rangkuman m 2 b 9
DESCRIPTION
tbTRANSCRIPT
MODUL 2 BLOK 9
MORBILI
Definisi
Morbili ialah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu: a. Stadium
kataral, b. Stadium erupsi, c. Stadium konvalesensi.
Etiologi
Penyebabnya adalah virus morbili yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama masa
prodromal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Cara penularan adalah dengan droplet dan kontak
langsung dengan penderita.
Yang patut diwaspadai, penularan penyakit campak berlangsung sangat cepat melalui perantara
udara atau semburan ludah (droplet) yang terisap lewat hidung atau mulut. Penularan terjadi pada masa fase
kedua hingga 1-2 hari setelah bercak merah timbul.
Epidemiologi
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif
(melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si
bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2
bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama,
kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak
dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.
Patofisiologi
Sebagai reaksi terhadap virus maka terjadi eksudat yang serous dan proliferasi sel mononukleus dan
beberapa sel polimorfonukleus disekitar kapiler. Kelainan ini terdapat pada kulit, selaput lendir nasofaring,
bronkus dan konjungtiva.
Penularan : secara droplet terutama selama stadium kataralis. Umumnya menyerang pada usia 6
bulan sampai 5 tahun.
Biasanya ada hiperplasi jaringan limfoid, terutama pada apendiks, dimana sel raksasa multinukleus
(sel raksasa retikuloendotelial Warthin- Finkeldey) dapat ditemukan. Di kulit, reaksi terutama menonjol
sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut. Bercak koplik terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi sel
endotel serupa dengan bercak pada lesi kulit. Reaksi radang menyeluruh pada mukosa bukal dan faring
meluas kedalam jaringan limfoid dan membrana mukosa trakeobronkial. Pneumonitis interstisial akibat dari
virus campak mengambil bentuk pneumonia sel raksasa Hecht. Bronkopneumoni dapat disebabkan oleh
infeksi bakteri sekunder.
1
Gambaran Klinis
Masa inkubasi sekitar 10-12 hari jika gejala-gejala prodromal pertama dipilih sebagai waktu mulai,
atau sekitar 14 hari jika munculnya ruam yang dipilih, jarang masa inkubasi dapat sependek 6-10 hari.
Kenaikan ringan pada suhu dapat terjadi 9-10 hari dari hari infeksi dan kemudian menurun selama sekitar 24
jam.
Penyakit ini dibagi dalam 3 stadium, yaitu :
1. Stadium kataral (prodromal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4- 5 hari disertai panas (38,5 ºC), malaise, batuk,
nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum
timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai.
Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya di
mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang ditemukan di bibir bawah tengah atau palatum.
Kadang-kadang terdapat makula halus yang kemudian menghilang sebelum stadium erupsi.
Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia. Secara klinis, gambaran penyakit
menyerupai influenza dan sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosis perkiraan yang besar dapat
dibuat bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita morbili dalam waktu 2
minggu terakhir.
2. Stadium erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum durum dan palatum
mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik. Terjadinya eritema yang berbentuk makula-papula
disertai menaiknya suhu badan. Diantara makula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema timbul
dibelakang telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-
kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota bawah
pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti terjadinya. Terdapat pembesaran kelenjar
getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher belakang. Terdapat pula sedikit splenomegali. Tidak
jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “black measles”, yaitu morbili
yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
3. Stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan
akan hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain
dengan eritema dan eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai
menjadi normal kecuali bila ada komplikasi. Pada akhirnya bercak akan mengelupas atau rontok atau
sembuh dengan sendirinya. Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar
dari sisa-sisa campak.
Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut : 1
Anamnesis
2
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk, pilek harus dicurigai atau di
diagnosis banding morbili.
2. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. Dapat disertai diare dan muntah.
4. Dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) : epistaksis, petekie, ekimosis.
5. Anak resiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita morbili (1 atau 2 minggu sebelumnya) dan
belum pernah vaksinasi campak.
Pemeriksaan fisik
1. Pada stadium kataral manifestasi yang tampak mungkin hanya demam (biasanya tinggi) dan tanda-
tanda nasofaringitis dan konjungtivitis.
2. Pada umunya anak tampak lemah.
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir stadium kataral).
Pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang khas : ruam makulopapular yang munculnya mulai dari
belakang telinga, mengikuti pertumbuhan rambut di dahi, muka, dan kemudian seluruh tubuh.
Penatalaksanaan
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk, dan memperbaiki keadaan
umum. Tindakan yang lain ialah pengobatan segera terhadap komplikasi yang timbul.
1. Istirahat
2. Pemberian makanan atau cairan yang cukup dan bergizi.
3. Medikamentosa :
Antipiretik : parasetamol 7,5 – 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam
Ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 – 100 mg tiap 2-6 jam, dosis
maksimum 600 mg/hari.
