14 - sinta.unud.ac.id ii.pdf · menjelaskan, keyakinan spiritual adalah pondasi penting dalam...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Perkawinan
1. Pengertian
Menurut Fower dan Olson (1993) kepuasan perkawinanadalah evaluasi terhadap
area-area dalam perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran,
komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual,
pengasuhan anak, keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Sadarjoen (2005)
menjelaskan bahwa kepuasan perkawinan adalah sejauh mana pasangan suami istri mampu
memenuhi kebutuhan satu sama lain serta sejauh mana kebebasan dari hubungan yang
diciptakan memberi peluang bagi pasangan suami istri memenuhi kebutuhan dan harapan
satu sama lain dibawa sebelum perkawinan terlaksana. Matlin (2008) juga menjelaskan
bahwa perkawinan yang memuaskan adalah perkawinan yang stabil, langgeng, bahagia,
saling memahami dan menghargai. Lestari (2012), menambahkan kepuasan perkawinan
merujuk pada perasaan positif yang dimiliki pasangan suami istri dalam perkawinan yang
maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan.
Dari beberapa definisi di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
definisi kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993). Adapun definisi kepuasan
perkawinan menurut Fower dan Olson (1993) adalah evaluasi terhadap area-area dalam
perkawinan yang mencakup isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian
konflik, pengelolaan keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak,
keluarga dan teman serta orientasi keagamaan. Definisi kepuasan perkawinan yang
disampaikan oleh Fower dan Olson (1993) lebih komprehensif karena melihat kepuasan
perkawinan secara keseluruhan dibandingkan dengan definisi kepuasan milik tokoh lain
yang hanya berfokus pada aspek afektif.
14
15
2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan
Aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut Fower dan Olson (1993) terdiri dari 10
aspek yaitu :
a. Isu Kepribadian
Aspek kepuasan ini diukur d
ari bagaimana persepsi individu terhadap perilaku dan kepribadian pasangan. Olson dan
Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa penerimaan terhadap kepribadian
pasangan dapat berdampak positif terhadap kebahagiaan perkawinan yang dirasakan.
b. Kesetaraan Peran
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan dan sikap pasangan suami terhadap
peran dalam pernikahan. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa
dalam relasi suami istri pembagian peran rumah tangga sangat diperlukan.
c. Komunikasi
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu merasa nyaman pada pola-pola
komunikasi dalam berbagi informasi baik emosional atau kognitif bersama pasangan.
Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan pentingnya keterampilan
berkomunikasi agar tidak menimbulkan salah persepsi antar pasangan suami istri.
d. Penyelesaian Konflik
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana cara individu dan pasangan menyelesaikan
konflik-konflik pernikahan. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa
aspek ini berfokus pada keterbukaan antar pasangan suami istri terhadap isu-isu yang
menimbulkan konflik serta strategi dalam menyelesaikan konflik tersebut.
16
e.Pengelolaan Keuangan
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan mengelola keuangan
keluarga. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa keseimbangan
antara pendapatan dan belanja keluarga harus menjadi tanggung jawab bersama.
f.Waktu Luang
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan menghabiskan waktu
luang. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa pasangan harus
mampu menyeimbangkan antara waktu berpisah dan waktu bersama.
g. Hubungan Seksual
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana perasaan individu dan pasangan terkait
hubungan seksual. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012) menjelaskan bahwa relasi
seksual merupakan kekuatan penting bagi kebahagiaan pasangan suami istri.
h.Pengasuhan Anak
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana cara individu dan pasangan dalam mengasuh
serta membesarkan anak. Aspek ini merujuk pada bagaimana pasangan suami istri
menjalani tanggung jawab sebagai orangtua.
i.Keluarga dan Teman
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu menjalin hubungan dengan anggota
keluarga, keluarga dari pasangan dan teman-teman. Olson dan Olson (dalam Lestari,
2012) menjelaskan bahwa keluarga dan teman merupakan konteks penting dalam
membangun relasi yang berkualitas.
j. Orientasi Keagamaan
Aspek kepuasan ini diukur dari bagaimana individu dan pasangan mempercayai dan
mempraktekkan agama dalam pernikahannya. Olson dan Olson (dalam Lestari, 2012)
17
menjelaskan, keyakinan spiritual adalah pondasi penting dalam kebahagiaan
perkawinan.
Adapun aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut tokoh lain seperti Clayton
(dalam Pujiastuti & Retnowati, 2004), mengemukakan beberapa aspek kepuasan
perkawinan yang meliputi kemampuan sosial, persahabatan dalam perkawinan, ekonomi
keluarga, kekuatan perkawinan, hubungan dengan keluarga besar, persamaan ideologi,
keintiman perkawinan, taktik komunikasi. Sadarjoen (2005) menyebutkan aspek-aspek
kepuasan perkawinan meliputi adanya komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan,
seksualitas, kejujuran serta kepercayaan. Walgito (2010) menjelaskan aspek-aspek
kepuasan perkawinanmeliputi aspek fisiologis seperti kebutuhan seksual, aspek psikologis
seperti mendapatkan kasih sayang, perlindungan, rasa aman dan dihargai, aspek sosial di
mana manusia hidup dengan norma yang berlaku dimasyarakat, aspek religi di mana
menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan pernikahan.
