pengembangan indeks pembangunan kebudayaan 2019

56
PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

Upload: others

Post on 30-Dec-2021

13 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

PENGEMBANGAN INDEKS

Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem IpsumLorem Ipsum

PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

Page 2: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019
Page 3: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN

KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAN PERBUKUAN

PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN

2020

Page 4: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

Pengembangan Indeks Pembangunan Kebudayaan

Tim Penulis:

Sugih Biantoro, M.Hum. (Kontributor Utama)

Kaisar Julizar, S.Sos. (Kontibutor Anggota)

Imelda Widjaja, S.Si. (Kontributor Anggota)

Ihya Ulumuddin, M.Si. (Kontributor Anggota)

Niken Rarasati (Kontributor Anggota)

Yudi Fajar (Kontributor Anggota)

Jimmy Daniel B (Kontributor Anggota)

ISBN: 978-602-0792-92-7

Penyunting:

Penyunting

Irsyad Zamjani, Ph.D.

Sugih Biantoro, M.Hum.

Kaisar Julizar, S.Sos.

Tata Letak: Imelda Widjaja, S.Si.

Desain Cover: Genardi Atmadiredja, S. Sn., M.Sn.

Sumber Cover: freepik.com

Penerbit:

Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Redaksi:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gedung E, Lantai 19

Jalan Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 10270

Telp. +6221-5736365

Faks. +6221-5741664

Website: https://puslitjakdikbud.kemdikbud.go.id

Email: [email protected]

Cetakan pertama, 2020

PERNYATAAN HAK CIPTA

© Puslitjakdikbud/Copyright@2020

Hak cipta dilindungi undang-undang.

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa

izin tertulis dari penerbit.

Page 5: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

i

KATA SAMBUTAN

uji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah

selesainya laporan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud). Dalam kesempatan

ini, saya selaku Kepala Puslitjakdikbud secara khusus menyambut baik atas

terselesaikannya penelitian dan penulisan tentang kajian “Pengembangan

Indeks Pembangunan Kebudayaan”. Kajian ini merupakan bentuk dukungan

terhadap kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Bappenas, dan

BPS dalam merumuskan Indeks Pembangunan Kebudayaan pada tahun 2019.

Salah satu rujukan yang digunakan dalam merumuskan dimensi dalam Indeks

Pembangunan Kebudayaan (IPK) adalah Culture for Development Indicators

Suite (CDIS) yang disusun UNESCO dengan dukungan Badan Kerjasama

Internasional Spanyol. CDIS digunakan sebagai alat metodologi pragmatis dan

efektif dalam mendukung pembangunan melalui analisis berbagai indikator di

negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Konsep ini menawarkan

kesempatan untuk memperkuat inklusi budaya dalam strategi pembangunan,

karena memberikan demonstrasi empiris tentang kontribusi budaya terhadap

pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.

Adapun IPK merupakan instrumen untuk mengukur capaian kinerja

pembangunan kebudayaan. Dalam hal ini, Indeks Pembangunan Kebudayaan

tidak dimaksudkan untuk mengukur nilai budaya suatu daerah, melainkan

untuk mengukur kinerja pembangunan kebudayaan.

Dalam kesempatan ini, selaku Kepala Puslitjakdikbud, saya menyampaikan

terima kasih kepada tim peneliti atas kerja kerasnya sehingga penelitian dan

penulisan laporan ini dapat selesai tepat pada waktunya. Juga kepada berbagai

pihak yang mendukung proses penelitian ini. Kiranya penelitian dan penulisan

ini dapat berguna bagi semua pihak. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Jakarta, Agustus 2020

Kepala Pusat,

Irsyad Zamjani, Ph.D.

P

Page 6: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

ii

KATA PENGANTAR

i Indonesia, peran kebudayaan dalam pembangunan semakin

diperhatikan setelah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017

tentang Pemajuan Kebudayaan. Pasal 13 Undang-Undang tersebut, mengatur

tugas pemerintah untuk menyusun Strategi Kebudayaan yang menjabarkan

arah pemajuan kebudayaan dalam 20 tahun mendatang. Penjabaran Strategi

Kebudayaan lantas diturunkan lebih perinci ke dalam bentuk Rencana Induk

Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Dokumen ini akan menjadi salah satu rujukan

dalam perumusan RPJMN Bidang Kebudayaan sebagai acuan dalam

pembangunan di bidang kebudayaan.

Untuk mendukung pembangunan kebudayaan dalam RPJMN, maka

diperlukan data dan informasi yang terukur. Oleh karena itu, Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Badan Pusat Statistik

menyusun Indeks Pembangunan Kebudayaan. Indeks Pembangunan

Kebudayaan disusun dengan mengacu pada konsep Culture Development

Indicators (CDIS) UNESCO. Dalam CDIS, terdapat tujuh dimensi sebagai

tolak ukur, yaitu ekonomi, pendidikan, pemerintahan, partisipasi sosial,

gender, komunikasi, dan warisan budaya (UNESCO, 2014). Ketujuh dimensi

diturunkan ke dalam bentuk indikator, dimana masing-masing dimensi

memiliki satu hingga lima indikator.

Integrasi antara CDIS dengan Strategi Kebudayaan menghasilkan dimensi dan

indikator baru yang dianggap sesuai dengan karakteristik kebudayaan di

Indonesia. Indeks Pembangunan Kebudayaan diharapkan dapat memberikan

gambaran pembangunan kebudayaan secara lebih holistik dengan memuat 7

(tujuh) dimensi, yakni: (1) dimensi ekonomi budaya; (2) dimensi pendidikan;

(3) dimensi ketahanan sosial budaya; (4) dimensi warisan budaya; (5) dimensi

ekspresi budaya; (6) dimensi budaya literasi; dan (7) dimensi gender. Hasil

dari penghitungan Indeks Pembangunan Kebudayaan dapat dijadikan sebagai

umpan balik dalam proses perencanaan pembangunan, sehingga dapat

dihasilkan perumusan kebijakan, strategi, dan program kebudayaan berbasis

data emipiris.

Jakarta, Agustus 2020

Penulis

D

Page 7: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

iii

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kebudayaan

B. Pembangunan Kebudayaan

BAB III INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN

A. Relevansi Dimensi Ekonomi untuk Pembangunan Kebudayaan

B. Relevansi Dimensi Pendidikan untuk Pembangunan Kebudayaan

C. Relevansi Dimensi Ketahanan Sosial Budaya untuk Pembangunan

Kebudayaan

D. Relevansi Dimensi Warisan Budaya untuk Pembangunan

Kebudayaan

E. Relevansi Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya Untuk

Pembangunan Kebudayaan

F. Relevansi Dimensi Literasi untuk Pembangunan Kebudayaan

G. Relevansi Dimensi Gender untuk Pembangunan Kebudayaan

BAB IV KEBUTUHAN DALAM KETERSEDIAAN DATA

KEBUDAYAAN

DAFTAR PUSTAKA

Page 8: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

iv

Page 9: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

1

BAB I

PENDAHULUAN

ndeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) adalah seperangkat komprehensif

31 indikator yang dikelompokkan ke dalam 7 dimensi yang bertujuan untuk

mengukur capaian kinerja pembangunan kebudayaan. IPK mendukung

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dalam kebijakan kebudayaan melalui

pendekatan berbasis data dan informasi akurat dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Pengembangan dan Implementasi IPK terjadi dalam konteks pembangunan

nasional yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada banyak pendekatan dalam memaknai

pembangunan tersebut. Masing-masing memiliki perspektif bahkan

mengkritik pendekatan yang lain. Dalam berbagai perspektif, ada beberapa

indikator statistik yang menjadi penting dan signifikan, tak hanya untuk

merancang dan menilai kebijakan yang bertujuan untuk memajukan

perkembangan masyarakat, tetapi juga dalam menilai dan memengaruhi cara

kerja ekonomi pasar (Ramadlan, 2013). Pembangunan yang dipandang hanya

sebagai pertumbuhan ekonomi banyak mendapat kritikan, terutama ketika

dikaitkan dengan sistem ekologi, kesetaraan, dan keadilan sosial.

Pembangunan di banyak negara yang mengejar pertumbuhan ekonomi kurang

memperhatikan dampak yang timbul terhadap beberapa aspek kehidupan dan

masa depannya.

Pada saat itulah muncul gagasan tentang “pembangunan berkelanjutan”.

Konsep tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mulai

ramai dibicarakan sejak tahun 1970-an, yang menaruh perhatian pada

konsekuensi lingkungan dari pertumbuhan ekonomi yang berlangsung pesat

(Ramadlan, 2013). Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World

Commission on Environment and Development/WCED) melihat adanya

konsekuensi jangka panjang dan menganjurkan penerapan kebijakan yang

bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, yang didefinisikan

sebagai "pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa

mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan

mereka sendiri." (Throsby, 2008: 2).

I

Page 10: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

2

Dalam perkembangannya, paradigma pembangunan berkelanjutan selanjutnya

tak hanya berbicara tentang kondisi lingkungan, ekonomi, dan sosial. Perhatian

khusus diberikan pada dimensi budaya (culture), yang selanjutnya menjadi

pilar keempat dalam konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak upaya

pembangunan selama beberapa dekade telah diarahkan pada tujuan mendasar

untuk menghilangkan kemiskinan dan mengurangi ketidaksetaraan. Namun,

keberhasilan strategi pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan

manusia tergantung pada pengakuan konteks budaya di mana pembangunan

terjadi. Dengan kata lain, karena budaya adalah intrinsik bagi masyarakat dan

menembus semua aspek kehidupan, itu sebenarnya merupakan lingkungan di

mana perkembangan terjadi.

Lebih jauh, budaya menciptakan kondisi yang memfasilitasi kemajuan

ekonomi dan sosial, dan karenanya, menjadi pembangunan. Sebagai contoh,

sekarang dipahami dengan baik bahwa intervensi di bidang-bidang seperti

kesehatan, pendidikan, komunikasi, inklusi sosial, dan perlindungan

lingkungan akan lebih efektif jika mereka selaras dengan dimensi budaya

masyarakat di mana mereka sedang diterapkan. Namun, peran budaya dalam

pembangunan lebih jauh dari hal tersebut. Sektor budaya memberikan

kontribusi langsung untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sosial.

Misalnya Industri budaya dan kreatif yang menghasilkan pendapatan,

membuka lapangan pekerjaan, dan manfaat ekonomi lainnya, sementara pada

saat yang sama memberikan jalan untuk pemenuhan budaya bagi

masyarakatnya sendiri, baik di tingkat nasional dan lokal. Dalam hal ini dapat

dikatakan bahwa budaya juga sebagai pendorong dari proses pembangunan

(UNESCO, 2014).

Pada salah satu konferensi internasional tentang kebijakan pembangunan

kebudayaan, menyepakati bahwa dimensi budaya sebagai salah satu

komponen kunci dari strategi pembangunan (Throsby, 2008: 2). Konferensi

tersebut mengusulkan bahwa pemerintah harus mengakui budaya sehingga

kebijakan tentang kebudayaan menjadi salah satu komponen utama

pembangunan berkelanjutan (Ramadlan, 2013).

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menyajikan kerangka kerja analisis IPK

yang mengintegrasikan budaya dan pembangunan dengan cara yang konsisten,

dengan teori kontemporer, dan pemikiran terapan dalam bidang ini. Kerangka

kerja ini memberikan dasar untuk mempertimbangkan bagaimana indikator

IPK dapat memberikan pemahaman tentang peran budaya dalam

pembangunan, dan dalam menginformasikan proses pengembangan kebijakan

Page 11: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

3

kebudayaan di Indonesia. Di mana, hasil pengukuran IPK dapat menjadi

umpan balik dalam proses perencanaan berikutnya, sehingga dapat dihasilkan

perumusan kebijakan, strategi, dan program di bidang kebudayaan yang

berbasis data emipiris.

Page 12: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

4

Page 13: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

5

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL

ntuk memahami konsep-konsep yang mendasari IPK, kita perlu mulai

dengan mendefinisikan dua istilah utama: budaya (culture) dan

pembangunan (development). Banyaknya definisi yang ada terkait dua istilah

tersebut dan ambiguitas konseptual yang mengelilinginya, maka definisi IPK

dibatasi dalam kaitannya untuk mengukur capaian kinerja pembangunan dan

memenuhi kebutuhan perencanaan pembangunan di bidang kebudayaan.

A. Kebudayaan

Istilah budaya memiliki banyak arti dan telah dirumuskan dalam beberapa

definisi. Dua orang ahli antropologi yang berpengaruh, Alfred Louis Kroeber

dan Clyde Kluckholn dalam bukunya Culture: A Critical Review of Concepts

and Definitions tahun 1952, telah mendokumentasikan lebih dari 161 definisi

kebudayaan (Cao, 2003: 371). Karena kompleksitas pengertian budaya dalam

perspektif yang beragam, beberapa pengertian telah disederhanakan oleh

beberapa orang peneliti/antropolog, sehingga lebih mudah dipahami oleh

banyak orang dari beragam disiplin ilmu.

