perbedaan keintiman pada mahasiswa uksw yang...
TRANSCRIPT
PERBEDAAN KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
YANG MENJALANIHUBUNGAN PACARAN
RELATIONSHIP
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
N KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
YANG MENJALANIHUBUNGAN PACARAN LONG-DISTANCE
RELATIONSHIPDAN PROXIMAL RELATIONSHIP
OLEH
IRENE IRAWATI
802010002
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
N KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
DISTANCE
PROXIMAL RELATIONSHIP
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
PERBEDAAN KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
YANG MENJALANIHUBUNGAN PACARAN
RELATIONSHIP
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
N KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
YANG MENJALANIHUBUNGAN PACARAN LONG-DISTANCE
RELATIONSHIPDAN PROXIMAL RELATIONSHIP
Irene Irawati
Jusuf Tjahjo Purnomo
Krismi Diah Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
N KEINTIMAN PADA MAHASISWA UKSW
DISTANCE
RELATIONSHIP
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan keintiman pada mahasiswa UKSW
yang menjalani hubungan pacaran Long-distance Relationship (LDR) dan hubungan
pacaran Proximal Relationship (PR). Penelitian dilakukan pada mahasiswa yang sudah
masuk tahap perkembangan dewasa awal. Individu dewasa awal memiliki tugas
perkembangan salah satunya adalah membangun hubungan romantis dengan lawan jenis
yang biasa disebut dengan pacaran. Dalam hubungan pacaran diperlukan adanya
kedekatan dari individu yang berpasangan yaitu keintiman. Berdasarkan jarak, pacaran
dibagi menjadi jarak jauh (long-distance relationship) dan jarak dekat (proximal
relationship). Adanya jarak dalam hubungan pacaran dapat berpotensi memengaruhi
keintiman dalam suatu hubungan. Keintiman diukur menggunakan skala yang
diadaptasi dari Miller Social Intimacy Scale (MSIS) dari Miller dan Lefcourt yang
terdiri dari 37 aitem. Hasil analisis data menggunakan analisis Independent Sample t-
Test, mendapatkan hasil t-hitung= 0,575 dan p = 0,566 (p= 0,566>0,05) maka H0
diterima dan H1 ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada perbedaan keintiman pada
mahasiswa UKSW yang menjalani hubungan pacaran LDR dan PR.
Kata kunci: keintiman, Long-Distance Relationship (LDR), Proximal Relationaship
(PR)
ABSTRACT
This study aims to determine the difference of intimacy in SWCU students undergoing
Long-distance dating Relationship (LDR) and Proximal dating Relationship (PR). The
research was conducted on students who have entered the early stages of adult
development. Early adult individuals have one developmental task is to build a romantic
relationship with the opposite sex that is commonly referred to as courtship. In dating
relationship needed closeness of individual pairs of intimacy. Based on the distance,
relationship divided into long-distance relationship and proximal relationship. There are
distances in dating relationships can potentially affect intimacy in a relationship.
Intimacy was measured using a scale adapted from Miller Social Intimacy Scale (MSIS)
from Miller and Lefcourt consisting of 37 item. Results analyzed using independent
sample t-test, get the t-test = 0.575 and p = 0.566 (p = 0.566> 0.05) then H0 is accepted
and H1 rejected. This means that there is no difference in the intimacy SWCU students
undergoing LDR and PR.
Keywords: intimacy, Long-Distance Relationship (LDR), Proximal Relationaship (PR)
1
PENDAHULUAN
Sebagian besar hidup seorang individu dihabiskan dalam berinteraksi dengan
orang lain (Rowe dalam Baron & Bryne, 2004). Kebutuhan untuk membina hubungan
dengan orang lain dan mendapat penerimaan menjadi hal mendasar bagi kebutuhan
psikologis seorang individu (Baumeister & Leary dalam Baron & Bryne, 2004).
Menurut Myers (2012) kehidupan setiap individu yang selalu saling bergantung,
menempatkan hubungan sebagai pusat dari eksistensi individu. Sementara menurut
Miller dan Perlman (2009), hubungan dengan orang lain adalah aspek utama dari
kehidupan seorang individu yang dapat menimbulkan kebahagiaan yang besar ketika
hubungan tersebut berjalan dengan baik, tetapi juga sebaliknya, dapat menimbulkan
kesedihan yang luar biasa ketika hubungan memburuk. Myers (2012) mengatakan
bahwa ada berbagai bentuk hubungan sosial, salah satunya adalah hubungan intim
lawan jenis atau hubungan romantis. Selain itu, manusia mempunyai suatu kebutuhan
untuk memiliki (need to belong) serta terhubung dengan orang lain dalam hubungan
yang erat dan saling menguatkan.
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) mengatakan bahwa membina hubungan
dengan lawan jenis menjadi tugas psikososial pada tahap perkembangan dewasa muda.