Dari beberapa pendapat terkait aspek-aspek kepuasan perkawinan di atas yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek kepuasan perkawinan menurut Fower
dan Olson (1993). Adapun aspek-aspek kepuasan menurut Fower dan Olson (1993)
meliputi isu kepribadian, kesetaraan peran, komunikasi, penyelesaian konflik, pengelolaan
keuangan, waktu luang, hubungan seksual, pengasuhan anak, keluarga dan teman serta
orientasi keagamaan. Aspek-aspek kepuasan perkawinan yang disampaikan oleh Fower
dan Olson (1993) sangat komprehensif karena mencakup aspek yang lebih luas
dibandingkan dengan aspek kepuasan milik tokoh lain.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Perkawinan
Adapun faktor–faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yang disampaikan
oleh beberapa tokoh diantaranya Miller (dalam Hurlock, 1980) menyebutkan beberapa
faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan seperti jumlah sosialisasi yang
18
diantisipasi, kemudahan transisi peran keluarga, lama perkawinan, jumlah anak-anak,
status sosial ekonomi keluarga, jarak kelahiran anak-anak dan jumlah sahabat. Hurlock
(1980) menjelaskan bahwa kemampuan orang dewasa dalam memecahkan masalah
merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepuasan dan kebahagiaan dalam
menjalani sebuah perkawinan. Surya (2001) menyebutkan lima faktor penting yang dapat
memengaruhi keharmonisan dan kebahagiaan perkawinan. Adapun faktor-faktor yang
dimaksud meliputi landasan ketauhidan keluarga, penyesuaian perkawinan, suasana
hubungan inter dan antar keluarga, kesejahteraan ekonomi dan pendidikan keluarga.
Olson dan Defrain (2003) memaparkan bahwa ada beberapa faktor yang
memengaruhi kebahagiaan perkawinan, faktor-faktor tersebut meliputi ekspektasi yang
tidak realistik terhadap perkawinan, menikahi orang yang salah dengan alasan yang salah,
perkawinan merupakan ikatan yang penuh tantangan dan adanya sedikit usaha dalam untuk
meningkatkan kemampuan berelasi dengan pasangan. Faktor fisiologis juga memengaruhi
kepuasan perkawinan. Adapun faktor-faktor fisiologis yang dimaksud seperti kesehatan,
keturunan dan kemampuan mengadakan hubungan seksual terhadap kepuasan dalam
perkawinan (Walgito, 2010). Sadarjoen (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
memengaruhi tercapainya kepuasan perkawinan meliputi komunikasi yang baik, keintiman
dan kedekatan, seksualitas, kejujuran dan kepercayaan.
Papalia, Old dan Feldman (2008) menyebutkan bahwa komitmen merupakan faktor
terpenting dalam menentukan kesuksesan sebuah perkawinan. Brubaker (dalam Papalia,
Old & Feldman, 2008) juga menyebutkan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi
kesuksesan perkawinan diantaranya, komunikasi, pembuatan keputusan dan penyelesaian
konflik. Robinson dan Blanton (dalam Papalia,dkk.(2007) menyebutkan bahwa faktor-
faktor penting yang menentukan suksesnya perkawinan adalah komunikasi yang baik,
kesamaan persepsi akan hubungan, dan orientasi keagamaan.
19
Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi kepuasan perkawinan menurut Marano
(dalam Cahyowinarti, 2010) seperti kerjasama dalam pemecahan masalah,adanya
pengalaman yang menyenangkan yang dialami bersama,kualitas dari komunikasi yang
terjalin sebelum perkawinan, adanyakomunikasi cinta, penerimaan sikap dan kebiasaan
dari pasangan. Calhoun dan Acocella (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa faktor
penting yang memengaruhi tercapainya keutuhan keluarga adalah keberhasilan dalam
melakukan penyesuaian antar pasangan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirangkum bahwa terdapat beberapa faktor
yang memengaruhi kepuasan di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor tersebut meliputi
kondisi ekonomi, penyelesaian konflik, kualitas komunikasi dan penyesuaian perkawinan.
4. Tahapan Kehidupan Perkawinan
Menurut Menaghan (dalam Sadarjoen, 2005), tahapan kehidupan perkawinan
mengungkapkan tentang tahap-tahap kehidupan yang terjadi di dalam perkawinan. Faktor
penyebab terjadinya tahapan kehidupan di dalam perkawinan dikarenakan adanya tiga area
kehidupan pasangan yang terpisah tetapi saling tumpang tindih. Adapun ketiga area
kehidupan yang dimaksud meliputi perubahan dalam peran parental, perubahan dalam
status ekonomi baik pendapatan atau konsumsi dan perubahan dalam peran yang
dimainkan di luar kehidupan keluarga.
