program studi antropologi fakultas ilmu budaya …

62
i DETERMINAN SOSIAL BUDAYA PRAKTIK STIGMATISASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ) DAN KELUARGANYA OLEH Dr. Bambang, D.P.,S.S.,M.Hum. NIDN: 0008037103 PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA DESEMBER 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

i

DETERMINAN SOSIAL BUDAYA PRAKTIK STIGMATISASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

DAN KELUARGANYA

OLEH

Dr. Bambang, D.P.,S.S.,M.Hum. NIDN: 0008037103

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS UDAYANA

DESEMBER 2018

Page 2: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

I. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada Orang

Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ..................................................................... 1

1.1 Pengabaian Pengobatan secara cepat dan tepat ........................................... 1

1.2 Pengucilan Sosial ....................................................................................... 3

1.3 Ketidakberdayaan ...................................................................................... 5

1.4 Diskriminasi ............................................................................................. 9

II. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada

Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) ........................................... 13

2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani ..................... 13

2.2 Pilihan Perilaku Perawatan Tradisional ..................................................... 16

2.3 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern ........................................ 16

2.4 Pilihan Perawatan Kedukunan ................................................................... 22

2.5 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern ......................................... 28

2.6 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan ................................................... 36

2.7 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien ....................... 45

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan................................................................................................ 52

3.2 Saran ......................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

1

DETERMINAN SOSIAL BUDAYA PRAKTIK STIGMATISASI ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

DAN KELUARGANYA

I. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada Orang

Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

1.1 Pengabaian Pengobatan secara Cepat dan Tepat

Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak

pada penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Stigma terhadap penderita

gangguan jiwa secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat di

sekitar penderita gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat

terhadap keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Hal itu tidak

jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini melakukan

perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan keluarga,

masyarakat, dan lingkungan. Konstruksi stigmatisasi pada penderita gangguan jiwa

tersebut berpengaruh pada kondisi psikologis penderita gangguan jiwa itu sendiri.

Artinya, penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk mau menerima

ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa. Implikasinya

pertolongan yang sekiranya dapat dilakukan secara dini terhadap penderita menjadi

terlambat. Salah seorang keluarga pasien dari Klungkung AA menuturkan sebagai

berikut.

“...itulah, dari awal saya sudah punya firasat kalau sakit kakak saya ini bukan karena faktor niskala. Kalau karena sebab niskala, gangguannya tidak selama itu, paling dalam satu atau dua hari atau beberapa hari saja dengan panggil Pak Mangku sudah baikan, tapi keluarga kakak saya terutama suaminya tetap ngotot kalau istrinya sakit karena dibuat orang. Ya jadinya seperti ini, bolak-balik ke balian satu ke balian lain, ya ngak ada perubahan tetap saja. Terlebih sejak terjadi gangguan, kakak saya itu oleh suaminya dilarang untuk keluar rumah dengan alasan dia ngak mau istrinya dipermalukan di muka umum dan bilang itu sebagai bukti kalau dia masih sayang ke kakak saya. Kalau saya tanya, kakak saya itu ngerasa ngak ada apa-apa dengan dirinya, ngerasa ngak ada gangguan. Jelas-jelas kalau kumat suka teriak-teriak sambil ngumpat-ngumpat ngak jelas, ngomong sendiri, dan kalau sudah ngelamun bisa betah berjam-jam. Sering sudah saya bilang pelan-pelan ke kakak iparku untuk periksa saja ke Rumah Sakit Jiwa di Bangli, tapi dia malah marah dan bilang ke saya apa mau kakakmu dibilang buduh (gila) dan dijauhi orang”.

Page 4: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

2

Dari penuturan AA di atas diketahui bagaimana keluarga penderita (suaminya)

memiliki kepercayaan bahwa gangguan yang dialami oleh istrinya karena guna-

guna/dibuat orang (personalistik). Implikasinya adalah dalam pengobatan yang

dilakukan untuk mengatasi gangguan pada istrinya tersebut di bawa ke dukun (balian).

Walaupun belum menampakkan hasil, suaminya terus berpindah dari satu balian ke

balian yang lain dalam usaha mencari hasil kesembuhan untuk istrinya. Di samping

itu, terlihat pula bagaimana anggota keluarga luas yang lain (dalam hal ini adik

iparnya) yang tidak sepandangan dengan kakak iparnya perihal gangguan yang

diderita oleh kakaknya tersebut. Dia sendiri percaya bahwa gangguan juga bisa berasal

dari hal-hal bersifat niskala. Akan tetapi, dalam kasus gangguan yang dialami

kakaknya tersebut berdasarkan gejala-gejala gangguan yang dimunculkan, dia

berkeyakinan bahwa sakit ataupun gangguan yang dialami oleh kakaknya bukan

karena buatan orang atau guna-guna, melainkan karena kondisi keseimbangan

kejiwaaannya sendiri (naturalistik).

Lebih jauh pandangan keluarga pasien juga melihat ruang bangsal-bangsal

yang tertutup rapat dan terkunci. Selain itu, juga terlihat lorong-lorong panjang dalam

balutan bangunan kokoh rumah sakit jiwa. Hal tersebut dalam paradigma masyarakat

hadir sebagai media politik kesehatan yang menguatkan proses stigmatisasi dan

berlakunya kontrol sosial di masyarakat. Artinya, secara sistematis juga memproduksi

kegilaan terus-menerus di masyarakat.

Implikasinya, keluarga dan penderita mengembangkan sikap pengabaian dan

penarikan diri dari stigma yang ada yang berakibat pada kondisi gangguan jiwa

penderita semakin berlarut-larut dan semakin kronis. Hal senada disampaikan oleh PT

salah seorang keluarga pasien seperti yang disampaikan berikut.

“...awalnya saya tidak percaya kalau kakak saya mengalami gangguan jiwa seperti ini. Ngak ada keturunan dalam keturunan keluarga besar kita yang ngalami sakit gini. Saat itu yang kami pikirkan hanya ngak mungkin kakak saya ngalami buduh, paling sakitnya dibuat orang karena sering ngomong sendiri dan ngelamun saja....jangan sampai tetangga tahu. Ngak kebayang kalau mereka tahu Pak kakak saya buduh...bisa jadi omongan orang nanti. Ternyata benar khan Pak...tetangga akhirnya tahu juga. Walau ada tetangga yang kasihan...banyak juga yang menghindar.Ya itu Pak, terpaksa saat itu kakak saya kita kunci dalam kamar ngak keluar rumah, keluar pun keluar

Page 5: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

3

kamar kalau mandi saja. Ya waktu itu pengobatan saya antar ke salah satu dukun di Gianyar, tapi ngak ada perubahan”. Berdasarkan penuturan yang disampaikan oleh PT di atas, diketahui bahwa

terjadi keterlambatan penanganan disebabkan oleh stigma terhadap penderita

gangguan jiwa. Dengan demikian, penderita gangguan jiwa akan cepat bertambah

parah. Apabila sudah dianggap mengganggu dan membahayakan, baik diri maupun

lingkungan sekitarnya, akan dengan sangat terpaksa dilakukan praktik pemasungan

(perantaian ataupun pengurungan).

1.2 Pengucilan Sosial

Keluarga penderita ataupun penderita sendiri memiliki penilaian sendiri

terhadap dokter jiwa (psikiater). Bagi pasien, dokter jiwa merupakan sosok yang harus

dihindari dan dijauhi. Jika terjalin relasi, keluarga ataupun penderita merasa takut akan

dikucilkan, takut tidak diterima di lingkungan masyarakatnya (bahkan oleh

keluarganya sendiri). Selain itu, juga takut akan menjadi bahan ejekan, olok-olokan,

dan gunjingan kalau orang lain mengetahui bahwa ia memiliki kelainan atau

penyimpangan. Hal tersebut akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri.

Gejalanya pun semakin hari semakin parah. Ia akan semakin tenggelam dalam

penyakit dan penyimpangan karena tidak mendapatkan terapi atau pertolongan yang

tepat sesuai dengan kebutuhannya. Kenyataan tersebut di atas dapat dilihat sebagai

representasi ideologis yang terdapat pada produksi pengetahuan kuasa masyarakat.

Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam konteks siapa

menguasai siapa atau siapa yang powerful sementara yang lain powerless. Kekuasaan

itu tersebar, berada di mana-mana (omnipresent), imanen terdapat dalam setiap relasi

sosial. Kekuasaan itu ada di mana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu,

melainkan karena ia datang dari mana pun. Stigmatisasi diberikan masyarakat kepada

penderita gangguan jiwa (social labeling) dan pengawasan sosial (social control)

menginstitusionalisasi para penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan

penuh instalasi kekuasaan rumah sakit jiwa. Hal tersebut merupakan akibat dari

situasi ketegangan antara disiplin kuasa governmentality masyarakat terhadap individu

penderita gangguan jiwa. Artinya, di dalamnya bersemayam rezim governmentality

Page 6: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

4

yang menghubungkan diri penderita dengan situasi pengasingan dan pengucilan sosial

penderita dalam balutan wajah regulasi sosial yang berlaku di masyarakat.

Persepsi yang terjadi pada keluarga pasien bahwa gangguan jiwa terjadi karena

“guna-guna” (personalistik) menyebabkan tindakan awal pencarian pengobatan secara

tradisional dengan mendatangi dukun. Akan tetapi, pengobatan dengan berbagai

dukun tidak memberikan kesembuhan, ternyata justru memperberat kondisi penderita.

Akhirnya, keluarga menggunakan sistem medis modern, yaitu berobat ke sarana

kesehatan. Pengobatan dengan medis modern memberikan kesembuhan. Namun,

setelah penderita gangguan jiwa kembali ke lingkungan keluarga dan masyarakat

mengalami kekambuhan lagi. Oleh karena itu, penanganan terakhir yang dilakukan

oleh keluarga adalah kembali dengan merantai, mengurung di kamar, dan memasung.

Hingga sekarang penanganan penderita gangguan jiwa belum memuaskan

disebabkan oleh ketidaktahuan (ignorancy), baik keluarga maupun masyarakat,

terhadap jenis gangguan jiwa. Salah satu di antaranya masih terdapat pandangan yang

negatif (stigma). Selain itu, juga masih ada pandangan bahwa gangguan jiwa bukanlah

suatu penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan, orang yang menderitanya tidak

mungkin bisa berfungsi secara normal di masyarakat. Persepsi yang muncul kemudian

dalam taraf yang lebih jauh akan menyebabkan orang tidak mau untuk mengetahui

permasalahan kesehatan jiwa, baik dalam dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam

kaitan tersebut, keberadaan suatu informasi memiliki pengaruh besar terhadap opini,

kepercayaan, dan tingkat pengetahuan seseorang ataupun sekelompok orang.

Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespons kehadiran

penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah dan

ketidaktahuan publik. Artinya di masyarakat terdapat logika yang salah. Kondisi

mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu

percepatan kesembuhan si penderita. Dalam kaitan ini adalah pengalaman dalam hal

kontrol kesehatan berserta status etis tersendiri dalam rangka menciptakan masyarakat

yang steril, sehat, dan berguna. Selain itu, hanya kepribadian individu yang telah

mapan dan kuat yang dapat dan mampu menjalankan semuanya. Sebaliknya,

kegagalan atas kemapanan dan ketidakmampuan atas semua itu telah tersedia ruang

luas labirin isolasi, pengucilan sosial, dan tersisihkan dalam kuasa dominasi diskursif,

Page 7: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

5

yakni kehendak rezim kebenaran baru di tengah masyarakat. Prinsip ini dilestarikan

dalam bentuk pendisiplinan dan kepatuhan untuk menerima dan menjalankan relasi

yang serba teratur dan steril menurut kacamata kebenaran pemegang kuasa.

Klaim kebenaran itu merupakan bentuk beroperasinya kekuasaan sebagai suatu

wacana yang memengaruhi institusi-institusi sosial dan praktik-praktik sosial. Itulah

sebabnya dalam pandangan Foucault kekuasaan tidak beroperasi secara negatif

melalui aparatus yang koersif, menekan, dan menindas. Pada konteks ini kekuasaan

beroperasi secara positif dan produktif. Artinya, karena wujud kekuasaan tidak

tampak, beroperasinya pun menjadi tidak disadari. Selain itu, memang tidak dirasakan

oleh individu sebagai praktik kekuasaan yang sebenarnya mengendalikan tubuh

individu.

Senada dengan pandangan Foucault, Mudhoffir berpendapat bahwa kekuasaan

dapat diketahui dan dirasakan melalui efek-efeknya. Bentuk pengetahuan atau rezim

wacana yang otoritatif itu merupakan efek dari kekuasaan tersebut. Ia tidak bisa

dipisahkan dari aparatus yang dapat mengendalikan apakah pengetahuan itu otoritatif

atau tidak. Distingsi antara yang benar dan yang salah juga melibatkan aparatus ilmiah

yang memproduksi pengetahuan melalui ritus-ritus kebenaran, yakni melalui dasar

empiris sebagai legitimasi bagi kebenaran pengetahuan itu (Mudhoffir, 2013: 83).

1.3 Ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan ditunjukkan ketika persepsi atau tanggapan penderita bahwa

perilaku atau tindakan yang dilakukannya tidak akan membawa hasil atau perubahan

adil seperti yang diharapkan. Dengan demikian, penderita sulit mengendalikan situasi

yang terjadi atau mengendalikan situasi yang akan terjadi (Nanda, 2012:60--65). Lebih

jauh menurut Wilkinson (2007:105), ketidakberdayaan merupakan persepsi seseorang

bahwa tindakannya tidak akan memengaruhi hasil secara bermakna, kurang

pengendalian yang dirasakan terhadap situasi terakhir atau yang baru saja terjadi.

Seturut hal tersebut, psikiater RSJ Provinsi Bali, dr. I D.G. Basudewa, Sp.K.J.

menyatakan ketidakberdayaan pasien penderita gangguan jiwa sebagai berikut.

“... kondisi ketidakberdayaan pada diri penderita disebabkan oleh banyaknya faktor sosial budaya yang hingga saat ini sangat sulit untuk ditangani seorang penderita gangguan jiwa yang pada gilirannya menyebabkan penderita dalam

Page 8: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

6

kondisi depresi yang berakibat pada kondisi psikososial dengan ketidakberdayaan”.

Penderita gangguan jiwa juga sering kali dipasung. Pada tahun 2011, Menteri

Kesehatan RI mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung pada tahun 2014.

Namun, sampai dengan sekarang belum terlihat penanganan yang signifikan dan

komprehensif dalam penanganan dini penderita gangguan jiwa. Program Indonesia

Bebas Pasung 2014 sudah direvisi menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019.

Dengan demikian, dalam menentukan ketercapaian target masih ada dua tahun lagi

karena proses ini masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya komitmen

pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (Yud, 2014

dalam http://www.beritasatu.com/kesra/183215 menkes-ajak-pemdawujudkan-

indonesia-bebas-pasung.html).

Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, yaitu

sekitar 20.000 hingga 30.000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia mendapat

perlakuan sangat tidak manusiawi dengan cara dipasung. Metode pemasungan tidak

terbatas pada pemasungan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai

pada kaki, tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian,

termasuk tindakan mengurung dan penelantaran (Purwoko, 2010) dalam

http://www.republika.co.id. Data terbaru tahun 2014 dari Kementerian Sosial

menunjukkan bahwa ada sekitar kurang lebih 57.000 orang dengan gangguan jiwa yag

dipasung (dalam http://www.kemsos.go.id/). Penanganan yang tidak tepat dengan cara

pemasungan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian kesembuhan pasien sehingga

menimbulkan rasa tidak berdaya pada penderita.

Kesalahan penanganan dan ketidakpastian waktu pengobatan menjadi

penyebab seorang penderita gangguan jiwa menyerah pada penyakitnya

(ketidakberdayaan) dan mengakibatkan pengabaian pengobatan secara cepat dan tepat.

Saat pasien pada akhirnya dinyatakan sembuh secara medis oleh dokter, maka pasien

akan kembali ke rumah. Kecenderungan yang terjadi kemudian adalah pasien yang

sudah dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke rumah, tetapi pada akhirnya

dalam jangka waktu yang tidak lama pasien akan kembali lagi. Artinya, dalam situasi

tersebut perawatan bersifat bolak-balik. Jika situasi ketidakberdayaan ini berlangsung

Page 9: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

7

lama, dapat mengarah pada perilaku keputusasaan yang dapat terjadi juga pada diri

penderita.

Kontrol sosial yang diproduksi dalam kuasa klinis kedokteran terlihat dalam

hubungan perangkat antara aparatus kesehatan (dokter, psikiater) dan pasiennya dalam

konteks otoritas dokter untuk merawatnya. Implikasi bagi penderita adalah bahwa saat

dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit jiwa walaupun penderita menyatakan diri

sehat, tidak sakit, dan tidak ada gangguan sama sekali, dokter akan tetap menjatuhkan

adanya ataupun terjadinya gangguan pada diri penderita dan akan diputuskan untuk

rawat jalan atau rawat inap. Kejadian tersebut dialami oleh Pasien RA, yang pada

akhirnya menjalani rawat inap seperti yang diutarakan berikut.

“...ingat sekali aku waktu aku diantar ayahku. Ayah banyak cerita ke petugas di gedung depan yang di gawat darurat itu. Aku duduk saja sambil nunggu ayahku. Setelah itu aku diajak ngobrol sama dokter di sana. Aku bilang ke dokter kalau aku sehat-sehat saja. Saat itu aku ditanya apa yang sebabkan ayahku bawa ke sini, ya aku jawab ngak tahu dan aku bilang mungkin ayahku sangka aku buduh karena selalu lawan dia. Beberapa jam menunggu aku akhirnya dirawat di sini sampai sekarang, di rumah sakit jiwa ini”.

Seturut hal tersebut, Goffman (1963:15) mengatakan bahwa kondisi penderita

setelah berada dalam setting ruang luas rumah sakit jiwa akan mendapatkan atribut

peranan yang baru sekaligus melemahkan dirinya. Di samping itu, juga mendapatkan

dan menjalankan peranan “pasien jiwa” di bawah pengawasan dan kontrol ketat rumah

sakit jiwa. Pada akhirnya ia menerima (secara terpaksa) stigma sebagai “orang gila”

yang implikasinya tanpa daya para penderita gangguan jiwa ini menjadi terasing

dalam lingkungan masyarakatnya sendiri saat lepas dari kontrol ketat RS.

Kontrol sosial yang diproduksi dalam kuasa klinis kedokteran terlihat pula

dalam tata aturan dan pola hubungan baru. Artinya, segala sesuatunya diatur atas nama

otoritas serta kepentingan umum masyarakat di samping berlaku mekanisme disiplin

yang ketat di dalamnya. Tata aturan formal dan pola hubungan baru termanifestasi

dalam teritorial luas rumah tinggal bersama bernama rumah sakit jiwa. Mereka juga

beraktivitas dan berkegiatan dengan jadwal ketat rumah sakit dengan orang-orang

yang senasib sesama penderita gangguan jiwa, yang terpenjara berhari-hari,

berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun hidup dalam ruang

bangunan luas rumah sakit jiwa.

Page 10: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

8

Pasien mengalami rasa kebosanan yang merupakan konsekuensi logis dalam

sistem aturan rumah sakit jiwa yang harus dihadapinya. Dalam hal ini dia menjalankan

peranan yang memperkuat pencitraan pasien gangguan jiwa dari orang-orang yang

normal di luar sana. Dalam pelaksanaan praktik perawatan di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali, Bangli, pasien penderita gangguan jiwa menjalani kehidupan dalam

wilayah teritori kekuasaan rumah sakit secara bersama-sama. Peran 24 jam para

perawat sebagai kamera CCTV pengamat dan pengawas perilaku pasien dirasakan

penting dalam mengisi hari-hari para pasien penderita gangguan jiwa. Salah satu di

antaranya terlihat pada Gambar berikut. Gambar tersebut menunjukkan salah satu

contoh bagaimana perawat berfungsi layaknya sebagai CCTV atas diri pasien.

