sumber ajaran islam
TRANSCRIPT
MODUL III
SUMBER AJARAN ISLAM
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya
dan ‘Ulil amri’ diantara kamu; lalu jika kamu berlainan pandapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (sesuatu yang
diperselisihkan itu) kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Al-
Hadits atau Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan Hari Akhirat; yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan sebaik-baik ‘ta’wil’ (memberi interprestasi / tafsiran /
uraian)”. Q.S. An-Nisa (4):59 1
H.R. Abu Dawud dan Turmudzi : berisi kesetujuan Rasulullah SAW
dan jawaban-jawaban Mu’adz bin Jabbal RA (sahabat beliau ) ketika beliau
mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana :
“Rasulullah SAW, bertanya kepada Muadz: ‘Dengan pedoman
apa anda memutuskan suatu perkara ?’
Jawab Mu’adz : Dengan Kitabullah
Tanya Rasul : Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an ?
Jawab Mu’adz : Dengan Sunnah Rasulullah.
Tanya Rasul : Kalau dalam Sunnah Juga tidak ada ?
Jawab Mu’adz : Saya beriitihad dengan pikiran saya.
Sabda Rasul : Maha Suci Allah yang telah memberikan
bimbingan kepada Rasul-Nya.2
QS. An-Nisa (4): 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada empat
sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber Pokok /
Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan Hadits:
“Aku (Nabi SAW) tinggalkan dua perkara, agar kamu semua tidak
tersesat jika terus berpedoman hidup kepada keduanya … yaitu
Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. Adapun dua berikutnya
merupakan sumber yang “koordinatif dan bergantung” kepada Sumber
Pokok tadi, ialah Ijma (konsensus Ulama / ahli ilmu ) dan Ijtihad ( upaya
sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum Islam). Ijma (konsensus Ulama /
ilmuwan) dan Ijtihad merupakan sumber yang kordinatif dan bergantung,
artinya masih harus mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh
bertentangan apalagi membatalkan (me-mansukh/menghapus) keduanya.3
Oleh karenanya Ijma dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam alternatif
(bukan utama) sebagaimana makna dari Hadits Muadz bin Jabbal RA.
Demikian dalil yang bersifat umum dari Al-Qur’an. akan tetapi dalil
kedua atau Hadits Taqriri ( hadits yang bersifat pengukuhan/kesetujuan dari
Nabi SAW atas pendapat Muadz ) mempunyai konteks khusus yang relevan
dengan proses Ijtihad yang menjadi kewajiban hakim untuk “qadla” (
penetapan / putusan hukum terhadap suatu perkara atau kasus di
Pengadilan). Jadi Hadits Muadz bin Jabbal RA tersebut lebih spesifik,
sehingga hanya menyebutkan 3 (tiga) sumber saja untuk memutus perkara
yaitu: yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Dengan demikian QS. An-Nisa
(4): 59 memiliki lingkup yang lebih universal yakni untuk menetapkan tata
nilai / hukum pada sasaran setiap individu di tengah masyarakat, di samping
tata nilai yang harus dipatuhi para pencari keadilan.
A. Al-Qur’an
1. Fungsi dan peranan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah berfungsi sebagai berikut :
a. Sebagai mu’jizat: Al-Qur’an telah menjadi salah satu sebab penting
bagi masuknya orang-orang Arab dijaman Rasulullah ke dalam agama
Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang
sekarang, dan (Insya Allah) pada masa yang akan datang.
b. Sebagai Pedoman Hidup: Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-
pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan
antara manusia dengan Tuhan dalam hubungan antara manusia
2
dengan manusia dan mahkluk lainya. Didalamnya terdapat peraturan-
peraturan seperti beribadah langsung kepada Allah, dan aspek-aspek
kehidupan lainnya oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai
pada setiap tempat dan setiap waktu.
c. Sebagai Korektor: Al-Qur’an banyak mengungkapkan persoalan-
persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang
dinilai Al-Qur’an sebagai tidak sesuai dengan ajaran Allah yang
sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu,
hukum-hukum, prinsip-prinsip Ketuhanan dan lain sebagainya.
Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan Al-Qur’an tersebut
antara lain sebagai berikut :
1) Tentang ajaran Trinitas dalam Al-Qur’an:
Q.S. Al-Maidah (5): 75, yang artinya :
“Al-Masih putra Mariam itu hanyalah seorang Rasul, yang
sesungguhnya telah berlaku sebelumnya beberapa Rasul dan
Ibunya seorang yang sangat besar….” 4
2) Tentang Isa Almasih dalam Al-Qur’an :
Q.S. Ali Imron (3): 59, yang artinya :
“Sesungguhnya misal (Penciptaan) Isa disisi Allah, adalah
seperti (penciptaan Adam). Allah menciptakan Adam dari
tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya :
“Jadilah”(Seorang manusia) maka jadilah dia” 5
3) Tentang Penyaliban Isa Almasih dalam Al-Qur’an
Q.S. An-Nisa (4):157, yang artinya :
“Dan karena ucapan mereka : Sesungguhnya kami telah
membunuh Al-Masih, Isa Putra Mariam, Rasulullah, padahal
mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan
Isa bagi mereka” 6
2. Nama-nama dan Pembagian Isi Al-Qur’an.
Al-Qur’an mempunyai beberapa nama lain yang relevan dengan
kegunaannya bagi umat manusia yaitu: Al-Kitab (sumber bacaan untuk
dipedomani), Al-Furqon (pembeda hak dan batil), Al-Burhan / Al-Huda
(petunjuk kehidupan), Adz-Dzikr (pengingat), Al-Hikmah (falsafah/
3
Kebijakan-kebijakan / Penemu kebenaran / Landasan pemikiran dan
pemahaman), As-Syifa (obat / penawar hati) dan lain-lain.
Al-Qur’an terdiri dari 114 surat: 91 surat turun di Mekkah dan 23
surat turun di Madinnah, ada pula yang berpendapat, 86 surat turun di
Mekkah dan 28 surat turun di Madinnah. Surat yang turun di Mekkah di
namakan Makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek,
menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, panggilannya ditujukan
kepada segenap manusia (sasaran utama: kafir Quraisy) agar mereka
beriman dan bermoral yang jauh dari kebiadaban. Adapun surat yang
turun di Madinah dinamakan surat Madaniyah, khithab (sasaran
panggilannya) tertuju kepada orang-orang mukmin, dan unsur perintah-
larangan atau hukum hukum Islam yang terkandung di dalamnya.
Diperkirakan 19/30 turun di Madinnah, 11/30 turun di Mekkah. Atas
inisiatif para ulama maka kemudian Al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30 Juz.
Dalam tiap Juz dibagi-bagi pula kepada setengah Juz, seperempat Juz,
Maqra dan lain-lain.
3. Lima Garis Besar Isi Kandungan Al Qur’an
Setengah ulama berpendapat bahwa secara garis besar ketujuh ayat
surat Al – Fatihah merupakan perasaan atau inti dari seluruh kandungan
makna lahir batin, tersurat dan tersirat dari Al – Qur’an. Sementara
samudera hakikat Al – Fatihah sendiri tersaripatikan dalam kalimat
Basmalah.7 Dan semuanya itu terproyeksikan dalam lima prinsip garis
besar berikut ini.
a. Aqidah (keimanan), tauhid, dalam arti menyempurnakan keyakinan
dan meluruskan I’tikad yang merupakan doktrin kepercayaan kepada
Allah SWT.
b. Syari’at yang terdiri dari atas ibadah murni yakni aturan-aturan yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan mu’amalah, yaitu
mencakup segala penetapan yang mengatur hubungan pergaulan
hidup antar sesama manusia, antara manusia dengan makhluk hidup
lain, serta antara manusia dengan alam.
c. Akhlak, yaitu memugar, meluhurkan, mensucikan, budi pekerti
seperti sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan.
d. Sejarah, kisah-kisah masa lalu untuk diambil darinya pelajaran,
peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang
4
bernilai tinggi, guna mengarifkan hidup, misalnya tentang sejarah
kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Musa, tentang Yusuf dan
saudaranya, tentang Yahya, Isa, Ibrahim, Khidir dan sebagainya.
e. Berita-berita soal masa depan dan pasca masa depan, ramalan-
ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern.
Umpamanya soal kejadian langit dan bumi, matahari, bulan, bintang
dan planet lain, proses kejadian manusia dan sebagainya.
4. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an dan Perkembangannya
Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an akan selamat
dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-
pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan proses kedifikasi
dan penulisan Al-Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara
menyakinkan Al-Qur’an ditulis sejak nabi masih hidup. Sebagaimana
firman Allah SWT. Q.S. Al-Hijr (15): 9, yang artinya :
“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” 8
Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para
sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu
mereka tulis kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.
Pada awalnya pemerintahan Khalifah yang pertama dan Khulafaur
Rasyidin, yaitu Abu Bakar As Shiddiq, Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam
mashaf-mashaf tersendiri. Pada zaman Khalifah yang ketiga Utsman Bin
Affan, Al-Qur’an telah sempat diperbanyak. Alhamdulillah Al-Qur’an yang
asli itu sampai saat ini masih ada.
5. Ilmu – ilmu Yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan Dengan Al-
Qur’an Antara lain 9:
a. Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas tentang tempat-
tempat turunya ayat Al-Qur’an.
b. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas sebab-sebab
turunnya Al-Qur’an.
c. Ilmu Tajwid, yaitu Ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-
Qur’an.
5
d. Ilmu Gharibil, yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat
yang asing artinya dalam Al-Qur’an.
e. Ilmu Wajuh, Yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat yang
mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh
sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.
f. Ilmu Amtsalil Al-Qur’an., Yaitu ilmu yang membahas tentang
perumpamaan-perumpaan dalam Al-Qur’an.
g. Ilmu aqsamil Al-Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-
maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.dan lain-lain.
B. As-Sunnah / Al Hadist
1. Pengertian
Secara etimologis Al Hadist berart antara lain: Baru, Khobar.
Secara terminology Al - Hadist berarti : segala perbuatan, perkataan dan
ketetapan/persetujuan Nabi Muhammad S.A.W. (Af’al, Aqwal da taqrir).
Pengertian Hadist sebagaimana yang tersebut di atas adalah identik
dengan Sunnah.
2. As-Sunnah / Al Hadist sebagai Sumber Ajaran Islam.
As Sunnah/ Al - Hadist adalah sumber ajaran Islam (pedoman
hidup kaum muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang
telah beriman kepada Al-Qur’an sebagai sumber ajaran, maka secara
otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber ajaran Islam
juga. Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti
tentang hal ini seperti : Setiap Mukmin taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
Q.S. Ali Imron (3) : 32 yang artinya :
“Katakanlah : “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir”. 10
Q.S. Ali Imron (3): 31, yang artinya :
“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencitai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah
Maha Pengampun-Lagi-Maha Penyayang”.11
Q.s. An-Anfal (8): 13, yang artinya :
“(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya
mereka menentang Allah dan Rasul-Nya barang siapa menentang
6
Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya”.12
Apabila As Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum
muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara Sholat,
kadar dan ketentuan zakat, cara Haji dan lain sebagainya. Sebab Ayat-
ayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan
umum dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.
Selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal
menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, mujmal dan sebagainya, tetap
memerlukan Sunnah untuk penjelasannya. Apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan ratio sudah barang
tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang subyektif dan tidak dapat
dipertanggung jawabkan.
3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an maka As-Sunnah berfungsi sebagai
penafsir, pensyarah dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila
disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-
Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum,
mujmal. Seperti Hadist Riwayat Bukhari :
Rasullullah SAW bersabda : اصل رايتموني كما صلوا
( Sholatlah kamu sebagaimana melihatku sholat”)13 ialah merupakan
tafsiran daripada Al-Qur’an yang umum: الصالة = Aqimush-shalah)اقم
dirikanlah shalat ). Hadist lain : كم سك منا عن Khudzu’anni) خذوا
manasikakum = Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir
dari ayat Al-Qur’an ‘Waatimmul-hajja’ (dan sempurna-kanlah hajimu).
b. Bayan Taqrir, yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan
memperkuat pertanyaan-pertanyaan Al-Qur’an. Seperti Hadist yang
berbunyi : لرئ افطرو و لرئية Shumu Liru’ yatihi Wa-afthiru) صموا
Liru’yatihi = Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah
karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an, Q.S. Al-
Baqarah (2): 185, yang artinya :
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan bulan
yang didalamnya diturunkan (Permulaan) Al-Qur’an sebagai
petunjuk bagi manusia….”14.
