risda yulianti-fkik

Upload: rizqi-kawel

Post on 07-Jul-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    1/97

     UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL DAUN

    ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd.)

    SKRIPSI

    RISDA YULIANTI

    109102000013

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTA

    2013 / 1432 H

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    2/97

     UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

    STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL DAUN

    ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd.)

    SKRIPSI

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

    (S.Far)

    RISDA YULIANTI

    109102000013

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    PROGRAM STUDI FARMASI

    JAKARTA

    2013 / 1432 H

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    3/97

    iii

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    4/97

    iv

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    5/97

    v

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    6/97

    vi

    ABSTRAK

    Nama : Risda Yulianti

    Program studi : Farmasi

    Judul : STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL DAUN

    ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd)

    Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat

    dari penggunaan obat alami yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Standardisasi

    ekstrak etanol daun p.indicus ini dilakukan terhadap tiga tempat tumbuh yang

    berbeda yaitu Tanggerang selatan, Bogor, dan Yogyakarta. Tujuan dari penelitian

    ini adalah menetapkan beberapa parameter spesifik dan non spesifik sehingga

    menjamin bahwa simplisia tersebut mempunyai mutu dan nilai parameter yang

    terukur. Hasil standardisasi parameter spesifik menunjukan organoleptik ekstrak(bentuk ekstrak kental, berwarna hijau coklat kehitaman, bau lemah dan tidak

    khas dan memiliki rasa pahit), dengan kandungan senyawa larut dalam air (22,882

    ±0,4119 - 24,437 ±3,9825) dan larut etanol (13,624 ±1,206 -15,374 ±0,715) dan

    kadar total flavonoid ( 3,88824 % - 4,02045 %). Hasil uji parameter non spesifik

    menunjukan kadar air (13,843 ±3,591 - 20,595 ±2,133), susut pengeringan

    (15,852 ±1,576 - 33,367 ±2,843), kadar abu ekstrak (5,514 ±0,565 - 7,631

    ±1,5320), dan kadar abu tidak larut asam (0,058 ±0,039 - 1,486 ±0,246) serta

    bobot jenis (1,008 ±0,002 -1,021±0,011). Hasil pengujian cemaran mikroba (60* -

    130* koloni/g) sedangkan pengujian cemaran kapang khamir (0 - 45* koloni/g)

    serta hasil pengujian logam arsen (0,208 x10-3

     µg/kg - 0,956 x10-3

      µg/kg), timbal

    (0,002388 - 0,003357 mg/kg), dan cadmium (0,000011 - 0,000021 mg/kg).

    Kata kunci : Standardisasi, Pterocarpus indicus Willd, Daun Angsana, Parameter

    Spesifik, Parameter non spesifik

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    7/97

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    8/97

    viii

    KATA PENGANTAR

     Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. 

    Alhamdulillah, syukur kepada Allah dengan memanjatkan segala puji

    kepada-Nya, Shalawat dan salam kepada nabi dan rasul paling mulia, junjungan

    kami Muhammad SAW, dengan segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

    menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul

    “STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL DAUN ANGSANA (Pterocarpus

    indicus Willd)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi tugas akhir sebagai salah

    satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran

    dan Ilmu Kesehatan program studi farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Saya menyadari tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak dari

    masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi saya

    untuk menyelesaikan skripsi ini. oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis

    menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak terkait yang telah

    memberi dukungan kepada penulis.

    1.  Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahnya dengan izinnya penulis dapat

    menyelesaikan skripsi ini

    2.  Ibu Puteri Amelia, M.Farm., Apt dan Ibu Marissa Angelina, M.farm.,Apt

    yang memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian tugas

    akhir saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingan ibu, mendapat

    pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.

    3.  Dr. Linar zalinar Udin selaku Kepala Pusat Penelitian Kimia Lembaga

    Ilmu Pengetahuan Indonesia atas penggunaan segala fasilitas.

    4.  Ibu Lia, bu Mega, bu Lala, bu Hani, pa Udin dan mas Lili terimakasih atas

    segala bantuan selama penelitian.

    5.  Prof. Dr.(hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas

    Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    6.  Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan

    sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    9/97

    ix

    7.  Kedua orang tua, Ayahanda H. Cucu Ruswandi dan Ibunda tercinta Hj.

    Ening yang selalu memberikan kasih sayang dan do’a yang tiada henti,

    serta dukungan kepada ananda baik moril maupun materil. Kepada kakaku

    Ervan Ruswandi, Nurliana dan adik-adikku Dian dan Alwi serta saudara-

    saudaraku yang telah banyak menghibur dan memberikan do’a serta

    semangat hingga penulis dapat menyelsaikan skripsi ini.

    8.  Sahabat penulis Liza, Dina yang telah banyak membantu penulis dalam

    suka dan duka. Mila, Mutia, Caca, Widya, Ziah yang selama 4 tahun telah

    menjadi sahabat-sahabat yang paling baik.

    9.  Sahabat tercinta Aida, Siska, Eca, Elih, yang selalu mendengarkan keluhan

    dengan sabar selama penelitian.

    10. Teman seperjuangan penelitian Neneng, Rani dan Irsyad atas kerjasama

    selama penelitian dan tema-teman seperjuangan farmasi angkatan 2009

    khusunya PHENOL, yang sama-sama berjuang selama 4 tahun untuk

    menyelesaikan skripsi ini.

    Semoga Allah SWT senantiasa memberikan balasan yang lebih

    baik kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam

    penelitian ini.

    Wassalamu’alaikum Wr. Wb 

    Jakarta, September 2013

    Penulis

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    10/97

    x

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

    Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

    Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Risda yulianti

    NIM : 109102000013

    Program Studi : Farmasi

    Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

    Jenis Karya : Skripsi

    demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah

    saya, dengan judul :

    STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL DAUN ANGSANA (Pterocarpus

    indicus Willd)

    untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

    Library Perpustakaan akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-

    Undang Hak Cipta.

    Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan

    sebenarnya.

    (Risda Yulianti)

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    11/97

    xi

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL ............................................................................... i

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................... iii

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... iv

    LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... v

    ABSTRAK ................................................................................................ vi

    ABSTRACT .............................................................................................. vii

    KATA PENGANTAR .............................................................................. viii

    HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......... x

    DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiiiDAFTAR TABEL .................................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv

    BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1

    1.2 Perumusan Masalah .............................................................. 3

    1.3 Tujuan Penelitian .................................................................. 3

    1.4 Manfaat Penelitian ................................................................ 3

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 4

    2.1 Tanaman Angsana (Pterocarpus indicus Willd) ................... 42.2 Deskripsi Tanaman Angsana (Pterocarpus indicus Willd) ... 4

    2.2.1 Klasifikasi Tanaman ................................................. 5

    2.2.2 Nama Daerah ............................................................. 5

    2.2.3 Morfologi ................................................................... 5

    2.2.4 Kandungan kimia ...................................................... 6

    2.2.6 Khasiat dan kegunaan ............................................... 7

    2.3 Simplisia ............................................................................... 7

    2.4 Ekstraksi ................................................................................ 8

    2.4.1 Pengertian Ekstraksi .................................................. 8

    2.4.2 Metode Ekstraksi ....................................................... 8

    2.5 Ekstrak ................................................................................. 102.6 Standardisasi ......................................................................... 10

    2.6.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat .......... 10

    2.6.2 Standardisai untuk uji klinik ..................................... 11

    2.6.3 Standardisai menjamin aspek keamanan ................... 11

    2.6.4 Standardisai meningkatkan nilai ekonomi ................ 11

    2.7 Parameter-parameter Standar Ekstrak ................................... 12

    2.7.1 Parameter Spesifik Ekstrak ....................................... 12

    2.7.2 Parameter non Spesifik Ekstrak ................................ 13

    2.8 Kromatografi ........................................................................ 15

    2.8.1 Kromatografi Lapis Tipis .......................................... 15

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    12/97

    xii

    Halaman

    2.9 Spektrofotometri ................................................................... 17

    2.9.1 Spektofotometri Serapan Atom ................................. 18

    2.9.1 Spektofotometri UV-Vis ........................................... 19

    BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 21

    3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 21

    3.2 Bahan .................................................................................... 21

    3.2.1 Tanaman .................................................................... 21

    3.2.2 Bahan Kimia ............................................................. 21

    3.3 Alat ........................................................................................ 21

    3.4 Prosedur Penelitian ............................................................... 22

    3.4.1 Penyiapan Bahan Uji ................................................. 22

    3.4.2 Standardisasi ekstrak etanol daun Angsana

    (Pterocarpus indicus Willd) ..................................... 23

    BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 31

    4.1 Hasil Penelitian ..................................................................... 31

    4.1.1 Hasil Determinasi Tanaman ...................................... 31

    4.1.2 Hasil Standardisasi ekstrak etanol daun P.indicus .... 31

    4.1.2.1 Hasil Rendemen ekstrak .................................... 31

    4.1.2.2 Hasil Penapisan Fitokimia ................................. 32

    4.1.2.3 Parameter Spesifik ............................................. 32

    4.1.2.4 Parameter non spesifik ekstrak .......................... 33

    4.2 Pembahasan .......................................................................... 34

    BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 41

    5.1 Kesimpulan ........................................................................... 41

    5.2 Saran ..................................................................................... 41

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 42

    LAMPIRAN ............................................................................................. 46

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    13/97

    xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    Gambar 1 Angsana (Pterocarpus indicus Willd.) ................................... 5Gambar 2 Skema umum komponen pada alat SSA ................................. 18

    Gambar 3 Profil KLT daun P.indicus ...................................................... 36

    Gambar 4 Rotary evaprator ..................................................................... 46

    Gambar 5 Furnace ................................................................................... 46