Antitusif perlu diberikan bila batuknya hebat/mengganggu, narcotic antitussive (codein)
tidak boleh digunakan.
Mukolitik bila perlu
Vitamin terutama vitamin A dan C. Vitamin A pada stadium kataral sangat bermanfaat.
Komplikasi
Bila ada, berupa komplikasi segera:
Trakeobronkitis dan laringotrakeitis biasanya telah ada, merupakan sebagian dari manifestasi
morbili.
Otitis media merupakan komplikasi paling sering terjadi, harus dicurigai bila demam tetap tinggi
pada hari ketiga atau keempat sakit.
Bronkopneumonia / bronkiolitis oleh virus morbili sendiri atau infksi sekunder (oleh pneumokokus,
hemofilus influenzae) dengan gejala batuk menghebat, timbul sesak nafas.
Aktivasi tuberkulosis laten.
Lain-lain (jarang) : ensefalitis, miokarditis, tromboflebitis, sindrom Guillain-Barre, dan lain-lain.
3
Pada penyakit morbili terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi alergi (uji
tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif). Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi
komplikasi sekunder seperti otitis media akut, ensefalitis atau bronkopneumonia.
Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh virus morbili atau oleh virus Pneumococcus,
Streptococcus, Staphylococcus. Bronkopneumonia dapat menyebabkan kematian bayi yang masih muda,
anak dengan malnutrisi energi protein, penderita penyakit menahun, leukemia dan lain-lain. Oleh karena itu
pada keadaan tertentu perlu dilakukan pencegahan.
Komplikasi neurologis pada morbili dapat berupa hemiplegi, paraplegi, afasia, gangguan mental,
neuritis optika dan ensefalitis. Ensefalitis morbili dapat terjadi sebagai komplikasi pada anak yang sedang
menderita morbili atau dalam satu bulan setelah mendapat imunisasi dengan vaksin virus morbili hidup
(ensefalitis morbili akut), pada penderita yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif
(immunosuppresive measles encephalopathy) dan sebagai subacute Scleroting panencephalitis (SSPE).
Ensefalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian rendah dan sisa defisit
neurologis sedikit. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili adalah 1: 1.000 kasus, sedangkan
ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16 tiap 1.000.000 dosis.
SSPE adalah suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat. Penyakit ini progresif
dan fatal serta ditemukan pada anak dan orang dewasa. Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba
seperti kekacauan mental, disfungsi motorik, kejang dan koma. Perjalanan klinis lambat dan sebagian besar
penderita meninggal dunia dalam 6 bulan – 3 tahun setelah terjadi gejala pertama. Meskipun demikian remisi
spontan masih bisa terjadi.
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbili memegang peranan dalam
patogenesisnya. Biasanya anak menderita morbili sebelum umur 2 tahun sedangkan SSPE bisa timbul
sampai 7 tahun setelah morbili. SSPE yang terjadi setelah vaksinasi morbili didapatkan kira-kira 3 tahun
kemudian. Kemungkinan menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5 – 1,1 tiap 10 juta, sedangkan
setelah infeksi morbili sebesar 5,2 – 9,7 tiap 10 juta.
Immunosuppresive measles encephalopathy didapatkan pada anak dengan morbili yang sedang
menderita defisiensi imunologik karena keganasan atau karena pemakaian obat-obatan imunosupresif.
Pencegahan
Imunisasi aktif ini dilakukan dengan menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Vaksin tersebut
diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pencegahan juga dengan
imunisasi pasif.
Penyakit morbili ini dapat dicegah dengan :
1. Imunisasi aktif
Dilakukan dengan pemberian “live attenuated measles vaccine”. Mula-mula digunakan strain
Edmonston B, tetapi karena strain ini menyebabkan panas tinggi dan eksantem pada hari ketujuh sampai
hari kesepuluh setelah vaksinasi, maka strain Edmonston B diberikan bersama-sama dengan globulin
gama padalengan yang lain.
4
Sekarang digunakan strain Schwartz dan Moraten dan tidak diberikan globulin gama. Vaksin
tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan
serologis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai berkurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan
untuk memberikan vaksin morbili tersebut pada anak berumur 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan
diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibody secara baik karena masih ada antibody dari ibu. Tap
dianjurkan untuk anak yang tinggal di daerah endemis morbili dan terdapat banyak tuberkolosis diberikan
vaksinasi pada umur 6 bulan dan revaksinasi pada umur 15 bulan. Di Indonesia saat ini masih dianjurkan
memberikan vaksin morbili pada anak berumur 9 bulan ke atas. Vaksin tersebut dapat pula diberikan pada
orang yang alergi terhadap telur karena vaksin ini pun ditumbuhkan alam biakan jaringan janin ayam yang
secara antigen berbeda dengan protein telur. Namun, jika terdapat suatu penyakit alergi sebaiknya
vaksinasi ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin morbili juga dapat diberikan kepada penderita
tuberculosis aktif yang sedang medapat tuberkulostatika. Vaksin morbili tidak boleh diberikan kepada
wanita hamil, anak dengan tuberculosis yang tidak diobati, penderita leukemia, dan anak yang sedang
mendapat pengobatan immunosupresif. Vaksin morbili juga dapat diberikan sebagai vaksin morbili saja
atau sebagai vaksin measles-mumps-rubella (MMR).