Perubahan pada peran parental di dalam kehidupan perkawinan dapat diilustrasikan
pada tiga peristiwa yaitu kelahiran anak pertama, anak pada masa remaja dan anak pada
masa dewasa. Kelahiran anak pertama memberikan dampak paling besar pada pasangan
suami istri. Hal itu dikarenakan kehadiran anak memaksa pasangan untuk menambah peran
baru sebagai orangtua. Pada tahap anak dengan masa remaja, orangtua merasa tidak
nyaman dengan pola asuh yang telah diterapkan. Tahap terakhir dengan anak pada masa
20
dewasa. Pada tahap ini peristiwa yang terjadi adalah anak meninggalkan rumah dan
orangtua mengalami kekosongan sebagai pertanda berakhirnya aktivitas parental.
Perubahan pada status ekonomi di dalam perkawinan. Perubahan status ekonomi
terjadi berkaitan dengan pendidikan pasangan, pekerjaan pasangan dan jumlah serta jarak
kehadiran anak. Ada dua periode di dalam tahap kehidupan perkawinan yang sangat rentan
terhadap stres ekonomi. Adapun periode tersebut terjadi pada awal perkawinan dan saat
pensiun tiba. Rendahnya penghasilan keluarga dapat memberikan efek negatif bagi kualitas
kehidupan pasangan.
Perubahan dalam peran yang dimainkan di luar kehidupan keluarga. Peran pada
area ini memiliki variasi yang tidak sedikit. Salah satu contoh yang bisa diberikan adalah
kembalinya istri ke tempat kerja setelah beberapa tahun tinggal di rumah untuk mengasuh
anak. Perubahan peran di dalam rumah tangga dapat menjadi sumber stres bagi
kelangsungan perkawinan.
Perubahan tahapan kehidupan adalah faktor penting dalam memahami gaya dan
pola interaksi di dalam perkawinan. Pada tahapan kehidupan terdapat grafik naik turun
pada aspek biologis, emosional dan psikologis yang terjadi tanpa mempertimbangkan
perbedaan latar belakang ekonomi, pendidikan, kepribadian atau kebiasaan pasangan.
Glik (dalam Simanjuntak, 2013) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan
peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan perkawinan. Tahap pertama, periode pada saat
pasangan melangsungkan perkawinan dan kelahiran anak pertama. Pada tahap pertama
pasangan suami istri saling menyesuaikan diri satu sama lain pada peran baru yang
dimiliki. Tahap kedua adalah periode mengasuh dan membesarkan anak. Istri terikat pada
tugas mengurus rumah dan suami terikat pada tugas untuk mencari nafkah untuk memenhi
kebutuhan ekonomi rumah tangga. Cinta antara istri dan suami berkembang menjadi cinta
ibu dan ayah serta cinta ibu dan ayah berkembang menjadi cinta orangtua pada
21
perkembangan anak. Pada tahap ketiga anak-anak tumbuh besar dan menjadi dewasa,
kemudian menikah dan membentuk keluarga sendiri. Orangtua pada periode ini memiliki
banyak waktu untuk bermesraan satu sama lain.
Adapun beberapa tokoh lain yang juga memaparkan teori tahapan kehidupan
perkawinan meliputi Sorokin, Zimmerman dan Galpin (Duvall & Miller, 1985),
Kirkpatrick, dkk.,(dalam Duvall & Miller, 1985), Bigelow (dalam Duvall & Miller, 1985)
dan Duvall (dalam Duvall & Miller, 1985). Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut
Sorokin, Zimmerman dan Galpin (Duvall & Miller, 1985) terdapat empat tahapan yang
meliputi pasangan suami istri yang baru memulai kehidupan ekonomi secara mandiri,
pasangan suami istri dengan satu anak atau lebih, pasangan suami istri dengan anak dewasa
yang sudah mandiri dan pasangan suami istri yang mulai menua.
Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut Kirkpatrick, dkk.,(dalam Duvall &
Miller, 1985) juga terdapat empat tahapan yang meliputi keluarga dengan anak prasekolah,
keluarga dengan anak bersekolah, keluarga dengan anak Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan keluarga dengan anak yang sudah dewasa. Teori tahapan kehidupan perkawinan
menurut Bigelow (dalam Duvall & Miller, 1985) terdapat tujuh tahapan yang meliputi
periode pembentukan, kehadiran anak dan anak dengan masa prasekolah, anak pada masa
Sekolah Dasar (SD), anak pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA), anak pada masa
menjadi mahasiswa, masa pemulihan dan masa pensiunan.
Teori tahapan kehidupan perkawinan menurut Duvall (dalam Duvall & Miller,
1985) terdapat delapan tahapan yang meliputi pasangan suami istri tanpa adanya kehadiran
anak, kehadiran anak, keluarga dengan anak pada masa prasekolah, keluarga dengan anak
pada masa Sekolah Dasar (SD), keluarga dengan anak pada masa remaja, keluarga dengan
anak pada masa dewasa muda, orangtua pada usia paruh baya dan penuaan anggota
keluarga. Berdasarkan beberapa pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tahapan
22
kehidupan perkawinan meliputi keluarga dengan kehadiran anak pertama, keluarga dengan
anak pada masa remaja dan keluarga dengan anak pada masa dewasa.
