peritonitis

31
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,7 Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Upload: iwan-harsono

Post on 15-Jan-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ersgt

TRANSCRIPT

Page 1: Peritonitis

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang

biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan

penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan

intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang

mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,7

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran

infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus

gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka

tembus abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-

kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan

adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan

terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan

akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan

diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis selain

disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh

ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung

atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.2

DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam

rongga perut.2,3 Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang

disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.2,8 Peritoneum adalah mesoderm lamina

lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari

sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan

Page 2: Peritonitis

dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan

ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).

2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. 

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling

menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian

baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan

usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat

penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium

ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars

superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang

masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut

mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan,

ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan

dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus

omphaloentericus. 

Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-

jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus

omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding

dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan

bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian

usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal)

berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.

Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum

dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini,

ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang

dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat

penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale,

disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian:

Page 3: Peritonitis

Duodenum terletak retroperitoneal;

Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;

Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;

Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon

transversum;

Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum

terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak

mempunyai alat pengantung;

Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium, lipatan

peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung processus vermiformis. Ia sebenarnya

lanjutan dari cecum.

Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale

tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh

peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum

parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya

berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis

superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang

membatasi resesus duodenalis inferior.

Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus

intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum.

Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang

menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut

appendices epiploicae.

Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan

curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital,

sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian

mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian

tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan

kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan

trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon

Page 4: Peritonitis

transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa

omentalis.

Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan pada

diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar

berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau

ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum

hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus

sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan

mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra,

terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di

dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae.

Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat:

Vena portae;

Arteria hepatica propria;

Ductus choledochus;

Serabut-serabut saraf otonom;

Pembuluh-pembuluh lympha.

Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan ini ditengah-tengah

berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan ductus hepaticus

communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi disebelah dorsal

pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni dan caput

pancreatis bermuara di papillae duodeni major.

Di dalam mesenterium dan duodenum (mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan

tumbuh pankreas. Karena mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat

dengan peritoneum parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi

cauda pancreatis masih tetap didalam omentum majus.

Didalam omentum majus disebelah ventral cauda pancreatis lien terbentuk dan berkembang

kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh lembaran kiri omentum majus. Omentum

majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum precholienale, bagian antara lien dan peritoneum

parietale yang menutupi diaphragma, ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan

ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak

Page 5: Peritonitis

sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri mulai melekat pada lien dikelilingi hilus.

Karena perubahan letak ventriculus terjadilah bursa omentalis. Lubang masuk kedalam bursa

omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi) dibatasi:

Dibagian cranial oleh processus caudatus

Dibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale

Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni

Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior.

Bursa omentalis sendiri dibatasi:

Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis

Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus

Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum

Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic

Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien

Omentum majus yang melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah

vental sebagai suatu tirai untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura

major ventriculi. Kedua lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang

tidak tumbuh merupakan lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae

omentalis. Bagian bursae omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis.

Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum

mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum

synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra

peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus

berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak

disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus. 

Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi

menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi

dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.5

Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan

tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada

usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau

regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia

Page 6: Peritonitis

misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang

merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga

biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. 4

Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya

rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti

ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 4

Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu

membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-

molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui

stomata kecil.5

Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum,

jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas,

duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 6,7 

II.2. ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang

struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang

panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang

terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ),

kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis

internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu

fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari

sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea

alba.6 

Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan

muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan,

dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada

proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.

Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari

cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a.

sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan

Page 7: Peritonitis

vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan

gangguan perdarahan.6

Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis

I.6

II.3. ETIOLOGI

Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya

misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus

obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.2

a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-

Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.

b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung). 2,3,9

II.4. PATOFISOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus. 1

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran.

Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian

sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah

jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 5

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem

disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.

Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh

organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal

Page 8: Peritonitis

menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan

yang tidak ada, serta muntah. 10

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra

abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

5

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas

peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.

Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan

sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang

dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 1

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya

gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk

mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak

disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada

rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.7

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang

masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan

limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi

perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada

penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan

malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang

merosot karena toksemia.4

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium

dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan

duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini

tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan

di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau

Page 9: Peritonitis

enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada

awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya

nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang

merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis

bakteria.1

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi

tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama

mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya

mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya

didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala

peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.1,7

5. KLASIFIKASI

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2,3,5,9

a.Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum

dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,

biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi

Page 10: Peritonitis

dua, yaitu:

1.Spesifik : misalnya Tuberculosis

2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan

intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus

eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b.Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus

urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.

Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob,

khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan

infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.

Kuman dapat berasal dari:

- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam 

cavum peritoneal.

- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan 

oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.

- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya 

appendisitis.

c.Peritonitis tersier, misalnya:

- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur

- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.

Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah

lambung, getah pankreas, dan urine. 

d.Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

- Aseptik/steril peritonitis

Page 11: Peritonitis

- Granulomatous peritonitis

- Hiperlipidemik peritonitis

- Talkum peritonitis

III.1. MANIFESTASI KLINIS

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan

peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati

bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang

akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita

akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Selain itu,

nyeri dirasakan semakin bertambah setiap melakukan gerakan yang menyebabkan pergeseran

peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti

jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi,

nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan

laboratorium dan X-Ray.

a. Gambaran klinis

b. Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme

yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis

yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam,

nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran

klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri

ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi

menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya

mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari

fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu

nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi

abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara

Page 12: Peritonitis

klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non

bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 1,3

c. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat

malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis

granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan

adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 3

d. b.Pemeriksaan laboratorium

e. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang

meningkat dan asidosis metabolik.

f. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3

gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi

peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma

yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 3

g. c.Pemeriksaan X-Ray

h. Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar

berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 3

III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam

memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3

posisi, yaitu :3

1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).

2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal

proyeksi AP.

3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh

abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3

Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif

maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:3

1.Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran

Page 13: Peritonitis

yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus,

gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),

2.Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level

dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,

sedang jika panjang – panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh

adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.

3.Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan

step ladder appearance.

Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level,

dan herring bone appearance.5

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

1.Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang – kadang susah

membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.

2.Air fluid level

3.Herring bone appearance

Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang

pendek – pendek (usus halus) dan panjang – panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih

lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.2

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen.

Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).2

Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos

abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu

atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :3

1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan

pada cavum abdomen.

2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair

shadow).

3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya

antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen. 

Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen,

preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra

Page 14: Peritonitis

peritoneal.2,5

II. 7. TERAPI 

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara

intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan

nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang

lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

1,8

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume

intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme

pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai

keadekuatan resusitasi. 5,11

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik

berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur

keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.

Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis

yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 5,11

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi

yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh

abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas

tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung

pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi

peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi

viskus yang perforasi. 11

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan

kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi

maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)

pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase

peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 2,3

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan

segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi

Page 15: Peritonitis

kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-

menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat

direseksi. 2,3

8. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis,

salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 4

II.9. KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut

dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9

a. Komplikasi dini

b. Septikemia dan syok septik

Syok hipovolemik

c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem

Abses residual intraperitoneal

d. Portal Pyemia (misal abses hepar)

e. b.Komplikasi lanjut

f. Adhesi

Obstruksi intestinal rekuren

II.10. PROGNOSIS

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum

prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.

Page 16: Peritonitis

DAFTAR PUSTAKA

1.Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta

Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.

2.Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta. 

3.Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p

256-257, Gaya Baru, jakarta.

4.Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid 1;Ed:3;p 435-

442.

5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa

Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.

6.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC,

Jakarta.

7.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-

239, EGC, Jakarta.

8.Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third

edition,1997, Toronto.

9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989

10.Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England

Intra-Abdominal Infections

Page 17: Peritonitis

Microbial contamination of the peritoneal cavity is termed peritonitis or intra-abdominal

infection, and is classified according to etiology.

