resusitasi jantung paru

Upload: leo-fernando

Post on 09-Jul-2015

502 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUANKedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi di mana saja, kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh suatu penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan dan sebagainya. Keadaan ini sangat membutuhkan pertolongan segera sejak di tempat kejadian selama transportasi, sampai pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di rumah sakit. Sumbatan jalan nafas, hipoventilasi, henti nafas, syok, bahkan henti jantung, cepat sekali menyebabkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Kematian pasien akibat hal-hal seperti tersebut di atas sesungguhnya dapat dihindari bila tindakan pertolongan resusitasi cepat dikerjakan sejak di tempat kejadian. Kerusakan otak permanen dapat terjadi bila aliran darah terhenti lebih dari beberapa menit (saat ini ditetapkan lebih dari 4-6 menit) atau sesudah terjadi suatu trauma dengan hipoksia berat atau kehilangan banyak darah yang tidak dikoreksi. Akan tetapi, bila pertolongan resusitasi bisa diberikan dengan cepat dan tepat, kematian otak bisa dicegah bahkan pasien bisa pulih seperti sediakala. Tindakan resusitasi dapat dikerjakan di mana saja dan kapan saja tanpa mempergunakan alat atau dengan alat oleh orang yang terlatih baik orang awam maupun tenaga kesehatan perawat atau dokter spesialis. Kedaruratan medis dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status sosial dan kejadiannya selalu mendadak. Oleh karena itu sangat diperlukan individu atau petugas yang siap siaga menolong korban yang membutuhkan pertolongan. Yang dimaksud dengan resusitasi jantung paru adalah suatu usaha kedokteran gawat darurat untuk memulihkan fungsi respirasi dan/atau sirkukasi yang mengalami kegagalan mendadak pada pasien yang masih mempunyai harapan hidup. Mengapa hanya ada resusitasi jantung paru dan mengapa hanya yang mengalami kegagalan mendadak dilakukan resusitasi dan bagaimana pula menentukan keadaan pasien yang masih mempunyai harapan hidup? Hal ini jelas 1

bahwa manusia memerlukan oksigen untuk bisa hidup. Respirasi sebagai salah satu sistem organ tubuh berfungsi memasok oksigen ke dalam sirkulasi darah. Sistem kardiovaskuler berperan mengedarkan oksigen yang dipasok oleh sistem resprirasi ke seluruh jaringan tubuh. Terhentinya pasokan dan edaran oksigen ke jaringan/sel untuk beberapa saat akan menimbulkan perubahan perangai metabolisme yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan sel. Oleh karena itu, harus selalu diupayakan agar fungsi kedua sistem penyedia oksigen tersebut bekerja secara optimal. Pada kegagalan yang terjadi secara mendadak, paru dan jantung masih baik bila dibandingkan dengan penyakit kronis, sehingga kemungkinan pemulihan dapat diharapkan. Kemudian bagaimana menentukan keadaan pasien yang masih mempunyai harapan hidup, hal ini memerlukan pengetahuan, pengalaman, dan pertimbangan yang matang.

2

BAB II ISIDalam proses belajar-mengajar, tahapan-tahapan dan langkah-langkah resusitasi akan disampaikan secara berurutan, akan tetapi dalam praktek klinis tahapan-tahapan dan langkah-langkah tersebut dilakukan secara simultan. Tahapan dan langkah-langkah RJP Untuk memudahkan pengajaran, resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : Tahap I : Bantuan Hidup Dasar (BHD) dengan tujuan untuk oksigenasi darurat. Langkah-langkahnya adalah : A. Airway control B. Breathing support C. Circulation support Tahap II : Bantuan Hidup Lanjut (BHL) dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan. Langkah-langkahnya adalah : D. Drug and fluid treatment E. Electrocardiography F. Fibrillation treatment Tahap III : Bantuan Hidup Jangka Panjang, dengan tujuan untuk pengelolaan intensif. Langkah-langkahnya adalah : G. Gauging H. Human mentation I. Intensive care

3

I. TAHAP I BANTUAN HIDUP DASAR A. Airway control (menguasai jalan nafas) Obstruksi jalan nafas merupakan salah satu penyebab dari gagal nafas akut. Berdasarkan derajat sumbatan, obstruksi jalan nafas dapat terjadi secara parsial atau total.

1. Sumbatan Jalan Nafas Parsial Gambaran Klinis : Usaha nafas masih ada, suara nafas masih terdengar dan desiran udara ekspirasi dari mulut atau hidung pasien masih terasa, yang dapat diketahui dengan merasakan desiran udara melalui pemeriksaan dengan punggung tangan atau telinga dekat mulut atau hidung. Gejala dan tanda-tanda lain yang dapat dilihat pada sumbatan jalan nafas parsial adalah : a) Aktivitas otot-otot bantu nafas meningkat b) Retraksi suprasternal dan interkostal c) Terdengat stridor d) Terdapat tanda-tanda hipoksia dan hiperkarbia. 2. Sumbatan total Jalan Nafas Gambaran Klinis : Pada sumbatan jalan nafas total, sama sekali tidak terdengar suara nafas, tidak terasa desiran udara dari mulut atau hidung pasien, usaha nafas pasien lebih meningkat dengan timbulnya gerakan dada paradoksal dan lebih meningkatnya aktivitas otot bantu nafas. Tanda hipoksia dan hiperkarbia bertambah berat.Bila keadaan ini tidak segera ditanggulangi akan segera diikuti dengan terhentinya fungsi jantung karena hipoksia berat.

Berdasarkan lokasi sumbatan, obstruksi jalan nafas dapat dibagi menjadi 3 lokasi : 1. Sumbatan di atas laring

4

Disebabkan oleh : a) Lidah yang jatuh ke hipofaring Hal ini bisa terjadi pada pasien tidak sadar, terutama pada pasien gemuk, leher pendek dan lidah besar misalnya pada bayi. Pada pasien tidak sadar, tonus otot penyangga lidah menurun sehingga lidah jatuh ke arah posterior (terutama pada pasien dalam posisi terlentang) dan menempel pada dinding posterior faring, sehingga terjadi sumbatan parsial yang ditandai dengan suara nafas ngorok (snoring). Usaha pertolongan yang dilakukan adalah triple airway maneuver dari Safar yaitu : (1) ekstensi kepala ( head tilt ), (2) dorong mandibula kedepan ( jaw thrust ), dan (3) buka mulut ( chin lift ). Pada pasien yang menderita patah tulang leher, manuver ini harus dilakukan dengan hati-hati, tergantung keperluan. Ekstensi kepala dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan menaruh bantal atau benda lain di bahu pasien. Bila dengan cara ini sudah dapat membebaskan jalan nafas, posisi ini dipertahankan dan kepala pasien dimiringkan untuk mencegah sumbatan karena benda cair, atau pasien dimiringkan dengan posisi miring stabil. Apabila dengan cara ini tidak berhasil dapat dipasang pipa orofaring atau nasofaring. b) Benda asing. Sangat banyak benda asing yang dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas, misalnya lendir, bekuan darah, gigi palsu yang lepas, muntahan atau makanan lainnya. Biasanya terjadi sumbatan parsial yang ditandai dengan terdengarnya suara nafas gargling (seperti orang berkumur), bila sumbatannya disebabkan oleh benda cair. Usaha pertolongannya adalah : membuka jalan nafas dengan triple airway maneuver, kemudian memiringkan kepala korban sambil mengorek dengan tangan (sapuan) atau menghisap dengan alat. Bila belum berhasil melapangkan jalan nafas, dapat dilakukan

