perbedaan kepatuhan pengobatan morbus hansen …digilib.unila.ac.id/28042/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KEPATUHAN PENGOBATAN MORBUS HANSEN
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN MORBUS HANSEN
DI BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
KANDITA MAHRAN NISA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
PERBEDAAN KEPATUHAN PENGOBATAN MORBUS HANSEN
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN MORBUS HANSEN
DI BANDAR LAMPUNG
Oleh
KANDITA MAHRAN NISA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
ABSTRACT
THE DIFFERENCE OF MEDICATION ADHERENCE OF MORBUS
HANSEN BETWEEN BEFORE AND AFTER COUNSELING ABOUT
MORBUS HANSEN IN BANDAR LAMPUNG
By
KANDITA MAHRAN NISA
Background :Morbus hansen (MH) is a contagious disease that is a health problem in the
world, including Indonesia. Morbus hansen disease’s caused by Mycobacterium leprae.
Treatment success depends on early treatment, patients with MH personal characteristic
factors (age, sex, education, income) and factor of patient knowledge of MH and patient
compliance. Purpose : The purpose of this study is to determine the differences of
medication adherence of morbus hansen between before and after counseling.
Method : The method in this research is a quasi experimental study with one group pre-
test post-test design approach. Sample in this study are MH patients who take medication
to Puskesmas in Bandar Lampung region, about 15 patients. The intervention is
counseling about MH. data analysis using univariat and bivariat (wilcoxon).
Result : The results of univariate analysis showed that of the 15 respondents, mean score
of medication adherence before the intervention is 1,33 and after the intervention is 0,33.
Based on bivariate analysis by Wilcoxon test, it is known that there is a significant
difference to patient medication compliance (p value = 0,043).
Conclusion : The conclusion there are differences in medication adherence of morbus
hansen between before and after counseling about morbus hansen.
Keywords: medication compliance, morbus hansen, counselin.
ABSTRAK
PERBEDAAN KEPATUHAN PENGOBATAN MORBUS HANSEN
ANTARA SEBELUM DAN SESUDAH PENYULUHAN MORBUS
HANSEN DI BANDAR LAMPUNG
Oleh
KANDITA MAHRAN NISA
Latar belakang : Morbus hansen (MH) adalah salah satu penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit morbus hansen disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium leprae. Keberhasilan pengobatan pasien MH tergantung pada
pengobatan secara dini, faktor karakteristik pribadi penderita MH (umur, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan) dan faktor pengetahuan pasien tentang MH dan kepatuhan
pasien. Tujuan :Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kepatuhan
pengobatan morbus hansen antara sebelum dan sesudah penyuluhan.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan pendekatan one
group pre-test post-test design. Sampel dalam penelitian ini adalah pasien MH yang
melakukan pengobatan ke Puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung, sebanyak 15
orang. Analisis data dengan univariat dan bivariat (wilcoxon).
Hasil : Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa dari 15 responden, rata-rata skor
kepatuhan sebelum penyuluhan adalah 1,33 dan setelah penyuluhan adalah 0,33.
Berdasarkan analisis bivariat dengan uji wilcoxon diketahui bahwa terdapat perbedaan
penyuluhan mengenai penyakit morbus hansen terhadap kepatuhan pengobatan penderita
morbus hansen (nilai p=0,043).
Kesimpulan : Kesimpulan dari penelitian ini terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan
morbus hansen antara sebelum dan sesudah penyuluhan tentang morbus hansen.
Kata kunci: kepatuhan pengobatan, morbus hansen, penyuluhan.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gadingrejo pada tanggal 26 Februari 1995, merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara, dari Ayahanda Mulawarman dan Ibunda Purwanti.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Patria Gadingrejo pada
tahun 2001, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negri 7 Gadingrejo pada
tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 1
Gadingrejo pada tahun 2010, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di
SMAN 1 Gadingrejo pada tahun 2013.
Tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung lewat jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN). Penulis aktif pada organisasi Gen-C, Ibnu Sina, dan BEM pada tahun
2013-2015.
Persembahan
Kupersembahkan karya kecil ini untuk:
“Ayah dan Ibunda tercinta”
“Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada
kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan
kalau tidak ada perhatian untuknya”
(Sayidina Ali Karamallahu Wajhah)
SANWACANA
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Kepatuhan Pengobatan
Morbus Hansen Antara Sebelum Dan Sesudah Penyuluhan Morbus Hansen Di
Bandar Lampung”. Yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat masukan, bantuan,
dorongan, saran, bimbingan dan kritik dari berbagai pihak. Maka dengan segenap
kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Dr. dr. Muhartono, S.ked., M. Kes., Sp. PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung;
3. Dr. Dyah Wulan S.R.W, SKM., M. Kes., selaku Pembimbing Satu atas
kesediaannya untuk meluangkan banyak waktu disela-sela kesibukannya,
sabar dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan, membimbing,
memberikan nasihat, saran, dan kritik yang bermanfaat dalam proses
menyelesaikan skripsi ini;
4. dr. Azelia Nusadewiarti, MPH., selaku Pembimbing Kedua atas
kesediaannya untuk meluangkan banyak waktu disela-sela kesibukannya,
membimbing, memberikan nasihat, saran, dan kritik yang bermanfaat
dalam proses menyelesaikan skripsi ini;
5. Prof. Dr. dr. Efrida Wn, M. Kes., Sp. MK., selaku Penguji Utama pada
Ujian Skripsi, terimakasih atas bimbingan, waktu, ilmu dan saran-saran
yang telah banyak diberikan;
6. Dosen FK Unila, civitas akademik, dan karyawan yang telah bersedia
memberikan motivasi dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk
menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;
7. Terimakasih tak terhingga saya hanturkan kepada Purwanti (ibu) dan
Mulawarman (bapak) yang menjadi inspirasi terbesar, yang selalu
mendoakan dan tidak pernah lupa mengingatkan saya untuk selalu
mengingat Allah S.W.T. Semoga Allah selalu melindungi dan menjadikan
ladang pahala di akhirat kelak, yang selalu mendengar segala keluh kesah,
memberikan nasihat, motivasi, semangat, dukungan, dan kasih sayang
yang selalu mengalir setiap saat dan untuk Rahtin Muhammad Jawwad
dan Faalih Mathul Hajariah yang selalu memberi semangat kepada
kakaknya;
8. Terimakasih untuk Desta Eko Indrawan yang selalu sabar menjadi kakak,
sahabat dan guru saya dalam memberikan saran, semangat, motivasi,
dukungan, doa, kasih sayang dan selalu mendampingi saya di setiap proses
dalam situasi apapun;
9. Terimakasih untuk sahabat seperjuangan terbaik sepanjang masa (Glenys,
Siti Zahnia, Bella, Lilis, Jenia, Nida, Rika, Shesy, Nisa, Kak Diah,
Desindah, Putri Ria, Hesti, Risya, Annisa Wahyuni) yang sudah
memberikan warna pada sebagian hari-hari saya atas segala suka dan duka
dan juga segala waktu bahagia, tenaga tanpa pamrih, selalu memberikan
jalan keluar disetiap permasalahan. Semoga semua angan dan harapan
yang kita inginkan akan tercapai;
10. Teman sejawat CEREBELLUM angkatan 2013 dan adik-adik angkatan
2014,2015,2016, terimakasih telah memberikan saya kesempatan untuk
mengenal kalian. Semoga kita dapat membanggakan almamater tercinta
dan menjadi dokter yang berguna untuk nusa dan bangsa;
11. Terimakasih kepada puskesmas Rajabasa, Wayhalim, Sukabumi, Way
Laga, Sukaraja, Panjang, Kupang Kota, Sumur Batu, Pasar Ambon,
Sukabumi yang ada di Bandar Lampung atas kesediaan dan kerja
samanya;
12. Terimakasih untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
sudah banyak membantu khususnya dalam penulisan skripsi ini;
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terimakasih.
