portofolio stemi
DESCRIPTION
PORTOFOLIO STEMI, IMATRANSCRIPT
PORTOFOLIO
ST ELEVASI MIOKARD INFARK
Oleh:
dr. Rocherman Gema Aditama
Pembimbing:
dr. Miftahul Affandi, Sp. JP
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH A.M PARIKESIT
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA
TENGGARONG
2014
LEMBAR PENGESAHAN PORTOFOLIO
ST ELEVASI MIOKARD INFARK
Diajukan Oleh :
Nama : dr. Rocherman Gema Aditama
Dipresentasikan
Tanggal : 21 November 2014
Pembimbing I Pembimbing
(dr.Ibnoe Soedjarto, M.Si.Med., Sp.S) (dr. Miftahul Affandi, Sp. JP)
Pembimbing II,
(dr. Nurindah Isty R, M.Si.Med., Sp. KFR)
1
No ID dan Nama Peserta : Rocherman Gema Aditama
No. ID dan Nama Wahana : RSUD AM Parikesit
Topik : STEMI
Tanggal (kasus) : 12 November 2014
Tanggal Presentasi : 20 November 2014
Pendamping : dr. Miftahul Affandi, Sp.JP
Obyektif Presentasi
√ Keilmuan ○ Keterampilan √ Penyegaran √ Tinjauan Pustaka
√ Diagnostik √ Manajemen ○ Masalah ○ Istimewa
○ Neonatus ○ Bayi ○ Remaja √ Dewasa ○ Lansia ○ Bumil
Deskripsi
Dewasa laki-laki, 40 tahun, dibawa ke rumah sakit karena mendadak pingsan.
Tujuan
Mampu mendiagnosis kasus sindrom koroner akut (ST elevasi miokard infark), serta mampu
melaksanakan penatalaksanaan awal kasus SKA
Bahan Masalah
√ Tinjauan pustaka ○ Riset √ Kasus ○ Audit
Cara Membahas
○ Diskusi √ Presentasi dan Diskusi ○ Email ○ Pos
2
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS) meliputi spektrum
penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil (unstable angina).
Didefinisikan pada sekumpulan keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. SKA merupakan suatu spektrum dalam perjalanan penderita penyakit
jantung koroner (aterosklerosis koroner). SKA dapat berupa angina pektoris tak stabil,
infark miokard dengan non-ST elevasi, infark miokard dengan ST elevasi dan atau
kematian jantung mendadak.
Pada tahun 2009, sekitar 689.000 pasien masuk rawat inap di RS Amerika
Serikat dengan terdiagnosis sebagai SKA. Insidensi STEMI telah menurun dalam
dekade terakhir, sedangkan kelompok SKA dengan tanpa ST elevasi justru mengalami
peningkatan. Saat ini, STEMI merupakan penyebab dari 25 hingga 40% dari kejadian
infark miokard.
Sekitar 23% dari pasien dengan STEMI di Amerika Serikat menderita diabetes
mellitus, dan sedikitnya dua per tiga dari penyebab kematian pasien dengan DM adalah
berhungan dengan penyakit jantung koroner. DM dengan STEMI dihubungkan dengan
peningkatan angka mortalitas jangka pendek dan jangka panjang. Perfusi jaringan
miokardial setelah restorasi aliran darah koroner lebih terganggu pada pasien dengan
DM.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
- Nama : Tn. D
- Usia : 64 tahun
- Pekerjaan : Pensiunan
- Jaminan : BPJS
- MRS : Melalui IGD tanggal 12 November 2014
2. Anamnesis
- Keluhan utama :
Mendadak pingsan saat di rumah
- Riwayat penyakit sekarang :
Keluhan dialami sekitar 3 jam sebelum MRS. Pasien mendadak
merasa hanyut dan kemudian pingsan saat sedang beraktivitas ringan di
halaman belakang rumahnya (memberi makan ternak). Segera setelah
pingsan, pasien bisa bangkit sendiri dan berjalan terhuyung-huyung
menuju ke rumah nya yang berjarak sekitar 40 meter dari halaman
belakang. Pasien tidak merasakan adanya nyeri dada, sesak nafas,
berdebar-debar, keringat dingin, mual, ataupun muntah. Pasien setelah itu
segera dibawa oleh keluarganya ke IGD RS AM Parikesit.
- Riwayat penyakit dahulu :
Menderita diabetes melitus, sejak sekitar 5 tahun yang lalu. Meminum
3 macam obat anti diabetes (OAD)
Menderita hipertensi sejak 3-4 tahun yang lalu. Meminum satu macam
obat anti hipertensi.
