renville 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_full[1].pdf · 10. mbak...
TRANSCRIPT
104
RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA
SISI GELAP PERUNDINGAN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Disusun oleh
YUHAN CAHYANTARA NIM : 024314007
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
107
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, baik itu sebagian maupun seluruhnya, kecuali yang
telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya suatu karya
ilmiah.
Yogyakarta, 7 Agustus 2007
Penulis
Yuhan Cahyantara
iv
108
MottoMottoMottoMotto
Jalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalan----Ku….Ku….Ku….Ku….
(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)
Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi
harus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaan
“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,
Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”
(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)
109
PersembahanPersembahanPersembahanPersembahan
Dengan kerendahan hatiDengan kerendahan hatiDengan kerendahan hatiDengan kerendahan hati
Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :
Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi
SulaxmiSulaxmiSulaxmiSulaxmi
Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian
berikan padaku. berikan padaku. berikan padaku. berikan padaku. Sungguh, kaliaSungguh, kaliaSungguh, kaliaSungguh, kalian adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh
bagiku.bagiku.bagiku.bagiku.
v
vi
110
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
kasih dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu
menyelesaikan karya ini. Sungguh, Dia yang menjadi sandaran segala harapan
penulis karena Dia adalah kehidupan abadi.
Selain itu, karya ini juga terwujud atas bantuan dan perhatian dari berbagai
pihak yang sungguh berarti bagi penulis. Untuk itulah dalam kesempatan yang indah
ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H.
Sebagai Dosen Pembimbing Tunggal yang telah membimbing, memberikan
saran, kebebasan dalam menulis, dan mengoreksi karya ini. Berkat bimbingan
Bapak penulis merasa tenang dan optimis dalam menyusun karya ini.
2. Drs. H. Purwanta, M.A.
Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selalu peduli pada perkembangan
akademis penulis. Terima kasih atas koreksi, perbaikan awal, dan penjelasannya,
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum.
Sebagai Kaprodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan dorongan bagi penulis
untuk segera menyelesaikan penelitian ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah
Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R.L.
Aji Sampurno, M.Hum, dan Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. yang telah memberikan
banyak bekal pengetahuan kepada penulis.
vii
111
5. Bapak F.X. Sugiyono, Bsc. dan Ibu Serafica Listi Sulaxmi, Mas Koko dan Ester.
Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian bagi padaku.
6. Reni, yang telah membuat abstrak untukku. Bersamamu aku merasakan kasih dan
sayangmu.
7. Qeqe, yang selalu bisa membuatku tertawa dan bahagia. Terima kasih juga atas
hari-hari yang menyenangkan bersamamu, bercerita, tertawa, berantem adalah
kita. Bersamamu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Mengenalmu, rasanya
seperti mempunyai adik yang bisa diajak berbagi.
8. Ada dan Iren, senang mengenal kalian. Banyak juga kebahagiaan yang kudapat
dari kalian.
9. Teman-temanku di 2002 :
Ida, Mamik, Gusti, Vila, Ela, Nana, Feny, Yosi, Hananto, Markus, Eko, Daniel,
Roger, Vianney, Devi, Yuda, Halim, Ekarama, Opet, Elang, Soekarno. Senang
bisa sekelas dengan kalian semua. Terus berjuanglah.
10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah skripsi ini. Terima kasih juga atas
koreksinya.
11. Musik-musik yang selalu menjadi teman dan pengiringku selama ini :
Dewa-Dewi, Ungu – Bayang Semu, Linkin Park – Numb, Evo – Terlalu Lelah,
Pinkan Mambo – Kasmaran, Siti Nurhaliza – Betapa Ku Cinta Padamu.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.
Yogyakarta, 7 Agustus 2007
Penulis
viii
112
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv
MOTTO ........................................................................................................... v
PERSEMBAHAN............................................................................................ vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
ABSTRAK....................................................................................................... ix
ABSTRACT..................................................................................................... x
DAFTAR ISI.................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ....................................... 6
C. Pokok Permasalahan .................................................................. 8
D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 9
E. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10
G. Kerangka Konseptual ................................................................ 14
H. Hipotesis .................................................................................... 15
I. Metodologi Penelitian ............................................................... 20
xi
113
J. Sistematika Penulisan ................................................................ 21
BAB II. JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN .............................. 23
BAB III. DIPLOMASI DAN INTERVENSI .................................................. 36
A. Diplomasi Belum Berakhir ........................................................ 36
B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville .................................... 52
BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN ...................... 62
A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan .................................................. 62
B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran ................................................. 69
C. Mencari Jalan Tengah ............................................................... 77
D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara .................... 81
BAB V. PENUTUP......................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95
LAMPIRAN
xii
114
ABSTRAK
RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN
Suatu Usaha Memahami Perundingan Renville Dalam Konteks
Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda
Oleh : Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan hubungan bilateral
antara Indonesia – Belanda pada periode 1947 – 1948 terkait dengan dilaksanakannya Perundingan Renville untuk mengatasi konflik keduanya pasca Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Ada tiga permasalahan utama yang ditampilkan dalam penelitian ini, yaitu : Pertama, apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville? Kedua, mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan? Ketiga, bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville?
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Melalui metode tersebut penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolahnya melalui suatu analisis untuk kemudian ditarik suatu pemahaman yang komprehensif atas topik yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik, sehingga menghasilkan pemahaman dari perspektif politik.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah : Pertama, yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville secara garis besar terdiri dari dua bidang, yaitu bidang militer dan bidang politik. Di bidang militer, penghentian permusuhan dan penentuan garis demarkasi menjadi substansi utama yang menjadi perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan gencatan senjata. Di bidang politik, substansi utamanya adalah mengenai distribusi kekuasaan dan peninjauan kembali bentuk hubungan politik antara Indonesia – Belanda.
Kedua, tidak adanya bentuk kesepakatan konkret antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville membuat proses perundingan terhambat dan bahkan adanya pelanggaran-pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang terus terjadi antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda membuat hubungan Indonesia – Belanda semakin memanas.
Ketiga, hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ternyata tidak semakin membaik, tetapi justru semakin menjauh. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kesepakatan konkret dalam membuat rancangan-rancangan teknis pelaksanaan hasil-hasil perjanjian yang bisa untuk segera dilaksanakan. Tidak adanya kesepakatan tersebut membuat hasil-hasil Perjanjian Renville tidak bisa dilaksanakan secara efektif dalam mengatasi konflik antara Indonesia – Belanda.
ix
115
ABSTRACT
RENVILLE 1947 : FINDING THE GOOD POINT BETWEEN THE DARK SIDE OF NEGOTIATION
An Exertion to Understand Renville Negotiation in Bilateral Relation Contex
Between Indonesia and Dutch
By Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007
This research is purposed to find out the development of bilateral relation
between Indonesia and Dutch at 1947 – 1948, after Renville negotiation that used contend the conflict between Indonesia and Dutch after military aggression that did by Dutch on 21st July 1947. There are three problems; first, what is the main conflict in Renville negotiation? Second, why the relation between Indonesia and Dutch is become suspense when the negotiation is going on? Third, how is the bilateral relation between Indonesia – Dutch after the negotiation was signed?
The method that used in this research is descriptive analysis method. The writer describes the relevant fact with the problem which is researched then analyze it to find out a comprehensive conclusion on it. The approach that is use is politic approach then produce the understanding from politic perspective.
The finding of the research are; first, the main conflict on Renville negotiation can be divided into two main conflicts, military and politic. In military, the stopping of hostility and the act of determining demarcation lines are the main conflict which become the subject of debate between Indonesia and Dutch in implementation of cease fired. In politic, distribution of power and review of the form politic relation between Indonesia – Dutch are the main conflict.
Second, there is no concrete agreement between Indonesia and Dutch to realize the result of Renville negotiation made the process of negotiation is obstructed. In fact that there are some violating in cease fired negotiation that always happened between Indonesia military and Dutch military.
Third, the bilateral relation between Indonesia – Dutch after Renville negotiation was signed in fact its not make the situation better, but worse. It caused of there is no concrete agreement to realize the result of the negotiation. It made the result of Renville negotiation can’t be realize effectively to content the conflict between Indonesia and Dutch.
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjuangan melawan penjajahan tidak selalu harus dilakukan dengan
mengangkat senjata dan berkonfrontasi secara fisik di medan tempur, tetapi ada
bentuk perjuangan lain yang bisa dilakukan dalam menghadapi penjajah. Strategi
perjuangan bersenjata memang merupakan salah satu bentuk perjuangan yang
bersifat radikal revolusioner, tetapi ada juga strategi lain yang bersifat politis
untuk mengimbangi strategi perjuangan bersenjata tersebut. Strategi tersebut
adalah strategi diplomasi yang sungguh diperlukan untuk menghadapi penjajah
secara politis. Hal tersebut mewarnai perjalanan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama pada masa 1946 – 1949
ketika bangsa Indonesia berusaha untuk mengalahkan Belanda, baik dengan cara
berperang maupun dengan cara melakukan perundingan dengan Belanda. Dapat
dikatakan bahwa pada masa 1946 – 1949 merupakan masa-masa pasang surut
perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda karena peperangan dan
perundingan datang silih berganti.
Tahun-tahun antara 1946 – 1949 merupakan masa dimana hubungan
antara Indonesia – Belanda semakin memanas karena adanya sejumlah bentuk
pengkhianatan terhadap usaha menciptakan perdamaian di Indonesia. Agresi
Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 adalah suatu peristiwa yang cukup
fenomenal pasca kemerdekaan Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan
2
suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Linggajati yang telah
disepakatinya dengan Indonesia pada tanggal 15 November 1946.1 Agresi Militer
Belanda I merupakan suatu usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia,
meskipun dalam Perjanjian Linggajati Belanda telah mengakui kedaulatan
Indonesia sebatas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Jelas bahwa Agresi Militer
Belanda I telah melanggar salah satu pasal dalam Perjanjian Linggajati, terutama
menyangkut masalah kedaulatan negara Indonesia.
Agresi Militer Belanda I ternyata cukup banyak mendapat sorotan dari
dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara tegas
mengecam agresi tersebut dan membela negara Indonesia karena alasan rasa
solidaritas mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Desakan dari berbagai
negara terhadap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar ikut terlibat dalam
proses peredaan konflik antara Indonesia – Belanda pun akhirnya membuat DK
PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang intinya
memerintahkan Indonesia dan Belanda agar segera menghentikan segala bentuk
permusuhan dan menganjurkan agar konflik diselesaikan dengan melibatkan
pihak ketiga sebagai mediatornya.2 Dengan adanya resolusi ini maka setidaknya
konflik antara Indonesia – Belanda bisa sedikit mereda karena kini mulai banyak
negara yang mengamati manuver-manuver Belanda terhadap Indonesia, sehingga
Belanda tidak bisa bertindak sembarangan terhadap Indonesia. Konflik antara
Indonesia – Belanda kini bukan lagi hanya merupakan masalah bilateral saja,
tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional, terlebih lagi adanya resolusi
1 K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 2.
2 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid II , Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16.
3
dari DK PBB jelas merupakan suatu bentuk nyata perhatian dunia internasional
terhadap konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda.
Setelah melalui sejumlah persidangan, maka akhirnya DK PBB pun
mengeluarkan resolusi baru yang secara khusus menyangkut tentang
pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga
Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator dalam perundingan antara
Indonesia – Belanda. KTN ini nantinya terdiri dari tiga negara, yaitu : satu negara
yang ditunjuk oleh Indonesia, satu negara yang ditunjuk oleh Belanda, dan satu
negara lagi yang merupakan hasil pilihan dua negara yang ditunjuk oleh
Indonesia dan Belanda tersebut. Akhirnya Indonesia menunjuk Australia,
Belanda menunjuk Belgia, sedangkan Australia dan Belgia menunjuk Amerika
Serikat (AS) sebagai anggota KTN yang ketiga, dengan demikian lengkaplah
sudah komposisi KTN.3 Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN telah tiba di Jakarta
bersama dengan sejumlah peninjau militer yang akan melakukan survei lapangan
untuk membantu KTN dalam mengetahui secara konkret konflik yang terjadi
antara Indonesia – Belanda, sehingga akan mempermudah pekerjaan KTN dalam
merumuskan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sementara itu permasalahan
lain pun muncul menyangkut masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau
berunding di daerah kekuasaan Belanda, begitu pula sebaliknya, sehingga KTN
pun berusaha mencari tempat perundingan yang dapat dianggap netral dan tentu
saja bisa disetujui oleh kedua negara tersebut. Setelah melalui lobi-lobi politiknya
akhirnya KTN pun bisa menentukan tempat perundingannya, yaitu di sebuah
3 Lihat dalam Terminologi Sejarah Indonesia 1945-1950 dan 1950 – 1959, 1996, Depdikbud,
Jakarta, hlm. 91.
4
kapal pengangkut milik AS yang rencananya akan segera berlabuh di Tanjung
Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville, sehingga nantinya perundingan ini
akan lebih dikenal dengan nama Perundingan Renville.
Bagi Indonesia perjuangan menuju Perundingan Renville bukan hanya
untuk menahan manuver-manuver militer Belanda saja, tetapi juga untuk
mempertahankan status kedaulatannya yang telah diakui oleh Belanda di dalam
Perjanjian Linggajati yang kemudian dilanggar oleh Belanda dengan Agresi
Militer I. Untuk itulah kemudian delegasi pun dibentuk, delegasi Indonesia yang
berjumlah delapan orang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi
Belanda yang berjumlah tiga belas orang dipimpin oleh Abdoelkadir
Widjojoatmodjo.4
Alasan penulis memilih judul ini karena selama ini wacana mengenai
Perundingan Renville hanya berkutat pada hasil-hasil perjanjiannya yang lebih
bersifat pragmatis tanpa menampilkan peranan penting perundingan tersebut bagi
hubungan Indonesia – Belanda pasca penandatanganan perundingan tersebut.
Disamping itu Menurut Hans J. Morgenthau - seorang ahli ilmu politik dari
Jerman - ada sembilan faktor yang menjadi unsur kekuatan nasional suatu negara,
salah satunya adalah faktor kualitas diplomasi.
“Dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting bagaimanapun tidak stabilnya, ialah kualitas diplomasi. ……………………………………………………………………………………… Kualitas diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor yang berlainan itu membangkitkan kemampuan yang tidak aktif dengan memberi napas kekuatan yang sesungguhnya. Cara melaksanakan hubungan luar negeri suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat, dan
4 Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 57 – 59.
5
taktik militer oleh para pemimpin militernya untuk kekuatan dalam masa perang.”5
Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya diplomasi
mempunyai arti penting sebagai salah satu kekuatan nasional dalam membina
hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam keadaan damai maupun
perang. Hal ini pun tak luput juga terjadi pada bangsa Indonesia bila merujuk
pada peristiwa Perundingan Renville yang dimulai pada tanggal 8 Desember
1947. Berbagai hal yang berhubungan dengan sisi-sisi diplomasi antara Indonesia
– Belanda dalam Perundingan Renville pantas untuk diketahui agar dinamika
strategi perjuangan bangsa Indonesia bisa dipahami secara lebih optimal,
tentunya dengan perspektif yang semakin berkembang. Penelitian tentang
Perundingan Renville tentu akan mampu memperluas perspektif dalam penulisan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena adanya sisi-sisi penonjolan dinamika
perjuangan diplomasi yang akan bermanfaat dalam rangka memahami pola-pola
perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dengan demikian
penulis akan mencoba untuk mengambil esensi dari Perundingan Renville untuk
mendeskripsikan dan menganalisis peranan pentingnya bagi hubungan bilateral
antara Indonesia – Belanda, karena tak jarang peperangan maupun perdamaian
bisa terjadi dan bisa ditentukan di dalam suatu perundingan. Pembahasan
mengenai Renville tidak cukup berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya,
tetapi juga harus ditampilkan implikasi-implikasi yang timbul dari hasil
perundingan tersebut bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda.
5 Hans J. Morgenthau, 1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
hlm. 213.
6
B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Perundingan Renville merupakan suatu bentuk tindak lanjut sekaligus
merupakan bentuk kepedulian dunia internasional – melalui DK PBB – terhadap
Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 ke Indonesia. Banyak negara yang
mengecam agresi tersebut karena telah melanggar prinsip-prinsip perdamaian
dunia. Perundingan Renville juga merupakan suatu bentuk pemastian terhadap
keberadaan Perjanjian Linggajati antara Indonesia – Belanda tentang upaya
penghentian konflik yang telah dilanggar oleh Belanda. Melalui KTN yang
merupakan komisi yang dibentuk oleh DK PBB, Indonesia dan Belanda harus
menempuh perundingan untuk menyelesaikan konfliknya selama ini.
Perundingan Renville memuat masalah-masalah yang selama ini diperdebatkan
oleh Indonesia maupun Belanda, antara lain adalah menyangkut tentang wilayah
kedaulatan masing-masing negara dan status hubungan kedua negara.6 Dalam hal
wilayah kedaulatan, Indonesia mempermasalahkan Agresi Militer Belanda yang
telah menduduki wilayah-wilayah Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh
Belanda dalam Perjanjian Linggajati. Sedangkan dalam hal status hubungan
kedua negara, Indonesia berharap agar kedaulatan negara Indonesia tetap
dihormati dan tidak diganggu oleh Belanda.
Dinamika Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan proses
tuntutan, negosiasi, dan kesepakatan menjadi suatu hal yang perlu untuk
dicermati dalam memahami peranan perundingan tersebut bagi hubungan
Indonesia – Belanda. Adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam hal prinsip-
6 G. Moedjanto, op.cit., hlm. 17-21.
7
prinsip dan kepentingan politis di antara Indonesia – Belanda membuat sejumlah
substansi persengketaan menjadi semakin rumit dan sulit untuk dijembatani.
Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh Perundingan Renville terhadap
hubungan Indonesia Belanda waktu itu, diperlukan beberapa pertanyaan
menyangkut Perundingan Renville itu sendiri, yaitu :
1. Apa yang sebenarnya menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan
Renville ?
2. Bagaimana proses Perundingan Renville berjalan ?
3. Mengapa di antara Indonesia Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam
dalam mengajukan tuntutan di dalam Perundingan Renville ?
4. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi masing-masing negara ?
5. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi hubungan bilateral antara
Indonesia – Belanda ?
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis sengaja akan
membatasi permasalahan tersebut dengan hanya akan menampilkan tiga
permasalahan saja, yaitu :
1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?
2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika
perundingan sedang berjalan ?
3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca
penandatanganan Perjanjian Renville ?
Selain memberikan pembatasan dalam hal permasalahan, penulis juga
akan memberikan batasan waktu menyangkut topik Perundingan Renville
8
tersebut, yaitu dari tahun 1947 – 1948. Secara lebih khusus, penulis hanya akan
membahas Perundingan Renville sebatas pada dinamika prosesnya dan
pengaruhnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda sampai dengan
tahun 1948.
C. Pokok Permasalahan
Perundingan Renville bukanlah hanya suatu usaha dalam menindaklanjuti
peristiwa Agresi Militer Belanda I saja, tetapi juga merupakan suatu perundingan
yang di dalamnya memuat masalah-masalah krusial lainnya yang perlu
diklarifikasi dan dipecahkan bersama antara Indonesia – Belanda. Perundingan
Renville juga diperlukan dalam rangka memperjelas status hubungan kedua
negara selama ini agar diketahui posisi dan kapasitas masing-masing negara
dalam konteks hubungan bilateralnya. Arti penting Perundingan Renville tidak
berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi yang lebih penting
adalah peran penting yang dapat diambil dari proses perundingan tersebut bagi
hubungan kedua negara yang saling bertikai tersebut. Untuk lebih memfokuskan
pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis akan menguraikan tiga
permasalahan yang berkaitan dengan Perundingan Renville, yaitu :
1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?
2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika
perundingan sedang berjalan ?
3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca
penandatanganan Perjanjian Renville ?
9
D. Tujuan Penelitian
Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk menampilkan sisi-sisi
penting dari proses Perundingan Renville yang berpengaruh terhadap hubungan
bilateral antara Indonesia – Belanda periode 1947 – 1948. Dengan menggunakan
perspektif politik penulis akan mencoba untuk menganalisis pertentangan yang
terjadi antara Indonesia – Belanda di dalam Perundingan Renville dan
pengaruhnya terhadap proses penyelesaian konflik kedua belah pihak.
Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah suatu wawasan
kepada masyarakat tentang arti penting suatu proses diplomasi di dalam
kehidupan bernegara. Secara implisit penulis ingin agar penelitian ini mampu
menjadi suatu pembelajaran kepada masyarakat bahwa proses diplomasi
mempunyai peran dan pengaruh yang penting terhadap penyelesaian setiap
masalah yang ada di dalam masyarakat maupun dalam kerangka kehidupan
bernegara secara bilateral.
E. Manfaat Penelitian
Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan
betapa pentingnya strategi diplomasi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan kepada
masyarakat bahwa ada hubungan antara penulisan sejarah dengan kehidupan di
masa kini dan yang akan datang, yaitu aspek pembelajaran sejarah. Penelitian ini
diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat umum bahwa
perdamaian itu membutuhkan pengorbanan.
10
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang
beberapa buku yang memuat masalah Perundingan Renville untuk digunakan
sebagai dasar bagi penulis untuk semakin melengkapi wacana tentang
Perundingan Renville.
Buku yang pertama adalah Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville,
terj., Sinar Harapan, Jakarta. Buku ini berisi tentang pandangan dan gagasan
penulisnya tentang dinamika yang terjadi pada hubungan Indonesia – Belanda
selama Perundingan Renville berlangsung, maupun sesudahnya. Secara lebih
khusus, penulisnya mencermati jalannya Perundingan Renville dengan mengkaji
setiap perkembangannya secara teliti dan mendalam. Berbagai masalah yang
terjadi selama perundingan berlangsung pun turut dikaji, antara lain mencakup
tentang perbedaan pemahaman dalam setiap tuntutan, perbedaan penafsiran
terhadap hasil-hasil perjanjiannya, sampai dengan kesulitan-kesulitan yang
dihadapi oleh Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil perjanjian.