5

laringoskopi dan kemudian mengambil benda yang ada di rongga mulut. c) Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas. Penyakit infeksi atau tumor jalan nafas bagian atas yang dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas bagian atas adalah : pembesaran tonsil, polip pada rongga hidung dan beberapa tumor lain di rongga mulut dan dasar lidah. Usaha pertolongannya adalah dengan cara operatif, yaitu mengangkat tumor, atau bila tumornya tidak mungkin diangkat dan sumbatannya bersifat darurat dan mengancam dapat dilakukan krikotirotomi dengan dilanjutkan dengan tindakan trakeostomi. d) Trauma daerah muka Trauma kepala yang mengenai daerah maksilo-fasial, dapat merusak struktur anatomi regio ini, sehingga akan mengganggu pasase udara melalui jalan nafas atas. Usaha membebaskan jalan nafas pada korban seperti ini adalah berusaha secepat mungkin melakukan rekonstruksi jalan nafas bagian atas. Sementara hal ini belum bisa dikerjakan, usaha melapangkan jalan nafas dilakukan dengan memasang pipa endotrakea atau melakukan trakeostomi bila gagal melakukan pemasangan pipa endotrakea.

2. Sumbatan pada laring Disebabkan oleh : a) Benda asing Benda asing dapat menyumbat rima glottis sehingga terjadi sumbatan total jalan nafas atas. Gejala yang timbul adalah korban akan segera memegang leher, tidak bisa bicara, tidak bisa nafas, dan tidak bisa batuk. Beberapa saat kemudian diikuti dengan sianosis dan penurunan kesadaran, bila tidak segera diberikan pertolongan. Usaha pertolongan yang dilakukan adalah bila pasien masih sadar, penolong berdiri membelakangi korban, kedua tangan disilangkan

6

dengan di ulu hati kemudian lakukan hentakan 4 kali dengan kuat, atau bisa dengan memukul punggung di antara tulang skapula. Bila pasien tidak sadar, ditidurkan terlentang dan dilakukan hentakan pada ulu hati atau pasien dimiringkan dan dilakukan hentakan pada ulu hati atau pasien dimiringkan dan dilakukan pukulan pada punggung seperti tersebut di atas. Bila tindakan ini belum menolong segera dilakukan laringoskopi. b) Penyakit infeksi Laringitis akut difteri atau non difteri yang sering menyerang anakanak, dapat menimbulkan penyulit sumbatan jalan nafas. Pasien akan mengalami sumbatan jalan nafas parsial sampai total gejala klinis berupa stridor dengan aktivitas pernafasan meningkat. Usaha pertolongan adalah untuk sementara dapat dilakukan krikotirotomi kemudian segera dilakukan trakeostomi. c) Reaksi alergi (anafilaktik) Angioneuritik edema pada daerah laring merupakan salah satu gambaran dari suatu reaksi alergi. Keadaan ini dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas parsial sampai total, dengan gejala seperti tersebut di atas. Usaha pertolongannya adalah apabila sumbatannya total segera melakukan tindakan krikotirotomi atau trakeostomi. Tindakan

pemberian medikamentosa dapat diberikan akan tetapi selalu memperhatikan keadaan pasien, bila keadaan pasien bertambah buruk segera dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi. d) Tumor laring Polip pada laring atau pita suara dan tumor lain yang terdapat pada laring, secara langsung akan menutup jalan nafas secara parsial atau total tergantung besar dan lokasi tumor. Usaha pertolongannya adalah segera mengangkat tumor tersebut bila keadaan memungkinkan. Akan tetapi dapat dikerjakan

trakeostomi.

7

e) Trauma laring Beberapa jenis trauma di daerah leher dapat menimbulkan sumbatan jalan nafas antara lain cekekan/jeratan pada leher dan trauma langsung pada leher. Sumbatan jalan nafas yang terjadi bisa parsial sampai total dengan gejala seperti tersebut diatas. Usaha pertolongannya adalah tergantung penyebabnya. Bila karena cekikan/ jeratan, segera melepaskan cekikan/jeratan tersebut. Bila karena sebab yang lainnya, segera dilakukan trakeostomi. f) Paralisis pita suara Paralisis pita suara paling sering disebabkan oleh karena lesi pada n. rekurens akibat manipulasi pada operasi di daerah leher, misalnya pada tiroidektomi. Usaha pertolongannya adalah segera melakukan trakeostomi g) Spasme laring Disebabkan oleh karena perangsangan n. vagus (reflex vagal). Ambang vagal akan menurun pada hipoksia, asidosis, penderita dengan kesadaran menurun dan lain-lainnya. Suara nafas seperti botol ditiup (krowing) adalah merupakan tanda yang khas. Usaha pertolongannya adalah memberikan obat pelumpuh otot.

3. Sumbatan di bawah laring Sumbatan jalan nafas di bawah laring bisa terjadi pada trakea dan pada bronkus. a) Trakea Sumbatan yang terjadi pada trakea dapat disebabkan oleh tumor yang mendesak trakea, trauma akibat operasi yang dapat menimbulkan trakeomalasia dan trauma langsung akibat kecelakaan lain. Gejala klinis dapat berupa sumbatan parsial maupun total seperti tersebut diatas. Usaha pertolongannya adalah segera dilakukan pemasangan endotrakea, kemudian dilanjutkan dengan trakeostomi.

8

b) Bronkus Sumbatan pada bronkus dapat disebabkan oleh benda asing pada dan pada saat kejadian pasien berdiri, maka benda asing ini akan cenderung masuk ke bronkus kanan. Hal ini disebabkan karena anatomis bronkus kanan lebih vertikal. Gejala yang dapat dijumpai pada pasien ini tergantung dari derajat sumbatannya, bisa parsial atau total pada satu paru. Usaha pertolongannya adalah melihat langsung bronkus dengan ostea-osteanya mempergunakan alat bronkoskop selanjutnya

menghisapnya atau menjepit benda asing yang masuk dengan alat penjepit khusus. Bila sumbatannya oleh karena spasme bronkus, akan terdengar suara nafas wheezing dan adanya tanda-tanda hipoksi dan hiperkarbia. Usaha pertolongannya adalah segera memberikan bronkodilator.

B. Breathing support (bantuan nafas) Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien bernafas spontan atau tidak. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan gerak nafas pasien atau mendengarkan/ merasakan aliran udara nafas pada mulut dan hidung. Bila tidak bernafas spontan atau bernafas tetapi tidak adekuat segera diberikan nafas buatan.

