bab ii tinjauan pustaka a. subjective well being 1 ... ii.pdf · memahami mengenai subjective well...
TRANSCRIPT
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Subjective Well Being
1. Definisi Subjective Well Being
Studi yang meneliti mengenai penyebab, prediktor dan akibat dari kebahagiaan
dan kepuasan dalam hidup dikaitkan dengan subjective well being. Subjective well
being merupakan suatu aspek yang penting dalam mengembangkan sebuah kualitas
hidup yang positif. Kebahagiaan dalam subjective well being berkaitan dengan
tingkatan emosi dan bagaimana individu memahami dunia dan dirinya sendiri.
Sedangkan mengenai kepuasan dalam hidup merupakan pemahaman yang lebih luas
mengenai penerimaan kehidupan individu (Compton, 2005). Faktor lain dalam
memahami mengenai subjective well being adalah ketika individu sedikit mengalami
pengalaman atau kejadian neurotis. Subjective well being dapat dilihat ketika
individu mengungkapkan perasaan bahwa mereka bahagia atau senang, menunjukkan
kepuasan dalam hidup dan ketika individu memiliki pengalaman neurotisme yang
rendah.
Subjective well being merupakan persepsi seseorang terhadap pengalaman
hidupnya, yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan
merepresentasikan dalam kesejahteraan psikologis (Compton, 2005). Menurut
beberapa ahli psikologi subjective well being merupakan suatu istilah ilmiah untuk
happiness (kebahagiaan). Bahkan Carr (2004) memberikan definisi yang sama antara
happiness dengan subjective well being yakni sebuah keadaan psikologis positif yang
dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat emosi
positif dan rendahnya tingkat emosi negatif.
2
Para peneliti berpendapat bahwa karena subjective well being merupakan
sebuah fenomena yang subjektif sehingga dalam pengukurannya pun harus dilakukan
dengan subjective reports. Compton (2005) menjelaskan bahwa dalam studi
mengenai subjective well being, individu yang memiliki kebahagiaan dan kepuasan
hidup yang tinggi akan secara langsung ditunjukkan kedalam perilaku dimana
individu tersebut akan terlihat lebih bahagia dan lebih puas. Walaupun terdapat
banyak kritik mengenai pengukuran subjective well being, namun pengukuran yang
masih diterima adalah dengan report langsung dari individu tersebut terkait dengan
kebahagiaan dan kepuasan dalam kehidupan.
Berdasarkan beberapa pengertian subjective well being yang dijelaskan,
peneliti menyimpulkan bahwa subjective well being merupakan persepsi individu
terkait dengan pengalaman kehidupannya yang menyangkut dua komponen yakni
komponen kognitif yang berkaitan dengan kepuasan hidup dan komponen afektif
yang berkaitan dengan kebahagiaan dan dicirikan dengan tingginya tingkat kepuasan
terhadap hidup, tingginya tingkat emosi positif dan rendahnya tingkat emosi negatif.
2. Komponen Subjective Well Being
Menurut Diener & Oishi (2005) terdapat dua komponen dasar subjective well
being yaitu kepuasan hidup (life satisfaction) sebagai komponen kognitif dan
kebahagiaan (happiness) sebagai komponen afektif.
a. Komponen kognitif (kepuasan hidup)
Kepuasan didalam hidup termasuk dalam komponen kognitif karena keduanya
didasarkan pada keyakinan tentang kehidupan seseorang. Evaluasi kognitif
dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai
kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian
3
evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan
kerja, minat, dan hubungan (Diener & Oishi, 2005). Kepuasan hidup
merupakan penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara
menyeluruh. Seorang individu yang dapat menerima diri dan lingkungan secara
positif akan merasa puas dengan hidupnya (Hurlock, 1980)
b. Komponen Afektif (Kebahagiaan)
Komponen afektif dalam subjective well being yang dimaksud adalah reaksi
individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi (afek)
yang menyenangkan dan emosi (afek) yang tidak menyenangkan.