Gambar 1.1

Aktivitas makan yang tak luput dari pengawasan perawat

Terkait dengan pengawasan perawat terhadap pasien, dalam keseharian di

bawah pengawasan perawat, kegiatan pasien dimulai tepat pukul 05.00 pasien bangun

pagi, pukul 05.30 mandi pagi dan minum kopi + teh, pukul 06.30 sarapan pagi dan

minum obat, pkl. 08.00 waktunya bersosialisasi dan senam, pkl. 09.00 visit dokter,

pukul 10.00 terapi aktivitas kelompok, pukul 11.00 terapi rekreasi, menonton TV dan

karaoke, pukul 11.30 pembagian snack, pukul 12.00 makan siang dan minum obat,

pukul 12.30 membersihkan meja makan dan perabotan makan, pukul 13.00 istirahat,

pukul 15.30 bangun dan kemudian mandi sore, pukul 16.00 bersosialisasi, pukul 17.00

terapi rekreasi (menonton TV dan karaoke), pukul 18.00 makan malam dan

membersihkan meja makan, pukul 19.00 terapi spiritual (sembahyang), dan pukul

Page 11: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

9

19.30 istirahat/tidur malam. Praktik aktivitas dalam waktu dan jam yang sudah

ditentukan oleh pihak rumah sakit jiwa tersebut harus ditaati secara ketat dan disiplin

oleh para pasien serta menjadi alat pengawasan dan kontrol yang efektif.

1.4 Diskriminasi

Salah satu kendala dalam penanganan masalah ganggguan jiwa adalah

masalah stigma. Masalah lain yang menjadi pusat perhatian adalah adanya

diskriminasi terhadap penderita gangguan jiwa. Herek (2002:93) mengatakan bahwa

timbulnya stigma dan perlakuan yang tidak adil (diskriminasi) disebabkan oleh faktor

risiko penyakit jiwa yang terkait dengan perilaku yang menyimpang. Stigma dan

diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang penyakit, tetapi dapat juga dilakukan oleh petugas

kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrewin

(2008:94--112), yaitu bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai

stigma dan melakukan diskriminasi terhadap pasien.

Hasil penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marum, Mbori, dan

Cock (2002:85--91) yang menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi berhubungan

dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame). Faktor lain

yang berpengaruh terhadap terjadinya stigma dan diskriminasi adalah tingkat

pendidikan dan lama bekerja. Jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang

pendidikannya memengaruhi stigma dan diskriminasi. Selain itu, lama bekerja juga

memengaruhi terjadinya stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama

bekerja cenderung mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih

banyak. Hal ini memegang peranan penting dalam perubahan perilaku seorang petugas

kesehatan.

Berdasarkan pandangan para ahli tersebut diketahui bahwa, perlakuan

diskriminasi terhadap para penderita gangguan jiwa dapat disebutkan sebagai suatu

bentuk penjabaran dari hegemoni kekuasaan dan dominasi otoritas aparatus sosial

(kelompok, komunitas, masyarakat) dan otoritas aparatus medis/kesehatan (dokter,

psikiater, perawat) kepada para penderita gangguan jiwa yang melahirkan kesenjangan

sosial dan kesenjangan identitas. Hal ini menunjukkan bentuk pertarungan yang

Page 12: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

10

melibatkan kekuasaan untuk mengukuhkan dominasi dan peran para kuasa aparatus

dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena tersebut relevan dengan teori hegemoni,

yaitu adanya dominasi karena faktor otoritas kekuasaan yang menyebabkan adanya

pihak yang terdominasi dan kalah dalam konsensus. Dengan pernyataan lain dapat

dikatakan bahwa kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas

kelas subordinat melalui pemenangan konsensus.

Otoritas dokter sangat besar dalam menunjukkan kekuasaannya di rumah sakit

jiwa. Penderita gangguan jiwa sebagai para terstigma mendapat hambatan dalam akses

pelayanan sosial, akses kesehatan, akses pendidikan yang diterima, dihina, dicemooh,

ketidakmampuan bekerja, sebagai individu yang sakit, individu yang tidak normal,

individu lemah dan rapuh, harus dijauhi, ketidakmampuan dalam berintegrasi dengan

kelompok, serta terpinggirkan dalam masyarakat (tersisih secara sosial). Hal itu

dialami pasien TR seperti dituturkannya berikut.

“...ini ingatku sudah empat kalinya masuk rumah sakit lagi. Tetap saja...waktu pulang dulu ngak ada teman-teman yang biasa kita kumpul-kumpul dulu datang ke rumah lagi. Jangankan orang lain....kakakku sendiri kalau lagi marah sering bilang ke aku dasar buduh (gila), susah sekali diatur...pantesan dijauhi orang. Orang ya pasti akan pilih-pilih bergaul sama cari teman....bukan seperti kamu yang suka ngamuk-ngamuk kalau dibilangin. Sudah biasalah aku dihina-hina gitu, sudah kebal aku dihina”.

Dari apa yang disampaikan oleh pasien TR, terlihat bahwa akibat masuknya

pasien TR dalam sistem kontrol medis rumah sakit jiwa, label sakit yang melekat

tersebut akan terus menjadi bayang-bayang ketika pasien TR sudah pulang sekalipun

ke rumah. Dengan kata lain, sudah sejak awal, yaitu ketika masuk dalam kontrol kuasa

rumah sakit pasien TR secara otomatis pula berada dalam sistem kontrol masyarakat

dan keluarga yang tetap mempersepsikan bahwa dirinya tetap mengalami kelainan,

mengalami sakit, dan terganggu masalah kejiwaannya.

Dari apa yang dituturkan oleh pasien TR di atas, terlihat pula bagaimana

masyarakat tetap mengidentifikasi negatif terhadap bekas pasien penderita gangguan

jiwa walaupun pasien sudah pernah pulang sekalipun ke rumah, seperti pengalaman

pasien KA yang dituturkannya sebagai berikut.

“...saat aku boleh disuruh pulang sama dokter, selalu aku bilang ke dokter takut untuk pulang. Sudah tiga kali aku boleh pulang, waktu itu dijemput pamanku.

Page 13: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

11

Aku sudah ngak bisa kerja lagi kalau pulang. Aku sudah dikeluarin kata kakakku waktu aku masuk rumah sakit jiwa ini. Pernah aku coba datang untuk kerja tukang lagi, tapi ditolak dan dimarah....disuruh pulang dan istirahat saja katanya. Tapi ya bosen aku di rumah, ngak boleh keluar sama kakakku. Tapi ya bagus di rumah saja daripada aku kalau keluar rumah orang-orang banyak menghindar dan aku ngak diajak ngobrol”.

Walaupun sudah dinyatakan sembuh secara medis oleh pihak rumah sakit jiwa,

tetap saja masyarakat menjustifikasi sebagai “orang lain” serta menutup katup akses

sosial seperti saat mereka menjadi penghuni tetap rumah sakit jiwa. Penderita tidak

melakukan gangguan di lingkungan sekitarnya, tetapi masih mengalami diskriminasi

sosial dan penolakan akibat dari stigma. Di samping itu, terlihat pula bagaimana

konsep “menjadi pasien RSJ” dan “bekas pasien RSJ” tidak banyak berpengaruh

terhadap perubahan sikap dan penilaian masyarakat terhadap pencitraan diri penderita

gangguan jiwa. Bekas penderita gangguan jiwa tetap “terlabelisasi” sebagai musuh

sosial yang harus dihindari. Seturut hal tersebut, RD salah seorang anggota

masyarakat menuturkan hal berikut.

“...walau sudah sembuh...tetap saja saya ngak berani dekat Pak. Kalau tiba-tiba kumat dan berbuat sesuatu yang membahayakan, apa jadinya. Jadi, lebih baik saya menghindar sebelum kejadian. Memang saya tidak pernah ketemu dengan bekas penderita gangguan jiwa, tapi kalau memang kenyataanya saya ketemu, saya pasti menghindar daripada terjadi sesuatu karena menurut saya perilakunya tidak bisa diprediksi. Pernah saya lihat berita di koran juga bagaimana bekas penderita gangguan jiwa mengamuk membabi buta dan mencelakai tetangga sekitarnya”. Dari penuturan RD tersebut, jelas tergambar bagaimana ketakutan RD terhadap

bekas pasien gangguan jiwa yang dianggapnya tetap memiliki perilaku yang

membahayakan bagi lingkungannya. Selain itu, juga terlebih informasi yang diberikan

oleh media terkait dengan kasus bekas pasien jiwa yang melakukan tindakan

kekerasan sangat kuat membekas dan menjadi salah satu pembenaran alasan untuk

bersikap terhadap bekas penderita gangguan jiwa. Di sini terlihat dgn jelas bagaimana

sangat pentingnya peran media dalam penanaman nilai-nilai di samping berperan

sebagai transfer knowledge bagi masyarakat. Informasi yang tersedia mengenai

kesehatan jiwa sangat terbatas dan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Informasi

Page 14: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

12

yang bersifat edukasi pada masyarakat sangat sedikit dan sangat jarang didengar dan

dilihat. Hal ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi.

Dari hal tersebut diketahui ternyata kuasa otoritas media juga berperan sangat

penting sebagai kontrol sosial terhadap penderita gangguan jiwa. Para penderita

gangguan jiwa tidak mempunyai kuasa atas dirinya sendiri. Mereka tergilas oleh

gencar dan kuatnya informasi media sekaligus penanaman pencitraan sosial terhadap

para penderita gangguan jiwa dengan mengukuhkan identitas sebagai individu yang

mengalami sakit jiwa dan tetap berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Seturut hal

tersebut, Goffman dalam Kearl dan Gordon (1992:221--222) menyatakan bahwa

sebelumnya para penderita gangguan jiwa akan mengalami perubahan identitas seiring

dengan penderita masuk dalam kontrol sosial aparatus medis. Pasien dalam posisi

destruksi diri terhadap dunia luar sebelumnya. Artinya, diri individu secara serius akan

kehilangan hak miliknya berupa pekerjaan, pendidikan, interaksi dengan sesama, dan

hal-hal lain yang dulu dimiliki. Penderita tidak lagi memiliki kuasa dan hak apa pun

atas dirinya.

Lebih jauh kontrol sosial masyarakat memiliki kuasa atas otoritas, arah,

penghukuman atas segala macam bentuk sikap dan perilaku para penderita gangguan

jiwa yang telah terlabelisasi sebelumnya sebagai penghuni rumah sakit jiwa. Hal itu

menjadi sebuah renungan bersama, artinya sudah benar dan adilkah kita sebagai

anggota masyarakat bersikap dan berperilaku terhadap para penderita gangguan jiwa,

baik yang masih dalam pengobatan dan perawatan di rumah sakit jiwa maupun bagi

para bekas pasien penderita gangguan jiwa yang sudah dinyatakan sembuh secara

medis oleh dokter? Separanoidkah kita sebagai anggota masyarakat terhadap para

penderita gangguan jiwa tersebut? Siapakah yang menjadi “mesin pembunuh”

sebenarnya? Para penderita gangguan jiwakah yang berada dalam tembok-tembok

rapat rumah mereka sendiri atau yang masih berada dalam bangsal-bangsal

penyadaran rumah sakit jiwa? Ataukah masyarakat “normal” kebanyakan seperti kita

ini yang dengan bebasnya berada dalam ruang-ruang terbuka tanpa sekat dengan

menghirup udara kemerdekaan kebebasan sosial?

Hampir setiap waktu terdengar ataupun kita disuguhi informasi oleh media

tentang seorang anak membunuh ibu atau bapaknya, orang tua membunuh anak

Page 15: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

13

kandungnya, suami tega menikam istrinya, sebaliknya istri tega membunuh suaminya.

Di samping itu, juga seorang gadis dibunuh dan diperkosa oleh pacarnya sendiri, ayah

memutilasi anak kandungnya sendiri, ayah memerkosa anak kandungnya, seorang

gadis diperkosa dan dibunuh oleh saudaranya sendiri, bahkan pembunuhan yang

dilakukan oleh sahabatnya sendiri, dan kebiadaban lainnya. Pertanyaan besar yang

muncul kemudian adalah gangguan jiwakah para pelaku kebiadaban tersebut?

Jawaban dari hasil investigasi pengumpulan data oleh pihak kepolisian dan dari hasil

tes yang dilakukan oleh para psikolog dan psikiater ternyata mereka tidak mengalami

gangguan jiwa, mereka sehat. Akan tetapi, mengapa justru ketakutan yang luar biasa

diarahkan/terletak pada para penderita gangguan jiwa, yang senyata-nyatanya mereka

berada dalam pikirannya masing-masing, baik di bawah pengawasan kontrol kuasa

medis maupun di bawah pengawasan dan asuhan dalam keluarga. Siapakah yang

disebut menjadi “mesin pembunuh” sebenarnya? Kita sebenarnya dan senyatanya

dikelilingi oleh “mesin-mesin pembunuh” yang dimaksud. Dari apa yang diuraikan di

atas, terlihat bahwa pasien penderita gangguan jiwa tetap mendapatkan perlakuan

yang diskriminatif baik selama berada dalam ruang teritori rumah sakit jiwa maupun

setelah mereka kembali ke masyarakat.

II. Determinan Sosial Budaya Praktik Stigmatisasi Gangguan Jiwa Pada

Keluarga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

2.1 Keputusan Pilihan Perawatan dan Pengobatan yang Dijalani

Sistem kesehatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat merupakan bagian dari

kebudayaan masyarakat tersebut secara keseluruhan. Dalam hubungan tersebut Wellin

(1977:47--58) membuat tiga generalisasi empiris. Pertama, penyakit dalam segala

bentuknya merupakan bagian dari kehidupan manusia. Kedua, semua kelompok

masyarakat membangun metode dan peranan untuk menanggapi penyakit. Ketiga,

semua kelompok masyarakat membangun kepercayaan dan persepsi untuk memahami

penyakit.

Foster dan Anderson (1978:138--147) mengatakan bahwa ada persamaan yang

universal dalam sistem kesehatan, yaitu (1) sistem kesehatan adalah bagian pelengkap

dari kebudayaan, (2) definisi illness secara kebudayaan, (3) semua sistem pengobatan

Page 16: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

14

mempunyai sisi preventif dan kuratif, dan (4) sistem kesehatan mempunyai fungsi-

fungsi yang berkaitan. Lebih lanjut Foster dan Anderson (1986:46) menyatakan

bahwa sistem kesehatan merupakan bagian dari kebudayaan manusia yang dapat

dibagi dalam dua kategori. Adapun kedua kattegori tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, sistem teori penyakit meliputi kepercayaan-kepercayaan mengenai

ciri sehat, sebab-sebab sakit, pengobatan dan teknik-teknik penyembuhan lain yang

digunakan oleh penyembuh. Sistem teori penyakit berkenaan pula dengan kausalitas,

penjelasan yang diberikan oleh penduduk mengenai hilangnya kesehatan, penjelasan

mengenai pelanggaran tabu, mengenai pencurian jiwa orang, gangguan keseimbangan

antara unsur panas, dingin dalam tubuh, atau kegagalan pertahanan termonologi organ

manusia terhadap agen-agen patogen, seperti kuman-kuman dan virus. Dari penjelasan

tersebut diketahui bahwa suatu sistem teori penyakit merupakan suatu sistem ide

konseptual, suatu konstruk intelektual, bagian dari orientasi kognitif anggota-anggota

kelompok tersebut yang berkenaan dengan klasifikasi, penjelasan, serta sebab dan

akibat.

Kedua, sistem perawatan kesehatan merupakan suatu pranata sosial yang

melibatkan interaksi antara sejumlah orang yaitu sedikitnya pasien dan penyembuh.

Adapun fungsi yang terwujudkan dari suatu sistem perawatan kesehatan adalah untuk

memobilisasi sumber-sumber daya si pasien, yakni keluarganya dan masyarakat untuk

menyertakan mereka dalam mengatasi masalah tersebut.

Kleinman (1980:49) menyatakan bahwa fenomena perilaku kesehatan

merupakan fenomena yang kompleks. Dalam rangka usaha perawatan kesehatan di

dalam kenyataan lokalitas kesatuan-kesatuan masyarakat pada umumnya mencakup

tugas sektor yang satu dengan yang lainnya berada dalam hubungan yang saling

tumpang tindih. Adapun sektor-sektor yang dimaksud adalah sektor perawatan umum

(popular sector), sektor perawatan kesehatan kedukunan (folk sector), dan sektor

perawatan kesehatan kedokteran (profesional sector). Sistem perawatan kesehatan

yang ada dalam lokalitas sosial tertentu menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan

klinik tersendiri, merupakan kumpulan beranekaragam kepercayaan, pengetahuan,

praktik, tenaga, fasilitas, dan sumber lain yang membentuk struktur yang dijadikan

pedoman oleh anggota suatu kelompok sosial untuk menentukan pemeliharaan dan

Page 17: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

15

pengobatan penyakit.Hal tersebut juga merupakan acuan yang digunakan oleh orang

Bali dalam menentukan pemeliharaan dan pengobatan penyakit yang dirasakan tepat.

Lebih lanjut dapat dipahami bahwa dalam usaha penyembuhan suatu penyakit,

masyarakat memilih sumber perawatan berdasarkan sistem teori penyakit yang

dianutnya. Foster dan Anderson menjelaskan bahwa sistem teori penyakit (antara lain

klasifikasi penyakit dan penjelasan-penjeasan mengenai kausalitas penyakit)

memberikan dasar bagi perawatan (Foster dan Anderson, 1978:37--42). Adapun

sumber perawatan tradisional dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem perawatan rumah

tangga (home remedies) dan sistem perawatan kedukunan (folk sector). Di pihak lain

sumber perawatan modern/profesional dibagi atas perawatan dokter, dokter spesialis,

paramedis yang berpraktik secara pribadi, dan lembaga kesehatan pemerintah ataupun

swasta, seperti rumah sakit, klinik kesehatan, dan puskesmas. Berbagai macam sumber

perawatan tersebut menjadi alternatif sumber perawatan yang dipilih oleh keluarga

pasien dan masyarakat pada saat membutuhkan sumber perawatan kesehatan.

Berdasarkan pilihan yang ada seseorang akan melalui suatu proses pengambilan

keputusan sebagai suatu proses memilih satu alternatif atau lebih yang ada dalam

upaya memecahkan suatu masalah (Irawadi, 1983:11).

Hal itu sesuai dengan pendapat Young (1980: 113-121) bahwa pemilihan

alternatif-alternatif yang tersedia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti

persepsi tentang penyakit, tingkat keparahan, faktor ekonomi, dan kemudahan. Lebih

lanjut untuk memenuhi kebutuhan terhadap suatu sumber perawatan, seseorang

dihadapkan pada beberapa alternatif pilihan yang ada. Sehubungan dengan itu,

sebelum diputuskan untuk digunakan satu alternatif atau lebih, harus dijalani

serangkaian proses pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini didapat alternatif

pilihan sumber perawatan kesehatan yang dijalankan oleh keluarga penderita meliputi

perawatan rumah tangga, perawatan kedukunan, dan rumah sakit jiwa. Adapun kriteria

yang dipakai untuk menyeleksi anternatif tersebut meliputi persepsi yang didasarkan

atas konsep sakit, etiologi penyakit, tingkat keparahan, pengetahuan dan pengalaman

perawatan, serta kemudahan.

