gambaran kehidupan dunia dalam al-qur’an sebuah...
TRANSCRIPT
GAMBARAN KEHIDUPAN DUNIA DALAM AL-QUR’AN:
SEBUAH KAJIAN TEMATIK
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh: Muhammad Ilham Dwi Aristya
NIM. 11140340000064
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2018 M
GAMBARANKEHIDUPANDUNIADALAM AL-QUR’AN:SEBUAHKAJIANTEMATIK
Skripsi
DiajukankepadaFakultasUshuluddin
untukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjanaAgama(S.Ag)
Oleh
MuhammadIlham DwiAristya
NIM:11140340000064
DibawahBimbingan
Moh.AnwarSyarifuddin,M.ANIP:197205181998031003
PROGRAM STUDIILMUAL-QUR’ANDANTAFSIR
FAKULTASUSHULUDDIN
UNIVERSITASISLAM NEGERISYARIFHIDAYATULLAHJAKARTA
1439H/2018M
iii
ABSTRAK
Muhammad Ilham Dwi Aristya
Gambaran Kehidupan Dunia dalam al-Qur’an: Sebuah Kajian Tematik
Berawal dari cukup banyak orang yang mengikuti paham materialisme,
waktu hidupnya hanya digunakan untuk mencari dan mengumpulkan uang,
makan, minum, tidur dan berfoya-foya saja. Kekayaan harta benda merupakan
tujuan hidupnya semata. Atau dalam kata lain, hidupnya hanya digunakan untuk
mengabdi kepada benda, kekayaan dan kesenangan, tetapi ditengah kegiatan ini
mereka lupa ujung perjalanan dan tujuan utama hidup yang kelak akan kembali
ke akhirat. Dari sinilah penulis memfokuskan diri pada term ḥayāt al-duniā,
sehingga dapat diketahui makna kehidupan dunia dalam al-Qur’an.
Bentuk penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka (Library
Research), yaitu pengumpulan data dan informasi dengan buku-buku dan materi
pustaka lainnya. Sementara itu pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan
metode Maudhū’i yaitu dengan mengambil dan menghimpun ayat-ayat yang
berbicara tentang topik pembahasan. Semuanya diletakkan di bawah satu judul
lalu ditafsirkan dengan metode maudhū’i.
Setelah melakukan kajian tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an, dapat
disimpulkan beberapa hasil dari penelitian ini: gambaran kehidupan dunia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: karakteristik kehidupan dunia diantranya yaitu;
kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu, kehidupan dunia adalah
kesenangan yang sedikit dan bersifat sementara, bunga kehidupan dunia sebagai
ujian, ragam kesenangan kehidupan dunia, perumpamaan kehidupan dunia seperti
air hujan, perintah mewaspadai kehidupan dunia, dunia bukan tujuan hakiki,
kehidupan dunia membuat manusia lupa dari ingat kepada Allah Swt., dan
mencintai dunia dapat tersesat.
Kata Kunci: Ḥayāt al-dunyā, Kehidupan dan Dunia
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah Swt., tiada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah Yang Esa dan tiada sekutu bagi-Nya yang
tidak pernah putus memberikan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya. Penulis
bersyukur atas pertolongan, taufik, dan hidayah-Nya akhirnya penulisan skripsi
ini dapat diselesaikan.
Ṣalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi
Muhammad Saw., sebagai hamba-Nya dan Rasul-Nya yang mengeluarkan
manusia dari kegelapan kepada cahaya petunjuk, beserta segenap seluruh
keluarga dan sahabat beliau yang tidak pernah tertipu oleh kesenangan duniawi.
Semoga ṣalawat dan salam itu terus menerus terlimpahkan kepada mereka
sepanjang masa.
Dalam kesempatan yang bahagia ini, sudah sepatutnya penulis ingin
menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya dan penghargaan yang tulus
kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis hingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Dengan segala kerendahan hati ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf
pembantu dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum. M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu al-
Qur’an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum. M. Pd., selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, juga Kak Hani Hilyati Ubaidah.
M. Ag., selaku asisten dari ibu Banun.
4. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Drs. Suharman M.M., dan ibunda
Mahjuro S.Pd.I., yang selalu ikhlas mencurahkan doa, kasih sayang, semangat,
dan motivasi. Tanpa do’a dan ridho dari keduanya maka penulis tidak akan
mendapatkan kemudahan, kelancaran, serta hasil yang maksimal untuk
menyelesaikan skripsi ini, juga kepada abang satu-satunya Muhammad Rusli
Eka Aditya yang juga memberikan support kepada penulis.
v
5. Bapak Moh. Anwar Syarifuddin M.A., selaku dosen pembimbing skripsi yang
sudah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan,
bimbingan, nasehat dan motivasi, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan
dengan baik.
6. Ibu Dr. Faizah Ali Syibromalisi M.A., selaku dosen penasehat akademik yang
selalu memberikan masukan dan arahan dari awal perkuliahan hingga proses
pemilihan akhir judul skripsi ini berlangsung.
7. Syekh Misbahul Anam Al-Tijany, selaku murabbi sekaligus orang tua yang
dengan sabar dan ikhlas mendidik, mendoakan, mencurahkan ilmunya yang
luas, menjadi suri tauladan bagi penulis. Semoga beliau selalu dinaungi
rahmat Allah Swt., dan dimenangkan dalam setiap perjuangan dakwahnya.
8. Guru-guru Ponpes Al-Umm; Gus Muhammad Misbahul Anam, Ustadz
Ahmad Halimi al-Hafidz, Kyai Imam Khotamin, Ustadz Ahmad Qomari,
Ustadz Fathul Mu’min, Ustadzah Jejeh Suarsih, yang dengan sabar
mengajarkan ilmunya, bijak menyampaikan nasihatnya, dan tulus
mendoakan murid-muridnya.
9. Segenap jajaran dosen dan civitas academica Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu tanpa
mengurangi rasa hormat, khususnya program studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
yang ikhlas dan sabar untuk mendidik kami agar menjadi manusia yang
cerdas, berkualitas dan berintelektual.
10. Seluruh teman-teman Ilmu al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2014, khususnya
sahabat-sahabat kelas TH B yang telah setia menemani dari masa maba
sampai sekarang ini dan semoga sampai seterusnya, yang selalu mendukung
kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.
11. Keluarga besar Al-Umm, santriwan dan santriwati dari beberapa periode
yang menjadi teman hidup satu atap, menjadi teman seperjuangan menimba
ilmu di pondok, yang selalu ada saat suka maupun duka. Semoga kebersaman
kita tak lekang oleh waktu, berlanjut sampai ke surganya Allah Swt.
12. Teman-teman An-Naml LDK Syahid, teman-teman KKN AKBK 131 yang
pernah memberikan pengalaman dan cerita hidup. Semoga segala proker dan
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Nomor:
158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alīf اTidak
dilambangkan
Tidak dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa Ṡ Es (dengan titik di atas) ث
Jim J Je ج
Ḥa Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح
Kha Kh Ka dan ha خ
Dal D De د
Żal Ż Zet (dengan titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
Ṣad Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص
Ḍad Ḍ De (dengan titik di bawah) ض
Ṭa Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط
viii
Hamzah (ء) yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa
diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’)
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal
tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fatḥah A A ا
Kasrah ا
I I
Ẓa Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ
ʻAin ‘___ Apostrof terbalik ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ه
Hamzah ___’ Apostrof ء
Yā′ Y Ye ي
ix
Ḍammah U U ا
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan
antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf latin Nama
Fatḥah dan ya Ai A dan I ى ي
ىو
Fatḥah dan
wau
Au A dan U
Contoh:
haula : ه ول kaifa : ك يف
3. MADDAH
Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harkat
dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan
Huruf
Nama Huruf dan
tanda
Nama
ى ا|... ... Fatḥaḥ dan alif
atau ya
ā
a dan garis di atas
ىي
Kasrah dan ya
Ī
ī dan garis di atas
وى
Ḍammah dan Wau
ū
ū dan garis di atas
Contoh:
ات م : māta
ىم ر : ramā
x
ل ي ق : qīla
ت و م ي : yamūtu
4. Ta marbūṭah
Ttansliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, ḍammah, transliterasinya
adalah (t). Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
translterasinya adalah (h).
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh
kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu
terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
ة ض و ر ال ف ط ال : rauḍah al-aṭfāl
ة ل اض ف ال ة ن ي د م ل ا : al-madīnah al-fāḍilah
ة م ك ح ل ا : al-Ḥikmah
5. Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda tasydid ( ), dalam transliterasi ini
dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi
tanda syaddah. Contoh:
rabbanā : ر ب ن ا
ن ا ي najjaīnā : ن ج
al-ḥaqq : ا ل ح ق
al-ḥajj : ا ل ح ج
م ع ن : nu‘‘ima
xi
و د ع : ‘aduwwun
Jika huruf ى ber-tasydid diakhir sebuah kata dan didahului oleh
huruf kasrah ( ـي ), maka ia ditrasnliterasi seperti huruf maddah (i).
Contoh:
ي ل ع : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)
ي ب ر ع : ‘Arabī (bukan ‘Arabbiy atau Araby).
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem penulisan tulisan Arab dilambangkan
dengan ال (alif lam ma’rifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata
sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti huruf
syamsiah maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi
huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata
yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
Contohnya:
al-syamsu (bukan asy-syamsu) : ا لشم س
al-zalzalah : ا لزل ز ل ة
al-falsafah : ا ل ف ل س ف ة
د al-bilādu : ا ل ب ل
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi huruf (’) hanya berlaku
bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Namun, bila
hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan
Arab ia berupa alif. Contohnya:
ta’murūna : ت أ م ر و ن
xii
al-nau : ا لن و ء
ء syai’un : ش ي
umirtu : أ م ر ت
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Penulisan Kata Arab yang lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,
istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata,
istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari
pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan
bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas
Misalnya kata Al-Qur'an (dari al-Qur'an), Sunnah, khusus dan umum
Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. Contoh:
Fī Ẓilāl al-Qur’an
Al-Sunnah qabl al-tadwīn
Al-‘Ibārāt bi ‘ūmūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab
9. Lafẓ al-Jalālah (الله)
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf
lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaihi (frasa nominal),
ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Contoh:
billāh : ب االله dīnullāh : د ي ن الله
Adapun ta ta marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ
al-jalālah, ditranliterasi dengan huruf [t]. Contoh:
م ة الله hum fī raḥmatillāh : ه م ف ير ح
10. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All
Caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan
xiii
tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman eiaan Bahasa
Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk
menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama
pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-),
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari
judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis
dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK, DP, CDK, dan DR).
Contoh:
Wa mā Muḥammadun illā rasūl
Inna awwala baitin wuḍi’a linnāsu lallażī bi Bakkata mubārakan
Syahru Ramaḍān al-lażī unzila fih al-Qur’an
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī
Abū Naṣr al-Farābī
Al-Ghazālī
Al-Munqiż min al-Ḍalāl
xiv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
E. Metode Penelitian ....................................................................................... 7
F. Metode Analisis Data ................................................................................. 8
G. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 9
H. Sistematika Penulisan ............................................................................... 11
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG KEHIDUPAN DUNIA
A. Definisi Kehidupan .................................................................................... 13
B. Kehidupan Manusia di Dunia dan Keberadaan Makhluk Lainnya ............. 14
C. Derivasi kata al-Ḥayāh dalam al-Qur’an .................................................... 20
D. Definisi Dunia ........................................................................................... 22
E. Derivasi Kata al-Dunyā dalam al-Qur’an .................................................. 25
F. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Dunia ........................................................ 26
G. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Akhirat Lebih Baik daripada Kehidupan
Dunia ......................................................................................................... 27
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HAKIKAT KEHIDUPAN DUNIA
A. Hakikat Hidup Manusia untuk Beribadah .................................................. 29
B. Manusia Hidup Dikaruniai Harta dan Anak-anak Sebagai Perhiasan Dunia .
.................................................................................................................. 32
C. Dunia adalah Permainan dan Senda Gurau ................................................ 35
xv
D. Kehidupan Akhirat Lebih Baik dari Dunia ................................................ 38
BAB IV GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA
A. Karakteristik Kehidupan Dunia ................................................................. 46
B. Ragam Kesenangan Dunia ......................................................................... 57
C. Perumpamaan Kehidupan Dunia Seperti Air Hujan ................................... 61
D. Perintah Mewaspadai Kehidupan Dunia ................................................... 64
E. Dunia Bukan Tujuan Hakiki ...................................................................... 67
F. Kehidupan Dunia Melupakan Manusia dari Ingat Kepada Allah Swt. ....... 72
G. Mencintai Dunia Dapat Tersesat ............................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................. 77
B. Saran ......................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suasana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini,
masalah hakikat manusia dan kehidupan semakin santer dibahas. Masalah ini
memang cukup penting, karena ia merupakan titik tolak dalam memberikan
pembatasan menyangkut fungsi manusia dalam kehidupan ini.1
Dunia penuh dengan kekayaan materi, semakin tahun semakin
bertambah kaya. Manusia dengan kemampuan akalnya menyulap kekayaan
materi itu menjadi bermacam-macam peralatan yang sangat mahal dan
modern, sesuai dengan selera manusia yang gemar kemewahan. Dicarinya
akal bagaimana membuat barang yang bahan-bahannya sudah tersedia
banyak di bumi atau yang dikenal sebagai zaman teknologi. Yaitu suatu ilmu
cara membuat barang, yang kemudian dipraktikan pada suatu tempat yang
disebut industri. Keberhasilan manusia dalam bidang teknologi ini membuka
peta baru dalam kehidupan yang disebut peradaban materi.2
Selanjutnya, manusia mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi untuk tetap berlangsungnya kehidupan di dunia.3 Setiap manusia
harus selalu berusaha mempertahankan hidupnya dan dalam mempertahankan
hidupnya ia butuh makan, minum, sandang, pangan, dan papan. Untuk
1 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2013), h. 348. 2 Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 50. 3 Choiruddin Hadhiri SP, Akhlak & Adab Islami Menuju Pribadi Muslim Ideal (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer), h. 332.