1. Afek positif
Afek positif atau emosi yang menyenangkan merupakan bagian dari
Subjective Well Being yang dialami individu sebagai reaksi yang muncul
pada diri individu karena hidupnya berjalan sesuai dengan apa yang
diinginkan. (Diener & Oishi, 2005). Menurut Seligman (2005), emosi
positif dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu emosi positif akan
masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Emosi positif masa depan
meliputi optimisme, harapan, keyakinan dan kepercayaan. Emosi positif
masa sekarang mencakup kegembiraan, ketenangan, keriangan, semangat
yang meluap-luap, dan flow. Emosi positif tentang masa lalu adalah
kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggaan dan kedamaian.
2. Afek negatif
Afek negatif termasuk suasana hati dan emosi yang tidak menyenangkan
yang muncul sebagai reaksi negatif dari kejadian yang dialami oleh individu
dalam hidup mereka, kesehatan serta lingkungan mereka (Diener & Oishi,
2005). Emosi negatif yang paling umum dirasakan adalah kesedihan,
4
kemarahan, kecemasan, kekhawatiran, stres, frustrasi, rasa malu dan
bersalah serta iri hati.
Berdasarkan pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa Subjective Well
Being merupakan persepsi dari individu tersebut terkait dengan pengalaman yang
terjadi didalam kehidupannya yang menyangkut dua komponen yakni komponen
kognitif yang berkaitan dengan kepuasan hidup dan komponen afektif yang berkaitan
dengan kebahagiaan individu tersebut.
3. Pendekatan Teori dalam Subjective Well Being
Terdapat dua pendekatan teori yang digunakan dalam subjective well being
(Compton, 2005)
a. Bottom up theories
Teori ini memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan
dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta
kumpulan peristiwa yang membuat individu bahagia. Asumsinya, semakin
banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin bahagia dan
puas individu tersebut. Teori ini beranggapan bahwa perlunya mengubah
lingkungan dan situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu,
misalnya pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, serta
pendapatan yang layak untuk meningkatkan subjective well being.
b. Top down theories
Subjective well being yang dialami seseorang tergantung dari cara individu
tersebut memandang dan menginterpretasi suatu peristiwa dalam sudut
pandang yang positif. Teori ini menganggap bahwa, individu memegang
kendali atas setiap peristiwa yang dialami, apakah peristiwa tersebut akan
5
menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya atau sebaliknya. Pendekatan
ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan
untuk menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan
subjective well being diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah persepsi,
keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.
Berdasarkan dua pendekatan teori yang dijelaskan, peneliti menggunakan teori
top down theories dalam mengkaji subjective well being individu dimana seperti yang
telah dijelaskan, teori ini berpendapat bahwa individu memegang kendali atas setiap
peristiwa yang dialami tergantung dari persepsi, keyakinan serta kepribadiaan
individu.
4. Prediktor Subjective Well Being
Terdapat enam hal yang dapat dijadikan sebagai prediktor terbaik dalam
mengetahui kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup (Diener, Suh, Lucas & Smith,
1999)
a. Harga diri positif
Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki kendali
yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik
dengan orang lain, dan kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan
membantu individu untuk mengembangkan kemampuan dalam hubungan
interpersonal yang baik serta menciptakan kepribadian yang sehat.
b. Kontrol diri
Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu
berperilaku dengan cara yang tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol
diri melibatkan proses pengambilan keputusan, mampu mengerti, memahami
6
serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah diambil serta mencari
pemaknaan atas peristiwa tersebut.
c. Ekstraversi
Individu dengan kepribadian ekstrovert akan tertarik pada hal-hal yang
terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener
dkk. (1999) mendapatkan bahwa kepribadian ekstavert secara signifikan akan
memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang dengan
kepribadian ekstrovert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih
banyak, merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai
penghargaan positif pada orang lain.
d. Optimis
Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih
bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya
dengan cara yang positif, akan memiliki kontrol yang baik terhadap hidupnya
sehingga individu memiliki impian dan harapan yang positif tentang masa
depan. Scheneider (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa kesejahteraan
psikologis akan tercipta bila sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat
realistis.
e. Relasi sosial yang positif
Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan
keintiman emosional. Hubungan yang didalamnya terdapat dukungan dan
keintiman akan membuat individu mampu mengembangkan harga diri,
meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan masalah
yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.