Perundingan Renville tidak hanya ditampilkan dalam konteks hubungan
Indonesia – Belanda saja, tetapi juga dilengkapi dengan tinjauan-tinjauan politik
luar negerinya, kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, dan juga
pandangan dari dunia internasional terhadap konflik antara Indonesia – Belanda.
Buku yang kedua adalah tulisan Mohammad Roem, 1989, Diplomasi :
Ujung Tombak Perjuangan RI, Gramedia, Jakarta. Dalam bukunya, ia menulis
tentang sekelumit kisahnya sewaktu masih aktif sebagai diplomat dari Perjanjian
Linggajati sampai dengan Konferensi Asia Afrika. Sisi penting buku ini adalah
11
dalam buku ini penulisnya mampu memberikan argumentasi yang jelas terhadap
pentingnya suatu diplomasi di kancah internasional. Buku ini juga menampilkan
gagasan-gagasan penulisnya bahwa diplomasi mempunyai arti penting bagi suatu
negara sebagai kekuatan politik dalam hubungannya dengan negara lain.
Keunggulan dari buku ini adalah penulisnya mampu untuk memberikan
perspektif yang positif terhadap diplomasi yang selama ini dilaksanakan oleh
pemerintah RI. Selain itu sisi-sisi diplomasi tidak hanya dipandang dari sisi
pragmatisnya saja, tetapi juga ditampilkan relevansinya dengan masalah-masalah
di dunia internasional, sehingga wacana yang dihasilkan berupa suatu analisa
yang menyeluruh tentang keberadaan suatu negara dan kehidupan diplomasinya
dengan negara lain.
Buku yang ketiga adalah tulisan Basuki Suwarno yang berjudul
Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I. Buku ini diterbitkan
oleh Upakara atas disposisi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tahun
1999 di Jakarta. Buku ini berisi tentang petikan-petikan dokumen kenegaraan,
baik yang berasal dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda pada periode 1945
– 1950. Sebagian besar petikan-petikan dokumen tersebut memuat tentang
masalah-masalah politik antara Indonesia – Belanda, termasuk tentang peristiwa
yang terjadi di seputar Perjanjian Renville. Buku ini membantu penulis dalam
mengetahui lebih banyak tentang sudut pandang politik kedua negara, yaitu dari
Indonesia dan Belanda dalam menyikapi Perundingan Renville melalui
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh elit-elit politik kedua negara
tersebut.
12
Buku yang keempat adalah karya K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan
Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta. Buku ini berisi
tentang pembahasan tentang proses Perundingan Renville, dari tahap persiapan
sampai dengan rencana-rencana pelaksanaan hasil-hasil perjanjiannya. Buku ini
secara khusus memfokuskan pembahasannya pada situasi selama perundingan
berlangsung dan lobi-lobi politik yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam
memperjuangkan tuntutannya. Keunggulan buku ini adalah aspek
kronologisasinya yang jelas dan runtut, sehingga memudahkan penulis dalam
menyimak alur perkembangan dari Perundingan Renville. Selain itu
keunggulannya terletak pada penyajian setiap peristiwanya yang mengutamakan
segi kausalitas, sehingga setiap bagiannya mempunyai penjelasan yang jelas dan
berkesinambungan. Buku ini juga memuat beberapa pandangan dari penulisnya
dalam menanggapi beberapa petikan pernyataan dari pemerintah Indonesia
maupun Belanda terhadap keberadaan Perundingan Renville, sehingga memberi
tambahan penting bagi penulis dalam mencari akar permasalahan yang terjadi
antara Indonesia – Belanda.
Buku yang kelima adalah tulisan Alastair M. Taylor yang berjudul
Indonesia Independence and the United Nations. Buku ini diterbitkan oleh
Stevens and Sons Limited pada tahun 1960 di London. Buku ini banyak memuat
tentang peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam membantu usaha
perdamaian yang ditempuh oleh Indonesia dan Belanda pada periode 1946 –
1950. Secara spesifik buku ini banyak mengulas tentang perundingan-
perundingan antara Indonesia – Belanda dari Perundingan Linggajati sampai
13
dengan Konferensi Meja Bundar. Buku ini banyak membantu penulis dalam
mengetahuai secara lebih jauh mengenai substansi-substansi yang disengketakan
oleh Indonesia dan Belanda di dalam Perundingan Renville dan mengetahui
peranan PBB dalam membantu Indonesia dan Belanda dalam menyelesaikan
konflik.
Selain itu penulis juga menggunakan beberapa buku lain sebagai referensi
dalam penelitian ini. Ada buku yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi tulisan
Soekarno, khususnya Jilid II, yang memuat tentang pandangan-pandangan politik
Soekarno sebagai presiden dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Buku karya
Ide Anak Agung Gde Agung yang berjudul Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei
1949 juga digunakan karena buku tersebut berisi tentang perubahan-perubahan
politik yang terjadi di negeri Belanda pada periode 1948 yang pada dasarnya
sangat berpengaruh pada hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Sebagai
penyeimbangnya penulis juga menggunakan karya Hersri Setiawan yang berjudul
Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan untuk mengamati
perubahan-perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Perundingan
Renville.
Setelah mencermati sejumlah buku yang telah disebutkan di atas, maka
terdapat perbedaan dengan penelitian ini dalam hal isinya. Di dalam buku-buku
tersebut proses Perundingan Renville hanya dideskripsikan tanpa menampilkan
hubungan antara proses tersebut dengan pengaruhnya terhadap proses
penyelesaian konflik antara Indonesia – Belanda selanjutnya. Sedangkan
penelitian ini menampilkan analisis mengenai perbedaan pendapat antara
14
Indonesia – Belanda selama proses Perundingan Renville dan pengaruhnya
terhadap penyelesaian konflik kedua belah pihak selanjutnya, sehingga penelitian
ini lebih komprehensif dalam melihat Perundingan Renville sebagai suatu proses
perundingan yang belum berhasil dalam mewujudkan perdamaian antara
Indonesia – Belanda.
G. Kerangka Konseptual
Baik secara eksplisit maupun implisit penelitian tentang Perundingan
Renville ini akan memuat suatu hal yang berhubungan dengan konflik yang
terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga diperlukan adanya suatu pemahaman
yang jelas tentang pengertian konflik itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini
juga digunakan beberapa istilah seperti perundingan, perjanjian, diplomasi, dan
bilateral yang juga akan diberi pengertian sesuai dengan konteks dalam penelitian
ini. Konflik adalah perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat atau ide,
walaupun dalam kadar yang rendah.7 Dalam konteks ini konflik diartikan sebagai
suatu keadaan dimana terjadi perbedaan dan benturan kepentingan dalam
hubungan antara satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ini perundingan
diartikan sebagai pembicaraan terhadap sesuatu hal.8 Dalam konteks ini
perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak
masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.9
Dalam konteks ini diplomasi diartikan sebagai pengalaman dan kecakapan dalam
7 Menurut Alfian dalam Prisma, edisi 3 Maret 1977, hlm. 89. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Depdikbud, Jakarta, hlm. 759. 9 Ibid., hlm. 351.
15
hal perhubungan antara negara dan negara.10 Dalam konteks ini bilateral diartikan
sebagai hubungan antara dua pihak.11
Setelah diketahui pengertian dari masing-masing istilah tersebut, maka di
dalam penelitian ini penulis akan menampilkan tiga pernyataan yang menjadi
garis besar dari penelitian ini, yaitu :
1. Konflik bisa terjadi di antara dua negara karena adanya perbedaan
kepentingan ekonomi maupun politik.
2. Masing-masing negara mempunyai strategi yang berbeda dalam
menyelesaikan konflik di dalam suatu perundingan yang tentu saja sangat
dipengaruhi oleh pandangan maupun kepentingannya masing-masing.
3. Konsistensi suatu negara dalam melaksanakan hasil perjanjian internasional
sangat dipengaruhi oleh adanya faktor keuntungan yang diperoleh dari hasil
perjanjian tersebut.
H. Hipotesis
Perundingan Renville merupakan suatu proses perundingan yang harus
ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN
pasca Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Di dalam perundingan itu
perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena
terdapat banyak perbedaan antara Indonesia – Belanda dalam menyoroti beberapa
substansi yang ada. Perbedaan tidak hanya menyangkut tentang prioritas
substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu
10 Ibid., hlm. 207. 11 Ibid., hlm. 117.
16
sendiri. Proses Perundingan Renville diwarnai dengan perbedaan argumen dan
tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar
perdamaian diwujudkan sesuai dengan pendirian masing-masing pihak.
Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang
secara efektif bisa digunakan untuk mengakhiri konflik selama ini.
Hipotesis I :
Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam
menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan
yang cukup serius di dalam Perundingan Renville.
Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 1947 merupakan suatu
bentuk pelanggaran Belanda terhadap pasal 1 Perjanjian Linggajati. Agresi
tersebut melanggar pernyataan Belanda sendiri yang telah mengakui kedaulatan
Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya
tersebut Belanda telah melakukan pendudukan secara sepihak di beberapa
wilayah Indonesia tersebut, antara lain di Jakarta, Karawang, Cirebon, dan
Malang.12 Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah
untuk melaksanakan gencatan senjata antara Indonesia – Belanda untuk
sementara memang telah berhasil meredakan ketegangan, namun perintah
tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi Belanda. Dengan alasan
pemeliharaan keamanan Belanda sering memperluas daerah pendudukannya ke
dalam wilayah Indonesia meskipun hal tersebut jelas bertentangan dengan
12 Robert Bridson Cribb, 1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara
Otonomi dan Hegemoni, terj., Grafiti, Jakarta, hlm. 150-152.
17
resolusi DK PBB tersebut. Setelah konflik antara Indonesia – Belanda tersebut
dibahas di dalam suatu perundingan, Belanda menuntut agar sebelum
perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing-
masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing negara. Secara
sepihak Belanda menuntut bahwa garis terdepan kedudukan tentara Belanda
sebelum tanggal 4 Agustus 1947 dijadikan batas wilayah antara Indonesia –
Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook.13 Indonesia tentu saja
keberatan dengan tuntutan Belanda tersebut karena Indonesia menganggap bahwa
batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1
Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus
1947 karena garis tersebut didapatkan Belanda dengan cara melakukan
pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut
tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah
kedaulatan negara. Di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan yang cukup
tajam dalam mengajukan argumentasi untuk mengklaim wilayah kedaulatan
masing-masing pihak pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I, sehingga terjadi
persengketaan yang cukup serius di dalam perundingan.
Hipotesis II :
Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan
dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk
dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan
akan memanas.
13 Ibid., hlm. 166.
18
Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di
tengah perundingan. Masalah itu adalah menyangkut tentang status hubungan
masing-masing negara. Ketika ada suatu wacana tentang pembentukan
pemerintahan sementara dan negara serikat, Belanda terus-menerus memojokkan
Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik
diselesaikan dengan cara membentuk terlebih dahulu suatu Pemerintah Federal
Sementara yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan bersama antara
Indonesia – Belanda untuk sementara selama masa peralihan menuju
pembentukan Negara Indonesia Serikat.14 Tuntutan Belanda yang lain adalah
agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu
dengan segala konsekuensinya, yaitu kedaulatan dipegang oleh Belanda,
sehingga Indonesia harus menyerahkan sebagian hak-haknya sebagai negara
bagian kepada Belanda. Belanda juga menuntut agar hak-hak atas
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan penyelenggaraan angkatan perang
Indonesia diambil alih olehnya.15 Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana
tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia
sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena
hal itu jelas merupakan suatu pengurangan terhadap kedaulatannya. Perbedaan
pandangan inilah yang menyebabkan perundingan memasuki tahap yang sulit.
Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian di dalam
pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Belanda, sedangkan Indonesia tetap
menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Terlebih lagi adanya
14 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 86-87. 15 Ibid., hlm. 80-87.
19
sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi
lagi tentang tuntutan tersebut mengakibatkan situasi perundingan menjadi
tegang.16 Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.
Hipotesis III :
Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam
melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara
Indonesia – Belanda tidak akan membaik.
Meskipun secara teknis Perjanjian Renville sudah ditandatangani pada
tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut
bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam
Perjanjian Renville dapat dikatakan hanyalah sebagai pokok-pokok persetujuan
saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari
sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan
sensitif bagi Indonesia adalah tetap menyangkut tentang pembentukan
Pemerintah Federal Sementara. Bagi Indonesia tidak mudah untuk
melaksanakannya karena masih ada perbedaan pandangan dengan Belanda. Pada
intinya Indonesia setuju tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara itu,
namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis
pembentukannya karena usulan Belanda tentang pemerintahan sementara tersebut
terkesan memandang rendah kedaulatan Indonesia. Belanda menuntut agar
Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan tersebut, sedangkan
16 Ibid., hlm. 120.
20
Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda.17 Dengan
adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan
Perjanjian Renville terlihat mengambang dan tanpa kepastian karena adanya
perbedaan penafsiran dalam memahami hasil perjanjian antara Indonesia –
Belanda. Dengan demikian hubungan keduanya tidak semakin membaik, tapi
justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam
melaksanakan hasil-hasil Perundingan Renville.
I. Metodologi Penelitian
Selama melakukan penelitian ini penulis telah melalui berbagai tahapan
untuk menghasilkan penelitian yang akurat, komperehensif, dan berimbang
dengan cara :
1. Heuristik
Penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang
berhubungan dengan topik Perundingan Renville yang sebagian besar berupa
buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Kritik Sumber
Secara khusus penulis mengutamakan segi kritik internnya. Pada
tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya
apakah terdapat suatu kesesuaian mengenai datanya, sehingga dapat
dipastikan kevalidannya.
17 Ibid., hlm. 88-89.
21
3. Analisis
Setelah mendapatkan sumber-sumber yang cukup lengkap dan valid,
maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap
mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman
pada pokok permasalahan, sehingga nantinya semua permasalahan akan
dapat terjawab secara runtut dan jelas.
4. Penulisan
Setelah proses analisis disaring beberapa kali, maka selanjutnya
adalah tahap penulisan. Dalam penulisan ini penulis juga terus melakukan
editing, baik dari segi materi maupun tata bahasanya, sehingga tulisan yang
dihasilkan nantinya bisa lebih mudah dipahami.
J. Sistematika Penulisan
Penulis akan menyajikan tulisan ke dalam lima bab, yaitu :
Bab I berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, dan metode
penelitian.
Bab II berisi tentang penguraian masalah yang pertama, yaitu : substansi
permasalahan yang ada dalam Perundingan Renville.
Bab III berisi tentang penguraian masalah yang kedua, yaitu : dinamika
pertentangan antara Indonesia – Belanda dalam Perundingan Renville.
22
Bab IV berisi tentang penguraian masalah yang ketiga, yaitu : pengaruh
Perundingan Renville dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia –
Belanda 1947 – 1948.
Bab V berisi penutup.
23
BAB II
JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN
Sebelum membahas secara lebih jauh tentang substansi-substansi
persengketaan antara Indonesia – Belanda yang akan dibahas dalam Perundingan
Renville, kiranya perlu untuk sedikit mengulas kaitan antara Agresi Militer Belanda I
pada tanggal 21 Juli 1947 dengan Perjanjian Linggajati yang akan sangat berpengaruh
pada akar substansi dalam Perundingan Renville. Secara pragmatis Agresi Militer
Belanda I tersebut jelas bertentangan dengan Perjanjian Linggajati, khususnya pasal I
yang menyatakan bahwa : “Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de
facto Pemerintah Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera”.1 Jelas bertentangan,
karena dengan agresinya tersebut Belanda telah menduduki daerah-daerah kekuasaan
Indonesia, antara lain di Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan,
dan Madura.2
Menurut Belanda aksi tersebut bukanlah suatu bentuk agresi, tetapi hanya
suatu bentuk aksi polisionil saja yang bertujuan untuk memelihara keamanan di
daerah-daerah yang dianggap masih rawan tingkat keamanannya. Selain itu alasan
Belanda mengadakan aksi tersebut karena mereka menilai bahwa Indonesia tidak
mampu menjaga keamanan dan ketertiban di daerah pendudukannya sendiri dan
bahkan menolak pesan usulan Belanda tanggal 27 Mei 1947 tentang pembentukan
pasukan bersama (gendarmerie) di daerah pendudukan, khususnya di daerah
1 Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 431. 2 Ibid., hlm. 234-295.
23
24
pendudukan Indonesia.3 Belanda menganggap bahwa dirinya mempunyai tanggung
jawab atas apa yang terjadi di seluruh Hindia Belanda, meskipun pada kenyataannya
kini pihaknya telah berbagi kedaulatan dengan Indonesia.
Sampai di sini dapat diketahui bahwa salah satu motif awal Belanda
melancarkan agresinya adalah adanya pertentangan antara pihaknya dengan Indonesia
dalam hal pemeliharaan keamanan dan ketertiban di Indonesia. Indonesia memang
tidak pernah menyetujui usul Belanda tentang pembentukan pasukan bersama
tersebut karena pada akhirnya hal itu hanya akan memperkeruh keadaan saja. Dengan
adanya pasukan bersama berarti sama saja dengan mengijinkan pasukan Belanda
untuk masuk ke dalam daerah pendudukan Indonesia secara bebas karena hal itulah
yang menjadi maksud Belanda. Jelas tidak mungkin bagi Indonesia untuk menerima
hal tersebut karena Indonesia menilai bahwa masalah keamanan adalah urusan
internal negara yang secara otomatis menjadi wewenang negara itu sendiri yang tidak
perlu melibatkan pihak asing. Pembentukan pasukan bersama bisa juga dilihat
sebagai suatu taktik Belanda saja agar mereka bisa menempatkan pasukannya dengan
bebas ke dalam daerah pendudukan Indonesia untuk selanjutnya tetap melancarkan
motif-motif tertentu, seperti misalnya pengintaian ataupun pendudukan terhadap
daerah pendudukan Indonesia.
Jauh sebelum Perundingan Renville dimulai, di antara Indonesia Belanda
sebenarnya sudah sering memperdebatkan aksi 21 Juli 1947 tersebut di dalam sidang
DK PBB. Hal tersebut tak lepas dari adanya perhatian dan peranan sejumlah negara
anggota DK PBB seperti India dan Australia yang telah berhasil mendesak DK PBB
3 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 186.
25
untuk membahas masalah Indonesia di dalam sidang DK PBB. Pada awalnya Belanda
merasa keberatan bila masalah tersebut dibahas di dalam forum internasional karena
mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah urusan internal Belanda sendiri,
apalagi dengan adanya keputusan DK PBB untuk menghadirkan pihak Indonesia
untuk didengar keterangannya membuat Belanda semakin gusar.
Belanda menganggap hal tersebut tidak perlu karena Indonesia tidak
mempunyai kompetensi untuk menjelaskan konflik yang terjadi. Namun hal tersebut
ternyata tidak banyak berpengaruh, negara-negara anggota DK PBB seperti Australia,
India, dan Polandia ternyata telah berhasil membujuk dewan untuk menghadirkan
pihak Indonesia dalam sidang DK PBB karena masalah Indonesia adalah konfilk
yang melibatkan dua negara yang bertikai yang jika tidak segera diatasi bisa
mengancam perdamaian dunia. Masalah Indonesia – Belanda mulai dibahas dalam
sidang DK PBB pada tanggal 4 Agustus 1947.4 Pada sidang-sidang selanjutnya di
bulan Agustus pada dasarnya masih membahas tentang gencatan senjata antara
Indonesia – Belanda.
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir yang menjadi ketua delegasi Indonesia
menyampaikan pidato dalam sidang DK PBB yang berisi tuntutan agar DK PBB
bersedia mendesak Belanda untuk menarik kembali pasukannya dari wilayah
Republik Indonesia pada posisi seperti sebelum agresi.5 Pada intinya Syahrir sebagai
wakil Indonesia sangat mengharapkan bahwa posisi Indonesia, baik secara teritorial
maupun politis harus dipulihkan terlebih dahulu seperti sebelum terjadinya agresi,
sehingga Indonesia mendapatkan hak-haknya sebagai negara yang berdaulat secara
4 Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 243. 5 George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press,
Jakarta, hlm. 272.
26
proporsional di dalam perundingan yang akan ditempuh selanjutnya. Tuntutan
tersebut ternyata hanya ditanggapi dengan sikap dingin saja oleh Belanda. Tanpa
menghiraukan perintah gencatan senjata, Belanda masih tetap saja melakukan
pendudukan-pendudukan secara sepihak terhadap daerah pendudukan Indonesia.6
Perundingan Renville adalah suatu pembukaan kembali pintu dialog antara
Indonesia – Belanda untuk kesekian kalinya. Selain bertumpu pada peristiwa Agresi
Militer Belanda I, Perundingan Renville juga bertujuan untuk memperjelas posisi dan
status masing-masing pihak dalam rangka menyelesaikan konflik yang kini semakin
kompleks. Substansi persengketaan yang akan dibahas di dalam tahap awal
Perundingan Renville sebenarnya masih berkutat pada masalah pelaksanaan gencatan
senjata, hanya saja substansinya semakin kompleks ketika harus membahas tentang
rekapitulasi daerah-daerah kekuasaan dan penarikan pasukan. Selain itu ada juga
substansi lain yang tidak kalah penting, yaitu tentang rencana pembentukan suatu
Pemerintahan Federal Sementara dan suatu persemakmuran yang bernama Negara
Indonesia Serikat (NIS).
Bila dicermati lebih dalam substansi-substansi tersebut sebenarnya bukanlah
hal yang baru, substansi-substansi tersebut sudah diperdebatkan antara Indonesia –
Belanda sejak tahun 1945, yaitu ketika pasukan-pasukan Inggris datang ke Indonesia
untuk membebaskan tahanan perang dan melucuti pasukan Jepang.7 Hanya saja
substansi-substansi tersebut tak kunjung terpecahkan karena masih adanya sejumlah
perbedaan pandangan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaannya, sehingga
substansi-substansi tersebut berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian yang
6 M.C. Ricklefs, 2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj., Serambi, Jakarta, hlm. 454.
7 Ibid., hlm. 435.
27
tuntas. Dapat dikatakan bahwa Perundingan Renville ini memuat substansi-substansi
lama dalam hubungan Indonesia – Belanda semasa konflik yang belum terpecahkan.