Untuk tujuan IPK, terdapat tiga pengertian kebudayaan yang berbeda.

Pertama, dalam pengertian antropologi, di mana pada umumnya para

antropolog cenderung memahami kebudayaan sebagai suatu sistem

pengetahuan, gagasan, dan ide yang dimiliki oleh kelompok masyarakat

tertentu yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat

itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat

mereka berada.

Difinisi kedua, kebudayaan merujuk pada cara hidup masyarakat nilai-nilai

yang berbeda, norma, pengetahuan, keterampilan, kepercayaan individu dan

kolektif- yang memandu tindakan individu dan kolektif (UNESCO, 2014).

Sedangkan, ketiga, menurut Koentjaraningrat (1996), kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

U

Page 14: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

6

Bronislaw Malinowski sangat menekankan konsep fungsi dalam melihat

kebudayaan. Ada tiga tingkatan oleh Malinowski yang harus terekayasa dalam

kebudayaan yakni:

1. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan

pangan dan prokreasi

2. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan

akan hukum dan pendidikan.

3. Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan

kesenian.

Melalui tingkatan abstraksi tersebut Malinowski kemudian mempertegas inti

dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktivitas manusia

dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu

rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan

dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai

contoh, awalnya merupakan kebutuhan manusia yang suka berkumpul dan

berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam

artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.

Merujuk pada regulasi, yaitu Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan No. 5

Tahun 2017, dinyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil masyarakat. Regulasi ini juga

mengatur tentang pemajuan kebudayaan yang diartikan sebagai upaya

meningkatkan ketahanan budaya (nasional) dan kontribusi budaya Indonesia

di tengah peradaban dunia melalui upaya pelindungan, pengembangan,

pemanfaatan, dan kebudayaan.

Sasaran utama dalam pemajuan kebudayaan disebut dengan Objek Pemajuan

Kebudayaan yang terdiri dari 10 objek, yaitu:

1. tradisi lisan,

2. manuskrip,

3. adat istiadat,

4. ritus,

5. pengetahuan tradisional,

6. teknologi tradisional,

7. seni,

8. bahasa,

9. permainan rakyat, dan

10. olahraga tradisional

Page 15: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

7

Tujuan dari Pemajuan Kebudayaan menurut Undang-Undang tersebut adalah:

1. mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa;

2. memperkaya keberagaman budaya;

3. memperteguh jati diri bangsa;

4. memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa;

5. mencerdaskan kehidupan bangsa;

6. meningkatkan citra bangsa;

7. mewujudkan masyarakat madani;

8. meningkatkan kesejahteraan rakyat;

9. melestarikan warisan budaya bangsa; dan

10. mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia,

Sedangkan arah pemajuan kebudayaan disebut dengan istilah strategi

kebudayaan, terdiri dari 7 agenda sebagai salah satu acuan penting dalam

mengidentifikasi dimensi-dimensi dan indikator-indikator selain

menggunakan konsep CDIS. Ke-7 agenda strategis tersebut adalah:

1. Menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong

interaksi untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif.

2. Melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan

tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.

3. Mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat

kedudukan Indonesia di Dunia Internasional.

4. Memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

5. Memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan

memperkuat ekosistem.

6. Reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung

agenda pemajuan kebudayaan.

7. Meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.

B. Pembangunan Kebudayaan

Dari tujuan Pemajuan Kebudayaan dan agenda Strategi Kebudayaan dapat

diketahui bahwa dimensi kebudayaan dapat mengambil peran dalam

merumuskan tujuan pembangunan. Cara pandang ini memiliki implikasi dalam

merekonstruksi konsep pembangunan. Jika pada umumnya arah pembangunan

cenderung menekankan pada dimensi pertumbuhan ekonomi, maka

kebudayaan akan dipandang hanya sebatas instrumen. Kebudayaan bukan

Page 16: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

8

sesuatu yang berharga dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai alat untuk

mempromosikan dan mempertahankan kemajuan ekonomi. Pandangan

tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah budaya dalam pertumbuhan

ekonomi dipandang sebagai sarana saja, atau juga turut menjadi bagian dari

pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Dimensi kebudayaan dalam kehidupan

manusia tentunya dapat berperan lebih penting daripada mendukung

pertumbuhan ekonomi. Sektor pendidikan misalnya, dalam banyak hal turut

meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, pendidikan dapat bernilai

instrumental. Pada saat yang sama juga merupakan bagian penting dari

pembangunan kebudayaan, dengan nilai intrinsik. Oleh karena itu, kita tidak

bisa menempatkan kebudayaan pada posisi sebatas pendukung pertumbuhan

ekonomi (WWCD, 1996, hlm. 14). Paradigma dimensi kebudayaan sebagai

pilar pembangunan berkelanjutan menjadi penting karena akan berkaitan

dengan orientasi pembangunan dan pembuatan kebijakan.

Ketika budaya dipahami dalam menunjukkan produksi sosial dan transmisi

nilai-nilai, makna, dan tujuan, serta diakui bahwa sebagai ekspresi atas tujuan

dan aspirasi sosial maupun inti dari proses perencanaan masyarakat, maka

hubungan antara budaya dan perencanaan menjadi jelas. Begitu juga halnya

potensi untuk penggunaan budaya sebagai elemen inti dalam mekanisme yang

memfasilitasi perencanaan publik yang efektif (Hawkes, 2001, hlm. 1).

Perencanaan itu sendiri dirancang untuk kepentingan manusia, maka

ketahanan budaya menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang

berkeadilan sosial, bertanggung jawab atas lingkungan, dan kelayakan

ekonomi.

Menempatkan dimensi budaya dalam pembangunan juga mencakup berbagai

manfaat non-ekonomi, seperti inklusivitas sosial yang lebih besar dan berakar,

ketahanan, inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan bagi individu dan

masyarakat, serta penggunaan sumber daya lokal, keterampilan, dan

pengetahuan. Memberi penghormatan dan dukungan terhadap ekspresi-

ekspresi kebudayaan akan secara langsung berkontribusi memperkuat modal

sosial masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan di lembaga publik

(UNESCO, 2012, hlm. 4).

Lebih jauh, faktor budaya turut memengaruhi gaya hidup, perilaku individu,

pola konsumsi, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, dan

interaksi masyarakat dengan lingkungan. Identifikasi nilai-nilai, praktik, dan

identitas adalah prasyarat untuk pengembangan dari kemanusiaan, yang

memiliki peran yang signifikan membentuk hubungan dan membangun sebuah

Page 17: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

9

jaringan dengan lingkungan sekitarnya (Kotane, 2011, hlm. 118). Sistem

pengetahuan lokal dan masyarakat adat dan praktik pengelolaan lingkungan

memberikan wawasan dan alat yang berharga untuk mengatasi tantangan-

tantangan ekologis.

Page 18: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

10

Page 19: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

11

BAB III

INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN

engesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan

Kebudayaan merupakan langkah awal yang penting dalam perencanaan

pembangunan kebudayaan di Indonesia. Undang-Undang tersebut, mengatur

strategi yang menjabarkan arah pembangunan kebudayaan dalam 20 tahun

mendatang. Penjabaran Strategi Kebudayaan diturunkan lebih perinci ke dalam

bentuk Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK). Dokumen ini menjadi

salah satu bahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

Bidang Kebudayaan yang menjadi acuan utama dalam penyusunan kebijakan

di bidang kebudayaan.

Dalam rangka mendukung implementasi RIPK dan RPJMN, diperlukan

mekanisme pengukuran melalui instrumen yang jelas. Sejak 2010

(Kebudayaan saat itu masih bergabung dengan Pariwisata), Direktorat Jenderal

Kebudayaan bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyusun Indeks Pembangunan

Kebudayaan (IPK) terkait kebutuhan instrumen tersebut. Namun, sayangnya

IPK ini masih ditemukan banyak kelemahan karena terkendala oleh problem

konseptual yang digunakan sebagai kerangka dimensi dan indikator. Barulah

setelah lahirnya UU Tentang Pemajuan Kebudayaan, IPK kembali menjadi

pembahasan penting pada 2019.

Di tingkat global, pengukuran terhadap pembangunan kebudayaan telah

dilakukan UNESCO melalui program bernama Culture for Development

Indicators (CDIS) yang dikembangkan sejak 2009. CDIS bertujuan untuk

menyediakan pendekatan berbasis bukti dan informasi untuk pengenalan

budaya ke dalam strategi pembangunan nasional dan internasional, serta

perumusan kebijakan budaya.

CDIS digunakan sebagai alat metodologi pragmatis dan efektif dalam

mendukung pembangunan melalui analisis berbagai indikator di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah. Konsep ini menawarkan kesempatan

untuk memperkuat inklusi budaya dalam strategi pembangunan, karena

memberikan demonstrasi empiris tentang kontribusi budaya terhadap

pembangunan berkelanjutan, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial.

Dalam CDIS, terdapat tujuh dimensi sebagai tolak ukur, yaitu ekonomi,

P

Page 20: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

12

pendidikan, pemerintahan, partisipasi sosial, gender, komunikasi, dan warisan

budaya (UNESCO, 2014).

Ketujuh dimensi diturunkan ke dalam bentuk indikator, dimana masing-

masing dimensi memiliki satu hingga lima indikator. UNESCO mengklaim

bahwa CDIS menghasilkan fakta adanya kontribusi multidimensi budaya

terhadap pembangunan di tingkat nasional. Sebagai contoh, di Ekuador, CDIS

mengilhami dialog antar-institusi yang melibatkan kebudayaan dalam Rencana

Pembangunan Nasional; di Kamboja, pemerintah nasional menggunakan

indikator CDIS untuk menyusun Kebijakan Nasional Kebudayaan yang

diadopsi pada 2014.

Selain dokumen strategi kebudayaan, Pemerintah Indonesia menggunakan

CDIS sebagai rujukan dalam penyusunan IPK. Integrasi keduanya diharapkan

mampu menghasilkan indikator dan dimensi dalam pembangunan kebudayaan

yang lebih representatif sebagai alat ukur. IPK terdiri dari 31 indikator yang

dikelompokkan ke dalam 7 dimensi, yaitu:

DIMENSI INDIKATOR

Ekonomi

Budaya

Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung

pertunjukkan seni yang menjadikan keterlibatan sebagai sumber

penghasilan (terhadap masyarakat 15 tahun ke atas)

Pendidikan Rata-rata Lama Sekolah (MYS) 25 tahun ke atas

Harapan Lama Sekolah (HLS)

Angka Kesiapan Sekolah (AKS)

Persentase Satuan Pendidikan yang mempunyai guru yang mengajar

muatan lokal bahasa daerah dan/atau seni budaya

Persentase penduduk penyandang disabilitas usia 7-18 tahun yang

bersekolah

Partisipasi pendidikan penduduk usia 7-18 tahun dengan kategori 40%

termisikin

Ketahanan

Sosial Budaya

Persentase masyarakat yang setuju jika ada sekelompok orang dari

agama lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat

tinggal.

Persentase masyarakat yang setuju jika ada sekelompok orang dari

suku lain yang melakukan kegiatan di lingkungan sekitar tempat

tinggal.

Persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah

tangga Anda bersahabat dengan orang lain yang beda agama.

Persentase masyarakat yang setuju jika salah satu anggota rumah

tangga Anda bersahabat dengan orang lain yang berbeda suku.

Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengikuti

kegiatan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam tiga bulan

terakhir

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengikuti gotong

royong

Page 21: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

13

DIMENSI INDIKATOR

Persentase rumah tangga yang tidak merasa khawatir dengan

keamanan saat berjalan kaki sendirian di malam hari dalam setahun

terakhir

Presentase masyarakat yang merasa aman di lingkungan tempat

tinggal

Warisan

Budaya

Persentase benda, bangunan, struktur, dan situs cagar budaya yang

telah ditetapkan terhadap total registrasi

Persentase warisan budaya takbenda yang telah ditetapkan terhadap

total registrasi

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menggunakan bahasa

daerah di rumah atau dalam pergaulan sehari-hari

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang menonton secara

langsung pertunjukkan seni

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi

peninggalan sejarah/wardun

Persentase masyarakat yang menggunakan produk tradisional

Kebebasan

Ekspresi

Budaya

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan saran

atau pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti

kegiatan organisasi

Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung

pertunjukkan seni

Persentase rumah tangga yang menghadiri atau menyelenggarakan

upacara adat

Budaya Literasi Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang membaca selain kitab

suci baik cetak maupun elektronik dalam satu minggu terakhir

Persentase penduduk berumur 10 tahun ke atas yang mengakses

internet dalam tiga bulan terakhir

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengunjungi

perpustakaan/memanfaatkan taman bacaan masyarakat

Gender Rasio Tingkat partisipasi angkatan kerja usia 15 tahun ke atas

perempuan terhadap laki-laki

Rasio penduduk 25 tahun ke atas perempuan terhadap laki-laki yang

memiliki ijazah minimal SM/Sederajat

Rasio anggota parlemen perempuan terhadap anggota parlemen laki-

laki

A. Relevansi Dimensi Ekonomi untuk Pembangunan Kebudayaan

Pengaruh budaya terhadap kinerja suatu perekonomian masih menjadi suatu

asumsi yang mengikat dalam analisis ilmu ekonomi, khususnya dalam analisis

ekonomi neoklasik. Hal ini terkait dengan kesulitan ilmu ekonomi untuk

memahami peranan budaya itu sendiri. Selain itu juga karena sulitnya

mengkuantifikasi variabel budaya atau karena budaya itu sendiri melekat di

mana-mana, seperti dalam selera, kebiasaan, dan sebagainya. Akan tetapi,

dalam perkembangan yang terakhir, para ekonom mulai mengakui bahwa

Page 22: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

14

budaya memang berpengaruh

terhadap kinerja ekonomi.