7
f. Memiliki arti dan tujuan dalam hidup
Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan
konsep religiusitas. Penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi positif
antara konsep religiusitas dengan kesejahteraan psikologis dimana individu
yang memiliki kepercayaan religi yang besar akan memiliki kesejahteraan
psikologis yang besar pula.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa subjective
well being dapat diprediksi dengan beberapa faktor diantaranya adalah harga diri
positif, kontrol diri, ekstraversi, relasi sosial yang positif serta memiliki arti dan
tujuan hidup.
B. Keluarga
1. Definisi Keluarga
Terdapat berbagai definisi mengenai keluarga. Menurut Olson & DeFrain
(2003) keluarga adalah:
a. Sebuah kelompok sosial yang mendasar dalam masyarakat yang terdiri dari
satu atau dua orang tua dan anak-anak
b. Dua atau lebih individu yang saling berbagi mengenai tujuan dan nilai,
memiliki komitmen jangka panjang satu sama lain, dan biasanya berada
pada tempat tinggal yang sama
c. Semua anggota rumah tangga yang tinggal dalam satu atap
d. Sebuah kelompok individu yang saling berbagi yang berasal dari nenek
moyang yang sama (American Heritage Dictionary of the English
Language dalam Olson & DeFrain, 2003)
8
Sedangkan menurut Korner & Fitzpatrick (2004) definisi mengenai keluarga
setidaknya dapat dilihat melalui 3 sudut pandang yakni:
a. Definisi Struktural. Definisi ini berfokus pada siapa yang menjadi bagian
dalam keluarga, terkait dengan kehadiran atau ketidakhadiran anggota
keluarga seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya.
b. Definisi Fungsional. Keluarga didefinisikan berdasarkan pada
terpenuhinya tugas-tugas serta fungsi psikososial dalam keluarga.
c. Definisi Transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku yang menunjukkan identitas
sebagai keluarga seperti salah satunya adalah ikatan emosi.
Dalam menjalankan fungsinya keluarga memiliki anggota-anggota yang saling
bergantung satu sama lain. Hal ini selajan dengan pernyataan Minuchin (dalam
Willis, 2011) bahwa keluarga merupakan “multibodies organism” yakni organism
yang terdiri dari banyak badan. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai keluarga,
maka peneliti menyimpulkan bahwa keluarga merupakan kesatuan yang didalamnya
terdapat anggota sebagai komponen yang membentuk keluarga tersebut.
2. Struktur Keluarga
Menurut Lestari (2012) struktur keluarga dibagi menjadi dua yakni keluarga
inti (Nuclear family) dan keluarga batih (extended family).
a. Keluarga inti (nuclear family) adalah keluarga yang didalamnya hanya
terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami (ayah), istri (ibu), dan anak (sibling)
dimana dalam keluarga inti ini hubungan antara suami dan istri saling
membutuhkan dan mendukung layaknya persahabatan, sedangkan anak-anak
tergantung pada orang tuanya dalam hal pemenuhan kebutuhan afeksi dan
9
sosialisasi. Keluarga inti umumnya dibangun berdasarkan ikatan perkawinan
yang menjadi sebuah pondasi bagi keluarga. Relasi yang terbangun didalam
keluarga inti adalah relasi antar pasangan dan relasi antara orang tua dan anak.
b. Keluarga batih (extended family) adalah keluarga yang didalamnya
menyertakan posisi lain selain tiga posisi sosial yang terdapat dalam keluarga
inti. Keluarga batih terbagi kedalam tiga bentuk yakni :
1. Keluarga bercabang (stem family) dimana seorang anak yang sudah
menikah masih tinggal bersama orang tua
2. Keluarga berumpun (lineal family) dimana lebih dari satu anak yang sudah
menikah tetap tinggal bersama orang tua
3. Keluarga beranting (fully extended) dimana dalam suatu keluarga terdapat
generasi ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
Keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antar generasi, bukan antar
pasangan. Struktur keluarga ini biasanya terdapat dalam masyarakat yang
memandang penting hubungan kekerabatan. Bentuk-bentuk relasi yang terjalin
dalam keluarga batih lebih banyak dibandingkan keluarga inti, diantaranya
adalah relasi kakek atau nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar, dan paman
atau bibi-keponakan
3. Relasi dalam Keluarga
Terdapat tiga relasi yang terjadi pada nuclear family yakni pertama relasi pada
pasangan suami istri, kedua ketika anak pertama lahir muncullah relasi orang tua-
anak, ketiga ketika anak berikutnya lahir muncul relasi sibling (saudara sekandung).
