sumber ajaran islam

25
MODUL III SUMBER AJARAN ISLAM Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya dan ‘Ulil amri’ diantara kamu; lalu jika kamu berlainan pandapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (sesuatu yang diperselisihkan itu) kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Al-Hadits atau Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat; yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan sebaik-baik ‘ta’wil’ (memberi interprestasi / tafsiran / uraian)”. Q.S. An-Nisa (4):59 1 H.R. Abu Dawud dan Turmudzi : berisi kesetujuan Rasulullah SAW dan jawaban-jawaban Mu’adz bin Jabbal RA (sahabat beliau ) ketika beliau mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana : “Rasulullah SAW, bertanya kepada Muadz: ‘Dengan pedoman apa anda memutuskan suatu perkara ?’ Jawab Mu’adz : Dengan Kitabullah Tanya Rasul : Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an ? Jawab Mu’adz : Dengan Sunnah Rasulullah. Tanya Rasul : Kalau dalam Sunnah Juga tidak ada ?

Upload: adeiraputra

Post on 24-Jul-2015

299 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sumber Ajaran Islam

MODUL III

SUMBER AJARAN ISLAM

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul-Nya

dan ‘Ulil amri’ diantara kamu; lalu jika kamu berlainan pandapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia (sesuatu yang

diperselisihkan itu) kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Al-

Hadits atau Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada

Allah dan Hari Akhirat; yang demikian itu lebih utama (bagimu)

dan sebaik-baik ‘ta’wil’ (memberi interprestasi / tafsiran /

uraian)”. Q.S. An-Nisa (4):59 1

H.R. Abu Dawud dan Turmudzi : berisi kesetujuan Rasulullah SAW

dan jawaban-jawaban Mu’adz bin Jabbal RA (sahabat beliau ) ketika beliau

mengutus Mu’adz ke Yaman untuk menjabat sebagai Hakim di sana :

“Rasulullah SAW, bertanya kepada Muadz: ‘Dengan pedoman

apa anda memutuskan suatu perkara ?’

Jawab Mu’adz : Dengan Kitabullah

Tanya Rasul : Kalau tidak ada dalam Al-Qur’an ?

Jawab Mu’adz : Dengan Sunnah Rasulullah.

Tanya Rasul : Kalau dalam Sunnah Juga tidak ada ?

Jawab Mu’adz : Saya beriitihad dengan pikiran saya.

Sabda Rasul : Maha Suci Allah yang telah memberikan

bimbingan kepada Rasul-Nya.2

Page 2: Sumber Ajaran Islam

QS. An-Nisa (4): 59 merupakan dalil yang menunjukkan ada empat

sumber yang harus ditaati yaitu dua di antaranya sebagai Sumber Pokok /

Utama ialah al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana keterangan Hadits:

“Aku (Nabi SAW) tinggalkan dua perkara, agar kamu semua tidak

tersesat jika terus berpedoman hidup kepada keduanya … yaitu

Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul”. Adapun dua berikutnya

merupakan sumber yang “koordinatif dan bergantung” kepada Sumber

Pokok tadi, ialah Ijma (konsensus Ulama / ahli ilmu ) dan Ijtihad ( upaya

sungguh-sungguh untuk menetapkan hukum Islam). Ijma (konsensus Ulama /

ilmuwan) dan Ijtihad merupakan sumber yang kordinatif dan bergantung,

artinya masih harus mengacu kepada al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh

bertentangan apalagi membatalkan (me-mansukh/menghapus) keduanya.3

Oleh karenanya Ijma dan ijtihad merupakan sumber hukum Islam alternatif

(bukan utama) sebagaimana makna dari Hadits Muadz bin Jabbal RA.

Demikian dalil yang bersifat umum dari Al-Qur’an. akan tetapi dalil

kedua atau Hadits Taqriri ( hadits yang bersifat pengukuhan/kesetujuan dari

Nabi SAW atas pendapat Muadz ) mempunyai konteks khusus yang relevan

dengan proses Ijtihad yang menjadi kewajiban hakim untuk “qadla” (

penetapan / putusan hukum terhadap suatu perkara atau kasus di

Pengadilan). Jadi Hadits Muadz bin Jabbal RA tersebut lebih spesifik,

sehingga hanya menyebutkan 3 (tiga) sumber saja untuk memutus perkara

yaitu: yaitu Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Dengan demikian QS. An-Nisa

(4): 59 memiliki lingkup yang lebih universal yakni untuk menetapkan tata

nilai / hukum pada sasaran setiap individu di tengah masyarakat, di samping

tata nilai yang harus dipatuhi para pencari keadilan.

