien

3. Rencana awal (The initial plan)

a. Buatlah daftar perilaku secara bertahap dimulai dari starting behavior

b. Initial plan biasanya “educated guesses” (tebakan yang cerdas), namun dapat dimodifikasi tergantung dari kinerja klayen (performance klien)

4. Mengimplementasikan rencana (Implementing the plan)

a. Sebelum dimulai, beritahukan kepada klien tentang rencana yang akan dilakukan

b. Mulai memberikan reinforcement segera setelah starting behavior dilakukan

c. Jangan berpindah ke tahap selanjutnya sebelum klien menguasai perilaku tersebut

d. Jika anda tidak yakin kapan harus meningkat ke tahap selanjutnya, maka majulah ke tahap berikutnya setelah klien mampu memperlihatkan perilaku sebanyak 6 atau 10 kali

e. Jangan memberikan reinforcement terlalu sering atau terlalu jarang pada tiap tahapnya

f. Jika klien tidak lagi mengikuti program, bisa jadi terapis terlalu cepat meningkat ke tahapan berikutnya atau reinforcer tidak efektif

Contoh Penerapan Shaping :

BAB I

PENDAHULUAN

· Latar belakang

Upaya penanganan terhadap anak berkebutuhan khusus dari waktu ke waktu meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi. Peningkatan tersebut dapat dilihat minimal dari dua sudut, yaitu segi preventif dan segi kuratif. Dari segi preventif, penanganan lebih diarahkan pada upaya menekan terjadinya kelainan, terutama kelainan negatif melalui pendekatan medis maupun pendekatan psikologis dan pedagogis. Upaya preventif medis dilakukan melalui deteksi dini terhadap kelainan yang terjadi sejak konsepsi sampai sepanjang perkembangan anak dengan menggunakan prosedur medis. Misalnya pencegahan terjadinya infeksi dan keracunan selama proses kehamilan, pemberian nutrisi yang lengkap selama proses kehamilan, dan pemeriksaan kehamilan rutin terhadap kehamilan ibu, serta pengawaan yang ketat terhadap proses kelahiran (dilakukan oleh bidan dan dokter). Upaya medis juga dilakukan pada usia bayi, kanak – kanak dan anak melalui pemeriksaan rutin sejak bayi sampai masa anak berakhir. Deteksi dilakukan terhadap kemungkinan terhadap infeksi, kelainan, kekurangan gizi, cedera, dan keracunan selama perkembangan anak dengan pemeriksaan rutin serta memberikan nutrisi tambahan yang memadai. Misalnya, dilakukan dengan penatalaksaan vaksinasi secara tepat, pemberian vitamin A dosis tinggi pada periode tertentu untuk mencegah kebutaan.

Upaya preventif psikologis – pedagogis untuk menekan terjadinya kelainan pada anak dilakukan melalui mendeteksi dini dan stimulasi dini. Stimulasi dini dilakukan untuk memberikan layanan akselerasi terhadap perkembangan perilaku anak dari sisi psikologis. Stimulasi dini dilakukan melalui media bermain dan latihan – latihan untuk mengembangkan fungsi motorik baik kasar maupun halus, dan fungsi kognitif serta fungsi afektif mereka. Melalui deteksi dini terhadap kelainan anak, intervensi dini, terhadap kemungkinan – kemungkinan yang akan terjadi pada perkembangan anak dapat dilakukan secara tepat sasaran. Walaupun upaya pencegahan terus diupayakan, namun kenyataannya masih

banyak ditemukan berbagai kelainan yang terjadi pada perkembangan anak. Oleh karena itu upaya kuratif juga perlu dilakukan untuk menyembuhkan atau mengoreksi kelainan yang telah terjadi.

