sejarah seni grafis

25
Sejarah Seni Grafis SEJARAH SENI GRAFIS Sejarah Seni Grafis : Pada mulanya seni grafis mulai berkembang di negara Cina. pada negara tersebut seni grafis digunakan untuk menggandakan tulisan-tulisan keagamaan. Naskah-naskah tersebut ditatah atau diukir di atas bidang kayu dan di cetak di atas kertas. Cina menemukan kertas dan memproduksinya secara massal di tahun 105. pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Dinasti Yi. Karya-karya seni grafis dengan media kayu (cukilan kayu) ditemukan di negara-negara Asia yang memiliki kultur tua dan kuat seperti Cina, Jepang, dan Korea. Bangsa romawi pun telah mengenal tekhnik cetak ini yang digunakan untuk menghias jubah- jubah dengan cetak stempel. Teknik cetak ini kurang berkembang karena bangsa Eropa tidak mengenal kertas. Teknik grafis di Eropa baru berkembang di abad ke - 13, dengan ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg dan didirikannya pabrik kertas pertama di Italia.

Upload: heilrawk

Post on 24-Oct-2015

1.972 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

sejarah seni grafis di indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Seni Grafis

Sejarah Seni Grafis

SEJARAH SENI GRAFIS

Sejarah Seni Grafis :

              Pada mulanya seni grafis mulai berkembang di negara Cina. pada

negara tersebut seni grafis digunakan untuk menggandakan tulisan-tulisan

keagamaan. Naskah-naskah tersebut ditatah atau diukir di atas bidang kayu dan

di cetak di atas kertas. Cina menemukan kertas dan memproduksinya secara

massal di tahun 105. pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Dinasti Yi.

              Karya-karya seni grafis dengan media kayu (cukilan kayu) ditemukan di

negara-negara Asia yang memiliki kultur tua dan kuat seperti Cina, Jepang, dan

Korea. Bangsa romawi pun telah mengenal tekhnik cetak ini yang digunakan

untuk menghias jubah-jubah dengan cetak stempel. Teknik cetak ini kurang

berkembang karena bangsa Eropa tidak mengenal kertas. Teknik grafis di Eropa

baru berkembang di abad ke - 13, dengan ditemukannya mesin cetak oleh

Guttenberg dan didirikannya pabrik kertas pertama di Italia. Sejak itulah seni

grafis dengan beragam teknik berkembang di Eropa.            

             Seni grafis di INdonesia awalnya merupakan media alternatif bagi

seniman yang telah mengerjakan bidang lainnya seperti melukis atau

Page 2: Sejarah Seni Grafis

mematung. Secara kronologis seni grafis muncul sekitar tahun 1950-an

tokohnya Suromo dan Abdul Salam di Yogyakarta. Membuat karya dengan

teknik cukil kayu ( woodcut ) dan kebanyakan dari karyanya merupakan poster

perjuangan. Kemudian tokoh yang lain adalah Baharudin Marasutan ( Jakarta )

dan Mochtar Apin ( Bandung ).

Pengertian Seni Grafis :

              Seni grafis kita kenal sebagai seni yang berhubungan dengan cetak

mencetak. Kata grafis atau grafika berasal dari kata Graphein sebuah kata yang

berarti menulis. Kata graphein sendiri berasal dari bahasa Yunani. Jadi seni

grafis adalah seni yang dihasilkan melalui proses cetak mencetak. Seni grafis ini

biasanya digunakan sebagai media ekspresi dan visualisasi gagasan terhadap

hal-hal yang menarik perhatian. Keistimewaan seni grafis adalah penggandaan

karya seni dari cetakan pertama sampai terakhir dianggap orisinal. Dan seniman

mencantumkan edisi cetakannya. Misalnya 3/10, angka ini berarti cetakan

ketiga dari sepuluh edisi yang dihasilkan.    

Sejarah Perkembangan Seni Grafis Indonesia

by gumilarganjar

PENDAHULUAN

Seni Grafis, sama seperti cabang seni rupa lainnya, adalah secara sadar menggunakan keterampilan dan imajinasi kreatif untuk menciptakan objek-objek estetik. Ditinjau dari etimologi kata, seni grafis diterjemahkan dari kata printmaking yang berasal dari bahsa inggris. Seni grafis mencakup beberapa teknik yang terus berkembang seiring perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Teknik grafis secara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat teknik utama, yakni, cetak datar, cetak tinggi (relief), cetak saring (serigrafi), dan cetak dalam (intaglio). Karena pada prinsipnya seni grafis selalu mengikuti perkembangan teknologi cetak, dewasa ini teknik cetak mutakhir seperti digital print, chemical print, dan beberapa teknik lainnya kemudian diterima sebagai karya grafis oleh medan sosial seni.

Seni grafis adalah cabang seni yang memberikan banyak ruang eksploratif yang dapat dimanfaatkan seniman untuk mencapai sebuah pencapaian estetik tertentu yang memliki karakter yang khas. Kematangan sebuah karya seni (grafis) dapat dinilai dari kualitas eksplorasi teknis sang seniman dan ide yang ditampakkan. Penjelajahan kedua aspek tersebut kemudian menjadi lebur dan tertuang dalam sebuah karya grafis. Sebagai contoh, cetakan ukiyo-e 36 Pemandangan Gunung Fuji oleh Hokussai, yang dikerjakan pada tahun 1823 – 1831, menggambarkan sebuah karya grafis penuh yang sampai sekarang masih diperhitungkan eksistensinya. Karya series ini masih dianggap sebagai sebuah adikarya yang memperlihatkan kematangan penjelejahan ide dan

Page 3: Sejarah Seni Grafis

teknis, juga kualitas kontemplasi dari sang seniman yang dengan konsisten mengeram karya ini, dengan pendekatan historis budaya pada masanya tentunya.

