perlindungan peserta asuransi jiwa syariah...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN PESERTA ASURANSI JIWA SYARIAH DITINJAU
DARI UU NO.8 TAHUN 1999 DAN POJK NO.01/POJK.07/2013
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Ekonomi (S.E)
OLEH :
MIFTAHUL JANNAH
1112046200014
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
v
Daftar Riwayat Hidup
I. Data Pribadi
1. Nama Lengkap : Miftahul Jannah
2. Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 1 April 1994
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Kewarganegaraan : Indonesia
6. Status : Belum Menikah
7. Alamat : Jl. Inspeksi Saluran Gg. H. Dasuki RT001/RW016
No 35 Jakarta Timur 13440
8. No Kontak : 089515002021
9. Email : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. SDN Duren Sawit 08 Pagi Tahun 2000 s.d 2005
2. SMP Negeri 51 Jakarta Tahun 2006 s.d 2009
3. MAN 9 Jakarta Tahun 2009 s.d 2012
III. Pengalaman Organisasi
1. Anggota Marching Band SMPN 51 Jakarta Tahun 2008 s.d 2009
2. Anggota PIK - KRR Tahun 2011 s.d 2012
3. Kepala Bidang 4 (Pers dan Komunikasi) Tahun 2015 s.d 2016
PMII Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta
4. Pengurus Bag. Kaderisasi PC IPPNU TangSel Tahun 2015 s.d Sekarang
5. Pengurus Departemen Ekonomi dan
Kewirausahaan PP IPPNU Tahun 2016 s.d Sekarang
IV. Riwayat Pekerjaan
1. Pembimbing dalam event Pesantren
Kilat Ramadhan 1000 Anak Jalanan Tahun 2013 & 2014
2. Bekerja part time di PT Palma One,
Bag. Koding dan Entry Data Tahun 2015 s.d Sekarang
3. Anggota Panwaslu dalam
keg. Pemilu Raya di Kampus Tahun 2015
4. Bekerja part time Tour Leader
di Black Diamond Tour Tahun 2016 s.d Sekarang
Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya.
Jakarta, 27 Maret 2017
Hormat Saya,
Miftahul Jannah
vi
ABSTRACT
Miftahul Jannah. NIM 1112046200014. Analysis of Consumer Protection Takaful
Judging from Act No. 8 of 1999 and POJK NO.01 / POJK.07 / 2013. Department
of Islamic Economics. Economics and Business Faculty. Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. 1438 H / 2017 AD
Raw contract manufacturing practices in the insurance companies are often made
with the condition that is not balanced. This causes a problem when insurance
participants file a claim and make consumers be harmed. This research expects the
public to know the extent of the effect of Law No. 8 of 1999 and POJK 1 /
POJK.07 / 2013 on consumer protection Takaful through how the views of the
law and regulations on consumer protection Takaful, efforts to do when insurance
participants unfulfilled rights and legal consequences for insurance companies that
violate the provisions of the legislation.
The method used is the type of qualitative research is descriptive analysis is to
collect, organize and describe documents, data and real-time information. The
data have been obtained will be interpreted in the form of presentation and
analysis so I can give you a conclusion in this study.
Based on the results of the study showed that:
1. So far the Law No. 8 of 1999 and POJK NO. 01 / POJK. 07/2013 has not
affected the fullest. Because they found some standard clauses that are prohibited
in the legislation.
2. Regarding the dispute, both have been in accordance with OJK rules which did
lead to legislation. Both these policies have an internal dispute resolution facility.
But if the dispute is not completed, the company advised consumers to continue to
OJK and LAPS.
3. The insurance company that violates the provisions of Law No. 8 of 1999 and
POJK No. 01 / POJK 07/2013 will be subject to administrative sanctions by the
OJK as an umbrella institution supreme Law of Business Financial Services.
Keywords: Takaful, Takaful contracts, consumer protection
Supervisor: Ahmad Chairul Hadi, MA
Bibliography: 1981 s.d 2016
vii
ABSTRAK
Miftahul Jannah. NIM 1112046200014. Analisis Perlindungan Konsumen
Asuransi Syariah Ditinjau dari UU NO 8 TAHUN 1999 DAN POJK
NO.01/POJK.07/2013. Jurusan Ekonomi Syariah. Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1438 H/2017 M.
Praktik pembuatan kontrak baku di perusahaan asuransi seringkali dibuat
dengan kondisi yang tidak berimbang. Hal ini meyebabkan masalah ketika peserta
asuransi mengajukan klaim dan membuat konsumen menjadi dirugikan. Penelitian
ini mengharapkan masyarakat mengetahui sejauh mana pengaruh UU No.8 Tahun
1999 dan POJK No.1/POJK.07/2013 terhadap perlindungan konsumen asuransi
syariah melalui bagaimana pandangan UU dan peraturan tersebut tentang
Perlindungan konsumen asuransi syariah, upaya-upaya yang dapat dilakukan
ketika hak peserta asuransi tidak terpenuhi dan Akibat hukum bagi perusahaan
asuransi yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut.
Metode yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif yang bersifat
analisis deskriptif yaitu dengan mengumpulkan, menyusun dan mendeskripsikan
berbagai dokumen, data dan informasi yang aktual. Data-data yang telah diperoleh
akan diinterpretasikan dalam bentuk pemaparan dan analisa sehingga penulis
dapat memberikan kesimpulan pada penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa:
1. Sejauh ini UU No 8 Tahun 1999 dan POJK NO 01/POJK 07/2013 belum
berpengaruh secara maksimal. Karena masih ditemukan beberapa klausula
baku yang dilarang dalam perundang-undangan.
2. Mengenai persengketaan, keduanya telah sesuai dengan peraturan OJK
yang memang mengarah kepada perundang-undangan. Kedua polis
tersebut memiliki fasilitas penyelesaian sengketa secara internal. Tetapi
jika sengketa tersebut tidak selesai, perusahaan menyarankan konsumen
untuk melanjutkannya ke OJK dan LAPS.
3. Perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan UU No 8 Tahun 1999 dan
POJK No 01/POJK 07/2013 akan dikenakan sanksi administratif oleh OJK
sebagai lembaga Payung Hukum tertinggi Usaha Jasa Keuangan.
Keywords: Asuransi Syariah, kontrak asuransi syariah, perlindungan
konsumen
Pembimbing: Ahmad Chairul Hadi, MA
Daftar Pustaka: Tahun 1981 s.d Tahun 2016
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb,
Segala puji serta syukur, penulis panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang memberikan nikmat sehat dan nikmat iman, taufiq dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikam penulisan skipsi ini, serta
shalawat dan salam penulis panjatkan kepada junjungan kepada Nabi besar kita
Muhammad SAW serta keluarga dan para sahabatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi hambatan dan
rintangan, kesulitan, suka maupun duka namun Alhamdulillah atas ridho dan
kuasa Allah SWT serta doa dan bantuan dari berbagai pihak secara langsung
maupun tidak langsung hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sadar, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak AM Hasan Ali, MA, sebagai Ketua Prodi Muamalat Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Bapak Abdurrouf, Lc., MA., selaku Sekretaris Prodi Ekonomi
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Semua pihak Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ix
5. Bapak Ahmad Chairul Hadi, MA selaku Dosen Pembimbing atas segala
bimbingan, arahan, dan bantuan serta motivasi yang diberikan kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak Dr. H. A. Juaini Syukri, Lcs, MA dan Bapak Dr. Nahrowi, MH
selaku Dosen penguji skripsi atas segala bimbingan, dan arahan yang
diberikan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen beserta staff dan karyawan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
dengan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti selama masa kuliah.
8. Seluruh Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah yang dengan
iklhas memberikan pelayanannya kepada peneliti selama masa kuliah.
9. Kedua orang tua penulis yang tersayang dan tercinta, Ayahanda
(Almarhum) Hasbullah dan Ibunda Nurulhuda. Terima kasih atas segala
cinta kasih, rasa sayang,dan doa yang selalu tercurah, serta dukungan dan
dorongan serta semangat yang diberikan kepada penulis dalam masa
penulisan skripsi ini agar segera selesai. Terima kasih atas segala
kesabaran Abeh dan umi dalam mendengarkan keluh kesah penulis. Juga
terima kasih kepada kakak dan adik tersayang, Bang Ajis, bang Anan ,
bang Olis, Ka Ela, Ka Nisa, Teh Via, mba Ira dan Rara Serta ponakan
yang lucu-lucu dede Azhmi, kaka Nuri dan dede Hisyam. Terimakasih atas
doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis baik secara moril
maupun materiil.
x
10. Sahabat penulis WARNAFI, Sahabat MAN 9 Lia, soffi, Mala, Shaila,
Sena, Fika, serta sahabat SELUSIN 12 dan kakak-kakak tercinta ka Puput
dan Ka Mira serta seluruh sahabat KOMFAKSYAHUM terkhusus Husnul,
Syamazka, Imas, Rara, Lutfah, Vivin. Sahabat IPPNU Tangsel dan PP
IPPNU Terima kasih atas persahabatan, suka duka, kebahagiaan dan canda
tawa dan dukungan yang kalian berikan kepada penulis selama masa
kuliah.
11. Kepada Asuransi Syariah 2012 terutama SELUSIN 2012, Hafiz, Eka,
Sabila, Aisyah, Isti, Tari, Susi, Tami, Tika dan Evi serta Teman KKN
Edelwise. terima kasih atas pertemanan yang berikan di masa perkuliahan
ini. Terima kasih atas segala canda, tawa, obrolan, dan saran yang sudah
diberikan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda
kepada semua pihak yang telah memberikan, doa, dukungan, dan bantuan
dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tentunya masih banyak kekurangan dari
skripsi ini. Namun demikian, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Aamiin.
Jakarta, 14 Januari 2017
Miftahul Jannah
xi
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Pokok Permasalahan ................................................................................... 5
1. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5
2. Batasan Masalah ................................................................................... 6
3. Rumusan Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Review Studi Terdahulu ............................................................................. 9
E. Kerangka Konsep dan Teori ........................................................................ 11
G. Metode Penelitian ....................................................................................... 13
H. Sistematika Penulisan ................................................................................. 16
xii
BAB II Perlindungan Konsumen Menurut UU No 8 Tahun 1999 dan
POJK No.01/POJK.07/2013
A. Sejarah Perlindungan Konsumen ................................................................... 17
B. Pengertian Perlindungan Konsumen .............................................................. 22
C. Asas dan Tujuan perlindungan Konsumen .................................................... 23
D. Prinsip Perlindungan Konsumen .................................................................... 25
E. Hak dan Kewajiban Konsumen ...................................................................... 25
F. Ketentuan Pencantuman Klausula Baku ........................................................ 29
G. Mekanisme Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen .................. 32
BAB III Teori Asuransi Syariah
A. Pengertian Asuransi Syariah ........................................................................... 36
B. Akad asuransi Syariah ..................................................................................... 37
C. Prinsip–prinsip Hukum Asuransi Syariah ....................................................... 42
D. Kontrak Baku Asuransi (POLIS) .................................................................... 46
BAB IV: ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Perlindungan Konsumen Asuransi syariah menurut UU NO 8
Tahun 1999 dan POJK NO 01/POJK 07/2013 ........................................... 48
B. Upaya konsumen ketika haknya tidak terpenuhi ...................................... 55
C. Akibat Hukum bagi Perusahaan yang melangar UU NO 8Tahun
1999 dan POJK NO 01/POJK 07/2013 ..................................................... 59
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................ 61
xiii
B. Saran ........................................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 64
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di zaman yang semakin modern ini segala hal yang kita lakukan
dan kita miliki pastinya selalu berisiko. Setiap manusia tidak pernah tahu
apa yang akan terjadi di masa depan secara sempurna meskipun analisis
telah dilakukan sekalipun, maka wajar jika sebagian orang telah
mempersiapkan antisipasi risiko yang mungkin dan pasti akan terjadi.
Risiko-risiko tersebut antara lain kematian, sakit, kehilangan barang
berharga, ataupun pemecatan diri dari tempat bekerja. Hal-hal tersebut
menyebabkan seseorang mengalami kerugian yang terkadang tidak sedikit.
Oleh sebab itu asuransi hadir untuk melindungi masyarakat dari
kemungkinannya tertimpa kerugian.
Berdasarkan Annual Report OJK tahun 2015, total asset Industry
Keuangan Non Bank ( IKNB ) mengalami kenaikan sebesar 5,42%
menjadi Rp48,78 triliun apabila dibandingkan dengan total asset di tahun
2014 yang hanya sebesar Rp46,27 triliun. Di mana kenaikan terbesar
dialami oleh industri asuransi syariah.1 Hal ini membuktikan bahwa
perkembangan industri asuransi syariah cukup bagus.