2
memenuhi kebutuhan tersebut, manusia dituntut untuk mencari nafkah, baik
untuk dirinya, istrinya, anaknya, kerabat dan keluarganya.4
Seiring dengan hal ini, dunia semakin berkembang, manusia semakin
bertambah dan kebutuhan terus meningkat. Keadaan ini akan menimbulkan
corak baru dalam kehidupan manusia. Manusia yang pada hakikatnya
merupakan makhluk sosial lama-kelamaan berubah menjadi makhluk yang
serba egois, mementingkan diri sendiri. Ini terjadi karena pengaruh dunia
yang semakin maju dan berkembang, sehingga mereka berlomba mencari
kekayaan pribadi tanpa mempedulikan kepentingan orang lain. Keadaan
seperti ini merupakan ciri khas dari kehidupan alam materialistis. Yaitu suatu
corak kehidupan orang-orang yang hanya mementingkan kebendaan di atas
segala-galanya.
Orang yang mengikuti paham materialisme waktu hidupnya hanya
digunakan untuk mencari dan mengumpulkan uang, makan, minum, tidur dan
berfoya-foya saja. Kekayaan harta benda merupakan tujuan hidupnya semata.
Atau dalam kata lain, hidupnya hanya digunakan untuk mengabdi kepada
benda, kekayaan dan kesenangan.5 Inilah bentuk pekerjaan yang digeluti oleh
manusia, pendorongnya adalah kebutuhan mereka kepada sandang pangan,
tetapi ditengah kegiatan ini mereka lupa ujung perjalanan dan tujuan utama
hidup yang kelak akan kembali ke akhirat.6 Dengan demikian banyak
manusia yang telah terperdaya dengan kehidupan dunia dan melupakan
4 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama
RI, Tafsir al-Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 37. 5 Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 59. 6 Ḥabīb ‘Umar al-Ḥafiẓ, al-Qabas al-Nūr al-Mubīn min Iḥya ‘Ulūmuddīn, terj. Yunus b.
Ali (Surabaya: Cahaya Ilmu, 2012), h. 46.
3
akan adanya kehidupan sesudah di dunia ini. Padahal kehidupan di dunia ini
bersifat sementara dan begitu cepat lenyap. Sedangkan kehidupan di akhirat
adalah kekal dan abadi.
Para Nabi diutus untuk menyeru manusia agar berpaling dari dunia
kepada akhirat, untuk tujuan inilah kitab-kitab diturunkan. Karena itu,
sebagian besar ayat-ayat kitab-kitab tersebut berbicara tentangnya.7
Diriwayatkan bahwa:
“Dari Jabir bin Abdullah R.A., bahwasanya Rasūlullah Saw., pernah
masuk ke pasar melalui jalan yang tinggi dengan diikuti orang banyak
di kanan kiri beliau. Kemudian beliau menemukan seekor anak
kambing yang mati dengan kedua telinga yang kecil. Setelah itu
beliau mengangkat anak kambing itu dengan beliau pegang telinganya
seraya bertanya, “Siapakah di antara kalian yang mau membeli
kambing ini seharga satu dirham?” Orang-orang menjawab, “Tentu
kami tidak ingin membelinya ya Rasūlullah. Untuk apa membeli
kambing yang telah menjadi bangkai.” Beliau bertanya lagi, “Apakah
ada di antara kalian yang ingin memilikinya tanpa harus membeli?”
Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya kambing itu masih
hidup, maka kambing tersebut cacat, yaitu telinganya yang kecil.
Terlebih lagi kini ia telah menjadi bangkai.” Kemudian Rasūlullah
Saw., bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu di sisi Allah nilainya
7 Imām al-Gazālī, Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn, terj. Abu Madyan al-Qurthubi (Depok:
Keira Publishing, 2014), Cet 1, h. 362.
4
lebih hina daripada hinanya bangkai anak kambing ini di mata
kalian.”8
Sebab hinanya dunia, manusia dianjurkan untuk menjauhkan hati
nurani dan jasmaninya dari selera nafsu keduniaan yang fana (tidak kekal)
ini, baik dalam mencintainya, mencarinya, maupun bersenang-senang dan
berlezat-lezatan menikmatinya.9 Orang yang sangat menggandrungi
keduniaan jika berhasil meraihnya, dia akan tenggelam di dalamnya sedikit
atau banyak. Sebab keduniaan itu ibarat lautan. Orang yang berani
menginjaknya, pertama-tama tapak kakinyalah yang terbenam.10 Jika
seseorang berpikir sehat, maka akan menyadari bahwa dunia ini tidaklah
kekal. Dan manfaat dunia tidak berarti jika dibandingkan dengan mudharat
dan tuntutan-tuntutannya. Yang mengakibatkan badan lelah, membuat hati
bimbang dan ragu, mendatangkan siksa yang teramat pedih di akhirat kelak
dan manusia tidak sanggup menanggungnya.11
Kecintaan kepada dunia telah begitu kuat menempati hati manusia
masa kini, sehingga membuahkan kerasukan luar biasa untuk menikmati
kehidupan dunia, menumpuk-numpuk harta kekayaan, membanting tulang
dan memeras tenaga dari pagi sampai malam hari demi meraih apa saja
penghasilan, tanpa menghiraukan apakah itu termasuk syubhat ataupun
haram. Seolah-olah Allah Swt., telah memfardhukan atas mereka menikmati
dunia ini, sebagaimana Allah memfardhukan ibadah shalat dan puasa.
8 Abī al-Ḥusaini Muslim b. Ḥajjāj, Ṣaḥīḥ al-Muslim (Beirut: Dār al-Kutub, 1412), k. 53,
no. 2957, h. 2272. 9 Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi al-Syajjar, Pemantap Hati Mutiara Kata dan
Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), h. 304. 10 Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi al-Syajjar, Pemantap Hati Mutiara Kata dan
Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād , h. 226. 11Imām al-Gazālī, Minhāj al-‘Ābidīn, terj. Abul Hiyadh (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2009),
h. 186.
5
Sebagai akibatnya, rambu-rambu jalan agama terhapus sudah, cahaya-cahaya
keyakinan makin meredup, lidah-lidah para pemberi peringatan menjadi kelu,
lorong-lorong menuju hidayah Allah tidak tersentuh lagi oleh kaki-kaki
mereka dan sebaliknya, jalan-jalan menuju kebinasaannlah yang sering
dilalui.12
Perihal dunia memang soal yang besar dalam agama. Dunia dengan
segala hiasan dan kemewahannya kerap kali memesona insan, sehingga
mereka lalai dan lupa, menyangka bahwa perjalanan hidup kita hanya hingga
di sini saja. Oleh sebab itu banyaklah perkataan Allah di dalam al-Qur’an
memberi peringatan kepada manusia agar mereka jangan sampai
diperdayakan oleh dunia.13 Mengenai hal ini, al-Qur’an diturunkan sebagai
pembawa rahmat, sebagaimana dijelaskan M. Quraish Shihab dalam bukunya
bahwa rahmat yang dibawa al-Qur’an tersebut berupa penjelasan tentang
jalan kebahagiaan dan cara pencapaiannya di dunia dan di akhirat.14
Berangkat dari permasalahan inilah penulis mencoba mengkajinya,
dengan judul: “GAMBARAN KEHIDUPAN DUNIA DALAM AL-
QUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK”
B. Batasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan diatas, pembatasan masalah yang akan
dibahas dalam tulisan ini yaitu kajian terhadap ayat QS. al-Żāriyāt/51: 56,
QS. al-Kahfi/18: 46, QS. al-An’ām/6: 32, QS al-‘Ankabūt/29 : 64, QS. al-
12 Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād, Mużakkarah Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād diterjemahkan
dari Risālat al-Mużakkarah Ma’a al-Ikhwān wa al-Muḥibbīn min Ahli al-Khair wa al-dīn
(Bandung: Karisma, 2001), h. 86. 13 Hamka, 1001 Soal Kehidupan (Jakarta: Gema Insani 2016), h. 36. 14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), Cet. Ke-2, h. 4.
6
Taubah/9: 38, QS. al-Naḥl/16: 30, QS. al-Qaṣaṣ/28: 60, QS. al-Naḥl/16: 41,
QS. al-Mulk/67: 1-2. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut sangat berkaitan
dan memiliki penjelasan yang luas tentang hakikat kehidupan dunia dalam al-
Qur’an, ditambah dengan kajian terhadap ayat al-Ḥadīd/57: 20, QS Ālī
‘Imrān/3: 185, QS. al-Nisā‘/4: 77, QS. al-Ra’d/13: 26, QS. Tāhā/20: 131, QS.
al-Anbiyā/21: 35, QS. Āli ‘Imrān/3: 14, QS. Yūnus/10: 24, al-A’rāf/7: 97-98,
QS. al-Kahfi/18: 45, QS. Luqmān/31: 33, QS. Hūd/11: 15-16, QS. al-
Syūrā/42: 20, QS. al-Isrā‘/17: 18, QS. al-Furqān/25:17-18, QS. Ibrāhīm/14:
2-3. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut sangat berkaitan dan memiliki
penjelasan yang luas terhadap gambaran kehidupan dalam al-Qur’an.
Pembatasan ini bertujuan agar pembahasan tentang kehidupan dunia
lebih fokus dan tidak keluar dari tema yang dibahas, dan begitu juga tidak
keluar dari aspek-aspek yang telah diidentifikasi dengan mengaitkannya pada
ayat-ayat yang berkaitan dengannya, namun tidak terlepas dari penafsiran dan
penjelasan al-Qur’an dan Hadits.
Berdasarkan pembatasan tersebut maka masalah utama yang akan
dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :“BAGAIMANA
GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA?”
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan dunia dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat muslim tentang kehidupan
dunia di dalam al-Qur’an yang disajikan oleh para mufassir dalam kitab
tafsirnya.
7
2. Untuk mengetahui pandangan al-Qur’an tentang kehidupan dunia yang
mencakup perintah untuk mengisi kehidupan dunia dan larangan
mencintai dunia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis: Menyebarluaskan khazanah keilmuan khususnya
produk tafsir tematik tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an.
2. Manfaat Praktis: Menjadi rekomendasi bagi para tokoh agama atau dai
yang bergerak dibidang dakwah dan mempunyai kewajiban
menyampaikan dakwah Islam kepada masyarakat untuk memberi
pemahaman tentang kehidupan dunia dalam al-Qur’an.