B. Penyesuaian Perkawinan
1. Pengertian
Spanier (1976) menjelaskan bahwa penyesuaian perkawinan ditentukan oleh
seberapa sering keselarasan yang dihasilkan pasangan suami istri karena perbedaan
pendapat diantara keduanya. Duvall dan Miller (1985) juga menjelaskan bahwa
penyesuaian perkawinan adalah proses membiasakan diri pada kondisi baru dan berbeda
sebagai pasangan suami istri dengan harapan bahwa pasangan suami istri akan menerima
tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami istri. Das dan Gupta (1997)
mengatakan penyesuaian perkawinan adalah sebuah kesesuaian yang dikaitkan antara
persepsi peran dan performa pada pasangan, dengan kata lain jika performa peran yang
dilakukan suami sesuai dengan apa yang seharusnya menurut istri atau sebaliknya maka
kebahagian perkawinan akan lebih tinggi.
Lock dan William (dalam Das & Gupta, 1997) juga menjelaskan bahwa
penyesuaian perkawinan adalah penyesuaian antara suami dan istri ke titik persahabatan,
kesepakatan tentang nilai-nilai dasar keintiman perasaan, tingkah laku dan faktor-faktor
lain yang tidak teridentifikasi. Laswell dan Laswell (dalam Donna & Lengkong, 2009)
menambahkan bahwa penyesuaian perkawinan merupakan penyesuaian satu sama lain
diantara dua individu terhadap kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan harapan-
harapan.
Dari beberapa definisi di atas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
definisi penyesuaian perkawinan menurut Duvall dan Miller (1985). Adapun definisi
kepuasan perkawinan menurut Duvall dan Miller (1985) adalah proses membiasakan diri
23
pada kondisi baru dan berbeda sebagai pasangan suami istri dengan harapan bahwa
pasangan suami istri akan menerima tanggung jawab dan memainkan peran sebagai suami
istri. Definisi penyesuaian perkawinan yang disampaikan oleh Duvall dan Miller (1985)
sangat komprehensif karena melihat penyesuaian perkawinan secara keseluruhan, baik
dari proses sampai pada tahap dijalankannya peran dalam keluarga sebagai hasil dari
penyesuaian sebagai pasangan suami istri.
2. Aspek-aspek Penyesuaian Perkawinan
Aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut Spanier (1976) terdiri dari empat
aspek yaitu :
a. Kesepakatan Diadik
Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari kesepakatan antara individu dan pasangan
terkait dengan urusan rumah tangga. Adapun urusan rumah tangga yang dimaksud
meliputi mengatur keuangan keluarga, menentukan liburan keluarga (rekreasi), hal
keagamaan, memilih teman, menentukan nilai dan norma, prinsip atau pandangan
hidup, kesepahaman dalam cara menghadapi mertua, visi dan misi yang sama, jumlah
waktu yang dihabiskan bersama, pengambilan keputusan besar, pembagian pekerjaan
rumah tangga, waktu luang dan menjalankan hobi dan pemilihan pekerjaan (Spanier
dalam Busby, dkk. 1995).
b. Kepuasan Diadik
Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari tingkat kepuasan hubungan antara individu dan
pasangan. Pada aspek ini disusun berdasarkan persepsi individu terhadap persoalan-
persoalan yang terjadi dalam perkawinan. Aspek ini mengukur banyaknya ketegangan
yang terjadi di dalam perkawinan. Ketegangan yang dimaksud meliputi penyelesaian
konflik, harapan terhadap hubungan, penyesalan terhadap perkawinan, pertengkaran,
24
tingkat kebahagiaan dan kualitas hubungan dengan pasangan (Spanier dalam Busby,
dkk. 1995).
c. Kedekatan Diadik
Aspek penyesuaian ini dapat diukur dari kedekatan antara individu dan pasangan dalam
melakukan dan menikmati berbagai kegiatan bersama. Aspek ini berfokus kepada
minat-minat dan aktivitas-aktivitas yang dilakukan bersama pasangan, membangkitkan
pertukaran ide, tertawa bersama, mendiskusikan sesuatu dan bekerja sama dalam suatu
pekerjaan (Spanier dalam Busby, dkk. 1995).
d. Pernyataan Perasaan
Aspek penyesuaian ini diukur dari bagaimana individu mengekspresikan perasaan dan
hubungan seksual. Aspek ini berfokus bagaimana pasangan mendemonstrasikan
perasaan, hubungan seksual, menjadi lelah akan hubungan seksual dan tidak
menunjukkan cinta (Spanier dalam Busby, dkk. 1995).
Adapun aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut tokoh lain seperti Landis
dan Landis (1970) meliputi hubungan dengan mertua, hubungan terkait seksual, aktivitas
sosial dan rekreasi, pertemanan, keyakinan dan melatih serta mendisiplinkan anak.
Atwater dan Duffy (1999), juga menyebutkan beberapa aspek-aspek penyesuaian
perkawinan diantaranya pembagian tanggung jawab perkawinan, komunikasi dan konflik,
seks dalam perkawinan, perubahan yang terjadi sepanjang waktu di dalam kehidupan per-
kawinan.
