refrat aps.doc

Upload: fitri-yulianti

Post on 10-Mar-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

19

I. PENDAHULUAN Pada umumnya sebanyak 25 % dari seluruh kehamilan pertama akan berakhir dengan keguguran. Jika mengalami keguguran berulang kali maka penyebabnya 7 % kelainan kromosom, 10-15 % karena kelainan anatomi, 15 % karena kelainan hormonal (progesteron, estrogen, diabetes atau penyakit tiroid), 6 % tidak dapat dijelaskan dan sebagian besar yaitu 55-62 % disebabkan karena kelainan pembekuan darah atau defek trombosit yang menyebabkan trombosis dan infark pembuluh darah plasenta.1,2

Masalah prokoagulan didapat kelainan oleh sindroma antifosfolipid (SAF) sebesar 67 %, sticky platelet syndrome sebesar 21 %, defisiensi activator plasminogen sebesar 9 % dan penyebab yang lainnya masing-masing di bawah 7 %. Data ini menunjukan bahwa sindroma antifosfolipid memegang peranan yang paling besar sebagai penyebab kegagalan suatu kehamilan. Sumber lain mencatat bahwa 15-40 % wanita yang mengalami keguguran berulang mempunyai antibodi antikardiolipin atau lupus antikoagulan.1 Sindroma antifosfolipid merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh adanya antibodi antifosfolipid dan setidaknya 1 manifestasi klinis, yang paling sering adalah trombosis arteri atau vena dan keguguran yang berulang. Sindroma antifosfolipid dapat ditemukan pada wanita normal dan wanita hamil normal tanpa kelainan klinik lainnya. Berdasarkan konsensus internasional di Sapporo, maka definisi sindroma antifosfolipid adalah kelainan dengan gejala trombosis vaskuler dan atau morbiditas obstetrik disertai adanya antibodi antikardiolipin dan atau antikoagulan lupus.2 Antibodi antifosfolipid terdiri atas antibodi antikardiolipin (aCL), antikoagulan lupus (LA) dan antibodi anti-beta 2 glikoprotein I (anti-2GP1). Pada wanita hamil normal ditemukan 4,6% antibodi antikardiolipin dan 1,8% sampai 13,7% antikoagulan lupus, sedangkan pada wanita yang pernah mengalami abortus berulang ditemukan 2,5% sampai 21% antibodi antikardiolipin dan 0% sampai 9% antikoagulan lupus. Terjadi peningkatan antibodi antifosfolipid sebanyak lebih dari lima kali pada wanita yang mengalami abortus berulang dibandingkan pada wanita normal.1,2,3 Tujuan yang penting dalam penatalaksanaan SAF dalam kehamilan adalah meningkatkan luaran maternal dan neonatal dengan mengurangi resiko dari komplikasi yang akan terjadi. Heparin dan aspirin dosis rendah merupakan pilihan dalam penatalaksanaan SAF dalam kehamilan.5II. SINDROMA ANTIFOSFOLIPID DALAM BIDANG OBSTETRI Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang sebagian besar bersifat didapat bukan bawaan yang terdiri dari 2 sindroma klinik yang berhubungan erat tapi jelas berbeda yaitu sindroma trombosis antikoagulan lupus dan sindroma trombosis antibodi antikardiolipin. Sekalipun keduanya serupa tetapi terdapat perbedaan yang jelas dalam hal klinis, laboratorium, perbedaan biokimia terutama mengenai prevalensi, penyebab, kemungkinan mekanisme, presentasi klinis dan penanganannya. Antibodi antifosfolipid dalam sindroma ini dapat dideteksi dengan reaktifitasnya terhadap fosfolipid anion (atau kompleks protein-fosfolipid) dalam pemeriksaan dengan immunoassays atau dengan inhibisinya terhadap reaksi koagulasi yang bergantung pada fosfolipid yang dikenal sebagai efek lupus antikoagulan.5 Sindroma antibodi antikardiolipin 5 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan sindroma antikoagulan lupus. Sindroma antikoagulan lupus sekalipun kadang-kadang berhubungan juga dengan penyakit arteri, lebih sering dihubungkan dengan trombosis vena. Antibodi antifosfolipid ini mengenai pembuluh darah dari semua ukuran. Sindroma antifosfolipid sebenarnya bermanifestasi dalam berbagai macam gejala klinis seperti keadaan hiperkoagulasi,trombositopenia, keguguran berulang, dementia yang muncul lebih dini, stroke, perubahan optik, penyakit Addison dan ruam kulit.5,6