Indonesia juga menggunakan vaksin morbili buatan perum Biofarma yang terdiri dari virus morbili
yang hidup dan sangat dilemahkan, strain Schwartz dan ditumbuhkan dalam jaringan janin ayam dan
kemudian dibeku-keringkan. Tiap dosis dari vaksin yang sudah dilaurkan mengandung virus morbili tidak
kurang dari 1000 TCID50 dan neomisin B sulfat tidak lebih dari 50 mikrogram. Vaksin ini diberikan
secara subkutan sebanyak 0,5 ml pada umur 9 bulan.
Apabila seseorang telah mendapat immunoglobulin atau transfuse darah maka vaaksinasi dengan
vaksin morbili harus ditangguhkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Vaksin ini tidak boleh diberikan pada
anak dengan infeksi saluran pernafasan akut atau infeksi akut lainnya yang disertai demam,anak dengan
defisiensi imunologik, anak yang sedang diberi pengobatan intensif dengan obat imunosupresif.
2. Imunisasi pasif
Baik diketahui bahwa morbili yang perjalanan penyakitnya diperingan dengan pemberian globulin-
gama dapat mengakibatkan ensefalitis dan penyebaran proses tuberculosis.
Atau singkatnya
1. Imunisasi aktif. Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12-15 bulan tetapi mungkin
diberikan lebih awal pada daerah dimana penyakit terjadi. Imunisasi kedua terhadap campak
biasanya diberikan sebagai campak-parotitis-rubella (measles-mumps-rubella/MMR).
2. Imunisasi Pasif.
Prognosis
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan
umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.
5
Infeksi virus dengue
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan
keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
A. Demam Dengue
Gejala klasik dari demam dengue ialah gejala demam tinggi mendadak, kadang-kadang bifasik
(saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang, atau sendi, mual,
muntah, dan timbulnya ruam. Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2
hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7
terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia. Hasil
pemeriksaan darah menunjukkan leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni. Masa penyembuhan
dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan, terutama pada dewasa. Pada keadaan wabah telah dilaporkan
adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti : epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
saluran cerna, hematuri, dan menoragi. Demam Dengue (DD). yang disertai dengan perdarahan harus
dibedakan dengan Demam Berdarah Dengue (DBD). Pada penderita Demam Dengue tidak dijumpai
kebocoran plasma sedangkan pada penderita DBD dijumpai kebocoran plasma yang dibuktikan dengan
adanya hemokonsentrasi, pleural efusi dan asites.
B. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Faktor Resiko
Faktor-faktor peningkatan dan penyebaran virus :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemik
4. Peningkatan sarana transportasi
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus tergantung pada :
1. Status imunitas pejamu
2. Banyaknya jumlah vektor
3. Transmisi virus
4. Virulensia virus
5. Kondisi geogravis setempat, biasanya nyamuk aedes dapat bertahan pada suhu 28 – 32oC dengan
kelembaban udara yang tinggi.
Biasanya kasus DBD mulai muncul pada bulan januari dan meningkat tajam sekitar bulan april
sampai mei.
6
Penularan
Ada 3 faktor penting dalam penularan DBD yaitu manusia, virus dan vektor perantara. Vektor virus
Dengue adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegepty. Walaupun ada juga species Aedes yang lain yang
dapat menularkan virus dengue seperti Aedes albopticus Aedes polynesiens tapi peran nyamuk-nyamuk
tersebut tidak begitu berpengaruh. Nyamuk aedes dapat mengandung virus dengue saat menggigit
manusia yang sedang viremia (masa viremia manusia adalah selama dua hari sebelum panas sampai lima hari
setelah demam timbul), virus yang berada di kelenjar air liur nyamuk aedes beerkembang biak selama 8-10
hari (extrinsic incubation period) sebelum digigitkan kepada manusia. Virus pada nyamuk betina dapat
ditularkan kepada telur-telurnya (transovanon transmision), namun hal ini tidak begitu penting. Sekali virus
dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk. Nyamuk tersebut dapat menularkab virus DEN
seumur hidupnya. Masa inkubasi virus DEN setelah digigitkan ke manusia adalah selama 46 hari.