Dari beberapa pendapat terkait aspek-aspek penyesuaian perkawinan di atas yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek penyesuaian perkawinan menurut
Spanier (1976). Adapun aspek-aspek kepuasan menurut Spanier (1976) meliputi
kesepakatan diadik, kepuasan diadik, kedekatan diadik dan pernyataan perasaan. Aspek-
aspek penyesuaian perkawinan yang disampaikan oleh Spanier (1976) sangat
25
komprehensif karena lebih merepresentasikan berbagai penyesuaian yang meliputi
kesepakatan aturan, kepuasan, kedekatan dan afeksi dalam perkawinan dibandingkan
dengan aspek penyesuaian perkawinan oleh tokoh lain.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Perkawinan
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kepuasan perkawinan yang disampaikan
oleh Turner dan Hems (dalam Donna & Lengkong, 2009) meliputi konsep pasangan yang
ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan latar belakang, minat dan kepentingan bersama,
kesamaan nilai, konsep peran, perubahan dalam pola hidup. Hurlock (1980) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian perkawinan meliputi persiapan yang
terbatas untuk perkawinan, peran dalam perkawinan, kawin muda, konsep yang tidak
realistis tentang perkawinan, perkawinan campur, pacaran yang dipersingkat, konsep
perkawinan yang romantis dan kurangnya identitas. Atwater (1983) menambahkan bahwa
faktor-faktor penting yang memengaruhi penyesuaian perkawinan adalah komunikasi dan
kemampuan interpersonal.
Narvan (dalam Atwater, 1983) memaparkan bahwa komunikasi efektif adalah
faktor penting dalam menjalankan penyesuaian perkawinan. Surya (2001) menyebutkan
tujuh faktor yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor
tersebut meliputi keterbatasan persiapan perkawinan, peran-peran di dalam perkawinan,
perkawinan pada usia dini, perkawinan campuran atau masih ada hubungan keluarga,
perkenalan yang singkat, konsep perkawinan yang romantis dan kurangnya identitas.
Hanaco dan Wulandari (2013) menyebutkan bahwa kesiapan mental merupakan faktor
penting dalam menghadapi penyesuaian perkawinan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dirangkum bahwa terdapat beberapa faktor
yang memengaruhi penyesuaian di dalam perkawinan. Adapun faktor-faktor tersebut
meliputi persiapan yang terbatas untuk perkawinan, peran dalam perkawinan, kawin muda,
26
konsep yang tidak realistis tentang perkawinan, perkawinan campur, pacaran yang
dipersingkat, konsep perkawinan yang romantis, kurangnya identitas dan kualitas
komunikasi.
C. Keluarga Inti dan Keluarga Batih
Pada latar belakang telah disebutkan bahwa dalam masyarakat Bali masih berlaku
beberapa tipe perkawinan yang meliputikeluarga intidan keluarga batih. Adapun definisi
keluarga intidan keluarga batih tertera pada paragraf berikut :
1. Definisi Keluarga Inti
Menurut Kimmel (1974), keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri dari ibu,
ayah dan anak-anak. Partowisastro (1983) berpendapat bahwa keluarga intiadalah struktur
keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Sussman, Steinmetz dan Peterson (1999),
juga berpendapat bahwa keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari orangtua dan anak.
Georgas, dkk. (2006), menjelaskan keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari suami,
istri dan keturunannya yang tinggal dalam satu atap. Elliott (2008), juga menjelaskan
bahwa keluarga intiadalah keluarga yang terdiri dari seorang ayah dan ibu yang
membesarkan anak di dalam rumahnya sendiri.
Bjorklund dan Bee (2009) menyebutkan bahwa keluarga intiadalah keluarga yang
terdiri dari orangtua dan anak. Murdock (dalam Lestari, 2012), mengatakan keluarga
intiadalah keluarga yang di dalamnya hanya terdapat keluarga inti. Lee (dalam Lestari,
2012), juga mengatakan bahwa keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari
tiga posisi yang meliputi suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak. Pengertian keluarga inti
menurut Swarsi, dkk. (1988), keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri dari suami,
istri dan anak.
27
Swarsi, dkk.(1986) menjelsakan bahwa seorang istri yang tinggal di dalam keluarga
intimemiliki peranan yang lebih. Salah satunya dalam pembuatan dan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan keluarga. Istri bukan hanya semata-
mata sebagai anggota keluarga yang selalu menerima semua keputusan suami tetapi juga
menjadi partner suami dalam membuat dan mengambil sebuah keputusan. Berdasarkan
beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa
keluarga intiadalah struktur keluarga yang terdiri suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak.
2. Definisi Keluarga Batih
Tipe perkawinan kedua yang juga masih berlaku di dalam masyarakat Bali adalah
keluarga batih. Menurut Kimmel (1974) keluarga batihadalah keluarga inti yang memiliki
ikatan pertalian dengan anggota keluarga yang lain. Derlega dan Janda (1978) berpendapat
bahwa keluarga batihadalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari lebih dari dua generasi
yang tinggal bersama. Georgas, dkk. (2006) menjelaskan bahwa keluarga batihadalah
keluarga yang terdiri dari semua kerabat yang berdarah langsung. Bjorklund dan Bee
(2009) juga menjelaskan bahwa keluarga batihadalah keluarga yang terdiri dari anggota
keluarga lain seperti kakek nenek, bibi, paman dan sepupu.
