Download - Seminar Departemen Medikal
SEMINAR DEPARTEMEN MEDIKAL
PENERAPAN TERAPI BENSON PADA PASIEN PRE HEMODIALISA DI RUANG
HEMODIALISA RUMAH SAKIT dr. SAIFUL ANWAR MALANG
Disusun oleh :
KELOMPOK 12,13,14,15 :
HAPPY PILAS
AVIEF DESTIAN P
VIEOCTA APSARI P
AULIASARI SISKANINGRUM
LIKHNA PERTIWI
SILVY ALVEOLITA
YUNIAR VALENTINA
HENDRA DWI
PRIMA YUSIFA
ROSI ERNA
STEFANI YULITA
YOSEPHA ESTI
MONIKA SINTA
ARINTA NOVIA
JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur
keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam basa denngan cara filtrasi darah,
reabsorbsi selektif air, elektrlit dan nonelektrolit serta menekskresi kelebihannya
sebagai urin. Ginjal juga mengeluarkan produk sisa metabolisme seperti urea,
kreatinin dan asam urat serta zat kimia asing (Parvan et a., 2010). Gagal ginjal
kronis adalah kerusakan progresif gangguan fungsi ginjal yang menyebabkan
gangguan dengan metabolisme cairan tubuh dan elektrolit (Heidarzadeh et al.,
2010). Penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) bersifat ireversibel dan merupakan
disfungsi ginjal progresif (Baraz et al., 2010). Dua puluh tiga persen dari populasi
dunia saat ini menderita gagal ginjal kronis dan setiap tahun meningkat dua kali
(Parvan et a., 2010).
Salah satu masalah yang paling umum di ESRD dan pasien dengan
hemodialisis (HD) adalah rasa sakit kronis (Masajtis- Zagajewska et al., 2011) dan
lebih dari 50% dari semua ESRD pasien menderita sakit (Innis, 2006). Bahkan,
sebagian besar pasien HD menderita nyeri sedang sampai berat dan 54% dari
pasien HD menunjukkan lebih dari satu lokasi nyeri (Masajtis- Zagajewska et al.,
2011). Pasien ESRD mungkin menderita sakit dalam beberapa cara yang unik,
tidak hanya untuk penyakit tetapi juga untuk pengobatan. Standard pengobatan
dan terapi yang dianjurkan adalah transplantasi ginjal, hemodialisis (HD), dan
peritoneal dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal kronis (Ghaffari, 2007).
Metode ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup, meskipun bisa menjadi
sumber stres ( Einollahi et al., 2008). Pasien yang menjalani HD untuk waktu yang
lama akan menderita fisik dan tekanan mental, dan pengalaman perubahan serius
terkait gaya hidup dan kepribadian (Zamanzade et al., 2007).
Meskipun perawatan, seperti HD, dapat memperpanjang harapan hidup,
pasien dengan ESRD berpotensi mengalami perubahan di tingkat aktivitas fisik,
kehilangan pekerjaan, dan gangguan di bidang sosial (Unruh dan Hess, 2007). Ini
akan berdampak negatif pada rencana hidup, status pekerjaan, situasi keuangan,
harga diri, dan tingkat independensi (Niu dan Li, 2005), yang mempengaruhi fisik
pasien, psikologis, dan sosial kesejahteraan (Rambod dan Rafii, 2010). Selain itu,
pasien HD menunjukkan fisik yang lebih rendah terkait QOL jika dibandingkan
dengan populasi umum (Cleary dan Drennan, 2005). Mereka juga mengalami lebih
rendah pada tingkat total kualitas hidup dan kesehatan / fungsi dan keluarga
subskala dari QOL dibandingkan dengan pasien transplantasi (Rambod et al.,
2011).
Dalam 3 dekade terakhir, faktor psikologis telah menarik perhatian lebih
(Ibrahim et al., 2009). Penelitian sebelumnya telah melaporkan beberapa masalah
psikologis seperti ide bunuh diri, depresi, kecemasan, gangguan seksual,
interpersonal masalah, paranoid, keluhan fisik, gangguan kompulsif, psikosis,
agresi, dan fobia; meskipun penelitian ini tidak bulat dalam hal prevalensi, namun
intensitas masalah ini banyak terdapat di antara pasien HD (Kimmel, 2001).
Navidian et al., Melaporkan bahwa 10% dari pasien HD memiliki sejarah gangguan
kejiwaan sementara itu hanya 2,5% pada populasi umum (Navidian et al., 2006).
Stres mengacu pada konsekuensi dari kegagalan seseorang untuk merespon
dengan tepat untuk emosional atau ancaman fisik (Niazi, 2011). Kesehatan mental
secara langsung berhubungan dengan persepsi stres. Koping pantas menurunkan
kualitas hidup dan mengarah ke fisik, mental, ekonomi, sosial, dan masalah
emosional (Mirzaei et al., 2009).
Penelitian baru-baru terfokus tentang teknik nonfarmakologi. Relaksasi
adalah salah satu teknik nonfarmakologi yang paling berguna yang mengurangi
stres yang berdampak pada mental dan kondisi fisik, depresi, suasana hati,
kecemasan, dan self-steam. Teknik relaksasi menyebabkan stabilisasi otot dan
berfungsi sebagai gangguan dari nyeri (Diezemann, 2011). Selain efek terapi
relaksasi pada nyeri, teknik ini telah terbukti untuk meningkatkan kualitas hidup di
varietas kondisi, termasuk asma (Nickel et al., 2006) dan osteoarthritis pada
wanita lanjut usia (Baird dan Sands, 2006). Ini juga telah direkomendasikan
sebagai terapi tambahan untuk kecemasan dengan menyiapkan pasien dengan
perawatan diri mengatasi gejala kecemasan (Pan et al., 2012). Cheung et al.
(2003) telah menunjukkan bahwa penggunaan relaksasi otot secara signifikan
meningkatkan kualitas hidup generik di kelompok intervensi, terutama dalam
domain kesehatan fisik, kesehatan psikologis, masalah sosial, dan lingkungan.
Salah satu teknik relaksasi yang masuk akal dan menarik serta mudah untuk
dipelajari adalah teknik relaksasi Benson. Sejak sebagian besar pasien HD
memerlukan akses vaskular, seperti fistula arteriovenosa dan arteriovenosa graft
untuk HD prosedur, melakukan beberapa latihan dan relaksasi teknik mungkin sulit
bagi pasien HD. Namun, teknik relaksasi Benson dapat lebih baik dan dapat
ditoleransi oleh pasien. Meskipun demikian, sejumlah penelitian telah khusus
dievaluasi untuk teknik relaksasi Benson pada pasien HD (Elali et al., 2012).