Karena kemampuannya dalam menduplikasi diri, karya-karya seni grafis di dunia mampu menjangkau beberapa lapisan masyarakat. tidak melulu terbatas  pada kalangan elite. Meskipun penghargaan (sercara benar-benar harafiah) oleh pasar pada karya-karya grafis tidak semahal lukisan atau patung, karya grafis diharapkan mampu mencapai beberapa lapisan masyarakat dan menjalankan beberapa fungsi seni, seperti seni sebagai penyadaran, dll, sehingga eksistensi seni diharapkan mampu menunjukan signifikasinya, degan konsekuensi yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Proses cetak yang menjadi prinsip utama dalam seni grafis ditujukan untuk reduplikasi karya, dengan ‘itikad baik’ seperti yang telah diulas pada paragraph sebeumnya, menghadirkan problematika dilematis yang cukup signifikan dalam perkembangan karya-karya grafis. Yang kemudian dapat dikelompokkan kepada dua masalah utama, yakni proses cetak yang amat teknis dan mendatangkan banyak kerumitan di dalamnya, dan justifikasi pasar pada karya seni grafis.

Teknik cetak grafis yang dikelompokkan dalam 4 proses cetak (cetak datar, tinggi, dalam, dan saring) mememerlukan bantuan banyak alat dan mesin, sehingga dalam proses pembuatannya, seniman dituntut untuk memilki kemampuan teknis yang baik dan mendalam, atau uniknya meminta bantuan pada pihak yang mendalami teknis grafis dengan konsisten. Secara garis besar proses pembuatan karya grafis dibedakan menjadi dua, proses pembuatan matriks dan proses pencetakkan karya, yang di dalamnya terdapat rangkaian proses yang saling berkesinambungan bagaikan sebuah untaian rantai yang saling mempengaruhi satu sama lain seara berkesinambungan. Karena kerumitannya, proses pembuatan karya grafis dapat dinilai memrlukan effort lebih dibandingkan dengan membuat karya lukisan, sehingga seringkali menyulitkan seniman untuk berkarya grafis. Selain itu, karena jumlahnya yang banyak, dan tidak tunggal, eksistensi karya grafis di pasar tidaklah sesignifikan karya lukisan yang sifatnya tunggal yang kemudian membawa nilai eksklusifitas di dalamnya, karena pasar dikuasai oleh kaum elite yang tentunya menggemari dan memburu eksklusifitas, demi menjaga pestise dari karya itu sendiri. Para pelaku pasar seringkali lupa bahwa pada praktiknya karya grafis memang diperuntukkan untuk dimiliki oleh beberapa pihak, bukan dikoleksi secara pribadi. Sehingga pasar sering meniai karya grafis sebagai ‘seni kelas dua’. Kekurang-tertarikannya pasar pada karya seni grafis sedikit banyak membuat  eksistensi karya ini semakin lama semakin lemah, bahkan di beberapa daerah yang iklim medan sosial seninya tidak sehat, hampir tidak diperhitungkan lagi. Serangkaian masalah tadi kemudian mampu dianggap sebagai masalah-masalah utama yang menyebabkan perkembangan seni grafis yang lesu.

Di Indonesia, seni grafis bahkan mendapat perlakuan yang lebih tidak kondusif lagi, selain amat sangat terbatasnya media-media pendukung pembuatan karya seni grafis, pasar yang amat mendominasi medan sosial seni, kerancuan penggunaan istilah grafis yang berdampak pada publikasi teknik-teknik grafis konvensional yang membingungkan kerap kali makin makin membuat seni grafis makin tidak dirasakan eksistensi dan peranannya dalam seni rupa Indonesia. Penggunaan istilah grafis di Indonesia dalam kesehariannya seringkali membingungkan. Karena kata grafis di Indonesia seringkali berkaitan dengan objek-objek grafis yang lekat dengan displin desain grafis, sehingga penggunaan istilah seni grafis seringkali disalahartikan. Hal ini berkesan

Page 4: Sejarah Seni Grafis

sepele, namun pada perkembangannya, keancuan ini seringkali menjadi masalah yang kemudian mendapatkan signifikasi yang cukup besar di kalangan awam.

SENI GRAFIS DI INDONESIA

Seni grafis, bersamaan dengan cabang seni lainnya, hadir di Indonesia berkat digalakannya kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia guna merekam eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood engraving dan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau hindia yang cantik. Berangkat darinyalah seni grafis mulai diperkenakan secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun bukan dari khazanah akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang asing.

Sampai sekitar tahun 2000-an, seni grafis masih dianggap seni kelas dua, dan seni pinggiran, problematika ini lahir dari berbagai macam aspek yang saling menagkumulasi satu sama lain. Seperti yang telah saya ungkap seelumnya, seni grafis amatlah bergantung pada proses yang bersifat amat teknis. Keterbatasan dan kelangkaan alat dan mesin cetaklah yang dikambinghitamkan oleh para seniman grafis yang dengan terpaksa mesti ‘melacur’ ke cabang seni lainnya, atau bahkan menggeluti bidang yang amat jauh dari kajian seni grafis. Keptusasaan ini memang bukanlah tanpa sebab, minimnya mesin dan alat-alat pendukung dalam membuat sebuah karya grafis seringkali meredam hasrat berkarya dan memuaskan keinginan bereksplorasi para seniman grafis. Krisis ini pun bahkan dialami oleh institusi akademi  seni di Indonesia. Tercatat bahwa hanya Institut Teknologi Bandung yang mampu menyediakan mesin cetak dan alat-alat pendukung untuk teknik cetak tinggi, cetak rendah, cetak datar, dan cetak saring yang dianggap memadai, bahkan dengan catatan bahwa sarana yang diberikan adalah standar ‘mahasiswa’, yang berkesan seadanya dan kuran terawat. Minimnya mesin cetak yang tersedia di Indonesia memang disebabkan oleh mahalnya biaya pengadaan mesin dan kelangkaan akses dalam meraihnya. Bahkan beberapa alat dan bahan pendukung pun seringkali harus didatangkan langsung dari Jerman, negri dimana seni grafis lahir dan berkembang.