A. Al-Qur’an

1. Fungsi dan peranan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah berfungsi sebagai berikut :

a. Sebagai mu’jizat: Al-Qur’an telah menjadi salah satu sebab penting

bagi masuknya orang-orang Arab dijaman Rasulullah ke dalam agama

Islam, dan menjadi sebab penting pula bagi masuknya orang-orang

sekarang, dan (Insya Allah) pada masa yang akan datang.

b. Sebagai Pedoman Hidup: Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-

pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan

antara manusia dengan Tuhan dalam hubungan antara manusia

2

Page 3: Sumber Ajaran Islam

dengan manusia dan mahkluk lainya. Didalamnya terdapat peraturan-

peraturan seperti beribadah langsung kepada Allah, dan aspek-aspek

kehidupan lainnya oleh Allah dijamin dapat berlaku dan dapat sesuai

pada setiap tempat dan setiap waktu.

c. Sebagai Korektor: Al-Qur’an banyak mengungkapkan persoalan-

persoalan yang dibahas oleh kitab-kitab Taurat, Injil dan lain-lain yang

dinilai Al-Qur’an sebagai tidak sesuai dengan ajaran Allah yang

sebenarnya. Baik menyangkut segi sejarah orang-orang tertentu,

hukum-hukum, prinsip-prinsip Ketuhanan dan lain sebagainya.

Sebagai contoh koreksi-koreksi yang dikemukakan Al-Qur’an tersebut

antara lain sebagai berikut :

1) Tentang ajaran Trinitas dalam Al-Qur’an:

Q.S. Al-Maidah (5): 75, yang artinya :

“Al-Masih putra Mariam itu hanyalah seorang Rasul, yang

sesungguhnya telah berlaku sebelumnya beberapa Rasul dan

Ibunya seorang yang sangat besar….” 4

2) Tentang Isa Almasih dalam Al-Qur’an :

Q.S. Ali Imron (3): 59, yang artinya :

“Sesungguhnya misal (Penciptaan) Isa disisi Allah, adalah

seperti (penciptaan Adam). Allah menciptakan Adam dari

tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya :

“Jadilah”(Seorang manusia) maka jadilah dia” 5

3) Tentang Penyaliban Isa Almasih dalam Al-Qur’an

Q.S. An-Nisa (4):157, yang artinya :

“Dan karena ucapan mereka : Sesungguhnya kami telah

membunuh Al-Masih, Isa Putra Mariam, Rasulullah, padahal

mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya, tetapi

(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan

Isa bagi mereka” 6

2. Nama-nama dan Pembagian Isi Al-Qur’an.

Al-Qur’an mempunyai beberapa nama lain yang relevan dengan

kegunaannya bagi umat manusia yaitu: Al-Kitab (sumber bacaan untuk

dipedomani), Al-Furqon (pembeda hak dan batil), Al-Burhan / Al-Huda

(petunjuk kehidupan), Adz-Dzikr (pengingat), Al-Hikmah (falsafah/

3

Page 4: Sumber Ajaran Islam

Kebijakan-kebijakan / Penemu kebenaran / Landasan pemikiran dan

pemahaman), As-Syifa (obat / penawar hati) dan lain-lain.

Al-Qur’an terdiri dari 114 surat: 91 surat turun di Mekkah dan 23

surat turun di Madinnah, ada pula yang berpendapat, 86 surat turun di

Mekkah dan 28 surat turun di Madinnah. Surat yang turun di Mekkah di

namakan Makiyyah, pada umumnya suratnya pendek-pendek,

menyangkut prinsip-prinsip keimanan dan akhlak, panggilannya ditujukan

kepada segenap manusia (sasaran utama: kafir Quraisy) agar mereka

beriman dan bermoral yang jauh dari kebiadaban. Adapun surat yang

turun di Madinah dinamakan surat Madaniyah, khithab (sasaran

panggilannya) tertuju kepada orang-orang mukmin, dan unsur perintah-

larangan atau hukum hukum Islam yang terkandung di dalamnya.

Diperkirakan 19/30 turun di Madinnah, 11/30 turun di Mekkah. Atas

inisiatif para ulama maka kemudian Al-Qur’an dibagi-bagi menjadi 30 Juz.