Sebab-sebab henti nafas : 1. Depresi pusat nafas Disebabkan oleh trauma kapitis, infeksi intra kranial, obat-obatan yang mempunyai efek depresi pusat nafas misalnya narkotika dan beberapa obat anesthesia serta keracunan. 2. Kelumpuhan otot pernafasan Disebabkan oleh penyakit infeksi seperti poliomyelitis dan Guillan Barre, penyakit saraf-otot seperti Miastenia Gravis, trauma medula

9

spinalis, obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, polimiksin dan derivat aminoglikosida yang lain, dan akibat penggunaan obat pelumpuh otot. Usaha pemberian nafas buatan dapat dilakukan tanpa alat atau dengan alat bantu nafas, mempergunakan udara ekspirasi penolong atau dengan udara atmosfir disertai dengan oksigen murni yang telah disiapkan dalam tabung. Udara ekspirasi penolong masih bisa diberikan karena udara ekspirasi ini masih mengandung oksigen sebanyak 16-18%. Meskipun di dalamnya terdapat CO2, akan tetapi CO2 ini tidak akan masuk ke dalam tubuh karena tekanan partial CO2 di dalam darah pasien yang henti nafas lebih tinggi dari udara ekspirasi penolong.

Beberapa cara pemberian nafas buatan : 1. Dari mulut penolong, ke mulut pasien (mulut ke mulut) atau ke hidung pasien (mulut ke hidung). Cara ini mempergunakan udara ekspirasi penolong. Udara ekspirasi ditiupkan ke mulut atau ke hidung penderita sebanyak kirakira dua kali volume tidal penderita dengan frekuensi nafas disesuaikan dengan kebutuhan penderita. Diupayakan melakukan hiperventilasi. Proses ekspirasi penderita dilakukan secara pasif dengan cara melepaskan mulut penolong dari mulut penderita setelah selesai meniup. 2. Dari mulut penolong melalui pipa S Prosesnya sama dengan di atas hanya penolong meniupkan udara ekspirasinya melalui pipa orofaring S yang telah dipasang terlebih dahulu. Selesai meniup, mulut dilepas dari pipa S dan pasien berekspirasi melalui pipa S ke udara atmosfir. 3. Dari mulut penolong melalui sungkup muka Prosesnya sama dengan di atas tetapi mempergunakan

sungkup muka. Sungkup muka dipasang sedemikian rupa sehingga

10

menutupi

mulut dan hidung pasien serta diusahakan tidak ada muka pasien.

kebocoran pada celah antara sungkup dengan

Penolong meniupkan udara ekspirasinya melalui lubang (inlet) sungkup muka. 4. Mempergunakan alat bantu nafas manual balon sungkup Cara ini berbeda dengan ke tiga cara-cara yang telah dilukiskan di atas. Udara yang dipergunakan adalah udara atmosfir atau bisa dicampur dengan oksigen murni yang berasal dari tabung oksigen yang telah disiapkan. Caranya tangan kanan memompa balon, sedangkan tangan kiri mempertahankan ekstensi kepala dan menekan sungkup pada muka penderita agar tidak bocor. Frekuensi nafas dan volume tidal disesuaikan dengan kebutuhan penderita. Diusahakan melakukan hiperventilasi. 5. Mempergunakan balon ke pipa endotrakeal Cara ini sama dengan cara di atas tetapi terlebih dahulu harus memasang pipa endotrakea melalui mulut atau hidung,selanjutnya bantuan nafas dilakukan dengan balon yang dihubungkan ke pipa endotrakea. 6. Nafas buatan dengan alat bantu nafas mekanik (ventilator). Alat bantu nafas mekanik (ventilator) adalah alat bantu nafas otomatik dengan fasilitas lengkap sesuai dengan kebutuhan penderita.

Pada nafas buatan dari mulut ke mulut, hidung pasien harus ditutup, sebaliknya kalau dari mulut ke hidung, mulut pasien harus ditutup. Selanjutnya diberikan 3-5 kali tiupan nafas dengan cepat dan dalam tanpa memberikan kesempatan pasien untuk ekspirasi penuh, sehingga bagian paru yang menguncup kembali mengembang. Tandatanda bahwa nafas buatan adekuat adalah dada pasien naik-turun terdengar atau terasa adanya aliran udara ekspirasi pasien.

11

C. Circulation Support (Bantuan Sirkulasi) Kegagalan sirkulasi akut yang segera harus ditanggulangi adalah henti jantung. Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi darah secara mendadak pada seorang penderita yang masih mempunyai harapan hidup. Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila dijumpai gejala-gejala sebagai berikut ini, yaitu pasien tidak sadar, tidak bergerak,tampak pucat dan sianosis, henti nafas, denyut nadi arteri besar tidak teraba dan pupil dilatasi. Diagnosis pasti adalah tidak terabanya denyut arteri besar, misalnya pada arteri karotis yang diraba pada leher atau femoralis yang diraba pada pelipatan paha. Pada bayi dan anak-anak, perabaan pada arteri karotis dapat menimbulkan tekanan pada jalan nafas. Oleh karena itu, perabaan denyut. Nadi dilakukan pada arteri brakialis, arteri femoralis atau aorta abdominalis atau adanya denyutan ventrikel di daerah prekordial. Walaupun dilatasi pupil merupakan salah satu gambaran henti jantung, tetapi jangan ditunggu sampai tampak adanya gambaran dilatasi pupil ini karena untuk terjadinya dilatasi pupil diperlukan waktu.

Sebab-sebab henti jantung: 1. Faktor primer Disebabkan oleh penyakit pada jantung sendiri yaitu kelainan pada sistem konduksi jantung atau kelainan pada otot jantung seperti misalnya infark yang dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel atau asistole. Keadaan lain yang dapat digolongkan sebagai penyebab primer adalah trauma listrik atau petir yang secara langsung dapat mempengaruhi fungsi konduksi jantung. 2. Faktor sekunder Paling sering disebabkan oleh (1) asfiksia akibat gagal nafas akut, menyebabkan kegagalan pasokan oksigen dan (2) perdarahan akut (masif) akibat trauma, menyebabkan kekosongan volume sirkulasi sehingga tidak ada curah jantung.

