pengaruh islam dan budaya kejawen...
TRANSCRIPT
PENGARUH ISLAM DAN BUDAYA KEJAWEN TERHADAP PERILAKU
SPIRITUAL MASYARAKAT DUSUN NGUDI, DESA KALANGAN, BLORA,
JAWA TENGAH TAHUN 1940 – 2000
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Mendapat Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
oleh:
Setyo Hari Kharisma
1112022000048
KONSENTRASI ASIA TENGGARA
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa penulis limpahkan kepada baginda nabi
Muhammad saw, keluarga, dan para sahabatnya.
Karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi merupakan salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana strata 1 (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan
diselesaikannya penulisan skripsi ini, tentunya tidak sedikit kesulitan dan hambatan
yang penulis hadapi dan rasakan, baik yang menyangkut masalah manajemen waktu,
teknis pengumpulan, data dan lain - lain. Akan tetapi, dengan semangat, kerja keras,
dan doa serta dorongan dan bantuan yang di dapat dari berbagai pihak, kesulitan dan
hambatan tersebut sedikit demi sedikit dapat teratasi.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis menyadari bahwa semua ini tidaklah
semata berhasil dengan tenaga dan upaya sendiri, namun banyak pihak yang telah
berpartisipasi dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, baik yang bersifat moril
maupun materil, maka dengan ini sepatutnya penulis menyampaikan banyak terima
kasih atas kerjasama dan dorongannya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
yang terdalam kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Jakarta, berikut pula semua wakil Dekan, I, II, dan III serta seluruh staf dan
pegawai Fakultas Adab dan Humaniora.
2. Bapak H. Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan dan ibu Shalikatus Sa’diyah,
M.Pd selaku Sekretaris Jurusan yang telah membantu administrasi prosedural
akademik mulai dari perkuliahan hingga selesainya jenjang S-1 penulis.
v
3. Bapak Dr. H. Abdul Wahid Hasyim, M.Ag selaku pembimbing skripsi yang
dengan ikhlas memberikan ilmu dan waktunya untuk membimbing penulis hingga
selesainya penulisan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Amelia Fauzia selaku pembimbing akademik yang telah membimbing
penulis dalam menghadapi masa masa perkuliahan dari awal masuk sampai akhir
perkuliahan.
5. Bapak Prof. Dr. H. Budi Sulistiono M.Hum selaku penguji 1 dan Drs. H. Azhar
Shaleh, M.A Bapak selaku penguji 2 yang telah meluangkan waktunya untuk
pengujian skripsi.
6. Seluruh dosen Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah banyak
berjasa terhadap penulis dalam memberikan motivasi dan bimbingan
keilmuannya.
7. Bapak Kusnan dan ibu Amining selaku pak de dan bu de penulis dan selaku
narasumber dan pembimbing penulis dalam membuat skripsi ini, yang telah
memberikan banyak ilmu dan bantuan dalam mencari dan mendapatkan sumber
data.
8. Kiai Kastuju, Kiai Abdul Hadi, Kiai Suhadi, Kiai Bakri, Mardiyah S.Pd S.Sy,
Abdul Mufid dan adiknya Amin, mbah mi, mbah sidik, lek Inanto, Mbak Lia, De
Suti dan seluruh masyarakat Blora, khususnya yang tinggal di Dusun Ngudi, yang
telah memberikan banyak sekali ilmu dan pengalaman buat penulis, sekaligus
memberikan beberapa sumber untuk menyempurnakan skripsi ini.
9. Orang tua penulis, Ibunda Darmilah yang telah mendukung dan memotivasi
penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Ayahanda Muhamad Ahla yang selalu
memberikan dukungan dan memberikan wejangan positif kepada penulis saat
penulis mendapat kebuntuan dan kegelisahan.
10. Adik penulis Imam Bagus Maulana dan Anik Nur Wulandari yang telah
membantu penulis dalam mengumpulkan berkas dalam penulisan skripsi.
11. Teman teman SKI angkatan 2012, teman teman AL AZKIYA 18, KKN ACTIVE,
KARANG TARUNA RW 09, IRMA (Ikatan Remaja Mushola Al Hikmah), Guru
vi
guru PONPES Daarul Muttaqien, PONPES Daarul Hikam, Guru guru MI Maroqil
Falah, INADA (Ikatan Alumni Daarul Muttaqien), Komunitas Santri Pecinta
Alam Tangerang (SAPALA), dan teman teman lainnya yang ikut memberikan
partisipasinya khususnya kepada Fajar Ikhtiar, Ari Rifai, Muhammad Fatulhaj,
Mardiyah, Imam Maulana M.S dan semua orang yang telah membantu penulis
hingga selesainya skripsi ini.
Penulis hanya bisa berdoa, semoga amal baik mereka diberikan ganjaran yang
setimpal, karena allah SWT adalah sebaik baiknya pemberi balasan.
Jakarta, 4 januari 2017
Penulis
vii
Ringkasan
Nama : Setyo Hari Kharisma
NIM/Jrsn : 1112022000048/Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)
“Pengaruh Islam dan Budaya Kejawen Terhadap Perilaku Spiritual Masyarakat
Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah Tahun 1940 – 2000”
ABSTRACT
Religion and culture are two elements that are important for the community,
as both have their respestive roles in shaping the behavior and mindset of the
people.
Meeting between religions and culture sometimes causes the pros and cons
for society, moment like this figure is society that must serve to neutralize
community disputes.
In writing this essay, the author will discuss the existing problem in detail.
Skripsi ini berjudul
“Pengaruh Islam dan Budaya
Kejawen Terhadap Perilaku
Spiritual Masyarakat Dusun Ngudi,
Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah
Tahun 1940 – 2000”.
Mengenai pembahasan di atas,
maka penelitian pun dilakukan dengan
tujuan yaitu: Pertama, untuk
mengetahui lebih dalam tentang agama
Islam dan budaya Jawa (Kejawen) di
Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah. Kedua, yaitu untuk
mengetahui perilaku spiritual
masyarakat di Dusun Ngudi, Desa
Kalangan, Blora, Jawa Tengah.Ketiga,
untuk mengetahui pengaruh agama
Islam dan budaya Jawa (Kejawen)
terhadap perilaku spiritual masyarakat
Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah.
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian
kualiltatif. Alasan peneliti
viii
menggunakan paradigma kualitatif
adalah karena dalam skripsi ini,
penulis ingin memberikan,
menerangkan, dan mendeskripsikan
secara kritis, atau menggambarkan
suatu fenomena, suatu kejadian, atau
suatu peristiwa interaksi sosial dalam
masyarakat untuk mencari dan
menemukan makna dalam konteks
sesungguhnya. Semua jenis penelitian
kualitatif bersifat deskriptif dengan
mengumpulkan data lunak.
Sedangkan sumber data yang
didapatkan dari penelitian kualitatif,
ada yang diperoleh melalui penelitian
lapangan dan ada pula penelitian
kepustakaan. Perbedaan antara tipe
yang satu dengan yang lain adalah
dalam tujuan dan strategi
penemuannya.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan peneliti yaitu:
observasi,Interview(Wawancara), dan
studi dokumentasi.
Temuan temuan yang peneliti
dapatkan dalam skripsi ini adalah,
pertama, pada masyarakat Jawa,
agama dan budaya sangat dijunjung
tinggi oleh mayoritas masyarakatnya,
perilaku masyarakat dapat terbentuk
dari kedua unsur tersebut.Kedua,
Akulturasi antara agama Islam dan
budaya Jawa memberikan pengaruh
yang signifikan kepada kehidupan
masyarakat, namun salah satu dari
keduanya, pengaruhnya ada yang lebih
dominan dalam masyarakat. Ketiga,
dari akulturasi tersebut muncullah pro
dan kontra masyarakat dalam
menyikapinya, ada yang lebih
dominan terhadap ajaran baru yaitu
ajaran agama Islam, karena ajarannya
yang dianggap benar, dan membawa
perubahan pemikiran dan perilaku
masyarakat menjadi lebih baik, dan
sebagian masyarakat yang lain, ada
yang lebih dominan terhadap budaya,
mereka beranggapan, setiap
masyarakat di setiap daerah pasti
memiliki ciri khas yang berupa tradisi
dan budaya, jika budaya diganti
dengan pembaharuan, maka hasilnya
adalah menghilangnya karakteristik
masyarakat di suatu daerah, karena
setiap masyarakat dalam suatu daerah
karakteristiknya ditentukan oleh tradisi
dan budaya masyarakat, jika itu hilang
maka akan hilanglah pula ciri khas
ix
masyarakat daerah tersebut. Dari hasil
penelitian ini, peneliti mendapatkan
bukti - bukti penemuan baru, berupa
akulturasi antara agama Islam dan
budaya Jawa dapat dilakukan dan
berdampak positif pada masyarakat,
selain itu pengaruh yang diperoleh
masyarakat bukan hanya melalui
budaya dan agama saja, melainkan
tokoh - tokoh masyarakat pun ikut
serta dalam mengubah pola pikir
masyarakat, selain itu, pengislaman
(Islamisasi) di Dusun Ngudi ini
terbilang unik, karena Islam melalui
sebuah mata pencaharian, yaitu
melalui tradisi keseharian masyarakat
dalam bertani. Temuan ini
menjadi pembaharu teori Islamisasi di
Indonesia karena teori yang
berkembang di masyarakat dalam
Islamisasi yaitu perdagangan,
perkawinan, dan dakwah.
Melihat dari bukti bukti dan
hasil penelitian di atas, dapat
disimpulkan bahwa agama dan budaya
dalam sebuah masyarakat memiliki
peran yang sangat penting, keduanya
memberikan pengaruh kepada perilaku
spiritual masyarakat.
XI
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………..……………..II
KATA PENGANTAR……………………………………………………..…….....IV
ABSTRAK…………………………………………………………………..…......VII
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..……XI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………….………..1
B. Rumusan Masalah………………………………………………….4
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….…….4
D. Manfaat Penelitian………………………………..………………..4
E. Tinjauan Pustaka……………………………………………..….....5
F. Kerangka Teoritik……………………………………………....…..6
G. Metode Penelitian……………………………………………....….7
H. Sistematika Penulisan………………………………………..…...12
BAB II LANDASAN TEORI TENTANG BUDAYA JAWA DAN ISLAM
A. Seputar Budaya Jawa………………………………………..……14
1. Pengertian Budaya…………………….……………..……14
2. Kebudayaan Jawa………………….………………….…..16
B. Islam di Jawa…………………………………………….....….….20
1. Masuknya Islam di Tanah Jawa…………………….….….20
2. Dakwah dan Ajaran Islam di Jawa………………….…….21
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DUSUN NGUDI
A. Letak Geografis dan Demografis Dusun Ngudi…………….……23
B. Kondisi Keagamaan dan Budaya Dusun Ngudi…………….….…24
C. Perilaku Spiritual Masyarakat Dusun Ngudi………………….….29
BAB IV PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN PERILAKU SOSIAL
WARGA DUSUN NGUDI
XII
A. Pengaruh Elite Agama dan Tokoh Masyarakat dalam Adat Istiadat
Masyarakat Setempat.....................................................................31
B. Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat Tentang Budaya Jawa
dan Agama Islam...........................................................................33
C, Relasi Agama Islam dengan Perilaku Keseharian Masyarakat
Dusun Ngudi...........................................................,......................38
D. Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam dan Pengaruhnya Terhadap
Perilaku Masyarakat Dusun Ngudi................................................44
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.....................................................................................47
B. Saran................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................49
LAMPIRAN................................................................................................................51
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Jawa telah mengembangkan sebuah budaya literer dan religius
jauh sebelum Islam.Tercatat, peradaban telah muncul untuk pertama kalinya pada
abad ke-14.Peradaban yang lebih tua ini diilhami oleh gagasan Hindu serta
Budha.Gagasan tersebut meninggalkan beragam warisan berupa seni, arsitektur,
literatur, dan pemikiran, yang sampai saat ini masih membuat masyarakat Jawa dan
kalangan luar terpesona.
Dari sekian banyak tradisi dan budaya masyarakat yang ada di Indonesia, ada
sebagiannya yang masih dijunjung tinggi dan dilestarikan oleh masyarakat secara
turun temurun dari generasi ke generasi.Terkadang di antara tradisi dan kebudayaan
yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, ada yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Keyakinan masyarakat perihal agama nenek moyang dan tradisi leluhur
yang percaya akan hal - hal yang berbau mistis dan mitos menjadi tantangan besar
bagi para penyiar agama Islam, ditambah lagi dengan adanya akulturasi budaya.
Keduanya masih menjadi masalah dalam pandangan agama Islam.
Selain budaya, agama juga memiliki kontribusi yang sangat penting untuk
masyarakat, karena fungsi agama antara lain sebagai pedoman hidup, pengajaran1,
tatanan sosial dalam bermasyarakat2, pembelajaran
3, dan mempererat tali
persaudaraan4.5Selain dari keempat fungsi tersebut, agama juga berfungsi melakukan
1Agama berfungsi untuk mengajarkan manusia untuk selalu menuju jalan yang benar, jalan
yang diridhoi oleh agamanya, selain itu, agama juga mengajarkan manusia untuk berfikir positif untuk
meraih kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. 2 Agama juga berperan dalam kehidupan manusia, karena di dalam agama manusia diajarkan
cara bersosialisasi, bergaul, dan bercengkrama dengan masyarakat dengan baik dan sopan. 3Agama merupakan tempat belajar bagi manusia, karena di dalam ilmu agama diajarkan untuk
selalu menjadi lebih baik sejalan dengan berjalannya waktu dan berproses dari pengalaman hidup. 4 Agama berperan penting dalam menumbuhkan rasa saling berbagi antara satu manusia
dengan manusia yang lain, rasa solidaritas serta persaudaraan inilah yang membuat manusia makin
kokoh dalam mempererat tali silaturahmi dalam beragama dan bermasyarakat. 5 Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama Dalam Proses Marginalisasi
Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, juli 2003, h. 137.
2
perubahan terhadap pola pikir dan keyakinan masyarakat. Dengan kata lain, agama
merupakan suatu sarana baru untuk mengajak masyarakat lama masuk ke dalam
bentuk kehidupan masyarakat yang baru. Dalam hal ini tentu saja akan terjadi
gesekan dengan nilai - nilai budaya dan adat setempat, padahal budaya itu sudah eksis
di masyarakat. Setelah agama dan budaya berada dalam wadah yang sama yaitu di
ruang lingkup masyarakat, maka konsekuensinya adalah akan terpinggirkan salah
satunya, atau akan ada pengaruh antar keduanya.6
Dari pandangan di atas, dapat didefinisikan bahwa keberadaan agama dan
budaya dalam suatu komunitas masyarakat memiliki peran yang sangat penting.Baik
budaya maupun agama, keduanya memiliki peran masing - masing dalam membentuk
suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat.Dapat diartikan keduanya bisa
membentuk suatu karakter dalam komunitas masyarakat di suatu wilayah. Tetapi
pertemuan antara keduanya, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan
persaingan dalam mengambil obyek yaitu masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena
kedua unsur tersebut, agama maupun budaya memiliki peran serta fungsi yang
berbeda bagi masyarakat.
Perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi sangat berkaitan dengan rutinitas
harian mereka.Perilaku ini berupa ritual - ritual keagamaan yang masih dianggap
sakral, sehingga harus dilakukan secara terus - menerus.Selain itu, perilaku spiritual
yang dilakukan oleh masyarakat ada yang berhubungan dengan keyakinan dan mata
pencaharian mereka sehari – hari dalam tradisi bertani. Jadi anggapan mereka jika
ritual – ritual dalam tradisi bertani ini dihentikan, maka akan mengganggu ekosistem
pertanian dan mata pencaharian mereka.
Adapun persoalan yang mendorong manusia melaksanakan aktivitas ritual
keagamaan adalah, karena adanya emosi dan getaran jiwa yang sangat mendalam, hal
itu disebabkan oleh rasa takut terhadap sesuatu yang bersifat mistis atau
keramat.Selain takut, alasan lain yang membuat masyarakat dusun Ngudi melakukan
6 Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama Dalam Proses Marginalisasi
Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, juli 2003, h. 138.
3
ritual keagamaan adalah adanya harapan - harapan terhadap sesuatu. Sementara itu,
Pada masyarakat yang masih dalam masa transisi dari tradisi lama menuju tradisi
baru yang asing, sering kali terjadi dualisme ekspresi yang tampak berlawanan.
Dualisme itu dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat Dusun Ngudi, di satu sisi
mereka mengakui kebenaran ajaran Islam dan mengamalkannya, di sisi lain mereka
tetap mempercayai hal hal yang berhubungan dengan tradisi warisan kebudayaan
Hindu Budha.7
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat Dusun Ngudi
kesulitan untuk meninggalkan ritual keagamaan, di antaranya: Pertama, karena dalam
kepercayaan dan keyakinan, mereka masih menyimpan unsur - unsur ajaran
keagamaan terdahulu seperti, animisme, dinamisme, dan ajaran Hindu Budha. Kedua,
karena pengetahuan masyarakat yang minim, sehingga kebanyakan dari
masyarakatnya cenderung bersifat ikut - ikutan dalam mengikuti
pembaharuan.Ketiga, karena masyarakatnya sudah terbiasa melakukan ritual
keagamaan, bahkan ritualnya sudah berlangsung secara turun temurun dari generasi
ke generasi. Mereka meyakini, jika ritual tersebut ditinggalkan akan timbul
malapetaka atau musibah yang akan mereka dapatkan. Keempat, karena agama Islam
masuk melalui tradisi mata pencaharian masyarakat, ajarannya pun sifatnya
toleransi.Kelima, masih ada sebagian tetua adat yang melaksanakan ritual tersebut,
tetua adat ini memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.8
Adanya dua unsur budaya dalam satu wilayah yang memberikan pengaruh
besar terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Pada masyarakat Dusun Ngudi, agama Islam dan budaya Jawa sangat berpengaruh
pada perilaku spiritual mereka. Namun, jika kedua unsur tersebut saling bertemu dan
berakulturasi, maka akan menimbulkan budaya baru di masyarakat, dan dampak dari
akulturasi tersebut terdapat pada perilaku spiritual masyarakat.
7Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 272. 8Kusnan, Pejabat Pemerintahan Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25 juni
2016.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka obyek yang penulis kaji adalah
Masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah, karena dalam
masyarakat tersebut terdapat masalah berupa akulturasi budaya Jawa dengan agama
Islam serta dampaknya terhadap perilaku spiritual masyarakat di Dusun Ngudi, Desa
Kalangan, Blora, Jawa Tengah.
Berangkat dari latar belakang di atas, maka masalah dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Islam dan budaya Jawa (kejawen) di Dusun Ngudi, Desa Kalangan,
Blora, Jawa Tengah.?
