Download - Peritonitis
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan
penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada perforasi, perdarahan
intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,7
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka
tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan
adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan
terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Dalam penulisan referat ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis. Peritonitis selain
disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan penyulitnya, juga oleh
ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan disebabkan oleh cidera langsung
atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran cerna atau perdarahan.2
DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam
rongga perut.2,3 Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang
disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri.2,8 Peritoneum adalah mesoderm lamina
lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari
sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan
dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling
menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian
baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan
usus dengan dinding ventral dan dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat
penggantung usus yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium
ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars
superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium ventrale yang
masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus disebut
mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan,
ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan
dengan umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus
omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-
jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus
omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding
dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan
bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar, bagian
usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal)
berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum
dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini,
ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan terletak sekarang
dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat
penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale,
disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei, dengan demikian:
Duodenum terletak retroperitoneal;
Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon
transversum;
Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum
terletak intraperitoneal karena pada permulaan merupakan suatu tonjolan dinding usus dan tidak
mempunyai alat pengantung;
Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium, lipatan
peritoneum akibat adanya arteria yang menuju ke ujung processus vermiformis. Ia sebenarnya
lanjutan dari cecum.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale
tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh
peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum
parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan dapat juga terjadfi karena di dalamnya
berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis
superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang
membatasi resesus duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus
intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum.
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang
menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut
appendices epiploicae.
Ventriculus memutar terhadap sumbu longitudinal, sehingga curvatura mayor di sebelah kiri dan
curvatura minor di sebelah kanan. Kemudian ventriculus memutar terhadap sumbu sagital,
sehingga cardia berpindah ke kiri dan pilorus ke kanan. Kerena ventriculus berputar, sebagian
mesogastrium dorsale mendekati peritoneum perietale dan tumbuh melekat. Dengan demikian
tempat perlekatan mesogastrium dorsale merupakan suatu lengkung dari kiri kranial ke kanan
kaudal. Bagian yang terkaudal mendekati perlekatan mesocolon transversum yang berjalan
trasversal. Dibagian kaudal juga terjadi perlekatan mesogastrium dorsale dengan mesocolon
transversum dan disebut sebagai omentum majus. Kantong yang dibentuk olehnya disebut bursa
omentalis.
Mesogastrium ventrale melekat pada peritoneum parietale dinding ventral perut dan pada
diaphragma. Di dalam mesogastrium ventrale hepar terbentuk dan berkembang. Hepar
berkembang ke kaudal sampai tepi batas mesogastrium yang disebut omentum minus atau
ligamentum hepatogastricum dengan tepi bebasnya di sebelah kaudal disebut ligamentum
hepatoduodenale. Ligamentum falciforme melekat pada batas antara lobus dexter dan lobus
sinister. Omentum minus melekat pada fosa sagittalis sinistra bagian dorsokranial dan
mengelilingi portae hepatis. Ligamentum teres hepatis yaitu sisa vena umbilikalis sinistra,
terbentang dari umbilicus ke hepar di dalam tepi bebas ligamentum falciforme hepatis, masuk di
dalam fossa sagittalis sinistra hepatis dan berakhir pada ramus sinistra vena portae.
Di dalam tepi bebas omentum minus atau ligamentum hepatoduodenale terdapat:
Vena portae;
Arteria hepatica propria;
Ductus choledochus;
Serabut-serabut saraf otonom;
Pembuluh-pembuluh lympha.
Di sebelah kiri berjalan a. hepatica propria di sebelah dorsal kedua bangunan ini ditengah-tengah
berjalan v. portae. Ductus choledocus dibentuk oleh oleh ductus cysticus dan ductus hepaticus
communis, berjalan melalui ligamentum tersebut ke kaudomedial, menyilangi disebelah dorsal
pars superior duodeni sampai di dalam sulcus diantara pars descendens duodeni dan caput
pancreatis bermuara di papillae duodeni major.
Di dalam mesenterium dan duodenum (mesoduodenum) dan mesogastrium dorsale terjadi dan
tumbuh pankreas. Karena mesoduodenum dan sebagian mesogastrium dorsale tumbuh melekat
dengan peritoneum parietale, caput dan corpus pancreatis letaknya menjadi retroperitoneal, tetapi
cauda pancreatis masih tetap didalam omentum majus.
Didalam omentum majus disebelah ventral cauda pancreatis lien terbentuk dan berkembang
kearah kiri sehingga ia ditutupi sebagian besar oleh lembaran kiri omentum majus. Omentum
majus dibagi dua oleh lien menjadi ligamentum precholienale, bagian antara lien dan peritoneum
parietale yang menutupi diaphragma, ligamentum gastrolienale bagian antara lien dan
ventriculus. Karena lien tumbuh terutama ke kiri, lembaran kanan kedua ligamentumtidak
sampai melekat pada lien, sedangkan lembaran kiri mulai melekat pada lien dikelilingi hilus.
