seminar departemen medikal

46
SEMINAR DEPARTEMEN MEDIKAL PENERAPAN TERAPI BENSON PADA PASIEN PRE HEMODIALISA DI RUANG HEMODIALISA RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG Disusun oleh : KELOMPOK 12,13,14,15 : HAPPY PILAS AVIEF DESTIAN P VIEOCTA APSARI P AULIASARI SISKANINGRUM LIKHNA PERTIWI SILVY ALVEOLITA YUNIAR VALENTINA HENDRA DWI PRIMA YUSIFA ROSI ERNA STEFANI YULITA YOSEPHA ESTI MONIKA SINTA ARINTA NOVIA

Upload: cindy-ayu

Post on 02-Feb-2016

292 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

zfdhgfy

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar Departemen Medikal

SEMINAR DEPARTEMEN MEDIKAL

PENERAPAN TERAPI BENSON PADA PASIEN PRE HEMODIALISA DI RUANG

HEMODIALISA RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Disusun oleh :

KELOMPOK 12,13,14,15 :

HAPPY PILAS

AVIEF DESTIAN P

VIEOCTA APSARI P

AULIASARI SISKANINGRUM

LIKHNA PERTIWI

SILVY ALVEOLITA

YUNIAR VALENTINA

HENDRA DWI

PRIMA YUSIFA

ROSI ERNA

STEFANI YULITA

YOSEPHA ESTI

MONIKA SINTA

ARINTA NOVIA

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2014

Page 2: Seminar Departemen Medikal

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam

mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur

keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam basa denngan cara filtrasi darah,

reabsorbsi selektif air, elektrlit dan nonelektrolit serta menekskresi kelebihannya

sebagai urin. Ginjal juga mengeluarkan produk sisa metabolisme seperti urea,

kreatinin dan asam urat serta zat kimia asing (Parvan et a., 2010). Gagal ginjal

kronis adalah kerusakan progresif gangguan fungsi ginjal yang menyebabkan

gangguan dengan metabolisme cairan tubuh dan elektrolit (Heidarzadeh et al.,

2010). Penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) bersifat ireversibel dan merupakan

disfungsi ginjal progresif (Baraz et al., 2010). Dua puluh tiga persen dari populasi

dunia saat ini menderita gagal ginjal kronis dan setiap tahun meningkat dua kali

(Parvan et a., 2010).

Salah satu masalah yang paling umum di ESRD dan pasien dengan

hemodialisis (HD) adalah rasa sakit kronis (Masajtis- Zagajewska et al., 2011) dan

lebih dari 50% dari semua ESRD pasien menderita sakit (Innis, 2006). Bahkan,

sebagian besar pasien HD menderita nyeri sedang sampai berat dan 54% dari

pasien HD menunjukkan lebih dari satu lokasi nyeri (Masajtis- Zagajewska et al.,

2011). Pasien ESRD mungkin menderita sakit dalam beberapa cara yang unik,

tidak hanya untuk penyakit tetapi juga untuk pengobatan. Standard pengobatan

dan terapi yang dianjurkan adalah transplantasi ginjal, hemodialisis (HD), dan

peritoneal dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal kronis (Ghaffari, 2007).

Metode ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup, meskipun bisa menjadi

sumber stres ( Einollahi et al., 2008). Pasien yang menjalani HD untuk waktu yang

lama akan menderita fisik dan tekanan mental, dan pengalaman perubahan serius

terkait gaya hidup dan kepribadian (Zamanzade et al., 2007).

Meskipun perawatan, seperti HD, dapat memperpanjang harapan hidup,

pasien dengan ESRD berpotensi mengalami perubahan di tingkat aktivitas fisik,

kehilangan pekerjaan, dan gangguan di bidang sosial (Unruh dan Hess, 2007). Ini

akan berdampak negatif pada rencana hidup, status pekerjaan, situasi keuangan,

harga diri, dan tingkat independensi (Niu dan Li, 2005), yang mempengaruhi fisik

pasien, psikologis, dan sosial kesejahteraan (Rambod dan Rafii, 2010). Selain itu,

Page 3: Seminar Departemen Medikal

pasien HD menunjukkan fisik yang lebih rendah terkait QOL jika dibandingkan

dengan populasi umum (Cleary dan Drennan, 2005). Mereka juga mengalami lebih

rendah pada tingkat total kualitas hidup dan kesehatan / fungsi dan keluarga

subskala dari QOL dibandingkan dengan pasien transplantasi (Rambod et al.,

2011).

Dalam 3 dekade terakhir, faktor psikologis telah menarik perhatian lebih

(Ibrahim et al., 2009). Penelitian sebelumnya telah melaporkan beberapa masalah

psikologis seperti ide bunuh diri, depresi, kecemasan, gangguan seksual,

interpersonal masalah, paranoid, keluhan fisik, gangguan kompulsif, psikosis,

agresi, dan fobia; meskipun penelitian ini tidak bulat dalam hal prevalensi, namun

intensitas masalah ini banyak terdapat di antara pasien HD (Kimmel, 2001).

Navidian et al., Melaporkan bahwa 10% dari pasien HD memiliki sejarah gangguan

kejiwaan sementara itu hanya 2,5% pada populasi umum (Navidian et al., 2006).

Stres mengacu pada konsekuensi dari kegagalan seseorang untuk merespon

dengan tepat untuk emosional atau ancaman fisik (Niazi, 2011). Kesehatan mental

secara langsung berhubungan dengan persepsi stres. Koping pantas menurunkan

kualitas hidup dan mengarah ke fisik, mental, ekonomi, sosial, dan masalah

emosional (Mirzaei et al., 2009).

Penelitian baru-baru terfokus tentang teknik nonfarmakologi. Relaksasi

adalah salah satu teknik nonfarmakologi yang paling berguna yang mengurangi

stres yang berdampak pada mental dan kondisi fisik, depresi, suasana hati,

kecemasan, dan self-steam. Teknik relaksasi menyebabkan stabilisasi otot dan

berfungsi sebagai gangguan dari nyeri (Diezemann, 2011). Selain efek terapi

relaksasi pada nyeri, teknik ini telah terbukti untuk meningkatkan kualitas hidup di

varietas kondisi, termasuk asma (Nickel et al., 2006) dan osteoarthritis pada

wanita lanjut usia (Baird dan Sands, 2006). Ini juga telah direkomendasikan

sebagai terapi tambahan untuk kecemasan dengan menyiapkan pasien dengan

perawatan diri mengatasi gejala kecemasan (Pan et al., 2012). Cheung et al.