12

Perubahan-perubahan yang terjadi akibat henti jantung: Henti jantung apapun sebabnya akan menimbulkan kegagalan perfusi atau pasokan oksigen ke seluruh jaringan tubuh sehingga menimbulkan hipoksia atau anoksia jaringan terutama organ vital. Hipoksia atau anoksia jaringan akan menyebabkan timbulnya perubahan perangai metabolisme dari siklus aerob ke siklus anaerob. Hal ini akan mengakibatkan penumpukan produk-produk intermediet sehingga terjadi akumulasi asam laktat dan piruvat yang selanjutnya menyebabkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik yang terjadi dapat menimbulkan disfungsi enzim yang berfungsi sebagai katalisator dan disfungsi mitokondria selsel, serta pada akhirnya kematian sel yang menetap tidak bisa dihindari. Otak merupakan organ vital yang mendapatkan aliran darah sekitar 15 % dari curah jantung dan mengkonsumsi oksigen sekitar 20 % dari konsumsi oksigen seluruh tubuh. Otak sangat rentan terhadap iskemik karena otak tidak punya cadangan energi dan laju metabolismenya sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan kalorinya. Bila aliran darah otak berhenti dalam waktu tertentu akan menimbulkan perubahan-perubahan sebagai berikut: a) berhenti selama 15 detik : penderita koma b) berhenti selama 15-30 detik : EEG isoelektris c) berhenti selama 30-60 detik : pasien henti nafas dan pupil mengalami dilatasi maksimal d) berhenti selama 5 menit : terjadi kerusakan otak permanen

Kompresi Jantung Kompresi jantung adalah bantuan sirkulasi yang dapat dilakukan dari luar atau kompresi jantung luar (KJL) dan dapat pula dilakukan kompresi jantung dalam (KJD) melalui torakotomi bila kejadiannya di kamar operasi

13

1. KJL Caranya adalah sebagai berikut : pasien ditidurkan telentang di atas lantai atau tempat tidur yang beralas keras dan padat dengan kedua tungkai ditinggikan. Penolong mengambil posisi berlutut di samping korban dan meletakkan salah satu tumit telapak tangannya di atas permukaan sternum pada titik dua pertiga dari atas jarak antara manubrium sterni dan prosesus sifoideus atau dua-tiga jari sefalad dari pertemuan tulang sternum dengan prosesus sifoideus. Tangan penolong yang lain diletakkan di atas tangan pertama dengan jari-jari terkunci dan lengan lurus serta kedua bahu berada tepat di atas sternum korban. Kemudian penolong memberikan tekanan vertical ke bawah dengan mempergunakan berat badan sampai

menghasilkan pergerakan dada setinggi 4-5 cm. setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban. Dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Kompresi yang dilakukan pada titik tersebut di atas akan menekan jantung di antara tulang dada dan tulang belakang sehingga pada saat penekanan darah akan mengalir dari jantung ke dalam jantung akibat mekanisme pompa isap toraks. Apabila hanya satu penolong diberikan kompresi sebanyak 15 kali dan diikuti pemberian dua kali nafas dalam dengan cepat dan dalam. Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (60 kompresi dan 8 nafas). Apabila ada dua penolong kompresi diberikan oleh salah satu penolong dengan laju 60/menit dan nafas buatan oleh penolong kedua yang dilakukan pada akhir hitungan kelima sehingga frekuensi nafas menjadi 12 kali, sehingga perbandingannya menjadi 5:1. Kompresi harus dilakukan secara halus dan berirama. Apabila dilakukan dengan benar kompresi jantung luar dapat menghasilkan

14

tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg dan tekanan rata-rata pada arteri karotis 40 mmHg. Teknik pada bayi dan anak-anak: Pada prinsipnya bantuan hidup dasar pada bayi dan anak sama dengan pada orang dewasa. Akan tetapi karena perbedaan ukuran diperlukan modifikasi teknik. Modifikasinya adalah sebagai berikut: a. Ekstensi kepala yang berlebihan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak kecil, oleh karena itu kepala hendaknya dijaga dalam posisi netral selama diusahakan membuka jalan nafas. b. Pada bayi dan anak kecil ventilasi dari mulut ke mulut dan hidung lebih sesuai daripada ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pemberian nafas harus lebih kecil volumenya dan frekuensinya harus ditingkatkan menjadi 1 nafas tiap 3 detik untuk bayi dan 1 nafas tiap 4 detik untuk anak-anak. c. Pukulan punggung dapat diberikan pada bayi dengan korban telungkup dan mengangkang pada lengan penolong dan hentakan dada diberikan dengan bayi terlentang dengan kepala terletak di bawah melintang pada paha penolong. d. Pukulan punggung pada anak yang lebih besar dapat dilakukan dengan korban telungkup melintang di atas paha penolong dengan kepala lebih rendah dari badan, dan hentakan dada dapat dilakukan dengan anak telentang di atas lantai e. Pada bayi dan anak letak jantung dalam rongga toraks lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu, kompresi dada luar hendaknya dilakukan pada titik 2 atau 3 jari di bawah garis antara putting susu pada bayi dan apda pertengahan sternum pada anak. Naik turunnya dada pada bayi saat menekan sternum diusahakan mencapai 1,5-,5 cm, sedangkan pada anak diperlukan penekanan ,5-4 cm agar sirkulasinya efektif

15

f. Kompresi pada bayi dapat dilakukan dengan mempergunakan kedua ibu jari atau dengan dua jari yaitu telunjuk dan jari tengah, sedangkan pada anak digunakan pangkal telapak tangan. g. Selama henti jantung, pemberian kompresi jantung diberikan dengan frekuensi 100x/menit (bayi) atau 80x/menit (anak-anak).

Perbandingan kompresi terhadap ventilasi selalu 5:1.

2. Resusitasi Jantung Paru Invasif (KJD) Torakotomi dan pemijatan jantung dengan dada terbuka bukanlah merupakan bagian dari RJP yang rutin karena tingginya insidensi komplikasi yang berat. Meskipun demikian, teknik invasif ini dapat membantu dalam keadaan- keadaan mengancam jiwa tertentu yang tidak memungkinkan pemijatan jantung tertutup yang efektif. Indikasi yang mungkin antara lain henti jantung yang berhubungan dengan trauma dada yang tajam maupun tumpul, trauma tajam pada perut, deformitas dada yang parah, tamponade perikardial, atau emboli paru.

Tanda-tanda keberhasilan Bantuan Hidup Dasar: Apabila bantuan hidup dasar dapat diberikan secara cepatdan tepat oleh penolong yang terampil, tidak mustahil nyawa korban dapat diselamatkan. Oleh karena itu, bantuan hidup dasar harus dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja tak terkecuali orang biasa. Tanda-tanda keberhasilan pemberian bantuan hidup dasar adalah: a. kulit berubah warna dari sianosis menjadi kemerahan b. pupil mengecil c. kalau penyebab henti jantung oleh karena hipoksia dan segera diberikan bantuan hidup dasar, denyut nadi spontan dapat dipulihkan. d. Selama tanda-tanda tersebut terutama (a) dan (b) masih ada, batuan hidup dasar tidak boleh dihentikan sampai penolong capai dan tidak ada pengganti untuk melanjutkannya. Apabila bantuan hidup

16

dasar dianggap berhasil, harus dilanjutkan dengan upaya bantuan hidup lanjut untuk mempercepat pemulihan nadi spontan.

