peranan zat ekstraktif dalam pembentukan gaharu pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat....
TRANSCRIPT
6
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu
Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga.
Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis
kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan
warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu
proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon
penghasil gaharu.
Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang
ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005).
Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria,
Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea.
Genus Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II
CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES
2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000).
Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130
ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia
(genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus
Aquilaria dan Gyrinops) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya
kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia.
Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada
jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu
gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan
tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke-
5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan
Mardiastuti 2002).
Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau
bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk
dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia. Warna bagian kayu
bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap
warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya. Sedangkan
7
produk berbentuk serbuk biasanya berwarna coklat terang hingga coklat (BSN
1999; Suhartono dan Mardiastuti 2002).
Pemerintah Indonesia membedakan kualitas gaharu ke dalam tiga belas
kelas mutu yang dikelompokkan menjadi tiga sortimen (BSN 1999). Namun,
dalam pasar lokal dan mungkin juga dalam perdagangan internasional, produk ini
dibagi menjadi enam hingga delapan kelas kualitas tergantung daerahnya.
Klasifikasi dibuat berdasarkan kandungan resin, meskipun tidak terdapat standar
formal kandungan resin untuk setiap kelas (Suhartono dan Mardiatuti 2002).
Tabel 1 Klasifikasi kualitas gaharu
Tanda mutu Kelas kualitas Nama kualitas gaharu1. Sortimen gubal gaharu
UIII
Mutu UtamaMutu pertamaMutu kedua
Mutu superMutu AB
Sabah super2. Sortimen kemedangan
I
IIIIIVVVIVII
Mutu pertama
Mutu keduaMutu ketiga
Mutu keempatMutu kelimaMutu keenamMutu ketujuh
Tanggung A/tanggungkemedangan 1
Sabah 1Tanggung ABTanggung C
Kemedangan 1Kemedangan 2Kemedangan 3
3. Sortimen abu gaharuUIII
Mutu utamaMutu pertamaMutu kedua
Mutu utamaMutu pertamaMutu kedua
Sumber: BSN (1999)
Aquilaria spp.
Pohon-pohon penghasil gaharu termasuk dalam family Thymeleacea.
Family ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, dan
Gilgiodaphniodeae. Salah satu genus dalam famili Thymeleacea yang
menghasilkan gubal gaharu kualitas terbaik dengan permintaan pasar yang cukup
tinggi adalah Aquilaria . Aquilaria termasuk jenis cepat tumbuh yang dapat
memulai pertumbuhan generatifnya pada umur awal empat tahun (Anonim 2002).
Jenis-jenis ini tersebar di Asia Selatan dan Asia tenggara, dari kaki bukit
8
Pegunungan Himalaya hingga di hutan hujan di Papua New Gunea, dan dapat
tumbuh mulai dari ketinggian beberapa meter hingga 1.000 m dpl dengan
pertumbuhan terbaik di sekitar 500 m dpl. Aquilaria dapat tumbuh pada berbagai
tipe tanah, bahkan pada tanah marjinal.
Tabel 2 Jenis-jenis Aquilaria yang menghasilkan gaharu
Negara/daerah Jenis AquilariaAsia Selatan
Indonesia
Indochina--
Aquilaria agalochaAquilaria malaccensis, A. beccariana, A.cummingiana, A. filarial, A. hirta, A.microcarpaAquilaria crassnaAquilaria grandifloraAquiaria chinensis
Sumber: Anonim (2002); Wiriadinata dan Sidiyasa dalam Suhartono dan Mardiastuti (2002)
Sumarna (2005b) menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan 27 species
penghasil gaharu dari 8 genus dan 3 famili, yang tersebar di di hutan dataran
rendah dan tinggi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian. Habitat
tanaman ini biasanya tersebar di wilayah hutan primer dan sekunder 0 – 700 m
dpl, dengan curah hujan 1.500-6.500 mm/tahun, suhu 22 – 34 °C, Rh : 70 – 80 %.
Pohon Aquilaria merupakan pohon yang hijau selama hidupnya (evergreen),
tumbuh dengan tinggi tanaman mencapai 15 - 40 m dengan diameter 0,5 – 2,5 m
(Hayne 1987). Kayu yang sehat (kayu tanpa resin) berwarna putih cerah dan
lunak; sedangkan kayu yang mengandung resin berwarna gelap, keras dan berat.
Daunnya berbentuk elips atau lanceolate, berukuran lebar 3-3,5 cm dan panjang
6-8 cm, serta memiliki 12-16 pasang tulang daun. Bunganya hermaproditik
dengan warna kuning kehijauan atau putih, panjang mencapai 5 cm. Buah dari
pohon ini berwarna hijau berbentuk kapsul telur dengan panjang 4 cm dan lebar
2,5 cm; exocarp dan berambut halus; terdapat dua benih per buah (Adelina 2004).