Lee (Lestari, 2012) menyebutkanbahwa keluarga batih adalah keluarga yang di
dalamnya menyertakan posisi lain selain tiga posisi berikut, suami atau ayah, istri atau ibu,
dan anak. Terdapat tiga bentuk keluarga batih. Bentuk keluarga batih yang pertama yaitu
keluarga bercabang. Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak dan hanya
seorang, yang sudah melangsungkan perkawinan masih tinggal dalam rumah orangtuanya.
Bentuk kedua dari keluarga batih adalah keluarga berumpun. Keluarga berumpun terjadi
manakala lebih dari satu anak yang sudah kawin tetap tinggal bersama kedua orangtuanya.
Bentuk keluarga batih yang ketiga adalah keluarga beranting. Bentuk ini terjadi manakala
di dalam keluarga terdapat generasi ketiga (cucu) yang sudah kawin dan tetap tinggal
28
bersama (Lestari, 2012). Pengertian keluarga batihmenurut Swarsi, dkk.(1986) keluarga
batihadalah struktur keluarga yang terdiri dari keluarga inti senior beserta keluarga inti dari
anak lelaki yang telah kawin di mana mereka tinggal dalam satu rumah atau pekarangan
dan makan dalam satu dapur.
Baktiari (2007) menjelaskan bahwa sebelum istri resmi masuk ke dalam keluarga
batih suami, istri harus melakukan upacara pelepasan yaitu memohon izin untuk
meninggalkan para leluhur di rumah istri. Upacara pelepasan dilakukan saat upacara
perkawinan berlangsung. Pada saat upacara pelepasan selesai maka sejak hari itu istri ikut
memuja leluhur suami dan secara otomatis menjadi anggota krama adat di banjar suami.
Swarsi, dkk.(1986) juga menjelaskan bahwa tinggal dengan keluarga batih suami, berarti
istri juga akan tinggal dengan anggota keluarga lain seperti mertua dan ipar. Oleh karena
itu, penyesuaian perkawinan yang baik sangat dibutuhkan oleh istri agar mampu menjalani
kehidupan perkawinan yang mudah di dalam lingkungan keluarga suami.
Pada keluarga batih di Bali, mertua perempuan memiliki peranan yang penting
pada menantu perempuan. Mertua perempuan memiliki peran untuk memberikan petunjuk
dan nasihat kepada menantu perempuan. Petunjuk yang dimaksud seperti cara membina
keluarga bahagia. Adapun nasihat yang diberikan meliputi gambaran hubungan, perlakuan
dan sopan santun sebagai seorang istri kepada suami serta seorang ibu kepada anak-
anaknya. Pada saat terjadi konflik antara menantu perempuan dan anak laki-lakinya,
mertua perempuan berperan menjadi penengah yang berusaha mendamaikan dan memberi
petuah-petuah.
Peran mertua perempuan sebagai penengah dan pemberi petuah pada anak dan
menantu perempuan tidak selamanya berjalan seperti yang diharapkan. Harapan bahwa
menantu perempuan selalu menerima petunjuk dan nasihat dari mertua. Oleh karena itu,
dibutuhkan penyesuaian oleh menantu perempuan dalam menerima petunjuk dan nasihat
29
yang diberikan oleh mertua, karena ada kalanya petunjuk dan nasihat yg diberikan oleh
mertua tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh menantu perempuan. Ketidaksesuaian
tersebut mampu menimbulkan ketegangan bahkan konflik antara mertua perempuan
dengan menantu perempuan (Swarsi, dkk.1986). Berdasarkan beberapa definisi yang telah
disebutkan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa keluarga batihadalah keluarga luas
yang menyertakan posisi lain selain posisi siuami atau ayah, istri atau ibu, dan anak.
D. Peranan Perempuan Bali di dalam Keluarga
Matlin (2008) menjelaskan bahwa perempuan adalah mahkluk yang memiliki
pengalaman unik. Pengalaman unik yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Adapun pengalaman
unik yang dimaksud meliputi menstruasi, hamil, melahirkan dan menopause. Berbicara
tentang pengalaman unik, pengalaman unik yang dialami oleh perempuan tidak hanya
terbatas pada aspek biologis seperti yang telah disebutkan. Aspek-aspek lain yang memberi
karakteristik tersendiri bagi perempuan seperti aspek emosi dan aspek sosial. Pada aspek
emosi, Matlin (2008) memaparkan bahwa perempuan memiliki perempuan lebih sensitif
dan lebih ekspresif dalam mengungkapkan emosi yang dimiliki daripada laki-laki.Pada
aspek terakhir yaitu aspek sosial. Salah satu indikator jika membahas tentang aspek sosial
maka tidak terlepas dari peran yang dimiliki. Matlin (2008) kembali menjelaskan bahwa
peran yang dimiliki oleh laki dan perempuan dipengaruhi oleh budaya laki-laki dan
perempuan berasal.