Kegagalan bantuan hidup dasar Kegagalan upaya memberikan bantuan hidup dasar pada umumnya diseabkan tidak adekuatnya upaya pemberian bantuan, baik pada saat ventilasi maupun pada kompresi jantung sehingga pasokan oksigen tidak adekuat. Parameter kegagalan bantuan hidup dasar terutama berdasarkan pada respon perubahan diameter pupil. Apabila anoksia serebri telah berlangsung lama, maka tidak akan ada respon perubahan diameter pupil sehingga dengan demikian dapat disimpulkan korban telah berada pada keadaan mati otak permanen.

II.

TAHAP II

BANTUAN HIDUP LANJUT

Bantuan hidup lanjut (BHL) ditujukan untuk segera dapat memulihkan dan mempertahankan fungsi sirkulasi spontan sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan dapat segera dipulihkan dan dipertahankan. Tindakan ini dapat segera dikerjkan secara simultan bersamaan dengan tindakan-tindakan pada tahap pertama (bantuan hidup dasar). Tindakan pada tahap kedua ini memerlukan peralatan khusus dan obat-obatan agar segera dapat memulihkan dan mempertahankan sirkulasi spontan. Alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan pada tahap II: Dalam rumah sakit, perlengkapan dan obat-obatan untuk bantuan hidup lanjut biasanya disimpan pada kereta yang dapat bergerak dan diletakkan pada tempat yang strategis. Kereta ini beserta isinya harus ada di ruang gawat darurat, ruang terapi intensif, di kamar operasi dan di runag pulih. Perlengkapan pada kereta ini hendaknya mencakup tabung oksigen, alat jalan nafas (pipa orofaring, nasofaring dan pipa endotrakea, sungkup

17

muka, alat isap, laringoskop, forsep magil dan perlengkapan untuk memasang infuse, EKG monitor dengan defibrilatornya dengan arus searah dan papan atau plastic yang datar dan kuat untuk landasan resusitasi. Obat-obatan yang diperlukan adalah obat-obatan simpatomimetik, (adrenalin, nor adrenalin, efedrin, dopamine, efortil, metaraminol, dan isoproternol), obat pelumpuh otot (suksinil kolin, pankuronium atau derivate kurare yang lain), sedative dan anti kejang, lidokain, prokainamid, bretillium diabetic, natrium bikarbonat, kalsium glukonas, digitalis, kortikosteroid, atrofin, morfin atau petidin, nalokson, bronkodilator (aminofilin), cairan infuse dan jangan lupa oksigen.

D. Drugs and Fluids (Obat-obatan dan Cairan) Obat-obatan Walaupun banyak jenis obat seperti yang telah disebutkan di atas digunakan untuk tindakan pada langkah D ini, namun obat esensial yang harus segera diberikan pada setiap henti jantung adalah: 1. Adrenalin Adrenalin adalah obat yang harus segera diberikan bila henti jantungnya terjadi kurang dari 2 (dua) menit dan disaksikan. Dosisnya 0,5 - 1,0 mg (dosis untuk orang dewasa), diberikan langsung intravena atau dapat diencerkan dengan akuades menjadi 10 ml. Pada anak-anak dosisnya adalah 10 mcg /kg. Apabila jalur intravena belum ada, dapat diberikan intratekal lewat pipa endotrakeal (1 ml adrenalin 1:1000 diencerkan dengan 9 ml akuades steril). Apabila keadaan sangat mendesak bisa diberikan intrakardiak. Tetapi belakangan ini cara intrakardiak tidak dianjurkan lagi. Pemberian nya dapat diulang setelah 3-5 menit pemberian pertama dengan dosis sama seperti dosis pertama. 2. Natrium bikarbonat Natrium bikarbonat diberikan pertama kali bila henti jantungnya diperkirakan lebih dari 2 (dua) menit karena pada keadaan ini asidosis yang terjadi sangat berat. Pada henti jantung yang kurang dari 2 menit

18

tidak diperlukan pemberian obat ini karena asidosisnya masih ringan dan dapat segera dikoreksi dengan pemberian nafas buatan yang adekuat. Dosis permulaan 1 mEq / kg kemudian dapat diulang setiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq / kg sampai jantung berdenyut spontan. Obat ini dikemas dalam ampul berisi 50 ml dan 1 ml mengandung 1 mEq / liter. Pemberiannya hanya boleh intravena. Untuk mengoreksi asidosis secara tepat harus dilakukan analisis gas darah sehingga defisit basa yang terjadi diketahui. Perhitungan natrium bikarbonat yang diperlukan adalah: Dosis bikarbonat : defisit basa x 0, 25 berat badan 3. Glukosa 40 % Pemberian glukosa 40 % ditujukan untuk mencegah

hipoglikemia karena pada keadaan metabolisme anaerob,tubuh tidak mampu menyediakan glukosa siap pakai sedangkan organ-organ seperti otak,jantung, ginjal, dan sel darah merah sangat memerlukan glukosa. Dosisnya 1 gr /kgBB diberikan intravena. 4. Kalsium Kation ini sangat diperlukan pada henti jantung oleh karena disosiasi elektromagnetis setelah gagal memulihkan sirkulasi spontan dengan pemberian adrenalin. Juga diperlukan bila henti jantung disebabkan oleh karena obat-obatan yang mendepresi otot jantung. Bentuk garam yang disukai adalah kalsium klorida 10 persen, tetapi dapat juga diberikan kalsium glukosa 10 persen. Dosisnya 5 ml untuk dewasa dengan berat badan 70 kg secara intravena.

Terapi cairan Pada saat memulai langkah D, usaha kanulasi vena melalui vena perifer maupun sentral segera harus dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan jalur vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan dan

19

menambah volume sirkulasi darah terutama pada penderita syok akibat perdarahan akut atau dehidrasi. Pilihan vena yang akan dikanulasi adalah vena yang mudah diraba pada ekstremitas atau melalui vena kubiti langsung ke vena sentral atau langsung pada vena sentral misalnya melalui vena jugularis interna atau vena subklavia. Apabila semua vena-vena tersebut susah didapat, bisa dilakukan seksi vena pada vena di tungkai. Jarum yang digunakan untuk kanulasi adalah jenis kateter atau kanul intravena yang terbuat dari polivinil dengan ukuran yang paling besar yang bisa masuk ke dalam vena yang dipilih. Apabila dilakukan kanulasi vena sentral,panjang kanul yang dipilih disesuaikan dengan lokasi kanulasi. Jenis cairan yang dipilih bisa kristaloid atau koloid yang dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi.