2. Bagaimana perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah.?
3. Bagaimana pengaruh Islam dan budaya Kejawen terhadap perilaku spiritual
masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah.?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui agama Islam dan budaya Jawa (Kejawen) di Dusun Ngudi, Desa
Kalangan, Blora, Jawa Tengah.
2. Untuk mengetahui perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan,
Blora, Jawa Tengah.
3. Untuk mengetahui pengaruh Islam dan budaya Kejawen terhadap perilaku spiritual
masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah.
D. Manfaat Penelitian
Sebagai suatu kajian ilmiah maka penelitian ini diharapkan akan memiliki
kegunaan dan manfaat sebagai berikut:
1. Berguna bagi Fakultas Adab dan Humaniora dan bermanfaat bagi mahasiswa
fakultas tersebut, sebagai bahan dan pengetahuan mengenai agama Islam, budaya
Jawa, dan perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi.
5
2. Berguna bagi Kementerian Agama, sebagai pengembangan teori Islamisasi dan
akulturasi.
3. Berguna bagi Dinas Pendidikan Daerah, sebagai sumber informasi mengenai
wilayah yang diteliti.
4. Berguna bagi diri sendiri serta mahasiswa yang menyukai kajian Islam dan
kebudayaan.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang akulturasi budaya dan agama Islam memang sudah ada
beberapa yang menulisnya, tetapi yang membahas secara khusus tentang perilaku
spiritual masyarakat di Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, belum pernah dilakukan.
Buku M. C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan
Penentangannya dari 1930 sampai sekarang, yang membahas tentang Islamisasi di
Jawa, dan menjelaskan tentang karakteristik masyarakat Jawa dalam memeluk agama
Islam. Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang perilaku masyarakat Jawa dalam
berbudaya, namun pembahasannya tidak secara mendetail membahas perilaku
spiritual masyarakat Ngudi, Blora. Dalam bentuk buku lain, yang ditulis oleh Suwardi
Endraswara pada tahun 2004 berjudul Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme, dan
Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa, pembahasannya sangat tertuju pada perilaku
spiritual dan budaya masyarakat kejawen. Seperti buku yang ditulis Koentjaraningrat
berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, yang membahas mengenai ragam
budaya di Indonesia khususnya di Jawa.
Sedangkan dalam bentuk skripsi, peneliti menemukan skripsi yang ditulis oleh
Moh. Marzuqi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, pada tahun 2009 dengan judul
„Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (studi terhadap Praktek “Laku Spiritual” Kadang
Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan Kecamatan Temon Kabupaten Kulon
Progo)‟. Skripsi tersebut membahas tentang akulturasi Islam dan budaya Jawa praktik
laku spiritual Kadang Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan Kecamatan
Temon Kabupaten Kulon Progo.Ada juga dari jurnal yang ditulis oleh Marzuki.
6
M.Ag, dosen Jurusan PPKN, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta
dengan judul “Tradisi dan Budaya Masyarakat Jawa Dalam Perspektif Islam”,
membahas tentang budaya masyarakat Jawa dengan agama Islam, dan keterkaitan
antara keduanya.
F. Kerangka Teoritik
Persentuhan Islam tetap diberikan sebagai agama wahyu allah, bagaimana pun
itu disampaikan menggunakan metode adaptasi lokal, keyakinan dan budaya lokal
tersebut mengakibatkan corak dakwah Islam di Indonesia menjadi khas dan unik.
Dakwah Islam sebagaimana dibawa para penyebarnyamelalui pesan terhadap
masyarakat dengan cara beradaptasi, menyerap dan berakulturasi dengan keyakinan
dan budaya lokal yang juga sangat banyak dan beragam. Contohnya di Dusun Ngudi,
Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah, jika diteliti secara terperinci, ada keragaman
keyakinan, agama, tradisi, dan budaya.
Dengan persentuhan agama Islam dan budaya masyarakat setempat, jalannya
dakwah Islam di Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah sangatlah
bervariasi, namun keduanya sangat berpengaruh terhadap tradisi ritual masyarakat itu
sendiri, sehingga sangat penting pengkajian tentang pengaruh Islam dan budaya
Kejawen terhadap perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi.
Dakwah Islam yang dikenalkan oleh para penyiarnya di Dusun Ngudi yaitu
melalui ritual keagamaan dalam tradisi yang ada di masyarakat dalam bertani, Dalam
tradisi bertani, di Dusun Ngudi terdapat banyak sekali varian ritualnya di antaranya
adalah: Tradisi Ngalungi (Kupatan), Tradisi Wiwitan (Nggarap), Tradisi Nyebar
(Pembibitan), Tradisi Wiwitan (Tanam Padi), Tradisi Ngalungi (Pasca Tanam Padi),
Tradisi Ngalemi (Sajeni), Tradisi Nyuyuk (Panenan), dari sekian banyak ritual yang
ada dalam tradisi bertani ini Islam mulai dikenalkan. Disinilah akulturasi antara
masyarakat Islam dan budaya kejawen di masyarakat setempat terjadi dan
menghasilkan suatu budaya baru di masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah tersebut.
7
Dalam penelitian tentang agama Islam, budaya Jawa, dan perilaku spiritual
masyarakat Jawa khususnya masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa
Tengah, seorang peneliti dituntut untuk memahami terlebih dahulu apa itu agama
Islam, budaya Jawa, serta beberapa karakteristik masyarakat dan perilakunya, selain
itu, pada masyarakat Dusun Ngudi ada unsur - unsur mistik dalam budaya dan
perilakunya, yang mencakup tiga hal. Pertama, sinkretisme; Kedua, simbolisme;
Ketiga, sufisme.Ketiga unsur ini melebur menjadi satu pada dalam karakteristik
masyarakat.
Dalam formasi penulisan skripsi ini, penulis akan mengawalinya dengan
mengenalkan fase budaya Jawa dan apa itu budaya Jawa, dan budaya Kejawen di
masyarakat Jawa khususnya di Dusun Ngudi, lalu disambung dengan penjelasan
mengenai agama Islam dan dakwah Islam di Dusun Ngudi, lalu penulis akan
menjelaskan mengenai perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi dalam melakukan
tradisi dan ritual keagamaan, ditambah dengan pandangan tokoh - tokoh masyarakat
mengenai budaya kejawen dan agama Islam, pembahasan selanjutnya yaitu mengenai
jenis – jenis tradisi masyarakat di Dusun Ngudi, dan prosesi pelaksanaan tradisi
tersebut dari masa kejawen sampai kedatangan Islam, pembahasan yang terakhir
adalah dampak yang dihasilkan dari akulturasi budaya Kejawen dan agama Islam
terhadap perilaku masyarakat di Dusun Ngudi.
G. Metodologi Penelitian
1. Waktu dan Tempat
Setelah penulis mendapatkan obyek pembahasan, yaitu mengenai pengaruh
Islam dan budaya Kejawen terhadap perilaku spiritual masyarakat, maka penelitian
dilakukan di Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah.Sumber dalam
penelitian diperoleh dari masyarakat dusun, dan tokoh - tokoh masyarakat di daerah
tersebut, selain itu, peneliti juga melakukan penelitian langsung ke lokasi yaitu di
Dusun Ngudi, Desa Kalangan, agar data yang penulis uraikan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis. Waktu yang digunakan peneliti dalam
meneliti penelitian ini, yaitu selama 4 bulan dimulai dari bulan mei sampai bulan
8
agustus 2016. Jadi selama 4 bulan peneliti bersosialisasi di lingkungan masyarakat
tersebut.Adapun rutinitas yang dilakukan oleh peneliti selama 4 bulan yaitu:
1. Pada satu bulan pertama yaitu pada bulan mei 2016, peneliti mencari sumber
seputar budaya Jawa (kejawen) dan agama Islam serta tradisi masyarakat
melalui sumber pustaka untuk dijadikan landasan dasar teori dan pengetahuan
awal, dimulai dari perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, lalu ke
perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan yang terakhir ke
perpustakaan daerah yang terletak di Blora, Jawa Tengah.
2. Pada satu bulan kedua yaitu pada bulan juni 2016, peneliti mencari sumber
mengenai budaya Jawa (kejawen) dan agama Islam serta perilaku masyarakat
melalui sumber lapangan, mengenai sumber ini, peneliti lebih terfokus pada
narasumber, tujuannya adalah untuk menggali informasi secara mendalam
agar informasi lebih akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
3. Pada satu bulan ketiga yaitu pada bulan juni 2016, peneliti berbaur dengan
masyarakat di Dusun Ngudi, selain berbaur, peneliti juga mengamati rutinitas
dan tradisi masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah.
Rutinitas ini menyangkut ibadah dalam agama Islam, budaya dan tradisi
masyarakat yang ada, sampai dengan perilaku spiritual masyarakat.
4. Pada satu bulan keempat yaitu pada bulan agustus 2016, peneliti memilah
milih sumber yang sudah diperoleh, dimulai dari sumber wawancara
(narasumber), lalu sumber pustaka, dan hasil pengamatan di lapangan.
Semuanya dibandingkan dan disesuaikan serta dipilih mana yang sesuai
dengan judul pembahasan skripsi dan mana yang tidak. Setelahnya semua
sumber tersebut dijadikan satu dalam bentuk skripsi.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini adalah
metode penelitian kualiltatif.Alasan peneliti menggunakan paradigma kualitatif
adalah karena dalam skripsi ini, penulis ingin melihat sebuah kejadian di masyarakat
di dusun Ngudi, yang berkaitan dengan tradisi masyarakat setempat.Selain itu,
9
penulis juga ingin menggambarkan suatu fenomena, suatu kejadian, atau suatu
peristiwa interaksi sosial dalam masyarakat berupa perilaku masyarakat dalam ritual
keagamaan.Oleh karena itu, semua jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif,
dengan mengumpulkan data.9
3. Sumber Data
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dalam menentukan sumber
data.Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian tidak
menggunakan populasi, karena penelitian berangkat dari kasus keberadaan individu
atau kelompok dalam situasi sosial tertentu, maka hasilnya hanya berlaku pada situasi
sosial yang menggambarkan keberadaan kelompok yang diteliti. Situasi sosial itu
mencakup tiga unsur utama, yaitu:
1. Pelaku (actors), yang merupakan pelaku atau actor kegiatan tersebut yaitu
masyarakat yang tinggal di Dusun Ngudi atau tokoh masyarakat, cara
mendapatkan sumber data yaitu melalui wawancara satu arah.Dalam
penelitian ini, peneliti tidak sembarangan dalam memilih narasumber untuk
dijadikan rujukan, peneliti lebih memilih tokoh masyarakat atau pemuka
agama setempat yang kontribusinya sangat berpengaruh terhadap masyarakat,
berikut nama – nama serta jabatan yang dimiliki tokoh masyarakat tersebut di
Dusun Ngudi :
Bapak Kusnan, selaku Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan
Abdul Mufid salah satu aktifis remaja masjid di Dusun Ngudi
Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan
kiai Kastuju, selaku Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu sarana
pendidikan Islam di Dusun Ngudi)
Kiai Suhadi, Pengajar TPA (salah satu sarana pendidikan Islam di Dusun
Ngudi)
Kiai Bakri, selaku Mudin di Dusun Ngudi
9Prof. Dr. A. Muri Yusuf, M.Pd, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta, Prenada Media, 2014), h. 338.
10
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negeri Sipil di Department Agama Blora
2. Tempat (place), yaitu tempat kejadian di mana kegiatan tersebut dilakukan
yaitu di Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah, dalam ruang
lingkup tatanan pemerintahan di suatu wilayah, dusun merupakan nama lain
dari kampung, jika di kota orang – orang biasa menyebutnya dengan
kampung, dan jika di desa orang menyebutnya dengan sebutan dusun.
Biasanya dalam satu dusun terdapat satu rw yang di dalamnya terdiri dari
beberapa rt. Salah satu metode yang digunakan saat melakukan penelitian
lapangan adalah dengan mendatangi lokasi atau tempat kejadian, karena judul
yang diangkat mengenai masyarakat Dusun Ngudi, maka penelitian ini
dilakukan di Dusun Ngudi.
3. Aktivitas (activities), merupakan segala aktivitas yang dilakukan aktor atau
pelaku di tempat tersebut dalam konteks yang sesungguhnya, berupa
melaksanakan kegiatan – kegiatan adat dan tradisi keagamaan yang sering
dilakukan oleh masyarakat, cara mendapatkan sumber ini, peneliti berbaur
langsung dengan masyarakat di Dusun Ngudi dengan melihat langsung dan
menelitinya, selain itu, peneliti juga mengamati segala rutinitas yang
dilakukan masyarakat Dusun Ngudi, dari agama, tradisi, sampai perilaku
masyarakatnya.10
Selain tiga unsur di atas, sumber data dapat diperoleh dari masyarakat dan tokoh
masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, melalui data atau dokumentasi daerah
tersebut, dan buku referensi.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah:
A. Observasi
10
Prof. Dr. A. Muri Yusuf, M.Pd, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta, Prenada Media, 2014), h. 368.
11
Observasi merupakan suatu metode pengumpulan data lapangan, yang biasa
diartikan sebagai cara meninjau secara cermat dan mengamati secara seksama akan
suatu gejala yang sedang terjadi di ruang lingkup penelitian.11
Dengan observasi
diharapkan akan memperoleh data yang lebih akurat dan asli, sehingga fakta yang
sesungguhnya dapat diungkap secara cermat dan lengkap.12
B. Interview (Wawancara)
Interview merupakan salah satu teknik yang dilakukan peneliti dalam meneliti
dan mengumpukan data dengan cara tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan
sistematis dan pertanyaan yang diajukan berlandaskan kepada tujuan penelitian.
Pertanyaan yang diajukan pun harus terstruktur dengan rapih agar info yang didapat
lebih akurat dan bisa dipertanggung jawabkan.Dalam pengumpulan data melalui
wawancara, peneliti mengajukan pertanyaan pertanyaan dalam wawancara ini ke
setiap tokoh masyarakat yang ada di Dusun Ngudi, semua narasumber dan pertanyaan
terkait beserta jawabannya terlampir di akhir penulisan skripsi ini.
Fungsi interview pada dasarnya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan
besar: 1. Sebagai metode primer, 2. Sebagai metode pelengkap, 3. Sebagai
kriterium.13
Peneliti akan memberikan pertanyaan searah mengenai “agama Islam,
budaya Jawa dan perilaku spiritual masyarakat” di Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah.
C. Studi Dokumentasi
Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan metode dokumentasi
untuk melengkapi sumber - sumber yang ada, seperti buku buku literatur dan
dokumen - dokumen, majalah, jurnal, dan lain - lain yang masih ada kaitannya
dengan permasalahan serta pembahasan yang dibahas. Dalam mengumpulkan data
menggunakan metode ini, peneliti mendatangi perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan
11
Sutrisno Hadi, Methodology Reseach, jilid 2, (Yogyakarta, Andi, 2000), h. 136. 12
Farouk Muhammad, H. Djali, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta, Bunga Rampai), h.
105. 13
Sutrisno Hadi, Methodology Reseach, Jilid 2, (Yogyakarta, Andi, 2000), h 193.
12
Daerah Blora, Jawa Tengah untuk menemukan sumber - sumber yang berhubungan
dengan tema pembahasan skripsi.
Selain itu, bukti sumber dokumentasi banyak di dapatkan di Dusun Ngudi
melalui metode foto, semua dokumentasi ini sudah terlampir di akhir penulisan
skripsi ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai isi serta
pembahasan skripsi ini, maka penulis menyusun susunan kerangka sistematis sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka
teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas mengenai landasan teori tentang budaya Jawa dan
agama Islam, meliputi pengertian budaya, pengertian budaya menurut para sejarawan,
pengertian budaya Jawa dan agama Islam. Lalu di bab kedua ini juga membahas
mengenai bentuk tradisi dan budaya masyarakat, yang meliputi budaya dan tradisi
kejawen di Dusun Ngudi dan tradisi Islam di Dusun Ngudi.
Bab ketiga ini membahas mengenai perilaku spiritual masyarakat, dalam bab
ini terbagi menjadi tiga sub pokok pembahasan yaitu sub pertama membahas
mengenai kondisi geografis dan demografis Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora,
Jawa Tengah, sub kedua membahas tentang kondisi keagamaan dan kondisi
kebudayaan masyarakat di Dusun Ngudi, dan sub bab yang terakhir yaitu membahas
mengenai tingkah laku masyarakat dalam keseharian dan perilaku spiritual
masyarakat Dusun Ngudi.
Bab keempat menjelaskan mengenai beberapa sub di antaranya sub pertama
yaitu tentang pengaruh elit agama dan tokoh msyarakat dalam adat istiadat
masyarakat, sub kedua berupa pandangan ulama dan tokoh masyarakat tentang
budaya Jawa dan agama Islam, sub ketiga yaitu membahas tentang relasi agama Islam
dengan perilaku masyarakat di Dusun Ngudi, Blora, Jawa Tengah. Sub yang terakhir
13
adalah akulturasi budaya Jawa dengan agama Islam dan pengaruhnya terhadap
perilaku masyarakat Dusun Ngudi.
Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh pokok
pembahasan yang dibahas dalam skripsi ini serta saran saran yang ada relevansinya
dengan permasalahan yang dibahas.
14
BAB II
ISLAM DAN BUDAYA JAWA
A. Seputar Budaya Jawa
1. Pengertian Budaya
Telah dikemukakan oleh para ahli, bahwa budaya memiliki beberapa
arti.Merujuk dari asalnya, budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu kata buddayah
yang berarti akal, sehingga budaya hanya dapat dicapai dengan kemampuan akal
yang tinggi tingkatannya, kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh manusia.14
Dalam
bahasa Yunani, budaya dikenal dengan istilah culture, berasal dari kata colere yang
berarti mengolah dan mengerjakan.Jadi kebudayaan merupakan suatu pekerjaan yang
dikerjakan oleh masyarakat dalam suatu wilayah secara terus menerus.15
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “seluruh sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupanmasyarakat yang
dijadikan manusia dengan belajar”.16
Ralph Linton, seorang antropolog,
mengemukakan kebudayaan adalah, “culture is a configuration of learned behavior
and result of behavior whose component elements are shared and transmitted by the
member of particular society”, artinya “Budaya adalah konfigurasi perilaku yang
dipelajari dan hasil dari perilaku yang unsur komponennya dibagi dan ditularkan oleh
anggota masyarakat tertentu”.17
Walaupun terdapat perbedaan dalam mendefinisikan kebudayaan, namun,
dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh ini membawa pada satu pandangan yang sama
akan suatu kebudayaan yaitu kebudayaan berasal dari manusia dan kebudayaan
14
Eko A. Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) h. 88. 15
Eko A. Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) h. 90. 16
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan, 1979)
h. 320. 17
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan, 1979)
h. 298.
15
berada di tengah - tengah masyarakat, muncul dalam tingkah laku dan yang paling
utama adalah dipelajari, bukan terlahir dan ada begitu saja.