Dalam tiap Juz dibagi-bagi pula kepada setengah Juz, seperempat Juz,

Maqra dan lain-lain.

3. Lima Garis Besar Isi Kandungan Al Qur’an

Setengah ulama berpendapat bahwa secara garis besar ketujuh ayat

surat Al – Fatihah merupakan perasaan atau inti dari seluruh kandungan

makna lahir batin, tersurat dan tersirat dari Al – Qur’an. Sementara

samudera hakikat Al – Fatihah sendiri tersaripatikan dalam kalimat

Basmalah.7 Dan semuanya itu terproyeksikan dalam lima prinsip garis

besar berikut ini.

a. Aqidah (keimanan), tauhid, dalam arti menyempurnakan keyakinan

dan meluruskan I’tikad yang merupakan doktrin kepercayaan kepada

Allah SWT.

b. Syari’at yang terdiri dari atas ibadah murni yakni aturan-aturan yang

mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan mu’amalah, yaitu

mencakup segala penetapan yang mengatur hubungan pergaulan

hidup antar sesama manusia, antara manusia dengan makhluk hidup

lain, serta antara manusia dengan alam.

c. Akhlak, yaitu memugar, meluhurkan, mensucikan, budi pekerti

seperti sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan.

d. Sejarah, kisah-kisah masa lalu untuk diambil darinya pelajaran,

peringatan, perbandingan, keteladanan dan perumpamaan yang

4

Page 5: Sumber Ajaran Islam

bernilai tinggi, guna mengarifkan hidup, misalnya tentang sejarah

kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Musa, tentang Yusuf dan

saudaranya, tentang Yahya, Isa, Ibrahim, Khidir dan sebagainya.

e. Berita-berita soal masa depan dan pasca masa depan, ramalan-

ramalan yang prospektif serta rupa-rupa ilmu pengetahuan modern.

Umpamanya soal kejadian langit dan bumi, matahari, bulan, bintang

dan planet lain, proses kejadian manusia dan sebagainya.

4. Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an dan Perkembangannya

Allah akan menjamin kemurnian dan kesucian Al-Qur’an akan selamat

dari usaha-usaha pemalsuan, penambahan atau pengurangan-

pengurangan. Dalam catatan sejarah dapat dibuktikan proses kedifikasi

dan penulisan Al-Qur’an dapat menjamin kesuciannya secara

menyakinkan Al-Qur’an ditulis sejak nabi masih hidup. Sebagaimana

firman Allah SWT. Q.S. Al-Hijr (15): 9, yang artinya :

“Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan

sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” 8

Begitu wahyu turun kepada Nabi, Nabi langsung memerintahkan para

sahabat penulis wahyu untuk menuliskannya secara hati-hati. Begitu

mereka tulis kemudian mereka hafalkan sekaligus mereka amalkan.

Pada awalnya pemerintahan Khalifah yang pertama dan Khulafaur

Rasyidin, yaitu Abu Bakar As Shiddiq, Al-Qur’an telah dikumpulkan dalam

mashaf-mashaf tersendiri. Pada zaman Khalifah yang ketiga Utsman Bin

Affan, Al-Qur’an telah sempat diperbanyak. Alhamdulillah Al-Qur’an yang

asli itu sampai saat ini masih ada.

5. Ilmu – ilmu Yang Membahas Hal-hal yang Berhubungan Dengan Al-

Qur’an Antara lain 9:

a. Ilmu Mawathin Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas tentang tempat-

tempat turunya ayat Al-Qur’an.

b. Ilmu Asbabun Nuzul, yaitu Ilmu yang membahas sebab-sebab

turunnya Al-Qur’an.

c. Ilmu Tajwid, yaitu Ilmu yang membahas tentang teknik membaca Al-

Qur’an.

5

Page 6: Sumber Ajaran Islam

d. Ilmu Gharibil, yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat

yang asing artinya dalam Al-Qur’an.

e. Ilmu Wajuh, Yaitu Ilmu yang membahas tentang kalimat yang

mempunyai banyak arti dan makna apa yang dikehendaki oleh

sesuatu ayat dalam Al-Qur’an.

f. Ilmu Amtsalil Al-Qur’an., Yaitu ilmu yang membahas tentang

perumpamaan-perumpaan dalam Al-Qur’an.

g. Ilmu aqsamil Al-Qur’an, yaitu ilmu yang mempelajari tentang maksud-

maksud sumpah Tuhan dalam Al-Qur’an.dan lain-lain.