Dari sisi kuratif penanganan medis dilakukan dengan memberikan tindakan dan pengobatan yang tepat yang dilakukan oleh tim medis terhadap penyakit dan kelainan anak. Misalnya, tunagrahita yang mengalami hidrochepalus dilakukan operasi dan pembuatan saluran untuk mengeluarkan cairan di kepala. Anak celebral palcy dilakukan melalui terapi okupasi dan bermain untuk relaksasi otot serta sendi sebagai dasar untuk penguasaan motorik kasar maupun motorik halus, anak yang mengalami gangguan jalan dibuatkan alat bantu jalan, dan sebagainya. Dari sisi korektif penanganan anak berkebutuhan khusus diarahkan untuk menyembuhkan dan memperbaiki perilaku – perilaku menyimpang yang terjadi pada anak. Dari sisi ini, penanganan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan, baik medik maupun pedagogis – psikologis. Salah satu pendekatan pedagogis – psikologis adalah modikasi perilaku.

BAB II

PEMBAHASAN

· Pengertian Extinction

Extinction merupakan salah satu fenomena – fenomena dalam kondisi klasik yang artinya adalah menurunnya frekuensi respon bersyarat bahkan akhirnya menghilangnya respon bersyarat akibat ketiadaan stimulus alami dalam proses kondisioning atau secara singkat dapat diartikan hilangnya perilaku akibat dari dihilangkannya reinforcers. Maksudnya, sebuah perilaku yang telah dikuatkan untuk periode waktu tertentu, maka penguatan perilaku tersebut tidak akan lama dan bagaimanapun perilaku tersebut akan terhenti.

· Extinction burst

Salah satu karakteristik dari proses extinction adalah jika salah satu perilaku yang tidak diberi penguat, mengalami peningkatan dari segi frekuensi, durasi maupun intensitasnya, sebelum pada akhirnya berkurang dan hilang untuk selamanya (Lerman & Iwata, 1994). Contoh pertama, pada saat Rae tidak mendapatkan kopinya, dia menekan tombol pada mesin pembuat kopi secara berulang (frekuensi meningkat), kemudian menekannya dengan lebih keras (intensitas meningkat) sebelum akhirnya Rae menyerah. Pada saat Greg mendapati pintu apartemennya terkunci, dia menaik-turunkan handle sembari mendorong slot pintunya beberapa kali (intensitas meningkat) kemudian dia mendorong slot pintu dengan lebih kuat lagi (intensitas meningkat) seelum akhirnya menyerah. Peningkatan pada frekuensi, intensitas, dan durasi selama proses extinction disebut dengan Extinction Burst. Cermati juga contoh lainnya :

Pada saat Mark menekan tombol ON pada remote Tvnya dan ternyata Tvnya tidak menyala (baterainya mati), Mark menekannya lebih lama (durasi meningkat), dan lebih keras (intensitas meningkat) sebelum akhirnya menyerah. Perilaku Mark yang menekan tombol ON tidak dikuatkan oleh TV yang menyala, oleh karena itu dia berhenti menekan. Tetapi sebelum itu dia menekan remote dengan lebih lama dan lebih keras (extinction burst).

Setiap malam, Amanda 4 tahun, terbangun dan menangis di sela-sela waktu tidurnya selama 10 – 15 menit, kemudian orang tuanya mendatangi kamarnya dan menemaninya hingga ia merasa ngantuk. Setelah bertanya pada seorang dokter anak, orang tua amanda mencoba untuk tidak datang atau menanyakan keadaannya ketika Amanda menangis pada saat jam tidur. Pada malam pertama Amanda menangis selama 25 menit sebelum kembali tidur. Pada akhir minggu Amanda berhenti menangis pada saat jam tidur. Pada saat mereka (ortu Amanda) tidak masuk ke kamar Amanda setelah dia menangis, mereka telah mengaplikasikan extinction. Peningkatan tangisan pada malam pertama merupakan extinction burst. Sekali orang tua menerapkan extinction, dilaporkan adanya peningkatan perilaku namun kemudian berkurang dan akhirnya berhenti semuanya.