1 Annual Report OJK. 2015. h. 214-215. http://www.ojk.go.id/id/data-dan-
statistik/ojk/Documents/Pages/Laporan-Tahunan-OJK-2015%2c-Memacu-Pertumbuhan-
Ekonomi-Melalui-Sektor-Jasa-Keuangan-Yang-Kontributif%2c-Stabil-dan-
Inklusif/OJK%20Annual%20Report%202015.pdf .Di akses pada tanggal 23 juni 2016.
2
Sepanjang tahun 2014, total pengaduan konsumen yang masuk di
Layanan Konsumen Terintegrasi OJK mencapai 2.197 pengaduan.
Sementara hingga 11 Maret 2015, tercatat sebanyak 308 pengaduan. Untuk
daerah terbanyak yang melaporkan pengaduan pada tahun 2014, posisi
pertama ditempati daerah DKI Jakarta dengan 847 pengaduan, Jawa Barat
430, Jawa Timur 418, Jawa Tengan 306 dan Sumatera Utara 194
Pengaduan. Selain itu, pada tahun 2014 jumlah pengaduan yang sampai di
BMAI tercatat sebanyak 265 kasus pada Asuransi Jiwa, 4 kasus pada
asuransi sosial dan 258 pada asuransi umum.2
Untuk sektor yang tertinggi dilaporkan adalah masalah perbankan,
lalu asuransi, lembaga pembiayaan dan pasar modal. Persoalan perbankan
kebanyakan menyangkut lelang agunan, restrukturisasi kredit, dan alat
pembayaran menggunakan kartu. Untuk masalah asuransi biasanya paling
banyak klaim polis, sementara kasus lembaga pembiayaan banyak
diadukan mengenai penarikan jaminan yang difidusiakan perlakuan debth
collector (penagih hutang), sementara di pasar modal pengaduan terbanyak
datang dari masalah produk Medium Term Notes (surat hutang).3
Seiring dengan perkembangan asuransi syariah yang terbilang
bagus. Namun perlindungan konsumen belum menjadi perhatian penting
2 Rekapitulasi Sengketa.
http://bmai.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=166&Itemid=707 . diakses pada tanggal 1 April 2017.
3 OJK “Tingkat Pengaduan Konsumen dan Tingkat Kesadaran Masyarakat
Meningkat”, di akses pada 15 November 2016 dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/berita-dan-
kegiatan/info-terkini/Pages/ojk-tingkat-pengaduan-konsumen-dan-tingkat-kesadaran-
masyarakat-meningkat.aspx#sthash.FXrfedpN.dpuf
3
oleh pelaku usaha asuransi syariah tersebut. Bentuk perjanjian baku pada
polis asuransi dinilai masih terlalu rumit dan berbelit-belit sehingga rentan
terhadap pelanggaran hak konsumen. Misalanya pembuatan kontrak baku
atau yang biasa disebut dengan polis terkadang tidak memihak kepada
konsumen. Hal ini disebabkan kurang telitinya calon peserta asuransi atau
bahkan pelaku usaha yang memang sengaja membuat kontrak baku (polis)
dengan tulisan yang sulit dibaca bahkan dimengerti.
Praktik kontrak baku sering dibuat dalam kondisi yang tidak
berimbang di mana konsumen menjadi pihak yang lemah sehingga
menjadikan produsen atau pelaku usaha memanipulasi perjanjian yang
dibuat dalam ketentuan klausula baku. Biasanya perjanjian tersebut lebih
menguntungkan salah satu pihak yaitu pelaku usaha.4 Selain kontrak baku
yang tidak berimbang masih banyak faktor-faktor lain yang menyebabkan
kecurangan perusahaan terhadap konsumen. Hal inilah yang dapat
menyebabkan perselisihan di kemudian hari. Seperti klaim nasabah yang
tidak dibayarkan oleh perusahaan asuransi dan masih banyak masalah
lainnya. Akibat yang terjadi adalah dari laporan dan berita yang beredar
membuat citra asuransi syariah menjadi buruk di masyarakat. Sehingga
mereka malas dan tidak berminat sama sekali untuk mengasuransikan
dirinya.
4 Abdul Hakim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen ( Bandung : Nusa Media, 2010
), h.53
4
Berdasarkan posisi konsumen tersebut, mereka harus dilindungi
hukum, karena salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan
perlindungan kepada masyarakat.5 Selain itu konsumenpun harus
diberikan pembelajaran mengenai hak dan kewajiban konsumen.
Intervensi pemerintah dalam perlindungan konsumen tertuang dalam UU
No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Selain itu OJK sebagai
payung hukum di sektor jasa keuanganpun memiliki kewenangan edukasi,
pelayanan pengaduan, sampai dengan pembelaan hukum terhadap
konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK
adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat6 yang
menggunakan atau memanfaatkan pelayanan lembaga jasa keuangan.
Dalam rangka perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, OJK telah
menerbitkan POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen
Sektor Jasa Keuangan.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui
sejauh mana pengaruh UU No.8 Tahun 1999 dan POJK
No.1/POJK.07/2013 terhadap perlindungan konsumen asuransi syariah
melalui bagaimana pandangan UU No.8 Tahun 1999 dan POJK
No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan konsumen asuransi syariah,
upaya-upaya yang dapat dilakukan ketika hak peserta asuransi tidak
5 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009, h.23. 6 Pasal 4 huruf (c) UU OJK Otoritas Jasa Keuangan
5
terpenuhi selama akad berlangsung dan Akibat hukum bagi perusahaan
asuransi yang melanggar ketentuan perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan latar belakang nampak ada sesuatu hal yang menarik
yang perlu diangkat. Ada suatu hal yang mendasar tentang pokok bahasan
skripsi. Sebab itu penulis tertarik untuk menjadikan tema itu sebagai
pokok bahasan skripsi dengan judul Analisis Perlindungan Peserta
Asuransi Jiwa Syariah ditinjau dari UU No.8 Tahun 1999 dan POJK
No. 1/POJK.07/2013.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat
meidetifikasi masalah yang muncul, diantaranya:
a. Apa saja jenis kecurangan asuransi syariah yang dapat di laporkan
konsumen ke ojk?
b. Bagaimana UU No.8 Tahun 1999 berbicara tentang perlindungan
konsumen asuransi syariah?
c. Bagaimana POJK No 1/POJK.07 /2013 berbicara perlindungan
konsumen asuransi syariah?
d. Apakah pada praktiknya pembuatan klausula baku asuransi atau polis
asuransi syariah sudah melindungi konsumen?
e. Apa saja upaya yang dapat dilakukan konsumen terhadap pelaku
usaha yang merugikan dalam ketentuan UU No.8 Tahun 1999 dan
POJK No 1/POJK.07 /2013?
6
f. Apa akibat hukum bagi perusahaan asuransi yang melanggar menurut
UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013 tentang
perlindungan konsumen?
3. Pembatasan dan Rumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
perlu membatasi pembahasan skripsi ini agar pembahasannya
menjadi terarah dan jelas. Maka penulis membatasinya menjadi
Perlindungan Peserta Asuransi Jiwa Syariah ditinjau dari UU
No.8 Tahun 1999 dan POJK No. 1/POJK.07/2013.
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07
/2013 berbicara tentang perlindungan peserta asuransi syariah?
2. Apakah pada praktiknya pembuatan klausula baku asuransi
atau polis asuransi syariah sudah melindungi konsumen?
3. Apa akibat hukum bagi perusahaan asuransi yang melanggar
menurut UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013
tentang perlindungan konsumen?
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
7
1. Untuk menganalisa dan mengkaji perlindungan peserta asuransi
syariah menurut UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No
1/POJK.07 /2013.
2. Untuk memberitahu masyarakat mengenai upaya-upaya yang
dapat dilakukan ketika hak-haknya tidak terpenuhi selama
berlangsungnya akad.
3. Agar masyarakat sadar akan hak-hak dan kewajibanya
khususnya dalam berasuransi.
4. Agar masyarakat mengetahui jenis kecurangan apa saja yang
dilakukan perusahaan asuransi terhadap konsumen.
5. Sebagai dasar acuan pembuatan polis (kontrak baku )
perusahaan asuransi syariah agar sesuai dengan UU No.8
Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013.
b. Manfaat Penelitian, adapun manfaat dari penelitian ini adalah
1. Bagi Penulis
a. Penelitian ini menambah pengetahuan bagi penulis
mengenai hak-hak dan kewajiban pada peserta asuransi
jiwa syariah menurut UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No
1/POJK.07 /2013
b. Sebagai salah satu persyaratan untuk menerima gelar S1 di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bagi Akademisi
8
a. Menjadi sumber informasi mengenai salah satu aspek
hukum perlindungan konsumen
b. Menjadikan kontribusi untuk pengembangan ilmu
pengetahuan
3. Bagi Masyarakat
a. Agar penelitian ini mampu menjelaskan hak-hak dan
kewajiban konsumen terutama dalam berasuransi
syariah
b. Agar masyarakat percaya untuk mengasuransikan
dirinya, tidak perlu mengkhawatirkan dirinya ketika
berasuransi
c. Agar masyarakat mengetahui upaya yang harus
dilakukan ketika hak-haknya tidak terpenuhi dalam
akad
d. Agar perusahaan atau pelaku usaha asuransi semakin
sadar akibat hukum yang didapat ketika melakukan
kecurangan dalam akad asuransi.
5. Review Studi Terdahulu
1. Arief Hannany. 109048000009. Hukum Bisnis. Program Studi Ilmu
Hukum. Fakutas Syariah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013. Perlindungan Konsumen Perbankan Oleh Otoritas Jasa
Keuangan (Studi Komparatif Perlindungan Konsumen Perbankan oleh
9
Bank Indonesia. Skripsi ini membahas karena adanya ketentuan
perpindahan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari BI ke
OJK. Kesimpulan penelitian ini menujukan bahwa setelah lahirnya
Undang-Undang OJK, kewenangan perlindungan kosumen oleh BI
terkait dengan tugasnya memberikan kredit atau pembiayaan bagi bank
yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek. Perbedaan
dengan penelitian ini adalah perbedaan lembaga keuangan, dimana
peneliti terbaru meneliti tentang perlindungan konsumen Asuransi
Syariah.
2. Afika Yumya Syahmi. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia Tahun
2008. “Pengaruh pembentukan Otoritas Jasa Keungan Terhadap
Kewenangan Bank Indonesia di Bidang Pengawasan perbankan”.
Skripsi ini membahas kemungkinan dan urgensi pengawasan
perbankan di Indonesia oleh lembaga yang bernama Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Skripsi tersebut disusun sebelum diundangkannya
Undang-Undang No 21 tahun 2011, sehingga penelitian itu cenderung
pada analisis hukum yang seyogyanya ada . Yang membedakan
dengan skripsi ini adalah pengaruh dikeluarkannya UU No.8 Tahun
1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013 terhadap perlindungan
konsumen asuransi syariah.
10
3. Mohammad Ihsan 102046225379, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. “Efektivitas Perlindungan Hukum
Terhadap pemegang polis Asuransi Syariah ditinjau dari Hukum Islam
dan UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asas kebebasan
berkontrak klausula baku dan ketentuan pasal 18 UUPK dengan
hukum islam serta mengkaji dan meganalisa bagaimana penerapannya
dalam polis asuransi syariah. Perbedaan pada skripsi ini adalah pada
skripsi akan ditambah instrument yaitu meganalisis perlindungan
konsumen selain dengan UUPK perlindungan konsumen asuransi
syariah tetapi juga menggunakan POJK No.1/POJK.07/2013.
4. Ridwan. Fakultas Syariah dan Hukum. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. “ Perlindungan Konsumen Perspektif Hukum Islam (Analisis
Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999). Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum islam terhadap UU No
8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen serta untuk mengetahui
mengenai hakikat undang-undang tersebut dan nilai-nilai islam. Yang
membedakan dengan penelitian sekarang adalah memfokuskan
penelitian perlindungan konsumen menurutUU No.8 TAhun 1999 dan
POJK No.1/POJK.07 /2013.
11
5. Intan Syahputri 1111046200025. Efektivitas Penanganan Insurance
Fraud DalamPerusahaan Asuransi Syariah . Muamalat. Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk menilai seberapa efetiktif
perusahaan asuransi kerugian syariah dan perusahaan asuransi jiwa
syariah memahami penanganan Insurance fraud, dan cara perusahaan
melakukan penanganan pada kasus Insurance fraud dan model-model
yang fraud yang ada dalam asuransi. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Perbedaanya dengan penelitian ini, penelitian
tersebut membahas mengenai kecurangan dalam asuransi dari berbagai
model kecurangan atau fraud. Sedangkan penelitian ini membahas
mengenai hak-hak konsumen dan langkah yang harus dilakukan oleh
konsumen jika hak-haknya tidak terpenuhi selama berlangsungnya
akad menurut UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013.