Benson (1975) mempresentasikan teknik relaksasi dan dilambangkan bahwa
hal itu bisa membawa respons relaksasi dengan mengurangi aktivitas sistem saraf
otonom (Benson, 1975). Teknik ini telah dilaporkan dapat menurunkan tingkat
kecemasan (Galvin et al., 2006), kecemasan kognitif dan somatik (Kolt et al.,
2002), gangguan suasana hati (Rabin et al., 2009), dan ketidaknyamanan tubuh
(Leon- Pizarro et al., 2007). Hal ini juga meningkatkan perhatian, deklaratif kinerja
memori (Galvin et al., 2006), dan diri kepercayaan (Kolt et al., 2002). Hal ini
menunjukkan bahwa teknik relaksasi Benson dapat meningkatkan kesejahteraan
pasien dalam kondisi kronis, seperti rheumatoid arthritis (Bagheri- Nesami et al.,
2006). Ini berarti bahwa teknik ini mungkin mempengaruhi kehidupan individu dan
kualitas hidup. Namun, belum ada penelitian yang dilakukan terkait efek teknik
relaksasi Benson pada intensitas nyeri dan kualitas hidup dari ESRD pasien HD.
Di Indonesia sendiri penelitian dan pendataan terkait jumlah pasien yang
mengalami gangguan psikis. Jarang sekali penelitian terkait manajemen stress,
cemas dan depresi pada pasien ESRD dan pasien HD. Meskipun pentingnya
pengurangan stres dan kecemasan antara pasien HD, tidak ada bukti untuk
mengevaluasi dampak metode nonfarmakologi terutama relaksasi pada pasien HD
di Indonesia. Dari hasil pengamatan kelompok 12, 13, 14, dan 15 selama di HD
dan dari hasil survey didapatkan bahwa 6 dari 10 responden pasien mengalami
kecemasan dan akhirnya bertambah intensitas pada nyeri saat penusukan.
Sedangkan menurut dari hasil survey pada perawat HD didapatkan bahwa 10 dari
15 perawat yang tersurvey mengatakan bahwa pasien HD selalu mengalami
perubahaan mood saat awal – awal HD dan perubahan tersebut mempengaruhi
pada intensitas nyeri saat dilakukan penusukan. 100% perawat HD juga tidak
mengetahui terkait terapi relaksasi Benson sangat bermanfaat dalam menurunkan
skala nyeri dan perubahan mood pada pasien pre HD. Dengan demikian, seminar
ini bertujuan untuk memberikan edukasi pada perawat agar perawat mengetahui
efektivitas teknik relaksasi Benson dalam mengurangi intensitas nyeri dan
meningkatkan kualitas hidup pada pasien HD.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana teknik relaksasi Benson ?
2. Bagaimanakah teknik relaksasi Benson dapat mempengaruhi penurunan
Depression, Anxiety dan Stress serta Nyeri pada pasien HD ?
3. Bagaimanakah peran perawat dalam menjalan terapi Benson pada pasien
HD ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan teknik relaksasi Benson secara umum
2. Menjelaskan teknik relaksasi Benson dalam mempengaruhi penurunan
Depression, Anxiety dan Stress serta Nyeri pada pasien HD yang disertai
dengan supporting groip
3. Meningkatkan peran perawat dalam menjalan terapi Benson pada pasien HD
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teori
- Dapat digunakan sebagai acuan dalam mengajarkan pasien HD yang
mengalami Depressin, Anxiety dan Stress serta nyeri
- Dapat digunakan sebagai acuan perawat dalam manajemen Depressin,
Anxiety dan Stress serta nyeri
1.4.2 Manfaat Praktis
- Dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk upaya kuratif dan
peningkatan mutu pelayanan kesehatan pada pasien dengan HD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENYAKIT TERMINAL
2.1.1 Definisi Penyakit Treminal
- suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak tidak ada harapan lagi
bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu
penyakit atau suatu kecelakaan.
- suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan
proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995).
- Pasien Terminal adalah : Pasien –psien yang dirawat , yang sudah jelas bahwa
mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin memburuk.
(P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282, 1999 )
- Pendampingan dalam proses kematian adalah Suatu pendampingan dalam
kehidupan , karena mati itu termasuk bagian dari kehidupan . Manusia
dilahirkan , hidup beberapa tahun , dan akhirnya mati. Manusia akan menerima
bahwa itu adalah kehidupan, dan itu memang akan terjadi, kematian adalah
akhir dari kehidupan ( P.J.M. Stevens, dkk, 282,1999 ).
- Penyakit terminal adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada
obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi (Stuard &
Sundeen,1995).
2.1.2 Jenis Penyakit Terminal
1. Diabetes Militus
2. Penyakit Kanker
3. Congestik Renal Falure
4. Stroke.
5. AIDS
6. Gagal Ginjal Kronik
7. Akibat Kecelakaan Fatal
8. penyakit infeksi
2.1.3 Kriteria Penyakit Terminal
1. Penyakit tidak dapat disembuhkan
2. Mengarah pada kematian
3. Diagnose medis sudah jelas
4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakit
5. Prognosis jelek
6. Bersifat progresif
2.1.4 Manifestasi Klinik
Fisik
- Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai dari
ujung kaki dan ujung jari.
- Aktivitas dari GI berkurang.
- Reflek mulai menghilang.
- Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama
pada kaki dan tangan dan ujung-ujung ekstremitas.
- Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
- Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
- Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
- Penglihatan mulai kabur.
- Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
- Klien dapat tidak sadarkan diri.
Psikososial
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber
Ross mempelajari respon-respon atas menerima kematian dan maut secara
mendalam dari hasil penyelidikan/penelitiannya yaitu:
a. Respon kehilangan
1. Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah , ketakutan, cara
tertentu untuk mengatur tangan
2. Cemas diungkapkan dengan cara menggerakan otot rahang dan
kemudian mengendor
3. Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka /
menangis
b. Hubungan dengan orang lain
Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidakmampuan
untuk berhubungan secara interpersnal serta akibat penolakan.
2.1.5 Fase- Fase Menjelang Kematian
1. Denial (Fase Penyangkalan/pengingkaran dan Pengasingan Diri)
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak
dapat menerima informasi ini sebagai kebenaran dan bahkan mungkin
mengingkarinya. Reaksi pertama setelah mendengar, bahwa penyakitnya
diduga tidak dapat disembuhkan lagi adalah, "Tidak, ini tidak mungkin terjadi
dengan saya." Penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan yang biasa
ditemukan pada hampir setiap pasien pada saat pertama mendengar berita
mengejutkan tentang keadaan dirinya. Hampir tak ada orang yang percaya,
bahwa kematiannya sudah dekat, dan mekanisme ini ternyata memang
menolong mereka untuk dapat mengatasi shock khususnya kalau peyangkalan
ini periodik. Normalnya, pasien itu akan memasuki masa-masa pergumulan
antara menyangkal dan menerima kenyataan, sampai ia dapat benar-benar
menerima kenyataan, bahwa kematian memang harus ia hadapi.