7
c. Bayan Taudlih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat
Al-Qur’an. Seperti pernyataan Nabi SAW: “Allah tidak mewajibkan
zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah Taudlih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an :
Q.S. At-Taubah (9): 34, yang artinya :
“…..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian
tidak membelanjakannya dijalan Allah maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih”15
4. Perbedaan Antara Al-Qur’an dan Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum
Sekalipun Al-Qur’an dan As-Sunnah / Al-Hadist sama-sama sebagai
sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-
perbedaan yang cukup prinsipil, perbedaan-perbedaan tersebut antara
lain ialah :
a. Al-Qur’an nilai kebenarannya adalah qath’i (pasti atau absolut)
sedangkan Al-Hadist adalah dzanni / nisbi (mengandung dugaan
kecuali hadist mutawatir );
b. Seluruh ayat Al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi
tidak semua hadist mesti di jadikan sebagai pedoman hidup.
Disamping ada hadist yang shahih ada pula hadist yang dha’if dan
seterusnya;
c. Al-Qur’an sudah tentu autentik lafadz dan makanannya, sedangkan
hadist tidak semuanya autentik.
Apabila Al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah Aqidah atau hal-
hal yang ghaib maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak
harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh
hadist.
5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadist
Para ulama membagi perkembangan hadist itu kepada 7 periode yaitu :
Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11
SH);
Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H);
Masa pencarian hadist (pada masa generasi tabi’in dan sahabat-
sahabat muda : 41 H-akhir abad I H);
Masa pembukuan hadist (permulaan abad II H);
8
Masa penyeringan dan seleksi ketat (awal abad III H sampai selesai);
Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai
jatuhnya Baghdad pada tahun 656H);
Masa pembuatan kitab Syarah Hadist, kitab-kitab koleksi yang lebih
umum (656 H dan seterusnya).
Pada zaman Rasulullah tidak ada aktivitas pencatatan hadits
terkecuali secara rahasia oleh para sahabat Nabi yang khusus
memperhatikan kepentingan hadits. Beberapa sebab dilarang keras
melakukan pencatatan hadits adalah sebagai berikut:
a. Nabi sendiri melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu
diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.
b. Rasulullah berada ditengah-tengah umat Islam sehingga dirasa tidak
perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c. Kemampuan tulis baca dikalangan sahabat sangat terbatas
d. Umat Islam sedang di konsentrasikan kepada Al-Qur’an
e. Kesibukan-kesibukan umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi
perjuangan dakwah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata Al-Hadits belum sempat
dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar Bin
Abdul Azis Khalifah ke-8 dari dinasti. Bani Ummayah (99-101 H) timbul
inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan Hadits itu.
Sebelumnya Hadits-Hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan
para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada
saat generasi tabi’in mencari Hadits-Hadits itu. Di antara sahabat-sahabat
itu ialah seperti :
a. Abu Hurairah meriwayatkan hadits sekitar 5374 Hadist:
b. Abdullah Bin Umar Bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630
Hadits;
c. Anas Bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 Hadits;
d. Abdullah Bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 Hadits :
e. Aisyah Ummu – Mu’minin, meriwayatkan sebanyak 2210 Hadits;
f. Jabbir Bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540
g. Abu Sa’id, meriwayatkan sebanyak 1170 Hadits.
6. Pengkodipikasian Al-Hadits.
9
Pengkodipikasian Hadits itu justru dilatar-belakangi oleh adanya
usaha-usaha untuk membuat dan menyebar luaskan Hadits-Hadits palus,
baik yang dibuat oleh umat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu,
maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam
dari dalam. Sampai saat ini ternyata masih banyak Hadits-Hadits palsu itu
bertebaran dalam literatur kaum muslimin.
Disamping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang
berkembangan dikalangan masyarakat Islam, berupa : anggapan
terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai sebagai
Hadits, Sabda Rasulullah Walaupn ditinjau dari segi isi materinya tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran islam, tetapi kita tidak
boleh mengatakan bahwa kita sabda Rasul. Sebab Rasulullah
memperingatkan dalam sabda : “Barang siapa berdusta atas namaku
maka siap-siap saja tempatnya dineraka”. Menurut sebagaian besar
para Ulama Hadits bahwa di antara kitab-kitab Hadits ada tujuh Kitab
Hadits yang dinilai terbaik yaitu :
a. Ash-Shahih Bukhari
b. Ash-Shahih Muslim
c. As-Sunnan Abu Dawud
d. As-Sunnan Nasai
e. As-Sunnan Tirmidzi
f. As-Sunnan Ibdu Majah Al-Musnad Iman Ahmad
C. IJMA’ ULAMA
1. Pengertian Ijma’
Secara bahasa Ijma’ berarti “berkumpul”. Secara istilah atau definisi
Ijma’ ialah konsensus atau kesepakatan Ulama-ulama Islam dalam
menentukan suatu masalah hukum atas suatu realita sosial yang dinamis
sehingga masyarakat betul-betul menunggu (butuh) jawaban dari ulama-
ulama tersebut. Hasil ijma’ ini umumnya yang menjadi fatwa dimana suatu
publik kalangan muslim menunggu fatwa tersebut.