E. Metode Penelitian
Metode pengumpulan data pada skripsi ini melakukan metode
penelitian pustaka (Library Research), yaitu pengumpulan data dan informasi
dengan buku-buku dan materi pustaka lainnya, kitab-kitab hadits, ayat al-
Qur’an, buku-buku, artikel, skripsi, tesis, disertasi dan bahan-bahan yang
berkaitan tentang masalah yang akan dibahas adalah sumber data primer pada
penelitian ini, ditambah dengan buku-buku lain yang memuat informasi
sekitar pemimpin sebagai data sekunder.
Adapun data primer yang penulis gunakan dalam pembuatan skripsi
ini adalah kitab suci al-Qur’an, mushaf yang digunakan sebagai pegangan
adalah al-Qur’an dan Terjemahnya yang ditashih oleh Kementrian Agama RI
dan kitab al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-Karīm karya
Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, untuk mempermudah melacak ayat-ayat al-
Qur’an yang terkait. Kitab yang menjadi analisa utama adalah kitab Tafsīr
8
al-Sya’rāwī Khawāṭir Ḥaula al-Qur’ān al-Karīm Karya Muḥammad
Mutawallī al-Sya’rāwī, , Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an karya Muḥammad b.
Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta‘wīl Āyi al-Qur‘ān
karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī, dan al-Qur’an dan Tafsirnya karya Kementrian
Agama RI. Penulis menilai para mufasir tersebut representatif dalam kajian
kebahasaan, akhlak tasawuf, dan sosial kemasyarakatan.
Sedangkan data sekunder merupakan sumber pendukung yang ada
relevansinya dengan pembahasan skripsi ini seperti kitab-kitab tafsir, buku-
buku, artikel dan lain-ainnya yang mempunyai kaitan dengan tema yang
sedang dibahas. Semua itu dilakukan melalui proses pengumpulan data-data,
pendapat para ulama akan dijadikan analisis kesimpulan akhir pada skripsi ini.
F. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka data-data tersebut dianalisis melalui
metode sebagai berikut:
1. Metode Interpretatif
Metode ini digunakan untuk menyelami isi buku, lebih tepatnya
mengungkap arti makna yang disajikan. Metode ini penting perannya
dalam usaha mencari makna yang tersirat maupun yang tersurat serta
mengaitkannya denga hal-hal yang terkait yang sifatnya logis teoriketik
dan transendental.15
2. Metode Maudhū’i
Metode Maudhū’i yaitu dengan mengambil dan menghimpun ayat-
ayat yang berbicara tentang topik pembahasan. Semuanya diletakkan di
15 Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1996),
h. 65.
9
bawah satu judul lalu ditafsirkan dengan metode maudhū’i, sebagaimana
yang digariskan oleh ‘Abdul Ḥayy al-Farmawī. Format dan prosedur
Tafsir Maudhū’I meliputi langkah-langkah:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
c. Menyusun runtunan ayat-ayat yang berkaitan dengan masa turunnya
disertai pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl.
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan
pokok pembahasan.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan
menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau
mengkompromikan antara yang ‘ām (umum) dan yang khās (khusus),
muṭlaq dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan sehingga
semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau
pemakasaan.16
G. Tinjauan Pustaka
Setelah melakukan penelusuran dari berbagai penelitian, sejauh
pengamatan dan pencarian yang dilakukan, penulis menemukan beberapa
karya ilmiah baik yang berbentuk buku, artikel, atau skripsi yang terkait
dengan pembahasan ini, Akan tetapi, penulis mendapati hasil penelitian yang
16 ‘Abdu al-Ḥayy al-Farmawī, Metode Tafsir Mauḍū’ī, terj. Rohison Anwar (Bandung:
Pustaka Setia, 2002), h. 51-52.
10
telah dihasilkan sebelum ini mempunyai tinjauan dan perspektif yang
berbeda-beda. Berikut akan diterangkan:
1. Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Mustholih yang ditulis pada
tahun 2008 tentang TUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM AL-QUR’AN.
Dalam penelitian tersebut al-Qur’an memberikan gambaran umum jalan
dan tujuan bagaimana seharusnya manusia hidup. Ada empat jalan dan
tujuan hidup manusia dalam al-Qur’an yaitu, pertama, menjadi hamba
Tuhan, kedua, mengemban amanat, ketiga, menjadi khalifah, keempat,
Amar Ma’rūf Nahī Munkar.
2. Penelitian berupa jurnal yang dilakukan oleh Irsyadunnas yang ditulis
pada tahun 2005 tentang KONSEP ISLAM TENTANG DUNIA DAN
DINAMIKA KEHIDUPAN. Dalam penelitian tersebut menunjukkan
Penegasan Allah tentang eksistensi kehidupan dunia, yang dilambangkan
dengan kata la'ibun dan lahwun (semacam pennainan dan senda gurau)
merupakan peringatan bahwa kehidupan dunia itu tidak akan berlangsung
lama.
3. Penelitian berupa skripsi yang dilakukan oleh Khalisatun Naqiyah yang
ditulis pada tahun 20017 tentang MAKNA KATA AL-DUNYĀ SERTA
RELASINYA DALAM AL-QUR’AN. Dalam penelitian hasil risetnya adalah
bahwa al-dunyā terkait relasinya dalam al-Qur’an, diperoleh kategori
pemaknaannya tentang dunia yaitu, kategori makna dunia yang memberi
kesan negatif antara lain, balasan yang pedih atas kekafiran, perhiasan
yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman, perhiasan yang
menyebabkan kesombongan, riya` dalam beribadah, ajakan setan terhadap
11
kecintaan dunia yang berlebihan, dan malapetaka dan bahaya. Sedangkan
makna dunia yang memberi kesan positif antara lain, menjadikan
perhiasan sebagai sarana beribadah, temporalitas, relativitas waktu, nilai
kenikmatan dan kesenangan dunia lebih sedikit dibanding akhirat,
kehidupan dunia bersifat kontiunitas, pahala bagi orang beriman dan
bertakwa, serta amalan shaleh lebih baik daripada perhiasan dunia.
Pada tinjauan kali ini, perspektif yang penulis ingin bahas berbeda
dari pada hasil karya yang telah disebutkan di atas. Yang menjadi menarik
bagi penulis mengambil pemahaman dari penafsiran para mufasir tentang
gambaran kehidupan dunia dalam al-Qur’an. Dengan demikian, terdapat
unsur yang membedakan dengan kajian-kajian sebelumnya.
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan alasan disetiap bab
mengandung keterkaitan sehingga dapat diketahui topik-topik bahasannya
beserta alur pembahasannya. Sistematika penulisan skripsi yang digunakan
adalah sebagai berikut:
BAB I: Berisi pendahuluan mencakup ruang lingkup penulisan, yaitu
merupakan gambaran–gambaran umum dari keseluruhan isi skripsi meliputi:
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, metode analisis data, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan.
BAB II: Berisi tentang kajian teoritis tentang kehidupan dunia yang di
dalamnya mencakup definisi al-ḥayāt dan al-dunyā, serta derivasi katanya
dalam al-Qur’an, kehidupan manusia di dunia dan keberadaan makhluk
12
lainnya, ayat-ayat tentang kehidupan dunia, dan ayat-ayat tentang kehidupan
akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia.
BAB III: Berisi analisis tematik yang akan membahas bagaimana
penafsiran para mufasir tentang makna ayat-ayat yang terkait dengan hakikat
hidup manusia untuk beribadah, manusia hidup dikaruniai harta dan anak-
anak sebagai ujian, kehidupan dunia adalah permainan dan senda gurau,
kehidupan akhirat lebih baik dari dunia.
BAB IV: Berisi analisis tematik yang akan membahas bagaimana
penafsiran para mufasir tentang makna ayat-ayat yang terkait dengan
karakteristik kehidupan dunia, ragam kesenangan kehidupan dunia,
perumpamaan kehidupan dunia seperti air hujan, perintah mewaspadai
kehidupan dunia, dunia bukan tujuan hakiki, kehidupan dunia melupakan
manusia dari ingat kepada Allah Swt., mencintai dunia dapat tersesat.
BAB V: Merupakan bab penutup dari skripsi penulis, yang di
dalamnya mencakup tentang kesimpulan pokok hasil penelitian beserta saran-
saran dan penutup.
13
BAB II
DEFINISI KEHIDUPAN DAN DERIVASINYA DALAM AL-
QUR’AN
A. Definisi Kehidupan
Secara etimologis kata ḥayāh memiliki dua arti. Pertama,
“kehidupan”, sebagai lawan kematian seperti ungkapan ḥayāt al-insān
(kehidupan manusia) dan ḥayāt al-nabāt (kehidupan nabati). Kedua, “rasa
malu” yang diungkapkan dengan bentuk ḥayā’. Kedua arti bahasa tersebut
sebenarnya tidak ada perbedaan karena malu dengan hidup tidak dapat
dipisahkan. Setiap merasa malu sudah pasti (ia) hidup.1
Al-Rāgib al-Aṣfahānī mengatakan bahwa kata ḥayāh digunakan al-
Qur’an untuk menggambarkan arti-arti sebagai berikut :
1. Potensi berkembang yang ada pada nabati dan hewani, seperti di dalam
QS. al-Anbiyā‘/21: 30.
2. Potensi merasa seperti yang dimiliki hewan. Seperti di dalam QS.
Fāṭir/35: 22.
3. Potensi berpikir seperti di dalam QS. al-An’ām/6: 122.
4. Ibarat hilangnya kegelapan atau timbulnya terang, seperti di dalam QS.
al-Baqarah/2: 154.
5. Kehidupan akhirat yang bersifat abadi, seperti di dalam QS. al-Anfāl/8:
24.
6. Sifat Allah, yaitu Allah Maha hidup dan tidak akan mati, lagi Pemberi
hidup. Sifat “hidup” ini hanya dimiliki Allah, dan tidak dapat disamakan
1 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h. 306.
14
dengan hidup yang di miliki manusia, seperti di dalam QS. Al-Baqarah/2
: 255.2
Dari sisi lain, kata ḥayāh digunakan al-Qur’an untuk arti hidup di
dunia dan hidup di akhirat, misalnya pada QS. Yūnus/10: 64. Kesemua ayat
yang menyebut kata ḥayāh dengan arti “hidup” menunjukkan bahwa
kehidupan di dunia ini berisfat sementara, sedangkan hidup di akhirat bersifat
abadi dan tempat mempertanggungjawabkan semua perbuatan ketika di
dunia.3
Kata al-ḥayāh diartikan oleh sementara ulama sebagai sesuatu yang
menjadikan wujud merasa, atau tahu dan bergerak. Sebagaimana yang
dikutip oleh Quraish Shihab bahwa Mutawallī al-Sya’rāwī memahami kata
“hidup” dalam al-Qur`an sebagai sesuatu yang mengantar kepada
berfungsinya sesuatu dengan fungsi yang ditentukan baginya. Misalnya,
tanah berfungsi untuk menumbuhkan tumbuhan, jika ia gersang, al-Qur`an
menyebutnya dengan mati dan jika ia subur, al-Qur`an menyebutnya dengan
hidup.4
B. Kehidupan Manusia di Dunia dan Keberadaan Makhluk Lainnya.
Setelah Nabi Adam A.S., turun di dunia mulailah ia hidup
berketurunan. Dari alam Nabi Adam belajar untuk mengusahakan kelestarian
hidupnya di dunia hingga beranak cucu banyak sekali. Dari tanah ia belajar
bercocok tanam. Dari pohon-pohon ia belajar memanfaatkan kayu untuk
2 Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an
(Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013), h. 144-145. 3 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), h.306. 4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2003), h.
342-344.
15
membuat rumah dan peralatannya. Dari binatang ia belajar bagaimana
memanfaatkan kulitnya untuk membuat pakaian. Dari air ia belajar
bagaimana memanfaatkannya untuk pertanian dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya dan masih banyak penemuan-penemuan baru Nabi Adam A.S., yang
kesemuanya diilhami oleh alam sekitarnya dengan perantaraan akal dan
pikirannya.5
Hubungan manusia dengan sumberdaya alam ini dalam Islam ada tiga
macam peran, diantaranya:
1. Hubungan al-Intifā’u bih, yaitu mengambil manfaat. Manusia
diperintahkan untuk mengambil manfaat dari sumber daya dan kekuatan
alam yang ada.