- Riwayat penyakit keluarga :
Ibu dan saudara kandung pasien menderita diabetes mellitus
3. Pemeriksaan Fisik
Di IGD pukul 13.30 wita
- Keadaan umum : Sakit sedang
4
- Kesadaran : GCS E4V5M6
- Tanda vital :
Nadi : 96 kali per menit, isi cukup, reguler
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nafas : 26 kali per menit
- Kepala-Leher : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), nafas
cuping hidung (-), sianosis bibir (-)
Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Retraksi dinding dada (-), vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheeze (-/-)
Abdomen : flat, palpasi soefl, perkusi timpani, shifting dullness (-),
hepatosplenomegali (-), BU (+) kesan normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-)
4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Darah lengkap KDL Serum elektrolit
Hb 13,1 GDS 259 Na 145
Leukosit 9.600 Ureum 69 Ka 5,0
Hematokrit 38% Kreatinin 2,2 Cl 109
Plt 242.000
5
Foto Rontgen
Interpretasi : CTR ± 65%, kesan kardiomegali
EKG
6
Interpretasi :
Elevasi segmen ST di lead II, III, AVF
Elevasi segmen ST di V3, V4, V5, V6
5. Diagnosis
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Inferior-Antero-Lateral + DM tipe II +
Nephropati Diabetik
6. Penatalaksanaan
Di IGD pukul 14.00
- IVFD RL 10 tpm
- O2 nasal kanul 3-4 Lpm
- Aspirin 3 tablet
- CPG 4 tablet
- Artovastatin 1 x 20 mg
- Injeksi Ondansetron 1 ampul
- Injeksi Ranitidine 2 x 50 mg
- Pasang kateter
- Cari kontraindikasi absolut terapi trombolitik
- Terapi trombolitik
IVFD Streptokinase 1,5 juta IU encerkan dalam NaCl 100 cc (30 tpm),
40-60 menit
- 2 jam pasca terapi trombolitik, lakukan EKG ulang
- EKG jantung kanan
7
- Masuk ICCU
Pasien masuk ICU pukul 18.00 wita
Follow up dokter jaga IRNA pukul 18.30 wita
- S : Sesak nafas (-), nyeri dada (-)
- O :
Kesadaran GCS 15
Tekanan darah 70/40 mmHg, HR : 85 kali per menit
K/L : An (-/-), nafas cuping hidung (-), sianosis (-)
Jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : Retraksi dinding dada (-), vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheeze (-/-)
Abdomen : flat, palpasi soefl, perkusi timpani, shifting dullness (-),
hepatosplenomegali (-), BU (+) kesan normal
Ekstremitas : Akral dingin, edema (-/-)
- A : STEMI Inferior-Anterior-Lateral + Syok Kardiogenik
- P :
Pukul 18.30 TD 70/40 mmHg Dopamin 5 mcg/kg/menit
observasi 30 menit jika TD tidak naik, dopamin 8-10 mcg/kg/menit
Loading cairan RL 200 cc dalam 30 menit
Pukul 19.30 TD 89/58 mmHg Dopamin 10 mcg/kg/menit dan
dobutamin 5 mcg/kg/menit
Pukul 20.10 TD 100/64 mmHg Dopamin 5 mcg/kg/menit dan
dobutamin 5 mcg/kg/menit
IVFD RL 10 tpm
O2 nasal kanul 3-4 Lpm
Aspirin 3 tablet
CPG 4 tablet
Artovastatin 1 x 20 mg
Injeksi Ondansetron 1 ampul
Injeksi Ranitidine 2 x 50 mg
Injeksi Arixtra 1 x 2,5 mg
Ekstra Furosemid 1 ampul
8
Captopril 3 x 6,25 mg jika TD > 100
7. Resume
Pasien laki-laki, usia 64 tahun, datang dengan keluhan pingsan di rumah 3 jam
sebelum MRS. Tidak ada keluhan nyeri dada, sesak nafas, berdebar-debar,
keringat dingin, mual atau muntah. Riwayat penyakit dahulu menderita DM
selama 5 tahun terakhir dan hipertensi sejak 3-4 tahun terakhir. Pemeriksaan
fisik dalam batas normal. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan GDS
(259 mg/dl), serta nilai ureum (69 mg/dl) dan kreatinin (2,2 mg/dl). Foto
rontgen kesan kardiomegali, dan EKG Elevasi segmen ST di lead II, III, AVF
dan elevasi segmen ST di V3, V4, V5, V6. Saat rawat di ICU pasien
mengalami penurunan tekanan darah.