2. Ijma dan kata “Ulil Amri”
Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang
kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh Al-
Qur’an dan As-Sunnah, maka Ruasulullah menyatakan : “Kumpulkan
orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan
10
musyawarah16”. Konteks “ulil amri” dalam QS an-Nisa (4): 59 di atas
banyak yang mengartikan “ijma’ ulama”, meskipun bila ditelaah secara
seksama kata “ulil-amri” mempunyai kandungan makna yang luas dan
termasuk di dalamnya memaknakan “ijma’ ulama”. Dalam kehidupan
modern makna taat pada ulil amri bisa relevan dengan ketaatan pada
hasil pembuktian dokter forensik, mematuhi petunjuk konsultan dan lain
sebagainya. Dalam makna spesifik ke arah “istimbath” (penetapan
hukum syar’i Islam), kata ‘ulil amri’ lebih populer diartikan sebagai
‘konsensus para ulama mujtahidin” untuk memberikan fatwa hukum
Islam. Bukti pentingnya ijma ulama untuk istimbath hukum Islam ialah
adanya popularitas “Jumhur Ulama”(mayoritas ulama
fuqaha/mufassirin). Hukum-hukum Islam yang dihasilkan oleh Ijma
Ulama, antara lain:
Contoh: 1. Nikah berbeda agama, terutama wanita muslimah dengan pria
non muslim, sepakat sebagian besar ulama (jumhur ulama)
“mengharamkan
2. Ulama di Indonesia sepakat bahwa nikah berbeda agama
dilarang (haram), dan hal ini sudah menjadi hukum negara
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Pernikahan atau Perkawinan
3. Daya Argumentatif Ijma
Secara rasional kekuatan Ijma’ dalam memberikan argumentasi
hukum fiqh Islam (syar’i kontekstual) adalah otoritas ketiga setelah al-
Qur’an dan as-Sunnah, sebab ijma didasarkan pada kata ‘ulil amri’
dalam teks QS an-Nisa (4): 59. Disamping kekuatan lainnya ijma sebagai
mufakat dari banyak ulama yang mempunyai kapasitas kemampuan
berijtihad. Oleh karenanya hukum Islam hasil mupakat Jumhur Ulama
merupakan kesekutuan pandangan fiqih mungkin keempat imam mazhab
bersatu didalamnya, mungkin mayoritas Imam Mazhab bersatu, atau
separuh Imam Mazhab bersatu. Yang termasuk Imam Mazhab yang
termashur ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam
Hambali “Karamallahu anhum”. Jadi pada dasarnya Ijma Ulama
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Ijtihad. Sebab dalam ijma
berbicara kuantitas ro’yu dimana jaminan kesahihannya lebih akurat
3
11
sebagaimana analogi pada “kemutawatiran” hadits ( hadits yang
diriwayatkan oleh orang banyak punya kesahihan lebih kuat karena lebih
korektif terhadap kecacatan).
D. IJTIHAD
1. Pengertian Dan Fungsi Ijtihad
Secara Bahasa, Ijtihad berarti : Pecurahan segenap kemampuan
untuk mendapatkan sesuatu.
Adapun secara Terminologi/ Istilah, Ijtihad ialah Penggunaan akal
sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu
yang ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Rasulullah S.A.W. pernah bersabda kepada Abdullah Bin Mas’ud
sebagai berikut: “Berhukumlah Engkau dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
apabila sesuatu persoalan itu Engkau temukan pada dua sumber. Tapi
apabila Engkau tidak menemukan ada dua sumber itu, maka ber-
Ijtihadlah.