Karakteristik lain pada extinction burst adalah perilaku novel (perilaku yang tidak secara khusus menyusun pada setiap bagian situasi) muncul menyertai perilaku utama ketika penguatan tidak diberikan. Sebagai contoh ketika Amanda menangis, orang tuanya tidak mendatanginya. Amanda menangis lebih lama dan lebih keras (intensitas dan durasinya meningkat), tidak hanya itu amanda juga ketakutan dan memukuli bantalnya. Pada contoh pertama rae tidak hanya menekan tombol mesin pembuat kopi secara berulang ketika kopinya tidak keluar, tetapi juga menekan tombol untuk mengeluarkan uangnya dan mengguncang mesin tersebut (novel behavior).

Sesekali, perilaku novel yang muncul bersamaan dengan extinction burst termasuk di dalam nya adalah respon emosi. Sebagai contoh Rae akan menunjukkan kemarahannya dan memaki-maki mesin pembuat kopi atau bahkan menendangnya. Azrin, Hutchinson, dan Hake (1988) mengatakan jika perilaku agresiif sering terlihat pada saat extinction diterapkan. Hal ini tidak biasa bagi anak kecil untuk menunjukkan respon emosi pada saat perilakunya tidak mendapat penguatan. Siapa yang melarang anak-anak meminta permen akan menyebabkan anak menangis dan ketakutan. Orang tua secara tidak sengaja menguatkan tangisan dan ketakutan anak dengan cara memberikan anak-anak beberapa buah permen. Perilaku memberikan permen untuk anak-anak merupakan sebuah reinforcement negatif untuk menghilangkan rasa takut dan tangisan anak-anak.

Extinction burst akan mengalami peningkatan pada perilaku yang tidak dikuatkan, atau bagian-bagian perilaku novel (dan terkadang reaksi emosi) pada periode waktu tertentu, ini adalah hal yang wajar untuk menghilangkan penguat positif. Peningkatan frekuensi, intensitas, atau durasi pada perilaku yang tidak dikuatkan (perilaku yang akan dihilangkan) atau perilaku novel yang menyusun selama proses extinction akan menjadi penguat dan demikianlah extinction burst dijelaskan.

· Sifat – sifat Extinction

Pola berkurangnya perilaku setelah dihentikannya pemberian penguatan tergantung pada beberapa faktor, antara lain :

a. Jadwal pemberian penguatan

Pola berkurangnya perilaku setelah dihentikannya penguatan tergantung pada jadwal pemberian penguatan sebelum prosedur penghapusan ini. Jadwal penguatan terus-menerus lebih cepat proses hapusnya daripada jadwal berselang. Jadwal bervariasi lebih resistan daripada jadwal berjangka sama.

b. Banyaknya penguatan

Makin banyak berulang pemberian penguatan pada masa lampau, makin resisten perilaku terhadap penghapusan. Demikian juga semakin besar kuantitas penguatan yang telah dinikmati, makin resisten perilaku.

c. Deprivasi

Makin besar deprivasi subjek terhadap penguatan dan makin vital penguatan yang dideprivasikan, makin sulit perilaku dihapus.

d. Usaha

Makin besar usaha yang dibutuhkan untuk melaksanakan perilaku yang mendapat penguatanan, makin cepat penghapusan tercapai. Misalnya Prapto meminjam uang ke kakaknya. Kakaknya tidak mau meminjami lagi karena ternyata digunakan untuk berjudi. Sering tidaknya dia meminjam lagi juga dipengaruhi jarak rumah Parto dengan kakaknya, makin jauh perilaku makin cepat hilang, dan sebaliknya.

Selain sifat-sifat di atas, sifat lain yang perlu dipahami adalah adanya peristiwa kambuh (spontaneous recovery). Bila terjadi peristiwa kambuh dan penguatan lama diberikan, maka perilaku akan terus berulang, bahkan makin sukar untuk dihapuskan (makin resisten). Ini seakan-akan meyakinkan bahwa apabila orang cukup gigih, tujuan akan tercapai juga.