2. Hubungan i’tibar, mengambil pelajaran. Hubungan manusia dengan alam
merupakan hubungan view point, bahwa alam dapat menambah
pandangan dan menambah pelajaran bagi manusia. Pelajaran (i’tibar)
berarti mengambil hikmah, dalam arti tidak sampai mendekat barang
karena membahayakan atau menjaga agar tidak membahayakan, atau
alam bisa digunakan sebagai pelajaran dengan cara mengambil temuan-
temuan yang dapat dijadikan teori dan menjadi pengetahuan secara
umum. Jadi, dengan i’tibar alam menjadi sumber pengetahuan bagi
manusia.
3. Hubungan al-iḥtifāẓ atau hubungan pelestarian alam, konservasi atau
saving (menyelamatkan alam).
5 Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di tengah-tengah Alam Materi (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1995), h. 5.
16
Tiga macam hubungan manusia dengan alam ini dalam al-Qur’an
disebut dengan tas’khir, pendudukan. Artinya Tuhan memberi konsesi
kepada manusia bahwa semua kekuatan dan kekayaan alam dan sekitarnya
untuk kepentingan manusia. Jadi, semua kekuatan alam ini pada prinsipnya
bisa dikendalikan oleh manusia karena Tuhan telah memberikan konsesi
pendudukan alam itu untuk manusia. Kalimat dalam al-Qur’an selalu
berbunyi, sakhkhara lakum, “Tuhan mendudukan kekuatan alam ini untuk
kepentingan mu”, bukan untuk bencana bagimu.6
Selanjutnya selain manusia, keberadaan makhluk lainnya di dunia
seperti malaikat, tumbuhan dan hewan memiliki fungsi atau peran tersendiri
terhadap kehidupan di dunia. Perinciannya adalah sebagai berikut:
1. Tumbuhan dan Hewan
Allah menyediakan bumi ini untuk ditanami dengan berbagai
macam tanaman. Ditanamilah tumbuh-tumbuhan dari jenis bahan
makanan, lalu daripadanya diperoleh padi, gandum, jagung, kedelai dan
masih banyak lagi yang kesemuanya sangat berguna sebagai bahan
energi badan untuk memperoleh tenaga. Tenaga itu lalu dimanfaatkan
untuk beribadah. Ditanam pula pohon kapas dan kapuk, lalu daripadanya
dapat dibuat benang untuk membuat pakaian sebagai penutup aurat.
Diciptakan-Nya bermacam-macam jenis hewan yang dapat
dimanfaatkan kulitnya, dagingnya, tenaganya dan lain-lain.
6 Muhammad Tholchah Hasan, Dinamika Kehidupan Religius (Jakarta: Listafariska
Putra, 2004), h. 121-122.
17
Allah berfirman:
ر افيوسخ تلكمم و م رضومافيٱلس فيٱلأ نهإن جميعام
رون تل قوميتفك لكألي ٣١ذ
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa
yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. al-
Jāṡiyah/45: 13).
Ayat ini mengingatkan umat manusia bahwa Sang Pencipta telah
menjadikan semua yang ada di dalam dunia ini, sebagai amanat yang
mesti dijaga. Konsep Islam dalam memenuhi hak-hak binatang sudah
jelas, misalnya bagaimana seharusya manusia memperlakukan binatang
yang telah membantu kehidupannya.7
Di lain ayat Allah berfirman:
رضجعللكمٱل ذينزلمنٱلأ
ماءمهداوسلكلكمفيهاسبلاوأ ٱلس
خرجنابهۦماءفأ باتشت ي نن جام زو
٣١أ
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan Yang
telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan, dan menurunkan
7 Kementrian Agama RI, Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h. 13.
18
dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu
berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”
(QS. Ṭāhā/20: 53).
م نعكلونوٱلأ
فعومنهاتأ ٣خلقهالكمفيهادفءومن
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya
ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan
sebahagiannya kamu makan.” (QS. al-Naḥl/16: 5).
Islam memandang semua ciptaan, baik itu tumbuhan maupun
hewan, melalui dua perspektif. Pertama, sebagai ciptaan yang
mempunyai hak untuk hidup, dalam usaha mengagungkan Allah dan
membuktikan kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya. Kedua, sebagai faktor
yang menunjang pemenuhan kebutuhan makhluk hidup lainnya,
utamanya manusia, dalam rangka melaksanakan peran utamanya sebagai
pemakmur dunia dan penjaga kelestarian bumi.8
Dunia diciptakan Allah ini diperuntukkan manusia khususnya
sebagai alat penunjang dalam menjalankan ibadah secara keseluruhan.
Sebagaimana definisi ibadah ialah setiap sesuatu yang dicintai serta
diridhoi oleh Allah, baik berupa ucapan atau perbuatan, baik lahir
maupun batin. Oleh karena itu ibadah itu meliputi segala aspek
kehidupan, seperti shalat, zakat, puasa, ucapan yang benar, menunaikan
amanat, berbakti kepada orang tua, menyambung tali persaudaraan,
8 Kementrian Agama RI, Tumbuhan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011), h. 7-8.
19
menempati janji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad melawan orang kafir
dan munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin,
ibnu sabil budak belian, binatang, berdoa, berdzikir, membaca dan
sejenisnya serta berbagai macam bentuk ibadah lainnya.9
2. Malaikat
Hubungan malaikat dengan manusia setelah diciptakan terbagi
menjadi dua fase, yaitu hubungan umum dan khusus. Pertama,
hubungan umum antara malaikat dan manusia, baik yang mukmin atau
yang kafir. Hubungan ini diwujudkan dengan pencatatan para malaikat
terhadap semua perbuatan manusia serta pengaturan tatanan kehidupan
dan kematian mereka. Pengaturan kehidupan dan kematian ini
diwujudkan, misalnya, dengan turunnya hujan, tiupan angin, dan
dicabutnya ruh. Kedua, hubungan khusus antara malaikat dan manusia
setelah penciptaan ditegaskan dalam ayat Allah, “Sesungguhnya orang-
orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan), “Jangan merasa takut dan jangan merasa sedih.
Bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan
Allah kepada kalian.” Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam
kehidupan di dunia dan di akhirat. Di dalamnya kalian memperoleh apa
yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kalian minta (QS.
Fuṣṣilat/41: 30-31).
9Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 24-26.
20
Para malaikat datang kepada orang-orang mukmin yang konsisten
dalam menjalankan petunjuk, melaksanakan amal saleh, dan ketakwaan.
Para malaikat datang kepada mereka ketika mereka dilanda rasa takut
terhadap masa depan, dan menghapus rasa sedih akan masa lalu.
Perhatian para malaikat akan terus berlanjut dari dunia sampai akhirat
hingga mereka meraih harapan terbesar, yaitu surga firdaus yang abadi.10
C. Derivasi Kata Ḥayāh dalam al-Qur’an
Kata kehidupan dengan menggunakan term ḥayāh/ḥayyun beserta
seluruh derivasinya dalam al-Qur’an tersebar dalam 176 tempat, dalam 49
surat, 154 ayat. Dari 49 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah
adalah 35 surat, dan madaniyyah 14 surat.11
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan, dengan
menggunakan term“ḥayāh/ḥayyun” beserta seluruh derivasinya yang
terdapat dalam Al-Qur’an:
Tabel 1.1
PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN, DENGAN
MENGGUNAKAN TERM“ ḤAYĀH/ḤAYYUN” BESERTA SELURUH
DERIVASINYA YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN
No Surat Ayat Status
1. Al-Baqarah (2) 26, 28, 49, 73, 85, 86, 96, 154, 164,
179, 204, 212, 243, 255, 258, 259, 260
Madaniyyah
2. Āli ‘Imrān (3) 2, 14, 27, 49, 117, 156, 169, 185 Madaniyyah
3. An-Nisa' (4) 74, 86, 94, 109 Madaniyyah
4. Al-Mā‘idah (5) 32 Madaniyyah
5. Al-An’ām (6) 29, 32, 70, 95, 122, 130, 162 Makkiyyah
6. Al-A’rāf (7) 25, 32, 51, 127, 141, 152, 158 Makkiyyah
10 Muhammad Sayyid al-Muyassar, Buku Pintar Alam Gaib (Jakarta: Zaman, 2009),
h. 111-113. 11 Muḥammad Fu‘ād ‘Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an Al-
Karīm (Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997), h. 283-286.
21
7. Al-Anfāl (8) 24, 42 Madaniyyah
8. At-Taubah (9) 38, 55, 116 Madaniyyah
9. Yūnus (10) 7, 23, 24, 31, 56, 64, 88, 98 Makkiyyah
10. Hūd (11) 15 Makkiyyah
11. Ar-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
12. Ibrāhīm (14) 3, 6, 27 Makkiyyah
13. Al-Ḥijr (15) 23 Makkiyyah
14. An-Naḥl (16) 21, 65, 97, 107 Makkiyyah
15. Al-Isrā‘ (17) 75 Madaniyyah
16. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah
17. Maryam (19) 15, 31, 33, 66 Makkiyyah
18. Ṭāhā (20) 72, 74, 97, 111, 131 Makkiyyah
19. Al-Anbiyā‘ (21) 30 Makkiyyah
20. Al-Hajj (22) 6, 66 Madaniyyah
21. Al-Mu’minūn (23) 33, 37, 80 Makkiyyah
22. An-Nūr (24) 33 Madaniyyah
23. Al-Furqān (25) 3, 49, 58, Makkiyyah
24. Asy-Su’arā’ (26) 81 Makkiyyah
25. Al-Qaṣaṣ (28) 4, 60, 61, 79 Makkiyyah
26. Al-‘Ankabūt (29) 25, 63, 64 Makkiyyah
27. Ar-Rūm (30) 7, 19, 24, 40, 50 Makkiyyah
28. Luqman (31) 33 Makkiyyah
29. Al-Aḥzāb (33) 28, 53 Madaniyyah
30. Fāṭir (35) 5, 9, 22 Makkiyyah
31. Yāsīn (36) 12, 33, 70, 78, 79 Makkiyyah
32. Az-Zumar (39) 26 Makkiyyah
33. Gāfir (40) 11, 25, 39, 51, 65, 68 Makkiyyah
34. Fuṣṣilat (41) 16, 31, 39 Makkiyyah
35. Asy-Syurā (42) 9, 36 Makkiyyah
36. Az-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
37. Ad-Dukhān (44) 8 Makkiyyah
38. Al-Jāṡiyah (45) 5, 21, 24, 26, 35 Makkiyyah
39. Al-Aḥqāf (46) 20, 33 Makkiyyah
40. Muḥammad (47) 36 Madaniyyah
41. Qāf (50) 11, 43 Makkiyyah
42. An-Najm (53) 29, 44 Makkiyyah
43. Al-Ḥadīd (57) 2, 17, 20 Madaniyyah
44. Al-Mujādalah (58) 8 Madaniyyah
45. Al-Mulk (67) 2 Makkiyyah
46. Al-Qiyāmah (75) 40 Makkiyyah
47. Al-Mursalat (77) 26 Makkiyyah
48. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyyah
49. Al-A’lā (87) 13, 16 Makkiyyah
50. Al-Fajr (89) 24 Makkiyyah
22
D. Definisi Dunia
Dunia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah bumi
dengan segala sesuatu yang terdapat di atasnya.12 Sementara dunia dalam
bahasa Arab ialah al-duniā berasal dari kata danā yang berarti dekat dengan
dzat13, atau arti lainnya seperti rendah, hina, atau sempit.14 Adapun dunia
dalam kajian tasawuf adalah segala sesuatu yang paling dekat dengan jiwa-
rendah (nafs).15 Pada umumnya al-Qur’an menggunakan frasa al-ḥayāh al-
dunyā untuk menggantikan kata sederhana al-dunyā.16
Di dalam al-Qur’an lafadz al-dunyā disebutkan dengan berbagai
shigat lainnya antara lain, danā, yudnīna, dānin, dāniyatun, adnā, dan al-
dunyā sebanyak 133 kali.17
Konsep tentang al-dunia mensyaratkan adanya konsep tentang “dunia
yang akan datang”, “Akhirat” (al-ākhīrah), dan berlawanan dengan kata
tersebut. Dan al-Qur’an sangat sadar terhadap kolerasi ini kapanpun kedua
kata tersebut digunakan, apalagi terhadap kasus di mana kedua kata tersebut
disebutkan bersama-sama dengan nafas yang sama,18 dengan demikian
terbentuklah al-ūlā dan al-ākhirah (kehidupan pertama dan kehidupan
terakhir), al-dunyā dan al-ākhirah (kehidupan yang lebih dekat dan yang
12 Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa, 2018), h. 387. 13 Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an
(Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013), h 179. 14Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 424. 15 Amiruddin Syah, Kunci Tasawuf (Jakarta: Institut Kajian Tasawuf, tanpa tahun), h.