Bandar Lampung, Januari 2017
Penulis
Kandita Mahran Nisa
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ............................................................................................................ i
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 7
2.1 Morbus Hansen ........................................................................................ 7
2.1.1 Epidemiologi ................................................................................. 7
2.1.2 Etiologi .......................................................................................... 9
2.1.3 Gejala Klinis................................................................................ 10
2.1.4 Klasifikasi ................................................................................... 10
2.1.5 Diagnosis ..................................................................................... 11
2.1.6 Pengobatan .................................................................................. 12
2.1.7 Komplikasi .................................................................................. 15
2.2 Kepatuhan .............................................................................................. 16
2.2.1 Pengertian Kepatuhan Pengobatan MH ...................................... 16
2.2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Pengobatan MH . 17
2.3 Peran Penyuluhan terhadap Perubahan Perilaku Berobat ...................... 18
2.4 Kerangka Teori ...................................................................................... 20
2.5 Kerangka Konsep . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 22
2.6 Hipotesis Penelitian ............................................................................... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................... ... 23
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 23
3.2 Tempat dan Waktu ................................................................................. 23
3.3 Populasi dan Sampel .............................................................................. 24
3.4 Kriteria Subjek ....................................................................................... 25
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ..................................... 25
3.5.1 Identifikasi Variabel ..................................................................... 25
3.5.2 Definisi Operasional. .................................................................... 26
3.6 Prosedur Penelitian ................................................................................ 26
3.6.1 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................ 26
ii
3.6.2 Prosedur Penelitian ....................................................................... 27
3.7 Pengolahan Data .................................................................................... 29
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 30
3.8.1 Analisis Univariat ......................................................................... 30
3.8.2 Analisis Bivariat ........................................................................... 30
3.9 Etika Penelitian ..................................................................................... 31
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... ..... 32
4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................... 33
4.1.1 Analisis Univariat ......................................................................... 33
4.1.1.1 Karakteristik Pasien................................................................. 33
4.1.1.2 Penilaian Kepatuhan Sebelum Penyuluhan ............................. 34
4.1.1.3 Penilaian Kepatuhan Setelah Penyuluhan ............................... 37
4.1.2 Analisis Bivariat ........................................................................... 40
4.2 Pembahasan .......................................................................................... 42
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... ...... 47
5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 47
5.2 Saran ...................................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Situasi kusta di Provinsi Lampung tahun 2009-2014............ .......... ....................9
2. Identifikasi variable dan definisi operasional ..................................................... 26
4. Karakteristik Pasien Morbus Hansen ................................................................... 33
5. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Morbus Hansen Sebelum Penyuluhan ............ 36
6. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Morbus Hansen Sebelum Penyuluhan ............ 37
7. Kepatuhan Sebelum Penyuluhan .......................................................................... 38
8. Gambaran Kepatuhan Minum Obat Morbus Hansen Setelah Penyuluhan .............. 39
9. Kepatuhan Setelah Penyuluhan............................................................................. 40
10. Hasil Uji Statistik Kepatuhan Pengobatan Sebelum dan Setelah Penyuluhan ........ 40
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Teori .............................................................................................. 21
2. Kerangka Konsep ............................................................................................... 22
3. Desain Penelitian ................................................................................................ 23
4. Diagram Alur Penelitian .................................................................................... 29
5. Persentase Tingkat Kepatuhan Pasien Sebelum dan Setelah Penyuluhan .......... 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Etika Penelitian .................................................................................................. 50
2. Lembar Inform Consent/Persetujuan ................................................................. 51
3. Melakukan kuisoner sebelum penyuluhan ......................................................... 53
4. Melakukan penyuluhan ...................................................................................... 54
5. Melakukan intervensi pertemuan pertama ......................................................... 55
3. Melakukan wawancara terbuka dengan pasien dan keluarga pasien ................. 56
4. Melakukan posttest intervensi kedua ................................................................. 57
5. Melakukan pengamatan intervensi kedua jadwal minum obat pasien ............... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Morbus hansen (MH) merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Penyakit MH
disebut juga sebagai penyakit Lepra yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup
lama antara 2–3 minggu. Daya tahan hidup kuman leprae mencapai 9 hari di
luar tubuh manusia. Mycobacterium leprae memiliki masa inkubasi 2–5
tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.
Penatalaksanaan kasus MH yang buruk dapat menyebabkan MH menjadi
progresif, menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota
gerak dan mata dimana kasus MH masih tinggi pada beberapa tahun terakhir
(Khafiludin, 2010; Depkes RI, 2006).
Jumlah penderita MH yang dilaporkan dari 121 negara di 5 regional World
Health Organization (WHO) sebanyak 175.554 kasus di akhir tahun 2014
dengan 213.899 kasus baru. Target prevalensi MH sebesar <1 per 10.000
penduduk (<10 per 100.000 penduduk) sehingga prevalensi MH di
Indonesia pada tahun 2015 yang sebesar 0,79 per 10.000 penduduk telah
2
mencapai target program. Pada tahun 2015 dilaporkan 17.202 kasus baru
MH dengan 84,5% kasus di antaranya merupakan tipe multibacillary (MB).
Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,7% penderita baru MH berjenis
kelamin laki-laki dan sebesar 37,3% lainnya berjenis kelamin perempuan
(Depkes RI, 2006).
Pengobatan MH dapat dilakukan dengan pengobatan kombinasi Multi Drug
Therapy (MDT) yang diberikan secara gratis dan dicatat oleh petugas dalam
kartu penderita. Pemberian dosis pertama MDT dilakukan didepan petugas
di puskesmas dan penderita mengambil obat secara teratur di puskesmas.
Selama menjalani pengobatan penderita dapat menjalani kehidupan normal,
tinggal di rumah, pergi ke sekolah, bekerja, bermain, menikah, mempunyai
anak serta aktif dalam acara-acara social. Dalam menjalani pengobatan,
penderita MH juga menghadapi beberapa kendala yang memengaruhi
pengobatan tersebut (DepkesRI, 2005).
Kendala pengobatan MH yaitu kepatuhan menjalani pengobatan masih
rendah sehingga banyak penderita yang drop out atau berhenti dan tidak
menyelesaikan pengobatan. Pengobatan MH memerlukan jarak yang lama
antara 6 hingga 12 bulan, sehingga memiliki resiko tinggi dalam
menimbulkan ketidakpatuhan berobat penderita (Subakti, 2009).