Problematika diatas pun didukung oleh pernyataan beberapa pihak yang meneliti sejarah perkembangan seni grafis. Seni grafis dari awal perkembangannya hanyalah dianggap sebagai pendamping karya-karya lukisan dan patung, dan juga sebagai proses berkarya sampingan yang dilakukan seniman yang seyogyanga mendalami cabang seni yang lebih ‘tulen’, seperti seni lukis dan seni patung. Seni grafis pada awalnya sebatas ‘numpang’ muncul di pameran seni bersanding karya lukisan dan patung. Meskipun demikian, seni grafis pernah dianggap sebagai cabagn seni yang ikut berjasa bagi kehidupan kenegaraan Indonesia, dengan mengirim karya-karya grafis ke luar negri pada peryaan tahun pertama kemerdekaan Indonesia, 1946, sebagai upaya memeberi kesan bahwa Indonesia adalah negara yang berbudaya, meski baru satu tahun merdeka. Perkembangan seni grafis pada awal kemerdekaan Indonesia dinilai sebagai tenggat waktu eksplorasi para seniman untuk mendalami dan menyerap ilmu mengani teknik cetak grafis. Nampak pada beberapa karya grafis Mochtar Apin, Sudjana Kerton, dan Poppo Iskandar

Page 5: Sejarah Seni Grafis

yang menekuni studi visual menggunakan teknik cetak, baik dalam pendekatan naturalis maupun abstraksi yang merebak luas di dunia

Barulah pada tahun 1970-1980, seni grafis mulai muncul ke permukaan dengan hadir pada pameran seni grafis yang mandiri. Seperti pada pameran ‘Seni Grafis Bandung’ yang menampilkan karya-karya Mochtar Apin, Haryadi Suadi, A.D. Pirous, dan Kaboel Soeadi, yang dipamerkan di tiga kota, yakni Bandung, Surabaya, dan Jakarta. Dua tahun setelahnya, lahirlah kelompok grafis Decenta yang beranggotakan Pirous, Sunaryo, Sutanto, G. Siddharta, Priyanto, dan Dudi Kusnidar yang mendalami teknik serigrafi yang kala itu sedang berkembang didukung laju perkembangan industri garmen. Beberapa anggota kelompok ini kemudianmulai menggeluti desain grafis karena kecenderungan karya sablon yang mampu dicetak dan direproduksi dalam kaos mulai digemari masyarakat. beberapa darinya seara professional menjadi desainer grafis dan kemudian mengembangkan akademi desain grafis di Indonesia.

Menjelang akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada

media dan material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu, seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus deras kritisisme postmodernisme.

Lebih jauh lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya. Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.

Selain perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung. Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia, kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan

Page 6: Sejarah Seni Grafis

modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya, namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya. Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam pemilihan teknik cetak yang digunakan.

Seni grafis kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur. Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik. Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara filosofis.

Dapat disimpulkan dari sedikit uraian diatas bahwa seni grafis Indonesia bukanlah cabang seni yang murahan, pinggiran, dan kelas dua, namun dapat dipandang sebagai cabang seni yang melahirkan seniman yang memiliki kekhasan baik dalam pemikiran maupun kekaryaanya. Mampu menunujukan eksistensinya dalam memperkarya seni rupa Indonesia.

Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis

Pengertian Dan Perkembangan Seni Grafis 

Page 7: Sejarah Seni Grafis

                                             Oleh Agus Mulyadi Utomo

Hidup dan Seni:goesmul.blogspot.com

 Seni grafis adalah bagian dari salah satu bidang seni rupa, yang berfokus atau

bergerak pada bidang seni pencetakan gambar atau tulisan dua dimensi, baik pencetakan dengan teknik manual maupun masinal (komputasi / digital). Keduanya sama-sama grafis istilahnya, namun dalam takaran ’seni’ perlu dibahas lebih lanjut. Seni grafis secara umum dapat digolongkan ke dalam salah satu cabang seni murni, hal ini didasarkan atas maksud dan tujuan serta fungsi yang dibawa, yaitu untuk memenuhi kepuasan atau untuk tujuan mengekspresikan diri. Adapun jika tujuan itu sudah bergeser dari tujuan awal untuk memenuhi kepuasan atau mengekspresikan diri, maka timbul pertanyaan apakah seni grafis tersebut dapat digolongkan kedalam seni murni atau seni terapan? Tentu hal ini perlu dikaji lebih lanjut.

Perkembangan dunia percetakan, kini tidak dapat dipungkiri telah berjalan dengan cepatnya. Meski demikian secara mendasar teknik-teknik yang dipergunakan sama dengan berbagai teknik yang sudah lama digunakan seperti relief print, intaglio print, dsb. Hanya saja ada beberapa aplikasi baru yang dapat digunakan dalam pembuatan seni grafis, sehingga hasil yang dicapai lebih mudah atau dapat memuaskan. Aplikasi tersebut berupa pemanfaatan media komputerisasi sebagai sarana men-desain suatu karya seni, juga untuk sarana mempermudah pencetakan melalui digital printing.Pemanfaatan media komputerisasi ini merupakan pemicu awal munculnya anggapan bahwa seni grafis mulai bergeser dari fungsi awalnya sebagai seni murni menjadi fungsi seni terapan bersanding dengan seni kriya dan desain. Anggapan pergeseran ini didasarkan pada tujuan pembutan karya itu sendiri, dengan munculnya media komputer maka kemudahan dalam berbagai hal pencapaian kuantitas yang diinginkan semakin menjanjikan, sehingga semakin menggiurkan para seniman grafis (pada mulanya) untuk terjun dalam dunia bisnis / marketing. Selain dikuatkan oleh berbagai kemudahan tersebut pergeseran juga didorong oleh kebutuhan hidup yang semakin pelik penuh persaingan disertai penyediaan peralatan untuk komputerisasi yang tidak murah dan memerlukan modal. Namun dalam hal ini, tidak semuanya teknik grafis dapat dipukul rata dengan komputerisasi secara absolut, ada tiga teknik dari 4 teknik yang tidak dapat menggunakan teknik komputerisasi, yaitu teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar. Adapun cetak sablon dan offset dapat diganti dengan komputerisasi, disamping itu dikarenakan konsep dasar sablon adalah penciptaan karya 2 D tanpa tekstur, dan tanpa degradasi yang detail yang kesemuanya itu dapat dilakukan oleh komputer secara mudah dan hasil yang lebih memuaskan dengan memakai software pendukung seperti corel,adobe,auto cad, dsb.