9
Aquilaria crassna
Aquilaria crassna memiliki klasifikasi dan nama ilmiah sebagai berikut
(The IUCN Red List of Treatened Species 2007):
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Myrtales
Famili : Thymeleacea
Genus : Aquilaria
Species : Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte
Penghasil gaharu ini dapat mencapai tinggi 15 – 20 m dan diameter 40 – 50
cm, dengan tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan di
berbagai tipe hutan, hutan primer ataupun hutan sekunder, pada daerah dengan
ketinggian 300 – 800 m dpl dan curah hujan 1.200 – 2.000 mm/ tahun. Tumbuhan
ini tumbuh pada berbagai tipe tanah, tapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu
dengan lapisan tanah ferralitic yang dangkal (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).
A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan
April, dan berbuah antara bulan Mei – Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan
dengan bantuan serangga. Dengan sekitar 4.500 benih per kg dan tingkat
perkecambahan mencapai 80-90%, maka seharusnya tidak terdapat masalah dalam
pembudidayaan jenis ini. Pohon penghasil gaharu ini merupakan jenis yang
membutuhkan naungan pada saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya
matahari untuk pertumbuhan selanjutnya (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).
Aquilaria microcarpa
Aquilaria microcarpa merupakan tanaman dalam family Thymelaeaceae
yang ditemukan di Indonesia dan Singapura. Seperti halnya spesies dalam genus
Aquilaria yang lain, pemanfaatan dan perdagangan produk dari jenis ini dibatasi
karena termasuk dalam status konservasi vulnerable dan tercantum dalam
Appendix II CITES. Jenis penghasil gaharu ini tersebar di Semenanjung
Malaysia, Sumatra (Sijunjung, Palembang, dan Lampung), Bangka, Belitung, dan
hampir di seluruh pulau Kalimantan. A. microcarpa tumbuh pada hutan dataran
rendah hingga daerah dengan ketinggian 200 m dpl (CITES 2004).
10
Klasifikasi dan nama ilmiah A. microcarpa adalah sebagai berikut (GRIN
2008):
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Magnoliopsida
Ordo : Thymelaeales
Famili : Thymeleacea
Genus : Aquilaria
Species : Aquilaria microcarpa Baill
Kandungan Kimiawi Gaharu
Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan
terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu
yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna
hitam serta wangi. Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah
menguap (Ishihara et al. 1991).
Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan
sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama
diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan
senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharyya 1962).
Penelitian Nakanishi berhasil mengkarakterisasi jinkohol (2β-hydroxy-(+)-
prezizane) dari gaharu asal Indonesia melalui ekstraksi benzene. Tim ini juga
menemukan dua sesquiterpena baru dari Aquilaria malaccensis asal Indonesia,
yaitu jinkoh eremol dan jinkohol II yang disebut sebagai tipe B untuk
membedakannya dengan tipe A dari A. agallocha, serta mengisolasi alpha-
agarofuran dan (-)-10-epi-gamma-eudesmol, oxo-agarospirol sebagai konstituen
utama pada gaharu tipe B (Burfield 2005a).
Dalam Burfield (2005a) disebutkan bahwa Yoneda telah berhasil
mengidentifikasi sesquiterpena utama yang terdapat pada gaharu tipe A (pada A.
agallocha) dan tipe B (pada A. malaccensis). Tipe A ditemukan mengandung β-
agarofuran 0,6%, nor-ketoagarofuran 0,6%, agarospirol 4,7%, jinkoh-eremol
4,0%, kusunol 2,9%, dihydrokaranone 2,4%, dan oxo-agarospirol 5,8%.
11
Sedangkan pada tipe B, teridentifikasi senyawa-senyawa α-agarofuran(-)-10-epi-
γ-eudesmol 6,2%, agarospirol 7,2%, jinkohol 5,2%, jinko-eremol 3,7%, kusunol
3,4%, jinkohol II 5,6%, dan oxo-agarospirol 3,1%.
Gambar 1 Beberapa struktur kimia komponen gaharu.
Yagura et al (2003) menemukan turunan kromone baru, yaitu 5-hydroxy-6-
methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone, 6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)
chromone, 8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8- tetrahydro
chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang
diisolasi dari ekstrak MeOH kayu buangan Aquilaria sinensis, disamping tujuh
komponen gaharu lainnya yang telah dikenal.
Budidaya dan Pembentukan Gaharu
Sampai saat ini, gaharu masih dihasilkan dari populasi di hutan alam.
Permintaan gaharu yang semakin tinggi telah menyebabkan eksploitasi yang
berlebihan dan akhirnya memicu langkanya sumber daya penghasil gaharu di
alam. Tercantumnya dua genus utama penghasil gaharu dalam Appendix II
CITES (CITES 2004) menyebabkan ditetapkannya kuota bagi ekspor produk ini.
Kuota ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 2007 sebesar 130 ton/tahun
(Direktorat Jenderal PHKA 2007).