a. Etiologi
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan
keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang
sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-
1, DEN2, DEN-3, DEN-4. Infeksi pada salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak
dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Hal yang biasa jika
ditemukan infeksi oleh 3 atau 4 serotipe pada daerah endemis dengue. Keempat serotipe virus dengue
tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Adapun serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat terutama di Indonesia (Depkes, 2003).
b. Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David
Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda (Depkes, 2003).. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan
7
penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang-kadang disebut juga
sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut begitu karena demam yang terjadi menghilang dalam waktu
lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue
di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak
tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang
ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan
Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang
sangat tinggi. Saat ini, insiden tidak hanya terjadi di kota besar tetapi juga pada provinsi di seluruh
Indonesia. Hal demikian mungkin disebabkan oleh sarana yang masih minim.
Adapun dapat diketahui bersama bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan
penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang
tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Dalam kurun waktu sekitar 30 – 40 tahun setelah ditemukan virus
DHF di Indonesia, peningkatan yang terjadi sangatlah pesat. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor yang telah
disebutkan.
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang
tinggi sekitar 28-32°C dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk
jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola
waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue
terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei
setiap tahun. Lebih tepatnya sering terjadi setelah musim penghujan. Untuk daerah lain, rata-rata serupa tapi
tergantung dari kelembaban dan curah hujan tiap daerah. Di Kalimantan, kasusnya sudah mulai sejak bulan
Oktober akhir.
c. Patogenesis dan patologi
Berawal dari infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spectrum manifestasi klinis yang
bervariasi pada setiap tipe demam, antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),
dengue fever, dengue hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS). DHF dan DSS sebagai
kasus yang paling dominan, diperkirakan telah terjadi 150-200 kasus silent dengue infection.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) atau dengue shock syndrome (DSS) masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini
menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe
virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat (IKA,
1985). Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog tersebut maka virus tidak
dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Disimpulakan pula
mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan
8
replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi
mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi
virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat ditemukannya virus dalam
jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat
aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan cairan di dalam rongga serosa
(efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia,
yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu, pengobatan syok sangat diutamakan guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus lain dapat mengalami perubahan
genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain
itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis
tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Pembahasan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem
komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel
endotel pembuluh darah yang dapat dilihat pada gambar 2. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
9
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit
melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah
trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan
aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.
Mengenai pembahasan patogenesis terjadinya DHF, perlu ditekankan bahwa proses imunologis
sangat berperan. Terdapat 4 manifestasi klinis penanda DHF, antara lain demam tinggi, perdarahan,
terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan circulatory failure. Patofisiologinya yang membedakan DHF
dengan demam dengue ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma,
hipotensi, trombositopeni, dan dietasis hemoragik.
10
Gejala Demam Berdarah
Keluhan dan gejala yang sering dialami oleh penderita DBD yaitu:
1. Bintik Merah, Seringkali di awal demam, tidak ada bintik merah. Ada beberapa kasus juga yang
memang tanpa bintik merah.
2. Panas Tinggi, Panas bisa turun naik, bisa juga tidak turun sama sekali sepanjang hari.
3. Menggigil dan terasa ngilu tulang, Perasaan dingin di sekujur tubuh dan ada titik tertentu di tubuh
terasa ngilu menusuk tulang.
4. Buang Air Besar berwarna hitam dan keras, Gejala ini terlihat jika trombosit sudah mulai rendah
5. Trombosit mulai turun, Kadar trombosit bisa diketahui dengan tes darah di laboratorium.
6. Sakit saat mata memandang ke samping, Beberapa teman mengalami ini, terasa sakit jika melirik ke
samping kiri dan kanan.
7. Tengkuk sakit, Terkadang juga, terjadi pembengkakan di tengkuk dan terasa sakit
8. Rasa sakit kepala yang parah, khususnya dirasakan di daerah belakang mata, pilek dan flu
9. Radang pada persendian
10. Hilang nafsu makan, mual, muntah, dan diare
11. Letih, lemah, lesu
12. Pada penderita yang sudah parah biasanya menyebabkan pendarahanpada mulut dan hidung
Sesudah masa tunas / inkubasi yang berlangsung selama 3 – 15 hari, orang yang tertular dapat
mengalami/menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini, yaitu:
Bentuk abortif, penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.
Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4 – 7 hari, nyeri-nyeri pada tulang, diikuti
dengan munculnya bintik-bintik atau bercak-bercak perdarahan di bawah kulit.
Dengue Haemorrhagic Fever (Demam berdarah dengue/DBD) gejalanya sama dengan dengue klasik
ditambah dengan perdarahan dari hidung, mulut, dubur dsb.
Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DBD ditambah dengan syok / presyok pada bentuk
ini sering terjadi kematian.