(2003) telah menunjukkan bahwa penggunaan relaksasi otot secara signifikan

meningkatkan kualitas hidup generik di kelompok intervensi, terutama dalam

domain kesehatan fisik, kesehatan psikologis, masalah sosial, dan lingkungan.

Salah satu teknik relaksasi yang masuk akal dan menarik serta mudah untuk

dipelajari adalah teknik relaksasi Benson. Sejak sebagian besar pasien HD

memerlukan akses vaskular, seperti fistula arteriovenosa dan arteriovenosa graft

untuk HD prosedur, melakukan beberapa latihan dan relaksasi teknik mungkin sulit

Page 4: Seminar Departemen Medikal

bagi pasien HD. Namun, teknik relaksasi Benson dapat lebih baik dan dapat

ditoleransi oleh pasien. Meskipun demikian, sejumlah penelitian telah khusus

dievaluasi untuk teknik relaksasi Benson pada pasien HD (Elali et al., 2012).

Benson (1975) mempresentasikan teknik relaksasi dan dilambangkan bahwa

hal itu bisa membawa respons relaksasi dengan mengurangi aktivitas sistem saraf

otonom (Benson, 1975). Teknik ini telah dilaporkan dapat menurunkan tingkat

kecemasan (Galvin et al., 2006), kecemasan kognitif dan somatik (Kolt et al.,

2002), gangguan suasana hati (Rabin et al., 2009), dan ketidaknyamanan tubuh

(Leon- Pizarro et al., 2007). Hal ini juga meningkatkan perhatian, deklaratif kinerja

memori (Galvin et al., 2006), dan diri kepercayaan (Kolt et al., 2002). Hal ini

menunjukkan bahwa teknik relaksasi Benson dapat meningkatkan kesejahteraan

pasien dalam kondisi kronis, seperti rheumatoid arthritis (Bagheri- Nesami et al.,

2006). Ini berarti bahwa teknik ini mungkin mempengaruhi kehidupan individu dan

kualitas hidup. Namun, belum ada penelitian yang dilakukan terkait efek teknik

relaksasi Benson pada intensitas nyeri dan kualitas hidup dari ESRD pasien HD.

Di Indonesia sendiri penelitian dan pendataan terkait jumlah pasien yang

mengalami gangguan psikis. Jarang sekali penelitian terkait manajemen stress,

cemas dan depresi pada pasien ESRD dan pasien HD. Meskipun pentingnya

pengurangan stres dan kecemasan antara pasien HD, tidak ada bukti untuk

mengevaluasi dampak metode nonfarmakologi terutama relaksasi pada pasien HD

di Indonesia. Dari hasil pengamatan kelompok 12, 13, 14, dan 15 selama di HD

dan dari hasil survey didapatkan bahwa 6 dari 10 responden pasien mengalami

kecemasan dan akhirnya bertambah intensitas pada nyeri saat penusukan.

Sedangkan menurut dari hasil survey pada perawat HD didapatkan bahwa 10 dari

15 perawat yang tersurvey mengatakan bahwa pasien HD selalu mengalami

perubahaan mood saat awal – awal HD dan perubahan tersebut mempengaruhi

pada intensitas nyeri saat dilakukan penusukan. 100% perawat HD juga tidak

mengetahui terkait terapi relaksasi Benson sangat bermanfaat dalam menurunkan

skala nyeri dan perubahan mood pada pasien pre HD. Dengan demikian, seminar

ini bertujuan untuk memberikan edukasi pada perawat agar perawat mengetahui

efektivitas teknik relaksasi Benson dalam mengurangi intensitas nyeri dan

meningkatkan kualitas hidup pada pasien HD.

Page 5: Seminar Departemen Medikal

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana teknik relaksasi Benson ?

2. Bagaimanakah teknik relaksasi Benson dapat mempengaruhi penurunan

Depression, Anxiety dan Stress serta Nyeri pada pasien HD ?

3. Bagaimanakah peran perawat dalam menjalan terapi Benson pada pasien

HD ?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan teknik relaksasi Benson secara umum

2. Menjelaskan teknik relaksasi Benson dalam mempengaruhi penurunan

Depression, Anxiety dan Stress serta Nyeri pada pasien HD yang disertai

dengan supporting groip

3. Meningkatkan peran perawat dalam menjalan terapi Benson pada pasien HD

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teori

- Dapat digunakan sebagai acuan dalam mengajarkan pasien HD yang

mengalami Depressin, Anxiety dan Stress serta nyeri

- Dapat digunakan sebagai acuan perawat dalam manajemen Depressin,

Anxiety dan Stress serta nyeri

1.4.2 Manfaat Praktis

- Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk upaya kuratif dan

peningkatan mutu pelayanan kesehatan pada pasien dengan HD.

Page 6: Seminar Departemen Medikal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENYAKIT TERMINAL

2.1.1 Definisi Penyakit Treminal

- suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi

bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu

penyakit atau suatu kecelakaan.

- suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan

proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995).

- Pasien Terminal adalah : Pasien –psien yang dirawat , yang sudah jelas bahwa

mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin memburuk.

(P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282, 1999 )

- Pendampingan dalam proses kematian adalah Suatu pendampingan dalam

kehidupan , karena mati itu termasuk bagian dari kehidupan . Manusia

dilahirkan , hidup beberapa tahun , dan akhirnya mati. Manusia akan menerima

bahwa itu adalah kehidupan, dan itu memang akan terjadi, kematian adalah

akhir dari kehidupan ( P.J.M. Stevens, dkk, 282,1999 ).

- Penyakit terminal adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada

obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi (Stuard &

Sundeen,1995).