6. Kerangka Teori dan Konseptual
a. Perlindungan Konsumen
Pasal 1 Angka 1 UU No.8 Tahun 1999 menyatakan bahwa:
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Selain itu POJK No.01/POJK 07/2013 juga mengartikan bahwa “
12
perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen
dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan “.
b. Konsumen
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) konsumen
adalah pemakai barang hasil produksi atau pemakai jasa. Sedangkan
konsumen menurut POJK Pasal 1 Angka 2 adalah ”Pihak-pihak yang
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada
perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan”.
c. Asuransi Syariah
Menurut kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) pasal
246 asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya
karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan yang mungkin dideritanya karena peristiwa yang tak tentu7.
Sedangkan asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong diantara pihak-pihak melalui investasi dalam bentuk
asset dan/atau dana tabarru’ yang memberikan pola pengembalian
7 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246
13
untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad atau perikatan yang
sesuai dengan syariah.8
d. Kontrak baku asuransi atau polis, adalah dokumen yang memuat hak
dan kewajiban Badan dan Pemegang polis dan/atau Penerima
Manfaatnya sehubungan dengan pertanggungan, yang dilampiri
dengan Surat Permintaan Asuransi (SPAJ), Rincian Polis, Rincian dan
Ketentuan Rider, berikut semua perubahan (jika ada) yang sah dan
ditandatangani oleh Badan.
e. UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No 1/POJK.07 /2013 Tentang
Perlindugan Konsumen Jasa Keuangan
7. Metode penelitian
1. Jenis penelitian
Peneliti menggunakan metode sesuai dengan permasalahan yang
diteliti, jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
kualitatif yang bersifat analisis deskriptif yaitu dengan mengumpulkan,
menyusun dan mendeskripsikan berbagai dokumen, data dan informasi
yang aktual.9 Data-data yang telah diperoleh akan diinterpresentasikan
dalam bentuk pemaparan dan analisa sehingga penulis dapat
memberikan kesimpulan pada penelitian ini.
8 Fatwa No.21 /DSN –MUI/X/2001
9 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: Alvabeta, 1999), h.209
14
Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis
proses dari proses berfikir secara induktif yang berkaitan dengan
dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dan senantiasa
menggunakan logika ilmiah. Penelitian kualitatif tidak berarti
menggunakan dukungan dari data kuantitatif, tetapi lebih ditekankan
pada kedalaman berpikir formal dari peneliti dalam menjawab
permasalahan yang dihadapi10
.
A. Sumber Data
Jenis data yang diberlakukan dalam penelitian ini meliputi:
a) Data Primer dalam penulisan ini berupa peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan perlindungan konsumen di
Indonesia yaitu UU No.8 Tahun 1999 dan peraturan dari OJK
yaitu POJK No 1/POJK.07 /2013.
b) Data sekunder penulis ambil Polis Takafullink Individu
Asuransi Takaful Keluarga dan Polis Suransi Jiwa Unit Link
Mitra BP-Link Syariah AJB Bumiputera, buku-buku, internet
dan penelitian terdahulu dan sumber-sumber tertulis lainnya
yang mengandung informasi yang berhubungan dengan
pembahasan masalah.
10
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif, Teori dan Praktik, (Jakarta: Bumi
Aksara 2013) h. 80
15
B. Teknik Pengumpulan Data
Riset kepustakaan, yaitu teknik pengumpulan data dimana
penulis meneliti dengan merujuk pada literatur yang ada. Dalam
hal ini yaitu Undang-undang, Peraturan, buku-buku, skripsi
terdahulu,jurnal situs internet dan sebagainya.
C. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dipakai dalam menganalisa data
kualitatif yakni dengan deskriptif mengenai hal-hal yang dilarang
dalam pencantuman klausula baku, hak-hak dan kewajiban
konsumen khususnya asuransi syariah, upaya yang dapat dilakukan
konsumen ketika terjadi kecurangan pada dirinya yang dilakukan
oleh perusahaan asuransi serta akibat hukum bagi perusahaan yang
melanggar. Bahan-bahan penelitian yang telah ditentukan tersebut
dipelajari dengan seksama sehingga diperoleh kesimpulan yang
terkandung didalamnya ,baik berupa ide, usul, argumentasi
maupun ketentuan-ketentuan terkait.
8. Sistematika Penulisan
BAB I
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, studi terdahulu, kerangka berpikir, kerangka teori
dan sistematika penulisan.
16
BAB II
Bab ini membahas lebih dalam mengenai teori perlindungan konsumen,
seperti sejarah perlindungan konsumen, pengertian perlindungan konsumen
menurut UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No.1/POJK.07/2013, hak dan
kewajiban konsumen serta hal-hal yang dilarang dalam penulisan klausula
baku.
BAB III
Bab ini membahas mengenai asuransi syariah dan segala aspeknya. Seperti
Pengertian asuransi syariah, prinsip-prinsip asuransi syariah dan akad
dalam asuransi syariah, serta perjanjian kontrak baku dalam asuransi
syariah.
BAB IV
Bab ini membahas mengenai analisis perjanjian asuransi syariah menurut
UU No.8 Tahun 1999 dan POJK No.1/POJK.07/2013 dan mengenai
langkah-langkah yang harus ditempuh konsumen ketika haknya tidak
terpenuhi selama berlangsungnya akad perjanjian asuransi syariah.
BAB V
Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari pembahasan yang telah
diuraikan pada bab-bab sebelumnya, serta kritik dan saran-saran yang dapat
penulis sampaikan pada penelitian skripsi ini.
17
BAB II
PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU NO.8 TAHUN 1999
DAN POJK NO.1/POJK 07/2013
1. Sejarah Perlindungan Konsumen
a. Munculnya UU No.8 tahun 1999
Dalam sebuah pasar perekonomian. Konsumen adalah
objek utama agar produk suatu perusahaan tersebut terjual. Oleh
sebab itu perlindungan konsumen menjadi suatu hal utama yang
perlu dilakukan perusahaan begitupun dengan pemerintah.
Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai jenis barang
dan jasa yang ditawarkan secara variatif, baik yang berasal dari
produksi domestik maupun yang berasal dari luar negeri. Kondisi
yang demikian disatu sisi sangat bermanfaat bagi konsumen,
karena kebutuhan yang diinginkan dapat dipenuhi dengan disertai
kebebasan untuk memilih variasi barng atau jasa tersebut. Tetapi di
sisi yang lain dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen tidak seimbang dimana konsumen pada posisi yang
lemah. Konsumen hanya dijadikan objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha
melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian
standar yang merugikan konsumen.
Keresahan di ataspun menggerakan sebuah organisasi
gerakan perlindungan konsumen di seluruh dunia. Dan lahirlah
senuah gerakan perlindungan konsumen yang merupakan bukti
bahwa hak-hak masyarakat(konsumen) dijunjug tinggi dan
dihargai. Adapun gerakan perlindungan konsumen secara
terorganisisr diawali pada tahun 1898, yaitu dengan terbentukya
Liga Konsumen yang untuk pertama kali di New York, pada tahun
1898 di tingkat Nasional Amerka Serikat terbentuk Liga
18
Konsumen nasional (The National Consumer’s League).
Organisasi ini tumbuh dan berkembang dengan pesat sehingga
pada tahun 1903 berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20
negara bagian.1
Pada tahun 1962 Presiden AS John F. Kennedy
menyampaikan Consummer Massage kepada konggres, dan ini
dianggap sebagai era baru gejolak konsumen. Setelah itu,
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi nomor 39/248
Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen (guidlenis for
consumer protection), juga merumuskan hak-hak konsumen yang
perlu dilindungi, yang meliputi:2
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap
kesehatan dan keamanannya.
2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi social
konsumen.
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kepentingan pribadi.
4. Pendidikan konsumen.
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif.
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen.
Sampai dengan tahun 1995, CI telah mempunai 203
anggota yang berasal dari 80 negara termasuk Indonesia. Di
Indonesia ditandai dengan terbentukya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia(YLKI) pada tanggal 11 mei 1973. Dalam
perkembagannya di Indonesia telah terbentuk kurang lebih 19
organisasi konsumen termasuk Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan konsumen (LP2K) semarang.
1 Wijaya, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, h.13
2 Ibid., h.27-28
19
Sejak YLKI di dirikan muncul panca hak konsumen yang
terdiri atas:3
1. Hak atas keamanan dan keselamatan.
2. Hak informasi.
3. Hak untuk memilih.
4. Hak untuk didengar.
5. Hak atas lingkungan hidup yang baik.
Secara konseptual hak-hak konsumen tersebut dalam
bentuk konsep rancangan UUPK hukum yang disampaikan pada
pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab agar
dimasukan dalam jaringan hukum Indonesia sehingga dapat
menjadi salah satu instrument hukum.4
Pada tahun 1981 untuk pertama kalinya YLKI
mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan
Undang-undang perlindungan konsumen, karena banyaknya
keluhan konsumen yang disampaikan kepada lembaga ini. Tetapi
usulan ini ditolak dengan alasan di Indonesia telah ada aturan yang
membahas tentang konsumen. Kaidah-kaidah hukum yang
berkaitan dengan masalah konsumen itu termuat dalam lingkungan
hukum perdata (KUH Perdata, KUHD dan lain-lain) maupun
hukum publik (Hukum Pidana, hukum adaministrasi, hukum
internasional, hukum acara perdata, hukum acara pidana dan lain-
lain). Di samping itu bentuk lain dari hubungan dan masalah
konsumen terdapat pula penanggulangannya dalam etika bisnis
yang lazim disebut regulasi sendiri self regulation dari kalangan
pengusaha atau profesi ( antara lain: kode etik, kode pemasaran,
3 Nasution, Konsumen dan Hukum, h.30
4 Ibid., h.60
20
kode praktek pengusaha atau profesi)5. Oleh karena itu pemerintah
berangapan belum perlu adanya perundnag-undangan yang baru.
Tetapi pada kenyataanya “Hukum Konsumen” yang
dimaksud oleh pemerintah Indonesia, menurut Az Nasution, SH,
banyak yang mengalami kendala dalam pemanfaatannya, yaitu6 :
1. Peraturan perundang-undangan tersebut diterbitkan bukan
untuk tujuan khusus untuk mengatur dana atau melindungi.
2. Dalam peraturan tersebut tidak menyebutkan dengan jelas
apa yang dimaksud dengan kepentingan konsumen, hal ini
membuktikan bahwa perundang-undangan tersebut sudah
tidak memadai lagi.
3. Hukum acara yang berlaku tidak mudah dimanfaatkan oleh
konsumen yang dirugikan.
4. Berbagai kepentingan konsumen sebagaimana yang telah
disepakati oleh berbagai kepentingan konsumen
sebagaimana yang telah disepakati oleh PBB dalam resolusi
tentang pedoman perlindungan konsumen memerlukan
sarana dan prasarana hukum untuk dapat diwujudkan bagi
kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu masyarakat Indonesia melalui organisasi
konsumen terus berusaha agar Undang-undang Perlindungan
Konsumen di Indonesia dapat segera terbentuk. Akhirnya
perjuangan selama bertahun-tahun itu membuahkan hasil, yaitu
pada tanggal 20 April 1999 pemerintah telah bersedia
mengeluarkan UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang disahkan oleh presiden B.J Habibie Presiden
Indonesia pada waktu itu.
5 Ibid., hal.62
6 Ibid., hal 80-81
21
Dengan munculnya UUPK ini diharapkan akan dapat
mendidik mayarakat Indonesia untuk lebih meyadari akan hak dan
kewajiban yang dimiliki konsumen dan pelaku usaha.
b. Terbitnya POJK No.01/POJK.07/20137
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ( POJK ) tentang perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan. POJK No.01/POJK.07/2013 yang ditanda
tangani 26 Juli 2013 ini merupakan POJK pertama yang
dikeluarkan. Penerbitan peraturan ini bertujuan untuk melindungi
kepentingan konsumen industri jasa keuangan dan masyarakat.
Selain itu yang mendasari adanya POJK perlindungan
konsumen karena adanya 5 masalah utama dalam mayarakat, yaitu:
1. Informasi yang asimetris;
2. Perlakuan yang tidak adil;
3. Kualitas layanan yang tidak memadai;
4. Penggunaan data pribadi konsumen;
5. Penanganan pengaduan yang kurang efektif.
POJK sebagai payung hukum bagi Pengaturan
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan di Indonesia. Oleh
karena itu POJK ini mengandung tiga aspek utama, yaitu pertama,
peningkatan transparasi dan pengungkapan manfaat, risiko serta
biaya atas produk dan/atau jasa Pelaku Usaha Jasa Keuangan
(PUJK). Kedua, tanggung jawab PUJK untuk melakukan penilaan
kesesuaian produk dan/atau jasa dengan risiko yang dihadapi oleh
konsumen keuangan. Ketiga, prosedur yang lebih sederhana dan
kemudahan konsumen keuangan untuk menyampaikan pengaduan
dan penyelesaian sengketa atas produk dan/atau jasa PUJK.
