pengendalian dan pengawasan kementerian agama...
TRANSCRIPT
PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN KEMENTERIAN AGAMA
TERHADAP PENYELENGGARA PERJALANAN IBADAH UMRAH
BERMASALAH (Studi Kasus Pada PT. Pandi Kencana)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Syariifah Saniyyah Algadri
11140460000038
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1440 H
PENGENIDAIIAIY DAIq PENGAWASAN XEMENIERIAN AGA.WTA
"TffigAT}AP PES{.YELENGGARA PER'AII\NAN IBAI}ATT UEfiftAH
BERIIi/$AIJ\E (Studi KsGFada PT" Paudi 1(sae*E*)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.$
Oleh:
Syariifah Saniwah Aleadri11140460000038
Pembimbing:
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAI(ULTAS SYARIAH DAI\ HUIruM
UNIVERSITAS ISLANI NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
L440 Hl 2018 M
NrDN.2110068503
LIINTBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudttl "Pengendalian Dan Pengau,asan Kementerizrn ,,\sanra
Terhadap Penyelenggara Irerialanan lbadah Urlrah Bernrasalah (Studi Kasus Pa.la I, IPandi Kencana)", )'ang ditulis oleh Sr.ariifah Sani1,1,ah Algadri. N1N4.
11140460000038. telah diujikan dalan sidang skripsi pada Junrat.0-5 Oktotrer'2018.
Skripsi ini telah diterirna sebagai salah satu syarat untr.rk memperoleh gelar Sarjana
Hukum (S H) pada Program Studi Hukum Ekonomi Svariah (N4tramalat) Fakultas
S).ariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidavatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Oktober 201 8
Mengesahkan
Panitia Sidang:
1. Ketua : A.M. Hasan Ali. M.A.NIP. 19751201200501 1 005
2. Sekretaris : Dr. Abdurrauf Lc. M.A.NIP. 19731215200501 |
3. Pembimbing
4. Periguji I A.M. Hasan Ali M.A.NIP 19151201 200501 i 00-s
: Faris Satria Alani N4.H.
Syariah dan Hr-rkunr
6 199603 I 00r
21 10068503
5. Penguji IINIDN. 0325038802
T.EMBAR PERNYATAN KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda
Nama
NIM
Program Studi
Fakultas
tangan di bawah ini,
Syariifah S aniyyah Algadri
11140460000038
Hukum Ekonomi Syariah
Syariah dan Hukum
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (Sl) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah J akarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakafta, 24 September 2018
Penulis,
Saniyyah Algadri
IV
Syariifah
v
v
ABSTRAK
Syariifah Saniyyah Algadri. NIM 11140460000038. PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN KEMENTERIAN AGAMA TERHADAP PENYELENGGARA PERJALANAN IBADAH UMRAH (Studi Kasus Pada PT. Pandi Kencana). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439/2018. Banyaknya Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melakukan sebuah penyimpangan mengakibatkan tergeraknya Pemerintah untuk memperketat pengawasan terkait penyelenggaraan ibadah umrah yang dilaksanakan oleh pihak swasta. Adapun kebijakan-kebijakan baru yang diterbitkan oleh Pemerintah agar tercapainya tujuan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yaitu para jemaah dapat menajalankan ibadahnya dengan tenang dan nyaman, dengan meminimalisir Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melakukan pelanggaran yang merugikan jemaah umrah. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan jenis penelitian hukum normatif-empiris dengan pendekatan hukum statute aproach dan case aproach sumber data didapatkan dari data primer dan data sekunder dan menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan studi lapangan. Pembahasan pada skripsi ini menggunakan teori Loerand M. Friedman tentang sistem hukum serta langkah-langkah pengawasan oleh George R. Terry. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah adalah kewenangan pihak swasta yaitu Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Kementerian Agama hanya sebagai regulator. Sebagai regulator Kementerian Agama melakukan pengawasan dengan jenis pengawasan preventif dan pengawasan represif untuk mengendalikan dan mengawasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Kata Kunci : Pengawasan, Kementerian Agama, Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Dosen Pembimbing : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A.HUM., M.H.
Daftar Pustaka : 1991 s.d 2018.
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الره الره بسم للاه
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam. Pertama-tama penulis panjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan melimpahkan
segala karuniaNya sehingga atas seizinNya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Shalawat dan Salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW beserta sahabat dan keluargaNya, semoga dapat menjadi suri tauladan bagi
kita semua umat manusia dan semoga kita mendapatkan syafa‟atnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis sudah melibatkan banyak pihak dalam
proses penyusunannya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Civitas
Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dan secara khusus tak lupa penulis ucapkan banyak
terimakasih kepada:
1. Bapak Asep Saipudin Jahar selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Hasan Ali selaku Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah dan
Bapak Abdurrauf selaku Sekretaris Prodi Hukum Ekonomi Syariah.
3. Bapak Syahrul A‟dam selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan masukkan kepada penulis tentang segala hal mengenai
perkuliahan.
4. Bapak Fathuddin Kalimas selaku Dosen Pembimbing yang telah
meluangkan waktunya dan dengan sabar membimbing penulis dalam
penyusunan skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Para Pengurus Fakultas
Syariah dan Hukum, dan para Pengurus Perpustakaan Utama.
6. Bapak Nurcholis, Bapak Dzakaria, dan Bapak Ali Machzumi Direktorat
Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji
dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia yang sudah bersedia
meluangkan waktunya dan bersedia menjadi narasumber dalam
vii
penelitian ini sehingga peneliti mendapat data dan dokumen yang penulis
butuhkan.
7. Bapak Mustolih selaku Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah yang
sudah bersedia meluangkan waktunya dan bersedia menjadi narasumber
dalam penelitian ini sehingga penulis mendapat data dan dokumen yang
penulis butuhkan.
8. Bapak Hendri selaku HRD Travel Pandi Kencana dan Ibu Nennah selaku
pihak PT. Alkautsar yang sudah bersedia meluangkan waktunya dan
bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini sehingga peneliti
mendapat data dan dokumen yang penulis butuhkan.
9. Orang tua tercinta Ahmad Muhajir Alqadri dan Nurjehan Alatas yang
tidak pernah lelah membantu, memberikan semangat, mendoakan, dan
memberikan dukungan materil sehingga penulis bisa ditahap ini.
10. Kakak tercinta Ahmad Shofi Alqadri dan adik-adik tercinta Muhammad
Suruur Algadri dan Nuuri Sausan Algadri yang selalu ikut membantu dan
mendoakan penulis.
11. Teman-teman penulis Akbar Ali Yafie yang sudah membantu dan
menyemangati penulis dalam penyusunan skripsi ini, Apriyani dan
Thoivah Nibras yang sudah menjadi sahabat penulis selama masa
perkuliahan dan semoga sampai selamanya.
12. Cucu Umar Zahra, ABO‟s, teman-teman kossan Ibu Jait, dan kawan-
kawan Hukum Ekonomi Syariah 2014 yang sudah selalu memberikan
semangat terbesar, melewati berbagai macam tahap perkuliahan bersama,
dan selalu saling mendo‟akan hingga sampai saat ini.
Terima kasih untuk orang-orang yang pernah hadir dalam hidup penulis, yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga setiap dukungan dan do‟a yang
telah kalian berikan kepada penulis mendapat balasan dan keberkahan dari Allah
SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan untuk
para pembaca umumnya. Semoga Allah SWT selalu memberkahi kita semua.
Amiin Ya Rabbal Alamin
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ..viii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .............................................................................................. 5
D. Rumusan Masalah .................................................................................................. 6
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
1. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
2. Manfaat penelitian .................................................................................... 7
F. Kajian Studi Terdahulu .......................................................................................... 7
G. Metode Penelitian .................................................................................................. 9
H. Sistematika penulisan ........................................................................................... 14
BAB II SISTEM PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN DALAM
TINJAUAN TEORITIS ........................................................................................ 16
A. Sistem Hukum dan Efektivitas Hukum ................................................................ 16
B. Pengawasan dan Pengendalian ............................................................................. 18
C. Pengawasan Menurut Pandangan Islam ............................................................... 26
BAB III PENYELENGGARA DAN LEMBAGA PENGAWAS
PENYELENGGARA PERJALANAN IBADAH UMRAH ................................. 28
A. Sejarah Pengaturan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah ............................. 28
1. Periode Orde Lama 1945-1965.......................................................................... 29
2. Periode Orde Baru 1965-1997 ........................................................................... 31
3. Penyelenggaraan Haji Saat Ini ................................................................ 34
B. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ................................................ 40
1. Syarat Menjadi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ......... 41
2. Standar Moral Dari Profesionalitas ......................................................... 43
ix
3. Tugas Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah .............................................. 48
C. Kementerian Agama Sebagai Lembaga Pengawas .............................................. 50
1. Kedudukan dan Kewenangan Kementerian Agama ......................................... 50
2. Tugas Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah ............................. 52
3. Legalitas Kementerian Agama Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ............................................ 53
4. Dasar Pentingnya Pengawasan Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah 54
D. Mekanisme dan Bentuk-Bentuk Pengawasan ...................................................... 55
1. Mekanisme Pengawasan ................................................................................... 55
2. Bentuk-Bentuk Pengawasan ............................................................................. 56
E. Penanganan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Bermasalah ........ 61
1. Teguran tertulis ................................................................................................. 61
2. Pembekuan izin ................................................................................................ 65
3. Pencabutan ........................................................................................................ 66
4. Tidak diberikan pengesahan sebagai Provider ................................................. 67
5. Ketentuan Lain ................................................................................................. 68
BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN PENYELENGGARA
PERJALANAN IBADAH UMRAH BERMASALAH OLEH KEMENTERIAN
AGAMA ................................................................................................................ 69
A. Potret Kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Bermasalah ................... 69
1. Kasus PT. Pandi Kencana ................................................................................ 69
B. Langkah-Langkah Kementerian Agama .............................................................. 71
C. Strategi Penyelesaian ........................................................................................... 74
1. Langkah Antisipasi ........................................................................................... 74
D. Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) ...................................................................................................... 75
BAB V ................................................................................................................... 84
PENUTUP ............................................................................................................. 84
A. Simpulan .............................................................................................................. 84
B. Saran..................................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 87
x
3. Tugas Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah .................................... 48
C. Kementerian Agama Sebagai Lembaga Pengawas .............................................. 50
1. Kedudukan dan Kewenangan Kementerian Agama ............................... 50
2. Tugas Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah .................... 52
3. Legalitas Kementerian Agama Dalam Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ................................... 53
4. Dasar Pentingnya Pengawasan Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah ..................................................................................................... 54
D. Mekanisme dan Bentuk-Bentuk Pengawasan ...................................................... 55
1. Mekanisme Pengawasan ......................................................................... 55
2. Bentuk-Bentuk Pengawasan ................................................................... 56
E. Penanganan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Bermasalah ........ 61
1. Teguran tertulis ....................................................................................... 61
2. Pembekuan izin ....................................................................................... 65
3. Pencabutan .............................................................................................. 66
4. Tidak diberikan pengesahan sebagai Provider ....................................... 67
5. Ketentuan Lain ........................................................................................ 68
BAB IV MEKANISME PENYELESAIAN PENYELENGGARA
PERJALANAN IBADAH UMRAH BERMASALAH OLEH KEMENTERIAN
AGAMA ................................................................................................................ 69
A. Potret Kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Bermasalah ................... 69
1. Kasus PT. Pandi Kencana ....................................................................... 69
B. Langkah-Langkah Kementerian Agama .............................................................. 71
C. Strategi Penyelesaian ........................................................................................... 74
1. Langkah Antisipasi ................................................................................. 74
D. Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) ...................................................................................................... 75
BAB V ................................................................................................................... 69
PENUTUP ............................................................................................................. 69
A. Simpulan .............................................................................................................. 69
B. Saran..................................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 87
xi
LAMPIRAN .......................................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Urutan Regulasi Haji dan Umrah dari Zaman Kolonial Hingga Sekarang
............................................................................................................................... 38
Tabel 3.2 Peraturan Khusus Tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
............................................................................................................................... 39
Tabel 4.1 Infografis Sanksi Yang Diberikan Kementerian Agama Untuk
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) ................................................. 70
Tabel 4.2 Hasil Analisis Kesesuaian Sistem Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah dengan Peraturan Tentang Penyelenggaraan Umrah yang Berlaku 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk muslim
terbanyak di dunia, oleh sebab itu Indonesia menjadi salah satu negara yang
memiliki peminat terbanyak dalam menjalankan ibadah umrah. Hal tersebut
terbukti dari hampir setiap bulannya ada yang diberangkatkan ke tanah suci
Mekkah untuk menjalankan ibadah umrah. Tentunya menunaikan ibadah umrah
merupakan impian bagi setiap umat muslim dan muslimah khususnya di
Indonesia, selain itu umrah juga untuk mengobati rasa rindu terhadap Baitullah.
Jemaah umrah adalah sebutan untuk seseorang yang sudah terdaftar untuk
segera melaksanakan ibadah umrah, dalam Peraturan Menteri Agama Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 Pasal 1 Ayat 4 tentang Penyelenggaraan
Perjalanan Ibadah Umrah, ditegaskan Jemaah Umrah adalah:
Jemaah Umrah yang selanjutnya disebut Jemaah adalah setiap orang yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Umrah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Walaupun melaksanakan ibadah umrah tidak terdapat di dalam rukun Islam,
namun masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah umrah pun tidak kalah
banyak dari masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah haji. Sebagian besar
ulama sepakat menyatakan bahwa ibadah umrah wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim dan muslimah sekali seumur hidup selama ia mempunyai kemampuan1,
Ayat Al-Qur‟an tentang ibadah umrah terdapat dalam surat Al-Baqarah Ayat 158,
sebagai berikut:
فا والمروة من شعائر اللو فمن حج الب يت أو اعتمر فال جناح عليو أن يطو ف بما ومن إن الصرا فإن اللو شاكر عليم تطوع خي
Artinya: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi‟ar Allah. Maka Barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah,
1 M. Quraish Shihab, Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab (Uraian Manasik,
Hukum, Hikmah & Panduan Meraih haji Mabrur), (Tangerang: Lentera Hati. 2012), h. 4
2
Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‟i antara keduanya. Dan Barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui”
Ibadah umrah memiliki keistimewaan salah satunya adalah dapat dilakukan
setiap bulan dalam kurun waktu setahun. Namun di Indonesia untuk
melaksanakan ibadah umrah hanya terdapat 8 (delapan) bulan, yang mana 4
(empat) bulan selanjutnya adalah waktu untuk melaksanakan ibadah haji. Ibadah
umrah mirip dengan ibadah haji karena itu ibadah umrah sering disebut sebagai
haji kecil.2
Dikarenakan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan kapan pun di dalam satu
tahun memungkinkan meluapnya masyarakat yang ingin pergi ke Baitullah untuk
melaksanakan ibadah umrah. Atas dasar tersebut tidak bisa dipungkiri jika sistem
penyelenggaraan umrah selalu menjadi sorotan bagi masyarakat Indonesia.
Menurut data Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah
Kementerian Agama pada tahun 2016 tercatat setiap harinya terdapat sekitar
600.000 Jemaah yang diberangkatkan ke Arab Saudi.3 Pada 2017 masyarakat
Indonesia menempati urutan kedua dengan 875.958 Jemaah Umrah yang
merupakan kenaikan dari tahun 2016 lalu.4
Banyaknya peminat umrah tentunya menjadi hal yang tidak mengherankan
jika permasalahan mengenai penyelanggaraan umrah bermunculan setiap
tahunnya bahkan bisa terjadi beberapa kali di dalam satu tahun karena meluapnya
masyarakat yang ingin pergi ke Baitullah. Atas meluapnya masyarakat muslim di
Indonesia yang ingin menunaikan ibadah umrah, maka pelayanan dalam
penyelenggaraan ibadah umrah pun harus terus ditingkatkan dan terus dipantau.
Sebagai mana kita ketahui perjalanan ibadah umrah yang berjalan di
Indonesia ini menyebabkan permintaan penyelenggaraan ibadah umrah sangat
2 “Inilah Sejarah Umroh & Asal Mula Terjadinya”, Alsha Umroh, http:// www.alshaumroh.com/2017/02/inilah-asal-mula-terlaksananya-umroh.html, 02 Februari 2018. 3 Diaz, “Kemenag: Minat Umrah Meningkat Signifikan”, Haji Kemenag, https://haji kemenag .go.id/v3/content/kemenag-minat-umrah-meningkat-signifikan, 13 Februari 2018 4 Muhammad Subarkah, “Jamaah Umrah Naik 6 Persen, Indonesia Terbanyak Kedua”, Republika, https:// www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/17/06/26/os4u2x385-jamaah-umrah-naik-6-persen-indonesia-terbanyak-kedua, 20 Juli 2018
3
tinggi sehingga menimbulkan pasar yang sangat besar, pasar yang bermunculan
adalah berupa terbentuknya berbagai macam biro perjalanan umrah atau yang
biasa kita sebut dengan kata „Travel‟. Biro perjalanan menjadi jembatan untuk
seseorang yang ingin melaksanakan ibadah haji, umrah, dan perjalanan
internasional maupun perjalanan domestik.
Pemerintah memang memberikan wewenang kepada agen-agen travel untuk
menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah, tentunya biro perjalanan yang dapat
menyelenggarakan ibadah umrah adalah biro perjalanan yang sudah mendapat izin
dari kementerian terkait. Hal tersebut ditegaskan dalam Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 Pasal 4 Ayat 1 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah:
Penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau biro perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri.
Agen travel yang sudah mendapat izin dari Kementerian Agama untuk
menyediakan jasa perjalanan ibadah umrah disebut dengan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang mana memiliki tugas untuk menyediakan
fasilitas bagi calon jemaah, mulai dari mengurus visa di kedutaan, menyediakan
layanan manasik, mengatur jadwal keberangkatan, mengurus administrasi, serta
urusan-urusan lainnya.
Sebagaimana tercantum dalam ketentuan umum Fatwa Dewan Syariah
Nasional Nomor 83 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah Jasa
Perjalanan Umrah:
Jasa Perjalanan Umrah adalah jasa penyelenggaraan dan pelayanan ibadah umrah yang meliputi antara lain berupa bimbingan manasik, visa, tiket pesawat, akomodasi (hotel dan catering), muthawwif, ziarah, dan pengurusan administrasi di bandara (handling airport)
Saat ini, ada banyak agen travel umrah yang menawarkan jasanya, seperti di
kota besar Jakarta. Penduduk Jakarta tentunya akan sangat mudah untuk
menemukan sebuah travel umrah jika berkeinginan melaksanakan ibadah umrah,
namun dalam merencanakan perjalanan ibadah umrah tentunya tidak bisa
4
sembarang pilih agen travel. Tidak sedikit kasus calon jemaah tertipu dengan
pihak travel yang tidak bertanggung jawab.
Setelah ditelusuri, ternyata travel yang menyediakan penyelenggaraan
ibadah umrah tersebut tidak mempunyai izin resmi dan tidak terdaftar di
Kementerian Agama.5 Hal ini merugikan banyak jemaah yang ingin
melaksanakan ibadah umrah baik berupa kerugian dalam hal finansial, penipuan,
gagal menjalankan ibadah umrah dan lain sebagainya.
Tentunya mendirikan agen travel atau biro perjalanan umrah tidaklah
mudah. Agar mendapat kepercayaan dari calon jemaah, perusahaan travel tersebut
harus mengantongi izin dari kementerian terkait.6 Dalam Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 44 Ayat a ditegaskan:
Biro perjalanan wisata yang sah adalah biro perjalanan wisata yang telah terdaftar pada lembaga/instansi yang lingkup dan tugasnya di bidang pariwisata.
Sudah cukup jelas atas peraturan yang dicantumkan di atas, bahwa untuk
menjadi sebuah perusahaan biro perjalanan maka harus terdaftar terlebih dahulu di
kementerian yang terkait baik Kementerian Pariwisata maupun Kementerian
Agama, setelah terdaftar barulah biro perjalanan tersebut dianggap sah.
Namun bagaimana jika sebuah pelanggaran dilakukan oleh sebuah biro
perjalanan yang sudah mendapatkan izin secara resmi menjadi Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)? Hampir setiap tahunnya Kementerian Agama
melakukan penjatuhan sanksi kepada sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yang melanggar dengan berbagai macam alasannya. Dengan ini
tentunya Kementerian Agama akan mengambil langkah tegas untuk menangani
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melakukan pelanggaran.7
5 “Travel Umroh Yang Terdaftar di Departemen Agama”, Umroh Travel, https://umroh. travel/tag/travel-umroh-yang-terdaftar-di-departemen-agama/, 06 Februari 2018 6 “Cara Mendirikan Travel Haji dan Umroh”, Umroh Travel, https://umroh.travel/cara-mendirikan-travel-haji-dan-umroh/, 09 Februari 2018 7 Salmah Muslimah, “Kemenag Polisikan Travel Umrah Tak Resmi: Cabut Izin Travel Yang Melanggat”, Detik News, https://m.detik.com/news/berita/2920369/kemenag-polisikan-travel-umrah-tak-resmi-cabut-izin-travel-yang-melanggar, 28 Maret 2018
5
Sedangkan dalam penanganan biro perjalanan yang belum resmi tercatat
sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menurut Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama menyatakan
bahwa biro perjalanan ibadah umrah yang tidak resmi, penanganannya langsung
di bawah kepolisian dan memiliki unsur pidana karena tidak berizin.8
Berpijak pada permasalahan tersebut, menarik untuk dikaji tentang
bagaimana strategi atau mekanisme yang dilakukan oleh Kementerian Agama
dalam menangani kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang
telah melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, tema ini diangkat menjadi sebuah
penelitian yang berjudul:
“Pengendalian Dan Pengawasan Kementerian Agama Terhadap
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Bermasalah (Studi Kasus Pada PT.
Pandi Kencana)”
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas maka
terdapat identifikasi masalah di antaranya yaitu:
1. Bagaimana mekanisme pengawasan pemerintah kepada biro travel
perjalanan umrah?
2. Bagaimana ketentuan penyelenggara perjalanan umrah menurut peraturan
perundang-undangan?
3. Bagaimana pelayanan yang semestinya diberikan oleh Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dalam penyelenggaraan ibadah umrah?
C. Pembatasan Masalah
Mengenai penelitian ini tentunya penulis memiliki batasan yang bertujuan
untuk menghindari meluasnya pembahasan. Penulis membatasi penelitian ini
dengan hanya membahas pengendalian dan pengawasan yang dilakukan
Kementerian Agama terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
8 Muhammad Subarkah, “Kemenag Cabut Izin Empat Travel Umrah”, Republika, www.republika.co.id/berita /jurnal-haji/18/03/27/p68z6l385-kemenag-cabut-izin-empat-travel-umrah, 03 April 2018
6
Tentunya pengendalian dan pengawasan yang dilakukan Kementerian
Agama memiliki dasar hukum, di mana penulis juga membahas peraturan-
peraturan yang terkait dengan sistem penyelangaraan ibadah umrah, pengawasan,
dan pengendalian terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang
melanggar. Adapun penulis membatasi wilayah penelitian dengan hanya meneliti
pada daerah Jakarta khususnya.
Selain itu, penulis membatasi objek penelitian seperti hanya pada biro
perjalanan umrah yang pernah diberikan sanksi oleh Kementerian Agama, biro
perjalanan umrah yang sudah berjalan lama, biro perjalanan yang belum memiliki
izin resmi dari Kementerian Agama, dan adapun Subdirektorat Perizinan,
Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Subdirektorat
Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat
Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah
Kementerian Agama.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem penyelenggaraan umrah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
2. Bagaimana mekanisme pengendalian dan pengawasan yang dilakukan
oleh Pemerintah (Kementerian Agama) terhadap Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan memahami mekanisme pengawasan dan pengendalian
Kementerian Agama terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU).
b. Tujuan Khusus
7
Pada dasarnya penelitian ini memiliki tujuan, di mana
tujuan ini berfokus secara khusus, antara lain:
1) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang
terkait sistem penyelenggaraan ibadah umrah:
2) Untuk mengetahui penanganan yang dilakukan oleh
Kementerian Agama untuk Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yang melanggar.
2. Manfaat penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis berharap terdapat manfaat
yang dapat diperoleh. Maka terdapat manfaat yang penulis harapkan,
yaitu di antaranya:
a. Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi acuan untuk
penelitian lain;
b. Penulis berharap penelitian ini bisa dijadikan acuan dalam
pembelajaran mengenai peraturan perundang-undangan terkait
ibadah umrah.
Penelitian ini juga memberikan manfaat kepada penulis yaitu untuk
menambah wawasan penulis mengenai peraturan perundang-undangan
tentang sistem penyelenggaraan ibadah umrah dan juga pengendalian
serta pengawasan Kementerian Agama terhadap Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar.
F. Kajian Studi Terdahulu
Penelitian mengenai penyelenggaraan ibadah umrah sebelumnya telah
banyak dilakukan penelitian. Maka terdapat beberapa penelitian terdahulu yang
penulis jadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini, maka peneliti akan
menjelaskan isi dari penelitian terdahulu tersebut dan penulis akan menjelaskan
titik perbedaan antara penelitian penulis dan penelitian studi terdahulu tersebut.
Pertama, oleh Adhi Pradana Putra S.H., jurnal dengan judul “Pengawasan
Terhadap Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (Studi Terhadap Kasus
PT. First Anugrah Karya Wisata)”, Mahasiswa Magister Hukum Universitas
8
Tanjung Pura tahun 2018. Adhi Pradana Putra meneliti tentang sebuah misi dalam
rangka meningkatkan fungsi pengawasan terhadap pelayanan kepada jemaah
umrah tentang pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Agama Republik
Indonesia untuk melindungi para calon jemaah haji maupun jemaah umrah dan
salah satu cara untuk melindungi masyarakat yaitu dengan memberikan sanksi
kepada travel, yang mana yang dijadikan sample adalah PT. First Anugrah Karya
(First Travel). Perbedaan dengan penelitian penulis yaitu penulis membahas
bagaimana pengawasan dalam penjatuhan sanksi yang harus dijalankan oleh
sebuah biro perjalanan umrah yang terkena sanksi dan penulis mengambil sample
terhadap PT. Pandi Kencana.