Namun, ada bagian dari

budaya yang tidak dapat

dijelaskan atau sebaiknya

tidak dijelaskan oleh ilmu

ekonomi (Casson, 1993).

Selama 20 tahun terakhir,

budaya sebagai sektor produktif telah memainkan peran yang semakin penting

dalam perekonomian nasional. Kegiatan budaya dan industri menjadi

pendorong pertumbuhan, memungkinkan diversifikasi ekonomi nasional,

menghasilkan pendapatan, dan menciptakan lapangan kerja di negara

berkembang. Industri kreatif dan budaya adalah salah satu sektor yang paling

cepat dan dinamis dalam pertumbuhannya pada ekonomi global, dengan rata-

rata pertumbuhan 17.6% dia Timur Tengah, 13.9% di Afrika, 11.9% di

America Latin, 9.7% di Asia, 6.9% di Oceania, and 4.3% di Amerika Utara

dan Tengah (UNESCO, 2014).

Sebagian besar, data yang dapat mendukung hal di atas belum terkonsolidasi

dan memiliki banyak celah. Namun, perkiraan berikut menggambarkan

kontribusi ekonomi global dari produk budaya dan kreatif. Sektor ini,

dipertimbangkan secara luas, menyumbang 3,4% dari PDB global pada tahun

2007 dan bernilai hampir US $ 1,6 triliun, ini mewakili hampir dua kali lipat

penerimaan pariwisata internasional untuk tahun yang sama.

Indonesia telah mengklasifikasi subsektor industri kreatif berjumlah 16

subsektor, yaitu (1) arsitektur, (2) desain interior, (3) desain komunikasi visual,

(4) desain produk, (5) film, animasi, video, (6) fotografi (7) kriya, (8) kuliner,

(9) musik, (10) fashion, (11) aplikasi dan game developer, (12) penerbitan, (13)

periklanan, (14) televisi dan radio, (15) seni pertunjukan, dan (16) seni rupa

(Perpres, 2015).

Di Indonesia sendiri, sektor ekonomi kreatif dan budaya telah banyak

berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Pada tahun 2014, ekonomi

kreatif berkontribusi sebesar 7,1% terhadap PDB nasional, mampu menyerap

12 juta tenaga kerja, serta memberikan kontribusi perolehan devisa negara

sebesar 5,8%. Pada 2016, kontribusi ekonomi kreatif terhadap perekonomian

nasional sebesar 7,44%, menyumbang 922,59 triliun rupiah. Pada tahun 2015,

sektor ini menyumbangkan 852 triliun rupiah terhadap PDB nasional (7,38%),

menyerap 15,9 juta tenaga kerja (13,90%), dan nilai ekspor US$ 19,4 miliar

EKONOMI

Indikator Diskripsi

Kontribusi

aktivitas

budaya

untuk

penghasilan

ekonomi

Persentase penduduk yang pernah

terlibat sebagai pelaku/pendukung

pertunjukkan seni yang

menjadikan keterlibatan sebagai

sumber penghasilan (terhadap

masyarakat 15 tahun ke atas)

Page 23: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

15

(12,88%). Secara keseluruhan, data juga menunjukkan peningkatan kontribusi

ekonomi kreatif yang signifikan terhadap perekonomian nasional dari tahun

2010-2015 yaitu sebesar 10,14% per tahun. Hal ini membuktikan bahwa

ekonomi kreatif memiliki potensi untuk berkembang di masa mendatang,

dimana sektor ini mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari 16 subsektor ekonomi kreatif, salah satu yang memiliki potensi besar

dalam pertumbuhan ekonomi adalah produk seni dan jasa. Kedua subsektor

tersebut sebagai pendorong produktivitas dalam konteks ekonomi kreatif,

dengan memfokuskan ke dalam sub sektor industri kreatif di bidang kesenian

yang meliputi empat hal yaitu: (1) Kriya/kerajinan, (2) Seni rupa/pasar barang

seni, (3) Tari/pertunjukan), (4) Musik tradisional/musik.

Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan dan sebagai sarana

yang digunakan dalam menuangkan ekspresi rasa keindahan dalam jiwa

manusia. Kesenian sebagai hasil ekspresi keindahan yang mengandung pesan

budaya terwujud dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,

seni patung, seni sastra, seni tari, seni vokal, dan seni drama. Kesenian adalah

ekspresi dari kejujuran jiwa, cerminan jiwa, ungkapan jiwa yang divisualkan

melalui berbagai macam media (Sunarya, 2005:84).

Sinergi antara keberadaan kesenian tradisional sebagai identitas kultural

masyarakat pendukung dan tuntutan industri pariwisata yang melakukan

komodifikasi budaya antara lain: komodifikasi budaya menjadi keniscayaan di

era ekonomi global yang berkembang di era pascamodernitas ini, terutama

ditandai dengan kian berkembangnya industri pariwisata (Irianto, 2016).

Untuk kontribusi PDB Ekonomi kreatif dari subsektor seni pertunjukan adalah

0,26% dan seni rupa 0,22%.

B. Relevansi Dimensi Pendidikan untuk Pembangunan Kebudayaan

Pendidikan merupakan salah satu wadah yang dapat secara maksimal

digunakan sebagai ajang penggemblengan karakter dan nilai-nilai kebajikan.

Sebagai ajang pembudayaan, pendidikan menjadi instrumen kekuatan sosial

masyarakat untuk mengembangkan suatu sistem pembinaan yang relevan

dengan tuntutan perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan hendaknya mampu

melakukan fungsinya, melakukan tugas-tugas kelembagaan sesuai dengan

hukum perkembangan masyarakat. Dalam hal ini, pendidikan hendaknya

Page 24: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

16

memperhatikan benar

modal kutlural dan modal

sosial di samping modal-

modal dasar lainnya.

Pendidikan sejatinya

harus berperan maksimal

dalam mengembangkan

kebudayaan nasional.

Untuk itu diperlukan

transformasi pedagogik

yang direncanakan, dilaksanakan dan dikontrol dengan baik. Hal-hal yang

dapat dilakukan misalnya mengembangkan civic intelligent yang termasuk di

dalamnya pendidikan multikultural dan pendidikan karakter pada lembaga

pendidikan yang menerapkan pendidikan berbasis komunitas (community

based education). Dalam konsep ini diharapkan akan diperoleh masyarakat

madani (civic society) yang memahami dengan baik hak-haknya dengan

menunaikan kewajiban-kewajibannya demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Pendidikan merupakan refleksi kebudayaan yang dikonstruksi sebagai

instrumen yang berfungsi melestarikan sistem nilai budaya kepada generasi

muda, agar tidak terjadi ketegangan nilai yang dapat menyebabkan disintegrasi

sosial. Pelestarian nilai-nilai tersebut dilakukan melalui proses alih pengetahun

tentang pandangan hidup, norma-norma sosial, kesusilaan, adat, pengetahuan

dan teknologi dari para pendidik kepada peserta didik dalam pendidikan formal

dan non-formal. Pendidikan dituntut mampu memainkan peran sebagai agen

rekonstruksi sosial dan budaya. Pendidikan harus dimaknai sebagai proses

pembebasan, humanisasi, dan proses pembudayaan (M. Djamal, 2018: 48-61).

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Salah satu Objek Pemajuan Kebudayaan adalah pengetahuan tradisional.

Artinya, pengetahuan merupakan suatu objek yang diperlukan untuk pemajuan

kebudayaan. Pengetahuan itu sendiri di peroleh antara lain melalui proses

pendidikan. Pendidikan merupakan suatu proses untuk melahirkan manusia

yang berbudaya yang dapat diartikan semakin terdidik sesorang maka semakin

PENDIDIKAN

Indikator Diskripsi

Pendidikan

inklusi

Rata-rata Lama Sekolah (MYS) 25 tahun

ke atas

Harapan Lama Sekolah (HLS)

Angka Kesiapan Sekolah (AKS)

Persentase penduduk penyandang

disabilitas usia 7-18 tahun yang bersekolah

Partisipasi pendidikan penduduk usia 7-18

tahun dengan kategori 40% termisikin

Pendidikan

budaya

dan bahasa

Persentase Satuan Pendidikan yang

mempunyai guru yang mengajar muatan

lokal bahasa daerah dan/atau seni budaya

Page 25: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

17

berbudaya. Dalam CDIS UNESCO (2014), dijelaskan bahwa pengetahuan dan

keterampilan yang diperoleh selama menjalani siklus pendidikan akan sangat

berguna untuk perkembangan budaya dan kesejahteraan sosial suatu negara.

Dalam konteks peran pendidikan dalam kelestarian budaya, pendidikan

mengemban dua tugas utama, yaitu peningkatan potensi individu dan

pelestarian nilai-nilai budaya. Manusia sebagai mahluk berbudaya, pada

hakikatnya adalah pencipta budaya itu sendiri. Budaya itu kemudian

meningkatkan sejalan dengan peningkatan potensi manusia pencipta budaya

itu.

Mengembangkan sumber daya manusia Indonesia melalui pemberdayaan

manusia Indonesia, harus berdasarkan kebudayaan Indonesia, jauh dari

pandangan sempit kebangsaan - chauvinisme, haruslah ditegakkan dalam

setiap kegiatan pendidikan dan pemberdayaan (Gani, 2007). Oleh karena itu,

Indikator Rata-Rata Lama Sekolah dan Harapan Lama merupakan indikator

untuk memotret penduduk Indonesia mengenyam bangku sekolah, sayangnya

rata-rata lama sekolah Indonesia baru sekitar 8 tahun dari rata-rata lama

sekolah yang diharapkan adalah 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa masih

ada penduduk Indoensia yang belum mendapatkan pendidikan sebagaimana

mestinya. Padahal melalui proses pendidikan, seseorang dapat melakukan

pembangunan terhadap kebudayaan dan bangsanya.

Siklus pendidikan akan berkontribusi kepada pembangunan kebudayaan.

Pembangunan kebudayaan merupakan investasi untuk membangun masa

depan dan peradaban bangsa. Melalui pemajuan kebudayaan, diharapkan

kebudayaan dapat memperkukuh jati diri dan karakter bangsa, memperteguh

persatuan dan kesatuan bangsa, Indeks Dimensi Pendidikan sebesar 69,67, hal

ini menunjukkan bahwa kontribusi pendidikan dalam indeks pembangunan

kebudayaan.

1. Pendidikan Budaya dan Bahasa

Proses pembelajaran akan efektif apabila guru mau mempertimbangkan

dan mengakui perbedaan individu dan memberikan kesempatan pada anak

untuk menemukan dan menerapkan (Burden & Byrd, 1999).

Pertimbangan seperti ini sangat diperlukan untuk mempersiapkan anak

untuk lebih mampu dalam kehidupan bermasyarakat yang multikultural

dalam dimensi bahasa dan dapat mempermudah anak dalam memenuhi

kebutuhan dasar mereka yaitu komunikasi (Saxe,1996).

Page 26: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

18

Bahasa daerah merupakan bagian dari sebuah kebudayaan masyarakat

yang bersifat dinamis, yaitu mengalami perubahan-perubahan yang

tentunya juga mengarah pada pergeseran bahasa jika tidak diperhatikan

dengan seksama. Bahasa mempunyai relevansi yang kuat terhadap

kebudayaan masyarakat pemakai bahasa. Bahasa daerah merupakan salah

satu bukti adanya suatu peradaban dari suatu masyarakat dahulu yang

dalam konteks ini bisa berupa dalam bentuk verbal ataupun tulisan.

Oleh karena itu, bahasa daerah bisa diartikan sebagai sistem ilmu

pengetahuan yang di dalamnya terdapat nilai yang dimiliki oleh

masyarakat yang memengaruhi perilaku masyarakat itu sendiri. Sehingga

jika bahasa daerah berubah maka tidak mustahil jika itu berarti

menandakan terjadinya perubahan nilai-nilai yang dimiliki oleh

masyarakat baik terhadap pandangan hidup, perilaku sosial ataupun hal

lain yang sebenarnya merupakan ciri khas dari budaya masyarakat

tersebut.