Penelitian Suhartono dan Newton (2001) menyebutkan terdapat dua teknik
pemungutan gaharu di alam, yaitu tebang langsung dan mengerik/mengikis bagian
batang yang terinfeksi tanpa menebang. Observasi yang dilakukan menunjukkan
frekuensi Aquilaria spp. yang ditebang di Kalimantan Timur lebih tinggi
dibandingkan di Kalimantan Barat dan Sumatra timur (Riau), dimana di
Kalimantan timur empat pohon ditebang per hari.
12
Pemburu-pemburu gaharu menentukan suatu pohon mengandung akumulasi
resin hanya berdasarkan pengalaman. Seringkali pohon yang telah ditebang
ditinggalkan terbengkalai begitu saja karena ternyata sama sekali tidak
mengandung apa yang dicari. Sampai saat ini tidak ada suatu ciri morfologi
tertentu yang dengan sangat pasti menunjukan suatu pohon mengandung gaharu
dalam kuantitas dan kualitas tertentu.
Beberapa penelitian budidaya dan produksi gaharu buatan telah dimulai
sejak lama. Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah
mewajibkan setiap eksportir gaharu membudidayakan pohon gaharu di lahan
seluas minimal dua hektar. Di Indonesia tercatat terdapat 28 perusahaan di bidang
gaharu ini (GSA 2005).
Budidaya tanaman penghasil gaharu telah banyak dilakukan, baik oleh
perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga penelitian dan pengembangan.
Propagasi tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara generatif (benih)
maupun vegetatif (anakan alam, stump atau cabutan, stek pucuk), dan dapat juga
dikembangkan dalam kultur vegetatif (Sumarna 2005b). Budidaya ideal adalah
pada kawasan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, seperti pada hutan
campuran, bekas tebangan, HTI daur panjang, Hutan Rakyat, atau dalam pola
diversifikasi dengan kebun karet rakyat, kelapa sawit, dan lain-lain.
Konservasi ex-situ sumber genetik A. malaccensis dan A. microcarpa telah
dilakukan pada tiga lokasi masing-masing di Pekanbaru (50 m dpl), Bogor (200 m
dpl) dan Tondano (600 m dpl) dengan menanam 1.000 bibit yang berasal dari
klon-klon teridentifikasi hasil mikropropagasi. Hasil percobaan seleksi 80 pohon
dengan menggunakan inokulum tunggal F menunjukkan bahwa 33% pohon A.
malaccensis (8 dari 24 pohon) dan 24% pohon A. microcarpa (13 dari 54 pohon)
berpotensi menghasilkan gaharu (Umboh 2006).
Menurut Sumarna (2005a), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat
diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur lima tahun atau pada
saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah). Suatu penelitian
lembaga nonprofit, The Rainforest Project Foundation, mempelajari pembentukan
resin pada Aquilaria dan Gyrinops serta menemukan metode untuk menghasilkan
resin pada tanaman gaharu budidaya. Teknik yang dilakukan adalah dengan
13
melukai pohon dengan cara-cara tertentu dan memberi perlakuan untuk memicu
respon pertahanan alami pohon. Penggunaan teknik ini akan mendukung
dihasilkannya resin secara berkelanjutan dari pohon budidaya (Blanchette 2006).
Baik pada habitat alaminya di hutan tropis maupun di hutan tanaman/
budidaya, tidak semua pohon mengandung gaharu dan mekanisme pembentukan
alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk
yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau
patah, tidak menjamin kandungan yang dimiliki pohon tersebut secara pasti. Di
habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan
diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Giano diacu dalam Barden et
al. 2000). Disebutkan juga bahwa pohon dengan dbh di atas 20 cm yang
mengandung gaharu diperkirakan menghasilkan sekitar 1 kg gaharu per pohon.
Sadgopal (Barden et al. 2000), memperkirakan hasil gaharu yang terbaik
diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih. Penelitian terbaru yang
dilakukan oleh The Rain Forest Project (TRP) di Vietnam menunjukkan
pembentukan gaharu dapat terjadi pada pohon budidaya berumur 3 tahun, yang
telah dikonfirmasi berdasarkan analisis kimia (Barden et al. 2000).
Mekanisme pembentukan gaharu masih menjadi pertanyaan yang belum
terjawab tuntas. Interaksi ekologis antara pohon inang, pelukaan dan/atau jamur
dalam pembentukan gaharu masih belum dipahami. Faktor-faktor lain seperti
umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan
variasi genetik juga berperan penting dalam pembentukan gaharu. Tiga hipotesis
disebutkan sebagai penyebab terbentuknya gaharu, yaitu hasil dari patologis,
pelukaan yang diikuti patologis, dan proses nonpatologis. Namun begitu,
penelitian yang dilakukan masih belum memberi cukup bukti untuk mendukung
hipotesis tersebut (Ng et al diacu dalam Barden et al . 2000).
Patogenesis pada tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan
patogen yang kompatibel, yang menurut Agrios (1997) keberhasilan proses
infeksi oleh suatu patogen sehingga dapat menginduksi gaharu di pengaruhi oleh:
1. Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu.