· Penggunaan Efektif Prosedur Extinction

1. Menemukan penguatan yang memelihara perilaku

Perlu ditemukan penguatan yang mengontrol perilaku sasaran dan kemudian mencegah terjadinya penguatan. Agar prosedur penghapusan efektif, semua sumber penguatan harus ditemukan dan dikendalikan. semakin sering penguatan inkonsisten ini terjadi, semakin sulit dihapus perilaku ini.

2. Komunikasi jelas dan tegas

Beberapa perilaku tidak perlu sama sekali dihapus, tetapi perlu dikontrol agar tidak berlangsung pada saat-saat tertentu, atau hanya berlangsung pada saat-saat tertentu. Perlu diperjelas kapan boleh/tidak. Contoh: anak gak boleh ngajak ngobrol waktu sholat

3. Menjalankan prosedur ini cukup lama

Peningkatan perilaku pada permulaan prosedur penghapusan diterapkan, sering membuat pengontrol penguatan menyerah. Berkurangnya perilaku yang perlahan-lahan membuat orang tidak sadar atau prasangka bahwa program ini telah gagal. Untuk itu perlu dibuat pencatatan perilaku sasaran dari hari ke hari.

4. Mengombinasikan dengan prosedur lain

Prosedur penghapusan lebih efektif bila dikombinasikan dengan prosedur lain. Efek ini mendukung tercapainya penghapusan karena subjek telah mendapatkan cukup penguatan dengan cara baru karena cara lama sudah tidak efektif lagi. Contoh: anak nakal karena minta perhatian – perilaku nakal lebih cepat hilang bila kenakalan tidaka mendapat perhatian lagi dari ibunya (penghapusan), ibunya akan memperhatikan jika ia tidak nakal (positif reinforcement).

· Faktor – faktor yang mempengaruhi Extinction

Ada dua faktor penting yang dapat mempengaruhi proses Extinction, yaitu:

1. Rencana penguatan (reinforcement) sebelum extinction

2. Peristiwa penguatan setelah extinction

Sebagian rencana penguatan (Reinforcement) akan menentukan apakah hasil-hasil extinction perilaku dapat berkurang dengan cepat ataupun secara berangsur-angsur. Munculnya peristiwa dari sebuah perilaku diikuti oleh adanya penguat. Dalam penguatan yang sesaat, tidak semua perilaku-perilaku yang dihasilkan berasal dari sebuah penguat. Akan tetapi terkadang perilaku juga di beri penguatan. Ketika sebuah perilaku secara terus menerus diberi penguatan, pengurangan secara cepat diakhiri hanya dengan satu kali penguatan. Ketika sebuah perilaku diberi penguatan sesaat, maka secara berangsur-angsur selalu lebih berkurang dari sekali penguatan telah berakhir. Namun perubahan dari penguatan untuk pengurangan akan lebih berbeda ketika sebuah perilaku diperkuat sepanjang waktu daripada hanya diberikan beberapa kali.

Misalnya, jika kita mengambil uang dalam mesin dan menekan tombol, kita akan mendapatkan pilihan-pilihan yang kita inginkan. Ini adalah sebuah kasus penguatan secara berulang-ulang, dan penurunan perilaku selama pengurangan akan cepat. Kita tidak akan melanjutkan untuk mengambil uang dalam mesin jika kita tidak terlalu lama mendapatkan uangnya. Berkurangnya penguatan akan segera terlihat. Itu akan sama dengan apa yang terjadi ketika kita mengambil uang di tempat mesin atau mesin video spekulasi. Itu adalah sebuah kasus tentang penguatan yang sesaat. Mengambil uang dalam slot mesin sesekali hanya diperkuat dari sukses mendapatkan jakpot dan memenangkan uang dari mesin. Jika mesin telah rusak dan tidak dapat kembali memproduksi jakpot (bukan penguatan), kita mungkin

mengambil lebih banyak koin ke dalam mesin sebelum akhirnya menyerah. Dari itulah kita mengambil berspekulasi untuk berhenti karena itu adalah paling sulit untuk menentukan itu semua bukanlah penguatan yang panjang untuk perilaku.