Karena perubahan letak ventriculus terjadilah bursa omentalis. Lubang masuk kedalam bursa
omentalis disebut foramen epiploicum (Winslowi) dibatasi:
Dibagian cranial oleh processus caudatus
Dibagian ventral oleh lig.hepatoduodenale
Dibagian kaudal oleh pars superior duodeni
Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior.
Bursa omentalis sendiri dibatasi:
Dibagian cranial oleh lobus caudatus hepatis
Dibagian ventral oleh omentum minus dan ventriculus
Dibagian kaudal oleh mesocolontransversum serta colon transversum
Dibagian dorsal oleh peritoneum parietale yang menutupi caput dan corpus pancreatic
Dibagian kiri oleh omentum majus dengan cauda pancreatic dan lien
Omentum majus yang melekat pada colon tansversum ke kaudal menutupi usus dari sebelah
vental sebagai suatu tirai untuk kemudian melipat ke arah cranial dan melekat pada curvatura
major ventriculi. Kedua lembaran dari lipatan itu dibagian kaudal tumbuh melekat. Bagian yang
tidak tumbuh merupakan lanjutan bursae omentalis yang disebut recessus inferior bursae
omentalis. Bagian bursae omentalis terkranial disebut recessus superior bursae omentalis.
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum
mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum
synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra
peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus
berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak
disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi
menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi
dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia muskularis.5
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan
tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada
usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau
regangan organ, atau terjadi kontraksi yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia
misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang
merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga
biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri. 4
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya
rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti
ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 4
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu
membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. Molekul-
molekul yang lebih besar dibersihkan kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui
stomata kecil.5
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum,
jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas,
duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 6,7
II.2. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang
struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang
panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang
terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ),
kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis
internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu
fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari
sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh linea
alba.6
Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Integritas lapisan
muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk mencegah terjadilah hernia bawaan,
dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding perut adalah pada pernafasan juga pada
proses berkemih dan buang air besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh perdarahan dari
cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a.
sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan
vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan
gangguan perdarahan.6
Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis
I.6
II.3. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya
misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus
obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen.2
a.Bakterial : Bacteroides, E.Coli, Streptococus, Pneumococus, proteus, kelompok Enterobacter-
Klebsiella, Mycobacterium Tuberculosa.
b.Kimiawi : getah lambung,dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung). 2,3,9
II.4. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak
dapat mengakibatkan obstuksi usus. 1
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran.
Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian
sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak
organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah
jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi.
Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh
organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah. 10
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
5
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang
dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. 1
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya
gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk
mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak
disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi
obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.7
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S. Typhi yang
masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan
limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi
perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang
merosot karena toksemia.4
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di epigastrium
dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung dan
duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini
tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu dan atau
enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut pada
awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya
nyeri di bahu menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang
merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis
bakteria.1
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama
mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.7
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat
mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,
mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala
peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24 jam timbul
gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.1,7
5. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 2,3,5,9
a.Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum
dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial,
biasanya E. Coli, Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi
dua, yaitu:
1.Spesifik : misalnya Tuberculosis
2.Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
b.Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus
urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan
infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.
Kuman dapat berasal dari:
- Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
- Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
c.Peritonitis tersier, misalnya:
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah
lambung, getah pankreas, dan urine.
d.Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis
III.1. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati
bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang
akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita
akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Selain itu,
nyeri dirasakan semakin bertambah setiap melakukan gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi,
nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
6. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium dan X-Ray.
a. Gambaran klinis
b. Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme
yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis
yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam,
nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran
klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri
ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi
menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya
mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari
fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu
nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi
abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara
klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non
bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 1,3
c. Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat
malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis
granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan
adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu pasca bedah. 3
d. b.Pemeriksaan laboratorium
e. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik.
f. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 3
g. c.Pemeriksaan X-Ray
h. Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar
berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 3
III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3
posisi, yaitu :3
1.Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh
abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm.3
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif
maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:3
1.Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran
yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus,
gambaran seperti duri ikan (Herring bone appearance),
2.Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level
dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi,
sedang jika panjang – panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
3.Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan
step ladder appearance.
Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid level,
dan herring bone appearance.5
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
1.Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang – kadang susah
membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
2.Air fluid level
3.Herring bone appearance
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang
pendek – pendek (usus halus) dan panjang – panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih
lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.2
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen.
Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).2
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos
abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu
atau karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah :3
1.Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan
pada cavum abdomen.
2.Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair
shadow).