Individu yang termasuk dalam usia dewasa muda menurut Erikson (dalam Upton,
2012)memiliki rentang usia antara 19 sampai 40 tahun. Santrock (2002) mengatakan
bahwa seorang individu yang berada pada tahap perkembangan dewasa awal memiliki
tugas perkembangan yang salah satunya adalah memilih pasangan hidup. Memilih
seorang teman hidup yang dimaksud di sini menunjukkan bahwa seorang individu
dewasa awal dituntut untuk memiliki hubungan intim lawan jenis atau hubungan
romantis seperti yang diungkapkan sebelumnya. Hal ini didukung oleh pendapat
2
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) juga memaparkan bahwa individu telah dapat
dianggap dewasa dan memiliki kematangan secara psikologis, salah satunya ketika
individu tersebut sudah mampu membangun hubungan romantis dengan seseorang yang
signifikan. Nisa dan Sedjo (2010) menyebut proses membentuk dan membangun
hubungan personal dengan lawan jenis dapat berlangsung melalui apa yang biasa
disebut sebagai hubungan pacaran.
Hubungan pacaran menurut Saxton (dalam Khoman & Meilona, 2008) adalah
suatu peristiwa yang telah direncanakan dan meliputi berbagai aktivitas bersama antara
dua orang (biasanya dilakukan oleh kaum muda yang belum menikah dan berlainan
jenis). Karsner (dalam Khoman & Meilona, 2008) mengatakan bahwa ada empat
komponen penting dalam hubungan pacaran, yaitu: saling percaya (trust each other),
komunikasi (communicate your self), keintiman (keep the romance alive), dan
meningkatkan komitmen (increase commitment). Dalam hubungan pacaran, tentu
diperlukan adanya kedekatan dari individu yang berpasangan, yang biasa disebut
dengan keintiman (intimacy). Rathus, Nevid, dan Rathus (2002) mengatakan bahwa
keintiman tidak selalu berbicara mengenai cinta dan seksualitas, namun juga melibatkan
kedekatan dan keterhubungan secara emosional, serta adanya keinginan untuk berbagi
pikiran dan perasaan terdalam satu sama lain.
Erikson (dalam Feist & Feist, 2007) mengatakan bahwa pada tahap dewasa muda,
perkembangan manusia ditandai dengan krisis psikososial keintiman versus
keterasingan. Krisis ini mencapai puncaknya pada usia 20-an, namun tetap menjadi
bagian dari perkembangan sepanjang masa dewasa (Withbourne, 2012). Keintiman
adalah kemampuan seseorang untuk meleburkan identitasnya dengan identitas orang
lain tanpa takut kehilangan identitas tersebut (Erikson, dalam Feist & Feist, 2007).
3
Menurut Westheimer dan Lopater (2004), keintiman akan membuat sebuah hubungan
menjadi sangat dekat dan hangat, sehingga pasangan dapat saling bertukar pikiran dan
berbagi perasaan yang sangat personal dan pribadi. Dalam hubungan tersebut, dimensi
mengenai seksualitas bisa ada bisa juga tidak. Hubungan ini melibatkan perasaan kasih
sayang atau cinta yang berkelanjutan, saling percaya, dan perasaan saling menyatu antar
pasangan. Ketika seseorang merasa percaya pada pasangannya, maka ia akan percaya
bahwa ia tidak akan terluka, diperdaya, dikhianati atau ditipu. Dalam hubungan ini ada
keputusan untuk menghabiskan waktu bersama dan benar-benar melakukannya dengan
senang hati.
Teori Triangular Theory of Love, milik Sternberg (dalam Papalia, Sterns,
Feldman, & Camp, 2002), menyebutkan bahwa keintiman adalah aspek emosi,
melibatkan penyingkapan diri yang menyebabkan munculnya sebuah hubungan yang
hangat dan saling percaya. Keintiman juga merupakan sebuah kedekatan yang dirasa
oleh dua orang dan kekuatan dari ikatan yang menahan mereka bersama (Sternberg
dalam Baron & Bryne, 2004). Faktor-faktor yang dapat memengaruhi munculnya
keintiman dalam suatu hubungan adalah perasaan aman secara emosional, tidak adanya
pengabaian suatu hal, tanggung jawab, keinginan untuk berbagi, tidak ada gangguan,
seks, kejujuran, kontak fisik, kehadiran, dan adanya rasa syukur (Bloom & Bloom,
2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ben-Ari, Lavee, Laurenceau, dkk
(dalam Miller & Perlman, 2009) didapatkan bahwa yang membedakan hubungan biasa
dan hubungan dengan keintiman ada dalam enam area spesifik, yaitu: pengenalan
(knowledge), memperhatikan (caring), independen (independence), mutualitas
(mutuality), percaya (trust), dan komitmen (commitment). Penelitian yang dilakukan
4
oleh Chrisman (2007) mengungkapkan beberapa aspek keintiman berdasarkan skala
MSIS milik Miller dan Lefcourt (1982) yakni pengungkapan diri kepada pasangan,
pengungkapan perasaan, menghabiskan waktu bersama-sama, menunjukkan rasa
sayang, menunjukkan dukungan dan perasaan kedekatan dengan pasangan. MSIS inilah
yang nantinya akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.
Hampton (dalam Purba & Siregar, 2006) membagi hubungan pacaran berdasarkan
jarak menjadi dua tipe yaitu, Proximal Relationship (PR) dan Long Distance
Relationship (LDR). PR atau yang dikenal juga sebagai hubungan pacaran lokal, yaitu
ketika pasangan yang menjalin hubungan pacaran berada pada satu lokasi atau daerah
yang sama, seperti satu kota dimana para pasangan dapat dengan lebih mudah bertemu.