Artinya, pendidikan multibahasa tidak hanya belajar menguasai bahasa

asing, tetapi juga bahasa daerah yang digunakan dalam masyarakat itu.

Pembelajaran bahasa-bahasa tersebut meningkatkan pembangunan

pendidikan dan pemberdayaan masyarakat minoritas, semakin

meningkatkan pemahaman di antara kelompok-kelompok sosial dan

budaya dan membangun kohesi sosial. Bahasa daerah memainkan peran

kunci dalam menyampaikan pandangan dunia tertentu dan cara makna

yang berbeda.

Dengan demikian, pengajaran, dan instruksi dalam, bahasa-bahasa

tersebut berkontribusi untuk mengkonsolidasikan nilai masing-masing

budaya sebagai kerangka kerja makna yang menawarkan kemungkinan

untuk pengembangan pribadi. Selain itu, bahasa-bahasa ini umumnya

dituturkan oleh minoritas linguistik yang menghadapi kesulitan belajar

lebih besar ketika diajarkan dalam bahasa asing. Demikian dengan, bahan

ajar dan pelajaran berdasarkan bahasa dan budaya kelompok dominan

cenderung semakin meminggirkan minoritas.

Promosi multibahasa, yaitu mengajar dua atau lebih bahasa dalam sistem

pendidikan, menghasilkan wawasan penting tentang sensitivitas budaya

dari kurikulum pendidikan dan tingkat dorongan antarbudaya. Selain itu,

ini terkait langsung dengan penghormatan terhadap hak-hak dasar. Oleh

karena itu, setiap satuan pendidikan formal perlu menyediakan tenaga

pendidikan dan fasilitas pengajaran terkait budaya atau bahasa daerah.

Page 27: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

19

Berdasarkan hasil penelitian Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, jumlah bahasa daerah di Indonesia ada 652 bahasa daerah

yang terdiri atas sekitar 13.000 suku bangsa di Indonesia, menurut

UNESCO, setiap 15 hari sekali satu bahasa punah di dunia. Dari data

tersebut, 19 bahasa daerah terancam punah, 2 bahasa daerah kritis, dan 11

bahasa daerah sudah punah. Sedangkan, menurut data yang disampaikan

oleh Jurnal Masyarakat dan Budaya sebagaimana dikutip dari Ethnologue:

Language of The World (2005), Indonesia memiliki kekayaan 742 bahasa

daerah. Sebanyak 737 bahasa di antaranya merupakan bahasa yang masih

aktif. Sementara menurut data yang dilaporkan Summer Linguistic,

Indonesia memiliki 746 bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, sebagian

sudah mengalami kepunahan seiring makin minimnya penutur.

David Crystal, pakar Linguistik (2000) mengatakan bahasa-bahasa yang

dianggap berpotensi terancam punah adalah bahasa yang secara sosial dan

ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar

dari bahasa mayoritas. Dikutip dari Jurnal Masyarakat & Budaya, Lewis

(2015) berpendapat suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin

sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan bahasa tersebut tidak

pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka.

Menurut data yang disajikan oleh badanbahasa.kemendikbud.go.id, faktor

penyebab terjadinya kepunahan bahasa antara lain adalah faktor ekonomi,

misalnya seperti kemiskinan yang terjadi di pedesaan yang memicu

terjadinya urbanisasi. Ketika sampai kota, mereka akhirnya melupakan

bahasa daerah dan lebih banyak menggunakan bahasa yang umum

digunakan di kota tujuan. Selain itu, faktor dominasi budaya oleh

masyarakat mayoritas juga berpengaruh, seperti bahasa mayoritas dan

bahasa negara di dalam pendidikan dan kepustakaan yang mengakibatkan

terpinggirnya bahasa daerah.

2. Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang menghargai

keberagaman. Pendidikan tersebut memandang bahwa setiap individu

dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Konsep

pendidikan inklusi muncul sebagai upaya atas perlakuan diskriminatif

dalam layanan pendidikan. Hal ini terutama untuk anak anak

berkebutuhan khusus. Prinsip dalam pendidikan inklusi bahwa

pembelajaran dapat berlangsung tanpa memandang kesulitan ataupun

perbedaan yang mungkin mereka miliki.

Page 28: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

20

Menurut para ahli, pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang

dirancang dan disusun untuk mengakomodir kebutuhan peserta didik.

Dapat juga diartikan bahwa pendidikan inklusi merupakan bentuk

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus untuk mengikuti

pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara

bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Indikator ini

mengakomodir peserta didik yang disabilitas sehingga memperoleh

pendidikan yang dapat berkontribusi guna pembangunan kebudayaan.

Pendidikan harusnya mampu mengakomodir seluruh masyarakat

Indonesia dari segara tingkatan sosial masyarakat.

C. Relevansi Dimensi Ketahanan Sosial Budaya untuk Pembangunan

Kebudayaan

Ketahanan sosial budaya memiliki peran penting dalam pembangunan

nasional, khususnya

pembangunan bidang

kebudayaan. Konsep

ketahanan (resilience)

oleh para ahli

disimpulkan sebagai

suatu respon kreatif

terhadap berbagai

kesulitan (adversity) dan

juga merupakan karakter

bawaan manusia yang

memungkinkannya

mengatasi situasi-situasi

negatif dalam kehidupan.

Dalam kaitannya dengan

pembangunan

kebudayaan, ketahanan

yang dimaksud dapat

dikatakan sebagai

kemampuan entitas

sosial-budaya

(masyarakat) dalam

KETAHANAN SOSIAL BUDAYA

Indikator Diskripsi

Toleransi Persentase masyarakat yang setuju jika ada

sekelompok orang dari agama lain yang

melakukan kegiatan di lingkungan sekitar

tempat tinggal

Persentase masyarakat yang setuju jika ada

sekelompok orang dari suku lain yang

melakukan kegiatan di lingkungan sekitar

tempat tinggal

Persentase masyarakat yang setuju jika salah

satu anggota rumah tangga Anda bersahabat

dengan orang lain yang beda agama

Persentase masyarakat yang setuju jika salah

satu anggota rumah tangga Anda bersahabat

dengan orang lain yang berbeda suku

Partisipasi

Sosial

Persentase penduduk berumur 10 tahun ke

atas yang mengikuti kegiatan sosial

kemasyarakatan di lingkungan sekitar dalam

tiga bulan terakhir

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas

yang mengikuti gotong royong

Rasa

Aman

Persentase rumah tangga yang tidak merasa

khawatir dengan keamanan saat berjalan

kaki sendirian di malam hari dalam setahun

terakhir

Presentase rumah tangga yang percaya

menitipkan rumah pada tetangga

Page 29: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

21

menerima, menyerap, mengatasi, dan menyesuaikan diri dari berbagai

ancaman (threats), baik yang berasal dari lingkungan fisik maupun lingkungan

sosial.1 Di samping kemampuan dalam menghadapi ancaman lingkungan fisik,

seperti bencana (hazard), ketahanan sosial budaya juga dapat dilihat dari

kemampuan masyarakat secara sosio-kultural dalam menghadapi,

mentoleransi, dan menerima setiap unsur budaya dari luar masyarakat tersebut.

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang terdiri dari berbagai

latar belakang yang beragam. Dua unsur yang sangat menonjol dari keragaman

itu adalah suku bangsa dan agama. Indonesia pernah dilanda konflik berlatar

belakang agama dan etnis yang berkepanjangan dan memakan korban yang

tidak sedikit. Padahal, setiap masyarakat nusantara memiliki sistem yang dapat

mencegah terjadinya konflik-konflik antar etnis dan agama seperti yang terjadi

di Poso dan Ambon, misalnya. Sistem-sistem nilai budaya tersebut kita kenal

juga dengan istilah kearifan lokal, tentunya dalam hal ini kearifan lokal dalam

menjaga kerukunan hidup dengan sesamanya dan antar kelompok masyarakat

yang berbeda. Sebagai misal, keragaman masyarakat yang ada di Kota

Makassar yang terdiri dari beragam etnis dan ras2, juga perbedaan agama di

dalamnya, dapat dieratkan dengan adanya nilai-nilai budaya lokal yang hidup

dalam masyarakat yang dikenal dengan sipakatau, sipakalebbi, dan siri’.3

Nilai-nilai budaya atau kearifan lokal tersebut sangat berperan dalam membina

kerukunan hidup para warga, terutama yang berlatar belakang etnis dan agama

yang berbeda.

Tentunya tidak hanya di Makassar saja yang tumbuh nilai-nilai lokal dalam

menjaga kerukunan dan keharmonisan antarwarga. Banyak daerah lain di

negeri ini yang memiliki nilai-nilai budaya lokal dalam menjaga kerukunan

antarwarganya. Berkaca dari pengalaman sejarah bangsa ini, bahwa nilai-nilai

budaya itu telah lama hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat sebagai bentuk ketahanan sosial masyarakat di masa-masa

tersebut. Sejarah menunjukkan, di Jawa dan Madura, pada era 1950-an telah

1 http://www.transre.org/index.php/blog/what-social-resilience 2 Berbagai etnis dan ras yang hidup saling berdampingan di Kota Makassar, antara lain Jawa,

Cina, Arab, Ambon, India dan Pakistan, serta tentunya Bugis Makassar sendiri (Muhdina,

2015). 3 Konsep sipakatau merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pada semua jenjang

posisi-posisi sosial dalam masyarakat atau dengan kata lain sikap yang memanusiakan

manusia seutuhnya dalam kondisi apapun. Sipakalebbi adalah wujud apresiasi yang mampu

melihat sisi baik dari orang lain dan memberikan ucapan bertutur kata yang baik atas prestasi

yang telah diraihnya. Siri’ yaitu sikap moral yang yang mampu menjaga stabilitas dan

berdimensi harmonis atau pangadereng (adat istiadat) yang berjalan secara dinamis

(Muhdina, 2015).

Page 30: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

22

ada kesadaran diri masayarakat secara kolektif berupaya mengatasi persoalan-

persoalan yang mereka hadapi. Kehidupan masyarakat yang sifatnya komunal

masih sangat terasa di mana warga berpartisipasi aktif di hampir semua

kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggal mereka. Kegiatan yang

sifatnya komunal tersebut dilakukan oleh warga karena adanya kesadaran

tentang pentingnya hidup bersama dan untuk menanggulangi berbagai

persoalan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, ketahanan sosial (budaya) ini,

mengikuti pemikiran Leitch (2017) adalah kemampuan individu maupun

kelompok untuk secara tepat waktu bertindak ketika keadaan stabil dan segera

beradaptasi mengatur diri dan tetap aktif terlibat dalam merespon kondisi yang

tak menentu. Dengan demikian, seperti yang dikatakan oleh Keck dan

Sakdaporlak (2013), ketahanan sosial tersebut memiliki tiga dimensi pokok,

yaitu kemampuan atau kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengelola

persoalan (coping capacities), kemampuan untuk menyesuaikan diri pada

kondisi tak menentu (adaptive capacities), dan kemampuan berubah

menyesuaikan tuntuan kondisi yang juga berubah (transformative capacities).

Perubahan sosial-budaya sangat erat kaitannya dengan perkembangan zaman.

Oleh karena itu, perubahan sosial-budaya merupakan suatu keniscayaan dalam

masyarakat. Dalam hal ini, nilai-nilai budaya yang telah lama hidup dalam

masyarakat diupayakan tetap lestari dan dapat menjadi katalisator dalam

menghadapi perubahan zaman. Karakteristik masyarakat Indonesia beragam.

Sangat mudah terjadi gesekan dan salah paham. Berbagai kasus konflik

berlatar belakang etnis sangat mudah berkembang. Lembaga Ketahanan

Nasional (Lemhannas) RI menyebutkan ketahanan nasional harus ditopang

oleh unsur-unsur kekuatan yang menyatu seperti sosial dan budaya guna

menghadapi segala macam tantangan, seperti radikalisme, sektarianisme,

krisis karakter dan budaya, krisis kebangsaan dan bernegara serta terpaan

ideologi trans-nasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana

keberterimaan masyarakat terhadap etnis dan agama lain sebagai bagian dari

kehidupan mereka perlu dilihat sebagai salah satu indikator ketahanan sosial

budaya masyarakat Indonesia.

Dalam rangka membangun karakter bangsa (national character building),

kebudayaan menjadi ujung tombak karena sasaran utama adalah penguatan

sumber daya manusia. Perlu dibangun nilai-nilai universal yang mampu

menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat, bukan malah menjadikan nilai-

nilai tradisi sebagai penguatan terhadap sikap-sikap primordial dan fanantisme

kedaerahan dan keagamaan yang kuat.