2.1.2 Jenis Penyakit Terminal

1. Diabetes Militus

2. Penyakit Kanker

3. Congestik Renal Falure

4. Stroke.

5. AIDS

6. Gagal Ginjal Kronik

7. Akibat Kecelakaan Fatal

8. penyakit infeksi

Page 7: Seminar Departemen Medikal

2.1.3 Kriteria Penyakit Terminal

1. Penyakit tidak dapat disembuhkan

2. Mengarah pada kematian

3. Diagnose medis sudah jelas

4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit

5. Prognosis jelek

6. Bersifat progresif

2.1.4 Manifestasi Klinik

Fisik

- Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari

ujung kaki dan ujung jari.

- Aktivitas dari GI berkurang.

- Reflek mulai menghilang.

- Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama

pada kaki dan tangan dan ujung-ujung ekstremitas.

- Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.

- Denyut nadi tidak teratur dan lemah.

- Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.

- Penglihatan mulai kabur.

- Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.

- Klien dapat tidak sadarkan diri.

Psikososial

Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber

Ross mempelajari respon-respon atas menerima kematian dan maut secara

mendalam dari hasil penyelidikan/penelitiannya yaitu:

a. Respon kehilangan

1. Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah , ketakutan, cara

tertentu untuk mengatur tangan

2. Cemas diungkapkan dengan cara menggerakan otot rahang dan

kemudian mengendor

3. Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka /

menangis

b. Hubungan dengan orang lain

Page 8: Seminar Departemen Medikal

Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidakmampuan

untuk berhubungan secara interpersnal serta akibat penolakan.

2.1.5 Fase- Fase Menjelang Kematian

1. Denial (Fase Penyangkalan/pengingkaran dan Pengasingan Diri)

Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak

dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin

mengingkarinya. Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya

diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi

dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa

ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita

mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya,

bahwa kematiannya sudah dekat, dan mekanisme ini ternyata memang

menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan

ini periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan

antara menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar

menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi.

2. Anger (Fase Kemarahan)

Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia

akan meninggal. Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus

menerus. Masanya tiba dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah

dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan

kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka

yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah tidak berguna lagi?"

Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari

kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadang-

kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta, maupun

Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa

yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku

pasien tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang

dialaminya. Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan

argumentasi-argumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena

kemarahannya.

Page 9: Seminar Departemen Medikal

3. Bargaining (Fase Tawar Menawar).

Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup

sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan

macam-macam hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-

Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan

seluruh hidupku untuk melayaniMu."

4. Depresion (Fase Depresi)

Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi.

Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan.

Sebagai orang percaya memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan

keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun,

meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami.

5. Acceptance (Fase Menerima)

Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan

yang ia alami. Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan

dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka

mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan

berita dan persoalan-persoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini

biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman

dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada

saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar

2.1.6 Tujuan Perawatan Penyakit Terminal

1. Mempertahankan pasien nyaman dan bebas nyeri

2. Membuat hari-hari akhir pasien sebaik mungkin untuk pasien maupun

keluarga dengan sedikit penderitaan

3. Membantu pasien meninggal dengan damai

4. Memberikan kenyamanan bagi keluarga

5. Menurunkan stress

6. Membantu klien untuk hidup lebih nyaman dan sepenuhnya sampai

meninggal.

7. Membantu keluarga memberi support pada klien

8. Membantu klien dan keluarga untuk menerima perhatian

Page 10: Seminar Departemen Medikal

2.1.7 Penatalaksanaan Penyakit Terminal Sesuai Fase

1. Teknik Komunikasi

Denial, pada tahap ini kita dapat mempergunakan teknik komunikasi:

1) Listening

Dengarkan apa yang diungkapkan klien

2) Sient

Mengkomunikasikan minat perawat pada klien secara non verbal

3) Broad opening

Mengkomunikasikan topik / pikiran yang sedang dipikirkan klien

Angger, pada tahap ini kita dapat mempergunakan tehnik komunikasi:

1) Listening: perawat berusaha dengan sabar mendengar apapun yang

dikatakan klien

2) Bargaining

a. Focusing

b. Bantu klien mengembangkan topik atau hal yang penting

c. Sharing perception

d. Menyampaikan pengertian perawat dan mempunyai kemampuan

untuk meluruskan kerancuan

3) Acceptance

a. Informing

Membantu dalam memberikan penkes tentang aspek yang sesuai

dengan kesejahteraan atau kemandirian klien

b. Broad opening

Komunikasikan kepada klien tentang apa yang dipikirkannya dan

harapan –harapannya

c. Focusing

Membantu klien mendiskusikan hal yang mencapai topik utama dan

menjaga agar tujuan komunikasi tercapai

2. Persiapan Klien

a. Fase Denial

1) Beri keamanan emosional yaitu dengan memberikan sentuhan dan

ciptakan suasana tenang

2) Menganjurkan klien untuk tetap dalam pertahanan dengan tidak

menghindar dari situasi sesungguhnya

Page 11: Seminar Departemen Medikal

3) Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial

dengan cara mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan

pasien dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya.

b. Fase Anger

1) Membiarkan klien untuk mengekspresikan keinginan,

menggambarkan apa yang akan dan sedang terjadi pada mereka.

2) Beri perhatian dan lingkungan yang nyaman dan cegah injuri.

3) Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan

perasaannya yang marah. Perawat perlu membantunya agar

mengerti bahwa masih me rupakan hal yang normal dalam merespon

perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila

kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat

dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan

tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien

dalam menumbuhkan rasa aman.

c. Fase Berganing

1) Ajarkan klien agar dapat membuat keputusan dalam hidupnya yang

bermakna.

2) Dengarkan klien pada saat bercerita tentang hidupnya.

3) Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan

mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi

rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.

d. Fase Depresi

1) Perlakukan klien dengan sabar, penuh perhatian dan tetap realitas.

2) Kaji pikiran dan perasaan serta persepsi klien jika ada asal

pengertian harusnya diklarifikasi.

3) Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan

apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi

secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan

mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga

menumbuhkan rasa aman bagi pasien.

e. Fase Acceptance

1) Bina hubungan saling percaya/ BHSP.