68. 16 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 88. 17 Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007), h. 321-324. 18 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 88-89.
23
terkemudian)19, seperti misalnya pada ayat: “Kami menghendaki harta benda
dunia sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu).20
Pembahasan tentang pengertian dunia mempunyai kaitan dengan term
“Bumi”. Kata Al-Arḍu jamaknya Arḍūna atau Arādun yang artinya bumi.21
Kata Arḍ ada di dalam al-Qur’an biasa diartikan sebagai “bumi”. Akan tetapi
tidak semua kata itu diartikan sebagai “bumi”, karena ada juga yang
digunakan untuk menginformasikan penciptaan alam semesta dengan sistem
tata surya (solar system) belum terbentuk seperti sekarang. Ayat dimaksud
ialah QS. Hūd/11: 7, QS. al-Anbiyā‘/21: 30, QS. al-Sajadah/32: 4, QS.
Fuṣṣilat/41: 9-12, dan QS. al-Ṭalāq/65:12. Kata arḍ di dalam ayat-ayat ini
lebih tepat dipahami sebagai “materi” yakni cikal bakal bumi. Ia telah ada
sesaat setelah Allah Swt.
Al-Qur’an banyak menjelaskan tentang kehidupan di muka bumi yang
merupakan suatu bukti terbesar akan keesaan dan kekuasaan Allah.
Diantaranya terdapat ayat yang menyebutkan tentang reboisasi atau
dihidupkannya bumi setelah sebelumnya dalam keadaan gersang yaitu ayat
QS. al-Baqarah/2: 164. Bahwa yang dimaksud dalam firman-Nya, “lalu
dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia
sebarkan di bumi itu segala jenis hewan” yakni dengan air, maka bumi pun
kembali menghijau dengan banyaknya tumbuhan. Dengan kehijauan inilah,
19 Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’an Pendekatan Gaya dan Tema
(Bandung: Marja, 2002), h. 116.
20 QS. al-‘Anfāl/8: 67 عزيزحكيم٧٦ يريدٱألخرة وٱلل نياوٱلل تريدونعرضٱلد 21 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progresif,
1997), h. 18.
24
maka binatang pun bisa tinggal dan menetap. Inilah kehidupan awal,
sebagaimana tampak pada firman-Nya:
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga
beriman.” (al-Anbiyā‘/21: 30).
Yang dimaksud dalam firman itu adalah bahwa dahulu kala, langit
dan bumi adalah satu kesatuan yang kukuh dan terkait satu dengan yang
lainnya. Lalu keduanya pun dipisahkan hingga terbentuklah satuan langit dan
satuan bumi. Unsur oksigen dan air banyak didapatkan di bumi, hingga bisa
dikatakan bahwa unsur terbanyak di bumi adalah unsur air. Setelah bumi
yang gersang itu mulai dipadati dengan unsur air, mulailah tumbuh beragam
jenis tumbuhan dan binatang pun mulai menempati bumi ini.22
Al-Qur’an mengisyaratkan stabilitas umum permukaan bumi, ia
diciptakan di dalam bentuk hamparan (QS. al-Baqarah/2: 22, QS. al-Ra’d/13:
3, dan QS.Ṭāhā/20: 53:54). Ini dimaksudkan agar bumi dapat dijadikan
tempat tinggal oleh manusia. Dengan bersifat hamparan itu juga manusia
mendapatkan berbagai kemudahan hidup di bumi (QS. al-Mulk/67: 15). Agar
bumi yang terhampar ini tidak terguncang dan tergulung maka Allah Swt.,
melengkapinya dengan gunung-gunung. Gunung inilah yang berfungsi
sebagai pasak yang mengukuhkan bumi dan menarik hujan serta mengatur
22Ahzami Samiun Jazuli, al-Ḥayāt Fī al-Qur’ān al-Karīm terj. Sari Narulita (Depok:
Gema Insani, 2006), h. 190.
25
suhu udara dan aliran air (QS. al-Naḥl/16: 15 dan QS. al-Naba’/78: 6-7).
Dengan mantap dan stabilnya bumi, manusia dapat hidup di atasnya dengan
tenang dan tentram tanpa gangguan dan ketakutan (QS. al-Naml/27: 61).23
E. Derivasi Kata al-Dunyā dalam al-Qur’an
Kata “dunia” dengan menggunakan term dunyā beserta seluruh
derivasinya dalam al-Qur’an tersebar dalam 115 tempat, dalam 39 surat, 108
ayat. Dari 39 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 25 surat,
dan madaniyyah 14 surat. 24
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang dunia, dengan menggunakan
term“dunyā” beserta seluruh derivasinya yang terdapat dalam Al-Qur’an:
Tabel 2.1
PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG DUNIA,
DENGAN MENGGUNAKAN TERM “DUNYĀ” BESERTA SELURUH
DERIVASINYA YANG TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN
No Surat Ayat Status
1. Al-Baqarah (2) 85, 86, 114, 130, 200, 201, 204, 212,
217, 220
Madaniyyah
2. Āli ‘Imrān (3) 14, 22, 45, 56, 117, 145, 148, 152, 185 Madaniyyah
3. Al-Nisā‘ (4) 74, 77, 94, 109, 134, Madaniyyah
4. Al-Mā‘idah (5) 33, 41, Madaniyyah
5. Al-An’ām (6) 29, 32, 70, 130 Madaniyyah
6. Al-A’rāf (7) 32, 51, 152, 156 Makkiyyah
7. Al-‘Anfāl (8) 42, 67 Madaniyyah
8. At-Taubah (9) 38, 55, 69,74, 85 Madaniyyah
9. Yūnus (10) 7, 23, 24, 64, 70, 88, 98 Makkiyyah
10. Hūd (11) 15, 60 Makkiyah
11. Yūsuf (12) 101 Makkiyyah
12. Al-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
13. Ibrāhīm (14) 3, 27 Makkiyyah
14. An-Naḥl (16) 30, 41, 107, 122 Makkiyyah
15. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah
23 M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), h. 95. 24 Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007), h. 322-324.
26
16. Ṭāhā (20) 72, 131 Makkiyyah
17. Al-Hajj (22) 9, 11, 15 Madaniyyah
18. Al-Mu‘minūn (23) 33, 37 Makkiyah
19. Al-Nūr (24) 14, 19, 23, 33 Madaniyyah
20. Al-Qashash (28) 42, 60, 61, 77, 79 Makkiyyah
21. Al-‘Ankabūt (29) 25, 27 Makkiyyah
22. Al-Rūm (30) 7 Makkiyyah
23. Luqmān (31) 15, 33 Makkiyyah
24. Al-Aḥzāb (33) 28, 57 Madaniyyah
25. Fāṭir (35) 5 Makkiyyah
26. Al-Ṣāffāt (37) 6 Makkiyyah
27. Al-Zumar (39) 10, 26 Makkiyyah
28. Gāfir (40) 39, 43 Makkiyyah
29. Fuṣṣilat (41) 12, 16, 31 Makkiyyah
30. Al-Syūrā (42) 20, 36 Makkiyyah
31. Al-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
32. Al-Jāṡiyah (45) 24, 35 Makkiyyah
33. Al-‘Aḥqāf (46) 20 Makkiyyah
34. Muḥammad (47) 36 Makkiyyah
35. Al-Najm (53) 29 Makkiyyah
36. Al-Ḥadīd (57) 20 Madaniyyah
37. Al-Ḥasyr (59) 3 Madaniyyah
38. Al-Mulk (67) 5 Makkiyah
39. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyah
F. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Dunia
Kalimat kehidupan dunia dengan menggunakan term al-ḥayāh al-
duniā yang terdapat dalam al-Qur’an tersebar dalam 32 surat, 59 ayat. Dari
32 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 22 surat, dan
madaniyyah 10 surat.25
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan dunia, dengan
menggunakan term “al-ḥayāh al-dunyā” yang terdapat dalam al-Qur’an:
Tabel 3.1
25 Muḥammad Fu‘ād ‘Abd al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997), h. 283-286.
27
PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN DUNIA,
DENGAN MENGGUNAKAN TERM “AL-ḤAYĀH AL-DUNYĀ” YANG
TERDAPAT DALAM AL-QUR’AN
No Surat Ayat Status
1. Al-Baqarah (2) 85, 86, 204, 212 Madaniyyah
2. Āli ‘Imrān (3) 14, 117, 185 Madaniyyah
3. An-Nisa' (4) 74, 94, 109 Madaniyyah
4. Al-An’ām (6) 32, 70, 130 Makkiyyah
5. Al-A’rāf (7) 32, 51, 152 Makkiyyah
6. At-Taubah (9) 38, 55 Madaniyyah
7. Yūnus (10) 23, 64, 88, 98 Makkiyyah
8. Hūd (11) 15 Makkiyyah
9. Ar-Ra’du (13) 26, 34 Madaniyyah
10. Ibrāhīm (14) 3, 27 Makkiyyah
11. An-Naḥl (16) 107 Makkiyyah
12. Al-Kahfi (18) 28, 45, 46, 104 Madaniyyah
13. Ṭāhā (20) 72, 131 Makkiyyah
14. Al-Mu’minūn (23) 33 Makkiyyah
15. An-Nūr (24) 33 Madaniyyah
16. Al-Qaṣaṣ (28) 60, 61, 79 Makkiyyah
17. Al-‘Ankabūt (29) 25, 64 Makkiyyah
18. Ar-Rūm (30) 7 Makkiyyah
19. Luqman (31) 33 Makkiyyah
20. Al-Aḥzāb (33) 28 Madaniyyah
21. Fāṭir (35) 5 Makkiyyah
22. Az-Zumar (39) 26 Makkiyyah
23. Gāfir (40) 39, 51 Makkiyyah
24. Fuṣṣilat (41) 16, 31 Makkiyyah
25. Asy-Syurā (42) 36 Makkiyyah
26. Az-Zukhruf (43) 32, 35 Makkiyyah
27. Al-Jāṡiyah (45) 35 Makkiyyah
28. Muḥammad (47) 36 Madaniyyah
29. An-Najm (53) 29 Makkiyyah
30. Al-Ḥadīd (57) 20 Madaniyyah
31. Al-Nāzi’āt (79) 38 Makkiyyah
32. Al-A’lā (87) 16 Makkiyyah
G. Ayat-ayat Tentang Kehidupan Akhirat Lebih Baik daripada Kehidupan
Dunia
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung makna
bahwa kehidupan akhirat lebih baik daripada kehidupan dunia. Ayat-ayat
28
tentang ini di dalam al-Qur’an tersebar dalam 15 surat, 19 ayat. Dari 15 surat,
yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 11 surat, dan madaniyyah
4 surat.26
Berikut ini persebaran ayat-ayat tentang kehidupan akhirat lebih baik
daripada kehidupan dunia yang terdapat dalam al-Qur’an:
Tabel 4.1
PERSEBARAN AYAT-AYAT TENTANG KEHIDUPAN AKHIRAT
LEBIH BAIK DARIPADA KEHIDUPAN DUNIA YANG TERDAPAT
DALAM AL-QUR’AN
No Surat Ayat Status
1. An-Nisa' (4) 77 Madaniyyah
2. Al-An’ām (6) 32 Makkiyyah
3. Al-A’rāf (7) 169 Makkiyyah
4. At-Taubah (9) 38 Madaniyyah
5. Yūsuf (12) 57, 109 Makkiyyah
6. Hūd (11) 15 Makkiyyah
7. Ar-Ra’du (13) 26 Madaniyyah
8. An-Naḥl (16) 30, 41 Makkiyyah
9. Al-Isrā‘ (17) 21 Madaniyyah
10. Al-‘Ankabūt (29) 64 Makkiyyah
11. Gāfir (40) 39 Makkiyyah
12. Fuṣṣilat (41) 16, 31, 39 Makkiyyah
13. Az-Zukhruf (43) 35 Makkiyyah
14. Al-A’lā (87) 17 Makkiyyah
15. Al-Ḍuḥā 4 Makkiyyah
26 Muḥammad Fu‘ād ‘Abd Al-Bāqī, al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm (al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 1991), h. 28-30.