Primary microbial peritonitis occurs when microbes invade the normally sterile confines of the

peritoneal cavity via hematogenous

dissemination from a distant source of infection or direct inoculation. This process is more

common among patients who retain large amounts

of peritoneal fluid due to ascites, and in those individuals who are being treated for renal failure

via peritoneal dialysis. These infections

invariably are monomicrobial and rarely require surgical intervention. The diagnosis is

established based on a patient who has ascites for

medical reasons, physical examination that reveals diffuse tenderness and guarding without

localized findings, absence of pneumoperitoneum

on abdominal flat plate and upright roentgenograms, the presence of more than 100 WBCs/mL,

and microbes with a single morphology on

Gram's stain performed on fluid obtained via paracentesis. Subsequent cultures will typically

demonstrate the presence of gram-positive

organisms in patients receiving peritoneal dialysis. In patients without this risk factor organisms

can include E. coli, K. pneumoniae,

pneumococci, and others, although many different pathogens can be causative. Treatment

consists of administration of an antibiotic to which

the organism is sensitive; often 14 to 21 days of therapy are required. Removal of indwelling

devices (e.g., peritoneal dialysis catheter or

peritoneovenous shunt) may be required for effective therapy of recurrent infections.

Secondary microbial peritonitis occurs subsequent to contamination of the peritoneal cavity due

to perforation or severe inflammation and

Page 18: Peritonitis

infection of an intra-abdominal organ. Examples include appendicitis, perforation of any portion

of the GI tract, or diverticulitis. As noted

previously in Source Control, effective therapy requires source control to resect or repair the

diseased organ; débridement of necrotic,

infected tissue and debris; and administration of antimicrobial agents directed against aerobes

and anaerobes.

57

This type of antibiotic

regimen should be chosen because in most patients the precise diagnosis cannot be established

until exploratory laparotomy is performed,

and the most morbid form of this disease process is colonic perforation, due to the large number

of microbes present. A combination of

agents or single agents with a broad spectrum of activity can be used for this purpose; conversion

of a parenteral to an oral regimen when

the patient's ileus resolves will provide results similar to those achieved with IV antibiotics.

58

Effective source control and antibiotic therapy is

associated with low failure rates and a mortality rate of approximately 5 to 6%; inability to

control the source of infection leads to mortality

greater than 40%.

59

The response rate to effective source control and use of appropriate antibiotics has remained

approximately 70 to 90% over the past several

decades.

Page 19: Peritonitis

24,60

Patients in whom standard therapy fails develop an intra-abdominal abscess, leakage from a GI

anastomosis leading to

postoperative peritonitis, or tertiary (persistent) peritonitis. The latter is a poorly understood

entity that is more common in

immunosuppressed patients in whom peritoneal host defenses do not effectively clear or

sequester the initial secondary microbial peritoneal

infection. Microbes such as E. faecalis and faecium, S. epidermidis, C. albicans, and P.

aeruginosa can be identified, typically in combination,

and may be selected based on their lack of responsiveness to the initial antibiotic regimen,

coupled with diminished activity of host defenses.

Unfortunately, even with effective antimicrobial agent therapy, this disease process is associated

with mortality rates in excess of 50%.

61,62

Formerly, the presence of an intra-abdominal abscess mandated surgical re-exploration and

drainage. Today, the vast majority of such

abscesses can be effectively diagnosed via abdominal computed tomographic (CT) imaging

techniques and drained percutaneously. Surgical

intervention is reserved for those individuals who harbor multiple abscesses, those with

abscesses in proximity to vital structures such that

percutaneous drainage would be hazardous, and those in whom an ongoing source of

contamination (e.g., enteric leak) is identified. The

necessity of antimicrobial agent therapy and precise guidelines that dictate duration of catheter

drainage have not been established. A short

Page 20: Peritonitis

course (3 to 7 days) of antibiotics that possess aerobic and anaerobic activity seems reasonable,

and most practitioners leave the drainage

catheter in situ until it is clear that cavity collapse has occurred, output is less than 10 to 20

mL/d, no evidence of an ongoing source of

contamination is present, and the patient's clinical condition has improved.