    Gambar 6 Oven ........................................................................................ 46

    Gambar 7 Perkolator ................................................................................ 46

    Gambar 8 Autoklaf .................................................................................. 46

    Gambar 9 Desikator ................................................................................. 46

    Gambar 10 Spectroscopy Serapan Atom ................................................... 46

    Gambar 11 Spektrofotometri UV-Vis ....................................................... 46

    Gambar 12 Ekstrak Tangsel ...................................................................... 47Gambar 13 Ekstrak Bogor ......................................................................... 47

    Gambar 14 Ekstrak Yogyakarta ............................................................... 47

    Gambar 15 Standar Kuersetin ................................................................... 47

    Gambar 16 Nutrien Agar ........................................................................... 47

    Gambar 17 Potato Dextrose Agar ............................................................. 47

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    14/97

    xiv

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 4.1 Hasil Rendemen Ekstrak ......................................................... 17Tabel 3.1 Penapisan Fitokimia ............................................................... 25

    Tabel 3.2 Parameter Spesifik Ekstrak dengan pancaindra ...................... 26

    Tabel 3.3 Parameter spesifik ekstrak ....................................................... 27

    Tabel 3.4 Parameter non spesifik ekstrak ................................................ 28

    Tabel L.6 Senyawa terlarut dalam air ..................................................... 60

    Tabel L.7 Senyawa terlarut dalam etanol ................................................ 62

    Tabel L.8 Kadar air .................................................................................. 64

    Tabel L.9 Susut pengeringan ................................................................... 66

    Tabel L.10 Kadar abu ................................................................................ 68

    Tabel L.11 Kadar abu tidak larut asam ...................................................... 70

    Tabel L.12 Bobot jenis .............................................................................. 71Tabel L.13 Cemaran mikroba .................................................................... 73

    Tabel L.14 Cemaran kapang/khamir ......................................................... 74

    Tabel L.15 Kadar total flavonoid ............................................................... 75

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    15/97

    xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    HalamanLampiran 1 Alat-alat penelitian ................................................................ 49

    Lampiran 2 Bahan-bahan penelitian ......................................................... 50

    Lampiran 3 Hasil Determinasi Tumbuhan ............................................... 51

    Lampiran 4 Hasil Pengujian AAS P.Indicus Yogyakarta ........................ 52

    Lampiran 5 Hasil Pengujian AAS P.Indicus Bogor .................................. 53

    Lampiran 6 Hasil Pengujian AAS P.Indicus Tangsel ............................... 54

    Lampiran 7 Hasil Cemaran Mikroba ........................................................ 55

    Lampiran 8 Hasil Cemaran Kapang/Khamir ............................................ 56

    Lampiran 9 Alur Penelitian ...................................................................... 57

    Lampiran 10 Perhitungan Rendemen Ekstrak ............................................. 58

    Lampiran 11 Perhitungan Senyawa larut air .............................................. 59Lampiran 12 Perhitungan senyawa larut etanol ......................................... 60

    Lampiran 13 Perhitungan Kadar air ............................................................ 58

    Lampiran 14 Perhitungan Susut pengeringan ............................................ 59

    Lampiran 15 Perhitungan Kadar Abu ........................................................ 60

    Lampiran 16 Perhitungan Kadar abu tidak larut asam ................................ 58

    Lampiran 17 Perhitungan Bobot jenis ........................................................ 59

    Lampiran 18 Perhitungan Cemaran Mikroba ............................................. 60

    Lampiran 19 Perhitungan Cemaran Kapang/Khamir .................................. 58

    Lampiran 20 Perhitungan Kadar total Flavonoid ....................................... 59

    Lampiran 21 Perhitungan Cemaran logam berat ........................................ 59

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    16/97

    1

    BAB 1 

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG

    Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di

    dunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga saat

    ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya, namun hanya kurang

    dari 300 tanaman yang telah digunakan sebagai bahan baku industri farmasi

    secara regular. Sekitar 1000 jenis tanaman telah diidentifikasi dari aspek botani

    sistematik tumbuhan dengan baik. World Health Organization (WHO) pada tahun

    2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih menggantungkan sistem

    pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan tumbuhan untuk

    menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia menggunakan obat

    herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Saifudin, et al., 2011).

    Tumbuhan obat Indonesia atau saat ini lebih dikenal dengan nama obat

    bahan alam Indonesia, telah semakin banyak dimanfaatkan baik sebagai obat

    tradisional Indonesia (jamu), obat herbal terstandar ataupun fitofarmaka. Obat

    tradisional atau jamu telah diakui keberadaannya sejak zaman dahulu baik di

    Indonesia maupun negara-negara lainnya dan sampai sekarang tetap dimanfaatkan

    dan bahkan cenderung meningkat.

    Tumbuhan obat di Indonesia digunakan untuk meningkatkan kesehatan

    (promotif), memulihkan kesehatan (rehabilitatif), pencegahan penyakit (preventif)

    dan penyembuhan (kuratif). Namun eksistensinya belum dapat disetarakan dengan

    pelayanan pengobatan modern dengan menggunakan obat kimia, karena memang

    belum seluruhnya teruji keamanan dan manfaatnya (BPOM, 2005). Untuk itu

    perlu dilakukan penelitian berkesinambungan terkait efek farmakologi, toksisitas,

    farmakokinetik zat berkhasiat, penetapan mutu dan keamanan bahan baku ekstrak

    yang di gunakan di dalam penunjang kesehatan (Saifudin, et al., 2011).

    Obat herbal terstandar merupakan obat bahan alam yang telah

    distandardisasi dan terbukti khasiatnya melalui pra klinik. Pterocarpus indicus

    Willd merupakan salah satu tanaman yang belum menjadi obat herbal terstandar,

    maka p.indicus perlu ditetapkan standar mutu dan keamanannya.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    17/97

    2

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Pterocarpus indicus Willd merupakanan tanaman hutan yang terbesar

    diseluruh Nusantara. P.indicus termasuk kedalam famili Leguminosae. P.indicus

    ini digunakan sebagai tanaman penghijau di semua kota besar di Indonesia.

    P.indicus dikenal dengan nama Sono kembang dan Cendana Merah (Direktorat

    Pembenihan Tanaman Hutan, 2002).

    Efek farmakologi dari P.indicus ini adalah antidiabetik dan antitumor.

    Berbagai penelitian juga telah dilakukan terhadap tanaman ini antara lain : isolasi

    dan identifikasi komponen kimia ekstrak dietil eter daun Pterocarpus indicus

    (ahmad najib, 2008) dan uji aktivitas antibakteri. Ekstrak daun Pterocarpus

    indicus setelah diteliti menunjukan bahwa ekstrak etanol daun tersebut

    mempunyai aktivitas penghambatan pertumbuhan yang baik pada Staphylococcus

    Aureus dan kurang baik pada Streptococcus Pyogenes dan Escherichia coli

    sedangkan ekstrak kloroform dan heksan tidak menunjukan penghambatan

    pertumbuhan seluruh bakteri (fatimah, et al., 2006). Akan tetapi penelitian tentang

    standardisasi daun Pterocarpus indicus sampai saat ini belum ada yang

    melaporkan dalam publikasi ilmiah.

    Standardisasi dalam kefarmasian adalah serangkaian parameter, prosedur

    dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma

    mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi,

    dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk

    kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter

    standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga

    berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau produk ekstrak)

    mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan

    (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (Depkes RI, 2000)Dalam proses standardisasi daun Pterocarpus indicus Willd, diperlukan

    bahan baku atau simplisia yang memenuhi persyaratan dalam monografi terbitan

    resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia, 1989) dan ekstrak yang

    memenuhi persyaratan dalam buku khusus monografi ekstrak tumbuhan obat.

    Diharapkan dengan dilakukannya standardisasi ekstrak etanol daun

    Pterocarpus indicus Willd dapat menjamin obat yang berbasis herbal, dan

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    18/97

    3

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    memiliki mutu yang terukur, mampu mendukung derajat kesehatan dan terjamin

    keamanan serta terbebas dari bahan dan mikroba berbahaya.

    1.2 RUMUSAN MASALAH

    Dari hasil penelusuran pustaka diketahui bahwa belum ada penelitian

    mengenai standardisasi ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus Willd. Dengan

    latar belakang tersebut mencoba melakukan standardisasi ekstrak etanol tentang

    daun tumbuhan ini.

    1.3 TUJUAN

    Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan standardisasi berdasarkan

    beberapa parameter spesifik dan non spesifik ekstrak etanol daun Pterocarpus

    indicus sehingga menjamin bahwa simplisia tersebut mempunyai mutu dan nilai

    parameter yang terstandar.

    1.4 MANFAAT

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan data

    awal standardisasi yang dapat di jadikan acuan lanjut pada tahap pengembangan

    obat herbal terstandar (OHT).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    19/97

    4

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 TANAMAN ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd.)

    Pterocarpus indicus memiliki tempat asli yang membentang dari Selatan

    Burma melalui Semenanjung Thailand, Vietnam, Malaysia, Sumatera, Jawa Barat,

    Borneo, Filipina, Kepulauan Sunda, Maluku, Papua, Kepulauan Andaman India,

    Kepulauan Solomon, dan Carolina (Rojo, 1977). Pohon itu secara luas tersebar di

    habitat hutan yang asli (John K, 1979).

    Pterocarpus indicus adalah pohon deciduous (berumah dua), biasanya

    tumbuh 25-35 m tingginya (82-115 kaki). Tumbuh di bawah kondisi terbuka,

    diameter kanopi ini mirip dengan ketinggian pohon. Memiliki distribusi alam

    yang sangat luas di tenggara dan asia timur yang membentang ke arah timur ke

    utara dan barat daya pasifik. pohon Ini dapat ditemukan dalam berbagai tanaman

    masyarakat tetapi mencapai perkembangan terbaik di sungai, tropis, dan hutan

    sekunder, termasuk yang dekat dengan pantai dan tepi air pasang. Pterocarpus

    indicus banyak ditanam untuk tujuan hias di daerah tropis (Thomson, 2006).