Page 18: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

16

2.2 Pilihan Perilaku Perawatan Tradisional

Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup, tidak

terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin mengalami

perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan dan perawatan

kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks. Usaha penyembuhan

penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di puskesmas, rumah sakit,

dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula dilakukan secara tradisional

(Kasniyah, 1985:71).

Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau masyarakat

Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem pelayanan kesehatan

modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pula secara relatif masih

banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis tradisional (prametra) dalam suatu

kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah kesehatan yang tidak dapat diatasi

melalui sistem pelayanan kesehatan modern (Connor, 1982:3). Sependapat dengan

Connor, Nala menyatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk

mencari pemecahan masalah kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan

kesehatan (health care system), sistem pengobatan tradisional masih merupakan

pilihan yang sangat penting di samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10).

Pengambilan keputusan dalam memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman

dalam perilaku kesehatan oleh masyarakat.

Dalam penelitian yang dilakukan ini, diketahui bahwa perilaku perawatan

tradisional (yang dijadikan pilihan pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam

dua pilihan perawatan kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home

remedies) dan pilihan perawatan kedukunan (folk sector).

2.3 Pilihan Perilaku Perawatan Rumah Tangga

Seperti dalam sistem perawatan kesehatan lainnya, sistem ini memiliki

kompleks pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, dan praktik-praktik.

Hal-hal tersebut digunakan dalam mengamati gejala-gejala dan mendiagnosis

gangguan kesehatan. Di samping itu, juga dalam menjalankan peranan-peranan pokok

dalam interaksi antara keluarga dan anggota keluarga mereka yang sakit. Pengetahuan

Page 19: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

17

yang dimiliki oleh suatu rumah tangga atau keluarga tentang penyakit akan

memberikan kemungkinan kepada rumah tangga (keluarga) tersebut untuk menangani

perawatan/pengobatan sendiri terhadap anggota keluarganya yang mengalami atau

menderita sakit. Sistem perawatan rumah tangga yang dilakukan merupakan tindakan

pertama yang dilakukan oleh individu atau masyarakat pada umumnya untuk

mengatasi penyakit yang dipandangnya sebagai self medication (berobat sendiri).

Dalam sistem ini tidak dikenal adanya kedudukan praktisi yang mempunyai

pengetahuan dan keterampilan medik serta profesional/modern seperti halnya di dunia

kedokteran (Helman, 1990:55--56).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa orang Bali khususnya

dalam hal ini para keluarga yang salah seorang anggota keluarganya menderita

gangguan jiwa, yaitu untuk mengatasi keadaan atau kondisi si sakit mereka juga

melakukan tindakan pertama. Hal itu bertujuan untuk mengatasi gangguan ataupun

penyakit yang dipandangnya sebagai self medication, yakni awalnya dengan jalan

melakukan perawatan ataupun pengobatan di rumah (home remedies). Keluarga yang

awalnya mencoba melakukan pengobatan atau perawatan di rumah terhadap diri

anggota keluarga mereka yang sakit mengemukakan alasan sebagai usaha yang

bersifat coba-coba saja. Artinya, keluarga mencoba-coba memakai obat yang dibeli,

baik dari toko obat (apotek), warung-warung, maupun tukang obat di pinggir jalan.

Dari Bapak AY yang merupakan salah seorang keluarga pasien diperoleh informasi

seperti berikut.

“...saat munculnya gejala gangguan kesehatan pada istri saya pertama kalinya, suhu badan dia saat siang dan malam hari panas tinggi, tapi paginya normal lagi. Kembali malamnya panas lagi. Saat panas itu dia mulai bicara sendiri. Saat itu saya berikan obat penurun panas paracetamol dan aspirin karena dia mengeluh pusing juga. Sebelum menunjukkan gejala panas dan pusing, istri saya juga punya keluhan sulit tidur. Kalau lagi kumat sulit tidurnya dia biasa minum diazepam. Saya berikan obat itu karena keluarga jika ada yang punya keluhan dan sakit seperti panas atau pusing dan sulit tidur, kita sudah biasa menggunakannya”. Terkait dengan penuturan Bapak AY terhadap istrinya yang menunjukkan

gejala sulit tidur tersebut, Psikiater Basudewa membenarkan bahwa salah satu gejala

Page 20: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

18

awal awal gejala terjadinya gangguan jiwa ditunjukkan oleh keluhan sulit tidur yang

terjadi pada penderita. Hal itu disampaikan sebagai berikut.

“...biasanya orang yang mengeluh sulit tidur memang kebanyakan mengalami keluhan gangguan kejiwaan, di antaranya gangguan kecemasan, gangguan depresi, stres kronis, dan gangguan psikotik”. Di pihak lain ada keluarga pasien yang mengungkapkan alasan bahwa awalnya

melakukan perawatan di rumah sebagai pertolongan yang bersifat sementara dengan

menggunakan ramuan tumbuh-tumbuhan yang dibuat sendiri oleh mereka. HR, salah

seorang keluarga pasien menuturkan hal berikut.

“...saat itu saya buatkan bapak obat berupa ramuan keluarga berupa boreh (lulur, parem) dari tumbuh-tumbuhan karena dia mengeluh sakit dan pegal di leher dan untuk mengobati pusingnya saya buatkan ramuan lain dan dipupuk (ditaruh pada ubun-ubun)”. Pengetahuan mengenai cara pengobatan tradisional yang dilakukan oleh

keluarga pasien dengan ramuan tumbuh-tumbuhan, baik dari akar maupun buah dalam

rangka untuk menyembuhkan penderita diperoleh dari keluarga, yaitu resep ramuan

secara turun-temurun. Adapun macam tumbuhan, cara pengolahan, dan pemakaian

ramuan yang pernah digunakan oleh beberapa keluarga pasien untuk mengatasi

beberapa keluhan atau gangguan dapat dijelaskan berikut ini.

Untuk menghilangkan gejala demam yang tinggi digunakan ramuan akar

melati, akar kembang sepatu putih, kulit batang kamboja, dan rimpang jahe pahit.

Pengolahannya digarus halus dan ditambah sedikit air kemudian cara pemakaiannya

di-boreh (parem). Untuk keluhan atau gangguan keadaan susah tidur digunakan

ramuan asam masak, daun ditambah akar keladi, dan bawang merah. Pengolahannya

digiling halus ditambah sedikit air, kemudian di boreh di tungkai bawah. Untuk

menghilangkan keluhan pusing (pengeng) digunakan ramuan akar alang-alang dan

buah tengguli bisa juga digunakan daun buangit, kapur dan minyak kelapa.

Pengolahannya digarus halus ditambah sedikit air dan disaring. Pemakaiannya dengan

cara dimasukkan ke tubuh melalui mulut (loloh). Untuk menenangkan penderita yang

berteriak-teriak (amuk), digunakan ramuan kesawi sekawit (akar, batang, dan daun),

jeruk nipis, jeruk parut, dan dausa keling. Pengolahannya digerus halus ditambah

sedikit air dan diperas, kemudian di-tutuh atau pepeh (tetes hidung).

Page 21: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

19

Keluarga yang awalnya mempersepsikan penyebab sakit atau gangguan pasien

karena kausa niskala (tak nyata), juga melakukan pengobatan atau perawatan terhadap

penderita di rumah. selain itu, juga melakukan cara pengobatan dengan memberikan

ramuan tumbuh-tumbuhan, dimandikan atau dikeramasi, dan dibacakan doa-doa.

Terkait dengan hal tersebut, AA salah seorang keluarga pasien pernah melakukan cara

pengobatan di rumah, yaitu adiknya dimandikan atau dikeramasi seperti dituturkan

berikut.

“...setiap jelang sore adikku itu dulu selalu mengamuk dan marah-marah ngak jelas penyebabnya. Setiap benda apa yang ada di dekatnya pasti dibuang dan dibanting. Saat itu pasti saya tarik adik saya ke belakang rumah dan saya guyur dengan air yang sudah direndam bunga kamboja. Sekalian juga aku keramasi. Beberapa saat dia bisa tenang lagi”. Dari pengakuan yang disampaikan AA tersebut, terlihat bahwa dengan

dimandikan atau dicuci rambut penderita, keadaan atau kondisi penderita yang

awalnya selalu memberontak (mengamuk dan marah-marah) menunjukkan perilaku

tenang kembali atau nyem (dingin) kembali. Biasanya penderita dimandikan dengan

air bunga, yaitu biasanya bunga kamboja. Dari bunga itu diperoleh air yang berbau

harum. Sementara itu dari keluarga pasien yang menggunakan bawang merah dan air

garam untuk pengobatan terhadap penderita diperoleh informasi bahwa bawang merah

dan garam dipercaya dapat menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh kausa

niskala. Dalam hal ini bawang merah dan garam (uyah) hanya merupakan sarana

(serana), bukan tamba atau ubad (obat).

Kondisi penderita ketika mengamuk dan marah-marah dipercaya oleh keluarga

dalam kondisi yang panas sehingga perlu dinetralisasi. Dalam hal ini dimandikan atau

dikeramasi sehingga diharapkan terjadi keseimbangan atau keserasian. Dalam

hubungan dengan terjadinya keseimbangan dan keserasian, Thong (1979:17--18)

mengemukakan bahwa di dalam masyarakat Bali dianut falsafah tri hita karana, yaitu

tiga unsur dalam kehidupan yang saling berhubungan dan saling memengaruhi. Ketiga

unsur tersebut harus berada dalam keadaan seimbang dan harmonis untuk

menciptakan keadaan yang sehat, aman, dan damai. Ketiga unsur tersebut, yaitu (1)

Sang Hyang Jagat Karana, yaitu kekuatan supernatural; (2) bhuana agung, yaitu

Page 22: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

20

alam semesta (makrokosmos); dan (3) bhuana alit, yaitu manusia (mikrokosmos).

Ketidakseimbangan antara ketiga unsur tersebut menyebabkan bencana dan penyakit.

Lebih jauh terkait dengan tepat tidaknya tindakan awal keluarga pasien

melakukan praktik perawatan di rumah terhadap penderita, diperoleh informasi bahwa

cara-cara pengobatan yang sebelumnya dilakukan di rumah dirasakan tepat oleh

sebagian keluarga. Artinya perawatan yang dilakukan sedikit tidaknya telah

memperlihatkan hasil, dengan kata lain adanya kemampuan menurut pandangan

subjektif mereka. Keluarga pasien lainnya menganggap bahwa tindakan yang

dilakukan terhadap diri pasien merupakan suatu bentuk usaha. Di samping itu, masih

bersifat sementara sebagai bentuk pertolongan pertama sebelum penderita dibawa

kepada sumber pengobatan atau perawatan lainnya karena ternyata belum

memperlihatkan gejala-gejala kesembuhan yang berarti. Kalaupun ada perubahan,

sewaktu-waktu, yaitu dalam dua sampai tiga hari saja gejala itu timbul kembali,

seperti disampaikan oleh Bapak WY, salah seorang keluarga pasien berikut ini.

“...perawatan pertama kali yang pernah kami lakukan dulu di rumah terhadap anak sulung saya itu sifatnya sementara karena tidak ada salahnya mencoba siapa tahu khan sembuh. Memang dalam beberapa hari ada kemajuan. Anak saya pernah saat itu sudah tidak mengamuk, ngerumuk (berbicara tidak jelas), sudah ngak gelisah, sudah ngak kebingungan, dan ngak cemas lagi, tapi beberapa waktu kemudian saat itu tahunya kumat lagi. Ya pengobatan di rumah memang itu khan sementara dan taunya belum ada hasil yang berarti. Sakit anakku semakin berat dan keluarga sepakat anak saya segera saat itu diputuskan untuk mencoba pengobatan balian, siapa tahu sebab sakitnya kemasukan atau dibuat orang”. Penjelasan keluarga pasien tersebut menunjukkan bahwa kondisi anggota

keluarga mereka yang sakit belum memperlihatkan gejala-gejala kesembuhan yang

berarti. Berdasarkan kenyataan itu keluarga pasien menilai bahwa sakit yang diderita

oleh anggota keluarga mereka beserta gejala-gejalanya dianggap sebagai “bukan sakit

biasa”, yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh mereka sendiri. Bahkan,

keluarga berpendapat bahwa sakit yang diderita oleh salah seorang anggota. Terkait

dengan pengambilan keputusan dalam keluarga terhadap jenis pengobatan yang

selanjutnya dipilih untuk mengobati ataupun merawat si penderita, ada keluarga yang

melakukan proses musyawarah atau rembuk keluarga, tetapi ada juga yang tidak

Page 23: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

21

melakukan proses tersebut. Bapak MD, salah seorang keluarga pasien menyatakan

tidak melakukan rembuk keluarga dengan alasan seperti yang diungkapkan berikut ini.

“...bagaimana mau rembuk Pak, waktu yang ada saja sudah mendesak, belum lagi antar saudara yang berjauhan sulit sekali untuk kumpul, ditambah situasi anggota keluarga saat itu panik/bingung”. Keluarga pasien yang melakukan musyawarah/rembuk tersebut tidak hanya

melibatkan keluarga inti (suami, istri, dan anak-anaknya), tetapi juga melibatkan

keluarga luas mereka (ekstended family). Mereka juga berusaha jangan sampai para

tetangga (masyarakat di lingkungan tempat tinggal) mengetahui bahwa anggota

keluarga mereka mengalami sakit/ganggguan tersebut. Alasan yang dikemukakan oleh

mereka pada umumnya merasa sangat malu, khawatir (jerih), dan takut (nyeh) bila

para tetangga atau lingkungan sekitar banjar mengetahui keadaan/kondisi anggota

keluarga yang sakit tersebut. Hal itu dituturkan oleh Bapak NG atas sakit yang diderita

oleh adik perempuannya seperti berikut.

“...awalnya memang tetangga belum tahu kondisi adikku saat itu...ya pasti malu dan sedih Pak kalau tetangga sampai tahu. Mereka pasti katakan adikku gila nanti. Hari-hari kami semua melarang adikku keluar rumah. Saat itu kami sekeluarga sudah sangat prihatin dengan kondisi adikku itu. Kalau tetangga tahu dan menjadi omongan orang banyak benar-benar malu dan takut kami semua, tapi mau gimana lagi? Sejak rawat inap di sini, tetangga sudah pada tahu sekarang. Saya pasrah saja, ketakutan kita keluarga ternyata benar Pak...pernah saat adikku sudah boleh pulang...tetangga malah menjaga jarak dan menjauhi adikku...adikku saat itu diam di rumah saja, ngak mau keluar. Sekarang terserah tetangga mau terima atau tidak, yang penting adikku bisa pulang segera”. Dari tuturan yang disampaikan oleh Bapak NG di atas, terlihat dengan jelas

bahwa keluarga Bapak NG menanggung beban psikologis yang berat dari proses

stigmatisasi gangguan jiwa yang berkembang sampai saat ini di masyarakat.

Stigmatisasi memiliki kaitan erat dengan hilangnya harga diri, isolasi sosial, rasa

malu, terganggunya status sosial, penderita dipandang tidak lagi produktif, kehilangan

jati diri, dan perpecahan dalam hubungan kekeluargaan. Stigmatisasi dilihat oleh

keluarga pasien sebagai ‘penyakit kedua,’ yaitu sebuah penderitaan tambahan yang

tidak hanya dirasakan oleh penderita, tetapi juga dirasakan oleh anggota keluarga.

Menurut Subandi (2008:63), beban yang dirasakan oleh anggota keluarga sangat berat.

Page 24: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

22

Namun, peran keluarga tetap sangat dibutuhkan dalam menunjukkan rasa tanggung

jawab. Di samping itu, dukungan dan kasih sayang yang besar terhadap anggota

keluarga mereka yang mengalami gangguan mental memegang peran yang sangat

penting. Kekhawatiran dan rasa malu Bapak NG juga mewakili keluarga pasien

lainnya.

2.4 Pilihan Perawatan Kedukunan

Istilah dukun di Bali dikenal dengan sebutan balian, tapakan, atau jero

dasaran, yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang yang sakit.

Kemampuan untuk menyembuhkan atau mengobati ini diperoleh dengan berbagai

cara, yaitu berdasarkan tradisi, keturunan, taksu (kemasukan kekuatan gaib), pica

(benda bertuah), atau dapat pula melalui belajar pada seseorang yang telah menjadi

balian, dan berbagai cara lainnya (Nala, 1991:113).

Terkait dengan balian, Suryani (1994:8--9) mengemukakan sebagai berikut.

Pertama, balian dalam menerangkan keadaan dan diagnosis penderita menggunakan

bahasa dan kepercayaan pasien. Kedua, balian lebih menekankan bagaimana membuat

pasien dan keluarganya percaya kepada kemampuan balian dan menenangkan

keluarganya. Di pihak lain dokter lebih banyak berorientasi hanya pada pasien tanpa

melibatkan keluarganya. Ketiga, upacara yang memberikan kekuatan magis pada

penderita dan keluarganya cukup ampuh untuk mengatasi penyakitnya. Keempat,

hubungan balian pasien bersifat kekeluargaan seperti orang tua dengan anaknya dan

rileks. Kelima, sifat hubungan adalah sukarela (tidak ada istilah membayar honor

pengobatan seperti pada dokter). Keenam, balian dengan ikhlas menganjurkan pergi

ke dokter atau rumah sakit (pengobatan medis) kalau penyakit dianggap tidak dapat

diobati atau bukan bidang keahliannya.

Terkait dengan anjuran balian terhadap keluarga pasien, jika anggota keluarga

yang mengalami gangguan tidak dapat diobati (karena penyakit yang sifatnya medis),

disarankan untuk dibawa ke pengobatan di rumah sakit. Hal itu diakui oleh AA salah

seorang keluarga pasien dari Klungkung berikut ini.

“...sudah ada tiga balian saya bawa adikku jalani pengobatan. Semuanya belum ada perubahan yang baik. Pernah saat jalani pengobatan ke balian yang kedua ada perubahan, tapi hanya sekitar satu mingguan kambuh lagi. Saat itu

Page 25: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

23

keluarga putuskan untuk tidak lanjutkan pengobatan balian yang kedua karena setelah jalani pengobatan lagi, malah adikku makin parah. Ke balian yang ketiga saya bawa adikku karena disuruh teman SMP ku dulu. Lumayan ada kemajuan, tapi balian itu suruh saya untuk bawa adikku ke Rumah Sakit Jiwa di Bangli dengan alasan sakit adikku bukan karena sebab niskala”. Senada dengan penuturan keluarga pasien tersebut, dari informasi keluarga

pasien lainnya dalam melihat konsep awal terjadinya gangguan yang dialami oleh

keluarga mereka, keluarga pasien menilai bahwa penyebab (etiologi) gangguan juga

karena “sakit bali” (kausa niskala).Dalam hal ini keluarga pasien telah mencoba dan

berusaha untuk mengatasi keadaan tersebut, tetapi tidak menampakkan hasil. Di

samping itu, keluarga pasien juga berpendapat bahwa sakit yang diderita oleh salah

seorang anggota keluarganya dinilai telah memasuki tahap keadaan serius (sakit

serius) ketika menunjukkan gejala-gejala yang meresahkan seluruh anggota keluarga

dan masyarakat sekitar. Pada akhirnya keluarga pasien membawa penderita kepada

sumber pilihan pengobatan lain yang dinilai lebiih mampu dan dapat mengatasi

penyakit yang diderita. Gambar berikut memperlihatkan seorang pasien yang

menjalani pengobatan ke batra.