9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Sindrom Koroner Akut (ST Elevasi Miokard Infark)
1. Definisi
Sindrom koroner akut (acute coronary syndrome/ACS) meliputi
spektrum penyakit dari infark miokard akut (MI) sampai angina tak stabil
(unstable angina). Penyebab utama penyakit ini adalah trombosis arteri
koroner yang berakibat pada iskemi dan infark miokard. Derajat iskemik dan
ukuran infark ditentukan oleh derajat dan lokasi trombosis.
Dalam kaitannya dengan penyakit jantung koroner, dikenal sejumlah
istilah sebagai berikut :
- Angina Pektoris Stabil. Sindrom klinis yang ditandai dengan rasa tidak
enak di dada, rahang, bahu, punggung, atau lengan, yang biasanya
dicetuskan oileh kerja fisik atau stress emosional dan keluhan ini akan
berkurang dengan istirahat dan pemberian nitrogliserin.
- Angina Prinzmetal. Nyeri dada yang disebabkan spasme fokal dari arteri
koronaria. Nyeri dada seperti serangan angina dengan derajat yang lebih
berat, dan sering terjadi pada saat istirahat, tidak berkaitan dengan aktivitas
fisik dan terkadang gejala muncul secara siklik (timbul pada waktu yang
sama setiap harinya).
- Sindrom Koroner Akut (SKA). Didefinisikan pada sekumpulan keluhan
dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokard akut. SKA
merupakan suatu spektrum dalam perjalanan penderita penyakit jantung
koroner (aterosklerosis koroner). SKA dapat berupa angina pektoris tak
stabil, infark miokard dengan non-ST elevasi, infark miokard dengan ST
elevasi dan atau kematian jantung mendadak.
2. Epidemiologi
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini
merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju
10
dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global penyakit
ini akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang,
menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia,
PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar 36%
dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka kematian
akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi
penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh
kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka
kematian yang disebabkan oleh kanker (6%).
Pada tahun 2009, sekitar 689.000 pasien masuk rawat inap di RS
Amerika Serikat dengan terdiagnosis sebagai SKA. Insidensi STEMI telah
menurun dalam dekade terakhir, sedangkan kelompok SKA dengan tanpa ST
elevasi justru mengalami peningkatan. Saat ini, STEMI merupakan penyebab
dari 25 hingga 40% dari kejadian infark miokard.
Sekitar 23% dari pasien dengan STEMI di Amerika Serikat menderita
diabetes mellitus, dan sedikitnya dua per tiga dari penyebab kematian pasien
dengan DM adalah berhungan dengan penyakit jantung koroner. DM dengan
STEMI dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas jangka pendek dan
jangka panjang. Perfusi jaringan miokardial setelah restorasi aliran darah
koroner lebih terganngu pada pasien dengan DM.
3. Etiologi
Aterosklerosis pembuluh darah kornoner merupakan penyebab tersering
dari PJK. Aterosklerosis disebabkan adanya timbunan lipid di lumen arteri
koronaria sehingga secara progresif mempersempit lumen arteri tersebut dan
bila keadaan ini terus belanjut, maka dapat menurunkan kemampuan pembuluh
darah untuk berdilatasi. Dengan demikian, keseimbangan penyedia dan
kebutuhan oksigen menjadi tidak stabil sehingga membahayakan miokardium
yang terletak disebelah distal dari daerah lesi. Lesi diklasifikasikan sebagai
berikut :
- Endapan lemak. Merupakan tanda awal terbentuknya aterosklerosis,
ditandai dengan penimbunan makrofag dan sel otot polos berisikan
11
lemak (terutama kolesterol oleat) pada daerah fokal tunika intima
pembuluh darah. Secara mikroskopik endapan lemak terlihat mendatar
dan bersifat non obstruktif, sedangkan secara kasat mata endapan lemak
tampak kekuningan pada permukaan endotel pembuluh darah.
- Plak fibrosa (plak ateromatosa), merupakan daerah penebalan tunika
intima yang meninggi dan dapat diraba dengan permukaan opak yang
keluar ke arah lumen sehingga menyebabkan obstruksi. Plak fibrosa
terdiri dari inti pusat lipid, debris sel nekrotik, dan kolagen. Seiring
berkembangnya lesi, terjadilah pembatasan aliran darah koroner,
remodelling vaskular, dan stenosis luminal sehingga rentan terjadi
ruptur plak yang memicu trombosis vena.