Ketidakpatuhan dan ketidakteraturan dalam minum obat pada penderita MH
akan berdampak sangat buruk bagi penderita MH karena dapat
menimbulkan resistensi terhadap obat-obatan anti MH. Sedangkan
3
pengobatan yang adekuat dan teratur dalam minum obat akan mengurangi
infeksiusitas penderita yang menular sehingga ketidakteraturan penderita
untuk minum obat dapat menyebabkan rendahnya angka kesembuhan
(Hardyanto, 2005).
Rendahnya pencapaian angka kesembuhan dapat disebabkan oleh
ketidakteraturan penderita untuk minum obat, potensi obat kurang,
penyimpanan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambat,
adanya resistensi obat, jumlah obat yang diminum kurang dari jumlah yang
ditentukan dan penderita lupa dalam pengambilan obat (Kemenkes RI,
2012). Menurut Setiawan (2012) keberhasilan pengobatan pasien MH
tergantung pada pengobatan secara dini, faktor karakteristik pribadi
penderita MH (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), faktor
pengetahuan pasien tentang MH dan kepatuhan pasien untuk minum obat
MDT. Kepatuhan berobat pada pasien MH juga dipengaruhi oleh faktor
internal dari penderita (Setiawan, 2012).
Selain itu juga terdapat beberapa faktor yang memengaruhi ketaatan atau
kepatuhan berobat pada pasien MH, antara lain lamanya masa pengobatan
sehingga diperlukan keuletan dan ketekunan. Selain itu dapat timbul rasa
bosan, dan perasaan sudah sembuh mengakibatkan penderita menghentikan
pengobatan sebelum masa akhir pengobatan selesai. Tingkat pendidikan,
pengetahuan, dan motivasi penderita yang masih rendah juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam kepatuhan berobat. Pengetahuan dan
4
motivasi penderita sangatlah penting untuk merubah perilaku, sehingga
penderita diharapkan paham betul terhadap bahaya apabila tidak mengikuti
program pengobatan MH secara paripurna (Nukman, 2007).
Penderita MH di Bandar Lampung sejak tahun 2012-2014 tercatat sebanyak
162 penderita dengan angka prevalensi 0,28 per 10.000 penduduk. Angka
penemuan kasus MH baru (NCDR) selama tahun 2009 – 2014 berfluktuasi
dari 2,33 per 100.000 menjadi 1,9 per 100.000 penduduk, dan angka ini
sudah cukup baik (target <5 per 100.000 penduduk). Angka kesembuhan
atau release from treatment (RFT) rate MH paucibacillary (PB) sebesar
83,3% sedangkan RFT rate multibacillary (MB) sebesar 60,1%. Angka
kesembuhan ini belum mencapai target, yaitu >90%. Hal tersebut masih
belum mencapai indikator standar kesembuhan RFT di Bandar Lampung
(Dinkes Lampung, 2014).
Penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dan keteraturan
penderita dalam berobat. Penyuluhan kesehatan merupakan upaya
penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik
belajar atau instruksi dengan tujuan mengubah atau memengaruhi perilaku
manusia baik secara individu, kelompok atau dalam masyarakat untuk
meningkatkan kesadaran akan nilai kesehatan sehingga dengan sadar mau
mengubah perilakunya menjadi perilaku sehat. Penyuluhan kesehatan ini
dapat dilakukan oleh petugas kesehatan setempat (Muninjaya, 2004).
5
Menurut penelitian Harjo (2000), terdapat hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dan peran petugas kesehatan terhadap ketidakteraturan berobat
penderita MH. Demikian halnya dengan penelitian Masduki (1993) bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan terhadap kepatuhan berobat
penderita. Ketidakpatuhan dan ketidakteraturan dalam minum obat pada
penderita MH akan berdampak sangat buruk bagi penderita MH karena
dapat menimbulkan resistensi terhadap obat-obatan anti MH. Peran petugas
kesehatan salah satunya adalah memberikan penyuluhan yang diharapkan
dapat meningkatkan kepatuhan dan keteraturan penderita dalam berobat.
Sepengetahuan penulis, penelitian yang melaporkan tentang peran
penyuluhan terhadap kepatuhan berobat pasien MH, khususnya di Bandar
Lampung belum pernah dilaporkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, dapat dirumuskan masalah
penelitian ini adalah apakah ada perbedaan kepatuhan pengobatan morbus
hansen antara antara sebelum dan sesudah penyuluhan morbus hansen di
Bandar Lampung.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui perbedaan kepatuhan mengenai morbus hansen
(MH) antara sebelum dan sesudah penyuluhan morbus hansen di
Bandar Lampung.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pengobatan penderita
morbus hansen di Bandar Lampung sebelum dan sesudah
penyuluhan.
1.3.2.2 Untuk mengetahui perbedaan kepatuhan pengobatan penderita
morbus hansen di Bandar Lampung sebelum dan sesudah
penyuluhan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan serta pengalaman dalam melakukan
penelitian tentang pengaruh penyuluhan morbus hansen dengan
kepatuhan pengobatan penderita morbus hansen di Bandar Lampung.
1.4.2 Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar acuan dalam
program pemerintah untuk pemberantasan morbus hansen khususnya
di Bandar Lampung.
1.4.3 Bagi Masyarakat
Memberi pemahaman kepada masyarakat tentang penyakit morbus
hansen serta dampak patuh dan ketidakpatuhan pengobatan. Sehingga
diharapkan dapat memperbaiki perilaku penderita morbus hansen
untuk minum obat teratur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morbus Hansen
2.1.1 Epidemiologi
Morbus hansen (MH) adalah salah satu jenis penyakit menular yang
masih menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia
(Soedarjatmidkk, 2009). Morbus hansen merupakan jenis penyakit
menular yang dapat menyebabkan masalah yang sangat kompleks,
tidak hanya dilihat dari segi medis namun juga sampai ke masalah
sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial (Rahayu,
2012).
Menurut WHO pada tahun 2011 terdapat 20.032 kasus MH di
Indonesia dengan pria memiliki tingkat terkena MH dua kali lebih
tinggi dibanding wanita. Indonesia menjadi negara peringkat ketiga
tertinggi di dunia di bawah India dengan jumlah 127.295 penderita
dan Brazil dengan jumlah 33.955 penderita. Penderita MH sejak
tahun 2012 hingga akhir tahun 2014 tercatat sebanyak 162 kasus di
Provinsi Lampung dengan angka prevalensi 0,28 per 10.000
penduduk, selama tahun 2014 tercatat penemuan kasus baru yaitu 129
kasus. Jumlah penderita baru: 129 orang di Provinsi Lampung
8
(multibacillary 109 penderita (84,4%) dan paucibacillary 20
penderita (15,6%).
Morbus hansen (MH) merupakan salah satu penyakit menular yang
masih menjadi masalah kesehatan di Provinsi Lampung, baik dari
aspek medis maupun aspek sosial. Angka kesakitan MH per 10.000
penduduk selama tahun 2009-2014 cenderung tetap dari 0,29 per
10.000 penduduk menjadi 0,28 per 10.000 penduduk dan angka ini
sudah cukup baik karena telah di bawah target yaitu <1 per 10.000
penduduk. Angka penemuan kasus baru atau new case detection rate
(NCDR) selama tahun 2009-2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000
menjadi 1,9 per 100.000 penduduk, dan angka ini sudah cukup baik
karena sudah mencapai target nasional <5 per 100.000 penduduk.