Kini setidaknya ada tiga substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville yang
harus dibahas lagi oleh Indonesia dan Belanda. Substansi-substansi tersebut, yaitu :
1. Persetujuan gencatan senjata
2. Rekapitulasi daerah-daerah pendudukan
3. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS
Substansi-substansi tersebut saling berhubungan erat, tiap pembahasan substansi akan
sangat berpengaruh pada proses pembahasan substansi selanjutnya.
Substansi pertama adalah mengenai pelaksanaan gencatan senjata pasca
terjadinya Agresi Militer Belanda I. Dalam hal ini yang diperdebatkan antara
Indonesia – Belanda adalah masih mengenai dampak dari agresi dan tindakan-
tindakan pendudukan pasukan Belanda setelah perintah gencatan senjata dikeluarkan
oleh DK PBB. Bila dalam agresinya Belanda telah berhasil menduduki kota-kota
yang cukup strategis milik Indonesia, seperti Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang,
Surabaya, Palembang, dan Medan, maka hal itu pun terus berlanjut di daerah-daerah
Indonesia yang lain meskipun DK PBB sudah mengeluarkan perintah untuk
menghentikan peperangan. Pasukan Belanda tetap saja menyerang daerah-daerah
pendudukan Indonesia di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Madura, dan sebagian
Sumatera.8 Akibatnya wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena Belanda
telah menduduki sebagian Jawa, Sumatera, dan Madura.
Pada dasarnya Indonesia memprotes tindakan-tindakan Belanda di beberapa
daerah kekuasaan Indonesia yang secara jelas telah melakukan kekerasan militer
8 Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 299-327.
28
dengan alasan pemeliharaan keamanan dan menuntut agar Belanda menghentikan
aksinya tersebut. Belanda masih sependapat dengan Indonesia bahwa gencatan
senjata adalah substansi dasar yang harus segera dilaksanakan terlebih dahulu agar
perundingan bisa berjalan secara kondusif, tetapi pada kenyataannya Belanda masih
saja terus melakukan pendudukan dengan alasan pemeliharaan keamanan.
Substansi mengenai pelaksanaan gencatan senjata mulai menemukan jalan
buntu ketika kedua belah pihak membahas tentang batas-batas daerah pendudukan
yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan gencatan senjata. Seperti yang telah
dinyatakan sebelumnya, Indonesia menuntut agar pasukan Belanda ditarik mundur
sampai pada posisi sebelum agresi, yang berarti bahwa Indonesia tetap berpegang
pada posisinya yang diakui dalam Perjanjian Linggajati sebagai batas wilayah
kedaulatannya. Belanda tidak mau menyetujui tuntutan Indonesia, bahkan Belanda
membuat rancangan sendiri dengan mengajukan tuntutan bahwa garis demarkasi yang
dipakai adalah garis pendudukan pasukannya pada saat gencatan senjata, yaitu
tanggal 4 Agustus 1947.9 Garis itu dinamakan garis Van Mook karena dinyatakan
oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda H.J. Van Mook. Sebagai gambaran garis Van
Mook itu meliputi Jawa Barat kecuali Banten, sebagian Jawa Tengah meliputi
Pekalongan dan Semarang, sebagian Jawa Timur meliputi Malang, Surabaya,
Banyuwangi, dan Pulau Madura, itu pun belum termasuk di Pulau Sumatera.10
9 Garis demarkasi, daerah kosong, atau daerah yang tidak bertuan, pada umumnya sesuai
dengan garis status quo. Garis status quo itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh tentara Belanda sesuai dengan proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Ada di dalam Slametmulyana, 1986, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 99.
10 Berdasarkan peta dalam George McTurnan Kahin, op. cit., hlm. 294.
29
Indonesia menolak tuntutan Belanda tersebut karena dinilai terlalu sepihak
dan tidak memiliki dasar yang legal. Indonesia menilai bahwa garis Van Mook adalah
suatu hal yang dipaksakan karena didapat Belanda dengan cara menyerang daerah-
daerah yang secara efektif masih dikuasai oleh pasukan Indonesia, dan terlebih lagi
hal tersebut dilakukan tanpa mematuhi adanya perintah gencatan senjata dari DK
PBB.
Sebagai syarat awal suatu perundingan, substansi tentang gencatan senjata
memang menjadi substansi yang cukup alot dalam pembahasannya. Baik Indonesia
maupun Belanda lebih cenderung mempermasalahkan status daerah-daerah
pendudukan sebagai akibat dari pembahasan mengenai pelaksanaan gencatan senjata
dan penentuan batas-batas wilayah kedaulatan. Di antara kedua belah pihak belum
terdapat suatu persamaan pandangan dalam menentukan kembali daerah
pendudukannya masing-masing pasca agresi 21 Juli 1947.
Substansi yang kedua adalah mengenai rekapitulasi daerah-daerah
pendudukan masing-masing pihak yang menjadi bahan perdebatan pasca agresi.
Agresi Belanda yang kemudian diikuti dengan adanya tuntutan Belanda atas garis
Van Mook membuat daerah kekuasaan Indonesia menjadi semakin sempit. Bila
dalam substansi gencatan senjata Indonesia dan Belanda saling memperdebatkan
tentang batas-batas wilayah kedaulatan yang akan digunakan dalam penarikan
pasukan untuk melaksanakan gencatan senjata, maka dalam hal ini Indonesia –
Belanda memperdebatkan tentang status daerah-daerah yang telah diduduki Belanda,
yaitu : di Jawa Barat kecuali Banten, sebagian kecil Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau
Madura, dan Pulau Sumatera. Status yang diperdebatkan di sini tidak hanya
30
menyangkut tentang penguasaan atas daerah-daerah tersebut, tetapi juga menyangkut
tentang status sementara daerah-daerah tersebut selama perundingan berjalan,
jaminan keamanan, penarikan pasukan yang masih ada di sana, dan proses penentuan
status daerah-daerah tersebut selanjutnya, baik dalam hubungannya dengan
Pemerintah Federal Sementara maupun NIS.
Substansi yang ketiga adalah mengenai rencana pembentukan Pemerintahan
Federal Sementara dan NIS. Dari beberapa substansi perundingan yang telah
disebutkan sebelumnya, substansi inilah yang merupakan substansi paling krusial dan
sangat menentukan bagi kelanjutan hubungan antara Indonesia – Belanda karena di
dalamnya termuat beberapa masalah yang menyangkut tentang posisi dan status
masing-masing pihak di masa yang akan datang. Substansi tentang pembentukan NIS
ini merupakan suatu rencana jangka panjang yang cukup rumit dalam proses
perencanaannya, karena selain harus membahas tentang tata cara teknis
pembentukannya, substansi ini juga menyangkut tentang pengakuan kedaulatan
masing-masing pihak yang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai salah satu bagian
terpentingnya.11
Negara Indonesia Serikat adalah substansi yang dimunculkan oleh Belanda di
dalam Perundingan Renville yang menurut Belanda adalah sebagai suatu bentuk
hubungan kerja sama antarnegara yang berdasarkan atas persamaan status. Secara
lebih lanjut Belanda menjelaskan bahwa pada dasarnya NIS adalah suatu bentuk
persemakmuran (commonwealth) yang di dalamnya melibatkan banyak negara bagian
lain yang akan tergabung dalam persemakmuran itu, termasuk juga Indonesia dan
11 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan
Pustaka Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta, hlm. 47.
31
Belanda.12 Belanda menambahkan bahwa selama masa peralihan menuju
pembentukan NIS tersebut, kedaulatan Belanda atas Indonesia tetap berlaku dan akan
diserahkan kepada NIS setelah NIS itu terbentuk. Masing-masing negara bagian akan
diberi status merdeka di bawah NIS yang akan dikepalai oleh Belanda.13 Tetapi
substansi tersebut baru merupakan wacana besar saja karena pembahasan lebih lanjut
mengenai tata cara teknis pembentukannya masih memerlukan persetujuan dengan
Indonesia.
Pada dasarnya pihak Indonesia sendiri masih bingung dengan substansi
tersebut karena ada banyak hal yang terkesan kurang jelas dan terkesan tidak adil.
Substansi pembentukan NIS belum menyentuh tentang hal-hal teknis yang
berhubungan dengan posisi dan status Indonesia dalam persemakmuran tersebut.
Banyak masalah yang belum dibahas oleh Indonesia maupun Belanda menyangkut
tentang prinsip-prinsip dasar keberadaan negara-negara bagian tersebut di dalam
persemakmuran, yaitu menyangkut tentang hak dan kewajiban negara bagian
tersebut : bagaimana statusnya, bentuk hubungannya, undang-undangnya, sistem
pemerintahannya, dan hubungan dengan luar negeri. Masalah-masalah tersebut harus
dijernihkan terlebih dahulu agar Indonesia dapat mengambil keputusan yang tepat
dalam proses pembentukannya. Indonesia sendiri tampaknya enggan untuk
membicarakan tentang NIS sebelum dicapainya kesepakatan untuk hal-hal teknis
tersebut karena hal-hal tersebut berpengaruh terhadap hak dan kedaulatannya sebagai
suatu negara.
12 Ibid., hlm. 49 dan Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 432. 13 Ibid.
32
Bila ditelusuri secara lebih jauh ide awal tentang adanya rencana
pembentukan NIS tersebut sebenarnya sudah ada jauh sebelum adanya Perundingan
Renville, bahkan sebelum adanya Perjanjian Linggajati, hanya saja hal tersebut tidak
secara cepat dapat dilaksanakan karena masih adanya perbedaan pandangan antara
Indonesia – Belanda dalam tata cara teknis pembentukannya. Ide tersebut datang dari
hasil kompromi antara Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dengan Syahrir pada
awal bulan Desember 1945 yang kemudian disampaikan oleh Van Mook kepada
Menteri Urusan Tanah Seberang Belanda, Logemann.14 Dapat diketahui bahwa ide
tersebut sebenarnya sudah ada sejak pasukan Inggris datang ke Indonesia untuk
membebaskan tahanan perang, melucuti dan memulangkan pasukan Jepang ke
negerinya sehubungan dengan kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II (PD II). Jadi
sebenarnya ada kaitan antara kedatangan Inggris dan proses perundingan antara
Indonesia – Belanda yang sudah ada pada saat itu.
Kedatangan Inggris pada bulan September 1945 di bawah pimpinan Jenderal
Philips Christisons mengubah beberapa pola pandangan Belanda terhadap
Indonesia.15 Pada awalnya Belanda menaruh harapan besar pada Inggris yang datang
untuk merekapitulasi kemenangan Sekutu atas Jepang untuk bisa membantunya
memulihkan kekuasaannya di Indonesia seperti sebelum tahun 1942. Pada saat itu
Belanda ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk datang ke Indonesia dan
kembali memulihkan kekuasaannya meskipun Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 – karena pada saat itu terjadi kekosongan
kekuasaan di Indonesia karena pemerintahan Jepang di Indonesia secara otomatis
14 Ibid., hlm. 45-50. 15 M.C. Ricklefs, op. cit., hlm. 435.
33
berakhir setelah kemenangan Sekutu pada PD II dan berharap Inggris akan
membantunya. Tetapi dugaan Belanda tersebut meleset, dalam beberapa pernyataan
yang disampaikan oleh pimpinan pasukan Inggris mereka menyatakan bahwa
kedatangannya ke Indonesia hanya untuk membebaskan tahanan perang, melucuti,
dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya dan sama sekali tidak untuk
membantu memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Mereka menegaskan lagi
bahwa mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan politik dalam negeri
Indonesia dan mendesak Belanda untuk segera melakukan perundingan dengan
Indonesia agar proses pembebasan tahanan perang dapat berjalan dengan lancar.16
Kejelasan sikap Inggris inilah yang membuat Van Mook mulai sadar bahwa
sudah tidak mungkin lagi bagi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia dan
mulai berpikir ulang dalam menerapkan garis-garis politiknya terhadap Indonesia
karena jelas bahwa sikap Inggris adalah tidak setuju dengan maksud pemerintahnya
tersebut. Terlebih lagi adanya pengamatan-pengamatan dari para asistennya yang
menyatakan bahwa keadaan di Indonesia kini sudah berubah, dimana gerakan rakyat
untuk menuntut kemerdekaan semakin kuat dan meluas membuat Van Mook pun
menyadari bahwa Belanda sudah tidak mempunyai posisi yang cukup kuat di
Indonesia. Atas dasar itulah kemudian Van Mook menyampaikan rekomendasi
kepada pemerintahnya di Belanda bahwa dengan situasi yang seperti saat ini tidaklah
mungkin bagi Belanda berkuasa kembali di Indonesia seperti sebelum tahun 1942 dan
16 Osman Raliby, 1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 43.
34
menyarankan pemerintah pusat agar mulai menempuh jalur diplomasi dengan
Indonesia untuk memperlancar tugas Sekutu di Indonesia.17
Awalnya, Pemerintah Belanda yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri
Urusan Tanah Seberang Logemann menentang sikap Van Mook tersebut dan
memaksa agar Van Mook dapat melaksanakan kebijakan pemerintahnya dengan
memanfaatkan situasi yang ada. Tetapi setelah diyakinkan oleh Van Mook,
Pemerintah Belanda baru bisa sedikit melunak dan mulai membicarakan rekomendasi
Van Mook tersebut. Hasil pembicaraan antara Van Mook dan Syahrir pada awal
bulan Desember 1945 itulah yang akhirnya dijadikan dasar pemikiran bagi Logemann
untuk mengeluarkan beberapa garis-garis politiknya terhadap Indonesia, yang antara
lain menyatakan :
1. Di masa depan akan diadakan suatu persemakmuran (commonwealth) yang mencakup Indonesia dan Kerajaan Belanda.
2. Di dalam persemakmuran itu Indonesia akan menjadi mitra (Deelgenoot) dari Kerajaan Belanda.
3. Persemakmuran (gemenebest) Indonesia dipimpin oleh seorang gubernur yang diangkat oleh Pemerintah Belanda.18
Ide untuk membentuk NIS itu lebih tampak sebagai suatu langkah alternatif
Belanda dalam menghadapi situasi politik di Indonesia yang cukup dilematis. Di satu
sisi Belanda tetap ingin menanamkan pengaruhnya di Indonesia, tetapi di sisi lain
keberadaan Inggris yang tetap tegas pada misi utamanya jelas merupakan situasi yang
tidak menguntungkan bagi tujuannya tersebut. Membuka perundingan dengan
Indonesia untuk membahas kemungkinan adanya kerja sama dalam suatu
persemakmuran adalah suatu jalan tengah yang ditempuh oleh Belanda untuk
17 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 31-50. 18 Ibid., hlm. 49.
35
mengakomodasikan antara tuntutan Inggris dan kepentingan Belanda sendiri.
Rencana pembentukan NIS adalah suatu bentuk konsesi politik yang ditawarkan oleh
Belanda dan diharapkan agar dengan cara tersebut pihaknya masih tetap bisa
mengikat Indonesia dalam suatu hubungan kerja sama, meskipun bentuknya masih
samar-samar.
36
BAB III
DIPLOMASI DAN INTERVENSI
A. Diplomasi Belum Berakhir
Pelaksanaan Perundingan Renville dibayang-bayangi oleh adanya
sejumlah perbedaan prinsip dan pandangan yang sangat mendasar di antara
Indonesia – Belanda dalam menyikapi beberapa substansi yang disengketakan.
Belanda berpandangan bahwa substansi di bidang militer harus diselesaikan
terlebih dahulu agar gencatan senjata bisa dilaksanakan secara efektif. Proses
demiliterisasi dan penentuan batas-batas daerah pendudukan merupakan substansi
yang menurut Belanda harus segera dibahas oleh kedua belah pihak dalam
melaksanakan gencatan senjata. Belanda berprinsip bahwa selama substansi di
bidang militer belum dituntaskan, maka akan sulit bagi pihaknya untuk
mempertimbangkan substansi di bidang politik karena lancar tidaknya proses
pemulihan keamanan dan ketertiban di bidang militer akan berpengaruh terhadap
proses pembahasan substansi politiknya.
Sedangkan Indonesia berpandangan bahwa substansi di bidang militer,
khususnya mengenai gencatan senjata akan bisa dilaksanakan secara efektif jika
Belanda juga mematuhi resolusi DK PBB secara penuh. Menurut Indonesia
proses penentuan batas-batas daerah pendudukan tidak akan berjalan mudah
karena pada dasarnya masih terdapat persengketaan di antara kedua belah pihak
mengenai kepastian status daerah-derah tersebut, baik ketika sebelum terjadinya
agresi maupun setelah dikeluarkannya resolusi DK PBB. Indonesia lebih memilih
36
37
untuk memprioritaskan penyelesaian substansi di bidang politik karena substansi-
substansi yang ada di dalamnya, seperti misalnya mengenai rencana
pembentukan pemerintahan sementara NIS, dan peninjauan kembali hubungan
politik antara Indonesia – Belanda merupakan substansi yang lebih penting dan
mendesak untuk segera diselesaikan.
Berdasarkan hasil pembicaraan yang diadakan sebelumnya terlihat jelas
bahwa di antara kedua belah pihak ternyata masih belum menemukan suatu
bentuk kesepakatan yang secara konkret bisa segera dilaksanakan terhadap
substansi-substansi yang ada. Meskipun dalam hal ini keberadaan KTN sebagai
mediator perundingan setidaknya telah bisa mendekatkan keduanya di dalam
suatu perundingan, tetapi masing-masing pihak ternyata masih sering terbentur
pada perhitungan-perhitungan politis dalam memahami substansi yang ada,
sehingga masih sulit bagi keduanya untuk menempatkan substansi yang dihadapi
secara obyektif dan proporsional. Obyektif dalam hal ini adalah perlunya
membahas suatu substansi berdasarkan pada kenyataan yang ada, sedangkan
proporsional berarti menuntut hak-haknya sesuai dengan kesepakatannya dengan
pihak lain.
Adanya usaha yang dilakukan oleh KTN dengan cara melakukan lobi-lobi
politik di antara kedua belah pihak sering terganjal oleh sikap Belanda yang
cenderung kaku dan sulit untuk diajak memahami substansi yang ada dari sudut
pandang kedua belah pihak. Selain itu hambatan terhadap jalannya perundingan
juga sering berasal dari dalam DK PBB sendiri. Adanya perbedaan pandangan
negara-negara anggota DK PBB dalam menyikapi konflik yang sedang terjadi di
38
Indonesia menyebabkan DK PBB beberapa kali menemukan kegagalan dalam
membuat suatu resolusi baru yang secara teknis diperlukan untuk
menindaklanjuti perintah gencatan senjata yang telah ada. Dapat disebutkan
bahwa adanya kecenderungan dari negara-negara seperti Inggris, Belgia, dan
Perancis untuk memihak Belanda membuat peranan DK PBB justru melemah
karena negara-negara tersebut cenderung menentang setiap rancangan resolusi
yang akan merugikan posisi Belanda, baik secara militer maupun politik.1 Posisi
Belanda yang lebih kuat secara militer membuat Belanda mempunyai daya tawar
yang lebih tinggi dalam menghadapi setiap tuntutan Indonesia, sehingga dasar
perundingan lebih terlihat sebagai suatu perundingan yang berada di bawah
tekanan, bukan sebagai suatu perundingan yang bebas.
Sementara itu situasi menjelang perundingan terasa kurang kondusif
karena selain masih adanya sejumlah pertempuran di lapangan, hal tersebut juga
disebabkan oleh adanya perang urat saraf yang terus dilakukan oleh Indonesia
maupun Belanda. Masing-masing pihak dengan sengaja melancarkan berbagai
bentuk sentimen politisnya kepada pihak lain untuk menunjukkan eksistensi dan
kekuatannya. Ada berbagai bentuk manuver politik yang dilancarkan oleh
masing-masing pihak yang tentu saja bertujuan untuk menghimpun dukungan
dari dunia internasional dan untuk menciptakan situasi-situasi yang mungkin bisa
dimanfaatkan. Indonesia sendiri yang sejak penandatanganan Perjanjian
Linggajati telah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari berbagai negara, baik
secara de facto maupun de jure seperti dari Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria,
1 Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and
Sons Limited, London, hlm. 54, 57, dan 62.
39
Afganistan, Burma, Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India tetap berpandangan
bahwa jalur diplomasi akan lebih menjamin posisinya, meskipun secara
substansial pihaknya harus menghadapi tuntutan-tuntutan Belanda yang cukup
memberatkan.2 Keyakinan Indonesia terhadap jalur diplomasi tidak lepas dari
adanya faktor simpati dan dukungan dari dunia internasional dan keterlibatan DK
PBB melalui KTN yang secara teoritis bisa diharapkan membantu menyelesaikan
konfliknya dengan Belanda selama ini. Bagi Belanda sendiri perundingan ini
mungkin menjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan sejak Van Kleffens gagal
menolak keterlibatan DK PBB dalam menengahi konflik negaranya dengan
Indonesia.3 Masuknya konflik Indonesia – Belanda ke dalam agenda pembahasan
DK PBB membuat Belanda harus menghentikan segala bentuk kesewenang-
wenangannya terhadap Indonesia.
Sikap Indonesia dalam menghadapi Perundingan Renville secara jelas
dinyatakan oleh PM Amir Syarifuddin dalam pidato politiknya di depan sidang
Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 2
Oktober 1947. Dalam pidatonya tersebut PM Amir Syarifuddin menyatakan
bahwa:
“Segala akibat agresi Belanda mesti kita hilangkan. Selekas mungkin stelsel keuangan kita, stelsel perhubungan kita, perdagangan kita, perekonomian kita meski dikembalikan di seluruh daerah Republik. Ini berarti bahwa pertama kali kita akan menuntut pengunduran tentara Belanda ke garis demarkasi tanggal 14 Oktober 1946, atau sekurang-kurangnya pada keadaan tanggal 20 Juli 1947. Sudah barang tentu, tujuan ini tidak lengkap dan tidak sempurna, tetapi mesti ditambah dengan tujuan satu lagi, yaitu menuntut pengunduran tentara Belanda
2 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 138. 3 Charles Wolf Jr., 1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York, hlm.