2) Pertahankan hubungan klien dengan orang – orang terdekat.

Page 12: Seminar Departemen Medikal

3) Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada

keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien

telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin

dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya

sendiri sebatas kemampuannya.

2.1.8 Intervensi Dengan Keluarga

a. Bantu keluarga untuk mengenal koping klien dalam melewati fase ini.

b. Bantu keluarga dalam melewati proses kematian, resolusi yang dapat

dilakukan setelah kematian.

2.2 HEMODIALISA

2.2.1 Definisi

Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien

dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal

stadium terminal (ESRD; end-stage renal diseas) yang membutuhkan terapi

jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang

semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja

sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.

Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah

kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau

memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangya aktivitas

metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal

serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini arus menjalani

terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling

sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi), atau sampai mendapat ginjal baru melalui

operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialisis yang

kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan

hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. (Brunner & Suddarth, 2001: 1397)

2.2.2 Prinsip-Prinsip Hemodialisis

Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang

toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada

hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen

Page 13: Seminar Departemen Medikal

dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan

kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat

artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja

sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut

sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari

darah ke dalam cairan dialisir akan terjadi melalui membran semipermeabel

tubulus.

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu:

a. Difusi

Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam

darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat

b. Osmosis

Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan

osmolitas dan dialisat

c. Ultrafiltrasi

Adalah proses berpindahnya zar dan ait karena perbedaan hidrostatik di

dalam darah dan dialisat

Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi

jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan

rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi

berbagai komplikasi yang dpaat terjadi (misal emboli udara, ultrafiltrasi tidak

cukup kuat atau berlebihan, perembesan darah, kontaminasi dan fistula)

Page 14: Seminar Departemen Medikal

Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya

mengalir darah melalui tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran

permeabel. Larutan dialisat yang memiliki kinoisusu kimiawi yang lama seperti

darah kecuali ureum dan produk limbah mengalir di sekeliling tubulus. Produk

limbah dalam darah berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam

larutan dialisat.

2.2.3 Indikasi

Pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis (penyakit ginjal stadium

terminal) dalam keadaan berikut :

terjadi tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual,

muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum

yang meningkat muatan cairan berlebih yang tidak responsive terhadap

terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan penurunan status kesehatan

yang umum, disamping itu terdengarnya suara gesekan pericardium

(pericardial friction rub). (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)

Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan,

dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)

2.2.4 Kontraindikasi

Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi. Cairan

dialisis pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang

terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga

kemungkinan penderita akan meninggal.

Page 15: Seminar Departemen Medikal

2.2.5 Prosedur

Persiapan akses pasien dan kanula.

Berikan heparin (jika tidak ada kontraindikasi).

Masukkan heparin saat darah mengalir melalui dialiser semipermeabel

dengan satu arah dan cairan dialisis mengitari membran dan mengalir pada

sisi yang berlawanan.

Cairan dialisis harus mengandung air yang bebas dari sodium, potassium,

kalsium, magnesium, klorida, dan dekstrosa setelah ditambahkan.

Melalui proses difusi, elektrolik, sampah metabolik, dan komponen asam-

basa dapat dihilangkan atau ditambahkan ke dalam darah.

Penambahan air dihilangkan dari darah (ultrafiltrasi).

Darah kemudian kembali ke tubuh melalui akses pasien.

(Nursalam, 2006: 31)

2.2.6 Perlengkapan Hemodialisis

a) Dialiser atau Ginjal Buatan

Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan

kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur

fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen

darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu

pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk

sisa (klirens).

b) Dialisat atau Cairan dialysis

Dialisat atau “bath”  adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit

utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air

keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril,

karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial

terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk

sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran

permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis.

Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar

umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk

memenuhi kebutuhan pasien tertentu.

Page 16: Seminar Departemen Medikal

c) Sistem Pemberian Dialisat

Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien:

system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien.

Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat

pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-

air.

d) Asesori Peralatan

Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis

meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor

untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat,

perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.

e) Komponen manusia

f) Pengkajian dan penatalaksanaan

2.2.7 Akses Vaskular Hemodialisis

Untuk melakukan hemodialisis intermiten jangka panjang, maka perlu

ada jalan masuk ke dalam sistem vascular penderita. Darah harus keluar dan

masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Teknik

akses vaskular diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Akses Vaskuler Eksternal (sementara)

Pirau arteriovenosa (AV) atau sistem kanula diciptakan dengan

menempatkan ujung kanula dari teflon dalam arteri dan sebuah vena

yang berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang karet

silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau

Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila

diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses vaskuler

lain tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis.

Kateter saldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan

akses kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih baru memiliki lumen

ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan

satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh penderita. Komplikasi

pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteriafemoralis,

perdarahan, thrombosis, emboli, hematoma, dan infeksi.

Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses

vaskular karena pemasangan yang mudah dan komplikasinya lebih

Page 17: Seminar Departemen Medikal

sedikit dibanding kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia

mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena

subklavia dapat digunakan sampai empat minggu sedangkan kateter

vena femoralis dibuang setelah satu sampai dua hari setelah

pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena

subklavia serupa dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk

pneumotoraks robeknya arteriasubklavia, perdarahan, thrombosis,

embolus, hematoma, dan infeksi.

b) Akses Vaskular Internal (permanen)

Fistula AV dibuat melalui anastomosis arteri secara langsung ke vena

pada lengan yang tidak dominan (biasanya arteria radialis dan vena

sefalika pergelangan tangan). Umur fistula AV adalah empat tahun dan

komplikasinya lebih sedikit dengan pirau AV. Masalah yang paling

utama adalah nyeri pada pungsi vena terbentuknya aneurisma,

trombosis, kesulitan hemostatis pascadialisis, dan iskemia pada tangan.