Namun angka kesembuhan tahun 2014 masih belum mencapai target
nasional yaitu, MH paucibacillary (PB) sebesar 83,3% (12 penderita)
dan RFT rate multibacillary (MB) sebesar 60,1% (82 penderita).
RFT rate belum mencapai target >90%. Proporsi cacat tingkat 2
tahun 2014 sebanyak 7%.(target 5 %). Di provinsi Lampung MH
mengalami peningkatan di setiap tahun (Dinkes Provinsi Lampung,
2014).
9
Tabel 1. Kasus morbus hansen di Provinsi Lampung
No Kabupaten/Kota 2012 201`3 Total Persentase (%)
1 Lampung Barat 8 6 14 4
2 Way Kanan - - - 0
3 Lampung Utara 17 16 33 9,3
4 Lampung Tengah - 29 29 8,2
5 Lampung Timur 14 15 29 8,2
6 Metro - 2 2 0,6
7 Tulang Bawang 9 20 29 8,2
8 Tulang Bawang Barat 18 6 24 6,8
9 Mesuji - 14 14 4
10 Tanggamus 48 11 59 16,7
11 Pringsewu 7 9 16 4,5
12 Pesawaran 7 30 37 10,5
13 Bandar Lampung 9 18 27 8
14 Lampung Selatan 20 5 25 7,1
Total 163 191 354 100
Sumber: P2 Kusta Dinkes Provinsi Lampung, 2014.
2.1.2 Etiologi
Morbus hansen (MH) disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan
menyerang saraf tepi, kulit maupun jaringan tubuh lainnya (Haeria,
2005). Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya
berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel
terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam
media buatan, tidak dapat bergerak sendiri karena tidak mempunyai
alat gerak, dan tidak menghasilkan racun yang dapat merusak kulit
(Widoyono, 2011). Mycobacterium leprae dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang ditemukan di
dalam urin. Sedangkan di dalam sputum mengandung banyak M
leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi
tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Mycobacterium leprae
10
masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara melalui saluran
pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit. Timbulnya MH bagi
seseorang tergantung dari beberapa faktor, antara lain: faktor sumber
penularan tipe, faktor kuman, dan faktor daya tahan tubuh atau sistem
imunitas seseorang (Depkes, 2005). Menurut penelitian Enis (2009),
M leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan
pada tanah atau debu disekitar lingkungan rumah penderita.
2.1.3 Gejala Klinis
Gejala pada MH dapat dilihat dari beberapa aspek antaralain yaitu,
fisik. Morbus hansen dapat berdampak pada lesi di kulit dan kecacatan
tubuh penderita. Mycobacterium leprae sebagai bakteri penyebab MH
dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf sensori, otonom, dan
motorik. Pada saraf sensori akan terjadi anestesi sehingga terjadi luka
tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi
kekeringan kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak
dan dapat terjadi infeksi sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi
paralisis sehingga terjadi deformitas sendi pada penderita MH
(Susanto, 2006).
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit MH bertujuan untuk menentukan jenis dan
lamanya pengobatan penyakit tersebut, waktu penderita dinyatakan
Release from Treatment (RFT). Dasar penentuan klasifikasi adalah
11
manifestasi klinis berupa lesi kulit serta jumlah saraf yang terganggu
dan hasil pemeriksaan bakteriologis (DepartemenRI, 2006).
Menurut Depkes (2006), MH dibagi menjadi 2 tipe yaitu, tipe
paucibacillry (PB) atau tipe kering memiliki ciri bercak atau macula
dengan warna keputihan, ukurannya kecil dan besar, batas tegas, dan
terdapat di satu atau beberapa tempat di badan (pipi, punggung, dada,
ketiak, lengan, pinggang, pantat, paha, betis, atau pada punggung
kaki), dan permukaan bercak tidak berkeringat. PB jarang menular
tetapi apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan kecacatan.
Sedangkan tipe multibacillary (MB) atau tipe basah memiliki ciri
berwarna kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak
terlalu kasar, batas macula tidak tegas, terjadi penebalan kulit dengan
warna kemerahan, dan tanda awal terdapat pada cuping telinga dan
wajah. Tipe MB adalah tipe yang menular (Hiswani, 2001).
2.1.5 Diagnosis
Untuk mendiagnosis apakah seseorang terkena MH harus didasarkan
pada penemuan tanda utama yang disebut dengan cardinal sign.
Keterlambatan diagnosis MH dapat mengakibatkan kerusakan saraf
irreversible yang berakhir pada cacat permanen, hal ini sesuai dengan
pendapat dari (Putra dkk, 2009) yang menyatakan bahwa penderita
yang sakit lebih dari 6 bulan dan baru menjalani pengobatan dapat
meningkatkan risiko terjadinya kecacatan. Diagnosis dini dan
12
pengobatan yang tepat sangat diperlukan untuk memberikan
pemahaman kasus MH di Indonesia (Wisnu IM dkk, 2003).
Menurut WHO (2006) diagnosis MH dapat ditegakkan apabila
didapatkan minimal dua dari tanda kardinal berikut:
a. Lesi kulit berupa lesi hipopigmentasi atau kemerahan yang disertai
dengan gangguan atau hilangnya sensibilitas atau mati rasa.
b. Pembesaran atau penebalan pada saraf tepi, yang disertai dengan
hilangnya sensibilitas dan atau disertai kelemahan motorik pada
daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut.
c. Basil tahan asam (BTA) pada sediaan kerokan kulit (BTA positif).
Dapat dikatakan sebagai penderita MH apabila seseorang ditemukan
dua atau lebih tanda-tanda diatas, apabila hanya ditemukan cardinal
sign ke-2 maka perlu dirujuk ke ahli MH, jika hasil masih diragukan
maka orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai
(Departemen KesehatanRI, 2006).
2.1.6 Pengobatan
Pengobatan MH dimaksudkan untuk membunuh kuman M leprae
dalam tubuh penderita sehingga diharapkan dapat memutuskan mata
rantai penularan. Mycobacterium leprae dapat aktif kembali dalam
tubuh apabila tidak berobat secara teratur yang dapat memperburuk
keadaan penderita. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penderita
13
MH untuk teratur minum obat merupakan hal yang perlu sangat
diperhatikan (Departemen KesehatanRI, 2006). WHO
memperkenalkan dan merekomendasikan rejimen Multiple Drug
Therapy (MDT) pada pengobatan penderita MH, yang merupakan
kombinasi dua atau lebih obat MH yang salah satunya harus terdiri
terdiri atas dapson, klofazimin, dan rifampisin (Stump dkk, 2004).
a. DDS (Diamino Diphenil Sulfon / Dapson)
Merupakan dasar terapi bagi MH, bersifat bakteri ostatik atau
menghambat pertumbuhan kuman MH. Dapson mempunyai efek
samping berupa anemia hemolitik pada penderita defisiensi G6PD,
dapat timbul anemia normositik hipokromik dan lekopenia
sehingga obat harus dihentikan bila hitung total sel darah merah
kurang dari 3,5 juta/mm3 namun jarang timbul anemia setelah
terapi 4 bulan.
b. Clofazimin
Cara kerjanya melalui interaksi dengan DNA mikobakteria.