29
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG HAKIKAT KEHIDUPAN
DUNIA
A. Hakikat Hidup Manusia untuk Beribadah
Segala sesuatu termasuk manusia diciptakan oleh Allah Swt., tidaklah
sia-sia, segala ciptaan-Nya memiliki manfaat dan tujuan. Salah satu tujuan
hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah
Swt. Dalam hal ini, Allah Swt., menjelaskan dalam firman-Nya, bahwa
tujuan hidup manusia adalah semata-mata untuk mengabdi (beribadah)
kepada-Nya:
٦٥ون إل ا ليعبد ٱلإنس و ٱلجن خلقت وما
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (al-Żāriyāt/51: 56).
Beberapa ulama berpendapat bahwa ayat ini hanya khusus mengenai
orang yang telah diketahui oleh ilmu Allah bahwa ia pasti akan menyembah-
Nya, oleh karena itu ayat ini menggunakan lafazh yang umum dengan makna
yang khusus. Perkiraan makna yang dimaksud adalah: tidak Aku ciptakan
penduduk surga dari jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.1
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidaklah menjadikan jin dan
manusia melainkan untuk mengenal-Nya dan agar menyembah-Nya.2 Dalam
kaitan ini Allah Swt berfirman:
1Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 19, h. 506. 2 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan
al-Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 9 h. 488.
30
ه إل ا هو سبحنه ا إل حدا ل ها و مروا إل ا ليعبدوا إلا يشركون ۥوما أ عم
١٣
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah/9: 31).
Menurut Abū Ja’far, tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah
hanya untuk menyembah Allah dan tunduk terhadap-Nya.3 Sementara itu al-
Qurṭubī mengutip dari Ikrimah tentang tafsir ayat ini maknanya adalah: jin
dan manusia diciptakan melainkan hanya untuk menyembah Allah dan taat
kepada Allah, agar Allah dapat memberikan pahala bagi siapa saja yang rajin
beribadah dan Allah akan menghukum bagi siapa saja yang ingkar.4
Sebagaimana menyembah Allah adalah suatu kewajiban, maka bagi
orang yang meyekutukannya akan mendapat balasan. Hal ini seperti yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ūd, bahwa Rasūlullah Saw., bersabda:
نب أعظم؟ قال: ا، و أن تجعل “ق لت: يا رسول الله، أي الذ ” ك ق ل خ و ه لله ند
)رواه البخاري(
3 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 7, h. 124-125. 4 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 19, h. 507.
31
“Aku bertanya, “Wahai Rasūlullah, dosa apakah yang paling besar di
sisi Allah? Beliau menjawab, “Bila kamu mengadakan sekutu bagi
Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu,” (HR. al-Bukhārī).5
Ayat lain yang menyebutkan tentang penciptaan manusia untuk
beribadah, yaitu firman Allah Swt:
ها ي أ اس ي ٱلن من قبلكم ٱل ذين خلقكم و ٱل ذيرب كم ٱعبدوا
قون ١٣لعل كم تت
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. al-
Baqarah/2: 21).
Dalam Tafir Kemenag dijelaskan bahwa yang dimaksud beribadah
kepada Allah ialah menghambakan diri kepada-Nya, dengan penuh
kekhusyuan, memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya, karena merasakan
bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan
mendidik seluruh makhluk.
Dengan beribadah kepada Allah sebagaimana yang diperintahkan itu,
manusia akan terhindar dari azab Allah dan ia akan mencapai derajat yang
tinggi lagi sempurna.6
Dari penjelasan para mufassir tentang ayat ini tersurat hikmah bahwa
tujuan diciptakan manusia hidup di dunia pada hakikatnya adalah semata-
5 Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), k. 78, bab. 20, no.
6001, h. 1523. 6Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 1, h. 52.
32
mata untuk menyembah Allah, beribadah kepada-Nya, taat kepada-Nya,
sebagai bukti penghambaan manusia kepada sang Penciptanya juga agar
Allah dapat memberikan pahala bagi siapa saja yang menyembah dan rajin
beribadah kepada-Nya dan akan menghukum bagi siapa saja yang ingkar,
sebagai bentuk balasan atas apa yang manusia kerjakan selama di dunia.
B. Manusia Hidup Dikaruniai Harta dan Anak-anak Sebagai Perhiasan Dunia
Banyak sekali ragam kenikmatan dan kesenangan yang ada di dunia,
diantaranya adalah nikmat memiliki harta benda dan memiliki keturunan
(anak-anak). Dalam al-Qur’an Allah menyatakan dalam firman-Nya bahwa
harta dan anak-anak hanyalah perhiasan dunia, hal ini bisa dilihat pada surat
al-Kahfi ayat 46:
زينة ٱلبنون و ٱلمال ة ٱلحيو نيا لحت ٱلبقيت و ٱلد خير عند ٱلص
ملا ٦٥رب ك ثوابا وخير أ
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-
amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi
Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al-Kahfi/18:
46).
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, kata zīnah/perhiasan berarti bukan
merupakan kebutuhan pokok, ia hanya sekedar pelengkap. Kebutuhan pokok
dalam kehidupan adalah apa saja yang menjadikan dunia ini sebagai ladang
untuk akhirat, dan sebagai perantara untuk kehidupan yang kekal, abadi,
penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Di mana nikmat tersebut tidak akan
33
pernah habis, itulah nikmat surga.7 Sementara itu al-Qurṭubī memahami ayat
ini bahwa harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan di dunia, dan apa-
apa yang menjadi perhiasan kehidupan dunia adalah tipuan yang fana dan
tidak akan kekal, sebagaimana tanaman kering yang diterbangkan oleh angin,
dan yang akan kekal adalah bekal untuk akhirat.8
Dalam Tafsir Kemenag disebutkan alasan mengapa harta benda dan
anak-anak hanya sebagai perhiasan dunia, karena keduanya menjadi
kebanggaan manusia di dunia ini karena dengan keduanya dapat memberikan
kehidupan dan martabat yang terhormat kepada orang yang memilikinya.
Keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi, bukan untuk bekal ukhrawi,
padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera binasa dan
tidak patut dijadikan bahan kesombongan.9
Bagi orang yang berakal dan bertakwa, harta dan anak adalah nikmat;
ia beruntung dan berbahagia dengan keduanya di dunia dan di akhirat, karena
keduanya memberinya kesempatan untuk terus menerus melakukan amal-
amal saleh yang kekal. Akan tetapi bagi orang jahil yang durhaka, keduanya
merupakan cobaan; karena keduanya membuka peluang baginya untuk
melakukan dosa-dosa.10 Karena itu Allah berfirman ketika menggambarkan
orang-orang yang durhaka lagi merugi:
7 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 14, h. 8965. 8 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 13, h. 291. 9 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 616 – 617. 10 Ni’mat Shidqiy, Ni’mat al-Qur’an, terj. Hery Noer Aly (Bandung: Husaini 1998),
h. 310.
34
هم عصون و قال إن نوح ر ب بعوا إل ا ۥ وولده ۥمن ل م يزده ماله ٱت
خسارا
“Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-
anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka.”
(QS. Nūḥ/71: 21)
Selanjutnya al-Qurṭubī mengutip pendapat Ibnu ‘Abbās yang
dikuatkan oleh al-Ṭabarī11, bahwa makna (amalan-amalan yang kekal lagi
shalih) adalah semua amal shalih, baik berupa perkataan atau perbuatan yang
akan kekal untuk akhirat. Hal ini sejalan dengan perkataannya Sayyidina ‘Alī
R.A., yakni “Tanaman ada dua macam. Tanaman dunia adalah harta dan
anak-anak. Sedangkan tanaman akhirat adalah amalan-amalan yang
shalih.”12
Harta benda dan anak-anak yang pada hakikatnya hanya sekedar
pelengkap, atau juga hanya tipuan yang fana dan tidak kekal. Maka dari itu
sebagai umat muslim jangan sampai harta dan anak-anak yang telah
dititipkan oleh Allah Swt., menjadikan seseorang sombong dan terlena pada
sesuatu yang pada dasarnya hanya sebatas perhiasan dunia. Harta dan anak-
anak di satu sisi bisa menjadi nikmat dan ladang pahala bagi pemiliknya, tapi
di sisi lain juga bisa menjadi cobaan dan ladang dosa. Maka keduanya
11 Jāmi’ al-Bayān (15/167). 12 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 13, h. 292.
35
tergantung pada bagaimana seseorang mengelola, merawat harta dan
mendidik anak-anaknya.
C. Kehidupan Dunia adalah Permainan dan Senda Gurau
Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang terkandung di
dalamnya bahwa kehidupan dunia adalah permainan dan senda gurau.
Diantaranya seperti firman Allah Swt., dalam surat al-An’ām ayat 32:
ة وما ٱلحيو نيا ار ٱلد فلا ٱألخرة إل ا لعب ولهو وللد قون أ خير ل ل ذين يت
١١تعقلون
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan
senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu
memahaminya.” (QS. al-An’ām/6: 32).
Abū Ja’far mengungkapkan dalam kitab tafsirnya, bahwa ayat tersebut
merupakan bentuk bantahan dari Allah Swt., kepada orang-orang kafir yang
mengingkari adanya Hari Kebangkitan setelah kematian, yakni ketika mereka
berkata, نياٱإن هي إل ا حياتنا وقالوا Dan tentu“ ١٢وما نحن بمبعوثين لد
mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia
ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan"(QS. al-An’ām/6:
29)13
13Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 2, h. 507.
36
Kata لعب main-main diperuntukkan bagi usaha yang bertujuan untuk
menghabiskan waktu, tanpa menghasilkan manfaat sedikit pun. Adapun لهو
senda gurau adalah menghabiskan waktu dengan menunda-nunda
kewajiban.14
Kehidupan dunia sesungguhnya tidak lain hanyalah permainan dan
hiburan, seperti anak-anak bermain-main mereka memperoleh kesenangan
dan kepuasan sewaktu dalam permainan itu. Semakin pandai
mempergunakan waktu bermain semakin banyak kesenangan dan kepuasan
yang mereka peroleh. Sehabis bermain itu, mereka tidak memperoleh apa-
apa.15 Mengenai hal ini, Mutawallī Sya’rāwī memberikan penjelasan bahwa
kehidupan yang tidak lebih dari main-main dan senda gurau merupakan
gambaran kehidupan dunia yang lepas dari agama. Jika manusia memahami
dunia sebagaimana yang disifatkan oleh Allah, maka dia akan menjadikan
kehidupannya bermakna dunia dan akhirat.16
Dalam ayat lain juga disebutkan:
ة هذه وما ٱلحيو نيا ٱلد ار إل ا لهو ولعب إون لو كانوا ٱلحيوان لهي ٱألخرة ٱلد
٥٦يعلمون
14 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 6, h. 3592. 15 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), j. 3, h. 98. 16 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991), j. 6, h. 3592.
37
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan
main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya
kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Q.S al-‘Ankabūt/29: 64).
al-Qurṭubī memahami ayat ini bahwa sesuatu yang dijadikan
permainan yaitu apa yang diberikan Allah berupa kekayaan di dunia
semuanya akan hilang dan habis. Semua perkara dunia termasuk harta,
pangkat dan lainnya sebagai perlengkapan untuk hidup, semuanya akan
hilang itu semua sebagai penguat untuk taat kepada Allah Swt., Sedangkan
yang dipersembahkan karena Allah Swt., maka itu akan ada di akhirat.17
Sementara itu al-Sya’rāwī dalam tafsirnya menyajikan penjelasan
mengenai hakikat kehidupan bahwa Allah menyifati kehidupan akhirat
dengan ḥayawān (kehidupan hakiki). Beda antara ḥayāh dengan ḥayawān.
Ḥayāh adalah kehidupan dunia di mana tiap individu hidup, tumbuhan-
tumbuhan hidup, kemudian berakhir dengan kematian dan kepunahan.
Adapun ḥayawān (kehidupan hakiki) yaitu kehidupan yang lebih tinggi di
akhirat. Karena kehidupan di dalamnya kekal dan abadi.18
Mengenai perbandingan kehidupan dunia dengan akhirat, Rasūlullah
Saw., telah menegaskan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imām
Bukhārī dari Sahabat Ibnu ‘Abbās. Berkata Ibnu ‘Abbās, bahwa Rasūlullah
Saw., bersabda:
)رواه البخارى( ة ر خ ال ش ي ع ل ا ش ي ع ل
17 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 6, h. 387. 18 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 18, h. 11258.