2. Patogen yang virulen, artinya organisme patogen yang potensial
menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu.
14
3. Lingkungan yang mendukung.
4. Peranan manusia memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang.
Beberapa ahli lain berpendapat pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon
merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba
(Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000; Pojanagaroon dan Kaewrak 2006),
sementara yang lain berpendapat asosiasi mikroorganisme yang menstimulasi
pohon merespon dengan senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharyya 1962;
Burfield 2005a; Sumarna 2005b).
Tabel 3 Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu
Peneliti yang mengisolasi Jenis cendawanBose (1939)Battcaharrya (1952)Guangdong Institut of Botany(1976)Jalaluddin (1977)
Subansenee et al. (1985)
Parman et al. (1996); Santoso(1996); Rahayu et al. (1998)
Hawksworth et al. (1976);Gibson (1977)Tamuli et al. (1999)Tamuli et al. (2000)
Cendawan imperfektiEpicoccum granulatumMelanotus flavolinus
Cytosphaera mangiferae, Penicillium,Aspergillus, FusariumCercosporella, Chaetomium, Cladosporium,Curvularua, Diplodia, Pestalotia, popularia,Phialogeniculata, Pithomyces, Rhizopus,Spiculostillella, TrichodermaDiplodia sp., Phytium sp., Fusarium solani, F.lateritium, F. bulbigenum, Popularia sp.,Rhinocladiella sp., Rhizoctonia sp.,Acremonium, Libertella, Scytalidium,Thielaviopsis, TrichodermaPhilophora parasitica
Fusarium sp., Penicillium sp., Epicoccum sp.Fusarium oxysporum, Chaetum globosum
Disarikan dari Isnaini (2004) dan Burfield (2005b)
Pojanagaroon dan Kaewrak (2006) menstimulasi pembentukan gaharu pada
A. crassna dengan perlakuan berbagai metode mekanis, dan menunjukan semakin
lama waktu proses akan menyebabkan warna pada daerah infeksi menjadi
semakin gelap. Semakin besar objek yang digunakan untuk melukai pohon,
semakin luas daerah yang mengalami perubahan warna. Pembentukan perubahan
warna di daerah pelukaan terjadi tiga kali lebih cepat di musim hujan
dibandingkan di musim kering.
15
Zat Ekstraktif Kayu
Metabolit sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti
flavanoid, terpena, fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin,
asam resin, dan karotenoid. Komponen ini bukan merupakan bagian struktural
kayu seperti polisakarida atau lignin. Kandungan metabolit sekunder sangat
bervariasi antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan
antar musim ke musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung
jumlah ekstraktif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet.
Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi
tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan
luka), antar pohon dalam spesies yang sama, dan antar musim (Forestry
Commission GIFNFC 2007).
Produksi dan akumulasi berbagai senyawa organik merupakan mekanisme
utama pertahanan tanaman terhadap herbivora, serangan mikroba penyakit, dan
hama. Senyawa-senyawa tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder
tanaman. Di samping berperan sebagai senyawa pertahanan tanaman, metabolit
sekunder atau zat ekstraktif ini juga merupakan sinyal kimiawi untuk menarik
binatang dalam membantu penyerbukan dan penyebaran benih. Misalnya,
antosianin dan monoterpena jika berada di daun berperan sebagai insektisida dan
antimikrobial, namun pada bunga berperan sebagai atraktan serangga untuk
membantu penyerbukan (Forestry Commission GIFNFC 2007).
Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstraktif. Zat
ekstraktif didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu
atau kulit kayu dengan pelarut polar dan non polar (Hills 1987). Zat ekstraktif
yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memiliki fungsi yang penting dalam
daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna
pada kayu.
Zat ekstraktif berpengaruh dalam ketahanan alami pada kayu (Findlay
1978). Beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat
racun, seperti alkaloid yang dapat menyebabkan iritasi dan gatal-gatal bagi orang
yang menyentuhnya. Zat ekstraktif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan
pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada
16
berbagai habitat (Hills 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa diantara fungsi
zat ekstraktif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon
terhadap serangan mikroorganisme.
Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen
penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler,
atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme.
Metabolit sekunder tanaman telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu,
misalnya saja untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin,
kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen
(morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin)
(Forestry Commission GIFNFC 2007).
Achmadi (1989) menggelompokkan zat ekstraktif menjadi dua yaitu fraksi
lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik adalah lemak, lilin, terpena,
terpenoid dan alkohol alifatik tinggi, sedangkan yang termasuk fraksi hidrofilik
adalah senyawa fenolik (tanin, lignan dan stilbena), karbohidrat terlarut, protein,
vitamin, dan garam anorganik.