Kepada Ali bin Abi Thalib r.a. beliau pernah menyatakan : “Apabila
Engkau ber-ijtihadmu betul, maka Engkau mendapatkan dua pahala.
Tetapi apabila ijtihadmu salah maka Engkau hanya mendapatkan satu
pahala”.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai The Principle
Of Movement. Mahmud Syaltut berpendapat bahwa ijtihad atau yang
biasa Arro’yu mencakup dua pengertian :
1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak di
tentukan secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah;
2. Penggunaan pikiran dalam meng-artikan, menafsirkan dan mengambil
kesimpulan dari sesuatu ayat atau Hadits. Adapun dasar dari pada
keharusan berijtihad ialah mereka lain terdapat pada Al-Qur’an surat
An-Nisa ayat 59.
2. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’, maka ijtihad terikat
dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan
keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktivitas
12
akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia
yang relatif maka keputusan dari suatu ijtihad adalah relatif ;
b. Sesuatu yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang atau sekelompok orang tapi tidak berlaku bagi orang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah Mahdlah.
Sebab urusan ibadah Mahdlah hanya di atur oleh Allah dan Rasul-
Nya
d. Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor
motivasi, akibat kemashalatan umum, kemanfaatan bersama dan
nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa dari pada ajaran Islam.
3. Cara Berijtihad
Dalam melekasanakan Ijtihad, para ulama telah membuat metode-
metode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas : “Reasoning by Analogy”. Yaitu menetapkan sesuatu hukum
terhadap suatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-
Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah
ditengrangkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena
sebab yang sama.
Metode Qiyas dalam istimbath hukum (penetapan hukum
Islam) dianut oleh keempat Imam Mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan
Hambali “Karamallahu anhum”.
Contoh 1 : menurut Al-Qur’an surat Al-Jum’ah 9; Seseorang
dilarang jual-beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana
hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual-beli) pada saat
mendengarkan adzan Jum’at. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits
tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan
analogi. Yaitu kalau jual-beli karena dapat menggangu Shalat Jum’at
maka demikian hal perbuatan-perbuatan lain, yang dapat menggangu
Shalat Jum’at dilarang.
Contoh 2: menurut Q.S. Al-Isra (17) 23; seseorang tidak
boleh berkata “uf (cis)” kepada orang tua. Maka hukum memukul,
menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua dilarang, atas dasar
analogi terhadap hukum kata “cis” tadi. Karena sama-sama menyakiti
13
orang tua. Pada zaman Rasulullah SAW pernah diberikan contoh
dalam menentukan hukum dengan dasar qiyas tersebut. Yaitu ketika
Umar bin Khatab berkata kepada
Rasulullah : “Hari ini saya mencium istri, padahal saya
dalam keadaan berpuasa”
Tanya Rasul : “Bagaimana jika kamu berkumur pada saat
puasa ?”
Jawab Umar : “Tidak apa-apa”
Sabda Rasull : “Kalau begitu teruskanlah puasamu”
b. Istihsan = Preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap
sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasari prinsip-prinsip umum ajaran
Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para Ulama
Istihsan disebut juga qiyas-khofi (analogi samar-samar) atau
disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas
yang jelas (qiyas jali) kepada hukum yang diperoleh dengan Qiyas
yang samar-samar atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila
kita dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu diantara dua
kejelekan maka kita harus mengambil yang lebih ringan
kejelekkannya. Dasar Istihsan antara lain tercantum Q.S. Az-Zumar
(39) : 18.
Metode Istihsan dalam penetapan hukum Islam ini
digunakan oleh Mazhab (Imam) Hanafi, ‘karamallahu anhu’
Contoh Istihsan : Seorang ibu hamil mempunyai masalah
dengan kandungannya, berdasarkan pemeriksaan dokter kandungan
bahwa bayinya bermasalah dan bisa mengakibatkan kematian bagi
ibu yang hamil. Maka dalam hal ini diambil keputusan, bayi yang
harus dikalahkan, agar ibunya tetap hidup. Sedangkan aborsi
(pengguguran kandungan) tanpa alasan medis seperti diatas tetap
diharamkan.
c. Mashalihul Mursalah, adalah salah satu dari tiga jenis mashlahat
yaitu “mashlahat mu’tabarah, mashlahatul mulgiyah, dan
mashlahatul-mursalah. Secara umum Mashlahat berarti kebaikan
total sebagaimana mashlahat tersebut merupakan “maqashid
syar’iyah” ialah tujuan hukum Islam. Adapun yang dimaksud
14
dengan mashlahatul mu’tabarah ialah kebaikan total yang
termaktub dalam teks dan konteks Kitab Suci al-Qur’an atau Hadits.