Istilah budaya mempunyai beragam arti di kalangan para sarjana sosiologi,
pengertian budaya ialah cara berfikir seseorang atau sekelompok orang dalam
menerapkan cara hidup secara bermasyarakat, yang dikembangkan secara terus
menerus serta penerapannya diwariskan secara turun temurun dari setiap generasi ke
generasi.18
Budaya dengan manusia merupakan dua unsur yang berkaitan.Kontribusi
manusia di masyarakat sangatlah ditentukan oleh kebudayaan.Kebudayaan
menempati posisi sentral dalam seluruh tatanan hidup manusia.Manusia tanpa
kebudayaan merupakan mahluk yang tak berdaya, kebudayaan merupakan ukuran
bagi tingkah laku dan kehidupan manusia. Karena dengan kebudayaan manusia bisa
dinilai ruang dunianya, lingkungannya, masyarakatnya, dan nilai - nilai yang menjadi
landasan pokok bagi penentuan sikap manusia terhadap dunia luar, bahkan menjadi
dasar setiap langkah yang akan dilakukan.19
Sehubungan dengan seluruh rangka kebudayaan, ada beberapa wilayah yang
menjadi pusat kebudayaan tersebut. Sudah barang tentu di antara sekian banyak
daerah tempat kediaman masyarakat terdapat berbagai variasi dan perbedaan
perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan
mengenai berbagai istilah dialek, bahasa, dan lain lainya. Dengan demikian, variasi
variasi dan perbedaan tersebut tidaklah besar, karena apabila diteliti masalah tersebut
masih menunjukkan satu pola ataupun satu sistem kebudayaan.20
Pada umumnya jiwa kebudayaan dapat dibagi menjadi dua; pertama, jiwa
kebudayaan yang sifatnya abstrak, kedua, jiwa kebudayaan yang penjelmaannya
kongrit, jiwa kebudayaan ini bisa membentuk ide - ide, dan ide - ide tersebut
18
Eko A. Meinarno, Bambang Widianto, Rizka Halida, Manusia dalam Kebudayaan dan
Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba Humanika, 2011) h. 93. 19
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widia, 2000), h. 7. 20
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan, 1979)
h. 322.
16
diwujudkan dengan tingkah laku atau perbuatan yang diaplikasikan dalam kehidupan,
semua itu bersifat material. Cara berfikir dan cara merasa yang sama antar
sekelompok manusia adalah hasil dari hidup bersama dan bekerja sama dalam
lingkungan yang sama dalam kurun waktu yang lama, kemudian kelompok itulah
yang membentuk masyarakat. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, dan
setiap kebudayaan tentu ada masyarakatnya.21
Bila masyarakatnya berbeda, maka
berbeda pula kebudayaannya.Begitu pula keragaman kebudayaan yang ada di
Indonesia, dikarenakan perbedaan masyarakatnya.
2. Kebudayaan Jawa
Kata kebudayaan sebelum mendapat imbuhan (awalan ke dan akhiran an)
berarti rutinitas yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara terus
menerus dalam suatu wilayah.Indonesia terkenal dengan keberagaman suku, bahasa,
dan budayanya. Meskipun beragam budaya dan berbeda beda setiap wilayahnya,
namun semuanya melebur menjadi satu di Indonesia. Keberadaan budaya Jawa belum
diketahui secara kongkrit asal muasalnya.Dari beberapa sumber sejarah yang ada,
masih belum ada pembahasan yang jelas mengenai awal mula budaya tersebut. Jika
dikaitan dengan ilmu teologi, Ahmad Khalil M.Fil.I, dalam bukunya yang berjudul
Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, mengemukakan karakteristik
budaya Jawa dalam perkembangannya, terbagi dalam 3 fase yaitu; kebudayaan Jawa
pra Hindu Budha, kebudayaan Jawa masa Hindu Budha, dan kebudayaan Jawa masa
Islam.22
Dalam beberapa sumber sejarah, disebutkan bahwa masyarakat Jawa sebelum
datangnya agama Hindu dan Budha telah menjadi masyarakat yang tersusun secara
teratur, sederhana, dan bersahaja.Sebagai masyarakat yang sederhana, sistem religi
yang dianut adalah Animisme dan Dinamisme.Pada masa ini kebudayaan pada
masyarakat dikenal dengan istilah budaya Kejawen.Sistem ini menjadi inti
21
Drs. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h. 24. 22
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 130,
17
kebudayaan masyarakat Jawa yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya.Cara
berfikir masyarakat pada masa itu masih dikuasai oleh perasaan yang sangat lekat
pada kebudayaan dan agama.Kepercayaan kepada roh dan mahluk halus serta cerita
cerita mistis selalu meliputi seluruh aktivitas kehidupannya.Oleh karena itu, pikiran
dan perilaku keseharian masyarakat Jawa pada masa itu senantiasa tertuju pada suatu
tujuan, yaitu bagaimana mendapatkan bantuan dari roh roh yang baik dan terhindar
dari pengaruh roh roh jahat yang bersifat menggangu.Masyarakat Jawa pada periode
ini sangatlah memegang teguh kebersamaan dan kekeluargaan antar sesamanya,
bahkan mereka sudah mengenal penghormatan kepada yang lebih tua.23
Dari sebagian masyarakat yang tinggal di pulau Jawa, masyarakat Jawa
Tengah masih sangat kental dengan istilah mistis dan mitos, karena keyakinan dan
mistisme (kebatinan) sudah menjadi jalan pencarian masyarakat Jawa Tengah untuk
mencapai sebuah tujuan hidup, terkait dengan disiplin diri dan pemantapan batin.
Dari keyakinan dan mistisme menghasilkan sebuah praktik mistik.Praktik tersebut,
diyakini oleh sebagian masyarakat bisa membebaskan diri dari tuntutan sosial serta
dapat menciptakan sebuah dunia tersendiri yang tampaknya mengandung nilai dan
ajaran kehidupan di alam nyata.24
Merujuk pada uraian di atas, maka seseorang bisa menciptakan jarak antara
kehidupan pribadi dengan kehidupan sosial secara spriritual, tanpa memisahkan
kedua unsur tersebut.Pada aspek aktualisasi peribadatan masyarakat kebatinan amat
menekankan ritual yang berbentuk perilaku spiritual. Pada aplikasi sosial,
penghormatan terhadap orang lain tidak pernah mereka abaikan, inilah yang dianggap
oleh masyarakat Jawa Tengah sebagai kemerdekaan batin. Situasi demikian tercipta
karena mereka mampu memisahkan “ruang dalam” dan “ruang luar”. Oleh karena itu,
mereka menjadi orang yang amat menghormati tradisi yang ada dan bagi mereka
biarkan saja alam luar seperti apa adanya, biarlah diatur dengan nilai nilai praktis,
23
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 132-133. 24
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 158.
18
dengan bentuk yang diberikan pada budaya, yang menjadi perhatian mereka yaitu
keyakinan batin yang harus terus menerus dibina.25
Sama halnya dengan daerah - daerah di Jawa lainnya, di wilayah Jawa
Tengah, tepatnya di Kabupaten Blora, yang letaknya di sebelah kulon, terdapat
kelompok - kelompok masyarakat yang melaksanakan dan melestarikan kebudayaan
Jawa.Meskipun agama Islam sudah ada serta ajarannya telah dilaksanakan, namun,
ajaran agama Islam yang dilaksanakan tidak sedikitpun menghilangkan budaya serta
tradisi asli masyarakat.Mereka menjadikannya satu keutuhan utuh yang
dikembangkan secara turun temurun.Masyarakat Dusun Ngudi masih memegang
teguh keyakinan dan kepercayaan terhadap segala sesuatu yang dianggap mistis dan
mitos, dari keyakinan tersebut menghasilkan tradisi adat.Tradisi adat itu dilakukan
secara terus menerus oleh masyarakat berupa perilaku spiritual.
Budaya kejawen adalah kategori unik yang diberikan kepada masyarakat
Jawa. Disebut unik karena kejawen misalnya (javanism) merupakan tradisi mistik
yang berbeda dengan wilayah lain. Masing - masing wilayah yang beragama kejawen
memiliki “pedoman” khusus dalam bermasyarakat, berupa kosmogoni dan
teosofis26
.Hampir keseluruhan wilayah Jawa identik dengan keyakinan mistis dan
mitos.Mitos tersebut ada yang dijadikan kiblat hidup, ditaati, dan dipuja oleh
masyarakat Jawa.
Pada masa pra Hindu Budha, kontak sosial masyarakat Indonesia khususnya
Jawa dengan dunia luar sudah terjadi.Kontak perdagangan dengan India, Arab, Cina,
dan Persia sudah berlangsung bahkan terus berkembang. Hal itu dikarenakan pulau
pulau di Indonesia bagian barat terletak di jalur perdagangan dari Asia Selatan ke
Asia Timur, selain itu, tempat tersebut merupakan daerah penghasil rempah - rempah,
emas, kayu manis, dan produk produk lain yang diminati oleh para pedagang.
25
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 159. 26
„Teosofis‟ adalah sebuah ajaran yang mengakui hal hal yang berhubungan dengan Tuhan,
berdasarkan atas pendalaman batin. Kebijaksanaan hidup tersebut selalu dilandasi oleh kekuatan batin
yang ingin menyatu dengan tuhan.
19
Kondisi yang sedemikian strategis itu, menghasilkan pertukaran budaya antara
masyarakat pribumi dengan pedagang dari luar khususnya India.Budaya yang dibawa
oleh pedagang India ke Indonesia, Menghasilkan suatu gagasan politik dan religius
dalam sistem organisasi kenegaraan, sistem tersebut disusun secara hierarkis27
di
bawah wewenang dan perintah seorang raja atau dewa.Gagasan inilah yang oleh para
penguasa di nusantara ini dilihat sebagai wahana ideologis yang tepat untuk
memperluas wewenang mereka. Oleh karena itu, mereka kemudian memperkerjakan
pendeta pendeta Brahmani28
, untuk menarik garis keturunan nenek moyang raja
sampai kepada dewa dewi Hindu, raja pun menyatakan diri sebagai penjelmaan Siwa
dan Wisnu atau penjelmaan dewa dewa. Penyerapan kebudayaan Hindu Budha dari
India kemudian membawa penduduk negeri ini semakin masuk ke dalam pancaran
kebudayaan India.29
Melihat perkembangan kebudayaan Jawa pada fase pra Hindu Budha, tampak
bahwa kepercayaan masyarakat pada sesuatu yang gaib, yang bersifat misteri dan
mitos hanya sebatas dugaan.Semua berawal dari keterbatasan mereka memahami
fenomena alam yang mengiringi harapan mereka untuk hidup. Begitu datang ajaran
yang baru dengan landasan yang kuat, juga karena berlandaskan oleh kitab suci, serta
di topang dengan pengalaman para penyerunya, secara otomatis masyarakat Jawa
akan lebih percaya dan meyakininya sebagai sesuatu yang lebih benar. Meskipun
dalam kepercayaan tersebut masyarakat Jawa itu sendiri masih menyimpan kesan
kesan dan pengalaman yang di dapat dalam praktik keagamaan sebelumnya.30
Masyarakat Jawa memiliki kepribadian yang sangat ramah dalam menerima
segala sesuatu yang baru, hal ini diwujudkan oleh kebudayaan mereka yang sangat
27
„Hierarki‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah urutan, tingkatan atau
jenjang jabatan dalam suatu pemerintahan (pangkat atau kedudukan). 28
„Brahmani‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seorang pendeta agama
perempuan, yang mana dalam tingkatan agama hindu memiliki tingkatan kasta yang tertinggi. 29
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 135-136. 30
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 145.
20
sinkretis31
, setiap agama yang muncul dan masuk selalu diterima dengan sikap
terbuka tanpa memperhatikan aspek benar salahnya.
Sejak saat itu munculah akulturasi budaya lama dengan budaya budaya baru
di Jawa, yang sebelumnya kebudayaan Jawa dan kebudayaan Hidhu Budha, kini
kebudayaan Jawa, Hindhu Budha dan Islam.Corak Kebudayaan ini terletak di
lingkungan istana. Seperti juga di masa kedatangan Hindu Budha, para penyebar
agama Islam pun mulai menyiarkan agama Islam melalui berbagai cara, dari melalui
perdagangan, perkawinan, kesenian, dan lain lain.32
B. Islam di Jawa
1. Masuknya Islam di Tanah Jawa
Kepulauan Indonesia, sejak masa prasejarah telah dikenal memiliki kekayaan
yang melimpah, berupa hasil bumi dan kekayaan alam.Sejak awal abad masehi telah
tercipta rute rute pelayaran yang menghubungkan kepulauan Indonesia dengan
berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.Indonesia menjadi penghubung jalur
perdagangan yang digunakan para pedagang yang berlayar, Indonesia pun menjadi
salah satu negara yang penting bagi para pedagang, khususnya pedagang dari Cina
dan India.
Pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India sudah ada yang sampai di
kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 M. Ketika Islam pertama kali berkembang di
Timur Tengah, Malaka sudah menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan dan
pelayaran. Malaka menjadi mata rantai pelayaran yang penting bagi para pedagang
yang keluar masuk melalui jalur tersebut, disinilah muncul pertukaran kebudayaan
antar pedagang, termasuk kebudayaan dan ajaran agama Islam yang dibawa oleh para
pedagang dari Arab, Gujarat, dan lain lain.33
31
„Sinkretis‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah sifat dalam
keagamaan masih mencari kesesuaian (keseimbangan) antara yang satu dengan yang lain, jadi masih
menerima sesuatu yang baru. 32
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 146. 33
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), h. 192.
21
Dari sekian banyak teori yang dikemukakan oleh para sejarawan mengenai
masuknya Islam di nusantara khususnya Jawa, Prof. Azyumardi Azra
mempertimbangkan tiga teori besar masuknya Islam, yaitu: teori da‟i34
, teori
perdagangan35
, dan teori sufi36
. Ketiga teori ini yang menjadi alasan Islam bisa masuk
dan berkembang dengan pesat di nusantara khususnya di wilayah Jawa.37
2. Dakwah dan Ajaran Islam di Jawa
Dalam sejarah penyebaran Islam setelah keluar dari jazirah Arab, kemudian
Islam berinteraksi dan bergulat dengan lingkungan sosial budaya yang baru.Ajaran
Islam terbagi menjadi dua model dakwah yaitu, kompromi dan nonkompromi.
Dakwah model kompromi adalah ajakan untuk memeluk agama Islam dengan cara
mempertemukan atau memadukan Islam dengan ajaran atau tradisi budaya yang
sudah ada, meskipun berbeda, bahkan tampak berlawanan antar keduanya, cara ini
sangat efektif dan mudah di terima oleh masyarakat, karena tidak adanya paksaan dan
tanpa menghilangkan budaya masyarakat yang sudah ada. Sedangakan model
nonkompromi adalah suatu ajakan yang menekankan dan mempertahankan keutuhan
dan kemurnian syari‟ah, sehingga dalam penerapannya mempunyai pandangan yang
agak kaku dalam menghadapi budaya, ajaran, dan lingkungan sosial setempat yang
berbeda dengan tempat asal kelahiran Islam.38
Gerakan dakwah yang bersifat kompromi dapat dilihat dalam perkembangan
Islam di Jawa, dalam perkembangan dakwahnya, gerakan dakwah yang bersifat
34
Teori „da‟I‟ merupakan teori yang menjelaskan mengenai asal muasal masuknya Islam
kenusantara yaitu melalui para guru guru ngaji, yang menyampaikan ajaran Islam melalui metode
penyiaran dan pengajaran kepada masyarakat Nusantara. 35
Teori „Perdagangan‟ merupakan teori yang menjelaskan mengenai asal muasal masuknya
Islam ke Nusantara melalui para pedagang yang datang ke wilayah Nusantara dengan tujuan
berdagang, disinilah terjadi pertukaran kebudayaan, dalam pertukaran budaya tersebut, agama Islam
mulai diperkenalkan oleh para pedagang Arab, dan Gujarat kepada masyarakat pribumi. 36
Teori „Sufi‟ merupakan teori yang menjelaskan mengenai asal muasal masuknya Islam ke
Nusantara yaitu melalui para sufi, ajaran agama Islam diajarkan oleh para sufi kepada masyarakat
Nusantara, ajaran tersebut berlandaskan pada hubungan langsung seseorang dengan tuhan, hubungan
tersebut melalui cara yang disebut tasawuf 37
Ajat Sudrajat, “Perkembangan Islam di Singapura”, Jurnal yang mengemukakan pendapat
Prof. Azyumardi Azra mengenai teori masuknya Islam di wilayah Nusantara. 38
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 14.
22
kompromi mengalami proses yang cukup unik dan berliku. Hal ini karena dakwahnya
yang menyesuaikan dengan tradisi budaya Hindu Budha yang telah mengakar kuat
dalam masyarakat, baik di kalangan priyayi yang berpusat di istana maupun di
kalangan rakyat, keduanya masih berpegang pada ajaran Animisme dan Dinamisme.
Dengan adanya pengaruh yang kuat dari agama Hindu Budha, maka tidak ada jalan
lain untuk mengajak dan memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa
selain dengan pendekatan secara kompromi dan penuh toleransi. Demikianlah yang
terjadi dalam sejarah pengislaman tanah Jawa yang di pelopori oleh para wali.39
Setelah Islam mulai masuk dan diterima oleh masyarakat Jawa. para penyiar
agama Islam (Walisongo) mulai memperkenalkan dan mengajarkan agama Islam
melalui metode metode yang telah ada, yaitu menggabungkan ajaran Islam dengan
tradisi yang telah berkembang di masyarakat, seperti kesenian, musik, wayang, dan
lain lain. Dalam membawakan tradisi kesenian yang ada di masyarakat, Walisongo
perlahan - lahan mulai menanamkan ketauhidan dan ajaran – ajaran Islam melalui
seni wayang, dengan merubah nama tokoh - tokohnya serta alur ceritanya ke dalam
sejarah sejarah agama Islam. Dengan cara inilah masyarakat Jawa mulai mengenal
agama Islam.
Secara mendasar dapat disimpulkan, bahwa alasan masyarakat Jawa mudah
menerima agama Islam yang dibawa dan diperkenalkan oleh para Walisongo, karena
dalam pengajaran agama Islam, Walisongo lebih menyatu dengan tradisi masyarakat
Jawa.Dari tradisi tersebut, Walisongo mulai merubah kepercayaan masyarakat secara
perlahan lahan, dari mulai ketauhidannya sampai pola ajarannya.
39
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN
Malang Press, 2008), h. 14-15.