Sedangkan pada extended family bentuk relasi yang terjadi akan lebih banyak lagi
10
misalnya kakek/nenek-cucu, mertua-menantu, saudara ipar dan paman/bibi-
keponakan. Setiap bentuk relasi ini memiliki karakteristik yang berbeda.
a. Relasi Pasangan Suami Istri
Relasi pada pasangan suami istri ini merupakan landasan dan penentu warna
bagi keseluruhan relasi dalam keluarga. Kunci bagi kelanggengan perkawinan
adalah keberhasilan melakukan penyesuaian di antara pasangan. Penyesuaian
yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif dalam melakukan
resolusi konflik. Pada konsep perkawinan yang tradisional berlaku pembagian
tugas dan peran suami istri. Namun, tuntutan perkembangan kini telah semakin
mengaburkan pembagian tugas tradisional tersebut. Sehingga pasangan suami
istri dituntut untuk mampu membangun kebersamaan antar keluarga ditengah
tuntutan perkembangan yang ada. Keberhasilan membangun kebersamaan
dalam pelaksanaan kewajiban keluarga menjadi salah satu indikasi bagi
keberhasilan penyesuaian pasangan. Menurut Olson & Olson (2000) terdapat
sepuluh aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dengan
pasangan yang tidak bahagia, yaitu komunikasi, fleksibilitas, kedekatan,
kecocokan kepribadian, resolusi konflik, relasi seksual, kegiatan diwaktu
luang, keluarga dan teman, pengelolaan keuangan dan keyakinan spiritual.
Komunikasi merupakan aspek yang paling penting karena berkaitan dengan
hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Kesalahpahaman dalam
komunikasi dapat menimbulkan konflik yang sering terjadi karena
menggunakan gaya komunikasi negatif.
b. Relasi Orangtua – Anak
Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh pasangan
yang memiliki anak. Pandangan mengenai relasi orang tua-anak pada
11
umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory) yang menjelaskan
pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor kunci dalam hubungan orang tua
dan anak yang dibangun sejak usia dini. Kelekatan (attachment) diasumsikan
dari bayi yang mendemonstrasikan kedekatan mereka kepada ibunya melalui
beberapa tipe perilaku seperti menghisap, mengikuti, menangis, dan tersenyum
(Bowlby dalam Santrock, 2003). Penerimaan dan penolakan orang tua
membentuk dimensi kehangatan (warmth dimention) dalam pengasuhan yaitu,
suatu kualitas ikatan afeksi antara orang tua dan anak (Rohner, Khaleque &
Cournoyer dalam Lestari 2012). Kualitas hubungan orang tua-anak
merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan (warmth), rasa aman (security),
kepercayaan (trust), afeksi positif (positive affect) dan ketanggapan
(responsiveness) dalam hubungan mereka. Menurut Hinde (dalam Lestari,
2012) relasi antara orang tua-anak memiliki beberapa prinsip pokok, yaitu
interaksi, kontribusi mutual, keunikan, pengharapan masa lalu, dan antisipasi
masa depan.