B. As-Sunnah / Al Hadist

1. Pengertian

Secara etimologis Al Hadist berart antara lain: Baru, Khobar.

Secara terminology Al - Hadist berarti : segala perbuatan, perkataan dan

ketetapan/persetujuan Nabi Muhammad S.A.W. (Af’al, Aqwal da taqrir).

Pengertian Hadist sebagaimana yang tersebut di atas adalah identik

dengan Sunnah.

2. As-Sunnah / Al Hadist sebagai Sumber Ajaran Islam.

As Sunnah/ Al - Hadist adalah sumber ajaran Islam (pedoman

hidup kaum muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang

telah beriman kepada Al-Qur’an sebagai sumber ajaran, maka secara

otomatis harus percaya bahwa sunnah sebagai sumber ajaran Islam

juga. Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti

tentang hal ini seperti : Setiap Mukmin taat kepada Allah dan Rasul-Nya,

Firman Allah dalam Al-Qur’an :

Q.S. Ali Imron (3) : 32 yang artinya :

“Katakanlah : “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling,

maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang kafir”. 10

Q.S. Ali Imron (3): 31, yang artinya :

“Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencitai Allah, ikutilah aku,

niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah

Maha Pengampun-Lagi-Maha Penyayang”.11

Q.s. An-Anfal (8): 13, yang artinya :

“(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya

mereka menentang Allah dan Rasul-Nya barang siapa menentang

6

Page 7: Sumber Ajaran Islam

Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Allah amat keras

siksaan-Nya”.12

Apabila As Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum

muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara Sholat,

kadar dan ketentuan zakat, cara Haji dan lain sebagainya. Sebab Ayat-

ayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan

umum dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah.

Selain itu juga akan mendapat kesukaran-kesukaran dalam hal

menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, mujmal dan sebagainya, tetap

memerlukan Sunnah untuk penjelasannya. Apabila penafsiran-penafsiran

tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan ratio sudah barang

tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang subyektif dan tidak dapat

dipertanggung jawabkan.

3. Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an maka As-Sunnah berfungsi sebagai

penafsir, pensyarah dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila

disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-

Qur’an itu adalah sebagai berikut :

a. Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum,

mujmal. Seperti Hadist Riwayat Bukhari :

Rasullullah SAW bersabda : اصل رايتموني كما صلوا

( Sholatlah kamu sebagaimana melihatku sholat”)13 ialah merupakan

tafsiran daripada Al-Qur’an yang umum: الصالة = Aqimush-shalah)اقم

dirikanlah shalat ). Hadist lain : كم سك منا عن Khudzu’anni) خذوا

manasikakum = Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir

dari ayat Al-Qur’an ‘Waatimmul-hajja’ (dan sempurna-kanlah hajimu).

b. Bayan Taqrir, yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan

memperkuat pertanyaan-pertanyaan Al-Qur’an. Seperti Hadist yang

berbunyi : لرئ افطرو و لرئية Shumu Liru’ yatihi Wa-afthiru) صموا

Liru’yatihi = Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah

karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an, Q.S. Al-

Baqarah (2): 185, yang artinya :

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan bulan

yang didalamnya diturunkan (Permulaan) Al-Qur’an sebagai

petunjuk bagi manusia….”14.

7

Page 8: Sumber Ajaran Islam

c. Bayan Taudlih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat

Al-Qur’an. Seperti pernyataan Nabi SAW: “Allah tidak mewajibkan

zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah

dizakati”, adalah Taudlih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an :

Q.S. At-Taubah (9): 34, yang artinya :

“…..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian

tidak membelanjakannya dijalan Allah maka beritahukanlah

kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih”15

4. Perbedaan Antara Al-Qur’an dan Al-Hadist Sebagai Sumber Hukum

Sekalipun Al-Qur’an dan As-Sunnah / Al-Hadist sama-sama sebagai

sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-

perbedaan yang cukup prinsipil, perbedaan-perbedaan tersebut antara

lain ialah :

a. Al-Qur’an nilai kebenarannya adalah qath’i (pasti atau absolut)

sedangkan Al-Hadist adalah dzanni / nisbi (mengandung dugaan

kecuali hadist mutawatir );

b. Seluruh ayat Al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi

tidak semua hadist mesti di jadikan sebagai pedoman hidup.

Disamping ada hadist yang shahih ada pula hadist yang dha’if dan

seterusnya;

c. Al-Qur’an sudah tentu autentik lafadz dan makanannya, sedangkan

hadist tidak semuanya autentik.