Menurut Hampton (dalam Khoman & Meilona, 2008) pada hubungan PR pasangan
tidak dipisahkan oleh jarak fisik yang berarti oleh karena itu kedekatan fisik
dimungkinkan. Sebaliknya, LDR adalah hubungan pacaran yang biasa disebut dengan
pacaran jarak jauh karena pasangan yang menjalin hubungan pacaran berada pada dua
lokasi atau daerah yang berbeda, seperti berbeda kota, provinsi, pulau, atau bahkan
negara. Suwito (2013) memaparkan bahwa pasangan LDR melakukan perjalanan untuk
bertemu bersama, seringkali dalam beberapa hari atau bahkan jam, kemudian kembali
berpisah untuk jangka waktu tertentu. Menurut Guldner (2003), pasangan LDR
biasanya menemui dan mengunjungi pasangannya mulai dari seminggu sekali sampai
empat bulan sekali dengan batas jarak jauh minimal 30 mil atau ± 50 km.
Menurut Kelmer, Rhoades, Stanley, dan Markman (2013), hubungan pacaran
jarak jauh dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti mengejar karir atau pendidikan,
dinas militer, penahanan, pembatasan imigrasi, dan kewajiban dari keluarga atau
orangtua. Hal ini juga dikatakan oleh Kyns bahwa salah satu alasan hubungan jarak jauh
5
dapat terjadi adalah karena masih melanjutkan pendidikan pada perguruan tinggi dan
menjadi populer khususnya pada wilayah perguruan tinggi (universitas) yaitu pada
mahasiswa (dalam Purba & Siregar, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Stafford,
Daly, dan Reske (dalam Kohman & Meilona, 2008) menunjukkan bahwa kurang lebih
sepertiga dari hubungan sebelum menikah yang dijalani mahasiswa merupakan pacaran
jarak jauh. Demikian pula terjadi pada mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana
(UKSW) di Salatiga, yang sebagian dari mahasiswanya merupakan perantau dari
berbagai daerah di Indonesia.
Menurut Sternberg (dalam Putri, 2010), hubungan pacaran yang serius atau
bertujuan jangka panjang akan lebih banyak membutuhkan komponen keintiman dan
komitmen.Namun, adanya jarak dalam hubungan pacaran dapat berpotensi
memengaruhi keintiman dalam suatu hubungan. Hal serupa juga diungkapkan oleh
Yudistriana, Basuki, & Harsanti, (2010) bahwa masalah yang berpotensi timbul dalam
hubungan pacaran jarak jauh adalah pemenuhan kebutuhan akan keintiman. Hal ini
dapat terjadi karena dalam sebuah hubungan pacaran, seorang individu membutuhkan
suatu kebersamaan dengan pasangannya (Prager, 1995 dalam Purba & Siregar, 2006).
Kebersamaan ini juga berpengaruh pada keterlibatan pasangan secara langsung dalam
komunikasi verbal sehari-hari yang juga berpegaruh pada keintiman individu dan
pasangannya (Kauffman, 2000). Hal ini akan sulit dipenuhi oleh individu yang menjalin
hubungan pacaran jarak jauh karena minimnya frekuensi pertemuan dengan pasangan.
Walaupun hal ini sering kali diatasi dengan memperbanyak frekuensi komunikasi
melalui telepon, pesan maupun media sosial lainnya, namun komponen keintiman ini
tidak dapat terpenuhi sepenuhnya karena individu akan merasa kehilangan kebersamaan
dengan pasangannya (Prager, 1995 dalam Purba & Siregar, 2006). Namun, penelitian
6
yang dilakukan oleh Jin dan Pena (2008) mengatakan bahwa penggunaan telepon untuk
berkomunikasi dengan pasangan berhubungan positif pada keintiman dari suatu
hubungan.
Dari wawancara awal yang peneliti lakukan pada akhir Bulan Oktober 2013
terhadap beberapa mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana, dari pasangan PR
didapatkan bahwa tidak adanya jarak yang terlalu jauh membuat pasangan tidak terlalu
mementingkan pertemuan tatap muka, komunikasi melalui telepon selular atau fasilitas
media sosial dirasa sudah cukup. Sedangkan pasangan LDR memiliki kondisi yang
sering kali menyebabkan masalah yang lebih besar pada hubungan berkaitan dengan
kebutuhan akan keintiman. Masalah yang dilaporkan antara lain terbatasnya waktu
untuk bertatap muka secara langsung sehingga komunikasi yang terjalin dilakukan
melalui telepon selular, baik dengan bertelepon, pesan singkat, maupun jejaring sosial.
Komunikasi yang tidak terjalin secara langsung ini biasanya mengakibatkan adanya
kesalah pahaman pada pasangan LDR. Selain itu, karena terpisah jarak yang cukup
jauh, pasangan LDR jarang memiliki waktu khusus bersama pasangannya, yang biasa
digunakan untuk saling bertukar pikiran dan perasaan, serta mengungkapkan perasaan
masing-masing melalui bahasa nonverbal, seperti berpelukan dan berciuman. Oleh
karena itu, pada pasangan LDR waktu khusus bersama yang mereka miliki dirasa lebih
berharga dibandingkan dengan pasangan PR. Kemudian adanya tuntutan yang lebih
besar untuk saling memiliki rasa percaya kepada pasangannya ketika sedang tidak
bersama-sama.