2. Anger (Fase Kemarahan)
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia
akan meninggal. Jarang sekali ada pasien yang melakukan penyangkalan terus
menerus. Masanya tiba dimana ia mengakui, bahwa kematian memang sudah
dekat. Tetapi kesadaran ini seringkali disertai dengan munculnya ketakutan dan
kemarahan. "Mengapa ini terjadi dengan diriku?", "Mengapa bukan mereka
yang sudah tua, yang memang hidupnya sudah tidak berguna lagi?"
Kemarahan ini seringkali diekspresikan dalam sikap rewel dan mencari-cari
kesalahan pada pelayanan di rumah sakit atau di rumah. Bahkan kadang-
kadang ditujukan pada orang-orang yang dikasihinya, dokter, pendeta, maupun
Tuhan. Seringkali anggota keluarga menjadi bingung dan tidak mengerti apa
yang harus dilakukan. Umumnya mereka tidak menyadari, bahwa tingkah laku
pasien tidak masuk akal, meskipun normal, sebagai ekspresi dari frustasi yang
dialaminya. Sebenarnya yang dibutuhkan pasien adalah pengertian, bukan
argumentasi-argumentasi dari orang-orang yang tersinggung oleh karena
kemarahannya.
3. Bargaining (Fase Tawar Menawar).
Ini adalah fase di mana pasien akan mulai menawar untuk dapat hidup
sedikit lebih lama lagi atau dikurangi penderitaannya. Mereka bisa menjanjikan
macam-macam hal kepada Tuhan, "Tuhan, kalau Engkau menyatakan kasih-
Mu, dan keajaiban kesembuhan-Mu, maka aku akan mempersembahkan
seluruh hidupku untuk melayaniMu."
4. Depresion (Fase Depresi)
Setelah ternyata penyakitnya makin parah, tibalah fase depresi.
Penderita merasa putus asa melihat masa depannya yang tanpa harapan.
Sebagai orang percaya memang mungkin dia mengerti adanya tempat dan
keadaan yang jauh lebih baik yang telah Tuhan sediakan di surga. Namun,
meskipun demikian perasaan putus asa masih akan dialami.
5. Acceptance (Fase Menerima)
Tidak semua pasien dapat terus menerus bertahan menolak kenyataan
yang ia alami. Pada umumnya, setelah jangka waktu tertentu mereka akan
dapat menerima kenyataan, bahwa kematian sudah dekat, sehingga mereka
mulai kehilangan kegairahan untuk berkomunikasi dan tidak tertarik lagi dengan
berita dan persoalan-persoalan di sekitarnya. Pasien-pasien seperti ini
biasanya membosankan dan mereka seringkali dilupakan oleh teman-teman
dan keluarganya, padahal kebutuhan untuk selalu dekat dengan keluarga pada
saat- saat terakhir justru menjadi sangat besar
2.1.6 Tujuan Perawatan Penyakit Terminal
1. Mempertahankan pasien nyaman dan bebas nyeri
2. Membuat hari-hari akhir pasien sebaik mungkin untuk pasien maupun
keluarga dengan sedikit penderitaan
3. Membantu pasien meninggal dengan damai
4. Memberikan kenyamanan bagi keluarga
5. Menurunkan stress
6. Membantu klien untuk hidup lebih nyaman dan sepenuhnya sampai
meninggal.
7. Membantu keluarga memberi support pada klien
8. Membantu klien dan keluarga untuk menerima perhatian
2.1.7 Penatalaksanaan Penyakit Terminal Sesuai Fase
1. Teknik Komunikasi
Denial, pada tahap ini kita dapat mempergunakan teknik komunikasi:
1) Listening
Dengarkan apa yang diungkapkan klien
2) Sient
Mengkomunikasikan minat perawat pada klien secara non verbal
3) Broad opening
Mengkomunikasikan topik / pikiran yang sedang dipikirkan klien
Angger, pada tahap ini kita dapat mempergunakan tehnik komunikasi:
1) Listening: perawat berusaha dengan sabar mendengar apapun yang
dikatakan klien
2) Bargaining
a. Focusing
b. Bantu klien mengembangkan topik atau hal yang penting
c. Sharing perception
d. Menyampaikan pengertian perawat dan mempunyai kemampuan
untuk meluruskan kerancuan
3) Acceptance
a. Informing
Membantu dalam memberikan penkes tentang aspek yang sesuai
dengan kesejahteraan atau kemandirian klien
b. Broad opening
Komunikasikan kepada klien tentang apa yang dipikirkannya dan
harapan –harapannya
c. Focusing
Membantu klien mendiskusikan hal yang mencapai topik utama dan
menjaga agar tujuan komunikasi tercapai
2. Persiapan Klien
a. Fase Denial
1) Beri keamanan emosional yaitu dengan memberikan sentuhan dan
ciptakan suasana tenang
2) Menganjurkan klien untuk tetap dalam pertahanan dengan tidak
menghindar dari situasi sesungguhnya
3) Perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial
dengan cara mananyakan tentang kondisinya atau prognosisnya dan
pasien dapat mengekspresikan perasaan-perasaannya.
b. Fase Anger
1) Membiarkan klien untuk mengekspresikan keinginan,
menggambarkan apa yang akan dan sedang terjadi pada mereka.
2) Beri perhatian dan lingkungan yang nyaman dan cegah injuri.
3) Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan
perasaannya yang marah. Perawat perlu membantunya agar
mengerti bahwa masih me rupakan hal yang normal dalam merespon
perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih baik bila
kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat
dipercaya, memberikan ras aman dan akan menerima kemarahan
tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien
dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Fase Berganing
1) Ajarkan klien agar dapat membuat keputusan dalam hidupnya yang
bermakna.
2) Dengarkan klien pada saat bercerita tentang hidupnya.
3) Pada fase ini perawat perlu mendengarkan segala keluhannya dan
mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi
rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.
d. Fase Depresi
1) Perlakukan klien dengan sabar, penuh perhatian dan tetap realitas.
2) Kaji pikiran dan perasaan serta persepsi klien jika ada asal
pengertian harusnya diklarifikasi.
3) Pada fase ini perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan
apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi
secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan
mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga
menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Fase Acceptance
1) Bina hubungan saling percaya/ BHSP.
2) Pertahankan hubungan klien dengan orang – orang terdekat.
3) Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada
keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien
telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin
dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya
sendiri sebatas kemampuannya.
2.1.8 Intervensi Dengan Keluarga
a. Bantu keluarga untuk mengenal koping klien dalam melewati fase ini.
b. Bantu keluarga dalam melewati proses kematian, resolusi yang dapat
dilakukan setelah kematian.
2.2 HEMODIALISA
2.2.1 Definisi
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal
stadium terminal (ESRD; end-stage renal diseas) yang membutuhkan terapi
jangka panjang atau terapi permanen. Sehelai membran sintetik yang
semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja
sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya.
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisis akan mencegah
kematian. Namun demikian, hemodialisis tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangya aktivitas
metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak dari gagal ginjal
serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien. Pasien-pasien ini arus menjalani
terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya tiga kali seminggu selama paling
sedikit 3 atau 4 jam per kali terapi), atau sampai mendapat ginjal baru melalui
operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan terapi dialisis yang
kronis kalau terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan mengendalikan gejala uremia. (Brunner & Suddarth, 2001: 1397)
2.2.2 Prinsip-Prinsip Hemodialisis
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang
toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada
hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.
Sebagian besar dialiser merupakan lempengan rata atau ginjal serat
artifisial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus yang bekerja
sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati tubulus tersebut
sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya. Pertukaran limbah dari
darah ke dalam cairan dialisir akan terjadi melalui membran semipermeabel
tubulus.
Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu:
a. Difusi
Adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam
darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat
b. Osmosis
Adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan
osmolitas dan dialisat
c. Ultrafiltrasi
Adalah proses berpindahnya zar dan ait karena perbedaan hidrostatik di
dalam darah dan dialisat
Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi
jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien didialiser dan
rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi
berbagai komplikasi yang dpaat terjadi (misal emboli udara, ultrafiltrasi tidak
cukup kuat atau berlebihan, perembesan darah, kontaminasi dan fistula)
Darah dalam pipa arteri dipompa dalam dialiser yang didalamnya
mengalir darah melalui tabung-tabung selodan yang bekera sebagai membran
permeabel. Larutan dialisat yang memiliki kinoisusu kimiawi yang lama seperti
darah kecuali ureum dan produk limbah mengalir di sekeliling tubulus. Produk
limbah dalam darah berdifusi melalui membran semipermeabel ke dalam
larutan dialisat.
2.2.3 Indikasi
Pemeliharaan dibutuhkan pada gagal ginjal kronis (penyakit ginjal stadium
terminal) dalam keadaan berikut :
terjadi tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh (mual,
muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental), kadar serum
yang meningkat muatan cairan berlebih yang tidak responsive terhadap
terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan penurunan status kesehatan
yang umum, disamping itu terdengarnya suara gesekan pericardium
(pericardial friction rub). (Brunner & Suddarth, 2001 : 1397)
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada perempuan,
dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005 : 971)
2.2.4 Kontraindikasi
Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi. Cairan
dialisis pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang
terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga
kemungkinan penderita akan meninggal.
2.2.5 Prosedur
Persiapan akses pasien dan kanula.
Berikan heparin (jika tidak ada kontraindikasi).
Masukkan heparin saat darah mengalir melalui dialiser semipermeabel
dengan satu arah dan cairan dialisis mengitari membran dan mengalir pada
sisi yang berlawanan.
Cairan dialisis harus mengandung air yang bebas dari sodium, potassium,
kalsium, magnesium, klorida, dan dekstrosa setelah ditambahkan.
Melalui proses difusi, elektrolik, sampah metabolik, dan komponen asam-
basa dapat dihilangkan atau ditambahkan ke dalam darah.
Penambahan air dihilangkan dari darah (ultrafiltrasi).
Darah kemudian kembali ke tubuh melalui akses pasien.
(Nursalam, 2006: 31)
2.2.6 Perlengkapan Hemodialisis
a) Dialiser atau Ginjal Buatan
Komponen ini terdiri dari membran dialiser yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat. Dialiser bervariasi dalam ukuran, struktur
fisik dan tipe membran yang digunakan untuk membentuk kompartemen
darah. Semua factor ini menentukan potensi efisiensi dialiser, yang mengacu
pada kemampuannya untuk membuang air (ultrafiltrasi) dan produk-produk
sisa (klirens).
b) Dialisat atau Cairan dialysis
Dialisat atau “bath” adalah cairan yang terdiri atas air dan elektrolit
utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam system bersih dengan air
keran dan bahan kimia disaring. Bukan merupakan system yang steril,
karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial
terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk
sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran
permeable yang besar, air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis.
Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersial. Bath standar
umumnya digunakan pada unit kronis, namun dapat dibuat variasinya untuk
memenuhi kebutuhan pasien tertentu.
c) Sistem Pemberian Dialisat
Unit pemberian tunggal memberikan dialisat untuk satu pasien:
system pemberian multiple dapat memasok sedikitnya untuk 20 unit pasien.
Pada kedua system, suatu alat pembagian proporsi otomatis dan alat
pengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-
air.
d) Asesori Peralatan
Piranti keras yang digunakan pada kebanyakan system dialysis
meliputi pompa darah, pompa infus untuk pemberian heparin, alat monitor
untuk pendeteksi suhu tubuh bila terjadi ketidakamanan, konsentrasi dialisat,
perubahan tekanan, udaara, dan kebocoran darah.
e) Komponen manusia
f) Pengkajian dan penatalaksanaan
2.2.7 Akses Vaskular Hemodialisis
Untuk melakukan hemodialisis intermiten jangka panjang, maka perlu
ada jalan masuk ke dalam sistem vascular penderita. Darah harus keluar dan
masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400 ml/menit. Teknik
akses vaskular diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Akses Vaskuler Eksternal (sementara)
Pirau arteriovenosa (AV) atau sistem kanula diciptakan dengan
menempatkan ujung kanula dari teflon dalam arteri dan sebuah vena
yang berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang karet
silikon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau
Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut bila
diperlukan akses vaskular sementara, atau bila teknik akses vaskuler
lain tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter dialisis femoralis.
Kateter saldon adalah kateter berlumen tunggal yang memerlukan
akses kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih baru memiliki lumen
ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah menuju alat dialisis dan
satu lagi untuk mengembalikan darah ke tubuh penderita. Komplikasi
pada kateter vena femoralis adalah laserasi arteriafemoralis,
perdarahan, thrombosis, emboli, hematoma, dan infeksi.