7 http://finance.detik.com/moneter/d-2318894/ojk-terbitkan-aturan-
untuk-pertama-kalinya-apa-isinya
22
Ketentuan dalam POJK ini menggunakan prinsip pokok yang
menjadi acuan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap perilaku
hubungan antara PUJK dengan konsumennnya yang terdiri atas
transparasi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan, dan
keamanan data atau informasi konsumen, dan penanganan
pengaduan serta penyelesaian sengketa konsumen secara
sederhana, cepat dan biaya tejangkau.
2. Pengertian Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah upaya yang terorganisir yang di
dalamnya terdapat unsur-unsur pemerintah, konsuemen dan pelaku
usaha yang jujur dan bertanggung jawab untuk meningkatkan hak-hak
konsumen.8 Perlindungan konsumen menurut UUPK adalah segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.9 Kalimat yang menyatakan “Segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai
benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang
merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan
konsumen.10
Sedangkan perlindungan konsumen menurut POJK adalah
perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku pelaku
usaha jasa keuangan.11
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konsumen
adalah pemakai barang hasil produksi atau pemakai jasa.12
Pasal 1
angka (2) UUPK menyatakan, konsumen adalah Setiap orang pemakai
8 Soffa Ihsan, Fikih Perlindungan Konsumen, (Ciputat: Pustaka
Cendikiamuda), 2011, h.10. 9 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum perlindungan Konsumen, (
Jakarta: Raja grafindo persada, 2004) h. 1 10
Ibid,. h. 1 11
POJK No.1/POJK.07/2013 Pasal 1 Ketentuan Umum 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia
23
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk
kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
dan tidak diperdagangkan.
Menurut POJK konsumen adalah pihak-pihak yang
menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada
perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada
perasuransian, dan perserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sector jasa keuangan.13
3. Asas dan Tujuan Perlindungan Kosumen
Pada penjelasan pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen NO 8 Tahun 1999 dijelaskan tentang asas-asas dalam
perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen diselenggarakan
sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relavan dalam
pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa
segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya
dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintsh dalam arti materiil ataupun spiritual.
13
POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan
24
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan dan pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha
maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Selain merumuskan asas dalam perlindungan konsumen
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga merumuskan tujuan
Perlindungan Konsumen yang terdapat pada pasal 3 UU No 8
Tahun 1999, yaitu:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menetukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindugan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamananan, keamanan, dan keselamatan konsumenen.
4. Prinsip Perlindungan Konsumen menurut POJK :
1. Transparansi;
25
2. Perlakuan yang adil;
3. Keandalan;
4. Kerahasiaan dan keamanan data/informasi konsumen; dan
5. Penanganan pengaduan serta penyelesaian segketa konsumen
secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
5. Hak dan Kewajiban Konsumen
A. Hak Konsumen menurut Pasal 4 UU No.8 Tahun 1999:14
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yag
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undngan
lainnya;
14
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo , Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2004) , h.38.
26
Sedangkan hak-hak konsumen dalam POJK dijabarkan
secara luas khususnya untuk konsumen jasa keuangan, yang
asuransi termasuk di dalamnya yaitu15
:
a. Hak mendapatkan informasi mengenai produk yang akan
dibelinya secara akurat, jujur, jelas dan tidak menyesatkan.
b. Hak mendapatkan dokumen perjanjian sebagai tanda bukti
berlakunya kontrak.
c. Hak mendapatkan informasi terkini dan mudah diakses
tentang produk atau layanan.
d. Hak mendapatkan informasi mengenai penerimaan,
penundaan, atau penolakan permohonan produk dan/atau
pelayanan.
e. Hak mendapatkan kontrak baku dengan kalimat yang
sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti,
yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan,
memuat pernyataan dan dapat mengikat konsumen secara
hukum.
f. Hak mendapatkan ringkasan informasi produk dan/atau
layanan secara tertulis yang memuat manfaat, risiko, biaya
produk dan/atau layanan serta syarat dan ketentuan.
g. Hak mendapatkan pemahaman dari pelaku usaha mengenai
hak dan kewajibannya dalam perjanjian.
h. Hak mendapatkan informasi mengenai perubahan manfaat,
biaya, risiko, syarat dan ketentuan yang tercantum dalam
dokumen dan/atau perjanjian mengenai produk dan /atau
layanan paling lambat 30 hari kerja sebelum berlakunya
perubahan tersebut.
15
POJK No.1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan
27
i. Hak untuk memutuskan produk dan/atau layanan apabila
tidak menyetujui perubahan tersebut tanpa dikenakan ganti
rugi apapun.
j. Hak mendapatkan edukasi dalam rangka meningkatkan
literasi keuangan dan menerima laporan keuangan tahunan
perusahaan.
k. Hak memilih produk jasa yang sesuai kebutuhan dan sesuai
dengan kemampuannya.
l. Hak mendapatkan kontrak baku yang memenuhi unsur
keseimbangan, keadilan, dan kewajaran.
m. Hak mendapatkan pelayanan khusus bagi konsumen yang
berkebutuhan khusus (seperti buta).
n. Hak mendapatkan ganti rugi atas kesalahan pelaku usaha
jasa keuangan.
o. Hak privasi megenai data pribadinya.
B. Kewajiban konsumen
Di mana ada hak pasti ada kewajiban, dalam hal usaha
jasa keuangan kosumen memanglah salah satu objek yang
penting selain pelaku usaha jasa keungan wajib memenuhi
kewajibannya terhadap konsumen, konsumen pun memiliki
kewajiban terhadap pelaku jasa keuangan menurut Undang-
Undang Perlindungan Kosumen, UU No.8 Tahun 1999. Sebab
kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen agar
28
mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.16
Kewajiban tersebut antara lain17
:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa.
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.18
Pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha
telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu
produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang
telah disampaikan kepadanya.
Menyangkut kewajiban konsumen beritikad baik hanya
tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini
tentu saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan
untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan
transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha
kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak
barang dirancang atau diproduksi oleh produsen.19
6. Ketentuan pencantuman Klausula Baku
16
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, ( Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h.50. 17
Ibid., h. 47. 18
Ibid., h.48. 19
Kewajiban Pelaku Usaha Beritikad Baik, sepenuhnya diuraikan dalam telaah
terhadap ketentuan Pasal 7 UUPK.
29
A. Ketentuan pencantuman klausua baku menurut UU No 8 Tahun
1999 Pasal 18, yaitu:20
Ayat 1: Pelaku usaha dalam menawarkan barang
dan/atau jasa yang ditunjukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat dan /atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada
pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan barang yang dibeli oleh konseumen secara
angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan
barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi
manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru , tambahan, lanjutan, dan/atau
pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan , hak
20
Ibid,. h.108.
30
gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
Ayat 2 : Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca
secara jelas atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
Ayat 3 : Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usha
pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dinyatakan batal
demi hukum.
Ayat 4 :Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
B. Syarat-syarat Penyusunan Kontrak baku menurut POJK No
01/POJK 07/201321
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan juga menjelaskan
mengenai penyusunan kontrak baku yang harus sesuai dengan
perundang-undangan, seperti yang tercantum dalam ayat (1)
Pasal 22 yang berbunyi:
“ Dalam hal Pelaku Usaha Jasa Keuangan menggunakan
perjanjian baku, perjanjian baku tersebut wajib disusun sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
Begitupun dijelaskan dalam ayat (3) pasal 22 yang berbunyi:
“Perjanjian baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
digunakan oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban
Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsmen;
21
POJK No 01/POJK 07/2013
31
b. Menyatakan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan berhak
menolak pengembalian uang yang telah dibayar oleh
Konsumen atas produk dan/atau layanan yang diberi;
c. Menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak
atas barang yang digunakan oleh Konsumen, kecuali
tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
d. Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen,
jika Pelaku Usaha Jasa Keuangan menyatakan bahwa
hilangnya kegunaan produk dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen, bukan merupakan tanggung jawab Pelaku
Usaha Jasa Keuangan;
e. Memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau jasa atau
mengurangi harta kekayaan kosumen yang menjadi objek
perjanjian produk dan jasa;
f. Menyatakn bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahanyang dibuat secaara
sepihak oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangandalam masa
konsumen memanfaatkan produk dan/atau layanan yang
dibelinya;
g. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada
Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk pembebanan hak tak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk
dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
32
7. Mekanisme Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen
menurut SE OJK No 2/SE OJK.07/201422
1. Pengaduan adalah ungkapan ketidakpuasan Konsumen yang
disebabkan oleh adanya kerugian dan/atau potensi kerugian
finansial pada Konsumen yang diduga karena kesalahan atau
kelalaian Lembaga Jasa Keuangan
2. PUJK wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan
Konsumen sebelum pengaduan tersebut disampaikan kepada
pihak lain.
3. PUJK wajib segera menindaklanjuti dan menyelesaikan
pengaduan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah
tanggal penerimaan pengaduan.
4. Dalam hal terdapat kondisi tertentu, PUJK dapat
memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling lama 20
(dua puluh) hari kerja berikutnya.
5. Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 4 adalah:
a. kantor PUJK yang menerima pengaduan tidak sama
dengan kantor PUJK tempat terjadinya permasalahan
yang diadukan dan terdapat kendala komunikasi di
antara kedua kantor PUJK tersebut;
b. transaksi keuangan yang diadukan oleh Konsumen
memerlukan penelitian khusus terhadap dokumen-
dokumen PUJK;
c. terdapat hal-hal lain di luar kendali PUJK seperti
adanya keterlibatan pihak ketiga di luar PUJK dalam
transaksi keuangan yang dilakukan oleh Konsumen.
6. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pengaduan
sebagaimdimaksud pada angka 4 wajib diberitahukan secara
22
SE OJK No 2/SE OJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian
Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan , Nomor II
33
tertulis kepada konsumen yang megajukan pengaduan
sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 3
berakhir
7. PUJK harus mempunyai prosedur pelayanan dan penyelesaian
pengaduan yang sekurang-kurangnya mencakup hal-hal
sebagai berikut :
a. penerapan prinsip aksesibilitas, independensi,
keadilan, efisiensi, dan efektifitas;
b. pelaksanaan penerimaan pengaduan Konsumen
melalui berbagai cara antara lain tatap muka, email
dan surat namun tidak termasuk pengaduan yang
dilakukan melalui pemberitaan di media massa;
c. PUJK wajib segera menindaklanjuti dan
menyelesaikan pengaduan paling lambat 20 (dua
puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada angka 3;
d. dalam hal terdapat kondisi tertentu, PUJK dapat
memperpanjang jangka waktu sampai dengan paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja berikutnya sebagaimana
dimaksud pada angka 4;
e. Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf d
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada
angka 5;
f. Tatacara komunikasi kepada Konsumen paling kurang
mencakup :
1. prosedur pelayanan dan penyelesaian
pengaduan dalam format yang mudah
dimengerti dan mudah diakses oleh Konsumen;
dan
2. penawaran penyelesaian jika dari hasil analisa
dan evaluasi yang dilakukan oleh PUJK
terjadinya pengaduan disebabkan kesalahan
34
dari PUJK.
g. Merahasiakan informasi mengenai Konsumen yang
melakukan pengaduan kepada pihak manapun, kecuali:
1. kepada Otoritas Jasa Keuangan;
2. dalam rangka penyelesaian pengaduan;
3. diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan; dan/atau
4. atas persetujuan Konsumen
8. PUJK wajib memberikan pelayanan dan penyelesaian
pengaduan, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. memberikan perlakuan yang seimbang dan objektif
kepada setiap pengaduan;
b. memberikan kesempatan yang memadai kepada
Konsumen untuk menjelaskan materi pengaduan;
c. memberikan kesempatan kepada pihak lain yang
mempunyai kepentingan terhadap pengaduan, untuk
memberikan penjelasan dalam penyelesaian
pengaduan (jika ada).
9. PUJK dilarang memungut biaya atas pelayanan dan
penyelesaian pengaduan
10. PUJK wajib mengadministrasikan pelayanan dan penyelesaian
pengaduan. Pengadministrasian wajib memuat informasi
paling kurang:
a. identitas Konsumen;
b. materi pengaduan; dan
c. tindakan yang telah dilakukan untuk menyelesaikan
pengaduan
11. PUJK menyediakan informasi mengenai status pengaduan
Konsumen melalui berbagai sarana komunikasi yang
disediakan oleh PUJK antara lain melalui website, surat, email
35
atau telepon.