4. Teori Sistem Keluarga
Terkait dengan teori sistem keluarga, segala hal yang terjadi pada anggota
keluarga akan memberi dampak pula pada anggota lain yang berada dalam keluarga
tersebut. Pionir terapi keluarga Withaker (dalam Olson & DeFrain, 2003)
menyatakan bahwa tidak ada yang dikatakan individu dalam dunia ini yang ada
hanyalah bagian dari keluarga. Dengan kata lain setiap individu memiliki hubungan
yang sangat erat dalam keluarga. Struktur keluarga merupakan serangkaian tuntutan
fungsional tidak terlihat yang mengorganisasi cara keluarga dalam berinteraksi. Day
12
(dalam Lestari, 2012) mengungkapkan beberapa karakteristik keluarga sebagai
sistem, diantaranya:
a. Keseluruhan (the family as a whole)
Pada pendekatan keluarga sebagai sistem, fokus utama diberikan pada
bagaimana kehidupan keluarga, baru kemudian kepada individunya karena
dalam memahami keluarga tidak dapat dilakukan tanpa memahaminya sebagai
sebuah keseluruhan.
b. Struktur (underlying structures)
Suatu kehidupan keluarga berlangsung berdasarkan suatu struktur sehingga
dalam mengungkap pola yang ada dalam keluarga dilakukan dengan
mengamati bagaimana keluarga memecahkan masalah, berkomunikasi satu
sama lain, serta bagaimana keluarga mengalokasikan sumber dayanya.
c. Tujuan (family have goals)
Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin dicapai, namun bervariasi satu
sama lain. Dalam pencapaian tujuan diperlukan kontribusi dari masing-masing
anggota untuk dapat mencapai tujuan secara efektif.
d. Keseimbangan (equilibrium)
Demi mencapai tujuan dari keluarga, keluarga tersebut harus menjaga
kehidupannya agar tetap seimbang. Keluarga akan senantiasa beradaptasi,
menyesuaikan dengan perubahan dan menanggapi situasi dan kondisi yang
dihadapi.
e. Kelembaman (morphostatis)
Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan tugas kerumahtanggaan umumnya
merupakan sebuah rutinitas dan kebiasaan yang sudah menetap dan selalu
dijaga untuk dilakukan secara sama dari hari ke hari.
13
f. Batas-batas (boundaries)
Sebagai sebuah sistem yang terbuka, keluarga memiliki batas terluar yang
bersifat mudah tembus (permeable). Batas-batas dari suatu keluarga dapat
dilihat dari aturan yang dibangun didalam keluarga.
g. Subsistem
Dalam keluarga terdapat unit subsistem yang bertugas menjaga batas-batas
keluarga. Konsep ini membantu individu untuk memahami bahwa didalam
keluarga terdapat berbagai interaksi yang membentuk subsistem keluarga.
h. Equifinality dan equipotentialy
Maksud dari equifinality adalah berbagai permulaan dapat membawa pada
hasil yang sama sedangkan suatu permulaan yang sama dapat membawa hasil
yang berbeda. Equipotentialy memiliki arti bahwa suatu sebab dapat
menghasilkan suatu akibat. Hal ini sangat terkait dengan proses apa yang
berjalan mengikuti sebab tersebut.
Semakin banyak anggota dalam keluarga akan membuat semakin kompleks
sistem sosial yang terbangun. Hal ini disebabkan karena setiap anggota keluarga
adalah sosok yang unik. Keluarga juga merupakan sebuah sistem yang dinamika
dimana perubahan dan perbaikan dapat dilakukan oleh keluarga.
C. Ibu
Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2002), ibu diartikan sebagai perempuan yang telah melahirkan
seseorang, atau panggilan umum yang diberikan kepada perempuan baik yang sudah
bersuami maupun yang belum bersuami. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga menjelaskan
bahwa ibu merupakan tokoh yang mendidik anak-anaknya, memelihara perkembangan
14
anak-anaknya, mempengaruhi aktivitas anak diluar rumah dan merupakan teladan,
pembimbing serta sumber motivasi dalam keluarga.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ibu merupakan
perempuan yang telah melahirkan, baik bersuami maupun belum dan merupakan teladan,
pembimbing serta sumber motivasi dalam keluarga.