Sedangkan mashlahatul-mulgiyah ialah mashlahat atau kebaikan
yang divonis batal oleh al-Qur’an dan atau Hadits, sebab mashlahat
ini terlalu mengikuti pikiran yang relatif subjektif terhadap kepentingan
pribadi/golongan bahkan mengikuti kehendak nafsu.
Adapun yang dimaksud dengan mashlahatul-mursalah
ialah kebaikan yang ditemukan akal dan dapat dibuktikan secara
emphiris dan kebaikan tersebut tidak terungkap langsung dalam al-
Qur’an dan Hadits, baik pembenaran maupun pembatalan oleh
keduanya. Jadi “terputus” atau “irtsal” dan oleh karenanya disebut
“mashlahatul mursalah”. Yang menjadi pertimbangan umum bagi
mashlatul-mursalah ialah “mendatangkan manfaat dan mencegah
bahaya” (jalbul-mashalih wadaf’ul-mafasid). Secara sederhana
ada yang mengatakan sama artinya dengan Utilitty. Yaitu
menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas
pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan
tujuan syariat.
Mashlahatul-mursalah digunakan dan dipertahankan oleh
Imam mazhab Maliki dan Nidzamuddin Thufi (tokoh dari mazhab
Hambali), dan Nidzamuddin memberi sebutan lain “Istishlah”.
Perbedaan antara istihsah dengan Mashalihul-Mursalah
ialah istihsan mempertimbangkan dasar kemashalata (Kebaikkan) itu
dengan disertai dalil Al-Qur’an atau Al-hadits yang umum,sedangkan
Mashalihul-Mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan
kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis secara
eksplisit dalam Al-Qur’an/Al-Hadits.
Contoh : Memiliki buku nikah dari KUA itu sangat berguna
bagi pasangan suami istri dan juga keturunannya. Pasangan suami
istri yang menikah siri atau nikah dibawah tangan “sah” menurut
agama Islam meskipun tidak memiliki buku nikah. Untuk menghindari
fitnah, buku nikah sangat berguna.
15
Soal-soal Latihan (Evaluasi)
1. Ada 3 (tiga) Fungsi dan Peranan Al-Qur’an. Sebutkan dan jelaskan.
2. Benarkah Al-Qur’an dijamin kemurnian dan kesuciannya ? Jelaskan disertai
dalil.
3. Jelaskan pengertian Al-Qur’an dan Al-Hadits (As Sunnah) menurut etimologi
dan terminologi!
4. Jelaskan perngertian IJTIHAD menurut bahasa dan istilah!
5. Sebutkan dan jelaskan 4 (empat) cara / metode Ijtihad!
6. Jelaskan fungsi As Sunnah / Al- Hadits dalam hubungannya dengan Al-
Qur’an!
7. Berikan contoh dari : Ijma’; Qiyas; Istihsan, dan Mashalihul Mursalah!
16
DAFTAR KUTIPAN
1 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu
ma’aniyatu ila Lughati al-Indunisiya, ( Medinah Munawwarah: khadim al-
Haramain asy-Syarifain, Tahun 1411 H ), h. 128
2 Abdul Wahab Khallaf, Mashadirut-Tasyri’il-Islami, terjemah oleh
Bahrun AbuBakar, (Bandung: Risalah, 1984 ), Cet. Ke-1, h. 2
3 Ibid, h. 3
4 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit. h. 173
5 Ibid, h. 85
6 Ibid, h. 149
7 Arsyad M.Natsir, Seputar Al Qur’an, Hadist dan Ilmu ( Bandung: Al
Bayan, 1992), hlm 38-39
8 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit., h. 391
9 Arsyad M. Natsir, Op. Cit hlm. 33-35
10 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h. 80
11 Ibid.
12 Ibid., h. 262
13 Sulaeman Rasjid, Figh Islam , (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm 94
14 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h.45
15 Ibid., h. 283
16 Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di
PerguruanTinggi, (Jakarta, 2002) h 87
2
3
4
5
6
7
8
9
1
1
1
1
1
1
1
17