    Pterocarpus indicus dibagi ke dalam dua spesies: P.indicus forma

    P.indicus Willd. dan P.indicus forma echinatus. Dibedakan oleh duri di bagian

    benih-bantalan buah yang kedua. Bentuk berduri yang bijinya tumbuh di Pulau

    Luzon di Filipina dan mungkin Kepulauan Celebes, Ambon, Andora, Wetar, dan

    Kisar (Rojo, 1977).

    2.2 DESKRIPSI TANAMAN ANGSANA (Pterocarpus indicus Willd.)

    Tinjauan mengenai tumbuhan ini meliputi klasifikasi tanaman, nama

    daerah, kandungan kimia, khasiat dan kegunaan

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    20/97

    5

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2.2.1  Klasifikasi Tumbuhan

    Kingdom : Plantae

    Divisi : Magnoliophyta

    Kelas : Magnoliopsida

    Ordo : Fabales

    Famili : Fabaceae

    Sub Famili  : Papilionoideae

    Genus : Pterocarpus

    Spesies : Pterocarpus indicus Willd

    Gambar 1 : Angsana (Pterocarpus indicus Willd)

    (sumber: koleksi pribadi )

    2.2.2  Nama Daerah

    Tanaman angsana (Pterocarpus indicus Willd) memiliki berbagai nama

    lain: narra (Filipina); angsana (Indonesia);, sena (Malaysia dan Singapura);

    pradoo (Thailand); Nugini rosewood (Papua Nugini); narra (umum untuk batang

    pohon spp.), paduak Melayu, halus narra, amboyna, Andaman redwood, cendana

    merah (English); santal rouge (Perancis); Asan (Aceh) ; Sena, sona, hasona

    (Batak); asana, sana, langsano, lansano (Minangkabau); angsana, babaksana

    ( Betawi); linggua (Maluku) (Joker, 2002).

    2.2.3  Morfologi

    Pterocarpus indicus Willd merupakan jenis tanaman pohon deciduous

    (berumah dua) yang tumbuh dengan ketinggian 30-40 m dengan diameter batang

    http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pterocarpus&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pterocarpus&action=edit&redlink=1

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    21/97

    6

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    hingga lebih dari 2 meter. Biasanya bentuk pohon jelek, pendek dan berbanir.

    Kayu mengeluarkan eksudat merah gelap yang disebut „kino’ atau darah naga.

    Daun majemuk dengan 5 –  11 anak daun, berbulu. Bunga dengan panjang 6  –  13

    cm di ujung. Bunga berkelamin ganda, berwarna kuning cerah dan harum

    (Joker, 2002).

    Daun (folium) merupakan salah satu organ tumbuhan yang penting dan

    terdapat dalam jumlah besar pada suatu tanaman. Bentuk daun biasanya tipis

    melebar, kaya akan suatu zat warna hijau yang disebut klorofil (Tjitrosoepomo,

    1996). Bentuk daun yang tipis melebar dengan posisi daun pada batang yang

    menghadap ke atas selaras yang berperan penting pada saat peristiwa fotosintesis,

    transpirasi, dan respirasi bagi tumbuhan.

    Daun penumpu berbentuk lanset, panjang 1-2 cm. daun berseling. Anakan

    daun 5-13, berbentuk bulat telur, memanjang, meruncing mengkilat. Tandan

    bunga di bagian ujung dan duduk di ketiak, sedikit atau tidak bercabang, berambut

    coklat, berbunga banyak dan panjang berukuran 7-11 cm, anak tangkai 0,5  –  1,5

    cm, bunga sangat harum (Tjitrosoepomo, 1996).

    Buah berbentuk Polong tidak merekah tebungkus sayap besar (samara).

    Berbentuk bulat, coklat muda, diameter 4  –  6 cm, dengan sayap besar berukuran

    1  –  2,5 cm yang mengelilingi tempat biji berdiameter 2  –  3 cm dan tebal 5  –  8

    mm. Permukaan tempat biji bervariasi dari yang halus pada forma indicus sampai

    yang tertutup oleh bulu lebat pada forma echinatus. Bentuk antara juga

    ditemukan. Biji: panjang 6  –   8 mm, berbentuk seperti buncis dengan testa

    berwarna coklat kertas (Joker, 2002).

    2.2.4  Kandungan KimiaSenyawa kimia yang terkandung dalam tumbuhan ini menunjukkan tes

    positif terhadap fenol, flavonoid, saponin, triterpenoid dan tannin (junanto, et al.,

    2008). Mengandung protein, lemak, serat, kalsium, kalium, dan tembaga

    (Fatimah, 2004).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    22/97

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    23/97

    8

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Standardisasi suatu simplisia mempunyai pengertian bahwa simplisia yang

    akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang

    tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Media

    Indonesia). Sedangkan sebagai produk yang langsung dikonsumsi (serbuk jamu

    dsb.) masih harus memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan

    peraturan yang berlaku (Depkes RI, 2000).

    2.4  EKSTRAKSI

    2.4.1  Pengertian Ekstraksi

    Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

    sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan mengenai

    golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan mempermudah

    proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes, 2000).

    Ekstraksi dilakukan untuk mengambil zat-zat yang terkandung dalam

    suatu campuran. Ekstraksi merupakan proses yang secara selektif mengambil zat

    terlarut dengan bantuan pelarut. Metode pemisahan pada ekstraksi pelarut

    menggunakan prinsip kelarutan. Prinsip kelarutan adalah like dissolve like, yaitu

    pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut nonpolar akan

    melarutkan senyawa nonpolar (Harborne, 1987).

    2.4.2  Metode Ekstraksi

    Ekstraksi dengan menggunakan pelarut

    1. Cara dingin

    a.  Maserasi

    Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakanpelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

    ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip

    metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti

    dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti

    dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan

    maserat pertama dan seterusnya ( Depkes RI, 2000).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    24/97

    9

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    b.  Perkolasi

    Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

    sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur

    ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi

    antara tahap perkolasi sebenarnya (penetesan / penampungan ekstrak), terus

    menerus sampai di peroleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan

    ( Depkes RI, 2000).

    2. Cara panas

    a.  Refluks

    Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

    selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan

    dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

    pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

    ekstraksi sempurna (Depkes RI, 2000).

    b.  Soxhlet

    Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

    umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

    dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik

    (Depkes RI, 2000).

    c.  Digesti

    Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

    temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara

    umum dilakukan pada temperatur 40 - 50oC ( Depkes RI, 2000).

    d. 

    InfusaInfusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

    (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur (96-

    98oC) selama waktu tertentu ( 15- 20 menit) ( Depkes RI, 2000).

    e.  Dekok

    Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama ( ≥ 30oC) dan

    temperatur sampai titik didih air ( Depkes RI, 2000).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    25/97

    10

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2.5 EKSTRAK

    Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

    senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

    yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

    serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

    ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat

    secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

    pengurangan tekanan, agar bahan sedikit mungkin terkena panas (Farmakope

    Indonesia, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni: ekstrak cair, ekstrak kental

    dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang, biasanya

    kadar air lebih dari 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-30%.

    Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Voigt, 1994).

    2.6 STANDARDISASI

    Standardisasi adalah rangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran

    yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, dalam

    artian memenuhi syarat standard (kimia, biologi, farmasi), termasuk jaminan

    (batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya (Depkes, 2000).

    Standardisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang

    terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standardisasi

    obat herbal meliputi dua aspek :

    1.  Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa

    yang bertanggung jawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia

    yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap

    senyawa aktif.2.  Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi

    dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas

    misalnya kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain-lain.

    2.6.1  Standardisasi Menjamin Keseragaman Khasiat (Efikasi)

    Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih

    bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    26/97

    11

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah

    menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi

    melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis

    kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat

    (Saefudin, et al., 2011).

    2.6.2  Standardisasi Untuk Uji Klinik

    Uji klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan berbagai

    sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar memberikan

    respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari kondisi

    patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek dituntut

    terdesain dan di kontrol dengan baik (Saefudin, et al., 2011).

    Respon uji klinik sangat ditentukan oleh keajegan (konsistensi) dosis. Jika

     jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka interpretasinya menjadi bias

    dan justru merugikan. Di sinilah peran besar standardisasi untuk menjaga

    senyawa-senyawa aktif selalu konsisten terukur antar perlakuan. Jadi penentuan

    dosis senyawa marker untuk uji klinik ekstrak atau obat herbal sangatlah

    fundamental (Saifudin, et al., 2011).

    2.6.3  Standardisasi Menjamin Aspek Keamanan Dan Stabilitas Ekstrak /

    Bentuk Sediaan

    Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi,

    penyiapan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen keamanan

    terhadap pemakai misal keberadaan logam berat (Pb, Cd, dan As), pestisida dalam

    tanah, udara dan air, jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemarlogam berbahaya. Untuk itu dilakukan berbagai analisis untuk menentukan batas

    minimal kadar air, zat dan jumlah pencemar mikroba (Saifudin, et al., 2011).

    2.6.4  Standardisasi Meningkatkan Nilai Ekonomi

    Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai

    produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara

    swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    27/97

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    28/97

    13

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    b.  Kadar kandungan kimia tertentu

    Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau

    senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara

    kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar

    kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan adalah

    densitometri, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang sesuai.

    Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai

    senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada

    efek farmakologi (Depkes, 2000).