38
“Tidak ada kehidupan (yang sebenarnya) kecuali kehidupan akhirat”.
(HR. al-Bukhārī).19
Dalam hadits ini jelas dikemukakan bahwa kehidupan yang sebenarnya
adalah kehidupan akhirat. Kehidupan dunia bukanlah sebenar-benarnya
kehidupan melainkan hanya permainan dan senda gurau.
D. Kehidupan Akhirat Lebih Baik dari Dunia
Orang yang bertakwa itu berangkat meninggalkan dunia menuju
kebahagiaan akhirat. Mereka bersama-sama hidup di dunia, tetapi orang yang
cinta dunia tidak mengikuti mereka menyiapkan bekal untuk akhirat. Orang
yang bertakwa tinggal di dunia dengan tenang. Mereka menikmati makanan
yang baik. Mereka merasa telah meraih dunia berlebih-lebihan. Kemudian
mereka berpaling meninggalkannya, menyiapkan bekal menuju kebahagiaan
abadi.20
Berkali-kali Allah Swt., menyebutkan dalam firmannya bahwa
kehidupan akhirat adalah lebih baik dari kehidupan dunia. Seperti firman
Allah dalam surat al-Taubah ayat 38:
رضيتم ب أ ة نيا ٱلحيو من ٱلد فما متع ٱألخرة ة في نياٱلد ٱلحيو ٱألخرة
١٣إل ا قليل
“Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti
kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini
19 Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) k. 63, bab. 69, no.
3795, h. 925. 20 Hani al-Hajj, Mutiara Hikmah Kekasih Rasul (t.t: Ahsan Books, 2010), h. 50.
39
(dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.” (QS. al-
Taubah/9: 38).
Asbāb al-Nuzūl: Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Mujāhid bahwa ia
berkata tentang ayat ini, “ini ketika mereka diperintahkan untuk pergi dalam
perang Tabuk setelah penaklukan Mekkah. Mereka diperintahkan untuk
berangkat pada waktu musim panas yang terik, padahal buah-buahan sedang
waktunya masak dan mereka ingin berteduh serta mereka merasa berat untuk
pergi. Maka Allah menurukan firman-Nya: Wahai orang-orang yang
beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk
perang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?
...”21
Al-Qurṭubī menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ayat ini diturunkan
ketika Nabi Saw., mengajak kaum muslim untuk ikut serta dalam perang
Tabuk namun mereka enggan ikut dan lebih memilih menetap di rumah-
rumah mereka. Oleh karena itu diturunkanlah sebuah ayat yang
menggambarkan buruknya perbuatan kaum muslim yang memilih untuk
menikmati keduniaan dibandingkan dengan kenyamanan yang akan mereka
dapatkan di akhirat nanti. 22
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, dalam ayat ini Allah menerangkan
bahwa kehidupan akhirat lebih tinggi nilainya dan lebih banyak nikmatnya,
sekalipun dunia dihiasi dengan segala kesenangannya. Nikmat dunia
21 Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie (Depok:
Gema Insani, 2009), h. 283. 22 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 10, h. 206.
40
sejatinya tidak banyak, sebab sesungguhnya kenikmatan dunia itu tidak ada
nilainya jika dibandingkan dengan nikmat yang akan didapatkan kelak di
akhirat.23 Hal ini sejalan dengan Abū Ja’far yang mengatakan bahwa tidaklah
kehidupan dan kesenangan dunia yang mereka nikmati, bila dibandingkan
dengan kenikmatan akhirat dan kemuliaan yang Allah Swt., siapkan untuk
wali-wali-Nya dan orang-orang yang menaatinya melainkan hanyalah sedikit
dan tidak bernilai.24 Hal ini sebagaimana perumpamaan yang diberikan oleh
Nabi Saw., dalam sabdanya:
ن يا في اآلخرة إل مثل ما يجعل أحدكم إصب عه في اليم ف لي نظر بم ي رجع؟ والله رواه ) ما الد
المسلم(
“Demi Allah, dunia dibandingkan akhirat hanyalah seperti
seseorang dari kalian yang mencelupkan salah satu jemarinya ke
laut, maka lihatlah apa yang ada pada jarinya tersebut saat ia
keluarkan dari laut.” (HR. Muslim).25
Mengenai hal ini dalam ayat lain juga disebutkan:
ل لل ذين وقي قوا حسنوا في هذه ٱت نزل رب كم قالوا خيرا ل ل ذين أ
ماذا أ
نيا ولدار ٱلد حسنة ولنعم دار ٱألخرة قين خير ١٣ ٱلمت
23 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 8, h. 5116. 24Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 109. 25Abī al-Ḥusain Muslim, Ṣaḥīḥ al-Muslim (Beirut: Dār al-Kutub, 1412), k. 51, b. 15
,no. 2858, h. 2193.
41
“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang
telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah
menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung
akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang
bertakwa.” (QS. al-Naḥl/16: 30)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kebaikan ada pada dunia dan akhirat
hanya saja salah satu dari keduanya memiliki kebaikan yang lebih dari yang
lain. Oleh sebab itu ketika Allah berfirman: “Orang-orang yang berbuat baik
di dunia ini mendapat (pembalasan yang baik).” “Dan sesungguhnya
kampung akhirat adalah lebih baik”. Maksudnya lebih baik dari kebaikan
dunia. Maka dunia adalah baik, dan akhir darinya adalah kebaikan akhirat.26
Abū Ja’far memahami ayat ini maksudnya adalah sebaik-baik negri
bagi orang yang takut kepada Allah di dunia sehingga menjaga diri dari siksa-
Nya dengan menjalankan berbagai kewajiban-Nya dan menjauhi segala
maksiat-Nya, adalah negri akhirat.27
Kebahagiaan yang akan diterima oleh mereka (orang yang bertakwa)
itu sifatnya kekal, sedang kehidupan dunia hanya sementara. Kebahagiaan
akhirat memberikan kepuasan dalam arti sebenar-benarnya, sedang
kebahagiaan di dunia merupakan kebahagiaan yang sementara dan terbatas.28
26 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-
Qur’ān al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 13, h. 7889. 27Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah 1994), Jilid 4, h. 516. 28 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 14, h. 312.
42
Mengenai kehidupan akhirat lebih baik dari dunia, dalam al-Qur’an
juga dinyatakan bahwa pahala akhirat lebih baik dari kesenangan duniawi,
Allah Swt., berfirman:
ن شيء فمتع وما وتيتم م أ ة نيا ٱلحيو وما عند ٱلد وزينتها خير ٱلل
فلا تعق أ بقي
٥٣لون وأ
“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah
kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di
sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu
tidak memahaminya.” (QS. al-Qaṣaṣ/28: 60).
Ayat ini menerangkan bahwa apa yang diberikan Allah bagi manusia
baik berupa harta benda maupun keturunan hanya merupakan kesenangan
duniawi. Kehidupan dunia dengan segala perhiasannya belum tentu
menjamin keselamatan dan kebahagiaan mereka. Sebaliknya, pahala yang
ada di sisi Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat adalah
lebih baik, karena yang demikian itu kekal dan abadi. Berbeda dengan
kesenangan duniawi yang dipujanya karena waktunya terbatas sekali, dan
sesudah itu habis dan punah. Firman Allah: dan apa yang di sisi Allah lebih
baik bagi orang-orang yang berbakti.29
29 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 7, h. 320.
43
ة ورى نزل ٱلت قا ل ما بين يديه وأ ٱلحق مصد ل عليك ٱلكتب ب نز
و ٱلإنجيل ١
“Akan tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi
mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang
mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari
sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-
orang yang berbakti.” (Āli ‘Imrān/3: 198).
Bila akal sehat membandingkan antara kenikmatan dunia dengan
kenikmatan akhirat niscaya ia akan memilih akhirat. Selanjutnya al-Sya’rāwī
menyajikan sebuah contoh seorang sahabat yang mendengar pahala mati
syahid dan dia yakin tiada pintu antara dia dengan surga kecuali terbunuh di
jalan Allah, dia membuang kurmanya lalu berperang dan mati syahid. Karena
dia telah membandingkan antara nikmat dunia dan akhirat.30 Hal ini sejalan
dengan al-Qurṭubī yang mengatakan bahwa yang lebih utama dan lebih kekal
yaitu kehidupan akhirat, dan arti kehidupan akhirat adalah surga.31
Dalam ayat lain juga disebutkan:
هاجروا في وٱل ذين ئن هم في ٱلل نيامن بعد ما ظلموا لنبو حسنة ٱلد
جر ولأ لو كانوا يعلمون ٱألخرة كبر
٦٣أ
30Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 18, h. 10977. 31 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 302.
44
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka
dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada
mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih
besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. al-Naḥl/16: 41)
Asbāb al-Nuzūl: Ayat ini turun tentang sahabat Nabi Saw., di
Mekkah, yaitu Bilāl, Ṣuhaib, Khabāb, ‘Āmmar dan Jandal b. Ṣuhaib, mereka
disiksa oleh penduduk musrik Mekkah hingga mereka terpaksa mengatakan
apa yang dikehendaki kaum kafir. Setelah dilepaskan, mereka pun berhijrah
ke Madinah.32
Abū Ja’far memahami ayat ini maksudnya adalah pahala Allah atas
hijrah mereka (orang-orang yang berhijrah) di akhirat lebih besar, karena
pahalanya adalah surga, yang kenikmatannya kekal abadi.33 Mengenai hal ini
al-Sya’rāwī memberikan contoh apabila salah seorang sahabat memberikan
sebagian hartanya kepada kaum Muhajirin, ‘Umar berkata: “Semoga Allah
memberkatimu karenanya. Inilah yang dijanjikan oleh Allah di dunia dan apa
yang disimpan-Nya diakhirat untukmu adalah lebih besar dari ini.34
Al-Qurṭūbī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud pahala
di akhirat itu lebih besar adalah lebih besar daripada yang harus diketahui
oleh seseorang sebelum ia menyaksikannya, sesuai dengan firman Allah
Swt.,
32Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī al-Naisābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989), h. 160. 33 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 552. 34 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 13, h.7943-7944.
45
يت نعيما وملكا كبيرا ١٣ رأ يت ثم
إوذا رأ
“Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat
berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (QS. al-
Insān/76: 20).
Cukup banyak orang-orang dewasa ini yang pada kehidupannnya
secara tidak disadari terjerumus pada sifat cinta dunia, menganut paham
hedonisme, sehingga mereka terlena, lalai, dan lupa akan kebahagiaan
akhirat, padahal sudah seyogianya bagi umat muslim betul-betul menyadari
bahwa sejatinya kehidupan dunia dan segala kesenangan dan kenikmatannya
itu sangat tidak sebanding dengan kenikmatan dan kemuliaan yang
didapatkan di akhirat.
46
BAB IV
GAMBARAN AL-QUR’AN TENTANG KEHIDUPAN DUNIA
A. Karakteristik Kehidupan Dunia
1. Kesenangan yang menipu
Dunia dengan tipu dayanya menyesatkan orang yang tersesat,
dengan tipuannya juga menggelincirkan orang yang tergelincir. Mencintai
dunia merupakan pangkal dari segala keburukan, dan tidak menyukainya
menjadi pokok ketaatan dan asas dari hal-hal yang mendekatkan diri
kepada Allah Swt.1 Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa kehidupan
dunia hanyalah kesenangan yang menipu, sebagaimana firman Allah Swt.,
dalam surat al-Ḥadīd ayat 20 :
ماٱعلموا ن نياٱلحيوةأ بينكمٱلد لعبولهووزينةوتفاخر
مولوتكاثرفيولد وٱلأ
عجبٱلأ
اركمثلغيثأ يهيجۥنباتهٱلكف ثم
اوف يكونحطم اثم ٱألفترىهمصفر خرةعاا دديدومففرةم ٱلل
ٱلحيوةورضونوما نيا ٠٢ٱلفرورإل امتعٱلد
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya
1 Imām al-Gazālī, Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, tp
(Jakarta: Republika, 2013), h. 2.
47
harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat
(nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. (al-Ḥadīd/57: 20).
Dalam ayat ini Allah Swt., menjelaskan kepada umat manusia
bahwa hakikat kehidupan dunia hanyalah seperti sebuah permainan dan
sesuatu yang lucu, menjadi bahan gurauan antara mereka serta perhiasan
untuk melengkapi gaya hidup mereka yang dengan itu membuat mereka
hidup dengan bermegah-megahan serta berbangga-bangga dengan harta
dan keturunan yang telah dianugerahkan kepada mereka.