23
BAB III
PERILAKU SPIRITUAL MASYARAKAT DUSUN NGUDI
A. Letak Geografis dan Demografis Dusun Ngudi
Dusun Ngudi merupakan salah satu dusun yang terletak di Desa Kalangan,
Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah.Dusun Ngudi
memiliki luas wilayah 192.821 Ha, terdiri dari 1 rw. 1 rw tersebut terdiri dari 9 rt
yang tersebar di wilayah Barat, Timur, Utara dan Selatan.40
Seperti halnya desa desa
lainnya, Desa Kalangan juga memiliki visi dan misi dalam membangun dan
mengembangkan desanya.
Visi
“Tercapainya Kesejahteraan dan Kemandirian Masyarakat Pedesaan dalam
pemberdayaan sistem sarana sosial dan sumber daya masyarakatnya”.41
Misi
Peningkatan sarana dan prasarana social
Mensejahterakan lingkungan hidup
Meningkatkan sistem pembangunan dan kelistrikan desa
Mengefektifkan fungsi dan peran sumber daya masyarakat dan peran
pemerintahan sosial
Mewujudkan infrastruktur dan lingkungan yang aman dan nyaman.42
Setiap daerah pasti memiliki batas wilayah dengan daerah lain. Adapun batas
wilayah Dusun Ngudi; sebelah Utara Desa berbatasan dengan Desa Sambongrejo,
sebelah Barat Desa berbatasan dengan Desa Bogorejo, sebelah Timur Desa
40
Bersumber dari Data Arsip Desa Kalangan mengenai „Monografi Desa Kalangan‟. 41
Bersumber dari DataArsip Desa Kalangan mengenai „Profil Dusun Ngudi‟, sumber yang
sama diperoleh dari Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun
Ngudi, 25 juni 2016. 42
Kusnan, Pejabat Pemerintahan Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25
juni 2016.
24
berbatasan dengan Desa Sukorejo, sebelah Selatan Desa berbatasan dengan Desa
Tambahrejo.43
Dikutip dari buku laporan tahunan pemerintahan Desa Kalangan mengenai
data Monografi desa, disebutkan bahwa jumlah penduduk Dusun Ngudi berdasarkan
hasil data tahunan penduduk sampai akhir tahun 2016 sebanyak 1087 orang, dengan
rincian laki laki berjumlah 540 orang dan perempuan sebanyak 547 orang, sedangkan
jumlah kepala keluarga (KK) yang terdaftar di Dusun Ngudi berjumlah 398 KK.44
Dilansir dari data yang tersimpan di arsip mengenai laporan tahunan desa,
mayoritas penduduk Dusun Ngudi beragama Islam.kurang lebih berjumlah 1085 jiwa,
sedangkan yang beragama Kristen sebanyak 2 orang.45
Mata pencaharian penduduk
Dusun Ngudi, Desa Kalangan terdiri dari: Karyawan, Pegawai Negri Sipil sebanyak 9
orang, TNI/Polri sebanyak 1 orang, Swasta sebanyak 11 orang; Wiraswasta/Pedagang
sebanyak 10 orang; Petani sebanyak 938 orang; Tukang sebanyak 24 orang; Buruh
Tani sebanyak 58 orang; Pensiunan sebanyak 3 orang; dan lain lain sebanyak 33
orang.46
B. Kondisi Keagamaan dan Budaya Dusun Ngudi
Dalam kehidupan manusia, agama memiliki peran yang sangat penting dalam
pelestarian dan perkembangan masyarakat dari masa ke masa.Karena fungsi agama
sangatlah besar, bahkan jika ditelaah lebih jauh ke belakang dari segi etnografik,
tidak ada satu kelompok manusia di dunia ini yang tidak memiliki kepercayaan atau
agama.Demikian juga dengan masyarakat di Dusun Ngudi, agama dan kepercayaan
dari masa ke masa tetap hidup sebagai pedoman dan pegangan bagi masyarakat.
Masyarakat Dusun Ngudi mayoritas beragama Islam, bahkan jika
dikalkulasikan berdasarkan data monografi desa keseluruhan masyarakat beragama
Islam.Meskipun demikian, sebagian dari mereka masih ada yang belum menjalankan
43
Kusnan, Pejabat Pemerintahan Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25
juni 2016. 44
Bersumber dari DataArsip Desa Kalangan mengenai „Monografi Dusun Ngudi‟. 45
Bersumber dari Data Arsip Desa Kalangan mengenai „Monografi Dusun Ngudi‟. 46
Bersumber dari Data Arsip Desa Kalangan mengenai „Monografi Dusun Ngudi‟.
25
syariat agama Islam. Namun, mereka sangat menghargai muslim yang taat dan selalu
membantu serta menyukseskan program yang berkaitan dengan aktivitas keagamaan,
seperti membangun masjid, langgar (mushola), madrasah, pengajian, dan lain lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dinamika keagamaan di dusun Ngudi, Desa
Kalangan sangat nampak gairahnya, yang dapat dilihat dari sarana dan kegiatan
kegiatan sosial keagamaan yang selalu dilaksanakan.
1. Jumlah tempat ibadah
Di Dusun Ngudi terdapat beberapa tempat ibadah diantaranya, 2 masjid dan 7
mushola (langgar).Semua tempat itu sering digunakan untuk rutinitas ibadah dan
rutinitas sosial keagamaan.47
2. Jumlah sarana prasarana pendidikan agama Islam
Salah satu strategi umat muslim dalam melaksanakan aktivitas dakwahnya
dilakukan dengan membangun sarana pendidikan Islam, baik formal ataupun
nonformal. Adapun sarana pendidikan yang ada di Dusun Ngudi antara lain; TPA,
Madrasah Diniyah, Majelis Ta‟lim, dan lain lain.48
3. Aktivitas Keagamaan
Aktivitas keagamaan yang dilakukan masyarakat di Dusun Ngudi hampir
sama dengan aktivitas yang dilakukan oleh dusun dusun lainnya, berupa pengajian
ibu ibu dan bapak bapak, pembacaan tahlil, peringatan hari besar Islam seperti,
Maulid Nabi Muhammad SAW, Isro Miraj, serta tausiyah tausiyah keagamaan yang
biasa dibawakan oleh kiai kiai dengan diiringi kesenian kesenian Islam, seperti
wayang, hadroh, marawis, dan lain lain.49
Dalam masyarakat di Dusun Ngudi, Desa Kalangan.Perwujutan dan
penggambaran budaya sangat nampak pada masing masing struktur sosial masyarakat
47
Bersumber dariData Arsip Desa Kalangan mengenai „Bangunan - Bangunan di Dusun
Ngudi‟, sumber serupa diperoleh dari Abdul Mufid, salah satu Aktifis Remaja Masjid Dusun Ngudi,
wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 2 juli 2016. 48
kiai Kastuju, Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu Sarana Pendidikan Islam di
Dusun Ngudi), wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 27 juni 2016. 49
Abdul Mufid, salah satu Aktifis Remaja Masjid Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di
Dusun Ngudi, 2 juli 2016.
26
tersebut, semua itu terwujud dengan adanya beberapa ritual keagamaan.Terkadang
ritual tersebut berkaitan dengan kepercayaan dan mitos masyarakat setempat,
misalnya ritual yang berkaitan dengan usaha pelestarian dalam siklus pertanian, yang
dalam melakukan ritual tersebut tujuannya adalah untuk menghasilkan hasil panen
yang memuaskan. Selain itu, bukti nyata juga ditunjukkan dari perilaku masyarakat
dalam menjalankan adat istiadat di daerah tersebut, dari masing masing struktur sosial
ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya, namun tujuan yang ingin dicapat
tetaplah sama.50
Kondisi masyarakat di Dusun Ngudi, jika dilihat dari sistem sosial
kebudayaan sangat akulturatif, begitu pula dengan sosial keagamaanya begitu
sinkretis. Kondisi sosial masyarakat Jawa terdiri dari tiga sub kebudayaan, yang
masing masing terdiri atas struktur sosial yang berlandaskan atas dasar agama.
Struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan, Santri, dan Priyayi.51
Adanya ketiga
struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa di balik mayoritas penduduk
Dusun Ngudi yang beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem
kepercayaan, nilai, dan adat istiadat yang berkaitan dengan masing masing struktur
sosial tersebut.52
Dengan adanya tiga latar belakang sejarah kebudayaan yang berbeda dan
dibarengi dengan lingkungan yang berbeda pula maka terwujudlah tiga struktur sosial
kemasyarakatan, diantaranya adalah Abangan (kejawen), Santri (putihan), dan Priyayi
(golongan ningrat).
Bagi masyarakat dusun Ngudi pada umumnya, istilah abangan sudah sering
didengar, karena Islam abangan adalah salah satu varian masyarakat yang
berkembang di pulau Jawa, termasuk di Dusun Ngudi. Istilah abangan memiliki arti
tersendiri, yaitu sebutan untuk umat muslim atau masyarakat Islam yang mengaku
50
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap
disana. 51
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), h. VII. 52
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap di
sana.
27
beragama Islam, namun belum sepenuhnya menjalankan syariat agama Islam secara
benar dan teratur. Umat Islam ini masih memegang erat tradisi leluhur mereka, yaitu
sebuah tradisi yang berasal dari kebudayaan nenek moyang terdahulu sebelum
masuknya agama Islam.53
Dalam tradisi keagamaan abangan, mereka masih sering melakukan kebiasaan
kebiasaan lama, melakukan upacara ritual yang biasa disebut nyajeni saat ini biasa
dikenal dengan (slametan).54
Kepercayaan mereka yang kompleks dan rumit terhadap
mahluk halus dan dewa dewi, masih terus berlanjut secara turun temurun menjadi
sebuah tradisi.Karena kebiasaan yang sering dilakukan tersebut membuat mereka
kesulitan dalam meninggalkannya.Meskipun agama Islam sudah mulai masuk serta
sudah diyakini, mereka masih tidak bisa lepas sepenuhnya dari kebiasaan kebiasaan
tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa abangan merupakan sekelompok masyarakat
yang tinggal di dusun Ngudi, beragama Islam, namun masih melakukan ritual
keagamaan yang secara turun temurun dilakukan oleh leluhur meraka, meskipun
tradisi itu di luar dari ajaran Islam yang mereka anut.
Adapun pengertian santri adalah seseorang atau sekelompok orang yang
beragama Islam, yang memegang teguh ajaran Islam serta taat dalam menjalankan
kegiatan keagamaan.Dalam istilah masyarakat dusun Ngudi, santri diartikan sebagai
orang yang sangat dalam pemahaman agamanya, selalu menjalankan perintah agama
serta menjauhi larangan agama.Jenis golongan ini termasuk ke dalam golongan orang
orang yang saleh.Oleh karena itu, peribadatan pokok seperti sembahyang, merupakan
sesuatu yang terbilang wajib yang harus mereka lakukan tanpa terkecuali.55
Tradisi keagamaan santri, sama dengan masyarakat Islam pada umumnya,
selalu menjalankan aturan - aturan yang ada dalam ajaran Islam. Dalam ajaran Islam
53
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), h. X. 54
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981), h. 6. 55
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981) h. 173.
28
ada suatu istilah yang menjelaskan tentang suatu ungkapan yang menjadi pegangan
mereka yaitu “menjalankan segala perintah allah swt dan menjauhi segala larangan
allah swt”. Hampir keseluruhan masyarakat Dusun Ngudi memeluk agama Islam,
mereka menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh agama Islam, melaksanakan
sholat, membayar zakat, berpuasa, bahkan melaksanakan dan memeriahkan hari besar
Islam seperti Isro wal Miroj, Maulid nabi Muhammad saw dan lain lain. Semua itu
mereka lakukan atas dasar kepercayaan pada agama yang mereka anut yaitu agama
Islam.56
Kaum priyayi merupakan kelompok orang yang terdiri dari pegawai negeri,
kaum yang terpelajar, dan golongan ningrat.Priyayi menurut istilah aslinya
menunjukkan kepada orang yang bisa menyelusuri asal usul keturunannya sampai
kepada raja - raja besar Jawa.Semenjak bangsa Belanda menjajah tanah Jawa, mereka
memperkerjakan kaum priyayi di pemerintahan sebagai intrumen administrasi
pemerintahan.57
Namun, semua pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan
perspektif masyarakat di Dusun Ngudi tentang priyayi. Oleh masyarakat dusun
Ngudi, priyayi diartikan sebagai seorang yang memiliki jabatan di pemerintahan dan
tidak mesti keturunan ningrat ataupun bangsawan, meskipun hanya keturunan
masyarakat petani biasa jika pekerjaanya di sebuah lembaga pemerintahan (PNS),
masyarakat pun akan menyebutnya dengan sebutan priyayi.58
Ada beberapa hal yang membedakan antara priyayi dengan santri dan
abangan, jika santri dan abangan ruang lingkupnya mengenai kepercayaan dan
kebudayaan, sedangkan priyayi masuk dalam kategori struktur sosial masyarakat atau
tingkatan masyarakat bukan golongan masyarakat dalam ruang lingkup kepercayaan
dan kebudayaan.
56
Abdul Mufid, salah satu Aktifis Remaja Masjid Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di
Dusun Ngudi, 2 juli 2016. 57
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan oleh
Aswab Mahasin, (Jakarta, PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981) h. 308. 58
Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 14
juli 2016.
29
Dari semua struktur sosial dan kebudayaan yang ada di Dusun Ngudi, pada
awalnya memang masih mengelompokkan golongan sosial kemasyarakatan, namun
dengan berjalannya waktu, seiring dengan mulai munculnya kesadaran masyarakat
akan pengetahuan dan pendidikan, maka secara perlahan - lahan golongan sosial
masyarakat tersebut mulai hilang dan semua masyarakat melebur menjadi satu dan
tidak ada lagi perbedaan dan penggolongan masyarakat. Tidak hanya santri yang aktif
dan menjalankan perintah agama Islam, tetapi abangan juga melakukan rutinitas
keagamaan Islam dengan rutin, dan bukan hanya abangan yang lalai dalam melanggar
aturan aturan agama Islam, terkadang santri pun lalai dalam melakukan rutinitas
keagamaan, jadi sulit untuk membedakannya karena semuanya sudah melebur
menjadi satu.59
C. Perilaku Spiritual Masyarakat Dusun Ngudi
Masyarakat Dusun Ngudi sangat kental dengan budaya dan tradisi adat
mereka.Meskipun masyoritas masyarakat beragama Islam, namun mereka masih
memegang teguh pada adat istiadat dan tradisi setempat.Di Dusun Ngudi ajaran dan
agama Islam sudah melekat pada kehidupan mereka, tetapi tetap saja kepercayaan
mereka terhadap tradisi leluhur tidak hilang, bahkan masih tetap ada serta masih
dilaksanakan. Meskipun tradisi dan kebiasaan mereka bertentangan dengan ajaran
agama Islam, namun kebiasaan itu tetap mereka laksanakan, karena masyarakat
beranggapan, jika sesuatu sering dilakukan secara terus - menerus dalam kurun waktu
yang lama dan tiba - tiba tidak dilakukan atau terhenti, maka mereka merasa takut ada
sesuatu yang nantinya akan menimpa mereka. Inilah alasan mereka, sehingga mereka
kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan - kebiasaan yang telah dilakukan secara
turun - temurun tersebut.
Pandangan masyarakat Dusun Ngudi memang masih berakar jauh ke masa
lalu, yaitu mereka sudah mengenal tuhan sebelum datangnya agama - agama di
59
Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun
Kalangan, 13 juli 2016.
30
Indonesia.Namun, tuhan dan ajaran yang dimaksud masih bersifat animisme60
dan
dinamisme61
.Semua agama yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Dusun
Ngudi, karena mereka beranggapan bahwa semua agama itu baik.Ungkapan inilah
yang kemudian menimbulkan sebuah sinkretisme62
di kalangan masyarakat Dusun
Ngudi. Agama baru telah masuk ke kehidupan mereka, akan tetapi pandangan mereka
terhadap sesuatu yang gaib tidak hilang, bahkan masih melekat kuat. Kepercayaan
tersebut menimbulkan perilaku spiritual dalam ruang lingkup masyarakat. Semuanya
atas dasar kepercayaan terhadap segala sesuatu yang mereka anggap memiliki
kekuatan di luar batas kemampuan manusia, seperti kepercayaan terhadap roh - roh,
benda - benda pusaka, dan lain - lain. Dari kepercayaan tersebut timbulah suatu
kebiasaan dalam melakuan perilaku spiritual berupa ritual - ritual adat.
Gambaran tentang perilaku spiritual masyarakat Dusun Ngudi, berupa ritual -
ritual keagamaan yang terwujud dalam rutinitas harian masyarakat dalam bertani.
Saat bertani, masyarakat masih memegang teguh kebiasaan - kebiasaan yang ada
berupa tradisi nyajeni, tradisi nyuyuk, tradisi ngalemi, dan lain - lain.63
Perilaku
spiritual masyarakat dalam agama Islam yang mereka lakukan adalah malakukan
pendekatan diri kepada allah di suatu tempat dalam kurun waktu yang lama, padahal
tujuannya adalah untuk mendekatkan diri kepada allah dan membersihkan diri dari
sifat - sifat duniawi.
60
„Animisme‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kepercayaan kepada roh
roh yang mendiami semua benda seperti: pohon, batu, sungai, dan sebagainya. 61
„Dinamisme‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kepercayaan bahwa
segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. 62
„Sinkretisme‟ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemahaman baru yang
merupakan perpnduan dari beberapa paham aliran (agama) yang berbeda untuk mencari keserasian,
keseimbangan, dan sebagainya. 63
Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun
Kalangan, 13 juli 2016, sumber serupa diperoleh dari Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa
Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 14 juli 2016.
31
BAB IV
PERSPEKTIF MASYARAKAT DAN PERILAKU SOSIAL
WARGA DUSUN NGUDI
A. Pengaruh Elite Agama dan Tokoh Masyarakat dalam Adat Istiadat
Masyarakat Setempat
Tingkatan sosial sangat menjadi ketentuan mendasar dalam masyarakat Jawa,
hal ini dikarenakan masyarakat Jawa memiliki susunan masyarakat yang tersusun
secara hierarki.Hierarki menentukan peringkat dan kewenangan berdasarkan status
sosial masyarakatnya.Dengan demikian, masyarakat Jawa sangat sarat dengan
personalisasi, dimana orang dikenal dan dipersamakan dengan posisi yang mereka
duduki dalam struktural sosial kemasyarakatan.Maka tidaklah heran bila dalam
realitanya, orang yang memiliki tempat atau jabatan yang tinggi dalam ruang lingkup
tersebut, menjadi sangat dikagumi dan didengarkan, bahkan menjadi panutan bagi
masyarakat pada umumnya. Kesadaran masyarakat akan status tersebut, membuat
masyarakat tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa tunduk terhadap sesuatu yang
sudah ada. Mereka hanya mengikuti alur dan sistem yang pada hakekatnya akan
membentuk suatumasyarakat yang kaku, yang segala sesuatunya berjalan tidak
seperti adanya.