Karena seringnya terjadi perdarahan dan syok maka pada penyakit ini angka kematiannya cukup tinggi, oleh
karena itu setiap Penderita yang diduga menderita Penyakit Demam Berdarah dalam tingkat yang manapun
harus segera dibawa ke dokter atau Rumah Sakit, mengingat sewaktu-waktu dapat mengalami syok/
kematian.
Gejala klinis DD dan DBD
DD Gejala DBD
++ Nyeri kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri otot +
++ Ruam kulit +
++ Diare +
11
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Lymphadenopathi +
+ Kejang +
- Kesadaran menurun ++
- Obstipasi +
+ Uji tourniquet (+) ++
++ Petechiae +++
- Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
- Shock +++
Gambaran Klinis
a. Masa inkubasi biasanya berkisar antara 4 – 7 hari
b. Demam. Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus berlangsung 2 – 7
hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas
mendadak turun.
c. Tanda-Tanda Perdarahan. Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya
berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi
perdarahan sebagai berikut: Petekie, Purpura, Ekimosis, Perdarahan konjungtiva, Epistaksis,
Pendarahan gusi, Hematemesis, Melena dan Hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas
gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji
Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan
keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar
penderita DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak,
demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan
positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah
bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti).
d. Pembesaran Hati (Hepatomegali)
- Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit
- Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
- Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.
e. Renjatan (syok)
Tanda-tanda renjatan:
Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki
Penderita menjadi gelisah
12
Sianosis di sekitar mulut
Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba
Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang.
Sebab renjatan karena kebocoran plasma ke ekstra vaskuler melewati kapiler yang terganggu.
f. Trombositopeni
Jumlah trombosit 100.000/ul biasanya ditemukan diantara hari ke 3 – 7 sakit
Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal
atau menurun.
Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari
sampai suhu turun.
g. Hemokonsentrasi (Peningkatan Hematokrit)
Peningkatnya nilai hematokrit (Ht) menggambarakan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD,
merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan
hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit.
Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit • 20% (misalnya 35% menjadi 42%: 35/100 x 42 = 7,
35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat
perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan.
Penurunan nilai hematokrit • 20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai
nilai setelah pemberian cairan.
h. Gejala klinik lain
Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual,
muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang
Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering
di diagnosis sebagai ensefalitis
Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan
renjatan
Diagnosis
1. Tersangka Demam Berdarah Dengue
Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang
jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji
Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/•l)
2. Penderita Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai penderita DBD apabila
demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2 – 7 hari disertai
manifestasi perdarahan (sekurangkurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi
(diagnosis klinis). atau hasil pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD, menunjukkan hasil positif pada
pemeriksaan HI test atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue
rapid test (diagnosis laboratoris)
13
TATALAKSANA
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai
akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter danperawat
yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dankoloid, serta bank darah yang
senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini danmemberikan nasehat untuk segera dirawat
bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak baik,
dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke
fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
1. Demam dengue( Dengue Fever/ DF )
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
Dianjurkan :
Tirah baring, selama masih demam.
Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak
dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping air putih,
dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
Monitor suhu, jumlah trombosit danhematokrit sampai fase konvalesen. Pada pasien DD, saat suhu
turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus
diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini
disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan
pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada
DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri
perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan,
perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan,
sehingga harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada
Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu
lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).
2. Demam Berdarah Dengue (dengue hemorrhagic fever/ DHF)
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh dengan faktor-
faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus dengue dapat menyebabkan
14
keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), demam ringan yang tidak spesifik
(undifferentiated febrile illness), Demam Dengue, atau bentuk yang lebih berat yaitu Demam Berdarah
Dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD).
Ketentuan Umum Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan hemostasis.
Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis hemoragik, hepatomegali,
dankegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan Ease awal terjadinya kegagalan
sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dangangguan
hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat
diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada
10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit
20% atau lebih mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan
garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat
dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C danpads ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik dansuportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak
mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.
Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama ~demam pada DBD. Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan
seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi,
anoreksia danmuntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi
15
dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih
minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik
diberikan antikonvulsif selama demam.
Tabel
Dosis parasetamol 1M enurut Kelompok Umur
Umur (tahun) Parasetamol ( tiap kali pemberian )
Dosis ( mg ) Tablet (1tab=500mg)
< 1 60 1/8
1 - 3 60 - 125 1/8 – ¼
4 - 6 125 - 250 ¼ - ½
7 - 12 250 - 500 ½ - 1
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah waktu
transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada
umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa
minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb.
Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase a-
febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang.
Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana danberhati-hati. Kebutuhan cairan
awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit,
danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin mencukupi
kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa
5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis
cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai
cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%).