Namun, penelitian Castillo (2013) mengatakan bahwa pasangan LDR memiliki
tingkat keintiman yang lebih baik dibanding dengan pasangan PR. Pasangan yang
terpisah oleh jarak memiliki frekuensi yang sangat minim untuk saling bertemu tatap
7
muka dan intensitas berkomunikasi yang lebih rendah dibanding pasangan PR, namun
interaksi komunikasi dan timbal balik yang terjalin pada pasangan tersebut lebih dalam.
Sementara itu, berbeda dengan hasil penelitian oleh Horn dan kawan-kawan (dalam
Strong, DeVault, & Cohen, 2008) yang mengatakan bahwa pasangan LDR cenderung
kurang bersahabat, kurang dalam penyingkapan diri, kurang memiliki kepastian tentang
masa depan besama, dan juga memiliki kepuasan yang lebih rendah dibandingkan
dengan pasangan PR. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Jiang dan Hancock (2013)
mengatakan bahwa meskipun kedekatan secara fisik tidak memungkinkan dan
komunikasi yang terjalin menjadi lebih sulit, namun pasangan LDR lebih banyak
berinteraksi menggunakan media komunikasi seperti telepon, chatting, pesan singkat,
dan e-mail dari pada pasangan PR. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
pasangan LDR berusaha lebih keras untuk mengkomunikasikan rasa sayang untuk
memiliki keintiman dengan pasangan mereka. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
pasangan LDR merasa lebih intim dengan pasangannya, karena mereka lebih terbuka
dalam mengungkapkan diri kepada pasangan dan mampu mengidealkan perilaku
pasangan sesuai dengan yang diharapkan.
Demikian juga Stafford dan Reske (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008),
yang membandingkan pasangan LDR dengan PR dan kemudian mendapatkan hasil
bahwa pasangan LDR dengan komunikasi yang lebih terbatas mampu mempersiapkan
diri untuk masalah-masalah mendatang, sementara pasangan PR menghindari hal ini.
Pasangan LDR memanfaatkan kesempatan berkomunikasi untuk membicarakan
prediksi masalah-masalah yang kemungkinan akan dihadapi di waktu mendatang,
sementara pasangan PR kurang memberikan perhatian pada hal ini. Seperti yang
sebelumnya disebutkan oleh Miller dan Perlman (2008) serta Rathus, Nevid dan Rathus
8
(2002) bahwa komunikasi dan adanya timbal balik merupakan salah satu faktor yang
ada dalam keintiman.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Ada perbedaan keintiman
pada mahasiswa UKSW yang menjalani hubungan pacaran Long-distance Relationship
(LDR) dan hubungan pacaran Proximal Relationship (PR).” Namun penulis belum bisa
menyimpulkan mana yang memiliki keintiman lebih tinggi.
9
METODE
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian komparatif, yaitu penelitian yang
bersifat membandingkan (Sugiyono, 2003) menggunakan pendekatan kuantitatif.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) yang sedang menjalani hubungan pacaran baik pacaran jarak jauh
(LDR) maupun pacaran jarak dekat (PR) dengan jumlah populasi yang tidak diketahui.
Adapun karakteristiknya adalah: (1) mahasiswa aktif UKSW berusia 19 sampai 40
tahun, (2) sedang menjalani hubungan pacaran baik pacaran jarak jauh (LDR) maupun
pacaran jarak dekat (PR). Kriteria untuk partisipan yang sedang menjalani hubungan
pacaran jarak jauh antara lain (Guldner, 2003): (1) memiliki pasangan yang tinggal di
daerah atau kota yang berbeda dengan jarak lokasi minimal ± 50 km atau 30 mil, (2)
mengalami pertemuan dengan pasangan maksimal seminggu satu kali hingga empat
bulan satu kali pertemuan.
Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik snow-ball. Sampel
yang digunakan berjumlah 131 partisipan berdasarkan kriteria-kriteria populasi yang
telah ditentukan, dengan jumlah sampel LDR sebanyak 57 partisipan dan jumlah sampel
PR sebanyak 74 partisipan.
10
Tabel 1. Data Demografi Subjek LDR
Pacaran LDR Usia 19 – 26 th
Jenis Kelamin
L 15 P 42
Intensitas bertemu muka
Satu minggu 1 kali 7 Satu bulan 1-4 kali 15 Tiga bulan 1-3 kali 11 Lain-lain 24
Jarak
Beda kota 25 Beda propinsi (di Jawa) 20 Beda pulau 12 Beda negara -
Jumlah 57
Tabel 2. Data Demografi Subjek LDR
Pacaran PR
Usia 19 – 25 th
Jenis Kelamin
L 30 P 44
Intensitas bertemu muka
Setiap hari 47 Satu minggu < 3 kali 12 Lain-lain 15
Jumlah 74
Penelitian dilakukan pada mahasiswa UKSW yang sedang menjalani hubungan
pacaran, baik LDR maupun PR. Mahasiswa yang menjadi sampel adalah mahasiswa
yang sudah masuk dalam tahap perkembangan dewasa muda, yaitu pada rentang usia 19
sampai 40 tahun, namun sampel yang didapatkan pada penelitian ini memiliki rentang
usia 19 sampai 26 tahun dengan rata-rata berusia 20,5 tahun. Data yang diperoleh dari
sampel penelitian berjumlah 131 dengan perbandingan 86 perempuan dan 45 laki-laki.