Gambar 2.1

Praktik Batra saat sedang mengurut dan memijat anggota tubuh pasien

Dalam menyembuhkan penyakit yang mempunyai kausa sekala atau

naturalistik keluarga penderita akan mencari pertolongan ke pengobat modern atau

juga ke pengobat tradisional. Adapun untuk penyakit yang mempunyai kausa niskala

atau personalistik keluarga penderita akan mencari orang yang mempunyai kekuatan

Page 26: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

24

magis yang tinggi, yaitu balian (dukun). Dalam konteks pilihan perawatan ke balian

(dukun), keluarga pasien menyatakan awalnya memang pernah melakukan perawatan

atau pengobatan penderita ke balian sebelum berada seperti sekarang di Rumah Sakit

Jiwa Bali ini. Beberapa alasan yang diungkapkan oleh keluarga pasien ketika mencoba

melakukan pengobatan atau perawatan ke balian terhadap diri pasien. Salah seorang

keluarga pasien dari Klungkung, Bapak AG menyatakan alasan pernah membawa adik

laki-lakinya ke balian sebagai berikut.

“...sebagai orang Bali saya percaya bahwa sakit yang diderita oleh adik saya dengan melihat gejala-gejala yang ada saat itu kemungkinan besar karena sebab yang bersifat niskala. Walau begitu saat itu saya juga sudah punya keinginan nantinya juga akan membawa adik saya ke rumah sakit kalau belum ada perubahan”. Keluarga pasien tersebut percaya bahwa sakit yang diderita oleh adik laki-

lakinya disebabkan oleh kausa niskala, yakni penyebab sakit yang tidak tampak, tidak

nyata, dan tanpa wujud yang pasti. Hal ini berimplikasi bahwa hanya balian yang

dipercaya oleh keluarga pasien sebagai seseorang yang mempunyai kekuatan magis

yang tinggi yang mampu mengusir kausa ini.

Sementara itu keluarga pasien lain, yakni WY yang berasal dari Tabanan

menyatakan alasan berikut ini.

“...anak saya yang laki-laki itu kami bawa ke balian saat itu karena ingin memastikan penyebab gangguan yang dialami sejak enam bulan yang lalu. Keluarga akhirnya punya dugaan kalau gangguan yang ada karena faktor niskala, karenanya saya bawa ke balian yang ada di Sanur. Kalau saya bawa langsung ke rumah sakit atau dokter, mereka pasti tidak percaya dan tidak mau mendengar sepenuhnya apa yang akan kami utarakan mengenai sakit anak kami ini. Kalau balian ternyata membenarkan penyebab gangguan karena niskala, maka untuk selanjutnya anak tertua kami itu menjalani pengobatan yang dilakukan balian. Tapi kalau balian mengatakan sakit anak laki-laki saya itu karena faktor sekala, maka kami akan mengobatinya ke rumah sakit”. Keluarga pasien masih percaya bahwa pengobatan dengan cara usada

(mengobati dengan cara tradisional) banyak manfaatnya. Walaupun telah banyak ada

pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) tersebar merata di setiap kecamatan, berobat

ke battra (pengobat tradisional) masih tetap merupakan pilihan yang tidak dapat

dikesampingkan begitu saja. Penyakit bagi keluarga pasien tidaklah hanya merupakan

gejala biologis, tetapi juga memiliki dimensi lain, yakni sosial budaya. Itulah sebabnya

Page 27: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

25

untuk menyembuhkan suatu penyakit tidak cukup hanya ditangani masalah

biologisnya, tetapi juga harus digarap masalah sosial budayanya. Pengakuan AA,

keluarga pasien yang memiliki pengalaman atas hal tersebut menuturkan sebagai

berikut.

“...waktu bawa adikku ke balian, saya cerita semuanya dari awal, balian itu dengerin semuanya. Ngak tahu ya Pak...saat itu kita bicara banyak hal tentang adikku, kerjaannya, tentang keluarga kami, pokoknya semuanya. Saya merasa seperti sudah akrab saja dengan balian itu, padahal baru kenal. Saat ditanya, adikku menjawab dengan bagus, ngak seperti waktu aku bawa ke rumah sakit ini. Adikku waktu di rumah sakit ditanya dokter, terus jawabnya dikit-dikit dan banyak diamnya. Pokoknya kalau lihat adikku seperti orang ketakutan. Beda waktu ke balian, adikku biasa saja, ngak ada rasa takut dan kalau cerita ngalir begitu saja. Ngak tahu kenapa”. Penuturan AA yang merupakan keluarga pasien tersebut jelas menyiratkan

bagaimana perbedaan dalam hal ikatan emosional ketika membawa adiknya

melakukan pengobatan ke balian dan pengobatan di rumah sakit jiwa. Ikatan

emosioanal yang tercipta dari hubungan keluarga pasien dengan pengobat tradisional

(balian) lebih kepada hubungan kekeluargaan dengan penuh rasa psikologis atas

kenyamanan, kepercayaan, luwes, longgar, bahasa verbal yang tidak kaku dan mudah

dipahami. Gambar berikut menunjukkan salah satu praktik batra saat mengeluarkan

kekuatan yang bersifat niskala dengan cara mengurut dan memijat bagian tertentu

tubuh pasien.

Gambar 2.2

Tampak wanita ini kesakitan saat batra mengeluarkan kekuatan niskala dalam tubuhnya

Page 28: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

26

Gambar tersebut menunjukkan keluarga pasien datang dengan keluhan ada

sesuatu yang mengganggu dalam tubuh anggota keluarganya (niskala) yang

sebelumnya tidak bisa diatasi keluarga. Dengan demikian, keluarga mempunyai

keyakinan bahwa hanya pengobat tradisional yang dapat menyembuhkannya.

Penderita dan keluarga penderita dalam perilaku pengobatan tradisional balian merasa

nyaman, artinya tidak berada di bawah tekanan bayang-bayang stigma yang sangat

menakutkan mereka. Pengobatan balian secara sistematis tidak memproduksi kegilaan

(tidak melakukan reproduksi kegilaan di masyarakat). Hal sebaliknya terjadi ketika

penderita dibawa ke rumah sakit jiwa. Label “rumah sakit jiwa” sudah merupakan

rangkaian kata yang sangat menakutkan bagi penderita dan keluarga penderita. Ikatan

emosional yang muncul kemudian adalah rasa kurang nyaman (ketidaknyamanan).

Terkait dengan gambaran perawatan ataupun pengobatan yang pernah

diberikan kepada pasien selama menjalani perawatan pada seorang balian, diperoleh

informasi dari para keluarga pasien yang pernah membawa anggota keluarganya yang

mengalami gangguan. Adapun informasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,

dibacakan mantra (perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib untuk dapat

menyembuhkan), diperciki air suci (metirta), menghirup asap dupa (medusdusan),

tubuh di-boreh dengan campuran ramuan, tubuh dipijat dan diurut, tubuh dimandikan

dengan air suci, mempersembahkan sajen. Kedua, minum air putih yang telah

dimantrai, dibacakan mantra di ubun-ubun pasien. Ketiga, metirta (diperciki air suci

sebanyak sebelas kali), persembahan sajen, minum air suci sebanyak lima kali, tubuh

diasapi dari ujung rambut ke ujung kaki, pembacaan mantra). Keempat, minum air

dari rendaman pica (benda bertuah), tubuh diolesi pica, minum ramuan yang telah

dibacakan mantra, dan penggunaan banten.

Dilihat dari cara-cara pengobatan yang dilakukan oleh balian, diperoleh

informasi bahwa cara-cara pengobatan atau perawatan yang dijalankan balian tersebut

menurut keluarga pasien sudah tepat. Hal itu diketahui berdasarkan beberapa

pengamatan terhadap pengurangan gejala ataupun tanda-tanda gangguan yang ada

pada diri pasien, seperti diutarakan oleh MN, salah seorang keluarga pasien berikut.

Page 29: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

27

“...setelah empat kali menjalani pengobatan pada jro balian dan disarankan untuk sembahyang di sanggah kemulan (kuil keluarga) serta rajin membuat banten nasi setelah selesai masak, kakak tiang sudah jarang lagi mendengar suara-suara aneh yang tadinya membuat dia ketakutan sendiri. Sakit balinya menurut saya sudah berkurang, hanya dia masih sulit untuk tidur dan masih banyak ngelamun”. Hal menarik dari penilaian keluarga pasien, yaitu walaupun mereka menilai

belum ada kemajuan ataupun perubahan kondisi pada diri pasien, mereka melihat

bahwa cara pengobatan yang dilakukan oleh balian dirasakan cukup baik. Akan tetapi,

menurut mereka mungkin belum jodho (petemuan), seperti juga diutarakan Bapak AG

keluarga pasien berikut ini.

“...saya bawa adik tiang ke balian karena saran dari tetangga. Dia punya tu aji (bapak) yang mengalami gangguan yang sama dengan adik tiang dan diobati oleh balian yang sama dan sekarang dia sudah seger (waras/sembuh). Saya pikir mungkin belum petemuannya (cocok/jodohnya) adik saya sembuh oleh balian, siapa tahu jodoh di tempat lain”. Dalam hubungan dengan konsepsi jodho-jodhoan ini Kasniyah (2003:25)

menyatakan bahwa pada kebudayaan mana pun konsepsi semacam jodho-jodho selalu

dikenal. Menurt Kasniyah, pada masyarakat Jawa dikenal engan istilah jodhon-jodhon

sebagai representasi ungkapan emik orang Jawa dalam hal perburuan tentang

kesehatan. Pada kebudayaan mana pun sebenarnya tidak pernah ada kemantapan

terhadap satu unsur penyembuhan saja. Artinya, penyembuhan adalah proses, apa pun

ditempuh demi perawatan untuk mendapat kesembuhan. Dalam hal ini tujuan untuk

sembuh yang mengatasi jodhon-jodhon. Menurut Bapak I Made Regep, selaku batra

(beliau tidak menyebut dirinya sebagai dukun atau balian, hanya orang lainlah yang

memberikan sebutan itu bukan dirirnya sendiri) pada masyarakat Bali konsep jodhon-

jodhon ini sama dengan istilah petemuan. Dalam kaitan dengan usaha pencarian

pengobatan untuk mencari kesembuhan ini orang Bali sering menyatakan bahwa, sire

uning drike wenten petemuan (siapa tahu di sana ada kecocokan). Dalam hal ini

tegaknya konsep jodhon-jodhon atau petemuan sebenarnya tidak terlepas dari

pengetahuan dan pengalaman pengobatan.

Page 30: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

28

2.5 Pilihan Perilaku Perawatan Profesional/Modern

Sistem perawatan profesional menurut Kalangie dikenal sebagai sistem medis

formal, modern, ilmiah dan kosmopolitan atau kedokteran modern (Kalangie,

1984:10). Dalam sistem perawatan profesional sejumlah besar penyakit di bawah

perawatan dan pengawasan tenaga kesehatan modern (dokter dibantu perawat dan

personal pembantu lainnya). Seturut hal tersebut, Foster dan Anderson (1986:193--

196) melihat rumah sakit sebagai subsistem ataupun institusi sistem perawatan

kesehatan modern/profesional.

Menurut Suryani (1994:10) terdapat banyak bukti bahwa orang-orang yang

menggunakan, baik sistem pengobatan/perawatan tradisional maupun profesional,

cenderung menempatkan penyakit dalam dua kategori yang luas. Kedua kategori

tersebut adalah yakni yang lebih mungkin berespons terhadap pelayanan dukun dan

yang lebih mungkin disembuhkan oleh dokter. Namun, kelonggaran yang cukup luas

harus diberikan untuk fleksibilitas dalam persepsi seperti itu. Menurut Kumbara

(1985:45), model tingkah laku itu didasarkan pada nilai, norma, dan konsep

pengetahuan yang diperoleh. Selanjutnya, dikembangkan dan diwariskan secara

turun-temurun. Tingkah laku yang selektif tersebut merupakan suatu strategi adaptasi

sosial budaya yang timbul sebagai respons terhadap ancaman penyakit.

Penuturan PT, salah seorang anggota keluarga pasien yang pernah mencoba

pengobatan modern/profesional lainnya di luar pengobatan yang dijalani pasien

sekarang di Rumah Sakit Jiwa menyatakan sebagai berikut.

“...awal gejala gangguan pada kakak perempuan saya itu, saya bawa langsung ke balian usadha di Singaraja. Kurang lebih empat kali menjalani pengobatan pada balian itu, kondisi kakakku belum ada perubahan yang berarti. Atas saran putra saya, saya pernah bawa kakak saya juga untuk cek ke dokter jiwa di RSUD Wangaya, tapi sebelumnya ke puskesmas dulu. Pernah tanpa sengaja saya bilang ke balian rencana saya bawa juga kakak saya ke dokter jiwa dan menurut balian ngak ada masalah. Sebenarnya saya bawa kakak saya ke RS jiwa ini atas saran dari balian langsung karena katanya tinggal mengobati masalah medisnya saja”. Dari penuturan keluarga pasien terlihat bahwa balian mampu memengaruhi

pasien dan keluarganya serta percaya kepada yang dinyatakan balian. Dalam hal ini

balian dengan ikhlas menganjurkan pasien untuk berobat ke rumah sakit jiwa ketika

Page 31: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

29

penyakit penderita dianggap tidak dapat diobati atau bukan bidang keahliannya. Ada

beberapa alasan yang dikemukakan oleh para keluarga pasien saat mereka baru

mencoba atau melakukan pengobatan terhadap diri pasien di Rumah Sakit Jiwa

Provinsi Bali ini. Adapaun alasan tersebut, antara lain kegagalan pada pengobatan

yang dilakukan balian, kondisi pasien sendiri yang meresahkan anggota keluarga dan

diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan ditangani para ahli, percaya

bahwa sakit balinya sudah hilang dan tinggal menyembuhkan sakit medisnya. Setelah

pasien menjalani pengobatan dan perawatan di rumah sakit jiwa, ternyata ada juga

sebagian pasien tetap menjalani pengobatan dan perawatan pada balian, seperti

pengakuan saudara HR atas sakit yang diderita bapaknya berikut ini.

“...ya sesekali saat aku besuk bapak, aku masih bawa air suci pemberian dari balian untuk aku percikkan ke bapak dan diminum juga sama bapak biar bapak bisa tenang juga terlindungi dari Ida Betara dan dijauhkan dari kekuatan jahat”. Sebelumnya pasien telah berobat ke battra (balian), tetapi belum menunjukkan

hasil yang menggembirakan. Walaupun demikian, keluarga pasien tetap saja

memanfaatkan pengobatan tradisional dalam hal ini pengobatan balian sebagai salah

satu alternatif untuk menyembuhkan sakit pasien. Masalah ketidaksembuhan setelah

berobat ke balian dianggap sebagian keluarga pasien bahwa badan halus yang masuk

ke dalam tubuh pasien terlalu kuat kesaktiannya sehingga balian tidak mampu

membujuk atau mengusirnya keluar atau karena kesalahan yang tidak dapat

dimohonkan maaf lagi. Mereka pasrah karena telah berusaha dan ternyata gagal untuk

menyembuhkan sakit anggota keluarga mereka dan menurut kepercayaaan keluarga

pasien rupanya Ida Betara memang menghendaki demikian.

Dalam hal pengamatan para keluarga pasien terhadap hasil pengobatan atau

perawatan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit jiwa terhadap diri pasien, diperoleh

beragam hasil pengobatan menurut sudut pandang keluarga pasien. Hal itu dituturkan

oleh saudara AA selaku keluarga pasien seperti berikut.

“...kalau ditanya hasil pengobatan yang sudah dijalani adik saya di rumah sakit jiwa ini, saya bingung Pak jawabnya. Soalnya kalau dibilang sudah sembuh, ngak makan waktu lama tahunya kambuh lagi adikku. Ini sudah yang ketiga kali adikku rawat jalan Pak”.

Page 32: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

30

Terkait dengan hasil pengobatan atau perawatan yang diperoleh pasien di

rumah sakit jiwa, apakah memperlihatkan adanya perubahan ataupun belum

menampakkan hasil dari sakit yang dialami, dapat diperhatikan pendapat Kintono

(1997:2). Menurut Kintono, ternyata hampir sebagian besar klien gangguan jiwa yang

memperoleh perawatan di rumah sakit jiwa memerlukan perawatan jangka panjang.

Sebagian besar dari kelompok ini umumnya menjadi kronik sehingga merupakan

beban tetap bagi rumah sakit jiwa. Kebanyakan gangguan jiwa kronik adalah dengan

diagnosis skizofrenia yang diperkirakan akan kambuh pada tahun pertama dan pada

tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit. Gambar berikut memperlihatkan salah

seorang pasien dengan diagnosis skizofrenia yang masih dalam ruang pengawasan

(kontrol RS).

Gambar 2.3

Pasien skizofrenia di bawah pengawasan kontrol otoritas medis RS

Gambar menunjukkan bagaimana staf medis RS Jiwa dalam hal ini perawat

jiwa akan selalu melakukan pengecekan langsung secara rutin pada diri pasien. Di

samping itu, juga staf medis mengamati dan mencatat kejadian-kejadian secara

tersturktur terhadap pasien dalam satu hari. Demikian seterusnya sampai dokter

memutuskan sudah diperbolehkan untuk keluar kamar dan berbaur dengan yang lain

yang telah mendahului sebelumnya. Dari distribusi pasien berdasarkan sepuluh besar

penyakit rawat inap menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat inap mengidap

penyakit gangguan jiwa diagnosis skizofrenia, yakni untuk pasien rawat inap sebanyak

86,91% (diolah dari bagian data dan rekam medis RSJ Provinsi Bali, 2014).

Page 33: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

31

Apa yang dituturkan oleh Bapak Sukenada selaku Kasi Kesehatan Jiwa

dibenarkan oleh Ibu Ida Ayu Eka Yuliati, seorang perawat jiwa menerangkan bahwa

masih banyak keluarga pasien yang mengabaikan keberadaan pasien jiwa

sekembalinya dari perawatan di rumah sakit jiwa. Lebih jauh disampaikan oleh Ibu

Ida Ayu Eka sebagai perawat jiwa sebagai berikut.

“...bagaimana tidak bolak-balik Pak, karena keluarga pasien sendiri tidak serius menanganinya. Awalnya ketika kita ajak komunikasi, keluarga pasien menyatakan kesediaannya dan sanggup memperlakukan dengan baik. Tapi kenyataannya mereka tidak mampu dengan sabar menerima dan bersikap apa yang seharusnya mereka lakukan. Dari hasil home visit yang dilakukan pihak rumah sakit, ditemukan keluarga pasien memang pada awalnya melakukan perawatan dan pengawasan langsung pasien pasca perawatan sesuai kemampuan mereka dengan baik. Implikasinya kondisi pasien pascaperawatan semakin membaik...tapi seiring waktu keluarga pasien mulai tidak disiplin dalam pemberian obat dengan alasan pasien menolak minum obat karena merasa sudah lebih baik. Mereka juga lebih banyak didiamkan saja dalam arti tidak diberikan kesibukan di rumah, keluarga mulai acuh tak acuh. Intinya dukungan keluarga masih berkurang dan keluarga mulai tidak peduli Pak. Ya itulah akhirnya pasien bolak-balik kambuh dan otomatis akan memakan waktu panjang dalam masa pengobatan dan perawatannya”. Seturut hal tersebut seperti diungkapkan oleh Ibu Ida Ayu Eka di atas dan Ibu

Yunita selaku perawat jiwa juga bahwa pada saat anggota keluarga mereka

diperbolehkan pulang, kesiapan keluarga pasien secara emosional belum matang.

Selain itu, di satu sisi pasien sendiri merasa sangat tidak nyaman atas perlakuan yang

diterimanya selama menjalani proses rawat jalan di rumah, Secara lebih lengkap hal

itu disampaikan oleh Ibu Yunita selaku perawat jiwa sebagai berikut.