Sjostrom (1995) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat
digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu komponen alifatik, terpena dan terpenoid,
serta senyawa fenolik. Komponen-komponen alifatik merupakan kelompok
lemak dan lilin. Termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai macam senyawa
alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak,
lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), dan suberin. Kelompok alkana
bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan
merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun
daun lebar. Ester dan alkohol lain biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid
alami, yang dikenal sebagai lilin.
Terpena dalam kelompok kedua merupakan hasil kondensasi dari dua atau
beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih
tinggi. Rumus umum terpena adalah (C5H8)n. Menurut jumlah unit isoprena (n),
terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3),
diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8).
Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus
17
fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil atau ester. Contoh dari terpenoid
adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena,
dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang
tergolong sangat langka. Sesquiterpenoid merupakan kandungan senyawa yang
teridentifikasi pada gaharu. Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan
limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena
merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika.
Fenolik dan Senyawa Pertahanan Tanaman
Kelompok ketiga dalam penggolongan ekstraktif kayu oleh Sjostrom (1995)
adalah senyawa fenolik. Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dapat
dibuat menjadi lima kelas, yaitu:
1. Stilbena (turunan-turunan dari 1,2-difeniletilena), yang mempunyai ikatan
ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat
reaktif, contohnya adalah pinosilvin.
2. Lignan, yaitu pengabungan oksidatif dua unit fenilpropana (C6C3),
contohnya konidendrin, pinoresinol, hidroksimatai-resinol, dan asam
plikatat.
3. Tanin terhidrolisis: produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta
gula, biasanya glukosa merupakan produk utama
4. Flavanoid, memiliki kerangka karbon trisiklik C6C3C6, misalnya saja
krisin dan taksifolin (dihidrokuersetin).
5. Tanin terkondensasi, merupakan polimer-polimer flavanoid, contohnya
adalah katekin.
Forestry Commission GIFNFC (2007) menyebutkan bahwa fenolik adalah
senyawa organik yang dicirikan oleh keberadaan grup hidroksil (-OH) yang
terikat pada cincin benzena atau struktur cincin aromatik komplek lainnya.
Marinova et al. (2005) menyebutkan fenolik sebagai senyawa metabolit sekunder
yang jumlahnya melimpah dalam tanaman. Fenolik mencakup kelompok dengan
kandungan bioaktif yang sangat besar (lebih dari 8.000 senyawa), mulai dari
molekul fenol sederhana hingga struktur polimerik dengan berat molekul di atas
30.000. Berdasarkan jumlah subunit fenol, fenolik diklasifikasikan ke dalam dua
18
kelompok dasar, fenol sederhana dan polifenol. Fenol sederhana meliputi
kelompok asam fenolat atau fenol dengan grup karboksil. Sedangkan polifenol
mengandung sedikitnya dua cincin fenol.
Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai senyawa anti jamur.
Eusiderin, sejenis neo lignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al.
1985) dan angolensin yang diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus bersifat racun
terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces polutris (Pilotti et al. 1995).
Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8-
asetoksielemol, 8-hidroksielemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu
Juniperus chineensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan
beberapa jenis jamur, dan dari kayu Cunninghamia lanceolata berhasil
diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto
1992). Forestry Commission GIFNFC (2007) menyatakan bahwa lignan yang
merupakan produk penggabungan oksidatif dari polifenol dengan ikatan β-βpada
sisi rantai, menunjukkan aktivitas biologis sebagai penghalang pertumbuhan
jamur, racun ikan, dan antifeedan serangga.
Meskipun fenolik terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam
kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolik ini mempunyai fungsi sebagai
fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak
kayu. Fenolik seperti tanin terkondensasi dengan berat molekul tinggi atau
substansi-terikat dinding sel, secara in vitro menunjukan sifat anti jamur terhadap
beberapa penyakit tertentu (Sjostrom 1995). Namun, ekstrak kasar metanol pohon
norway spruce (yang diharapkan mengandung setidaknya stilbena, flavanoid, dan
konjugasi fenol sederhana) memperlihatkan sedikit sekali sifat anti jamur dalam
percobaan in vitro. Kemungkinan situasi in vitro berbeda, karena pada kondisi in
vivo terdapat enzim aktif maupun faktor lain (Schmidt et al. 2007).
Mekanisme resistensi pada tanaman dikategorikan oleh Dickinson (2003)
menjadi dua, yaitu pasif (konstitusif) dan aktif (induced). Mekanisme pasif
melibatkan elemen struktural seperti kulit ari atau sel pembatas di akar, serta pre-
formed senyawa kimia antimikrobial yang disebut fitoantisipin. Tanaman
memiliki berbagai mekanisme pertahanan aktif atau inducible, yang meliputi
respon hipersensitif (kematian sel tanaman secara lokal), dan induksi ekspresi gen
19
tertentu. Ekspresi gen ini misalnya perbaikan atau penguatan struktur pertahanan
dinding sel, biosintesis atau penambahan senyawa antimikrobial (fitoaleksin),
enzim, atau protein terkait-pertahanan.
Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai
mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu beresin ini merupakan
metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon terhadap infeksi
patogen. Pohon gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai
metabolit sekunder yang beraroma harum dari pohon tersebut (Yuan diacu dalam
Isnaini 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit
sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi,
maupun keadaan cekaman (Goodman et al. diacu dalam Isnaini 2004).
Fungsi metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik
Fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al.
2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif antimikrobial yang telah terdapat pada
tanaman dan kadangkala terpicu pengaktifannya saat pelukaan. Sedangkan
Fitoaleksin adalah senyawa aktif antimikrobial yang diproduksi secara de novo
setelah pelukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen.
(Verpoorte et al. 2000; Vidhyasekaran 2000).
Senyawa fenol dan sesequiterpena termasuk dalam kelompok metabolit
sekunder dalam tanaman. Senyawa fenol telah diketahui bersifat racun dan
merupakan substansi antibakterial (Vidyasekaran 2000). Daya racun fenol
beragam pada jenis fenol yang berbeda dan daya racunnya terhadap germinasi
spora, pertumbuhan miselia, dan produksi enzim juga bervariasi. Penelitian yang
dilakukan Le Tourneau et al. menunjukkan daya racun fenol tergantung pada
strukturnya (Vidhyasekaran 2000).
Pada banyak kasus, kandungan total fenol telah diamati berpengaruh
terhadap resistensi tanaman terhadap penyakit. Peningkatan total fenol pada sel
yang terinfeksi mengindikasikan bahwa sintesis fenol terjadi selama infeksi
ataupun akan ditransportasikan dari jaringan disekitarnya. Keberadaan inhibitor
fenol sebelum infeksi (atau disebut sebagai preformed phenolic) dilaporkan hanya
dalam sedikit kasus, misalnya saja penelitian Walter dan Stahman yang
menunjukan kelimpahan asam protocathechuic dan cathecol pada lapisan terluar
20
varietas bawang yang resisten, atau konsentrasi catechin yang tinggi pada anakan
kapas yang resisten terhadap Rhizoctonia solani. Namun, pada berbagai interaksi
dengan penyakit, bukan preformed fenolik tetapi fenol yang disintesis setelah
infeksi yang seringnya berkaitan dengan resistensi penyakit. Dan meskipun
senyawa fenol telah diketahui merupakan substansi beracun dalam tanaman,
namun dalam beberapa kasus senyawa ini mungkin saja tidak terlibat dalam
resistensi penyakit, contohnya tidak adanya perbedaan signifikan antara
kandungan fenol yang diamati pada tanaman gandum sehat dan yang diinokulasi
patogen (Vidhyasekaran 2000).
Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki
berbagai fungsi dalam tanaman, diantaranya sebagai minyak esensial
(monoterpenoid); atraktan serangga; fitoaleksin (sesqui-, di-, dan triterpena)
sebagai agen antimikrobial. Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari
jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang
terpicu pada level gen setelah pelukaan atau infeksi, dan ada yang terjadi pada
level senyawa dimana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi
senyawa aktif ketika pelukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu
pada Solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain
biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi pembentukan yang umum,
misalnya saja pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh
bagian tanaman (Verpoorte 2000).
Analisis senyawa Fenolik
Kebanyakan senyawa fenol (terutama flavanoid) dapat dideteksi pada
kromatogram berdasarkan warnanya atau flourensinya dibawah lampu UV,
warnanya diperkuat bila diuapi amonia. Pigmen senyawa fenol berwarna dan
dapat dilihat sehingga mudah diamati selama proses isolasi dan pemurnian
(Harborne 1987).
Cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa fenol
sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Jaringan fenol
dihidrolisis dalam suasana asam atau basa setelah pemekatan ekstrak tumbuhan
dalam etanol-air. Hidrolisis suasana asam dilakukan dengan HCl 2 M selama 30
21
menit, larutan kemudian didinginkan dan disaring sebelum diekstraksi. Hidrolisis
basa dengan NaOH 2M pada suhu kamar selama 4 jam dalam lingkungan
nitrogen, dan sebelum diekstraksi harus diasamkan dulu. Fenol yang terbebaskan
dari kedua cara ini diekstraksi dengan eter dan ekstrak eter ini dicuci, dikeringkan,
dan diuapkan sampai kering. Sisa penguapan dilarutkan dalam eter, kemudian
dikromatografi pada silika gel dengan pengembang asam asetat-kloroform dan etil
asetat-benzena. Fenol menyerap di daerah UV pendek dan dapat dideteksi pada
pelat silika gel yang mengandung indikator flouresensi gelombang 253 nm,
terlihat sebagai bercak gelap dengan latar belakang berflouresensi. Bila
digunakan pereaksi Folin-Ciocalteau, fenol yang berinti katekol (chatecol) atau
hidrokuinon terlihat sebagai bercak biru. Fenol lainnya terlihat sebagai bercak
biru sampai kelabu bila pelat diuapi amonia. Pereaksi vanilin-HCl (1 g vanilin
dalam 10 ml HCl pekat) dan vanilin-H2SO4 pekat (2:1) dengan turunan resorsinol
dan fluoroglusinol menghasilkan warna merah muda (Harborne 1987).