Kedua, oleh Zaenul Arifin, Sri Endah Wahyuningsih, Sri Kusriyah. Jurnal
dengan judul “Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penipuan Dan Atau Penggelapan Berkedok Biro Jasa Ibadah Umroh Dengan
Biaya Murah (Studi Kasus Pada Penyidik Sat Reskrim Polrestabes Semarang)”
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
Semarang, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA) Semarang, 2017. Tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana
penipuan jemaah umrah pada tahap penyidikan pada penyidik Sat Reskrim
Polrestabes Semarang. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah penulis
membahas tentang pengawasan dalam pengenaan sanksi yang akan diterapkan
oleh Kementerian Agama terhadap biro perjalanan yang melanggar.
Ketiga, oleh Beben Saputra, Thesis dengan judul “Penegakan Hukum
Terhadap Biro Perjalanan Haji Dan Umrah Pada PT. Andalan Insani Tour And
Travel Kota Padang” Mahasiswa Universitas Andalas, 2015. Penelitian ini
menjelaskan tentang penegakan hukum terhadap biro perjalanan ibadah haji dan
umrah. Sedangkan penulis hanya membahas penegakan hukum terhadap biro
perjalanan ibadah umrah saja.
Keempat, oleh Komisi VIII, Naskah Akademis dengan judul “Rancangan
Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah” Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Jakarta, 2016. Penelitian ini lebih
kepada mengevaluasi segala hal titik kelemahan dalam penyelenggaraan ibadah
9
haji baik mengevaluasi peraturan terkait maupun mengevaluasi operasionalnya.
Sedangkan penulis melihat bagaimana sistem penyelenggaraan umrah yang
terdapat di peraturan terkait dan melihat bagaimana pengimplementasiannya pada
biro perjalanan umrah.
Kelima, oleh Bevi Septriana, skripsi dengan judul“Penegakan Hukum
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Calon Jemaah Umroh Pada Tahap
Penyidikan (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)” Mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Lampung, 2017. Penelitian ini membahas tentang penegakan
hukum terhadap para biro perjalanan ditahap penyidikan di Polresta Bandar
Lampung. Sedangkan penulis membahas prosedur penjatuhan sanksi yang
dilakukan Kementerian Agama untuk menangani biro perjalanan yang melanggar.
G. Metode Penelitian
Terdapat metode penelitian hukum yang penulis gunakan dalam penelitian
ini di antaranya adalah:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
hukum normatif-empiris. Jenis penelitian hukum normatif empiris ini pada
dasarnya merupakan penggabungan antara jenis penelitian hukum normatif
dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian normatif-
empiris adalah sebuah implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang)
dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat.
Mengenai penelitian normatif hanya ditujukan pada peraturan-peraturan
tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena
akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan. Dalam
penelitian hukum normatif hukum yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti
teori, filosofi, perbandingan, struktur atau komposisi, konsistensi, penjelasan
10
umum dan penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu
undang-undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum.9
Sedangkan penelitian empiris yang menjadikan hukum sebagai refleksi
pengalaman manusia yang mana penelitian empiris memperhatikan orang-orang
yang terlibat, lokasi suatu kasus terjadi, dan waktu penelitian. Penelitian empiris
merupakan penelitian yang bergerak dari teori ke fakta atau pengalaman untuk
menguji kebenaran teori atau teori sebagai pintu masuk ke permasalahan. Model
penelitian ini disebut dengan aliran deduktif.
Dengan penelitian empiris, penulis akan melihat ke dalam sistem
penyelenggaraan umrah yang terdapat di peraturan perundang-undangan terkait
penyelenggaraan ibadah umrah, mendapatkan data secara langsung dari
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang penulis libatkan, mendapat
data secara langsung dari Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Subdirektorat Pemantauan dan
Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan
Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian
Agama.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan hukum Statute
Aproach atau pendekatan perundang-undangan yang mana pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan dengan permasalahan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah
sebagai topik permasalahan yang sedang penulis bahas.
Penulis juga menggunakan pendekatan case approach atau pendekatan
kasus, pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang
berkaitan dengan penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. Kasus-kasus yang
ditelaah merupakan kasus yang telah diselesaikan oleh Kementerian Agama dalam
hal pemberian sanksi kepada sebuah biro perjalanan umrah yang mana akan
9 “Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif”, ID tesis, https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/, 14 April 2018
11
digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan permasalahan yang sedang
diteliti.10
3. Sumber data
Sumber data dapat dibedakan antara data yang akan diperoleh langsung dari
masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Sumber data yang
dipergunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder.11
a. Data primer adalah data yang harus dicari dan/atau didapatkan langsung dari
objek penelitian dalam penelitian ini penulis menggunakan data wawancara
yang mana penulis mewawancarai Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan
Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Subdirektorat
Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus
Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggara
Haji dan Umrah Kementerian Agama, PT. Pandi Kencana, PT. Al-Kautsar,
dan PT. Al-Kautsri. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah
peraturan yang terkait dengan pengawasan dan pengendalian dalam hal
penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015
Pasal 4 Ayat 1 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah;
4) Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah; dan
10 “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”, Ngobrolin Hukum, https://www.google.co.id/ amp/s/ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian-hukum/amp/, 01 Agustus 2018 11 Bevi Septriana, “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Calon Jamaah Umrah Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus diPolresta Bandar Lampung)”, (Lampung: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2017), h. 52
12
5) Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 83 tentang Penjualan Langsung
Berjenjang Syariah Jasa Perjalanan Umrah.
b. Data sekunder adalah data yang sudah tersedia di studi kepustakaan. Bahan
hukum sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan
hukum primer yang penulis gunakan untuk membantu menganalisis, bahan-
bahan tersebut berupa jurnal hukum, penelitian terdahulu, makalah, surat
kabar, buku12, artikel, media internet, dan data-data yang dikeluarkan oleh
Kementerian Agama.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah menemukan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi standar data yang ditetapkan.13 Adapun teknik pengumpulan data
yang penulis gunakan di penelitian ini, di antaranya adalah:
a. Studi Pustaka.
Kegiatannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai
literatur, baik dari perpustakaan maupun tempat lain.14 Studi pustaka
digunakan untuk melengkapi data-data yang bisa didapat di perpustakaan
maupun tempat lain, yang mana data tersebut didapat dengan cara membaca
mempelajari buku-buku, jurnal, majalah, undang-undang dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Hal ini penulis lakukan
agar mendapatkan data penelitian yang relevan.
b. Studi lapangan.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai
beberapa biro perjalanan dan Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah dan Subdirektorat Pemantauan dan
12 Zik611, “Metode Penulisan Hukum”, Wonkder Mayu, https://wonkdermayu.wordpress .com/kuliah-hukum/metode-penulisan-hukum/, 01 Agustus 2018 13 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 224 14 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 10
13
Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Umrah
dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah
Kementerian Agama. Kegiatan penelitian ini dilakukan di lingkungan
masyarakat tertentu15.
Wawancara adalah alat pengumpulan data untuk memperoleh informasi
langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus
informasi dalam wawancara, yaitu: pewawancara, responden, pedoman
wawancara, dan situasi wawancara.
Pewawancara adalah pengumpul informasi. Oleh karena itu,
pewawancara diharapkan dapat menyampaikan semua pertanyaan dengan
jelas, merangsang responden untuk menjawab semua pertanyaan, dan
mencatat semua informasi yang dibutuhkan dengan benar.
Responden merupakan pemberi informasi yang diharapkan dapat
menjawab semua pertanyaan dengan jelas dan lengkap. Untuk itu
diperlukan motivasi atau kesediaan responden menjawab pertanyaan dan
hubungan selaras antara responden dan pewawancara. Pedoman wawancara
yang digunakan pewawancara adalah menguraikan masalah penelitian yang
dituangkan dalam bentuk daftar pertanyaan. Isi pertanyaan yang peka atau
sulit dapat menghambat jalannya wawancara.
Situasi wawancara berkaitan dengan waktu, tempat, kehadiran orang
ketiga, dan sikap masyarakat umumnya. Waktu dan tempat yang tidak
sesuai dapat menjadikan pewawancara canggung dan responden enggan
menjawab pertanyaan. Adanya orang ketiga dapat mempengaruhi responden
dalam mejawab, demikian pula dengan sikap masyarakat sekitar.16
5. Teknik Pengelolaan Data
Data yang telah terkumpul dalam tahap pengumpulan data, perlu diolah
dahulu. Tujuannya adalah menyederhanakan seluruh data yang terkumpul,
menyajikannya dalam susunan yang baik dan rapih, untuk kemudian dianalisis.
15 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, h. 10 16 Ibid, h. 71-72
14
Dalam tahap pengolahan data ini, ada 3 (tiga) kegiatan yang dilakukan di
antaranya:17
a. Pengecekkan data, kegiatan yang dilakukan adalah mengecek apakah data
yang dibutuhkan sudah lengkap dan mengecek kembali apakah ada data
yang tidak dibutuhkan, sehingga hanya terdapat data-data yang relevan saja.
Dalam kegiatan pengecekkan data dilakukan dengan cara membaca ulang
dan memperhatikan secara teliti data-data yang sudah dimiliki;
b. Penyuntingan, kegiatan yang dilakukan dalam penyuntingan ini adalah
menghapus data-data yang tidak diperlukan dan menambahkan data-data
yang dianggap perlu untuk kelengkapan penelitian serta membenarkan apa
yang dianggap kurang pas atau salah. Dalam kegiatan penyuntingan data ini
dilakukan dengan cara menghapus dan menambahkan data;
c. Korelasi, kegiatan yang dilakukan dalam korelasi adalah menggabungkan
data-data yang ada. Seperti menggabungkan data lapangan, dokumen
maupun pustaka yang sudah penulis dapatkan yang mana akan disatukan
dan/atau dihubungkan satu sama lainnya. Yang mana penulis akan
menghubungkan hasil wawancara dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penyelenggaraan ibadah umrah.
6. Metode Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan dan mengacu pada
metode penulisan Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2017.
H. Sistematika penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab, yang mana terdiri dari:
BAB 1 : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, identifikasi masalah, rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penelitian.
17 Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 87
15
BAB II: Tinjauan Teoritis
Bab ini penulis menulis tentang tinjauan teoritis tentang teori sistem hukum
dan teori pengawasan dan pengendalian.
BAB III: Gambaran Umum
Bab ini penulis membahas tentang sejarah pengawasan dan pengendalian
dalam hal ibadah umrah dari zaman kolonial hingga sekarang, membahas tentang
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan membahas tentang lembaga
Kementerian Agama dalam melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap
biro perjalanan ibadah umrah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
BAB IV: Implementasi Penelitian
Bab ini penulis fokus pada potret kasus biro perjalanan ibadah umrah yang
pernah melakukan pelanggaran dan menjelaskan prosedur penanganan sanksi
yang dilakukan oleh Kementerian Agama terhadap kasus-kasus umrah tersebut
baik langkah yang sudah dilakukan maupun langkah antisipasi Kementerian
Agama dalam menanggulangi maraknya biro perjalanan umrah yang melanggar.
BAB V: Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang penulis dapat dari penelitian ini serta
akan terdapat saran yang membangun untuk menutup penelitian ini.
16
BAB II
SISTEM PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN DALAM TINJAUAN
TEORITIS
A. Sistem Hukum dan Efektivitas Hukum
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya
penegakan hukum tergantung 3 (tiga) unsur sistem hukum, yakni struktur hukum
(struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum
(legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,1 substansi
hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan
hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat2. Tentang
struktur hukum Friedman menjelaskan:
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of
elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction
Strukture also means how the legislature is organized what procedures the
police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind of crosss
section of the legal system a kind of still photograph, with freezes the action.”
Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini: jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinnya (termasuk jenis kasus yang berwenang mereka
periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya.
Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan
sebagainya.
Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga hukum yang ada
dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada. Struktur adalah Pola
yang menunjukkan tentang bagaimana hukum dijalankan menurut ketentuan-
ketentuan formalnya. Struktur ini menunjukkan bagaimana pengadilan, pembuat
hukum dan badan, serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan.
1 Kurniawan Hermawanto dkk, “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman”
(Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017) 2 Ibid
17
Misalnya, jika kita berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia, maka
termasuk di dalamnya struktur institusi-institusi penegakan hukum seperti
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
Substansi hukum menurut Friedman adalah:
“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the
actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system the
stress here is on living law, not just rules in law books”.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan
substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada
dalam sistem itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
pedoman bagi aparat penegak hukum.
Sedangkan mengenai budaya hukum, Friedman berpendapat:
“The third component of legal system, of legal culture. By this we mean
people’s attitudes toward law and legal system their belief in other word, is
the climinate of social thought and social force wicch determines how law is
used, avoided, or abused”.
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum
yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.3
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau rekayasa sosial tidak
lain hanya merupakan ide-ide yang ingin diwujudkan oleh hukum itu. Untuk
menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat ke arah yang
lebih baik.
3 Kurniawan Hermawanto dkk “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman” (Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017)
18
Jadi bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam arti kaidah atau
peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan kaidah hukum
tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata lain jaminan akan adanya
penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi bekerjanya hukum bukan
hanya merupakan fungsi perundang-undangannya belaka, melainkan aktifitas
birokrasi pelaksananya.4
Dapat dipahami jika teori ini diaplikasikan dalam sistem hukum di
Kementerian Agama, bahwa Kementerian Agama adalah struktur hukum itu
sendiri yang mana struktur hukum itu memiliki berbagai macam direktorat dan
bekerja sama dengan berbagai macam lembaga kemasyarakatan. Substansi hukum
adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dijalani Kementerian
Agama, lembaga kemasyarakatan maupun masyarakat itu sendiri.
Sedangkan kultur hukum adalah budaya hukum yang berlaku di Kementerian
Agama dan masyarakat. Misalnya, Direktorat Penyelenggara Haji dan Umrah
sebagai salah satu struktur dalam Kementerian Agama memberikan sanksi kepada
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Pengawasan dan Pengendalian
Terdapat banyak sebutan bagi fungsi pengawasan (controlling), antara lain
evaluating, appraising, atau correcting. Sebutan controlling lebih banyak
digunakan karena lebih mengandung konotasi yang mencakup penetapan standar,
pengukuran kegiatan, dan pengambilan kegiatan korektif.5 Jimly Assidiqie
mengemukakan bahwa salah satu prinsip negara modern adalah kontrol sosial.6 4 Kurniawan Hermawanto dkk “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman” (Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017) 5 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 15 6 Galuh Hayu Nastiti, “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 14
19
Kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan istilah pengawasan berasal
dari kata “awas” yang artinya memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat
sesuatu dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi
laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawasi.7
Akan tetapi, kalau diterjemahkan begitu saja istilah controlling dari bahasa
Inggris, maka pengertiannya lebih luas dari pengawasan yaitu dapat diartikan
sebagai pengendalian, padahal kedua istilah ini berbeda karena dalam
pengendalian terdapat unsur korektif.8 Dalam kaitannya dengan pengertian
pengendalian dan pengawasan terdapat berbagai pengertian di antaranya:
Robert N. Anthony dalam bukunya Management Accounting Principles
menegaskan bahwa
Management control is the process by which managers assure that resources
are obtained and used effectively and eficiently in the accomplishment of the
organization 's goals
Secara garis besar proses pengendalian manajemen akan meliputi 2 (dua)
aktivitas yang terpisah tetapi saling berhubungan yaitu perencanaan dan
pengawasan. Kedua aktivitas tersebut berlaku untuk setiap tingkatan manajemen
dalam perusahaan, dan sangat diperlukan bagi manajemen untuk memastikan
apakah performance yang dicapai pada saat ini (aktual) telah sesuai dengan
tujuan/sasaran perusahaan yang telah ditentukan sebelumnya (perencanaan).
Dari uraian di atas jelas bahwa pengendalian manajemen mempunyai
pengertian yang lebih luas dari sekedar "mengawasi" tetapi juga mencakup
penentuan sasaran yang ingin dicapai perusahaan.9
Menurut T. Hani Handoko, pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses
untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai.10
7 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 15 8 Galuh Hayu Nastiti, “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 17 9 Muqodim, “Hubungan Sistem Pengendalian Manajemen Dengan Pelaksanaan Fungsi Perencanaan dan Pengawasan”, (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 1991), h. 73
20
Menurut George R. Terry, pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses
penentuan, apa yang harus dicapai mengenai standar apa yang sedang dilakukan
yaitu pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu dilakukan perbaikan-
perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan
standar.11
Ini berkenaan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai yang
direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat
antara perencanaan dan pengawasan. Langkah awal proses pengawasan adalah
sebenarnya langkah perencanaan, penetapan tujuan, standar atau sasaran
pelaksanaan suatu kegiatan, dan mengoreksi atas apa yang sudah dilaksanakan
untuk penyempurnaan kegiatan.
Kemudian menurut Harold Konntz dan Cyril O‟donnel, mereka berpandangan
lebih mengedepankan koreksi yang dilakukan ketika pelaksanaan kegiatan dengan
maksud untuk mendapatkan keyakinan atau menjamin bahwa tujuan-tujuan
perusahaan dan rencana-rencana yang digunakan untuk mencapainya telah
terlaksanakan.12
Inti dari definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas adalah bahwa
di dalam pengendalian terdapat rencana dan pengawasan yang pada dasarnya
diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan
atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai.13
Pengawasan merupakan sebuah proses akhir dari fungsi-fungsi manajemen
yang menjamin perencanaan kegiatan dengan suatu tahapan-tahapan yaitu
penetapan standar, penilaian kinerja dengan standar serta perbaikan terhadap
10 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 16 11 Etty Etriana, “Implementasi Fungsi Pengawasan Kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama D.I Yogyakarta, (Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018), h. 14 12 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, h. 16-17 13 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 16
21
penyimpangan yang terjadi untuk mencapai tujuan-tujuan perusahaan yang telah
direncanakan secara efektif dan efisien.14 Pengawasan juga dapat mendeteksi
sampai sejauh mana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja
tersebut.15
Oleh karena itu dalam setiap perusahaan mutlak, bahkan rutin adanya sistem
pengawasan dan pengendalian. Dengan demikian pengawasan merupakan
instrument pengendalian yang melekat pada setiap tahapan operasional
perusahaan.16
1. Tujuan Pengawasan
Tujuan utama dari pengawasan itu sendiri adalah mengusahakan agar apa
yang direncanakan mejadi kenyataan. Agar suatu sistem pengawasan dapat
dengan efektif merealisasikan tujuannya, maka suatu sistem pengawasan setidak-
tidaknya harus dengan segera melaporkan adanya penyimpangan-penyimpangan
dari rencana, agar dapat diambil tindakan untuk pelaksanaan selanjutnya. Dengan
ini pelaksanaan keseluruhan benar-benar dapat sesuai atau mendekati apa yang
direncanakan sebelumnya.
Titik berat pengawasan sesungguhnya berkisar pada manusia, sebab manusia
itulah yang melakukan kegiatan-kegiatan badan usaha atau organisasi
bersangkutan. Hakikat pengawasan mencegah sedini mungkin terjadinya
penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan
dalam mencapai tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi.17
2. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan meliputi beberapa hal berikut ini:
14 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: skripsi Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 17 15 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 16 16 Damang Averroes Al-Khawarizmi, “Teori Pengawasan”, Negara Hukum, http://www.negarahukum.com/hukum/teori-pengawasan.html, 07 Agustus 2018 17 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, h. 17-18
22
a. Mempertebal rasa dan tanggung jawab terhadap pejabat yang diserahi tugas
dan wewenang dalam melaksanakan pekerjaan;
b. Mendidik para pejabat agar mereka melaksanakan pekerjaan sesuai prosedur
yang telah ditentukan;
c. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan, penyelewengan, kelalaian, dan
kelemahan agar tidak terjadi kerugian yang tidak diinginkan;
d. Untuk memperbaiki kesalahan dan penyelewengan agar pelaksanaan
pekerjaan tidak mengalami hambatan dan pemborosan.18
3. Karakteristik dari Sistem Pengendalian Manajemen.
Beberapa karakteristik sistem pengendalian manajemen yang perlu diketahui
adalah bahwa:
a. Sistem ini harus diarahkan pada penentuan program dan pusat pertanggungan
jawab (responsibility centers);
b. Informasi dalam sistem ini harus meliputi 2 (dua) jenis informasi yaitu:
1) Data perencanaan, seperti : program, budget dan standar; dan
2) Data sesungguhnya, yaitu informasi mengenai kejadian-kejadian yang
sesungguhnya.
c. Sistem ini harus merupakan sistem yang menyeluruh, karena fungsi
pengawasan manajemen adalah untuk keseluruhan bagian perusahaan;
d. Sistem ini difokuskan kepada struktur keuangan (financial structure)
sehingga baik sumber dana atau daya (resources) maupun pendapatan perlu
dinyatakan dalam nilai atau satuan mata uang. Walaupun demikian, informasi
non financial seperti menit, ton, dan unit tetap diperlukan untuk kelengkapan
dari sistem ini;
e. Sistem ini harus merupakan sistem yang terkoordinir dan terpadu.19
18 Raudotul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: skripsi Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 19 19 Muqodim, “Hubungan Sistem Pengendalian Manajemen Dengan Pelaksanaan Fungsi Perencanaan dan Pengawasan”, (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 1991), h. 73-74
23
4. Prinsip Pengawasan
Prinsip pengawasan sangatlah penting, karena merupakan standar atau alat
pengukur dari pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan. Rencana tersebut bisa
menjadi petunjuk apakah suatu pelaksanaan pekerjaan berhasil atau tidak. George
R. Dalam Winardi mengemukakan bahwa prinsip pengawasan yang efektif
membantu usaha-usaha kita untuk mengatur pekerjaan tersebut berlangsung sesuai
dengan rencana. Sedangkan menurut Ulbert Silalahi prinsip-prinsip pengawasan
adalah:
a. Pengawasan harus berlangsung terus-menerus bersamaan dengan pelaksanaan
kegiatan atau pekerjaan;
b. Pengawasan harus menemukan, menilai, dan menganalisis data tentang
pelaksanaan pekerjaan secara objektif;
c. Pengawasan harus memberi bimbingan dan mengarahkan untuk
mempermudah pelaksanaan pekerjaan dalam pencapaian tujuan;
d. Pengawasan tidak menghambat pelaksanaan pekerjaan tetapi harus
menciptakan efisiensi (hasil guna);
e. Pengawasan harus berorientasi pada rencana dan tujuan yang telah ditetapkan
(Plan and Objective Oriented);
f. Pengawasan dilakukan terutama pada tempat-tempat strategis atau kegiatan-
kegiatan yang sangat menentukan atau control by exception;
g. Pengawasan harus membawa dan mempermudah melakukan tindakan
perbaikan (Corrective Action).20
5. Jenis Pengawasan
Pengawasan terdiri dari beberapa jenis, jenis-jenis pengawasan dapat
dibedakan berdasarkan fungsi ataupun tempatnya. Saiful Anwar menyebutkan
bahwa berdasarkan bentuknya pengawasan dapat dibedakan menjadi:
a. Pengawasan Internal, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan
atau organ yang secara organisatoris/ struktural termasuk dalam lingkungan
20 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 19-20
24
pemerintahan itu sendiri.21 Dalam penelitian ini yang melakukan pengawasan
internal adalah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang mana
hanya melakukan pengawasan untuk perusahaannya sendiri dan tidak
melakukan pengawasan kepada lembaga lain.
b. Pengawasan external, yaitu yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga
yang secara organisatoris/ struktural berada di luar pemerintah dalam arti
eksekutif.22 Pihak external adalah Kementerian Agama Republik Indonesia
Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Bina Umrah dan Haji Khusus
yang melakukan pengawasan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) di Jakarta.
6. Proses Pengawasan dan pengendalian
Proses pengawasan terdiri dari beberapa tindakan (langkah pokok) tertentu
yang bersifat fundamental bagi seluruh pengawasan manajerial, langkah-langkah
pokok ini menurut George R. Terry sebagai berikut:
a. Menetapkan Standar Pengawasan
Standar pengawasan adalah suatu standar (tolak ukur) yang merupakan
patokan bagi pengawas dalam menilai apakah objek atau pekerjaan yang
diawasi berjalan dengan semestinya atau tidak. Standar pengawasan
mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu:
1) Rencana yang telah ditetapkan, mencakup kualitas dan kuantitas hasil
pekerjaan yang hendak dicapai, sasaran-sasaran fungsional yang
dikehendaki, faktor waktu penyelesaian pekerjaan;
2) Ketentuan serta kebijaksanaan yang berlaku, mencakup ketentuan
tentang tata kerja, ketentuan tentang prosedur kerja (tata cara kerja),
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pekerjaan,
kebijaksanaan resmi yang berlaku dan lain-lain;
3) Prinsip-prinsip daya guna dan hasil guna dalam melaksanakan pekerjaan
mencakup aspek rencana dan ketentuan serta kebijaksanaan telah
21 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 20 22 ibid, h. 20
25
terpenuhi, pekerjaan belum dapat dikatakan berjalan sesuai rencana
apabila efesien dan efektivitasnya diabaikan, artinya penghematan dalam
penggunaan dana, tenaga, material, dan waktu.23
b. Mengukur pelaksanaan pekerjaan
Penilaian atau pengukuran terhadap pekerjaan yang sudah atau
senyatanya dikerjakan dapat dilakukan melalui antara lain:
1) Laporan (lisan dan tertulis);
2) Buku catatan harian;
3) Jadwal atau grafik produksi/ hasil kerja; dan
4) Inspeksi atau pengawasan langsung, pertemuan atau konferensi dengan
petugas-petugas yang bersangkutan dan survey yang dilakukan oleh tenaga
staf atau melalui penggunaan alat teknik.
c. Membandingkan Standar Pengawasan dengan Hasil Pelaksanaan Pekerjaan
Aktivitas tersebut di atas merupakan kegiatan yang dilakukan
pembandingan antara hasil pengukuran dengan standar. Maksudnya, untuk
mengetahui apakah di antaranya terdapat perbedaan dan jika ada maka
seberapa besarnya perbedaan tersebut kemudian untuk menentukan perbedaan
itu perlu diperbaiki atau tidak.
d. Tindakan koreksi (Corrective Action)
Apabila diketahui adanya perbedaan, sebab-sebab perbedaan, dan letak
sumber perbedaan. Maka langkah terakhir adalah mengusahakan dan
melaksanakan tindakan perbaikannya. Dari kegiatan tersebut di atas ada
perbaikan yang mudah dilakukan tetapi ada juga yang tidak mungkin untuk
diperbaiki dalam waktu rencana yang telah ditentukan.