    2.7.2  Parameter Non Spesifik Ekstrak

    Parameter non spesifik adalah segala aspek yang tidak terkait dengan

    aktivitas farmakologi secara langsung namun mempengaruhi aspek keamanan dan

    stabilitas ekstrak dan sediaan yang dihasilkan.

    Parameter nonspesifik ekstrak meliputi:

    1. Susut pengeringan dan bobot jenis

    a. Parameter susut pengeringan

    Parameter susut pengeringan adalah pengukuran sisa zat setelah

    pengeringan pada temperatur 105o

    C selama 30 menit atau sampai berat konstan

    yang dinyatakan sebagai nilai persen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak

    mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik

    dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan

    terbuka. Adapun tujuan menentukan susut pengeringan untuk memberikan

    batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses

    pengeringan.b.  Parameter bobot jenis

    Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume pada suhu kamar

    tertentu (25o

    C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya.

    Adapun tujuan menentukan bobot jenis ekstrak yaitu memberikan batasan tentang

    besarnya masa per satuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair

    sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Memberikan gambaran

    kandungan kimia terlarut.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    29/97

    14

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2, Kadar air

    Kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada di dalam bahan,

    dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetrik.

    Adapun tujuan menentukan kadar air untuk memberikan batasan minimal atau

    rentang tentang besarnya kandungan air di dalam bahan.

    3. Kadar abu

    Kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa

    organik dan turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral

    dan anorganik. Tujuan menentukan kadar abu untuk memberikan gambaran

    kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai

    terbentuknya ekstrak.

    4.  Sisa pelarut

    Sisa pelarut adalah menentukan kandungan sisa pelarut tertentu (yang

    memang ditambahkan). Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya,

    misalnya kadar alkohol. Adapun tujuan menentukan sisa pelarut untuk

    memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang

    memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan

     jumlah pelarut (alkohol) sesuai dengan yang ditetapkan.

    5.  Cemaran logam berat

    Cemaran logam berat adalah menentukan kandungan logam berat secara

    spektroskopi serapan atom yang lebih valid. Adapun tujuan uji cemaran logam

    berat untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat

    tertentu (As, Pb, Cd) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik)

    bagi kesehatan.6.  Cemaran mikroba

    Cemaran mikroba adalah menentukan (identifikasi) adanya mikroba yang

    patogen secara analisis mikrobiologis. Adapun tujuan dari uji cemaran mikroba

    untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh mengandung mikroba

    patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang

    ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksik) bagi

    kesehatan.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    30/97

    15

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    7.  Cemaran kapang/khamir

    Cemaran kapang/khamir adalah menentukan adanya jamur secara

    mikrobiologis. Adapun uji ini dilakukan untuk memberikan jaminan bahwa

    ekstrak tidak mengandung cemaran jamur melebihi batas yang ditetapkan karena

    berpengaruh pada stabilitas ekstrak (Depkes, 2000).

    2.8 KROMATOGRAFI

    Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan

    distribusi dari komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam dan

    fase gerak. Fase diam dapat berupa padatan, atau kombinasi cairan-padatan dan

    fase gerak  berupa cairan atau gas (Estien yazid, 2005).

    Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada

    pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi

    dibedakan menjadi: (Gandjar, et al., 2007)

    a.  Kromatografi adsorbsi

    b.  Kromatografi partisi

    c.  Kromatografi pasangan ion

    d.  Kromatografi penukar ion

    e.  Kromatografi eksklusi ukuran

    Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas:

    (Gandjar, et al., 2007)

    a.  Kromatografi kertas

    b.  Kromatografi lapis tipis

    c.  KromatografiCair Kinerja Tinggi (KCKT), dan

    d. 

    Kromatografi Gas

    2.8.1  Kromatografi Lapis Tipis

    Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,

    selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi

    kolom yang mana fase diamnya diisikan atau di kemas di dalamnya, pada

    kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    31/97

    16

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat

    alumunium, atau pelat plastik. (Gandjar, et al., 2007).

    Fase diam KLT

    Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil

    dengan diameter partikel antara 10-30 µm. semakin kecil ukuran rata-rata partikel

    fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik

    kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya. (Gandjar, et al., 2007). 

    Penjerap yang sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara

    mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan tipis

    yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silica yang telah

    dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodestrin yang digunakan

    untuk pemisahan kiral. (Gandjar, et al., 2007).

    Fase gerak KLT

    Sistem fase gerak yang paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik

    karena adanya elusi campuran kedua fase pelarut ini dapat mudah diatur

    sedemiakan rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah

    beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak :

    a.  Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT

    merupakan teknik yang sensitive

    b.  Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf

    terletak antara 0,2 –  0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

    c.  Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,

    polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar

    seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzene akan

    meningkatkan harga Rf secara signifikan.

    d.  Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran

    pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan

    pembanding tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-

    masing akan meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    32/97

    17

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Kromatografi lapis tipis digunakan pada pemisahan zat secara cepat,

    dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata

     pada lempeng kaca. Lempeng yang dilapis, dapat dianggap sebagai “kolom

    kromatografi terbuka” dan pemisahan didasarkan pada penyerapan, pembagian

    atau gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan

    zat penyerap dan jenis pelarut. Kromatografi lapis tipis dengan penyerap penukar

    ion dapat digunakan untuk pemisahan senyawa polar (Depkes, 1989).

    Harga Rf yang diperoleh pada kromatografi lapis tipis, tidak tetap jika

    dibandingkan dengan yang diperoleh pada kromatografi kertas. Karena itu pada

    lempeng yang sama disamping kromatogram dari zat yang diperiksa perlu dibuat

    kromatogram dari zat pembanding kimia, lebih baik dengan kadar yang berbeda-

    beda. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan 2 bercak dengan harga

    Rf dan ukuran yang lebih kurang sama. Ukuran dan intensitas bercak dapat

    digunakan untuk memperkirakan kadar. Penetapan kadar yang lebih teliti dapat

    dilakukan dengan cara densitometri atau dengan mengambil bercak dengan hati –  

    hati dari lempeng, kemudian disari dengan pelarut yang cocok dan ditetapkan

    dengan cara spektrometri. Pada kromatografi lapis tipis dua dimensi, lempeng

    yang telah dielusi diputar 90o

    C dan dielusi lagi, umumnya menggunakan bejana

    lain yang berisi pelarut lain (Depkes, 1989).

    Harga Rf dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana

    persamaan sebagai berikut:

     

    Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama

    dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel

    tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar, et al., 2007).

    2.9 SPEKTROFOTOMETRI

    Spektrofotometri adalah ilmu yang mempelajari tentang penggunaan

    spektrofotometer. Spektrofotometer adalah alat yang terdiri dari spektrofotometer

    dan fotometer. Spektofotometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    33/97

    18

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    energi secara relativ jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan, atau

    diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Spektrofotometer

    menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu, dan

    fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang

    diabsorpsi.

    2.9.1 Spektrofotometri Serapan Atom

    Spektrometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang

    pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap

    oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrometri ialah

    Spektrometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur secara

    kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan panjang

    gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Skoog, et. a l., 2000).

    Spektrometri Serapan Atom (SSA) digunakan dalam uji batas untuk

    logam-logam di dalam obat sebelum dimasukan ke dalam formulasi. Sampel

    biasanya dilarutkan dalam asam nitrat 0,1 M untuk menghindari pembentukan

    hidroksida logam dari logam berat, yang relatif non volatile dan menekan hasil

    pembacaan Spektrometri Serapan Atom (SSA) (Watson, 2009).

    Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang

    menghasilkan atom-atom gas bebas dalam keadaaan dasarnya dan suatu sistem

    optik untuk pengukuran sinyal. Suatu skema umum dari alat SSA adalah sebagai

    berikut :

    Gambar 2. Skema Umum Komponen pada Alat SSA (sumber: Haswel, 1991)

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    34/97

    19

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Dalam metode SSA, sebagaimana dalam metode spektrometri atomik yang

    lain, contoh harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses pengubahan ini

    dikenal dengan istilah atomisasi, pada proses ini sampel diuapkan dan

    didekomposisi untuk membentuk atom dalam bentuk uap. Secara umum

    pembentukan atom bebas dalam keadaan gas melalui tahapan-tahapan sebagai

    berikut (Basset, et al. 1994) :

    a.  Pengisatan pelarut, pada tahap ini pelarut akan teruapkan dan

    meninggalkan residu padat.

    b.  Penguapan zat padat, zat padat ini terdisosiasi menjadi atomatom

    penyusunnya yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.

    c.  Beberapa atom akan mengalami eksitasi ke tingkatan energi yang lebih

    tinggi dan akan mencapai kondisi dimana atom-atom tersebut mampu

    memancarkan energi.

    2.9.2  Spektrofotometri UV-Vis

    Spektrofotometri UV-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur

    serapan yang dihasilkan dari interaksi kimia antara radiasi elektromagnetik

    dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia pada daerah ultraviolet (200-400

    nm) dan sinar tampak (400-800 nm).

    Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum

    ultraviolet dan cahaya tampak terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan

    menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan

    suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan. Kedua sel yang digunakan

    untuk larutan yang diperiksa dan larutan pembanding harus mempunyai

    karakteristik spektrum yang sama. Bila digunakan instrumen bekas ganda dengan perekam, sel yang berisi pelarut ditempatkan pada jalur berkas pembanding

    (Underwood, 1988). 