Indonesia merupakan negara multietnis dan multiagama. Dalam hal etnis,

Indonesia memiliki sedikitnya 300 kelompok etnis dan berdasarkan sensus

Page 31: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

23

penduduk tahun 2010, jumlah etnis atau sukubangsa tidak kurang dari 1.340.

Jika dilihat dari komposisi agama, Islam merupakan agama paling besar

jumlah pemeluknya yang mencapai 88%, selebihnya adalah pemeluk Kristen,

Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, dan penganut aliran-aliran kepercayaan.

Konsekuensi dari keberagaman etnis dan agama tersebut sangat

memungkinkan terjadi gesekan-gesekan di antara warga, yang sebagian

besarnya berujung pada konflik berdarah. Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi),

Sampit (Kalimantan), Sambas (Kalimantan), Papua dan sejumlah daerah lain

tercatat pernah mengalami konflik berdarah berlatar belakang etnis dan agama.

Konflik tersebut memberikan dampak buruk yang cukup besar bagi perjalanan

kehidupan bangsa ini. Stigmatisasi terhadap etnis dan agama tertentu masih

terjadi hingga saat ini. Adanya kecurigaan-kecurigaan terhadap kelompok etnis

dan agama lain jika menyelenggarakan kegiatan adat/agamanya. Oleh karena

itu, untuk menjamin hubungan antarsukubangsa dan antaragama dalam

suasana yang harmonis patut menjadi perhatian pemerintah karena hal itu

merupakan salah satu bentuk dari ketahanan sosial budaya masyarakat

Indonesia.

Ketahanan sosial budaya dapat dimaknai sebagai kondisi dinamis yang berisi

keuletan dan ketangguhan yagn mengandung kemampuan mengembangkan

kekuatan nasional di dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman,

gangguan, hambatan, dan tantangan baik yang datang dari dalam maupun luar.

Kebudayaan sendiri merupakan gambaran seluruh cara hidup yang melembaga

dalam suatu masyarakat yang manifestasinya tampak dalam tingkah laku yang

dapat dipelajari. Dengan demikian, ketahan sosial budaya yang dibentuk oleh

kekuatan kebudayaan tertentu bisa dipelajari dan diupayakan untuk

meningkatkan kualitasnya. Ternyata kebudayaan mampu mengikat individu

untuk mewujudkan kesatuan dan melakukan aktivitas bersama dalam rangka

mempertahankan kehidupannya. Menurut Koentjaranignrat, nilai budaya

bangsa Indonesia mengandung empat konsep, yaitu (1) Manusia itu hidup

sendiri di dunia, tetapi dikelilingi komunitas, masyarakat, dan alam sekitarnya;

(2) Segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tergantung kepada

sesamanya; (3) Manusia harus berusaha untuk sedapat mungkin memelihara

hubungan baik dengan sesamanya, yang terdorong oleh jiwa sama rata-sama

rasa; (4) Manusia sedapat mungkin untuk bersifat conform, berbuat sama dan

bersama dalam komunitasnya, yang terdorong oleh rasa sama tinggi dan sama

rendah.

Page 32: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

24

D. Relevansi Dimensi Warisan Budaya untuk Pembangunan

Kebudayaan

Warisan budaya atau tinggalan budaya dapat didefinisikan sebagai perangkat-

perangkat simbol kolektif yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya

dari kolektivitas pemiliki simbol tersebut. Secara garis besar, warisan budaya

dapat dibedakan menjadi dua, tangible (berwujud) dan intangible (tak

berwujud). Dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, penekanan

warisan budaya hanya pada yang bersifat tangible, sesuai dengan pasal 1,

bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda

cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar

budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu

dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses

penetapan.

Warisan budaya adalah benda atau atribut tak berbenda yang merupakan jati

diri suatu masyarakat atau kaum yang diwariskan dari generasi-generasi

sebelumnya, yang dilestarikan untuk generasi-generasi yang akan datang.

Warisan budaya dapat berupa benda, seperti monumen, artefak, dan kawasan,

atau tak benda, seperti tradisi, bahasa, dan ritual (Tjahjono, 2014). Pemaknaan

warisan budaya yang lain adalah ekspresi cara hidup yang dikembangkan oleh

suatu komunitas dan diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk adat

istiadat, praktik, tempat, benda, ekspresi dan nilai-nilai artistik. Warisan

Budaya sering

dinyatakan sebagai

Warisan Budaya

Takbenda atau benda

(ICOMOS, 2002).

Dalam UU No. 5

Tahun 2017 Tentang

Pemajuan

Kebudayaan, warisan

budaya identik dengan

istilah Objek Pemajuan

Kebudayaan (OPK),

yang meliputi: tradisi

lisan, manuskrip, adat

istiadat, ritus,

pengetahuan

tradisional, teknologi

WARISAN BUDAYA

Indikator Diskripsi

Pengelolaan

Warisan Budaya

Benda dan

Takbenda Secara

Berkelanjutan

Persentase benda, bangunan,

struktur, dan situs cagar budaya

yang telah ditetapkan terhadap total

registrasi

Persentase warisan budaya takbenda

yang telah ditetapkan terhadap total

registrasi

Pelestarian

(Pelindungan,

Pengembangan, dan

Pemanfaatan)

Masyarakat

terhadap Warisan

Budaya

Persentase penduduk usia 10 tahun

ke atas yang menggunakan bahasa

daerah di rumah atau dalam

pergaulan sehari-hari

Persentase penduduk usia 10 tahun

ke atas yang menonton secara

langsung pertunjukkan seni

Persentase penduduk usia 10 tahun

ke atas yang mengunjungi

peninggalan sejarah/wardun

Persentase masyarakat yang

menggunakan produk tradisional

Page 33: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

25

tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional (Pasal 5).

Upaya pengelolaan dan pelestarian (pelindungan, pengembangan, dan

pemanfaatan) terhadap OPK, serta pembinaan terhadap sumber daya manusia

dan lembaga kebudayaan berdampak terhadap pembangunan kebudayaan.

Warisan budaya, dalam arti luasnya, merupakan produk dan proses, kekayaan

sumber daya msyarakat yang diwariskan dari masa lalu. Warisan budaya juga

merupakan hasil pemikiran dan proses masa sekarang yang akan

dianugerahkan untuk kepentingan generasi mendatang itu tidak hanya

mencakup warisan yang berwujud, tetapi juga alami dan tidak berwujud.

Namun, sumber daya ini adalah "kekayaan yang rapuh", dan karena itu

diperlukan kebijakan dan model pengembangan yang mampu melestarikan dan

menghormati keanekaragaman dan serta keunikannya, karena sekali hilang

sumber daya itu sukar dapat diperbarui (UNESCO, 2014).

Saat ini, warisan budaya secara inheren terkait dengan tantangan paling

mendesak yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan; mulai dari

perubahan iklim dan bencana alam (seperti hilangnya keanekaragaman hayati

atau akses ke air dan makanan yang aman), hingga konflik sosial dan politik,

pendidikan, kesehatan, migrasi, urbanisasi, marginalisasi, atau ketidaksetaraan

ekonomi. Untuk alasan ini, warisan budaya dianggap "penting untuk

mempromosikan perdamaian dan pembangunan sosial, lingkungan dan

ekonomi yang berkelanjutan".

Gagasan tentang warisan penting untuk budaya dan pembangunan sejauh itu

merupakan 'modal budaya' masyarakat kontemporer. Ini berkontribusi pada

revalorisasi terus-menerus kebudayaan dan identitas dan merupakan

kendaraan penting untuk mentransmisikan keahlian, keterampilan, dan

pengetahuan antar generasi. Ini juga memberikan inspirasi untuk kreativitas

dan inovasi yang menghasilkan produk-produk budaya kontemporer masa

depan.

Warisan budaya memiliki potensi untuk mempromosikan akses

keanekaragaman budaya dan apresiasi terhadapnya yang dapat memperkaya

modal sosial dengan membentuk rasa memiliki individu maupun kolektif yang

mendukung terwujudnya kohesi sosial dan teritorial. Selain itu, warisan

budaya memperoleh signifikansi ekonomi yang besar bagi sektor pariwisata di

banyak negara, sementara pada saat yang sama memunculkan tantangan baru

untuk melestarikannya.

Pengelolaan potensi pengembangan warisan budaya membutuhkan

pendekatan yang berfokus pada keberlanjutan. Dalam hal ini, keberlanjutan

butuh untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara mendapatkan

Page 34: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

26

manfaat dari warisan budaya pada hari ini dan melestarikan kekayaan yang

rapuh itu untuk generasi mendatang.

Penggabungan yang tepat antara warisan budaya dan pembangunan

berkelanjutan membutuhkan perlindungan yang konsisten dari kondisi

lingkungan dan tindakan-tindakan yang merugikan, tetapi juga bagaimana

memelihara dan memperbaharui sumber daya itu secara terus menerus. Setiap

pendekatan yang menempatkan warisan budaya sebagai karya masa lalu akan

menimbulkan risiko mengubahnya menjadi entitas yang tetap dan beku, serta

kehilangan relevansinya untuk saat ini dan untuk masa depan. Memang,

pemahaman tentang warisan harus sedemikian rupa sehingga ingatan kolektif

masa lalu dan praktik-praktik tradisional atas fungsi sosial dan budaya warisan

tersebut, terus-menerus direvisi dan diperbarui, sehingga memungkinkan

setiap masyarakat untuk menjaga hubungan dengannya dan tetap

mempertahankan pemikiran, makna, dan fungsinya di masa depan.

Ketika melihat pentingnya warisan budaya dalam membangun kesejahteraan

hidup manusia, maka CDIS memberi perhatian yang besar pada proses-proses

yang keberlanjutan. Dibutuhkan hadirnya pandangan bahwa kelestarian

warisan akan sangat bergantung pada kebijakan dan tindakan yang menjamin

pelindungan kekayaan warisan budaya dengan mengatasi tantangan dan

dampak-dampak yang disebabkan oleh globalisasi, penelantaran, dan

eksploitasi berlebihan. Pelindungan itu dapat dilakukan dengan berinvestasi

dalam proses valorisasi dan revitalisasi untuk menciptakan kondisi yang

mampu menjamin keberadaan warisan budaya dan menghasilkan buah

pemikiran baru di masa depan. Pilar aksi publik ini memberikan dasar bagi

keberlanjutan warisan budaya itu masa sekarang serta kapasitasnya untuk

berkontribusi kepada pembangunan manusia yang lebih berkelanjutan di masa

depan.

E. Relevansi Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya Untuk Pembangunan

Kebudayaan

Ekspresi budaya memiliki peran penting dalam pembangunan kebudayaan.

Budaya hanya dapat berkembang ketika diberikan kebebasan untuk

berekspresi sehingga budaya itu tidak terkukung dalam lingkungannya sendiri

dan menghadapi resiko kepunahan yang besar akibat, semakin berkurang

jumlah pendukung yang menyelenggarakannya.

Page 35: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

27

Sejak tahun 2009, Indonesia melalui Bappenas dan BPS menyusun Indeks

Demokrasi Indonesia (IDI) bertujuan untuk mengkuantifikasikan

perkembangan

demokrasi pada

tingkat provinsi di

Indonesia. Atau

dengan kata lain

dapat dikatakan

bahwa Indonesia

mencoba mengukur

besar ruang

kebebasan ekspresi

yang ada di

kalangan

masyarakat ataupun

pemerintah pusat

dan atau daerah.

Gambaran yang diperoleh dari IDI mempunyai berbagai manfaat, yaitu

pertama mengenai studi perkembangan demokrasi di Indonesia karena tingkat

perkembangan tersebut didasarkan atas data-data yang jelas dengan tolok ukur

yang jelas pula. Data-data yang diperoleh dari IDI dapat membantu mereka

yang mempelajari perkembangan demokrasi dan demokratisasi di Indonesia,

seperti para mahasiswa, ilmuwan, dan wartawan.

Kedua bagi perencanaan pembangunan politik pada tingkat provinsi. Data-data

yang disampaikan oleh IDI mampu menunjukkan aspek atau variabel atau

indikator mana saja yang tidak atau kurang berkembang di sebuah provinsi

sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh

pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait untuk meningkatkan

perkembangan demokrasi di provinsi bersangkutan. Ketiga Aspek demokrasi

dalam penyusunan IDI adalah Kebebasan Sipil (Civil Liberties), Hak-Hak

Politik (Political Rights) dan Lembaga-lembaga Demokrasi (Institution of

Democracy).