Page 8: Sejarah Seni Grafis

Teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak datar tidak dapat dipukul rata dengan sistem komputerisasi. Ini karena ketiganya memiliki ciri khusus yang tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer, karena ada unsur ’greget’ atau ekspresi individu atau bersifat manusiawi yang hadir dan mempunyai karakteristik tersendiri, walaupun dapat digantikan maka terlihat sebagai hasil mesin yang terasa kering. Ciri-ciri khusus yang hadir dalam seni ekspresi antara lain adalah memiliki unsur tekstur, dan unsur goresan alamiah yang dihasilkan oleh acuan serta efek warna yang dapat diolah secara khusus oleh seniman grafis dengan gayanya sendiri tentunya. Selain itu ada ciri khusus yang sifatnya dilandaskan pada kerumitan dan usaha keras yang dilakukan untuk menghasilkan karya grafis yang spektakuler. Kerumitan dan usaha keras ini dapat mencangkup semua jenis teknik sebab kerumitan selalu disandarkan pada hal yang sifatnya manual dari pada yang otomatis-masinal (komputer).

Guru Besar Seni Grafis dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yakni Prof. Setiawan Sabana, mengungkapkan: ”Berkembangnya seni rupa, khususnya seni grafis, tidak independen. Banyak faktor lain yang memengaruhi, terutama infrastruktur atau teknik dan bahan dasar pembentuk media seni“. Setiawan menegaskan lagi: ”Seni grafis “berhak” berkembang dan sejajar dengan seni rupa lainnya. Seni tidak bisa dikotak-kotakkan dalam arus utama tertentu. Janganlah dibatasi dan dipersoalkan medianya. Yang terpenting adalah isinya. Seni grafis yang konvensional sekalipun tidak bisa menutup diri dari perubahan zaman. Kontemporerisasi kini menjadi pilihan. Sebab, sejatinya negara ini memang tidak punya akar tradisi seni grafis. Kalau kita terus mengacu ke Eropa, kapan kita akan mengejar”. (kompas, 20 Maret 2007). Sehingga dalam kaitannya dengan media yang dipakai dalam pengungkapan kreatifitas seni grafis, seharusnya tidak perlu diperdebatkan, yang utama adalah seni grafis yang meng-Indonesia.

Kajian singkat di atas, adalah sekedar pembahasan yang terkait dengan muncullah istilah seni murni dan seni terapan dalam grafis. Keduanya adalah sama-sama lingkup seni, hanya saja karena perbedaan tujuan dan perkembangan teknologi serta sosial-ekonomi maka istilah tersebut muncul. Teknologi adalah ikon terpenting yang memunculkan istilah tersebut. Teknologi adalah ikon modern, juga modernisasi. Semakin canggih teknologi maka semakin modern, dan itulah modernisasi. Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan kebiasaan dengan konstelasi gaya atau trend dunia (Jim Supangkat).

Konstelasi dari abad modern pada awalnya didominasi pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi konstelasi dunia sekarang ditentukan oleh pola perkembangan negara-negara maju. Pada kenyataannya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi global dalam genggaman mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.

Seni grafis secara tidak langsung (pada teknik tertentu) juga mulai menjamah modernisasi sebagai seni grafis modern. Hal ini ditandai dengan munculnya teknik-teknik kreatif baru sebagaimana Rolf Nesch (1893-1975), yang mendapat pengakuan internasional untuk teknik grafis logam, dan artis Sámi John Savio (1902-1938) dengan cetakan kayunya. Stanley Hayter Atelier 17 di Paris, yang berspesialisasi dalam teknik mencetak banyak warna hanya dengan menggunakan satu pelat. Berbagai teknik baru mulai diperkenalkan pada tahun 1970, termasuk cetakan di atas kain sutra, dan kebangkitan seni sketsa baik yang mengandung arti kiasan maupun tidak. Tahun 1970 seringkali dianggap sebagai jaman keemasan seni grafis, Nama yang patut diperhitungkan dalam beberapa tahun terakhir termasuk Bjørn-Willy Mortensen (1941-1993), Per Kleiva (b1933) dan Anders Kjær (1940). (http://www.norwegia.or.id/culture/painting/graphic/graphic.htm)

Page 9: Sejarah Seni Grafis

            Dengan munculnya seni grafis modern, maka ajang kreatifitas seniman garfis tidak dapat dibendung karena konsep dasar seni modern adalah ’unsur kreatifitas’ untuk memunculkan sesuatu yang baru. Sehingga peluang kemunculan seni grafis terapan juga semakin besar. Hal ini ditandai dengan munculnya omzet digital printing dan sablon yang digelar dalam pasar komersial. Padahal konsep dasar seni (termasuk seni rupa-seni grafis) terkait estetika seni itu sendiri adalah terletak pada ’nilai’-nya. Sedang nilai tidak dapat dikurskan dalam bentuk nominal secara pasti, karena nilai seni adalah hal yang bersifat abstrak (subjektif) dan tidak memiliki batasan. Kalaupun karya seni grafis dapat dipasarkan maka harga yang didapat adalah biaya operasional plus ongkos seniman atau pencipta, bukan harga dari nilai yang dimiliki karya tersebut. Selain hal itu terdapat manipulasi nilai karya seni grafis yang semakin mempertajam munculnya seni grafis terapan, yaitu karya yang disandarkan pada permintaan pasar bukan pada kepuasan ekspresi pencipta.