Tandur AV dibuat ketika pasien dimungkinkan karena adanya penyakit,

kerusakan akibat prosedur sebelumnya, dan ukurannya kecil maka

tandur AV dapat di anastomosiskan antara arteri dan vena (biasanya

pada lengan). Di mana, tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran

darah dan tempat penusukan jarum selama dialisis. Komplikasi tandur

AV sama dengan fistula AV.trombosis, infeksi, aneurisma dan iskemia

tangan yang disebabkan oleh pirau darah melalui prosthesis dan jauh

dari sirkulasi distal. (Sylvia, 2005: 975)

2.2.8 Metode Akses Vaskular

Fistula arterivena (AVF), hubungan vaskuler melalui vena langsung ke ateri:

Biasanya, arteri radial dan vena cephalika yang terletak pada lengan non

dominal, pembuluh darah pada lengan atas dapat digunakan.

Sesudah prosedur, system vena supervisial lengan dilatasi.

Dengan menggunakan dua jarum berlubang besar, masukkan ke dalam

system vena dilatasi dan darah akan mengalir melalui dialiser. Ujung arteri

digunakan sebagai aliran arteri dan ujung distal diinfuskan kembali ke darah

dialysis.

Graf-pemhubung arteri vena mengandung graf selang yang terbuat dari

vena savenous autologus atau dari politetrafluoroethyline (PTEE).

Page 18: Seminar Departemen Medikal

Kanula tetap vena pusat (CVC) langsung dari vena (subklavikula, jugular

interna atau femoral).

(Nursalam, 2006: 31)

2.2.9 Pemantauan Selama Hemodialisis

a) Monitor status hemodinamik, elektrolik, dan keseimbangan asam-basa,

demikian juga sterilisasi dan sistem tertutup.

b) Biasanya dilakukan oleh perawat yang terlatih dan familiar dengan protokol

dan peralatan yang digunakan. (Nursalam, 2006:32)

2.3.0 Pemantauan Setelah Hemodialisis

a) Berat badan pasien ditimbang.

b) TTV diperiksa.

c) Spesimen darah diambil untuk mengetahui kadar elektrolit serum dan zat

sisa tubuh.

(Baradero, 2008: 136)

2.3.1 Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Jangka-Panjang

Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien

yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal

yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi

yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja

sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut

secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap

sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang

timbul. Diet rend protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan

dengan demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi

dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan

demikian, pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk

pasien ini.

Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien

dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau

pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan

dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai

biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah

Page 19: Seminar Departemen Medikal

penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen

yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur,

daging, susu dan ikan.

Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan

merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak

disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan

minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering merasa

disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena hanya ada

beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika pembatasan ini

dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti hiperkalemia

dan edema paru dapat terjadi.

Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya

atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat

glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan

ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan

dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.

Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh

karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang

terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran

metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya.

Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus

dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan

kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi diminum pada hari

yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi

selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.

2.3.2 Komplikasi

Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani

hemodialisis kronis adalah penyakit kardiovaskuler arteriosklerotik. Gangguan

metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan

tindakan hemodialisis. Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta

nyeri angina pektoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi

serta membuat pasien tidak berdaya. Anemia dan rasa letih dapat

menyebabkan penurunan kesehatan fisik serta mental, berkrangnya tenaga

serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Ulkus lambung dan masalah

Page 20: Seminar Departemen Medikal

gastrointestinal lainnya terjadi akibat stres fisiologik yang disebabkan oleh sakit

yang kronis, obat-obatan dan berbagai masalah yang berhubungan. Gangguan

metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistrofirenal yang menyebabkan

nyeri tulang dan fraktur. Masalah lain mencakup kelebihan muatan cairan yang

berhubungan dengan gagal jantung kongestif, malnutrisi, infeksi, neuropati dan

pruritus.

Komplikasi terhadap dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:

a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi

jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.

c. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan

terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.

d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk-akhir

metabolisme meninggalkan kulit.

e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan

serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan

terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat

meninggalkan ruang ekstrasel.

g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.

2.3.3 Pendidikan Pasien

Hal-hal penting dalam program pengajaran mencakup:

a. Rasional dan tujuan terapi dialisis

b. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan dialisis

c. Efek samping obat dan pedoman kapan harus memberitahukan dokter

mengenai efek samping tersebut

d. Perawatan akses vaskuler: pencegahan, pendeteksian dan

penatalaksanaan komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler

e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan: konsekuensi akibat

kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini

f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan

g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala

pruritus, neuropati serta gejala-gejala lainnya.

Page 21: Seminar Departemen Medikal

h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi

(dialisis, diet yang membatasi, obat-obatan)

i. Pengaturan finansial untuk dialisis: strategi untuk mengidentifikasi dan

mendapatkan sumber-sumber.

j. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan

anggota keluarga. 

2.3 TERAPI BENSON

2.3.1 Definisi Terapi Benson

Relaksasi Benson yaitu suatu tehnik pengobatan untuk menghilangkan

nyeri, insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan. Cara pengobatan ini

merupakan bagian pengobatan spiritual. Pada tehnik ini pengobatan sangat

fleksibel dapat dilakukan dengan bimbingan mentor, bersama-sama atau

sendiri. Tehnik ini merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu

fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan

berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik pengobatan ini dapat dilakukan

setengah jam dua kali sehari

Relaksasi Benson adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri

dengan mengalihkan perhatian kepada relaksasi sehingga kesadaran klien

terhadap nyeri-nya berkurang, relaksasi ini dilakukan dengan cara

menggabungkan relaksasi yang diberikan dengan kepercayaan yang dimiliki

klien.

Relaksasi adalah suatu prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi

yang penuh stress. Respon relaksasi adalah salah satu teknik meditasi sederhana untuk

mengatasi tekanan dan meraih ketenangan hidup Tehnik ini merupakan upaya untuk

memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang

kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik

ini dilakukan dengan bantuan mentor satu pasien satu mentor, dilakukan

setengah jam dua kali sehari. Langkah-langkah tindakan dilakukan sebagai

berikut:

1. Memilih kalimat ritual yang akan digunakan.

2. Mempersilahkan pasien mengambil posisi duduk santai/rileks.

3. Menganjurkan pasien menutup mata.

4. Mengajurkan pasien mengendurkan otot-otot seluruh tubuh

Page 22: Seminar Departemen Medikal

5. Menganjurkan pasien bernapas secara alamiah. Mulai mengucapkan

kalimat ritual yang dibaca secara berulang-ulang dan khidmat.