138.
40
dari seluruh daerah Republik dan kemudian dari seluruh Kepulauan Indonesia.”4
Cukup singkat memang inti dari pidato PM Amir Syarifuddin tersebut, tetapi
secara jelas telah bisa menggambarkan posisi Indonesia dalam menempuh
perundingannya dengan Belanda. Pernyataan tersebut setidaknya
menggambarkan bahwa posisi Indonesia adalah tetap sebagai negara yang
berdaulat dan tetap akan mempertahankan eksistensinya terhadap Belanda di
dalam Perundingan Renville.
Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri telah terjadi perubahan
politik yang cukup mengejutkan berbagai pihak. Partai Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi) yang sejak Perjanjian Linggajati telah menarik
dukungannya terhadap pemerintah pada bulan November 1947 menyatakan ikut
mendukung Kabinet Amir Syarifuddin.5 Secara lebih jauh Masyumi mendukung
langkah-langkah PM Amir Syarifuddin dalam usahanya menghadapi Belanda
secara diplomatis. Kemudian PM Amir Syarifuddin pun segera merombak
kabinetnya dengan memasukkan sejumlah nama baru yang berasal dari Masyumi
ke dalam kabinetnya.6
Secara politis momentum ini jelas merupakan suatu keuntungan bagi
perjuangan Indonesia dalam menghadapi Belanda karena kini dukungan politik
terhadap kabinet Amir Syarifuddin semakin kuat. Masuknya Masyumi telah
4 A.H. Nasution, 1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semesta I,
Angkasa, Bandung, hlm. 5-6. 5 Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 400. 6 Masyumi mendapat enam kursi di dalam Kabinet Amir Syarifuddin yang telah dirombak
pada tanggal 11 November 1947. Lihat Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Indonesia Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York, hlm. 12-14.
41
berhasil menciptakan suatu konstelasi politik yang solid bagi pemerintahan PM
Amir Syarifuddin karena kini dapat dikatakan bahwa sebagian besar partai politik
telah meleburkan diri dalam kabinetnya. Dapat ditambahkan juga bahwa
masuknya Masyumi telah melengkapi kekuatan politik Kabinet Amir Syarifuddin
yang didukung oleh partai-partai dari Sayap Kiri maupun Nasional. Dari Sayap
Kiri terdapat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Buruh
Indonesia (PBI). Dari golongan nasional terdapat Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Masyumi.7 Langkah PM Amir
Syarifuddin untuk merombak kabinetnya dengan menggandeng Masyumi ke
dalamnya merupakan suatu bentuk usaha penghimpunan kekuatan politik dalam
negeri untuk menghadapi Belanda di dalam perundingan.
Belanda pun tak henti-hentinya melakukan propaganda-propaganda
politiknya yang bertujuan untuk memojokkan posisi Indonesia di dunia
internasional. Propaganda-propaganda politik tersebut sengaja dilakukannya
untuk memberikan alasan pembenaran terhadap aksinya pada tanggal 21 Juli
1947 dan dalam rangka mencari dukungan internasional atas kebijakan
pemerintahnya dalam menghadapi Indonesia. Propaganda Belanda yang
cenderung meremehkan eksistensi Indonesia sebagai suatu negara secara jelas
tercermin dalam pidato politik para pemimpinnya. Salah satu pidato politik
Belanda adalah pidato yang diucapkan Van Mook di dalam suatu siaran radio
Belanda pada tanggal 4 September 1947 yang menyatakan bahwa :
7 Ibid.
42
…………………………………………………………………………… “Mungkin kami salah, karena terlalu sabar, sehingga elemen-elemen jahat dalam Republik semakin merajalela melakukan penculikan, pembunuhan, perusakan dan pembakaran di daerah-daerah yang mereka tidak dapat pertahankan dengan membawa serta sandera-sandera Belanda yang berhasil mereka tangkap. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan kejahatan mereka. Pemerintah Republik tidak mampu membangun suatu pemerintahan, sekalipun hanya yang menyerupai suatu sistem pemerintahan yang mempunyai peraturan keuangan, ekonomi, dan sosial. Pendeknya, jika Republik dibiarkan menyelesaikan urusannya sendiri, mereka tidak akan mampu mencapai sesuatu yang dapat diandalkan untuk memperoleh kemerdekaan yang berdaulat.”8
Jelas bahwa dengan pidatonya tersebut secara implisit Van Mook
meragukan kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Van Mook
menuduh bahwa pemerintah Indonesia saat ini tidak mampu menjalankan roda
pemerintahan dengan baik, terutama di bidang keamanan dan ketertiban dimana
masih sering terjadi aksi-aksi penculikan, pembunuhan, perusakan, dan
pembakaran terhadap orang-orang asing, khususnya orang Belanda.9 Pidato Van
Mook tersebut penuh dengan nuansa sentimen politis terhadap Indonesia yang
secara sekilas apa yang dikatakannya seolah-olah benar, tetapi tanpa disertai
dengan akar permasalahan yang ada sebenarnya.
Selain melontarkan propaganda-propaganda politiknya, Belanda juga
melakukan manuver-manuver politik lainnya untuk menekan Indonesia, yaitu
dengan cara mendisintegrasi beberapa daerah yang sebenarnya masih termasuk
dalam wilayah kedaulatan Indonesia untuk kemudian dibentuk pemerintahan
sendiri yang berada di bawah pengaruh kekuasaan politiknya. Pemerintahan
8 K.M.L Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung,
Jakarta, hlm. 170-171. 9 Ibid.
43
sendiri itulah yang oleh Belanda disebut sebagai negara federal, sedangkan
Indonesia menyebutnya sebagai negara boneka karena dibentuk tanpa
mempunyai kapabilitas politik yang jelas. Pembentukan negara-negara federal
tersebut dilakukan Belanda dengan cara memfasilitasi orang-orang tertentu yang
merasa tidak puas dengan pemerintahan Indonesia saat ini dan lebih
menginginkan untuk membentuk pemerintahan sendiri di daerahnya.10
Selanjutnya Belanda pun membantu membentuk alat-alat kelengkapannya seperti
layaknya suatu negara yang kemudian diberinya status otonom sebagai suatu
pemerintahan. Menurut Belanda pembentukan negara-negara federal merupakan
persiapan untuk menuju pembentukan NIS yang sudah direncanakan sejak
adanya Perjanjian Linggajati.11
Pembentukan negara-negara federal oleh Belanda sebenarnya sudah
dilakukan sejak bulan Desember 1946 dengan membentuk Negara Indonesia
Timur (NIT).12 Kemudian diikuti dengan adanya gerakan Partai Rakyat Pasundan
di Jawa Barat pada bulan Mei 1947, dimana dalam kasus ini ada indikasi bahwa
Belanda terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan tersebut diindikasikan
merupakan percobaan dari Belanda untuk mempersiapkan pembentukan Negara
Jawa Barat. Selain itu Belanda juga membentuk Negara Kalimantan Barat dan
kemudian memberikan status daerah otonom atas Kalimantan Timur pada bulan
Agustus 1947, setelah itu Belanda juga membentuk Negara Sumatera Timur pada
10 Audrey Kahin, 1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from
Diversity, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 220-221. 11 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 58-59. 12 Audrey Kahin, op. cit., hlm. 218.
44
bulan Desember 1947.13 Dari keterangan tersebut hal yang dapat dikatakan
adalah Belanda berusaha mencaplok wilayah Indonesia dengan cara memecah-
mecahnya menjadi negara-negara federal untuk melemahkan kekuatan Indonesia.
Menurut Indonesia tindakan Belanda tersebut telah merugikan pihaknya
karena tindakan tersebut dapat dianggap sebagai suatu perampasan terhadap
wilayahnya. Indonesia memprotes tindakan Belanda tersebut karena telah
melecehkan kedaulatannya. Keberatan Indonesia didasarkan pada tindakan
Belanda yang telah mempengaruhi bahkan memfasilitasi aksi-aksi separatisme di
Indonesia. Tindakan Belanda tersebut merupakan salah satu strateginya untuk
memecah-mecah wilayah Indonesia, sehingga diharapkan kekuatan Indonesia
akan semakin melemah. Negara-negara federal tersebut sengaja diciptakan oleh
Belanda untuk mengepung posisi Indonesia secara politis dengan cara
menciptakan gerakan-gerakan yang pada intinya menentang keberadaan
pemerintahan Indonesia.
Dalam mempersiapkan tuntutan-tuntutannya, baik Indonesia maupun
Belanda ternyata masih terhambat oleh adanya perbedaan prinsip dalam memulai
suatu persiapan perundingan. Belanda menyatakan bahwa pembahasan substansi
militer harus didahulukan, sedangkan Indonesia justru berpendapat sebaliknya,
substansi politiklah yang harus didahulukan. Selain itu masing-masing pihak pun
masih mempunyai perbedaan yang cukup tajam dalam menafsirkan substansi-
substansi yang ada. Pada substansi gencatan senjata misalnya, kedua belah pihak
ternyata belum menemukan definisi yang sama dalam menyikapinya, sehingga
13 Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 106 dan 108. Lihat juga dalam Anthony Reid, 1974,
Indonesian National Revolution 1945-1950, Longman, Australia, hlm, 116.
45
gencatan senjata tidak berjalan efektif. Indonesia menafsirkan bahwa gencatan
senjata berarti perintah bagi pasukannya untuk tetap tinggal di tempat dan
menghentikan segala bentuk permusuhan, sedangkan Belanda menafsirkannya
sebagai suatu perintah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di daerah-
daerah yang telah didudukinya, yaitu dengan cara melakukan gerakan
pembersihan terhadap pasukan Indonesia yang masih berada di dalam garis Van
Mook.14 Oleh karena adanya perbedaan penafsiran itulah kedua belah pihak
sering terlibat dalam perdebatan karena Indonesia menuduh Belanda tidak mau
mematuhi resolusi DK PBB karena secara sepihak pasukan Belanda masih saja
memperluas daerah pendudukannya dengan alasan gerakan pembersihan.
Pihak Indonesia sendiri pun mempunyai argumen yang kuat bahwa
pasukannya secara otomatis tentu akan memberikan perlawanan jika diserang
oleh pasukan Belanda. Hal itulah yang membuat pertempuran antara pasukan
Indonesia dan pasukan Belanda tak kunjung berhenti karena masing-masing
pihak merasa posisinya terancam oleh pihak lain. Masalah-masalah tersebut
secara sistematis diuraikan oleh Komisi Konsuler dalam laporannya kepada KTN
pada bulan Oktober 1947 yang juga menyatakan bahwa gencatan senjata tidak
berjalan efektif karena masing-masing pihak mempunyai penafsiran yang
berbeda atas perintah tersebut.15
Perbedaan penafsiran juga terjadi dalam substansi daerah-daerah
pendudukan yang akan direkapitulasi setelah terlebih dahulu dibuat garis
14 Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold War : The United States and the
Strunggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London, hlm. 190. 15 Basuki Suwarno, 1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I ,
Upakara, Jakarta, hlm. 262.
46
demarkasi. Menurut Indonesia garis demarkasi harus mengacu pada posisi
masing-masing pihak pada saat perintah gencatan senjata mulai diberlakukan,
yaitu pada tanggal 4 Agustus 1947, sedangkan Belanda berpendapat bahwa garis
demarkasi ditentukan berdasarkan pada posisi terakhir di daerah-daerah yang
telah diduduki, dalam hal ini Belanda menuntut agar garis Van Mook dijadikan
garis demarkasi.16 Demikianlah sejumlah perbedaan yang terjadi di antara
Indonesia – Belanda dalam menyikapi substansi militer. Perbedaan pendapat
yang berlarut-larut tersebut membuat sejumlah agenda pembahasan substansi
politik menjadi terbengkalai karena kedua belah pihak terus cenderung untuk
memperdebatkan substansi militer.
Sebenarnya sudah ada sejumlah rancangan resolusi yang sering dibahas di
dalam sidang DK PBB untuk mengatasi perbedaan pendapat antara Indonesia –
Belanda, tetapi rancangan tersebut sering menemukan kegagalan karena di dalam
DK PBB pun sering terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat
ditambahkan juga bahwa kecenderungan Inggris, Perancis, dan Belgia untuk
memihak Belanda membuat setiap mekanisme pembahasan rancangan resolusi
berjalan alot, karena negara-negara tersebut sering menolak rancangan resolusi
yang cenderung akan merugikan Belanda. Dalam sidang DK PBB sendiri terjadi
beberapa kali penolakan rancangan resolusi yang pada intinya berisi tentang
perintah untuk menarik mundur pasukan Belanda pada posisi semula, yaitu
sebelum tanggal 21 Juli 1947. Salah satunya adalah ketika pada tanggal 11
Oktober 1947 Rusia mengajukan rancangannya untuk menarik mundur pasukan
16 George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalimse dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press,
Jakarta, hlm. 274.
47
Belanda ke daerah yang mereka duduki sebelum terjadinya agresi 21 Juli 1947.17
Rancangan tersebut juga didukung oleh Australia, Kolombia, dan Polandia, tetapi
tentangan datang dari AS. Warren Austin yang menjadi wakil AS menyatakan
bahwa DK tidak mempunyai data dan informasi yang cukup untuk menilai posisi
kedua belah pihak dan ia menyarankan agar DK memerintahkan KTN untuk
meninjau langsung ke Indonesia dan membantu kedua belah pihak untuk
melaksanakan gencatan senjata.18 Hasilnya, DK justru menerima rancangan
resolusi yang diajukan AS tersebut dan menolak rancangan Rusia karena hanya
didukung oleh tiga suara, sedangkan Belgia, Perancis, dan Inggris menolaknya.19
Adanya sejumlah suara penolakan dari negara-negara seperti Inggris,
Perancis, dan Belgia untuk merumuskan resolusi yang berisi tentang penarikan
pasukan Belanda membuat DK PBB tidak berhasil menemukan cara yang efektif
untuk menghentikan permusuhan antara Indonesia – Belanda. Demikianlah
situasi perundingan awal yang penuh dengan perbedaan pendapat, sehingga
sampai bulan Oktober pun belum tercapai suatu kesepakatan yang secara konkret
bisa dilaksanakan.
Selanjutnya, meskipun substansi gencatan senjata belum bisa diselesaikan
perundingan tetap dilanjutkan untuk membahas tentang rekapitulasi daerah-
daerah pendudukan masing-masing pihak pasca agresi 21 Juli 1947. Pada tanggal
15 November 1947, Glenn Abbey (AS) yang bertindak sebagai Ketua Komite
Khusus Perundingan mengajukan beberapa pasal di dalam rancangannya yang
bisa dipakai dalam membahas substansi militer yang isinya :
17 Alastair M. Taylor, op.cit., hlm. 61. 18 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 191. 19 Alastair M. Taylor, op. cit, hlm. 191.
48
1. Rencana penetapan status quo posisi militer 2. Pelarangan perluasan daerah pendudukan dari posisi saat ini 3. Pelarangan propaganda yang bersifat menghasut 4. Penghentian penerbitan laporan-laporan militer (komunike) dan
informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan militer. 20
Berdasarkan rancangan tersebut yang perlu untuk segera dibahas adalah
mengenai penetapan status quo di bidang militer. Berdasarkan prinsip dari
rancangan tersebut, KTN menjelaskan bahwa kini semua kegiatan patroli militer
harus dibatasi sejauh 1 km dari posisi pasukan pihak lain dan melarang
pergerakan pasukan tanpa izin KTN. Adanya penjelasan dari KTN tersebut
membuat Indonesia bisa menerima, tetapi lagi-lagi Belanda menyatakan
keberatannya. Belanda menjelaskan bahwa sebagai hasil dari aksi polisionilnya
pada tanggal 21 Juli 1947 beberapa kesatuan pasukan Indonesia sudah tidak lagi
terorganisasi dengan baik dan posisi mereka terpecah-pecah, bahkan sebagian
dari mereka masih berada di dalam daerah pendudukannya. Mereka dengan
sengaja terus berusaha mengganggu pasukan Belanda dengan membuat kantong-
kantong perlawanan yang dipakai untuk melakukan perlawanan secara gerilya.21
Belanda kemudian justru menyarankan agar dilakukan penarikan pasukan
Indonesia yang masih berada di dalam daerah pendudukannya dan membatasi
kegiatan patroli di daerah-daerah pendudukan terdepan masing-masing pihak.
Indonesia menolak argumentasi Belanda karena menurutnya pasukan Indonesia
tersebut masih berada di daerahnya sendiri, bukan di daerah pendudukan
Belanda, sehingga tidak masuk akal jika Belanda menuntut agar pasukan
Indonesia tersebut ditarik mundur.
20 Ibid., hlm. 69. 21 Basuki Suwarno, op. cit., hlm. 276-277.
49
Sampai dengan minggu pertama di bulan Desember tidak ada kesepakatan
yang cukup berarti antara Indonesia – Belanda, baik di bidang militer maupun
politik. Penarikan pasukan dan rekapitulasi daerah-daerah pendudukan
merupakan dua substansi yang sulit untuk diselesaikan karena masih adanya
perbedaan penafsiran terhadap dua substansi tersebut.
Sebenarnya kemacetan di awal perundingan tersebut terjadi karena di
antara Indonesia – Belanda cenderung berkutat pada substansi yang bersifat
pragmatis saja, yaitu gencatan senjata. Pelaksanaan gencatan senjata dibutuhkan
untuk merekapitulasi daerah-daerah pendudukan yang penentuannya dilakukan
dengan cara membuat garis demarkasi yang kemudian diikuti dengan penarikan
pasukan kedua belah pihak. Adanya alasan Belanda yang menyatakan bahwa
penarikan pasukan hanya akan menyebabkan kekacauan di daerah yang
ditinggalkan membuat pihaknya mempunyai dasar yang kuat untuk
mempertahankan posisi pasukannya dengan alasan untuk menjaga keamanan dan
ketertiban. Alasan tersebut semakin menguat ketika Belanda mulai menuduh
Indonesia telah menggerakkan pasukannya untuk melakukan perlawanan secara
gerilya di daerah pendudukan Belanda.22 Untuk itulah Belanda kemudian
melakukan gerakan pembersihan untuk menghadapi gerakan gerilya tersebut.
Pergerakan pasukan masing-masing pihak itulah yang selama ini selalu
diperdebatkan oleh keduanya, sehingga permusuhan pun tak kunjung berhenti.
Pemicu awalnya adalah bermula ketika Belanda sering melakukan perluasan
daerah pendudukan meskipun gencatan senjata sudah diberlakukan, secara
otomatis pasukan Indonesia tentu akan melakukan perlawanan juga karena
22 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 75-76.
50
mereka diserang terlebih dahulu oleh pasukan Belanda. Dengan situasi demikian
Belanda menyatakan tidak akan menarik pasukannya selama pasukan Indonesia
masih melakukan aksi-aksi yang mengganggu keamanan dan ketertiban,
sedangkan Indonesia pun menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut disebabkan
karena adanya pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Belanda.
Memang pada masa-masa perundingan tersebut perlawanan dari pasukan
Indonesia yang dilakukan secara gerilya semakin banyak terjadi di daerah-daerah,
baik di daerah pendudukannya sendiri maupun di daerah pendudukan Belanda.
Meskipun secara politis konflik antara Indonesia – Belanda sedang berada di
dalam proses perundingan untuk mencapai perdamaian tetapi secara militer kedua
belah pihak masih tetap saja saling bermusuhan karena masih adanya tekanan-
tekanan politik dan militer yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Strategi
perlawanan gerilya dilakukan oleh Indonesia karena selain kalah dalam hal
teknologi persenjataan, hal tersebut juga dikarenakan posisinya yang semakin
terjepit oleh pasukan Belanda. Dalam kenyataannya gerakan gerilya ini tidak
hanya dilakukan oleh pasukan reguler Indonesia saja, tetapi juga dilakukan oleh
sekelompok orang dari kalangan sipil yang tergabung dalam suatu wadah yang
sering disebut laskar rakyat. Terdapat beberapa nama laskar gerilya yang
beroperasi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Karawang, Jakarta,
Cirebon, dan berbagai daerah lainnya, yang secara aktif terus berusaha untuk
mengganggu pasukan Belanda, baik dengan cara melakukan teror, penyerangan
maupun perusakan. 23
23 Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Peoples Militia
and the Indonesian Revolution 1945-1949, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 158-163.
51
Perlawanan secara gerilya dilakukan dengan cara membuat basis-basis
perlawanan, atau yang lebih dikenal dengan istilah kantong-kantong perlawanan
yang berpindah-pindah di dalam daerah pendudukan, khususnya di daerah
pendudukan Belanda. Kemudian mereka menyerang pos-pos pasukan Belanda
atau juga menyergap konvoi pasukan Belanda dan mereka mulai mengundurkan
diri jika merasa terancam oleh pasukan Belanda. Selain itu strategi perlawanan
juga dilakukan dengan cara bumi hangus, yaitu merusak dan membakar hasil-
hasil bumi atau instalasi-instalasi yang menurut mereka sudah tidak dapat
dipertahankan lagi agar tidak bisa dimanfaatkan oleh Belanda.24 Strategi bumi
hangus merupakan pilihan terakhir yang dilakukan untuk menahan laju
perkembangan pergerakan pasukan Belanda.
Meskipun gerakan gerilya tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan dalam
skala kecil yang dapat diatasi oleh Belanda, tetapi hal tersebut tampaknya cukup
merepotkan Belanda juga. Dalam beberapa pernyataannya Pemerintah Belanda
mengeluhkan dan bahkan menyatakan kekesalannya terhadap aksi-aksi yang
dilakukan oleh gerakan tersebut karena dianggap telah menimbulkan kekacauan
di daerah pendudukannya.25 Perdebatan mengenai hal itulah yang membuat
permusuhan antara Indonesia – Belanda tak kunjung berhenti karena masing-
masing pihak memang mempunyai alasan untuk tetap melakukan perlawanan
sebelum perundingan mencapai kesepakatan yang memuaskan.