Penggolongan Seni Grafis juga berdasarkan teknik. Penggolongan seni grafis berdasarkan teknik ini dikarenakan perbedaan acuan dan persyaratan yang harus dimiliki masing-masing teknik. Adapun teknik-teknik tersebut adalah teknik cetak tinggi (Relief Print), teknik seni cetak datar (Surface screen), teknik cetak dalam (intaglio print) dan tekni cetak saring (silk -screen).

Page 11: Sejarah Seni Grafis

Karya-karya (1,2 & 3) Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo

Teknik Seni Cetak Tinggi (Relief Print)Pengertian seni cetak tinggi atau relief print atau cetak timbul adalah salah satu dari

beberapa macam teknik print atau cetak yang memiliki acuan permukaan yang timbul atau meninggi, dimana berfungsi sebagai penghantar tinta, baik monokrom maupun polikrom. Sedang bagian yang dasar atau permukaan yang tidak timbul merupakan bagian yang tidak akan terkena tinta atau disebut bagian negatif, sedang bagian yang terkena tinta disebut bagian positif.  Untuk memperoleh wujud acuan yang timbul tersebut, dapat dikerjakan dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang tidak diperlukan menghantarkan tinta, sehingga tinggal bagian-bagian yang difungsikan sebagai penghantar warna atau tinta. Menoreh bagian-bagian yang tidak diperlukan bukanlah satu-satunya cara atau tekhnik untuk mewujudkan acuan cetak

Page 12: Sejarah Seni Grafis

timbul, teknik lain dapat pula diperoleh dengan menempelkan atau merekatkan bahan-bahan yang akan dipergunakan sebagai penghantar warna atau tinta cetak. Teknik ini merupakan teknik lain untuk mewujudkan acuan cetak timbul yang sederhana. Tapi perlu diwaspadai bahwa penggunaan metode tempel ini memiliki kelemahan pada bagian tempelnya atau kolasenya jika pengelemannya dan bahan yang digunakan tidak baik. Salah satu sifat cetak timbul atau cetak tinggi adalah bila acuannya sendiri diamati baik-baik, maka permukaan acuan akan tampak sebagai permukaan yang berukir atau berelief. Karena itu cetak tinggi disebut pula sebagai cetak relief atau relief print.Sebagaimana telah disinggung pada paragraf di atas bahwa untuk memperoleh acuan dapat diperoleh dengan cara menoreh atau menempel, maka berikut akan dijelaskan beberapa jenis teknik cetak tinggi.

Beberapa Jenis Teknik Cetak Tinggi.

1.    Teknik Woodcut/ Cukil Kayu

Sejarah singkat perkembangan teknik woodcut atau cukil kayu atau relief,  yang sering disebut juga sebagai xilografi (xylography), sebagai teknis grafis paling awal, yang makin lama makin ditinggalkan, meskipun sebenarnya masih cukup bermanfaat bagi beberapa kebudayaan, mengingat kelebihan-kelebihan yang bermanfaat bagi perjuangan-perjuangan pada kondisi tertentu. Teknik cukil kayu ini di China telah digunakan untuk mencetak gambar dan tulisan sejak abad ke-5. Sedangkan di Eropa teknik ini dikembangkan sekitar tahun 1400-an, hingga teknik serupa dimassalkan oleh Gutenberg. Di Jepang cukil kayu yang dikenal sebagai Ukiyo-e, pernah mengalami masa keemasan di masa periode Edo (1600-1868 Masehi). Cetakan-cetakan tersebut berupa fiksi yang banyak bersubyekkan dunia Geisha serta prostitusi yang marak di jaman feodal Jepang saat itu. Cetakan-cetakan tersebut sangat digandrungi masyarakat klas menengah dan atas saat itu. Cetakan-cetakan yang halus dirilis dalam ilustrasi buku, kemudian menjadi ikon seni rupa Jepang saat itu, bahkan Ukiyo-e merupakan cikal bakal bagi perkembangan komik Jepang yang membanjiri toko-toko buku dunia saat ini. Namun dengan adanya Restorasi Meiji, sebagai respon dari tekanan Komodor Perry bersama Delegasi Amerika dalam Perjanjian Tanagawa pada tahun 1854 untuk membuka pasar serta peradabannya. Setelahnya, para interprenur barat telah memboyong tradisi seni Jepang ke dunia barat terutama ke Paris. Setelah kedatangan mereka, produk-produk seni budaya termasuk tradisi cukil kayu membanjiri dunia barat terutama Paris yang menjadi pusat kesenian saat itu. para pelukis beraliran Impresionist maupun post-Impresionis beramai-ramai menggunakan semangat, teknik ataupun efek teknik Ukiyo-e dalam berkarya. Sedangkan di Jepang sendiri perkenalan teknik cetak yang lebih efisien untuk industri pencetakan modern yang diimport dari dunia barat telah meredupkan tradisi Ukiyo-e.