Akses Intravena Sebagian obat-obatan resusitasi dapat diabsorpsi dengan baik dengan pemberian melalui pipa trakea. Lidokain, epinefrin, atropin, dan vasopresin (tetapi tidak sodium bikarbonat) bisa diberikan melalui kateter yang ujungnya memanjang melewati pipa trakea. Dosisnya 2-2,5 kali lebih tinggi daripada pemberian intravena , dilarutkan dalam 10 ml NaCl fisiologis atau aqua destilata, direkomendasikan untuk pasien dewasa. Meskipun membuat akses intravena merupakan prioritas yang penting, hal ini jangan sampai didahulukan dibandingkan penatalaksanaan awal jalan nafas, kompresi dada, atau defibrilasi. Akses vena jugularis interna atau subklavia yang telah ada sebelumnya dapat menjadi akses vena yang ideal selama resusitasi. Jika tidak ada akses vena sentral, harus diusahakan untuk membuat akses vena perifer, baik di antekubiti ataupun vene jugularis eksterna. Dengan akses intravena perifer terdapat jarak waktu antara pemberian obat dan waktu obat mencapai jantung sekitar 1 sampai 2 menit, karena menurunnya aliran darah perifer selama resusitasi.

20

Pemberian obat melalui akses intravena perifer harus diikuti oleh semburan (flush) intravena (misalnya bolus cairan 20 ml pada orang dewasa) dan ekstremitas diangkat selama 10-20 detik. Kompresi jantung mungkin harus dihentikan untuk sementara waktu untuk membuat akses vena jugularis interna jika respon terhadap pemberian obat melalui akses perifer dianggap tidak adekuat. Jika kanulasi intravena sulit dilakukan, infus intraoseus bisa menjadi akses vaskuler darurat pada anak-anak. Tingkat keberhasilannya lebih rendah pada anak yang lebih tua, tapi bahkan pada orang dewasa sekalipun kanulasi intraoseus dapat dilakukan dengan sukses pada tibia maupun radius dan ulna bagian distal. Jarum spinal kaku berukuran 18 dengan stilet ataupun sebuah jarum trephine sumsum tulang bisa dimasukkan pada femur distal maupun tibia proksimal. Jika tibia yang dipilih, jarum dimasukkan 2-3 cm di bawah tuberositas tibia pada sudut 450 dari lempeng epifise. Ketika jarum telah mencapai korteks, maka jarum harus dapat berdiri tegak tanpa ditopang. Penempatan jarum yang benar dipastikan dengan kemampuan mengaspirasi sumsum tulang melalui jarum tersebut dan larutan dapat dimasukkan dengan mudah. Sebuah jaringan sinusoid vena di dalam rongga medularis tulang panjang mengalirkan darah ke sirkulasi sistemik melalui vena vena emissary. Rute ini sangat efektif untuk pemberian obat, kristaloid, koloid, dan darah serta kecepatan alirannya dapat melebihi 100 ml/ jam di bawah pengaruh gravitasi. Kecepatan aliran yang lebih tinggi lagi dapat dicapai jika larutan diberikan tekanan (mis.300mmHg) melalui kantung infusi. Permulaan aksi obat menjadi sedikit lebih lambat dibandingkan jika obat diberikan secara intravena maupun melalui trakea.Akses intraoseus membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk beberapa jenis obat (mis. Epinefrin) jika dibandingkan dengan dosis yang dianjurkan untuk pemberian intravena. Penggunaan infus intraoseus untuk induksi dan rumatan anestesi umum, terapi antibiotik, pengendalian bangkitan (seizure), dan penggunaan inotropik telah dilakukan. Karena adanya resiko osteomielitis dan

21

sindroma kompartemen, maka sebaiknya akses intraoseus harus digantikan dengan akses intravena sesegera mungkin. Sebagai tambahan, karena secara teoritis akses intraoseus dapat menyebabkan emboli sumsum tulang atau lemak, maka infus intraoseus harus dihindari pada pasien dengan pirau kanan ke kiri, hipertensi pulmonal dan insufisiensi paru berat.

E. Elektrokardiografi Alat pantau EKG adalah alat pantau standar yang harus tersedia di unit-unit Gawat Darurat. Diagnostik henti jantung mutlak harus ditegakkan melalui pemeriksaan EKG, sehingga dengan demikian bantuan hidup lanjut dapat dilakukan secara tepat sesuai dengan gambaran EKG. Gambaran EKG sangat menentukan langkah-langkah terapi pemulihan yang akan dilakukan. Terapi pacu jantung darurat (Emergency Pacemaker therapy) Pacu jantung transcutaneus (TCP) adalah metode non invasif yang secara cepat mampu mengatasi aritmia yang disebabkan gangguan konduksi atau impuls abnormal. Hal ini termasuk asistol, bradikardi akibat blokade jantung, ataupun takikardi akibat mekanisme reentrant. Jika ada kekhawatiran tentang penggunaan atropin pada blokade dengan derajat tinggi, maka penggunaan TCP selalu dianggap sesuai. Jika pasien tidak stabil dengan bradikardi yang jelas, TCP harus digunakan sesegera mungkin. Unit pacu jantung telah menjadi kesatuan bangun pada beberapa model defibrilator. Elektroda- elektroda pacu yang dapat dibuang ini biasanya ditempatkan pada posisi anteroposterior pada pasien.

Penempatan elektroda negatif sama dengan posisi V2 pada EKG, sedangkan elektroda positif diletakkan pada dada kiri belakang di bawah skapula, lateral dari vertebra. Catat bahwa penempatan elektroda ini tidak mengganggu penempatan paddle sewaktu defibrilasi. Kegagalan fungsi alat ini dapat disebabkan oleh penempatan elektroda yang salah, kontak yang kurang antara elektroda dan kulit, ataupun oleh karena peningkatan impedansi transtorakal (mis.dada yang berbentuk gentong/ barrel- shape

22

chest, efusi perikardial). Pengeluaran arus meningkat secara perlahan sampai rangsangan pacu memperoleh tangkapan listrik dan mekanik. Kompleks QRS yang lebar yang mengikuti gelombang pacu yang tajam menandai adanya tangkapan listrik, sedangkan tangkapan mekanis (ventrikular) harus dipastikan dengan denyut nadi ataupun tekanan darah yang meningkat. Pasien yang sadar mungkin membutuhkan sedasi untuk mengatasi ketidaknyamanan akibat kontraksi otot skelet. Pacu jantung transkutaneus dapat memberikan terapi sementara yang efektif sampai pacu transvenous atau terapi definitif lainnya bisa dimulai. TCP memiliki beberapa keuntungan dibandingkan pacu transvenous karena dapat digunakan oleh hampir semua penyedia/ provider elektrokardiogram serta dapat digunakan dengan mudah dan sesegera mungkin. Ada 3 pola EKG pada henti jantung,yaitu: 1. Asistol ventrikel Adalah ketiadaan denyut jantung dengan gambaran EKG yang isoelektris yang paling sering disebabkan oleh hipoksia,asfiksia dan blok jantung. Usaha pertolongannya adalah: a. Bantuan hidup dasar (langkah A dengan memasang PET, B dan C) dilakukan secara adekuat. b. Lakukan pukulan prekordial c. Yakinkan bahwa gambaran tersebut bukan gambaran ventrikel fibrilasi\ d. Lakukan langkah D: berikan obat-obatan adrenalin, natrium bikarbonat, atropin yang dapat diulang sesuai kebutuhan. Apabila belum berhasil segera diberikan kalsium klorida atau glukonas. e. Bila belum berhasil biasanya disebabkan oleh blok jantung, segera pasang alat pacu jantung