Pada masyarakat Dusun Ngudi terdapat dua penguasa yang memiliki
kedudukan yang tinggi.Keduanya memiliki peran dan pengaruh terhadap masyarakat
di dusun tersebut.Kedua penguasa tersebut adalah pemuka agama (Elit Ulama) dan
tokoh masyarakat (mudin64
).Kedua penguasa inilah yang mengatur pola kehidupan
masyarakat desa, dari peribadatan sampai ke tradisi dan adat istiadat.65
64
„Mudin‟ merupakan panggilan atau julukan untuk seorang yang ditunjuk oleh masyarakat
untuk melestarikan adat istiadat dalam sebuah desa atau dusun, tugas dari orang tersebut meliputi
segala hal yang menyangkut dan berhubungan dengan adat istiadat dan tradisi masyarakat di desa atau
dusun tersebut, kebanyakan dari mereka paham dan mengerti akan sejarah desa dan kebiasaan
kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun temurun. 65
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap di
sana.
32
Penguasa pertama yaitu pemuka agama (Elit Ulama), merupakan orang yang
ahli dalam hukum keagamaan, yang dimaksud elite ulama adalah kiai. Gambaran
masyarakat terhadap sosok kiai adalah seorang yang memiliki pengetahuan ilmu
agama Islam yang mendalam, pandai dalam menyampaikan ajaran agama Islam
kepada masyarakat, dan memiliki mushola (langgar) yang digunakan untuk
melangsungkan pengajian atau mengajar murid (santri).66
Peran seorang kiai dalam
mengenalkan dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat sangatlah penting,
seperti mengajak masyarakat untuk taat menjalankan perintah agama Islam dan
menjauhi segala larangannya.Selain itu, seorang kiai juga melakukan metode -
metode khusus untuk membuat masyarakat lupa terhadap kebiasaan - kebiasaan lama
dan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Penguasa kedua yaitu tokoh masyarakat (Mudin), Masyarakat Dusun Ngudi
menafsirkan Mudin sebagai orang yang memiliki pengaruh terhadap pelestarian
budaya yang ada, dikarenakan tokoh ini sangat mengerti tentang sejarah leluhur dan
budaya nenek moyang, serta dipercaya oleh masyarakat untuk melestarikan
kebudayaan yang ada di daerah tersebut. Seorang mudin memiliki tanggung jawab
atas segala hal yang berbau upacara keagamaan dan hari - hari besar, seperti
mengurusi jenazah, sedekah bumi, dan tradisi dalam pertanian yaitu, tradisi mitoni,
tradisi ngalemi, tradisi nyuyuk, dan lain - lain.67
Jadi, Mudin punya peran yang sangat
penting, selain memiliki pengaruh terhadap kebudayaan yang ada, mudin juga
dipercaya masyarakat sebagai penentu hari - hari penting dalam kalender Jawa,
seperti pertanian, pernikahan, pemakaman, dan lain - lain.
Jika diamati tokoh - tokoh ini memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
masyarakat Dusun Ngudi, terkadang antar tokoh masyarakat ada beberapa perbedaan
pendapat dalam menentukan sebuah keputusan, bahkan bisa bertentangan antara satu
dengan yang lain, misalnya dalam penentuan hari - hari besar, dalam pelaksanaan
66
Abdul Mufid, salah satu Aktifis Remaja Masjid Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di
Dusun Ngudi, 2 juli 2016. 67
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negeri Sipil di Departmen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
33
suatu upacara adat dan dalam memberi pemahaman tentang agama ke masyarakat.
Ada tokoh yang lebih condong pada agama pembaharuan (agama Islam), mengikis
dan menghapus budaya lama yang tidak sesuai dengan agama Islam, tetapi tokoh lain,
lebih memilih melestarikan budaya yang ada dan menggabungkannya dengan budaya
yang baru.Disini masyarakat dituntut untuk bisa menentukan pilihan, harus memilih
tokoh dengan pemikiran pembaharuan atau memilih tokoh dengan pemikiran
akulturatif, dan teruntuk masyarakat awam pilihan ini sangat memberatkan mereka.
Masyarakat Dusun Ngudi sangat identik dengan kerukunan, sehingga tidak
heran, bahwa meskipun terdapat perbedaan dalam melakukan kebiasaan - kebiasaan
yang ada, mereka tidak pernah mempermasalahkannya, karena mereka berpendapat
bahwa menghargai dan menghormati orang lain merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia yang hidup di dunia ini. Namun, prinsip kerukunan ini
suatu saat akan hilang bila antar warga tidak dapat lagi menahan diri, yang
menyebabkan konflik sosial. Konflik bisa pecah bila ada kepentingan seseorang atau
kelompok tertentu yang saling bertentangan dan bertabrakan.68
Akibatnya, prinsip
awal untuk selalu menghargai dan menghormati orang lain akan sirna dan hilang
karena terkalahkan oleh ego dan tujuan masing - masing.
B. Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat Tentang Budaya Jawa dan Agama
Islam
Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan agama, begitu juga
msyarakat yang ada di Dusun Ngudi.Semua itu bisa diketahui dari pandangan para
tokoh masyarakat dan ulama yang ada, serta tingkah laku keseharian
masyarakatnya.Jika diamati, di Dusun Ngudi ada beberapa ulama dan tokoh
masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap budaya dan agama.
Kiai Kastuju, seorang tokoh agama di Dusun Ngudi berpendapat, bahwa
budaya Jawa merupakan budaya yang unik. Karena budaya tersebut menyangkut
kepercayaan dan keyakinan masyarakat, dan pelaksanaannya berkaitan dengan ritual
68
Ahmad Khalil, M. Fil.I, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN Malang
Press, 2008), h. 165.
34
ritual. Kebudayaan ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, kebudayaan ini berupa
upacara adat seperti sedekah bumi, tradisi dalam pertanian, dan lain - lain.69
Pandangan yang sama pun diutarakan oleh Kiai Suhadi, tokoh agama di Dusun
Ngudi, dia menambahkan, bahwa kepercayaan masyarakat Jawa sudah terbentuk
sebelum agama - agama masuk ke Nusantara. Kepercayaan tersebut terdiri dari
Animisme dan Dinamisme. Budaya pada masyarakat Jawa, bukan hanya berupa
tradisi dan upacara adat saja, melainkan berupa kesenian, seperti wayang kulit,
ketoprak, tayup, gamelan dan lain lain.70
Budaya Jawa menurut Kiai Abdul Hadi, seorang tokoh agama dari dusun lain,
bahwa budaya Jawa awalnya tercipta jauh sebelum masyarakat mengenal agama,
terdiri dari empat golongan manusia.Golongan pertama adalah golongan kuning,
yaitu orang orang pendatang dari luar nusantara yang berasal dari cina.Golongan
kedua adalah golongan putih, yaitu pedagang pendatang yang membawa ajaran Islam
ke Nusantara.Golongan ketiga adalah golongan hitam, yaitu para penjelajah Eropa
yang datang ke Nusantara. Golongan keempat adalah golongan abang (merah), yaitu
penduduk pribumi yang tinggal di Jawa.Dari keempat golongan ini terciptalah
masyarakat yang membentuk sebuah kebudayaan yang dikenal dengan kebudayaan
Jawa (Kejawen).71
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Kusnan, salah satu tokoh
masyarakat di Dusun Ngudi. Dia memaparkan bahwa budaya Jawa (Kejawen)
terbentuk dari kebiasaan masyarakat yang percaya akan mistis dan mitos. Kebiasaan
tersebut diyakini dan dilaksanakan melalui perilaku spiritual. Perilaku tersebut berupa
ritual ritual seperti sajenan, mitonan, sedekah bumi dan lain - lain. Semua itu
69
Kiai Kastuju, Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu Sarana Pendidikan Islam di
Dusun Ngudi), wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 27 juni 2016 sumber serupa diperoleh dari Kiai
Suhadi, Pengajar TPA (salah satu Sarana Pendidikan Islam di Dusun Ngudi), wawancara pribadi, di
Dusun Ngudi, 26 juni 2016. 70
Kiai Suhadi, Pengajar TPA (salah satu Sarana Pendidikan Islam di Dusun Ngudi),
wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 26 juni 2016. 71
Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun
Kalangan, 13 juli 2016, sumber serupa diperoleh dari Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa
Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25 juni 2016.
35
berlandaskan atas keyakinan masyarakat terhadap hal - hal yang bersifat mistik dan
gaib.72
Mengenai agama Islam, Kiai Bakri (Mudin) berpendapat bahwa Islam
merupakan agama yang dibawa oleh para Walisongo.Walisongo mengajarkan
masyarakat untuk berbuat baik terhadap sesama, beramal sholeh, menghormati orang
lain, dan lain - lain.Ajaran ini sangat sesuai dengan perilaku masyarakat Jawa yang
identik dengan ramah, lemah lembut, dan santun.Kesamaan inilah yang
mempermudah agama Islam diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya.Selain
itu, agama Islam juga tidak menuntut terlalu banyak dalam pelaksanaan ibadahnya,
cukup dengan keyakinan tanpa ada perlu sesuatu yang harus dijadikan sesembahan
dalam pelaksanaan ibadahnya.73
Pemikiran serupa juga dikemukakan oleh Mardiyah
S.Sy S.Pd, salah seorang tokoh masyarakat di Dusun Ngudi.Mbak diyah
mengemukakan bahwa metode yang digunakan para tokoh Islam agar agama tersebut
dapat diterima dan tidak menimbulkan gejolak penolakan adalah metode akulturasi,
antara agama Islam dengan tradisi yang sudah ada.Keduanya dihubungkan dan
dicampur menjadi satu.Dia menambahkan bahwa ajaran Islam disisipkan kepada
tradisi yang ada supaya masyarakat bisa menerima.Metode ini bertujuan agar
masyarakat tidak menyadari dan tidak menolak agama Islam yang bersifat baru, yang
mungkin dianggap asing bagi mereka.Selain itu, metode ini juga bertujuan agar
masyarakat seolah - olah melakukan tradisi yang ada, namun sudah dalam ruang
lingkup ajaran agama Islam.74
Mengenai masyarakat Jawa dan agama Islam, aktifis pemuda masjid Abdul
Mufid berpendapat, bahwa masyarakat Jawa sangat mudah dalam bersosialisasi dan
menerima sesuatu yang baru (toleran).Saat agama Islam itu dibawa oleh tokoh tokoh
72
Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25
juni 2016. 73
Kiai Bakri, selaku Mudin di Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 28 juni
2016, sumber serupa diperoleh dari Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama
Blora, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 74
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
36
Islam ke tanah Jawa, masyarakat Jawa menyambutnya dengan baik, karena ada rasa
penasaran yang kuat terhadap sesuatu yang baru tersebut.Selain itu, dia juga
menjelaskan bahwa, Islam bisa berkembang secara merata ke setiap daerah di Jawa,
karena agama Islam dikenalkan secara turun - temurun dari dulu sampai
sekarang.Islam masuk ke Dusun Ngudi tanpa ada pembantahan dalam ajarannya,
masyarakat menyambut ajaran tersebut dengan baik.75
Saat agama Islam sudah masuk
dan sudah menjadi agama mayoritas dan panutan, mereka tetap melaksanakan ritual
keagamaan Jawa, karena pada awalnya Islam masuk lewat tradisi dan budaya yang
ada.76
Akulturasi budaya dan agama Islam menjadi masalah tersendiri bagi
masyarakat Dusun Ngudi.Kebanyakan dari mereka kebingungan dalam mengambil
keputusan untuk melakukan sesuatu kegiatan.Dalam budaya yang ada, mereka
dituntut untuk melakukan sesuatu hal seperti ritual - ritual adat, dan dalam agama
Islam hal tersebut dilarang untuk dilakukan.Disinilah muncul ketergantungan
masyarakat pada keputusan tokoh masyarakat yang ada, karena mayoritas masyarakat
kesulitan dalam menentukan segala sesuatu yang harus mereka lakukan.
Problema pun muncul saat beberapa tokoh masyarakat berbeda pemikiran dan
pendapat dalam memutuskan sesuatu hal.Sebagian tokoh beranggapan bahwa,
meskipun agama Islam sudah masuk dan dianut oleh mayoritas masyarakat, tradisi
dan kebiasaan masyarakat yang sifatnya sakral jangan dihilangkan. Bahkan menurut
Kiai Bakri, tradisi Jawa dalam sejarah sangatlah menarik, sehingga harus
dipertahankan, ketika agama baru sudah masuk dan dipercaya oleh masyarakat,
seharusnya adat istiadat yang ada tidak perlu dihilangkan, bahkan seharusnya
dipertahankan dan dilestarikan, karena setiap daerah pasti memiliki adat dan
istiadatnya masing - masing. Jika itu dihilangkan, maka akan menghilangkan pula ciri
75
Abdul Mufid, salah satu Aktifis Remaja Masjid di Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di
Dusun Ngudi, 2 juli 2016. 76
Kiai Kastuju, Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu Sarana Pendidikan Islam di
Dusun Ngudi), wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 27 juni 2016.
37
khas daerah tersebut.77
Mardiyah (mbak Diyah) juga sependapat dengan asumsi
tersebut. Menurutnya, tradisi di suatu daerah yang dijalankan masyarakat secara
umum dari waktu ke waktu secara terus - menerus dari satu generasi ke generasi,
akan sangat sulit untuk dihilangkan, karena keyakinan dan kebiasaan tersebut sudah
melekat kuat dalam diri masyarakat.78
Disatu sisi tokoh masyarakat beranggapan seperti itu, dan di sisi lain sebagian
tokoh masyarakat yang lain memegang teguh pada ajaran agama Islam. Kiai Abdul
Hadi menegaskan bahwa, semua rutinitas masyarakat dalam bentuk tradisi, jika
berbau kemusrikan akan dibrantas dan dihilangkan. Dalam ajaran Islam segala
sesuatu yang berbau kemusrikan sama saja keluar dari ajaran agama Islam itu sendiri,
maka cukup melaksanakan segala tradisi yang tidak menjerumuskan pada kemusrikan
saja.79
Kiai Kastuju menambahkan, jika dilihat dari tradisi masyarakat dalam bertani,
yang pelaksanaannya sangat rumit dan memakan banyak biaya, alangkah baiknya jika
bertani masyarakat cukup melaksanakan tradisi yang mudah mudah saja, di samping
meminimalisir kemusrikan, di dalam tradisinya pun ditanamkan niat shadaqoh dan
doa dalam pelaksanaanya, semua itu bertujuan agar Gusti Allah mengabulkan dan
memberikan apa yang masyarakat pinta, seperti hasil panen yang bagus serta
melimpah.80
Dalam hal ini, perbedaan pendapat dan pemikiran terbilang wajar. Disatu
pihak berpendapat seperti ini dan di pihak lain berpendapat seperti itu, namun yang
terpenting adalah saling menghargai, agar kerukunan dan ketentraman dalam
77
Kiai Bakri, selaku Mudin di Dusun Ngudi, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 28 juni
2016, sumber serupa diperoleh dari Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama
Blora, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 78
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 79
Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun
Kalangan, 13 juli 2016. 80
Kiai Kastuju, Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu Sarana Pendidikan Islam di
Dusun Ngudi), wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 27 juni 2016.
38
bertetangga dan bermasyarakat tetap terjaga.81
Mengenai problema di atas, sebagian
masyakat masih bingung untuk mengikuti pihak yang mana, bahkan terkadang
masyarakat hanya diam dan tidak melakukan apapun. Bagi masyarakat yang memiliki
wawasan, akan mudah untuk menanggapi dan mengambil kesimpulan, sebaliknya
bagi masyarakat awan, yang sama sekali tidak mengenal sekolah serta minimnya
pengetahuan, tidak bisa untuk menanggapi dan memberi kesimpulan. Disinilah
masyarakat seakan dituntut untuk berprinsip dan berpegang teguh pada keyakinan
mereka dengan mengikuti pendapat seorang tokoh masyarakat.
C. Relasi Agama Islam dengan Perilaku Keseharin Masyarakat Dusun Ngudi
Masyarakat yang tinggal di suatu daerah, dengan letak geografis daerah yang
jauh dari laut dan gunung, serta lebih dekat dengan pedalaman hutan, lebih memilih
bertani untuk memenuhi kebutuhannya sehari - hari, sekaligus menjadikan bertani
sebagai mata pencaharian. Dalam tradisi bertani, di Dusun Ngudi terdapat banyak
sekali tahapan pelaksanaannya secara berurutan di antaranya adalah: Tradisi Ngalungi
(Kupatan), Tradisi Wiwitan (Nggarap), Tradisi Nyebar (Pembibitan), Tradisi Wiwitan
(Tanam Padi), Tradisi Ngalungi (Pasca Tanam Padi), Tradisi Ngalemi (Sajeni),
Tradisi Nyuyuk (Panenan).
Tradisi Ngalungi (Kupatan), tradisi ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh
sebelum agama Islam masuk dan dikenal oleh masyarakat dusun Ngudi, dalam tradisi
ini awalnya masyarakat masih memegang teguh pada keyakinan terhadap animisme
dan dinamisme serta kepercayaan terhadap dewa dewi, namun setelah Islam mulai
mereka kenal ada perubahan keyakinan dalam melaksanakan tradisi tersebut. tradisi
ini biasa dilakukan saat awal musim hujan, bagi yang punya ternak seperti sapi,
kerbau, domba atau kambing. Dalam tradisi ini, prosesinya, dengan membuat
tumpeng yang isinya berupa kupat, lepet, dan lupis. Lalu pelaksanaanya, jika sebelum
Islam masuk atau masyarakat belum mengenal tuhan dan kepercayaan mereka masih
bersifat animisme dan dinamisme,dan pemukiman mereka belum berkembang seperti
81
Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 25
juni 2016.