           Di Eropa banyak pula pekarya atau kriyawan yang menggunakan media ini untuk berkarya serta mengekspresikan pandangan sosial politiknya. seperti Kathe Kolwitz yang dengan lihainya menggambarkan pergolakan politik di masa dan di tempatnya berpijak. Sedangkan di Indonesia sebelum dan setelah jatuhnya Rezim Orde Baru di bawah komando Jendral bintang lima Soeharto (REPELITA) cukil kayu mulai menjamur sebagai alat untuk memotret realita dan merespon permasalahan sosial hingga mengagitasi (merombak) kesadaran massa untuk berontak dan melawan kezaliman yang digelorakan oleh JAKER (Jaringan Kerja kesenian Rakyat) termasuk kelompok-kelompok yang ada diorbit mereka seperti Komunitas Anak-Anak Sanggar Suka Banjir, Solo, yang telah mengenal alat ini

Page 13: Sejarah Seni Grafis

seperti yang terlihat disebuah terbitan ’alternatif Ajang’ sebelum keruntuhan rezim di atas. Perlu disebut, penggunaan media cukil kayu pernah mencapai masa keemasannya oleh Senirupa-ITB, STSRI’ASRI’, dan SSRI-SMSR.  Juga ketika media ini diusung oleh Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi yang berbasiskan mahasiswa-mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia). Karya-karya tinggi estetika yang bertemakan ajakan melawan sisa-sisa orde baru, tema lingkungan hidup dan sosial serta tema kerakyatan lainnya.

Dewasa ini media propaganda dari cukil kayu semakin ditinggalkan. Tradisi ini hanya tersisa dibeberapa komunitas marjinal seperti Sanggar Caping, Nurani Senja, Indie Art, JAKER, serta beberapa komunitas lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal yang mendasar. Pertama, sebagai media berekspresi telah berkembang media-media baru seperti berkembangnya teknis pencetakan. Pencetakan selebaran, poster maupun media propaganda lainnya semakin massal, mudah dan murah. Kedua, berkembang pesatnya komputer grafis mengakibatkan migrasinya sebagian besar pekarya atau kriyawan untuk menggunakan photoshop, Corel Draw dan 3G lainnya, sebagai ungkapan bahasa visual.

Namun ketika hak paten didengungkan, termasuk software komputer grafis sepenuhnya berpaten sebagai konsekuensi dari globalisasi, sehingga berimbas kepada harga yang mahal kalau tidak berhadapan dengan mekanisme hukum sebagai pembajak, beberapa pihak penganut faham seni murni mencoba kembali menggunakan kembali seni cukil kayu yang terlihat orisinal. Termasuk yang dilakukan oleh Galeri Publik, Decenta (1973), Institute for Global Justice yang bekerja sama dengan JAKER dan Indie art. Mereka mengadakan diskusi tentang media ini dan kemudian merancang serta melaksanakan workshop-workshop cukil kayu di beberapa komunitas kaum miskin kota dan komunitas buruh dipinggiran Jakarta yang kemudian dipamerkan. Ternyata sambutan masyarakat begitu antusias, ketika hasil karya manual dapat diperbanyak secara instan. Tema-temanya pun beragam, tetapi ternyata banyak dari karya-karya peserta workshop yang kebanyakan pemuda, pekerja seni maupun buruh ini banyak bicara tentang sistem ekonomi-politik yang ada dikaitkan dengan realitas sosial yang ada. Dari gambaran kekumuhan di bawah jembatan layang, hingga badan-badan ekonomi dunia yang samar samar mereka pahami sebagai penyebab krisis ekonomi yang ada. Jelas sudah rakyat awam membutuhkan media-media alternatif untuk ‘berbicara’ ketika media massa besar dirasakan kurang menggambarkan permasalahan sesungguhnya di tingkatan keseharian. Nampaknya gairah itu menyeruak kembali. (http://revitriyoso.multiply.com/journal/item/16/cukil)

Pengertian dan prosedur teknik woodcut atau relief atau cukil kayuteknik woodcut adalah teknik cetak tinggi yang menggunakan bahan dasar sebuah papan kayu yang diratakan permukaanya. Jenis kayu dan bentuk kayu yang digunakan tergantung selera penciptanya sendiri. Adapun urutan kerja atau proses kerja pembuatan karya grafis dengan teknik ini adalah sbb:Pertama, merencanakan desain atau gambar kerja yang merupakan tuangan ide yang unik lagi artistik pada suatu bidang gambar. Rencana atau desain ini harus dibuat terlebih dahulu, sebab tanpa melalui fase ini dapat saja proses pembuatannya nanti akan terhambat atau bahkan akan gagal.Kedua, memilah gambar mana yang akan dijadikan sebagai penghantar tinta dan mana yang bukan.Ketiga, memindahkan rencana atau desain tersebut ke permukaan atau bidang papan kayu yang akan dicukil atau ditoreh. Keempat, menoreh atau mencukil bagian yang tidak digunakan untuk menghantarkan tinta (bagian negatif) dengan menggunakan pisau atau alat cukil (wood

Page 14: Sejarah Seni Grafis

cut). Teknik mencukil ini hendaknya memperhatikan arah serat kayu, disamping itu kondisi alat cukilnya juga harus tajam. Kelima, setelah pekerjaan menoreh atau mencukil diangap selesai, maka acuan cetak telah terwujud, dengan demikian acuan siap untuk dilumuri warna atau tinta cetak terlebih dahulu.

Pada prinsipnya setiap acuan atau bagian yang positif akan dipergunakan dalam proses pencetakan hanya untuk satu warna saja, oleh karena itu bila menghendaki atau ingin membuat karya yang multi-warna atau poli warna, maka acuan yang dipergunakan untuk menghantarkan warna harus sesuai dengan jumlah warna yang dikehendaki. Tentunya tanpa menyiapkan atau merencanakan desain yang lengkap atau rinci akan mengalami kesulitan dalam mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil cetakannya. Dengan demikian untuk memudahkan dan mencari ketepatan atau kesempurnaan hasil karya, pertama-tama harus dibuat desain induk yang telah lengkap dengan warna yang dikehendaki, yang kemudian dibuat separasi gambar kerja. Sehingga untuk setiap warna ditera terpisah pada bidang bahan acuan yang berlainan.