Demikianlah dua hal yang selalu menjadi hambatan bagi Indonesia –
Belanda dalam menghentikan permusuhan. Dua hal tersebut seolah-olah menjadi
24 Yong Mun Cheong, 2003, The Indonesian Revolution and the Singapore Connector, KITLV Press, Leiden, hlm. 21 dan Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 134.
25 K.M.L. Tobing, op. cit., hlm. 144, 170-122 dan 183.
52
suatu lingkaran masalah yang cukup rumit bagi KTN untuk menengahinya karena
kedua belah pihak tidak mau membuat suatu prioritas dalam menyelesaikannya.
B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville
Pembahasan substansi militer secara perlahan bergeser ke substansi
politik ketika Perundingan Renville secara resmi dibuka pada tanggal 8
Desember 1947 di atas kapal USS Renville yang bersandar di Tanjung Priok,
Jakarta. Dalam pidato pembukaannya, Frank Graham mengharapkan agar kedua
belah pihak hendaknya tetap berpedoman pada asas-asas dalam Perjanjian
Linggajati sebagai dasar pembahasan dalam perundingan.26 Dalam perundingan
tersebut Belanda mendapat kesempatan pertama untuk menyatakan pandangan-
pandangan pemerintahnya terkait dengan konflik yang terjadi dengan Indonesia.
Dalam pidatonya, Abdulkadir Wijoyoatmojo menyatakan bahwa jika di antara
Indonesia – Belanda masih saja terjadi aksi-aksi permusuhan, maka hal tersebut
akan menimbulkan adanya kesulitan-kesulitan dalam membahas substansi-
substansi yang ada. Menurutnya pembahasan mengenai gencatan senjata harus
segera diselesaikan terlebih dahulu sebelum membahas tentang substansi
politik.27
Perdana Menteri Amir Syarifuddin kemudian menanggapi pidato tersebut
dengan menyatakan bahwa sejak dahulu pemerintah Belanda selalu memakai
cara-cara kekerasan dalam menghadapi pemerintah Indonesia. PM Syarifuddin
juga menyatakan bahwa pembentukan negara-negara federal oleh Belanda di
26 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 196-197. 27 Hilman Adil, 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962, Djambatan, Jakarta,
hlm. 68.
53
daerah kekuasaan Indonesia adalah suatu bukti bahwa pemerintah Belanda ingin
menghancurkan keberadaan Republik Indonesia dengan menggunakan
kekuasaannya. Mengenai gencantan senjata, PM Amir Syarifuddin yakin bahwa
yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya untuk membuat
kesepakatan dalam substansi politik karena tanpa hal tersebut pelaksanaan
gencatan senjata tidak akan berjalan efektif.28
Berdasarkan pernyataan kedua pimpinan delegasi tersebut jelas bahwa
masih terdapat perbedaan pandangan di antara kedua belah pihak dalam
menentukan alur perundingan. Sementara itu hubungan keduanya justru semakin
memanas ketika suatu insiden terjadi di Rawahgede pada tanggal 9 – 12
Desember 1947. Indonesia menuduh Belanda telah melakukan gerakan
pembersihan di daerah tersebut yang mengakibatkan 300 orang lebih tewas dan
200 orang luka-luka.29 Belanda pun menangkisnya dengan menyatakan bahwa
insiden tersebut bukanlah suatu gerakan pembersihan, tetapi hanya patroli rutin
saja dan penyebabnya pun adalah karena pasukan Indonesia di daerah tersebut
telah melakukan aksi-aksi perusakan, intimidasi, dan pembalasan, sehingga
dengan terpaksa Belanda pun mengambil tindakan dengan cara kekerasan. Wakil
delegasi Belanda Van Vrederburch juga menambahkan bahwa dia telah mendapat
perintah dari pemerintahnya untuk tidak melakukan penarikan pasukan dari
daerah pendudukan. Anggota delegasi Indonesia, J. Leimena menanggapinya
dengan menyatakan bahwa adanya kekacauan di daerah-daerah pendudukan tetap
28 Ibid. 29 A.H. Nasution, op. cit., hlm. 339.
54
tidak bisa dijadikan alasan oleh Belanda untuk tidak menarik pasukannya karena
hal tersebut hanya berdasarkan pertimbangan satu pihak saja.30
Berdasarkan perdebatan yang terjadi tersebut ada indikasi bahwa selama
perundingan berlangsung, Belanda dengan sengaja telah berusaha untuk
menciptakan situasi perundingan yang tidak kondusif. Selain tidak mau menarik
pasukannya, Belanda juga semakin meningkatkan gerakan pembersihannya, baik
terhadap pasukan reguler Indonesia maupun terhadap para gerilyawan. Situasi
demikian membuat Belanda pun mulai merasa jenuh karena tidak ada keputusan
yang menurutnya memuaskan. Secara perlahan Belanda pun mulai menekan
Indonesia dengan suatu pernyataan yang diucapkan oleh PM Beel yang disiarkan
melalui radio, yang menyatakan bahwa perundingan kini tidak bisa ditunda-tunda
lagi karena memuat substansi yang sangat penting dan harus segera diselesaikan.
Secara implisit PM Beel juga memberikan suatu ancaman bagi Indonesia dengan
menyatakan bahwa perundingan tersebut mungkin saja bisa menjadi perundingan
yang terakhir jika tidak ada keputusan yang memuaskan.31
Melihat situasi yang demikian KTN pun segera tanggap dan menyarankan
agar Komite segera menyusun suatu rancangan baru yang bisa segera dibahas.
Paul Van Zeeland menyatakan bahwa sebenarnya substansi gerakan senjata bisa
dicapai melalui dua langkah, yaitu : menghentikan gerakan gerilya pasukan
Indonesia dan segera menentukan garis demarkasi.32 Sebagai langkah awal, dia
menyarankan agar garis demarkasi ditetapkan terlebih dahulu sebagai batas posisi
sementara kedua belah pihak untuk selanjutnya dilakukan penarikan pasukan.
30 Basuki Suwarno, op. cit., hlm. 287-288. 31 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 198. 32 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 81.
55
Setelah dibahas terlebih dahulu di kalangan anggota KTN, maka KTN
pun kemudian mengirimkan suatu pesan kepada masing-masing pihak yang berisi
tentang alternatif rancangan kesepakatan yang mungkin bisa dijadikan dasar
untuk melanjutkan perundingan. Pesan itu dikirim pada tanggal 25 Desember
1947 dan dikenal dengan nama Pesan Natal yang berisi tentang pokok-pokok
gencatan senjata dan penyelesaian substansi politik.
Pokok-pokok gencatan senjata berisi :
1. Meminta Indonesia untuk menerima posisi militer pasukan Belanda sesuai dengan garis Van Mook.
2. Penentuan daerah-daerah pendudukan yang harus dikosongkan (demiliterized zone).
3. Tanggung jawab atas keamanan akan diserahkan kepada Kepolisian dari kedua belah pihak dimana penasehat militer KTN bersedia membantu.
4. Hubungan dan perdagangan antardaerah harus dipulihkan seperti biasa.
5. Pembantu militer KTN akan menyelidiki adanya dugaan bahwa masih ada pasukan Indonesia yang tinggal di belakang daerah pendudukan Belanda.
6. Semua pasukan dari kedua belah pihak akan ditarik mundur di bawah pengawasan KTN.33
Sedangkan pokok-pokok dasar penyelesaian substansi politik berisi :
1. Bantuan KTN akan dilanjutkan untuk menyelesaikan substansi politik di daerah Jawa, Sumatra, dan Madura.
2. Penghentian segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan pembentukan negara di Jawa, Sumatra, dan Madura.
3. Pemulihan pemerintahan sipil di daerah pendudukan dalam waktu tiga bulan dihitung sejak penandatanganan persetujuan politik dan diikuti dengan penarikan pasukan Belanda ke posisi semula tanggal 20 Juli 1947.
4. Pengurangan pasukan kedua belah pihak secara bertahap. 5. Pemulihan ekonomi, perdagangan, transportasi, dan komunikasi. 6. Akan diadakan pembicaraan yang bersifat bebas sebelum
diadakannya pemilihan umum mengenai substansi-substansi pokok hasil perjanjian.
33 Ibid, hlm. 83-84.
56
7. Pemberian perwakilan yang adil di dalam konvensi untuk membentuk konstitusi NIS.
8. Pengawasan dari suatu badan PBB selama pemerintahan sementara sampai pada terbentuknya NIS.
Menanggapi pesan dari KTN tersebut Indonesia lebih bersikap dingin.
Salah satu isi dari pesan tersebut yang cukup memberatkan bagi Indonesia adalah
tentang usulan untuk menerima garis Van Mook sebagai garis demarkasi. Bagi
Indonesia tidak ada alasan yang kuat untuk menerimanya karena hal tersebut
semata-mata hanya berdasarkan argumen Belanda saja. Adanya usulan dari KTN
mengenai garis Van Mook merupakan suatu ancaman tersendiri atas posisi
pasukan dan gerilyawan Indonesia yang masih ada di posisinya masing-masing
karena penerimaan garis Van Mook akan mengabaikan posisi pasukan Indonesia
pada saat gencatan senjata. Hanya saja Indonesia pun mempunyai pertimbangan
lain yang membuatnya tidak bisa dengan mudah menolak usulan KTN tersebut.
Pertimbangan tersebut adalah adanya kenyataan bahwa kekuatan
pasukannya tidak sebanding dengan Belanda dan dilaporkan juga bahwa mereka
mulai melemah karena kekurangan amunisi, selain itu adanya jaminan untuk
melaksanakan pemilihan umum di daerah-daerah pendudukan Belanda
merupakan harapan bagi Indonesia untuk mendapatkan kembali daerah
kekuasaannya dari tangan Belanda.34 Pada dasarnya Indonesia memberikan sikap
yang setuju atas pesan dari KTN, hanya saja ada beberapa pasal dalam pesan
tersebut yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dari KTN.
34 Abu Hanifah, 1972, Tales of A Revolution, John Sound PT Y LTD, Australia, hlm. 262.
57
Sikap Belanda justru sebaliknya, mereka masih keberatan dengan
beberapa pasal dalam pesan tersebut, khususnya mengenai pasal yang menyebut
Indonesia. Dalam pesan balasannya pada tanggal 2 Januari 1948, Belanda justru
mengajukan 12 pasal rancangan yang dibuat berdasarkan pendiriannya.
Rancangan Belanda tersebut menggabungkan antara pesan dari KTN yang
disetujuinya dengan rancangannya sendiri yang berisi penolakannya terhadap
beberapa pasal dari KTN yang pada intinya berisi :
1. Tidak akan melakukan penarikan pasukan karena mereka diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
2. Tidak akan memulihkan pemerintahan sipil Indonesia di daerah-daerah yang telah diduduki.
3. Pemilihan umum seperti yang dimaksud oleh KTN sebatas hanya untuk menentukan hubungan penduduk dengan NIS.
4. Pengawasan dari PBB tidak mutlak dilakukan selama masa pemerintahan sementara.
5. Menghapus perwakilan Indonesia di dalam pemerintahan sementara.35
Belanda memberi batas waktu 48 jam bagi Indonesia untuk membahas pesannya
tersebut dengan KTN dan jika dilanggar maka Belanda akan bebas bertindak.
Adanya pesan yang ultimatif tersebut membuat perundingan semakin
rumit karena salah satu pihak kini mulai melakukan ancaman. Untuk mengatasi
kemacetan tersebut maka KTN kembali mendekati Indonesia dengan
menciptakan enam prinsip politik tambahan untuk menjamin eksistensi Indonesia
selama pelaksanaan hasil-hasil perjanjian nantinya. Pada dasarnya 6 prinsip
politik tambahan tersebut berisi tentang sejumlah pasal jaminan KTN terhadap
eksistensi Indonesia selama pelaksanaan hasil perundingan yang akan tetap
35 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 201.
58
dipertahankan dalam hubungannya dengan Belanda. 6 prinsip politik tambahan
yang diajukan pada tanggal 11 Januari 1948 tersebut berisi :
1. Kedaulatan di seluruh Hindia Belanda tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai NIS terbentuk. NIS akan menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat dengan kedudukan yang sejajar dengan Belanda di dalam sebuah uni yang dikepalai oleh Raja Belanda. Status Indonesia adalah negara bagian di dalam NIS.
2. Dalam pemerintahan sementara semua negara bagian akan diberi perwakilan yang adil.
3. Bantuan KTN bisa diminta untuk mengatasi kesulitan-kesulitan selama masa peralihan.
4. Tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun akan diadakan pemilihan umum untuk menentukan status penduduk, apakah akan bergabung dengan Indonesia atau dengan negara lain di dalam NIS.
5. Semua negara bagian akan diberi perwakilan sesuai dengan jumlah penduduknya di dalam konvensi untuk membuat konstitusi.
6. Jika ada negara bagian yang tidak mau menandatangani konstitusi NIS tersebut, maka kedua belah pihak tidak boleh menyatakan keberatannya. Terhadap negara tersebut akan diadakan suatu hubungan khusus dengan NIS. 36
Setelah diajukan kepada Belanda, ternyata Belanda menerima rancangan tersebut
karena menurutnya dekat dengan pandangannya dan asalkan Indonesia juga
menerima 12 pasal rancangannya yang terdahulu.
Indonesia kemudian meminta penjelasan dari KTN mengenai pasal
rancangannya agar pihaknya bisa secara jelas mengetahui maksud dari rancangan
tersebut. Untuk itulah kemudian Indonesia bertemu dengan KTN pada tanggal 13
Januari 1948 di Kaliurang untuk membahas rancangan tersebut. Dalam
kesempatan tersebut PM Amir Syariffudin meminta penjelasan pada KTN
mengenai penyerahan kedaulatan, dia bertanya apakah mungkin Belanda
menyerahkan kedudukannya kepada pemerintah federal sementara dan apakah
36 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 88-89.
59
penyerahan kedaulatan itu tidak akan mempengaruhi kedaulatan itu secara utuh.
Lalu Richard Kirby menjawab bahwa pernyataan tersebut adalah suatu kebenaran
yang bisa dipercaya, dengan menyerahkan sebagian kedaulatannya, maka
Belanda akan mengurangi kedaulatannya sampai tercapai suatu posisi yang
seimbang.37
Perdana Menteri Amir Syariffudin juga menanyakan bagaimana status
Indonesia selama masa pembentukan NIS. Richard Kirby kemudian menjelaskan
bahwa Indonesia bisa ikut menandatangani konsitusi NIS meskipun secara resmi
belum masuk ke dalamnya sebagai negara bagian. Hanya saja ketika NIS sudah
terbentuk status Indonesia akan menjadi sejajar dengan negara bagian lainnya.38
Paul Van Zeeland menambahkan bahwa penerimaan Indonesia atas pasal I
rancangan KTN tersebut tidak akan mempengaruhi posisinya di dalam
pemerintahan sementara.
Anggota delegasi Indonesia lainnya, Mohammad Roem juga menanyakan
apakah bertentangan dengan rancangan KTN jika selama masa pemerintahan
sementara Indonesia tetap melaksanakan hubungan dengan luar negeri. Paul Van
Zeeland dan Frank Graham hanya menjawabnya dengan menyatakan bahwa hal
tersebut tidak diatur dalam rancangan.39
Mengenai perwakilan Indonesia di dalam pemerintahan sementara,
anggota delegasi Indonesia, Setiadjit, menanyakan apa definisi dari kata-kata
“perwakilan yang adil” dan apakah negara-negara federal yang dibentuk oleh
Belanda juga akan diberi perwakilan yang adil. Jika demikian bagaimana dengan
37 Ibid., hlm. 91. 38 Ibid., hlm. 91-92. 39 Ibid.
60
suara penduduk di daerah tersebut dalam menentukan sikapnya, apakah akan ikut
Indonesia atau ikut negara lain. Frank Graham menjelaskan bahwa pada tanggal
11 Januari 1947 yang lalu KTN telah menyatakan akan memberikan perwakilan
yang adil untuk semua negara, maka hal tersebut tentu juga berlaku pada negara-
negara federal bentukan Belanda tersebut.40 Maksud dari kata “adil” adalah hal
tersebut masih dapat dibahas lagi oleh kedua belah pihak.
Mengenai negara-negara yang akan duduk dalam pemerintahan
sementara, Frank Graham menyatakan bahwa sebenarnya hal tersebut sudah
pernah dibahas dalam Pesan Natal, khususnya pada bagian dasar-dasar
penyelesaian politik yang membatasi segala bentuk kegiatan yang berhubungan
dengan pembentukan negara-negara baru. Karena bagian tersebut ditolak oleh
Belanda, maka kini KTN akan berusaha untuk menjajaki kembali suara penduduk
di daerah-daerah yang telah dijadikan negara oleh Belanda tersebut untuk
menentukan apakah akan bergabung ke dalam Indonesia atau ingin membentuk
negara baru di dalam NIS.41 Jadi pemilihan umum tersebut akan menjadi dasar
dalam menentukan negara-negara mana saja yang akan duduk di dalam
pemerintahan sementara.
Demikianlah jalannya diskusi antara delegasi Indonesia dengan KTN
dalam membahas pokok-pokok rancangan yang akan ditandatangani menjadi
suatu perjanjian. Pada intinya adanya sejumlah jaminan dari KTN seperti yang
termuat di dalam rancangannya membuat Indonesia percaya bahwa untuk saat ini
menerima tuntutan Belanda akan lebih menguntungkan daripada menolaknya
40 Ibid., hlm. 92-93. 41 Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 149.
61
karena Indonesia menaruh kepercayaan pada penjelasan KTN. Adanya penjelasan
KTN mengenai status Indonesia, baik di dalam pemerintahan sementara maupun
NIS, membuat kekhawatiran tentang eksistensinya berkurang. Sedangkan
mengenai garis Van Mook, keberadaan garis tersebut akan dipulihkan lagi
dengan adanya pemilihan umum di daerah tersebut untuk menentukan suara
penduduk setempat, sehingga Indonesia yakin bahwa daerah-daerah tersebut akan
kembali ke tangannya.42 Akhirnya Indonesia pun menyatakan menerima semua
rancangan tersebut.
Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 kedua belah pihak
menandatangani naskah persetujuan perdamaian yang terdiri dari sepuluh pasal
gencatan senjata dan 12 pasal persetujuan politik, sedangkan naskah yang berisi
enam prinsip politik tambahan baru hanya diajukan saja dan akan ditandatangani
dua hari kemudian. Secara utuh Perjanjian Renville terdiri dari :
1. 10 Perjanjian Gencatan Senjata
2. 12 Persetujuan Politik
3. Enam Prinsip Tambahan dan KTN43
42 Bernard Dahm, 1971, History of Indonesia in the Twentieth Century, Praeger Publishers,
New York, hlm. 130. 43 Lihat lampiran hlm. 102. K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia :
Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 36-43.
62
BAB IV
MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN
A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan
Perjanjian Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 dan 19
Januari 1948 secara formal telah menjadi suatu dasar kesepakatan yang penting
bagi usaha Indonesia dan Belanda dalam rangka menyelesaikan konflik yang
terjadi melalui jalur perdamaian. Pasal-pasal yang termuat di dalam Perjanjian
Renville merupakan pokok-pokok kesepakatan antara Indonesia – Belanda, baik
dalam bidang militer maupun politik, yang oleh kedua belah pihak diharapkan
bisa digunakan sebagai pedoman dalam melanjutkan perundingan yang
diperlukan untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tersebut secara konkret.
Tercapainya Perjanjian Renville dapat dikatakan sebagai suatu tahapan baru yang
lebih krusial dalam rangkaian perundingan antara Indonesia – Belanda karena
selain telah merumuskan pokok-pokok kesepakatan untuk menyelesaikan konflik
bilateral, perjanjian tersebut juga memuat beberapa kesepakatan penting lainnya
yang berkaitan dengan pembahasan hubungan bilateral kedua belah pihak di
masa yang akan datang. Secara substansial Perjanjian Renville memuat dua
substansi pokok yang selama ini menjadi sumber konflik di dalam hubungan
Indonesia – Belanda, yaitu : proses penghentian permusuhan dan peninjauan
kembali hubungan bilateral kedua belah pihak selanjutnya. Di dalam kerangka
yang lebih luas Perjanjian Renville adalah suatu usaha Pemerintah Indonesia dan
62
63
Pemerintah Belanda dalam mengakomodasikan posisi dan haknya nasing-masing
dalam peta kekuasaan politik di wilayah Indonesia.
Jika diamati secara lebih mendetail Perjanjian Renville belumlah
merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara langsung bisa segera
dilaksanakan, tetapi memerlukan perundingan lebih lanjut untuk membuat
keputusan-keputusan yang bersifat definitif dan secara konkret bisa dilaksanakan
oleh kedua belah pihak berdasarkan prinsip-prinsip yang termuat di dalamnya.
Secara teknis Perjanjian Renville masih berbentuk garis-garis besarnya saja dan
memerlukan perundingan lanjutan untuk mempersiapkan tata cara teknis
pelaksanaannya. Setidaknya ada tiga substansi utama di dalam Perjanjian
Renville yang sangat berpengaruh di dalam proses penyelesaian konflik antara
Indonesia – Belanda, yaitu :
1. Pelaksanaan gencatan senjata
2. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS
3. Kedaulatan atas Indonesia
Ketiga substansi tersebut masih menggantung sebagai pertanyaan besar yang
masih belum juga berhasil dipecahkan oleh Indonesia dan Belanda dalam proses
perdamaian yang tengah diusahakannya.