39
sekarang ini, pelaksanaannya yaitu semua tumpengan dan isinya dibawa ke tempat
penggembalaan ternak, seperti di padang rumput yang luas, lalu semua hidangan itu
dimakan oleh seluruh peserta yang ada, peserta di sini adalah kerabat dari pemilik
hajat. Sisa hidangan, akan dikalungkan ke setiap hewan ternak. Istilah “Ngalungi”
berasal dari budaya masyarakat saat mengalungi hewan ternak, dan ini merupakan
simbol dari ritual tersebut.Mereka meyakini bahwa dengan dikalungkannya sisa - sisa
makanan tersebut terhadap hewan ternak mereka, dewa dewi dan roh roh leluhur
mereka akandatang dan membantu menyehatkan ternak mereka agar bisa membajak
sawah. untuk sekarang, saat masyarakat sudah mengenal agama Islam ada sedikit
perubahan dalam pelaksanaanya. Masyarakat Ngudi mengalihkan ke pemukiman,
karena minimnya tempat penggembalaan ternak, bahkan sudah terbilang tidak ada,
maka tradisi Ngalungi itu, tempatnya dialihkan ke rumah warga yang memiliki hajat
tersebut. Prosesinya dengan mengundang tetangga sekitar rumah untuk datang dan
membacakan doa, yang bertujuan untuk kesuksesan dalam bertani.Warga disini biasa
menyabutnya dengan istilah “kondangan” karena sifatnya yang mengundang tetangga
sekitar. Hidangannya juga mengalami pembaharuan, yang awalnya berupa
tumpengan, yang isinya kupat, lepet, dan lubis, sekarang berupa sewakul makanan
yang di dalamnya berisi hasil bumi yang sudah diolah menjadi masakan siap saji,
seperti tempe, mie, kacang, telur, nasi, dan lain lain.82
Tradisi Wiwitan (Nggarap), merupakan tradisi yang dilaksanakan ketika akan
menggarap sawah. Masyarakat percaya saat menggarap sawah harus ada tradisi yang
dilaksanakan agar sawah yang digarap bisa subur dan menggembur serta mudah
ditanami. Dalam pelaksanaanyahampir sama dengan tradisi ngalungi yaitu dengan
mengundang warga sekitar atau tetangga sekitar, jika sebelum datangnya Islam
pelaksanaannya hanya berupa prosesi makan – makan hidangan di sawah sebelum
pekerja menggarap sawah, tidak ada doa – doa atau simbolis dalam tradisi ini,
kemudian dilanjutkan dengan menggarap sawah. Saat datangnya Islam, dalam
82
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
40
pelaksanaannya yaitu dengan mengundang tetangga – tetangga untuk datang ke
rumah sohibul hajat, lalu mengumandangkan doa di rumah sohibul hajat, tujuan dari
doa tersebut untuk kesuksesan dalam menggarap sawah sohibul hajat. Hidangan yang
disediakan pun sama dengan tradisi ngalungi yaitu berupa hasil bumi yang sudah
diolah menjadi masakan siap saji, namun yang membedakan adalah istilah di
belakang kata “Kondangan” itu. Jika tradisi ngalungi istilah yang sering diucapkan
oleh warga adalah “Kondangan Ngalungi”, maka dalam tradisi wiwitan, warga biasa
memberi isitilah “Kondangan Wiwitan”.83
Tradisi Nyebar (Pembibitan), dilaksanakan ketika tanah yang digarap sudah
mulai menggembur, hanya tinggal ditebar bibit - bibit tanaman yang akan ditanam di
sawah, seperti padi, jagung, tebu, dan lain - lain. Dalam tradisi ini, biasanya sohibul
hajat membuat tumpeng, yang di dalamnya berisi ketan sama goro - goro. Goro - goro
biasa dibuat dari tepung padi, tepung jagung, atau tepung ketela, semuanya dibuat
seperti nasi jagung. Kemudian pembuatannya dengan diberi sumba atau pewarna
hijau, yang bertujuan agar tanaman yang ditanam itu berwarna hijau seperti halnya
pewarna hijau tersebut. Lalu semua itu dibawa ke tempat pembenihan yang terletak di
sawah.Hidangan tersebut kemudian dimakan oleh setiap pekerja yang ada di
sawah.Sama halnya dengan tradisi Ngalungi dan Wiwitan, tradisi Nyebar juga
dilakukan dengan kondangan, namun tempatnya saja yang berbeda.Jika tradisi
Ngulangi dan Wiwitan letaknya di rumah sohibul hajat, tradisi Nyebar dilakukan di
lokasi tempat penyebaran bibit yaitu di sawah. Dalam pelaksanaannya sama saja dari
sebelum datangnya Islam sampai dengan Islam datang, pembedanya adalah jika
sebelum Islam mereka hanya makan - makan dan dilanjutkan dengan menebar bibit
tanaman di sawah, namun setelah Islam sudah mereka kenal, pelaksanaan tradisi ini
yaitu dengan diawali dengan doa dan setelah itu tumpengan dimakan para pekerja
83
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
41
yang hadir di lokasi tersebut dan dilanjutkan dengan menebar bibit tanaman di
sawah.84
Tradisi Wiwitan (Tanam Padi), biasanya dilakukan saat menanam padi,
tepatnya setelah sawah sudah mulai diairi. Dalam tradisi ini, pemilik sawah memiliki
tanggung jawab penuh terhadap tumpengan (makanan) bagi para pekerja yang
bekerja di sawah.Tumpengan tersebut berisi nasi, lauk pauk, pisang dua sisir dan cok
baka.Tumpengan tersebut dibawa ke sawah dan diberikan kepada seluruh pekerja
yang bekerja menanam padi.Jika sebelum Islam masuk atau masyarakat belum
mengenal tuhan dan kepercayaan mereka masih bersifat animisme dan
dinamisme,Dalam pelaksanaannya yaitu dengan menyantap seluruh tumpengan di
sawah, lalu cok baka yang di dalamnya berisi benang, kaca, sisir, bedak, Lombok,
bawang, minyak, di letakkan di sawah. Gunanya untuk mengundang dewa dewi dan
roh – roh leluhur supaya datang dan memberikan bantuan bagi para pekerja yang
menanam padi agar penanamannya berjalan dengan lancar. Setelah datangnya Islam
perlahan - lahan kegiatan ini mulai ditinggalkan karena mereka menghindari
kemusyrikan, tapi tidak menutup kemungkinan masih ada yang melakukan kegiatan
tersebut, karena mereka meyakini bahwa kegiatan yang awalnya sudah
berlangsungsecara turun temurun apabila ditinggalkan akan menimbulkan mala
petaka.85
Tradisi Ngalungi (Pasca Tanam Padi), sama halnya dengan tradisi Ngalungi
(Kupatan), dari tumpengan sampai kondangan semuanya sama. Perbedaannya terletak
pada waktu pelaksanaanya.Jika tradisi ngalungi (Kupatan) pelaksanaannya pada awal
musim penghujan, maka tradisi ngalungi (Pasca Tanam Padi) dilakukan setelah
menanam padi.86
84
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 85
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 86
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara pribadi,
di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
42
Tradisi Ngalemi (Sajeni), merupakan tradisi inti dari semua tradisi dalam
tradisi pertanian. Tradisi ini dilakukan saat pari yang ditanam mulai berisi padi,
samahalnya dengan orang yang sedang hamil yang biasa dikenal dengan istilah
Mitoni. Bedanya jika Mitoni yang hamil adalah manusia, jika Ngalemi yang hamil
adalah pari. Prosesinya diawali dengan membawa ambeng yang berisi umbi - umbian
rebus seperti ketela, gayeng, ubi, jeruk, sedang pelaksanaanya Jika sebelum Islam
masuk atau masyarakat belum mengenal tuhan dan kepercayaan mereka masih
bersifat animisme dan dinamismeyaitu dengan mengundang tetangga pemilik hajat
untuk datang ke rumah sohibul hajat untuk menyantap hidangan yang telah
disediakan, setelah itu peserta yang hadir membawa blowok87
dan sisa sisa ambeng
yang berisi umbi - umbian ke sawah. Untuk blowok diletakkan di setiap sudut sawah,
sedangkan ambeng ditebar ke seluruh bagian permukaan sawah.Tujuannya adalah
untuk memberikan sesajen bagi dewa dewi dan roh roh leluhur.Dalam tradisi ini
simbolisnya terletak pada sajenan yang di letakkan di area persawahan.Setelah
datangnya Islam tradisi ini perlahan lahan - mulai ditinggalkan oleh masyarakat
dusun Ngudi, karena pelaksanaannya yang lebih berbau kemusrikan, selain itu ulama
- ulama di dusun Ngudi pun menghimbau setiap warganya untuk mulai meninggalkan
tradisi ini.88
Tradisi Nyuyuk (Panenan), merupakan tradisi yang dilaksanakan saat pari
sudah terlihat berisi padi dan terlihat sedikit menunduk, sama halnya dengan tradisi
pertanian yang lain, kondangan dan tumpengan menjadi syarat inti dalam tradisi ini.
Selain membawa tumpengan89
pemilik sawah juga diharuskan membawa cokbaka di
takir90
, merang, dan menyan.Keempat bawaan yang dibawa oleh pemilik sawah
memiliki simbol masing - masing.Pertama, tumpengan melambangkan kasih sayang
terhadap sesama, karena prosesinya dengan membagikannya kepada semua pekerja
87
„Blowok‟ adalah bubur tepung yang di lumuri gula Jawa berwadahkan batok kelapa. 88
Mardiyah S.Sy S.Pd, selaku Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara
pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 89
„Tumpengan‟ yang dibawa wajib berisi yang berisi kue cucur, onde onde, gemblong ketan. 90
„Cokbaka di takir‟ yang di dalamnya berisi yang berisi benang, kaca, sisir, bedak, Lombok,
bawang, minyak.
43
yang ada di sawah. Kedua, cokbaka yang isinya benang, kaca, sisir, bedak, cabe,
minyak, dan bawang, bertujuan untuk memberikan sesembahan kepada dewi Sri91
,
agar sang dewi memberikan hasil panen yang bagus serta melimpah. Cokbaka yang
berisi kaca, sisir, bedak, dan benang melambangkan bahwa perempuan merupakan
sesosok manusia yang sering berdandang, sedangkan cokbaka yang berisi cabe,
minyak, bawang melambangkan bahwa perempuan itu pekerjaannya adalah di dapur
memasak.Yang terakhir adalah merang92
dan menyan, inti dari tradisi Nyuyuk ada
pada dua benda ini.Makna Nyuyuk adalah nyumet atau membakar.Jadi, prosesinya
adalah merang dan menyan dijadikan satu dan dibakar untuk mengundang dewa -
dewi agar datang.Panggilan tersebut bertujuan agar dewa - dewi menerima
sesembahan dan mengabulkan keinginan mereka. Ada perubahan dari pelaksanaan
tradisi ini setelah masyarakat mengenal ajaran Islam, yaitu mereka tidak lagi
melakukan kegiatan yang berbau kemusrikan dan pemilik sawah tidak lagi membawa
cokbaka di takir93
, merang, dan menyan, karena benda – bendanya yang sulit di cari,
selain itu kebanyakan dari masyarakat dusun Ngudi sudah tidak mau repot lagi,
mereka lebih memilih yang simpel – simpel saja dan tidak mengeluarkan banyak
biaya.94
Dari keseharian mereka dalam bertani inilah Islam mulai diperkenalkan oleh
para tokoh - tokoh pembawa Islam.Pada awalnya melalui ketauhidan, lalu penanaman
ahlak yang baik, setelah itu barulah ajaran - ajaran Islam.Mayoritas penduduk Dusun
Ngudi beragama Islam dan mayoritasnya memiliki mata pencaharian sebagai
pertani.Oleh karena itu, Islam sangat mudah diterima oleh masyarakat, jika Islam
91
„Dewi Sri‟ oleh masyarakat Jawa dikenal sebagai seorang dewi yang memberikan
kemakmuran terhadap masyarakat, dari segi pertanian, perekonomian, dan kehidupan. 92
„Merang‟ merupakan helai helai tangkai padi yang telah dipisahkan dengan isinya dan
dijadikan bahan untuk pembakaran. 93
„Cokbaka di takir‟ yang di dalamnya berisi yang berisi benang, kaca, sisir, bedak, Lombok,
bawang, minyak. 94
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama Blora, wawancara
pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016
44
mulai ditanamkan melalui kebiasaan - kebiasaan masyarakat yang ada yaitu melalui
kebiasaan mereka dalam menjalankan rutinitas dalam bertani.95
D. Akulturasi Budaya Jawa dengan Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku
Masyarakat Dusun Ngudi
Budaya Jawa sudah ada jauh sebelum agama Hindu Budha bahkan Islam ada
di ranah Jawa.Budaya Jawa yang sudah berlangsung secara turun temurun, berasal
dari nenek moyang masyarakat Jawa terdahulu dan terus berlanjut sampai
sekarang.Istilah budaya Jawa dikenal dengan istilah kejawen.Budaya Jawa ini tidak
berasal dari ajaran Hindu Budha dan ajaran Islam, tetapi berasal jauh sebelum
masuknya Hindu Budha dan Islam.Dalam ajaran kejawen, kepercayaan tertuju pada
sesuatu yang bersifat mistis dan dunia ghoib, serta sebagai suatu bentuk keyakinan,
kepercayaan tersebut masih tetap utuh dan dipertahankan sampai saat ini.96
Contoh tradisi budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan agama Islam
adalah Tradisi bertani. Karena di Dusun Ngudi mayoritas masyarakatnya memiliki
mata pencaharian sebagai petani, maka penyebaran agama Islam disesuaikan dengan
adat istiadat dan tradisi masyarakat tersebut, karena dalam bertani di Dusun Ngudi,
banyak sekali prosesi ritualnya seperti Tradisi Ngalungi (Kupatan), Tradisi Wiwitan
(Nggarap), Tradisi Nyebar (Pembibitan), Tradisi Wiwitan (Nanem), Tradisi Ngalungi
(Pasca Nanem), Tradisi Ngalemi (Sajeni) dan Tradisi Nyuyuk (Panenan).97
Ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat Dusun Ngudi dengan mudah,
padahal masyarakat sudah memegang teguh budaya yang ada.Caranya dengan
mengakulturasi budaya yang ada dengan ajaran agama Islam.Dengan menyusupkan
ajaran Islam ke dalam budaya atau adat istiadat masyarakat setempat secara perlahan
95
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap di
sana. 96
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap di
sana, sumber serupa diperoleh dari Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen Agama
Blora, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 97
Kusnan, Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 14
juli 2016, sumber serupa diperoleh dari Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departemen
Agama Blora, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
45
lahan. Jika langsung bertajuk kepada pembaharuan, maka akan ditolak mentah
mentah oleh masyarakat Dusun Ngudi, tetapi jika proses pengislamannya dilakukan
dengan menggabungkan atau menyusupkan budaya yang ada, maka masyarakat tidak
akan tahu dan akan langsung menerima dengan baik, sehingga terbukti bahwa cara
ini, sangat berpengaruh kepada masyarakat Dusun Ngudi. Pengislaman yang
dilakukan oleh penyiar Islam terdahulu menggunakan metode ini.Mereka menyiarkan
Islam melalui tradisi keseharian masyarakat yaitu bertani.Dalam rentetan tradisi
pertanian, tokoh ulama Islam menyisipkan niat, ketauhidan, keyakinan dan aqidah
ajaran Islam dalam pelaksanaanya.Hasilnya pengislaman bisa dilakukan dengan
mudah tanpa harus merusak budaya atau tradisi yang sudah ada.
Dalam hal ini, masyarakat masih tetap menjalankan budaya dan tradisi yang
ada, tetapi niat dan keyakinannya sudah dalam pengaruh ajaran agama Islam dan
pelaksanaanya menggunakan syariat dan prinsip - prinsip agama Islam.98
Tradisi pertanian ini berasal dari ajaran Hindu Budha. Tradisi bertani dalam
pelaksanaanya sangatlah rumit harus melakukan banyak hal, dan jika dikalkulasi,
keuangan masyarakat yang dipakai dalam bertani berkurang hanya untuk membeli
kebutuhan kebutuhan lain yang harus dipenuhi, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
pertanian.
Kedatangan ajaran Islam membuat masyarakat sadar dan berfikir.Pada
awalnya, masyarakat percaya pada sesuatu yang ghaib dan melakukan ritual dengan
memberi sajen, dengan tujuan, bisa membantu mereka untuk mendapatkan hasil
panen yang bagus serta melimpah.Saat ajaran Islam mulai mereka kenal, perlahan
lahan masayarakat mulai mengubah pola pikir mereka menjadi logis dan
berakal.Hasil panen yang baik dan bagus dihasilkan bukan karena sajenan dan ritual -
ritual mistik yang dilakukan, melainkan karena bibit yang bagus, cuaca yang
mendukung, serta keuletan petani dalam mengurusi tanamannya tersebut.Awalnya
98
Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di Departement Agama Blora, wawancara
pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016.
46
mereka membuang buang harta untuk mempersiapkan sesembahan dalam ritual,
perlahan lahan mereka mulai meninggalkannya.99
Selain itu, tradisi tumpengan yang awalnya digunakan untuk sesembahan
kepada mahluk ghaib, dengan memberikan kemakmuran dalam menjalankan hidup
dan hasil panen yang melimpah, maka setelah masuknya Islam, tradisi itu perlahan
lahan mulai diubah menjadi tradisi kondangan, yang memiliki tujuan untuk berbagi
dengan sesama dan mempererat tali silaturahmi antar tetangga sekitar, bukan
menghambur - hamburkan sesuatu yang hasilnya tidak bisa dipastikan
kebenarannya.100
Setelah Islam mulai menjadi agama yang dipadukan dengan tradisi yang ada,
maka masyarakat mulai bisa mendapatkan pengetahuan dan ilmu agama Islam,
dimulai dari pengetahuan sosial, agama, dan lain - lain. Dari sini, masyarakat Dusun
Ngudi mulai berfikir dan memilih, mana sesuatu yang dianggap benar dan mana yang
dianggap tidak sesuai, bahkan bisa merugikan mereka.
Dengan demikian akulturasi budaya Jawa dan agama Islam di Dusun Ngudi
memberikan dampak yang positif dan memberikan pandangan baru kepada
masyarakat akan sesuatu yang sifatnya baru, dalam berperilaku, mereka benar - benar
mengerti dan paham terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh tokoh Islam, meskipun
memegang teguh tradisi yang ada, niat mereka sudah berubah dan digantikan dengan
niat yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam
99
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap di
sana, diperkuat dengan sumber yang diperoleh dari Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negri Sipil di
Departemen Agama Blora, wawancara pribadi, di Dusun Ngudi, 29 juni 2016. 100
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti di Dusun Ngudi selama beberapa bulan menetap
di sana.
47
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa agama Islam dan
budaya Kejawen mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku spiritual
masyarakat Dusun Ngudi, Desa Kalangan, Blora, Jawa Tengah selayaknya dapat
dibuktikan dengan:
1. Baik budaya maupun agama, keduanya memiliki peran masing masing dalam
membentuk suatu tatanan hidup serta pola pikir masyarakat. Dapat diartikan
keduanya bisa membentuk suatu karakter dalam komunitas masyarakat di
suatu wilayah.
2. Akulturasi budaya Jawa dan agama Islam menghasilkan suatu pembaharuan
dalam masyarakat. Dari segi keyakinan, ajaran sampai perilaku masyarakat.
Percampuran keduanya memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat.
Karakteristik dan perilaku spiritual masyarakat, bukan hanya terbentuk dari agama
dan budaya yang ada saja, melainkan berasal dari tokoh - tokoh
masyarakat.Keputusan.yang diambil oleh tokoh tersebut dalam menentukan suatu hal
akan memberikan dampak yang signifikan kepada pola pikir dan perilaku masyarakat.
Islamisasi di suatu daerah bukan hanya melalui perdagangan, perkawinan, dan
dakwah saja, tetapi Islamisasi bisa dilakukan melalui tradisi dan kebiasaan
masyarakat yang ada, seperti Islamisasi di Dusun Ngudi yang dilakukan melalui
tradisi pertanian.