    Jika tidak dinyatakan lain, serapan diukur pada panjang gelombang yang

    ditetapkan dengan menggunakan kuvet yang panjangnya 1 cm pada suhu 19o C

    hingga 20o C. Jika hal tersebut tidak sesuai untuk instrumen tertentu, panjang

    kuvet dapat diubah atau sebagai gantinya kadar dapat diubah, asalkan telah

    ditunjukkan bahwa Hukum Beer dipenuhi untuk jangkauan kadar tersebut.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    35/97

    20

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Kecuali dinyatakan lain, pengukuran dilakukan terhadap pelarut yang digunakan

    untuk membuat larutan uji sebagai pembanding. Dalam hal tertentu, pengukuran

    dilakukan terhadap suatu campuran pereaksi sebagai pembanding. 

    Panjang gelombang dimana terjadi eksitasi elektronik yang memberikan

    absorban maksimum disebut sebagai panjang gelombang maksimum (λ maks).

    Penentuan panjang gelombang maksimum yang pasti (tetap) dapat dipakai untuk

    identifikasi molekul yang bersifat karakteristik -karakteristik sebagai data

    sekunder (Underwood, 1988). 

    Radiasi di daerah UV-Visibel diserap melalui eksitasi elektron-elektron

    yang terlibat dalam ikatan-ikatan antara atom-atom pembentuk molekul sehingga

    awan elektron menahan atom-atom bersama-sama mendistribusikan kembali

    atom-atom itu sendiri dan orbital yang ditempati oleh elektron-elektron pengikat

    tidak lagi bertumpang tindih. Radiasi UV panjang gelombang pendek 8,3 Ev ) dapat menyebabkan putusnya ikatan paling kuat di dalam molekul

    organik sehingga sangat membahayakan organisme hidup (Watson, 2009).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    36/97

    21

    BAB 3

    METODE PENELITIAN

    3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

    Penelitian ini dilakukan selama ± 6 bulan, Februari-Juli di Laboratorium

    bahan alam Pusat Penelitian Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

    Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK), Serpong dan

    Laboratorium Farmakognosi dan Penapisan Fitokimia Fakultas Kedokteran dan

    Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3.2 BAHAN

    3.2.1  TANAMAN

    Tanaman yang diteliti adalah Pterocarpus indicus Willd yang diperoleh

    dari tiga tempat tumbuh yang berbeda, yaitu Tangerang selatan dari daerah

    Puspitek , Bogor dari kelurahan Mekarwangi Tanah Sereal dan Yogyakarta dari

    daerah Tirtomartani Kalasan Sleman. Masing-masing Tanaman yang diambil

    berumur 6 tahun. Bagian yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun dari

    tanaman tersebut yang sudah tua.

    3.2.2  BAHAN KIMIA

    Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%,

    metanol, ammonia, kloroform, pereaksi dragendroff, pereaksi meyer, Mg, HCl,

    amil alcohol, FeCl3, NaOH, aquadest, asam sulfat encer, AlCl3, standar Kuersetin,

    Na asetat, Nutrient Agar (NA), Potato Dextrose Agar (PDA), kertas saring dankapas.

    3.3 ALAT

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi, hot

    plate, corong, gelas ukur, botol timbang, batang pengaduk, piknometer, timbangan

    analitik, cawan petri, labu titrasi, oven, krus silikat, alat destilasi, pipet tetes,

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    37/97

    22

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    erlenmeyer, blender, mikropipet, rotary evaporator, labu ukur, ultrasonik,

    furnace, Spektrofotometer UV Vis, Spektroskopi Serapan Atom.

    3.4 PROSEDUR PENELITIAN

    Standardisasi dari ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus Willd

    dilakukan melalui beberapa tahapan penelitian yang meliputi :

    3.4.1 Persiapan Bahan Uji

    a. Determinasi Tanaman

    b. Penyiapan sampel

    c. Pembuatan ekstrak

    3.4.2 Standardisasi ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus Willd

    a. Penetapan parameter spesifik

    1. Identitas

    2. Organoleptik

    3. senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

    4. Uji kandungan kimia ekstrak etanol

    b. Penetapan parameter non spesifik

    1.  Penetapan Susut Pengeringan

    2.  Bobot Jenis

    3.  Penetapan Kadar Air

    4.  Penetapan Kadar Abu

    5.  Penentuan cemaran bakteri dan cemaran kapang

    6.  Penentuan Cemaran Logam

    3.4.1  PERSIAPAN BAHAN UJIa.  Determinasi Tanaman

    Pemeriksaan atau determinasi tanaman dilakukan di Herbarium

    Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor, Jawa Barat.

    b.  Penyiapan Simplisia

    Simplisia yang berasal dari ketiga tempat tumbuh yang berbeda

    dipisahkan terlebih dahulu dari masing-masing lokasi agar dalam penyiapan

    simplisia tidak tercampur. Penyiapan simplisia daun P.indicus Willd

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    38/97

    23

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    dilakukan dengan cara sortasi basah untuk memisahkan kotoran atau bahan-

    bahan asing lainnya dari daun. Kemudian dilakukan pencucian untuk

    menghilangkan pengotor yang masih menempel pada bahan. Tahap

    selanjutnya adalah pengeringan, sampel dikeringkan dalam oven pada suhu

    45oC selama 24 jam. Kemudian dilakukan sortasi kering, tujuannya untuk

    menghilangkan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal

    pada simplisia kering, kemudian dilakukan penggilingan untuk mendapatkan

    serbuk simplisia.

    c.  Pembuatan Ekstrak

    Serbuk simplisia P.indicus Willd yang diperoleh ditimbang sebagai

    bobot awal. Proses ekstraksi simplisia angsana menggunakan metode maserasi

    dengan pelarut etanol 70% hingga terendam dalam wadah tertutup rapat

    selama 24 jam. Proses ekstraksi dilakukan sampai hasil larutan maserasi

    mendekati tidak berwarna. Filtrat yang didapat kemudian disatukan dan

    dipekatkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 60oC sampai didapat

    ekstrak kental.

    % rendemen ekstrak = berat ekstrak yang didapat (g) x 100%.

    berat simplisia yang di ekstrak (g) 

    3.4.2  STANDARDISASI EKSTRAK ETANOL

    a.  Parameter spesifik (Depkes RI, 2000)

    1.  Identitas

    Deskripsi tata nama dan senyawa identitas yang terkandung

    2. 

    OrganoleptikMendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa

    3.  Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu

    a.  Kadar senyawa yang larut dalam air

    Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan

    20 mL air-kloroform kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring.

    Diuapkan 4 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu

    dipanaskan pada suhu 105oC. Keluarkan, lalu dimasukan ke dalam

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    39/97

    24

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    desikator kemudian ditimbang. Ulangi perlakuan sampai

    didapatkan bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa

    yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.

    % senyawa terlarut air = −   100%Ket : A1 = Bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (g)

    Ao = Bobot cawan kosong (g)

    B = Bobot sampel awal (g)

    b.  Kadar senyawa yang larut dalam etanol

    Sejumlah 1 gram ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan

    20 mL etanol 95% kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring.

    Diuapkan 4 mL filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu

    dipanaskan pada suhu 105oC. Keluarkan, lalu dimasukan ke dalam

    desikator kemudian ditimbang. Ulangi perlakuan sampai

    didapatkan bobot tetap Dihitung kadar dalam persen senyawa yang

    larut dalam air terhadap berat ekstrak awal.

    % senyawa terlarut etanol =−

      100%Ket : A1 = Bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (g)

    Ao = Bobot cawan kosong (g)

    B = Bobot sampel awal (g)

    4.  Uji kandungan kimia

    a.  Pola kromatogram

    Ekstrak sebanyak 1 mg dilarutkan dalam 1 mL metanol,

    kemudian ditotolkan pada lempeng KLT selanjutnya dielusi

    dengan fase gerak yang sesuai.

    b.  Penapisan golongan kimia ekstrak etanol (Nurhimah A, 2008)

      Identifikasi steroid dan triterpenoid

    Ekstrak etanol pekat sebanyak 1g dimaserasi dengan

    10 mL dietil eter selama 10 menit. Lapisan eter dipisah lalu

    ditambah 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4.

    warna merah atau ungu menunjukkan kandungan

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    40/97

    25

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    triterpenoid pada sampel sedangkan warna hijau

    menunjukkan kandungan steroid

      Identifikasi flavonoid

    Ekstrak etanol pekat sebanyak 1gram dilarutkan

    dengan 100 mL air panas dan didihkan selama 10 menit.

    Sebanyak 5 mL filtrat ditambahkan 0.5 mg serbuk Mg, 2

    mL larutan HCl, dan 2 mL amil alkohol lalu dikocok kuat.

    Warna jingga yang terbentuk menunjukkan terdapatnya

    senyawa flavonoid

      Identifikasi saponin

    Ekstrak etanol pekat sebanyak 1 gram dilarutkan

    dengan 100 mL air panas dan didihkan selama 10 menit.

    Sebanyak 5 mL, filtrat yang diperoleh dikocok. Timbulnya

    busa hingga selang waktu 10 menit menunjukkan adanya

    saponin.

      Identifikasi tanin

    Ekstrak etanol sebanyak 1gram dilarutkan dengan

    100 mL air panas dan didihkan selama 10 menit.

    Ditambahkan beberapa tetes FeCl3. Terbentuknya warna

    biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan terdapatnya

    tannin

      Identifikasi kuinon

    Ekstrak etanol pekat sebanyak 1 gram dilarutkan

    dengan 100 mL air panas dan didihkan selama 10 menit.

    Sebanyak 5 mL filtrat ditambahkan NaOH 10% warna

    merah yang terbentuk menunjukkan terdapatnya senyawa

    kuinon

      Identifikasi alkaloid

    Ekstrak etanol pekat sampel sebanyak 1 gram

    ditambahkan 10 mL kloroform dan 3 tetes amoniak dalam

    tabung reaksi. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan

    dengan H2SO4  2 M dan dimasukkan ke dalam 2 buah

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    41/97

    26

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    tabung reaksi, lalu ditambahkan pereaksi Dragendorff pada

    tabung pertama, dan pereaksi Mayer pada tabung kedua.