Konsep IDI menganggap bahwa demokrasi, dalam pengertian poliarki ini,

adalah sebuah sistem pemerintahan dengan ciri-ciri sebagai berikut: Adanya

kebebasan warga negara untuk: (1) membentuk dan ikut serta dalam

organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4)

melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan

dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik penting, (5)

memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) ada pemilihan umum yang

jurdil, (7) adanya sumber-sumber informasi alternatif di luar yang diberikan

KEBEBASAN MENGEKSPRESIKAN BUDAYA

Indikator Diskripsi

Pengelolaan

Warisan Budaya

Benda dan

Takbenda Secara

Berkelanjutan

Persentase benda, bangunan, struktur, dan

situs cagar budaya yang telah ditetapkan

terhadap total registrasi

Persentase warisan budaya takbenda yang

telah ditetapkan terhadap total registrasi

Pelestarian

(Pelindungan,

Pengembangan,

dan Pemanfaatan)

Masyarakat

terhadap Warisan

Budaya

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas

yang menggunakan bahasa daerah di rumah

atau dalam pergaulan sehari-hari

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas

yang menonton secara langsung

pertunjukkan seni

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas

yang mengunjungi peninggalan

sejarah/wardun

Persentase masyarakat yang menggunakan

produk tradisional

Page 36: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

28

pemerintah, dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan

pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk ekspresi

keinginan lainnya, dan karena itu harus ada jaminan pemilhan umum secara

periodik sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terbuka untuk

dievaluasi dan dipertanggungjawabkan dalam pemilihan umum tersebut.

Untuk aspek kebebasan sipil memiliki beberapa variabel, yaitu:

1. Kebebasan berkumpul dan berserikat. Berkumpul adalah aktivitas

kemasyarakatan dalam bentuk pertemuan yang melibatkan lebih dari 2

orang. Sedangkan berserikat adalah mendirikan atau membentuk

organisasi, baik terdaftar atau tidak terdaftar di lembaga pemerintah.

2. Kebebasan Berpendapat; yakni kebebasan individu dan kelompok untuk

mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, dan perasaan, tanpa

adanya rintangan berupa tekanan fisik, psikis dan pembatasan.

3. Kebebasan Berkeyakinan; yakni kebebasan individu untuk untuk

meyakini kepercayaan atau agama diluar kepercayaan atau agama yang

ditetapkan pemerintah, serta tidak adanya tindakan represi dari satu

kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain yang menolak

kebijakan pemerintah terkait dengan salah satu keyakinan.

4. Kebebasan dari Diskriminasi; yakni kebebasan dari perlakuan yang

membedakan individu warga negara dalam hak dan kewajiban yang dia

miliki dimana pembedaan tersebut didasarkan pada alasan gender, agama,

afiliasi politik, suku/ras, umur, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan

hambatan fisik.

Berdasarkan data Indeks Demokrasi Indonesia yaitu sebesar 67,30 dengan

aspek kebebasan sipil itu cukup tinggi, yaitu 86,97. Hal ini menunjukkan

bahwa secara nasional apresiasi untuk kebebasan sipil di Indonesia itu sudah

cukup baik.

Hasil riset ekspresi budaya membangun pada masyarakat Jeron Beteng,

kecamatan Kraton Yoyakarta menunjukkan bahwa ketika masyarakat

diberikan kebebasan untuk mengaktualisasikan budaya dan agamanya, maka

akan terjadi perubahan dalam masyarakat tersebut. Perubahan budaya yang

terjadi adalah a) pertimbangan-pertimbangan komersial mulai mempengaruhi

pola pikir masyarakat dalam pemanfaatan ruang/rumahnya bahkan mulai

mempengaruhi semangat kerja dan penetapan tujuan hidup; b) kepercayaan

dalam budaya Jawa (paham kosmos) mulai berkurang sehingga masyarakat

mulai mempertimbangkan ajara-ajaran secara benar; c) kebutuhan terhadap

privasi individu mulai meningkat, lebih dominan dibandingkan dengan

pemahaman kebersamaan; d) minat seni masyrakat mulai bergeser ke arah seni

modern; e) mulai tumbuh sifat indivualislitis. Sebaliknya, keberlanjutan

Page 37: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

29

budaya masyarakat yang masih tetap dipertahankan adalah (a) prinsip rukun

telah dipertahankan dan mewarnai berbagai interaksi sosial masyarakat sehari-

hari dan b) klasifikasi komunikasi masih dipertahankan terkait dengan

klasifikasi sosial.

Selain kebebasan berekspresi, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi

itu perlu dilakukan untuk pembangunan kebudayan. Hasil riset Kholis Roisah

menunjukkan bahwa terjadi persoalan pada ekspresi budaya tradisional (EBT)

(Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folkore) sebagai salah satu

bentuk dari kekayaan intelektual tradisional. EBT memiliki nilai budaya yang

sangat besar sebagai bentuk warisan budaya yang terus menerus berkembang

bahkan dalam masyarakat modern di penjuru dunia. Sementara di sisi lain,

mereka juga memegang peran penting sebagai bagian dari identitas sosial dan

wujud ekspresi budaya dari suatu masyarakat lokal. Ekspresi budaya

tradisional Indonesia juga mempunyai potensi ekonomi yang menjanjikan

terutama terkait dengan industri pariwisata dan industri ekonomi kreatif. Di

bidang industri pariwisata misalnya, industri pariwisata di Bali yang hampir

semuanya berbasis EBT mempunyai sumbangan yang sangat besar sebagai

sumber pendapatan ekonomi daerah dan menjadikan Bali dikenal seluruh

dunia. Di bidang industri ekonomi kreatif terutama produk kerajinan berbasis

EBT seperti, kerajinan batik, ukir kayu, ukir tembaga, perak adalah produk

mempunyai sumbangan yang cukup besar untuk menyumbang devisa

negara.Perlindungan HKI ini ternyata tidak mampu melindungi Ekspresi

Budaya Tradisional (EBT) secara utuh. Ketidak mampuan untuk memberikan

perlindungan hukum terhadap Ekspresi Budaya Tradisional melalui sistem

Hukum Kekayaan Intelektual (HKI), karena perbedaan karakteristik antara

HKI dan EBT, sebagaimana terlihat dalam dialektika pada konsep dan

karakteristik antara HKI dan EBT. Walaupun sama-sama bersumber pada

kreativitas intelektual manusia tetapi antara HKI dan EBT selebihnya terdapat

perbedaan dalam karakternya. Bentuk gagasan HKI harus diwujudkan dalam

bentuk ekspresi yang nyata (in material form) bisa dilihat dan di dengar, tapi

kalau dalam EBT bentuk gagasan tidak selalu dalam ekspresi nyata, bisa dalam

bentuk ekspresi verbal/oral, ekspresi gerak ataupun ekspresi bunyi (tidak

berwujud). Gagasan dalam HKI berbentuk karya cipta (works) dalam seni dan

ilmu pengetahuan, disain, merek, temuan teknologi dan species sebagai karya

atau temuan yang baru (novelty) dan tidak sama dengan pengungkapan

sebelumnya (originality), kalau dalam EBT hasil gagasan dalam bentuk karya

cipta seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun

temurun.

Page 38: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

30

Indikator Dimensi Kebebasan Ekspresi Budaya dalam Indeks Pembangunan

Kebudayaan adalah sebagai berikut:

1. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan saran atau

pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir

2. Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti kegiatan

organisasi

3. Persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung

pertunjukkan seni

4. Persentase rumah tangga yang menghadiri atau menyelenggarakan

upacara adat

Indikator dalam Indeks Pembangunan Kebudayaaan ini sudah reprensentatif

untuk mengukur kebebasan ekspresi budaya yang berkembang di masyarakat.

Untuk indikator Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang memberikan

saran atau pendapat dalam kegiatan rapat selama satu tahun terakhir dan

persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang aktif mengikuti kegiatan

organisasi merupakan indikator untuk mengukur kebebasan ekspresi budaya

atau dapat juga dikatakan demokrasi yang terjadi masyarakat secara

keseluruhan, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan, seperti yang di

uraikan pada Indeks Demokrasi Indonesia. Sedangkan untuk indikator

persentase penduduk yang pernah terlibat sebagai pelaku/pendukung

pertunjukkan seni dan persentase rumah tangga yang menghadiri atau

menyelenggarakan upacara adat merupakan indikator yang mengukur ekspresi

budaya tradisional yang terjadi di suatu daerah yang melibatkan kebudayaan

tradisonal dari setiap daerah tertentu.

F. Relevansi Dimensi Literasi untuk Pembangunan Kebudayaan

Indikator yang digunakan untuk

mengukur Budaya Literasi masih

terbatas pada literasi membaca.

Padahal, jika berbicara tentang

budaya literasi, kegiatan

membaca erat kaitannya dengan

kemampuan menulis. Keduanya

memiliki korelasi positif dengan

kemampuan berbahasa dan

penguasaan kosakata. Jika

seseorang memiliki kegemaran

membaca dan kemampuan

LITERASI

Indikator Diskripsi

Budaya

Literasi dalam

Masyarakat

Persentase penduduk usia 10

tahun ke atas yang membaca

selain kitab suci baik cetak

maupun elektronik dalam satu

minggu terakhir

Persentase penduduk berumur

10 tahun ke atas yang

mengakses internet dalam tiga

bulan terakhir

Persentase penduduk usia 10

tahun ke atas yang

mengunjungi perpustakaan/

memanfaatkan taman bacaan

masyarakat

Page 39: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

31

menulis yang baik, maka ia akan bisa menemukan kata atau istilah yang tepat

untuk mengungkapkan suatu hal. Budaya literasi yang kuat ditandai dengan

adanya kecakapan membaca dan menulis yang baik. Oleh sebab itu, dalam

menyusun Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) mungkin perlu untuk

memasukkan indikator-indikator yang bisa mengukur kemampuan menulis.

Dalam Gerakan Literasi Nasional (GLN), indikator-indikator untuk mengukur

tingkat literasi dilihat dalam tiga arena yaitu sekolah, keluarga, dan

masyarakat. Kemampuan literasi di tingkat sekolah diukur dengan melihat

indikator-indikator yang berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat.

1. Indikator-indikator berbasis elas di antaranya:

2. jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala sekolah, guru,

dan tenaga kependidikan,

3. intensitas pemanfaatan dan penerapan literasi numerasi dalam kegiatan

pembelajaran, baik berbasis masalah maupun berbasis proyek,

4. Skor PISA, PIRLS, dan INAP mengenai literasi membaca.

Indikator-indikator untuk basis budaya sekolah, di antaranya:

1. jumlah dan variasi bahan bacaan,

2. frekuensi peminjaman bahan bacaan di perpustakaan,

3. jumlah kegiatan sekolah yang berkaitan dengan literasi baca-tulis,

4. terdapat kebijakan sekolah mengenai literasi baca-tulis,

5. jumlah karya (tulisan) yang dihasilkan siswa dan guru, dan

6. terdapat komunitas baca-tulis di sekolah.

Indikator-indikator untuk berasis masyarakat, di antaranya:

1. jumlah sarana dan prasarana yang mendukung literasi baca-tulis di sekolah

dan

2. tingkat keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mengembangkan

literasi baca-tulis di sekolah.

Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian literasi baca-tulis dalam

keluarga di antaranya:

1. jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki keluarga

2. frekuensi membaca dalam keluarga setiap harinya

3. jumlah bacaan yang dibaca anggota keluarga

4. jumlah tulisan anggota keluarga (memo, kartu ucapan, baik cetak maupun

elektronik, catatan harian di buku atau blog, artikel, cerpen, atau karya

sastra lain), dan

5. jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan berdampak pada

keluarga.

Page 40: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

32

Indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian literasi baca-tulis di

masyarakat, di antaranya:

1. jumlah dan variasi bahan bacaan yang dimiliki fasilitas public;

2. frekuensi membaca bahan bacaan setiap hari;

3. jumlah bahan bacaan yang dibaca oleh masyarakat;

4. jumlah partisipasi aktif komunitas, lembaga, atau instansi dalam

penyediaan bahan bacaan;

5. jumlah fasilitas publik yang mendukung literasi baca tulis;

6. jumlah kegiatan literasi baca-tulis yang ada di masyarakat;

7. tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan literasi;

8. jumlah publikasi buku per tahun;

9. kuantitas pengguna Bahasa Indonesia di ruang publik; dan

10. jumlah pelatihan literasi baca-tulis yang aplikatif dan berdampak pada

masyarakat.

Indikator-indikator yang telah disusun oleh Tim GLN di atas cukup

komprehensif untuk mengukur pencapaian literasi, khususnya literasi baca-

tulis, pada setiap aspek-aspek yang telah ditentukan tersebut. Adapun untuk

kepentingan Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) bisa diadopsi beberapa

indikator tersebut untuk memperkaya Dimensi Budaya Literasi.

Sekolah merupakan arena yang ideal untuk menumbuhkan budaya literasi,

khususnya di kalangan peserta didik. Oleh karena itu, indikator-indikator yang

bisa dipertimbangkan untuk digunakan oleh Tim Penyusun IPK adalah antara

lain, jumlah pelatihan fasilitator literasi baca-tulis untuk kepala sekolah, guru,

dan tenaga kependidikan. Indikator ini penting karena tingkat kemampuan

membaca dan menulis siswa yang baik juga didukung oleh kecakapan literasi

kepala sekolah, guru, maupun tenaga kependidikan di sekolah sehingga budaya

literasi menjadi luas spektrumnya, tidak hanya diukur dari kemampuan literasi

peserta didik saja.