- Lesi lanjutan. Terjadi bila suatu plak fibrosa rentan terhadap terjadinya
kalsifikasi, nekrosis sel, perdarahan, trombosis, atau ulserasi sehingga
dapat menyebabkan infark miokard.
4. Faktor Risiko
4.1 Tidak dapat diubah
- Umur. Seiring dengan bertambahnya umur, maka resiko penyakit
jantung akan meningkat, sama seperti penyakit-penyakit lainnya.
Hal ini terkait dengan kemungkinan terjadinya atherosclerosis
yang makin besar, terkait dengan deposit lemak serta elastisistas
pembuluh darah yang makin menurun seiring dengan
bertambahnya umur. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada
laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya
umur.
- Jenis kelamin. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan wanita. Diduga karena pengaruh estrogen. Namun, setelah
wanita menopause, insidensi terjadinya hampir sama
- Genetik. Terjadinya aterosklerosis premature karena reaktivitas
arteria brakhialis, pelebaran tunika intima arteri karotis, penebalan
tunika media.
12
- Ras. Perbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat
menyolok, walaupun bercampur baur dengan faktor geografis,
sosial dan ekonomi .
4.2 Dapat diubah
- Merokok. Merokok dapat memicu terjadinya aterosclerosis,
melingkupi meningkatnya proses oksidasi modifikasi dari LDL
dan menurunkan HDL dalam sirkulasi. Kelainan disfungsi endotel
pembuluh darah disebabkan karena jaringan tersebut mengalami
hipoksia dan peningkatan adhesi dari trombosit.
- Hipertensi. Kenaikan tekanan darah (sistolik atau diastolik)
memperbesar kemungkinan untuk beresiko aterosklerosis, peyakit
jantung koroner dan stroke. Hubungan kenaikan darah dengan
penyakit kardiovaskular tidak memperlihatkan hasil akhir yang
baik. Lebih dari itu resiko akan terus naik dengan nilai progresif
yang tinggi.
- Diabetes mellitus. Diabetes meningkatkan resiko terjadinya
aterosklerosis dan orang dengan diabetes melitus memiliki 2-3
kali peningkatan kemungkinan terjadi gangguan pada
kardiovaskular. Seseorang dengan diabetes seringkali memiliki
fungsi endotel yang lemah ini dapat diukur dari menurunnya
bioavailabilitas dari NO dan meningkatnya perlekatan leukosit.
Diabetes tipe- II adalah bagian tersering dalam syndrom
metabolik dalam hal ini berhubungan dengan hipertensi, kadar
lemak yang abnormal (hipertrigliserida, HDL rendah, partikel
LDL padat) dan bertambahnya ukuran lingkar perut. Pada
diabetes terjadi resistensi insulin pada sel-sel perpheral dan
mendorong terjadinya aterosklerosis.
- Dislipidemia. Jumlah lipid yang abnormal dalam sirkulasi
menjadi bukti tetap dan terbesar sebagai faktor risiko utama
terhadap perkembangan arterosklerosis. Menurut studi
Framingham menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung iskemik
meningkat seiring dengan total kolesterol serum yang tinggi.
13
Risiko penyakit jantung koroner meningkat kira-kira dua kali lipat
pada individu yang level total kolesterolnya 240 mg/dL.
Tabel. Nilai Kolesterol
5. Penegakan Diagnosis SKA
Diagnosis SKA berdasarkan keluhan khas angina pada umumnya. Terkadang
pasien tidak ada keluhan angina namun sesak nafas atau tidak khas seperti
nyeri epigastrik atau sinkope yang disebut angina equivalen. Hal ini diikuti
perubahan EKG dan atau perubahan enzim jantung. Pada beberapa kasus,
keluhan pasien, gambaran awal EKG dan pemeriksaan laboratorium enzim
jantung awal tidak bisa menyingkirkan adanya SKA, oleh karena perubahan
EKG dan enzim baru dapat terjadi setelah beberapa jam kemudian. Pada
kondisi ini diperlukan pengamatan secara serial sebelum menyingkirkan
diagnosis SKA.
5.1 Gejala
Gejala umum iskemia dan infark miokard adalah nyeri dada
retrosternal. Pasien sering kali merasa dada seperti ditekan atau
dihimpit, rasa tersebut lebih dominan dibanding rasa nyeri. Yang juga
14
perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri dada iskemik SKA,
antara lain :
- Lokasi nyeri. Di daerah retrosternal dan sulit melokalisir nyeri.