Meskipun masih berbentuk garis-garis besarnya saja, Perjanjian Renville
cukup dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang progressif dalam usaha
penyelesaian konflik bilateral antara Indonesia – Belanda. Progressif karena
proses perundingannya tidak hanya telah berhasil menciptakan beberapa
formulasi kesepakatan yang bersifat pragmatis saja, tetapi juga berhasil
64
merumuskan kesepakatan dasar yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Hal
ini terlihat pada bagian enam Prinsip Tambahan yang memuat substansi tentang
rencana pembentukan NIS dan Uni yang secara eksplisit menjadi bukti bahwa
Perjanjian Renville juga membahas tentang adanya perencanaan kembali
hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda di masa yang akan datang, setelah
di dalam Perjanjian Linggajati Indonesia dan Belanda gagal melaksanakan
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Hanya saja pelaksanaan hasil-hasil
Perjanjian Renville tampaknya masih memerlukan waktu yang lebih lama karena
masih adanya sejumlah perbedaan pandangan di antara Indonesia – Belanda yang
belum bisa diatasi. Meskipun dapat dikatakan sebagai langkah yang progressif, di
sisi lain hasil-hasil Perjanjian Renville ternyata juga menimbulkan adanya
beberapa hal yang melemahkan posisi Indonesia karena di dalam perjanjian
tersebut ada beberapa pasal yang cenderung merugikan Indonesia. Ada beberapa
pasal di dalam Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Akibat yang secara langsung terjadi di pihak Indonesia adalah Indonesia
harus kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya, antara lain atas sebagian Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Madura karena adanya penerimaan pasal 1 dan 8 pada
bagian Perjajian Gencatan Senjata.1 Pasal 1 menetapkan bahwa Indonesia harus
menerima Garis Van Mook Belanda sebagai batas daerah pendudukan kedua
belah pihak pasca Agresi Militer 21 Juli 1947. Penerimaan atas Garis Van Mook
jelas merugikan Indonesia karena garis tersebut dibuat oleh Belanda dengan cara
1 Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold Ward : The United States and the Struggle
for Indonesian Independence 1945 – 1949, Correll University Press, London, hlm. 207.
65
melakukan pendudukan secara sepihak tanpa mematuhi adanya perintah gencatan
senjata dari DK PBB. Kerugian Indonesia menjadi semakin jelas jika melihat
pada pasal 8 yang menyatakan bahwa pasukan Indonesia yang masih berada di
belakang kedudukan pasukan Belanda harus ditarik mundur meninggalkan daerah
yang dimaksud menuju daerahnya sendiri. Dengan adanya pasal tersebut, maka
pasukan Indonesia yang sebenarnya masih berposisi di daerah pendudukannya
sendiri dengan terpaksa harus meninggalkan posisinya karena diterimanya Garis
Van Mook. Secara otomatis hal tersebut membuat daerah kekuasaan Indonesia
menjadi semakin sempit karena sudah termakan oleh Garis Van Mook Belanda.
Yang lebih tragis lagi adalah sekitar 35.000 pasukan Indonesia harus mengungsi
ke daerah yang telah ditetapkan sebagai akibat dari pasal 8 tersebut yang dalam
hal ini telah menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Indonesia.2
Akibat lain dari diterimanya Perjanjian Renville oleh Indonesia secara
tidak langsung adalah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin pada tanggal 23
Januari 1948, hanya beberapa hari setelah Perjanjian Renville ditandatangani.
Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin disebabkan karena Masyumi dan PNI
menarik dukungannya terhadap kabinet, sehingga secara otomatis tanpa adanya
dukungan lagi dari dua partai politik terbesar tersebut Kabinet Amir Syarifuddin
tidak bisa menjalankan tugasnya. Penarikan dukungan oleh Masyumi dan PNI
tersebut dilakukan karena kedua partai tersebut merasa kecewa terhadap hasil-
hasil Perjanjian Renville yang dianggap terlalu banyak memberi keuntungan
2 Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 –
1950, 2004, Deplu, Jakarta, hlm. 658.
66
kepada Belanda.3 Meskipun secara kelembagaan mayoritas suara di dalam
kabinet mendukung kinerja PM Amir Syarifuddin, tetapi secara garis kepartaian
Masyumi dan PNI tetap merasa kecewa, sehingga memutuskan untuk menarik
dukungan terhadap kabinetnya.
Setelah Kabinet Amir Syarifuddin jatuh, kemudian Presiden Soekarno
menunjuk Mohammad Hatta untuk segera membentuk kabinet baru yang
diharapkan bisa dibentuk dalam waktu yang singkat untuk melanjutkan
perundingan politik dengan Belanda dan untuk melaksanakan hasil-hasil
Perjanjian Renville. Hasilnya, kabinet baru yang terbentuk berbentuk presidensiil
dan ternyata didukung oleh mayoritas partai politik yang ada, bahkan partai-
partai dari golongan sayap kiri pun mendukungnya.4 Dalam kabinet ini
Mohammad Hatta yang menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri
Pertahanan. Program Kabinet Hatta adalah :
1. Melaksanakan ketentuan-ketentuan Persetujuan Renville dan melanjutkan perundingan dengan Belanda dengan perantaraan KTN.
2. Mempercepat pembentukan NIS 3. Rasionalisasi tentara dan ekonomi RI 4. Pembangunan5
Satu hal yang cukup menarik adalah masuknya kembali dukungan dari Masyumi
dan PNI dalam Kabinet Hatta yang secara jelas mendukung Perjanjian Renville
dan bahkan pelaksanaan hasil-hasil Perjanjian Renville menjadi salah satu
3 Deliar Noer, 1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta, hlm.
175. 4 Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Cabinets 1945-1965, Interim Departs
Series, New Yogyakarta , hlm. 14-15. 5 Hersri Setiawan, 2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan,
FuSPAD, Jakarta, hlm. 7.
67
programnya, padahal sebelumnya mereka telah menyatakan keberatannya
terhadap perjanjian tersebut.
Perjanjian Renville juga menyisakan adanya sejumlah ketidakjelasan
mengenai maksud dari beberapa pasal di dalamnya yang cenderung bisa
menimbulkan permasalahan baru di antara Indonesia – Belanda. Dalam pasal 1
pada bagian Enam Prinsip Tambahan, disebutkan bahwa “Kedaulatan atas
Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan
Belanda sampai waktu yang ditetapkan”.6 Secara substansial hal tersebut
cenderung lebih menguntungkan posisi politik Belanda karena dengan pasal
tersebut akan mudah bagi Belanda untuk menciptakan suatu wacana politik baru
bahwa pemerintahnya mempunyai legalitas atas seluruh wilayah di Indonesia
dengan segala haknya sebagai pemegang kekuasaan yang secara otomatis
melekat padanya. Yang menjadi sumber ketidakjelasan adalah bagaimana posisi
Indonesia berdasarkan pasal tersebut? Bukankah Indonesia juga layak
memperhitungkan posisinya karena sebagai suatu negara Indonesia juga
mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Yang tidak dijelaskan lebih lanjut
adalah sampai sejauh mana kedaulatan tersebut akan dijalankan oleh Belanda?
Pada dasarnya pasal tersebut cenderung meminggirkan posisi Pemerintah
Indonesia dalam bidang politik karena Pemerintah Indonesia kurang mendapat
hak dan tanggung jawabnya sebagai suatu pemerintahan di dalam wilayahnya
sendiri.
6 Hindia Belanda adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang Belanda untuk menyebut
Indonesia.
68
Terdapat satu pasal lagi di dalam Perjanjian Renville yang keberadaannya
masih menimbulkan ketidakjelasan dan mudah untuk disalahtafsirkan. Pasal
tersebut adalah pasal 2 pada bagian Pokok-pokok Persetujuan Politik yang
menyatakan bahwa masing-masing pihak, yaitu Indonesia dan Belanda tidak akan
menghalangi adanya pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan
leluasa dan merdeka sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Masalahnya adalah
kebebasan seperti apa yang dimaksud di dalam pasal tersebut dan bagaimana
mengatur bentuk kebebasan tersebut? Hal tersebut menjadi begitu penting ketika
menyoroti tentang adanya kegiatan Belanda dalam membentuk negara-negara
federal yang secara de facto berada di wilayah Indonesia.7 Menurut Belanda
pembentukan negara-negara tersebut jelas merupakan salah satu bentuk
kebebasan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut. Akibat yang lebih jauh
lagi adalah secara sepihak Belanda dengan bebasnya semakin giat dalam
membentuk negara-negara baru karena menurutnya pembentukan negara-negara
tersebut dilatarbelakangi adanya aspirasi dari penduduk untuk membentuk suatu
pemerintahan sendiri yang dalam hal ini aspirasi tersebut tak lain adalah seperti
yang dimaksud di dalam pasal 2 tersebut.8
Indonesia jelas saja menolak pendapat Belanda tersebut karena telah
merugikannya. Dengan adanya pembentukan negara-negara tersebut ada
beberapa daerah Indonesia yang menjadi korban dari kegiatan Belanda tersebut.
Ada beberapa negara dibentuk oleh Belanda di daerah-daerah yang secara de
facto masih berada di wilayah Indonesia, antara lain : di Sumatera Selatan, Jawa
7 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 66-67. 8 Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevers and
Sons Limited, London, hlm. 110-112.
69
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Sumatra Timur.9 Jelas bahwa
dengan tindakan tersebut wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena telah
dicaplok oleh Belanda dengan adanya proyek negara-negara federalnya tersebut.
B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran
Perjanjian Renville yang telah disepakati oleh Indonesia dan Belanda
merupakan suatu langkah dasar yang masih memerlukan tindak lanjut untuk
mencapai hasil-hasil yang konkret dalam penyelesaian konflik kedua belah pihak.
Sejumlah substansi yang ada di dalam Perjanjian Renville tampaknya memang
masih sulit untuk bisa segera dilaksanakan karena masih adanya perbedaan
pandangan dari kedua belah pihak dalam membuat rancangan-rancangan teknis
pelaksanaannya. Perdebatan demi perdebatan sering muncul kembali ketika
masing-masing pihak memulai pembahasan mengenai hak-hak pemerintahnya di
dalam setiap bagian substansi yang sedang dibahas. Setidaknya masih tersisa dua
substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih menjadi perdebatan oleh
Indonesia dan Belanda. Masih besarnya kepentingan-kepentingan politis yang
mencakup posisi dan kekuasaan politik dari masing-masing pihak terhadap
Perjanjian Renville membuat pembahasan substansi yang ada menjadi semakin
rumit dan tidak menentu. Dua substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih
memerlukan pembahasan lebih lanjut adalah :
1. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS.
2. Status hubungan politik kedua negara di dalam bentuk pemerintahan tersebut.
9 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 68.
70
Mengenai substansi tentang rencana pembentukan Pemerintah Federal
Sementara dan NIS yang perlu dibahas adalah mengenai bagaimana membuat
rancangan-rancangan teknis pembentukannya yang mencakup susunan alat-alat
kekuasaannya, proses pembentukannya, cakupan kekuasaannya, dan yang
terpenting adalah mengenai posisi masing-masing pihak di dalam pemerintahan
tersebut. Sedangkan di dalam substansi tentang status hubungan politik kedua
negara, yang masih belum jelas adalah bagaimana sebenarnya bentuk hubungan
politik kedua negara tersebut, baik selama di dalam Pemerintah Federal
Sementara maupun di dalam NIS. Meskipun secara eksplisit kedua substansi
tersebut tidak muncul sebagai substansi yang secara langsung dibahas tetapi
kedua substansi itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari perundingan-
perundingan lanjutan antara Indonesia – Belanda.
Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS tidak
dapat dipisahkan dari adanya keharusan juga untuk membahas tentang pandangan
masing-masing pihak mengenai kejelasan hubungan politik kedua belah pihak di
dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua substansi tersebut mempunyai nilai
yang strategis bagi Indonesia dan Belanda dalam menentukan hubungan bilateral
ke depannya. Kedekatan kerangka pemikiran keduanya dalam memandang
kedaulatan negara akan sangat berpengaruh pada usaha penyelesaian konflik
yang terjadi.
Sebelum lebih jauh membahas tentang masalah tersebut perlu untuk
diketahui bahwa setelah Perjanjian Renville ditandatangani terjadi pergantian
keanggotaan di dalam KTN. Anggota dari Australia, Richard Kirby digantikan
71
oleh Thomas Critchley. Anggota dari AS, Frank Graham digantikan oleh Coert
Dubois. Sedangkan anggota dari Belgia, Paul Van Zeeland digantikan oleh
Raymond Herremans.10
Seiring dengan dimulainya kembali perundingan lanjutan antara Indonesia
– Belanda muncul permasalahan baru, yaitu adanya perbedaan penafsiran di
antara kedua belah pihak dalam memahami sejumlah pasal yang ada di dalam
Perjanjian Renville. Perbedaan penafsiran ini tak jarang menimbulkan perdebatan
baru di antara Indonesia – Belanda selama perundingan berlangsung, sehingga
perundingan seringkali mengalami kemacetan seperti pada tahap awal.
Setidaknya ada empat perbedaan penafsiran yang terjadi antara Indonesia –
Belanda dalam memahami Perjanjian Renville.
Perbedaan penafsiran yang pertama terjadi pada pasal 1 bagian Enam
Prinsip Tambahan yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan atas Hindia Belanda
seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai
waktu yang ditetapkan.” Berdasarkan adanya pasal tersebut ternyata Belanda
secara sepihak telah merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara
pada 13 Januari 1948 tanpa membicarakannya dengan Indonesia.11 Pemerintahan
tersebut rencananya akan dibentuk Belanda dengan mengkonsolidasikan negara-
negara federal ciptaannya tanpa mengikutsertakan Indonesia di dalamnya. Jika
dilihat secara sisi kronologis, maka jelas bahwa Belanda memang telah
merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara mendahului
Persetujuan Renville. Belanda menyatakan bahwa berdasarkan pasal 1 tersebut
10 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 81-82. 11 Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 –
1950, op. cit., hlm. 748.
72
pihaknya mempunyai kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda dengan segala hak
dan tanggung jawabnya yang salah satunya adalah mengenai pembentukan
pemerintahan sementara.12 Belanda ingin kedaulatannya harus diterima sebagai
suatu hal yang mutlak dan tanpa syarat. Belanda menafsirkan pasal tersebut
sebagai suatu dasar bahwa kedaulatannya atas Hindia Belanda mencakup juga
kewenangannya untuk membentuk Pemerintah Federal Sementara, dimana
Letnan Gubernur Jendralnya akan menjadi kepala pemerintahannya.13
Indonesia tidak setuju dengan penafsiran Belanda tersebut. Hal mendasar
yang memberatkan bagi Indonesia adalah Belanda tidak melibatkan pihaknya di
dalam pembentukan Pemerintahan Federal Sementara, sehingga Indonesia
merasa tidak dihargai oleh Belanda. Menurut Indonesia pembentukan
Pemerintahan Federal Sementara seperti itu jelas menyalahi aturan dan tidak sah
karena dibentuk dengan cara-cara yang tidak demokratis.14 Indonesia
mendasarkan argumennya pada pasal 2 bagian Enam Prinsip Tambahan yang
menyatakan bahwa, “Dalam Pemerintahan Federal Sementara sebelum diadakan
perubahan dalam Undang-Undang NIS, kepada negara-negara bagian akan
diberikan perwakilan yang adil.” Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa
pembentukan Pemerintahan Federal Sementara dilakukan dengan sistem
perwakilan yang adil, bukan secara sepihak seperti yang dilakukan oleh Belanda.
Selain itu Indonesia juga menolak penafsiran Belanda bahwa kedaulatan yang
dimiliki oleh pemerintahnya atas Hindia Belanda bersifat mutlak dan final karena
12 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 34. 13 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 35. 14 A. Arthur Schiller, 1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague,
Bandung, hlm. 46.
73
menurut Indonesia kedaulatan Belanda tersebut hanya berlaku selama masa
peralihan menuju pembentukan NIS.15 Indonesia hanya bersedia mengakui
kedaulatan Belanda tersebut secara de jure saja dan itu pun harus dilakukan
pembatasan sejauh apa kedaulatan tersebut dijalankan. Pengakuan kedaulatan
Belanda oleh Indonesia menuntut syarat bahwa kedaulatan tersebut tidak
merampas hak dan kedaulatannya sebagai suatu negara yang telah merdeka. Jadi,
dalam substansi Pemerintahan Federal Sementara ini Indonesia tidak mau
mengakui keberadaan Pemerintahan Federal Sementara yang dibentuk oleh
Belanda karena bertentangan dengan Perjanjian Renville.
Perbedaan penafsiran yang kedua terjadi pada pasal 2 bagian Persetujuan
Politik yang menyatakan bahwa, “Telah sewajarnya bahwa kedua belah pihak
tidak berhak menghalang-halangi pergerakan rakyat untuk mengemukakan
suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian
Linggajati”. Belanda memanfaatkan pasal tersebut sebagai pembenaran bagi
pihaknya untuk semakin menggiatkan pembentukan negara-negara federal di
Indonesia. Sebenarnya hal tersebut sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1946,
yaitu ketika membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), dimana pada saat itu
Belanda menggunakan Perjanjian Linggajati sebagai dasarnya.16 Kini dengan
adanya pasal 2 tersebut Belanda dengan leluasa telah memperbanyak
pembentukan negara-negara federal yang dibentuk melalui campur tangan
politiknya, sehingga hasilnya adalah munculnya negara-negara federal baru yang
dipengaruhi oleh politik pemerintahnya. Negara-negara federal tersebut antara
15 Soekarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta, hlm. 62. 16 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 60.
74
lain : Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur,
Negara Madura, dan Negara Pasundan (Jawa Barat).17 Belanda menyatakan
bahwa pasal tersebut telah memberikan kebebasan bagi pihaknya untuk
membentuk negara-negara federal karena pada dasarnya pembentukan negara-
negara tersebut merupakan salah satu bentuk kebebasan seperti yang dimaksud
dalam pasal 2 tersebut.18 Belanda menyerukan kepada Indonesia bahwa tidak ada
larangan bagi setiap rakyat di daerah untuk menyuarakan aspirasinya, khususnya
dalam hal keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri. Dalam hal ini
Belanda menambahkan bahwa kegiatannya dalam membentuk negara-negara
tersebut lebih bertujuan untuk mempersiapkan pembentukan NIS.19
Indonesia menolak pemahaman Belanda atas pasal 2 tersebut karena
menurutnya pemahaman Belanda tersebut hanya digunakan demi kepentingan
politiknya di dalam NIS saja, tanpa mempertimbangkan pihaknya. Indonesia
tidak setuju jika Belanda menafsirkan isi pasal 2 tersebut sebagai lampu hijau
untuk membentuk negara-negara federal tanpa membicarakannya terlebih dahulu
dengan pihaknya. Indonesia berpandangan bahwa pembentukan negara-negara
tersebut memang sengaja dilakukan Belanda untuk mengasingkan Indonesia dari
bagian-bagian wilayahnya yang lain.20 Selain itu keberatan Indonesia juga
didasarkan pada prosedur dan tujuan pembentukannya. Dalam hal prosedur,
Indonesia keberatan karena ada beberapa negara federal yang dibentuk dari
daerah-daerah yang sebenarnya masih dalam sengketa pasca terjadinya agresi 21
17 Ibid., hlm. 61-65. 18 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 112. 19 A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 147. 20 Hilman Adil, 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 72.
75
Juli 1947. Sedangkan dalam hal tujuan, Indonesia tidak melihat suatu alasan
apapun untuk membentuk negara-negara federal tersebut, jika hal itu dikaitkan
dengan rencana pembentukan NIS karena NIS dibentuk dengan cara yang
berbeda.
Pasal 2 bagian Persetujuan Politik tersebut secara tidak langsung dan
bersama dengan pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan juga menjadi perdebatan
baru antara Indonesia – Belanda ketika keduanya membahas tentang rencana
pembentukan NIS. Menurut Belanda NIS dibentuk dengan cara memasukkan
negara-negara federal yang telah dibentuknya tersebut ke dalam NIS yang
wewenang demikian tersebut dimiliki oleh Belanda melalui Letnan Gubernur
Jenderal sebagai pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia seperti yang
dinyatakan di dalam pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan.21 Dengan demikian,
maka menurut Belanda nantinya setiap negara bagian akan menyerahkan semua
wewenang federalnya kepada NIS yang akan dikepalai oleh Letnan Gubernur
Jenderal, sehingga nantinya Letnan Gubernur Jenderal akan mempunyai
kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan militer yang diperolehnya dari negara-
negara bagian tersebut.
Indonesia menolak pemahaman Belanda tersebut karena berdasarkan
pasal 6 bagian Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan
yang menyatakan bahwa, “Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak
lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-
daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara
21 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 96.
76
(plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daerah-daerah tersebut akan turut
dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan
Negara Indonesia Serikat.” NIS dibentuk dengan cara yang demokratis, yaitu
melalui suatu pemilihan umum untuk menentukan suara penduduk terhadap NIS,
apakah akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri. Jadi,
menurut Indonesia pembentukan NIS harus didasarkan pada aspirasi penduduk
yang akan menjadi bagian dari NIS, bukan dengan cara memasukkannya secara
sepihak tanpa membicarakan dengan pihaknya.22 Perdebatan tidak berhenti
sampai di situ saja karena kedua belah pihak masih belum bisa merumuskan
formulasi yang bisa disepakati dalam menyusun struktur dan kekuasaan NIS yang
akan dibentuk.
Perbedaan penafsiran juga terjadi menyangkut tentang rencana
diadakannya pemilihan umum seperti yang termuat di dalam pasal 6 bagian
Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan tersebut.
Perdebatan yang muncul adalah di daerah mana saja pemilihan umum tersebut
harus diadakan? Meskipun pasal 4 telah menyatakan bahwa pemilihan umum
akan diadakan di Jawa, Sumatera, dan Madura, tetapi yang masih tidak jelas
adalah apakah diadakan di seluruh daerah tersebut atau hanya di daerah-daerah
tertentu saja mengingat daerah-daerah yang disebut di atas masih menjadi
sengketa antara Indonesia – Belanda. Belanda menuntut agar pemilihan umum
diadakan di seluruh Indonesia agar tercapai prinsip keadilan untuk seluruh daerah
22 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 111-112.