2. Disosiasi elektromekanik (kompleks aneh)

23

Sebenarnya adalah asistol mekanik yaitu ketiadaan denyut dengan gambaran EKG agonal (aneh atau abnormal) atau kadangkadang relatif normal tetapi tidak terdapat pola QRS yang khas. Mekanisme kontraksi tidak efektif sehingga denyut nadi tidak teraba. Sebab-sebabnya adalah hipovolemia, emboli, paru masif, efusi perikardium dengan tamponade, ruptur otot jantung ataubaneurisma, asidosis persisten, hipotermi dan ventilasi tidak adekuat serta gangguan keseimbangan elektrolit. Usaha pertolongannya adalah: a. Bantuan hidup dasar (langkah-langkah A dengan pemasangan PET, B dan C) dilakukan secara adekuat b. Pemberian obat-obatan : adrenalin dan natrium bikarbonat c. Usaha mencari penyebab yang mungkin bisa dikoreksi d. Terapi cairan yang adekuat

3. Fibrilasi ventrikel Fibrilasi ventrikel (FV) paling sering menyebabkan kematian jantung mendadak. Keadaan ini merupakan gerak getar ventrikel jantung secara kontinu dan tidak teratur sehingga tidak bisa memompakan darah ke seluruh tubuh. Pada EKG akan tampak osilasi yang khas tanpa kompleks QRS. Sebab-sebabnya bisa primer atau sekunder dan mekanismenya belum diketahui dengan pasti. Penyebab primer yang paling sering adalah iskemia otot jantung, reaksi obat yang merugikan, tersengat listrik dan kateterisasi pada jantung yang iritatif. Sedangkan penyebab sekunder adalah usaha resusitasi pada asistol karena asfiksia, tenggelam, dan akibat perdarahan. Usaha pertolongannya adalah: a. tanpa menunggu EKG segera lakukan bantuan hidup dasar (langkah A dengan pemasangan PET, B, dan C)

24

b. dilanjutkan dengan tindakan pukulan prekordial terutama pada fibrilasi yang disaksikan c. berikan obat-obatan : adrenalin dan natrium bikarbonatsesuai dosis dan kalau perlu diulang. d. evaluasi dengan EKG, bila gambaran EKG berupa fibrilasi halus, berikan adrenalin lagi agar berubah menjadi kasar, oleh karena fibrilasi kasar lebih mudah dikembalikan ke irama sinus dengan terapi fibrilasi, bila kasar segera dilakukan langkah F

F. Fibrilation treatment (terapi fibrilasi) Terapi fibrilasi adalah usaha untuk segera mengakhiri disritmia takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel menjadi irama sinus normal dengan mempergunakan syok balik listrik. Syok balik listrik ini menghasilkan depolarisasi serentak semua serat otot jantung dan setelah itu jantung akan berkontraksi spontan asalkan otot jantung mendapatkan oksigen yang cukup dan tidak menderita asidosis. Terapi syok balik listrik dapat dilakukan dengan arus bolak balik atau searah melalui dada. Pada saat ini terapi syok bolak balik sudah tidak popular karena cara ini sangat bergantung pada aliran listrik PLN (tidak portable), kontraksi otot sangat kuat, bisa menimbulkan fibrilasi pada jantung yang berdenyut spontan dan bisa terjadi bahaya pada operator bila tidak memakai isolasi. Sedangkan yang arus searah tidak tergantung dengan PLN dan bisa dipakai portable, lebih efektif untuk kardioversi, dapat digunakan untuk kardioversi jantung yang masih bedenyut dan tidak membahayakan operator. Besarnya energi yang umum digunakan untuk syok AS adalah 400 joule untuk dewasa, 100-200 joule untuk anak dan 50-100 joule untuk bayi. Pada takikardia ventrikel energy yang dibutuhkan lebih kecil. Dosis yang tepat tergantung berat badan. Untuk orang dewasa energy awal dibutuhkan 3J/kgBB, sedangkan pada anak 2 J/kgBB dan dapat diulang dengan dosis ulangan tertinggi adalah 5 J/kgBB.

25

Cara melakukan syok balik listrik AS Sebelum mulai terapi fibrilasi, alat defibrillator harus diperiksa dan dicoba terlebih dahulu kemampuannya memberikan energy mulai dari energy rendah sampai tinggi. Pedal defibrillator luar (dada) hendaknya yang besar dengan diameter 14 cm untuk orang dewasa , 8 cm untuk anak dan 4,5 cm untuk bayi. Sedangkan pedal untuk defibrillator dalam (jantung) pada dada terbuka dewasa adalah 6 cm, 4 cm untuk anak dan 2 cm untuk bayi.

Teknik syok balik listrik luar adalah sebagai berikut: 1 bila FV yang terjadi disaksikan, segera lakukan terapi defibrilasi dalam 30 detik tanpa bantuan hidup dasar (ABC-RJP), tetapi bila tidak disaksikan lakukan ABC-RJP terlebih dahulu 2 putar alat pemindahan sinkronisasi defibrillator ke tanda off dan nyalakan tenaga utama. 3 tentukan tingkat energy yang dikehendaki (sesuai dengan berat adan) dan isi muatan pedal 4 kedua pedal electrode diisi pelicin (jeli) dan kemudian pedal negative tempelkan pada dada kanan bagian atas tepat di sebelah kanan sternum dan di bawah klavikula sedangkan pedal positif di dada kiri tepat di bawah dan di sebelah kiri putting susu kiri. Tekan kedua pedal dengan kuat pada dada. 5 6 pastikan diagnosis pada EKG usahakan operator tidak berhubungan dengan pasien agar tidak tersengat aliran listrik 7 lepaskan uatan listrik dengan menekan tombol yang ada pada masingmasing pedal 8 biarkan pedal menempel di dada selama 5 detik untuk menentukan irama

26

9

bila denyut nadi belum teraba dalam 5 detik, teruskan ABC-RJP, bila FV masih berlanjut setelah 1 menit melakukan ABC, ulangi syok balik dengan dosis berikutnya yaitu 4-5 J/kgBB.

Bila belum berhasil berikan lidokain 1-2 mg/kgBB secara intravena dan kalau perlu diteruskan dengan infuse. Ulangi syok balik listrik seperti tersebut di atas. Bila belum berhasil juga dapat diberikan prokainamid 1-2 mg/kgBB intravena dan kemudian lakukan syok lagi. Bila belum berhasil juga, berikan bretilium 5 mg/kgBB intravena dan selanjutnya syok lagi. Bila belum berhasil dosis bretilium dapat ditinggikan 10 mg/kgBB sampai dosis total 30 mg/kgBB. Bretilium ini merupakan obat terakhir yang tersedia pada saat ini. Bila ini juga tidak berhasil, maka dapat ditegakkan diagnose kematian jantung. Sebaliknya, bila usaha syok listrik sudah berhasil mengembalikan irama jantung ke irama sinus, keadaan ini dipertahankan dengan pemberian obat-oabatan seperti seperti tersebut di atas. Tindakan selanjutnya setelah berhasil memulihkan dan

mempertahankan sirkulasi spontan adalah melakukan bantuan hidup jangka panjang yang berorientasi pada pemulihan fungsi otak di Unit Terapi Intensif. Pada kasus-kasus/ kejadian khusus yang disaksikan oleh penolong dan segera memperoleh pertolongan yang tepat dan cepat, penderita dapat pulih kembali secara penuh. Pada pasien ini hanya memerlukan pemantauan ketat dan perawatan pasca resusitasi.