Apabila Al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah Aqidah atau hal-

hal yang ghaib maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak

harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh

hadist.

5. Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadist

Para ulama membagi perkembangan hadist itu kepada 7 periode yaitu :

Masa wahyu dan pembentukan hukum (pada zaman Rasul: 13 SH-11

SH);

Masa pembatasan riwayat (masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H);

Masa pencarian hadist (pada masa generasi tabi’in dan sahabat-

sahabat muda : 41 H-akhir abad I H);

Masa pembukuan hadist (permulaan abad II H);

8

Page 9: Sumber Ajaran Islam

Masa penyeringan dan seleksi ketat (awal abad III H sampai selesai);

Masa penyusunan kitab-kitab koleksi (awal abad IV H sampai

jatuhnya Baghdad pada tahun 656H);

Masa pembuatan kitab Syarah Hadist, kitab-kitab koleksi yang lebih

umum (656 H dan seterusnya).

Pada zaman Rasulullah tidak ada aktivitas pencatatan hadits

terkecuali secara rahasia oleh para sahabat Nabi yang khusus

memperhatikan kepentingan hadits. Beberapa sebab dilarang keras

melakukan pencatatan hadits adalah sebagai berikut:

a. Nabi sendiri melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu

diizinkan beliau sebagai catatan pribadi.

b. Rasulullah berada ditengah-tengah umat Islam sehingga dirasa tidak

perlu untuk dituliskan pada waktu itu.

c. Kemampuan tulis baca dikalangan sahabat sangat terbatas

d. Umat Islam sedang di konsentrasikan kepada Al-Qur’an

e. Kesibukan-kesibukan umat Islam yang luar biasa dalam menghadapi

perjuangan dakwah yang sangat penting.

Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata Al-Hadits belum sempat

dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman Umar Bin

Abdul Azis Khalifah ke-8 dari dinasti. Bani Ummayah (99-101 H) timbul

inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan Hadits itu.

Sebelumnya Hadits-Hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan

para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada

saat generasi tabi’in mencari Hadits-Hadits itu. Di antara sahabat-sahabat

itu ialah seperti :

a. Abu Hurairah meriwayatkan hadits sekitar 5374 Hadist:

b. Abdullah Bin Umar Bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630

Hadits;

c. Anas Bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 Hadits;

d. Abdullah Bin Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 Hadits :

e. Aisyah Ummu – Mu’minin, meriwayatkan sebanyak 2210 Hadits;

f. Jabbir Bin Abdillah, meriwayatkan sebanyak 1540

g. Abu Sa’id, meriwayatkan sebanyak 1170 Hadits.

6. Pengkodipikasian Al-Hadits.

9

Page 10: Sumber Ajaran Islam

Pengkodipikasian Hadits itu justru dilatar-belakangi oleh adanya

usaha-usaha untuk membuat dan menyebar luaskan Hadits-Hadits palus,

baik yang dibuat oleh umat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu,

maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam

dari dalam. Sampai saat ini ternyata masih banyak Hadits-Hadits palsu itu

bertebaran dalam literatur kaum muslimin.

Disamping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang

berkembangan dikalangan masyarakat Islam, berupa : anggapan

terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai sebagai

Hadits, Sabda Rasulullah Walaupn ditinjau dari segi isi materinya tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran islam, tetapi kita tidak

boleh mengatakan bahwa kita sabda Rasul. Sebab Rasulullah

memperingatkan dalam sabda : “Barang siapa berdusta atas namaku

maka siap-siap saja tempatnya dineraka”. Menurut sebagaian besar

para Ulama Hadits bahwa di antara kitab-kitab Hadits ada tujuh Kitab

Hadits yang dinilai terbaik yaitu :

a. Ash-Shahih Bukhari

b. Ash-Shahih Muslim

c. As-Sunnan Abu Dawud

d. As-Sunnan Nasai

e. As-Sunnan Tirmidzi

f. As-Sunnan Ibdu Majah Al-Musnad Iman Ahmad

C. IJMA’ ULAMA

1. Pengertian Ijma’

Secara bahasa Ijma’ berarti “berkumpul”. Secara istilah atau definisi

Ijma’ ialah konsensus atau kesepakatan Ulama-ulama Islam dalam

menentukan suatu masalah hukum atas suatu realita sosial yang dinamis

sehingga masyarakat betul-betul menunggu (butuh) jawaban dari ulama-

ulama tersebut. Hasil ijma’ ini umumnya yang menjadi fatwa dimana suatu

publik kalangan muslim menunggu fatwa tersebut.