Sindroma antifosfolipid terdiri dari dua golongan yaitu primer dan sekunder. Yang primer sifatnya genetik dan tidak mempunyai dasar kelainan medis. Yang sekunder didapati pada pasien yang mempunyai dasar kelainan medis seperti pada penderita keganasan, immune thrombocytopenia purpura, leukemia, infeksi seperti sifilis, tuberkulosa, dan AIDS dan pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan seperti; Klorpromazin, dilantin, fansidar, hidralazin, kinidin, kinin fenotiazin, kokain, prokainamid, fenitoin, dan alfa interferon.5,6III. IMUNOPATOGENESIS SINDROMA ANTIFOSFOLIPID

Peran langsung autoantibodi dalam patogenesis sindroma antifosfolipid dapat dijelaskan dengan beberapa hipotesis berikut, yaitu :

1. antigen pada sindroma antifosfolipid merupakan target protein plasma atau komponen membran permukaan sel yang terpapar langsung dengan antibodi dalam sirkulasi darah

2. antigen terlibat dalam reaksi hemostatik dan trombotik pada permukaan sel endotel vaskuler, trombosit, dan komponen sel darah lain

3. transfer imunoglobulin secara pasif pada binatang percobaan berakibat terjadinya sindroma antifosfolipid

4. adanya antibodi antifosfolipid berhubungan dengan serangan pertama trombosis, dan 5. manifestasi klinik yang terjadi pada sindroma antifosfolipid berhubungan dengan kadar antibodi antifosfolipid.2,4 Dalam kehamilan fosfolipid bekerja sebagai perekat yang menjaga sel yang membelah agar tetap berkelompok dan diperlukan untuk pertumbuhan plasenta pada dinding uterus. Fosfolipid juga merupakan penyaring nutrisi dari darah ibu ke darah janin dan sebaliknya menyaring sisa-sisa metabolit dari darah bayi ke darah ibu melalui plasenta. Jika seorang wanita mempunyai hasil tes antibodi antifosfolipid positif, hal ini mengindikasikan wanita tersebut mempunyai risiko terjadinya abortus berulang. Antibodi sendiri tidak akan menyebabkan abortus, tetapi dengan adanya antibodi akan menunjukkan adanya proses autoimun yang abnormal yang akan mengganggu kemampuan fosfolipid dalam melakukan fungsinya. Antibodi tersebut bisa berupa IgG atau IgM yang secara langsung melawan fosfolipid yang bermuatan negatif. Adanya antibodi antifosfolipid ditandai dengan pemanjangan waktu tes koagulasi yang tergantung dengan fosfolipid secara in vitro (aPTT) dan terjadinya trombosis secara in vivo.1,3 Antibodi antifosfolipid merupakan kelompok autoantibodi heterogen yang dideteksi melalui pemeriksaan immunoassay dan uji koagulasi fungsional. Pada SAF, kelainan sistem pembekuan darah yang menghasilkan trombus dihubungkan dengan peningkatan antibodi antifosfolipid (aPL), yaitu :81. antibodi antikardiolipin (aCL) atau antibodi terhadap fosfolipid bermuatan negative, seperti fosfatidilserin, fosfatidilinositol, asam fosfatidat, fosfatidilgliserol.

2. antikoagulan lupus (LA) yang merupakan immunoglobulin terhadap protein plasma (protein atau annexin V) yang berikatan dengan fosfolipid. LA memblok pembentukan trombin dan membantu pembentukan bekuan darah in vitro.

3. antibodi anti-beta 2 glikoprotein I (anti-2GP1) yang mengenali protein plasma apolipoprotein H atau beta-2 glikoprotein I dan memiliki spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan aCL pada trombosis.

Gambar 1. Patogenesis mekanisme antibodi antifosfolipid Dikutip dari Balasch8Antikoagulan lupus dapat berakibat perdarahan dan trombosis, sedangkan antibodi antikardiolipin hanya berakibat trombosis. Mekanisme terjadinya trombosis oleh antibodi antikardiolipin, adalah :2,81. terhambatnya koagulasi tidak efektif, konversi protein C menjadi protein C aktif di hambat antibodi antikardiolipin sehingga protein C aktif berkurang dan penghancuran faktor koagulasi Va dan VIIIa juga berkurang, serta terhambatnya aktifitas trombin sehingga trombomodulin bersama trombin kurang mengaktifkan protein C.2. peningkatan aktifasi trombosit karena interaksi antibodi antikardiolipin dengan fosfolipid membran trombosit serta penurunan sintesis prostasiklin di endotel oleh antibodi antikardiolipin berakibat penurunan antiagregasi oleh prostasiklin.3. gangguan fibrinolisis oleh antibodi antikardiolipin berakibat terhambatnya aktifator plasminogen di dalam darah, sehingga plasminogen yang dikonversi menjadi plasmin berkurang, dan

4. pengaktifan koagulasi, adanya antibodi antikardiolipin berakibat terjadi peningkatan sintesis faktor jaringan oleh endotel, sehingga terjadi peningkatan aktifasi koagulasi melalui sistem ekstrinsik.