Puslitjakdikbud tahun 2017 melakukan kajian dalam rangka mengevaluasi

program literasi, khususnya Gerakan Literasi Sekolah. Tujuan dari kajian

tersebut adalah mengevaluasi program literasi di tingkat SD dan SMP di daerah

yang dikategorikan sebagai daerah dengan tingkat literasi rendah dan daerah

dengan tingkat literasi tinggi. Kategori ini diperoleh dari Nilai Capaian Budaya

Literasi Sekolah. Dari pengkategorian tersebut, Kabupaten Lombok Barat dan

Kota Palangkaraya mewakili daerah dengan tingkat literasi rendah serta

Kabupaten Malang dan Kota Padang mewakili daerah dengan tingkat literasi

tinggi. Hasil temuan kajian tersebut mengungkapkan bahwa berdasarkan

indikator untuk mengukur tingkat ketercapaian literasi, pelaksanaan GLS di

Sekolah Rujukan dan Sekolah Bukan Rujukan menunjukkan hasil yang

Page 41: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

33

berbeda. Pada SD Rujukan rata-rata pelaksanaan GLS mencapai 93 persen,

SMP Rujukan sebesar 77 persen, sedangkan di SD dan SMP Bukan Rujukan

rata-rata berada di kisaran 60 persen. Untuk kepentingan IPK Dimensi Budaya

Literasi bisa dipertimbangkan untuk memasukkan indikator ketercapaian

literasi berdasarkan daerah dengan tingkat literasi rendah dan tinggi. Datanya

bisa diperoleh dari Nilai Capaian Budaya Literasi di setiap sekolah di berbagai

daerah.

Kajian tersebut juga mengungkapkan bahwa pelaksanaan GLS masih banyak

mengalami hambatan terutama berkenaan dengan sumber daya pendukung,

seperti kondisi perpustakaan sekolah, ruang baca, dan jumlah buku, terutama

buku fiksi dan buku referensi. Dalam kaitannya dengan IPK, khususnya

Dimensi Budaya Literasi, dirasa perlu diusulkan indikator-indikator yang

mampu mengukur ketersediaan sarana dan prasarana pendukung literasi

terhadap kemampuan membaca dan menulis, baik di sekolah, keluarga, mapun

masyarakat. Selain itu, keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam

mengembangkan literasi baca-tulis juga berperan besar dalam mendukung

budaya literasi, sehingga indikator-indikator yang bisa mengukur tingkat

keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendukung literasi baca-tulis

perlu dipertimbangkan.

Tahun 2018 Puslitjakdikbud juga melakukan sebuah kajian untuk melihat

aktivitas literasi masyarakat. Kajian ini bertujuan untuk menhasilkan Indeks

Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) dengan mengkaji beberapa hal.

1. Mengkaji dimensi dan indikator apa saja yang dapat menggambarkan

aktivitas literasi membaca masyarakat;

2. Mengkaji dan menentukan cara penyusunan indeks yang tepat untuk

mengukur tingkat aktivitas literasi tersebut.

Kajian ini menghasilkan 4 (empat) dimensi untuk menyusun Indeks Alibaca,

yaitu Dimensi Kecakapan (Proficiency), Dimensi Akses (Access), Dimensi

Alternatif (Alternatives), dan Dimensi Budaya (Culture). Setiap dimensi

dianggap sebagai faktor yang secara Bersama-sama turut mendukung

terjadinya aktivitas literasi membaca. Kemudian ditetapkanlah indikator-

indikator untuk setiap dimensi tersebut, antara lain:

1. Dimensi Kecakapan: melek huruf latin, rata-rata lama sekolah;

2. Dimensi Akses: perpus sekolah, tenaga pengelola perpus sekolah,

perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, membeli surat kabar/koran,

membeli majalah/tabloid

3. Dimensi Alternatif: sekolah dengan jaringan internet, mengakses internet,

menggunakan computer

Page 42: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

34

4. Dimensi Budaya: membaca surat kabar, membaca buku, membaca artikel

di media elektronik/internet, mengunjungi perpustakaan, dan

memanfaatkan taman bacaan.

Indikator-indikator yang digunakan dalam kajian tersebut juga digunakan oleh

IPK untuk dimensi Budaya Literasi. Hanya saja beberapa indikator dalam

kajian ini, seperti rata-rata lama sekolah, melek huruf latin, tenaga

perpustakaan sekolah/umum, membeli surat kabar/majalah/tabloid, dapat

digunakan dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK) untuk memperkaya

Dimensi Literasi.

Aspek-aspek (indikator) literasi dilihat dari sudut pandang industri penerbitan

(Studi BFI dan Komite Buku Indonesia):

1. Tahun 2018 tercatat 68.290 buku yang ada di Indonesia. Terjual

34.710.791 eksemplar dari 44.599 judul buku.

2. Dari sudut pandang penerbitan, beragamnya daerah di Indonesia dapat

dibangun dengan melihat beberapa aspek:

a. Tingkat melek huruf;

b. Jumlah perpustakaan lokal (negeri dan swasta);

c. Komunitas terkait buku (perpustakaan bergerak);

d. Jumlah koleksi buku perpustakaan;

e. Statistik penerbit lokal, buku yang diterbitkan, statistik sekolah,

universitas, dan fasilitas pendidikan.

Page 43: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

35

Berdasarkan data dari Perpusnas, terdapat 8.807 industri penerbitan tersebar di

sepanjang lanskap Indonesia yang menerbitkan lebih dari 30.000 judul buku

setiap tahunnya. Setiap tahunnya ada kecenderungan permintaan buku

meningkat terutama musim ajaran baru sekolah. oleh karena itu, ada hubungan

yang erat antara pasar penerbitan dengan sistem pendidikan di Indonesia.

Sumber: Tren ‘musiman’ pencarian dan publikasi di Indonesia (Google Trends, 2019)

Aspek penerbitan buku memiliki hubungan dengan tingkat literasi di suatu

daerah. Semakin maju daerahnya, fasilitas literasi yang tersedia, misalnya toko

Page 44: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

36

buku, perpustakaan, dan taman bacaanjuga lebih banyak dibanding dengan

daerah yang dikategorikan berkembang maupun belum berkembang, sehingga

budaya literasi juga bisa diukur dari jumlah penerbitan buku di suatu daerah.

G. Relevansi Dimensi Gender untuk Pembangunan Kebudayaan

Ketidaksetaraan pada sektor

pendidikan telah menjadi faktor

utama yang paling berpengaruh

terhadap ketidaksetaraan gender

secara menyeluruh. Latar belakang

pendidikan yang belum setara

antara laki-laki dan perempuan

menjadi faktor penyebab

ketidaksetaraan gender dalam

semua sektor seperti lapangan

pekerjaan, jabatan, peran di

masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat (Suryadi dan Idris,

2004: 17).Masalah kesetaraan gender pada bidang pendidikan sudah menjadi

tuntutan yang sifatnya universal. Deklarasi dunia HAM menyatakan

pendidikan adalah hak setiap orang, untuk itu orang harus mempunyai

kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan dengan tanpa

membedakan jenis kelamin. Pada tataran internasional, telah disepakati

kebijakan education for all di Dakar Senegal, dengan salah satu komponennya

adalah kesetaraan gender bidang pendidikan (Nurhaeni, 2009b: 1-2):

1. Menjamin bahwa menjelang 2015 semua anak, khususnya anak

perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk

minoritas etnik mempunyai akses dalam menyelesaikan pendidikan dasar

yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik.

2. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat literacy orang dewasa menjelang

2015, terutama bagi kaum perempuan dan akses yang adil pada pendidikan

dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.

3. Menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah

menjelang 2005 dan mencapai persamaan pendidikan menjelang 2015

dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi

yang sama dalam pendidikan dasar yang berkualitas baik.

4. Melaksanakan strategi-strategi terpadu untuk persamaan gender dalam

pendidikan yang mengakui perlunya perubahan sikap, nilai, dan praktek.

GENDER

Indikator Diskripsi

Kesetaraan

di Bidang

Pekerjaan

Rasio Tingkat partisipasi

angkatan kerja usia 15 tahun ke

atas perempuan terhadap laki-

laki

Kesetaraan

di Bidang

Pendidikan

Rasio penduduk 25 tahun ke

atas perempuan terhadap laki-

laki yang memiliki ijazah

minimal SM/Sederajat

Kesetaraan

di Bidang

Politik

Rasio anggota parlemen

perempuan terhadap anggota

parlemen laki-laki

Page 45: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

37

Dalam UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa laki-laki dan perempuan

mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk

pembangunan di bidang pendidikan. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia yang memuat pasal-pasal yang mendukung kesetaraan

pendidikan yang menjamin hak perempuan untuk memperoleh pendidikan,

dalam Pasal 48: “Wanita berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran di

semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang

telah ditentukan”.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

menetapkan bahwa sistem pendidikan harus mampu menjamin pemerataan

kesempatan pendidikan. Sejalan dengan itu, Pasal 4 ayat 1 menyebutkan

bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta

tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai

keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Dengan meningkatnya pendidikan, diharapkan kualitas sumber daya

perempuan akan semakin meningkat, sehingga perempuan mampu

memanfaatkan berbagai kesempatan dan peluang yanga da dengan sebaik-

baiknya serta mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal

mungkin (Kintamani, 2008: 1071). Pendidikan yang rendah sangat

berpengaruh pada akses terhadap sumber-sumber produksi dimana mereka

lebih banyak terkonstentrasi pada pekerjaan informal yang berupah rendah

(Dzuhayatin, 2002: 45). Rendahnya tingkat pendidikan penduduk perempuan

akan menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar dalam

pembangunan (Suryadi, 2011: 11). Peningkatan taraf pendidikan dan

hilangnya diskriminasi gender dapat memberikan ruang bagi perempuan untuk

berperan dalam pembangunan dan ikut menentukan kebijakan di bidang

ekonomi, sosial, dan politik (Suryadi, 2001: 17-18).

Terdapat beberapa konsep mengenai gender, diantaranya adalah yang

diungkapkan oleh Mosse (2007; dalam Fitriatnti, 2012) bahwa gender

merupakan seperangkat peran yang diberikan kepada perempuan dan laki-laki,

bukan secara biologis dan peran ini dapat berubah sesuai dengan budaya, kelas

sosial, usia dan latar belakang etnis. Dalam hal ini, gender menentukan

berbagai pengalaman hidup, yang dapat menentukan akses terhadap

pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya. Dalam kaitan ini, gender

berkaitan dengan kualitas dan relasi yang dibentuk dalam hubungan kekuasaan

dan dominasi dalam struktur kesempatan hidup perempuan dan laki-laki,

pembagian kerja yang lebih luas dan pada gilirannya berakar pada kondisi

produksi dan reproduksi yang diperkuat oleh sistem budaya, agama dan

Page 46: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

38

ideologi yang berlaku dalam masyarakat (Ostergaard, 1997; dalam Fitriani,

2012).

Ann Oakley, mengatakan bahwa gender merupakan alat analisis yang baik

untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara

umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan

yang dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender

antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang,

melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi social budaya bahkan melalui

kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi”

secara social budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara

laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya menjadi seolah-olah

ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat

diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya

kodrat wanita adalah hasil konstruksi social dan budaya atau gender. Gender

mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang

bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai

dengan ketentuan sosial tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan

masyarakat dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan (Sutinah,

2004: 313:339).

Di dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat ketidaksetaraan berdasarkan

gender, hal ini mengacu pada ketidakseimbangan akses terhadap sumber-

sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber penting itu meliputi

barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan

medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan

pelatihan serta kebebasan dari paksaan atau sisksaan fisik. Dalam kaitan ini,

ketidaksetaraan gender merupakan sistem dan struktur di mana, kaum laki-laki

atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. perwujudan

ketidaksetaraan tersebut saling berkaitan, berhubungan dan saling

mempengaruhi secara dialektis. Dalam konteks ini, perbedaan gender telah

melahirkan berbagai ketidaksetaraan, terutama terhadap kaum perempuan

(Chafetz, 1991; dalam Fitrianti, 2012).

Perempuan merupakan bagian terbesar dari kaum miskin dan terpinggirkan di

seluruh dunia. Menurut Laporan Kesenjangan Gender Global dari Forum

Ekonomi Dunia 2018, akan dibutuhkan 202 tahun untuk menutup kesenjangan

gender ekonomi global dunia. Bentuk ketidaksetaraan ekonomi, misalnya

perempuan hanya dapat memiliki tanah di 41% dari negara yang disurvei. Di

bidang profesional, hanya 34% dari posisi manajerial yg dipegang perempuan.