2. Ijma dan kata “Ulil Amri”

Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang

kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh Al-

Qur’an dan As-Sunnah, maka Ruasulullah menyatakan : “Kumpulkan

orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan

10

Page 11: Sumber Ajaran Islam

musyawarah16”. Konteks “ulil amri” dalam QS an-Nisa (4): 59 di atas

banyak yang mengartikan “ijma’ ulama”, meskipun bila ditelaah secara

seksama kata “ulil-amri” mempunyai kandungan makna yang luas dan

termasuk di dalamnya memaknakan “ijma’ ulama”. Dalam kehidupan

modern makna taat pada ulil amri bisa relevan dengan ketaatan pada

hasil pembuktian dokter forensik, mematuhi petunjuk konsultan dan lain

sebagainya. Dalam makna spesifik ke arah “istimbath” (penetapan

hukum syar’i Islam), kata ‘ulil amri’ lebih populer diartikan sebagai

‘konsensus para ulama mujtahidin” untuk memberikan fatwa hukum

Islam. Bukti pentingnya ijma ulama untuk istimbath hukum Islam ialah

adanya popularitas “Jumhur Ulama”(mayoritas ulama

fuqaha/mufassirin). Hukum-hukum Islam yang dihasilkan oleh Ijma

Ulama, antara lain:

Contoh: 1. Nikah berbeda agama, terutama wanita muslimah dengan pria

non muslim, sepakat sebagian besar ulama (jumhur ulama)

“mengharamkan

2. Ulama di Indonesia sepakat bahwa nikah berbeda agama

dilarang (haram), dan hal ini sudah menjadi hukum negara

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Pernikahan atau Perkawinan

3. Daya Argumentatif Ijma

Secara rasional kekuatan Ijma’ dalam memberikan argumentasi

hukum fiqh Islam (syar’i kontekstual) adalah otoritas ketiga setelah al-

Qur’an dan as-Sunnah, sebab ijma didasarkan pada kata ‘ulil amri’

dalam teks QS an-Nisa (4): 59. Disamping kekuatan lainnya ijma sebagai

mufakat dari banyak ulama yang mempunyai kapasitas kemampuan

berijtihad. Oleh karenanya hukum Islam hasil mupakat Jumhur Ulama

merupakan kesekutuan pandangan fiqih mungkin keempat imam mazhab

bersatu didalamnya, mungkin mayoritas Imam Mazhab bersatu, atau

separuh Imam Mazhab bersatu. Yang termasuk Imam Mazhab yang

termashur ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam

Hambali “Karamallahu anhum”. Jadi pada dasarnya Ijma Ulama

mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Ijtihad. Sebab dalam ijma

berbicara kuantitas ro’yu dimana jaminan kesahihannya lebih akurat

3

11

Page 12: Sumber Ajaran Islam

sebagaimana analogi pada “kemutawatiran” hadits ( hadits yang

diriwayatkan oleh orang banyak punya kesahihan lebih kuat karena lebih

korektif terhadap kecacatan).

D. IJTIHAD

1. Pengertian Dan Fungsi Ijtihad

Secara Bahasa, Ijtihad berarti : Pecurahan segenap kemampuan

untuk mendapatkan sesuatu.

Adapun secara Terminologi/ Istilah, Ijtihad ialah Penggunaan akal

sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu

yang ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Rasulullah S.A.W. pernah bersabda kepada Abdullah Bin Mas’ud

sebagai berikut: “Berhukumlah Engkau dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,

apabila sesuatu persoalan itu Engkau temukan pada dua sumber. Tapi

apabila Engkau tidak menemukan ada dua sumber itu, maka ber-

Ijtihadlah.

Kepada Ali bin Abi Thalib r.a. beliau pernah menyatakan : “Apabila

Engkau ber-ijtihadmu betul, maka Engkau mendapatkan dua pahala.

Tetapi apabila ijtihadmu salah maka Engkau hanya mendapatkan satu

pahala”.

Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai The Principle

Of Movement. Mahmud Syaltut berpendapat bahwa ijtihad atau yang

biasa Arro’yu mencakup dua pengertian :

1. Penggunaan pikiran untuk menentukan suatu hukum yang tidak di

tentukan secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah;

2. Penggunaan pikiran dalam meng-artikan, menafsirkan dan mengambil

kesimpulan dari sesuatu ayat atau Hadits. Adapun dasar dari pada

keharusan berijtihad ialah mereka lain terdapat pada Al-Qur’an surat

An-Nisa ayat 59.