- Deskripsi nyeri. Pasien mengeluh rasa berat seperti dihimpit,
ditekan, atau diremas. Perlu juga diwaspadai tidak khas seperti
nyeri epigastrik atau sinkope yang disebut angina equivalen.
- Penjalaran nyeri. Nyeri menjalar ke bahu kiri, lengan kiri, leher
rasa tercekik atau rahang bawah. Kadang menjalar ke lengan kanan
atau kedua lengan.
- Lama nyeri. Nyeri pada SKA lebih dari 20 menit.
- Gejala sistemik. Disertai dengan keluhan mual, muntah, dan
keringat dingin.
5.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada yang lain dan
mengevaluasi adanya komplikasi SKA. Pemeriksaan fisik pada SKA
umumnya normal. Terkadang pasien nampak cemas, keringat dingin,
atau didapat tanda komplikasi berupa takipneu, takikardi-bradikardi,
adanya S3 gallop, ronki basah halus di paru, dan terdengar murmur
jantung.
5.3 EKG
Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan penunjang penting dalam
diagnosis SKA untuk menentukan tatalaksana berikutnya. Berdasarkan
gambaran EKG pasien SKA dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok :
- Elevasi segmen ST atau LBBB (left bundle branch block) yang
dianggap baru. Didapatkan gambaran elevasi segmen ST
minimal di dua lead yang berhubungan
- Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis
pada saat pasien mengeluh nyeri dada
- EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan
minimal.
15
Gambar. Depresi segmen ST
Kriteria :
Depresi segmen ST > 0,05 mV (1/2 kotak kecil)
Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV (2 kotak kecil)
inversi gelombang yang simetris di sandapan prekordial
Depresi segmen ST dan inversi gelombang T merupakan
penanda terjadinya iskemia miokard. Perubahan gelombang T
umumnya terjadi lebih dulu dan lebih sering ditemukan.
Pada serangan angina, segmen ST biasanya kembali ke garis
dasar segera setelah serangan mereda. Pada infark gelombang non-Q,
segmen ST menetap sedikitnya selama 48 jam
Gambar. Elevasi segmen ST
Signifikan bila ditemukan lebih dari 1 mm di 2 atau lebih lead
yang secara anatomis berhubungan. Elevasi segmen ST menandakan
hipoksemia berat miokard (jaringan nekrotik) yang akan terus
memberat jika tidak mendapat intervensi, membran sel menjadi tidak
16
stabil, menyebar dari endokardium ke epikardium sehingga
memerlukan tatalaksana agresif.
Gelombang Q patologis
Dikatakan Q patologis bila : 1) lebar > 40 ms (1 mm), 2) dalamnya >
2mm, 3) dalam nya lebih dari 25% gelombang QRS, 4) terlihat di lead
V1, V2, V3. Gelombang Q Patologis umumnya menandakan infark
miokard lama atau akut.
Gambar. Gelombang Q patologis inferior (II, III, AVF)
Tabel. Perbedaan manifestasi SKA
17
5.4 Laboratoris
Nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein
dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut
antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase,
creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic
anhydrase III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin
I dan T (cTnI dan cTnT).
Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard
yang lebih baik, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional
seperti CK dan CK-MB. Pada pasien dengan infark miokard akut,
peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jam dan dapat
menetap sampai 2 minggu.
CKMB merupakan isoenzim dari creatin kinase, yang merupakan
konsentrasi terbesar dari miokardium. Dalam jumlah kecil CKMB juga
dapat dijumpai di otot rangka, usus halus, dan diafragma. Mulai meningkat
3 jam setelah infark dan mencapai puncak nya pada 12-24 jam. CKMB
akan menghilang dalam darah 48-72 jam pasca serangan infark.
6. Penatalaksanaan
Secara umum tatalaksana STEMI atau NSTEMI hampir sama baik pre maupun
di RS hanya berbeda dalam strategi reperfusi terapi, dimana STEMI lebih
ditekankan untuk segera melakukan reperfusi baik dengan medikamentosa
(trombolisis) atau intervensi (per cutaneous coronary intervension – PCI).