Pada kelompok LDR terdapat 57 sampel yaitu 42 perempuan dan 15 laki-laki,
sementara pada kelompok PR terdapat 74 sampel yaitu 44 perempuan dan 30 laki-laki.
11
Sampel yang digunakan memiliki usia pacaran minimal enam bulan namun tidak
diketahui rentang maksimal dari data yang diperoleh, sehingga tidak diketahui rata-rata
usia pacaran dari sampel yang diperoleh. Dari data yang terkumpul didapatkan bahwa
intensitas bertemu muka pada sampel LDR mulai dari satu minggu satu kali hingga satu
tahun satu kali dengan rata-rata intensitas bertemu muka adalah satu bulan 1-4 kali.
Jarak pada sampel LDR dengan pasangannya didapatkan mulai dari beda kota (50 km)
hingga beda pulau dengan rata-rata jarak adalah beda kota. Sementara pada sampel PR
intensitas bertemu muka mulai dari setiap hari hingga satu minggu satu kali dengan
rata-rata intensitas bertemu muka satu minggu 3-4 kali.
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen keintiman dalam penelitian ini penulis menggunakan Miller Social
Intimacy Scale (MSIS) dengan menambahkan aitem-aitem baru. MSIS adalah skala
yang dikembangkan oleh Miller dan Lefcourt (1982) untuk mengukur kedekatan
seseorang dengan pasangannya, namun tidak sebatas untuk pasangan yang sudah
menikah. MSIS menggunakan skala Likert dengan rentang 1-10, terdiri dari 17 aitem
terbagi menjadi dua bagian, yaitu 6 aitem untuk mengukur frekuensi perilaku tertentu
dan 11 aitem untuk mengukur intensitas perilaku tertentu dalam suatu hubungan.
Menurut Christman (2007), aspek-aspek yang diukur dalam MSIS meliputi:
pengungkapan diri kepada pasangan (aitem no. 13: Saya mendengarkan curhat pribadi
dari pacar saya), pengungkapan perasaan (aitem no. 32: Saya malu untuk menangis di
depan pacar saya), menghabiskan waktu bersama-sama (aitem no. 15: Saya berusaha
meluangkan waktu untuk pacar saya), menunjukkan rasa sayang (aitem no. 22: Saya
mengatakan rasa sayang saya kepada pacar saya), menunjukkan dukungan (aitem no. 5:
Saya mampu menyemangati dan memberikan dukungan kepada pacar saya ketika dia
12
sedang merasa tidak bahagia) dan perasaan kedekatan dengan pasangan (aitem no. 12:
Saya merasakan kehadiran pacar saya walaupun kami tidak sedang bersama-sama).
Skor yang tinggi mengindikasikan keintiman yang tinggi pada hubungan partisipan.
MSIS termasuk instrumen yang sangat reliabel karena dari penelitian yang dilakukan
Shaffer (2010) hasil pengujian reliabilitas menggunakan alpha cronbach menghasilkan
0,93.
Berdasarkan aspek-aspek yang disebutkan oleh Chrisman, peneliti menambahkan
22 aitem sehingga jumlah aitem menjadi 39 aitem. Dilakukan dua kali putaran uji daya
diskriminasi item, diperoleh hasil bahwa terdapat dua aitem yang gugur dari Skala
Keintiman ini yaitu aitem 11 dan 32 dengan koefisien korelasi 0,010 dan 0,226 yang
kurang dari batas koefisien korelasi item total ≥ 0, 3 (Azwar, 2012). Maka dari itu
terdapat 37 item yang dapat digunakan untuk dianalisa dalam penelitian ini dengan
koefisien korelasi aitem total bergerak dari 0,313 sampai 0,654. Uji reliabilitas
mendapatkan hasil alpha cronbach 0,908 yang menunjukkan bahwa alat ukur ini
reliabel.
Tabel 3. Reliabilitas Skala Keintiman
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha
N of
Items
,908 37
13
HASIL
Uji Asumsi
1. Uji Normalitas
Dari hasil analisa SPSS dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test pada
Variabel Keintiman didapatkan bahwa data pada kelompok PR berdistribusi normal
(Kolmogorov-Smirnov=1,113, p=0,153), demikian juga pada kelompok LDR
(Kolmogorov-Smirnov=0,505, p=0,961). Dapat dikatakan bahwa Variabel
Keintiman pada kelompok PR dan LDR adalah normal atau memenuhi persyaratan
uji normalitas data.
Tabel 4. Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PR LDR
N 74 57
Normal Parametersa,b
Mean 119,00 117,84
Std.
Deviation
11,298 11,571
Most Extreme
Differences
Absolute ,132 ,067
Positive ,132 ,054
Negative -,071 -,067
Kolmogorov-Smirnov Z 1,133 ,505
Asymp. Sig. (2-tailed) ,153 ,961
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas yang diperoleh pada variabel keintiman pada levene’s Test
menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki varian yang sama ( p = 0,585).
14
Analisis Deskriptif
Tabel 5. Statistik Deskriptif Pengukuran Skala Keintiman
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
PR 74 97 144 119,00 11,298
LDR 57 86 145 117,84 11,571
Valid N (listwise) 57
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
Keintiman 131 86 145 118,44 11,351
Valid N (listwise) 131
Berdasarkan Tabel 5. dapat diketahui skor empiric skala keintiman paling rendah
adalah 86 dan skor paling tinggi adalah 145, rata-ratanya adalah 118,44 dengan standar
deviasi 11,351. Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran skala keintiman
digunakan empat kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah dan sangat rendah. Jumlah
aitem yang digunakan adalah 37 aitem terpakai dengan kategori jawaban mulai dari 1
sampai 4.