Rifampisin bersifat bakteri sidal atau membunuh kuman MH.
Harus diminum pada waktu makan atau dengan segelas susu. Efek
samping yang mungkin terjadi yaitu disklorisasi yang reversible
dari ungu sampai coklat kehitaman pada kulit, nyeri abdominal
seperti mual, muntah dan diare, serta kekeringan pada kulit.
Clofamizin mirip dengan dapson tetapi sedikit lebih lambat.
14
c. Rifampizin
Cara kerjanya melalui inhibisi sintesis RNA bakteri. Mampu
menurunkan MI (Indeksmorfologi) pada MH lepromatosa menjadi
0 dalam ±5 minggu. Dosis tunggal rifampisin 600 mg akan
membunuh 99,9% kuman MH sehingga penderita menjadi tidak
infeksius lagi. Rifampisin harus diminum sebelum makan. Efek
samping yang ditimbulkan berupa urin menjadi kemerahan, erupsi
kulit, pusing, lemah,gangguan gastro intestinal, gagal ginjal, napas
pendek, atau syok.
Prinsip utama dari pengendalian MH adalah dengan deteksi dini kasus
baru dan pengobatan segera dengan MDT untuk mencegah transmisi
penyakit. Prinsip ini sangat penting untuk diterapkan di negara-negara
endemik MH termasuk Indonesia (widodo dkk, 2012).
Rejimen terapi ini terbukti lebih efektif untuk menurunkan angka
prevalensi MH di dunia dengan tingkat kekambuhan hanya 1%
(Lasry-Levidkk, 2011). Morbus hansen seharusnya dapat di terapi
sangat efektif dengan menggunakan rejimen MDT apabila belum
terjadi kerusakan jaringan saraf yang bersifat permanen. Kasus MH
sering mengalami keterlambatan dalam hal diagnosis dan terapi
sehingga angka kejadian kecacatan dan komplikasi pada penderita
MH masih tinggi (Nascimento dkk, 2012).
15
Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menempuh langkah-
langkah untuk pemberantasan MH yaitu melalui upaya peningkatan
dalam penemuan kasus baru, pemberian obat dan pemantauan
pengobatan secara rutin, memberikan pendidikan dan pelatihan bagi
petugas MH, memberikan pengobatan secara gratis untuk penderita
MH, melakukan upaya intensif terhadap pencegahan kecacatan, serta
peningkatan penyuluhan perawatan diri bagi penderita MH (Depkes
RI, 2006).
2.1.7 Komplikasi
Penderita MH yang tidak berhasil mendapat paket pengobatan (kurang
dari target minimal pengobatan) biasa disebut dengan default atau
lalai dalam pengobatan. Penderita MH tipe mulibacillary yang default
pengobatan adalah jika penderita tersebut tidak mengambil obat atau
minum obat lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin
baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang
ditetapkan. Pasien MH jika minum obat secara tidak teratur, maka
kuman MH dapat menjadi resisten atau kebal terhadap MDT.
Sehingga gejala penyakit menetap bahkan memburuk, gejala baru
dapat timbul pada kulit dan saraf (Kemenkes RI, 2012).
Penderita MH yang default pengobatan jika tidak segera diobati, maka
akan timbul bermacam akibat baik bagi penderita sendiri maupun
masyarakat seperti: penyakit bisa kambuh kembali, kuman MH bisa
16
kebal terhadap obat, timbul reaksi berat yang dapat menimbulkan
cacat tingkat I (seperti tidak ada kelainan pada mata, tetapi ada sedikit
visus dan pada tangan atau kaki ada anastesi, tetapi tidak ada cacat
yang kelihatan) dan tingkat II (seperti adanya lagopthalmosvisus pada
mata dan kerusakan ditangan atau kaki), serta menjadi sumber
penularan atau karier di masyarakat (Usman, 2005).
Salah satu komplikasi MH yang jarang mendapat perhatian adalah
nyeri neuropatik kronik. Hal ini mungkin dikarenakan pada penderita
MH terjadi gangguan sensorik berat yang menyebabkan hipestesia
atau anestesia, sehingga nyeri dianggap jarang terjadi. Pada
kenyataannya, gejala nyeri neuropatik dapat timbul pada fase sebelum
terapi, pada saat terapi, maupun setelah terapi selesai (Rao, dkk,
2013). Keterlambatan dalam diagnosis maupun terapi pada penderita
penderita MH dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang serius,
diantaranya adalah komplikasi pada mata, perubahan pada wajah,
kerusakan saraf sensorik, otonom, maupun motorik yang dapat
menyebabkan kecacatan dan nyeri kronik atau nyeri neuropatik
(Chen, dkk. 2012).
2.2 Kepatuhan
2.2.1 Pengertian kepatuhan pengobatan MH
Kepatuhan pasien merupakan perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan (Putra, 2002).
17
Penderita yang patuh berobat MH adalah yang menyelesaikan
pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal
6 bulan sampai dengan 9 bulan. Penderita dikatakan lalai jika tidak
datang lebih dari 3 hari sampai 2 bulan dari tanggal perjanjian dan
dikatakan droup out jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang
berobat (Depkes RI, 2000).
2.2.2 Faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pengobatan MH
Menurut teori Snehandu B.Karr, terdapat lima determinan yang dapat
memengaruhi perilaku seseorang untuk patuh pengobatan salah
satunya adanya dukungan dari masyarakat sekitar (social support)
(Fitriani S, 2011). Keluarga merupakan lembaga social yang
mempunyai fungsi tradisional keluarga seperti fungsi social ekonomi,
karena sebagian hasil kerja yang dilakukan di dalam rumah atau di
luar rumah dikelola dalam keluarga, yang ditunjukkan dengan adanya
pembentukan kerabat, keturunan, dan hubungan sosial. Orang yang
mendapat perhatian dan penghiburan maupun pertolongan dari
keluarga cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis, karena
peranan keluarga sangat besar bagi penderita dalam mendukung
perilaku atau tindakan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan.
Kepatuhan pasien MH terhadap pengobatan ditunjukkan melalui
dengan mentaati aturan pemberian obat yang berkaitan dengan waktu
minum obat dan dampak positif pengobatan MH yang diterimanya
18
(Putra, 2013). Hal ini dapat dicapai dengan adanya pengawasan
minum obat (PMO) yang memantau dan mengingatkan penderita MH
untuk meminum obat secara teratur. PMO sangat penting untuk
mendampingi penderita agar mencapai hasil yang optimal (Depkes,
2000). Menurut penelitian Hutabarat (2007), faktor internal yang
memengaruhi kepatuhan minum obat penderita MH adalah umur,
jenis kelamin, social ekonomi, pendidikan dan pengetahuan
sedangkan faktor eksternal yang memengaruhi minum obat penderita
MH adalah lama minum obat, reaksi MH, cacat MH dan peran
keluarga dan petugas kesehatan terutama peran pengawas menelan
obat (PMO). Zakiyyah (2015) menemukan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan, sikap, persepsi, dukungan keluarga dan
dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat penderita
MH.