Untuk solusinya maka perbaikan dilaksanakan pada periode berikutnya
dengan cara penyusunan rencana/ standar baru, di samping membereskan
faktor lain yang menyangkut penyimpangan tersebut. Yaitu reorganisasi,
peringatan bagi pelaksana yang bersangkutan dan sebagainya.24
23 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta 2014), h. 25-26 24 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta 2014), h. 26-27
26
C. Pengawasan Menurut Pandangan Islam
Pada dasarnya Islam belum merumuskan kaidah pengawasan yang baku dan
detail serta bentuk-bentuk pengawasan yang harus dijalankan. Dengan ini, Islam
memberikan kebebasan setiap individu muslim untuk menjalankan pengawasan
sesuai dengan pengalaman, kondisi sosial atau manajemen yang terdapat dalam
masyarakat atau organisasi.25
Pengawasan dalam pandangan Islam dilakukan untuk meluruskan yang tidak
lurus, mengoreksi yang salah dan membenarkan yang hak. Pengawasan (control)
dalam ajakan Islam adalah kontrol yang berasal dari diri sendiri yang bersumber
dari tauhid dan keimanan kepada Allah SWT.26 Islam memerintahkan setiap
individu untuk menyampaikan amanah yang diberikan kepadanya baik berupa
jabatan maupun titipan merupakan bentuk amanah yang harus dijalankan dan
disampaikan.27
Seseorang yang yakin bahwa Allah SWT pasti mengawasi hambanya, maka
ia akan bertindak hati-hati. Ketika sendiri, ia yakin bahwa Allah adalah yang
kedua dan ketika berdua ia yakin bahwa Allah yang ketiga. Seperti yang diungkap
dalam Al-Qur‟an Surat Al-Mujadalah Ayat 7:
ماوات وما ف الرض مايكون من نجوى ثالثة إل ىو را ول بعهم أل ت ر أن اهلل ي علم ما ف السءىم با ع خسة إل ى ملوا و سادسهم ول أدن من ذالك ول أكث ر إل ىو معهم أين ما كانوا ث ي نب
يوم القيامة إن اهلل بكل شيء عليم Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka
25 Shinta Rahmani, “Pengawasan dan Pengendalian Dalam Manajemen Syariah”, (Scribd: Power Point) 26 Galuh Hayu Nastiti, “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 16 27 Shinta Rahmani, “Pengawasan dan Pengendalian Dalam Manajemen Syariah”, (Scribd: Power Point)
27
kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S Al Mujadallah :7)
Ini adalah kontrol yang paling efektif yang berasal dari dalam diri sendiri.28
28 Galuh Hayu Nastiti, “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 16-17
28
BAB III
PENYELENGGARA DAN LEMBAGA PENGAWAS PENYELENGGARA
PERJALANAN IBADAH UMRAH
A. Sejarah Pengaturan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
Penyelenggaraan haji Indonesia pada masa kolonial dan paska Indonesia
merdeka yang dilaksanakan mulai dari tahun 1949/ 1950 hingga sampai sekarang.
Penyelenggaraan haji Indonesia harus menata dari permulaan. Karena pelaksanaan
ibadah haji zaman kolonial Belanda tidak diperhatikan tetapi haji itu dipolitisir,
didiskriditkan dan dieksploitasi serta dibiarkan tidak terurus demi kepentingan
kolonialnya.
Pemerintah Belanda membiarkan situasi perhajian di Indonesia kurang
terjamin baik pelayanan maupun ketertiban dalam perjalanannya agar orang
enggan berpergian ke luar negeri menunaikan ibadah haji.
Pemerintah Belanda mengontrol dan mempersulit pelaksanaan haji Indonesia
karena pemerintah Belanda melihat, bahwa ibadah haji menjadi sarana
penyadaran penduduk Indonesia tentang kemerdekaan bangsanya, menimbulkan
patriotisme, dan Belanda pula melihat dan ketakutan bahwa dari pelaksanaan haji
melahirkan gerakan politik Pan Islamisme yang membahayakan kolonialisme.1
Karena besarnya keterlibatan para haji dalam melakukan perlawanan di
Nusantara pada akhir abad ke 19 (sembilan belas), Pemerintah Kolonial Belanda
pada tahun 1825, 1827, 1831, dan 1859 mengeluarkan resolusi (ordonnatie) yang
ditujukan untuk pembatasan ibadah haji dan memantau aktivitas mereka
sekembalinya ke Tanah Air.
Volksraad (semacam dewan perwakilan rakyat Hindia-Belanda) mengadakan
perubahan dalam ordonansi (semacam peraturan pemerintah) haji yang dikenal
dengan Pilgrim Ordonansi 1922. Ordonasi ini menyebutkan bahwa bangsa
pribumi dapat mengusahakan pengangkutan calon haji. Beberapa ordonansi yang
dikeluarkan Volksraad, antara lain: Pilgrims Ordonnantie Staatsblad 1922 Nomor
1 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2008), h. 505-506
29
698, Staatsblad 1927 Nomor 508, Staatsblad 1931 Nomor 44 tentang Pass
Perjalanan Haji, dan Staatsblad 1947 Nomor 50.2
Pada zaman Jepang pengorganisasian negara ternyata bertentangan dengan
sikap dan perbuatan yang ditunjukkan Belanda di Indonesia. Jika dalam
pemerintahan Belanda soal haji mendapat perlakuan dan sikap yang kurang dan
tidak terpuji, maka dalam pemerintahan Jepang penanganan atau urusan haji tidak
mendapat perhatian sama sekali.3
Perlakuan Hindia Belanda dan Jepang yang mengeksploitasi bangsa
Indonesia ini untuk kepentingan kolonialnya mengakibatkan tidak ada orang
Indonesia yang menunaikan ibadah haji dalam beberapa tahun setelah merdeka
dan tidak ada pedoman dan pegangan yang dapat dijadikan untuk mengatur dan
menangani haji.
Bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan hajinya harus menata dari awal
yang berdampak tidak hanya di dalam pengorganisasian penyelenggaraanya tetapi
juga kebijakannya sering mengalami perubahan dan penyempurnaan. Yang secara
garis besar dibagi kepada 3 (tiga) bagian yaitu masa orde lama, masa orde baru
dan masa reformasi.
Dalam ketiga bagian tersebut upaya-upaya dan langkah-langkah yang
dilakukan serta peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam penyelenggaraan haji dari
setiap periode tersebut adalah:
1. Periode Orde Lama 1945-1965
a. Tahun 1945-1949/ 1950
Dalam periode ini, karena faktor ekonomi, politik, saran dan prasarana
termasuk keamanan yang belum mendukung karena agresi Belanda yang
pertama dan kedua tahun 1947 dan 1948 sehingga secara formal baik
terorganisir maupun terkoordinir belum ada orang Indonesia yang
2 Agung Sasongko, “Catatan Perjalanan Haji Sebelum Kemerdekaan”, Republika, https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/15/04/19/nn1fmm-catatan-perjalanan-haji-sebelum-kemerdekaan, 06 Juli 2018 3 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2008), h. 507
30
menunaikan ibadah haji.4 Menghadapi situasi yang genting itu umat Islam
merasa resah dan gelisah karena tidak dapat melaksanakan ibadah haji.
Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan Maklumat Menteri
Agama Nomor 4 Tahun 1947 yang menyatakan ibadah haji dihentikan
selama dalam keadaan genting. Maklumat ini berdasarkan pada Fatwa
Masyumi yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy‟ari dan menyatakan ibadah
haji di masa perang hukumnya tidak wajib.5
b. Tahun 1949/ 1950-1962
Penyelenggaraan haji yang pertama setelah Indonesia merdeka. Pada
saat dan masa-masa ini penyelenggaraan haji Indonesia dilaksanakan
secara bersama-sama oleh Pemerintah dan Yayasan Perjalanan Haji
Indonesia (YPHI) dan badan-badan lainnya.
Karena sebagai bangsa yang baru merdeka harus menggunakan
seluruh potensi yang ada sesuai dengan fungsi dan kedudukan masing-
masing pemerintah sebagai pengawas dan persatuan haji Indonesia
detailiring teknik pelaksanaan di lapangan.
Namun pada masa ini negara dalam peralihan dan belum
berpengalaman. Penyelenggaraannya masih meraba-raba, dipengaruhi oleh
badal-badal syekh, broker atau tengkulak haji, bermunculan usaha-usaha
perorangan dan panitia-panitia penyokong haji yang banyak melibatkan
pihak swasta dalam jasa haji.
Namun pihak-pihak swasta tidak dapat menjalankan tanggung
jawabnya dengan baik pada masa ini banyak jemaah haji yang tertipu dan
akhirnya semua tidak berjalan seperti yang diharapkan.6 Maka Keputusan
Presiden Nomor 53 Tahun 1951, menghentikan keterlibatan pihak swasta
4 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2008), h. 509-510 5 Affan Rangkuti, “Rekam Jejak Perjalanan Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia”, Haji
Kemenag, https://haji.kemenag.go.id/v3/blog/affan-rangkuti/rekam-jejak-perjalanan-pelaksanaan-ibadah-haji-di-indonesia, 01 Juli 2018 6 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, h. 510-511
31
dalam penyelenggaraan ibadah haji dan mengambil alih seluruh
penyelenggaraan haji oleh pemerintah.
Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama
Nomor 3170 tanggal 6 Februari 1950 dan Surat Edaran Menteri Agama di
Yogyakarta Nomor A.III/648 tanggal 9 Februari 1959 yang menyatakan
bahwa satu-satunya badan yang ditunjuk secara resmi untuk
menyelenggarakan perjalanan haji adalah Yayasan Penyelenggaraan Haji
Indonesia (YPHI).
Tahun 1960 keluarnya peraturan pertama tentang penyelenggara
ibadah haji melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 1960 Tentang Penyelenggaraan Urusan Haji. Hal pertama sekali
terbentuk Panitia Negara Urusan Haji, yang selanjutnya disebutkan
PANUHAD yang sekarang disebut PPIH (Panitia Penyelenggaraan Ibadah
Haji).7
c. Tahun 1962-1964
Pada masa ini dibentuk dan menyerahkan wewenang urusan haji
kepada suatu Panitia Perbaikan Perjalanan Haji (PPPH) Tahun 1962 dan
selanjutnya dibubarkan pada tahun 1964, panitia ini walaupun tidak
berumur panjang tetapi waktu inilah dimulai penyelenggaraan haji dengan
suatu panitia yang bersifat “interdepartmental” ditambah wakil-wakil dari
badan/ lembaga non department.
Kemudian oleh pemerintah ditingkatkan lagi menjadi tugas nasional
yang dimasukkan ke dalam tugas dan wewenang Menko Kompartemen
Kesejahteraan dan kewenangan penyelenggaraan haji diambil alih oleh
pemerintah melalui Dirjen Urusan Haji (DUHA).
2. Periode Orde Baru 1965-1997
Salah satu tugas utama pemerintah Orde Baru sejak naik ke puncak
kekuasaan pada 1966 adalah membenahi dan menormalkan sistem
7 Affan Rangkuti, “Rekam Jejak Perjalanan Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia”, Haji
Kemenag, https://haji.kemenag.go.id/v3/blog/affan-rangkuti/rekam-jejak-perjalanan-pelaksanaan-ibadah-haji-di-indonesia, 01 Juli 2018
32
kenegaraan yang porak-poranda akibat G-30S PKI dan kekuasaan Orde
Lama. Pembenahan sistem pemerintahan ini berpengaruh pula terhadap
penyelenggaraan haji, seiring dengan perubahan struktur dan tata kerja
organisasi Menteri Urusan Haji yang dialihkan menjadi wewenang Direktur
Jenderal Urusan Haji.8
Sejalan dengan sistem politik Orde Baru yang sentralistik, dikeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969, yang mana Pemerintah
mengeluarkan kebijaksanaan mengambil alih semua proses penyelenggaraan
perjalanan haji oleh pemerintah. Hal ini disebabkan karena banyaknya calon
jemaah haji yang gagal diberangkatkan oleh orang-orang atau badan-badan
swasta, bahkan calon-calon yang mengadakan kegiatan usaha
penyelenggaraan perjalanan haji.9
Sejak saat itu, pemerintah bertanggung jawab secara penuh dalam
penyelenggaraan ibadah haji, sejak penentuan biaya hingga pelaksanaan serta
hubungan dengan negara Arab Saudi. Dengan keputusan tersebut, masyarakat
merasa diperhatikan langsung oleh Pemerintah. Pada saat yang sama
Pemerintah masih memberikan kewenangan kepada pihak swasta untuk
mengelola penyelenggaraan haji, waktu itu diberikan kepada PT. Arafat.
Namun, karena dihadapkan pada kesulitan-kesulitan finansial dan pada
tahun 1976 gagal memberangkatan haji karena pailit. Perusahaan swasta
tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Maka pada saat itu
ditandai dengan adanya perubahan tata kerja dan struktur organisasi
penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Urusan Haji (Dirjen BIUH).
Sebagai panitia pusat, Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji
(Dirjen BIUH) melaksanakan koordinasi ke tiap-tiap daerah tingkat I dan II di
seluruh Indonesia. Beberapa panitia penyelenggara di daerah juga menjalin
8 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h. 43 9 Affan Rangkuti, “Rekam Jejak Perjalanan Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia”, Haji
Kemenag, https://haji.kemenag.go.id/v3/blog/affan-rangkuti/rekam-jejak-perjalanan-pelaksanaan-ibadah-haji-di-indonesia, 02 Juli 2018
33
koordinasi dengan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI. Hal ini
dikarenakan Badan Koordinator Urusan Haji (BAKUH) ABRI memiliki
lembaga tersendiri untuk pelaksanaan operasional penyelenggaraan ibadah
haji.
Setelah 1976, semua pelaksanaan operasional perjalanan ibadah haji
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji (Dirjen
BIUH).10 Sekitar tahun 1985, pemerintah kembali mengikut sertakan pihak
swasta dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Mulai tahun 1991
pemerintah menyempurnakan peraturan tentang penyelenggaraan haji, yang
menuangkan penekanan pada pemberian sanksi yang jelas kepada swasta
yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana ketentuan yang berlaku.11
Penyelenggaraan ibadah haji yag dilakukan oleh Pemerintah harus ditata
secara lebih profesional dengan menerapkan unsur-unsur manajemen modern.
Dalam kerangka itu, pemerintah banyak mengeluarkan keputusan tentang
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, yang bertujuan untuk meningkatkan
profesionalisme dalam penyelenggaraan ibadah haji sesuai dengan prinsip-
prinsip manajemen modern.
Tahun 1993 Pemerintah mecoba mengadopsi manajemen modern dan
pengedepan koordinasi antara lain:
a. Penyempurnaan penyelenggaraan haji, baik di dalam maupun di luar
negeri, di bawah koordinasi Departemen Agama;
b. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar instansi yang terkait
dalam pelayanan ibadah haji baik di dalam maupun di luar negeri;
c. Meningkatkan fungsi dan peran posko haji di Departemen Agama
sebagai pusat koordinasi dan pengendalian perhajian;
d. Menyusun jaringan kerja penyelenggaraan haji; dan
e. Menyempurnakan pengaturan yang baku pada semua bentuk jenis
pelayanan ibadah haji.
10 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h. 43-44 11 Achmad Zannuwar, “Sejarah Haji dan Umroh”, (Makalah).
34
Pola-pola peningkatan yang dilakukan oleh Pemerintah hampir
seluruhnya terkonsentrasi pada koordinasi yang dipandang sebagai salah satu
alternatif jalan keluar terbaik yang tidak menyentuh sumber daya manusia.
Meskipun pola peningkatan tersebut mengarah kepada semua jajaran
penyelenggaraan haji agar dapat menggunakan pemikiran-pemikiran kinerja
yang lebih baik namun dalam implementasinya tidak sesuai dengan
kenyataan.
Berbekal pengalaman tersebut, pemerintah melakukan kajian ulang pada
sistem penyelenggaraan haji secara keseluruhan, baik dari aspek perencanaan,
operasional, dan manajerial sumber daya manusia dan perkembangan
teknologi informasi.
Salah satu aspek dalam penempatan teknologi informasi adalah sistem
komputerisasi yang beroperasi secara online, walaupun pada saat itu belum
dapat dimanfaatkan secara optimal karena kurangnya sumber daya manusia
yang memenuhi kualifikasi sebagai pengelola sebuah divisi sistem
informasi.12
Sebelum era tahun 1995-an, penjualan jasa Umrah dilakukan secara
konvensional yaitu konsumen mendatangi sebuah biro perjalanan Umrah dan
mengisi formulir pendaftaran serta menyetorkan sejumlah uang sebagai biaya
pendaftaran umrah sesuai dengan paket perjalanan yang diinginkan oleh
konsumen beserta persyaratan administrasi lainnya13.
3. Penyelenggaraan Haji Saat Ini
Sejak era reformasi, setiap bentuk kebijakan harus memenuhi aspek-
aspek ini yaitu Pemeritah dituntut untuk terus menyempurnakan sistem
penyelenggaraan haji dengan lebih menekankan pada pelayanan,
perlindungan, dan pembinaan secara optimal. Kendala yang ditimbulkan oleh
sistem dan prosedur yang terlalu rumit, semaksimal mungkin diupayakan
12 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama, (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h. 45-47 13 Adhi Pradana Putra, “Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (Studi Terhadap Kasusu PT. First Anugrah Karya Wisata)”, (tesis, 2015), h. 5
35
untuk dipangkas, dan respons dari masyarakat langsung ditanggapi dengan
penuh kesungguhan.
Perubahan-perubahan di atas telah memacu pemerintah melakukan
perubahan dalam manajemen haji dengan memasukkan unsur manajemen
modern ke dalam manajemen birokrasi haji, seperti penerapan sistem
komputerisasi haji-pendaftaran online dan real time, dan informasi yang telah
memanfaatkan media internet.
Selain itu, pemberdayaan sumber daya manusia akan memberikan
kontribusi yang besar dalam penyempurnaan sistem dan kehidupan organisasi
yang pada akhirnya memberikan keluaran optimal dalam kegiatan operasional
organisasi.
Momentum reformasi memberikan ruang gerak lebih luas dalam
membahas undang-undang haji. Sekian lama pemerintah mengkaji ulang
segala kendala dan kekurangan dalam penyelenggaraan ibadah haji serta perlu
diefektifkan dan diefisiensi. Setelah 54 (lima puluh empat) tahun di bawah
payung hukum tertinggi. Keputusan Presiden, pada 1999 ditetapkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Materi yang tertuang dalam naskah undang-undang tersebut menekankan
pada pelayanan, pembinaan, dan perlindungan kepada jemaah haji serta
mengarah kepada sistem yang lebih profesional. Di samping itu, menurut tata
hukum kenegaraan, undang-undang tersebut memberikan legitimasi yang
kuat bagi Kementerian Agama dalam menjalankan wewenangnya guna
menyatukan langkah dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 menyatakan
sekaligus bahwa Ordinansi Haji (pilgrims Ordonantine Tahun 1992 Nomor
698) yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan haji selama kurang lebih 7
(tujuh) tahun dinyatakan tidak berlaku lagi.14 Meskipun semangat dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 merupakan era baru penegasan peran
14 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h. 50-51
36
dan fungsi negara dalam proses penyelenggaraan haji, akan tetapi undang-
undang tersebut bukanlah tanpa kekurangan.
Dari sudut pandang legalitas dan administratif, kelemahan mendasar
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 terdapat pada pasal-pasal yang
berkaitan dengan hak dan kewenangan ruang publik sebagai pusat kontrol
penyelenggaraan haji. Hal ini terlihat karena produk hukum turunannya
setelah Undang-Undang Nomor 17 disahkan adalah hampir semua diatur oleh
Menteri Agama secara langsung.
Artinya, produk ini gagal dalam mengikut sertakan aturan tambahan yang
lebih kuat dan lebih besar seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden
dan/atau Keputusan Presiden. Ketiadaan produk turunan berupa Peraturan
Pemerintah dan sebagainya menyebabkan Menteri Agama dapat melakukan
pengaturan apa saja yang berkaitan dengan pelaksanaan operasional haji.
Jelas hal ini meskipun tidak melanggar tata aturan perundangan yang
berlaku, namun terasa sangat janggal karena Menteri secara subjektif dapat
mengatur langsung hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan operasional
haji tanpa berkonsultasi dulu dengan publik, DPR, dan Presiden.
Kelemahan mendasar inilah yang disadari oleh Menteri Agama yang baru
untuk segera menyiapkan paket revisi Undang-Undang Haji yang baru dan
lebih mengakomodasi keinginan masyarakat untuk menegakkan keadilan
dalam berhaji serta peningkatan upaya pembinaan, pelayanan, dan
perlindungan jemaah haji. Dalam perjalanannya dan perlindungan jemaah
haji.
Dalam perjalananya selama masa proses pembahasan dan dengan
pendapat serta uji materi selama lebih kurang 2 (dua) tahun setengah, usulan
revisi tersebut kemudian disepakati untuk diundangkan secara sah mulai 28
April 2008, di mana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji diganti dengan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.15
15 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), h. 63-65
37
Sebagai sebuah penyelenggaraan dari undang-undang sebelumnya,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 mempunyai beberapa modifikasi
rancangan penyelenggaraan haji yang mengedepankan asas keadilan,
profesionalitas, dan akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.
Tuntutan akan asas keadilan, profesionalitas, dan akuntabilitas tentu saja
harus dirumuskan dalam suatu peraturan baik Peraturan Pemerintah maupun
Peraturan Menteri Agama yang sahih, terukur, serta dapat dievaluasi secara
transparan dan terbuka.
Seperti diketahui, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 berisi 17 Bab
dengan 69 pasal, sedangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 berisi 16
Bab dengan 30 pasal. Identifikasi terhadap beberapa perbedaan antara
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 dengan Nomor 17 Tahun 1999 harus
disusun dan disosialisasikan dengan mengikuti pola perubahan dimaksud.
Misalnya, terdapat 7 pasal yang harus diterjemahkan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, 1 pasal ke dalam Peraturan Presiden, 14 pasal ke dalam
bentuk Peraturan Menteri Agama, serta 1 pasal ke dalam skema Peraturan
Daerah.
Dengan keterbatasan waktu yang diamanatkan Undang-Undang, yaitu
hanya 6 (enam) bulan setelah disahkannya, maka semua konsep tentang
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Agama, dan
Peraturan Daerah diharapkan dapat terealisasi.16
Selain itu dalam rangka menjawab peran sentral Kementerian Agama
sebagai regulator sekaligus operator penyelenggaraan haji, dalam Undang-
Undang yang baru ini dibutuhkan satu pasal tentang Komisi Pengawas Haji
Indonesia sebagai lembaga independen dan mandiri. Lembaga ini nantinya
akan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), serta bekerja secara penuh untuk malakukan fungsi-fungsi
pengawasan seperti monitoring, evaluasi, dan pendampingan teknis.
16 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), h. 108-109
38
Peran Kementerian Agama dalam menyusun dan merumuskan fungsi dan
tugas Komisi ini kelak akan mencerminkan apakah Kementerian Agama pro
pada reformasi dan perubahan seperti diamanatkan dalam undang-undang
yang baru atau tidak.
Tugas dan fungsi Kementerian Agama Masih sama seperti ketentuan
dalam undang-undang yang lama. Akan tetapi karena haji merupakan tugas
nasional yang melibatkan banyak pihak terkait baik di dalam maupun luar
negeri, maka tanggung jawab penyelenggaraannya dibebankan kepada
Menteri Agama.17
Kementerian Agama telah menerbitkan regulasi terkait penyelenggaraan
ibadah umrah. Regulasi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Agama (PMA)
Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah.
Terbitnya Peraturan Menteri Agama ini menggantikan aturan sebelumnya
yakni Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015.
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU)
Kementerian Agama mengatakan regulasi baru ini diberlakukan untuk
membenahi insdustri umrah. Sebab saat ini umrah diminati umat Islam
sehingga berkembang menjadi bisnis yang besar. Dia memaparkan dalam
setahun rata-rata jemaah umrah dari Indonesia mencapai hampir 1.000.000
orang. Maka dari itu, Kementerian Agama menerbitkan regulasi untuk
mencegah biro travel umrah yang nakal.18
Tabel 3.1 Urutan Regulasi Haji dan Umrah dari
Zaman Kolonial Hingga Sekarang
Nomor Regulasi
1. Staattsblad Nomor 698 Tahun 1922 tentang Pilgrims
Ordonnantie
2. Pilgrims Verordening Tahun 1938
17 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), h. 110 18 Muhammad Genanta Saputra, “Aturan Baru Penyelenggaraan Umroh”, Merdeka, https://m.merdeka.com/peristiwa/ini-aturan-baru-penyelenggaraan-umroh.html, 07 Juli 2018
39
3. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969
4. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969
5. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1981
6. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1995 jo
Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1995 jo
Keputusan Presiden Nomor 119 Tahun 1998
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Haji
8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Haji19
Tabel 3.2 Peraturan Khusus Tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
Nomor Regulasi
1.
Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
2. Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
3. Ketentuan Menteri Agama Nomor 221 Tahun 2018 tentang
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah Referensi
4. Keputusan Direktorat Jenderal Nomor 121 Tahun 2018
Tentang Akreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah20
19 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK Press, 2008), h. 89 20 Zakaria Anshori, Kepala Seksi Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Wawancara Pribadi, Jakarta 09 Juli 2018
40
B. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) adalah pemerintah atau biro
perjalanan wisata yang ditetapkan oleh Menteri Agama, perjalanan ibadah umrah
yang dilakukan oleh biro perjalanan wisata wajib mendapat izin operasional
sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)21, yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah22. Yang mana hal tersebut
tercatat dalam Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggaraan Perjalanan
Ibadah Umrah Nomor 8 Tahun 2018 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan bahwa
Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang telah mendapat izin dari Menteri untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah.