Penguatan yang sebentar-sebentar sebelum pengurangan menghasilkan perlawanan terhadap pengurangan, perilaku pengurangan tetap dilaksakan. Penguatanyang berlanjut sebelum pengurangan menghasilkan lebih sedikit perlawanan terhadap pengurangan dan perilaku yang tekun. Karena perlawanan pada pengurangan, daftar penguatan sebelum pengurangan menghasilkan pada keberhasilan penggunaan pengurangan dalam sebuah program modifikasi perilaku.

Faktor yang kedua adalah peristiwa penguatan setelah pengurangan. Jika penguatan terjadi dalam bagian dari pengurangan, akan lama dalam perilaku untuk mengurangi perilaku. Ini karena penguatan dari perilaku pengurangan telah dimulai, jumlah pada penguatan yang sebentar-sebentar, dan membuat perilaku lebih melawan terhadap pengurangan. Faktanya, jika perilaku diperkuat selama satu episode sembuh secara tiba-tiba, mungkin perilaku selanjutnya meningkat pada level ini sebelum pengurangan.

· Kelebihan Prosedur Extinction

1. Prosedur ini dikombinasikan dengan prosedur lain telah terbukti efektif diterapkan dalam berbagai macam situasi. Berlangsung cepat apabila dikombinasikan dengan penguatanan perilaku yang diingini. Contohnya adalah Mengajari anak yang rewel jika minta sesuatu. Bila ia masih meminta dengan cara rewel, ia tidak mendapat yang diminta, kalau ia meminta dengan cara yang diajarkan baru dikasih.

2. Prosedur penghapusan menimbulkan efek yang tahan lama. Contoh perilaku rewel diatas tidak akan kambuh bila tidak mendapat penguatan.

3. Prosedur penghapusan tidak menimbulkan efek sampingan se-negatif prosedur-prosedur yang menggunakan stimulus aversif.

· Kelemahan Prosedur Extinction

1. Efek tidak terjadi dengan segera.

Efek penghapusan biasanya tidak seketika terjadi. Setelah konsekuensi yang mengukuhkan dihilangkan, perilaku-sasaran tetap berlangsung sampai waktu tertentu. Ini dapat menimbulkan masalah dalam penerapannya. Contoh: perilaku yang membahayakan diri sendiri (misal anak-anak mengejar layang-layang ke jalan raya) maupun yang membahayakan orang lain (misal desdruktif dan agresif) harus dihentikan segera

2. Frekuensi dan intensitas sementara meningkat.

Pada saat-saat permulaan penguatan tidak diberikan, frekuensi dan intensitas perilaku sasaran cenderung bertambah. Oleh karena itu, memilih saat yang tepat menghentikan pemberian penguatan sangat penting. Contoh: anak rewel dilayani ketika ada tamu agar diam.

3. Perilaku-perilaku lain, termasuk perilaku agresif, sering timbul.

Kenaikan dan frekuensi dan intensitas sementara diikuti oleh perilaku-perilaku lain sebagai usaha mendapat penguatan, termasuk perilaku agresif. Perilaku agresif disebabkan oleh kekecewaan tidak diperolehnya penguatan yang biasa diperoleh.