3.Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya
antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal.2,5
II. 7. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan
nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang
lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
1,8
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume
intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi. 5,11
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik
berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur
keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis
yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi. 5,11
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi
yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh
abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi
peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi. 11
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan
kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi
maka dapat diberikan antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase
peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 2,3
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan
segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi
kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat
direseksi. 2,3
8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis,
salpingitis, kehamilan ektopik terganggu, dll. 4
II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : 9
a. Komplikasi dini
b. Septikemia dan syok septik
Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
Abses residual intraperitoneal
d. Portal Pyemia (misal abses hepar)
e. b.Komplikasi lanjut
f. Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
II.10. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum
prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.
DAFTAR PUSTAKA
1.Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2.Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, yogyakarta.
3.Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p
256-257, Gaya Baru, jakarta.
4.Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid 1;Ed:3;p 435-
442.
5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk Mahasiswa
Kedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
6.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC,
Jakarta.
7.Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-
239, EGC, Jakarta.
8.Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third
edition,1997, Toronto.
9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,1989
10.Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England
Intra-Abdominal Infections
Microbial contamination of the peritoneal cavity is termed peritonitis or intra-abdominal
infection, and is classified according to etiology.
Primary microbial peritonitis occurs when microbes invade the normally sterile confines of the
peritoneal cavity via hematogenous
dissemination from a distant source of infection or direct inoculation. This process is more
common among patients who retain large amounts
of peritoneal fluid due to ascites, and in those individuals who are being treated for renal failure
via peritoneal dialysis. These infections
invariably are monomicrobial and rarely require surgical intervention. The diagnosis is
established based on a patient who has ascites for
medical reasons, physical examination that reveals diffuse tenderness and guarding without
localized findings, absence of pneumoperitoneum
on abdominal flat plate and upright roentgenograms, the presence of more than 100 WBCs/mL,
and microbes with a single morphology on
Gram's stain performed on fluid obtained via paracentesis. Subsequent cultures will typically
demonstrate the presence of gram-positive
organisms in patients receiving peritoneal dialysis. In patients without this risk factor organisms
can include E. coli, K. pneumoniae,
pneumococci, and others, although many different pathogens can be causative. Treatment
consists of administration of an antibiotic to which
the organism is sensitive; often 14 to 21 days of therapy are required. Removal of indwelling
devices (e.g., peritoneal dialysis catheter or
peritoneovenous shunt) may be required for effective therapy of recurrent infections.
Secondary microbial peritonitis occurs subsequent to contamination of the peritoneal cavity due
to perforation or severe inflammation and
infection of an intra-abdominal organ. Examples include appendicitis, perforation of any portion
of the GI tract, or diverticulitis. As noted
previously in Source Control, effective therapy requires source control to resect or repair the
diseased organ; débridement of necrotic,
infected tissue and debris; and administration of antimicrobial agents directed against aerobes
and anaerobes.
57
This type of antibiotic
regimen should be chosen because in most patients the precise diagnosis cannot be established
until exploratory laparotomy is performed,
and the most morbid form of this disease process is colonic perforation, due to the large number
of microbes present. A combination of
agents or single agents with a broad spectrum of activity can be used for this purpose; conversion
of a parenteral to an oral regimen when
the patient's ileus resolves will provide results similar to those achieved with IV antibiotics.
58
Effective source control and antibiotic therapy is
associated with low failure rates and a mortality rate of approximately 5 to 6%; inability to
control the source of infection leads to mortality
greater than 40%.
59
The response rate to effective source control and use of appropriate antibiotics has remained
approximately 70 to 90% over the past several
decades.
24,60
Patients in whom standard therapy fails develop an intra-abdominal abscess, leakage from a GI
anastomosis leading to
postoperative peritonitis, or tertiary (persistent) peritonitis. The latter is a poorly understood
entity that is more common in
immunosuppressed patients in whom peritoneal host defenses do not effectively clear or
sequester the initial secondary microbial peritoneal
infection. Microbes such as E. faecalis and faecium, S. epidermidis, C. albicans, and P.
aeruginosa can be identified, typically in combination,
and may be selected based on their lack of responsiveness to the initial antibiotic regimen,
coupled with diminished activity of host defenses.
Unfortunately, even with effective antimicrobial agent therapy, this disease process is associated
with mortality rates in excess of 50%.
61,62
Formerly, the presence of an intra-abdominal abscess mandated surgical re-exploration and
drainage. Today, the vast majority of such
abscesses can be effectively diagnosed via abdominal computed tomographic (CT) imaging
techniques and drained percutaneously. Surgical
intervention is reserved for those individuals who harbor multiple abscesses, those with
abscesses in proximity to vital structures such that
percutaneous drainage would be hazardous, and those in whom an ongoing source of
contamination (e.g., enteric leak) is identified. The
necessity of antimicrobial agent therapy and precise guidelines that dictate duration of catheter
drainage have not been established. A short
course (3 to 7 days) of antibiotics that possess aerobic and anaerobic activity seems reasonable,
and most practitioners leave the drainage
catheter in situ until it is clear that cavity collapse has occurred, output is less than 10 to 20
mL/d, no evidence of an ongoing source of
contamination is present, and the patient's clinical condition has improved.