Tatalaksana SKA dibagi atas : 1) Pra Rumah Sakit (prehospital), 2) Rumah
Sakit
- Pre hospital
Monitoring, dan amankan ABC. Persiapkan RJP dan defibrilasi
Berikan aspirin, dan pertimbangkan oksigen, nitrogliserin, dan
morfin jika dibutuhkan
Pemeriksaan EKG 12 sadapan dan interpretasi
18
Lakukan pemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan
penerimaan pasien dengan STEMI
Bila akan diberikan fibrinolitik pre hospital, lakukan check list
terapi fibrinolitik.
- Hospital
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fifik singkat dan terarah
Lengkapi check list fibrinolisis, cek kontra indikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan
darah
Segera berikan O2 4L/menit nasal kanul, terutama jika saturasi
< 94%
Berikan aspirin 160-325 mg dikunyah
Nitrogliserin sublingual atau spray
Morfin IV jika nyeri tidak berkurang dengan nitrogliserin.
6.1. Terapi inisial pada SKA
- Oksigen
Oksigen harus diberikan pada semua pasien dengan sesak nafas, tanda
gagal jantung, syok, atau saturasi oksigen < 94%. Monitoring non
invasif tentang kadar oksigen dalam darah akan sangat bermanfaat.
Berdasarkan konsensus 2010 tentang resusitasi jantung paru oleh
AHA/ACC, tidak ada bukti manfaat pemberian oksigen aliran tinggi
pada pasien SKA bila tidak ada komplikasi kardiovaskuler atau bila
saturasi O2 masih dalam batas normal. Penelitian menunjukkan
pemberian oksigen mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior.
Berdasarkan konsensus, dianjurkan pemberian oksigen dalam 6 jam
pertama terapi. Pemberian oksigen lebih dari 6 jam secara klinis tidak
bermanfaat, kecuali pada keadaan berikut : 1) pasien dengan nyeri dada
menetap atau berulang dengan hemodinamik tidak stabil, 2) pasien
19
dengan tanda bendungan paru, 3) pasien dengan saturasi oksigen <
90%.
- Aspirin
Aspirin direkomendasikan pada semua pasien SKA kecuali terdapat
kontraindiskasi dan diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang
belum mendapat terapi aspirin dantidak ada riwayat alergi dan tidak ada
bukti perdarahan lambung. Aspirin berfungsi sebagai penghambat
aktivitas cyclooxygenase (COX) pada platelets. Akibatnya platelet tidak
dapat menghasilkan thromboxane A2 sehingga menghambat agregasi
platelet, sehingga menurunkan angka reoklusi koroner dan
berkurangnya kejadian iskemia pasca terapi fibrinolitik. Dosis
pemeliharaan 75-100 mg per hari.
- Nitrogliserin
Nitrogliserin sublingual 5 mg dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5
menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan
kebutuhan oksigen miokard dengan menurunkan preload. Terapi nitrat
harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90mm Hg,
bradikardia < 50 x/menit atau takikardi 100 x/menit tanpa adanya gagal
jantung.
- Analgetik
Analgetik terpilih pada SKA adalah morfin. Pemberian dilakukan jika
dengan nitogliserin sublingual atau semprot tidak respon. Morfin
memberikan efek analgesik pada SSP yang dapat mengurangi aktivitas
neurohormonal, menghasilkan vasodilatasi yang akan mengurangi
beban ventrikel kiri dan mengurangi kebutuhan oksigen, menurunkan
tahanan vaskuler sistemik, dan membantu redistribusi volume darah
pada edema paru akut.
- Clopidrogel atau ani platelet lain
Clopidrogel terutama bermanfaat pada pasien SKA risiko sedang
sampai tinggi, dengan loading dose 300 mg yang dilanjutkan dengan
20
dosis pemeliharaan 75 mg. Pada pasien yang dipersiapkan untuk terapi
invasif diberikan 600 mg.
6.2. Terapi reperfusi pada STEMI
Reperfusi pada pasien SKA akan mengembalikan aliran darah
koroner pada arteri yang berhubungan dengan infark, mengurangi
ukuran infark, dan menurunkan mortalitas jangka panjang. Fibrinolitik
berhasil mengembalikan aliran darah koroner pada 50-60% kasus.
Sedangkan PCI (percutaneous coronary intervension) dapat
mengembalikan aliran normal hingga 90% kasus, dan manfaat ini lebih
besar didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik. PCI juga
menurunkan risiko perdarahan intrakranial dan stroke.