Oleh karena ketentuan di atas maka penyelenggaraan umrah dilakukan oleh
biro-biro perjalanan swasta yang telah menerima izin resmi dari Pemerintah
Indonesia.23
Biro perjalanan umrah merupakan suatu badan usaha yang dapat memberikan
jasa pelayanan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia perjalanan
wisata termasuk perjalanan ibadah umrah. Keberadaan biro perjalanan akan lebih
memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan. Biro
perjalanan umrah memberikan jasa dengan tanggung jawab penuh terhadap
pengguna jasa apabila terjadi sesuatu kejadian yang tidak diinginkan.24
Penyelenggaraan adalah pelaksanaan sesuatu sebagai perwujudan
kewenangan atau tugas.25 Sedangkan pihak yang menyelenggarakan perjalanan
21 “Ketentuan Penyelenggara Perjalanan”, Kemenag Karimun Blogspot, https://kemenag karimun.blogspot.co.id/2015/11/ini-ketentuan-penyelenggara-perjalanan.html, 28 Mei 2018 22 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2008), h. 497 23 Mudatsir Muslim, Panduan Lengkap Ibadah Haji dan Umrah, (Surakarta: Borobudur Inspira Nusantara), h. 38 24 Zaenul Arifin, Sri Endah Wahyuningsih & Sri Kusriyah, “Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Dan Atau Penggelapan Berkedok Biro Jasa Ibadah Umroh Dengan Biaya Murah (Studi Kasus Pada Penyidik Sat Reskrim Polrestabes Semarang)”,
(Semarang: Jurnal Universitas Islam Sultan Agung), h. 778 25 Sumuran Harahap, Kamus Istilah Haji dan Umrah, h. 498
41
ibadah umrah itu dapat dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah dilaksanakan berdasarkan prinsip
profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, dan syariat.26 Sedangkan devinisi
penyelenggaraan umrah di dalam Peraturan Menteri Agama tentang
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Nomor 8 Tahun 2018 Pasal 1 Ayat 1
adalah
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah adalah rangkaian kegiatan perjalanan Ibadah Umrah di luar musim haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah, yang dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau penyelenggara perjalanan ibadah umrah
Tujuan dari adanya penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah itu sendiri
terdapat di dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Agama tentang Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah Nomor 8 Tahun 2018 yaitu:
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah bertujuan memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada Jemaah, sehingga Jemaah dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat.
1. Syarat Menjadi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Perlu diketahui memang benar bahwa untuk menyelenggarakan Perjalanan
Ibadah Umrah yang dilaksanakan oleh biro perjalanan wisata harus memiliki izin
operasional sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)27, izin
operasional tersebut sebagai bukti bahwa sebuah biro perjalanan memiliki
legalitas untuk memberangkatkan jemaah umrah. Legalitas usaha adalah syarat
mutlak karena menyangkut kreditibilitas dan tanggung jawab sebagai
penyelenggara pelayanan ibadah haji dan umrah.
26 “Syarat Menyelenggarakan Usaha Biro Perjalanan Ibadah Umrah”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5adeeaa03d248/syarat-menyelenggarakan-usaha-biro-perjalanan-ibadah-umrah, 30 Mei 2018 27 “Syarat Menyelenggarakan Usaha Biro Perjalanan Ibadah Umrah”, Hukum Online, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5adeeaa03d248/syarat-menyelenggarakan-usaha-biro-perjalanan-ibadah-umrah, 30 Mei 2018
42
Namun Baru-baru ini Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan baru
mengenai persyaratan untuk menjadi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) resmi, alasan Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan baru adalah
karena maraknya biro perjalanan ibadah umrah yang melakukan pelanggaran
dengan berbagai macam kasus.
Kebijakan baru mengenai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018
tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah yang mana ditegaskan:
Untuk memiliki izin operasional sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), biro perjalanan wisata harus memenuhi persyaratan:
a. Memiliki akta notaris pendirian perseroan terbatas dan/atau perubahannya sebagai biro perjalanan wisata yang memiliki salah satu kegiatan usahanya di bidang keagamaan/ perjalanan ibadah yang telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
b. Pemilik saham, komisaris, dan direksi yang tercantum dalam akta notaris perseroan terbatas merupakan warga negara Indonesia yang beragama Islam;
c. Pemilik saham, komisaris, dan direksi tidak pernah atau sedang dikenai sanksi atas pelanggaran Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah;
d. Memiliki kantor pelayanan yang dibuktikan dengan surat keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah dan melampirkan bukti kepemilikan atau sewa menyewa paling singkat 4 (empat) tahun yang dibuktikan dengan pengesahan atau legalisasi dari Notaris;
e. Memiliki tanda daftar usaha pariwisata; f. Telah beroperasi paling singkat 2 (dua) tahun sebagai biro perjalanan
wisata yang dibuktikan dengan laporan kegiatan usaha; g. Memiliki sertifikat usaha jasa perjalanan wisata dengan kategori biro
perjalanan wisata yang masih berlaku; h. Memiliki kemampuan teknis untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah
Umrah yang meliputi kemampuan sumber daya manusia, manajemen, serta sarana dan prasarana;
i. Memiliki laporan keuangan perusahaan 2 (dua) tahun terakhir dan telah diaudit akuntan publik yang terdaftar di Kementerian Keuangan dengan opini wajar tanpa pengecualian;
j. Melampirkan surat keterangan fiskal dan fotokopi nomor pokok wajib pajak atas nama perusahaan dan pimpinan perusahaan;
k. Memiliki surat rekomendasi asli dari Kantor Wilayah dengan masa berlaku 3 (tiga) bulan; dan
l. Menyerahkan jaminan dalam bentuk deposito/ bank garansi atas nama biro perjalanan wisata yang diterbitkan oleh bank syariah dan/atau bank
43
umum nasional yang memiliki layanan syariah dengan masa berlaku 4 (empat) tahun.
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Perjalanan Ibadah Haji Pasal 44 ditegaskan:
Biro perjalanan wisata dapat ditetapkan sebagai penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terdaftar sebagai biro perjalanan wisata yang sah; b. Memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah; dan c. Memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Umrah.
2. Standar Moral Dari Profesionalitas
Penyelenggaraan haji dan umrah akan menjadi baik, sangat tergantung dari
penyelenggara, pengelola, dan panitia penyelenggara ibadah haji dan umrah. Oleh
karena itu, Pemerintah terus menerus melakukan pembinaan kepada para petugas
haji yang memberikan pelayanan kepada jemaah haji reguler dan jemaah haji
khusus, serta travel penyelenggara ibadah umrah.
Secara umum penyelenggara memegang penting dalam keberhasilan
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Mereka ditunjuk untuk memberikan
pelayanan kepada jemaah haji dari aspek bimbingan manasik, pelayanan
pemondokan, katering, dan transportasi serta perlindungan dan keamanannya.
Kriteria dan persyaratan yang diperlukan meliputi: pengetahuan, kemampuan
(ability), keterampilan bahasa dan penguasaan lokasi kerja.28
Penyelenggara atau petugas haji melayani jemaah yang sedang beribadah,
perlu memperhatikan sifat-sifat mulia untuk bisa memberikan pelayanan ibadah
karena ibadah haji dan umrah bukan semata-mata traveling. Sifat dimaksud
sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW, yaitu: shiddiq, amanah,
tabligh dan fathanah. Sifat Rasul itu menjadi sebuah prototype dan prinsip yang
harus diikuti para penyelenggara atau petugas haji dengan penuh tanggung jawab.
28 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 89
44
Maka sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus
menerapkan prinsip:
a. Prinsip Kejujuran (Shiddiq)
Kejujuran merupakan faktor utama seseorang dipercaya orang lain.
Kejujuran akan melahirkan kepercayaan (trust) bagi orang lain. Sekali tidak
jujur akan suit menumbuhkan rasa percaya orang lain. Dengan kejujuran
penyelenggara atau petugas haji akan dapat memberikan pelayanan kepada
jemaah secara maksimal.
Selanjutnya, dalam memberikan pelayanan perlu dibangun sikap terbuka
(transparansi) dalam menetapkan prinsip-prinsip pelayanan yang mudah,
murah dan berstandar. Keterbukaan memiliki dampak positif menumbuhkan
kedekatan emosional dan peduli petugas kepada jemaah haji dan umrah.
Prinsip kejujuran dan transparansi harus dijunjung tinggi oleh
penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah. Apalagi yang
dilayani adalah tamu-tamu Allah SWT. Kejujuran di sini tidak sebatas
berkata dan berbuat benar, juga kejujuran dalam menyampaikan paket
program pelayanan kepada jemaah haji khusus dan pelayanan umrah.29
Penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah yang baik
selalu mengedepankan prinsip kejujuran yang dapat melahirkan sifat
ketakwaan, sebagaimana ditemukan pada diri Nabi Muhammad SAW Yang
terkenal kejujurannya. Dari ketakwaan itu melahirkan jiwa Penyelenggara,
pengelola, dan petugas haji maupun umrah Indonesia yang bermoral dan
berakhlak, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Az-Zumar [39]: 32-33:
ه ء ا ج ذ إ ق د ص ل ا ب ب ذ وك و ل ل ا ى ل ع ب ذ من ك م ل ظ أ ن م فق د وص ق د ص ل ا ب ء ا ج ي لذ وا . ن ري ف ا ك ل ل وى ث م نم ه ج ف س ي ل أ
ون ق ت م ل ا م ى ك ئ ول أ و ب
Artinya: “Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika
29 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 90-91
45
datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
b. Prinsip Dapat Dipercaya (Amanah)
Sikap amanah merupakan bagian yang harus dimiliki penyelenggara/
pengelola haji/ petugas haji. Amanah diartikan sebagai sikap percaya pada
diri sendiri dan dapat dipercaya orang lain.
Sikap dapat dipercaya (kredibel), menghormati, dan dihormati
(honorable) akan tumbuh dalam diri seseorang keyakinan akan sesuatu yang
dianggap benar dan prinsip kebenaran itu tidak dapat diganggu gugat,
penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah yang amanah
selalu mempercayai orang lain dan memiliki kepercayaan diri. Maka patut
disebut sebagai penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah
yang bertanggung jawab.
Pelayanan kepada jemaah haji dan umrah akan berjalan efektif, mana
kala penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah bersikap
saling percaya dan saling menghormati antara hak dan kewajiban masing-
masing. Pendekatan dan kebersamaan dalam mewujudkan tujuan
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah selalu diupayakan dalam kegiatan
apa pun selama pelaksanaan ibadah haji dan umrah.30
Setiap amanah menuntut pertanggung jawaban, sekecil apapun amanah
harus dipertanggung jawabkan oleh pemegangnya. Sungguh menjadi berdosa
jika penyelenggara haji ataupun penyelenggara umrah menelentarkan
jemaahnya, kurang memperhatikan jemaah yang sakit dan lansia.
Apalagi sebagai penyelenggara haji atau umrah membatalkan atau tidak
memberangkatkan jemaahnya. Sungguh hal tersebut membuat kecewa
jemaah, sehingga harus mendapatkan sanksi, sebagaimana Firman Allah
SWT dalam QS. An-Nisa [4]: 58 :
30 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 92-94
46
ن أ س نا ل ا ي ب م ت م ك ح ا ذ إ و ا ه ل ى أ ل إ ت ا ن ا لم ا وا ؤدج ت ن أ م رك م أ ي لو ل ا ن إي ص ب ا ع ي س ن ا لو ك ل ا ن إ و ب م ك ظ ع ي ا م ع ن لو ل ا ن إ ل د ع ل ا ب وا م ك ت
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
Ayat di atas menunjukkan pentingnya menjaga amanat, amanat yang
berhubungan dengan penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun
umrah yaitu membimbing jemaah, melayani jemaah, dan melindungi jemaah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008. Atas dasar inilah, baik
oleh pemerintah maupun swasta harus menunaikan tugas dan tanggung jawab
sesuai posisi, kedudukan, dan kewenangan yang diembannya. c. Prinsip Komunikatif (Tabligh)
Komunikasi sangat berperan dalam keberhasilann tugas penyelengara/
pengelola/ petugas haji dan umrah. Dalam melaksanakan tugas seorang
dikatakan sukses, apabila mampu membangun komunikasi yang efektif
dengan jemaah.31
Dalam penyelenggaraan ibadah haji maupun ibadah umrah antara
penyelenggara, pengelola, petugas haji, dan jemaah haji saling membutuhkan
satu dengan yang lain. Petugas memiliki kewajiban memberikan pelayanan,
sedangkan jemaah memiliki hak untuk dilayani.
Di sinilah peran pentingnya komunikasi khususnya dalam menggalang
matual understanding (saling pengertian) menjadi dasar untuk saling
menumbuhkan sanse of belonging (rasa memiliki), bahwa masing-masing
memiliki tugas yang berbeda. Sekali pun jemaah memiliki hak untuk dilayani
tetapi penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah tetap
memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dapat atau tidak dapat dipenuhi.
31 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 95
47
Tentu saja, hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik. Dalam
penyelenggaraan ibadah haji maupun ibadah umrah, diharapkan
penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah dapat
berkomunikasi dan menyampaikan informasi, gagasan, pesan, dan sebagainya
dengan baik tanpa menimbulkan banyak presepsi dari jemaah.
Sehingga kesulitan yang dihadapi, baik karena kondisi yang timbul dan
kebijakan yang mendadak di Arab Saudi dapat diatasi dan tidak menimbulkan
konflik dengan penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah.
d. Prinsip Intelegensi (Fathanah)32
Kecerdasan itu menjadi sifat penting bagi penyelenggara, pengelola, dan
petugas haji maupun umrah agar pelaksanaan tugas berjalan sesuai rencana
dan kebajikan yang ditetapkan. Seorang penyelenggara, pengelola, dan
petugas haji maupun umrah tidak cukup hanya memiliki pengalaman dan
kemampuan manajerial. Akan tetapi, memahami seluruh aspek yang
dikelolanya, termasuk pemahaman tugas dan fungsi secara detail.
Penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah harus mau
belajar, sehingga mampu memberikan bimbingan, pelayanan, dan
perlindungan bagi jemaah haji dan umrah sesuai dengan prosedur kerja dan
standar yang ditetapkan.
Tahap berikutnya penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun
umrah harus juga memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan
(kontrol) terhadap tugasnya secara efektif. Pengelola yang cerdas tidak
sekedar menguasai seluk beluk penyelenggaraan haji atau umrah saja, namun
lebih jauh memiliki kemampuan pengetahuan ibadah haji atau umrah yang
baik.
Keputusan-keputusan yang ditetapkan harus menunjukkan
kemampuannya mengelola umrah maupun haji secara profesional dan di
dasarkan pada sikap moral atau akhlakul karimah. Penyelenggara, pengelola,
32 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 95-96
48
dan petugas haji maupun umrah yang fathanah tidak saja bekerja cerdas
melainkan memiliki kemampuan, kearifan dalam bertindak.
Selain keempat sifat di atas, ada sifat yang perlu dimiliki penyelenggara haji
dan umrah, yaitu ikhlas. Pemahaman ikhlas di sini bukan saja menerima ketentuan
yang ada nemun lebih pada menerima dengan baik tugas pengelolaan haji dan
umrah. Berbagai macam tantangan dan godaan selalu menghampiri para
penyelenggara, pengelola, dan petugas haji maupun umrah dengan berbagai
macam modusnya.
Oleh karena itu, perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk meredam nafsu.
Ikhlas beramal merupakan kunci keberhasilan tugas penyelenggara, pengelola,
dan petugas haji maupun umrah.33
3. Tugas Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
Tugas utama dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) adalah
memberikan pelayanan. Pelayanan adalah usaha melayani kebutuhan orang lain.
Pelayanan pada dasarnya, kegiatan yang ditawarkan kepada konsumen atau
pelanggan yang dilayani.
Pelayanan kepada jemaah umrah menjadi tugas dan kewajiban Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Yaitu memberikan pelayanan kepada jemaah
umrah sejak di Tanah Air, selanjutnya memberikan pelayanan di Arab Saudi
sesuai dengan kebijakan dan ketentuan peraturan tentang umrah. Besarnya resiko
ini memerlukan sistem yang terkoordinasi, maka diperlukan manajemen
operasional. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus
melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan harus profesional.
Beberapa kewajiban Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dalam
memberikan pelayanan jemaah umrah, meliputi antara lain: pendaftaran,
pelayanan pemberangkatan dan pemulangan jemaah umrah dari dan ke Indonesia,
33 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 96-97
49
pelayanan bimbingan ibadah, pelayanan dokumen, pemondokan, transportasi,
katering, keamanan, dan kesehatan jemaah.34
Secara garis besar, pengelolaan penyelenggaraan umrah dihadapkan pada 4
(empat) tugas utama, yaitu:
a. Melakukan hubungan kenegaraan dalam tataran diplomatik dengan negara
tujuan, yaitu Kerajaan Arab Saudi;
b. Menyusun rencana dan program agar dapat dicapai tujuan penyelenggaraan
ibadah umrah dengan tertib, aman, dan lancar;
c. Bertanggung jawab atas keseluruhan aspek penyelenggaraan umrah meliputi:
pelayanan bidang umum, bimbingan ibadah, dan kesehatan jemaah umrah;
dan
d. Menyelenggarakan operasional umrah baik di Tanah Air maupun Arab Saudi
dengan aman, nyaman, tertib, adil, transparan, dan akuntabel.35
Adapun ketentuan yang wajib dipatuhi oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yaitu ditegaskan di dalam Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2008 tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Haji bahwa:
Penyelenggara perjalanan Ibadah Umrah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan; b. Memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku
visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis
yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan d. Melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi dan pada
saat akan kembali ke Indonesia.”
Setidak-tidaknya, ada 3 (tiga) acuan kriteria utama untuk mengukur sukses
tidaknya sebuah pelayanan. Hal ini tentu ada kaitannya dengan sertifikat
International Standard Operational (pelayanan standard international)/ ISO
9000:2001 yaitu: Pertama, profesional. Kedua, mengacu kepada Standar
34 Ali Rokhmad dan Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 125-126 35 Ibid, h: 88
50
Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Ketiga, berorientasi pada
kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya jemaah haji dan umrah.
Bertugas dalam pelayanan haji dan umrah tidak lain dari beribadah dan
menjalankan amanah. Dalam kondisi ini, yang diperlukan bagi seorang
penyelenggara bukan hanya sekedar penguasaan terhadap tugas dan fungsi di
lapangan tetapi juga komitmen dan kesadaran untuk memberikan pelayanan yang
terbaik kepada umat.36
C. Kementerian Agama Sebagai Lembaga Pengawas
1. Kedudukan dan Kewenangan Kementerian Agama
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Menurut Satjipto Raharjo, menjelaskan bahwa hakekat dari penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-
ide hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran badan
pembentuk Undang-Undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam
peraturan hukum.37
Dalam hal penegakan hukum terhadap para Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) adalah wewenang Kementerian Agama Republik
Indonesia yang merupakan kementerian dalam Pemerintah Indonesia yang
membidangi urusan agama. Kementerian Agama dipimpin oleh
seorang Menteri Agama yang sejak tanggal 9 Juni 2014 dijabat oleh Lukman
Hakim Saifuddin.
36 Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Dinamika dan Prespektif Haji Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, 2012), h: 212 37 Bevi Septriana, “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Calon Jamaah Umrah Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus di Polresta Bandar Lampung)”, (Bandar Lampung: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2017), h: 6-7
51
Terdapat Susunan organisasi di Kementerian Agama yang terdiri atas 11
(sebelas) unit kerja38, salah satu di antaranya adalah Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah adalah unsur pelaksana yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah dipimpin oleh seorang Direktur
Jenderal yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. Nizar, M.Ag.39
Direktorat jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah yang secara khusus
dibentuk untuk menangani berbagai macam urusan haji dan umrah termasuk
mengurus penegakan hukum terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU). Dalam rangka meningkatkan pembinaan, pengawasan dan
penegakan hukum terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Kementerian Agama dan Kepolisian Republik Indonesia sepakat untuk
mengadakan kerja sama. Kerja sama yang disepakati adalah dalam rangka
pengawasan dan penegakan hukum terhadap Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) melalui
Nota Kesepahaman.
Maksud dan tujuan Nota Kesepahaman ditegaskan dalam Pasal 1 Nota
Kesepahaman Antara Kementerian Agama Republik Indonesia Dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pengawasan Dan Penegakan
Hukum Terhadap Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus Dan Umrah
dinyatakan:
a. Maksud Nota Kesepahaman ini adalah sebagai pedoman bagi para pihak untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap perorangan dan korporasi yang melakukan penyelenggaraan ibadah haji khusus dan penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b. Tujuan Nota Kesepahaman ini adalah agar dapat terwujud kerjasama yang erat antara Para Pihak demi terlaksananya upaya pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyelenggaraan haji dan umrah;
38 Kementerian Agama Republik Indonesia, Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/ Kementerian_Agama_Republik_Indonesia, 27 Mei 2018 39 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Wikipedia, https://id.wikipedia. org/wiki/Direktorat_Jenderal_Penyelenggaraan_Haji_dan_Umrah, 27 Mei 2018
52
Menurut Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah 2013,
penandatanganan MoU ini merupakan salah satu langkah Kementerian
Agama dalam membantu menyelesaikan persoalan yang sering menimpa
Jemaah ibadah Umrah.40 Kementerian Agama dengan Kepolisian Republik
Indonesia telah melakukan penandatangan MoU atau Nota Kesepahaman41
pada tahun 2013.
2. Tugas Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah mempunyai tugas
merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang
penyelenggaraan haji dan umrah. Dalam melaksanakan tugas, Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan haji dan umrah;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan haji dan umrah;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria di bidang penyelenggaraan
haji dan umrah;
d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi penyelenggaraan haji dan
umrah;
e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah;42 dan
f. Pengawasan dalam hal penyelenggaraan haji dan umrah.
Penyelenggaraan umrah yang melibatkan banyak instansi dan lembaga
sudah saatnya dikelola secara professional. Pemerintah harus terus melakukan
usaha untuk memperbaiki kualitas pelayanan untuk mencapai kepuasan
jemaah. Setidaknya ada 3 (tiga) kunci utamanya, yaitu: perbaikan secara terus
menerus (continous improvement), keterlibatan semua anggota organisasi dan
40Kemenag Buat MoU Penyelenggaraan Umrah dan Haji Khusus Dengan Polri, Kemenag, https://www2.kemenag.go.id/berita/121181/kemenag-buat-mou-penyelenggaran-umrah-dan-haji-khusus-dengan-polri, 28 Mei 2018 41 Ibid, pada 27 Mei 2018 42 Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Wikipedia, https://id.wikipedia. org/wiki/Direktorat_Jenderal_Penyelenggaraan_Haji_dan_Umrah, 27 Mei 2018
53
usaha memenuhi bahkan melebihi ekspektasi dari pengguna jasa
(stakeholders).43
Untuk mewujudkan petugas umrah yang kompeten serta memiliki
dedikasi, maka dilakukan seleksi44 oleh Direktorat Jenderal Penyelenggaraan
Haji dan Umrah yaitu berupa berbagai macam persyaratan untuk menjadi
sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Intisari dari tugas nasional yang menjadi tanggung jawab Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah adalah aspek pembinaan,
pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah haji maupun jemaah umrah sejak
mulai pendaftaran dan tercatat di Siskohat Kementerian Agama secara online
dan real-time, masa tunggu (Waiting list), keberangkatan dari Tanah Air ke
Arab Saudi, selama di Tanah Suci, sampai akhirnya kembali lagi ke Tanah
Air.45
Dalam hal ibadah umrah Kementerian Agama khususnya Direktorat
Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah sebagai regulator sedangkan
operator sepenuhnya diserahkan kepada swasta.46 Fungsi Kementerian
Agama mengarah lebih kepada kebijakan mendasar.47
3. Legalitas Kementerian Agama Dalam Penegakan Hukum Terhadap
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Dalam perkembangan bisnis modern telah banyak mengubah agen
perjalanan ibadah umrah, sering kali antara pelayanan yang diberikan dengan
dan keuntungan yang diambil tidak seimbang. Bahkan sebagian di antaranya
memberikan pelayanan di bawah standar. Tidak jarang Penyelenggara
43 Ali Rokhmad, Abdul Choliq, Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi Mental), (Jakarta : Media Dakwah, 2015), h: 89 44 Ibid, h: 90 45 Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Dinamika dan Prespektif Haji Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, 2012), h: 232 46 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK Press, 2008), h: 81 47 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama), (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h: 40
54
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) swasta tidak menyediakan pelayanan sesuai
dengan perjanjian.
Dalam kaitan ini, adalah legalitas Kementerian Agama khususnya
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk menjatuhkan
sanksi kepada para Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) nakal.
Selain itu Kementerian Agama juga memiliki legalitas untuk
mengeluarkan kebijakan serta keputusan tentang penyelenggara perjalanan
ibadah umrah, yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme dalam
penyelenggaraan ibadah umrah sesuai dengan prinsip-prinsip menejemen
modern.48
4. Dasar Pentingnya Pengawasan Direktorat Penyelenggaraan Haji dan
Umrah
Kementerian Agama Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan
Umrah sering kali mendapat berbagai opini penilaian terhadap berhasil dan
tidaknya penyelenggaraan pada jemaah. Hal ini sangatlah wajar karena
beberapa hal, antara lain:
a. Penyelenggaraan ibadah haji dan umrah merupakan kegiatan rutin dan
menjadi pekerjaan yang sangat besar yang melibatkan banyak pihak;
b. Banyak pihak yang melakukan monitoring dan pengawasan, di antaranya
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia, Komisi Pemberantas Komisi, Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Badan Pengawasan Keuangan
Pembangunan, Pers, Lembaga Swadaya Masyarakat, Inspektorat Jenderal
Kementerian Kesehatan dan juga Kementerian Agama yang melakukan
pengawasan dan monitoring;
c. Tidak hanya persepsi yang sama yang dapat dijadikan ukuran
keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan haji maupun umrah dengan
memakai tolak ukur masing-masing; dan
48 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK Press, 2008), h: 63-64
55
d. Setiap pergantian tahun, selalu saja ada permasalahan yang muncul.49
Maka atas dasar tersebut lah mengapa adanya pengawasan dan
pengendalian dalam ruang lingkup penyelenggaraan haji dan umrah, bisa kita
lihat bahwa point ke empat menegaskan bahwa selalu ada permasalahan yang
muncul dan harus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah
Kementerian Agama yang turun tangan untuk menindaklanjuti, oleh karena
itu adanya pengawasan serta pengendalian yang tugasnya menindaklanjuti
setiap permasalahan yang timbul tersebut.
D. Mekanisme dan Bentuk-Bentuk Pengawasan
1. Mekanisme Pengawasan
Mekanisme pengawasan yang kini diterapkan oleh pemerintah dilakukan
oleh Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Dalam hal
pengawasan Direktur Jenderal dibantu oleh Kepala Kantor Wilayah, Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten atau Kota, dan Staf Teknis Haji
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah dan dapat bekerja sama
dengan lembaga instansi pemerintah atau lembaga terkait.