    Terdapatnya akaloid ditandai dengan terbentuknya endapan

    putih oleh pereaksi Mayer, dan endapan merah oleh

    pereaksi Dragendorf.

    c.  Kadar total flavonoid (Chang, et al., 2002)

    1)  Larutan uji

      1 gram ekstrak ditimbang kemudian dihidrolisis dengan

    HCl 4N selama 30 menit

      Ekstrak disari dengan 15 mL etil asetat sebanyak 3 kali,

    fraksi EA dikumpulkan dan dipekatkan

      Hasil ekstrak EA dimasukan dalam labu 25 mL, kemudian

    dilarutkan dengan metanol hingga tanda batas

      Larutan uji dipipet 0,5 mL kemudian dilarutkan dengan

    metanol 1,5 mL pada tabung reaksi

      Ditambahkan pereaksi 0,1 mL AlCl3 10%, 0,1 mL Na asetat

    1M dan 2,8 mL aquadest, larutan dicampur homogen dan

    diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit

      Larutan diukur serapannya pada spektro UV pada panjang

    gelombang 415 nm dengan menggunakan larutan blanko

    tanpa AlCl3 tapi diganti aquadest

      Kadar flavonoid total dinyatakan dengan kesetaraan

    pembanding kuersetin

    2)  Kurva kalibrasi

    Pembuatan kurva kalibrasi dilakukan dengan pembanding

    kuersetin

      25 mg kuersetin dilarutkan dengan metanol dalam

    labu ukur 100 mL hingga tanda batas

      Dibuat 5 konsentrasi berbeda dengan diencerkan

    menggunakan metanol

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    42/97

    27

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

      Tiap konsentrasi dipipet 0,5 mL lalu dilarutkan

    dengan 1,5 mL metanol, dan ditambahkan pereaksi

    0,1 mL AlCl3  10%, 0,1 mL Na asetat 1M dan 2,8

    mL aquadest

      Larutan dicampur homogen dan diinkubasi pada

    suhu kamar selama 30 menit

      Larutan diukur pada panjang gelombang 415 nm

    dengan larutan blangko tanpa kuersetin.

    b.  Parameter non spesifik (Depkes RI, 2000)

    1.  Penetapan susut pengeringan

    Sebanyak 1 gram ekstrak ditimbang dalam cawan yang

    sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105ºC selama 30 menit dan

    telah ditara. Sebelum di timbang ekstrak diratakan dengan bantuan

    pengaduk hingga merupakan ekstrak berupa lapisan setebal 5 sampai

    10 mm kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC selama 30 menit,

    keluarkan, lalu dimasukan ke dalam desikator kemudian ditimbang.

    Ulangi perlakuan sampai didapatkan bobot tetap. Kemudian dicatat

    bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut

    pengeringannya.

    % susut pengeringan =−

      100%( Selawa, widya et al. 2013)

    Ket : A = Berat sampel sebelum dipanaskan (g)

    B = Berat sampel setelah dipanaskan (g)

    2.  Penetapan kadar air (Metode gravimetri) (Depkes, 2000) 

    Ditimbang seksama 1 gram ekstrak dalam cawan yang

    telah ditara. Dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam dan

    ditimbang.

    kadar air =−

       Ket : A = Berat sampel sebelum dipanaskan (g)

    B = Berat sampel setelah dipanaskan (g)

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    43/97

    28

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    3.  Bobot jenis

    Bobot jenis diukur menggunakan piknometer bersih, kering dan

    telah dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air

    pada suhu 25°C. Bobot jenis ekstrak cair ditentukan terhadap hasil

    yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air,

    dalam piknometer pada suhu 25°C.

    Bobot jenis =− −   BJ air

    Ket : A1 = Bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (g)

    Ao = Bobot cawan kosong (g)

    B = Bobot sampel awal (g)

    4.  Penetapan kadar abu (Depkes RI,2000).

    Ditimbang 1 gram ekstrak secara seksama lalu dimasukkan ke

    dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditimbang terlebih dahulu,

    kemudian diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang abis. Lalu

    dinginkan dan ditimbangKadar abu =

    − −   100%

    Ket : A1 = Bobot cawan + ekstrak setelah pemanasan (g)

    Ao = Bobot cawan kosong (g)

    B = Bobot sampel awal (g)

    Kadar abu yang tidak larut dalam asam

    Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam

    dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, kemudian dipijarkan

    hingga bobot tetap dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak

    larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.

    Kadar abu tidak larut asam =−−

      100%Ket : A1 = Bobot cawan + ekstrak setelah pemijaran (g)

    Ao = Bobot cawan kosong (g)

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    44/97

    29

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    B = Bobot sampel awal (g)

    C = Bobot kertas saring kosong (g)

    5.  Penetapan cemaran mikroba dan cemaran kapang (Depkes RI, 2000)

    a.  Penentuan cemaran mikroba

    Larutan ekstrak dibuat dengan pengenceran 1:10 dengan

    cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 mL.

    dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Untuk

    penentuan angka lempeng total (ALT) dipipet 1 mL dari tiap

    pengenceran ke dalam cawan petri yang steril (triplo) dengan

    menggunakan pipet yang berbeda dan steril untuk tiap

    pengenceran. Ke dalam tiap cawan petri dituangkan 15 mL media

    nutrient agar yang telah dicairkan bersuhu 450  C. Cawan petri

    digoyangkan dengan hati-hati (diputar dan digoyangkan ke depan

    dan ke belakang ke kanan dan ke kiri) hingga sampel bercampur

    rata dengan larutan ekstrak. Kemudian dibiarkan hingga campuran

    dalam cawan petri membeku. Cawan petri dengan posisi

    dimasukkan ke dalam lemari inkubator suhu 35o

    C selama 24 - 48

     jam. Dicatat pertumbuhan koloni pada masing-masing cawan yang

    mengandung 30-300 koloni setelah 24 - 48 jam dan menentukan

    Angka Lempeng Totalnya

    b.  Penentuan cemaran kapang/khamir

    Dibuat larutan ekstrak dengan pengenceran 1:10 dengan

    cara melarutkan 1 gram ekstrak ke dalam labu ukur 10 ml.Dilanjutkan dengan pengenceran 1:100 dan 1:1000. Media agar

    yang digunakan adalah Potato Dextrose Agar (PDA). PDA

    dicairkan dengan suhu 450C, lalu dimasukkan ke dalam cawan

    petri sebanyak 15 mL, biarkan membeku dalam cawan. Sebanyak

    0,5 mL dari tiap pengenceran larutan ekstrak dipipet ke dalam

    cawan petri yang steril (metode sebar atau spreader) dengan

    menggunakan pipet yang berbeda dan steril untuk tiap

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    45/97

    30

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    pengenceran. Cawan petri digoyangkan dengan hati-hati hingga

    sampel tersebar secara merata pada media. Kemudian

    diinkubasikan pada suhu kamar (25º C) selama 5 hari, lalu

    ditentukan jumlah kapang dan khamir.

    6.  Penentuan cemaran logam berat (Saifudin, et al., 2011).

    Ditimbang 1 gram ekstrak dan ditambahkan 10 mL HNO3 pekat,

    kemudian dipanaskan diatas hot plate (dalam ruang asam) hingga

    volume larutan setengahnya, setelah itu tambahkan 5 mL HClO4 

    kemudian dipanaskan hingga asap tidak ada lagi kemudian

    didinginkan, filtrat disaring dimasukan kedalam labu ukur 50 mL,

    ditambahkan aquabidest hingga tanda batas. sampel diukur dengan

    spektrofotometri serapan atom (SSA).

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    46/97

    31 

    BAB 4

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    4.1 HASIL PENELITIAN

    4.1.1  Hasil determinasi tanaman

    Hasil identifikasi tanaman dari Tangerang Selatan yang diperoleh dari

    daerah Puspitek, Bogor dari kelurahan Mekarwangi Tanah Sereal dan Yogyakarta

    dari daerah Tirtomartani Kalasan Sleman. Dilakukan di Herbarium Bogoriense,

    Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Bogor. Hasil determinasi Menunjukan

    bahwa semua sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah angsana

    (Pterocarpus indicus).

    4.1.2 Hasil Standardisasi Ekstrak Etanol Daun Angsan 

    4.1.2.1 Hasil Rendemen Ekstrak

    Proses ekstraksi daun P.indicus dilakukan menggunakan metode maserasi.

    Tabel 4.1. Hasil rendemen ekstrak

    Asal simplisia

    Berat (g)

    Simplisia yang

    ditimbang

    Berat ekstrak

    yang diperoleh (g)Rendemen (%)

    Tangsel 1000 gram 157 gram 15,7 %

    Bogor 437 gram 43 gram 8,8 %

    Yogyakarta 664 gram 71 gram 10,6 %

    Hasil ekstraksi serbuk simplisia daun angsana menunjukan bahwa ekstrak

    kental etanol yang berasal dari Tangerang Selatan mempunyai rendemen sebesar

    15,7 %, sedangkan dari Bogor mempunyai rendemen sebesar 8,8 % dan dari

    Yogyakarta sebesar 10,6 %.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    47/97

    32

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    4.1.2.2 Hasil Penapisan Fitokimia

    Tabel 4.2. Tabel hasil penapisan fitokimia

    Golongan

    senyawa

    Ekstrak etanol Simplisia

    YogyakartaKet

    Tangsel Bogor Yogyakarta

    Alkaloid

    Meyer

    Dragendrof

    + + + +Terdapat endapan

    putih 

    + + + +Terdapat endapan

    merah bata

    Flavonoid + + + +

    Terbentuk warna

    pada lapisan atas amil

    alkohol

    Saponin + + + +Terbentuk busa yang

    stabil

    Tannin + + + +

    Terbentuk warna biru

    tua atau biru

    kehitaman

    Kuinon + + + +Terbentuk warna

    merah

    Steroid - - - -Tidak terbentuk

    warna hijau atau biru

    Triterpenoid + + + +Terbentuk warna

    merah

    4.1.2.3 Parameter Spesifik Ekstrak

    Tabel 4.3. Parameter spesifik ekstrak dari tiga tempat tumbuh dengan

    menggunakan panca indra

    Parameter Tangsel Bogor Yogyakarta

    Identitas :

    Nama ekstrak

    Nama latin

    Bagian tanaman

    Ekstrak etanol daun

    angsana

    Ekstrak etanol daun

    angsana

    Ekstrak etanol daun

    angsana

    Pterocarpus indicus

    Willd.