Brignolas et al. (1998) mengamati fenolik sebagai penduga keresistenan
pohon norway spruce (Picea abies) terhadap kumbang dan jamur. Strip kulit kayu
berukuran 100 x 10 mm diambil dari area lubang inokulasi dan area steril, pada 6
dan 12 hari sejak inokulasi dilakukan. Sampel strip dari area steril juga diambil
pada saat inokulasi dilakukan. Setelah sampel dihaluskan, dilakukan ekstraksi
dua tahap pada suhu 40C. Pertama, ekstraksi menggunakan pelarut pentana untuk
menghilangkan komponen resin, dan selanjutnya mengekstrak fenolik terlarut
dengan metil alkohol 80%. Komposisi ekstrak monofenol dilakukan dengan
reverse-phase HPLC, menggunakan kolom silika C-18. Fase bergerak
menggunakan campuran acetonitril dan asam asetat-air (1/99, v/v). Hasil yang
diperoleh diekspresikan dalam vanilil alkohol ekuivalen per gram floem kering.
Cvikrova et al. (2006) mengekstrak fenolik dari norway spruce yang
terinfeksi Ascocalyx abietina. Asam fenolik bebas, terikat-ester, dan terikat
glikosida diperoleh dengan mengekstrak jaringan kayu yang telah dihaluskan
dalam nirogen cair, dengan melarutkannya dalam metanol. Fraksi asam fenolik
terikat ester dinding sel diperoleh setelah hidrolisis alkalin dari residu ekstraksi
metanol. Asam fenolik dianalisis HPLC menggunakan Dionex Liquid
Chromatograhp dengan kolom C18 Spherisorb 5 ODS (250 mm x 4,6 mm).
22
Asam-asam fenolik ditentukan berdasarkan absorbsi maksimal dan dibandingkan
dengan senyawa referensi otentik.
Metode analisis fenolik menggunakan HPLC dilakukan oleh Nyman dan
Julkunen-Tiitto (2000) pada sampel dari pohon willow. Sampel jaringan
ditimbang 1,3 – 30,6 mg dan ditempatkan dalam tabung eppendorf, kemudian
dihancurkan dengan batang gelas, lalu ditambahkan 0,45 ml metanol murni.
Setelah homogenisasi, larutan ini disimpan dalam es selama 15 menit, kemudian
dihomogenisasi kembali, dan selanjutnya disentrifus (3 menit, 16.000 rpm).
Supernatan yang terbentuk diambil, residunya diekstrak kembali menggunakan
0,45 ml metanol (2 menit dalam es). Supernatan yang dihasilkan kemudian di
evaporasi dibawah aliran nitrogen. Ekstrak selanjutnya dilarutkan kembali dalam
1 ml metanol, 0,5 ml larutan yang terbentuk digunakan untuk HPLC. Sampel
yang digunakan untuk HPLC dievaporasi dengan nitrogen cair dan disimpan pada
220C. Sebelum HPLC, sampel yang disimpan tadi dilarutkan lagi dalam 0,4 ml
metanol-H2O (1:1). HPLC kemudian di-run.
Metode pendugaan total fenolik dalam akar kelapa yang diinokulasi dengan
Pseudomonas flourescens, Trichoderma viride dan T. harziannum yang dilakukan
oleh Karthikeyan et al. (2006) menggunakan metode Folin-Ciocalteau. 1 g
sampel akar dihomogenisasi dalam 10 ml metanol 80% (v/v), kemudian diagitasi
atau diputar selama 15’ pada suhu 700C. Ekstrak metanol ini diambil 1 ml dan
ditambahkan 5 ml air detilasi dan 250 µl reagent Folin-Ciocalteau (1 N), larutan
ini selanjutnya dsimpan pada suhu 250C. Absorban warna biru yang muncul
diukur pada 725 nm. katekol digunakan sebagai standar, dan jumlah fenolik
diekspresikan sebagai µg katekol/mg berat segar sampel.
Fusarium spp.
Jamur Fusarium spp. merupakan jamur penyebab penyakit pada banyak
tanaman. Klasifikasi dan nama ilmiah jamur ini adalah (Doctorfungus 2007):
Kingdom : FungiFilum : AscomycotaOrdo : HypocrealesFamili : HypocreaceaeGenus : Fusarium
23
Fusarium adalah jamur saprofitik berfilamen yang tersebar luas pada
tanaman dan tanah. Genus Fusarium terdiri dari lebih 20 spesies, yang paling
umum adalah F. solani, F. oxysporum, dan F. chlamydosporum. Fusarium
berbeda dari Acremonium, Lecythophora, dan Phialemonium karena memiliki
makrokonidia, dan berbeda juga dari Cylindrocarpon karena makrokonidianya
memiliki sel kaki dan ujung yang meruncing (Doctorfungus 2007).