Reaksi agregasi trombosit secara langsung ditimbulkan oleh antibodi antikardiolipin tanpa adanya kerusakan permukaan sel endotel sebagaimana proses agregasi trombosit lainnya. Reaksi agregasi diduga terjadi melalui peningkatan sensitifitas sel trombosit, sehingga antibodi antifosfolipid dapat tertempel pada membran permukaan fosfolipid atau melalui peningkatan produksi tromboksan dan faktor perangsang (activating factor) sel trombosit.8Hipotesis terakhir mengaitkan antibodi antifosfolipid dengan annexin V atau placental anticoagulant protein-1, suatu regulator dan inhibitor koagulasi alamiah di plasenta. Annexin V berikatan dengan fosfolipid di permukaan membran sel yang bermuatan negatif (anion), sehingga mencegah terikatnya faktor-faktor pembekuan darah yang tergantung fosfolipid anionik. Namun pada sindroma antibodi antifosfolipid, antibodi antifosfolipid menggantikan annexin V di permukaan membran sehingga jalur koagulasi tidak tercegah dan terjadilah trombosis.9,10,11IV. MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis sindroma antifosfolipid yang paling sering ditemukan adalah trombosis, yang dapat mempengaruhi pembuluh darah organ manapun. Trombosis vena, terutama pada ekstremitas bawah, terjadi pada 55% pasien dengan sindrom tersebut. Separuh diantaranya juga menderita emboli pulmonum. Trombosis arteri pada 50% kasus mengenai otak, menimbulkan serangan iskemia transien atau stroke. Trombosis arteri juga dapat terjadi di jantung (25%), yang menyebabkan oklusi koroner, dan di mata, ginjal dan arteri-arteri perifer (25%). Oklusi pembuluh darah dapat terjadi melalui emboli dari sumber sentral seperti vegetasi pada katup mitral atau aorta, yang ditemukan pada 4% pasien dengan sindrom antifosfolipid. Beberapa abnormalitas echokardiografi dapat ditemukan pada hampir 2/3 pasien dengan sindrom ini, meskipun signifikansi abnormalitas ini secara klinis rendah.2 Manifestasi obstetrik sindroma ini yang paling sering adalah keguguran yang berulang. Resiko terbesar terjadinya keguguran pada wanita dengan antibodi antifosfolipid adalah pada usia kehamilan 10 minggu keatas (periode fetus). Sebaliknya, keguguran pada populasi umumnya paling sering ditemukan pada 9 minggu pertama kehamilan. Selain itu, ada bukti-bukti bahwa wanita dengan antibodi antifosfolipid memiliki peningkatan resiko melahirkan prematur oleh karena hipertensi selama kehamilan dan insufisiensi uteroplasental.12 Sindroma antifosfolipid dalam kehamilan dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi obstetri berikut: keguguran spontan, keguguran berulang pada umur kehamilan 10 minggu atau lebih, hipertensi dalam kehamilan dengan resiko tinggi partus preterm, kelahiran preterm, insufisiensi uteroplasenta, dan komplikasi yang diakibatkan oleh terapi. Pada serial kasus sindroma antifosfolipid yang termasuk wanita dengan lupus eritematosus sistemik dan riwayat trombosis sebelumnya, rasio hipertensi gestasional-preeklampsia adalah 32-50%. Insufisiensi plasenta relatif jarang pada serial kasus ini. Rasio kelahiran preterm 32-65%.2 Komplikasi potensial dari terapi heparin adalah perdarahan, osteoporosis dan fraktur, dan trombositopenia yang diinduksi oleh heparin. Untungnya, rasio osteoporosis dan fraktur yang dilaporkan relatif rendah, meskipun pernah terjadi, bahkan dengan low molecular weight heparin. Trombositopenia yang diinduksi oleh heparin juga jarang dijumpai pada wanita hamil.2 Manifestasi lainnya adalah adanya trombosis pada berbagai organ. Di Amerika Serikat, SLE terjadi pada 120 kasus dari 100.000 populasi dan menyebabkan komplikasi kehamilan pada 45 kasus dari 100.000 wanita hamil. Antibodi antifosfolipid bertanggung jawab terhadap 65-70% kasus trombosis vena. Pada wanita dengan trombosis vena pada tempat yang tidak lazim (seperti vena serebral portal, splenikus, mesenterikus subklavia), antibodi antifosfolipid ditemukan pada sekitar 2% pasien dengan trombosis vena nontraumatik. Sekitar 22% wanita dengan sindroma antifosfolipid menderita trombosis vena dan 6.9% diantaranya terjadi di pembuluh darah serebral. 24% dari kejadian trombosis tersebut terjadi selama kehamilan atau pada periode postpartum. Meskipun kebanyakan pasien dengan sindroma antifosfolipid menderita trombosis vena atau arteri pada satu lokasi anatomis, namun sebagian kecil pasien menderita trombosis multiorgan dengan onset yang cepat yang berhubungan dengan mortalitas yang tinggi. Keadaan yang seperti ini disebut katastropik yang merupakan bagian dari trombotic storm. Namun demikian, angka kejadian kasus ini sangat kecil, hanya 0.8% dalam sebuah serial penelitian berskala besar.13V. DIAGNOSIS Diagnosis Sindroma antifosfolipid didasarkan pada kriteria International Consensus Statement on an Update of the Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Sndrome tahun 2006 di Sydney. Sindroma antifosfolipid definit adalah bila didapatkan minimal 1 kriteria klinis dan minimal 1 kriteria laboratorium. Kriteria ini merupakan revisi dari kriteria yang digunakan sebelumnya yang dikenal sebagai kriteria Sapporo, pada The 8th International Congress on Antiphospholipid Antibodies di Sapporo tahun 1998, yang belum memasukkan anti 2GP1 sebagai kriteria laboratorium.14Tabel 1. Kriteria untuk klasifikasi sindroma antifosfolipid