12. PUJK dan Konsumen dapat memantau perkembangan status
Penanganan Pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen
kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui Sistem Pelayanan
Konsumen Terintegrasi Sektor Jasa Keuangan.
13. Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta atau mengakses status
perkembangan Penanganan Pengaduan yang disampaikan oleh
Konsumen kepada PUJK.
36
BAB III
ASURANSI SYARIAH
1. Pengertian Asuransi syariah
Kata asuransi berasal dari Bahasa Inggris, Insurance,1 yang dalam
Bahasa Indonesia telah menjadi Bahasa popular dan diadopsi dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”.2
Muhammad Muslehuddi dalam bukunya Insurance and Islamic
law mengadopsi pengertian asuransi dari Ensyclopedia Britanica sebagai
suatu persediaan yang disiapkan oleh sekelompok orang, yang dapat
tertimpa kerugian, guna menghadapi kejadian yang tidak dapat
diramalkan, sehingga bila kerugian tersebut menimpa salah seorang di
antara mereka maka beban kerugian tersebut akan disebarkan ke seluruh
kelompok.3
Menurut kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) pasal 246
asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik dengan mana seorang
penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggug dengan
menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan
yang mungkin dideritanya karena peristiwa yang tak tentu.4
Sedangkan definisi asuransi menurut Undang-Undang No.2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah “ Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung /mengikatkan diri pada
tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan
1 John M. Echols dan Hassan Sadilly, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:
Gramedia,1990) h. 326 2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h.63
3 Muhammad Muslehuddin, Insurance Islamic Law,(Ter. Oleh Burhan
Wirasubrata) Menggugat ASuransi Modern : Mengajukan Asuatu Alternatif baru dalam
perspektif hukum islam, (Jakarta: Lentera,1999) Cet. Ke-1. H. 3. Lihat juga dalam
Ensyclopedia Britanica (Eleven Edition), (Cambridge:,1910), h. 656 4 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246
37
pergantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum pada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan pebayaran yang
didasrkan atas meninggal atau hidupnya seorang yang dipertanggung
jawabkan.5
Asuransi Syariah secara umum adalah konsep asuransi konven
yang berdasarkan prinsip syariah yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Hadits.
Asuransi syariah yang juga dikenal dengan takaful berasal dari kata kerja
takafala, yatakafulu, takaful, yang berarti saling menanggung atau
menanggung bersama atau “ menjamin seseorang untuk menghindari
kerugian”. dari sudut pandang ekonomi, kata takaful berarti “menjamin
bersama” (mutual guaranty) yang disediakan oleh sekelompok orang yang
hidup dalam berkelompok yang sama terhadap risiko atau bencana tertentu
yang menimpa hidup seseorang, kekayaan atau barang-barang lainnya.
Oleh karenanya takaful lebih dikenal sebagi asuransi bersama(cooperatife
insurance).6 Konsep takaful ini menjadi landasan pengertian asuransi
syariah menurut Fawa Dewan Syariah Nasioanal No.21/DSN-
MUI/X/2001,(MUI 2003:135) yang merumuskan ASuransi syariah adalah
suatu usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset atau tabarru’
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.7
2. Akad pada Asuransi Syariah
Asuransi sebagai suatu bentuk kontrak modern tidak dapat
terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena dalam
praktiknya asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian
5 Ahmad Chairul Hadi, Hukum ASuransi Syariah (Ciputat: UIN PRESS, 2015), h. 2.
6 Ibid., h. 5.
7 Ibid., h. 6.
38
untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi
dengan perusahaan asuransi. Sedangakan pengertian akad menurut as-
Syanhuri pengarang kitab Nadzariyyah al-Aqd adalah kesepakatan antara
dua kehendak untuk memangun kewajiban atau memindahkan kewajiban
atau megakhiri kewajiban.8 Dalam hal ini as-Syanhuri memberikan
tinjauan terhadap pengertian akad di atas dari sudut perundang-undangan.
Dalam muammalah kejelasan bentuk akad sangat menentukan
apakah transaksi yang dilakukan sudah sah atau tidak menurut kaidah
syar’I. demikian pula dalam berasuransi, ketidakjelasan bentuk akad
berpotensi menimbulkan permasalahan dari segi legalitas hukum islam.
Bentuk akad dapat berupa surat permintaan (SP) asuransi yang
disampaikan oleh calon peserta dan surat penerimaan peserta dalam
bentuk lembaran polis yang dikeluarkan oleh perusahaan yang berisi
tentang perjanjian kedua belah pihak.9
Akad dalam perjanjian asuransipun terbagi menjadi dua yaitu, akad
tabarru dan tijarri. Dimana akad tijaripun terbagi lagi menajdi
mudharabah musytarakah dan wakallah bil ujrah.
A. Akad tabarru
Tabarru’ berasal dari kata tabara’a yang artinya derma. Orang yang
berderma disebut mutabarri (dermawan). Tabarru’ berarti
memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan membantu
satu sama lain sesame peserta asuransi syariah apabila salah satu
diantaranya mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil
dari dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan
menjadi peserta asuransi syariah, untuk kepentingan dana kebajikan.
Akad tabarru’ merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak
yang bersifat nirlaba (social) sehingga tidak boleh digunakan untuk
8 As-Syanhuri, Nadzariyyah al-Aqd, h. 77-80.
9 Abdullah Amrin, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, (Jakarta: PT. Elex
Media Kompetindo, 2011), hal. 103
39
tujuan komersial atau bisnis tapi semata-mata untuk tujuan tolong-
menolong dalam rangka kebajikan. Pihak yang meniatkan tabarru tidak
boleh mensyaratkan imbalan apapun. 10
Selain itu akad dana tabarru’
hanya boleh digunakan untuk hal-hal yang secara langsung
berhubungan dengan nasabah seperti, klaim, cadangan dana tabarru’
dan reasuransi syariah.11
Sesuai fatwa MUI, kedudukan para peserta dalam akad tabarru yaitu:
a. peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk
menolong peserta lain yang terkena musibah,
b. peserta secara individu merupakan pihak yang berhak
menerima dana tabaarru’ (muabarru’ lahu) dan secara kolektif
sebagai mutabarri’.
c. perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar
akad wakalah dari peserta diluar pengelolan investasi.
Kata tabarru’ merujuk pada kata al-birr (kebajikan)
sebagaimana firman Allah SWT :
10
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah”Tinjauan Asas-asas Hukum Islam”,
Ungaran: Pustaka Pelajar, 2007, h.69. 11
Agus Edi Sumanto, dkk.,Solusi Berasuransi Lebih Indah Dengan Syariah, h. 77.
40
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah 177).
B. Akad Tijarah
Menurut peraturan Meneteri Keuangan No. 18/PMK.010/2010 pada
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat ( 8) dijelaskan akad tijarah
adalah akad antara peserta secara kolektif atau secara individu dan
perusahaan dengan tujuan komersial.12
Akad Tijarah dibagi lagi mejadi dua, yaitu:
a. Akad Wakalah bil Ujrah
Dalam PMK No.18/PMK.010/2010 Pasal 1 ayat (9) dijelaskan
bahwa13
“ Akad wakalah bil ujrah adalah akad tijarah yang memberikan
kuasa kepada perusahaan sebagai wakil peserta untuk mengelola
Dana Tabarru’ dan/atau dana investasi peserta, sesuai kuasa atau
wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujrah (fee)”
12
Peraturan Menteri Keuangan No. 18/PMK.010/2010 “Penerapan
Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan
Prinsip Syariah. Pasal 8
13 Ibid., Pasal 9
41
Wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa dari pesera kepada
perusahaan asuransi atau reasuransi untuk mengelola dana peserta
dan/atau melakukan kegiatan lain. Wakalah bil ujrah dapat
diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur
saving ataupun non saving.
Kedudukan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah :
a. dalam akad ini perusahaan bertindak sebaga wakil( yang
mendapat kuasa) untuk melakukan kegiatan sebagaimana
disebutkan.
b. peserta bertindak sebagai muwakil (pemberi kuasa)
c. wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa
yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil.
d. akad wakalah bersifat amanah bukan tanggungan. Sehingga
wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi
dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali
karena kecerobohan.
Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak
memperoleh bagian dari hasil investasi karena akad yang
digunakan adalah akad wakalah.
b. Akad Mudharabah
Yaitu suatu bentuk akad yang didasarkan pada prinsip profit and
loss sharing (berbagi atas untung dan rugi) di mana dan yang
terkumpul dalam total rekening tabungan dapat diinvestasikan oleh
perusahaan asuransi yang risiko investasi ditanggung bersama
antara perusahaan dan nasabah.14
14
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2004) , h.141.
42
Akad ini terwujud apabila dana yang terkumpul dalam perusahaan
asuransi itu diinvestasikan dalam wujud usaha yang diproyeksikan
menghasilkan keuntungan ( profit ). Karena landasan dasar awal
dari akad mudharabah ini adalah prinsip profit and loss sharing
jika dalam investasinya mendapat keuntungan, maka keuntungan
tersebut dibagi bersama sesuai dengan porsi ( nisbah ) yang
disepakati. Sebaliknya jika dalam investasinya mengalami
kerugian , maka kerugian tersebut juga ditanggung bersama antara
peserta asuransi dengan perusahaan.15
3. Prinsip-prinsip Hukum Asuransi Syariah
Menurut Sri Rejeki Hartono16
perjanjian asuransi bisa saja
diadakan antara tertanggung dengan pihak penanggung sebab dengan kata
sepakat saja perjanjian asuransi telah terbentuk, karena kata sepakat para
pihak merupakan dasar atau landasan bagi ada atau tidaknya perjanjian
asuransi. Selain itu dalam perjanjian asuransi termasuk semua klausul-
klausulnya secara material benar-benar ditentukan oleh pelaku usaha
sepenuhnya. Berkaitan dnegan kebebasan untuk membentuk dan
menentukan klausul-klausul dalam sebuah perjanjiaan dalam hukum islam
dikenal dengan asas kebebasan berkontrak (al- mabda ‘ huriyyah at-
ta’aqud). Yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu
prinsip hukum bahwa orang bebas untuk membuat perjanjiaan macam
apapun sekalipun belum ada dalam undang-undang dan mengisikan
kepentingan apasaja ke dalamnya sekalipun berlawanan dengan pasal-
15
Ibid., h.141. bandingkan dengan konsep profit and loss sharing dalam
perbankan syariah. Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan
KEuangan,( Jakarta: RAjaGrafindo Persada, 2011), h.210. 16
Hartono, Sri Rejeki, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Cet.ke-2,
(Malang: Bayu Media. 2007), h.123.
43
pasal hukum perjanjiaan, di dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban
umum.17
Berikut ini adalah prinsip-prinsip asuransi, yaitu:
A. Principle of Insurable Interest
Principle Insurable of Interest ini dalam kancah hukum asuransi
Indonesia disebut dengan prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan.
Secara sederhana insurable interest dapat dipahami bahwa orang itu akan
menderita apabila peristwa yang dipertanggungkan itu terjadi.18
Maksud
prinsip ini adalah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan
sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti
terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.19
Darmawi mendefinisikan insurable interest sebagai hak atau
adanya hubungan dnegan persoalan pokok dari kontrak, seperti menderita
kerugian finasnsial sebagai akibat terjadinya kerusakan, kerugian, atau
kehancuran suatu harta.20
Tanpa insurable interest, suatu kontrak hanya
kan menjadi kontrak perjudian, lagipula dapat menimbulkan niat jahat
untuk meyebabkan terjadinya kerugian dengan memperoleh santunan. Jika
insurable interest itu ada maka tidak mungkin mendapatkan kentungan dari
peristiwa tersebut.21
B. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna)
Utmost Good Faith, dari prinsip ini dapat dinyatakan bahwa
tertanggung wajib menginformasikan kepada penanggung mengenai suatu
fakta dan hal pokok yang diketahuinya, serta hal-hal yang berkaitan
dengan risiko terhadap pertanggungan yang dilakukan. Keterangan yang
17
Satrio, Hukum Perjanjian Yang Lahir dari Perjanjian, Buku I dan II,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h.9. 18
Lihat Gene A. Morton, Op., cit., h.8. 19
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi, h.100 20
Herman Darmawi, Op., cit., I, h. 68. 21
Hasan Ali, Asuransi DAlam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Prenada Media,
2004),h.78.
44
tidak benar dan informasi yang tidak disampaikan dapat mengakibatkan
batalnya perjanjiaan asuransi.22
Prinsip ini menjelaskan risiko-risiko yang dijamin maupun yang
dikecualikan, segala persyaratan dan kondisi pertanggungan secara jelas
serta telti. Kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut
berlaku :
a. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarakan sampai
kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat kami meyetujui
kontrak tersebut.
b. Pada saat perpanjangan kontrak asuransi.
c. Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai
hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan tersebut.