Pengawasan yang dimaksud ditegaskan dalam Pasal 32 Ayat 3 Peraturan
Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan
Ibadah Umrah yaitu:
Pengawasan terhadap:
a. Pendaftaran; b. Pengelolaan keuangan; c. Rencana perjalanan; d. Kegiatan operasional pelayanan Jemaah; e. Pengurusan dan penggunaan visa; f. Indikasi penyimpangan dan/atau kasus tertentu; dan g. Ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai pengawasan yang diwakilkan oleh Kepala Kantor Wilayah,
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota, dan Staf Teknis Haji
49 Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Dinamika dan Prespektif Haji Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, 2012), h: 213
56
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah akan melakukan pengawasan
sendiri dan setelah itu dilaporkan kepada Direktur Jenderal Haji dan Umrah.
Dalam hal melaksanakan pengawasan ditegaskan di dalam Pasal 33
Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan
Perjalanan Ibadah Umrah yaitu:
Pengawasan dilakukan secara: 1) Terprogram dan berkala; 2) Sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan; dan/atau 3) terpadu dengan instansi pemerintah/ lembaga terkait.
2. Bentuk-Bentuk Pengawasan
Pengawasan adalah salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
Pemerintah selaku regulator, kewajiban pemerintah ditegaskan di dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
yaitu:
Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan Ibadah Haji, Akomodasi, Transportasi, Pelayanan Kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji.
Yang mana hal tersebut juga diberlakukan Pemerintah dalam hal
penyelenggaraan ibadah umrah. Bentuk pengawasan yang digunakan oleh
Kementerian Agama terdiri dari 2 (dua) bentuk, yaitu:
a. Pengawasan Preventif
Pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan, yakni
pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat rencana.50
Pengawasan yang didirikan sebagai upaya pencegahan yang mana
Kementerian Agama mencegah dan mengendalikan melalui51:
50 Putu Yasa, “Jenis-Jenis Pengawasan”, Inspektorat Daerah, https://inspektoratdaerah. bulelengkab. go.id/artikel/jenis-jenis-pengawasan-76, 15 Juli 2018 51 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
57
1) Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji
(SIPATUH).
Layanan berbasisi elektronik (web dan mobile) yang
dikembangkan Kementerian Agama sejak April 2018. Keberadaan
Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji
(SIPATUH) diharapkan dapat meningkatkan pengawasan terhadap
penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan haji khusus.
Prinsip dasar kerja Sistem Informasi Pengawasan Terpadu
Umrah dan Haji (SIPATUH) adalah memberikan ruang bagi
jemaah untuk dapat memantau rencana perjalanan ibadah
umrahnya, sejak mendaftar hingga sampai pulang kembali ke
Tanah Air.52
Aplikasi berbasis elektronik ini berfungsi untuk mengawasi
semua Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang
sedang memberangkatkan jemaahnya, termasuk soal mekanisme
pelayanan sebuah travel53.
Melalui sistem ini, akan saling terkoneksi antara calon jemaah
umrah, Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),
Kementerian Agama, dan Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA).
Ini dilakukan agar monitoring penyelenggaraan umrah tidak hanya
dilakukan oleh Kementerian Agama, tapi juga masyarakat.54
Sebelum ada Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan
Haji (SIPATUH), ada sistem Kementerian Agama yang bernama
Laporan Rencana Perjalanan Umrah (LRPU) yang mana sebelum
jemaah diberangkatkan ke Arab Saudi, Penyelenggara Perjalanan
52 Kontri, “Benahi Insdustri Umrah: Kemenag Terbitkan Regulasi Baru”, Kemenag, https://kemenag.go.id/berita/read/507294/benahi----industri----umrah--kemenag-terbitkan-regul asi-baru, 16 Juli 2018 53 “Buntut Maraknya Travel Nakal di 2017: Kemenag Berbenah, Republika, https://www. republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/18/01/03/p1ynz9335-buntut-maraknya-travel-nakal-di-2017-kemenag-mulai-berbenah, 15 Juli 2018 54 Khoiron, “Ini Terobosan Pembenahan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia”, Kemenag, https://kemenag.go.id/berita/read/507876, 16 Juli 2018
58
Ibadah Umrah (PPIU) akan meng-input data jemaah yang
berangkat umrah dahulu dengan sistem inilah Kementerian Agama
mengontrol perjalanan umrah.
Tapi kini ada Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan
Haji (SIPATUH) yang lebih detail dari Laporan Rencana
Perjalanan Umrah (LRPU)55. Dengan aplikasi Sistem Informasi
Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH) ini Kementerian
Agama dapat mengkontrol kapan sebuah travel memberangkatkan
jemaahnya, jumlah dari jemaah yang diberangkatkan, hotel yang
disewa, kapan jemaah akan pulang, visanya dan lain-lain56.
Semua hal tersebut akan terkontrol karena Sistem Informasi
Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH) memuat
sejumlah informasi di antaranya:
a) Pendaftaran jemaah umrah;
b) Paket perjalanan yang ditawarkan PPIU;
c) Harga paket;
d) Pemantauan penyediaan tiket yang terintegrasi dengan maskapai
penerbangan;
e) Pemantauan akomodasi yang terintegrasi dengan sistem
muassasah di Arab Saudi;
f) Alur pemesanan visa yang terintegrasi dengan Kedutaan Besar
Saudi Arabia (KBSA);
g) Validasi identitas jemaah yang terintegrasi dengan Dukcapil;
dan
h) Pemantauan keberangkatan dan kepulangan yang terintegrasi
dengan imigrasi.
55 Nennah, Pihak Al-Kautsar Travel Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 April 2018 56 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
59
Melalui Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji
(SIPATUH), jemaah akan memperoleh nomor registrasi
pendaftaran sebagai bukti proses pendaftaran yang dilakukan sesuai
peraturan. Artinya, proses akhir pendaftaran adalah keluarnya
nomor registrasi umrah.57
2) Sistem Akreditasi.
Kementerian Agama menerapkan sistem akreditasi terhadap
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tujuannya, untuk
meningkatkan kualitas Manajemen Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU).58
Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah telah
menjalin kerjasama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN)
Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk menjalin sinergi dalam
menilai akreditasi Lembaga Sertifikasi Usaha (LSU) yang
melakukan sertifikasi usaha terhadap Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) ini harus diakreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN).
Harapannya agar sistem kontrol kualitas menjadi lebih kuat
sehingga potensi masalah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) bisa diminimalisir.59
3) Pembinaan60 dan sosialisasi.
Pembinaan dan sosialisasi merupakan tanggung jawab
pemerintah untuk mewujudkan Penyelenggara Perjalanan Ibadah
57 “Benahi Insdustri Umrah Kemenag Terbitkan Regulasi Baru”, Kemenag, https:// kemenag.go.id/berita/read/507294/benahi----industri----umrah--kemenag-terbitkan-regulasi-baru, 16 Juli 2018 58 Faisal Abdallah, “Penyelenggara Umrah Perlu Diakreditasi”, Metro News, https://www.google.co.id/ amp/www.metrotvnews.com/amp/GKdWnDAk-penyelenggara-umrah-perlu-diakreditasi, 16 Juli 2018 59 “Ini Terobosan Pembenahan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia”, Kemenag, https:// kemenag.go.id/berita/read/507876, 16 Juli 2018 60 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
60
Umrah (PPIU) yang profesional, amanah, dan bertanggung jawab
terhadap tugas dan kewajibannya.61
Ditegaskan dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Agama Nomor 8
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah
bahwa pembinaan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) dilakukan oleh Direktorat Jenderal Penyelenggara
Haji dan Umrah (Dirjen PHU) yang dibantu oleh Kepala Kantor
Wilayah dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota.
Direktur Jenderal dapat bekerja sama dengan Asosiasi
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dalam melakukan
pembinaan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Pengawasan Represif
Pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan atau kegiatan
dilaksanakan. Dapat pula dikatakan bahwa pengawasan represif sebagai
salah satu bentuk pengawasan atas jalannya pemerintahan.62 Jika sudah
dilakukan upaya pengawasan preventif dan masih ada Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar tentu harus dilakukan
represif yang akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang ada.63
Penindakkan yang dilakukan oleh Kementerian Agama adalah
menjatuhkan sanksi kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) yang melanggar.
61 Asep Awaludin, “Kemenag Bentuk Forum PPIU”, Gala Media News, http://www.galamedianews. com/haji/187198/kemenag-bentuk-forum-ppiu.html pada 16 Juli 2018 62 Putu Yasa, “Jenis-Jenis Pengawasan”, Inspektorat Daerah, https://inspektoratdaerah. bulelengkab. go.id/artikel/jenis-jenis-pengawasan-76, 15 Juli 2018 63 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
61
E. Penanganan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Bermasalah
Penanganan yang dilakukan oleh Kementerian Agama dalam menghadapi
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang bermasalah adalah dengan
menjatuhkannya sanksi kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
tersebut. Ada 4 (empat) jenis sanksi yang akan dijatuhkan untuk Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar, yaitu:
1. Teguran tertulis64
Sanksi peringatan yang diberikan kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yang melakukan kesalahan manajemen yang dapat merusak citra
Kementerian Agama.65 Dalam Pasal 41 Ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor
8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah, Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) akan dikenakan sanksi teguran tertulis apabila
melakukan hal-hal di bawah ini:
a. Tidak melaporkan perubahan susunan pemilik saham, direksi, dan komisaris
dan/atau tempat atau domisili perusahaan kepada Menteri melalui Direktur
Jenderal paling lama 3 (tiga) bulan setelah terjadi perubahan;
b. Tidak memperoleh pengesahan dari Kepala Kantor Wilayah terkait
pembukaan kantor cabang di luar domisili perusahaan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU);
c. Pimpinan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak melaporkan
pembukaan kantor cabang di luar domisili Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) kepada Direktur Jenderal;
d. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak melaporkan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal, dalam hal Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) menetapkan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU) di bawah
Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU) Referensi;
64 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 65 Muhammad M Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta: FDK Press, 2008), h: 175
62
e. Pendaftaran Jemaah yang dilakukan oleh calon jemaah yang bersangkutan
pada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak sesuai dengan
format pendaftaran dan perjanjian yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal;
f. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menjelaskan isi
perjanjian yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal kepada calon jemaah;
g. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberangkatkan
Jemaah paling lambat 6 (enam) bulan setelah pendaftaran;
h. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberikan informasi
mengenai paket umrah kepada calon jemaah;
i. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak melaporkan Jemaah
yang telah terdaftar kepada Direktorat Jenderal melalui Sistem Informasi
Pengawasan Terpadu Umrah (SIPATUH);
j. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberikan dokumen
perjanjian kepada Jemaah segera setelah ditanda tangani kedua belah pihak;
k. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) memfasilitasi keberangkatan
Jemaah menggunakan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU) yang berasal
dari dana talangan;
l. Tidak memberikan bimbingan ibadah umrah kepada jemaah sebelum
keberangkatan ke Arab Saudi;
m. Pembimbing ibadah yang diangkat oleh pimpinan Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) belum pernah melaksanakan ibadah haji atau umrah;
n. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberikan buku
paket atau buku pedoman materi bimbingan manasik dan perjalanan umrah
kepada jemaah umrah;
o. Pemberangkatan ke dan dari Arab Saudi tidak dilaksanakan oleh
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sesuai dengan jadwal yang
tertera dalam perjanjian yang telah disepakati dengan calon jemaah;
p. Jadwal pemberangkatan ke dan dari Arab Saudi tidak dibuktikan dengan tiket
pesawat ke dan dari Arab Saudi;
63
q. Transportasi udara dari Indonesia ke Arab Saudi dan dari Arab Saudi ke
Indonesia lebih dari 1 (satu) kali transit dan/atau dengan lebih dari 2 (dua)
maskapai penerbangan yang digunakan;
r. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menyediakan tempat
yang layak dan nyaman bagi Jemaah selama berada di bandara;
s. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memfasilitasi Jemaah
yang mengalami keterlambatan penerbangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
t. Transportasi darat selama di Arab Saudi tidak menggunakan kendaraan yang
layak, nyaman, sesuai dengan perjanjian yang disepakati, dan/atau tidak
memenuhi standar kelayakan dan kenyamanan, yang mana standar kelayakan
dan kenyamanan kendaraan selama di Arab Saudi adalah:
1) Usia bus paling lama 5 (lima) tahun;
2) Kapasitas bus paling banyak 50 (lima puluh) seat setiap bus; dan
3) Memiliki air condition, sabuk pengaman, tombol manual darurat
pembuka pintu, alat pemecah kaca, alat pemadam kebakaran, bagasi yang
terletak di bawah, ban cadangan atau ban anti bocor, kotak pertolongan
pertama pada kecelakaan lengkap dengan obat-obatan, pengeras suara,
toilet, dan kulkas yang seluruhnya dalam kondisi baik dan berfungsi.
u. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menyediakan
akomodasi, untuk Jemaah yang diharuskan menginap sebelum keberangkatan
ke Arab Saudi;
v. Jemaah yang ditempatkan lebih dari 1.000 (seribu) meter dari Masjidil Haram
di Makkah, Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak
menyediakan transportasi selama 24 (dua puluh empat) jam, dan
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menempatkan pada hotel
yang lebih rendah dari bintang 3 (tiga);
w. Pelayanan konsumsi selama di Arab Saudi tidak memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1) Pelayanan dengan sistem penyajian secara prasmanan sebanyak 3 (tiga)
kali sehari;
64
2) Beberapa pilihan menu, termasuk menu Indonesia;
3) Segala bentuk konsumsi yang disajikan harus memenuhi standar
higienitas dan kesehatan.
x. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memberikan
pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kesehatan bagi Jemaah sebelum
pemberangkatan ke dan dari Arab Saudi dan selama di Arab Saudi. Pelayanan
kesehatan tersebut mencakup:
1) Penyediaan petugas kesehatan;
2) Penyediaan obat-obatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
3) Pemeriksaan kondisi kesehatan awal Jemaah sebelum keberangkatan;
4) Pengurusan bagi Jemaah yang sakit selama di perjalanan dan di Arab
Saudi;
5) Pengurusan Jemaah yang meninggal dunia; dan
6) Bimbingan kesehatan Jemaah diberikan sebelum pemberangkatan ke dan
dari Arab Saudi dan selama di Arab Saudi.
y. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memastikan Jemaah
telah mendapatkan vaksinasi meningitis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
z. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak bertanggung jawab
terhadap perawatan dan pemulangan jemaah yang dirawat inap di Arab Saudi
dan negara transit;
aa. Pelayanan perlindungan Jemaah dan petugas umrah tidak mencakup:
1) Asuransi jiwa, kesehatan, dan kecelakaan;
2) Pengurusan dokumen Jemaah yang hilang selama perjalanan ibadah; dan
3) Pengurusan Jemaah yang terpisah dan/atau hilang selama dalam
perjalanan dan di Arab Saudi.
bb. Besaran pertanggungan asuransi/ nilai manfaat tidak sesuai dengan ketentuan
dalam asuransi perjalanan;
cc. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menyediakan petugas
untuk mendampingi jemaah;
65
dd. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menyediakan 1 (satu)
orang tenaga kesehatan untuk rombongan jemaah yang berjumlah lebih dari
90 (sembilan puluh) orang;
ee. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak menyediakan kartu
tanda pengenal yang memuat nama Jemaah, nomor paspor, nama
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), penanggung jawab dan
nomor kontak di Arab Saudi, nama muassasah, nama dan alamat hotel;
ff. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak mendaftarkan 1 (satu)
orang perwakilan resmi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di
Arab Saudi kepada teknis urusan haji pada Konsulat Jenderal Republik
Indonesia di Jeddah;
gg. Pelayanan administrasi dan dokumen umrah tidak mencakup:
1) Pengurusan dokumen perjalanan umrah dan visa bagi Jemaah;
2) Pengurusan dokumen jemaah sakit, meninggal, dan ghaib/ hilang; dan
3) Pengurusan dokumen lain yang dianggap perlu.
hh. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak melaporkan
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah kepada Direktur Jenderal yang
meliputi rencana perjalanan umrah, pemberangkatan, pemulangan, dan
permasalahan khusus;
2. Pembekuan izin
Travel yang terkena sanksi pembekuan tidak dapat lagi menjalankan
penyelenggaraan umrah selama maksimal 2 (dua) tahun dan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib mengembalikan Biaya Perjalanan Ibadah
Umrah (BPIU) kepada Jemaah. Dalam Pasal 41 Ayat 2 Peraturan Menteri Agama
Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah,
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat dijatuhkan sanksi
pembekuan izin dikarenakan telah melakukan pelanggaran sebagai berikut:
a. Melakukan pelanggaran penyalahgunaan dokumen pasport;
b. Melakukan kesalahan manajemen yang berakibat jamaah tidak terurus dengan
baik;
66
c. Melakukan kelalaian manajemen pendaftaran dan keuangan yang berakibat
tidak mendapatkan ber-code sehingga jemaah gagal berangkat;
d. Melakukan kesalahan manajemen dengan manyamarkan identitas untuk
kepentingan rekruitment jemaah umrah66; dan
e. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melakukan
pengulangan pelanggaran pada hal-hal yang dapat dikenakan sanksi
peringatan tertulis atau mengenai pelanggaran-pelanggaran yang terkait
dengan layanan kepada jemaah.
3. Pencabutan
Jika travel dicabut izinnya, izin sebagai penyelenggara umrah tersebut dicabut
selama-lamanya termasuk orangnya tidak akan bisa lagi berganti nama perusahaan
lain67. Apabila dikenakan sanksi pencabutan, Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) wajib mengembalikan Biaya Perjalanan Ibadah Umrah (BPIU)
kepada Jemaah. Dalam Pasal 41 Ayat 1 Peraturan Menteri Agama Nomor 8
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah, Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dikenakan sanksi pencabutan izin atas
pelanggaran sebagai berikut:
a. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) menelantarkan jemaah
umrah yang mengakibatkan jemaah umrah:
1) Gagal berangkat ke Arab Saudi;
2) Melanggar masa berlaku visa; atau
3) Terancam keamanan dan keselamatannya.
b. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak memastikan/
mengecek masa tinggal Jemaah di Arab Saudi sesuai atau tidak dengan masa
berlaku visa. Sehingga masa tinggal Jemaah di Arab Saudi tidak sesuai
dengan masa berlaku visa, dalam artian masa berlaku visa sudah habis namun
jemaah belum kembai ke Indonesia68; dan
66 Muhammad M Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, h: 175 67 Ibid, h: 175 68 Nurchalis, Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal
67
c. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang meminjamkan legalitas
perizinan umrah kepada pihak lain untuk menyelenggarakan perjalanan
ibadah umrah;
d. Apabila izin operasional sebagai biro perjalanan wisata dicabut oleh Menteri
yang menyelenggarakan urusan di bidang pariwisata, Gubernur, Bupati
dan/atau Wali Kota maka izin penyelenggaraan umrah dicabut; dan
e. Apabila nilai akreditasi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) di
bawah C.
4. Tidak diberikan pengesahan sebagai Provider
Provider visa yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi tidak dapat
diberikan pengesahan kontrak sebagai syarat menjadi provider visa untuk paling
lama 2 (dua) kali musim umrah, sehingga mereka ke depannya tidak sebagai
provider tetapi sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) biasa.69
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang berstatus sebagai provider
visa dapat dikenakan sanksi dikarenakan tidak melakukan kewajiban sebagaimana
berikut:
a. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi;
b. Memastikan pelayanan administrasi akomodasi, konsumsi, dan transportasi di
Arab Saudi;
c. Memastikan pengurusan visa Jemaah hanya kepada Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU);
d. Memastikan pengurusan Jemaah yang meninggal dan/atau mengalami sakit dan
dirawat di Arab Saudi dan/atau di negara transit, dan sampai kembali ke Tanah
Air;
e. Memastikan tiket Jemaah ke dan dari Arab Saudi;
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Maret 2018 69 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
68
f. Memastikan asuransi perjalanan Jemaah; dan
g. Melaporkan pengurusan visa kepada Direktur Jenderal paling lama 10
(sepuluh) hari sejak visa diterbitkan.
5. Ketentuan Lain
Ketentuan lain yang ada di dalam Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji ditegaskan bahwa
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. Menyediakan pembimbing ibadah dan petugas kesehatan; b. Memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi dan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. Memberikan pelayanan kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara dan jemaah; dan d. Melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia.
Apabila Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tidak melaksanakan
ketentuan di atas maka akan dikenakan sanksi yang ditegaskan dalam Pasal 64
Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji yaitu akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
69
BAB IV
MEKANISME PENYELESAIAN PENYELENGGARA PERJALANAN
IBADAH UMRAH BERMASALAH OLEH KEMENTERIAN AGAMA
A. Potret Kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Bermasalah
1. Kasus PT. Pandi Kencana
Pada tahun 2014 terdapat sebuah kesalahan yang dilakukan oleh PT.
Pandi Kencana dalam melayani jemaah umrah yaitu adanya sejumlah jemaah
umrah yang tertunda waktu pemulangannya ke Indonesia dari Arab Saudi
selama 3 (tiga) hari. Hal ini dikarenakan pesawat yang dipesan oleh PT. Pandi
Kencana untuk menjemput jemaah umrah tidak kunjung datang, dan
menyebabkan jemaah tertunda pemulangannya selama 3 (tiga) hari di
Madinah.
Kemudian terdapat petugas Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI)
di Arab Saudi yang melihat kondisi tersebut dan melaporkannya ke
Kementerian Agama dan mereka di tegur, yang melaporkan adalah orang
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang melihat kondisi tersebut.
Kementerian Agama pun langsung memanggil Direktur utama PT. Pandi
Kencana untuk meminta klarifikasi terkait kasus ini, namun Direkturnya ada
di Makassar.
Maka PT. Pandi Kencana menghadirkan perwakilan dari Jakarta yaitu
Direksi PT. Pandi Kencana yang kebetulan berada di kantor PT. Pandi
Kencana yang di Jakarta. Direksi PT. Pandi Kencana yang datang ke
Kementerian Agama pun, menjelaskan kronologisnya, mereka membawa
semua invoice airland, tiket, invoice hotel, termasuk tambahan 3 (tiga) malam
di Madinah semuanya mereka bawa sebagai bukti bahwa tidak terjadi
penelantaran jemaah dan membawa bukti kelalaian dari pihak airland.
Mereka membuktikan ke Kementerian Agama mereka tidak
menelantarkan jemaah dan semua jemaah juga tidak terlantar semua masuk di
dalam hotel. Namun kesalahannya adalah bahwa PT. Pandi Kencana telah
mengambil airland yang tidak memiliki kantor cabang di Indonesia. Dalam
70
proses klarifikasi diketahui bahwa pesawat yang digunakan oleh pihak PT.
Pandi Kencana bukan pesawat regular. 1
Setelah proses klarifikasi, biasanya Kementerian Agama menelaah hasil
dari klarifikasi untuk menentukan ketentuan-ketentuan di Peraturan Menteri
Agama Nomor 8 tahun 2018 hal apa yang telah dilanggar dan/atau yang tidak
sesuai dengan perilaku sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) tersebut.2 Maka dalam waktu seminggu setelah proses klarifikasi
Kementerian Agama memberikan sanksi kepada PT. Pandi Kencana berupa
surat teguran.3
Tabel 4.1 Infografis Sanksi Yang Diberikan Kementerian Agama Untuk
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Tahun Pencabutan Izin Tidak dapat diperpanjang
berdasarkan akreditasi
Tidak dapat diperpanjang
2015
1. PT. Medterrania Travel
2. PT. Mustaqbal Lima
3. PT. Ronalditya 4. PT. Kopindo
Wisata
1. PT. Catur Dayaa Utama
2. PT. Huli Saqdah 3. PT. Maccadina 4. PT. Gema Arofah
2016 1. PT. Timur Sarana Tour & Travel
2. PT. Diva Sakinah 3. PT. Hikmah Sakti
Perdana
1. PT. Wisata Pesona Nugraha
2. PT. Assuryaniyah Cipta Prima
3. PT. Maulana
2017 1. PT. First Anugrah 1. PT. Hodhod Azza 1. PT. Al-Maha Tour
1 Hendry, kepala cabang dan Direktur HRD PT. Pandi Kencana Cabang, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 05 April 2018 2 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 3 Hendry, kepala cabang dan Direktur HRD PT. Pandi Kencana Cabang, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 05 April 2018
71
Karya Wisata 2. PT. Biro
Perjalanan Wisata Al-Utswaniyah Tours
Amra Wisata & Travel 2. PT. Assyifa Mandiri
Wisata 3. PT. Raudah
Kharisma Wisata 4. PT. Habab Al
Hannaya Tour & Travel
5. PT. Erni Pancaeajati 2018 1. PT. Interculture
Tourindo 2. PT. Amanah
Bersama Umat 3. PT. Solusi Balad
Lumampah 4. PT. Mustaqbal
Wisata Prima4
B. Langkah-Langkah Kementerian Agama
Pada pengawasan Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah
melakukan tindakan koreksi terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) jika adanya hal-hal yang menyimpang terhadap program perjalanan umrah
yang sudah ditentukan oleh Kementerian Agama, maka Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) harus dikenakan sanksi administratif.5
Berikut merupakan langkah-langkah Kementerian Agama dalam memberikan
sanksi atau peringatan bagi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang
melanggar ketentuan Undang-Undang maupun peraturan terkait Penyelenggaraan
Ibadah Umrah:
1. Pengenaan sanksi administratif dilakukan berdasarkan pengaduan
masyarakat, hasil akreditasi, dan/atau hasil pengawasan terhadap
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang disampaikan kepada
4 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 5 Roudatul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2016), h. 66
72
Direktur Jenderal yang mendapat informasi dari teman-teman di Konsulat
Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah maupun dari pemberitaan media6.