B. Saran
Seharusnya masyarakat di suatu wilayah mendapatkan pengetahuan yang
cukup dalam bidang pendidikan, bidang sosial dan agama, karena jika pengetahuan
masyarakat terhadap hal tersebut minim, maka, tidak menutup kemungkinan
masyarakat akan kesulitan dalam menentukan dan mengambil keputusan, hasilnya
masyarakat akan cenderung ikut - ikutan saja dalam mengambil suatu keputusan.
48
Perbedaan pemikiran antar tokoh masyarakat mengenai kebiasaan masyarakat
masih terbilang wajar, yang terpenting adalah sikap saling mendukung demi
kesejahteraan masyarakat, karena sorotan masyarakat akan tertuju langsung kepada
para tokoh masyarakat jika ada gesekan dari perbedaan pemikiran tersebut.
Meskipun ada perbedaan dalam hal keyakinan dan kebiasaan masyarakat,
seharusnya masyarakat bijak dalam menyikapinya. Perbedaan bukanlah asas untuk
membangun perselisihan, melainkan menjadi dasar untuk membangun persatuan
supaya terjalin rasa saling menghargai satu sama lain.
49
DAFTAR PUSTAKA
Data Arsip Desa Kalangan mengenai “Monografi Desa Kalangan”
Data Arsip Desa Kalangan mengenai “Monografi Dusun Ngudi”
Endraswara, Suwardi,Mistik Kejawen, Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam
Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta, 2004)
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, diterjemahkan
oleh Aswab Mahasin, (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981)
Gazalba, Drs. Sidi, Masyarakat islam pengantar sosiologi dan sosiografi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1976)
Herusatoto,Budiono, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: PT. Hnindita
Graha Widia, 2000),
Hidayah, Irfanul, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama Dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal”, dalam Jurnal Religi, vol 2, no 2, juli 2003
Hadi, Sutrisno, Metodologi Reseach, Jilid 2, (Yogyakarta, Andi, 2000)
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Yogyakarta, Djambatan,
1979)
KhalilM. Fil.I, Ahmad, ,Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (UIN
malang press, 2008)
Marzuki, Kajian Masalah Pendidikan dan Ilmu Sosialyang berjudul “Tradisi dan
Budaya Masayarakat Jawa dalam Perspektif Islam”, 2006
Muhammad, Farouk, H. Djali, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta, Bunga
Rampai)
50
Meinarno, Eko A., WidiantoBambang, HalidaRizka, Manusia dalam Kebudayaan
dan Masyarakat Pandangan Antropologi dan Sosiologi, (Jakarta, Salemba
Humanika, 2011)
Ricklefs, M.C, Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangannya
dari 1930 Sampai Sekarang, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013)
Sudrajat, Ajat, Jurnal yang berjudul “Perkembangan Islam di Singapura”
Yusuf, M.Pd, Prof. Dr. A. Muri, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan
Penelitian Gabungan, (Jakarta, Prenada Media, 2014)
Yatim,Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000)
51
LAMPIRAN
LAMPIRAN FOTO
1. Narasumber
Gambar 1.1 : Kiai Bakri, (tokoh) selaku Mudin di Dusun Ngudi
Gambar 1.2 :Kiai Abdul Hadi, (tokoh) selaku Tokoh Agama di Dusun Kalangan
52
Gambar 1.3 :kiai Kastuju, (tokoh) selaku Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah
satu sarana pendidikan Islam di Dusun Ngudi)
Gambar 1.4 :Mardiyah S.Sy S.Pd, (tokoh) Pegawai Negeri Sipil di Department
Agama Blora
53
Gambar 1.5 :Kusnan, (tokoh) selaku Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan
Gambar 1.6 :Kiai Suhadi, (tokoh) Pengajar TPA (salah satu sarana pendidikan Islam
di Dusun Ngudi)
54
2.Tempat Penelitian dan Kegiatan Masyarakat
Gambar 2.1 :(tempat) Kantor Kecamatan Tunjungan
Gambar 2.2 :(tempat) Kantor Kecamatan Tunjungan
55
Gambar 2.3 :(tempat) Kantor Balai Desa Kalangan
Gambar 2.4 :(tempat) Ruang kerja staf Perpustakaan dan Arsip daerah (Blora)
56
Gambar 2.5 :(tempat) Halaman depan Perpustakaan dan Arsip daerah (Blora)
Gambar 2.6 :(tempat) Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Blora
57
Gambar 2.7 :(tempat) Kantor Balai Desa, Desa Kalangan
Gambar 2.8 :(tempat) Ruang Kerja Kantor Balai Desa, Desa Kalangan
58
Gambar 2.9 :(tempat) Kondisi Persawahan Masyarakat Dusun Ngudi
Gambar 2.10 :(tempat) Bendungan/waduk yang digunakan untuk mengairi sawah
warga
59
Gambar 2.11 :(kegiatan) Anak - anak pengajian saat sedang mengaji dengan Kiai
Suhadi
Gambar 2.12 :(kegiatan) Salah satu tradisi di masyarakat Dusun Ngudi, mereka biasa
menyebutnya “Kondangan”
Gambar 2.13 :(kegiatan) Salah satu tradisi di masyarakat Dusun Ngudi, mereka biasa
menyebutnya “Kondangan”
60
Gambar 2.14 :(kegiatan) Berdoa bersama sebelum menyantap hidangan dalam Tradisi
Kondangan
Gambar 2.15 :(kegiatan) Makan bersama seusai acara kondangan
Gambar 2.16 : (kegiatan) salah satu kesenian musik masyarakat Dusun Ngudi
(Rebana)
61
LAMPIRAN WAWANCARA
Transkip Wawancara
Berikut ini adalah daftar pertanyaan dan jawaban hasil wawancara antara peneliti
dengan pihak internal (masyarakat).
Wawancara Pertama
Nama : Kusnan, selaku Pejabat Pemerintahan di Desa Kalangan
Tanggal wawancara : 25 juni 2016 dan 14 juli 2016
Tempat : kediaman Bpk. Kusnan di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Apa visi dan misi Desa Kalangan?
J : Visi dari Desa Kalangan adalah Tercapainya Kesejahteraan dan Kemandirian
Masyarakat Pedesaan dalam pemberdayaan sistem sarana sosial dan sumber daya
masyarakatnya, dan misinya adalah Peningkatan sarana dan prasarana sosial,
mensejahterakan lingkungan hidup, meningkatkan sistem pembangunan dan
kelistrikan desa, mengefektifkan fungsi dan peran sumber daya masyarakat dan
peran pemerintahan sosial, mewujudkan infrastruktur dan lingkungan yang aman
dan nyaman.
T : Tolong sebutkan batas wilayah Dusun Ngudi?
J : Batas wilayah Dusun Ngudi yaitu sebelah Utara Desa berbatasan dengan Desa
Sambongrejo, sebelah Barat Desa berbatasan dengan Desa Bogorejo, sebelah
Timur Desa berbatasan dengan Desa Sukorejo, sebelah Selatan Desa berbatasan
dengan Desa Tambahrejo.
T : Pada masyarakat dusun Ngudi, adakah struktur sosial masyarakat seperti santri,
abangan dan priyayi?
J : Untuk sekarang struktur sosial masyarakat seperti itu sudah tidak ada, tapi,
struktur seperti itu dulu pernah ada, bahkan menjadi pembeda yang sangat
mencolok di masyarakat.
T : Menurut anda apa itu santri, abangan, dan priyayi?
J : Santri itu orang taat terhadap ajaran Islam, abangan adalah orang yang beragama
Islam tapi tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam atau biasa disebut Islam
KTP, dan yang terakhir priyayi adalah seorang yang memiliki jabatan di
pemerintahan dan tidak mesti keturunan ningrat ataupun bangsawan, meskipun
hanya keturunan masyarakat petani biasa jika pekerjaanya di sebuah lembaga
pemerintahan (PNS), maka bisa disebut priyayi.
T : Menurut anda apa itu budaya Jawa (Kejawen)?
J : Asal muasal budaya Jawa itu muncul karena ada beberapa golongan orang yang
membelah hutan untuk membangun suatu peradaban, dan itu jauh sebelum
agama itu ada. Dan budaya Jawa (Kejawen) terbentuk dari kebiasaan masyarakat
yang percaya akan mistis dan mitos. Kebiasaan tersebut diyakini dan
dilaksanakan melalui perilaku spiritual. Perilaku tersebut berupa ritual ritual
seperti sajenan, mitonan, sedekah bumi dan lain lain. Semua itu berlandaskan
atas keyakinan masyarakat terhadap hal hal yang bersifat mistik dan gaib.
62
T : Skripsi yang akan saya buat berhubungan dengan tradisi adat masyarakat Jawa
letaknya di Dusun Ngudi, menurut anda apa itu tradisi masyarakat Jawa?
J : Budaya Jawa pada masyarakat Dusun Ngudi itu terwujud pada kebiasaan
masyarakat dalam bertani, tradisi bertani di dalamnya terdapat ritual ritual,
kayak nyajeni, nyuyuk, ngalemi, tumpengan dan lain lain. Klo tradisi
masyarakat disini banyak, seperti sedekah bumi, wayang kulit, maulidan dan
lain lain.
T : Di Dusun Ngudi ini terdapat beberapa pemimpin masyarakat yang disebut Kiai
dan mudin, bagaimana pendapat anda jika di suatu daerah terdapat beberapa
pemimpin?
J : Meskipun banyak sekali pemimpin dan keyakinan satu dengan yang lain berbeda
dalam menentukan sesuatu, menurut saya bukan suatu masalah, karena dalam
hal ini, perbedaan pendapat dan pemikiran terbilang wajar. Disatu pihak
berpendapat seperti ini dan di pihak lain berpendapat seperti itu, namun yang
terpenting adalah saling menghargai, agar kerukunan dan ketentraman dalam
bertetangga dan bermasyarakat tetap terjaga, itu yang terpenting menurut saya.
Wawancara Kedua
Nama : Abdul Mufid salah satu aktifis remaja masjid di Dusun Ngudi
Hari, tanggal wawancara : 2 juli 2016
Tempat : Kediaman Abdul Mufid di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Di Dusun Ngudi adakah kegiatan kegiatan yang berhubungan dengan budaya dan
agama? Dan ada berapakah tempat yang digunakan untuk kepentingan tersebut?
J : Ada banyak sekali kegiatan yang berhubungan dengan agama, contohnya disaat
ada perayaan hari besar Islam, pasti ada kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakatnya, seperti perayaan Maulid nabi Muhammad SAW, Isra wal Miraj,
Tahlil, Yasinan, Haul kiai H. Abd. Salam dan lain lain.Mengenai tempat yang
digunakan untuk kegiatan kegiatan keagamaan di Dusun Ngudi, terdapat
beberapa tempat diantaranya adalah, 2 masjid dan 7 mushola (langgar).Semua
tempat itu sering digunakan untuk rutinitas ibadah dan rutinitas sosial
keagamaan.
T : Sampai saat ini adakah kegiatan keagamaan yang masih dilakukan? Tolong
berikan contohnya?
J : Aktivitas keagamaan yang dilakukan masyarakat di Dusun Ngudi hampir sama
dengan aktivitas yang dilakukan oleh dusun dusun lainnya, berupa pengajian ibu
ibu dan bapak bapak, pembacaan tahlil, peringatan hari besar Islam seperti,
Maulid Nabi Muhammad SAW, Isro Miraj, serta tausiyah tausiyah keagamaan
yang biasa dibawakan oleh kiai kiai dengan diiringi kesenian kesenian Islam,
seperti wayang, hadroh, marawis, dan lain lain. Semua kegiatan itu masih
dilaksanakan.
63
T : Menurut anda apa itu santri, abangan, dan priyayi? Adakah golongan golongan
itu di Dusun Ngudi?
J : Santri adalah seorang atau sekelompok orang yang tinggal di pondok atau
pesantren atau di suatu lingkungan yang mayoritas masyarakatnya beragama
Islam, dan setau saya tradisi keagamaan santri, sama dengan masyarakat Islam
pada umumnya, selalu menjalankan aturan aturan yang ada dalam ajaran Islam,
yaitu “menjalankan segala perintah allah SWT dan menjauhi segala larangan
allah SWT”. Hampir keseluruhan masyarakat Dusun Ngudi memeluk agama
Islam, mereka menjalankan apa yang telah diperintahkan oleh agama Islam,
melaksanakan sholat, membayar zakat, berpuasa, bahkan melaksanakan dan
memeriahkan hari besar Islam. Semua itu mereka lakukan atas dasar
kepercayaan pada agama yang mereka anut yaitu agama Islam, jadi sepertinya
sekarang tidak ada golongan golongan seperti itu, semuanya sama.
T : Apakah benar jika pemimpin masyarakat di Dusun Ngudi ini biasa disebut Kiai?
J : Bukan seperti itu maksudnya, tapi kiai disini adalah seorang yang dihormati
karena keilmuannya, dan Kiai yang dimaksud masyarakat adalah seorang yang
memiliki pengetahuan ilmu agama Islam yang mendalam, pandai dalam
menyampaikan ajaran agama Islam kepada masyarakat, dan memiliki mushola
(langgar) yang digunakan untuk melangsungkan pengajian atau mengajar murid
(santri).
T: Mengenai agama Islam, bagaimana Islam itu bisa masuk ke Dusun Ngudi ini?
melalui apa? Dan adakah penolakan saat Islam itu masuk?
J : Masyarakat Jawa sangat mudah dalam bersosialisasi dan menerima sesuatu yang
baru (toleran). Saat agama Islam itu dibawa oleh tokoh tokoh Islam ke tanah
Jawa, masyarakat Jawa menyambutnya dengan baik, karena ada rasa penasaran
yang kuat terhadap sesuatu yang baru tersebut.Selain itu, Islam bisa berkembang
secara merata ke setiap daerah di Jawa, karena agama Islam dikenalkan secara
turun temurun dari dulu sampai sekarang.Islam masuk ke Dusun Ngudi tanpa
ada pembantahan dalam ajarannya, masyarakat menyambut ajaran tersebut
dengan baik.
Wawancara Ketiga
Nama : Kiai Abdul Hadi, Tokoh Agama di Dusun Kalangan
Tanggal wawancara : 13 juli 2016
Tempat : Kediaman Kiai Abdul Hadi di Dusun Kalangan
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Dalam masyarakat kejawen ada istilah santri, abangan, dan priyayi, Adakah
golongan golongan itu di Dusun Ngudi?
J : Dari semua struktur sosial dan kebudayaan yang ada di Jawa, di Dusun Ngudi,
pada awalnya memang masih mengelompokkan golongan sosial
kemasyarakatan, seperti abangan, santri dan priyayi, namun dengan
berjalannya waktu, seiring dengan mulai munculnya kesadaran masyarakat
64
akan pengetahuan dan pendidikan, maka secara perlahan lahan golongan sosial
masyarakat tersebut mulai hilang dan semua masyarakat melebur menjadi satu
dan tidak ada lagi perbedaan dan penggolongan masyarakat. Tidak hanya santri
yang aktif dan menjalankan perintah agama Islam, tetapi abangan juga
melakukan rutinitas keagamaan Islam dengan rutin, dan bukan hanya abangan
yang lalai dalam melanggar aturan aturan agama Islam, terkadang santri pun
lalai dalam melakukan rutinitas keagamaan, jadi sulit untuk membedakannya
karena semuanya sudah melebur menjadi satu.
T : Bicara mengenai kejawen atau budaya Jawa adakah kebiasaan masyarakat yang
berhubungan dengan tradisi tersebut?
J : Yang saya ketahui mengenai Dusun Ngudi, dalam ritual kejawen yang masih
berlangsung sampai saat ini, terwujud dalam keseharian masyarakat dalam
bertani. Saat bertani, masyarakat masih memegang teguh kebiasaan kebiasaan
yang ada, yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka seperti nyajeni,
nyuyuk, ngalemi, dan lain lain.
T : Mengenai budaya Jawa, bisa sebutkan asal muasal budaya tersebut?
J : Budaya Jawa awalnya tercipta jauh sebelum masyarakat mengenal agama,
awalnya manusia di tanah Jawa terdiri dari empat golongan manusia. Golongan
pertama adalah golongan kuning, yaitu orang orang pendatang dari luar
nusantara yang berasal dari cina.Golongan kedua adalah golongan putih, yaitu
pedagang pendatang yang membawa ajaran Islam ke Nusantara.Golongan
ketiga adalah golongan hitam, yaitu para penjelajah Eropa yang datang ke
Nusantara. Golongan keempat adalah golongan abang (merah), yaitu penduduk
pribumi yang tinggal di Jawa.Dari keempat golongan ini terciptalah sebuah
masayarakat yang membentuk kebudayaan yang dikenal dengan kebudayaan
Jawa (Kejawen).
T : Apakah tradisi masyarakat Jawa dalam bertani masih tetap dilakukan?
J : Bagi masyarakat Dusun Kalangan karena saya kiainya, maka semua rutinitas
masyarakat dalam bentuk tradisi pertanian, jika berbau kemusrikan akan
dibrantas dan dihilangkan. Dalam ajaran Islam segala sesuatu yang berbau
kemusrikan sama saja keluar dari ajaran agama Islam itu sendiri, maka cukup
melaksanakan segala tradisi yang tidak menjerumuskan pada kemusrikan saja.
Wawancara keempat
Nama : kiai Kastuju, selaku Ketua Yayasan Madrasah Diniyah (salah satu sarana
pendidikan Islam di Dusun Ngudi)
Tanggal wawancara : 27 juni 2016
Tempat : Kediaman Kiai Kastuju di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Sebagai seorang tokoh agama Islam di Dusun Ngudi, bagaimana pak kiai
mengenalkan Islam ke masyarakat?
65
J : Banyak hal yang saya lakukan dalam mengenalkan agama Islam ke masyarakat,
Salah satu strategi dalam melaksanakan aktivitas dakwah atau pengenalan
agama Islam adalah dengan membangun sarana pendidikan Islam, baik formal
ataupun nonformal. Adapun sarana pendidikan yang ada di Dusun Ngudi antara
lain; TPA, Madrasah Diniyah, Majelis Ta‟lim dan lain lain. Dengan adanya
wadah, masyarakat akan mudah mengenal Islam secara mendasar.
T : Menurut pak kiai, pengertian budaya Jawa itu seperti apa?
J : Budaya Jawa merupakan budaya yang unik. Karena budaya tersebut menyangkut
kepercayaan dan keyakinan masyarakat, dan pelaksanaannya berkaitan dengan
ritual ritual. Kebudayaan ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, kebudayaan ini
berupa upacara adat seperti sedekah bumi, tradisi dalam pertanian, dan lain lain.