2.3 Peran Penyuluhan terhadap Perubahan Perilaku Berobat
Penyuluhan kesehatan merupakan kegiatan pendidikan kesehatan yang
dilakukan dengan cara menyebarluaskan pesan dan menanamkan
keyakinan sehingga mampu mengubah perilaku kurang sehat menjadi
sehat. Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan diharapkan para penderita
MH memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri kembali dalam
memperbaiki perilaku saat ini dan masa yang akan datang (Maulana,
2007). Menurut Notoatmodjo (2010) faktor yang menentukan sasaran
pendidikan kesehatan adalah perilaku.
19
Berdasarkan penelitian Aurora (2013), terdapat perbedaan pengetahuan,
sikap dan kecenderungan berperilaku pada keluarga pasien MH setelah
diberikan penyuluhan kesehatan tentang pencegahan penyakit MH berupa
media video dan media leaflet. Setelah mendapatkan penyuluhan,
keluarga penderita mau mengantar penderita berobat ke Puskesmas.
Menurut Zakiyyah (2015), seorang petugas kesehatan yang tidak
komunikatif terhadap penderita akan menyebabkan penderita tidak
mematuhi atau tidak meminum obat yang diberikan kepadanya.
Penyuluhan yang efektif diberikan petugas kesehatan akan memberikan
motivasi kepada penderita agar patuh minum obat. Efektivitas komunikasi
petugas dengan penderita akan membuat penderita patuh menggunakan
obat, dengan jelas mengutarakan berapa jumlah obat sekali minum,
berapa kali sehari dan harus diteruskan berapa hari.
Dalam penyuluhan, metode yang dipakai hendaknya metode yang dapat
mengembangkan komunikasi dua arah antara yang memberikan
penyuluhan terhadap sasaran, sehingga diharapkan tingkat pemahaman
sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah
dipahami. Antara lain yaitu metode curah pendapat, diskusi, demonstrasi,
simulasi, bermain peran, dan sebagainya. Metode penyuluhan yang dapat
digunakan dalam penyuluhan kesehatan masyarakat dapat dikelompokkan
dalam dua macam metode, yaitu metode didaktik dan metode sokratik.
Pada metode didaktik yang aktif adalah orang yang melakukan penyuluhan
kesehatan, sedangkan sasaran bersifat pasif dan tidak diberikan
20
kesempatan untuk ikut serta mengemukakan pendapatnya atau mengajukan
pertanyaan-pertanyaan apapun. Dan proses penyuluhan yang terjadi
bersifat satu arah (one way method). Metode didaktik dibagi menjadi dua
kategori yaitu, secara langsung dapat melalui ceramah dan secara tidak
langsung dapat melalui poster, media cetak (majalah, buletin, surat kabar),
media elektronik (radio, televisi). Sedangkan pada metode sokratik dibagi
menjadi secara langsung dapat berupa, curah, demonstrasi, bermain peran
(role playing). Secara tidak langsung dapat berupa penyuluhan kesehatan
(Effendy, 2001).
2.4 Kerangka Teori
Morbus hansen (MH) disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan
menyerang saraf tepi, kulit maupun jaringan tubuh lainnya. Pengobatan MH
dilakukan dengan kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) yang diberikan
dalam jarak yang lama antara 6 hingga 12 bulan, sehingga memiliki resiko
tinggi dalam menimbulkan ketidakpatuhan berobat penderita.
Ketidakpatuhan dan ketidakteraturan dalam minum obat akan menimbulkan
resistensi terhadap obat-obatan anti MH (Subakti, 2009).
Kepatuhan seseorang dalam pengobatan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
faktor eksternal dan internal. Faktor ekternal meliputi dukungan dari
masyarakat sekitar, keluarga, peran petugas, lama pengobatan, reaksi MH,
cacat MH, efek samping MH, ketersediaan obat hingga jarak timpat tinggal
dengan fasilitas kesehatan (Putra, 2013; Hutabarat, 2008).
21
Sedangkan faktor internal yang memengaruhi meliputi umur, jenis kelamin,
sosial ekonomi, pengahasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan
(Hutabarat, 2008; Zakiyyah, 2015). Pengetahuan dan motivasi penderita
sangatlah penting untuk merubah perilaku, sehingga penderita diharapkan
paham betul terhadap bahaya apabila tidak mengikuti program pengobatan
MH secara paripurna yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepatuhan
pasien meminum obat MH (Nukman, 2007). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka teori
Sumber : Modifikasi Hutabarat (2008).
Faktor Internal
- Umur
- Jenis kelamin
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Penghasilan
- Pengetahuan
- Sikap
- Kepercayaan
Faktor Eksternal
- Peran keluarga
- Peran petugas
- Lama minum obat
- Reaksi kusta
- Cacat kusta
- Efek samping kusta
- Ketersediaan obat
- Jarak tempat tinggal
Kepatuhan Minum Obat
Penderita Kusta
Kesembuhan
22
2.5 Kerangka Konsep
Penyuluhan
Variabel independen Variabel dependen
Gambar 2. Kerangka konsep
2.6 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
Hipotesis Null (H0) : tidak ada perbedaan kepatuhan pengobatan
sebelum dan sesudah penyuluhan M H
Hipotesis Alternatif (H1) : ada perbedaan kepatuhan pengobatan
sebelum dan sesudah penyuluhan MH
Pasien Morbus
Hansen Kepatuhan Pengobatan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan desain
penelitian yang digunakan one group pre-test post-test design, yaitu
kegiatan percobaan yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau
pengaruh yang timbul sebagai suatu akibat dari adanya intervensi tertentu,
pada satu kelompok subjek tanpa adanya kelompok pembanding (Arikunto,
2010).
Gambar 3. Desain penelitian
Keterangan:
O1 : pretest kepatuhan
X : intervensi berupa penyuluhan MH
O2 : posttest kepatuhan
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di 10 Puskesmas wilayah Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2016.
O1 X O2
24
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien MH yang tercatat
melakukan pengobatan ke Puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung.
Sampel penelitian adalah sebagian sampel yang diambil dari keseluruhan
objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel
penelitian adalah pasien MH yang melakukan pengobatan ke Puskesmas
di wilayah Kota Bandar Lampung yang memenuhi kriteria inklusi dan
ekslusi yang diperoleh dari anamnesis dan rekam medik, serta bersedia ikut
penelitian yang dinyatakan secara tertulis dalam informed consent.
Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan sebelumnya
didapatkan sebanyak 16 orang pasien yang sedang menjalani pengobatan
MH di Puskesmas wilayah kerja Kota Bandar Lampung. Dikarenakan
jumlah populasi kurang dari 100 sehingga teknik pengambilan sampel
dilakukan dengan teknik Total sampling dimana semua populasi akan
dijadikan sampel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Sehingga jumlah sampel
yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 16 orang.
25
3.4 Kriteria Subjek
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Semua pasien MH yang sedang menjalani pengobatan di
Puskesmas wilayah Kota Bandar Lampung.
b. Bersedia mengikuti penelitian.
c. Mampu berkomunikasi dengan baik.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pasien meninggal dunia
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1 Identifikasi Variabel
a. Variabel bebas adalah pasien MH.
b. Variabel terikat adalah kepatuhan pengobatan MH.
c. Variabel intervensi adalah penyuluhan tentang MH.