6.2.1. Terapi fibrinolitik
Pengobatan fibrinolitik lebih awal (door-drug < 30 menit)
dapat membatasi luasnya infark, fungsi ventrikel normal, dan
mengurangi angka kematian. Beberapa jenis obat fibrinolitik
misalnya Alteplase rekombinan (Activase), Reteplase,
Tenecplase, dan Streptokinase (Streptase). Di Indonesia
umumnya tersdia Streptokinase, dengan dosis pemberian sebesar
1,5 juta U, dilarutkan dalam 100 cc NaCl 0,9% atau Dextrose
5% diberikan secara infus 30-60 menit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada fibrinolitik
adalah :
- Fibronolisis bermanfaat diberikan pada pasien : 1) ST
Elevasi atau perkiraan LBBB baru, 2) Infark miokard yang
luas, 3) pada usia muda dengan risiko perdarhan
intraserebral yang lebih rendah.
- Fibrinolisis kurang bermanfaat pada : 1) onset serangan
setelah 12-24 jam atau infark kecil, 2) pasien usia > 75
tahun.
21
- Fibrinolisis mungkin berbahaya pada : 1) depresi segmen
ST, 2) onset lebih dari 24 jam, 3) pada TD tinggi (TD
sistolik > 175 mmHg)
6.2.2. Tindakan PCI primer
Angioplasti koroner dengan atau tanpa pemasangan stent adalah
terapi terpilih pada tatalaksana STEMI bila dapat dilakukan
kontak doctor-baloon atau doctor-baloon < 90 menit pada pusat
kesehatan yang mempunyai fasilitas PCI. Pilihan PCI primer
efektif dilaksanakan pada pasien :
- Syok kardiogenik
22
- STEMI usia > 75 tahun dan syok kardiogenik
- Pasien dengan kontra indikasi fibrinolisis
7. Komplikasi
SKA dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi tersering
adalah gangguan irama dan gangguan pompa jantung. Gangguan irama dapat
bersifat fatal bila dapat menyebabkan henti jantung, misal pada VF atau VT
tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa jantung dapat menyebabkan gagal
jantung akut, komplikasi gagal jantung pada ACS STEMI diklasifikasikan
dalam klasifikasi Killip. Berikut klasifikasi Killip dan dalam kaitan dengan
mortalitas di RS :
Kelas Killip Mortalitas RS (%)
I Tidak ada komplikasi 6 %
II HF ringa, ronkhi, S3, tanda edema paru 17 %
III Edema paru 38 %
IV Syok Kardiogenik 81 %
Syok Kardiogenik
1. Pendahuluan
Syok kardiogenik adalah salah satu komplikasi paling utama dari infark
miokard akut dan gagal ventrikel kiri (acute left ventricular failure, LVH). Hal
ini mengancam nyawa 5-10% pasien dengan STEMI, khusunya pada kelompok
dengan resistensi vaskuler perifer yang rendah. Syok kardiogenik akan
menyebabkan perfusi jaringan yang buruk, kerusakan organ target dan
meningkatkan risiko mortalitas. Tujuan terapi adalah mencegah disfungsi
organ target dan gangguan metabolik berat dengan meningkatkan mean
arterial blood pressure (MAP) yang dicapai dengan penggunaan inotropik dan
vasopresor. Pendekatan terapetik terakhir termasuk dengan melibatkan
revaskularisasi arteri koroner, resusitasi cairan, bantuan obat-obatan inotropik
dan bantuan sirkulasi mekanik dengan menggunakan pompa balon intra aorta
atau alat bantuan ventrikular.
23
2. Diagnosis
Diagnosis klinis syok kardiogenik ditegakkan jika semua kriteria berikut
terpenuhi :
- Tekanan darah sistolik (TDS) menetap ≤ 90 mmHg atau dibutuhkan
vasopresor untuk mempertahnkan TDS ≥ 90 mmHg
- Terdapat tanda hipoperfusi organ target (urine output < 30 ml/jam atau
ekstremitas teraba dingin atau diaphoresis, atau terjadi perubahan status
mental), dan
- Terdapat bukti peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, seperti
kongesti paru pada pemeriksaan fisik atau bukti radiografi.
Batasan TDS umumnya adalah kurang dari 90 mmHg, namun sejumlah
penulis juga menggunakan cut-off di bawah 80 mmHg. Tanda sistemik dari
tekanan darah yang rendah seperti perubahan status mental, kulit dingin dan
pucat, serta oliguria. Pasien juga mungkin masuk ke kondisi klinis tertentu
(dengan takikardia, dispneu, atau peunurunan ringan dari urine output) sebelum
mengalami syok kardiogenik.