Tabel6. Interval Skala Keintiman
PR LDR Interval Kategori Frekuensi Persen Mean Frekuensi Persen Mean
120,25 ≤ X < 148 Sangat Tinggi 34 45, 9 26 45,6
92,5 ≤ X < 120,25 Tinggi 40 54,1 119 30 52,6 117,84 64,75 ≤ X < 92,5 Rendah - - 1 1,8 37 ≤ X < 64,75 Sangat Rendah - - - -
Total 74 100 57 100
Mean 119 117,84 Data diatas menunjukkan tingkat keintiman dari 2 kelompok, subjek yang
berpacaran PR dan subjek yang berpacaran LDR. Pada kelompok subjek PR dengan
15
jumlah partisipan sebanyak 74 subyek terdapat sebanyak 54,1% atau 40 subyek berada
pada kategori tinggi dan pada kategori sangat tinggi 45,9% atau 34 subyek. Sedangkan
pada kelompok subjek LDR dengan jumlah partisipan sebanyak 57 subjek terdapat
sebanyak 52,6% atau 30 subyek berada pada kategori tinggi, disusul 45,6% atau
sebanyak 26subyek berada pada kategori sangat tinggi dan pada kategori rendah
sebanyak 1,8% atau 1 subyek. Secara umum dapat dikatakan bahwa keintiman individu
pada subyek PRdan LDR sama-sama berada pada tingkat yang tinggi.
Uji Beda (Uji t)
Tabel 7. Hasil Uji BedaIndependent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
F Sig. T df Sig.
(2-
tailed)
Mean
Differen
ce
Std. Error
Differenc
e
95%
Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
keintima
n
Equal
variances
assumed
,300 ,585 ,575 129 ,566 1,158 2,012 -2,823 5,139
Equal
variances not
assumed
,574 119,
154
,567 1,158 2,018 -2,839 5,154
Hasilanalisis Independent Samplet-Test didapatkant-hitung= 0,575 dan p = 0,566
maka hipotesis awal dari penelitian ini ditolak. Hal ini berarti bahwa tidak ada
perbedaan keintiman pada mahasiswa UKSW yang menjalani hubungan pacaran LDR
dan PR.
16
PEMBAHASAN
Dari perhitungan uji beda (Tabel 7.) berdasarkan perhitungan analisis Independent
Sample t-Test memperoleh hasil t-hitung=0,575 dan p=0,566(p>0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keintiman pada mahasiswa UKSW yang
menjalani hubungan pacaran LDR dan PR. Dapat diartikan bahwa mahasiswa UKSW
yang menjalani hubungan pacaran LDR maupun PR memiliki keintiman yang sama.
Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal penelitian ini, bahwa ada perbedaan
keintiman pada mahasiswa UKSW yang menjalani hubungan pacaran LDR dan PR. Hal
ini berarti bahwa hipotesis awal dari penelitian ini ditolak.
Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan keintiman pada mahasiswa
yang menjalani hubungan pacaran LDR dan PR, namun juga kedua kelompok sampel
memiliki tingkat keintiman yang berada pada kategori tinggi (LDR 52,25%; PR 54,1%).
Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa kemungkinan. Pertama, dari data yang
diperoleh didapatkan hasil bahwa baik kelompok LDR maupun PR sama-sama memiliki
waktu untuk bertemu, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor kehadiran memberikan
pengaruh terhadap munculnya keintiman pada kedua kelompok. Ketika seseorang tidak
hadir secara fisik pada suatu waktu tertentu, maka ia tidak bisa terhubung secara
mendalam dengan yang lain pada waktu tersebut (Bloom & Bloom, 2013). Prager
(dalam Purba & Siregar, 2006) juga mengatakan bahwa dalam sebuah hubungan
pacaran, seorang individu membutuhkan suatu kebersamaan dengan pasangannya,
kebersamaan ini berpengaruh pada keterlibatan pasangan secara langsung dalam
komunikasi verbal sehari-hari yang berdampak pada keintiman individu dan
pasangannya (Kauffman, 2000). Dari data yang diperoleh, pertemuan pada kelompok
PR menunjukkan intensitas pertemuan yang lebih sering. Sementara pada kelompok
17
LDR, pertemuan dengan pasangan lebih menunjukkan kualitas dari pertemuan itu
sendiri. Seperti hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Castillo (2013) yang
mengatakan bahwa interaksi komunikasi dan timbal balik pada pasangan LDR terjalin
lebih dalam.
Kedua, keintiman bukan hanya berbicara mengenai kedekatan secara fisik namun
juga kedekatan dan keterhubungan secara emosi (Rathus, Nevid, & Rathus, 2002) yang
melibatkan adanya saling bertukar pikiran dan berbagi perasaan yang sangat personal
dan pribadi, perasaan kasih sayang atau cinta yang berkelanjutan, saling percaya, dan
perasaan saling menyatu antar pasangan (Westheimer & Lopater, 2004). Oleh sebab itu,
selain pertemuan secara fisik, komunikasi yang rutin dengan pasangan dapat menjadi
cara lain untuk membangun keintiman dengan pasangan (Merolla, 2013). Komunikasi
ini dapat memanfaatkan teknologi komunikasi yang sedang berkembang, seperti
telepon, pesan teks, video-call dan e-mail. Dari data yang diperoleh, didapatkan bahwa
baik pasangan LDR maupun PR sama-sama memiliki komunikasi dengan pasangannya
dengan memanfaatkan teknologi komunikasi yang sedang berkembang. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jin dan Pena (2008) mengatakan bahwa
penggunaan telepon berhubungan positif pada keintiman dari suatu hubungan.