D. Hubungan Antar Variabel
Sebuah unit sosial terkecil yang didalamnya terdapat anggota yang memiliki
hubungan darah disebut keluarga. Keluarga dapat dibagi menjadi dua, apabila dilihat
berdasarkan strukturnya yakni keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended
family). Setiap anggota dalam keluarga tentu memiliki peran yang berbeda-beda. Begitu
pula dengan ibu. Peran ibu dalam keluarga berkaitan dengan pelaksanaan berbagai tugas
rumah tangga serta sebagai pemegang peran kunci dalam mencapai kehidupan keluarga
yang harmonis, artinya kebahagiaan keluarga banyak ditentukan oleh ibu melalui
pemberdayaan dirinya (Surya, 2001).
Peneliti mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan subjective well being pada ibu
apabila ditinjau dari stuktur keluarga dimana ibu yang tinggal pada struktur keluarga
nuclear family memiliki subjective well being lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
ibu yang tinggal pada struktur keluarga extended family. Salah satu faktor yang mampu
mempengaruhinya adalah keberadaan anggota keluarga lain, selain keluarga inti.
Keberadaan anggota keluarga lain dapat berdampak pada pelaksanaan peran dan tugas dari
ibu dan berkaitan dengan subjective well being ibu. Menurut Lestari (2012) semakin
banyak anggota dalam keluarga akan membuat semakin kompleks sistem sosial yang
terbangun. Menurut Swarsi, dkk. (1986) peran ibu pada keluarga besar khususnya di Bali
tidak hanya berkaitan dengan tugas rumah tangga namun juga dengan tugas adat dan
15
agama. Namun, peran dan tugas ibu dalam keluarga besar ini masih didominasi oleh peran
otoritas dalam keluaga yakni mertua. Pada struktur keluarga nuclear family, ibu lebih
mudah untuk menjalankan peran dan tugasnya tanpa campur tangan keluarga besar karena
otonomi keluarga dipegang oleh ibu dan pasangan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan Imelda (2013) yang menunjukkan bahwa kerja sama yang terjalin antara
ibu dan pasangan dalam bentuk mengerjakan tugas secara bersama-sama akan
mempengaruhi subjective well being ibu. Semakin baik kerjasama yang terjalin semakin
tinggi subjective well being ibu.
Selain itu, keberadaan keluarga besar juga dapat berdampak kepada hubungan yang
terjalin antara menantu dan mertua, peranan dari pihak otoritas dalam keluarga, serta pola
pengasuhan terhadap anak (Gunarsa & Gunarsa, 1995). Terkait dengan pola pengasuhan
anak, Yulion (2013) menjelaskan bahwa keberadaan pihak ketiga dalam pengasuhan anak
dipandang dapat memicu konflik akibat perbedaan cara pandang dan cara pengasuhan
anak. Keberadaan anggota keluarga lain sebagai pihak ketiga yang lebih banyak
berinteraksi dengan anak pada pengasuhan anak dalam keluarga besar, kerap menimbulkan
konflik antara orang tua dan anggota keluarga besar.
Peneliti memfokuskan penelitian pada struktur keluarga yakni nuclear family dan
extended family sebagai variabel bebas dan subjective well being sebagai variabel
tergantung, dengan ibu sebagai subyek penelitian. Dalam penelitian yang akan dilakukan,
peneliti ingin melihat apakah terdapat perbedaan subjective well being pada ibu ditinjau
dari struktur keluarga nuclear family dan extended family. Secara ringkas, dinamika antar
variabel, yaitu variabel tergantung subjective well being dan variabel bebas struktur
keluarga digambarkan dalam Gambar 1.
16
Gambar 1. Perbedaan Subjective Well Being pada Ibu ditinjau dari Struktur Keluarga di
Kota Denpasar
Keluarga (Struktur Keluarga)
Extended Family Nuclear Family
Peran dan Tugas Peran dan Tugas
Subjective Well Being Subjective Well Being
17
E. Hipotesis Penelitian
Pada penelitian ini hipotesis diajukan sebagai dugaan atau jawaban sementara atas
permasalahan yang diajukan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada perbedaan subjective well being pada ibu yang tinggal dalam struktur
keluarga nuclear family dengan ibu yang tinggal dalam struktur keluarga
extended family
H0 : Tidak ada perbedaan subjective well being pada ibu yang tinggal dalam
struktur keluarga nuclear family dengan ibu yang tinggal dalam struktur
keluarga extended family