“...walau kita sudah beri pengarahan dan pembekalan terkait penanganan pasien pascarawat di RS, dalam kenyataannya masih banyak keluarga pasien yang ternyata setelah mengalami langsung hari-hari di rumah bersama pasien, mereka masih banyak awalnya bersikap tidak sabar, lekas emosi, mudah marah kepada anggota keluarga mereka tersebut. Ini menyebabkan rasa tidak nyaman pasien yang menyebabkan pasien merasa diremehkan, tidak terlindungi, diperlakukan sewenang-wenang kembali yang sebabkan pasien pesimis akan perawatan yang dijalankan di rumah. Implikasinya kekambuhan pasien akan terus berulang. Tapi pihak RS tidak bosan-bosannya terus memberikan nasihat-nasihat dan pengarahan terus-menerus kepada keluarga pasien. Saya percaya batu saja bisa berlubang jika terus-menerus terkena tetesan air”.

Page 34: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

32

Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa seorang pasien bisa sembuh

karena pengobatan dan perawatan yang dijalaninya sesuai dengan petunjuk yang

disarankan. Di samping itu, bisa juga karena sugesti positif atas apa yang dikerjakan

dalam proses itu. Ada yang merasa lebih baik karena pengobatan dan perawatan

tertentu, padahal tidak bisa dimungkiri bahwa pengobatan dan perawatan yang

dijalankan itu tidak selalu bekerja/berjalan secara sempurna. Hal ini yang disebut efek

placebo (positif). Sebaliknya, karena terlebih dahulu mengetahui efek kurang baik dari

pengobatan dan perawatan tertentu, seorang pasien merasakan gejala kurang baik

tersebut benar-benar terjadi dalam tubuhnya/dirinya. Hal ini disebut efek nocebo

(negatif). Placebo bertujuan mengontrol efek dari pengharapan yang mengacu pada

fakta bahwa keyakinan tentang efektivitas suatu pengananan (pengobatan dan

perawatan) akan dapat membangkitkan harapan yang membantu mereka

menggerakkan diri sendiri untuk menyelesaikan masalah (Jeffery, 2005:22--25).

Di pihak lain menurut Widyastuti (1997:3), salah satu aspek penting penyebab

kambuhnya pasien dan masa perawatan yang panjang pada penderita gangguan jiwa

adalah karena ketidakpatuhan keluarga pasien tentang cara merawat klien di rumah.

Menurut Kepala Poli (Kapoli) Psikologi, Bapak Mad Basri, keadaan tersebut

sebenarnya dapat dihindari jika pihak keluarga menjalankan anjuran yang diberikan

oleh pihak RS, seperti memberikan obat secara teratur, rajin untuk kontrol, dan

diberikan kesibukan/aktivitas. Bentuk dukungan keluarga dalam proses pemulihan

pasien tidak saja dilakukan di rumah setelah pasien dinyatakan sembuh secara medis

dan diperbolehkan pulang, tetapi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam

perawatan di rumah sakit. Bentuk dukungan yang dimaksud menurut Ibu Ida Ayu Eka

Yuliati, yang berprofesi sebagai perawat jiwa adalah membesuk secara rutin anggota

keluarga mereka yang mengalami sakit sehingga pasien merasa tidak terbuang dari

keluarganya. Lebih jauh Ibu Ida Ayu Eka Yuliati menuturkan seperti berikut ini.

“...setelah pasien rawat inap di RS jiwa ini, masih saja ada keluarga pasien yang jarang atau sama sekali ngak pernah datang berkunjung untuk melihat keadaan anggota keluarga mereka itu, paling hanya awal-awalnya saja, setelah itu ya jarang dilihat ke sini. Padahal, menurut saya peran dan perhatian keluarga sangat penting sekali dalam mempercepat proses lama tinggal di rumah sakit. Saya melihat ada kecenderungan keluarga untuk membuang pasien, mungkin karena stigma di masyarakat itu Pak. Bahkan ada keluarga

Page 35: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

33

pasien yang mengajukan permohonan agar pasien untuk selanjutnya dapat bekerja apa saja di RS jiwa saja jikalau telah sembuh”.

Dari apa yang disampaikan oleh perawat jiwa tersebut, terlihat bahwa Rumah

Sakit Jiwa Provinsi Bali memiliki komitmen untuk selalu berusaha mempersingkat

waktu perawatan (rawat inap) pasien sebagai indikator keberhasilan perawatan.

Terkait dengan hal itu, Bapak Sukenada selaku Kasi Keswa RS Jiwa Provinsi Bali,

Bangli, menyatakan bahwa masa perawatan pasien gangguan jiwa yang ideal, yakni

selama tiga sampai empat bulan. Artinya, diharapkan dalam jangka waktu tersebut

kondisi pasien sudah membaik dan diperbolehkan pulang di samping sudah

dinyatakan sembuh secara klinis/medis.

Gambar 2.4

Kondisi pasien di ruang istirahat (ruang tidur)

Dari laporan pemakaian tempat tidur (BOR) Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

tahun 2015 diketahui bahwa rata-rata pemakaian adalah sebesar 88.14% sedangkan

BOR tahun 2014 sebesar 84.62%. Data tersebut menunjukkan bahwa berarti kapasitas

tempat tidur yang disediakan pada satu tahun terakhir mengalami peningkatan. Hal ini

disebabkan oleh gedung pelayanan untuk pasien rawat inap telah berfungsi sesuai

dengan kapasitas yang telah ditetapkan, yaitu sejumlah 400 tempat tidur dari kapasitas

340 tempat tidur pada tahun 2013. Di samping itu, menurut pihak rumah sakit jiwa,

Pemerintah Provinsi Bali memiliki program mengalokasikan dana untuk masyarakat

miskin, khusus yang mengalami gangguan kesehatan. Dengan demikian, penggunaan

Page 36: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

34

jasa rumah sakit pemerintah akan menjadi garda terdepan dalam menanggulangi

masyarakat yang tidak mampu (Lakip, 2015: 24).

Terkait dengan keberhasilan perawatan bagi pasien gangguan jiwa menurut

Basudewa, seorang psikiater di RSJ Provinsi Bali yang terpenting juga adalah seperti

apa dituturkannya berikut ini.

“...pengobatan dan perawatan terhadap pasien dikatakan berhasil jika terjadi perubahan perilaku dari sudut pandang secara klinis/medis, di mana pasien yang tadinya menunjukkan sikap yang agresif sudah berubah menjadi lebih tenang, yang awalnya selalu ngamuk-ngamuk sudah tidak ngamuk lagi, yang tadinya selalu berbicara sendiri sudah tidak bicara sendiri. Intinya pasien sudah mampu melakukan kontrol atas dirinya. Tapi sayang, realitas klinis atas kondisi pasien yang telah mengalami perubahan tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan masyarakat yang tetap melihat mereka sebagai sosok yang aneh, membahayakan, dan harus dijauhi”. Pandangan Basudewa sebagai seorang psikiater tersebut dibenarkan oleh HR

selaku keluarga pasien, seperti di bawah ini.

“...memang begitu kondisinya Pak. Buktinya ayahku pernah waktu dikatakan sembuh dan boleh pulang ke rumah, ayahku sudah ngak pernah ngamuk-ngamuk sendiri lagi, sudah ngak teriak-teriak lagi, tapi ngak tahu kenapa lingkungan tetangga sepertinya masih ngak mau kenal ayahku. Pasti orang-orang takut karena ayahku dari RS jiwa. Waktu sebelum sakit saya tahu teman ayahku banyak. Tapi sekarang dan sudah sembuh saat sudah pulang itu, beberapa bulan di rumah sangat jarang aku lihat bapakku didatangai teman-temannya yang dulu. Ayahku sepulang seharian di sawah, kalau malam hari sebelum sakit dulu selalu didatangi oleh orang-orang yang akan pijat. Ayahku punya keahlian memijat orang. Di rumah malam hari selalu ramai, baik yang datang untuk mijat atau sekedar cerita-cerita dengan ayahku. Tapi saat sudah sembuh pun seperti waktu itu dan saya tanya ayahku akan mau memijat orang lagi, tidak ada sama sekali yang mau datang, bahkan untuk cerita-cerita pun orang sudah jarang datang lagi. Terlihat ayahku saat itu banyak berdiam diri kembali, waktunya lebih banyak dihabiskan di dalam kamar menyendiri”. Dari penuturan tersebut, terlihat bahwa keterlibatan masyarakat masih sangat

rendah dan terbatas dalam penerimaan pasien jiwa dari rumah sakit. Artinya,

walaupun pasien jiwa sudah keluar dari rumah sakit jiwa dan dinyatakan sembuh

secara klinis/medis oleh pihak rumah sakit, pencitraan yang kuat masih tetap melekat

Page 37: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

35

pada diri pasien sebagai tubuh yang harus dijauhi, dihindari, dan membahayakan.

Pandangan masyarakat seperti itu menurut Ibu NN disebabkan oleh hal berikut.

“...sebagai anggota masyarakat biasa, saya melihat pihak rumah sakit jiwa khan sudah nyatakan sembuh, tapi tetap kalau dilihat para bekas pasien itu kesannya buat orang takut Pak. Ya kita jaga-jaga sebelum semuanya terjadi. Kalau tiba-tiba ngamuk dan berbuat sesuatu di luar dugaan kita, siapa yang mau tanggung jawab? Siapa yang harus disalahkan? Siapa yang harus kita marahin? Sebenarnya sich kasihan juga Pak...Tapi mau gimana lagi?...Ya lebih baik menghindarlah”. Dari pernyataan tersebut terlihat pula posisi pasien gangguan jiwa dalam

situasi yang benar-benar tidak berdaya dengan status gangguan jiwanya yang

berlangsung lama. Bahkan, dalam rajutan hidup ke depannya sekaligus pasien jiwa

lebih sebagai objek perawatan kesehatan semata yang berimplikasi pada proses

pengobatan yang bersifat bolak-balik. Pandangan model klinis/medis terkait dengan

kesembuhan pasien tersebut sering kali dikritik sebagai tindakan yang terlalu

memfokuskan diri pada penyakit. Selain itu, juga menerapkan kriteria reduksi biologis

yang kontradiktif dengan model nonklinis (pasien), yaitu person-centered focus.

Dengan demikian, fenomenanya saat pasien sudah berada di rumah dalam waktu tidak

beberapa lama, pasien akan kembali lagi ke dalam lingkaran perawatan RS jiwa.

Seturut hal tersebut, Robert & Wolfson (2004:37--49) membandingkan nilai-nilai dan

bahasa pada pandangan-pandangan tersebut, yang menunjukkan perbedaan yang

sangat signifikan di antara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Perbedaan Konsep, Bahasa, dan Nilai-Nilai Antara Pandangan Model Klinis/Medis

dan Pandangan Model Nonklinis/Nonmedis

Pandangan Model Klinis/Medis (Dokter)

Pandangan Nonklinis/Non-Medis (Pasien & Keluarganya)

Psikopatologi Menekankan pada pengalaman Patografi Biografi Antipenyakit Prokesehatan Berbasis pada penanganan Berbasis pada kekuatan Dokter dan pasien Para ahli karena pengalaman Diagnosis Makna personal Pengenalan Pemahaman

Page 38: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

36

Bebas nilai Berpusat pada nilai Ilmiah Humanistik Penanganan (Treatment) Perkembangan dan penemuan Kepatuhan Pilihan Berdasarkan hasil metaanalisis Bermodelkan para pahlawan

(tokoh) Uji coba random terkontrol Dipandu oleh narasi Kembali ke normal Transformasi Dikoordinasi oleh penanganan ahli Manajemen diri Di bawah kontrol seseorang Kontrol diri Kewenangan profesional Tangguang jawab personal Dekontekstualisasi Di dalam konteks sosial

Sumber: Roberts & Wolfson (2004: 40) 2.6 Kelelahan (Burn-Out) dan Keputusasaan

Berbagai macam metode pengobatan terhadap pasien penderita gangguan jiwa

mulai dari tradisional hingga medis sudah dijalani oleh keluarga pasien. Mereka sudah

melakukan rehabilitasi medis melalui berbagai macam terapi. Para pasien tidak sedikit

pula yang pernah mengalami kondisi kesembuhan secara klinis/medis. Namun, para

pasien penderita gangguan jiwa ini sering pula mengalami kekambuhan kembali. Oleh

karena itu proses penyembuhan penderita gangguan jiwa tidak dapat dilakukan secara

singkat, tetapi memerlukan rasa kesabaran dan proses yang panjang. Keluarga pasien

sering kali menjadi putus asa berhadapan dengan kekambuhan salah seorang anggota

keluarganya yang memiliki masalah dengan kejiwaannya. Keputusasaan keluarga

pasien tersebut tercermin dari pengakuan Bapak AG atas sakit yang diderita adik laki-

lakinya berikut. “...ini sudah yang ketiga kali adik saya dirawat di sini Pak. Kenapa makin parah begini?...berat saya jalani hari-hari untuk ngurus adik saya ini. Sering saya mengadu pada Hyang Widi...kenapa keluarga kami diberi cobaan berat begini yang harus kami pikul. Mungkin orang lain yang ngak ngalami bisa katakan sabar, berusaha tenang, ikhlas, dan lainnya...tapi saya yang jalani benar-benar berat Pak. Belum lagi masalah ribut antaranggota keluarga yang saling menyalahkan dan siapa yang bertanggung jawab untuk gantian mengawasi, ditambah penilaian masyarakat yang buruk ke keluarga kita. Ini juga adikku kenapa harus kambuh lagi...apa gunanya beberapa waktu lama diobati di sini? Kenapa tidak ada yang bisa sembuhkan adikku?...bingung dan stres saya Pak”. Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa keputusasaan bapak AG selaku

keluarga pasien terhadap kekambuhan adik laki-lakinya mengggambarkan individu

Page 39: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

37

yang tidak melihat adanya harapan kemungkinan untuk memperbaiki kondisi adiknya

lebih baik. Bahkan, semakin memburuk dan dikatakan bahwa tidak ada seorang pun

yang dapat membantunya, terbukti selalu mengalami kegagalan pengobatan

(kekambuhan). Keputusasaan berkaitan dengan kehilangan harapan, ketidakmampuan,

keraguan, duka cita, apatis, kesedihan, depresi, bahkan bisa berakibat bunuh diri.

Menurut Pharris, Resnick, dan A. Blum (dalam Abdi, 2012:4) mengemukakan

bahwa keputusasaan merupakan kondisi yang dapat menguras energi. Perasaan

ketidakberdayaan yang tidak kunjung hilang akan dapat pula menimbulkan

keputusasaan, yaitu keluarga pasien tidak mampu memandang kehidupan ke arah yang

lebih baik. Jalan pintas yang pernah dipilih dan dilakukan oleh keluarga pasien, yakni

mengabaikan penderita dalam bentuk melakukan tindakan seperti pasien

disembunyikan, diisolasi, dikucilkan. Bahkan, ada yang memasung dengan cara

mengurungnya dalam kamar dan menguncinya dan/atau mengikat tangan dan/atau

kedua kakinya dengan seutas tali atau dalam balutan beban rantai karat yang akan

memperburuk kondisi psikologis penderita. Pengakuan Bapak PT atas perlakuan yang

pernah ditujukan pada kakak perempuannya yang mengalami gangguan memberikan

gambaran sebagai berikut. “...pernah waktu sudah pulang dulu kakak saya hanya bertahan sekitar 3--4 bulan terus kambuh lagi. Pernah paling lama di rumah sekitar enam bulanan. Ini sudah rawat inap yang keempat kali Pak. Saat waktu di rumah, kakak saya sudah bisa kerjakan pekerjaan yang ringan-ringan, nyapu dalam rumah dan di luar rumah, cuci piring, cuci baju, masak juga sesekali dilakukan. Kakak saya ini belum nikah. Pernah mau nikah, calonnya meninggal karena sakit. Hari-hari waktu itu dia banyak diam di kamar dan ngelamun saja. Itulah awal gangguannya Pak. Dia ingat lagi kalau calonnya itu pernah datang ke rumah dan ngobrol-ngobrol depan halaman. Sepertinya kakak saya itu belum bisa terima calonnya meninggal. Kakak saya itu khan tinggal dengan saya...saya ajak dia Pak, tapi saya tahu kalau istriku ngak suka kakak saya ada di rumah. Hari-hari saat kakakku di rumah pascarawat inap, saya sering ribut dengan istriku. Istriku ngak terima kakakku ada di rumah...di luar dugaan saya...dia bilang ke saya, biarin saja dia ada di RS Jiwa, ngapain ada di rumah...bikin malu semua orang dan buat malu keluarga. Apa yang disampikan istriku itu lambat laun kakakku dengar juga. Kakakku banyak berdiam di kamar hari-hari, ngak mau makan, apalagi minum obat, bahkan jarang mau tidur. Belakangan dia mulai ngomong sendiri lagi seakan calonnya itu ada di depannya...dan tiba-tiba sesekali marah dan ngamuk-ngamuk pada istri saya. Pernah kakakku kabur dari rumah, tapi ada saudara jauh yang temuin kakakku itu di pasar. Tekanan dari istri yang hari-hari sangat tidak suka dengan kakakku dan ada juga tetangga yang hina kakakku...benar-benar stres saya Pak...bingung saya...mau bela istri apa kakak kandung saya itu, belum lagi mikirin omongan

Page 40: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

38

orang ke keluarga kami. Tanpa pikir panjang akhirnya saya kunci kakak saya dalam kamarnya supaya ngak kabur lagi, supaya ngak ketemu istri saya juga untuk sementara...karena kakak saya pernah marah-marah sambil ngancam ke istri saya. Saya ngak mau sesuatu terjadi antara keduanya. Akhirnya, saya ngak punya pilihan lain...kakakku masuk lagi ke sini, ngak tahu kapan boleh pulang. Benar-benar ngak tega saya lihat kakakku tapi ngak tahu harus buat apa lagi”. Kenyataan tersebut jelas menggambarkan bagaimana dalam tekanan situasi

stres, kecemasan, dan keputusasaan menghadapi dan mencari jalan keluar dari

cemoohan dan stigma yang terus berulang terhadap penderita. Sehubungan dengan itu,

keluarga melakukan perilaku mengurung penderita dalam kamar untuk menjauhkan

penderita atau mengisolasi penderita dari lingkungan sosial yang menstigmanya.

Implikasinya penderita akan mengalami kekambuhan atau kembalinya suatu penyakit

setelah tampaknya mereda (relaps) sebelum pada akhirnya pasien kembali menjalani

pengobatan dan perawatan kembali di RS jiwa.

Fenomena relaps menurut Psikolog Diana Setiawati lebih banyak diakibatkan

oleh lemahnya dukungan keluarga dan putus obat. Lebih lanjut dituturkannya sebagai

berikut.

“...relaps ini saya lihat merupakan salah satu masalah dalam penanganan pasien gangguan jiwa. Pasien dalam kasus ini harus disiplin dalam minum obat, tidak boleh putus obat, seperti halnya pasien diabetes ataupun hipertensi yang tidak boleh putus obat. Peran keluarga menjadi sangat penting dalam memantau dan mengawasi pasien untuk minum obat secara teratur. Hal penting lain saya melihat masih sangat kurangnya empati keluarga, baik dalam bentuk dukungan yang bersifat fisik maupun psikis terhadap pasien. Di sinilah pentingnya menurut saya pengetahuan dan kesadaran peran keluarga dalam merawat anggota keluarganya tersebut”. Senada dengan apa yang disampaikan Psikolog Diana Setiawati, menurut Sari

dan Istichomah (2015:26), penderita yang sudah menjalani perawatan di rumah sakit

sering mengalami kekambuhan. Kekambuhan itu terjadi karena kurangnya

pengetahuan keluarga dalam memberikan perawatan terhadap pasien gangguan jiwa di

rumah. Bapak MN salah seorang keluarga pasien mangakui bahwasannya kakaknya

kambuh lagi karena pengetahuan keluarga terkait dengan perawatan pascarawat inap

masih sangat minim, berikut penuturannya.