Tidak adanya perbedaan pada hasil penelitian ini kemungkinan juga karena alat
ukur yang digunakan, yaitu MSIS yang hanya sebatas mengukur tentang keintiman
sosial, yaitu kedekatan secara sosial. Namun, kedekatan secara sosial yang dapat diukur
dengan MSIS tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga hasil yang diperoleh dari alat
ukur ini adalah keintiman secara umum.
18
Hasil penelitian yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari
keintiman pada pasangan mahasiswa LDR dan PR ini menolak pendapat Yudistriana,
Basuki, & Harsanti (2010) yang mengatakan bahwa masalah yang berpotensi timbul
dalam hubungan pacaran jarak jauh adalah pemenuhan kebutuhan akan keintiman.
Tidak adanya perbedaan yang signifikan dari penelitian ini juga menolak penelitian oleh
Castillo (2013), dan Jiang dan Hancock (2013) yang mengatakan bahwa pasangan LDR
memiliki keintiman yang lebih tinggi dari pada pasangan PR.
19
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dari keintiman pada mahasiswa UKSW yang
menjalani hubungan pacaran LDR dan PR (t-hitung= 0,575; p>0,05).
2. Tingkat keintiman pada mahasiswa UKSW yang menjalani hubungan pacaran LDR
(52,6%) dan PR (54,1 %) berada pada tingkat yang sama yaitu tinggi.
SARAN
Berdasarkan hasil dari penelitian dan kesimpulan di atas maka penulis
menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan dan mengembangkan disarankan
untuk meneliti mengenai perbedaan keintiman ditinjau dari faktor lainnya, seperti
intensitas bertemu atau intensitas komunikasi menggunakan media komunikasi.
Diharapkan peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian dengan jumlah
sampel yang lebih besar sehingga hasil yang didapatkan lebih dapat mewakili
populasi. Selain itu, peneliti selanjutnya juga diharapkan dapat menggunakan alat
ukur yang memiliki batasan jelas mengenai keintiman sosial.
2. Bagi mahasiswa yang menjalin hubungan pacaran LDR, dari penelitian ini
didapatkan bahwa keintiman yang muncul dipengaruhi oleh kualitas pertemuan,
sehingga diharapkan mahasiswa yang sedang menjalani hubungan pacaran LDR
dapat lebih berusaha memiliki waktu pertemuan yang berkualitas dengan pasangan
sebagai upaya untuk menjaga keintiman dalam hubungan pacaran. Sementara bagi
mahasiswa yang menjalin hubungan pacaran PR, intensitas bertemu muka menjadi
20
faktor yang memengaruhi adanya keintiman dengan pasangan, sehingga diharapkan
mahasiswa yang sedang menjalani hubungan pacaran PR dapat menjaga intensitas
bertemu muka dengan pasangan sebagai upaya untuk menjaga keintiman dalam
hubungan pacaran. Selain itu juga, baik mahasiswa LDR maupun PR menjaga
keintiman secara emosi dengan pasangan dengan memanfaatkan teknologi
komunikasi untuk tetap menjaga komunikasi sebagai upaya penyingkapan diri
kepada pasangan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. (2012). Penyusunan sala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, R. A.,& Byrne, D. E. (2004). Psikologi sosial edisi ke-10. Jakarta: Erlangga.
Bloom, L., & Bloom, C. (2013). 10 factors that promote intimacy. Psychology Today. dalam: http://www.psychologytoday.com/blog/stronger-the-broken-places/201303/10-factors-promote-intimacy (Diakses pada tanggal 11 November 2014, 23:05 WIB).
Castillo, M. (2013). Long-distance relationships may be stronger, more intimate. CBN News. dalam: http://www.cbsnews.com/8301-204_162-57594916/ (Diakses pada tanggal 12 November 2013, 20:10 WIB).
Christman, J. G. (2007). Anger expression in formerly-depressed and never-depressed women. University of Texas. dalam: http://www.lib.utexas.edu/etd/d/2007/chrismanj80651/chrismanj80651.pdf?origin=publication_detail (Diakses pada tanggal 11 September 2014, 21:23)
Feist, J., & Feist, G. J. (2007). Psikologi kepribadian buku 1 edisi 7. Jakarta: Erlangga.
Guldner, G. T. (2003). Long distance relationship- the complete guide. United States of America: JFMilne Publications.
Jiang, L. C., & Hancock, J. T. (2013). Absence makes the communication grow fonder: geographic separation, interpersonal media, and intimacy in dating relationships. Journal of Communication, 63(3), (556-577).
Jin, B. & Pena, J. (2008). Mobile communication in romantic relationships: the relationship between mobile phonr use and relational uncertainty, intimacy, and attachment. Paper Presented at the Annual Meeting of the NCA 94th Annual Convention, TBA, San Diego, CA. dalam: http://citation.allacademic.com/meta/p_mla_apa_research_citation/2/5/9/0/4/p259043_index.html (diakses pada tanggal 19 November 2014, 08:58 WIB).