16
Kebutuhan Cairan
Tabel 1. Kebutuhan cairan untuk dehidrasi sedang
Berat waktu masuk (kg) Jumlah cairan ml/kg BB per hari
< 7 220
7 – 11 165
12 – 18 132
> 18 88
Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan pasien serta
derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan pasien
serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan
dapat diperhitungkan dari tabel berikut.
Tabel 2. Kebutuhan cairan rumatan
Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per kg BB
10 – 20 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg)
> 20 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg)
Dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit.
Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan
ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-
tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan
nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit
atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.
Kasus DBD derajat I & II
Pada hari ke 3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini mempunyai resiko
terjadinya syok. Untuk mengantisipasi kejadian syok tersebut, penderita disarankan diinfus cairan
kristaloid dengan tetesan berdasarkan tatanan 7, 5, 3. Pada saat fase panas penderita dianjurkan
banyak minum air buah atau oralit yang biasa dipakai untuk mengatasi diare. Apabila hematokrit
meningkat lebih dari 20% dari harga normal, merupakan indikator adanya kebocoran plasma dan
ssebaiknya penderita dirawat di ruang observasi di pusat rehidrasi selama kurun waktu 12-24 jam.
17
Penderita DBD yang gelisah dengan ujung ekstremitas yang teraba dingin, nyeri perut dan
produksi air kemih yang kurang sebaiknya dianjurkan rawat inap. Penderita dengan tanda-tanda
perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan
pengganti.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama dengan seperti yang digunakan pada
kasus diare dengan dehidrasi sedang (6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati.
Kebutuhan cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 203 jam pertama dan selanjutnya
tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan
hematokrit ecara seri ditentukan setiap 4-6 jam dan mencatat data vital dianjurkan setiap saat untuk
menentukan atau mengatur agar memperoleh jumlah cairan pengganti yang cuykup dan cegah
pemberian transfusi berulang. Perhitungan secara kasar sebagai berikut :
(ml/jam) = ( tetesan / menit ) x 3
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan pengganti yang cukup untuk
mempertahankan sirkulasi secara efektif selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan
yang berlebihan akan menyebabkan kegagalan faal pernafasan (efusi pleura dan asites),
menumpuknya cairan dalam jaringan paru yang berakhir dengan edema.
Kristaloid.
o Larutan ringer laktat (RL)
o Larutan ringer asetat (RA)
o Larutan garam faali (GF)
o Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
o Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
o Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)
(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh
larutan yang mengandung dekstran)
Koloid.
Dekstran 40
Plasma
Albumin
Kasus DBD derajat III & IV
“Dengue Shock Syndrome” (sindrome renjatan dengue) termasuk kasus kegawatan yang
membutuhkan penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
18
Biasanya dijumpai kelaian asam basa dan elektrolit (hiponatremi). Dalam hal ini perlu dipikirkan
kemungkinan dapat terjadi DIC. Terkumpulnya asam dalam darah mendorong terjadinya DIC yang dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan hebat dan renjatan yang sukar diatasi.
Penggantian secara cepat plasma yang hilang digunakan larutan gaam isotonik (Ringer Laktat, 5%
Dekstrose dalam larutan Ringer Laktat atau 5% Dekstrose dalam larutan Ringer Asetat dan larutan
normal garam faali) dengan jumlah 10-20 ml/kg/1 jam atau pada kasus yang sangat berat (derajat IV)
dapat diberikan bolus 10 ml/kg (1 atau 2x).
Jika syok berlangsung terus dengan hematokrit yang tinggi, larutan koloidal (dekstran dengan berat
molekul 40.000 di dalam larutan normal garam faal atau plasma) dapat diberikan dengan jumlah 10-20
ml/kg/jam. Selanjutnya pemberian cairan infus dilanjutkan dengan tetesan yang diatur sesuai dengan
plasma yang hilang dan sebagai petunjuk digunakan harga hematokrit dan tanda-tanda vital yang
ditemukan selama kurun waktu 24-48 jam. Pemasangan cetral venous pressure dan kateter urinal penting
untuk penatalaksanaan penderita DBD yang sangat berat dan sukar diatasi. Cairan koloidal diindikasikan
pada kasus dengan kebocoran plasma yang banyak sekali yang telah memperoleh cairan kristaloid yang
cukup banyak.
Pada kasus bayi, dianjurkan 5% dekstrose di dalam setengah larutan normal garam faali (5%
dekstrose ½NSS) dipakai pada awal memperbaiki keadaan penderita dan 5% dekstrose di dalam 1/3
larutan normal garam faali boleh diberikan pada bayi dibawah 1 tahun, jika kadar natrium dalam darah
normal. Infus dapat dihentikan bila hematokrit turun sampai 40% dengan tanda vital stabil dan normal.