6. Memberitahukan pasien bahwa bila ada pikiran yang mengganggu,

kembalilah fokuskan pikiran pada pernapasan dan kata tidur.

7. Menganjurkan pasien melakukan tindakan ini selama 30 menit.

8. Mengingatkan pasien jika berhenti jangan langsung membuka mata dan

berjalan, tetapi duduklah dulu dan beristirahat. Buka pikiran kembali.

Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali.

2.3.2 Focus Terapi Benson

Alasan yang paling umum orang menggunakan terapi benson adalah

untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan/wellness. Wellness

mencakup kesehatan optimum seseorang, baik secara fisik, emosional, mental

dan spiritual.

Fokus terapi benson adalah kesejahteraan yang berhubungan dengan

tubuh, pikiran dan spirit. Terapi benson bertujuan untuk memusatkan perhatian

pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan

menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu..Melegakan stress untuk

penyakit darah tinggi, penyakit jantung, susah hendak tidur,sakit kepala

disebabkan tekanan dan asthma. Membantu orang menjadi rileks, dan dengan

demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik.Membantu

individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia

dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang

menegangkan.

Tujuan terapi benson adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi

batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan

intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

2.3.3 Kategori Terapi Benson

Pelatihan relaksasi Benson cukup efektif untuk memunculkan keadaan

tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat akhirnya membuat

seseorang dapat istirahat dengan tenang. Hal ini terjadi ketika subjek mulai

merebahkan diri dan mengikuti instruksi relaksasi yaitu pada tahap

pengendoran otot dari bagian kepala hingga bagian kaki. Selanjutnya dalam

Page 23: Seminar Departemen Medikal

keadaan relaks mulai untuk memejamkan mata, saat tersebut frekuensi

gelombang otak yang muncul mulai melambat, dan menjadi lebih teratur. Tahap

ini subjek mulai merasakan relaks dan mengikuti secara pasif keadaan relaks

tersebut sehingga menekan rasa tegang dan nyeri (Datak, 2008).

Keuntungan dari relaksasi Benson selain mendapatkan manfaat dari

relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan dari penggunaan keyakinan seperti

menambah keimanan, dan kemungkinan akan mendapatkan

pengalamanpengalaman transendensi. Individu yang mengalami ketegangan

dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada

waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan

demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang, cemas, insomnia, dan nyeri

(Datak, 2008).

2.3.4 Jenis –Jenis Benson

1. Relaksasi Otot

Relaksasi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan

cara melemaskan otot-otot badan memberikan rasa nyaman pada otot otot. Ketika terjadi

setres otot otot pada beberapa bagian tubuh menjadi menegang seperti otot leher,

punggung , lengan.

2. Relaksasi Kesadaran Indra

Dalam kondisi rileks, individu diberi perintah-perintah dan diminta untuk

merasakanpernyataan-pernyataan yang membuat rileks, dengan membayangkan

situasi yangmenciptakan ketenangan.

3. Relaksasi Meditasi

Relaksasi yang memakai ritual keagamaan atau sejenisnya, sebagai sarana

pencarian tempat bersandar demi terjalinnya kedekatan antara hamba dengan Sang

Khalik . Prosedur klasik relaksasi dengan melatih konsentrasi atau perhatian

pada stimulus yang monoton dan berulang, biasanya dilakukan dengan

menutup mata sambil duduk, mengambil posisi yang pasif dan

berkonsentrasi dengan pernafasan yang teratur dan dalam. Ketenangan diri

dan perasaan dalam kesunyian yang tercipta pada waktu meditasi harus

menyisakan suatu kesadaran diri ynag tetap terjaga, meskipun nampaknya

orang yang melakukan meditasi sedang berdiam diri/terlihat pasif dan tidak

bereaksi terhadap lingkungannya.Selain ketiga jenis di atas relaksasi juga

dapat menggunakan media aroma, suara, cita rasa makanan, minuman,

Page 24: Seminar Departemen Medikal

keindahan panorama alam dan air. Semua itu merupakan teknik relaksasi

fisik/tubuh.

2.3.5 Peran Perawat Dalam Terapi Benson

Terapi benson merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan

keperawatan komunitas dalam rangka meningkatkan kesehatan individu,

kelompok dan komunitas (Stoner, 1982 dalam Mulyadi, 2005; Stanhope &

Lancaster, 1996). Pada pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas, peran

perawat komunitas adalah sebagai case manager terutama dalam

mengidentifikasi sumber-sumber yang ada di komunitas, monitoring dan

koordinasi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat serta memberdayakan

masyarakat (community empowerment) menjadi sangat penting.

Keperawatan komunitas adalah suatu bentuk pelayanan profesional

yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan pada

masyarakat dengan penekanan pada kelompok risiko tinggi melalui

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta tidak meninggalkan kuratif

dan rehabilitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah dengan

pengkajian, analisis data dan diagnosis keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan dan evaluasi (Anderson & Mc Farlane, 2000). Salah satu upaya

yang dilakukan adalah mengedepankan terapi komplementer berupa

pemanfaatan ” terapi benson” yang sudah ada, sebagai bagian dari upaya

pelayanan profesional yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok

dalam bentuk promosi dan memelihara kesehatan tanpa mengabaikan kuratif

dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan sebagai

pendekatan pemecahan masalah.

Perawat adalah salah satu pelaku dari terapi benson selain dokter dan

praktisi terapi. Perawat dapat melakukan intervensi mandiri kepada pasien

dalam fungsinya secara holistik dengan memberikan advocate dalam hal

keamanan, kenyamanan dan secara ekonomi kepada pasien. “Dengan

menguasai terapi benson”, akan menjadi nilai tambah bagi seorang perawat

sehingga bisa memajukan profesinya.