C. Principles of Indemnity (Idemnitas)
Dari prinsip ini dapat dipahami bahwa pertanggungan bertujuan
untuk memberikan penggantiaan atas kerugian. pergantian tersebut tidak
boleh melebihi kerugian riil tertanggung sehingga ia diuntungkan.
Menurut Sri Rejeki Hartono23
bahwa asas indemnitas adalah satu
asas utama dalam perjanjiaan asuransi, karena indemnitas merupakan asas
yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah dan tujuan dari
perjanjiaan asuransi. Namun demikian, asas ini hanya khusus ada pada
asuransi kerugian, bukan pada asuransi jiwa. Perjanjiaan asuransi memiliki
tujuan utama dan spesifik yaitu untuk memberikan suatu ganti kerugian
kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung.24
22
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah”Tinjauan Asas-asas Hukum Islam”,
(Ungaran: Pustaka Pelajar, 2007), h.97. 23
Hartono, Sri Rejeki, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, ( Malang:
Bayu Media), 2007,h.98.
24 Kuat Ismanto, Asuransi Syariah”Tinjauan Asas-asas Hukum Islam”, (
Ungaran: Pustaka Pelajar, 2007), h.109.
45
D. Principles of Subrogation (Subrogasi)
Prinsip subrogasi diatur dalam pasal 284 kitab Undang-udang
Hukum Dagang, yang berbunyi: “Apabila seorang penanggung telah
membayar ganti rugi sepenuhnya kepada tertanggung, maka penanggung
akan menggantikan kedudukan tertanggung dalam segala hal untuk
menuntut pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian pada
tertanggung.
Pada umumnya, seseorang yang menyebabkan suatu kerugian
bertanggung jawab atas kerusakan/kerugian itu. Dalam hubungannya
dengan asuransi, pihak penanggung mengambil alih hak menagih ganti
kerugian pada pihak yang menyebabkan kerugian setelah penaggung
melunasi kewajibannya pada tertanggung.25
Namun perlu diingat bahwa subrogasi dalam asuransi adalah
subrogasi berdasarkan undang-undang. Artiya keberlakuan asas subrogasi
dilaksanakan baik berdasarkan undang-undang .oleh karena itu menurut
Eni Pangaribuan , hanya bisa ditegakan apabila memenuhi dua syarat:
pertama , apabila terttanggung di samping mempunyai hak terhadap
penanggung masih mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga. Kedua, hak
tersebut timbul karena terjadinya suatu kerugian.26
E. Contribution (Kontribusi)
Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama
pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas objek
yang diasuransikan maka secara otomatis berlaku prinsip kontribusi.
Prinsip kontribusi berarti bahwa apabila penanggung telah membayar
penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung , maka penanggung brhak
menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan
25
Herman Darmawi, Op. Cit., h. 69. 26
Emy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Pertaggungan Kerugian Pada
Umumnya, Kerugian dan Jiwa ( Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
UGM, tt.) hlm.96
46
untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding
dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.27
F. Proximate Cause (Kausa Proksimal)
Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau
kecelakaan, maka pertama-tama penanggung akan mencari sebab-sebab
yang aktif dan efisien yang menggerakan suatu rangkaian peristiwa tanpa
terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan
tersebut. Melalui kausa proksimal akan dapat diketahui apakah penyebab
terjadinya musibah atau kecelakaan tersebut dijamin dalam kondisi polis
asuransi atau tidak.
4. Kontrak Baku Asuransi
Menurut Pasal 255 KUHD mengatakan bahwa suatu perjanjian
pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan sebuah akta yang
bernama polis. Memperhatikan pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah
perjanjian pertanggungan itu baru sah bila dibuat secara tertulis dengan
suatu akta yang disebut polis. Sehingga dapat dikatakan bahwa polis
merupakan syarat untuk adanya perjanjiaan.28
Menurut Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/SEOJK.07/2014 pada bagian I Ketentuan Umum dijelaskan Perjanjian
Baku adalah perjanjian tertulis yang ditetapkan secara sepihak oleh PUJK
dan memuat klausula baku tentang isi, bentuk, maupun cara pembuatan,
dan gigunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada
Konsumen secara massal.
Kontrak baku atau yang biasa disebut konrak standar adalah
beberapa istilah yang digunakan terhadap perjanjian yang seluruh klausul-
klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau minta
perubahan.29
Karena di tengah perkembangan bisnis yang semakin pesat
27
Kuat Ismanto, Asuransi Syariah”Tinjauan Asas-asas Hukum
Islam”,(Ungaran: Pustaka Pelajar, 2007), h. 127. 28
Emy Pangaribuan, Hukum Pertanggungan, (Yoyakarta: Gramedia 1980) h. 19. 29
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut
Bankir Indonesia,1993), h.66.
47
diperlukan kontrak yang baku untuk mengefisienkan biaya, tenaga, dan
waktu dalam perjalanan bisnis.30
Ciri-ciri kontrak baku menurut Mariam Badrulzaman, yaitu31
:
a. Isi ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat;
b. Masyarakat (konsumen) sama sekali tidak ikut bersama-sama
menentukan isi perjanjian;
c. Terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa menenerima
perjanjian itu;
d. Bentuknya tertulis;
e. Di persiapkan secara massal dan kolektif.
Berdasarkan penjelasan dan pengertian di atas dapat dipahami
bahwa kontrak baku merupakan surat perjanjian antara PUJK dengan
konsumen di mana konsumen menjadi pihak yang lemah karena tidak
memiliki hak untuk mengubah perjanjiaan tersebut. Konsumen hanya
berhak membaca dan menyetujui atau tidaknya perjanjian tersebut.
Begitupun dengan polis asuransi, yang dimaksud dengan polis
adalah kontrak baku yang telah dibuat oleh perusahaan asuransi yang
berisi perjanjian antara peserta asuransi dengan perusahaan yang memuat
hak dan kewajiban konsumen serta perusahaan, di mana perusahaan
menjadi pihak utama yang membuat kontrak tersebut dan peserta asuransi
hanya memiliki hak untuk membaca dan menyetujui atau tidaknya
perjanjian tersebut.
30
Salim HS, dkk., Perancang Kontrak, h .37. 31
Ibid., hal.70-71.
45
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Perlindungan Konsumen Asuransi Syariah Ditinjau dari UU
No 8 Tahun 1999 dan POJK No 01/POJK 07/2013
Perlindungan konsumen adalah segala upaya untuk menjamin
adanya kepastian hukum terhadap konsumen. Karena dengan adanya
perlindungan konsumen sudah pasti membuat konsumen semakin percaya
terhadap suatu produk dan kesetiaan konsumenpun akan semakin
meningkat. Kita tidak dapat memungkiri bahwa konsumen adalah objek
terpenting dalam suatu kegiatan ekonomi. Begitupun dengan asuransi
syariah yang sangat membutuhkan konsumen demi terjualnya produk jasa
asuransi tersebut.
Seperti yang disebutkan dalam Pasal 255 KUHD bahwa perjanjian
pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan sebuah akta yang
bernama polis. Memperhatikan pasal 255 KUHD tersebut seolah-olah
perjanjian pertanggungan itu baru sah bila dibuat secara tertulis dengan
suatu akta yang disebut polis. Sehingga dapat dikatakan bahwa polis
merupakan syarat untuk adanya perjanjiaan asuransi.
Selain itu asuransi syariah yang berdasarkan atas hukum islam
memandang perlindungan konsumen bukan semata sebagai hubungan
keperdataan semata, melainkan menyangkut kepentingan publik
(maslahah mursalah) secara luas, bahkan menyambgkut hubungan antara
manusia dengan Tuhan (hablum minallah). Hukum islam sendiri sudah
membahas konsep-konsep seperti pengertian akad, rukun akad, tujuan dan
sebab akad, syarat-syarat akad, asas kebebasan berkontrak, hal-hal yang
merusak, keadaan suka sama suka dalam akad, kebolehan pembatalan
akad, jual beli gharar, hak khiyar, dan sebagainya. Konsep-konsep tersebut
46
merupakan pijakan paradigmatis dan praktis bagi perlindungan
konsumen.1
Pada dasarnya perlindungan konsumen yang dimaksud oleh
undang-undang perlindungan konsumen dan peraturan otoritasa jasa
keuangan mengenai perlindungan konsumen jasa keuangan adalah sama.
Karena UU memiliki kedudukan tertinggi di atas peraturan lembaga. Dan
dalam pembuatannya sendiripun adanya POJK No 01/POJK 07/2013
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 31 Undang-undang No 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang juga berdasarkan atas
UU No 8 Tahun 1999.
Untuk melindungi konsumen pembuatan kontrak baku atau yang
biasa disebut dengan polis asuransipun menjadi salah satu factor penentu
perlindungan konsumen. Seperti hal-hal yang dilarang dicantumkan dalam
pembuatan kontrak baku.
Peraturan mengenai ketentuan perjanjian baku/polis pada asuransi
telah diatur oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen No 8 Tahun
1999 Pasal 18 dalam empat ayat dan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No.01 /POJK.07/ 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan pasal 22 ayat (3) menyebutkan hal-hal yang dilarang untuk
dicantumkan dalam polis standar, yaitu:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban pelaku
usaha/perusahaan kepada Konsumen
Perusahaan asuransi yang notabennya perusahaan jasa, maka
kepercayaan haruslah dibangun sejak awal, sehingga nantinya antar
peserta asuransi dan pelaku usaha dapat menjalin kerjasama yang baik
dan bermanfaat bagi kedua belah pihak. Namun jika di awal perjanjian
1 Soffa Ihsan, Fikih Perlindungan Konsumen, (Ciputat: Pustaka Cendikiamuda),
2011, h.51.
47
saja perusahaan sudah mengalihkan tanggung jawabnya, hal inilah
yang mungkin akan menimbulkan kekecewaan kepada peserta asuransi
tersebut.
1.1 Polis Takafulink Individu Asuransi Takaful Keluarga2
Menurut Pasal 14 Bab Ketentuan Umum Polis Takafulink
Individu mengenai Risiko Investasi meyatakan “ Risiko investasi yang
timbul karena pilihan investasi, baik atas penetapan Nilai Unit maupun
hasil pengembangan investasi per unit, ditanggung sepenuhnya oleh
Pemegang Polis ”
1.2 Polis Asuransi Jiwa Unit Link Mitra BP-LINK Syariah AJB
Bumiputera3
Pasal 17 ayat ( 4 ) mengenai investasi menyatakan " Seluruh
risiko yang timbul sehubungan dengan penempatan dana pada jenis
Dana Investasi sebagaimana tercantum pada pasal 17 Ayat (1)
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemegang polis "
Berdasarkan analisis di atas dapat diketahui bahwa polis
takafulink dan polis Asuransi Jiwa Unit Link Syariah Bumiputera telah
sesuai dalam investasinya. Karena pada dasarnya investasi dalam polis
asuransi unitlink syariah menggunakan prinsip akad wakalah bil ujrah.
Yaitu akad tijarah yang memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai
wakil peserta untuk mengelola Dana Tabarru’ dan/atau dana investasi
peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan
berupa ujrah (fee).4 jadi setiap surplus ataupun defisit semua menjadi
tanggung jawab peserta asuransi secara kolektif. Dalam asuransi
syariah dan dalam akad dijelaskan bahwa pelaku usaha hanya sebagai
2 Polis Takafulink Individu Asuransi Takaful Keluarga, Syarat-syarat
Umum Ketentuan Polis, h.6. 3 Syarat-syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah, Pasal 17
ayat (4) , h.6. 4 Ibid,. Pasal 3 Akad Wakalah bil Ujrah, h.3.
48
muwwakil yaitu pihak yang mewakilkan dalam pengelolaan dana
investasi.5
2. Pelaku Usaha Menolak Pengembalian Uang Yang Telah
Dibayarkan Konsumen
Aturan yang sebenarnya mengatur mengenai pengembalian
uang yang telah dibayarkan kepada pelaku usaha dilarang dalam UU
No.8 Tahun 1999 ayat (1) huruf b dan dalam POJK No
01/POJK.07/2013 Pasal 22 ayat (3) huruf b yang pada intinya
mengatur:
“Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak kembalikan uang
yang telah dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen”
Klausul tersebut ditemukan dalam Polis Takafulink Individu
Asuransi Takaful Keluarga dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a mengenai
Dasar Akad Takaful yaitu6
“Apabila kekeliruan, ketidakbenaran atau penyembunyian
keadaaan tersebut berkaitan dengan manfaat Takaful Dasar, maka polis
dan perjanjian polis dengan sendirinya menjadi batal serta harus
dianggap tidak pernah berlaku dan dalam hal demikian Pemegang
Polis dan Peserta harus bertanggung jawab atas segala risiko, kerugian,
dan biaya yang timbul sebagai akibat dari penerbitan polis. Dalam hal
demikian, maka pemegang polis tidak berhak atas pembayaran apapun
selain Dana Investasi sesuai dengan nilai unit terdekat setelah
kekeliruan, ketidakbenaran atau penyembunyian keadaan itu diketahui
oleh Perusahaan”
5 Syarat-syarat Umum Polis Takafulink Individu, PAsal 1 Istilah dan
Pengertian ayat (8), h.1.