Produksi urine baik merupakan indikasi sirkulasi dalam ginjal cukup baik. Nafsu makan yang meningkat
menjadi normal dan produksi urine yang cukup merupakan tanda penyembuhan.
Pada umumnya 48 jam sesudah terjadi kebocoran atau renjatan tidak lagi membutuhkan cairan.
Reabsorbsi plasma yang telah keluar dari pembuluh darah membutuhkan waktu 1-2 hari sesudahnya.
Jika pemberian cairan berkelebihan dapat terjadi hipervolemi, kegagalan faal jantung dan edema baru.
Dalam hal ini hematokrit yang menurun pada saat reabsorbsi jangan diintepretasikan sebagai perdarahan
dalam organ. Pada fase reabsorbsi ini tekanan nadi kuat (20 mmHg) dan produksi urine cukup dengan
tanda-tanda vital yang baik.
3. Sindrom Syok Dengue ( dengue shock syndrome / DSS).
Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syek
dansembuh kembali bila diobati segera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur
dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20 ml/kg BB/jam seiama 30 menit,
bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera
Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat
mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal
danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
19
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam
bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500
ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid
dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan; maka
dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah
dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infuse dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit. Pemeriksaan
Hematokrit untuk Memantau
Penggantian Volume Plasma Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah
membaik dankadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam
dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan
CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat
dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam
atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu
diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada
saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah
pemberian cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal
jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,
tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, dieresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah
dankadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu
terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi
asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin
tidak diperlukan. Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada
anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada
syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi
perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage)
apabila disertai hemokonsentrasi.
Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan
20
untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar
trombosit.
Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif.
KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan
kematian. Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan fibrinogen
degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya
KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.
Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil
pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada
monitoring adalah
Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15 30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi.
Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien stabil.
setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan tetesan,
untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah benar-
benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah
melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat,
maka
selanjutnya furasemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum
dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamia perlu dipertimbangkan.
Ruang Rawat Khusus Untuk DBD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang rawat
khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi
dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia
selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat
didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan
secara intravena, serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
Kreteria Memulangkan Pasien Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
o Tampak perbaikan secara klinis
o Tidak demam selaina 24 jam tanpa antipiretik
o Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
o asidosis)
21
o Hematokrit stabil
o Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
o Tiga hari setelah syok teratasi
o Nafsu makan membaik
Tatalaksana Kasus Tersangka DBD
Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu orang tua/anggota
keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/ gejala yang mungkin merupakan gejala awal
penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang
jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak tampak lesu.
Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu
1. Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dankaki dingin,
kulit lembab), muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak darah, maka
pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan dengan bagan 3,4,5)
2. Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet/uji Rumple Leede/uji bendung
danhitung trombosit;
Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit < 100.000/pl, pasien di observasi (tatalaksana kasus
tersangka DBD ) Bagan 3
Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/pl atau normal , pasien boleh pulang dengan
pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum banyak
seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta diberikan obat antipiretik golongan parasetamol
Jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga,
evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan
dingin, sakit perut, berak hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht, dantrombosit.
Apabila terdapat tanda
Syok atau terdapat peningkatan Hb/Ht danatau penurunan trombosit, segera kembali ke rumah
sakit (lihat Lampiran 1 formulir untuk orang tua)
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I) atau disertai
perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada Bagan
2 Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5
menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirop, jus buah, susu atau oralit.
Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu > 38.5°C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat
diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya
diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping
itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit setiap 2 jam. Apabila pada tindak lanjut telah
terjadi perbaikan klinis dan laboratorium anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan
trombosit menurun, maka infus cairan diganti dengan ringer laktat.
22
Tatalaksana Kasus DBD
Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas,
disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan kulit danmukosa yaitu petekie atau *mimisan)
disertai penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau dekstrosa 5% dalam ringer
laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital dankadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam.
Selanjutnya evaluasi 12-24 jam
1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak Nampak tenang, tekanan nadi kuat,
tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan
berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya
tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam danakhirnya cairan dihentikan
setelah 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila keadaan klinis pasien tidak
ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan), frekuensi, nadi meningkat, diuresis
kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi
10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila
terjadi distres pernafasan danHt naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht
turun berarti terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis
membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad 1.
Sidrom Syok Dengue (SSD)
Sindrom Syok Dengue ialah DBD dengan gejala, gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak
teraba, tekanan nadi menyempit (misalnya sistolik 90 dandiastolik 80 mmHg, jadi tekanan nadi <_ 20
mmHg), bibir biru, tangan kaki dingin, tidak ada produksi urin.
1. Segera beri infus kristaloid (ringer laktat atau NaCl 0,9%) 10-20m1/kg BB secepatnya (diberikan dalam
bolus selama 30 menit) danoksigen 2 liter/ menit. Untuk SSD berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba
dantensi tidak terukur) diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat butir 2). Observasi tensi
dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dantrombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dangula darah.
2. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat tetap dilanjutkan 15-20 ml/kg
BB, ditambah plasma (fresh frozen plasma) atau koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kg BB,
maksimal 30 ml/kg BB (koloid diberikan pada lajur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, danperiksa
hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit, dangula darah.
Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/ hematokrit, tekanan nadi >
20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 mm/kg BB/jam. Volume 10
ml/kg BB /jam dapat dipertahankan sampai 24 jam atau sampai klinis stabil danhematokrit
menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/kg/BB sampai keadaan klinis
danhematokrit stabil kemudian secara bertahap cairan diturunkan 5 ml danseterusnya 3ml/kg
BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Observasi
23
klinis, tekanan darah, nadi, jumlah urin dikerjakan tiapjam (usahakan urin >_ 1 ml/kg
BB/jam, BD urin < 1.020) danpemeriksaan hematokrit & trombosit tiap 4-6 jam sampai
keadaan umum baik.
Apabila syok belum dapat teratasi, sedangkan kadar hematokrit menurun tetapi masih > 40
vol % berikan darah dalam volume kecil 10ml/kgBB. Apabila tampak perdarahan masif,
berikan darah segar 20ml/kgBB danlanjutkan cairan kristaloid. 10ml/kg BB/jam.
Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm H20) pada syok berat kadang-kadang diperlukan,
sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan.
Apabila syok masih belum teratasi, pasang CVP untuk mengetahui kebutuhan cairan
danpasang kateter urin untuk mengetahui jumlah urin. Apabila CVP normal (>_ 10
mmH20), maka diberikan dopamin.
Prognosis
Bergantung pada beratnya penyakit. Pada bentuk paralitik bergantung kepada bagian yang terkena. Bentuk
spiral dengan paralysis dapat di tolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tipe bulber prognosisnya
buruk ,kematian biasanya karena kegagalam fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan napas .
otot-otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali menunjukkan paralisys tipe flaccid dengan atonia ,arefleksi
dan degenerasi .
- Jelek bila :
o Encephalitis / encephalopathi (+)
- Jelek o.k. :
o Keterlambatan datang berobat
o Keterlambatan / kesalahan diagnosa
o Kurang mengenal tanda DBD yang kurang lazim
o Kurang mengenal tanda kegawatan
Komplikasi residual paralysis tersebut adalah kontraktur terutama sndi ,subluksasi bila otot yang terkena
sekitar sendi , perubahan tropic oleh sirkulasi yang kurang sempurna sehingga mudah terjadi ulserasi . pada
keadaan ini di berikan pengobatan secara ortopedik.
Pencegahan
Jangan masuk daerah epidemic.
Dalam daerah epidemic jangan melakukan “stress” yang berat seperti tonsilektomi,suntikan dan
sebagainya.
Mengurangi aktivitas jasmani yang berlebihan(tidak boleh terlalu lelah)
Imunisasi aktif
Memberantas vektor :
o Fogging (malathion)
o Abate
24
o Pembersihan sarang nyamuk 3 M :
Menguras tempat penampungan air secara teratur
Menutup tempat penampungan air
Mengubur / menyingkirkan kaleng, botol bekas, plastik sehingga tidak menjadi
sarang nyamuk
Menghindari gigitan nyamuk (kelambu, kawat kasa, kamar cukup sinar dan tidak ada pakaian
bergantung)
Vaksin
Pemeriksaaan Darah Lengkap
Nilai Normal pada anak-anak :
Leukosit : 5.000 – 10.000 /l
Trombosit : 150.000 – 400.000 /l
Hemoglobin : 11,2 - 16,5 mg/dl
Hematocrit : 35 - 49 %
Uji Tournoquet
Uji Tourniquet adalah Pembendungan dengan menggunakan manset pada 2/3 lengan atas yang bertujuan
untuk melihat apakah ada perdarahan dalam atau tidak, jika ada, maka akan muncul bintik-bintik merah kecil
di bagian distal daerah yang dibendung, yang dinamakan ptekie. Jika muncul ptekie lebih dari 10, maka uji
tourniquet dinyatakan positif (+).
Prosedur :
1. Tensi pasien hingga didapatkan tekanan systole (bunyi korotkoff I) dan diastole (Bunyi korotkoff
IV).
2. Jumlahkan nilai sistole dan diastole, kemudian dibagi 2.
Misal : sistole = 90 mmHg
Diastole = 60 mmHg
Uji Tourniquet pada = (90 + 60) / 2 = 75 mmHg
3. Tahan manset pada nilai no.2 (75 mmHg) selama 5 menit.
4. Setelah 5 menit, lepas manset kemudian perhatikan dan hitung jumlah ptekie yang muncul.
25