Pengaduan disampaikan secara tertulis dengan melampirkan identitas diri
pelapor dan bukti pelanggaran;
2. Direktur Jenderal membuat berita acara untuk Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) mengklarifikasi atau permintaan keterangan atas berita
dan/atau laporan yang ada;
3. Direktur Jenderal melakukan klarifikasi terhadap pemilik izin Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang dilaporkan telah melakukan
pelanggaran terhadap Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang mana sebelumnya
pihak Kementerian Agama sudah menggali data-data yang terkait atas kasus
tersebut, maka di saat memanggil Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) untuk klarifikasi Kementerian Agama sudah mempunyai data-data
dan informasi terkait permasalahan7;
4. Dalam hal diperlukan Direktur Jenderal dapat menugaskan Kepala Kantor
Wilayah untuk melakukan klarifikasi. Hasil klarifikasi oleh Kepala Kantor
Wilayah disampaikan kepada Direktur Jenderal sebagai dasar pengenaan
sanksi administratif terhadap pelanggaran yang telah dilakukan oleh
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU);
5. Dalam hal diperlukan, Direktur Jenderal membentuk tim untuk menelaah
hasil klarifikasi. Tim itu terdiri adanya komponen dari Inspektorat Jenderal
Kementerian Agama, Biro hukum dari Sekretaris Jenderal Kementerian
Agama, dan kementerian lembaga terkait;
6. Tim menelaah bersama di Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah
Umrah dan Ibadah Haji Khusus Kementerian Agama, untuk menentukan
ketentuan-ketentuan di Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 hal
6 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 7 Ibid
73
apa yang telah dilanggar dan/atau yang tidak sesuai dengan perilaku
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tersebut8;
7. Tim dapat melakukan pemanggilan terhadap pelapor, jemaah, Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), dan/atau pihak terkait lainnya untuk
melengkapi penelaahan terhadap laporan terjadinya pelanggaran dalam
penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah;
8. Jika tim sudah menentukan pasal yang dilanggar Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU), maka tim akan melakukan rekomendasi terkait dengan
sanksi apa yang harus dijatuhkan9;
9. Hasil telaahan tim disampaikan kepada Direktur Jenderal sebagai dasar
pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang telah dilakukan
oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU);
10. Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan sanksi administrasi terhadap
pemegang izin Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang terbukti
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;
11. Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan pemegang saham,
komisaris, dan direksi yang pernah atau sedang mendapat sanksi atas
pelanggaran Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah;
12. Penetapan sanksi administrasi disampaikan kepada pimpinan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dan ditembuskan kepada Kepala Kantor
Wilayah;
13. Direktur Jenderal mengumumkan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) yang dikenakan sanksi administratif di media massa.
8 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan Haji KhususDirektorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 9 Ibid
74
C. Strategi Penyelesaian
1. Langkah Antisipasi
Berikut langkah antisipasi yang dilakukan Pemerintah untuk menimilisir
terjadinya penyalahgunaan bisnis umrah oleh Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) yang tidak bertanggung jawab:
a. Melalui program Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah
(SIPATUH), melalui sistem berbasis elektronik ini semua travel bisa
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah
(SIPATUH), ini adalah bagian dari penyelenggaraan untuk mengontrol,
Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah (SIPATUH) memang
diterbitkan agar tidak ada lagi pelanggaran yang dilakukan oleh
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)10;
b. Selain Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah (SIPATUH)
tentunya dengan melakukan pembinaan, sosialisasi kepada para
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sehingga mereka bisa
memenuhi ketentuan dan pelayanan yang harus mereka berikan11;
c. Kementerian Agama akan lebih meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat terkait pentingnya memilih travel perjalanan haji atau umrah
yang resmi. 12 Untuk menjadikan masyarakat yang cermat dan cerdas
dalam memilih Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), dan
agar masyarakat dapat lebih berani untuk mengkritisi Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang mulai melakukan hal-hal yang
menyimpang13;
d. Selain memberikan sosialisasi kepada travel dan masyarakat yang perlu
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Haji dan Umrah adalah merivisi atau 10 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 11 Ibid 12 Antisipasi Travel Umrah Bermasalah Kemenag Sosialisasi ke Masjid-Masjid, Thayiba Tora, http://www.thayiba-tora.co.id/antisipasi-travel-umrah-bermasalah-kemenag-sosialisasi-ke-masjid-masjid, 20 Juli 2018
13 Mustolih, Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Ciputat, 24
Juli 2018
75
mengoreksi standar. Karena bisa jadi penyimpangan yang terjadi akibat
standar yang tidak relevan. Bukan mutlak kesalahan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).14
D. Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU)
Dalam teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman
berhasilnya sebuah penegakan hukum tergantung 3 (tiga) unsur sistem hukum,
yakni struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum
terdiri dari lembaga hukum yang ada untuk menunjukkan bagaimana hukum
dijalankan menurut Undang-Undang yang berlaku.15
Dalam penelitian ini, struktur hukum yang menjalankan adalah Kementerian
Agama Republik Indonesia yang di dalam struktur keorganisasiannya terdapat
Direktorat Penyelenggaraan Haji dan Umrah Bina Umrah dan Haji Khusus
sebagai instansi pemerintah yang berwenang mengawasi serta mengendalikan
para Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku.
Substansi hukum adalah perangkat perundang-undangan yang berlaku16 untuk
mengawasi dan mengendalikan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Dalam penelitian ini penulis mengacu pada:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji;
3. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2015 Pasal 4
Ayat 1 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah;
14 Roudatul Jannah, “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, 2016), h. 70 15 Kurniawan Hermawanto dkk, “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman” (Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017) 16 Ibid
76
4. Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah.
Budaya hukum adalah sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat
penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum.17 Dalam penelitian ini
budaya hukum yang penulis jadikan acuan adalah budaya hukum instansi yang
berwenang (Kementerian Agama) dalam pengawasan dan pengendalian dalam
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Jadi Kementerian Agama Republik Indonesia yaitu Direktorat
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Bina Haji Khusus dan Umrah adalah sebuah
instansi yang mengatur serta mengawasi jalannya penyelenggaraan perjalanan
ibadah umrah agar tetap sesuai dengan peraturan yang terkait. Yang mana setiap
tahunnya jika adanya penyimpangan yang dilakukan oleh Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) maka Kementerian Agama akan memberikan
penindakan berupa sanksi atas penyimpangan yang terjadi, agar berjalan secara
efektif penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah setiap tahunnya.
Menurut Saiful Anwar terdapat 2 (dua) bentuk pengawasan yaitu pengawasan
internal dan pengawasan external. Pengawasan internal adalah pengawasan yang
dilakukan oleh suatu struktur atau organisatoris yang melakukan pengawasan di
dalam lingkungan struktur atau organisasinya sendiri.18 Menurut penulis bentuk
pengawasan internal adalah pihak Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) yang mana tidak melakukan pengawasan untuk lembaga lain selain
pengawasan kepada perusahaannya sendiri.
Pengawasan external adalah pengawasan yang dilakukan oleh sebuah struktur
untuk mengawasi sebuah struktural lain yang berada di luar lingkungan struktur
yang melakukan pengawasan.19 Menurut penulis bentuk pengawasan external ini
adalah Kementerian Agama Republik Indonesia Direktorat Penyelenggara Haji
dan Umrah Bina Umrah dan Haji Khusus yang melakukan pengawasan di luar
17 Kurniawan Hermawanto dkk, “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman” (Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017) 18 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2014), h. 20 19 Ibid, h. 20
77
struktural Kementerian Agama yaitu kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yang merupakan lembaga swasta.
Tujuan utama dari sebuah pengawasan adalah agar apa yang sudah
direncanakan berjalan dengan baik sehingga sampai pada tujuan.20 Dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang penyelenggaraan
perjalanan ibadah umrah ditegaskan:
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah bertujuan memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada Jemaah, sehingga Jemaah dapat menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan syariat Berdasarkan ketentuan di atas, Pemerintah menginginkan agar para jemaah
umrah dalam penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah dapat menunaikan
ibadahnya dengan tenang dan nyaman. Maka tujuan utama adanya pengawasan
dan pengendalian adalah agar para Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) tidak melakukan penyimpangan yang mengakibatkan para jemaah umrah
merasa tidak tenang dan nyaman pada saat di Arab Saudi maupun di Tanah Air.
Tahun 1991 penyempurnaan kebijakan tentang penyelenggaraan umrah
ditekankan, untuk menjadikan sistem operasional yang semakin modern21 kini di
tahun 2018 operasional mengenai penyelenggaraan ibadah umrah sudah semakin
mengikuti perkembangan zaman bahwa Kementerian Agama mengeluarkan
sistem pengawasan berbasis elektronik yang dinamakan dengan Sistem Informasi
Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH).
Dengan adanya sistem ini, akan saling terkoneksi antara calon jemaah umrah,
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), Kementerian Agama, dan
Kedutaan Besar Saudi Arabia (KBSA) agar setiap pihak dapat mengontrol
dan/atau me-monitoring penyelenggaraan umrah.22
20 Galuh Hayu Nastiti, “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014”, (Repository UIN Jakarta: skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), h. 17 21 A. Chunaini Saleh, Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal Kebijakan
Publik Departemen Agama, (Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008), h. 45 22 Khoiron, “Ini Terobosan Pembenahan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia”, Kemenag, https://kemenag.go.id/berita/read/507876, 16 Juli 2018
78
Selain itu, menurut penulis Kementerian Agama sudah hampir memenuhi
prinsip-prinsip pengawasan yang dikemukakan oleh Ulbert Silalahi yaitu:
Pertama, sebuah pengawasan harus berlangsung terus menerus bersamaan dengan
pelaksanaan kegiatan atau pekerjaan23. Dalam hal ini dengan adanya Sistem
Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH) dan lembaga-
lembaga yang bekerja sama dengan Kementerian Agama, dapat selalu mengontrol
jalannya penyelenggaraan umrah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, pengawasan harus menemukan, menilai, dan menganalisis data
tentang pelaksanaan pekerjaan secara objektif. Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah menjalin kerjasama dengan Komite
Akreditasi Nasional (KAN) dan Badan Standarisasi Nasional (BSN) untuk
menjalin sinergi dalam menilai akreditasi terhadap Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU), tujuannya untuk meningkatkan kualitas manajemen
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).24
Ketiga, pengawasan memberi bimbingan dan mengarahkan untuk
mempermudah pelaksanaan pekerjaan dalam pencapaian tujuan. Kementerian
Agama melakukan pembinaan-pembinaan kepada Penyelenggara Perjalanan
Ibadah Umrah (PPIU) sebagai salah satu pengawasan preventif.25 Keempat,
pengawasan tidak menghambat pelaksanaan pekerjaan tetapi harus menciptakan
efisiensi (hasil guna).
Adanya Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH)
ini tidak akan menghambat atau menyulitkan Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) dalam pelaksanaan penyelenggaraan ibadah umrah dikarenakan
23 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2014), h. 19 24 Khoiton, “Ini Terobosan Pembenahan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia”, Kemenag, https://kemenag.go.id/berita/read/507876, pada 16 Juli 2018 25 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018
79
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus meng-input data sebelum
jemaah diberangkatkan26 maka tidak akan menganggu pelaksanaannya.
Kelima, pengawasan harus berorientasi pada rencana dan tujuan yang telah
ditetapkan. Adanya Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji
(SIPATUH), sistem akreditasi, dan pembaharuan Peraturan Menteri Agama
Nomor 18 Tahun 2015 menjadi Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018.
Merupakan upaya pemerintah untuk menimalisir adanya penyimpangan yang
dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) agar tujuan
pemerintah tercapai yaitu jemaah umrah dapat melaksanakan ibadahnya dengan
tenang dan nyaman. Keenam, pengawasan dilakukan terutama pada tempat-
tempat strategis. Kementerian Agama melakukan penanganan atas sebuah kasus
biasanya dilakukan setelah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
tersebut sudah kembali ke Indonesia.
Ketujuh, pengawasan harus membawa dan mempermudah melakukan
tindakan perbaikan. Dalam hal ini penulis menganalisa bahwa tindakan perbaikan
tidak mempermudah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) karena di
Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH) data yang
harus di-input lebih banyak sehingga menambah kewajiban Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).27
Selain itu di dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 untuk
mendapatkan izin menjadi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
persyaratannya banyak dan prosesnya lama karena harus melewati beberapa
prosedur terlebih dahulu.28
Jika kita melihat atas setiap revisi yang diterbitkan oleh Kementerian Agama
sejak 2018 ini adalah berupa jenis-jenis pengawasan preventif. Pengawasan
preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu yang bersifat
26 Nennah, Pihak Al-Kautsar Travel Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 April 2018 27 Nennah, Pihak Al-Kautsar Travel Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 April 2018 28 Ibid
80
rencana29, yang didirikan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian oleh
Kementerian Agama melalui:
Pertama, dahulu Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus
meng-input data jemaah umrah melalui Laporan Rencana Perjalanan Umrah
(LRPU), kini Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus meng-input
data calon jemaah umrah di Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan
Haji (SIPATUH) yang mana Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
harus meng-input data jemaah maupun data perusahaan dengan lebih detail
dibanding dengan sistem Laporan Rencana Perjalanan Umrah (LRPU).
Kedua, Di tahun 2018 Kementerian Agama menerbitkan Peraturan Menteri
Agama Nomor 8 Tahun 2018 dengan 13 (tiga belas) bab dan berjumlah 50 (lima
puluh) pasal sebagai hasil revisi dari Peraturan Menteri Agama Nomor 18 tahun
2015 dengan 9 (sembilan) bab dan berjumlah 30 (tiga puluh) pasal. Ini
menunjukkan bahwa Kementerian Agama menambah dan memperketat Peraturan
Menteri Agama agar para Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat
memahami lebih detail dan lebih berhati-hati dalam menjalankan usahanya.
Ketiga, Kementerian Agama bekerja sama dengan Komite Akreditasi
Nasional (KAN) untuk melakukan penilaian akreditas kepada Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Maka Kementerian Agama sudah memenuhi
proses pengawasan dan pengendalian dalam teori yang dikemukakan oleh George
R. Terry yaitu menetapkan standar pengawasan, mengukur pelaksanaan pekerjaan,
membandingkan standar pengawasan dengan hasil pelaksanaan pekerjaan, dan
tindakan koreksi.
Langkah terakhir proses pengawasan dan pengendalian dalam teori yang
dikemukakan oleh George R. Terry adalah mengusahakan dan melaksanakan
tindakan perbaikannya.30 Langkah perbaikan yang diterapkan oleh Kementerian
Agama adalah berupa jenis pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan
setelah pekerjaan atau kegiatan dilaksanakan.
29 Putu Yasa, “Jenis-Jenis Pengawasan”, Inspektorat Daerah, https://inspektoratdaerah. bulelengkab. go.id/artikel/jenis-jenis-pengawasan-76, 15 Juli 2018
30 Ammar Saudi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia, (PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta 2014), h. 26-27
81
Maka jika sudah dilakukan upaya pengawasan preventif dan masih ada
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar maka
Kementerian Agama akan melakukan pengawasan represif berupa penjatuhan
sanksi31, yaitu terdapat 4 (empat) sanksi administrasi yang diterapkan
Kementerian Agama dalam menindaklanjuti Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) yang melanggar yaitu berupa peringatan tertulis, pembekuan izin,
pencabutan izin, dan tidak diberikan pengesahan sebagai Provider.
Mengenai penjatuhan sanksi oleh Kementerian Agama hanya dijatuhkan
kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) resmi saja dan apabila
terdapat biro perjalanan non-Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
yang melakukan penyelenggaraan ibadah umrah dan melakukan hal-hal yang
menyimpang itu adalah ranah kepolisian.32
Menurut analisis penulis mengenai langkah-langkah Kementerian Agama
dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Pandi Kencana sudah sangat sesuai dengan
tata cara pengenaan sanksi administratif berdasarkan Peraturan Menteri Agama
Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perjalananan Ibadah Umrah.
Namun sangat disayangkan Kementerian Agama tidak memiliki batasan waktu
kapan suatu kasus harus sudah diberi keputusan mengenai sanksi yang akan
dijatuhkan kepada sebuah Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).33
Kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang dibawa ke
dalam ranah pengadilan batasan waktu penjatuhan sanksinya mengikuti sistem
pengadilan. Mengenai penyimpangan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) yang ditindak lanjuti sampai tahap pengadilan adalah jika hasil klarifikasi
31 Ali Machzumi, Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 13 Juli 2018 32 Nurchalis, Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara pribadi, Jakarta, 23 Maret 2018 33 Mustolih, Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Ciputat, 24 Juli 2018
82
ternyata mengandung pelanggaran pidana terhadap jemaah umrah maka
Kementerian Agama akan membawa kasus ini ke dalam ranah pengadilan.34
Kasus yang diselesaikan dalam ranah pengadilan, Kementerian Agama harus
mendampingi dan mengikuti proses pengadilan35 sampai hakim memutuskan hasil
dari kasus tersebut, setelah itu maka menjadi kewajiban Kementerian Agama
untuk menentukan pencabutan izin dari Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) tersebut. Apabila tidak adanya kasus pidana dari hasil klarifikasi maka
tidak ada keterlibatan kepolisian maupun pengadilan.36
Maka Kementerian Agama sudah hampir memenuhi teori pengawasan dan
pengendalian menurut beberapa pakar yang penulis gunakan dalam penelitian ini
yaitu yang mana pengendalian dan pengawasan yang direncanakan oleh
Kementerian Agama bertujuan agar Jemaah umrah dapat menyelenggarakan
perjalanan ibadah umrah dengan nyaman dan tenang, serta penyimpangan yang
dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) dapat
terminimalisir.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap beberapa biro perjalanan umrah maka
berikut analisis kepatuhan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
terhadap Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah:
34 Nurchalis, Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Maret 2018 35 Adhi Pradana Putra, Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (Studi Terhadap Kasus PT. First Anugrah Karya Wisata), (tesis, 2015), h. 8 36 Nurchalis, Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Maret 2018
83
Tabel 4.2 Hasil Analisis Kesesuaian Sistem Penyelenggaraan Perjalanan
Ibadah Umrah dengan Peraturan Tentang Penyelenggaraan Umrah yang
Berlaku
No. Permasalahan Peraturan Keterangan
1. Legalitas Perusahaan Terdaftar sebagai Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)
Sudah sesuai
2. Kesesuaian
Ketentuan yang
Wajib dipenuhi
Menyediakan pembimbing ibadah
dan petugas kesehatan
Sudah sesuai
Memberangkatkan dan
memulangkan jemaah sesuai
dengan masa berlaku visa umrah di
Arab Saudi
Belum Sesuai
Memberikan pelayanan kepada
jemaah sesuai dengan perjanjian
tertulis yang disepakati antara
penyelenggara dan jemaah
Belum sesuai
Melapor kepada perwakilan
Republik Indonesia di Arab Saudi
dan pada saat akan kembali ke
Indonesia
Sudah sesuai
3. Kesesuaian
Penetapan Biaya
Minimal
Penyelenggaraan
Perjalanan Ibadah
Umrah
Biaya Perjalanan Ibadah Umrah
Referensi adalah Rp. 20.000.000.,
Sudah sesuai
84
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang sudah penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi ini, baik berdasarkan teori-teori, data-data
wawancara, maupun studi kepustakaan. Maka penulis memiliki kesimpulan untuk
penelitian ini yaitu:
1. Sistem penyelenggaraan umrah adalah penyelenggaraan yang dijalankan oleh
perusahaan swasta atau biro perjalanan wisata yang mendapat izin resmi dari
Kementerian Agama sebagai Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),
penyelenggaraannya dilakukan di luar musim haji berdasarkan prinsip
profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, dan syariat. Sebelum
pemberangkatan ke Arab Saudi Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) berkewajiban untuk meng-input data calon jemaah umrah yang akan
diberangkatkan ke dalam Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan
Haji (SIPATUH), yang mana setelah peng-input-an berhasil visa jemaah akan
terbit. Dalam hal penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) diwajibkan untuk melakukan 4 (empat hal)
yaitu: pertama, melakukan hubungan kenegaraan dalam tataran diplomatik
dengan negara Arab Saudi. Kedua, menyusun rencana perjalanan agar dapat
tercapai tujuan penyelenggaraan ibadah umrah dengan tenang dan nyaman.
Ketiga, bertanggung jawab atas semua aspek penyelenggaraan umrah yang
meliputi: pelayanan bidang umum, bimbingan ibadah, dan kesehatan jemaah
umrah. Kelima, menyelenggarakan operasional umrah baik di Tanah Air
maupun Arab Saudi dengan aman, nyaman, tertib, adil, transparan, dan
akuntabel.
2. Mekanisme pengendalian dan pengawasan Kementerian Agama terhadap
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar,
Kementerian Agama menggunakan 2 (dua) pengawasan yaitu:
85
a. Pengawasan Preventif, ialah pengawasan yang dilakukan terhadap sesuatu
yang berencana dan merupakan upaya pencegahan. Dalam pengawasan
preventif yang diterapkan Kementerian Agama ini terdapat Sistem
Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH) yang mana
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) harus meng-input data-
data calon jemaah umrah dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU). Selain itu Kementerian Agama menerapkan sistem akreditasi
terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) tujuannya untuk
meningkatkan kualitas manajemen Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU). Dan merevisi Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun
2015 menjadi Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018. Serta
melakukan pembinaan dan sosialisasi kepada para Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) untuk mewujudkan Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang profesional, amanah, dan
bertanggung jawab terhadap tugas, dan kewajibannya.
b. Pengawasan Represif, ialah jika upaya pengawasan preventif masih
terdapat Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melanggar,
maka pengawasan represif akan melakukan penindakan atas penyimpangan
yang dilakukan oleh Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU),
tindakan Kementerian Agama berupa 4 (empat) jenis sanksi, di antaranya:
pertama, teguran tertulis ialah sanksi peringatan yang diberikan kepada
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang melakukan
kesalahan manajemen yang dapat merusak citra Kementerian Agama.
Kedua, pembekuan izin, yaitu Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah
(PPIU) tidak dapat menyelenggarakan perjalanan ibadah umrah selama
maksimal 2 (dua) tahun. Ketiga, pencabutan izin yang mana izin sebagai
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) akan dicabut selama-
lamanya. Dan Keempat, tidak diberikan pengesahan sebagai Provider yaitu
jika Provider visa melanggar ketentuan maka tidak dapat menjadi Provider
visa maksimal selama 2 (dua) kali musim umrah.
86
B. Saran
1. Lebih baik jika Kementerian Agama memiliki jangka waktu dalam
proses penyelesaian sebuah kasus Penyelenggara Perjalanan Ibadah
Umrah (PPIU) agar semua pihak dapat lebih mempersiapkan langkah
apa yang akan diambil selanjutnya dan tidak adanya pihak yang merasa
tidak mendapat kepastian hukum.
2. Menerbitan kebijakan yang lebih mudah dijalani untuk para
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) baik dalam SOP
(Standar Operasional Prosedur) maupun dalam Sistem Informasi
Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji (SIPATUH)
3. Mengumpulkan dan/atau membukukan sejarah tentang awal mula
penyelenggaraan ibadah umrah dari jaman kolonial hingga jaman
sekarang ini. Dikarenakan informasi mengenai sejarah perjalanan
ibadah umrah sangat sedikit dibandingkan dengan sejarah perjalanan
ibadah haji.
87
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Basyuni, Muhammad M. Reformasi Manajemen Haji. Jakarta: FDK Press, 2008. Harahap, Sumuran. Kamus Istilah Haji dan Umrah. Jakarta: Mitra Abadi Press, 2008. Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Dinamika dan Prespektif Haji Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama RI, 2012. Muslim, Mudatsir. Panduan Lengkap Ibadah Haji dan Umrah. Surakarta: Borobudur Inspira Nusantara. Rokhmad, Ali dan Abdul Choliq. Haji (Transformasi Profetik Menuju Revolusi
Mental). Jakarta : Media Dakwah, 2015. Saleh, A. Chunaini. Penyelenggaraan Haji Era Reformasi (Analisis Internal
Kebijakan Publik Departemen Agama). Tanggerang: Pustaka Alvabet, 2008. Saudi, Ammar. Sistem Pengawasan Badan Peradilan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada: 2014.
Shihab, Quraish. Haji dan Umrah bersama M. Quraish Shihab (Uraian Manasik,
Hukum, Hikmah & Panduan Meraih haji Mabrur). Tangerang: Lentera Hati, 2012.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2009. Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Jurnal, Makalah, Skripsi dan Tesis
Arifin, Zaenul dkk. “Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Dan Atau Penggelapan Berkedok Biro Jasa Ibadah Umroh Dengan Biaya Murah (Studi Kasus Pada Penyidik Sat Reskrim Polrestabes Semarang)”. Semarang: Jurnal Universitas Islam Sultan Agung.
88
Etriana, Etty. “Implementasi Fungsi Pengawasan Kepada Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama D.I Yogyakarta, (Skripsi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018). Hermawanto, Kurniawan dkk. “Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman” (Academia Edu: makalah Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Surabaya, 2017) Jannah, Raudotul. “Sistem Pengawasan Pelayanan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) Pada Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia”, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islama Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016) Muqodim. “Hubungan Sistem Pengendalian Manajemen Dengan Pelaksanaan Fungsi Perencanaan dan Pengawasan”, (Jurnal Universitas Islam Indonesia, 1991). Nastiti, Galuh Hayu. “Pengawasan Komisi Kejaksaan Terhadap Kinerja Jaksa Pengadilan Tinggi Jakarta Tahun 2013-2014, (Repository UIN Jakarta: Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015). Putra, Adhi Pradana. “Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah (Studi Terhadap Kasusu PT. First Anugrah Karya Wisata)”, (tesis, 2015). Rahmani, Shinta. “Pengawasan dan Pengendalian Dalam Manajemen Syariah”. (Scribd: Power Point). Septriana, Bevi. “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penipuan Calon Jamaah Umrah Pada Tahap Penyidikan (Studi Kasus diPolresta Bandar Lampung)”, (Lampung: Skripsi Fakultas Hukum Universitas Lampung, 2017). Zannuwar, Achmad. “Sejarah Haji dan Umroh”. (Makalah).
Wawancara
Machzumi, Ali. Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Bina Ibadah Umrah dan Ibadah Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia. Wawancara Pribadi. Jakarta, 13 Juli 2018.
89
Nennah. Pihak Al-Kautsar Travel Haji dan Umrah. Wawancara Pribadi, Jakarta, 27 April 2018 Nurchalis. Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Republik Indonesia, Wawancara Pribadi, Jakarta, 23 Maret 2018
Mustholis. Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah, Wawancara Pribadi, Ciputat, 24 Juli 2018
Hendry. Kepala cabang dan Direktur HRD PT. Pandi Kencana Cabang, Wawancara Pribadi, Jakarta, 05 April 2018
Anshori, Zakaria. Kepala Seksi Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Wawancara Pribadi, Jakarta 09 Juli 2018
Website
“Antisipasi Travel Umrah Bermasalah Kemenag Sosialisasi ke Masjid-Masjid”. Thayiba Tora. Diakses pada 20 Juli 2018 dari http://www.thayibatora.co. id/antisipasi-travel-umrah-bermasalah-kemenag-sosialisasi-ke-masjid- masjid.