24
Tabel. Etiologi syok kardiogenik
3. Patofisiologi
Level nitrit oksida (NO) yang tinggi, akibat pelepasan mediator-
mediator inflamasi selama terjadinya miokard infark, yang juga konsisten
dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan nilai sel darah putih, dan
peningkatan level C-reactive protein (CRP), diduga berperan terhadap
terjadinya syok kardiogenik. Mediator infamasi yang lain, yakni inteleukin-6
(IL-6) yang jika jumlahnya di atas 200 pg/ml dihubungkan dengan peningkatan
mortalitas pasien, memiliki efek inotropik negatif dan merupakan predisposisi
terjadinya kegagalan multi organ. Pasien dengan kebutuhan vasopressor yang
tinggi memiliki angka mortalitas hingga 86%. Sitokin yang ada dalam tubuh
yang juga menginduksi pelepasan NO di dalam sel vaskuler menyebabkan
penurunan respons katekolamin. Revaskularisasi koroner yang sukses dan level
IL-6 di bawah 200 pg/ml dihubungkan dengan angka kematian di bawah 24%.
25
Level NO yang tinggi menyebabkan vasodilatasi dan melemahkan efek
vasokonstriksi pembuluh darah yang normalnya terjadi pada keadaan hipotensi.
4. Penatalaksanaan
PCI (percutaneous coronary intervension) primer adalah golden
standard penanganan pasien dengan infark miokard akut dengan komplikasi
syok kardiogenik, karena dengan terapi ini dengan cepat memperbaiki cardiac
output dan mencegah disfungsi organ target. Pada tulisan ini akan dibahas
mengenai manajemen syok kardiogenik menggunakan obat-oabatan.
Tujuan penggunaan obat-obatan adalah secara cepat mengembalikan
cardiac output dan mencegah disfungsi organ target. Hal ini dapat dicapai
dengan penggunaan inodilator.
Agen inodilator yang paling umum digunakan bekerja dengan
meningkatkan intracelullar cyclic adenosine monophosphate (CAMP) dan
konsentrasi kalsium. Inotropik adrenergik meningkatkan kerja daya pompa
jantung dan meningkatkan tegangan dinding miokard, meningkatkan konsumsi
oksigen miokard.
- Dobutamine, agonis β-adrenergik
Pada kegagalan ventrikel kiri, dobutamine merupakan terapi
awal yang digunakan. Dobutamine berfungsi dengan menstimulasi
reseptor β-1 dan β-2. Melalui kerjanya pada reseptor β-1, dobutamine
meningkatkan konversi ATP ke CAMP, yang selanjutnya melepaskan
kalsium dari retikulum sarkoplasma. Kalsium ini kemudian digunakan
oleh protein miofibrillar untuk meningkatkan kontraktilitas, dan
menghasilkan peningkatan stroke volume.
Untuk meningkatkan cardiac output, digunakan dosis 2,5 hingga
15 mcg/kg/menit. Onset kerja obat sekitar satu hingga dua menit dan
dibutuhkan sekitar 10 menit untuk mencapai puncak efek obat.
- Dopamine, katekolamine endogen
Pada pasien dengan resistensi vaskuler perifer yang rendah,
kombinasi dopamine dan noradrenalin biasanya efektif. Dopamin
merupakan substansi endogen dalam tubuh dan bekerja di kedua
26
resptor β-adrenergik dan resptor dopamine-1 pada dosis 1-4
mcg/kgbb/menit. Dopamine meningkatkan tekanan darah bersama
dengan cardiac output bersamaan dengan aliran darah renal dan
splanchnic. Namun demikian dopamine juga meningkatkan demand
oksigen dan memiliki efek aritmogenik.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI) (2013).
Bantuan Hidup Jantung Lanjut. Sindrom Koroner Akut, 60-77
2. The Joint European Society of Cardiology/American College of Cardiology
Committee. Myocardial infarction redefined — A consensus document of the
Joint European Society of Cardiology/American College of Cardiology
Committee for the redefinition of myocardial infarction. Eur Heart J 2000;21:
1502–1513;
3. The Medicines Company. Angiomax [bivalirudin] Package Insert. 2000
4. Hasdai D, Topol EJ, Califf RM et al. Cardiogenic shock complicating
acute coronary syndromes. Lancet 2000;356:749-56.
5. Hochman JS, Boland J, Sleeper LA et al. Current spectrum of cardiogenic
shock and effect of early revascularization on mortality. Results of an
International Registry. SHOCK Registry Investigators. Circulation
1995;91:873-81.
28