. Salah satu daerah yang mengatur peran perempuan baik di dalam keluarga dan
masyarakat adalah Bali. Arsana dkk.(1986) memaparkan peran-peran yang dimiliki oleh
perempuan Bali yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di dalam
keluarga inti atau keluarga batih. Adapun peran domestik perempuan Bali meliputi
mengatur peralatan rumah tangga, memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu,
30
mengasuh dan mendidik anak-anak. Peran perempuan Bali dalam kegiatan sosial
keagamaan atau adat di masyarakat meiputi menyiapkan sajen untuk upacara, gotong
royong dan tolong menolong.
Arsana, dkk. (1986) menambahkan bahwa dalam perkembangan yang lebih luas
terdapat perubahan peran pada perempuan Bali terkait keterlibatan perempuan Bali di
dalam lapangan perekonomian dengan tingkat produktivitas yang tidak kalah penting bagi
pendapatan rumah tangga. Perubahan peran dalam kegiatan ekonomi lebih menonjol pada
perempuan Bali yang tinggal di daerah perkotaan. Hasil penelitian menemukan sebesar
71,5% kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perempuan Bali di desa Pemecutan Kelod
berada di luar rumah sedangkan sisanya sebesar 28,5% kegiatan ekonomi dilakukan di
dalam rumah. Pemaparan hasil penelitian tersebut memberikan gambaran tentang
keterlibatan istri dalam perekonomian keluarga semakin permanen.
Keikutsertaan istri dalam kegiatan perekonomian memengaruhi peran dan
kedudukan istri di dalam rumah tangga. Pada istri di pedesaan karena keterlibatan dalam
kegiatan ekonomi tidak semenonjol istri di kota, maka waktu kosong yang dimiliki diisi
dengan merangkai janur untuk kegiatan upacara atau berbincang mengenai masalah
keluarga dengan tetangga. Pada istri di perkotaan, karena keterlibatan dalam kegiatan
ekonomi sangat menonjol, maka istri tidak memiliki cukup waktu untuk merangkai janur
atau berbincang mengenai masalah keluarga dengan tetangga. Oleh karena itu, istri
diperkotaan dalam memenuhi kebutuhan perlengkapan upacara seperti janur memiliki
kecenderungan dengan cara membeli (Arsana, dkk.1986).
Menurut hasil penelitian oleh Arsana, dkk.(1986), menyebutkan bahwa pada istri
yang tinggal di daerah perkotaan yaitu di desa Pemecutan Kelod dalam melakukan
kegiatan merangkai janur untuk kegiatan upacara tidak seintensif di pedesaan. Pada
upacara kecil sehari-hari para istri biasanya membeli janur atau perlengkapan upacara di
31
pasar. Pada upacara besar seperti perkawinan, kematian, atau upacara siklus hidup
dilakukan secara beramai-ramai.
Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perempuan Bali
yang telah melangsungkan perkawinan baik yang tinggal di keluarga inti atau keluarga
batih memiliki peran-peran yang wajib dilaksanakan dalam ranah domestik dan
masyarakat. Adapun peran domestik perempuan Bali meliputi mengatur peralatan rumah
tangga, memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu, mengasuh dan mendidik anak-
anak. Peran perempuan Bali dalam kegiatan sosial keagamaan atau adat di masyarakat
meiputi menyiapkan sajen untuk upacara, gotong royong dan tolong menolong.
D. Dinamika Antar Variabel
Menurut Hornby (dalam Walgito , 2010)perkawinan adalah bersatunya laki-laki
dan perempuan sebagai suami istri. Perkawinan memberikan tantangan kepada pasangan
suami istri untuk menyesuaikan diri satu sama lain sehingga penyesuaian perkawinan
mampu berjalan dengan mudah. Adapun beberapa faktor yang memengaruhi penyesuaian
terhadap pasangan meliputi konsep pasangan yang ideal, pemenuhan kebutuhan, kesamaan
latar belakang, minat dan kepentingan bersama, keserupaan nilai, konsep peran dan
perubahan dalam pola hidup (Hurlock, 1980).
Hurlock (1980) menambahkan bahwa penyesuaian terhadap pasangan merupakan
penyesuaian paling pokok pertama kali yang akan dihadapi oleh pasangan suami istri. Jika
satu sama lain tidak bisa menyesuaikan diri pada karakter dan kebiasaan pasangan maka
hal itu bisa memunculkan konflik perkawinan. Atwater (1983) menyampaikan bahwa
penyesuaian perkawinan satu sama lain merupakan faktor yang memengaruhi tercapainya
kepuasan perkawinan. Hasil penelitian pada 409 pasangan menyebutkan bahwa kepuasan
32
perkawinan akan bisa dicapai jika pasangan mampu menyesuaikan diri pada perbedaan
satu sama lain (Landis & Landis, 1970).