Pada penelitian ini penyuluhan tetang MH dilakukan dengan cara
melakukan ceramah umum dan untuk mempermudah masyarakat
dalam memahami isi penyuluhan digunakan juga media intervensi
berupa poster dan leaflet.
26
3.5.2 Definisi Operasional
Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan
pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas
yang ditunjukkan pada table 2.
Tabel 2. Identifikasi variabel dan definisi operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Kepatuhan
pengobatan
MH
Tingkat perhatian
pasien dalam
melaksanakan
instruksi
pengobatan
berdasarkan
Morisky
Medication
Adherence Scale
(MMAS)
Kuesioner MMAS, yang terdiri
dari 8 pertanyaan yang sudah
dialihbahasakan ke dalam
bahasa Indonesia.
Penentuan jawaban kuesioner
menggunakan skala Guttman,
yaitu jawaban responden hanya
terbatas pada dua jawaban, ya
atau tidak. Kategori penilaian
dibagi menjadi 3 cut of point,
yaitu rendah, sedang, dan
tinggi.
Skor 0-8
Interval
Penyuluhan Kegiatan
pendidikan
kesehatan tentang
Morbus Hansen
meliputi definisi,
penyebab,
penularan dan
pengobatannya.
Metode penyuluhan yang
digunakan adalah penyuluhan
langsung menggunakan media
leaflet.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Alat dan Bahan Penelitian
Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini, penulis menggunakan
alat dan bahan, sebagai berikut:
a. Lembar informed consent.
b. Media penyuluhan menggunakan poster, leaflet, dan LCD, meja,
kursi.
27
c. Kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS).
Kuesioner kepatuhan adalah kuesioner baku Morisky Medication
Adherence Scale (MMAS) yang terdiri dari 8 pertanyaan yang
sudah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Penentuan
jawaban kuesioner menggunakan skala Guttman, yaitu jawaban
responden hanya terbatas pada dua jawaban, ya atau tidak. Variabel
kepatuhan mengadopsi dari interpretasi kuesioner asli oleh
Morisky, dimana kategori penilaian dibagi menjadi 3 cut of point,
yaitu rendah, sedang, dan tinggi.
3.6.2 Prosedur Penelitian
a. Pada tahap persiapan, peneliti menyusun proposal penelitian lalu
setelah disetujui peneliti mengurus perizinan penelitian baik ke
instansi pendidikan maupun ke lokasi penelitian yaitu Puskesmas
wilayah Kota Bandar Lampung. Setelah mendapatkan surat izin
penelitian, peneliti melakukan koordinasi dan mengajukan surat
izin ke Puskesmas untuk melakukan penelitian.
b. Peneliti mencari pasien sesuai kriteria sampel di Puskesmas
wilayah Kota Bandar Lampung sebagai subjek penelitian, lalu
peneliti menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian kepada subjek
penelitian.
c. Sebelum dilakukan perlakuan, subjek penelitian diminta untuk
membaca dan menandatangani lembar informed consent.
d. Peneliti mengambil data kepatuhan yang dilakukan sebelum
28
penyuluhan dengan cara melakukan pre test.
e. Peneliti melakukan penyuluhan dengan memberikan ceramah
melalui media leafet dan poster. Materi yang diberikan kepada
pasien berupa tentang definisi dari morbus hansen, penyebab,
gejala, klasifikasi, dampak pengobatan tidak teratur dan
tatalaksana pada morbus hansen.
f. Peneliti mengambil data kepatuhan yang dilakukan setelah
penyuluhan dengan cara melakukan post test.
g. Peneliti mengambil data identitas pasien lalu melakukan
wawancara termbimbing dan pengisian kuesioner.
h. Setelah data hasil pengukuran diperoleh, peneliti melakukan input
data ke dalam program statistik dan melakukan analisis data baik
univariat maupun bivariat.
29
Gambar 4. Diagram alur penelitian
3.7 Pengolahan Data
Data yang diperoleh akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, kemudian
data diolah dengan menggunakan program microsoft excel. Berikut adalah
tahap-tahap pengumpulan:
a. Editing, untuk meneliti kembali kuisioner dan untuk memeriksa
kembali data yang terkumpul apakah sudah lengkap, terbaca dengan
jelas, tidak meragukan, terdapat kesalahan atau tidak, dan sebagainya.
Perizinan dan persetujuan etik
Pengambilan data sebelum
penyuluhan
Pengisian kuisioner sebelum
penyuluhan
Penyuluhan
Pengisian kuisioner setelah
penyuluhan
Tahap pengolahan data
Input dan analisa data
30
b. Coding, merubah data dalam bentuk huruf menjadi angka untuk
mempermudah dalam analisis data. Setelah data terkumpul, masing-
masing jawaban diberi kode untuk memudahkan dalam analisis data.
c. Data entry, merupakan proses memasukkan data kedalam komputer
untuk dilakukan pengolahan data sesuai kriteria dengan menggunakan
SPSS for Windows.
d. Cleaning, merupakan proses pengecekan kembali data untuk melihat
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan,
dan sebagainya, kemungkinan dilakukan pembetulan atau koreksi
(Notoatmodjo, 2010).
3.8 Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi
frekuensi masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan perhitungan statistik sederhana yaitu deskripsi statistik.
3.8.2 Analisa Bivariat
Analisis bivariat adalah untuk melihat hubungan bermakna antara
variabel bebas dan variabel terikat. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan kepatuhan pengobatan MH sebelum dan
sesudah diberikan penyuluhan pada pasien MH di Puskesmas wilayah
kerja Kota Bandar Lampung. Uji statistik yang digunakan adalah Uji
Wilcoxon yang merupakan uji hipotesis komparatif dengan skala
31
pengukuran numerik, pengumpulan data secara berpasangan untuk
menguji signifikansi perubahan kepatuhan pengobatan sebelum dan
sesudah perlakuan (Notoatmodjo, 2010).
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dan lulus kaji etik dari tim etik
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sesuai dengan suratnya yang
bernomor 047/UN26.8/DL/2016.
48
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan kepatuhan pengobatan morbus hansen antara
sebelum dan setelah penyuluhan.
2. Tingkat kepatuhan sebelum penyuluhan, pasien dengan tingkat
kepatuhan tinggi sebanyak (53,3%), tingkat kepatuhan sedang (20%) dan
tingkat kepatuahan rendah sebanyak (26,7%).
3. Tingkat kepatuhan setelah penyuluhan, pasien dengan tingkat kepatuhan
tinggi sebanyak (80%), tingkat kepatuhan sedang (13,3%) dan tingkat
kepatuhan rendah sebanyak (6,7%).
5.2. Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat kepatuhan
pengobatan morbus hansen antara sebelum dan sesudah penyuluhan di Bandar
Lampung, dapat diberikan saran berupa :
1. Bagi pasien diharapkan dapat lebih menajaga kepatuhan dalam
menjalani pengobatan untuk mengurangi komplikasi dari penyakit
morbus hansen.