Kauffman, M. H. (2000). Relational maintenance in long-distance dating relatonships: Staying close. dalam: http://scholar.lib.vt.edu/theses/available/etd-08292000-23510049/unrestricted/melissa.pdf (Diakses pada 10 November 2014, 01:59 WIB)
Kelmer, G., Rhoades, G. K., Stanley, S. & Markman, H. J. (2013). Relationship quality, commitment, and stability in long-distance relationship. Family process, 52(2). dalam: http://web.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=db3a6ec2-3787-4dcd-b738-e552b6fe87c4%40sessionmgr11&vid=5&hid=18 (Diakses pada tanggal 17 Oktober 2013, 13:40 WIB).
Khoman, M., & Meilona, R. (2008). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan trust pada individu yang menjalani pacaran jarak jauh. Universitas Sumatera Utara. dalam: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19766/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal 13 November 2013, 12:11 WIB)
22
Merolla, A. (2013). Four tips for navigating long-distance relationship. Science of Relationship. dalam: http://www.scienceofrelationships.com/home/2013/8/19/four-tips-for-navigating-long-distance-relationships.html (diakses pada tanggal 19 November 2014, 09:40 WIB)
Miller, R. S., & Lefcourt, H. M. (1982). The assesment of social intimacy. Journal of Psychology Personality Assessment 46(5). dalam:http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?sid=ee4ab71d-3ae4-4c32-98b7-2988e8b6c447%40sessionmgr4004&vid=11&hid=4106 (diakses pada tanggal 23 Juli 2014, 18:31)
Miller, R. S., & Perlman, D. (2009). Intimate relationship 5th edition. Mc-Graw Hill.
Myers, D. G. (2012). Psikologi sosial Buku 2 Edisi 10. Jakarta: Salemba Humanita.
Nisa, S. & Sedjo, P. (2010). Konflik pacaran jarak jauh pada individu dewasa muda. Jurnal Psikologi3(2), dalam: http://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/viewFile/229/172 (diakses pada tanggal 25 Oktober 2013, 14:24 WIB).
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2007). Human development 10th edition. Inc New York: Mc-Graw Hill.
Papalia, D. E., Sterns, H., Feldman, R. D., & Camp, C. (2002). Adult development and aging. Mc-Graw Hill.
Purba, R. H. & Siregar, R. H. (2006). Gambaran stres pada mahasiswa yang menjalin pacaran jarak jauh. Psikologia, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,2(2). dalam: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=PSIKOLOGIA%2C+Volume+2%2C+No.+2%2C+Desember+2006&source=web&cd=3&ved=0CE4QFjAC&url=http%3A%2F%2Fbpad.sumutprov.go.id%2Fdownload.php%3Ff%3Dfiles%2Ffiles%2Fpdf%2FPsikologia%2520Des%25202006.pdf&ei=trS_T-GUE-TUige0tJmdCg&usg=AFQjCNGT2uRoKgHj1hbZnMsVlGCiy54Aag. (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013, 14:28 WIB)
Putri, Angelia S. (2010). Cinta dan orientasi masa depan hubungan romantis pada dewasa muda yang berpacaran. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. dalam: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20295591-S-Angelia%20Sun%20Putri.pdf (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013, 09:39 WIB)
Rathus, S. A., Nevid, J. S., & Rathus, L. F. (2002). Human sexuality in a world of diversity, ed 5. Allyn & Bacon.
Santrock, J.W. (2002). Life-span development: perkembangan masa hidupedisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Shaffer, P. (2010). Visibility and responsiveness: their influences on the impact of social support. Iowa State University. Dalam:
23
http://lib.dr.iastate.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2557&context=etd (Diakses pada tanggal 12 November 2014, 23:30 WIB).
Strong, B., DeVault, C., & Cohen, H. (2008). The mariage and family experience: intimate relationship in a changing society. Belmont, USA: Thomson Higher Education.
Sugiyono. (2003). Metodologi penelitian bisnis. Bandung: Pusat Bahasa Depdiknas.
Suwito, L. D. (2013). Hubungan Komitmen Dalam Berpacaran Dengan Subjective Well-Being Pada Mahasiswa UKSW Salatiga Yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak Jauh. Skripsi. Tidak diterbitkan. Salatiga: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
Upton, P. (2012). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Westheimer, R. K., & Lopater, S. (2004). Human sexuality: a psychosocial perspective. US: Lippincott Williams & Wilkins.
Withbourne, S. K. (2012). What’s your intimacy quotient?. Psychology Today. dalam: http://www.psychologytoday.com/blog/fulfillment-any-age/201203/what-s-your-intimacy-quotient(diakses pada tanggal 12 November 2014, 01:20)
Yudistriana, K., Basuki, A. M. H. & Harsanti I. (2010). Intimasi pada pria dewasa awal yang berpacaran jauh beda kota. Jurnal Psikologi, 3(2). dalam: http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2546/1/Intimasi%20Pada%20Pria%20Dewasa%20Awal%20Yang%20Berpacaran%20Jarak%20Jauh%20Beda%20Kota.pdf (Diakses pada tanggal 29 Oktober 2013, 09:32 WIB)