77
di Indonesia.23 Sebaliknya, Indonesia menuntut agar pemilihan umum diadakan
hanya di daerah-daerah pendudukan Belanda saja karena sudah menjadi hal yang
wajar jika penentuan suara penduduk hanya dilakukan di daerah-daerah yang
diduduki Belanda, bukan di daerah Indonesia sendiri.24 Indonesia berpendapat
bahwa sejak Belanda membentuk negara-negara baru di wilayahnya, kebebasan
rakyat untuk menyuarakan aspirasinya praktis terbungkam karena negara-negara
tersebut dibentuk hanya melalui elit-elit lokal tertentu saja, sehingga perlu untuk
dijajaki kembali aspirasi penduduk di daerah tersebut melalui suatu pemilihan
umum untuk mengetahui keinginan penduduk yang sebenarnya.
C. Mencari Jalan Tengah
Karena di antara Indonesia – Belanda masih belum bisa menemukan
kesepakatan mengenai rencana pembentukan NIS, maka secara inisiatif dua
anggota KTN, yaitu Critchley dan Dubois mengajukan suatu rancangan kepada
kedua belah pihak sebagai alternatif untuk menjajaki kemungkinan pembentukan
NIS dengan cara lain. Rancangan tersebut diajukan pada 10 Juni 1948 dan berisi
tentang beberapa hal yang secara prinsipiil mengarah kepada skema pembentukan
NIS. Rancangan Critchley – Dubois tersebut antara lain berisi :
1. Pemilihan umum di seluruh Indonesia untuk memilih anggota Majelis Konstituante.
2. Majelis tersebut akan bertindak sebagai parlemen sementara dan pembuat undang-undang.
3. Majelis tersebut juga akan membentuk pemerintahan sementara yang bertanggung jawab kepada parlemen.
23 Soekarno, op. cit., hlm. 63-64. 24 Ibid.
78
4. Majelis tersebut mempunyai wewenang untuk menentukan batas-batas negaranya yang akan masuk ke dalam NIS.
5. Majelis tersebut akan menerima kekuasaan atas angkatan perang, hubungan luar negeri, perdagangan mata uang, dan kedaulatan dari tangan Belanda.25
Rencana Critchley – Dubois tersebut pada dasarnya merencanakan adanya
Pemerintahan Federal Sementara selama masa peralihan yang pembentukannya
dilakukan melalui pemilihan umum. Di dalam pemerintahan itu Indonesia dan
Belanda secara bersama-sama akan menyerahkan sebagian hak dan tanggung
jawab politiknya kepada Pemerintah Federal Sementara sebagai langkah untuk
mengaktifkan kekuasaannya selama masa peralihan. Pemerintah Federal
Sementara ini mempunyai wewenang atas urusan pemerintahan dalam negeri,
angkatan perang, dan hubungan luar negeri kedua belah pihak seperti yang telah
dilimpahkan kepadanya.
Belanda menyatakan keberadaannya terhadap rencana tersebut karena di
dalam rencana tersebut posisi Majelis Konstituante sangat mendominasi,
terutama dalam hal penentuan batas-batas negara.26 Rencana tersebut berbenturan
dengan kepentingan politiknya yang dalam hal ini jelas bahwa posisi Letnan
Gubernur Jenderal tidak diperhitungkan. Belanda juga tidak setuju jika
pembentukan NIS dilakukan dengan cara pemilihan umum karena sebelum
keamanan dan ketertiban dipulihkan dan hak-hak penduduk untuk
mengemukakan suaranya dijamin maka pemilihan umum seperti yang dimaksud
akan sulit untuk dilaksanakan.27 Pada dasarnya Belanda menolak rancangan
25 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 126-127. 26 Ibid., hlm. 133. 27 A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 51.
79
tersebut karena dinilai telah mengaburkan kedaulatannya. Rencana Critchley –
Dubois hendak menempatkan Pemerintah Federal Sementara sebagai pemegang
kedaulatan secara de facto, yang berarti bahwa kedaulatan Belanda melalui
Letnan Gubernur Jenderalnya akan digeser dan hanya diakui sebatas de jure saja,
sedangkan Belanda menuntut pengakuan kedaulatan secara penuh.
Menyoroti bidang militer, Rencana Critchley – Dubois mengatur bahwa
wewenang Letnan Gubernur jenderal harus dibatasi. Letnan Gubernur Jenderal
hanya bisa menggerakkan angkatan perang di seluruh negara bagian dengan
seijin Pemerintah Federal Sementara. Di sisi lain tuntutan Belanda justru lebih
radikal, pihaknya menuntut agar TNI – sebagai angkatan perang negara bagian –
dibubarkan dan dilebur di bawah komando Letnan Gubernur Jenderal, sehingga
nantinya negara-negara bagian NIS tidak mempunyai angkatan perang sendiri-
sendiri tetapi dipusatkan di bawah komandonya.28
Indonesia tidak setuju jika seluruh angkatan perang berada di bawah satu
komando Letnan Gubernur Jenderal, apalagi mengenai ide untuk melebur TNI
karena TNI adalah aparat negara yang keberadaannya sudah melekat di dalam
kedaulatan Indonesia. Menurut Indonesia hal yang paling mungkin adalah
membentuk dua komando angkatan perang, yaitu : komando atas angkatan
perang federal yang berada di tangan Pemerintah Federal Sementara dan
komando atas angkatan perang Belanda yang berada di tangan Letnan Gubernur
Jenderal sendiri.29 Jadi, mengenai angkatan perang ini ada dua komando terpisah
agar kewenangan untuk menggerakkannya dapat dikontrol. Indonesia
28 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 152-153. 29 Ibid., hlm. 142.
80
menambahkan bahwa pihaknya bersedia jika TNI akan ditampung di dalam
angkatan perang federal dengan pengertian bahwa hal tersebut bukan berarti
peleburan TNI menjadi angkatan perang federal, tetapi unsur-unsur yang ada di
dalamnya bisa digunakan sebagai angkatan perang federal.
Mengenai hubungan luar negeri selama masa peralihan, Belanda
menuntut agar urusan hubungan luar negeri Indonesia diserahkan saja padanya.
Indonesia menolaknya dan tetap mempertahankan sikapnya bahwa hubungan luar
negeri merupakan hak otonom pemerintahnya yang tidak bisa diwakilkan kepada
pihak lain. Setelah itu Belanda tidak mau lagi membahas Rencana Critchley –
Dubois karena tidak sesuai dengan pendiriannya. Dalam kenyataannya di antara
Indonesia – Belanda masih saja diwarnai perbedaan pandangan mengenai
bagaimana merancang suatu Pemerintah Federal Sementara dengan
mengakomodasi kedaulatan masing-masing pihak secara berimbang, baik dalam
hal kekuasaan maupun tanggung jawabnya.
Tidak berselang lama setelah Rencana Critchley – Dubois diajukan terjadi
kegemparan di pihak Belanda, rencana yang semula bersifat rahasia itu bocor.
Belanda menuduh bahwa KTN-lah yang membocorkannya kepada pers. Tuduhan
tersebut dibantah oleh Dubois karena sama sekali tidak berdasar.30 Kejadian itu
membuat Belanda semakin mengabaikan perundingan, sehingga selama bulan
Juni sampai September perundingan belum bisa menghasilkan suatu keputusan
yang pasti. Sementara itu sebuah rancangan kembali diajukan oleh Merle
Cochran, anggota KTN dari AS pengganti Dubois, yang isinya antara lain :
30 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 223-224.
81
1. Pemilihan umum akan diadakan untuk memilih anggota-anggota Pemerintah Federal Sementara.
2. Pembentukan Majelis Pemerintah Federal Sementara yang akan berfungsi sebagai pembuat undang-undang.
3. Majelis tersebut juga mempunyai wewenang untuk menentukan batas-batas negara bagian.
4. Majelis akan memilih Presiden, Presiden mengangkat PM, PM akan membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepada Majelis.
5. Pembentukan Dewan Federal yang mempunyai wewenang dalam menentukan jumlah angkatan perang di setiap negara bagian yang akan ditampung di dalam angkatan perang Pemerintah Federal Sementara.31
Substansi pembentukan Pemerintah Federal Sementara Rencana Cochran
mirip dengan Rencana Critchley – Dubois, yaitu lebih menganjurkan
diadakannya pemilihan umum. Di sisi lain Rencana Cochran jauh lebih tegas
dalam hal mengatur dan membatasi porsi kekuasaan Belanda melalui Wakil
Tinggi Mahkotanya. Pada dasarnya Rencana Cochran hendak menerapkan pola
pembagian kekuasaan (desentralisasi) kepada sejumlah lembaga negara yang
akan dibentuk seperti Majelis, Presiden, PM, dan Dewan Federal. Kekuasaan
yang terpusat di tangan Belanda adalah suatu hal yang sangat ingin dihindari oleh
Cochran.
D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara
Memahami Perundingan Renville sebagai suatu titik di dalam dinamika
konflik antara Indonesia – Belanda tidak hanya bisa diamati dari tajamnya
perbedaan penafsiran terhadap Perjanjian Renville, tetapi juga bisa diamati dari
sisi lain yang juga berpengaruh. Kini pemahaman atas Perundingan Renville
31 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 112-115.
82
dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda akan dilihat dari
sisi lain, yaitu dari kerangka garis-garis kebijakan politik masing-masing negara.
Perundingan Renville sebagai satu bentuk interaksi politik dua negara yang
sedang berkonflik dalam rangka mencari penyelesaian konflik merupakan suatu
gambaran umum yang di dalamnya termuat wacana-wacana politik masing-
masing pihak sebagai pihak yang mempunyai kepentingan politis satu sama lain.
Pertentangan substansial yang terjadi di dalam Perundingan Renville
mencerminkan adanya pertentangan kepentingan politis dan perbedaan garis-
garis kebijakan politik dalam menyikapi konflik yang ada. Adanya perubahan-
perubahan politik yang terjadi, baik di Indonesia maupun Belanda, menjadi faktor
yang berpengaruh dalam hubungan kedua negara tersebut pasca Perundingan
Renville.
Setelah Perundingan Renville berlaku hubungan antara Indonesia –
Belanda semakin tidak menentu karena tidak ada kesepakatan konkret yang bisa
untuk segera dilaksanakan di dalamnya. Memburuknya hubungan antara
Indonesia – Belanda bisa diamati dari adanya sejumlah perubahan politik di
dalam negeri masing-masing pihak yang lebih tampak sebagai pergolakan politik.
Pergolakan-pergolakan politik dalam negeri yang terjadi di Indonesia maupun
Belanda disebabkan oleh adanya respon politik yang berbeda-beda dari berbagai
kalangan di dalam negeri kedua belah pihak dalam menyikapi Perjanjian
Renville. Pergolakan-pergolakan politik tersebut menunjukkan bahwa mulai
memanasnya kembali suhu politik di dalam hubungan kedua negara. Tidak
terelakkan lagi bahwa situasi yang demikian tersebut secara akumulatif telah
83
menimbulkan adanya ketidakstabilan hubungan bilateral antara Indonesia –
Belanda.
Perjanjian Renville telah memakan banyak korban politis di dalam negeri
Indonesia. Perjanjian Renville telah berimbas pada terjadinya pergolakan di
berbagai kalangan elit-elit politik dalam negeri. Mulai dari Amir Syarifuddin
yang merasa dikhianati, Masyumi dan PNI yang bersikap mendua, laskar rakyat
yang semakin tidak terkendali, sampai dengan TNI yang kecewa. Selain itu bisa
disebutkan juga tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat
(FDR) terhadap Kabinet Hatta telah menyebabkan munculnya suara-suara yang
menyatakan penentangannya terhadap pemerintahan pada saat itu.
Amir Syarifuddin menjadi korban pertama dari permainan politik yang
dilakukan oleh partainya sendiri, Partai Sosialis, Masyumi, dan PNI. Partai
Sosialis ternyata menentang Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh
ketuanya sendiri.32 Masyumi dan PNI pun bersikap mendua dalam menyikapi
Perjanjian Renville. Kedua partai tersebut yang semula mendukung Perundingan
Renville berbalik menolaknya dan menarik dukungannya terhadap Amir
Syarifuddin, sehingga kabinetnya bubar. Ironisnya, Masyumi dan PNI justru ikut
duduk kembali dalam Kabinet Hatta yang jelas-jelas mendukung hasil-hasil
Perundingan Renville. Amir Syarifuddin yang merasa dikhianati kemudian
membentuk FDR dan memulai beroposisi terhadap pemerintah. Selain karena
masalah posisinya di dalam pemerintahan, ada beberapa masalah lain yang secara
akumulatif telah membuat FDR kecewa dan bahkan menyatakan penentangannya
32 Hersri Setiawan, op. cit., hlm. 4.
84
terhadap pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain adalah rasionalisasi,
justifikasi, dan provokasi yang telah menyudutkan pihaknya.33
Pergolakan politik kemudian juga menjalar di kalangan laskar rakyat.
Situasi politik yang sedang bergejolak ternyata justru dimanfaatkan oleh beberapa
kesatuan laskar rakyat untuk meningkatkan gerakan gerilyanya terhadap Belanda.
Di Jawa Barat beberapa nama kesatuan laskar rakyat seperti Bambu Runcing,
Hizbullah, dan Satuan Pemberontakan 88 tetap beraksi tanpa mempedulikan
gejolak politik yang sedang terjadi.34 Momentum hijrahnya Divisi Siliwangi dari
Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membuat laskar rakyat menjadi
badan perjuangan rakyat yang masih eksis beraksi di sejumlah daerah di Jawa
Barat. Kebenciannya terhadap Belanda dilampiaskannya dengan melakukan aksi-
aksi pembunuhan, pembakaran, dan pembersihan terhadap orang-orang yang
dianggap bekerja sama dengan Belanda.35 Hanya saja dalam aksi-aksinya laskar
rakyat sering berbenturan dengan TNI, laskar rakyat sering dituduh sebagai
gerombolan pengacau keamanan yang suka berbuat onar.
Tentara Nasional Indonesia, khususnya Divisi Siliwangi adalah korban
telak dari Perundingan Renville yang tidak bisa berbuat banyak. Diusirnya Divisi
Siliwangi dari Jawa Barat telah memperlemah posisinya secara defensif terhadap
pasukan Belanda. Masalah baru menghampirinya ketika harus berada di daerah
pengungsian, dimana pihaknya terlibat konflik dengan Divisi Senopati dari Jawa
Tengah. Isu rasionalisasi Kabinet Hatta yang bertujuan untuk mengurangi jumlah
33 Ibid., hlm. 1-15. 34 Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutions : The Jakarta Militia and the
Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press, Honolulu, hlm. 171. 35 Ibid., hlm. 173.
85
angkatan perang ternyata membuat Divisi Senopati merasa terancam karena
pihaknya termasuk salah satu kesatuan yang akan terkena program dari Kabinet
Hatta tersebut.36 Divisi Senopati menolak rencana tersebut dan melakukan
perlawanan di Solo, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena Divisi Siliwangi
diperintahkan untuk meredam perlawanan dari Divisi Senopati. Konflik meluas
karena terdapat isu-isu lain yang mewarnai perlawanan tersebut. Adanya
provokasi dari komunis dan benturan kewenangan militer menjadi pemicu
penting peristiwa tersebut.
Perubahan politik di negeri Belanda sudah terjadi sejak bulan Juli 1948,
ketika hasil pemilu telah mengubah arah kebijakan politik Pemerintah Belanda
terhadap Indonesia. Selain karena lebih sebagai hasil dari proses pemilu,
perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda sebenarnya juga berkaitan
dengan adanya pertarungan politik dalam negeri di antara elit-elit politiknya
dalam menyikapi masalah Indonesia. Kaitan antara situasi politik dalam negeri
Belanda dengan hubungan Indonesia – Belanda pasca Perundingan Renville
adalah perkembangan hubungan Indonesia – Belanda dipengaruhi juga oleh
perubahan-perubahan politik yang terjadi di dalam negeri Belanda, dimana arah
kebijakan partai politik yang sedang berkuasa akan berpengaruh terhadap
masalah Indonesia. Dalam hal ini Partai Rakyat Katolik (Katholieken
Volkpartij/KVP) dan Partai Buruh (Partij van der Arbeid (PvdA) adalah dua
partai politik terbesar yang pada saat itu berkuasa di negeri Belanda.37 Keduanya
36 Yahya A. Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 53. 37 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei 1949, terj.,
Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, hlm. 3-8.
86
mempunyai pandangan politik yang berbeda dalam menyikapi masalah
Indonesia. Partai Rakyat Katolik berpandangan bahwa kemerdekaan Indonesia
adalah suatu hal yang tidak dapat diberikan begitu saja dan harus dilakukan
secara bertahap, sedangkan Partai Buruh berpandangan bahwa kemerdekaan
Indonesia harus segera diwujudkan. Partai Rakyat Katolik lebih bersifat
konservatif, sedangkan Partai Buruh lebih moderat.38
Unsur karakteristik partai-partai politik yang berpengaruh dalam
menentukan garis kebijakan Pemerintah Belanda terhadap Indonesia akan lebih
mudah dipahami dengan menampilkan tokoh-tokoh yang pada saat itu duduk di
dalam birokrasi Pemerintahan Belanda. Dapat disebutkan bahwa Beel, Van
Mook, dan Jenderal Spoor adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan pada
saat itu. Tiga orang tersebut setidaknya bisa mencerminkan perbedaan
karakteristik pandangan politiknya masing-masing, terutama antara Beel dan Van
Mook, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kelompoknya. Sebelum pemilu di
bulan Juli 1948, Beel menjabat sebagai PM, Van Mook masih sebagai Letnan
Gubernur Jenderal, dan Jenderal Spoor adalah Panglima Tertinggi pasukan
Belanda di Indonesia. Sebagai Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mempunyai
kekuasaan tertinggi Pemerintahan Belanda di Indonesia, tetapi bagaimanapun
juga ia harus tetap tunduk pada kekuasaan politik pemerintah pusat di Belanda
yang dalam hal ini dipegang oleh Beel sebagai PM. Beel adalah tokoh yang
berasal dari Partai Rakyat Katolik yang mempunyai pandangan konservatif
terhadap Indonesia, sedangkan Van Mook lebih moderat. Perbedaan inilah yang
38 Ibid., hlm. 8-9.
87
membuat pelaksanaan Pemerintahan Belanda di Indonesia tidak begitu harmonis
karena di antara Beel – Van Mook sering terjadi perbedaan pendapat dalam
menentukan sikap terhadap Indonesia. Dalam menghadapi Indonesia Van Mook
kadang membuat keputusan politik sendiri yang menurut berbagai pihak justru
bertentangan dengan kebijakan pemerintahnya.39 Hal itulah yang membuat Van
Mook kurang disukai oleh atasannya di Belanda.
Pemilu bulan Juli 1948 di Belanda telah menghantarkan Partai Rakyat
Katolik kembali berkuasa. Dalam pembentukan kabinet, partai tersebut berkoalisi
dengan Partai Buruh dan dimulailah perubahan politik yang cukup signifikan.
Partai Rakyat Katolik mendapat posisi Menteri Urusan Tanah Seberang dengan
penempatan E.M.J.A. Sassen. Partai Buruh mendapat posisi PM dengan
penempatan W. Dress. Posisi Menteri Luar Negeri diberikan pada Partai Liberal
(Volkspartij Voor Vrijheid en Democratie/VVD) yang dalam hal ini diisi oleh
D.V. Stikker.40 Mengenai jabatan Letnan Gubernur Jenderal, Partai Rakyat
Katolik, dan Partai Buruh masih mempertahankan Van Mook, meskipun kedua
partai tersebut kurang menyukai Van Mook.
Perubahan politik di negeri Belanda terus bergulir ketika Pemerintah
Belanda memberhentikan Van Mook dan mengangkat Beel sebagai
penggantinya, tetapi dengan gelar baru sebagai Wakil Tinggi Mahkota. Secara
otomatis arah kebijakan politik Pemerintahan Belanda pun sepenuhnya telah
berhasil dikuasai oleh Partai Katolik yang konservatif, sehingga sikap politiknya
terhadap Indonesia pun lebih keras. Karakteristik pemerintahan Beel adalah
39 Ibid., hlm. 3-4. 40 Ibid., hlm. 3-5.
88
cenderung dekat dengan cara-cara militer dalam menyelesaikan persoalan-
persoalan politik di Indonesia, apalagi ia dekat dengan Jenderal Spoor. Perubahan
itulah yang membuat hubungan Indonesia – Belanda memburuk pasca
Perundingan Renville karena Belanda bersikap lebih radikal dalam menghadapi
Indonesia.
Hubungan Indonesia – Belanda di tahun 1948 mengalami masa-masa
yang krisis, selain karena situasi politik dalam negeri kedua negara yang
bergejolak hal tersebut, juga disebabkan oleh tidak berhasilnya kedua belah pihak
dalam mencari jalan tengah dalam melaksanakan Perundingan Renville.
Perundingan Renville seolah-olah justru menjadi bahan perdebatan baru yang
terus bergulir tanpa adanya kepastian mengenai pelaksanaannya.
89
BAB V
PENUTUP
Perundingan Renville yang telah dirintis oleh DK PBB melalui KTN sejak
bulan Desember 1947 mempertemukan Indonesia dan Belanda untuk berunding
kesekian kalinya sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik yang sudah lama
berkecamuk, terutama sekali pasca Agresi Militer I. Secara garis besar substansi yang
ada di dalamnya merupakan substansi yang sebenarnya masih berkaitan dengan
substansi yang dulu pernah dibahas dalam Perjanjian Linggajati pada tahun 1946
yang belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Hanya saja kini situasinya bertambah
rumit karena adanya Agresi Militer Belanda I tersebut telah mengaburkan
kesepakatan damai yang pernah dibuat sebelumnya dan kini kedua belah pihak harus
merumuskan kembali pokok-pokok kesepakatan dalam mencapai penyelesaian
konflik yang terjadi. Secara lebih spesifik Perundingan Renville memuat dua bidang
substansi, yaitu : substansi di bidang militer dan substansi di bidang politik. Dalam
bidang militer, substansi yang dibahas adalah mengenai usaha untuk menghentikan
peperangan dan selanjutnya melaksanakan rekapitulasi atas daerah-daerah
pendudukan sebagai langkah untuk menciptakan perdamaian. Dalam bidang politik,
substansi yang dibahas adalah mengenai peninjauan kembali eksistensi kekuasaan
Belanda di Indonesia dan penataan kembali hubungan politik antara Indonesia –
Belanda.