Kriteria klinis

1. Trombosis vaskular

Satu atau lebih episode klinis trombosis arteri, vena, atau pembuluh darah kecil pada organ atau jaringan manapun. Trombosis harus dikonfirmasi dengan kriteria objektif yang valid (contoh temuan pasti menggunakan teknologi pencitraan yang sesuai atau histopatologi). Untuk konfirmasi histopatologi, trombosis harus ada bukti yang signifikan tidak adanya inflamasi dinding pembuluh darah.2. Morbiditas kehamilana. Satu atau lebih kematian janin dengan morfologi normal pada atau setelah usia kehamilan 10 minggu dengan morfologi normal yang didokumentasikan dengan ultrasound atau memeriksa janin secara langsung, atau b. Satu atau lebih kelahiran prematur dengan morfologi neonatus normal pada umur kehamilan 34 minggu oleh karena pre eklampsia atau eklampsia berat, atau insufisiensi plasenta berat, atau c. Tiga atau lebih aborsi spontan berturut-turut disertai kelainan anatomi dan hormon maternal, penyebab berupa kelainan kromosom paternal maupun maternal disingkirkan.

Kriteria laboratorium

1. Antikoagulan lupus (LA)Terdapat LA dalam plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan dalam rentang minimal 12 minggu, dideteksi berdasarkan panduan komunitas internasional untuk trombosis dan hemostasis.

2. Antibodi antikardiolipin (aCL) Terdapat aCL IgG dan atau IgM dalam plasma/serum pada titer medium atau tinggi yang dilakukan 2 kali atau lebih dalam rentang minimal 12 minggu. Pemeriksaan diukur menggunakan metode ELISA.3. Antibodi anti-beta 2 glikoprotein I (anti-2GP1)

Terdapat antibodi anti-beta 2 glikoprotein I IgG dan atau IgM dalam serum / plasma pada 2 atau lebih pemeriksaan yang dilakukan dalam rentang minimal 12 minggu, diukur dengan ELISA.