Seniman perintis ’seni grafis Indonesia’ adalah Mochtar Apin, Baharoedin Marasutan, A.D. Pirous (1933),  Kaboel Suadi, T. Sutanto (1941), Haryadi Suadi (1939), Setiawan Sabana, S. Prinka dan lainnya. Dimana pertumbuhan seni grafis sesungguhnya lebih diprakarsai oleh perupa, pelukis, pematung dan kriyawan, dengan mencari alternatif baru menuangkan ekspresi seni cetak-mencetak atau seni reproduksi. Mochtar Apin dari Bandung dan Baroedin Marasutan dari Jakarta yang berlatarbelakang pelukis, membuat sekumpulan seni cukilan kayu ke beberapa negara sahabat yang mengakui kedaulatan RI. Pada tahun 1946. Kedua tokoh ini sebagai perintis, serta karyanya dianggap sebagai momentum bersejarah dan berdirinya program seni grafis di perguruan tinggi dan di sekolah menengah. Pameran seni grafis pertama yaitu ketika 5 seniman Bandung seperti Mochtar Apin, AD.Pirous, Kaboel Suadi, T.Sutanto dan Haryadi Suadi tahun 1972-an memamerkan karya mereka di Balai Budaya Jakarta, dengan keunikan bahan dari potongan hardboard bekas pameran di gedung Pola Jakarta yng digubah menjadi karya seni grafis cukilan kayu. Disusul oleh munculnya studio RedPoint di Bandung, sebagau usaha pencarian tingkat lanjut dalam estetika dan teknik cetak. Pameran setengah abad seni grafis Indonesia tahun 2000 dan pameran seni grafis eksplorasi mediun, eksplorasi gagasan  tahun 2001 mendapat respon dari pegrafis seluruh Indonesia, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali.  Tahun 2003  diadakan Trinal Seni Grafis melibatkan lebih banyak pegrafis seluruh Indonesia terutama tambahan dari Palembang, Padang, Jambi, Medan, Makassar dan lainnya.

Dalam Warta Bentara Budaya, 11 April 2012, Trinale Seni Grafis yang ke-4 'Seni Grafis Indonesia' diselenggarakan.

Penyelenggaraan Trienale Seni Grafis kali ini memasuki babak yang ke-4. Dari tradisi kegiatan semacam ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mencatat pertumbuhan kualitas dan kuantitas pegrafis secara individu maupun komunitas. Tujuannya tak berubah sejak pertama kali diselenggarakan pada 2003, yaitu selain berperan sebagai jawaban atas kelangkaan pameran seni grafis yang melanda dunia seni rupa

Page 15: Sejarah Seni Grafis

Indonesia mutakhir, juga sebagai upaya untuk melakukan pengukuhan terhadap eksistensi seni grafis Indonesia.

Pertumbuhan seni grafis Indonesia masih sangat muda, bila dibandingkan dengan tradisi mencetak di China, Jepang dan Eropa yang sudah tumbuh beberapa abad silam. Perkembangannya pun menuai kendala, dimana kedudukannya sederajat dengan seni lukis yang lebih populer, sehingga apresiasi sangat kurang disamping itu pameran seni grafis juga langka.

Karya grafis seniman anak bangsa yang lebih muda dan memakai teknik woodcut adalah Tisna Sanjaya, dari ITB. Agus M.U. dari ISI Denpasar, Dedok, dll. 

Karya Seni Grafis Agus Mulyadi Utomo

AC. Andre Tanama, lahir di Yogyakarta, 28 Maret 1982 lulusan IKIP Seni Rupa jogja dan ITB Seni Rupa (1979-1986), sekarang Dosen seni rupa ISI Jogja. Karyanya yang fenomenal adalah “Hegemoni Teknologi”. Karya ini pertama kali dipamerkan dalam Trienal Seni Grafis Indonesia II yang diselenggarakan di Bentara Budaya,Yogjakarta, 14-23 September 2006, mendapat pengakuan dari panitia penyelenggara, A.C. Andre Tanama dinobatkan sebagai jawara. Secara teknik sebenarnya karya ini menggunakan cukil kayu, namun dalam finishingnya. AC. Andre Tanama menggunakan teknik cetak digital dan hal inilah yang sempat menjadi perbincangan di kancah seniman Grafis terkait penggunaan media komputer dalam seni grafis.

Peralatan cetak tinggi dapat terwujud melalui beberapa cara yaitu teknik Woodblock, Hardboard, Linocut, dan Collage. Karena perbedaan teknik itulah, maka alat yang dipergunakan berbeda pula, alat tersebut antara lain sebagai berikut: Pisau Cukil, alat ini dipergunakan untuk mencukil bagian dari kayu yang tidak dipergunakan untuk menghantarkan tinta. Bentuk ujung pisau cukil bervariasi, yaitu berbentuk lengkung kecil, dan lengkung sedang, berbentuk “v” kecil dan “v” besar, beerbentuk datar, dan berbentuk serong. Kaca, alat ini digunakan untuk mengaduk atau tempat mengolah tinta.Alat Kapi atau Palet, alat ini digunakan untuk mengaduk atau mencampur tinta di permukaan kaca. Rol, alat ini terbuat dari karet dengan pegangan kayu ada pula yang besi. Rol karet ini

Page 16: Sejarah Seni Grafis

berfungsi untuk menghantarkan tinta dari kaca setelah mengalami fase pengolahan diterapkan ke kayu yang telah ditoreh dengan pisau cukil. Hand-Press, hand-press atau alat tekan adalah alat yang digunakan untuk mencetak acuan kebidang kertas.

Bahan cetak tinggi, bahan yang digunakan secara umum adalah Tinta, Afduner atau Tiner, dan Kertas manila atau sejenisnya baik berwarna maupun tidak. Sedang bahan secara khusus tergantung teknik yang digunakan, teknik Woodblock menggunakan bahan kayu, teknik Harboard menggunakan bahan Hardboard, teknik Linocut menggunakan bahan linolium, teknik Collage menggunakan bahan karton atau bahan lain yang memiliki sifat-sifat seperti karton.