    Pterocarpus indicus

    Willd.

    Pterocarpus indicus

    Willd.

    Daun Daun DaunOrganoleptik :

    Bentuk

    Warna

    Rasa

    Bau

    Ekstrak kentalEkstrak kental Ekstrak kental

    Hijau coklat

    kehitaman

    Hijau coklat

    kehitaman

    Hijau coklat

    kehitaman

    Pahit Pahit Pahit

    Tidak khas dan bau

    lemah

    Tidak khas dan bau

    lemah

    Tidak khas dan bau

    lemah

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    48/97

    33

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Tabel 4.4. Parameter spesifik ekstrak

    Parameter

    Hasil rata-rata (%)

    PersyaratanRentang nilai

    (%)p.indicus

    (Tangsel)

    p.indicus

    (Bogor)

    p.indicus

    (Yogyakarta)Kadar senyawa

    larut air

    22,882 % ±

    0,411

    23,536 %

    ± 3,851

    24,437 %

    ± 3,982-

    22,882 ± 0,411 -

    24,437 ± 3,982

    Kadar senyawa

    larut etanol

    14,416 %

    ± 0,709 

    15, 374 %

    ± 0,715 

    13,624 % ±

    1,206 -

    13,624± 1,206 -

    15,374 ± 0,715

    Kadar total

    flavonoid

    4,017 %

    ±0,016

    4,020 %

    ±0,007

    3,888 %

    ±0,001

    3,888 % ±0,001-

    4,020 % ±0,007

    4.1.2.4 Parameter Non Spesifik Ekstrak

    Tabel 4.5. Parameter non spesifik ekstrak

    Parameter

    Hasil rata-rata (%)

    PersyaratanRentang nilai

    (%)p.indicus

    (Tangsel)

    p.indicus

    (Bogor)

    p.indicus

    (Yogyakarta)

    Susut pengeringan22, 027 %

    ± 0,152 

    15,852 %

    ± 1,576 

    33,367 %

    ± 2,843 -

    15,852 ±1,576

    -33,367 ±2,843 

    Kadar air17, 961 %

    ± 4,501 

    13,843 %

    ± 3,591 

    20,595 %

    ± 2,133 5-30%

    (1) 

    13,843 ±3,591-

    20,595 ±2,133 

    Kadar abu total

    5, 939 %

    ± 0,160 

    5,514 %

    ±0,565 

    7,631 %

    ± 1,532  -

    5,514 ±0,565 -

    7,631 ±1,532 

    Kadar abu tidak

    larut asam

    0,746 %

    ± 0,224 %

    0,058 %

    ±0,039 %

    1,486 %

    ±0,246 %-

    0,058 ±0,039 -

    1,486 ±0,246 

    Bobot jenis1,009 g/mL

    ±0,000 

    1,021 g/mL

    ±0,011

    1,008 g/mL

    ±0,002 -

    1,008 g/mL

    ±0,002 -1,021

    g/mL ±0,011 

    Cemaran mikroba 60* 130* 0 1x104 kol/g (2)  60* - 130* 

    Cemaran

    kapang/khamir0  45*  0  1x103 kol/g (2) 

    0 - 45* 

    Logam berat

      Cd1,8 x10

    -5 

    mg/kg

    1,1 x10-5

     

    mg/kg

    2,1 x10-5

     

    mg/kg

    < 0,3 mg/kg (2) 

    1,1 x10-  - 2,1x10

    -5  mg/kg

      Pb2,388 x10

    -3

    mg/kg

    2,709 x10-3

    mg/kg

    3,357 x10-3

    mg/kg< 10 mg/kg (2)

    2,388 x10-

    -

    3,357 x10-3

    mg/kg

      As

    0,208 x10-

     

    µg/kg 

    0,566 x10-

     

    µg/kg

    0,956 x10-

     

    µg/kg < 5 μg/kg (2) 

    0,208 x10-

    -

    0,956 x10-3

     

    µg/kg

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    49/97

    34

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    (1) Literatur diambil dari Voigt (1995)

    (2) Literatur diambil dari parameter ekstrak secara umum, Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat, jilid II (2006)

    4.2  PEMBAHASANPenelitian standardisasi ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus dilakukan

    sebagai upaya untuk menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak, atau produk

    ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih

    dahulu (Depkes RI, 2000).

    Standardisasi ekstrak etanol daun Pterocarpus indicus ini diperoleh dari

    tiga tempat tumbuh yang berbeda yaitu Tangerang Selatan dari daerah Puspitek ,

    Bogor dari kelurahan Mekarwangi tanah sereal dan Yogyakarta dari daerah

    Tirtomartani Kalasan Sleman. Hasil determinasi dari ketiga tempat tumbuh

    menjelaskan identitas tanaman adalah daun Pterocarpus indicus Willd.

    Pada penelitian ini digunakan sampel berupa daun dari P.indicus. Daun

    yang digunakan bertujuan agar pelarut lebih mudah berpenetrasi, sehingga zat-zat

    yang terdapat pada daun lebih mudah terekstraksi. Metode yang digunakan dalam

    ekstraksi adalah maserasi, maserasi sampel dilakukan dengan menggunakan

    pelarut etanol, karena sifat etanol mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang

    bersifat polar, semi polar dan non polar serta kemampuannya untuk

    mengendapkan protein dan menghambat kerja enzim, sehingga mencegah

    terjadinya proses hidrolisis dan oksidasi (Harborne, 1987). Etanol yang digunakan

    adalah etanol 70%.

    Setelah dimaserasi filtrat etanol dikentalkan dengan menggunakan vacuum

    rotary evaporator untuk menguapkan pelarut (Harbone, 1987). Dari hasil

    maserasi ini P.indicus Tangsel diperoleh rendemen ekstrak sebanyak 15,7 %,

    sedangkan P.indicus Bogor 8,8 %, dan P.indicus Yogyakarta 10,6%. Hasil

    rendemen ekstrak dengan menggunakan pelarut etanol antara 8,8  –   15,7 %,

    rentang rendemen tersebut cukup lebar. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor,

    antara lain : perbedaan tempat tumbuh, musim dan penanganan pasca panen.

    Setelah didapatkan ekstrak kental dilakukan penetapan standar mutu dan

    kandungan kimia ekstrak. Persyaratan mutu ekstrak meliputi parameter spesifik

    dan parameter non spesifik. Standardisasi ini dilakukan agar dapat menjamin

    bahwa produk ekstrak mempunyai nilai parameter yang konstan

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    50/97

    35

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    (Depkes RI, 2000). Dalam penentuan nilai standardisasi diperlukan acuan yang

    menandakan bahwa ekstrak tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

    Pada ekstrak daun P.indicus belum terdapat acuan standardisasi resmi terbitan

    Departemen Kesehatan maupun sumber lain sehingga sebagai acuan peneliti

    menggunakan persyaratan ekstrak secara umum. Semua hasil parameter uji

    masing-masing ekstrak etanol diambil nilai terendah dan tertinggi untuk dijadikan

    sebagai nilai rentang parameter uji.

    Pengujian parameter spesifik meliputi identitas, organoleptik senyawa

    terlarut dalam pelarut tertentu (air dan etanol), dan uji kandungan kimia ekstrak

    yang meliputi pola kromatogram dan kadar kandungan kimia tertentu .

    Identitas ekstrak bertujuan untuk memberikan identitas obyektif dari nama

    dan spesifik dari senyawa, sedangkan organoleptik ekstrak bertujuan sebagai

    pengenalan awal menggunakan panca indra dengan mendeskripsikan bentuk,

    warna, bau dan rasa (Depkes RI, 2000). Ekstrak yang diperoleh berupa ekstrak

    kental, berwarna hijau cokelat hingga kehitaman, bau lemah dan tidak khas serta

    rasanya pahit.

    Pada pengujian kadar senyawa yang larut dalam air diperoleh rentang

    antara 22,882 % ±0,411 - 24,437% ±3,982 dan kadar senyawa yang larut dalam

    etanol diperoleh kadar antara 13,624 % ±1,206 - 15,374% ±0,715. Ini menunjukan

    ekstrak lebih banyak terlarut dalam air dibandingkan dalam etanol. Penetapan

    kadar ekstrak larut air dan larut etanol bertujuan untuk memperkirakan kadar

    senyawa aktif berdasarkan sifat polaritas. Penetapan kadar ekstrak larut air dan

    etanol bukanlah hal yang terkait efek farmakologis namun adalah perkiraan kasar

    senyawa-senyawa yang bersifat polar (larut air) dan senyawa aktif yang bersifat

    semipolar-nonpolar (larut etanol) (Saifudin, et al., 2011).Pada penapisan fitokimia, dilakukan terhadap ekstrak kental dan simplisia.