“...pernah sudah dapat pengarahan dari rumah sakit bagaimana cara menghadapi pasien saat di rumah Pak, dari masalah pengisian waktu luangnya, cara mengatasi pasien yang sulit minum obat, bagaimana harus bersikap

Page 41: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

39

dengan sabar, dan lainnya.Ya tapi saya akui, hanya awal-awalnya saja dijalankan Pak...selang beberapa minggu kakak saya sudah ngak terlalu diawasi. Minum obatnya mulai ngak teratur, mau melakukan pekerjaan di rumah yang ringan-ringan sering dilarang kakak istrinya katanya tetap saja kerjaan ngak beres. Jadi, setiap kerjaan yang dilakukan kakakku itu serba salah jadinya. Kakakku saat itu mulai senang ngelamun lagi, sulit tidur, gelisah pokoknya. Kakak saya ini sejak di RS jiwa kerja istrinya serabutan. Dulu kerjanya di toko artshop, pulangnya sore. Ada dua anak, tapi kurang bisa diandalkan karena saya lihat hubungannya ngak dekat dengan bapaknya. Jarang mereka perhatikan bapaknya. Saya sendiri sebagai adiknya tidak bisa bergerak sendiri kalau tidak mendapat dukungan dari istri dan anak-anaknya....tapi ini salah saya, saya harus bisa lebih perhatian penuh ke dia. Dia tinggal kakakku satu-satunya. Ya ini sekarang kakakku tinggal di RS lagi sudah hampir empat bulanan, dia minta pulang terus...sangat prihatin saya Pak”. Ungkapan di atas mengambarkan bahwa setiap kekambuhan pada penderita

gangguan jiwa akan membawa konsekuensi logis yang cukup berat, yaitu berupa

pemulihan yang berjalan lebih lambat dan kurang lengkap. Setiap kali kekambuhan

akan semakin menyebabkan peningkatan beban pada keluarga pasien, pelaku rawat

(caregiver), dan penyedia pelayanan kesehatan (RS jiwa). Seturut hal tersebut,

menurut Agusno (2009:7) secara psikososial kekambuhan akan membawa

konsekuensi yang disebut sociotoxic, yaitu akan terjadi burn-out of family, meliputi

perasaan bersalah, dampak buruk dalam segi keuangan (situasi collapse), peningkatan

ekspresi emosi, gangguan interaksi sesama anggota keluarga, penurunan jaringan

sosial, dan pengaruh terhadap staf medis berupa kekecewaan.

Sebenarnya dalam proses perencanaan kepulangan pasien gangguan jiwa dari

RSJ Provinsi Bali ini, menurut Psikolog Basri sudah diawali dengan proses

pangkajian. Menurutnya proses pengkajian yang sudah dilakukan untuk memperoleh

data dari pasien dan keluarga sehingga dapat ditemukan masalah yang dihadapi pasien

dan keluarga berhubungan dengan keadaan kesehatan pasien dan perawatannya di

rumah. Lebih lanjut disampaikan oleh Psikolog Basri sebagai berikut.

“...dalam proses pengkajian yang sudah dijalankan oleh pihak RS, yang menjadi perhatian utama antara lain masalah pengetahuan keluarga, struktur keluarga, sistem pendukungnya, dan sumber daya keluarga itu sendiri. Keluarga harus menambah pengetahuan dan melengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan sehingga dapat memperlakukan pasien dalam keluarga secara baik dan memadai. Pelaksanaan peran yang dilakukan keluarga

Page 42: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

40

sebagai bagian dari struktur keluarga serta nilai-nilai yang dimiliki dan dianut keluarga juga turut mempengaruhi kesiapan keluarga pasien. Keluarga sebagai pendukung utama bagi pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Dukungan diberikan dalam bentuk rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial, dan dorongan untuk tidak berputus asa serta terus berusaha. Akan tetapi, semuanya itu masih sering diabaikan oleh pihak keluarga yang berimplikasi pada kekambuhan pasien”. Pasien yang sudah dinyatakan sembuh secara klinis dan diperbolehkan pulang

memiliki gejala sisa yang harus tetap mendapatkan perhatian penuh dari keluarga. Di

sinilah letak pentingnya pengetahuan dan peran keluarga dalam merawat anggota

keluarga mereka pascaperawatan di RS jiwa. Akan tetapi, dalam kenyataannya, masih

saja ditemukan kurangnya pegetahuan keluarga dalam merawat pasien di rumah yang

berimplikasi pada belum dirasakannya peran keluarga pasien terhadap anggota

keluarga mereka tersebut. Gambaran jelas tentang hal tersebut, seperti dituturkan oleh

RA, salah seorang pasien jiwa yang sudah lebih dari lima kali bolak-balik menjalani

rawat inap sebagai berikut.

“...setiap aku boleh pulang sama dokter...pasti aku pikir paling ngak lama lagi balik ke sini lagi. Eh...benar khan? Ini baru beberapa minggu yang lalu aku dari rumah, sekarang aku di sini lagi. Kalau disuruh pilih...enakan di sini daripada di rumah. Teman banyak, perawat di sini baik juga, pokoknya semuanya baik, betahlah aku di sini. Aku banyak bantu petugas di sini, siapkan makan teman-teman, bantu perawat beli bahan-bahan makanan kecil ke koperasi untuk teman, menenangkan teman yang ngamuk juga, cerita segala macam dengan perawat, tapi kalau di rumah...semuanya sepertinya cuek, masa bodoh. Apalagi ayahku, jarang sekali mau bicara sama aku. Sekalinya bicara, seringnya kasar sekali sama marah terus ke aku. Katanya stres hadapi aku bolak-balik masuk RS ini terus...ibuku hanya banyak diam ngak berbuat apa...ngak bisa bela aku. Pernah waktu aku di rumah ayahku sempat opname empat hari di rumah sakit karena sakit maag. Ibuku pernah bilang ke aku untuk sementara tinggal saja dulu di rumah kakaknya. Aku tahu ibu suruh itu karena supaya aku ngak ribut terus dengan ayahku karena ibu tahu juga kalau sudah ribut pasti ayahku kumat sakit lambungnya. Ibu pernah bilang juga ke aku sudah ngak kuat tinggal degan ayahku. Di rumah aku justru jadi bosen. Ada pikiran kabur, tapi aku kasian sama ibu. Ngak ngerti salah aku apa...pasti karena aku gila ini”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bagaimana keadaan keluarga pasien

yang mengalami stres, yang akan selalu diliputi perasaan cemas, tegang, mudah

tersinggung dan frustrasi. Di samping itu, juga dimungkinkan pula adanya keluhan

Page 43: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

41

yang bersifat psikosomatis. Di sisi lain, walaupun rumah tangga kedua orang tua

pasien tetap utuh secara semu, peran ayah mereka “alpa” dan tidak mampu menjadi

model sebagai pelindung terhadap tekanan yang dirasakan keluarga dan pasien sendiri.

Hal lainnya, yaitu kualitas hubungan kedua orang tuanya cenderung “pecah” sehingga

pasien merasa marah dan tidak menghargai figur ayahnya.

Senada dengan pandangan Rosyid (1996:19--24), hal tersebut terjadi karena

terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami terus menerus dalam rentang

perjalanan perawatan pasien. Kondisi itulah yang disebut dengan burn-out muncul.

Burn-out adalah suatu kondisi psikologis yang dialami seseorang akibat stres yang

disertai kegagalan meraih harapan dalam jangka waktu yang relatif panjang atau suatu

kondisi kelelahan emosional, fisik dan mental disebabkan oleh penderitaan stres yang

berkepanjangan. Lebih jauh menurut Lee dan Asforth (1996:123--133), ada beberapa

faktor yang memengaruhi burn-out, yaitu ambiguitas, konflik, stres, beban kerja, dan

kurangnya dukungan sosial. Jika anggota keluarga pasien itu sendiri mengalami apa

yang disebut dengan burn-out, menurut Psikolog Diana Setiawati, yang terjadi adalah

harapan akan kesembuhan dan usaha menghilangkan sisa gangguan pascaperawatan di

RS jiwa akan memakan waktu yang lebih panjang. Hal itu diungkapkan berikut ini.

“...dari pengalaman saya berhadapan langsung dengan para keluarga pasien yang kembali menjalani rawat inap, mereka rata-rata menyatakan kesedihan yang mendalam atas apa yang terjadi terhadap anggota keluarganya tersebut. Keluarga pasien benar-benar stres, cemas, dan lelah, bahkan ada yang frustrasi (putus asa) tidak tahu apa yang harus dilakukan. Belum lagi ditambah beban mengatasi stigma yang selalu menghantui pasien dan keluarga pasien sendiri. Saya melihat bahwa kekuatan stigma ini benar-benar sangat berpengaruh terhadap keluarga pasien sehingga mereka tidak bisa atau tidak mampu menjalankan perannya secara baik dalam memperlakukan pasien pascaperawatan di RS jiwa. Tapi saya sering sampaikan ke keluarga pasien bahwa percayalah bahwa stigma akan hilang dengan sendirinya seiring dengan kuatnya dukungan keluarga dalam turut serta berpartisipasi aktif dalam mengoptimalkan kesembuhan pasien sehingga pasien nantinya mampu secara mandiri menunjukkan jati dirinya dengan baik”. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pascaperawatan RS pasien sangat

membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan terdekatnya, yakni keluarga mereka

sendiri. Hal itu relevan dengan apa yang disampaikan oleh Ganster dkk. (1986:102--

110) bahwa manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan kehadiran manusia lain

Page 44: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

42

untuk berinteraksi. Kehadiran orang lain di dalam kehidupan pribadi seseorang sangat

diperlukan. Hal ini terjadi karena seseorang tidak mungkin memenuhi kebutuhan, baik

fisik maupun psikologisnya, secara sendirian. Individu membutuhkan dukungan sosial

dari lingkungan terdekatnya. Hal yang sama juga terjadi pada pasien gangguan jiwa

pascarawat inap di RS jiwa tersebut.

Lebih lanjut hal itu serupa dengan apa yang disampaikan oleh Psikolog Diana

bahwa keluarga pasien sebagai caregiver memegang peranan yang sangat penting

dalam mendukung kepatuhan pasien gangguan jiwa dalam proses perawatan

selanjutnya. Dukungan keluarga merupakan salah satu sumber dukungan sosial yang

mutlak dibutuhkan pasien. Dukungan keluarga bisa saja hilang seiring dengan waktu.

Hal itu terjadi karena anggota di dalam keluarga tersebut mengalami burn-out atau

kelelahan ataupun keputusasaan dalam merawat anggota keluarganya pascaperawatan

di RS jiwa. Selain itu, juga dianggap sebagai beban oleh keluarga pasien. Sikap

tersebut diakibatkan oleh konsekuensi negatif bagi anggota keluarga pasien yang tanpa

sadar ataupun dengan sadar mengembangkan sikap-sikap perilaku penolakan,

penyangkalan, pengisolasian, dan anggapan sebagai sebuah beban berat. Gambaran di

atas dilihat sebagai family burden oleh Magliano (2008) dalam

http://www.euro.who.int/document/MNH/family-burden.id. Artinya, merupakan suatu

istilah untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan, kesulitan atau efek yang

dialami keluarga (sebagai caregiver) sehubungan dengan adanya anggota keluarga

yang mengalami gangguan jiwa yang berkepanjangan.

Menurut Sukmarini (2008:57--58) caregiver adalah seseorang yang

memberikan bantuan kepada orang yang mengalami ketidakmampuan dan

memerlukan bantuan karena penyakitnya atau keterbatasannya. Caregiver pada pasien

gangguan jiwa memiliki peran yang unik, yang membedakannya dengan caregiver

pada penyakit atau keterbatasan lainnya. Caregiver pasien gangguan jiwa (skizofrenia)

sering dihadapkan pada berbagai situasi yang membutuhkan keterampilan khusus,

seperti pada keadaan emergensi atau krisis. Di pihak lain, caregiver pasien gangguan

jiwa (skizofrenia) memiliki berbagai problematika dan keterbatasan dalam melakukan

tugasnya, sementara dukungan dan fasilitas yang tersedia bagi mereka hingga saat ini

belum memadai sehingga menjadi sebuah beban caregiver (caregiver burden).

Page 45: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

43

Magliano (dalam Sukmarini, 2008:60--61) membagi beban yang dirasakan caregiver

menjadi dua jenis beban, yakni beban subjektif caregiver dan beban objektif

caregiver. Beban subjektif caregiver memuat beban berupa perubahan emosional

(respons psikologis) yang dialami caregiver berkaitan dengan tugas (atau perannya)

dalam merawat penderita gangguan jiwa (skizofrenia). Beban subjektif yang dialami

caregiver ini berupa kecemasan, kesedihan, dan perubahan emosi. Sementara itu

beban objektif caregiver memuat berbagai beban dan hambatan yang dijumpai dalam

kehidupan suatu keluarga yang berkaitan dengan perawatan penderita gangguan jiwa.

Masalah praktis yang dialami, seperti masalah keuangan, gangguan hubungan pada

keluarga, gangguan kesehatan fisik, masalah dalam pekerjaan serta aktivitas sosialnya.

Beban berat juga dipikul oleh keluarga penderita gangguan jiwa, anggota

keluarga menjadi malu dan ikut dijauhi oleh masyrakat, bahkan terkadang keluarga

juga dipojokkan sebagai penyebab gangguan yang dialami penderita. Hal tersebut

kemudian berujung pada kelelahan dan atau keputusasaan keluarga penderita yang

mengarah pada tahap depresi, seperti yang disampaikan Psikolog Diana berikut.

“...tahap depresi dilalui keluarga pasien dengan bentuk perilaku keluarga yang ditunjukkan melalui rasa sedih, selalu kepikiran, dan selalu khawatir akan keselamatan diri pasien bila pergi meninggalkan rumah (kabur). Di samping itu, juga keluarga khawatir terhadap masa depan pasien, anak pasien, dan masa depan keluarga serta kekhawatiran-kekhawatiran lain yang diwujudkan melalui sikap menyalahkan diri sendiri, munculnya perasaan kecewa terhadap diri sendiri maupun kecewa dengan kondisi/keadaan, kurangnya konsentrasi saat bekerja dan merasakan kelelahan (burn-out) sepanjang waktu, mengalami ketakutan dan keluhan sulit untuk tidur di malam hari serta kehilangan harapan akan kesembuhan anggota keluarga mereka karena sudah lama mengalami gangguan jiwa”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa keluarga sebagai caregiver

dengan anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dirasakan sebagai suatu

beban tersendiri. Keluarga berupaya untuk mengobati atau menyembuhkannya. Akan

tetapi, realitasnya patologis gangguan jiwa itu sendiri semakin lama diderita oleh

pasien, justru semakin sulit untuk mencapai kesembuhan. Inilah yang menyebabkan

keluarga merasa tidak berdaya dan takut. Selain itu, memiliki anggota keluarga

dengan gangguan jiwa memang menimbulkan stres yang sangat besar. Secara tidak

langsung semua anggota kelaurga turut merasakan pengaruh gangguan tersebut.

Page 46: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

44

Individu dengan gangguan jiwa membutuhkan lebih banyak kasih sayang, bantuan,

dan dukungan semua anggota keluarga. Di balik kondisi kelelahan (burn-out) dan

keputusasaan keluarga pasien dalam menghadapi anggota keluarganya yang

mengalami kekambuhan tersebut, terdapat harapan untuk kesembuhan pasien. Hal itu

ditunjukkan dengan usaha keluarga untuk berupaya bangkit kembali di tengah

kelelahan dan keputusasaan. Hal yang dilakukan adalah lebih memperhatikan proses

pengobatan dan mulai mengikuti perkembangan pasien selama menjalani perawaan di

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali ini. Di samping itu, keluarga pasien juga pada

akhirnya memasrahkan kesembuhan pasien kepada Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan

Yang Maha Esa) dengan cara memperbanyak sembahyang.

Hal tesebut menurut Psikolog Basri, merupakan tahap penerimaan keluarga

dan tahapan yang paling penting. Artinya keluarga memilih untuk pasrah dan mencoba

menerima keadaan (menerima kenyataan) anggota keluarga yang mengalami

gangguan jiwa (skizofrenia) dengan tenang. Pengakuan Bapak WY sebagai keluarga

pasien menggambarkan hal tersebut sebagai berikut.

“...kalau dibilang lelah, ya pasti lelah fisik dan mental kami Pak. Sudah panjang perjalanan ngobati anak saya ini Pak sebelum masuk ke RS. Dulu pernah coba ke balian bolak-balik ngak sembuh-sembuh, malah makin parah waktu itu. Sekarang di sini anakku juga belum menampakkan kemajuan yang berarti Pak. Pernah pulang, tapi kumat lagi. Memang pernah aku putus asa Pak...tapi aku sudah memasrahkan semuanya pada Hyang Widi, Beliau yang paling paham semua-semuanya. Moga harapan yang baik masih berpihak dan terbuka untuk keluarga kami. Keluarga sudah bisa mulai trima kenyataan...terserah omongan orang yang jelek terhadap keluarga kita. Saya sudah tidak peduli omongan di luar”.

Ungkapan di atas mengisyaratkan bahwa dukungan keluarga pasien atas sikap

“menerima kenyataan” dapat dilihat sebagai sebuah ungkapan “representasi emik”

keluarga pasien. Di samping itu, sebenarnyalah merupakan kunci pertama dan utama

proses penyembuhan dan sekaligus pengendalian diri terhadap pasien. Keluarga harus

bersikap menerima, tetap berkomunikasi, dan tidak mengasingkan penderita. Tindakan

kasar, berantakan, atau mengucilkan justru akan membuat penderita semakin depresi,

bahkan cenderung bersikap kasar yang berimplikasi pada kekambuhan pasien. Terkait

dengan dukungan keluarga yang diterima tersebut, pasien RA mengungkapkan hal

berikut.

Page 47: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

45

“...memang aku punya masalah pribadi dengan ayahku, tapi pernah ibuku bilang kalau ayahku sudah mulai sadar kalau memang dia yang salah. Kata ibuku...keluarga semua sudah berusaha terima cobaan ini, cobaan aku sakit seperti ini. Keluarga berusaha untuk ngak malu lagi kalau anaknya ini ada di RS jiwa ini. Itu yang paling aku senang dari keluargaku. Pernah kakakku bilang...kenapa harus malu? Khan memang sakit, jadi harus dirawat di RS. Yang paling aku senang lagi, keluargaku masih jaga komunikasi dengan aku. Ini yang buat aku semangat untuk sembuh dan ingin kembali kumpul dengan keluargaku lagi”. Ungkapan di atas jelas mengggambarkan bahwa dukungan keluarga yang

diterima pasien sangat besar membantu dalam mengatasi tekanan psikologis, seperti

rasa sedih, putus asa, malu. Dikatakan demikian karena dirasakan pasien memiliki

dampak besar terhadap dirinya, menjadikannya merasa lebih semangat dalam

menjalani pengobatannya, tidak sedih lagi, dan menjadikan dirinya untuk berusaha

tidak malu lagi dengan orang di sekelilingnya. Selain itu, pasien juga menjadi merasa

tidak dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya. Dampak dukungan keluarga yang

diterima pasien sangat banyak membantu dalam mengatasi tekanan psikologis karena

pasien merasakan banyak manfaat yang ditimbulkan dari dukungan tersebut. Oleh

karena itu, pasien menjadi lebih optimis, mempunyai semangat hidup kembali,

menjadi lebih kuat, dan ingin cepat sembuh.