Pengertian Teknologi Cetak Rotogravure

            Rotogravure secara etimologi terbagi menjadi dua pengertian yaitu roto atau rotern yang berarti berotasi atau berputar, dan gravure yang berarti cukil atau ukir. Sedangkan secara terminologi, pengertian rotogravure yaitu salah satu teknologi cetak dari teknik cetak dalam yang menggunakan acuan cetak berbentuk silinder yang berputar, dimana gambar dan atau tulisan pada acuan tersebut dibuat dengan cara dicukil ataupun diukir.

             Sebagaimana yang dituliskan diatas, teknologi cetak rotogravure merupakan teknologi cetak yang menggunakan prinsip dasar teknik cetak dalam, yaitu pada bidang yang mencetak (image area) letaknya lebih rendah atau dalam dibandingkan dengan bidang yang tidak mencetak (non-image area) pada permukaan acuan cetak.

             Teknologi cetak rotogravure merupakan pengembangan dari fotografi dan teknik cetak rotasi yang menggunakan acuan cetak berbentuk silinder. William Henry Fox Talbot berhasil mengembankan film continoustone (model nada penuh) menjadi bentuk film halftone (model nada lengkap) pada tahun 1860 yang digunakan untuk menghasilkan gambar dari proses foto-reproduksi untuk semua teknik cetak. Dari perkembangan film haltone, Auguste Godchaux berhasil menciptakan teknik cetak rotogravure reel-feed dan mendapatkan hak paten pada tahun 1860, kemudian tahun 1940 di proses cetaknya disempurnakan oleh Karl Klic (Klietsch) berkembangsaan jerman dan Samuel Fawcett dari inggris . 

Karakteristik Teknologi Cetak Rotogravure:

            Teknologi cetak rotogravure memiliki beberapa ciri-ciri khusus yang dapat membedakan antara teknologi cetak rotogravure dengan teknologi cetak lainnya yang dapat dilihat dari dua sisi.

1. Pada karakteristik mesin cetaknya :a.    Acuan cetaknya berbentuk silinder,b.    Pada permukaan silinder cetak, bidang yang mencetak (image area), letaknya lebih dalam

dibandingkan bidang yang tidak mencetak (non-image area), c.    Raster pada teknologi cetak rotogravure berfungsi sebagai penahan tinta agar tidak keluar

akibat gaya sentrifugal silinder acuan cetak dan sebagai tempat bertumpunya doctor blade,d.    Pada umumnya bahan cetak yang digunakan berbentuk gulungan atau rol, tetapi dapat pula

berupa lembaran yang disesuaikan dengan mesin yang digunakan, e.    Sistem penintaan yang digunakan umumnya adalah sistem sirkulasi, f.     Sifat tinta pada Teknologi cetak rotogravure relatif tipis dan encer, dan juga mempunyai daya alir

yang tinggi,

Page 17: Sejarah Seni Grafis

g.    Rakel (doctor blade) membantu penyatuan tinta pada permukaan silinder acuan sehingga tinta tertinggal pada bidang gambar dan atau tulisan (image area),

h.    Silinder acuannya dibuat dengan cara diukir atau dicukil (gravure), i.      Jenis pewarnaan yang digunakan pada pencetakan rotogravure yaitu cetakan multi-colour dan

separasi, j.      Pada permukaan silinder acuan bentuk raster sama dengan besar dan kedalaman yang

bervariasi sesuai model.

2.  Pada karakteristik hasil cetaknya : a.   Seluruh permukaan cetaknya memiliki raster pada cetakan gradasi maupun cetakan blok, dan

tebal tipisnya gradasi warna cetakan tergantung pada dalam dan dangkalnya hasil ukir sumur-sumur raster pada silinder acuan rotogravure,

b.  Pada bagian pinggir cetakan berbentuk gerigi bila dilihat dengan lup, karena permukaan cetak beraster semua,

c.   Pada daerah cetakan yang bernada penuh atau shadow terjadi alur-alur seperti mutiara sebagai akibat tinta rotogravure yang encer setelah mengering pada permukaan bahan cetak.

Kelebihan dan Kekurangan Teknologi Cetak Rotogravure

Kelebihan teknologi cetak rotogravure antara lain :  1.    Dapat mencetak diatas hampir semua bahan (board, paper, plastic film, aluminium foil, dll). 2.    Secara umum kecepatannya tinggi 100-150 m/menit. 3.    Konsistensi warna lebih stabil. warna lebih cemerlang karena tintanya solvent base dan tidak

dipengaruhi oleh air.4.    Dapat mencetak bentuk gambar endless termasuk bentuk spiral untuk aplikasi, sebagai label

kaleng.5.    Silinder cetak tahan untuk long run, mencapai 40.000 m tergantung jenis bahan, tinta, rakel, dan

mesin cetaknya  itu sendiri.

Kekurangan teknologi cetak rotogravure antara lain : 1.    Biaya pre-press tinggi karena harus membuat silinder. Tidak efisien untuk order-order pendek. 2.    Waktu pre-press lebih lama dibanding offset. Membuat plate offset 2 jam selesai, sedangkan

membuat satu set silinder (misal 5 warna) memerlukan waktu 15-20 jam.3.    Printing dengan memakai gulungan rol tidak seakurat cetak offset yang menggunakan lubang

sheet.  Untuk mengatasi hal ini maka dipakai pengontrol tegangan (tension control), pengontrol register (register control) serta alat pengontrol bagian pinggir pada mesin cetak rotogravure.

Dalam perkembangan sistem pembuatan silider acuan rotogravure terdiri dari :

1.    Sistem Etching (konvensional), yaitu dengan cara:a. In Direct Etching,    b. Direct Etching

2.    Sistem Electro Mechanical Engraving (EME), yaitu dengan cara :a. Klischograph Laser Beam Engraving,   b. Laser Beam Engraving.