4. Imitasi perilaku oleh orang lain.

Pada permulaan penghapusan, perilaku yang berulang-ulang timbul dan tidak mendapat perhatian yang berwenang, oleh orang lain yang melihatnya disangka mendapat persetujuan, akibatnya perilakunya cenderung ditiru. Anak-anak mencari perhatian guru dengan mengusuli teman. Guru melakukan ekstinsi. Ia hanya memperhatikan siswa yang tenang. Karena guru tidak mengambil tindakan yang menyolok, pada anak – anak tersebut, maka mereka mengira guru tidak keberatan. Mereka mulai meniru perilaku tersebut. Kesukaran menemukan penguatan yang mengontrol. Kadang-kadang terlihat jelas penguatan apa yang menimbulkan perilaku yang berulang. Kadang-kadang sulit sekali untuk menemukan, terutama bila penguatan terjadi pada jadwal yang sangat jarang. Begitu jarangnya konsekuensi penguatan ditemukan, sampai seorang pengamat gagal mengendalikannya.

5. Kesukaran menghentikan penguatan

Kadang-kadang ditemukan penguatan yang tidak mungkin dipisahkan dari perilaku sasaran, karena sudah terpadu atau alamiah merupakan konsekuensi perilaku tersebut. Contoh: ujian – nilai baik, ngemil – tenang, kecanduan narkoba – lari dari masalah, punya teman, nikmat, dll

· Prosedur dari hukum Extinction

Prosedur penghapusan (extinction) adalah prosedur menghentikan pemberian penguatan pada perilaku yang semula dikuatkan sampai ke tingkat sebelum perilaku tersebut dikuatkan. Beberapa perilaku yang memerlukan prosedur penghapusan seperti tindakan mengacaukan kelas, tindakan agresif, amarah yang berlebihan, perilaku bukan belajar, dan membual. Contoh sederhananya adalah Andi selalu melompat-lompat di atas tempat duduknya sambil berteriak-teriak ketika ia ingin menjawab pertanyaan dari gurunya. Hal itu ia lakukan supaya mendapatkan perhatian semua orang di kelas. Gurunya ingin merubah perilaku Andi dengan cara tidak memberi perhatian kepada Andi ketika ia bersikap berlebihan. Justru gurunya meminta Andi menjawab pertanyaan ketika ia sedang duduk diam. Perilaku ribut Andi tidak mendapat penguatanan gurunya, sehingga diharapkan perilaku tersebut tidak berulang.

Kita tahu bahwa dalam reinforcement ada dua prosedur, yaitu positive dan negative reinforcement. Begitu juga dengan extinction, Sebuah perilaku dapat mengalami pengurangan terlepas dari apakah karena diberi reinforcement positif atau negatif. Intinya,,baik reinforcement maupun extinction adalah untuk mengurangi atau menghentikan perilaku yang tidak diinginkan. Namun ada dua hal yang membedakannya. Yang pertama yaitu apabila sebuah perilaku secara positif diberi penguatan, maka

konsekuensinya akan dimunculkan atau ditambahkan setelah perilaku tersebut dilakuka. Oleh karena itu, pengurangan perilaku karena diberi reinforcement positif melibatkan pengurangan perilaku yang sebelumnya sudah diberikan setelah perilaku tersebut dilakukan.Dengan kata lain,, ketika sebuah perilaku menghasilkan konsekuensi penguatan, maka perilaku yang diinginkan pun tidak lama kemudian dapat terjadi.

Sedangkan jika dalam kasus reinforcement negative, perilaku dihilangkan atau dikurangi karena adanya stimulus aversive. Oleh karena itu extinction karena reinforcement negative mengakibatkan perilaku yang tadinya sudah ada penguatan bisa jadi berkurang atau bahkan musnah karena dihilangkannya penguat tersebut. Dengan kata lain, ketika sebuah perilaku mengakibatkannya menghindar dari aversive stimulus maka secara otomatis perilaku tersebut akan berhenti. Contohnya katakan saja seseorang memakai sejenis penutup telinga sewaktu bekerja di pabrik untuk mengurangi suara bising dari berbagai peralatan perusahaan. Ketika penutup telinga itu tidak dipakai ternyata setelah itu merasa bunyi bising berkurang maka otomatis orang tersebut akan berhenti memakai penutup telinga tersebut. Perilaku memakai penutup telinga menjadi berkurang karena hal tersebut menjadi jalan keluar dari kebisingan suara di pabrik.