III. TAHAP III

BANTUAN HIDUP JANGKA PANJANG

Langkah-lnagkah pada tahap III merupakan bantuan hidup jangka panjang, yaitu pengelolaan intensif untuk mencegah kegagalan organ multiple yang merupakan satu kesatuan langkah yang terdiri dari : 1 langkah G (Gauging) yaitu evaluasi dan triase pengelolaan kritis

27

2

langkah H (Human mentation) yaitu humanisasi hasil akhir dengan tindakan resusitasi otak

3

lagkah I (Intensive care) yaitu terapi intensif untuk bantuan hidup secara umum

Jenis pengelolaan yang diperlukan pasien yang telah mendapatkan resusitasi bergantung sepenuhnya kepada hasil resusitasi. Pasien yang tidak mempunyai deficit neurologic dan terpelihara dalam tekanan darah normal tanpa aritmia hanya memerlukan monitor intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai satu atau lebih kegagalan system memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialysis, atau resusitasi otak. Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemia dan iskemia selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat dari henti jantung mempunyai deficit neorologi. Bila pasien tetap tidak sadar, hendaknya dilakukan usaha untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan-tindakan baku bantuan hidup berorientasi otak adalah sbb: a. homeostatis ekstrakranium b. homeostatis intrakranium

a. homeostatis ekstrakranium Usaha yang dilakukan dalam rangka homeostatis ekstrakranium adalah: 1 mengupayakan agar sistem kardiovaskuler dalam batas normal dengan pemantauan ketat sehingga tekanan darah dapat

dipertahankan dalam batas-batas normal baik dengan terapi cairan maupun penggunaan obat vasoaktif.

28

2

ventilasi mekanik diperlukan untuk mempertahankan variable gas darah dalam batas nilai pH = 7,3-7,6 PaO2 di atas 100 mmHg dan PaCO2 = 25-36 mmHg

3

imobilisasi dengan menggunakan obat-obatan pelumpuh otot yang juga dikaitkan dengan usaha ventilasi mekanik

4

mengupayakan agar variable darah dalam batas normal seperti misalnya elektrolit, gula darah, tekanan osmotic, hemoglobin, hematokrit, dan lain sebagainya.

5

pertahankan keadaan normotermia dan usahakan mencegah hipotermia

6 7

alimentasi yang adekuat kalau perlu memberikan nutrisi parenteral pemantauan yang adekuat terhadap semua system organ untuk mengetahui komplikasi sedini mungkin seperti misalnya fungsi hati, ginjal dan lain sebagainya.

b. homeostatis Intrakranium 1. Monitor tekanan intrakranium (hanya jika tersedia teknik yang aman) jika dikehendaki setelah RJP dianjurkan sesudah cedera kepala dan apada ensefalitis dengan : baut tengkorak berongga (Becker) lebih disukai pada koma bukan karena trauma kateter ventrikel (Lunberg) lebih diskai pada koma karena trauma 2. kendalikan : tekanan intrakranium pada atau di bawah 15 mmHg dengan : hiperventilasi lebih lanjut (PaCO2 sampai 20 mmHg) drainase CSS ventrikel Manitol 0,5 g kg IV ditambah dengan dengan 0,3 g kg IV jam. Jangka pendek (jika dikehendaki manitol 1 gr kg IV sekali,empiris,tanpa monitor TIK segera setelah pemulihan sirkulasi spontan sesudah henti jantung), ulangi bila terdapat perburukan neurologis. 29

Diuretika, misalnya furosemid 0,5 - 1,0 mg kg IV Tiopenton atau pentobarbital 2-5 mg kg IV diulangi seperlunya Kortikosteroid, dapat diberikan metilprednisolon 5 mg kgBB IV diikuti dengan 1 mg kgBB tiap 6 jam IV atau deksametason 1 mg kgBB IV diikuti dengan 0,2 mg kgBB tiap 6 jam selama 2-5 hari

Hipotermia 30-32 C jangka pendek (dengan ventilasi terkendali, pelumpuh otot, anestetika,vasodilator), hipotermia jangka lama tidak dianjurkan.

Sedatif,hipnotik atau analgetik narkotik

3. Monitoring fungsi otak (jika dikehendaki) dengan : EEG EEG komputer (monitoring fungsi otak cerebral function monitor)

Keputusan untuk mengakhiri usaha resusitasi Semua tenaga kesehatan dituntut agar mampu melakukan tindakan resusitasi jantung paru segera setelah korban mengalami henti nafas atau henti jantung didiagnosis. Kemudian melanjutkannya sampai usaha resusitasi berhasil atau dinyatakan gagal. Seseorang dinyatakan mati bilamana (1) fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti ireversibel atau (2) telah terbukti terjadi kematian batang otak

30

BAB III KESIMPULANResusitasi Jantung Paru merupakan tindakan emergensi yang harus dikuasai oleh seorang dokter umum. Tahap-tahap dalam Resusitasi Jantung Paru adalah bantuan hidup dasar yang meliputi penguasaan jalan nafas, dukungan nafas, dan dukungan sirkulasi; bantuan hidup lanjut meliputi terapi cairan dan obat-obatan, membuka semua pakaian korban untuk melihat trauma didaerah lain sambil menghindari terjadinya hipotermia, dan tindakan defibrilasi; bantuan hidup jangka panjang yang sudah bukan kompetensi dokter umum lagi. Bantuan hidup dasar dapat dilakukan di lapangan sementara menunggu datangnya ambulans guna mengangkut pasien ke rumah sakit terdekat yang mempunyai fasilitas lengkap. Oleh karen itu, setiap dokter maupun paramedik dididik untuk dapat melakukan bantuan hidup dasar tersebut. Keberhasilan Resusitasi Jantung Paru selalu dievaluasi setiap melakukan tindakan. Semisal saat melakukan pijat jantung luar. Evaluasi dilakukan setiap tindakan pijat jantung luar diselesaikan selama 4 siklus. Tanda-tanda keberhasilan Resusitasi Jantung Paru yakni kulit pasien berubah menjadi kemerahan, pupil mengecil, nadi kembali teraba, nafas spontan. Tindakan Resusitasi Jantung Paru diakhiri bila didapatkan tanda-tanda kematian batang otak atau fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti dan ireversibel.

31