Page 25: Seminar Departemen Medikal

BAB III

METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan data pendahuluan pada mini research ini dilakukan pada

bulan Agustus 2014 di ruang Hemodialisa Rumah Sakit Saiful Anwar yang

merupakan pusat Hemodialisa RSSA. Sedangkan Seminar dan Supporting

Group dilakukan pada bulan Oktober 2014. Supporting group dilakukan pada hari

Senin, 20 Oktober 2014 pada pasien HD shift ke 3.

3.2 Prosedur dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dan perawat Hemodialisa

Rumah Sakit Saiful Anwar Malang yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental

sampling. Accidental sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara

mengambil responden secara acak dan tidak sengaja/yang ditemui peneliti pada

saat melakukan mini research (Sugiyono, 2009). Penelitian dilakukan dengan

didampingi perawat sebagai media untuk supporting group antara peneliti

dengan perawat. Untuk pasien yang akan HD ada 5 pasien yang dilakukan

supporting group dengan dikumpulkan di suatu ruangan dan diajarkan teknik

relaksasi benson, sedangkan untuk 5 pasien berikutnya diberikan terapi benson

langsung saat pasien akan dilakukan penusukan. Namun sebelumnya telah

dilakukan pengukuran skala kecemasan dan recall skala nyeri sebelumnya saat

pre HD. Recall ditanyakan pada pengalaman pasien dan juga pengalaman

perawat yang pernah menginsersi pasien tersebut.

3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.3.1 Kriteria Inklusi bagi Pasien yang dapat diterapi Benson

Responden yang tergolong dalam penelitian ini, antara lain:

1. Pasien yang mendapatkan terapi Hemodialisa minimal telah menjalani 3 x

HD.

2. Pasien dan keluarga yang bersedia menjadi responden.

3. Setelah dilakukan pengukuran menggunakan DASS terdapat skala minimal

ringan.

Page 26: Seminar Departemen Medikal

4. Setelah dilakukan recall pengukuran nyeri (kepada pasien dan perawat)

dengan metode skala, didapatkan skor nyeri minimal 3 – 4 (ringan)

3.3.2 Kriteria Eksklusi bagi Pasien yang tidak dapat diterapi Benson

Responden yang tidak tergolong dalam penelitian ini adalah pasien

yang sebelumnya terdapat gangguan jiwa.

Page 27: Seminar Departemen Medikal

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL

Mini research yang dilakukan pada hari Senin, 20 Oktober 2014 didapatkan

hasil sebagai berikut:

4.1.1 Data demografi

1. Jenis kelamin

Tabel 4.1 distribusi responden berdasarkan karakteristik jenis kelamin

(2014) di RSSA Malang (n=10)

Jenis kelamin Frekuensi Persentase

Laki-laki 6 60%

Perempuan 4 40%

Jumlah 10 100%

2. Usia

Tabel 4.2 distribusi responden berdasarkan karakteristik usia (2014) di

RSSA Malang (n=10)

Usia Frekuensi Persentase

Dewasa awal (18-40

tahun)

1 10%

Dewasa tengah (41-60

tahun)

7 60%

Dewasa akhir (>60 tahun) 2 30%

Jumlah 10 100%

Kesimpulan Data Demografi

Responden dalam mini research ini didominasi oleh jenis kelamin laki-

laki yaitu sebesar 60%. Usia responden dalam penelitian ini paling banyak

adalah usia dewasa, yaitu sebesar 70%.

Page 28: Seminar Departemen Medikal

4.1.2 Lama Melakukan Hemodialisa

Berdasarkan hasil mini research, dapat diketahui bahwa responden

yang paling banyak telah menjalani terapi hemodialisa selama kurang lebih 2

tahun sebanyak 5 responden.

Tabel 4.3 lama melakukan hemodialisa

4.1.3 Skor kecemasan

Skor kecemasan diukur dengan menggunakan skala DASS (Depression, Anxiety,

Stress Scale ) dimana DASS ini terdiri dari 42 item pertanyaan yang mencakup 3

subvariabel diantaranya fisik, emosi / psikologis dan perilaku. Tingkatan pada DASS 42 ini

dapat diklasifikasikan sebagai rentang normal (0 – 21), Ringan (21 – 42), Sedang (43 – 69)

dan Berat (> 70)

Nama klien Lama hemodialisa Tingkat kecemasan

Tn. M < 3 tahun Ringan

Tn. W >3 tahun Ringan

Tn. S < 3 tahun Sedang

Tn.W <3 tahun Sedang

Tn. S 3 tahun Ringan

Ny. H < 3 tahun Sedang

Ny. M < 3 tahun Berat

Ny.G >3 tahun Ringan

Ny. T >3 tahun Ringan

Page 29: Seminar Departemen Medikal

Ny. S < 3 tahun Ringan

4.1.4 Skala nyeri

Nama klien Lama hemodialisa

Skala nyeri pada

HD sebelumnya

(sebelum terapi)

Skala nyeri pada

HD saat ini

(sesudah terapi)

Tn. M < 3 tahun 8 5

Tn. W >3 tahun 9 7

Tn. S < 3 tahun 10 8

Tn.W <3 tahun 8 5

Tn. S 3 tahun 6 3

Ny. H < 3 tahun 8 7

Ny. M < 3 tahun 8 7

Ny.G >3 tahun 8 6

Ny. T >3 tahun 5 2

Ny. S < 3 tahun 7 5

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari seluruh responden yang sudah

diberikan terapi benson mengalami penurunan skala nyeri pada waktu insersi HD.

Skala nyeri pasien ketika HD sebelumnya mengalami penurunan setelah diberikan

terapi Benson mengalami penurunan yang significan.

4.2 PEMBAHASAN

Relaksasi Benson adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri dengan

mengalihkan perhatian kepada relaksasi sehingga kesadaran klien terhadap

nyerinya berkurang, relaksasi ini dilakukan dengan cara menggabungkan

relaksasi yang diberikan dengan kepercayaan yang dimiliki klien. Salah satu

masalah yang sering dihadapi oleh pasien gagal ginjal yang menjalani terapi

hemodialisa adalah kecemasan sebelum insersi hemodialisa. Berdasarkan mini

research yang dilakukan pada pasien di ruang hemodialisa RSSA, didapatkan

data bahwa 10 responden dari total pasien shift ke 3 HD mengalami kecemasan

sebelum dilakukannya insersi.