Dikutip dari Irastorza5 Klasifikasi Sindroma antifosfolipid tidak boleh dilakukan apabila jarak antara hasil aPL yang positif dan manifestasi klinis kurang dari 12 minggu atau lebih dari 5 tahun. Diagnosis SAF ditegakkan apabila memenuhi minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium. Adanya aPL (aCL / LA / anti 2-GP1) yang menetap sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Pada kriteria Sapporo dianjurkan rentang waktu minimal adalah 6 minggu di antara 2 pemeriksaan dengan hasil positif, pada kenyataannya tidak ada data yang mendukung validitas rentang tersebut. Oleh karena itu pada revisi kriteria klasifikasi yang baru rentang waktu minimal antara 2 hasil positif adalah 12 minggu hal tersebut untuk memastikan aPL bersifat persisten karena aPL yang berada sementara dapat menyebabkan kesalahan klasifikasi.7VI. PENATALAKSANAAN SINDROMA ANTIFOSFOLIPIDDengan penatalaksanaan yang baik, lebih dari 70% wanita hamil yang menderita sindroma antifosfolipid dapat melahirkan bayi yang viabel. Idealnya, konseling prekonsepsi memberikan kesempatan kepada dokter untuk memahami permasalahan spesifik dari setiap pasiennya, resiko dan penatalaksanaannya. Penatalaksanaan kehamilan dengan sindroma antifosfolipid pada dasarnya terdiri atas penatalaksanaan dalam kehamilan (pemeriksaan antenatal), persalinan, dan masa nifas, dengan tujuan melakukan pemantauan pada risiko terjadinya trombosis, gangguan sirkulasi uteroplasenter, dan penentuan saat persalinan yang adekuat.5 Setiap wanita dengan sindroma antifosfolipid idealnya mendapat konseling prakonsepsi terhadap risiko yang akan diperoleh selama kehamilan dan persalinan seperti risiko trombosis, stroke, abortus berulang, pertumbuhan janin terhambat, kematian janin, preeklampsia dan persalinan preterm. Deteksi dini kelainan kongenital karena perjalanan penyakit maupun akibat prosedur pengobatan yang diberikan, dilakukan dengan pemeriksaan ultrasonografi. Kunjungan obstetrik prenatal dilakukan minimal setiap 2 minggu sebelum pertengahan usia gestasi dan setelah itu dilanjutkan seminggu sekali. Tujuannya adalah untuk pemantauan ketat terhadap hipertensi ibu dan gambaran preeklampsia yang lain, evaluasi pasien secara periodik dan pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk memantau keadaan janin dan deteksi dini kelainan kongenital karena perjalanan penyakit maupun akibat prosedur pengobatan yang diberikan.15,16

Kesejahteraan janin dinilai dengan pemeriksaan profil biofisik janin dimana perburukan keadaan dapat dinilai dari pemeriksaan arus darah arteri umbilicalis, dimana akan ditemukan peningkatan rasio sistolik dibanding diastolik oleh karena peningkatan resistensi pembuluh darah uteroplasenter. Dinilai pada usia gestasi 32 minggu atau lebih awal bila kondisi klinis diduga adanya insufisiensi plasenta, dan dilanjutkan minimal setiap minggu sampai bayi lahir. Perburukan keadaan janin dapat dilihat dari pemeriksaan arus darah arteri umbilikalis, dijumpai peningkatan rasio sistolik/diastolik karena peningkatan resistensi pembuluh darah plasenter.12 Tujuan pemeriksaan antenatal yang ketat adalah ditemukannya akibat trombosis vaskuler atau mikrovaskuler yang berakibat gejala patologik iskemia, infark maupun nekrosis pada trofoblast, sehingga terjadi gangguan perfusi darah, nutrisi dan gas dengan manifestasi kerusakan endotel berupa gangguan rasio tromboksan/prostasiklin, mulai dari respon kompensasi vasokonstriksi vaskuler hingga kerusakan vaskuler dengan gejala perdarahan dan ancaman kesejahteraan janin, serta maternal. Manifestasi klinis berupa gangguan sistem hemostasis dan koagulasi, tanda preeklampsia (hipertensi dan atau proteinuria), dan pertumbuhan janin terhambat, tanda hipoksia intrauterine, maupun perluasan akibat proses trombosis pada organ diluar kandungan seperti otak, hati, ginjal. Pemeriksaan kadar trombosit dan transaminase dilakukan untuk deteksi awal sindroma Hellp pada preeklampsia.2,17

Pengobatan rasional adalah terapi preventif dan kuratif dengan pemberian antikoagulan dan antiagregasi trombosit. Agen-agen antikoagulasi dapat diberikan untuk mencapai keadaan antikoagulasi penuh. Koumarin sebaiknya tidak diberikan karena dapat menimbulkan embriopati dan abnormalitas sistem saraf pusat. Obat-obat antikoagulan yang dapat diberikan diantaranya adalah heparin karena agen ini tidak menembus sawar plasenta.4 Gambar 2. Algoritme penatalaksanaan sindroma antiphospholipid Dikutip dari Levine4Tabel 2. Regimen yang dipakai dalam penatalaksanaan SAF dalam kehamilanRegimen

APS tanpa kejadian trombosis sebelumnya dan rekurensi keguguran APS tanpa trombosis sebelumnya dan kematian janin (lebih dari 10 minggu usia kehamilan) atau kelahiran prematur (