    Dari hasil yang diperoleh menunjukan tes positif terhadap alkaloid, flavonoid,

    saponin, tannin, triterpenoid dan kuinon. Flavonoid merupakan kelompok

    senyawa fenol terbesar di alam. Senyawa ini adalah senyawa zat warna yang

    terjadi secara alami dan terdistribusi secara luas (Harborne, et al., 1987). Hasil

    skrining fitokimia daun P.indicus Tangsel, Bogor dan Yogyakarta terlihat tajam

    terhadap flavonoid. Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol, saponin

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    51/97

    36

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat

    dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa akibatnya saponin akan

    menurunkan tegangan permukaan, dinding sel bakteri dan merusak permeabilitas

    membran, sehingga saponin ini dapat digunakan sebagai antibakteri, hasil skrining

    fitokimia daun P.indicus yang terlihat tajam pada saponin adalah P.indicus

    Yogyakarta dibandingkan Tangsel dan Bogor.

    Pengujian kandungan kimia ekstrak bertujuan untuk memberikan

    gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram, pola

    kromatogram ini menggunakan Kromatografi lapis tipis (KLT).

    Gambar 3 : foto profil KLT daun P.indicus. fase gerak campuran Heksan : Etil asetat (4:6) dan

    fase diam: Silika gel . Keterangan: T= Tangerang Selatan B= Bogor Y= Yogyakarta

    RF P.Indicus Tangsel P.Indicus Bogor P.Indicus Yogyakarta

    1 0,33 0,33 0,33

    2 - 0,43 0,43

    3 - 0,84 0,86

    4 0,92 0,90 0,92

    5 0,96 0,96 0,96

    Hasil KLT dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada gambar 3.

    Masing-masing ekstrak ditimbang sebanyak 5 mg kemudian dilarutkan dengan

    metanol sebanyak 1 mL dan ditotolkan pada plat KLT. Dari hasil elusi didapatkan

    eluen terbaik yaitu heksan : etil asetat (4:6). Pada elusi ekstrak daun P.indicus

    dengan eluen tersebut diperoleh pemisahan yang cukup baik. Ada 4 bercak utama

    2

    345

    1

    sebelum UV  UV 254  UV 366 sesudah UV dan

    disemprot H2SO4 

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    52/97

    37

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    terdeteksi pada pola kromatogram, setelah di semprot dengan H2SO4 terlihat ada 5

    bercak, ketiga ekstrak menunjukan pola kromatogram yang hampir sama, namun

    berbeda dalam ukuran intensitas. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan

    konsentrasi senyawa pada tiap ekstrak. Pengamatan dibawah sinar UV pada

    panjang gelombang 366 nm terlihat noda yang tampak berfluoresensi dengan RF1

    0,33 terlihat sejajar pada p.indicus Tangsel, p.indicus Bogor dan p.indicus

    Yogyakarta, setelah disemprot H2SO4 didapat nilai RF2 0,43 pada p.indicus

    Yogya dan p.indicus bogor. Pada bercak selanjutnya terdapat warna kuning

    sebelum UV dan di semprot H2SO4 pada p.indicus Yogya dengan nilai RF3 0,86

    sedangkan p.indicus bogor dengan nilai RF3 0,84. Pada nilai RF4 0,92 pada yogya

    dan tangsel serta 0,90 pada bogor. Pada RF5 0,96 terlihat warna hijau sebelum UV

    dan sesudah UV pada panjang gelombang 254.

    Uji kandungan kimia ekstrak selanjutnya adalah penetapan kadar

    flavonoid total yang bertujuan untuk menetapkan kadar total golongan metabolit

    tertentu yang diperkirakan berkontribusi terhadap aktivitas farmakologi.

    Penetapan kadar flavonoid total ini menggunakan metode Chang. Standar yang

    digunakan dalam penetapan kadar flavonoid ini adalah kuersetin. Kuersetin

    digunakan sebagai standar karena sebagian besar kuersetin terdapat di dalam

    tumbuhan yang mengandung flavonoid. Penetapan kadar dihitung berdasarkan

    persamaan kurva kalibrasi. Persamaan kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel

    L.15. Dari hasil penelitian didapat kadar flavonoid total berkisar 3,888 % ±0,001-

    4,020 % ±0,007.

    Kadar air ditetapkan untuk menentukan stabilitas ekstrak dan bentuk

    sediaan selanjutnya (Saifudin, et al., 2011). Penentuan kadar air ini digunakan

    metode gravimetri, yang pada prinsipnya menguapkan air yang ada pada bahandengan pemanasan pada suhu 105

    oC selama 5 jam. Hasil pengujian kadar air yang

    diperoleh 13,843%±3,591 - 20,595%±2,133. Ekstrak etanol daun P.indicus

    merupakan ekstrak kental. Menurut Voigt 1995, range kadar air tergantung

    terhadap jenis ekstrak, untuk ekstrak kental 5-30%. Kadar air ini merupakan

    parameter non spesifik yang tidak terkait dengan aktivitas farmakologis secara

    langsung tetapi mempengaruhi aspek keamanan dan stabilitas ekstrak serta

    sediaan yang dihasilkan.

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    53/97

    38

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Pengujian parameter selanjutnya yaitu susut pengeringan. Penetapan susut

    pengeringan pada ekstrak merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

    dalam standardisasi tanaman yang berkhasiat obat. Pada uji susut pengeringan ini

    dilakukan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada suhu 105oC sampai berat

    konstan, pada pengujian ini identik dengan kadar air menggunakan metode

    gravimetri, tetapi bedanya susut pengeringan hanya melihat besarnya senyawa

    yang hilang pada proses pengeringan. Hasil pengujian susut pengeringan

    diperoleh sebesar 15,852% ±1,576 -33,367% ±2,843 hal ini menunjukan bahwa

    senyawa yang hilang pada ekstrak p.indicus antara 15,852% ±1,576 -33,367%

    ±2,843.

    Pemeriksaan parameter non spesifik selanjutnya adalah kadar abu total dan

    kadar abu tidak larut asam. Kadar abu ditetapkan sebagai kadar anorganik

    (mineral) dalam ekstrak sedangkan kadar abu tidak larut asam sebagai kadar

    anorganik yang tidak larut asam. Kadar abu penting dilakukan karena kadar abu

    dapat menunjukan kelayakan suatu sampel untuk pengolahan menjadi sediaan

    farmasi. Pada tahap ini ekstrak dipanaskan pada suhu 500o

    C hingga senyawa

    organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sampai tinggal unsur mineral

    dan organik saja. Hasil kadar abu ekstrak diperoleh sebesar 5,514% ±0,565 -

    7,631% ±1,532 sedangkan kadar abu tidak larut asam sebesar 0,058% ±0,039 -

    1,486% ±0,246. Besarnya kadar abu total dalam ekstrak menunjukan bahwa

    ekstrak yang diperoleh dari proses maserasi banyak mengandung mineral,

    sedangkan adanya kadar abu tidak larut asam menunjukan adanya kotoran atau

    pasir yang terikut. Pemeriksaan selanjutnya adalah bobot jenis, bobot jenis ekstrak

    ditentukan dengan menggunakan piknometer. Hasil bobot jenis ekstrak diperoleh

    1,008 g/mL ±0,002 -1,021g/mL ±0,011. Bobot jenis dapat digunakan untukmengetahui kemurnian suatu zat yang ditentukan bobot jenisnya.

    Penentuan cemaran mikroba meliputi angka lempeng total dan penentuan

    kapang dan khamir. Penentuan cemaran mikroba termasuk salah satu uji untuk

    syarat kemurnian ekstrak. Uji ini mencakup penentuan jumlah mikroorganisme

    yang diperbolehkan dan untuk menunjukan tidak adanya bakteri dalam ekstrak.

    Penentuan cemaran mikroba perlu dilakukan untuk menetapkan keberadaan dan

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    54/97

    39

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

     jumlah bakteri atau jamur penyebab penyakit atau perusak ekstrak sehingga dapat

    dicegah keberadaannya (Saifudin, et a l.2011).

    Hasil cemaran mikroba dari ekstrak etanol P.indicus Tangerang Selatan

    dengan media nutrient agar (NA)Pengenceran 10

    -1 (g/ml)

    Hasil cemaran mikroba dari ekstrak etanol P.indicus Bogor dengan

    media nutrient agar (NA ) Pengenceran 10-1

     (g/ml)

    Hasil cemaran mikroba dari ekstrak etanol P.indicus Bogor dengan

    media nutrient agar (NA ) Pengenceran 10-1

     (g/ml)

    12

    1 2

    1 2

  • 8/18/2019 RISDA YULIANTI-FKIK

    55/97

    40

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    Hasil uji cemaran mikroba P.indicus di dapatkan tidak melebihi

    persyaratan yang ditetapkan oleh buku Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat, jilid

    II yaitu 104 koloni/g. Rendahnya pertumbuhan bakteri ini juga bisa disebabkan

    karena ekstrak yang digunakan adalah etanol yang dapat menghambat

    pertumbuhan bakteri atau mikroba dalam ekstrak. Selain itu, menurut literatur

    P.indicus mempunyai aktifitas antibakteri.

    Hasil cemaran kapang / khamir dari ekstrak etanol P.indicus Bogor

    dengan media Potato Dextrose Agar (PDA)

    Pengenceran 10-1

     (g/ml)

    Pengujian cemaran kapang / khamir juga tidak melebihi persyaratan yang

    ditetapkan oleh buku Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat, jilid II yaitu 103 

    koloni /g.

    Penetuan kadar kandungan logam (Pb, Cd, dan AS) menggunakan alat

    AAS. Dari hasil yang didapat pada tabel 4.5 dapat terlihat bahwa kadar cemaran

    timbal, cadmium dan arsen tidak melebihi batas yang telah ditetapkan dalam buku

    Monografi Ekstrak Tumbuhan