Pada bab ini akan membahas tentang hasil mini research yang dilakukan

pada pasien di ruang hemodialisa RSSA. Adapun pembahasannya mengenai

Page 30: Seminar Departemen Medikal

hubungan antara pemberian terapi benson terhadap nyeri yang dirasakan klien

saat insersi. Didapatkan hasil yaitu 100% responden mengalami penurunan rasa

nyeri setelah mendapat terapi benson. Terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kecemasan seseorang diantaranya adalah faktor psikis dan fisik.

Faktor psikis seperti pelaksanaan dialisa yang harus dilakukan terus–menerus

setiap dua kali dalam seminggu dan keadaan ketergantungan pada mesin dialisa

seumur hidupnya, hal ini memicu kebosanan pada pasien hemodialisa dan

perasaan khawatir terhadap penyakit yang berlangsung lama atau menetap.

Sedangkan faktor fisik yang menyebabkan kecemasan antara lain lingkungan

dan status kesehatan, suasana lingkungan ruangan yang terdapat banyak alat

yang belum dikenal oleh pasien baik bentuk suara, dan banyaknya alat yang

ditempelkan ke tubuh pasien, mengakibatkan pasien merasa takut dan cemas.

Status kesehatan yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien

hemodialisa merupakan keadaan penyakit terminal dan tidak dapat disembuhkan

lagi, hal ini dapat mengakibatkan kecemasan pada individu atau pasien.

Sedangkan pada pasien gagal ginjal yang sudah sering melakukan hemodialisa

tingkat kecemasan lebih ringan, berbeda dengan pasien gagal ginjal yang baru

pertama kali melakukan hemodialisa akan mengalami kecemasan yang lebih

tinggi.

Page 31: Seminar Departemen Medikal

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perawat memegang peran yang vital untuk mengimplementasikan teknik

relaksasi terhadap pasien hemodialisa. Faktor utama yang menentukan tingkat

nyeri klien adalah kecemasan yang dirasakan oleh klien. Langkah sederhana untuk

mengurangi kecemasan adalah dengan melakukan teknik relaksasi benson terapi.

Langkah-langkahnya adalah (1) Memilih kalimat ritual yang akan digunakan (2)

Mempersilahkan pasien mengambil posisi duduk santai/rileks (3) Menganjurkan

pasien menutup mata (4) Mengajurkan pasien mengendurkan otot-otot seluruh

tubuh (5) Menganjurkan pasien bernapas secara alamiah (6) Mulai mengucapkan

kalimat ritual yang dibaca secara berulang-ulang dan khidmat (7) Memberitahukan

pasien bahwa bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran

pada pernapasan dan kata tidur (8) Menganjurkan pasien melakukan tindakan ini

selama 30 menit (9) Mengingatkan pasien jika berhenti jangan langsung membuka

mata dan berjalan, tetapi duduklah dulu dan beristirahat. Buka pikiran kembali.

Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali.

Fokus terapi benson adalah kesejahteraan yang berhubungan dengan

tubuh, pikiran dan spirit. Terapi benson bertujuan untuk memusatkan perhatian

pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat penenang dan

menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Menurunkan stress dan

membantu orang menjadi rileks, dengan demikian dapat memperbaiki berbagai

aspek kesehatan fisik.

5.2 Saran

Saran dalam mini research ini antara lain:

5.2.1 Bagi Instansi Kesehatan

Diharapkan pada tenaga kesehatan untuk dapat memberikan edukasi,

pelatihan serta monitoring terhadap pelaksanaan terapi benson pada pasien

hemodialisa

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi teknik benson terapi

dengan jumlah sampel yang lebih representatif, yang nantinya memberikan

hasil penelitian yang lebih akurat dalam pencegahan kecemasan pasien.

Page 32: Seminar Departemen Medikal

DAFTAR PUSTAKA

1. Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention

2. Classification (NIC) ed5. St Louis: Mosby Elsevier.

3. Corwin, EJ. 2009. BukuSakuPatofisiologied 3. Jakarta: EGC.

4. Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

5. Doenges, Marilyn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:

Penerbit buku kedokteran, EGC.

6. Heather T. 2012. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan

Klasifiksi 2012-2014. Jakarta:EGC

7. Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and

Classifications 2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell.

8. Mitchell, et al. 2008. BukuSakuDasarPatologisPenyakit ed.7. Jakarta: EGC.

9. Morrhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes

Classification (NOC) ed4. St Louis: Mosby Elsevier.

10. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.

Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;

2001.

11. Soeparman A. Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam jilid II ; 1990

12. Williams, SH., Hopper. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing.

Philadelphia: Davis Comp.

13. Kemp & Pillitteri (1984) ,Fundamentals of Nursing, Boston :Little Brown&co

14. Kubler-Ross,E.,(1969) ,On Death and Dying, ,London: Tavistock Publication

15. Kircher & Callanan (2003),Near Death Experiences and DeathAwareness in the

TerminallY

16. Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills.

Basic to Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.

17. Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.

18. Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice,

Ethics and Values.

19. Stanhope, Marcia. 2007. Buku Saku Keperawatan Komunitas : Pengkajian,

Intervensi, dan Penyuluhan / Marcia Stanhope, Ruth N.Knollmueller; alih bahasa,

Renata Komalasari; editor edisi Bahasa Indonesia, Salmiatun, Eka Anisa

Mardella,-Ed.3, Jakarta: EGC.

Page 33: Seminar Departemen Medikal

20. Ariyanto, Koordinator Forkom Alumni Muda Poltekkes Prodi Keperawatan

Semarang, http://alumniakperdepkessmg.wordpress.com/2009/08/09/8/, di akses 7

juni 2011

21. Shaleh Malikkul, Penguasaan Terapi Komplementer Jadi Nilai Tambah Perawat,

http://www.unpad.ac.id/archives/28917, di akses 6 juni 2011

22. Terapi komplementer, http://argitauchiha.blogspot.com/2010/12/terapi-

komplementer.html, di akses 8 juni 2011