“Buntut Maraknya Travel Nakal di 2017: Kemenag Berbenah”. Republika. Diakses pada 15 Juli 2018 dari https://www.republika.co.id/berita/jurnal- haji/berita-jurnal-haji/18/01/03/p1ynz 9335-buntut-maraknya-travel-nakal- di-2017-kemenag-mulai-berbenah. “Cara Mendirikan Travel Haji dan Umroh”. Umroh Travel. Diakses pada 09 Februari 2018 dari https://umroh.travel/cara-mendirikan-travel-haji-dan- umroh/. “Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah”. Wikipedia. Diakses pada 27 Mei 2018 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Direktorat_Jenderal_ Penyelenggaraan_Haji_dan_ Umrah. “Inilah Sejarah Umroh & Asal Mula Terjadinya”. Alsha Umroh. Diakses pada 02 Februari 2018 dari http://www.alshaumroh.com/2017/02/inilah-asal-mula- terlaksananya-umroh.html. “Kemenag Buat MoU Penyelenggaraan Umrah dan Haji Khusus Dengan Polri”. Kemenag. diakses pada 28 Mei 2018 dari https://www2.kemenag.
90
go.id/berita/121181/kemenag-buat-mou-penyelenggaran-umrah-dan-haji- khusus-dengan-polri. “Kementerian Agama Republik Indonesia”. Wikipedia. Diakses pada 27 Mei 2018 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kementerian_Agama_Republik_Indones ia. “Ketentuan Penyelenggara Perjalanan”. Kemenag Karimun Blogspot. diakses pada 28 Mei 2018 dari https://kemenagkarimun.blogspot.co.id/2015/ 11/ini-ketentuan-penyelenggara-perjalanan.html. “Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif”. ID tesis. Diakses pada 14 April 2018 dari https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan- normatif/. “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum”. Ngobrolin Hukum. Diakses pada 01 Agustus 2018 dari https://www.google.co.id/amp/s/ngobrolinhukum. wordpress.com/2013/12/16/pendekatan- dalam-penelitian- hukum/amp/ “Syarat Menyelenggarakan Usaha Biro Perjalanan Ibadah Umrah”. Hukum
Online. Diakses pada 30 Mei 2018 dari http://www.hukumonline.com/ klinik/detail/lt5adeeaa03d248/syarat- menyelenggarakan-usaha-biro- perjalanan-ibadah-umrah. “Travel Umroh Yang Terdaftar di Departemen Agama”. Umroh Travel. Diakses pada 06 Februari 2018 dari https://umroh.travel/tag/travel-umroh-yang- terdaftar-di-departemen-agama/. Abdallah, Faisal. “Penyelenggara Umrah Perlu Diakreditasi”. Metro News. Diakses pada 16 Juli 2018 dari https://www.google.co.id/amp/www.metro tvnews.com/amp/GKdWnDAk-penyelenggara-umrah-perlu-diakreditasi. Al-Khawarizmi, Damang Averroes. “Teori Pengawasan”. Negara Hukum. Diakses pada 07 Agustus 2018 dari http://www.negarahukum.com/hukum/ teori-pengawasan.html. Awaludin, Asep. “Kemenag Bentuk Forum PPIU”. Gala Media News. Diakses pada 16 Juli 2018 dari http://www.galamedianews.com/haji/187198 /kemenag-bentuk-forum-ppiu.html.
91
Diaz.“Kemenag: Minat Umrah Meningkat Signifikan. Haji Kemenag. Diakses pada 13 Februari 2018 dari https://haji.kemenag.go.id/v3/content/kemenag -minat-umrah-meningkat-signifikan. Khoiron. “Ini Terobosan Pembenahan Penyelenggaraan Umrah di Indonesia”. Kemenag. diakses pada 16 Juli 2018 dari https://kemenag.go.id/berita/read /507876. Kontri. “Benahi “Insdustri” Umrah, Kemenag Terbitkan Regulasi Baru”. Kemenag. diakses pada 16 Juli 2018 dari https://kemenag.go.id/berita /read/507294/benahi----industri----umrah-- kemenag-terbitkan-regulasi- baru. Muslimah, Salmah. “Kemenag Polisikan Travel Umrah Tak Resmi: Cabut Izin Travel Yang Melanggar”. Detik News. Diakses pada 28 Maret 2018 dari https://m.detik.com/news/ berita/2920369/kemenag- polisikan-travel- umrah-tak-resmi-cabut-izin-travel-yang-melanggar. Rangkuti, Affan. “Rekam Jejak Perjalanan Pelaksanaan Ibadah Haji di Indonesia”. Haji Kemenag. diakses pada 01 Juli 2018 dari https://haji.kemenag. go.id/v3/blog/affan-rangkuti/rekam-jejak-perjalanan-pelaksanaan-ibadah- haji-di-indonesia. Saputra, Muhammad Genanta. “Aturan Baru Penyelenggaraan Umroh”. Merdeka. Diakses pada 07 Juli 2018 dari https://m.merdeka.com/peristiwa/ini- aturan-baru-penyelenggaraan-umroh.html. Sasongko, Agung. “Catatan Perjalanan Haji Sebelum Kemerdekaan”. Republika. Diakses pada 06 Juli 2018 pada https://www.republika.co.id/berita/jurnal- haji/berita-jurnal-haji/15/04/19/nn1fmm-catatan-perjalanan-haji-sebelum- kemerdekaan. Subarkah, Muhammad. “Jamaah Umrah Naik 6 Persen, Indonesia Terbanyak Kedua”. Republika. Diakses pada, 20 Juli 2018 pada https://www. republika.co.id/berita/jurnal-haji/berita-jurnal-haji/17/06/26/os4u2x385- jamaah-umrah-naik-6-persen-indonesia-terbanyak-kedua. Subarkah, Muhammad. “Kemenag Cabut Izin Empat Travel Umrah”. Republika. Diakses pada 03 April 2018 dari www.republika.co.id/berita /jurnal- haji/18/03/27/p68z6l385-kemenag-cabut-izin-empat-travel-umrah.
92
Yasa, Putu. “Jenis-Jenis Pengawasan”. Inspektorat Daerah. Diakses pada 15 Juli 2018 dari https://inspektoratdaerah.bulelengkab. go.id/artikel/jenis-jenis- pengawasan-76, Zelthauzallam, Dedet. “Jenis-Jenis Pengawasan”. Inspektorat Daerah. Diakses pada 16 Juli 2018 dari https://inspektoratdaerah.bulelengkab.go.id/artikel/ jenis-jenis-pengawasan-76. Zik611. “Metode Penulisan Hukum”, Wonkder Mayu, diakses pada 1 Agustus 2018 dari https://wonkdermayu.wordpress.com/ kuliahhukum/metod- penulisan-hukum/
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Nama : Ali Machzumi, S.Pd.I, M.Pd
Jabatan: Kepala Seksi Identifikasi dan Penanganan Masalah Ibadah Umrah pada
Subdirektorat Pemantauan dan Pengawasan Ibadah Umrah dan Ibadah
Haji Khusus Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus Direktorat Jenderal
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama
1. Bagaimana prosedur penjatuhan sanksi kepada travel yang berstatus
sebagai PPIU?
Jawab: Pertama, Adanya Pengaduan dari masyarakat, informasi dari teman-teman
di KJRI Jeddah, maupun dari pemberitaan media. Kedua, Memanggil travel untuk
melakukan klarifikasi atas informasi permasalahan tersebut. Yang mana
sebelumnya kita sudah menggali data-data yang terkait, di saat kita memanggil itu
kami sudah mempunyai data-data dan informasi terkait permasalahan. Ketiga, Ada
berita acaranya kemenag yang membuatnya, untuk klarifikasi atau permintaan
keterangan atas berita yang ada. Keempat, Kita telaah bersama dengan tim kecil di
subdit pengawasan ini, kira-kira ketentuan-ketentuan di PMA Nomor 8 tahun 2018
mana yang dilanggar, mana yang tidak sesuai dengan perilaku travel tersebut.
Kelima, Jika sudah ketemu pasal terkait mana yang dilanggar maka kita akan
melakukan rekomendasi terkait dengan sanksi apa yang harus dijatuhkan. Mulai
dari teguran tertulis bagi PPIU, Kalau PPIU menggulangi lagi ada pembekuan
izinnya, apabila travel melakukan pelanggaran yang sama dalam dua kali maka
akan dikenakan pembekuan izin, itu mengenai pelanggaran-pelanggaran yang
terkait dengan layanan kepada jemaah. Tapi kalo pelanggarannya itu masuk ranah
berat seperti penelantaran jemaah di Arab Saudi atau tidak memberangkatkan
jemaah saat di Tanah Air maka kita akan jatuhkan sanksi pencabutan izin
penyelenggaraan. Seperti pada kasus-kasus yang sudah ada mereka gagal
memberangkatkan jemaah ke Arab Saudi. Keenam, Setelah kita lakukan beberapa
rangkaian tadi maka kita akan mengajukan rekomendasi untuk penjatuhan sanksi
pencabutan izin. Ketujuh, Setelah kita rekomendasi nanti ada tim penanganan
masalah haji khusus dan umrah, tim itu yang akan menyetujui kira-kira “oke
jatuhkan sanksi” tim itu terdiri adanya komponen dari Inspektorat Jenderal
Kementerian Agama, dari biro hukum dari sekjen kemenag, dari kementerian
lembaga terkait.
2. Apakah komisi pengawas haji Indonesia (KPHI) ikut Dalam penanganan
kasus terhadap PPIU ?
Jawab: kita kan terkait haji bukan terkait umrah, jadi kalo terkait umrah memang
belum ada komisi pengawas terkait umrah.
3. Saya baca di PMA Nomor 8 tahun 2018 bahwa pengenaan sanksi itu
juga bisa dari akreditasi, itu biasanya akreditasi yang seperti apa yang
akan dikenakan sanksi?
Jawab: Nanti akan dilakukan akreditasi kepada seluruh travel yang memiliki izin
kalo nanti nilainya di bawah C, maka akan dicabut izinnya.
4. Sanksi itu ada berapa sebenarnya?
Jawab: Ada 4 yaitu: Teguran tertulis, pembekuan izin, pencabutan, dan tidak
memberikan pengesahan sebagai Provider.
5. Provider itu apa?
Jawab: Provider adalah biro travel yang berizin umrah itu ada kontrak dengan
penguasa Arab Saudi untuk menerbitkan visa umrah. Kalo mereka melanggar
ketentuan sebagai Provider maka akan tidak diberikah pengesahan sebagai
Provider sehingga mereka kedepannya tidak sebagai Provider tetapi sebagai travel
biasa.
6. Sanksi pembekuan izin itu berapa lama?
Jawab: Maksimalnya 2 (dua) tahun, kita lihat kesalahannya seperti apa kalau
memang kesalahannya berat ya 2 (dua) tahun, nantikan kita lihat tingkat
korporatifnya dan pertanggung jawaban dia kepada masalah yang ia lakukan atau
yang terjadi. Melihat pertanggung jawabannya, seperti bagaimana mereka berupaya
untuk pertanggung jawab menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya ada layanan
yang tidak terpenuhi di sana lalu dia beritikad baik untuk mengganti atau
melengkapi kekurangan yang ada tentu itu menjadi bagian dari pertimbangan. Tetap
terkena sanksi tapi jangka sanksi itu setahun atau dua tahunnya kan tergantung itu
tadi, makanya tim itu menjadi penting.
7. Jika travel yang melanggar belum punya izin bagaimana?
Jawab: Kementerian Agama wewenang pengawasannya kepada travel yang punya
izin, kalau travel yang tidak memiliki izin tentunya itu menajdi wewenangnya pihak
yang berwajib. Nanti kepolisian yang nantinya akan menindak, karnakan tidak
boleh travel yang tidak memiliki izin menyelenggarakan umrah dan itu hukumnya
pidana.
8. Apa diperbolehkan jika ada travel yang tidak punya izin lalu mereka
nitip jemaah ke travel yang punya izin?
Jawab: Kalau dia melimpahkan ke yang berizin ya silahkan, tapikan nanti harus
yang memiliki jemaah itu jadinya yang berizin, atas nama yang punya izin termasuk
atribut-atributnya. Nanti bagaimana mekanisme antara PPIU dan non PPIU itulah
yang mengatur kesepakatan di situ. Tapi yang jelas tidak boleh yang tidak berizin
umrah menyelenggarakan umrah.
9. Jika yang nggak berizin ini memberangkatkan kira-kira ketahuan atau
tidak ?
Jawab: Kalau kita sedang melakukan monitor di bandara itu ketahuan. Tapi kalo
kemenag ranahnya kan yang berizin, kalau yang tidak berizin kita menyampaikan
kepada yang berwajib untuk menindak itu. karna kita tidak memperbolehkan.
Nantinya kan rangkaiannya dari pihak imigrasi dan sebagainya. Kalau yang tidak
berizin kan tidak bisa beli visa harus pakai Provider, Provider-kan pasti berizin
nanti provider-nya kita mintai keterangan klarifikasi kenapa mengeluarkan visa
kepada yang tidak berizin itukan tidak boleh. Nanti provider ini kena sanksi. Jadi
kita mengawasinya yang berizin, dan sebenernya yang non-PPIU tidak bisa
memberangkatkan, karna kan dapat visanya kan harus yang berizin. Dan kalau
ternyata ada non-PPIU ada yang nyolong-nyolong untuk mendapatkan visa, maka
yang kita akan meminta pertanggung jawaban dari si provider ini.
10. SIPATUH itu sebagai langkah apa?
Jawab: Kalau SIPATUH itu bagaimana kita melakukan pengawasan berbasis
elektronik terkait dengan penyelenggaraan ibadah umrah yang dilaksanakan oleh
travel-travel tersebut jadi itu bagian dari pengendalian dan pengawasan dari
kemenag, nantikan ketahuan itu mana-mana yang tidak memiliki tiket, tidak
memiliki paket perjalanan, jemaahnya sudah balik apa belum. Kalau dia di
daftarkan melalui sipatuh maka akan ketahuan nomor polisinya seperti apa. Jadi itu
bagian dari pengawasan karna didatanya dengan SIPATUH maka akan terkontrol
posisi jemaah dimana, kapan dia pulang dan lain-lain. Tapi kalau tidak melalui
SIPATUH maka pengawasannya provider atau PPIU tidak input ke SIPATUH
maka itu bagian dari pelanggaran harus diberikan peringatan untuk meng-input itu,
karna ketika itu ada masalah ada ketentuan yang dilanggar. Maka kita akan panggil
dan akan melakukan mekanisme yang sama melakukan klarifikasi dan kalau
ternyata dia melanggar ketentuan, ya akan kita kenakan sanksi.
11. Kalo pengawasan yang menurut kemenag paling efektif untuk sekarang
ini apa?
Jawab: Tentunya penggabungan, penyelesaian melalui priventif, melalui
SIPATUH itu kan termasuk pengawasan dari priventif dan pengawasan melalui
represif, represif itu ketika mereka mau melanggar ya kita sanksi. Makanya
SIPATUH itu bagian dari priventif kan, pembinaan-pembinaan bagian priventif
karna kita bukan penyelenggara tapi jika sudah dilakukan priventif seperti itu dia
masih melanggar tentu harus dilakukan represif yang akan kita tindak sesuai dengan
ketentuan yang ada.
12. Jika preventif itu apa pak?
Jawab: Pencegahan, jadi kita mencegah, mengendalikan, pengendalian yang
dicegah itu kan melalui sistem sipatuh kan. Biar kita tetap mengkontrol, akan
ketahuan travel ini membahayakan jemaah berapa, kapan, hotelnya dimana, kapan
pulangnya, visanya dan lain-lain nanti akan ketahuan terkontrol.
13. Jika represif itu apa pak?
Jawab: Penindakkan, kalau yang sudah sanksi itu sudah kita tindakan, kalau sanksi
masuknya kepenindakan
14. Apa langkah antisipasi terkait untuk menimilisir adanya travel-travel
nakal?
Jawab: Langkah antisipasinya tentu pertama, Melalui program SIPATUH itu jadi
semua travel bisa menggunakan applikasi SIPATUH ini untuk penyelenggaraan.
Selain SIPATUH tentunya dengan melakukan pembinaan, sosialisasi kepada para
travel sehingga mereka bisa memenuhi ketentuan dan pelayanan yang harus mereka
berikan. Dari situ kalau ada yang melanggar ya kita sanksi. Dan SIPATUH memang
diterbitkan agar tidak ada lagi pelanggaran yang dilakukan oleh travel dan
merupakan bagian dari penyelenggaraan untuk mengontrol.
15. Apakah saya boleh lihat contoh surat teguran sanksinya?
Jawab: Kalau sanksi menjadi rahasia, kita berikan kepada yang kena aja. Karna itu
kan takutnya disalah gunakan orang.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Nurchalis ST, MM
Jabatan: Kepala Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian
Agama
1. Bagaimana kemenag bisa mengetahui apabila ada travel yang melanggar?
Jawab: Melanggar itukan pertama di pengawasan, kebetulan di sana ada subdit
pengawasan. Mereka mengawasi mulai dari pendaftaran, ada 7 (tujuh) point yang
harus di awasi menurut PMA No 8 Tahun 2018, yang harus di awasi itu ada:
pendaftaran, pengelolaan keuangan, rencana perjalanan, kegiatan operasional,
pelayanan, jemaah, pengurusan visa dan ketaatan kepada ketentuan- ketentuan
perundang-undangan.
2. Bagaimana terhadap travel-travel yang punya izin tapi melanggar? Mana
yang akan sanksinya di cabut dan mana yang pelanggarannya hanya
diberi teguran?
Jawab: Yang akan dicabut adalah yang melanggar Pasal 24 dan Pasal 25 itu akan
dikenakan pencabutan. Yang isinya, masa tinggal jemaah di Arab Saudi tidak sesuai
dengan masa visa artinya visanya mati sedangkan jemaah masih di sana belum
balik, salah satunya begitu.
3. Jika sebuah travel belum tercatat sebagai PPIU tapi travel tersebut
melanggar itu bagaimana sanksinya?
Jawab: Itu urusannya langsung dengan polisi, Kemenag hanya mengurus yang
sudah berizin yang tidak berizin urusannya langsung dengan kepolisian. Karna di
Undang-Undang Nomor 13 yang melakukan penyelenggaraan umrah tanpa izin itu
akan dikenakan denda 500.000.000, kalau tidak salah di Undang-Undang Nomor
13 juga sudah ada
4. Sebelum PPIU dikenakan sanksi apa prosedur yang harus dijalaninya?
Jawab: Banyak, First Travel kemarin itu kita butuh waktu 6 (enam) bulan baru
dikenakan sanksi sudah melalui berbagai macam proses. Begitu juga Abu Tours,
jadi ketika laporan masuk tidak langsung dikenakan sanksi banyak prosesnya. Kita
kerjasama dengan polisi juga, First Travel kita cabut izinnya juga baru orangnya
ditangkap, kalo Abu Tours ditangkap dulu baru dicabut. Pengalamannya di First
Travel kita nyabut izinnya dulu baru polisi nangkap pemiliknya, itu asetnya
(buktinya) hilang. Sehingga pas Abu Tours kita suruh polisi nangkap dulu baru kita
cabut sehingga mereka tidak sempet menghilangkan aset-asetnya. Jadi pengalaman
yang membuat kita menjadi lebih baik.
5. Siapa saja yang akan terlibat jika kemenag menjatuhkan sanksi?
Jawab: Kementerian agama dengan kepolisian saja itupun kalau ada tindak pidana
di dalamnya, kalau biasa saja ya cabut-cabut saja. Misalnya: ada beberapa travel
yang tidak melakukan perpanjangan izin karna mereka tidak mengurus lagi, maka
akan selesai begitu saja.
6. Apakah ada faktor yang menghambat Kemeterian Agama untuk
mejatuhkan sanksi?
Jawab: Tidak ada, kalau bermasalah kita klarifikasi dan benar bersalah ya kita
cabut
7. Untuk sekarang ini apa strategi yang paling ampuh untuk menghindari
terjadinya travel nakal ?
Jawab: Pengawasan menggunakan sistem, jadi kita kerjasama dengan imigrasi dan
picapil untuk mengantisipasi, sebenernya kan yang banyak bermasalah itu adalah
travel yang tidak punya izin, itu sebenernya banyak bermasalah. Mereka terkadang
bekerja sama dengan yang punya izin untuk visa itu. Kita sekarang sedang mencari
bagaimana bisa yang berangkat itu yang punya izin aja, salah satunya itu SIPATUH
yaitu pengawasan dengan sistem.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Zakaria Anshori, S.Ag
Jabatan:Kepala Seksi Subdirektorat Perizinan, Akreditasi, dan Bina Penyelenggara
Perjalanan Ibadah Umrah Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus
Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian
Agama
1. Apa saja peraturan tentang penyelenggaraan ibadah umrah itu?
Jawab: Ketentuan Menteri Agama Nomor 221 Tahun 2018 tentang Biaya
Penyelenggaraan Ibadah Umrah Referensi, Kepdirjen Nomor 121 tahun 2018
tentang Akreditasi PPIU, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji, Peraturan Menteri Agama Nomor 8 Tahun 2018 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Umrah dan Haji Khusus, dan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
2. Untuk mendapatkan izin sebagai PPIU itu memangnya harus menjalani
selama dua tahun terlebih dahulu?
Jawab: Sebagai biro perjalanan wisata, bukan sebagai umrah logika hukumnya
masa belum punya izin tapi sudah harus menjalankan.
3. Berarti jika mereka ingin menjalankan jemaah umrah itu bagaimana
pak? Apa mereka tidak memberangkatkannya terlebih dahulu atau
bagaimana?
Jawab: Seharusnya itu tidak boleh, jika memberangkatkan maka ya harus buat izin
dulu. Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Ayat 63 tercantum bahwa
mereka akan dikenakan sanksi pidana. Tapi bagaimana kalau mereka ingin
memberangkatkan maka harus diberikan kepada travel yang memiliki izin sebagai
PPIU dan atas nama yang punya izin memberangkatkannya pun.
4. Jika memberikan sanksi pencabutan izin itu, itu wewenangnya siapa?
Jawab: Wewenangnya kemenag, berdasarkan laporan dari bagian pengawasan.
5. Jika ingin membuat izin itu apa ada kerja sama dengan imigrasi terlebih
dahulu?
Jawab: Tidak ada, hanya ada izin yang dikeluarkan izin dari pariwisata. Jadi jika
ingin membuat izin umrah maka dilampirkan saja izin dari pariwisatanya diberkasi
dan lain-lain sebagainya.
6. Jika pembuatan izin tidak ada biayanya ya pak?
Jawab: Sampai saat ini tidak ada.
7. Berarti Cuma bank garansi saja ya pak?
Jawab: Iya itu salah satu syarat, tapi bukan untuk kemenag uangnya itu kembali
lagi untuk mereka.
8. Lalu kalau sanksi administratif itu apa ya pak?
Jawab: Sanksi itukan ada dua, sanksi pidana dan sanksi perdata. Kalau pidana itu
kan melibatkan kepolisian. Dan kalau di kita itu sanksi administratif, terdapat tiga
sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembekuan izin dan pencabutan
izin.
9. Kalau sanksi pidana itu berarti langsung ke kepolisian?
Jawab: Langsung ke kepolisian jika mereka melakukan penipuan.
10. Jadi jika ada masyarakat yang melaporkan ke kemenag tapi tentang
melakukan tindak pidana, berarti kemenag langsung mengalihkan ke
kepolisian?
Jawab: Iya kita sarankan ke kepolisian, tapi kalau pengaduannya tentang pelayanan
tentang wanprestasi ya kita yang menjalankan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Pak Hendry
Jabatan: Kepala cabang sekaligus Direktur HRD PT. Pandi Kencana
1. Apa visi dan misi travel ini?
Jawab: Misinya memberangkatkan jemaah umrah secara amanah dan inovatif,
Visinya menjadi travel terpercaya di Indonesia. Tujuannya juga untuk membantu
umat muslim mempermudah ibadah ke tanah suci.
2. Sejak kapan travel ini didirikan?
Jawab: Berdiri tahun 1996, tapi yang dipegang oleh manajemen yang sekarang itu
sejak 2009 hingga sekarang. Sebelumnya milik orang, manajemen yang dulu dapet
izin PPIU tahun 2007, sebelum dipegang memang sudah ada izinnya. Selama
manajemen yang sekarang sudah 4x perpanjangan.
3. Apa saja pelayanan yang disediakan di travel ini?
Jawab: Haji dan umrah, ticketing, tour domestik, paket outbond inbond, dan karbo
(pengiriman barang)
4. Setiap tahunnya memberangkatkan berapa jemaah umrah ?
Jawab: Jemaah umrah setiap tahunnya 1500 dari seluruh kantor cabang di
Indonesia.
5. Apakah PT. Pandi Kencana ini pernah kena teguran dari Kementerian
Agama?
Jawab: Tahun 2014 kena teguran sebenernya kesalahan dari air land pada waktu
itu lagi musim liburan Desember, mereka tidak pakai air land yang tidak berbasis
di Indonesia namanya United Air land dari Daka Banglades karena sudah tidak
dapat sit dari Indonesia akhirnya kami ambil dari Kuala Lumpur tapi dia pesawat
dari Banglades. Jadi udah beli tiket itu riter sesuai dengan standar SOP, ternyata
pas waktu kepulangan pesawatnya gak ada yang terbang. Jadi sekitar 3 (tiga) hari
jemaah di Madinah ketahan. Terus ada yang lapor ke KJRI, KJRI lapor ke kemenag
dan mereka ditegur, yang melaporkan adalah orang KJRI yang melihat kondisi
tersebut. Kemenag langsung buat surat teguran, ini pada kasus umrah. Dan baru
sekali itu aja kena teguran, itupun bukan kesalahan mereka karena mereka sudah
penuhi semua SOPnya, itu kesalahan dari air land yang tidak ada air land
kembalinya. Sudah kita klarifikasi tapi memang harus ditegur, jadi ada surat
teguran. Tapi hanya surat teguran aja si.
6. Bagaimana prosesnya penjatuhan sanksi surat teguran tersebut?
Jawab: pertama yaitu Dipanggil, otomatis kemenag waktu dapet laporan dari KJRI
di Jeddah langsung memanggil direktur pertama di sini, tapikan direkturnya ada di
Makassar. Jadi perwakilan dari Jakarta direksi yang maju. Namanya pak Karun
datang ke kemenag, menjelaskan kronologisnya, kami bawa semua invoice air land
, tiket, invoice hotel termasuk tambahan 3 (tiga) malam di Madinah semuanya kami
bawa semua. Jadi kami buktikan ke Kemenag kami tidak menelantarkan dan semua
jemaah juga tidak terlantar semua masuk di hotel. Kedua, Mereka sudah klarifikasi
ke Kuala Lumpur, mereka tekan air land-nya bahwa mereka menuntut akan
melaporkan ke segala pihak yang bersangkutan dan akhirnya 3 (tiga) hari kemudian
ada pesawatnya. Jadi memang pesawat tersebut bukan pesawat regular. Ketiga,
Keluarlah surat SK teguran. Sekitar semingguan baru muncul Sk-nya. Jadi maksud
teguran itu kesalahannya adalah bahwa kami telah menggambil air land yang tidak
memiliki kantor cabang di Indonesia.