6 Ibid,. h.3.
49
Polis asuransi Takafullink Individu menolak untuk mengganti
kerugian dan biaya yang timbul akibat dari penerbitan polis. Hal ini
seharusnya sudah menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Karena
perusahaan di awal akad tidak teliti dalam SPAJ. Sehingga ketika
peserta sudah mengeluarkan banyak uang untuk pendaftaran,
penerbitan serta pemeriksaan kesehatan lainnya menjadi dirugikan
ketika diketahui bahwa polis akan batal sepenuhnya apabila kekeliruan
tersebut terjadi dan baru diketahui oleh Pelaku Usaha.
Berbeda dengan polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah
yang menyediakan masa peninjauan polis atau free look up yang
disebutkan dalam Pasal 10 mengenai Masa Peninjauan Polis7
“Pemegang Polis memiliki hak untuk membatalkan dan
mengembalikan Polis ini kepada Badan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari kalender sejak diterbitkan polis. Apabila pemegang polis
tidak setuju dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam polis ini . atas pembatalan dan pengembalian polis
ini, Badan akan mengembalikan kontribusi yang telah dibayarkan dan
nilai investasi (jika ada) dalam polis ini setelah dikurangi dengan biaya
pemeriksaan kesehatan jika ada dan ujrah administrasi”
Polis di atas tidak melanggar ketentuan perundang-undangan,
karena disebutkan bahwa perusahaan akan mengembalikan kontribusi
yang telah dibayarkan dan nilai investasi, meskipun biaya pemeriksaan
kesehatan tidak akan dikembalikan jika ada dan ujrah administrasi
tetap menjadi hak perushaan. Setidaknya polis Asuransi Jiwa BP-Link
Bumiputera telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dalam
hal ini.
3. Pemberian Kuasa dari Konsumen Kepada Pelaku Usaha
7 Syarat-syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah, Pasal 10, h.4.
50
Pemberian kuasa kepada perusahaan asuransi untuk
mengurangi produk dan/atau layanan tidak boleh dicantumkan dalam
polis standar. Ketentuan dijelaskan dalam UUPK pasal 18 ayat (1)
huruf d dan POJK pasal 22 ayat (3) huruf c sebagai berikut:
“Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku
usaha jasa keuangan, baik secara langsung ataupun tidak langsung,
untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan
oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
Berdasarkan analisis Polis Takafulink Individu Asuransi
Takaful Keluarga dan Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah AJB
Bumiputera, klausul di dalam kedua polis tersebut tidak melanggar
aturan di atas.
4. Kewajiban Pembuktian oleh Konsumen
Kewajiban pembuktian oleh konsumen jika hilangnya layanan
yang diberikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan dilarang dicantumkan
dalam polis standar. Ketentuan tersebut dijelaskan dalam UUPK Pasal
18 ayat (1) huruf e dan POJK pasal 22 ayat (3) huruf d sebagai berikut:
“Mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh konsumen, jika
pelaku usaha jasa keuangan menyatakan bahwa hilangnya kegunaan
produk dan/atau layanan yang dibeli oleh konsumen, bukan
merupakan tanggung jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan”.
Berdasarkan analisis Polis Takafulink Individu Asuransi
Takaful Keluarga dan Polis Asuransi Jiwa Unit Link Syariah AJB
Bumiputera, klausul di dalam kedua polis tersebut tidak melanggar
aturan di atas.
51
5. Pemberian kewenangan untuk mengurangi kegunaan produk atau
layanan
Perusahaan tidak memiliki hak untuk mengurangi kegunaan
produk dan/layanan. Hal ini dijelaskan dalam dalam UUPK pasal 18
ayat (1) huruf f dan POJK No 13 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (3) huruf e
mengenai larangan dalam kontrak baku yang menyatakan:
“Memberi hak kepada Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek perjanjian produk dan
layanan”
Berdasarkan analisis Polis Takafulink Individu Asuransi
Takaful Keluarga dan Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah AJB
Bumiputera, klausul di dalam kedua polis tersebut tidak melanggar
aturan di atas.
6. Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan
baru/lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha/perusahaan
Ketentuan mengenai konsumen tunduk pada peraturan baru
jelas dilarang dalam UUPK pasal 18 ayat (1) huruf g dan POJK pasal
22 ayat (3) huruf f sebagai berikut:
“Menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau perubahan yang dibuat secara sepihak
oleh Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam masa Konsumen
memanfaatkan produk dan/atau layanan yang dibelinya “
Pada kenyataannya banyak perusahaan yang melakukan
perubahan terhadap biaya kontribusi, biaya pengelolaan, baya free look
biaya administrasi, biaya top up, biaya pengalihan, biaya pengelolaan
investasi dan biaya pengakhiran polis secara sepihak meskipun ada
pemberitahuan sebelumnya kepada pemegang polis.
52
Seperti yang dinyatakan dalam polis Polis Takafulink Individu
Asuransi Takaful Keluarga pasal 8 ayat (3) Syarat-syarat Umum Polis
mengenai Ujrah (Biaya)8
“Besar dan jenis biaya sebagaimana dinyatakan dalam Ayat 1
Pasal ini tercantum dalam ikhtisar polis serta dapat berubah sewaktu-
waktu dengan pemberitahuan sebelumnya kepada pemegang polis”.
Begitupula dengan polis Asuransi Jiwa Unit Link AJB
Bumiputera dalam Pasal 21 ayat (6) mengenai Biaya-biaya
menyatakan9
"Besarnya biaya-baya sebagaimana dimaksud pada pasal ini
ditentukan oleh Badan dan dapat berubah sewaktu-waktu"
Klausula dalam kedua polis tersebut tidak sesuai dengan
prinsip perlindungan konsumen mengenai perlakuan yang adil yang
ditetapkan dalam POJK NO 01/POJK 07/2013.
B. Upaya-upaya yang dilakukan Konsumen Jika Haknya dalam Akad
Tidak Terpenuhi
Jika ditemukan hal-hal yang mengarah kepada sengketa, konsumen
dapat melakukan pengaduan kepada Pelaku Usaha. Pengaduan adalah
ungkapan ketidakpuasan konsumen yang disebabkan oleh adanya kerugian
dan/atau potensi kerugian finansial pada Konsumen yang diduga karena
kesalahan atau kelalaian Lembaga Jasa Keuangan. Ketika hak-hak
konsumen tidak terpenuhi dalam polis, maka konsumen berhak melakukan
pengaduan ke bagian internal perusahaan yang mengurus mengenai
persengketaan tersebut sebagai respon dari Pelaku Usaha Jasa Keuangan
atas program monitoring yang dihimbau oleh OJK. Di dalam Surat Edaran
OJK Nomor 02/SEOJK 07/2014 juga disebutkan bahwa, pelaku usaha
8 Syarat-syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah, Pasal 8, h. 4
9 Ibid., Pasal 21 ayat (6), h. 7
53
wajib melayani dan menyelesaikan adanya pengaduan konsumen sebelum
pengaduan tersebut disampaikan kepada pihak lain, paling lambat 20 hari
kerja.
Lalu Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib melakukan tiga hal
berikut, yaitu:10
a. Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar,
dan objektif;
b. Melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;
dan
c. Menyampaikan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi
atau perbaikan produk dan/atau jasa, jika pengaduan konsumen
benar.
Terhadap beberapa kasus yang tidak terselesaikan di PUJK maka
OJK mendorong masyarakat untuk meneruskan kepada lembaga alternatif
penyelesaian sengketa LAPS dengan tahapan proses yang dapat dilalui
meliputi mediasi, ajudikasi dan arbitrase. Untuk Kasus yang terjadi dalam
Asuransi syariah, konsumen dapat melaporkannya ke BMAI ( Badan
Mediasi Asuransi Insonesia), BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional) dan dapat juga dapat melanjutkannya ke Pengadilan Agama.
OJK juga memfasilitasi segala bentuk pengaduan konsumen yang
berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan
konsumen. Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan yang
dilaksaanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan upaya
mempertemukan konsumen dengan Pelaku Usaha Jasa Keuangan untuk
mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh
kesepakatan penyelesaian.
Syarat-syarat dalam pengaduan konsumen oleh OJK menurut
POJK No 01/POJK 07/2013 Pasal 41 dalam BAB III mengenai “
10
POJK No 01/pojk 07/2013 Bab II Ketentuan Perlindungan Konsumen Jasa
Keuangan Pasal 38, h.13.
54
Pengaduan Konsumen dan Pemberian Fasilitas Penyelesaian Pengaduan
oleh Otoritas Jasa Keuangan” yaitu:11
1. Konsumen mengalami kerugian finansial yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha jasa keuangan termasuk asuransi jiwa di dalamnya paling
banyak sebesar Rp500.000.000,00 dan Rp700.000.000,00 untuk
asuransi umum;
2. Mengajukan permohonan secara tertulis disertai dengan dokumen
pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;
3. Pelaku usaha jasa keuangan telah melakukan upaya penyelesaian
pengaduan namun Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian
tersebut atau telah melewati batas waktu sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam POJK;
4. Pengaduan yang diajukan bukan merupakan sengketa sedang dalam
proses atau pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan atau
lembaga mediasi lainnya;
5. Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;
6. Pengajuan yang diajukan belum pernah difasilitasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
7. Pengajuan penyelesaian pengaduan tidak melebihi 60 (enam puluh)
hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan yang
disampaikan PUJK.
Berikut pernyataan yang disebutkan dalam Polis Takafulink
Individu Asuransi Keluarga Takaful Mengenai Syarat-syarat umum Polis
Pasal 35 Penyelesaian Pengaduan disebutkan bahwa:12
1. Polis ini beserta segala akibat hukumnya tuduk pada dan harus
ditafsirkan menurut hukum Negara Republik Indonesia
11
POJK No 01/POJK 07/2013, Bab III PengaduanKonsumen dan Pemberian
Fasilitas Penyelesaian Pengaduan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Pasal 41. 12
Syarat-syarat Umum Polis Takafulink Individu, Pasal 35 Penyelesaian
Perselisihan ayat (1)(2)(3), h.12.
55
2. Apabila timbul suatu perselisihan pendapat dalam penafsiran dan
pelaksanaan dari polis ini, maka akan diselesaikan melalui perdamaian
dan musyawarah dalam waktu tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari
kalender sejak terjadi perselisihan. Perselisihan terjadi terjadi sejak
Perusahaan dan Pemegang Polis menyatakan secara tertulis
ketidaksepakatan atas hal yang diperselisihkan.
3. Apabila penyelesaian perselisihan melalui perdamaian dan
musyawarah tidak dapat dicapai , perusahaan memberikan kebebasan
kepada Pemegang Polis untuk melanjutkan kasus ke BMAI, Basyarnas
dan Pengadilan Agama.
Sama halnnya dengan yang disebutkan dalam Polis Asuransi Jiwa
Mitra BP- Link Syariah Bumiputera dalam pasal 32 Persengketaan,
yaitu:13
1. Dalam hal timbul perselisihan antara Badan dan Pemegang Polis,
Badan dan Pemegang Polis bersepakat menyelesaikan secara
musyawarah dalam waktu 20 hari.
2. Dalam hal tidak mencapai kesepakatan penyelesaian perselisihan,
Pemegang polis dapat melakukan penyelesaian melalui pengadilan,
melalui BMAI, atau melalui LAPS yang telah ditetapkan OJK.
3. Dalam hal perselisihan tidak dapat diselesaikan oleh lembaga alternatif
penyelesaian sengketa, maka Pemegang Polis dapat menyampaikan
permohonan kepada OJK untuk memfasilitasi penyelesaian pengaduan
konsumen yang dirugikan oleh Badan dengan mengacu kepada
perundang-undangan.
4. Dalam hal penyelesaian melalui pengadilan, Badan dan Pemegang
Polis memilih tempat kedudukan yang tidak berubah (domisili) di
kantor kepanitraan Pengadilan Negeri Kantor Pusat Badan mempunyai
kantor atau tempat kedudukan pemegang polis.
13
Syarat-syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah, Pasal 32 ayat 1-4
56
Polis pada kedua perusahaan asuransi tersebutpun menawarkan
pengendalian internal dan memberikan kebebasan kepada pemegang polis
untuk penyelesaian sengketa yang terjadi. Polis tersebut telah sesuai
dengan POJK No 01/POJK 07/2013.