Di Dusun Ngudi ini masih banyak yang melakukan ritual keagamaan Jawa,
meskipun begitu mereka tetap beragama Islam.Awalnya Islam itu masuk
melalui tradisi masyarakat, jadi sangat sulit bagi masyarakat untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut.Mungkin bisa tapi prosesnya perlahan dan
butuh waktu yang sangat lama.
T : Bagaimana pak kiai menanggapi kebiasaan masyarakat yang tidak sesuai dengan
syariat agama Islam? apakah langsung melarang atau dengan cara lain?
J : Caranya adalah dengan memberikan pengertian mengenai dampak yang
dihasilkan dari ritual tersebut, apakah menguntungkan atau malah sebaliknya.
Contohnya, jika dilihat dari tradisi masyarakat dalam bertani, yang
pelaksanaannya sangat rumit dan memakan banyak biaya, saya memberikan
saran kepada masyarakat, agar melaksanakan tradisi yang mudah mudah saja, di
samping meminimalisir biaya yang dikeluarkan, saya juga menanamkan agar di
dalam tradisinya disisipkan niat shadaqoh dan doa dalam pelaksanaanya, semua
itu bertujuan agar Gusti Allah mengabulkan dan memberikan apa yang
masyarakat pinta, seperti hasil panen yang bagus serta melimpah. Saya sama
sekali tidak melarang, cukup memberikan pemahaman saja kepada mereka, lalu
biar mereka sendiri yang menyimpulkan.
Wawancara Kelima
Nama : Kiai Suhadi, Pengajar TPA (salah satu sarana pendidikan Islam di Dusun
Ngudi)
Tanggal wawancara : 26 juni 2016
Tempat : Kediaman Kiai Suhadi di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Menurut mbah yai, pengertian budaya (Kejawen) Jawa itu seperti apa?
J : Budaya Jawa adalah suatu tradisi yang muncul di masyarakat. Tradisi tersebut
menyangkut kepercayaan dan keyakinan masyarakat, dan pelaksanaannya
dengan ritual.Kepercayaan ini sudah terbentuk sebelum agama agama masuk ke
Nusantara.Kepercayaan tersebut dikenal dengan sebutan Animisme dan
Dinamisme.
66
T : Kapan budaya Jawa (Kejawen) itu muncul dan dikenal masyarakat?
J: Kebudayaan ini sudah ada sejak jaman dahulu kala, kebudayaan ini berupa upacara
adat seperti sedekah bumi, tradisi dalam pertanian, dan lain lain. Kebudayaan
masyarakat Jawa bukan hanya berupa tradisi dan upacara adat saja, melainkan
berupa kesenian, seperti wayang kulit, ketoprak, tayup, gamelan dan lain lain.
Wawancara Keenam
Nama : Kiai Bakri, selaku Mudin di Dusun Ngudi
Tanggal wawancara : 28 juni 2016
Tempat : Kediaman Kiai Bakri di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Menurut mbah yai, pengertian agama Islam itu seperti apa?
J : Islam merupakan agama yang dibawa oleh para Walisongo. Para penyiar Islam
(Walisongo) mengajarkan masyarakat untuk berbuat baik terhadap sesama,
beramal sholeh, menghormati orang lain, dan lain lain. Ajaran ini sangat sesuai
dengan perilaku masyarakat Jawa yang identik dengan ramah, lemah lembut, dan
santun.Kesamaan inilah yang mempermudah agama Islam diterima oleh
masyarakat Jawa pada umumnya.Selain itu, agama Islam juga tidak menuntut
terlalu banyak dalam pelaksanaan ibadahnya, cukup dengan keyakinan tanpa ada
perlu sesuatu yang harus dijadikan sesembahan dalam pelaksanaan ibadahnya.
T : Bagaimana pendapat kiai mengenai budaya Jawa (Kejawen)?
: Tradisi atau Budaya Jawa dalam sejarah sangatlah menarik, sehingga harus
dipertahankan, Ketika agama baru sudah masuk dan dipercaya oleh masyarakat,
seharusnya adat istiadat yang ada tidak perlu dihilangkan, bahkan seharusnya
dipertahankan dan dilestarikan, karena setiap daerah pasti memiliki adat dan
istiadatnya masing masing. Jika itu dihilangkan, maka akan menghilangkan pula
ciri khas daerah tersebut.
Wawancara Ketujuh
Nama : Mardiyah S.Sy S.Pd, Pegawai Negeri Sipil di Department Agama Blora
Tanggal wawancara :29 juni 2016
Tempat : Kediaman Mardiyah S.Sy S.Pd di Dusun Ngudi
Berikut adalah hasil wawancara peneliti dengan narasumber melalui komunikasi
secara langsung:
T : Di Dusun Ngudi ini, adakah seseorang yang memiliki pengaruh yang besar
terhadap kelangsungan adat istiadat masyarakat?
J : Orang yang mengurusi kegiatan kegiatan keagamaan dan budaya masyarakat
biasa menyebutnya dengan sevutan Mudin.
T : Pengertian Mudin seperti apa? Tolong jelaskan?
J : Setau saya, masyarakat dusun Ngudi menafsirkan Mudin sebagai seorang yang
memiliki pengaruh terhadap pelestarian budaya yang ada, dikarenakan tokoh ini
sangat mengerti tentang sejarah leluhur dan budaya nenek moyang, serta
67
dipercaya oleh masyarakat untuk melestarikan kebudayaan yang ada di daerah
tersebut. Seorang mudin memiliki tanggung jawab atas segala hal yang berbau
upacara keagamaan dan hari hari besar, seperti mengurusi jenazah, sedekah
bumi, dan tradisi dalam pertanian, mitoni, ngalemi, nyuyuk, dan lain lain.
T : Apa pendapat ada mengenai agama Islam? Siapa yang membawanya ke tanah
Jawa?Dan bagaimana Islam itu bisa diterima di masyarakat, khususnya
masyarakat Dusun Ngudi?
J : Agama Islam merupakan ajaran yang dibawa oleh para Walisongo ke tanah
Jawa, lalu para Walisongo dalam mengenalkan agama Islam ke masyarakat
melalui metode akulturasi. Metode ini dapat diterima dan tidak menimbulkan
gejolak penolakan, karena metode akulturasi adalah pencampuran antara agama
Islam dengan tradisi yang sudah ada.Keduanya dihubungkan dan dicampur
menjadi satu.Ajaran Islam disisipkan kepada tradisi yang ada supaya
masyarakat bisa menerima.Metode ini bertujuan agar masyarakat tidak
menyadari dan tidak menolak agama Islam yang bersifat baru, yang mungkin
dianggap asing bagi mereka.Selain itu, metode ini juga bertujuan agar
masyarakat seolah olah melakukan tradisi yang ada, namun sudah dalam ruang
lingkup ajaran agama Islam.
T : Dalam Islamisasi di Dusun Ngudi ini, kenapa harus menggunakan metode
Akulturasi? Adakah metode yang lain yang digunakan untuk mengenalkan
agama Islam ke masyarakat?
J : Karena tradisi dan kebiasaan masyarakat yang sudah ada di Dusun Ngudi
sifatnya sakral,jadi sangat sulit jika tiba tiba masyarakat diserukan kepada
sesuatu yang baru, maka penggabungan antara dua budaya menurut saya adalah
metode yang sangat pas. Ditambah lagi budaya bagi masyarakat Dusun Ngudi
sangat junjung tinggi, jadi sulit rasanya jika Islam itu dikenalkan secara
langsung atau terang terangan.
T : Disaat agama Islam sudah mulai dianut oleh masyarakat, perlukah masyarakat
meninggalkan tradisinya?
J : Disaatagama Islam sudah masuk dan dipercaya oleh masyarakat, seharusnya
adat istiadat yang ada tidak perlu dihilangkan, bahkan seharusnya dipertahankan
dan dilestarikan, karena setiap daerah pasti memiliki adat dan istiadatnya
masing masing. Jika itu dihilangkan, maka akan menghilangkan pula ciri khas
daerah tersebut.selain itu, tradisi di suatu daerah yang dijalankan masyarakat
secara umum dari waktu ke waktu secara terus menerus dari satu generasi ke
generasi, akan sangat sulit untuk dihilangkan, karena keyakinan dan kebiasaan
tersebut sudah melekat kuat dalam diri masyarakat, jadi jika dihilangkan akan
menimbulkan gejolak penolakan yang besar dari masyarakat.
T : Mengenai tradisi masyarakat yang ada di Dusun Ngudi, tolong sebutkan tradisi
yang berhubungan dengan masuknya Islam? lalu prosesinya seperti apa?
J : Islam mulai dikenalkan oleh para penyiarnya melalui tradisi dan budaya yang
ada, jika di Dusun Ngudi Islam dikenalkan melalui tradisi masyarakat dalam
bertani. Tradisi pertanian ada beberapa proses yang dilakukan diantaranya
68
adalah: 1. Tradisi Ngalungi (Kupatan);2. Tradisi Wiwitan (Nggarap);3.Tradisi
Nyebar (Pembibitan); 4.Tradisi Wiwitan (Nanem); 5.Tradisi Ngalungi (Pasca
Nanem); 6.Tradisi Ngalemi (Sajeni); 7. Tradisi Nyuyuk (Panenan). 1. Tradisi
Ngalungi (Kupatan), merupakan tradisi yang dilakukan saat awal musim hujan,
bagi yang punya ternak seperti sapi, kerbau, domba atau kambing. Dalam tradisi
ini, prosesinya, dengan membuat tumpeng yang isinya berupa kupat, lepet, dan
lupis. Lalu pelaksanaanya, jika sebelum Islam masuk dan pemukiman belum
berkembang seperti sekarang ini, maka semua tumpengan dan isinya dibawa ke
tempat penggembalaan ternak, seperti di padang rumput yang luas, lalu semua
hidangan itu dimakan oleh seluruh peserta yang ada. Sisa hidangan, akan
dikalungkan ke setiap hewan ternak. Istilah “Ngalungi” berasal dari budaya
masyarakat saat mengalungi hewan ternak tersebut.Sekarang, karena
pemukiman semakin berkembang dan minimnya tempat penggembalaan ternak,
bahkan sudah terbilang tidak ada, maka tradisi Ngalungi itu, tempatnya
dialihkan ke rumah warga yang memiliki hajat tersebut. Prosesinya dengan
mengundang tetangga sekitar rumah untuk datang dan membacakan doa, yang
bertujuan untuk kesuksesan dalam bertani.Warga disini biasa menyabutnya
dengan istilah “kondangan”. Hidangannya juga mengalami pembaharuan, yang
awalnya berupa tumpengan, berupa kupat, lepet, dan lubis, sekarang berupa
sewakul makanan yang di dalamnya berisi hasil bumi yang sudah diolah
menjadi masakan siap saji, seperti tempe, mie, kacang, telur, nasi, dan lain lain.
2. Tradisi Wiwitan (Nggarap), merupakan tradisi yang dilaksanakan ketika akan
menggarap sawah. Masyarakat percaya saat menggarap sawah harus ada tradisi
yang dilaksanakan agar sawah yang digarap bisa subur dan menggembur serta
mudah ditanami. Dalam pelaksanaanya, hampir sama dengan tradisi ngalungi
yaitu dengan mengundang warga sekitar atau tetangga sekitar, lalu
mengumandangkan doa di rumah sohibul hajat, tujuan dari doa tersebut untuk
kesuksesan dari sohibul hajat. Hidangan yang disediakan pun sama dengan
tradisi ngalungi yaitu berupa hasil bumi yang sudah diolah menjadi masakan
siap saji, namun yang membedakan adalah istilah di belakang kata
“Kondangan” itu. Jika tradisi ngalungi istilah yang sering diucapkan oleh warga
adalah “Kondangan Ngalungi”, maka dalam tradisi wiwitan, warga biasa
memberi isitilah “Kondangan Wiwitan”. 3. Tradisi Nyebar (Pembibitan),
dilaksanakan ketika tanah yang digarap sudah mulai menggembur, hanya
tinggal ditebar bibit bibit tanaman yang akan ditanam di sawah, seperti padi,
jagung, tebu, dan lain lain. Dalam tradisi ini, biasanya sohibul hajat membuat
tumpeng, yang di dalamnya berisi ketan sama goro goro. Goro goro biasa dibuat
dari tepung padi, tepung jagung, atau tepung ketela, semuanya dibuat seperti
nasi jagung. Kemudian pembuatannya dengan diberi sumba atau pewarna hijau,
yang bertujuan agar tanaman yang ditanam itu berwarna hijau seperti halnya
pewarna hijau tersebut. Lalu semua itu dibawa ke tempat pembenihan yang
terletak di sawah.Hidangan tersebut kemudian dimakan oleh setiap pekerja yang
ada di sawah.Sama halnya dengan tradisi Ngalungi dan Wiwitan, tradisi Nyebar
69
juga dilakukan dengan kondangan, namun tempatnya saja yang berbeda.Jika
tradisi Ngulangi dan Wiwitan letaknya di rumah sohibul hajat, tradisi Nyebar
dilakukan di lokasi tempat penyebaran bibit yaitu di sawah. Pelaksanaannya
diawali dengan doa dan setelah itu tumpengan dimakan para pekerja yang hadir
di lokasi tersebut. 4. Tradisi Wiwitan (Tanam Padi), biasanya dilakukan saat
menanam padi, tepatnya setelah sawah sudah mulai diairi. Dalam tradisi ini,
pemilik sawah memiliki tanggung jawab penuh terhadap tumpengan (makanan)
bagi para pekerja yang bekerja di sawah.Tumpengan tersebut berisi nasi, lauk
pauk, pisang dua sisir dan cok baka.Tumpengan tersebut dibawa ke sawah dan
diberikan kepada seluruh pekerja yang bekerja menanam padi. 5. Tradisi
Ngalungi (Pasca Tanam Padi), sama halnya dengan tradisi Ngalungi, dari
tumpengan sampai kondangan semuanya sama. Perbedaannya terletak pada
waktu pelaksanaanya.Jika tradisi ngalungi pelaksanaannya pada awal musim
penghujan, maka tradisi ngalungi dilakukan pasca tanam padi. 6. Tradisi
Ngalemi (Sajeni), merupakan tradisi inti dari semua tradisi dalam tradisi
pertanian. Tradisi ini dilakukan saat pari yang ditanam mulai berisi padi, sama
halnya dengan orang yang sedang hamil yang biasa dikenal dengan istilah
Mitoni. Bedanya jika Mitoni yang hamil adalah manusia, jika Ngalemi yang
hamil adalah pari. Prosesinya diawali dengan membawa ambeng yang berisi
umbi umbian rebus seperti ketela, gayeng, ubi, jeruk, sedang pelaksanaanya
dengan mengundang tetangga pemilik hajat untuk datang dan berdoa, serta
setelah itu blowok dan sisa sisa ambeng yang berisi umbi umbian dibawa ke
sawah. Untuk blowok diletakkan di setiap sudut sawah, sedangkan ambeng
ditebar ke seluruh bagian permukaan sawah. 7. Tradisi Nyuyuk (Panenan),
merupakan tradisi yang dilaksanakan saat pari sudah terlihat berisi padi dan
terlihat sedikit menunduk, sama halnya dengan tradisi pertanian yang lain,
kondangan dan tumpengan menjadi syarat inti dalam tradisi ini. Selain
membawa tumpengan pemilik sawah juga diharuskan membawa cokbaka di
takir, merang, dan menyan.Keempat bawaan yang dibawa oleh pemilik sawah
memiliki simbol masing masing.Pertama, tumpengan melambangkan kasih
sayang terhadap sesama, karena prosesinya dengan membagikannya kepada
semua pekerja yang ada di sawah. Kedua, cokbaka yang isinya benang, kaca,
sisir, bedak, cabe, minyak, dan bawang, bertujuan untuk memberikan
sesembahan kepada dewi Sri, agar sang dewi memberikan hasil panen yang
bagus serta melimpah. Cokbaka yang berisi kaca, sisir, bedak, dan benang
melambangkan bahwa perempuan merupakan sesosok manusia yang sering
berdandang, sedangkan cokbaka yang berisi cabe, minyak, bawang
melambangkan bahwa perempuan itu pekerjaannya adalah di dapur
memasak.Yang terakhir adalah merang dan menyan, inti dari tradisi Nyuyuk
ada pada dua benda ini.Makna Nyuyuk adalah nyumet atau membakar.Jadi,
prosesinya adalah merang dan menyan dijadikan satu dan dibakar untuk
mengundang dewa dewi agar datang.Panggilan tersebut bertujuan agar dewa
dewi menerima sesembahan dan mengabulkan keinginan mereka.
70
T : Apa pendapat anda mengenai Islam Kejawen?
J : Istilah budaya Jawa dikenal dengan istilah kejawen, Budaya Jawa ini tidak
berasal dari ajaran Hindu Budha dan ajaran Islam, tetapi berasal jauh sebelum
masuknya Hindu Budha dan Islam. Dalam ajaran kejawen, kepercayaan tertuju
pada sesuatu yang bersifat mistis dan dunia ghoib, serta sebagai suatu bentuk
keyakinan, kepercayaan tersebut masih tetap utuh dan dipertahankan sampai
saat ini oleh masyarakat.
T : Islam bisa masuk melalui tradisi bertani, prosesnya seperti apa?
J : Proses Islamisasi yang dilakukan melalui tradisi pertanian yaitu dengan tokoh
ulama Islam menyisipkan niat, ketauhidan, keyakinan dan aqidah ajaran Islam
dalam pelaksanaanya. Hasilnya pengislaman bisa dilakukan dengan mudah
tanpa harus merusak budaya atau tradisi yang sudah ada.Dalam hal ini,
masyarakat masih tetap menjalankan budaya dan tradisi yang ada, tetapi niat
dan keyakinannya sudah dalam pengaruh ajaran agama Islam dan
pelaksanaanya menggunakan syariat dan prinsip prinsip agama Islam.
T : Saat agama Islam mulai dianut, apakah tradisi yang ada ditinggalkan oleh
masyarakat?
J : Hanya sebagian tradisi saja yang ditinggalkan oleh masyarakat. Kedatangan
ajaran Islam membuat masyarakat sadar dan berfikir.Pada awalnya, masyarakat
percaya pada sesuatu yang ghaib dan melakukan ritual dengan memberi sajen,
dengan tujuan, bisa membantu mereka untuk mendapatkan hasil panen yang
bagus serta melimpah.Saat ajaran Islam mulai mereka kenal, perlahan lahan
masyarakat mulai mengubah pola pikir mereka menjadi logis dan berakal.Hasil
panen yang baik dan bagus dihasilkan bukan karena sajenan dan ritual ritual
mistik yang dilakukan, melainkan karena bibit yang bagus, cuaca yang
mendukung, serta keuletan petani dalam mengurusi tanamannya
tersebut.Awalnya mereka membuang buang harta untuk mempersiapkan
sesembahan dalam ritual, perlahan lahan mereka mulai meninggalkannya.