Kerja sama berbagai pihak dibutuhkan untuk mengatasi masalah ini. Artinya,

tidak hanya merupakan tanggung jawab pihak lembaga kesehatan semata, tetapi juga

menjadi tanggung jawab bersama. Artinya, dalam hal ini keluarga dan masyarakat

tidak memberikan stigma negatif dan mendiskriminasi seseorang yang memiliki

masalah kejiwaan. Mereka juga memiliki hak hidup layaknya orang-orang lain di luar

dirinya. Oleh karena itu, sangat diperlukan dukungan keluarga dan dukungan sosial

berbagai pihak untuk mencegah terjadinya kekambuhan pada penderita skizofrenia.

Jika hal itu tidak terwujud, akan berimplikasi pada terjadinya kelelahan dan

keputusasaan keluarga pasien (Permatasari, 2013:10--12).

2.7 Strategi Koping dalam Balutan Resiliensi Keluarga Pasien

Berbagai pengalaman hidup manusia, baik dalam peristiwa bencana alam,

penyakit kronis (fisik atau mental), kekerasan psikologis dan fisik, kematian

(kehilangan orang yang dicintai), maupun peristiwa yang mengakibatkan stres

Page 48: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

46

(stressfull life events) membuat individu untuk melakukan perubahan atau

penyesuaian. Perubahan atau penyesuaian cara hidup ini bisa merupakan usaha yang

besar atau kecil, begitu pula implikasinya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Para keluarga pasien dalam memberikan perawatan kepada penderita gangguan

jiwa juga pasien mengalami beban psikologis (stres) yang tidak ringan. Keluarga

pasien menggambarkan pengalaman merawat penderita gangguan jiwa sebagai

pengalaman yang berat sekali dan duka yang berkepanjangan (Pejlert, 2001:194--

204). Sependapat dengan pandangan tersebut, AA salah seorang keluarga pasien

menggambarkan pengalamannya seperti berikut ini.

“...ya berat aku jalani ini Pak. Orang-orang selalu lihat aneh ke adikku...padahal adikku itu ya diam saja, ngak pernah sama sekali celakai orang. Sama sekali ngak kebayang adikku bisa sakit gini. Dulu pernah sudah bolak-balik ke balian ngak sembuh juga. Saat sudah boleh perawatan jalan, tahunya balik lagi di sini. Setiap hari yang aku pikirkan hanya adikku ini saja. Dia sudah ditinggal sama istri dan anaknya. Anaknya ada dua ikut istrinya semua. Istrinya pergi sejak adikku masuk RS jiwa ini. Ditambah aku punya dua kakak sudah ngak pernah mau tahu dan peduli lagi dengan kondisi adikku ini. Orang tua sudah tidak tinggal serumah. Ayahku sejak tahun lalu pergi ke Jawa. Benar-benar prihatin aku lihat adikku...dari anggota keluarga sendiri ngak ada yang peduli. Tapi aku masih sangat berharap dokter-dokter di sini bisa sembuhkan adikku dan aku ngak akan tinggalin adikku sendirian”. Ungkapan gambaran keprihatian dan perjuangan perjalanan mengiringi

perawatan pasien lainnya disampaikan oleh Bapak MD atas kondisi yang dialami oleh

pamannya berikut ini. “...dia pamanku yang dekat dengan aku. Waktu orang tuaku cerai dan aku tinggal hanya dengan ibu, pamanku ini yang banyak bayar biayai sekolahku. Ngak mungkin lupa apa yang sudah pamanku beri ke aku. Sekarang pamanku dalam situasi seperti ini, sudah ditinggal istrinya meninggal dan anak keduanya juga...ngak mungkin aku diamkan pamanku dalam keadaan sakit seperti ini. Kalau ditanya lelah pasti lelah. Sebelum masuk RS ini sudah coba ke balian juga beberapa kali. Banyak belajar aku dari situasi ini...yakni masalah kesabaran. Kesabaran juga dari omongan orang, bahkan dari keluarga besar sendiri. Aku sangat tahu...pamanku juga pasti merasakan hal yang sama dengan aku...rasa lelah, putus asa, frustrasi ngak sembuh-sembuh. Tapi aku sampai detik ini tetap terus berusaha sebisa dan kemampuan aku untuk paman bisa kembali pulih. Apa-apa saja yang sudah pihak rumah sakit jiwa berikan dan sampaikan ke kita setelah pamanku keluar lagi dari RS ini akan berusaha kita jalankan lebih baik lagi. Memang aku sadar...saat pamanku dibolehkan untuk pulang itu, banyak hal yang sering tidak kita jalankan terkait apa yang sudah pihak RS bekali ke kita untuk jaga pamanku ini”.

Page 49: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

47

Dukungan keluarga pascaperawatan di rumah sakit jiwa sangat dibutuhkan

oleh anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan. Lingkungan sosial pasien

pun sangat besar berperan dalam memulihkan dan memfasilitasi pasien

pascaperawatan untuk mencapai taraf keberfungsian yang baik untuk jangka panjang

(Wiramihardja, 2005:151). Beban yang dirasakan oleh anggota keluarga pasien sangat

berat. Akan tetapi, terlihat pada umumnya keluarga pasien tetap menunjukkan rasa

tanggung jawab, dukungan, perhatian, dan kasih sayang yang besar terhadap anggota

keluarga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini keluarga

mengembangkan sikap sabar, menerima sebagai kenyataan yang harus dihadapi,

berikhtiar (berusaha), berdoa, dan pasrah terhadap Tuhan untuk yang terbaik.

Di balik tekanan beban yang dirasakan keluarga pasien sekaligus juga timbul

kesabaran dan semangat keluarga pasien dalam proses perawatan dan pengobatan

yang terus diupayakannya seperti telah digambarkan sebelumnya. Terkait dengan hal

itu, Ida Bagus Gede Banuwangsa, Kepala Unit Rehabilitasi, menyebutkan hal berikut.

“...demi meningkatkan dan mengembalikan kondisi pasien pasca perawatan RS secara optimal di rumah, diperlukan pengambilan keputusan dan sikap dukungan keluarga yang turut terlibat langsung dalam penanganan, menjauhi tindakan bermusuhan, pengembangan suasana kehangatan, meminimalisir kritikan, serta pengendalian emosi anggota keluarga”. Ditambahkan pula oleh Ida Bagus Gede Banuwangsa, seperti berikut.

“...sudah sering kali saya sampaikan ke keluarga pasien hal utama yang harus mereka pahami adalah menyadari keadaan diri anggota keluarga mereka yang mengalami sakit tersebut yang masih dalam kondisi keterbatasan baik secara psikologis dan fisik. Selanjutnya keluarga diharapkan sekali untuk bisa mempraktekkan dalam hal mengambil keputusan untuk bisa menghindari konsekuensi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selama ini ada pandangan yang keliru di sebagian besar keluarga pasien, bahwa hanya dengan cara obat-obatan saja pasien bisa sembuh sehingga mereka mengabaikan peran dan dukungan sosial yang lainnnya. Ada juga pandangan keluarga yang menyatakan jika gejala-gejala gangguan sudah tidak ada ataupun sudah berkurang dari hasil pengamatan keluarga pasien, maka saat itu juga pemberian obat akan diberhentikan oleh keluarga. Dengan kata lain pasien putus obat. Dua pandangan tersebut menurut saya salah karena selain pasien tidak boleh putus obat walaupun sudah di rumah, sangat dibutuhkan pula keaktifan peran dan dukungan keluarga dalam mengoptimalkan proses resosialisasi pasien tersebut. Itu yang selalu dan terus saya sampaikan ke keluarga pasien”.

Page 50: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

48

Ungkapan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa pasien terpenjara dalam

kondisi keterbatasan dan ketidakmampuannya. Artinya pasien tentu sangat

membutuhkan dukungan keluarga untuk menjadi individu yang lebih kuat dan

menghargai diri sendiri sehingga dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik

dan meningkatkan keberfungsiannya. Tanpa adanya dukungan keluarga, pasien akan

sulit sembuh dan mengalami kondisi yang makin memburuk.

Dukungan keluarga juga dapat berfungsi sebagai strategi preventif untuk

mengurangi stres dan konsekuensi negatif. Dukungan sosial merupakan strategi

koping penting untuk dimiliki keluarga saat mengalami stres. Koping keluarga yang

tidak efektif dalam mengenali masalah kesehatan anggota keluarga pascaperawatan di

RS dapat menyebabkan pasien kambuh (relaps) lagi. Koping keluarga terhadap pasien

merupakan penyesuaian utama yang baik bagi pasien dan keluarganya. Dukungan

sosial dapat melemahkan dampak stres dan secara langsung memperkokoh kesehatan

jiwa individual dan keluarga. Meskipun pada awalnya anggota keluarga yang merawat

penderita pascaperawatan mengalami stres, pada akhirnya keluarga pasien tetap

menunjukkan sikap penerimaan yang baik, berusaha bertindak secara positif,

mempunyai harapan yang tinggi, dan mereka memasrahkan semuanya kepada Tuhan

dengan tetap berusaha. Gambaran jelas atas hal tersebut diungkapkan WT, salah

seorang keluarga pasien seperti berikut.

“...sudah lama suamiku alami sakit gini, sekitar tujuh tahunan yang lalu pernah alami sakit seperti ini...tapi ngak sampai setahun jalani pengobatan ke balian sudah sembuh. Mulai dua tahun yang lalu suamiku sakit yang sama seperti dulu. Ini yang keempat kali rawat inap. Saat waktu pernah pulang, sakitnya kambuh lagi...sukar untuk tidur, suka ngomong sendiri, kalau marah, tidak bisa kontrol, kalau bicara, sering kali kacau dari topik yang satu ke topik lain secara tiba-tiba. Hari-hari hampir setiap 24 jam aku selalu awasi dan jaga suamiku walau tekanan dari lingkungan sosial sangat membuat aku stres. Dengan kondisi suamiku seperti ini, aku pun menjalankan tugas dan sekaligus menjalankan peran sebagai ibu dan sekaligus sebagai ayah. Kasihan anakku itu...sudah ayahnya sakit dan sudah lama juga ditinggal teman-temannya dan sahabat-sahabatnya di sekolah. Kalau ditanya soal pasrah...ya saya pasrah dan sabar jalani cobaan berat ini semua, tapi tetap berusaha agar suamiku bisa sembuh lagi. Aku juga jalani situasi ini dengan ikhlas bersama anak perempuanku satu-satunya.

Page 51: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

49

Hal yang sama juga dirasakan oleh KM, seorang ibu yang sudah ditinggal

pergi oleh suaminya, yang berjuang sendiri tanpa henti demi kesembuhan anaknya. Ia

mengalami tekanan psikologis yang kemudian tetap berusaha bangkit

(mengembangkan strategi koping) demi kesembuhan anaknya seperti dituturkannya

berikut.

“...anakku sakit seperti ini karena dulunya pernah kecelakaan ditabrak motor dari belakang dan sempat opname sekitar dua mingguan di RSUD Klungkung. Kalau ngak salah selang hampir dua tahunan yang lalu, anak saya kelihatan aneh. Anakku itu suka keluar malam, kalau saya tanya dari mana, selalu jawabnya ngak ke mana-mana. Dia juga saat itu mulai senang menyendiri, sulit disuruh mandi, dan sulit tidur. Akhirnya, dia suka ngamuk sendiri, ngomel-ngomel sendiri. Pernah saya bawa ke balian, balian bilang anakku disuruh lebih banyak sembahyang, tapi sikap-sikap anehnya itu semakin menjadi. Dia suka teriak-teriak sendiri dan marah-marah sendiri ke aku. Jadinya aku sering sedih. Pernah aku pikir apa karena kecelakaan dulu itu yang sebabkan benturan di kepalanya. Aku akhirnya bawa ke sini karena disuruh kakakku. Memang sudah ada perubahan, tapi kadang kambuh lagi. Aku khawatir dan bingung masa depan anakku ini...yang aku pikirkan sekarang, siapa yang akan merawat anakku ini kalau aku sudah meninggal?...Aku ngak mau repotkan keluarga besarku. Ini jelas cobaan yang Hyang Widhi beri ke aku. Aku sudah mulai bisa terima sekarang. Aku akan terus dampingi anakku...aku ini ibunya, aku yakin anakku suatu saat akan sembuh, doakan juga ya Pak”. Ungkapan di atas menunjukkan beban yang dirasakan oleh anggota keluarga

pasien sangat berat. Namun, keluarga pasien tetap juga menunjukkan rasa tanggung

jawab, dukungan, dan kasih sayang yang besar terhadap anggota keluarga mereka

yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini relevan dengan apa yang disampaikan oleh

Scazufca dan Kuipers (1999:154--158) bahwa beban psikologis yang dialami keluarga

pasien akan mendorong mereka untuk mencari strategi koping sebagai upaya kognitif

dan perilaku yang berubah secara konstan. Hal itu dilakukan untuk mengelola tuntutan

eksternal dan internal tertentu yang dinilai berat melebihi sumber daya (kekuatan)

seseorang. Ketakutan dan perasaan berduka juga kerap datang karena harus

menanggung stigma seumur hidup. Hal seperti ini tentunya akan menimbulkan

perasaan tertekan yang sering disebut dengan stres. Pada umumnya seseorang yang

mengalami stres atau ketegangan psikologik dalam menghadapi masalah kehidupan

sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi dan dukungan lingkungan agar dapat

mengurangi stres.

Page 52: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

50

Senada dengan hal tersebut, Lazarus (2006:46) melihat bahwa koping

sesungguhnya berpengaruh atas hasil atau akibat (outcomes) secara psikologis,

fisiologis, dan behavioral, baik di dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Koping terjadi dalam proses yang kompleks dan dinamis yang melibatkan individu,

lingkungannya, dan interaksi di antara keduanya dalam pengurangan stres. Gambaran

tentang hal tersebut seperti dituturkan oleh Bapak AY atas sakit yang diderita oleh

istrinya sebagai berikut.

“...berat sekali awalnya saya jalani hari-hari dengan kondisi istri yang sakit seperti ini. Orang lain pasti tidak akan bisa rasakan karena tidak mengalami langsung seperti saya. Rasa jengkel, sedih, kasihan bercampur aduk. Sampai pernah saya sudah putus asa dan masa bodoh juga saya ke istri saya. Istri saya sikapnya malah semakin menjadi-jadi, semakin sering ngamuk-ngamuk sendiri, teriak-teriak ngak jelas, sampai mengancam saya. Ya saat itu ya saya balas dengan bentak-bentak, saya umpat-umpat dengan kata-kata kasar. Pernah dalam satu hari karena rasa kesal, saya beri makan istri saya hanya sekali saja dalam seharinya...dan itu berlangsung beberapa hari sampai istri saya jatuh sakit. Pernah juga saya berpikir kenapa justru di keluarga saya yang alami semua ini?...Tapi setelah saya ketemu dengan seorang mangku di desa saya, saya bisa lebih menerima kondisi istri saya sekarang ini. Saya harus lebih sabar hadapi istri saya. Ini cobaan hidup saya yang harus saya jalani Pak karena walau gimana dia istri saya. Saya telah melewati masa-masa awal dalam proses perawatan istri saya yang bagi saya sangat berat dan akhirnya sampai berada di RS jiwa ini. Kakak saya pernah anjurkan saya untuk menceraikan istri saya...tapi saya marah dan tolak karena kalau saya ceraikan, dengan siapa istri saya ini nanti? Siapa yang akan merawatnya? Ngak tega saya Pak, walau bagaimana dia tetap istri saya yang harus saya jaga, apalagi sekarang ini kondisi istri saya sudah berangsur baik. Banyak kemajuan sekarang istri saya Pak. Mudah-mudahan semakin membaik terus istri saya ini”. Ungkapan di atas jelas menggambarkan bahwa pada awalnya kadar ekspresi

emosi yang tinggi yang terjadi pada Bapak AY. Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya

yang terlalu keras, berbicara kasar, menelantarkan (memberikan makan sehari sekali),

serta tidak mengindahkan keberadaan istrinya (bersikap masa bodoh) yang justru

berimplikasi pada semakin parahnya kondisi sakit istrinya. Ekspresi emosi yang tinggi

yang ditunjukkan oleh Bapak AY yang mengisyaratkan keberatannya dalam merawat

istrinya tersebut sebenarnya merupakan bentuk penolakan keluarga terhadap pasien

penderita gangguan jiwa. Hal itu terjadi karena terdapat pandangan bahwa gejala yang

ditunjukkan dan gangguan yang terjadi akan membuat aib, yang merupakan

Page 53: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

51

pertimbangan sosial budaya yang sudah menjadi falsafah hidup dalam arena sosial.

Dalam proses selanjutnya, terlebih setelah bertemu dengan seorang mangku (sosok

spiritual), Pak AY lebih bisa menerima kondisi istrinya.

Bapak AY mencoba memaknai mengapa hal tersebut terjadi pada keluarganya,

mengapa gangguan itu terjadi pada istrinya. Setelah melalui pergumulan dalam

permasalahannya kemudian mendapatkan jawaban sebagai sebuah cobaan hidup yang

harus dijalani karena menurutnya sudah menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang

suami. Selanjutnya Bapak AY mulai bisa menerima dan berusaha menjaga

kelangsungan pengobatan istrinya sampai sekarang untuk mendapatkan hasil yang

lebih baik. Hal itu relevan dengan temuan Barrowclough dan Tarrier (1990:130--131)

dalam penelitiannya bahwa pasien gangguan jiwa pascaperawatan yang tinggal

bersama keluarga dengan expressed emotion yang tinggi menunjukkan keberfungsian

sosial pasien yang rendah. Sebaliknya, pasien gangguan jiwa pascaperawatan tinggal

bersama keluarga dengan expressed emotion yang rendah menunjukkan keberfungsian

sosial pasien yang tinggi.

Hasil/temuan tersebut menunjukkan bahwa untuk meningkatkan dan

mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan diperlukan sikap

keluarga yang turut terlibat langsung dalam penanganan, menjauhi tindakan

bermusuhan, ekspresi emosi yang rendah, kehangatan, dan sedikit memberikan kritik.

Jelaslah bahwa hal penting yang dapat meningkatkan kesembuhan pasien

pascaperawatan di rumah sakit adalah dukungan keluarga sehingga akan berimplikasi

pada aspek keberfungsian sosial pasien. Francis dan Satiadarma (2004:37) melihat

bahwa dukungan keluarga menempati posisi yang penting karena merupakan

bantuan/sokongan yang diterima salah seorang anggota keluarga dari anggota keluarga

lainnya dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi yang terdapat di dalam sebuah

keluarga.

Dalam kaitan tersebut, keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan

gangguan jiwa (skizofrenia) atau gangguan mental lain mengalami berbagai macam

bentuk stres yang mengakibatkan kondisi yang ada menjadi sulit untuk dihadapi. Hal

ini menurut Hogarty (dalam Lebow, 2005:207) dipengaruhi oleh pengucilan sosial,

stigmatisasi, beban psikologis, dan beban ekonomi yang semakin meningkat. Pribadi

Page 54: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

52

yang mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang

memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas pribadi yang melibatkan

kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan,

baik internal maupun eksternal.