7. Apa jemaah ada yang meminta ganti rugi atas insiden tersebut?
Jawab: Jemaah ngeluh karena ada yang mengambil izin kerja di kantornya, mereka
menekan kami kapan pulang tetapi tidak memiliki kerugian dalam bentuk finansial.
8. Apakah Ada beberapa travel yang jemaahnya yang waktu itu ikut
tertahan?
Jawab: ada beberapa travel, Waktu kena teguran pun tidak sendiri tetapi ada travel
lain juga, tapi masing-masing ada tingkat pelanggarannya, dan kami termasuk yang
tidak berat. Ada juga yang izinnya dicabut jadi biasanya menelantarkan jemaah,
jadi di sana jemaah tidak diberikan fasilitas hotel dalam artian ditelantarkan atau
ditinggalkan.
9. Yang bapak tahu, sanksi pecabutan karna izin itu apa pak?
Jawab: Ada Izin yang tidak diperpanjang termasuk pelanggaran karena fakum/
tidak berjalan, jadi keluar izin tapi gak berjalan gak ada jemaahnya. Karena kalau
mau perpanjang itu minimum harus memberangkatkan 200 (dua ratus) jemaah
umrah dalam setahun. Jika yang fakum tersebut ingin memperpanjang izinnya,
harus membuat izin baru lagi, travel lamanya tidak bisa diperpanjang. Ini termasuk
pencabutan kalau masa berlakunya sudah habis maka otomatis dicabut.
10. Persyaratan menjadi PPIU itu apa pak?
Jawab: Sebelum jadi PPIU, Harus punya PT dulu, terdaftar di pariwisata, punya
PBB dan lain-lain, harus beroperasi minimum 2 (dua) tahun, dan memberangkatkan
jadi dia harus nempel (nitip jemaah) oleh travel yang sudah jadi PPIU, nanti
pengajuan ke kemenag langsung di verifikasi layak atau tidak dapet izin. Ada bank
garansi di bank, jika ada pelanggaran bank garansi itu akan dicairkan oleh kemenag
11. Apakah non--PPIU boleh memberangkatkan jemaah umrah?
Jawab: Tidak boleh non-PPIU memberangkatkan sendiri, oleh karenanya lagi
diperketat. Salah satunya aplikasi SIPATUH, jadi setiap pemberangkatan akan
dicek ada izinnya atau tidak.
12. Apakah ada campur tangan Kementerian Agama dalam penyelenggaraan
umrah?
Jawab: Kalau umrah murni swasta langsung tidak melalui ke kemenag
HASIL WAWANCARA
Nama : Ibu Nennah
Jabatan: PT. Al-Kautsar dan PT. Al-Kutsri
1. Sudah berapa lama travel ini beroperasi?
Jawab: Dulu namanya adalah Al-Kutsri sudah ada izin PPIUnya. Tapi sudah
sekitar 2 (dua) tahun lebih ini diteruskan oleh Al-Kautsar dan lagi proses kemenag.
2. Apa saja program perjalanan yang ada di travel ini?
Jawab: Al-Kautsar wisata lebih ke wisata muslim, tapi kalo untuk perjalanan
umrahnya masih menggunakan PT. Al-Kutsri. Al-Kautsar dan Al-Kutsri satu
manajemen, dua nama dalam satu manajemen
3. Apa yang membuat pembuatan izin menjadi sulit?
Jawab: Pertama, kemenag memang memperketat karena banyak travel bermasalah,
sehingga banyak persyaratan, kita mengurus mulai dari domisili sampai BPW
kanwil, bank garansi dan lain-lain.
4. Jika tidak ada permasalahan PPIU yang lagi sedang ditangani kemenag,
berarti izinnya kira-kira keluarnya berapa lama?
Jawab: Sebenernya paling 1 (satu) bulan, setiap pembuatan izin kan seperti BPW
datang ke sini terus ajak kita bicara atau interview juga ada jadi mereka lihat
akreditas kita. Bener atau tidak ini adalah orang-orang yang ngerti tentang
penyelengaraan umrah atau bukan, karna ada orang yang membuka travel tanpa
tahu bagaimana seharusnya di sana jadi main berangkatin-berangkatin aja ternyata
di sana penuh masalah orang tidak bisa pulang atau segala macem.
5. Salah satu syarat membuat izin PPIU adalah harus berjalan 3 (tiga)
tahun, apa travel ini sudah memenuhi syarat?
Jawab: Iya betul, Kautsar sama Kutsri udah memenuhi syarat semua
6. Untuk mendapatkan izin PPIU itu harus ngeberangkatin berapa jamaah?
Jawab: minimal 200 (dua ratus) dalam satu tahun
7. Apakah untuk membuat izin PPIU ada biayanya?
Jawab: Jadi ada semacam bank garansi, kalau gak salah umrah 200.000.000. Jadi
kita dapat card sejenis deposito gitu, nanti kemenag melihat bahwa PPIU ini sudah
ada bank garansi. Mungkin maksudnya kemenag kalo terjadi sesuatu kan bisa di
cover dengan uang itu. Dan cukup sekali aja, begitu perpanjang setiap 2 (dua) tahun
sekali itu diperbaharui lagi bank garansi.
8. Tetapi travel ini belum ada ya yang bermasalah dengan kemenag?
Jawab : Belum ada, bahkan Al-Kutsri itu sama orang kemenag sudah dalam
tingkatan A. Bahkan kemenag bilang “mau lanjut buat izin haji ga?” hajikan
berdasarkan kuota, jadi kita belum berani ambil yang haji.
9. Belum pernah juga ada masalah sama konsumen?
Jawab: Alhamdulillah belum, karena saya lebih baik gak punya duit yang penting
hidup tenang dan tidur enak.
10. Apa memberangkatkan jemaah umrah perlu koordinasi dengan
kemenag?
Jawab: Koordinasi, sekarang dengan mengeluarkan SIPATUH jadi bahkan KTP
jemaah yang berangkat KTPnya hrus kita masukkan ke kemenag. Jadi sekarang
kemenag tahu siapa saja jemaah yang berangkat. Sebelum ada SIPATUH kita
membuat laporan namanya LRPU, jadi setiap ada jemaah yang berangkat kita kasih
tahu nama, no passport, brapa jumlah jamaah, hotelnya di sana apa aja, paket
pesawatnya apa, tiketnya, busnya pake apa, perjalanannya kemana aja itu semua
hrus dilaporin sebelum jamaah berangkat. Jadi sebelum jemaah berangkat saya
sudah masuk di sistem kemenag, kemenag ada sistemnya dulu jadi kita masukin
semua data, begitu udah masuk depag acc ok baru kita print, jadi semua jemaah
datanya ada dan semua harus diasuransikan. Sekarang ada SIPATUH lebih detail,
jadi harga jual kita berapa, jamaah ini sudah DPnya berapa. Itu semua ada di sistem
kemenag, kita tinggal isi semua
11. SIPATUH ini ada dari tahun berapa?
Jawab: Baru bulan ini (april) dan ini belum maksimal, saya lihat kemenag ada
bagusnya juga jadi orang travel nakal tidak sembarangan. Dengan adanya
SIPATUH open banget, karna kemenag akhirnya tahu harga jualnya sekian harga
untungnya sekian. Jadi kurang privasi juga, tapi ada bagusnya mungkin dari
penipuan itu.
12. Dalam menjalani SIPATUH, selain lebih banyak yang harus di-input,
adakah perbedaan lain dengan sistem yang dulu ?
Jawab: dengan SIPATUH data yang harus diisi jadi banyak, dulu sebelum ada
SIPATUH hanya laporan keberangkatan aja, kita laporan tanggal berangkat,
pesawat yang digunakan, siapa saja jamaahnya, tour leader-nya siapa, hotel yang
digunakan, bus digunakan dan nomor telepon yang di Saudi.
13. Sistem LRPU itu laporannya dlm bntuk apa ?
Jawab: Sistem, jadi setiap PPIU diberikan password dan webside-nya. Jadi
kemenag tahu kalau kita udah memasukkan password dan nama id kita.
14. Apakah SIPATUH termasuk salah satu pengawasan dari kemenag ya?
Jawab: Iya salah satu cara kemenag mengawasi travel umrah, PPIU ada 900 travel
di indonesia. Jadi bagaimana kemenag bisa memantau kalau sebanyak itu jadi
kemenag mengeluarkan SIPATUH. Jadi kalau ada yang tidak meng-input
SIPATUH kemungkinan sama kemenag dipermasalahkan
15. Apa yang PPIU anggap sulit dari peraturan kemenag?
Jawab: Jadi nambah kerjaanya aja dari SIPATUH ini, sebenernya tidak ada yang
benar-benar sulit karna yang diminta kemenag memang apa yang kita kerjakan.
16. Kalau dari peraturan perizinan juga tidak merasa berat?
Jawab: Perizinan saya merasa berat bukan dari kemenagnya justru dari bawahnya
karna hrus ada domisili dan lain-lain. Sedangkan sitemnya satu pintu ke kelurahan
atau ke kecamatan, nah itu adanya halangan syaratnya banyak. Jadi jalurnya
Kemenag itu paling akhir.
17. Berarti lama juga karna banyak melewati proses?
Jawab: Iya karna sekarang ke semuanya sistemnya online, jadi nunggu sampai kita
dipanggil terus mereka survey baru keluar izinnya dari bawah.
18. Apa strategi kemenag udah cukup bagus dengan mengeluarkan
SIPATUH?
Jawab: Bagus banget, untuk mengecilkan kesempatan travel-travel yang nakal.
HASIL WAWANCARA
Nama : Mustolih, M.H., CLA
Jabatan : Ketua Komisi Nasional Haji dan Umrah
1. Apa Visi dan Misi dari KOMNAS Haji dan Umrah itu?
Jawab: Sebetulnya banyak yang mengira kalau KOMNAS itu lembaga negara, tapi
kita sebetulnya civil sociaty yang kemudian bergerak dalam 2 (dua) poros utama:
(1) Melakukan advokasi, advokasinya kita bagi menjadi 2 (dua) tema besar:
pertama, advokasi dibidang kebijakan yang terkait dengan penyelenggaraan dan
tata kelola penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Kedua, advokasi yang
berpaparan litigasi dalam arti kita juga mengawal kasus yang menyangkut advokasi
terhadap jemaah haji dan umrah. Karna kita kebanyakan juga berlatar belakang
akademisi dan advokasi, jadi seandainya ada kasus, kita bisa mengawal sampai
dengan proses litigasi yaitu bersengketa dipengadilan. Tentu visi besar kita adalah
untuk penyelenggaraan ibadah haji dan umrah betul-betul berpihak dan melindungi
jemaah.
2. Sejauh ini lebih banyak mendapat pengaduan masyarakat yang sedang
dalam kasus haji atau kasus umrah?
Jawab: Sejauh ini sebetulnya tentang umrah, karna kita tahu bahwa pada media
2017-2018 ini terjadi rentetan peristiwa yang menimpah kepada jemaah umrah.
Banyak kasus, yang meledak itukan ada First Travel, SBL (solusi balad lumampah)
di Bandung dan kasus Abu Tours, dan sekarang on the way sedang mengalami kasus
travel yang menelantarkan jemaah 35 (tiga puluh lima) orang bahkan sudah dibawa
ke Malaysia dipulangkan lagi sampai saat ini belum diberangkatkan juga. Ini
sedang kita laporkan ke Kementerian Agama. Kemungkinan akhir bulan ini kita
dipanggil untuk klarifikasi.
3. Sejauh ini kira-kira untuk tahun 2018 ini sudah berapa banyak konsumen
yang menggunakan jasa KOMNAS haji dan umrah ini?
Jawab: Banyak tentu, kira-kira 400an dalam jangka 2 (dua) tahun. Kebanyakan
umrah, kalau ditotal dengan konsultasi udah 500an. Karna yang banyak itu kasus
Firts Travel dan sampai sekarang masih ada pendampingan karna memang belum
selesai proses hukumnya.
4. Apakah KOMNAS memiliki tim khusus untuk menyelesaikan
permasalah-permasalahan umrah?
Jawab: Tentu ada tim, kita di hulu dan hilir monitoring dan tim advokasi.
Kalau monitoring misalnya, secara sederhana kasus apa yang sedang meresahkan
masyarakat terutama kalangan jemaah, seperti kemarin soal SBL dan Abu Tours.
Kalau kemudian kita langsung turun ya kita langsung turun. Baru kemudian
melakukan advokasi, kayak First Travel itu dari mediasi, klarifikasi dengan
kemenag sampai dengan gugat menggugat kita lakukan.
5. Untuk penanganan masalah umrah, kasus yang seperti apa yang paling
sering diadukan oleh konsumen?
Jawab: Yang sering itu, jadi penyelenggaraan hubungan hukum antara calon
jemaah dan travel itu kan terjadi ketika ada transaksi, maka harus dibaca sebagai
suatu proses bisnis. Artinya ada 800an travel yang memiliki izin umrah mereka
tentu berlomba-lomba melakukan promosi dan mencari jemaah dalam arti mencari
konsumen. Nah ketika jemaah datang ditawari dengan harga dan fasilitas dengan
hotel bintang 4 (empat) dan lain-lain, semua itu sah-sah saja. Bahkan ada yang
mengiming-imingi dengan artis atau ustadz terkenal. Nah setelah terjadi transaksi,
jemaah tertarik kemudian mereka setor uang maka terjadilah hubungan hukum
kontraktual. Sebagai penyelenggara jasa perjalanan umrah, dan jemaah sebagai
pengguna jasa yaitu berstatus konsumen. Maka sebenarnya di situ berlakulah
Undang-Undang konsumen, walaupun sebenarnya aturannya itu Undang-Undang
No 13 Tahun 2008 dalam ibadah haji. Karna urusan umrah itu masih diatur dalam
Undang-Undang penyelenggaraan haji. Kemudian pada 2017-2018 yang sering
muncul adalah terjadinya travel yang kemudian tidak komitmen dengan apa yang
sudah dijanjikan mereka. Misalnya sebelumnya mereka menawarkan paket harga
super murah ada yang 12.000.000 (dua belas juta) dan lain-lain. Yang akhirnya
menimbulkan masalah tidak terpenuhinya hak-hak konsumen, padahal bisa saja
kalau mau dicicil. Contoh: dari mulai yang kecil-kecil itu haknya jamaah. Misalnya
sebelum berangkat umrah dia harus megikuti manasik untuk belajar dan diajari tata
cara umrah. Kemudian dokumen, dokumen itu ada pasport ada visa. Belum lagi ada
mercendise ada macem-macam ada koper, tas, goodie bag, suntik miningitis kalau
tidak suntik berbahaya dan lain-lain. Nah ini saja sudah memakan biaya belum lagi
biaya terbesar yang merenggut biaya umrah adalah tiket pesawat satu kali terbang
sekarang itu 7-8 juta bulak balik sekitar 16 juta. Pertanyaannya bagaimana mungkin
kemudian, tiket saja 16-15 juta kemudian ada travel yang menawarkan promo
16,200 juta seperti First Travel dan sejenisnya lah. Nah ini jemaah udah setor
tinggal berangkat akhirnya. Belum lagi cerita-cerita yang di sana, janjinya hotelnya
bintang 3 (tiga) padahal di sana cuma rumah biasa. Dekat dengan Masjidil Haram
ternyata lebih dari 2 (dua) kilo, belum lagi ketering atau makan. Ibadah umrah
adalah ibadah fisik, fisik itu maksudnya tawwaf atau sa’i. Tapi kan menjalankannya
butuh stamina, kalau bicara stamina butuh asupan gizi. Artinya berapa kali makan
akan menentukan stamina dari seorang jemaah. Kalau janjinya 4 (empat) atau 3
(tiga) kali sehari ternyata diberikannya hanya 1 (satu) atau 2 (dua) kali, ya bisa
tepar. Belum lagi setelah sampai sana ternyata tiket pulangnya belum disediakan
dan lain-lain. Itu kan persoalan yang menurut saya konteksialnya tinggi karna
umrah itu diselengarakan di negara lain sehingga butuh berbagai macam aspek. Ini
menjadi penting, bagaimana kemudian penyelenggaraan umrah ini butuh diawasi
dari sisi regulatornya maupun sisi travelnya.
6. Lalu setelah KOMNAS mengetahui detail permasalahan yang diadukan
oleh konsumen, hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh KOMNAS?
Jawab: Pertama kita klarifikasi, jadi tidak semua yang datang ke kita itu kita akan
wawancara dan verifikasi. Dilapangan juga ternyata ada orang yang mengaku
jemaah tapi ternyata adalah agen dan dia juga dikejar oleh jamaah juga. Nah ini,
harus kita bedakan. Karna niatnya KOMNAS ini adalah untuk mengadvokasi
jemaah. Kalau ada jemaah yang tidak berdaya, beda lagi dengan penyelenggara
yang bisa sewa lawyer. Tapi kalau jemaah uang segitu-gitunya kemudian ditipu
pula. Jika diverifikasi, yang biasanya kita minta sederhana kalau dia mengaku
jemaah maka akan kita minta bukti setornya kalau misalnya adalah transfer kita
minta bukti transfernya. Karna itulah yang kemudian menentukan kita mau
advokasi atau tidak. Kalau clien misalnya menunjukkan buktinya bahwa dia adalah
jemaah dengan bukti jemaah transferan, kalau tidak ada ya suruh cari dulu bila
hilang secara fisiknya itu dan terkait ini kita tidak melakukan pembebanan biaya
jadi kita advokasi aja. Setelah verifikasi, kita perlu surat kuasa, kita akan tanya ke
clien ini mau minta pengembalian uang atau mau berangkat. Karna ini penting, agar
nanti ditakutkan ekspetasinya berbeda. Dia maunya berangkat kita maunya
dikembalikan uangnya. Kemudian kita mengirim surat ke kemenag atau kita riset
dahulu apakah travel yang dilaporkan berizin atau tidak, karna kemenag biasanya
tidak menerima yang tidak memiliki izin. Bila travel yang berstatus PPIU itu kita
langsung bersurat dan melaporkan maka nanti travelnya ditegur dan dimediasi,
untuk mencari jalan keluarnya. Ada juga yang kemudian kita langsung surati
travelnya, ada beberapa travel besar bahkan jemaah ini dari luar Jakarta ini kita
langsung surati karna kita sudah memegang bukti otentiknya jadi dia tidak bisa
menghindar. Biasanya bila kita bersurat ke sebuah travel tidak dibales maka kita
baru laporan ke kemenag. Kita lihat dulu, ada travel yang memang sudah punya
masalah dimana-mana tapi ada juga travel yang memang mungkin karna kesalah
pahaman manajeman tapi kemampuan keuangannya sudah bagus kita suratin dan
minta uangnya.
7. Jika KOMNAS tidak melibatkan kemenag berarti hanya mengatasi
travel-travel yang tidak punya izin?
Jawab: Iya, karna travel ini tidak punya jadi kita harus tempur lebih dulu dan tidak
melibatkan kemenag, artinya bisa jadi litigasinya di kepolisian. Tapi sejauh ini yang
datang ke kita itu adalah travel-travel yang beriizin.
8. Jika KOMNAS langsung ke pengadilan itu jalurnya seperti alur
pengadilan ?
Jawab: Iya pengadilan. Tapi biasanya kalau sudah pengadilan maka sudah
melewati fase-fase somasi, sudah bersurat dan lain-lain.
9. Bila permasalahan tersebut diadukan kembali ke Kemenag, Biasanya
berapa lama pihak KOMNAS mendapat respon dari Kemenag untuk
penanganan permasalahan yang diadukan?
Jawab: Kalau dengan sekarang sampai hari ini saya melaporkan masalah travel, itu
tidak ada standarisasi bagaimana alur dan waktu timing ini bisa diselesaikan.
Misalnya, kalau lapor hari ini akan diurus nya kapan dan bisa di follow up itu kapan.
Nah itu yang belum dibenahi karna ini sangat penting bagi para pencari keadilan ini
yang di advokasi sama KOMNAS haji dan umrah bagaimana dengan orang-orang
yang Travelnya di Jakarta tapi jemaahnya orang Padang nah ini kan akan memakan
waktu, dia memperjuangkan 25 jt bulak balik ke Jakarta berapa ongkosnya. Nah
yang saya kira bagaimana pihak kemenag perlu merevisi. Harusnya munculnya
kasus First Travel, Abu Tours, SBL dan lain-lain itu menjadi pelajaran untuk
kemenag agar punya tindak lanjutnya. Kalau tidak seperti itu maka tidak ada
kepastian hukum. Karna jemaah umrah itu kan banyak sekali ada 8 (delapan) bulan
untuk musim umrah dan 8 (delapan) bulan ini ada 850.000 jemaah umrah yang
berangkat kalau dikali rata-rata 20 jt perjamaah berarti ada putaran uang 17 T
permusim. Ini artinya sangat penting umrah ini ditata diawasi dan direvilisasi.
10. Ini kan tidak ada kepastian jangka waktu dalam penyelesaian maslaah,
lalu selama ini bagaimana komnas menjalankannya jika ada travel yang
diadvokasi melibatkan kemenag?
Jawab: Ya kita follow up terus kapan kita akan dipanggil.
11. Kemudian seperti apa proses penyelesaiannya bila KOMNAS mengadu
kepada Kementerian Agama? Mohon dijelaskan proses penyelesaian
dari pengaduan sampai putusan akhir
Jawab: Pertama klarifikasi, biasanya kita lebih suka dengan dipertemukan dengan
PPIUnya karna kalau PPIUnya juga dipanggil jadi langsung ada tidak lanjut. Tapi
hal-hal seperti itu bisa dilakukan bisa juga tidak, kadang kala kita datang tapi
PPIUnya tidak datang. Kedua ditanya kemauan dari masing-masing pihak, Kalau
tidak ada penyelesain biasanya kemenag juga mempersilahkan diproses kejenjang
berikutnya. Jika kita yang mengadvokasi mau menggugat dipersilahkan oleh
kemenag tapi yang melelahkan dari kemenag adalah kalau kemudian menabrak
aturan-aturan yang diatur oleh regulasi, kemenag juga minta ditindak itu. Misalnya,
yang menelantarkan jemaah itu di cabut izinnya kecuali mereka mengembalikan
dan mereka mengalah. Tapi kalau PPIU itu bandel kita menuntut ke kemenag agar
pelanggaran itu diberi sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Nah saya
kira untuk sekarang mendapatkan izin itu tidak gampang maka jika izinnya dicabut
maka menjadi tantangan sendiri untuk PPIU, siapa yang ingin izinnya dicabut
padahal untuk membuatnya sudah susah.
12. Untuk para konsumen yang dirugikan oleh beberapa travel nakal, apa
saja dampak ekonomi yang terjadi pada konsumen-konsumen tersebut?
Jawab: Sebenernya ada jemaah yang dalam ekonominya mampu, sedang atau yang
lainnya. Nah dikasus First Travel kebanyakan jemaah yang kalangan ekonomi
kebawah. Tapi yang kalangan atas juga banyak misalnya mereka sudah umrah
karna menemukan harga murah maka ingin membawa keluarganya umrah. tapi
kebanyakan yang kami temukan mereka menabungnya juga bertahun-tahun.
13. Apakah pengawasan Kemenag saat ini sudah cukup baik untuk
mencegah adanya travel-travel nakal lagi?
Jawab: Niat untuk perbaikan ada, dengan merevisi PMA dan SIPATUH. Tapi
sejauh yang kita telusuri, SIPATUH sendiri masih belum optimal dan masih belum
bisa berjalan optimal. Paling akan berjalan setelah musim haji usai. Karna dengan
yang alami itu masih perlu di revisi buktinya saya sedang menangani PPIU yang
punya izin tapi ya dengan alasan misalnya SDM terserap untuk persiapan haji dan
lain-lain. Mestinya harus tetap optimal, namun menurut saya keseriusan kemenag
untuk memperbaiki belum optimal.
14. Apakah strategi yang menurut KOMNAS cukup ampuh untuk
menghindari adanya travel nakal lagi?
Jawab: Kita selalu mengedukasi kepada jemaah untuk menjadi jemaah yang cerdas
dan cermad. Maksudnya jadi ada banyak travel yang menjanjikan tapi tidak
tercapai, maka kita lihat bagaimana cara travel ini merespon biasanya menggunakan
bahasa keagamaan, mereka berlindung dibalik bahasa agama. Misalnya, kalau hotel
yang dijanjikan bintang 4 (empat) ternyata dapatnya bintang 5 (lima) mereka
biasanya akan meredam bahwa ini adalah cobaan dalam beribadah padahal ini
adalah tips ketidak mampuan travel. Karna saya kira jemaah perlu mengkritisi,
kadang kala mereka pasrah dan tidak berani. Kedua, mendorong regulator agar
lebih tegas atas pelanggaran apapun, untuk tidak mentoleransi kesalahan sekecil
apapun dari travel nakal karna di kasus SBL, Abu Tours dan First Travel, kemenag
jelas-jelas teledor. Karna kasusnya sesungguhnya sudah lampau dan isu-isu nya
sudah tersebar masa tidak tahu, padahal mereka punya kaki tangan seperti kanwil
dan lain-lain. Ketiga, terhadap pelanggaran terhadap konsumen, kita juga biasanya
mengadakan ekspose. Ketika kasus muncul itu harus diawasi publik agar tidak
hilang begitu saja.
15. Apakah perlindungan hukum untuk para calon jemaah umrah maupun
jemaah umrah untuk sekarang ini sudah cukup baik?
Jawab: Perlindungan hukum jemaah akan berkait dengan regulator. Kalau seperti
sekarang laporan jemaah tidak diseriusi maka bagaimana mau melakukan
perlindungan. Karna tahap awal perlindungan jemaah umrah sebetulnya adalah
bagaimana action konkrit dari pada regulator. Sebelum masuk ke wilayah pidana
dan pengadilan. Mestinya sebagai regulator pengawas mengawasi, mengklarifikasi
dan bagaimana tindakannya. Tapi kalau ada konstitensi dari regulator untuk
mengawasi itu kan pasti perlindungannya berjalan. Memang kemenag adalah
wilayah administratif tapi akan menjadi penting, contoh misalnya OJK menjadi
berwibawa karna tidak mentoleransi pelanggaran sekecil apapun.