Matlin (2008) mengungkapkan bahwa perbedaan karakteristik gender berpengaruh
terhadap kepuasan perkawinan. Artinya, kepuasan perkawinan yang mampu dicapai oleh
suami atau istri belum tentu sama. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryne (dalam
Sadarjoen, 2005) menemukan bahwa laki-laki cenderung lebuh puas terhadap
perkawinannya dibandingkan dengan perempuan. Matlin (2008) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa faktor karakteristik gender yang bisa menjadi penyebab rendahnya
kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh perempuan. Adapun faktor-faktor karakteristik
gender yang dimaksud meliputi perempuan lebih sensitif daripada laki-laki ketika
berhadapan dengan masalah perkawinan. Perempuan lebih antisipatif terhadap
kemungkinan negatif dari sebuah masalah. Perempuan juga lebih ekspresif dibanding laki-
laki saat mengalami emosi tertentu. Kondisi tersebut membuat perempuan lebih rentan
mengalami depresi.
Bentuk penyesuaian perkawinan di mana istri hanya berfokus untuk menyesuaikan
diri dengan suami berlaku pada pasangan suami istri yang tinggal dalam keluarga inti. Pada
masyarakat Bali, seorang istri yang tinggal di dalam keluarga intimemiliki peranan yang
lebih, salah satunya dalam pembuatan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan
keberlangsungan keluarga. Istri bukan hanya semata-mata sebagai anggota keluarga yang
selalu menerima semua keputusan suami tetapi juga menjadi partner suami dalam
membuat dan mengambil keputusan (Swarsi, dkk. 1986). Pembuatan dan pengambilan
keputusan dalam kehidupan perkawinan antar pasangan suami istri tidak selamanya
berjalan baik karena dua individu tersebut memiliki persepsi dan harapan berbeda terhadap
perkawinan yang dijalani.Oleh karena itu, penyesuaian perkawinan antar pasangan suami
istri bukan merupakan penyesuaian perkawinan yang mudah (Mar’at, 2012).
33
Penyesuaian perkawinan akan semakin berat bagi istri yang tinggal bersama dengan
keluarga batih, istri tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan suami tetapi juga dengan
keluarga batih suami. Salah satunya dengan mertua. Pada masyarakat Bali, seorang istri
yang tinggal bersama keluarga batih perlu menyiapkan mental karena mereka akan
berpisah dengan orang tua maupun kerabat dekatnya. Istri kemudian masuk ke dalam
lingkungan baru yaitu keluarga batih suami dengan berbagai macam kondisi dan orang-
orang yang cukup heterogen sehingga dibutuhkan penyesuaian yang baik oleh istri agar
mampu mengurangi ketegangan atau konflik dengan mertua.
Landis dan Landis (1970) menjelaskan bahwa penyesuian dengan mertua akan
lebih mudah jika masing-masing memberikan ruang privasi satu sama lain. Hanako dan
Wulandari (2013) menambahkan bahwa sebenarnya hubungan dengan mertua bisa menjadi
lebih mudah dibandingkan dengan ipar. Hal itu dikarenakan mertua sudah pernah
menempati posisi sebagai menantu.Hubungan dengan keluarga pasangan merupakan hal
penting yang dapat memengaruhi keutuhan perkawinan. Apabila suami atau istri memiliki
hubungan yang baik dengan keluarga pasangan khususnya mertua atau ipar, kecil
kemungkinan untuk terjadi konflik dengan mertua atau ipar (Hurlock, 1980).Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wu, dkk. (2001) menemukan bahwa konflik dengan mertua
menyebabkan rendahnya kepuasan perkawinan oleh perempuan Taiwan.
Beranjak dari pemaparan di atas peneliti ingin mengetahui hubungan penyesuaian
dan kepuasan perkawinan serta perbedaan penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada
perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti atau keluarga batih.
34
Gambar 1. Dinamika Antar Variabel
Keterangan :Garis korelasi :
E. HIPOTESIS
Pada penelitian ini hipotesa diajukan sebagai jawaban sementara atas permasalahan
yang diajukan. Hipotesis dari penelitian ini adalah hubungan penyesuaian dan kepuasan
perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga inti dan keluarga batih. Adapun
hipotesis yang diajukan adalah :
1. Hipotesis Mayor
Hipotesis Alternatif :
a. Ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali
yang tinggal di keluarga inti.
b. Ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali
yang tinggal di keluarga batih.
Hipotesis Nol :
a. Tidak ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan
Bali yang tinggal di keluarga inti.
Kepuasanperkawinan
Keluarga inti
Penyesuaianperkawinan
Keluarga batih Kepuasanperkawinan
35
b. Tidak ada hubungan antara penyesuaian dan kepuasan perkawinan pada perempuan
Bali yang tinggal di keluarga batih.
2. Hipotesis Minor
Hipotesis Alternatif :
a. Ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di
keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.
b. Ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di keluarga
kecildengan yang tinggal dikeluarga batih.
Hipotesis Nol :
a. Tidak ada perbedaan penyesuaian perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di
keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.
b. Tidak ada perbedaan kepuasan perkawinan pada perempuan Bali yang tinggal di
keluarga intidengan yang tinggal dikeluarga batih.