2. Kedudukan Ijtihad

Berbeda dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’, maka ijtihad terikat

dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan

keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktivitas

12

Page 13: Sumber Ajaran Islam

akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia

yang relatif maka keputusan dari suatu ijtihad adalah relatif ;

b. Sesuatu yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi

seseorang atau sekelompok orang tapi tidak berlaku bagi orang lain.

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah Mahdlah.

Sebab urusan ibadah Mahdlah hanya di atur oleh Allah dan Rasul-

Nya

d. Keputusan Ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-

Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor

motivasi, akibat kemashalatan umum, kemanfaatan bersama dan

nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa dari pada ajaran Islam.

3. Cara Berijtihad

Dalam melekasanakan Ijtihad, para ulama telah membuat metode-

metode antara lain sebagai berikut :

a. Qiyas : “Reasoning by Analogy”. Yaitu menetapkan sesuatu hukum

terhadap suatu hal yang belum diterangkan oleh Al-Qur’an dan As-

Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah

ditengrangkan hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena

sebab yang sama.

Metode Qiyas dalam istimbath hukum (penetapan hukum

Islam) dianut oleh keempat Imam Mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’I dan

Hambali “Karamallahu anhum”.

Contoh 1 : menurut Al-Qur’an surat Al-Jum’ah 9; Seseorang

dilarang jual-beli pada saat mendengar adzan Jum’at. Bagaimana

hukumnya perbuatan-perbuatan lain (selain jual-beli) pada saat

mendengarkan adzan Jum’at. Dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits

tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan

analogi. Yaitu kalau jual-beli karena dapat menggangu Shalat Jum’at

maka demikian hal perbuatan-perbuatan lain, yang dapat menggangu

Shalat Jum’at dilarang.

Contoh 2: menurut Q.S. Al-Isra (17) 23; seseorang tidak

boleh berkata “uf (cis)” kepada orang tua. Maka hukum memukul,

menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua dilarang, atas dasar

analogi terhadap hukum kata “cis” tadi. Karena sama-sama menyakiti

13

Page 14: Sumber Ajaran Islam

orang tua. Pada zaman Rasulullah SAW pernah diberikan contoh

dalam menentukan hukum dengan dasar qiyas tersebut. Yaitu ketika

Umar bin Khatab berkata kepada

Rasulullah : “Hari ini saya mencium istri, padahal saya

dalam keadaan berpuasa”

Tanya Rasul : “Bagaimana jika kamu berkumur pada saat

puasa ?”

Jawab Umar : “Tidak apa-apa”

Sabda Rasull : “Kalau begitu teruskanlah puasamu”

b. Istihsan = Preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap

sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasari prinsip-prinsip umum ajaran

Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para Ulama

Istihsan disebut juga qiyas-khofi (analogi samar-samar) atau

disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas

yang jelas (qiyas jali) kepada hukum yang diperoleh dengan Qiyas

yang samar-samar atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila

kita dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu diantara dua

kejelekan maka kita harus mengambil yang lebih ringan

kejelekkannya. Dasar Istihsan antara lain tercantum Q.S. Az-Zumar

(39) : 18.

Metode Istihsan dalam penetapan hukum Islam ini

digunakan oleh Mazhab (Imam) Hanafi, ‘karamallahu anhu’

Contoh Istihsan : Seorang ibu hamil mempunyai masalah

dengan kandungannya, berdasarkan pemeriksaan dokter kandungan

bahwa bayinya bermasalah dan bisa mengakibatkan kematian bagi

ibu yang hamil. Maka dalam hal ini diambil keputusan, bayi yang

harus dikalahkan, agar ibunya tetap hidup. Sedangkan aborsi

(pengguguran kandungan) tanpa alasan medis seperti diatas tetap

diharamkan.

c. Mashalihul Mursalah, adalah salah satu dari tiga jenis mashlahat

yaitu “mashlahat mu’tabarah, mashlahatul mulgiyah, dan

mashlahatul-mursalah. Secara umum Mashlahat berarti kebaikan

total sebagaimana mashlahat tersebut merupakan “maqashid

syar’iyah” ialah tujuan hukum Islam. Adapun yang dimaksud

14

Page 15: Sumber Ajaran Islam

dengan mashlahatul mu’tabarah ialah kebaikan total yang

termaktub dalam teks dan konteks Kitab Suci al-Qur’an atau Hadits.