Jadi,kesimpulan dari prosedur extinction adalah:

1. Reinforcer positif diberikan tidak lama setelah perilaku.

2. Aversive stimulus dihilangkan tidak lama setelah perilaku.

Atau bisa juga kami simpulkan Hukum Extinction tersebut adalah seperti di bawah ini:

a. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

b. yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Penelitian oleh brian Iwata dan rekan-rekannya (Iwata, kecepatan, Cowdery, & milten Berger, 1994) telah menunjukkan bahwa secara prosedural kepunahan adalah suatu perilaku yang berbeda ketika telah maintened oleh penguatan positif dan penguatan negatif. Iwata dan koleganya mempelajari perilaku yang merugikan diri sendiri (seperti memukul diri sendiri) yang ditunjukkan oleh anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental. Ketika mereka menemukan bahwa diri-cedera itu positif diperkuat oleh perhatian dari orang dewasa, mereka dilaksanakan kepunahan dengan menghapus perhatian dewasa setelah perilaku Bagi beberapa anak, bagaimanapun, melukai diri itu negatif diperkuat: merugikan diri perilaku mengakibatkan melarikan diri dari tugas akademis. Dengan kata lain, seorang guru berhenti membuat permintaan pada seorang anak (dihapus oleh permintaan akademis) sekali anak strated untuk terlibat dalam merugikan diri behavior.in kasus ini penguatan negatif, kepunahan yang diperlukan guru untuk tidak menghapus permintaan akademik setelah melukai diri Oleh karena itu, perilaku yang merugikan diri mengakibatkan tidak lagi melarikan diri dari situasi pengajaran Iwata dan

rekan-rekannya dengan jelas menunjukkan bahwa jika kepunahan tersebut terjadi, reinforcer bagi tingkah laku harus diidentifikasi dan dihapuskan, proses tidak berfungsi sebagai kepunahan.

Edward Carr dan koleganya (Carr, Newsom, & binkoff, 1980) mengamati perilaku anak-anak dengan kelainan mental reatardation Mereka menunjukkan bahwa perilaku agresif di dua anak terjadi hanya dalam situasi permintaan dan berfungsi sebagai perilaku melarikan diri Dengan kata lain, perilaku agresif negatif diperkuat oleh permintaan penghentian.

Bagaimana kepunahan digunakan dengan perilaku agresif dua anak ini? Carr dan koleganya menunjukkan bahwa ketika anak tidak bisa lari dari situasi permintaan dengan terlibat dalam perilaku agresif, perilaku agresif menurun drastis. Karena melarikan diri adalah memperkuat perilaku agresif, mencegah melarikan diri berfungsi sebagai kepunahan.

BAB III

PENUTUP

· Kesimpulan

Extinction terjadi karena reinforcement yang mempertahankan sebuah perilaku dihilangkan atau tidak lagi disediakan. Pada mulanya akan tetap muncul respon yang dipelajari,namun kemudian respon-respon ini secara bertahap akan berkurang dan pada akhirnya menghilang.

Selama perilaku diperkuat, setidaknya sesekali, maka akan terus terjadi. Jika perilaku tidak lagi diikuti dengan konsekuensi yang memperkuat,maka perilaku tidak muncul. Ketika perilaku berhenti terjadi karena tidak lagi diperkuat, dapat dikatakan bahwa perilaku telah mengalami kepunahan atau perilaku telah dipadamkan (extinction).

DAFTAR PUSTAKA

· http://psikology09b.blogspot.com/2012/09/konsep-konsep-dasar-modifikasi-perilaku.html

· http://sketsacompangcamping.blogspot.com/2010/05/modifikasi-perilaku-extinction.html