Kateter vena subklavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses
vaskular karena pemasangan yang mudah dan komplikasinya lebih
sedikit dibanding kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia
mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter vena
subklavia dapat digunakan sampai empat minggu sedangkan kateter
vena femoralis dibuang setelah satu sampai dua hari setelah
pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena
subklavia serupa dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk
pneumotoraks robeknya arteriasubklavia, perdarahan, thrombosis,
embolus, hematoma, dan infeksi.
b) Akses Vaskular Internal (permanen)
Fistula AV dibuat melalui anastomosis arteri secara langsung ke vena
pada lengan yang tidak dominan (biasanya arteria radialis dan vena
sefalika pergelangan tangan). Umur fistula AV adalah empat tahun dan
komplikasinya lebih sedikit dengan pirau AV. Masalah yang paling
utama adalah nyeri pada pungsi vena terbentuknya aneurisma,
trombosis, kesulitan hemostatis pascadialisis, dan iskemia pada tangan.
Tandur AV dibuat ketika pasien dimungkinkan karena adanya penyakit,
kerusakan akibat prosedur sebelumnya, dan ukurannya kecil maka
tandur AV dapat di anastomosiskan antara arteri dan vena (biasanya
pada lengan). Di mana, tandur ini bekerja sebagai saluran bagi aliran
darah dan tempat penusukan jarum selama dialisis. Komplikasi tandur
AV sama dengan fistula AV.trombosis, infeksi, aneurisma dan iskemia
tangan yang disebabkan oleh pirau darah melalui prosthesis dan jauh
dari sirkulasi distal. (Sylvia, 2005: 975)
2.2.8 Metode Akses Vaskular
Fistula arterivena (AVF), hubungan vaskuler melalui vena langsung ke ateri:
Biasanya, arteri radial dan vena cephalika yang terletak pada lengan non
dominal, pembuluh darah pada lengan atas dapat digunakan.
Sesudah prosedur, system vena supervisial lengan dilatasi.
Dengan menggunakan dua jarum berlubang besar, masukkan ke dalam
system vena dilatasi dan darah akan mengalir melalui dialiser. Ujung arteri
digunakan sebagai aliran arteri dan ujung distal diinfuskan kembali ke darah
dialysis.
Graf-pemhubung arteri vena mengandung graf selang yang terbuat dari
vena savenous autologus atau dari politetrafluoroethyline (PTEE).
Kanula tetap vena pusat (CVC) langsung dari vena (subklavikula, jugular
interna atau femoral).
(Nursalam, 2006: 31)
2.2.9 Pemantauan Selama Hemodialisis
a) Monitor status hemodinamik, elektrolik, dan keseimbangan asam-basa,
demikian juga sterilisasi dan sistem tertutup.
b) Biasanya dilakukan oleh perawat yang terlatih dan familiar dengan protokol
dan peralatan yang digunakan. (Nursalam, 2006:32)
2.3.0 Pemantauan Setelah Hemodialisis
a) Berat badan pasien ditimbang.
b) TTV diperiksa.
c) Spesimen darah diambil untuk mengetahui kadar elektrolit serum dan zat
sisa tubuh.
(Baradero, 2008: 136)
2.3.1 Penatalaksanaan Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Jangka-Panjang
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien
yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal
yang rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi
yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja
sebagai racun atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut
secara kolektif dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap
sistem tubuh. Lebih banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang
timbul. Diet rend protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan
dengan demikian meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi
dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan
demikian, pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk
pasien ini.
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan
dengan pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai
biologis yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah
penggunaan protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen
yang positif. Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur,
daging, susu dan ikan.
Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan
merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak
disukai bagi banyak penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan
minuman merupakan aspek penting dalam sosialisasi, pasien sering merasa
disingkirkan ketika berada bersama orang-orang lain karena hanya ada
beberapa pilihan makanan saja yang tersedia baginya. Jika pembatasan ini
dibiasakan, komplikasi yang dapat membawa kematian seperti hiperkalemia
dan edema paru dapat terjadi.
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya
atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat
glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan
ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan
dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik.
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh
karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang
terikat dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran
metabolit obat yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya.
Apabila seorang pasien menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus
dievaluasi dengan cermat. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan
kapan menundanya. Sebagai contoh, jika obat antihipertensi diminum pada hari
yang sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi
selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya.
2.3.2 Komplikasi
Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani
hemodialisis kronis adalah penyakit kardiovaskuler arteriosklerotik. Gangguan
metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan
tindakan hemodialisis. Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta
nyeri angina pektoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi
serta membuat pasien tidak berdaya. Anemia dan rasa letih dapat
menyebabkan penurunan kesehatan fisik serta mental, berkrangnya tenaga
serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Ulkus lambung dan masalah
gastrointestinal lainnya terjadi akibat stres fisiologik yang disebabkan oleh sakit
yang kronis, obat-obatan dan berbagai masalah yang berhubungan. Gangguan
metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistrofirenal yang menyebabkan
nyeri tulang dan fraktur. Masalah lain mencakup kelebihan muatan cairan yang
berhubungan dengan gagal jantung kongestif, malnutrisi, infeksi, neuropati dan
pruritus.
Komplikasi terhadap dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
a. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.
b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi
jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk-akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan
terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
2.3.3 Pendidikan Pasien
Hal-hal penting dalam program pengajaran mencakup:
a. Rasional dan tujuan terapi dialisis
b. Hubungan antara obat-obat yang diresepkan dan dialisis
c. Efek samping obat dan pedoman kapan harus memberitahukan dokter
mengenai efek samping tersebut
d. Perawatan akses vaskuler: pencegahan, pendeteksian dan
penatalaksanaan komplikasi yang berkaitan dengan akses vaskuler
e. Dasar pemikiran untuk diet dan pembatasan cairan: konsekuensi akibat
kegagalan dalam mematuhi pembatasan ini
f. Pedoman pencegahan dan pendeteksian kelebihan muatan cairan
g. Strategi untuk pendeteksian, penatalaksanaan dan pengurangan gejala
pruritus, neuropati serta gejala-gejala lainnya.
h. Penatalaksanaan komplikasi dialisis yang lain dan efek samping terapi
(dialisis, diet yang membatasi, obat-obatan)
i. Pengaturan finansial untuk dialisis: strategi untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber-sumber.
j. Strategi untuk mempertahankan kemandirian dan mengatasi kecemasan
anggota keluarga.