Grotberg (1995:5) melihat resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas

insani yang dimiliki seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memungkinkannya

untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan, bahkan menghilangkan dampak-

dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Di samping

itu, mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk

diatasi. Dari beberapa penjelasan di atas terkait dengan strategi koping dan resiliensi

keluarga pasien atas anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa, terlihat

bahwa koping merupakan bagian dari resiliensi. Peningkatan resiliensi keluarga pasien

merupakan usaha untuk membangun kekuatan keluarga dalam menyelesaikan segala

permasalahan yang muncul dalam konteks perilaku pasien pascaperawatan yang

dihadapi keluarga. Hal itu sebenarnya sebagai bentuk usaha meminimalisasi stigma

yang terjadi pada anggota keluarga mereka (sebagai upaya destigmatisasi penderita).

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan paparan terdahulu, maka dapat ditarik beberapa simpulan pokok.

Adapun simpulan yang dimaksud dapat diformulasikan sebagai berikut.

Determinan sosial budaya stigma gangguan jiwa terhadap ODGJ meliputi hal-

hal berikut yaitu pertama, pengabaian tindakan pengobatan secara cepat dan tepat

sehingga tidak jarang penderita melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak

terkontrol yang meresahkan keluarga, masyarakat, dan lingkungan sebagai sosok yang

berbahaya dan harus dijauhi. Konstruksi stigmatisasi tersebut berpengaruh pada

kondisi psikologis penderita. Penderita mengembangkan sikap pengingkaran untuk

mau menerima ataupun mengakui bahwa dirinya mengalami sakit gangguan jiwa.

Kedua, dalam hal pengucilan sosial, stigmatisasi yang diberikan masyarakat terhadap

penderita gangguan jiwa (social labeling) dan pengawasan sosial (social control),

menginstitusionalisasi para penderita gangguan jiwa dalam lingkaran pengawasan

Page 55: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

53

penuh instalasi kekuasaan rumah sakit jiwa dalam balutan normalisasi dan

keseimbangan sosial yang berlaku di masyarakat. Ketiga, dalam ketidakberdayaan,

pasien wajib patuh dan tunduk (pasrah) kepada segala aturan yang sudah tersematkan.

Pasien tidak berkuasa atas dirinya sendiri dalam kondisi posisi yang lemah dan tidak

berdaya di hadapan para aparatus medis pemegang kuasa rumah sakit jiwa. Keempat,

diskriminasi para penderita gangguan jiwa sebagai bentuk penjabaran hegemoni

kekuasaan dan dominasi otoritas aparatus sosial (kelompok, komunitas, masyarakat)

dan otoritas aparatus medis/kesehatan (dokter, psikiater, perawat) yang melahirkan

kesenjangan sosial dan kesenjangan identitas.

Adapun determinan sosial budaya stigma gangguan jiwa terhadap keluarga

penderita dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, keputusan pilihan perawatan dan pengobatan yang dijalani meliputi

perilaku perawatan tradisional (pilihan perawatan rumah tangga dan kedukunan) dan

perilaku perawatan profesional atau modern (puskesmas, rumah sakit umum, psikiater,

rumah sakit jiwa). Perilaku perawatan rumah tangga (home remedies) yang dijalani

keluarga pasien merupakan tindakan pertama berobat sendiri (self medication) yang

dilakukan untuk mengatasi penyakit dengan alasan sebagai usaha yang bersifat coba-

coba dan pertolongan yang bersifat sementara. Perilaku perawatan kedukunan dipilih

keluarga pasien karena dinilai bahwa sakit yang diderita sebagai “bukan sakit biasa”

atau bersifat niskala (personalistik), yang tidak dapat diatasi atau disembuhkan oleh

mereka sendiri. Sebaliknya, perilaku perawatan profesional/modern dipilih

berdasarkan beberapa alasan, antara lain kegagalan/tidak adanya kemajuan pada

pengobatan yang dilakukan balian, kondisi pasien meresahkan anggota keluarga dan

diri pasien sendiri, baru memahami bahwa di RSJ akan ditangani para ahli, percaya

kalau “sakit bali”nya sudah hilang, dan alasan tinggal menyembuhkan sakit medisnya

saja.

Kedua, terjadinya kelelahan (burn-out) dan keputusasaan keluarga. Hal

tersebut terjadi karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang dialami terus

menerus dalam rentang perjalanan perawatan pasien. Kurangnya pengetahuan dan

dukungan keluarga dalam merawat pasien di rumah menyebabkan kekambuhan atau

relaps (kembalinya suatu penyakit setelah tampaknya mereda) Hal itu menyebabkan

Page 56: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

54

akhirnya pasien kembali menjalani pengobatan dan perawatan di RS jiwa yang

menimbulkan keputusasaan keluarga pasien. Pasien terpenjara dalam kondisi

keterbatasan dan ketidakmampuannya. Hal itu tentu sangat membutuhkan dukungan

keluarga.

Ketiga, munculnya strategi koping dalam balutan resiliensi keluarga penderita.

Keluarga pasien membiarkan diri merasakan kekecewaan, kemarahan, kesedihan,

tekanan, kehilangan, marah, penyesalan, dan kebingungan. Akan tetapi, mereka tidak

membiarkan perasaan-perasaan tersebut bertahan lama dalam diri mereka. Koping

merupakan bagian dari resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas

insani yang dimiliki keluarga pasien untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan,

bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang

tidak menyenangkan. Bahkan, mengubah kondisi yang menyengsarakan menjadi

kondisi menerima kenyataan untuk diatasi. Pribadi yang mampu bertahan dalam

kondisi sulit tersebut disebut dengan pribadi yang memiliki resiliensi.

3.2 Saran

Sejalan dengan tujuan penelitian, kajian, dan simpulan di atas ada beberapa

saran yang dapat dikemukakan sebagai rekomendasi dan tindak lanjut penelitian ini.

Saran-saran tersebut dicantumkan di bawah ini.

Pertama, sebagai upaya destigmatisasi terhadap gangguan jiwa, perlu adanya

peningkatan kerja sama berbagai pihak, antara lain dinas kesehatan, pihak rumah sakit

jiwa (pastisipasi psikiater, psikolog, perawat), puskesmas, pemuka agama, dan pihak

keluarga pasien, Di samping itu, juga testimoni langsung pasien yang telah sembuh

untuk menyampaikan segala informasi kesehatan jiwa dan masalah gangguan jiwa

kepada masyarakat sebagai upaya meminimalisasi stigma yang ada (upaya

destigmatisasi).

Kedua, rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan

mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih bersifat

terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara pihak

rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat. Kerja sama

tersebut dapat berwujud mengadakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk

Page 57: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

55

mengembalikan keberfungsian sosial pasien pascaperawatan. Selain itu, juga

sosialisasi kepada keluarga pasien untuk mengembangkan pengetahuan dan

memperoleh informasi yang banyak mengenai penanganan dan perawatan pasien

pascaperawatan. Di pihak lain, terapi bagi penderita gangguan jiwa bukan hanya

pemberian obat dan rehabilitasi medik. Namun, aspek psikoedukasi menempati poisisi

yang penting pula dalam aspek resosialisasi pasien guna pencegahan kekambuhan.

Ketiga, para perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada anggota

keluarga yang salah seorang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa,

hendaknya memperhatikan masalah pengetahuan keluarga pasien dalam merawat

anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini perawat ketika

memberikan pendidikan kesehatan (psikoedukasi) menggunakan “bahasa” yang dapat

dimengerti oleh keluarga pasien. Di samping itu, juga mengembangkan hubungan

komunikasi yang tidak bersifat otoritatif.

Keempat, keluarga pasien dalam mendapat edukasi tentang penyakit gangguan

jiwa dan sebagai unit yang paling dekat dengan pasien diharapkan mengerti kondisi

yang dialami anggota keluarganya. Selain itu, dengan penanganan yang tepat dapat

merawat, menjaga, dan memperhatikan kesembuhan pasien. Oleh karena itu,

sebaiknya keluarga menjadi support-group utama bagi pasien. Artinya, dukungan

keluarga terhadap pasien menjadi hal yang paling penting dalam proses

resosialiosasi dan pencegahan kekambuhan demi kesembuhan pasien. Hal itu berarti

bahwa keluarga hendaknya menjaga lingkungan yang sehat secara psikologis bagi

pasien.

Kelima, pasien gangguan jiwa pascaperawatan di rumah sakit jiwa hendaknya

meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat. Di samping itu, juga rutin

melakukan kontrol dan aktivitas, serta interaksi sosial sehingga keberfungsian

sosialnya dapat meningkat dan nantinya akan berkembang.

Keenam, saran bagi kalangan akademisi. Kehidupan yang normal dan

seimbang (ekuilibrium) yang ditemukan setiap hari dalam memandang dunia

seharusnya menjadi tolak pikir utama bagi kita untuk berpikir kritis. Hal itu penting

karena di baliknya terdapat relasi-relasi kekuasaan yang bersemayam dan tersebar

demi kepentingan segelintir orang. Pernyataan ini selaras dengan pemikiran Michel

Page 58: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

56

Foucault yang mengkritik kekuasaan yang disebarkan oleh ilmu-ilmu pengetahuan

melalui kebenarannya untuk mendisiplinkan tubuh manusia untuk mewujudkan

masyarakat yang disipliner.

DAFTAR PUSTAKA

Abdi, A. Surya. 2012. “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Keputusasaan” dalam Asuhan Keperawatan Jiwa. Makassar: Universitas Muslim Indonesia.

Agusno, Mahar. 2009. “Peranan Falsafah Hidup Keluarga dalam Mendukung

Kelangsungan Pengobatan Penderita Skizofrenia, Studi Kualitatif” dalam Jiwa Majalah Psikiatri, Indonesian Psychiatric Quarterly Tahun XLII No. 1, Januari. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharmawangsa”.

Angermeyer, M.C., Matschinger, H. 2003. “The Stigma of Mental Illness: Effects of

Labelling on Public Attitudes Towards People with Mental Disorder”. Acta Psychiatr Scand, 108: 304--309. Germany: Department of Psychiatry, University of Leipzig.

Andrewin. 2008. “Stigmatization of Patients with HIV/AIDS among Doctors and Nurses in Belize”. AIDS Patient Care and STDs. 22(11).

Barrowclough, C., Tarrier, N. 1990. “Social Functioning in Schizophrenia". Social Psychiatry and Psychiatric Epidemiology, 25.

Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in Bali. Department of Anthropology of Sydney.

Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1978. Medical Anthropology. New York: John Wiley & Son Inc.

Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI Press.

Francis, S., Satiadarma, M.P. 2004. “Pengaruh Dukungan Keluarga terhadap Kesembuhan Ibu yang Mengidap Penyakit Kanker Payudara”. Jurnal Ilmiah Psikologi: ARKHE, Th. 9, No. 1. Fak. Psikologi Univ. Tarumanagara.

Ganster, D.C., Fusilier, M.R., dan Meyes, B.T. 1986. “Role of Social Support in The Experience of Stress at Work”. Journal of Applied Psycholog, 71.

Page 59: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

57

Goffman, Erving. 1963. Stigma: Notes on the Management of Soiled Identity. Englewod Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Grothberg, H. Edith. 1995. A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Hague: Bernard Van Leer Foundation.

Helman, Cecil G. 1990. Culture, Health and Illness: An Introduction for Health Professionals. (2nd ed.). England: Butterworth-Heinemann Ltd.

Herek, D. 2002. “HIV Related Stigma and Knowledge in the United States : Prevalence and Trends, 1991--1999”. American Journal of Public Health (3).

Irawadi, Giman. 1983. “Pola Pemilihan Sumber Perawatan Tuberkulosis Paru-Paru”. Tesis Pascasarjana, Bidang Antropologi Pengkhususan Antropologi Kesehatan Fakultas Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia.

Irmansyah. 2009. “Pemberdayaan Masyarakat Berperan Penting dalam Pemulihan Penderita Skizofrenia” dalam Jiwa, Indonesian Psychiatric Quarterly. Tahun XLII No. 1. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.

Jeffery, Nevid. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.

Kalangie, Nicolas Silvanus. 1984. “Peranan dan Sumbangan Antropologi dalam Bidang Pelayanan Kesehatan, Suatu Kerangka Masalah-Masalah Penelitian dalam Analisis”. Makalah Seminar Peranan Universitas dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Menunjang Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta 13-16 Februari.

Kasniyah, Naniek. 1985. “Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi Orang Jawa”. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.). Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud.

Kasniyah, Naniek. 2003. “Sinten Ngertos Jodho, Mbokmenawi Mantun” dalam Harian Minggu Suara Merdeka, 20 Juli.

Kearl, Michael C., dan Chad Gordon. 1992. Social Psychology. Boston: Allyn and Bacon

Kintono, F. 1997. “Mengenal Skizofrenia” disampaikan dalam Temu Keluarga Pasien Skizofrenia. Malang: RSJ Pusat Lawang.

Kleinman. 1980. Patients and Healers in the Context of Culture: An Exploration of the Borderland Between Anthropology, Medicine, and Psychiatry. Los Angeles London: University of California Press Berkeley.

Page 60: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

58

Kumbara, A.A. Ngurah Anom. 1985. “Kerangka Konseptual Perawatan Kesehatan sebagai Lapangan Penelitian” Widya Pustaka, II. (5). Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Lakip. 2015. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

Lazarus, R.S. 2006. “Emotions and Interpersonal Relationships: Toward a Person-Centered Conceptualization of Emotions and Coping”. Journal of Personality, 74.

Lebow, L.Jay. 2005. Hand Book of Clinical Family Therapy. Canada: John Wiley & Son, Inc.

Lee, R.T. dan B.E. Asforth. 1996. “A Media Analytic Examination of The Correlates of The Three Dimention of Burnout”. Journal of Applied Psychology Vol. 81 No. 2. The American Psychology Ass. Inc.

Lieberman, R.P., & Kopelowicz, A, 2002. “Recovery from Schizophrenia: A Challenge for 21 Century”. International Review of Psychiatry, 14(4).

Magliano. 2008 dalam http//www.euro.who.int/document/MNH/family-burden, diakses 10 desember 2015.

Marum, E., Mbori-Ngaca, D., Cock K.M.D. 2002. Shadow on the continent : Public Health and HIV/AIDS in Africa in the 21 The Lacent.

Mudhoffir, Abdil Mughis, 2013. “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan bagi Sosiologi Politik” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 18, No. 1, Januari.

Nanda. 2012. Nursing Diagnoses: Definition anda Classification 2012-2014. Philadelphia-USA. NANDA International.

Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.

Pejlert, A. 2001. “Being Parent of Adult Son or Daughter with Severe Mental Illness Receiving Professional Care: Parent’s Narratives”. Health and Social Care in the Community, 9(4).

Permatasari, Linda. 2013. “Gambaran Dukungan Sosial yang Diberikan Keluarga dalam Perawatan Penderita Skizofrenia di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat” dalam Naskah Publikasi Fakultas Ilmu Keperawatan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Roberts, G. & Wolfson, P. 2004. “The Rediscovery of Recovery”. Advances in Psychiatric Treatment, 10.

Rosyid, Haryanto F. 1996. “Burnout: Penghambat Produktivitas yang Perlu Dicermati”. Bulletin Psikologi, Tahun IV, No. 1. Agustus

Page 61: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

59

Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. 2014. Data Rekam Medis Pasien Rawat Inap dan Pasien Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.

Sari, Nila Permata dan Istichomah. 2015. “Pengaruh Pendidikan Kesehatan tentang Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) terhadap Pengetahuan Keluarga dalam Merawat Pasien di Poli Jiwa RSJD Dr. RM. Soedjarwadi Klaten, Jawa Tengah” dalam Jurnal Kesehatan Samodra Ilmu Vol. 6, No. 1, STIKES Yogyakarta.

Scazufca, M. dan Kuipers, E. 1999. “Coping Strategies in Relatives of People with Schizophrenia Before and After Psychiatric Admission”. British Journal of Psychiatry, 174, 154‐-158.

Sheewangisaw, Z. 2012. “Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress on Public Health, 1(1).

Shrivastava, Amresh dan Johnston, Megan E. 2011. “Origin and Impact of Stigma and Discrimination in Schizophrenia - Patients’ Perception: Mumbai Study”. Stigma Research and Action, Vol 1, No 1.

Sipahutar, Ida Erni dan Paramita, Ni Putu Ari. 2011. “Dukungan Keluarga dan Keberfungsian Sosial pada Klien Skizofrenia” dalam Jurnal Gema Keperawatan. Volume 4, Nomor 1.

Subandi, M.A. 2008. “Ngemong: Dimensi Keluarga Pasien Psikotik di Jawa” dalam

Jurnal Psikologi Vol. 35, No. 1. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sulasmi, Ni Wayan. 2013. “Hubungan Stigma Keluarga dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Bangli”. Skripsi Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar. Tidak Diterbitkan.

Sukmarini, Natalingrum. 2008. “Optimalisasi Peran Caregiver dalam Penatalaksanaan Skizofrenia”. Bagian Psikiatri FK Unpad. Disampaikan pada Konferensi Nasional V Skizofrenia di Lombok, 24--26 Oktober

Suryani, L.K. 1994. “Penanganan Gangguan Jiwa dengan Pendekatan Bio-Psiko-Sosio-Budaya-Spiritual”. Disajikan pada Seminar Lokakarya Psikiatri Budaya Indonesia. Tuban, Bali, 22--23 Juli.

Suryani, L.K. 1999. Pendekatan Bio-Psiko-Spirit-Sosiobudaya di Psikiatri FK Unud. Denpasar: Laboratorium Psikiatri FK Unud RSUP Sanglah.

Switaj, Piotr & Jacek, Wciorka. 2012. “Experiences of Stigma and Discrimination Among Users of Mental Health Services in Poland”. Transcultural Psychiatry, Vol. 49, No. 1.

Page 62: PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA …

60

Thong, Denny. 1979. “Beberapa Pandangan Mengenai Pengobatan Tradisional dari Sudut Kesehatan Jiwa dan Kesehatan Masyarakat di Bali”. Simposium Kesehatan Jiwa, 8 Desember. Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Dharmawangsa.

Watson. 2004. “Stop the Stigma: Call Mental Illness A Brain Disease”. Schizophrenia Bulletin, Vol. 30, No. 3. United Kingdom: Oxford University Press.

Wellin, Edward. 1977. “Theoritical Orientation in Medical Anthropology: Continuity and Change Over The Past Half Century” dalam David Landy, ed., Culture, Disease and Healing Studies in Medical Anthropology. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.

Widyastuti. 1997. “Peran Keluarga dalam Penanganan Penderita Gangguan Jiwa Skizofrenia” disampaikan dalam Temu Keluarga Pasien Skizofrenia. Malang: RSJ Pusat Lawang.

Wilkinson, J.M. 2007. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Edisi 7. Jakarta: Penebit Buku Kedokteran EGC.

Wiramihardja, S.A. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT Refika Aditama.

Young, James C. 1980. “A Model of Illness Treatment Decision in A Tarascan Town” dalam American Anthropologist, Vol. 7.

Yud. 2014. Menkes Ajak Pemda Wujudkan Indonesia Bebas Pasung. Tersedia pada:http://www.beritasatu.com/kesra/183215menkesajakpemdawujudkan-indonesia-bebas-pasung.html, diakses 10 September 2015.

Sumber Arsip:

Departemen Kesehatan RI KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) No. 406, 2009 tentang Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Sumber Internet:

http://halocities.com/7948. 2012. “Jumlah Pasien Gangguan Jiwa di Bali Meningkat”, akses 15 September 2013.

http://www.kemsos.go.id/ akses 8 November 2016.

http://www,republika,co,id Purwoko, Krisman. 2010. Duh... 30 Ribu Penderita Gangguan Jiwa di Indonesia Masih Dipasung, akses 8 Juni 2016.