C. Akibat Hukum bagi Perusahaan yang melangar UU NO 8 Tahun 1999
dan POJK NO 01/POJK 07/2013
Adanya Perundang-undangan dan peraturan adalah agar setiap
konsumen khususnya asuransi merasa dirinya terlindungi. Selai itu aga r
tidak lagi ragu dan percaya untuk ikut membeli jasa asuransi. Namun
terkadang Pelaku Usaha masih kurang mematuhi peraturan yang telah
dibuat. Maka dari itu POJK menetapkan akibat hukum bagi Pelaku usaha
yang melanggar POJK NO. 01/POJK 07/2013 Tentang Perlindungan
Konsumen Jasa Keuangan yang berdasarkan atas UU No 8 Tahun 1999.
Menurut Pasal 53 ayat (1) POJK sanksi yang akan didapat oleh
perusahaan adalah sanksi administrative yang dikenakan kepada
perusahaan yaitu:
1. Peringatan tertulis.
2. Denda.
3. Pembatasan kegiatan usaha.
4. Pembekuan kegiatan usaha.
5. Pencabutan izin kegiatan usaha.
6. OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif kepada
masyarakat.
Pada kenyataannya dalam Polis Asransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah
Bumiputera menyebutkan bahwa polis tersebut telah sesuai dengan perundang-
57
undangan termasuk ketentuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang dituangkan
dalam pasal 33 Syarat-syarat Umum Polis yang menyatakan bahwa:14
“Perjanjian ini telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
termasuk ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”.
Namun dari analisis di atas ditemukan bahwa masih ada beberapa klausul
yang tidak sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang berdasarkan atas
UU NO 8 Tahun 1999. Ternyata pernyataan tersebutpun tidak menjamin bahwa
perjanjian yang dibuat benar-benar telah melindungi konsumen.
Sedangkan dalam Polis Takafulink Individu Asuransi Takaful Keluarga
tidak menyatakan bahwa polis/perjanjian yang dibuat telah sesuai dengan
perundang-undangan termasuk ketentuan peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Namun dalam web Takaful Keluarga ada pernyataan mengenai perusahaan
tersebut terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.15
Seharusnya agar
lebih jelas perusahaan mencantumkan pernyataan mengenai kesesuaian Polis
dengan POJK No 01/POJK. 07/2013. Jadi pembuatan Polis menjadi perhatian
penting bagi Otoritas Jasa Keuangan agar tercipta Perusahaan Asuransi Syariah
yang benar-benar melindungi konsumennya. Serta meningkatkan jumlah
konsumen yang akan mengasuransikan dirinya.
14
Syarat-syarat Umum Polis Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah, Pasal 33, h. 9 15
www.takaful.co.id , diakses pada tanggal 31 Januari 2017.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan bab-bab sebelumnya maka penulis dapat
mengambil kesimpulan serta dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari
rumusan masalah yang telah dipaparkan di awal bab.
Pertama, berdasarkan analisis dari polis Asuransi Jiwa Unitlink
Individu di Takaful dan Polis Asuransji Jiwa Mitra BP-Link Syariah
Bumiputera. Sejauh ini UU No 8 Tahun 1999 dan POJK NO 01/POJK
07/2013 belum berpengaruh secara maksimal. Karena masih ditemukan
Klausula-klausula yang mengarah kepada persengketaan. Masih
ditemukan beberapa klausula yang tidak memihak kepada konsumen,
klausula tersebut yang dapat menimbulkan persengketaan di kedepannya.
Beberapa klausula yang dilarang dalam polis ditemukan oleh penulis, yaitu
mengenai pelaku usaha yang melakukan penolakan pengembalian uang
yang telah dibayarkan konsumen kepada perusahaan yang ditemukan di
Asuransi Jiwa Unitlink Individu di Takaful dan tentang pernyataan bahwa
konsumen tunduk pada peraturan baru yang dibuat oleh kedua perusahaan
tersebut tidak mematuhi peraturan yang dibuat oleh OJK yang berdasarkan
perundang-undangan tersebut. Serta hal tersebut tidak sesuai dengan
prinsip perlakuan yang adil yang disebutkan dalam POJK No 01/POJK
07/2013. Namun selebihnya pada kedua polis tersebut telah memenuhi
62
persyaratan kontrak baku menurut UU No 8 Tahun 1999 dan POJK No
01/POJK 07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen.
Kedua, Yang disebutkan di dalam polis Asuransi Jiwa Unitlink
Individu dan Asuransi Jiwa Mitra BP-Link Syariah mengenai
persengketaan, keduanya telah sesuai dengan peraturan OJK yang
memang mengarah kepada perundang-undangan. Yaitu kedua polis
tersebut memiliki fasilitas penyelesaian sengketa secara internal. Tetapi
jika sengketa tersebut tidak selesai, perusahaan menyarankan konsumen
untuk melanjutkannya ke OJK dan LPAS.
Ketiga, bagi perusahaan asuransi yang melanggar ketentuan UU
No 8 Tahun 1999 dan POJK No 01/POJK 07/2013 akan dikenakan sanksi
administratif oleh OJK sebagai lembaga payung hukum atas Lembaga Jasa
Keuangan. Sanksi yang akan di dapat oleh perushaan yaitu peringatan
tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha,
pencabutan izin kegiatan usaha serta OJK dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administrative kepada masyarakat. Hal tersebutlah yang
akan menurunkan citra perusahaan asuransi yang bersangkutan.
B. Saran-saran
Pertama, untuk calon konsumen tidak perlu khawatir untuk
menjadi peserta asuransi syariah. Karena banyak keuntungan yang didapat
ketika kita berasuransi. Terlebih sekarang ini OJK sedang menggembor-
gemborkan masalah perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
63
Asuransipun termasuk di dalamnya, jadi konsumen asuransi akan
terlindungi. Tidak perlu lagi takut klaimnya tidak akan dibayarkan. Ketika
ditemukan hal-hal yang mengarah kepada sengketa, maka segeralah
melakukan pengaduan ke bagian internal perushaan. Perusahaan akan
menerima dan menyelesaikan pengaduan tersebut melalui upaya
permintaan maaf dan ganti rugi. Tetapi di sini konsumenpun memiliki hak
untuk melanjutkan proses pengaduan ke lembaga alternatif penyelesaian
sengketa LAPS dengan tahapan mediasi, ajudikasi dan arbitrase. Untuk
konsumen asuransi syariah dapat melanjutkan ke LAPS sektor
perasuransian yaitu BMAI ( Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi
Indonesia) yang beralamat di Gedung Menara Duta lt.7 Wing A Jl. HR
Rasuna Said Kav. B-9 Jakarta 12910. Jadilah konsumen cerdas yang kritis
dan teliti.
Kedua, untuk perusahaan asuransi syariah. Sebaiknya lebih teliti
lagi mengenai kontrak baku yang dibuat. Karena hal tersebut mungkin
akan merugikan di kedepannya. Selain itu dalam hal pembayaran klaim,
perusahaan asuransi syariah seharusnya tidak punya alasan untuk menunda
pembayara klaim. Penundaan klaim tidak boleh dilakukan karena klaim
merupakan suatu proses yang telah diantisipasi sejak awal oleh perusahaan
dan klaim merupakan hak peserta. Luruskan niat untuk membangun usaha
asuransi syariah yang berdasarkan asas tolong-menolong.
Ketiga, Perusahaan seharusnya mengklasifikasikan antara peserta
yang mudah mendapatkan klaim dalam kondisi tertentu, misalnya ketika
64
peserta sudah sakit parah, peserta lansia yang memang mebutuhkan agent
sebagai wakilnya dan lain sebagainya.
Keempat, dalam pengajuan klaim, jangan dibuat dengan prosedur
yang sulit . contohnya penyediaan surat dan persyaratan lain yang
ditentukan oleh perusahaan. Yang kemungkinan dapat berubah-ubah
sesuai keinginan perusahaan.
Kelima, Untuk masyarakat, jangan berharap terlalu banyak dari
asuransi, asuransi hanyalah sebuah media untuk kita yang ingin saling
membantu dalam kebaikan. Media untuk menolong dikala kita dalam
keadaan sulit.
Keenam, Mengenai perusahaan yang sudah pasti ingin
mendapatkan untung, itu memang wajar. Karena kita membutuhkan tenaga
mereka untuk mengelola uang yang kita titipkan. Dan mengenai manfaat
yang didapat akan diperhitungkan secara matang oleh perusahan karea itu
adalah hak dari setiap peserta asuransi. Hanya saja disini dibutuhkan itikad
baik, baik dari pihak perusahaan dan peserta asuransi itu sendiri. jika
mentaati prosedur yang ditetapkan maka klaimpun akan dapat dengan
mudah dibayarkan
Keenam, untuk OJK, pengawasan terhadap polis yang diterbitkan
oleh perusahaan asuransi lebih diperketat dan dimaksimalkan lagi.
65
Daftar Pustaka
Ali M. Hasan, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta:
Prenada. 2004.
Ali, Zainuddin. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Al-Qur’an
As-Syanhuri, Nadzariyyah al-Aqd, First Edition, Tehran,
Khorsandi Publication.
Barkatullah, Abdul Hakim. Hak-Hak Konsumen, Bandung: Nusa. 2010.
Chairul Hadi, Ahmad. Hukum Asuransi Syariah. Ciputat: UIN
PRESS, 2015.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif “Teori dan
Praktik”. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.
H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika. 2013.
Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi.
Cet.ke-2. Malang: Bayu Media. 2007.
Herman Darmawi, Manajemen Risiko, Jakarta:Bumi Aksara. 2010.
Ihsan, Sofia. Fikih Perlindungan Konsumen. Ciputat: Pustaka
Cendikiamuda. 2011
66
Ismanto, Kuat. Asuransi Syariah ”Tinjauan Asas-Asas Hukum
Islam”, Ungaran: Jakarta. 2007.
John M. Echols dan Hassan Sadilly. Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta: Gramedia,1990.
Kusumaniangtuti S. Soetiono. Modul Workshop Perlindungan
konsumen di Sektor Jasa Keuangan ,Jakarta. 2005
Media.Edmon Makarim, Kompilasi hukum Telematika, Jakarta:
Rajawali Pers. 2003
Miru Ahmad dan Yodo, Sutarman. Hukum Perlindungan
Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Morton, Gene R., Principles of Life and Health Insurance, Penerj.
Penerj. oleh Yayasan Dharma Bumiputera, Dasar-dasar Asuransi Jiwa
dan Asuransi Kesehatan. Jakarta: Yayasan Dharma Putera. 1995. Cet.Ke-
1.
Muslehuddin, Muhammad, Insurance and Islamic Law, Penerj:
Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern Menggunakan Suatu
Alternatif Baru dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Lentera, 1999 cet.
Ke-1.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Memacu Pertumbuhan Ekonomi
Melalui Sektor Jasa Keuangan yang Kontributif, Stabil dan Inklusif.
Annual Report. 2015.
67
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum ,Jakarta: Kencana. 2005.
Polis Asuransi Unitlink Individu Takaful Keluarga.
Polis Asuras Jiwa Unit Link mitra BP-LINK Syariah Bumiputera.
Projodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: PT.
Intermasa. 1981
Satrio, Hukum Perjanjian Yang Lahir dari Perjanjian, Buku I dan
II, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995)
Simanjuntak, Emy Pangaribuan. Hukum Pertaggungan Kerugian
Pada Umumnya, Kerugian dan Jiwa( Yogyakarta: Seksi Hukum Dagang
Fakultas Hukum UGM.
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: Alvabeta. 1999.
Perundang-Undangan
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal 246
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen
UU OJK. UU No 21 Tahun 2001 Tentang Otoritas Jasa Keuangan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07 /2013
Tentang Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional.2013
Website
68
OJK “Tingkat Pengaduan Konsumen dan Tingkat Kesadaran
Masyarakat Meningkat”, di akses pada 15 November 2016 dari :
http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/berita-
dan-kegiatan/info-terkini/Pages/ojk-tingkat-pengaduan-konsumen-dan-
tingkat-kesadaran-masyarakat-meningkat.aspx#sthash.FXrfedpN.dpuf
Detik Finance “ OJK Terbitkan Aturan Untuk Pertama Kalinya,
Apa Isinnya? “, di akses pada 15 November 2016 dari :
http://finance.detik.com/moneter/d-2318894/ojk-terbitkan-aturan-untuk-
pertama-kalinya-apa-isinya
OJK “ Modul Perlindungan Konsumen Pelaku Usaha Jasa
Keuangan:”, di akses pada 15 November 2016 dari:
http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/berita-
dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/Materi-Pelatihan-Perlindungan-
Konsumen-Pelaku-Usaha-Jasa-
Keuangan/MODUL%20PERLINDUNGAN%20KONSUMEN.pdf