48
2. Bagi puskesmas setempat diharapkan dapat lebih giat dalam melakukan
pengawasan dan penyuluhan terhadap pasien morbus Hansen untuk
meningkatkan angka kesembuhan morbus hansen di daerah setempat.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat member informasi dan masukan
bagi peneliti selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S. 2010. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Aurora G. 2013. Efektivitas pendidikan kesehatan pada keluarga dan masyarakat
dalam pencegahan penyakit kusta di Bojonegoro. [Skripsi]. Surakarta.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
BPOM. 2006. Kepatuhan pasien: faktor penting dalam keberhasilan terapi. Info
POM. 7(5).
Chen S, Qu J, Chu T. 2012. Prevalence and characteristics of neuropathic pain in
the people affected by leprosyin China. Rev. 83: 195-201.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Direktorat jenderal pemberantasan penyakit
menular dan penyehatan lingkungan. buku pedoman nasional
pemberantasan penyakit kusta. Edisi 17. Jakarta: 2005. Hal. 71-82.
Depkes RI. 2006. Buku pedoman nasional pemberantasan penyakit kusta. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Hal. 36.
Depkes RI. 2006. Model pelatihan program P2 kusta bagi UPK. Jakarta: DITJEN
PPM & PLP. Hal. 59.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2014. Profil kesehatan provinsi lampung
tahun 2014. Hal. 61.
Effendy, Onong Uchjana. 2001. Ilmu komunikasi teori dan praktek. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Enis G. 2009. Hubungan karakteristik rumah dengan kejadian kusta pada wilayah
kerja puskesmas kecamatan taman Kabupaten Pemalang. [Skripsi].
Semarang. Universitas Diponegoro Semarang.
Estiningsih Y. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan diri
dalam upaya pencegahan kecacatan penderita kusta di Puskesmas
Kalinyamatan Kabupaten Jepara. [Skripsi]. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatra Utara. Hal. 4-5.
Fatmala KA. 2016. Analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum
obat kusta di kecamatan pragaan. Jurn Berkala Epid. 4(1): 13-24.
Fitriani S. 2011. Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha ilmu. Hal. 164.
Haeria. 2005. Pengembangan sistem informasi program kusta berbasis geografis
Di Kabupaten Cirebon Tahun 2005, Jakarta :Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. Vol. No 2. Hal. 1.
Hardiyanto. 2005. Kusta, diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta. FKUI. Hal. 39-
46.
Harjo. 2000. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat
penderita kusta di Kabupaten Majalengka Tahun 1998-2000. Jakarta.
[Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Hutabarat B. 2008. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta di Kabupaten Asahan Tahun 2007. Medan.
[Tesis]. Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat USU. Hal.
46.
Hiswani. 2001. Kusta salah satu penyakit menular yang masih dijumpai di
Indonesia. Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Hal. 1-
7.
Kementerian Kesehatan RI. 2012. Profil pengendalian dan penyehatan
lingkungan.
Lasry-Levy E, Hietaharju A, Pai V, Ganapati R, Rice ASC, Haanpaa M,
Lockwood DNJ. 2011. Neuropathic pain and psychological morbidity in
patientswithy treated leprosy: A cross-sectional prevalence study in
Mumbai. Neglected Tropical Diseases. 5(3): 1-8.
Luna R. 2015. Hubungan kinerja pengawas minum obat (pmo) terhadap
kepatuhan minum obat pada penderita kusta di wilayah kerja puskesmas
kedung kandang kota malang. [Skripsi]. Malang: Universitas
Muhammadiyah.
Masduki A. 1993. Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kepatuhan berobat
penderita kusta di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Jakarta. [Tesis].
Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Hal. 48.
Maulana DJ, Heri. 2007. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC 1825. Hal. 12-13.
Nascimento OJM, de-Freitas MRG, Escada T, Junior WM, Cardoso F, Pupe
C, Duraes S, 2012. Leprosy late-onset neuropathy: an uncommon
presentation of leprosy. Neuropsiqiatr. 70(6): 404-406.
Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC: 220-234.
Nascimento O. 2013. Leprosy Neuropathy : Clinical Presentations..
Neuropsiquiatr. 71: 661-6.
Niven N. 2002. Psikologi kesehatan keperawatan pengantar untuk perawat dan
profesional kesehatan lain. Jakarta Penerbit EGC. Edisi 2. 192-198.
Notoatmodjo S. 2002. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka
Cipta. Hal. 143.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hal. 123.
Nuari H, Darmada IGK. 2014. Prevalensi dan karakteristik pasien morbus hansen
tipe multibasiler yang mendapat terapi clofazimine, ofloxacin dan
minocycline (com) di rumah sakit umum pusat sanglah. [Skripsi]. Denpasar:
Universitas Udayana. Nukman. 2007. Kendala dalam Pengobatan Kusta.
Jakarta: EGC. Hal. 22-24.
Pusdatin. 2013. Kusta. pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI.
Putra I, Fauzi N, Agusni I. 2009. Kecacatan pada penderita kusta baru di divisi
kusta URJ penyakit kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode
2004-2006. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Hal. 9–21.
Rahayu, Sedyaningsih. 2012. Penyakit kusta masih ditakuti. www.depkes.go.id.
Rao PN, Jain S. 2013. Newer management optionsin Leprosy. Indian Journal of
Dermatology. Hal. 58: 6-11.
Rustam MZA. 2014. Model matematis pengobatan multy drug therapy pada
penderita kusta tipe mb yang telah release from treatment di provinsi
sulawesi selatan. [Tesis]. Surabaya: Universitas Airlangga.
Selum, Wahyuni CU. 2012. Risiko kecacatan pada ketidakteraturan berobat
penderita kusta. The Indonesian J of Publ Health. 8(3). 117-21.
Soedarjatmi, Istiarti T, Widagdo L. 2009. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. Jurnal Promosi
Kesehatan. Vol 4 No 1. Januari 2009. Hal. 59.
Surbakti. 2009. Lepra siapa takut. Bekasi. Balai Penerbit Yayasan Transformasi
Lepra Indonesia (YTLI).
Susanto, Nugroho. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
kecacatan penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo). [Tesis].
Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Hal. 7-8.
Stump PR, Baccarelli R, Marciano LH, Lauris JRP, Teixeira MJ, Ura S, Virmond
MC. 2004. Neuropathic pain in leprosy patients. International Journal of
Leprosy. 72(2). Hal. 134-138.
Usman. 2005. Gambaran perilaku kusta tipe MB yang drop out dengan
pengobatan MDT di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2000-2004.
[Skripsi]. Universitas Sumatera Utara Medan.
WHO. 2003. Adherence to long-term therapies . WHO Library Cataloguing.
World Health Organization (WHO), 2011. Weekly epidemiological record.
leprosy update. 38(36): 389-400.
Widodo A, Astasari, Menaldi SL. 2012. Characteristics of leprocy patients in
Jakarta. Jurnal Indonesia Media Association. Vol 62 No 11. November
2012: 426.
Widoyono. 2011. Penyakit tropis epidemiologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga. Hal. 49.
Wisnu IM, Hadilukito G. Pencegahan cacat kusta. In: Sjamsoe Daili ES, Menaldi
SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Editors. Kusta. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003. Hal. 83-93.
Zakiyyah NR. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan minum
obat penderita kusta di kabupaten brebes. Unnes J of Publ Health. 2015.
Hal. 58-66.