2.3 TERAPI BENSON
2.3.1 Definisi Terapi Benson
Relaksasi Benson yaitu suatu tehnik pengobatan untuk menghilangkan
nyeri, insomnia (tidak bisa tidur) atau kecemasan. Cara pengobatan ini
merupakan bagian pengobatan spiritual. Pada tehnik ini pengobatan sangat
fleksibel dapat dilakukan dengan bimbingan mentor, bersama-sama atau
sendiri. Tehnik ini merupakan upaya untuk memusatkan perhatian pada suatu
fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan menghilangkan
berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik pengobatan ini dapat dilakukan
setengah jam dua kali sehari
Relaksasi Benson adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri
dengan mengalihkan perhatian kepada relaksasi sehingga kesadaran klien
terhadap nyeri-nya berkurang, relaksasi ini dilakukan dengan cara
menggabungkan relaksasi yang diberikan dengan kepercayaan yang dimiliki
klien.
Relaksasi adalah suatu prosedur untuk membantu individu berhadapan pada situasi
yang penuh stress. Respon relaksasi adalah salah satu teknik meditasi sederhana untuk
mengatasi tekanan dan meraih ketenangan hidup Tehnik ini merupakan upaya untuk
memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang
kalimat ritual dan menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Tehnik
ini dilakukan dengan bantuan mentor satu pasien satu mentor, dilakukan
setengah jam dua kali sehari. Langkah-langkah tindakan dilakukan sebagai
berikut:
1. Memilih kalimat ritual yang akan digunakan.
2. Mempersilahkan pasien mengambil posisi duduk santai/rileks.
3. Menganjurkan pasien menutup mata.
4. Mengajurkan pasien mengendurkan otot-otot seluruh tubuh
5. Menganjurkan pasien bernapas secara alamiah. Mulai mengucapkan
kalimat ritual yang dibaca secara berulang-ulang dan khidmat.
6. Memberitahukan pasien bahwa bila ada pikiran yang mengganggu,
kembalilah fokuskan pikiran pada pernapasan dan kata tidur.
7. Menganjurkan pasien melakukan tindakan ini selama 30 menit.
8. Mengingatkan pasien jika berhenti jangan langsung membuka mata dan
berjalan, tetapi duduklah dulu dan beristirahat. Buka pikiran kembali.
Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali.
2.3.2 Focus Terapi Benson
Alasan yang paling umum orang menggunakan terapi benson adalah
untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan/wellness. Wellness
mencakup kesehatan optimum seseorang, baik secara fisik, emosional, mental
dan spiritual.
Fokus terapi benson adalah kesejahteraan yang berhubungan dengan
tubuh, pikiran dan spirit. Terapi benson bertujuan untuk memusatkan perhatian
pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat ritual dan
menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu..Melegakan stress untuk
penyakit darah tinggi, penyakit jantung, susah hendak tidur,sakit kepala
disebabkan tekanan dan asthma. Membantu orang menjadi rileks, dan dengan
demikian dapat memperbaiki berbagai aspek kesehatan fisik.Membantu
individu untuk dapat mengontrol diri dan memfokuskan perhatian sehingga ia
dapat mengambil respon yang tepat saat berada dalam situasi yang
menegangkan.
Tujuan terapi benson adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,
memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi
batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan
intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
2.3.3 Kategori Terapi Benson
Pelatihan relaksasi Benson cukup efektif untuk memunculkan keadaan
tenang dan relaks dimana gelombang otak mulai melambat akhirnya membuat
seseorang dapat istirahat dengan tenang. Hal ini terjadi ketika subjek mulai
merebahkan diri dan mengikuti instruksi relaksasi yaitu pada tahap
pengendoran otot dari bagian kepala hingga bagian kaki. Selanjutnya dalam
keadaan relaks mulai untuk memejamkan mata, saat tersebut frekuensi
gelombang otak yang muncul mulai melambat, dan menjadi lebih teratur. Tahap
ini subjek mulai merasakan relaks dan mengikuti secara pasif keadaan relaks
tersebut sehingga menekan rasa tegang dan nyeri (Datak, 2008).
Keuntungan dari relaksasi Benson selain mendapatkan manfaat dari
relaksasi juga mendapatkan kemanfaatan dari penggunaan keyakinan seperti
menambah keimanan, dan kemungkinan akan mendapatkan
pengalamanpengalaman transendensi. Individu yang mengalami ketegangan
dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis, sedangkan pada
waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan
demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang, cemas, insomnia, dan nyeri
(Datak, 2008).
2.3.4 Jenis –Jenis Benson
1. Relaksasi Otot
Relaksasi ini bertujuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan dengan
cara melemaskan otot-otot badan memberikan rasa nyaman pada otot otot. Ketika terjadi
setres otot otot pada beberapa bagian tubuh menjadi menegang seperti otot leher,
punggung , lengan.
2. Relaksasi Kesadaran Indra
Dalam kondisi rileks, individu diberi perintah-perintah dan diminta untuk
merasakanpernyataan-pernyataan yang membuat rileks, dengan membayangkan
situasi yangmenciptakan ketenangan.
3. Relaksasi Meditasi
Relaksasi yang memakai ritual keagamaan atau sejenisnya, sebagai sarana
pencarian tempat bersandar demi terjalinnya kedekatan antara hamba dengan Sang
Khalik . Prosedur klasik relaksasi dengan melatih konsentrasi atau perhatian
pada stimulus yang monoton dan berulang, biasanya dilakukan dengan
menutup mata sambil duduk, mengambil posisi yang pasif dan
berkonsentrasi dengan pernafasan yang teratur dan dalam. Ketenangan diri
dan perasaan dalam kesunyian yang tercipta pada waktu meditasi harus
menyisakan suatu kesadaran diri ynag tetap terjaga, meskipun nampaknya
orang yang melakukan meditasi sedang berdiam diri/terlihat pasif dan tidak
bereaksi terhadap lingkungannya.Selain ketiga jenis di atas relaksasi juga
dapat menggunakan media aroma, suara, cita rasa makanan, minuman,
keindahan panorama alam dan air. Semua itu merupakan teknik relaksasi
fisik/tubuh.
2.3.5 Peran Perawat Dalam Terapi Benson
Terapi benson merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan
keperawatan komunitas dalam rangka meningkatkan kesehatan individu,
kelompok dan komunitas (Stoner, 1982 dalam Mulyadi, 2005; Stanhope &
Lancaster, 1996). Pada pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas, peran
perawat komunitas adalah sebagai case manager terutama dalam
mengidentifikasi sumber-sumber yang ada di komunitas, monitoring dan
koordinasi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat serta memberdayakan
masyarakat (community empowerment) menjadi sangat penting.
Keperawatan komunitas adalah suatu bentuk pelayanan profesional
yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan yang ditujukan pada
masyarakat dengan penekanan pada kelompok risiko tinggi melalui
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta tidak meninggalkan kuratif
dan rehabilitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah dengan
pengkajian, analisis data dan diagnosis keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi (Anderson & Mc Farlane, 2000). Salah satu upaya
yang dilakukan adalah mengedepankan terapi komplementer berupa
pemanfaatan ” terapi benson” yang sudah ada, sebagai bagian dari upaya
pelayanan profesional yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok
dalam bentuk promosi dan memelihara kesehatan tanpa mengabaikan kuratif
dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan sebagai
pendekatan pemecahan masalah.