Peran perempuan dalam ekonomi informal merupakan tantangan berbasis

gender lainnya dimana perempuan sebagai mayoritas dari ekonomi informal,

Page 47: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

39

menghabiskan dua kali lebih banyak waktu untuk tugas-tugas yang tidak

dibayar dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena ekonomi informal tidak

diatur, maka perempuan rentan terhadap eksploitasi dan pelecehan. Secara

politis, dari 149 negara yang disurvei, hanya 17 negara yang saat ini memiliki

perempuan sebagai kepala negara. Selain itu, hanya 18% yang menjadi menteri

dan 24% diantara para anggota parlemen di seluruh dunia terdiri atas

perempuan (World Economic Forum’s Global Gender Gap Report; 2018).

Terdapat temuan lainnya terkait gender, yang diungkapkan oleh Ruwaida

(2010) yaitu mengenai Respon Lokal dalam Pemberdayaan Ekonomi

Perempuan: Kajian Dinamika Lokal dalam Perspektif Gender, ia menyatakan

adanya anggapan bahwa jika partisipasi ekonomi perempuan dipandang

sebagai hak dasar, maka persoalan demokrasi ekonomi dalam konteks Otoda

menjadi hal yang relevan dan signifikan dengan keadilan gender. Terdapat

indikasi masih terbatasnya respon lokal karena tidak banyak inisiatif lokal

dalam merancang kebijakan yang bertujuan memberdayakan perempuan

sebagai pelaku ekonomi, kebijakan yang ada, khususnya temuan di Kabupaten

Lotim dan Bima, NTB yang masih cenderung mereplikasi upaya penguatan

kapasitas usaha dan pelaku usaha, tapi belum membangun kesadaran kritis dan

kemampuan perempuan untuk bersuara dan melakukan pilihan tindakan dalam

tatanan ekonomi yang tidak berkeadilan. Sementara itu, terdapat temuan

lainnya bahwa dalam penciptaan karya seni, sebagai wujud hasil proses

budaya, kadang-kadang menampakkan pembedaan kewenangan antara pria

dan wanita sehingga mengakibatkan pula perbedaan kepemilikan diantara

mereka, sebagai akibat sistem sosial budaya daripada didasarkan pada

kemampuan yang dimiliki oleh seseorang (Fakih, 1997; dalam Nugrahani &

Dwiyanto, 2002).

Di wilayah yang masih kental akan budaya patriarki, perempuan umumnya

lebih tertinggal dari laki-laki baik di bidang kesehatan, pendidikan dan

ekonomi. Hal ini terjadi karena norma yang ada pada budaya patriarki

seringkali merugikan perempuan dengan menempatkannya sebagai “warga

kelas dua” (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak

dan BPS, 2018).

Gender mengacu pada atribut, peluang sosial, dan hubungan yang terkait

dengan laki-laki dan perempuan. Atribut, peluang dan hubungan ini dibangun

dan dipelajari secara sosial melalui proses sosialisasi. Gender mengacu pada

atribut, harapan, dan norma sosial, perilaku, dan budaya yang terkait dengan

menjadi perempuan atau laki-laki (UN Women dalam World Bank, 2012).

Istilah gender seringkali disamaartikan dengan jenis kelamin. Padahal

keduanya merupakan hal yang berbeda. Jenis kelamin sendiri mengacu pada

Page 48: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

40

kondisi fisik yang secara lahiriah dimiliki oleh seseorang. Ketika seseorang

terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, terdapat perbedaan norma dan

perilaku antarkeduanya. Perbedaan perlakuan inilah yang kemudian

membentuk peran, perilaku, dan atribut yang dikonstruksikan secara sosial

dalam masyarakat yang seringkali disebut dengan gender (Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan BPS, 2018: 3).

Perbedaan perlakuan, norma dan pandangan yang terbentuk di masyarakat

antara laki-laki dan perempuan berdampak pada berbagai hal di kehidupan.

Diskriminasi gender menimbulkan perbedaan capaian antara laki-laki dan

perempuan yang disebut dengan ketimpangan gender. Di berbagai wilayah di

dunia, seperti di Indonesia, ketimpangan ini diperkuat dengan tumbuhnya

budaya patriarki yang lebih mengutamakan lakilaki dibanding perempuan.

Budaya patriarki menempatkan lakilaki sebagai pihak yang bertanggungjawab

pada peran publik, sedangkan perempuan hanya berkutat di peran domestik

(Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak dan BPS,

2018: 3).

Faktor sosial dan budaya yang selama ini berkembang di Indonesia

mengakibatkan perbedaan pandangan tentang pekerjaan antara laki-laki dan

perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab di sektor domestik,

sedangkan laki-laki di sektor publik. Sebagian perempuan yang memutuskan

untuk masuk ke dunia kerja pun tak jauh dari pekerjaan-pekerjaan rumah

tangga. Pekerja pabrik hampir sebagian besar adalah kaum perempuan, artinya

mereka masuk ke dunia yang tidak ada hubungannya dengan tugas domestik.

Meskipun demikian, ketika mereka kembali ker rumah memang pekerjaan

domestik by culture melekat dengan dirinya Mereka akan memasak, menyuci,

menyeterika pakaian, dan mengajar anak seperti lazimnya ibu rumah tangga.

Hal ini berdampak pada rendahnya partisipasi kerja perempuan terutama di

sektor formal. Padahal partisipasi perempuan di sektor formal menjadi hal

terpenting bagi pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kesetaraan antara

laki-laki dan perempuan (Corner, 2011). Kualitas sumber daya manusia,

karakteristik sosial, budaya, keadaan geografi dan masih banyak hal yang

berpengaruh terhadap pencapaian pemberdayaan gender setiap wilayah.

Berkaitan dengan gambaran tersebut, sangat penting bagi kita untuk

mewujudkan adanya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan,

khususnya jika dikaitkan dengan pemajuan kebudayaan. Apabila kita kembali

kepada tradisi mendidik anak di usia muda menjadi tanggung jawab dari ibu,

maka anak mengenal kebudayaan dari ibu bukan dari bapak, mereka mengenal

bahasa, jenis makanan, cara makan, istilah-istilah yang berhubungan dengan

lingkungan justru dari ibu. Maka sudah pada tempatnya bila perempuan justru

Page 49: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

41

ditempatkan pada baris pertama pemajuan kebudayaan, kalau istilah ini

diartikan sebagai proses pembangunan kebudayaan. Akan tetapi bila kata

‘pemajuan kebudayaan’ tersebut diganti dengan ‘keberlanjutan budaya’ maka

artinya menjadi lain sama sekali. Perempuan justru berperan sebagai transmiter

budaya jauh lebih dominan daripada laki-laki) Hal itu dapat didorong melalui

perlakuan yang adil atau tidak diskriminatif, baik terhadap perempuan,

maupun terhadap laki-laki, misalnya dalam hal akses terhadap sumber daya,

partisipasi atau pelibatan (keterwakilan) yang sama dalam angkatan kerja,

peran kontrol dalam memutuskan bagaimana menggunakan sumber daya dan

siapa yang memiliki akses terhadap sumber daya tersebut.

Page 50: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

42

Page 51: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

43

BAB IV

KEBUTUHAN DALAM KETERSEDIAAN

DATA KEBUDAYAAN

Kebudayaan dapat dipertimbangkan sebagai salah satu komponen yang

menentukan dalam pembangunan nasional secara berkelanjutan. Sehingga

nantinya IPK tidak hanya mengukur “upaya” pengelolaan kebudayaan yang

dilakukan baik oleh pemerintah maupun partisipasi setiap orang atau

masyarakat, namun juga kontribusi budaya terhadap pembangunan nasional.

Tentu indeks yang akurat, tidak hanya ditentukan dari dimensi dan indikator

yang representatif sebagai tolak ukur, namun juga sejauhmana pemerintah

menyediakan data terkait kebudayaan.

Dalam menentukan indikator-indikator dalam dimensi IPK, data begitu

penting. Selain data dari Ditjen Kebudayaan, dapat diperkirakan bahwa

indikator dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan banyak mengacu pada data

BPS yang selama ini banyak melakukan penghitungan statistik di bidang sosial

budaya. Terkait ketersediaan data, menjadi tugas pemerintah untuk membuat

platform data base kebudayaan yang terintegrasi antara pusat dan daerah.

Indikator-indikator pembangunan kebudayaan harus melalui metode ilmiah

yang dapat dipertanggungjawabkan dan mampu merepresentasikan kondisi

kebudayaan yang sesungguhnya.

Page 52: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

44

Page 53: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

45

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan.

Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Badan Ekonomi Kreatif.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Baker, Susan. 2006. Sustainable Development. New York: Routledge.

Dzuhayatin, Siti. 2002. “Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi”. Rifka

Media, No. 18, Edisi Agustus 2002, 40-50.

Elliot, Jennifer A. 2006. An Introduction to Sustainable Development. New

York: Routledge.

Fitriani, Rahmi. 2012. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ketidaksetaraan

Gender Dalam Pendidikan: Suatu Studi Pada Perempuan di

Kecamatan Majalaya, Kabupaten Karawang. TESIS FISIP UI,

DEPOK.

Gani, Darwis Suharman. 2007. Kebudayaan, Pendidikan, dan Pemberdayaan

Sumberdaya Manusia Indonesia. Jurnal Penyuluhan, Volume 3 No. 2.

Hawkes, Jon. 2001. The Fourth Pillar of Sustainability: Culture’s Essential

Role in Public Planning. Melbourne: Common Ground.

ICOMOS. 2002. International Cultural Tourism Charter. Principles And

Guidelines For Managing Tourism At Places Of Cultural And

Heritage Significance. ICOMOS International Cultural Tourism

Committee.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan BPS.

2018. Pembangunan Manusia Berbasis Gender. Jakarta: Kementerian

Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak.

Kintamani, Ida. 2008. “Kesenjangan Gender dalam Pemerataan dan Perluasan

Akses Pendidikan”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, XIV (75),

1069-1091.

Kotane, Inta. 2011. “Culture as an Element of Sustainable Development and

Urban Attraction Capacity”, Management Theory and Studies for

Rural Business and Infrastructure Development, Vol. 26, No. 2.

M. Djamal. Pendidikan dan Rekonstruksi Budaya. Jurnal Pendidikan Surya

Edukasi (JPSE), Volume 4, No. 1, Juni 2018, hlm. 48-61.

Page 54: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

46

Nurhaeni, Ismi Dwi Astuti. 2009b. Reformasi Kebijakan Pendidikan Menuju

Kesetaraan dan Keadilan Gender. Surakarta: UNS Press.

Nurse, Keith. 2007. “Culture as the Fourth Pillar of Sustanable Development”,

Small States: Economic Review and Basic Statistic, Vol. 11, January,

2007.

Ramadlan, M. Fajar Shodiq. 2013. “Revitalisasi Dimensi Budaya dalam

Pembangunan Berkelanjutan di Madura melalui Peran Kiai dan

Pesantren”, KARSA, Vo. 21. No. 1, Juni 2013.

Rhoades, Robert E. 2006. Development with Identity: Community, Culture,

and Sustainability in the Andes. Oxfordshire: CABI Publishing.

Sesditjen Kebudayaan. 2016. Laporan Akhir Indeks Pembangunan

Kebudayaan Tahun 2016. Jakarta: Sesditjen Kebudayaan,

Kemdikbud.

Suryadi, Ace dan Idris E. 2004. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.

Bandung: PT. Ganesindo.

Suryadi, Ace. 2001. Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan. Jakarta:

Bappenas dan WSPII-CIDA.

Sutinah, “Gender & Kajian Tentang Perempuan”, dalam Dwi Narwoko &

Bagong Suyanto (ed) 2004. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan.

Jakarta: Prenada Media.

Throsby, David. 2008. “Culture In Sustainable Development: Insights for The

Future Implementation of Art”, dalam 13’, Convention on the

Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions.

Paris: UNESCO.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan, Dilema, dan Tantangan.

Jakarta: Pustaka Pelajar.

UNESCO. 1995. The Cultural Dimension of Development: Towards a

Practical Approach. Paris: UNESCO Publishing.

-----, 2012. Culture: A Driver and an Enabler of Sustainable Development.

UNESCO.

-----, 2014. Culture For Development Indicators: Metodology Manual. Paris:

UNESCO.

WCCD. 1996. Diversity: Summary Version. Paris: WCCD.

Wirojoedo, Soebijanto. 1988. Masalah Perkembangan Kebudayaan dan

Implikasinya di Bidang Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan,

No. 3, 1988.

World Economic Forum’s Global Gender Gap Report. 2018.

Page 55: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019
Page 56: PENGEMBANGAN INDEKS PEMBANGUNAN KEBUDAYAAN 2019

Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum Lorem Ipsum

Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2020