Memahami Perundingan Renville dalam konteks hubungan bilateral antara
Indonesia – Belanda bisa diperoleh secara lebih utuh dari adanya perubahan-
89
90
perubahan politk yang terjadi di dalam negeri kedua negara tersebut pasca
perundingan. Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan perdebatan dan
pertentangan politis mencerminkan adanya kepentingan politik dua negara yang
sedang bertikai. Pertentangan tersebut ternyata berpengaruh juga pada situasi politik
dalam negeri masing-masing pihak yang selanjutnya bisa dilihat sebagai suatu
gambaran besar hubungan politik kedua negara pasca Perundingan Renville. Pasca
perundingan, di negeri Belanda terjadi perubahan politik yang cukup signifikan.
Partai Rakyat Katolik yang sangat konservatif berkuasa dan mulai melaksanakan
garis kebijakan politiknya yang lebih radikal dari masa pemerintahan sebelumnya.
Pada periode ini Pemerintah Belanda mulai mendesak Indonesia agar menerima
pandangan-pandangan politik pemerintahnya terkait dengan hasil-hasil Perjanjian
Renville.
Perjanjian Renville ternyata menimbulkan gejolak politik di dalam negeri,
banyak kalangan yang pada intinya mengecam Perjanjian Renville karena dinilai
telah banyak merugikan. Munculnya FDR – yang kemudian berubah menjadi PKI –
yang merupakan oposan pemerintahan Hatta secara tidak langsung membuat atmosfer
pertentangan politik terhadap Belanda semakin menguat. FDR mengecam pemerintah
karena ada beberapa akibat dari Perjanjian Renville yang secara tidak langsung
menimpa pihaknya. Rasionalisasi adalah salah satu bagian dari rangkaian akibat
Perjanjian Renville yang dirasakan oleh FDR, dimana banyak anggotanya yang
menjadi sasaran rasionalisasi. Pengaruh Perjanjian Renville terhadap situasi politik di
Indonesia dipenuhi dengan intrik politik, provokasi, dan konflik segitiga yang terjadi
91
antara pemerintah, kelompok yang pro pemerintah, yaitu TNI dan pihak oposisi yang
dalam hal ini diwakili oleh FDR.
Berlarut-larutnya situasi pasca Perundingan Renville yang tanpa adanya
kesepakatan konkret untuk melaksanakannya seolah-olah menjadi titik akumulasi dari
hubungan Indonesia – Belanda yang selama ini terus menggantung dan penuh dengan
konflik yang belum terselesaikan. Bila perubahan politik yang terjadi di dalam negeri
Belanda telah membawanya untuk bersikap lebih radikal terhadap Indonesia, yang
terjadi di Indonesia adalah semakin menguatnya penentangan terhadap pemerintah
yang dilakukan oleh golongan sayap kiri terkait dengan hasil-hasil Perjanjian
Renville. Perundingan Renville menjadi suatu usaha antara Indonesia – Belanda
untuk menyelesaikan konfliknya selama ini, dimana memuat substansi-substansi lama
yang sepenuhnya belum bisa dilaksanakan. Hanya saja perbedaan penafsiran
substansi yang ada di dalamnya ternyata justru membuat hubungan keduanya tidak
mengalami perbaikan, tetapi semakin menjauh. Perundingan Renville menjadi suatu
moment perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melihat substansi konfliknya
selama ini, dimana yang ada hanyalah kesepakatan-kesepakatan formal saja karena
belum ada langkah-langkah yang konkret untuk melaksanakan hasil-hasilnya secara
optimal.
Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam
menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan yang
cukup serius di dalam Perundingan Renville.
Hipotesis tersebut terbukti benar ketika di antara Indonesia – Belanda tidak
bisa melaksanakan gencatan senjata secara efektif karena masih terdapat perbedaan
92
pandangan dari keduanya dalam menentukan batas wilayahnya masing-masing.
Proses gencatan senjata tidak berjalan lancar karena di antara Indonesia – Belanda
masih belum menemukan kesepakatan mengenai daerah-daerah mana saja yang harus
dikosongkan untuk dibuat suatu garis demarkasi. Lebih jauh lagi bahwa adanya
kecenderungan dari Belanda yang menuntut Garis Van Mook sebagai syarat dalam
melanjutkan pembahasan substansi-substansi politik membuat perundingan berjalan
alot, karena Belanda tidak mau membahas substansi politik sebelum dicapainya
kesepakatan dalam substansi militer.
Terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Indonesia – Belanda dalam
menyoroti tentang kedaulatan Belanda di Indonesia. Belanda ingin agar kedaulatan
atas Indonesia tetap berada di tangannya, baik secara de facto maupun de jure,
sedangkan Indonesia lebih menginginkan adanya bentuk Pemerintah Federal
Sementara sebagai pemegang kedaulatan sementara selama proses penyelesaian
konflik. Secara politis Belanda ingin agar kedaulatannya atas Indonesia diterima
secara utuh dan final, sedangkan Indonesia tetap ingin mengartikan kedaulatan
Belanda tersebut hanya sebatas simbol, dimana pelaksanaan kekuasaan yang nyata
harus berada di tangan suatu bentuk pemerintahan bersama yang lahirnya melalui
cara-cara yang demokratis di antara Indonesia – Belanda.
Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan
dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk
dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan akan
memanas.
93
Hipotesis tersebut tidak benar karena memanasnya hubungan antara Indonesia
– Belanda lebih disebabkan karena adanya insiden-insiden militer yang sering terjadi
di lapangan antara pasukan Belanda dengan pasukan Indonesia. Masih seringnya
kegiatan pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Belanda ke daerah pendudukan
Indonesia membuat pertempuran menjadi tidak terhindarkan lagi. Hubungan
Indonesia – Belanda memanas karena Belanda menuduh pasukan Indonesia terus
mengganggu kedudukan pasukannya secara bergerilya, sedangkan Indonesia
beralasan bahwa pasukan Belandalah yang terlebih dahulu memulai aksi-aksi militer
yang provokatif terhadap pasukan Indonesia.
Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam
melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara
Indonesia – Belanda tidak akan membaik.
Hipotesis tersebut terbukti benar ketika muncul kembali perdebatan mengenai
kedaulatan masing-masing pihak dengan segala hak dan tanggung jawabnya di antara
Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville. Belanda
menafsirkan bahwa kedaulatannya harus diterima oleh Indonesia secara mutlak,
sedangkan Indonesia menafsirkan bahwa kedaulatan Indonesia harus juga diterima
oleh Belanda di dalam kerangka hubungan politik kedua negara. Perbedaan yang
cukup mendasar tersebut menyebabkan tidak adanya tindakan konkret di antara kedua
belah pihak untuk melaksanakan hasil-hasil perjanjian, karena masih adanya
perbedaan substansi yang cukup krusial. Situasi hubungan antara Indonesia – Belanda
pasca Perundingan Renville yang terus mengambang membuat tidak adanya lagi
harapan dari kedua belah pihak untuk membuat suatu pendekatan dalam
94
melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville. Hal tersebut pada akhirnya
menyebabkan hubungan keduanya tidak mengalami kemajuan yang berarti dan
bahkan justru semakin menjauh.
95
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abu Hanifah. 1962, Tales of A Revolution, John Sound PTY LTD, Australia.
Basuki Suwarno.
1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I, terj., Upakara, Jakarta.
Cribb, Robert Bridson.
1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Grafiti, Jakarta.
___________________
1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Militia and the Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press, Honolulu.
Dahm, Bernard.
1971, History of Indonesia in Twentieth Century, Praeger Publishers, New York.
Deliar Noer.
1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta. Depdikbud.
1996, Terminologi Sejarah Indonesia 1945 – 1950 dan 1950 – 1959, Jakarta.
Deplu.
2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke masa Periode 1945 – 1950, Jakarta.
Finch, Susan and Daniel S. Lev.
1965, Republik of Indonesia Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York.
Hersri Setiawan.
2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, FuSPAD, Jakarta.
95
96
Hilman Adil. 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Ide Anak Agung Gde Agung.
1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta.
___________________. 1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 1 Mei 1949, terj., Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
___________________.
1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan Pustaka Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta.
Kahin, Audrey.
1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from Diversity, University of Hawaii Press, Honolulu.
Kahin, George McTurnan.
1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, UNS Press, Jakarta. McMahon, Robert J.
1981, Colonialism and Cold War : The United States and the Struggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London.
Moedjanto, G.
1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta. ___________________, Indonesia Abad ke-20 Jilid II , Kanisius, Yogyakarta. Mohammad Roem.
1989, Diplomasi : Ujung Tombak Perjuangan RI. Gramedia, Jakarta. Morgenthau, Hans J.
1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Nasution, Abdul Haris
1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semester I, Angkasa, Bandung.
Osman Raliby.
1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta. Pramoedya Ananta Toer, dkk.
2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
97
Reid, Anthony. 1974, Indonesian National Revolution 1945 – 1950, Longman, Sydney.
Ricklefs, M.C.
2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta. Schiller, A. Arthur.
1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague, Bandung.
Slamet Mulyana.
1986, Kesadaran Nasional : Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta.
Soekarno.
1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta. Taylor, Alastair, M.
1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and Sons Limited, London.
Tobing, K.M.L.
1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung, Jakarta.
___________________.
1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta.
Yahya A. Muhaimin.
1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Yong Mun Cheong.
2003, The Indonesia Revolution and the Singapore Connector, KITLV Press, Leiden.
Wolf Jr., Charles.
1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York.
2. Majalah
Prisma, edisi 3 Maret 1977.
3. Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud, 1990.
98
Lampiran
NASKAH PERJANJIAN RENVILLE
Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia dan
seterusnya dinamai pihak-pihak, telah mengadakan persetujuan sebagai berikut :
1. Dengan segera, setelah perjanjian ini ditandatangani, kedua belah pihak akan mengeluarkan perintah menghentikan tembak-menembak dalam tempo 48 jam. Perintah ini akan berlaku atas pasukan-pasukan kedua belah pihak, pada sebelah tempat masing-masing yang telah diterangkan dalam pengumuman dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947; garis-garis tersebut dinamakan garis statusquo dan di daerah-daerah termaktub dalam ayat yang berikut;
2. Dalam instansi (tingkatan) pertama dan untuk sementara akan diadakan daerah-daerah (zones) sesuai dengan garis statusquo; sebagai kebiasaan daerah-daerah ini melingkungi garis-garis statusquo pada sebelah pihak, garis dari pihak Belanda yang terkemuka dan pada pihak lain, garis dari pihak Republik yang paling depan, sedang lebarnya sesuatu daerah (zone) harus sama;
3. Mengadakan daerah-daerah yang tidak diduduki oleh militer (gedemilitairiseerd) sekali-kali tidak menyangkut hak dari kedua belah pihak menurut resolusi dari Dewan Keamanan pada tanggal 1, 25 dan 26 Agustus dan tanggal 1 Nopember 1947;
4. Setelah yang tertulis di atas diterima oleh kedua belah pihak, maka Komisi akan menyerahkan pembantu-pembantu militernya kepada kedua belah pihak, sedang pembantu-pembantu tersebut akan menerima petunjuk-petunjuk (instructies) dan menerima pertanggungjawaban untuk menentukan, apakah penyelidikan atas sesuatu insiden diperlukan oleh pembesar-pembesar dari satu atau kedua pihak;
5. Sambil menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib-tenteram dan keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah-daerah yang dikosongkan (gedemilitairiseerd) akan dipegang oleh polisi sipil dari kedua belah pihak. Polisi untuk sementara waktu, memakai tenaga personil militer sebagai polisi sipil dengan perjanjian, bahwa kekuasaan polisi di bawah kontrol sipil. Pembantu-pembantu militer dari Komisi setiap waktu bersedia memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menyerahkan tenaganya, bila dianggap perlu. Di antaranya mereka itu mesti: a. mendapat bantuan dari opsir-opsir polisi, yang ditempatkan oleh salah satu
pihak dalam tempat-tempat yang tidak diduduki lagi oleh militer untuk menemani mereka itu dalam menyelenggarakan kewajiban mereka. Opsir-opsir polisi dari satu pihak tidak dibenarkan berada di daerah pihak lainnya, kecuali bersama-sama dengan pembantu militer Komisi dan opsir polisi dari pihak lain;
99
b. menambah kerja sama antara kedua belah pihak polisi; 6. Perdagangan dan lalu lintas antara daerah-daerah diusahakan supaya lebih maju
dan meningkat pada hal-hal yang perlu, maka kedua belah pihak akan mengadakan perjanjian di bawah pengawasan Komisi dan wakil-wakilnya, bilamana hal ini dirasa perlu;
7. Perjanjian ini juga memuat hal-hal sebagai tertulis di bawah ini, yang mana dasar-dasarnya telah disetujui oleh kedua belah pihak: a. Dilarang mengadakan sabotase, menakut-nakuti (intimidasi), pembalasan
dendam dan lain-lain tindakan yang serupa terhadap orang-orang dan harta benda, baikpun perusahaan atau barang-barang dari apa saja dan dari tiap-tiap orang dan memakai alat-alat apa saja, supaya mencapai maksud tersebut;
b. Tidak akan mengadakan siaran-siaran radio atau propaganda-propaganda yang lain untuk menentang atau mengacaukan tentara rakyat;
c. Siaran-siaran radio dan lain-lain untuk maksud memberi tahu kepada tentara dan rakyat tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menepati pasal-pasal yang tersebut dalam sub a dan b;
d. Memberikan segala kesempatan untuk penyelidikan oleh pembantu-pembantu militer dan sipil, yang diperbantukan pada Komisi Tiga Negara;
e. Penghentian dengan segera penyiaran-penyiaran pengumuman harian tentang gerakan-gerakan atau macam pemberitahuan tentang gerakan-gerakan ketentaraan, kecuali jika sebelumnya telah disetujui dengan tulisan oleh kedua pihak, tidak termasuk penyiaran-penyiaran minggu dari daftar orang-orang (dengan menyebutkan nama, nomor, kenyataan dan alamat rumah), yang tewas atau meninggal karena luka-luka yang didapatnya dalam menjalankan kewajiban;
f. Penerimaan atas pembebasan tawanan-tawanan dari kedua pihak dan pemulaian perundingan tentang sesuatu pengwujudan yang secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya, pembebasan mana dalam asasnya akan berlaku dengan tidak mengingat pada jumlah tawanan kedua pihak;
8. Bahwa, setelah menerima hal tersebut tadi, pembantu-pembantu militer Komisi itu akan segera mengadakan penyelidikan untuk menentukan apakah atau di mana, terutama di Jawa Barat, kesatuan-kesatuan tentara Republik mengadakan perlawanan di belakang kedudukan terdepan dari Tentara Belanda yang sekarang. Jika penyelidikan itu membuktikan adanya kesatuan-kesatuan yang semacam itu, maka kesatuan-kesatuan itu secepat mungkin, tapi bagaimanapun juga dalam waktu 21 hari, akan mengundurkan diri secara yang disebutkan dalam pasal berikut;
9. Bahwa seluruh kekuatan tentara dari kedua pihak masing-masing dalam sesuatu daerah, yang diterima sebagai daerah yang didemiliterisasi, atau dalam sesuatu daerah di sebelah daerah yang didemiliterisasi dari pihak yang lain, akan mengundurkan diri, di bawah pengawasan pembantu militer Komisi itu dan dengan membawa senjatanya dan keperluan bertempur, dengan tenang menuju daerah yang didemiliterisasi. Kedua pihak berjanji akan melancarkan pengungsian kekuatan tentaranya masing-masing dengan cepat dan tenang;
10. Persetujuan ini dipandang masih mengikat selama waktu empat belas (14) hari dan selalu dengan sendirinya diperpanjang dengan empat belas (14) hari, kecuali
100
jika salah satu pihak memberitahukan pada KTN dan pada pihak yang lain, yang berpendapat, bahwa peraturan-peraturan gencatan senjata tidak ditaati oleh pihak yang lain dan oleh karenanya persetujuan itu hendaknya diakhiri pada akhir waktu empat belas hari yang berlangsung
Renville, 17 Januari 1948 12 Dasar Persetujuan Politik Renville
Pokok-pokok yang merupakan dasar-dasar yang sudah disetujui delegasi pemerintah
Belanda dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia untuk perundingan-
perundingan politik pada sidang keempat yang diadakan Komisi Tiga Negara pada
tanggal 17 Januari 1948.
Komisi Tiga Negara telah diberitahukan oleh kedua delegasi, bahwa
pemerintah masing-masing telah menerima pokok-pokok perjanjian penghentian
permusuhan yang sudah ditandatangani dan merupakan daerah untuk perundingan
politik buat selanjutnya, ialah sebagai berikut :
1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksanakan dan melaksanakan perjanjian untuk menyelesaiakan pertikaian politik di pulau-pulau Jawa, Sumatera dan Madura, berdasarkan prinsip naskah perjanjian “Linggajati”;
2. Telah sewajarnya, bahwa kedua pihak tidak berhak menghalang-halangi pergerakan-pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Juga telah disetujui, bahwa kedua pihak akan memberi jaminan tentang adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatnya dan kemerdekaan dalam penyiaran (publikasi), asal jaminan ini tidak dianggap meliputi juga propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pembalasan (repressailles);
3. Telah sewajarnya, bahwa keputusan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sepenuhnya dan sukarela dari penduduk di daerah-daerah itu pada suatu saat, setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanya lagi paksaan kepada rakyat;
4. Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjian politik dilakukan pula persiapan-persiapan untuk lambat-laun mengurangi jumlah kekuatan tentaranya masing-masing.
5. Bahwa, setelah dilakukan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan dan sebaik dapat dilaksanakan perjanjian itu, maka kegiatan dalam lapangan ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki dengan
101
segera, dengan bekerja bersama-sama di mana harus diperhatikan kepentingan-kepentingan semua bagian lain di Indonesia;
6. Bahwa akan diadakan plebisit sesudah waktu yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditandatangani perjanjian, dalam waktu mana dapat terjadi tukar-menukar pikiran, dan pertimbangan tentang soal-soal yang penting secara merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum secara merdeka, agar rakyat Indonesia dapat menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat;
7. Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan undang-undang dasar (konstitusi) akan dipilih secara demokratis untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat Negara Indonesia Serikat;
8. Telah didapat persetujuan, bahwa setelah ditandatanganinya perjanjian, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, jika salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengadakan suatu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannya kedaulatan pemerintah Belanda kepada pemerintah Negara Indonesia Serikat, maka pihak yang kedua akan menimbangnya dengan sungguh-sungguh. Dasar-dasar seperti di bawah ini diambil dari naskah perjanjian “Linggajati”;
9. Kemerdekaan bebas buat bangsa Indonesia seluruhnya; 10. Bekerja bersama antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia; 11. Satu negara berdasarkan federasi yang berdaulat, dan dengan suatu undang-
undang dasar yang timbulnya melalui jalan-jalan demokrasi; 12. Suatu Uni (persatuan) dari Negara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
dan bagian-bagiannya yang lain, di bawah turunan Raja Belanda. Renville, 17 Januari 1948
Enam Dasar Tambahan dari Komisi Tiga Negara untuk Pembukaan Perundingan
Politik antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Kerajaan Belanda, tanggal
17 Januari 1948 dan disetujui tanggal 19 Januari 1948.
Komisi Tiga negara berpendapat, bahwa keterangan dasar di bawah ini antara
lain akan dipergunakan sebagai dasar perundingan untuk penyelesaian politik, yaitu
sebagai berikut:
1. Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan. Kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat. Sebelum masa peralihan demikian itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah federal sementara yang dibentuk dari daerah-daerah yang nantinya akan merupakan Negara Indonesia Serikat. Jika sudah terbentuk, Negara Indonesia Serikat akan
102
merupakan negara yang berdaulat dan merdeka berkedudukan sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Belanda Indonesia, dikepalai oleh Turunan Raja Belanda. Hal status Republik Indonesia adalah sebagai negara yang bergabung dalam Negara Indonesia Serikat;
2. Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perubahan dalam undang-undang Negara Indonesia Serikat, kepada negara-negara bagian akan diberikan perwakilan yang adil;
3. Sebelum Komisi Tiga Negara dibubarkan, tiap-tiap pihak boleh meminta supaya pekerjaan komisi diteruskan yaitu guna membantu menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan penyelesaian politik, yang mungkin terbit selama masa peralihan. Pihak yang lainnya tidak boleh berkeberatan atas permintaan demikian itu; permintaan tersebut harus dimajukan oleh pemerintah Belanda kepada Dewan Keamanan;
4. Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara (plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daerah-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat. Plebisit ini diadakan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara, jika kedua pihak dapat persetujuan dalam artikel 3 yang menentukan, supaya Komisi Tiga Negara memberikan bantuan dalam soal tersebut. Kemungkinan tetap terbuka jika kedua pihak dapat persetujuan akan menggunakan cara lain dari pemungutan suara untuk menyatakan kehendak rakyat di daerah-daerah itu;
5. Sesudah ditetapkan batas-batas negara-negara bagian yang dimaksud itu, maka akan diadakan rapat pembentukan undang-undang dasar menurut cara demokrasi, untuk menetapkan konstitusi buat Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari negara-negara bagian akan mewakili seluruh rakyat;
6. Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan turut serta menandatangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4 dalam persetujuan Linggajati, kedua pihak tidak akan keberatan diadakan perundingan untuk menetapkan perhubungan istimewa dengan Negara Indonesia Serikat.
Renville, 19 Januari 1948
Semua dokumen persetujuan ditandatangani: Untuk Pemerintah Kerajaan
Belanda, Abdulkadir Wijoyoatmojo
Ketua Delegasi
Untuk Pemerintah Republik Indonesia,
Amir Syarifuddin Ketua Delegasi
Wakil-wakil Komisi Tiga Negara dari
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa:
103
Ketua: Mr. Justice Richard C. Kirby (Australia)
Wakil-wakil: Mr. Paul van Zeeland (Belgia)
Dr. Frank P. Graham (Amerika Serikat) Sekretaris: Mr. T.G. Narayanan