Fusarium spp. tumbuh dengan cepat di sabouraud dextrose agar (SDA)
pada suhu 25°C dan menghasilkan penyebaran koloni seperti wol atau kapas yang
datar. Satu-satunya spesies yang lambat tumbuh adalah F. dimerum. Dari depan,
koloni bisa berwarna putih, krem, tan, salmon, cinamon, kuning, merah, violet,
merah muda, ataupun, ungu. Dari bagian belakang, koloni ini bisa tidak
berwarna, atau tan, merah, ungu gelap, dan coklat. Sclerotium adalah massa hifa
yang tetap dorman pada kondisi yang tidak kondusif, yang dapat diamati secara
makroskopis dan berwarna biru tua. Sedangkan sporodochium, lembar berbentuk
bantal dari hifa yang mendukung konidiospora di permukaannya, biasanya tidak
muncul pada kultur, namun ketika muncul dia berwarna krem, tan, atau oranye,
kecuali untuk F. solani yang berwarna biru kehijauan (Doctorfungus 2007).
Pengamatan mikroskopis menunjukan hifa hyaline septate, konidiospora,
fialides, makrokonidia, dan mikrokonidia. Sebagai tambahan untuk elemen-
elemen dasar tadi, F. chlamydosporum, F. napiforme, F. oxysporum, F.
semitectum, F. solani, and F. sporotrichoides menghasilkan klamidospora.
fialides berbentuk silender, soliter atau sebagai komponen sistem percabangan
yang komplek. Makrokonidia (3-8 x 11-70 µm) dibentuk dari fialides pada
konidiospora yang bercabang ataupun yang tidak, terdiri dari 2 atau lebih sel
berdinding tebal; halus; dan berbentuk silender. Sebaliknya, mikrokonidia (2-4
x4-8 µm), merupakan konidiospora sederhana yang panjang ataupun pendek,
terdiri dari 1 sel (kadang 2 atau 3 sel), halus, berbentuk ovoid hingga silindris,
tersusun dalam bentuk bola (kadang berbentuk rantai), dan berdinding tipis
(Doctorfungus 2007).
Genus Fusarium mencakup berbagai spesies yang sangat bervariasi
sehubungan dengan struktur genetiknya dan juga karena adaptasi yang tinggi
dengan merubah morfologinya sesuai perubahan lingkungan. Banyak spesies
24
Fusarium yang cenderung bermutasi dengan cepat, sehingga menyulitkan dalam
mengidentifikasinya. Bentuk spesifik dari makrokonidia yang langsing berbentuk
seperti pisang atau bulan sabit merupakan karakteristik identifikasi yang utama.
Beberapa spesies dapat dibedakan dari sekuen mikrokonidia, dan beberapa yang
lain dari keragaman pola klamidospora (Cullison 2008).
Ykema dan Stutz (1991) mengisolasi Fusarium sp. dari bagian akar tanaman
guayule yang nekrosis. Sampel nekrosis ditempatkan pada bagian mulut toples
yang telah dilapis oleh cheesecloth, kemudian dicuci dengan air mengalir selama
10 menit. Bagian akar selanjutnya dicuci dengan air destilasi, dan disterilisasi
permukaannya dengan sodium hipoklorida 1% selama 30 detik, dikeringkan, dan
dicuci lagi dengan air destilasi steril. Untuk menginduksi pertumbuhan miselial,
potongan akar kemudian ditempatkan pada agar-air di petri disk yang diinkubasi
pada suhu kamar. Isolat spora tunggal dipindahkan ke V8 juice agar dan potatoe
dextrose agar (PDA) dan diidentifikasi jenisnya.
Ykema Stutz (1991) juga mengevaluasi patogenisitas Fusarium sp. pada
anakan guayule. Anakan berumur 2 minggu dipindahkan ke cangkir styrofoam
yang berisi UC-soilless medium yang telah dipastuerisasi, kemudian disimpan di
rumah kaca dan disiram selama 8 hari. Fusarium spp. ditumbuhkan di V8 juice-
agar dibawah lampu flourescent pada suhu 250C selama 1 minggu. Suspensi
yang mengandung mikro- dan makrokonidia disiapkan, konidia dihitung dengan
hemacytometer. Konsentrasi akhir konidia dijadikan 2 x 105 spora per ml.
Tanaman diinokulasi dengan membuat 3 lubang di media soilless dengan pisau
kemudian 40 ml suspensi spora dimasukkan ke dalam setiap lubang. Untuk
kontrol, suspensi spora diganti 40 ml air destilasi. Anakan-anakan ini selanjutnya
ditempatkan di rumah kaca selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap
tanaman-tanaman yang menunjukkan gejala penyakit, berupa jumlah tanaman
yang terkena penyakit dan berat segar tanaman ditimbang. Hasilnya 75%-96%
mengalami nekrosis dan gejala penyakit yang disebabkan Fusarium spp.