Sedangkan mashlahatul-mulgiyah ialah mashlahat atau kebaikan

yang divonis batal oleh al-Qur’an dan atau Hadits, sebab mashlahat

ini terlalu mengikuti pikiran yang relatif subjektif terhadap kepentingan

pribadi/golongan bahkan mengikuti kehendak nafsu.

Adapun yang dimaksud dengan mashlahatul-mursalah

ialah kebaikan yang ditemukan akal dan dapat dibuktikan secara

emphiris dan kebaikan tersebut tidak terungkap langsung dalam al-

Qur’an dan Hadits, baik pembenaran maupun pembatalan oleh

keduanya. Jadi “terputus” atau “irtsal” dan oleh karenanya disebut

“mashlahatul mursalah”. Yang menjadi pertimbangan umum bagi

mashlatul-mursalah ialah “mendatangkan manfaat dan mencegah

bahaya” (jalbul-mashalih wadaf’ul-mafasid). Secara sederhana

ada yang mengatakan sama artinya dengan Utilitty. Yaitu

menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan Ijtihadiyah atas

pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan

tujuan syariat.

Mashlahatul-mursalah digunakan dan dipertahankan oleh

Imam mazhab Maliki dan Nidzamuddin Thufi (tokoh dari mazhab

Hambali), dan Nidzamuddin memberi sebutan lain “Istishlah”.

Perbedaan antara istihsah dengan Mashalihul-Mursalah

ialah istihsan mempertimbangkan dasar kemashalata (Kebaikkan) itu

dengan disertai dalil Al-Qur’an atau Al-hadits yang umum,sedangkan

Mashalihul-Mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan

kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis secara

eksplisit dalam Al-Qur’an/Al-Hadits.

Contoh : Memiliki buku nikah dari KUA itu sangat berguna

bagi pasangan suami istri dan juga keturunannya. Pasangan suami

istri yang menikah siri atau nikah dibawah tangan “sah” menurut

agama Islam meskipun tidak memiliki buku nikah. Untuk menghindari

fitnah, buku nikah sangat berguna.

15

Page 16: Sumber Ajaran Islam

Soal-soal Latihan (Evaluasi)

1. Ada 3 (tiga) Fungsi dan Peranan Al-Qur’an. Sebutkan dan jelaskan.

2. Benarkah Al-Qur’an dijamin kemurnian dan kesuciannya ? Jelaskan disertai

dalil.

3. Jelaskan pengertian Al-Qur’an dan Al-Hadits (As Sunnah) menurut etimologi

dan terminologi!

4. Jelaskan perngertian IJTIHAD menurut bahasa dan istilah!

5. Sebutkan dan jelaskan 4 (empat) cara / metode Ijtihad!

6. Jelaskan fungsi As Sunnah / Al- Hadits dalam hubungannya dengan Al-

Qur’an!

7. Berikan contoh dari : Ijma’; Qiyas; Istihsan, dan Mashalihul Mursalah!

16

Page 17: Sumber Ajaran Islam

DAFTAR KUTIPAN

1 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu

ma’aniyatu ila Lughati al-Indunisiya, ( Medinah Munawwarah: khadim al-

Haramain asy-Syarifain, Tahun 1411 H ), h. 128

2 Abdul Wahab Khallaf, Mashadirut-Tasyri’il-Islami, terjemah oleh

Bahrun AbuBakar, (Bandung: Risalah, 1984 ), Cet. Ke-1, h. 2

3 Ibid, h. 3

4 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit. h. 173

5 Ibid, h. 85

6 Ibid, h. 149

7 Arsyad M.Natsir, Seputar Al Qur’an, Hadist dan Ilmu ( Bandung: Al

Bayan, 1992), hlm 38-39

8 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit., h. 391

9 Arsyad M. Natsir, Op. Cit hlm. 33-35

10 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h. 80

11 Ibid.

12 Ibid., h. 262

13 Sulaeman Rasjid, Figh Islam , (Bandung: Sinar Baru, 1989), hlm 94

14 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Op. Cit, h.45

15 Ibid., h. 283

16 Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam di

PerguruanTinggi, (Jakarta, 2002) h 87

2

3

4

5

6

7

8

9

1

1

1

1

1

1

1

17