Perawat adalah salah satu pelaku dari terapi benson selain dokter dan
praktisi terapi. Perawat dapat melakukan intervensi mandiri kepada pasien
dalam fungsinya secara holistik dengan memberikan advocate dalam hal
keamanan, kenyamanan dan secara ekonomi kepada pasien. “Dengan
menguasai terapi benson”, akan menjadi nilai tambah bagi seorang perawat
sehingga bisa memajukan profesinya.
BAB III
METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Pengambilan data pendahuluan pada mini research ini dilakukan pada
bulan Agustus 2014 di ruang Hemodialisa Rumah Sakit Saiful Anwar yang
merupakan pusat Hemodialisa RSSA. Sedangkan Seminar dan Supporting
Group dilakukan pada bulan Oktober 2014. Supporting group dilakukan pada hari
Senin, 20 Oktober 2014 pada pasien HD shift ke 3.
3.2 Prosedur dan Teknik Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dan perawat Hemodialisa
Rumah Sakit Saiful Anwar Malang yang memenuhi kriteria inklusi. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental
sampling. Accidental sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara
mengambil responden secara acak dan tidak sengaja/yang ditemui peneliti pada
saat melakukan mini research (Sugiyono, 2009). Penelitian dilakukan dengan
didampingi perawat sebagai media untuk supporting group antara peneliti
dengan perawat. Untuk pasien yang akan HD ada 5 pasien yang dilakukan
supporting group dengan dikumpulkan di suatu ruangan dan diajarkan teknik
relaksasi benson, sedangkan untuk 5 pasien berikutnya diberikan terapi benson
langsung saat pasien akan dilakukan penusukan. Namun sebelumnya telah
dilakukan pengukuran skala kecemasan dan recall skala nyeri sebelumnya saat
pre HD. Recall ditanyakan pada pengalaman pasien dan juga pengalaman
perawat yang pernah menginsersi pasien tersebut.
3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.3.1 Kriteria Inklusi bagi Pasien yang dapat diterapi Benson
Responden yang tergolong dalam penelitian ini, antara lain:
1. Pasien yang mendapatkan terapi Hemodialisa minimal telah menjalani 3 x
HD.
2. Pasien dan keluarga yang bersedia menjadi responden.
3. Setelah dilakukan pengukuran menggunakan DASS terdapat skala minimal
ringan.
4. Setelah dilakukan recall pengukuran nyeri (kepada pasien dan perawat)
dengan metode skala, didapatkan skor nyeri minimal 3 – 4 (ringan)
3.3.2 Kriteria Eksklusi bagi Pasien yang tidak dapat diterapi Benson
Responden yang tidak tergolong dalam penelitian ini adalah pasien
yang sebelumnya terdapat gangguan jiwa.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
Mini research yang dilakukan pada hari Senin, 20 Oktober 2014 didapatkan
hasil sebagai berikut:
4.1.1 Data demografi
1. Jenis kelamin
Tabel 4.1 distribusi responden berdasarkan karakteristik jenis kelamin
(2014) di RSSA Malang (n=10)
Jenis kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 6 60%
Perempuan 4 40%
Jumlah 10 100%
2. Usia
Tabel 4.2 distribusi responden berdasarkan karakteristik usia (2014) di
RSSA Malang (n=10)
Usia Frekuensi Persentase
Dewasa awal (18-40
tahun)
1 10%
Dewasa tengah (41-60
tahun)
7 60%
Dewasa akhir (>60 tahun) 2 30%
Jumlah 10 100%
Kesimpulan Data Demografi
Responden dalam mini research ini didominasi oleh jenis kelamin laki-
laki yaitu sebesar 60%. Usia responden dalam penelitian ini paling banyak
adalah usia dewasa, yaitu sebesar 70%.
4.1.2 Lama Melakukan Hemodialisa
Berdasarkan hasil mini research, dapat diketahui bahwa responden
yang paling banyak telah menjalani terapi hemodialisa selama kurang lebih 2
tahun sebanyak 5 responden.
Tabel 4.3 lama melakukan hemodialisa
4.1.3 Skor kecemasan
Skor kecemasan diukur dengan menggunakan skala DASS (Depression, Anxiety,
Stress Scale ) dimana DASS ini terdiri dari 42 item pertanyaan yang mencakup 3
subvariabel diantaranya fisik, emosi / psikologis dan perilaku. Tingkatan pada DASS 42 ini
dapat diklasifikasikan sebagai rentang normal (0 – 21), Ringan (21 – 42), Sedang (43 – 69)
dan Berat (> 70)
Nama klien Lama hemodialisa Tingkat kecemasan
Tn. M < 3 tahun Ringan
Tn. W >3 tahun Ringan
Tn. S < 3 tahun Sedang
Tn.W <3 tahun Sedang
Tn. S 3 tahun Ringan
Ny. H < 3 tahun Sedang
Ny. M < 3 tahun Berat
Ny.G >3 tahun Ringan
Ny. T >3 tahun Ringan
Ny. S < 3 tahun Ringan
4.1.4 Skala nyeri
Nama klien Lama hemodialisa
Skala nyeri pada
HD sebelumnya
(sebelum terapi)
Skala nyeri pada
HD saat ini
(sesudah terapi)
Tn. M < 3 tahun 8 5
Tn. W >3 tahun 9 7
Tn. S < 3 tahun 10 8
Tn.W <3 tahun 8 5
Tn. S 3 tahun 6 3
Ny. H < 3 tahun 8 7
Ny. M < 3 tahun 8 7
Ny.G >3 tahun 8 6
Ny. T >3 tahun 5 2
Ny. S < 3 tahun 7 5
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa dari seluruh responden yang sudah
diberikan terapi benson mengalami penurunan skala nyeri pada waktu insersi HD.
Skala nyeri pasien ketika HD sebelumnya mengalami penurunan setelah diberikan
terapi Benson mengalami penurunan yang significan.
4.2 PEMBAHASAN
Relaksasi Benson adalah salah satu cara untuk mengurangi nyeri dengan
mengalihkan perhatian kepada relaksasi sehingga kesadaran klien terhadap
nyerinya berkurang, relaksasi ini dilakukan dengan cara menggabungkan
relaksasi yang diberikan dengan kepercayaan yang dimiliki klien. Salah satu
masalah yang sering dihadapi oleh pasien gagal ginjal yang menjalani terapi
hemodialisa adalah kecemasan sebelum insersi hemodialisa. Berdasarkan mini
research yang dilakukan pada pasien di ruang hemodialisa RSSA, didapatkan
data bahwa 10 responden dari total pasien shift ke 3 HD mengalami kecemasan
sebelum dilakukannya insersi.
Pada bab ini akan membahas tentang hasil mini research yang dilakukan
pada pasien di ruang hemodialisa RSSA. Adapun pembahasannya mengenai
hubungan antara pemberian terapi benson terhadap nyeri yang dirasakan klien
saat insersi. Didapatkan hasil yaitu 100% responden mengalami penurunan rasa
nyeri setelah mendapat terapi benson. Terdapat beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kecemasan seseorang diantaranya adalah faktor psikis dan fisik.
Faktor psikis seperti pelaksanaan dialisa yang harus dilakukan terus–menerus
setiap dua kali dalam seminggu dan keadaan ketergantungan pada mesin dialisa
seumur hidupnya, hal ini memicu kebosanan pada pasien hemodialisa dan
perasaan khawatir terhadap penyakit yang berlangsung lama atau menetap.
Sedangkan faktor fisik yang menyebabkan kecemasan antara lain lingkungan
dan status kesehatan, suasana lingkungan ruangan yang terdapat banyak alat
yang belum dikenal oleh pasien baik bentuk suara, dan banyaknya alat yang
ditempelkan ke tubuh pasien, mengakibatkan pasien merasa takut dan cemas.
Status kesehatan yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien
hemodialisa merupakan keadaan penyakit terminal dan tidak dapat disembuhkan
lagi, hal ini dapat mengakibatkan kecemasan pada individu atau pasien.
Sedangkan pada pasien gagal ginjal yang sudah sering melakukan hemodialisa
tingkat kecemasan lebih ringan, berbeda dengan pasien gagal ginjal yang baru
pertama kali melakukan hemodialisa akan mengalami kecemasan yang lebih
tinggi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Perawat memegang peran yang vital untuk mengimplementasikan teknik
relaksasi terhadap pasien hemodialisa. Faktor utama yang menentukan tingkat
nyeri klien adalah kecemasan yang dirasakan oleh klien. Langkah sederhana untuk
mengurangi kecemasan adalah dengan melakukan teknik relaksasi benson terapi.
Langkah-langkahnya adalah (1) Memilih kalimat ritual yang akan digunakan (2)
Mempersilahkan pasien mengambil posisi duduk santai/rileks (3) Menganjurkan
pasien menutup mata (4) Mengajurkan pasien mengendurkan otot-otot seluruh
tubuh (5) Menganjurkan pasien bernapas secara alamiah (6) Mulai mengucapkan
kalimat ritual yang dibaca secara berulang-ulang dan khidmat (7) Memberitahukan
pasien bahwa bila ada pikiran yang mengganggu, kembalilah fokuskan pikiran
pada pernapasan dan kata tidur (8) Menganjurkan pasien melakukan tindakan ini
selama 30 menit (9) Mengingatkan pasien jika berhenti jangan langsung membuka
mata dan berjalan, tetapi duduklah dulu dan beristirahat. Buka pikiran kembali.
Barulah berdiri dan melakukan kegiatan kembali.
Fokus terapi benson adalah kesejahteraan yang berhubungan dengan
tubuh, pikiran dan spirit. Terapi benson bertujuan untuk memusatkan perhatian
pada suatu fokus dengan menyebut berulang-ulang kalimat penenang dan
menghilangkan berbagai pikiran yang mengganggu. Menurunkan stress dan
membantu orang menjadi rileks, dengan demikian dapat memperbaiki berbagai
aspek kesehatan fisik.
5.2 Saran
Saran dalam mini research ini antara lain:
5.2.1 Bagi Instansi Kesehatan
Diharapkan pada tenaga kesehatan untuk dapat memberikan edukasi,
pelatihan serta monitoring terhadap pelaksanaan terapi benson pada pasien
hemodialisa
5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi teknik benson terapi
dengan jumlah sampel yang lebih representatif, yang nantinya memberikan
hasil penelitian yang lebih akurat dalam pencegahan kecemasan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bulechek GM, Butcher HW, Dochterman JM. 2008. Nursing Intervention
2. Classification (NIC) ed5. St Louis: Mosby Elsevier.
3. Corwin, EJ. 2009. BukuSakuPatofisiologied 3. Jakarta: EGC.
4. Davey, P. 2005. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.
5. Doenges, Marilyn E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran, EGC.
6. Heather T. 2012. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifiksi 2012-2014. Jakarta:EGC
7. Herdman H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions and
Classifications 2012-2014. Oxford: Wiley Blacwell.
8. Mitchell, et al. 2008. BukuSakuDasarPatologisPenyakit ed.7. Jakarta: EGC.
9. Morrhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2008. Nursing Outcomes
Classification (NOC) ed4. St Louis: Mosby Elsevier.
10. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2001.
11. Soeparman A. Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam jilid II ; 1990
12. Williams, SH., Hopper. 2003. Understanding Medical Surgical Nursing.
Philadelphia: Davis Comp.
13. Kemp & Pillitteri (1984) ,Fundamentals of Nursing, Boston :Little Brown&co
14. Kubler-Ross,E.,(1969) ,On Death and Dying, ,London: Tavistock Publication
15. Kircher & Callanan (2003),Near Death Experiences and DeathAwareness in the
TerminallY
16. Smith, Sandra F, Smith Donna J with Barbara C Martin. Clinical Nursing Skills.
Basic to Advanced Skills, Fourth Ed, 1996. Appleton&Lange, USA.
17. Craven, Ruth F. Fundamentals of nursing : human healt and function.
18. Kozier, B. (1995). Fundamentals of nursing : Concept Procees and Practice,
Ethics and Values.
19. Stanhope, Marcia. 2007. Buku Saku Keperawatan Komunitas : Pengkajian,
Intervensi, dan Penyuluhan / Marcia Stanhope, Ruth N.Knollmueller; alih bahasa,
Renata Komalasari; editor edisi Bahasa Indonesia, Salmiatun, Eka Anisa
Mardella,-Ed.3, Jakarta: EGC.
20. Ariyanto, Koordinator Forkom Alumni Muda Poltekkes Prodi Keperawatan
Semarang, http://alumniakperdepkessmg.wordpress.com/2009/08/09/8/, di akses 7
juni 2011
21. Shaleh Malikkul, Penguasaan Terapi Komplementer Jadi Nilai Tambah Perawat,
http://www.unpad.ac.id/archives/28917, di akses 6 juni 2011
22. Terapi komplementer, http://argitauchiha.blogspot.com/2010/12/terapi-
komplementer.html, di akses 8 juni 2011