Mengenai ayat ini al-Qurṭubī memberi perumpamaan bahwa
kehidupan dunia itu seperti tanaman yang menyejukkan pandangan orang-
orang yang melihatnya, semua tanaman itu berwarna hijau karena diairi
dengan hujan yang cukup, namun tidak berapa lama kemudian tanaman
tersebut dilanda kekeringan hingga seperti tidak pernah hijau
sebelumnya.2 Perumpamaan ini menyajikan sebuah hikmah tentang
kehidupan dunia yang pada hakikatnya dunia ini hanya tipuan dan
berlangsung hanya sementara.
2 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 20, h. 261.
48
Allah Swt., pun telah menegaskan di dalam beberapa ayat al-
Qur’an bahwa dunia adalah suatu yang menipu.3 Misalnya firman Allah
Swt., dalam surat Ālī ‘Imrān penggalan ayat 185:
ٱلحيوةوما نيا ٥٨١ٱلفرورعإل امتٱلد
“Dan tidaklah kehidupan dunia melainkan kesenangan yang
memperdayakan”. (QS Ālī ‘Imrān/3: 185).
Dalam Tafsir Kemenag dikatakan bahwa kehidupan di dunia ini tidak
lain kecuali kesenangan yang memperdayakan. Kesenangan yang
dirasakan di dunia ini berupa makanan, minuman, pangkat, kedudukan dan
sebagainya, pada umumnya memperdayakan manusia. Disangkanya itulah
kebahagiaan, maka tenggelamlah ia dan asyik dengan kenikmatan dunia.
Padahal kalau manusia kurang pandai mempergunakannya, maka
kesenangan itu akan menjadi bencana yang menyebabkan di dunia dan di
akhirat kelak mendapat azab yang pedih.4
Mengenai hal ini tersirat perintah berzuhud di dunia, karena dengan
berzuhud manusia akan selamat dari terperdaya dengan kesenangan dunia,
selain itu dengan berzuhud juga menjadikan manusia dicintai oleh Allah
Swt., sebagaimana sabda Nabi Saw.,
3 Sayyid ‘Abdullāh b. Alwī al-Ḥaddād, Risalah al-Muawwanah, terj. Munawwir az-
Zahidy (Surabaya: Mutiara Ilmu, 2007), h. 215. 4 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 2, h. 51.
49
ا ذ إ ل م ع لى ي ع ن ل د الله ل و س ا ر ي ال ق ف م ل س و ه ي ل ع ى الله ل ي ص ب ى الن ل إ ل ج ر أتى
اس الن د ن ا ع يم ف د ه از و الله ك ب ح ا ي ي ن ي الد ف د ه ز إ ال ق ف اس ي الن ن ب ح أ و ي الله ن ب ح أ ه ت ل م ع
(رواه ابن ماجه) اس الن ك ب ح ي
“Ada seorang lelaki datang kepada Nabi Saw., lalu berkata: “Ya Rasulullah,
tunjukkanlah padaku sesuatu amalan yang apabila amalan itu saya lakukan,
maka saya akan dicintai oleh Allah dan juga dicintai oleh seluruh manusia.”
Nabi Saw., bersabda: “Berzuhudlah di dunia, tentu engkau dicintai oleh
Allah dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki oleh para manusia, tentu
engkau akan dicintai oleh para manusia.” (HR. Ibnu Mājah(.5
2. Kesenangan yang Sedikit dan Bersifat Sementara
Kesenangan dan kenikmatan yang dirasakan manusia di dunia pada
hakikatnya hanyalah sebentar dan sedikit. Di dalam al-Qur’an terdapat
beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini, seperti firman Allah pada
akhir ayat 77 surat al-Nisā‘:
نياقلمتع قيخيرل م ٱألخرةقليلوٱلد ٧٧ولاتظلمونفتيلاٱت
“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat
itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak
akan dianiaya sedikitpun.” (QS. al-Nisā‘/4: 77).
5Abī ‘Abdillāh b. Yazīd al-Qazwīnī b. Mājah, Sunan Ibnu Mājah (Riyāḍ: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah, t.t), k. 37, b. 1, no. 4102, h. 1373.
50
Asbāb al-Nuzūl: Dari Ibnu ‘Abbās sesungguhnya ‘Abdu al-Raḥmān
b. ‘Auf dan para sahabatnya mendatangi Nabi Saw., lalu mereka berkata,
“Wahai Nabi Allah, ketika kami masih musyrik, kami adalah orang-orang
yang mulia. Namun ketika kami beriman, kami menjadi orang-orang yang
hina.” Maka Rasulullah Saw., bersabda, “Sesungguhnya aku
diperintahkan untuk memaafkan. Maka jangan kalian perangi orang-orang
musrik itu.” Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau diperintahkan untuk
memerangi musuh, tapi mereka (‘Abdul Raḥmān b. ‘Auf) tidak
melakukannya. Maka turunlah firman Allah, “Tidaklah engkau
memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, tahanlah
tanganmu (dari berperang), sampai akhir ayat.6
Abū Ja’far menugungkapkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini
diturunkan kepada sahabat-sahabat Rasul yang telah beriman dan percaya
terhadapnya. Diturunkan ayat ini sebelum diwajibkan jihad atas mereka.
Mereka memohon kepada Allah supaya diwajibkan perang kepada
mereka, namun ketika turun perintah kewajiban untuk berperang mereka
merasa berat dan kesulitan atas perintah itu.7
Ayat ini berkaitan dengan sifat orang-orang munafik yang
berkeinginan menunda jadwal perang karena kecintaan mereka terhadap
dunia dan kenikmatannya. Menurut al-Sya’rāwī sebagai muslim dilarang
untuk cenderung pada kesenangan dunia, hingga takut untuk berperang,
karena setiap jiwa pasti akan mati, dan masing-masing akan dihitung amal
6 Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī al-Naisābūrī, Asbāb al-Nuzūl (Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989), h. 96. 7 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 2, h. 507.
51
perbuatannya. Sedangkan orang yang mati syahid, akan mendapatkan
pahalanya langsung, dan mendapat kehidupan bahagia.8
Dalam Tafsir Kemenag disebutkan sebuah perbandingan antara
perihal akhirat dengan dunia, disana dikatakan bahwa kelezatan dunia itu
hanya sedikit sekali dibandingkan dengan kelezatan akhirat yang abadi
dan tidak terbatas, yang hanya akan didapat oleh orang-orang yang
bertakwa kepada Allah yaitu orang yang bersih dari syirik dan akhlak yang
rendah.9 Sementara itu al-Qurṭubī mengatakan, kehidupan akhirat lebih
baik dari kehidupan dunia yang penuh dengan maksiat dan dosa.
Mengenai kehidupan dunia yang hanya sementara Nabi Saw.,
menyajikan sebuah perumpamaan dalam sabdanya:
ي()رواه الترمذ اه ك ر ت و اح ر م ث ة ر ج ش ت ح ت ل ظ ت س إ ب اك ر ا ك ي ن الد ل ث م
“Perumpamaan dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di
bawahpohon kemudian ia beristirahat sebentar dan selanjutnya pergi
meninggalkannya.”10 (HR. al-Tirmiżī)11
Kemudian ayat lain yang membahas tentang kesenangan dunia
terhitung sedikit terdapat pada surat al-Ra’d ayat 26:
8 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 4, h. 2437. 9 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 2, h. 208-209. 10 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 12, h.7311. 11 Muḥammad b. ‘Īsā b. Saurah al-Tirmiżī, Sunan al-Tirmiżī (al-Riyāḍ: Maktabah al-
Ma’ārif Linaṡīri wa al-Tawzī’i, t.t), k. 34, b. 44, no. 2377, h. 535.
52
زقيبسطٱلل ٱلر ب وفرحوا لم يشاءويقدر نياٱلحيوة ٱلحيوةوماٱلد
نيا فيٱلد ٠٢إل امتعٱألخرة
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang
Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia,
padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan
akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. al-Ra’d/13:
26).
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī, matā’ ialah bekal perjalanan. Bekal
perjalanan ini selalu disiapkan untuk sebuah perjalanan, seperti tas kecil
yang berisikan beberapa baju dan bekal lainnya. Artinya kesenangan dunia
itu tidak lebih dari seperti bekal perjalanan yang sedikit lagi singkat.12 Hal
ini selaras dengan al-Qurṭubī, yang mengutip dari ‘Abdullah b. ‘Abbās,
matā’ maksudnya adalah bekal, seperti bekal yang dibawa seorang
penggembala.13
Kenikmatan hidup dunia ini hanyalah merupakan kenikmatan yang
kecil, pendek waktunya, serta mudah dan cepat hilang, dibandingkan
dengan kenikmatan akhirat yang besar nilainya sepanjang masa. Dengan
demikian tidaklah pada tempatnya bila mereka bangga dengan kenikmatan
di dunia yang mereka rasakan itu.14 Menurut Mutawallī al-Sya’āwī,
12 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 12, h.7311. 13 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 12, h. 64. 14 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 104.
53
seorang mukmin adalah orang yang bekerja di dunia untuk memetik
hasilnya di akhirat agar dapat meraih kenikmatan yang hakiki. Dan
seorang mukmin yakin bahwa setiap tujuan yang memiliki kesudahan
bukanlah disebut tujuan hakiki. Dunia pada hakikatnya tidak layak
menjadi Tuhan orang mukmin. Tujuan hakiki adalah surga dan bertemu
Allah Swt.15
3. Bunga Kehidupan Dunia Sebagai Ujian
Kehidupan dunia ini tidak lain hanya merupakan masa ujian pada
hari kiamat kelak, apa yang telah diperbuat seseorang di dalamnya akan
ditimbang dengan timbangan keadilan, untuk diketahui hasil usahanya,
sehingga dia beruntung surga sesuai dengan hak dan usahanya, atau masuk
neraka sesuai dengan ukuran kezhaliman dan keingkarannya.16
Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa
kehidupan di dunia merupakan sebuah ujian, diantaranya firman Allah
Swt., QS. Tāhā/20 ayat 131:
عنابهولا عينيكإليمامت ن نهمزهرۦتمد ام زوجةأ ٱلحيوة
نيا بقيٱلد ٥٣٥لنفتنهمفيهورزقرب كخيروأ
“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang
telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka,
sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka
15 Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi Khawatiri Haula al-Qur’an
al-Karim )t.t: al-Azhar, 1991) Jilid 12, h.7311. 16 Ni’mat Shidqiy, Ni’mat al-Qur’an, terj. Hery Noer Aly (Bandung: Husaini, 1998),
h. 64.
54
dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih
kekal.” (QS. Tāhā/20: 131).
Asbāb al-Nuzūl: Ibnu Abī Syaibah, Ibnu Mardawih, al-Bazzar, Abu
Ya’la meriwayatkan dari Abū Rāfi’,dia berkata, “Nabi Saw., menjamu
seorang tamu, lalu beliau mengutus saya kepada orang Yahudi untuk
berutang tepung yang akan dibayar pada bulan Rajab. Kata si Yahudi,
“Tidak bisa kecuali dengan gadai.” Saya pun menghadap Nabi Saw., dan
memberi tahu beliau. Beliau bersabda” “Demi Allah aku sungguh
terpercaya di langit dan terpercaya di bumi.” Belum sempat saya keluar
dari rumah beliau, ayat ini sudah turun.17
Ayat ini menjelaskan bahwa untuk menguatkan hati Rasūlullah
dalam menghadapi perjuangan menegakkan kalimah Allah, Allah
mengamanatkan kepadanya agar dia jangan mengalihkan perhatiannya
kepada kesenangan dan kekayaan yang dinikmati sebagian orang kafir
karena hal itu akan melemahkan semangatnya bila matanya disilaukan
oleh perhiasan dunia. Semua nikmat yang diberikan kepada orang-orang
kafir itu hanyalah sementara.18
Sejalan dengan ini Abū Ja’far mengatakan, rezeki yang dijanjikan
kepada Rasul akan diberikan di akhirat kelak, sehingga Rasul merasa
senang adalah jauh lebih baik daripada yang diberikan kepada mereka,
17Jalāluddīn al-Suyūṭī, Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an, terj. Abdul Hayyie, (Depok:
Gema Insani, 2009) h. 370. 18 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid 6, h. 216.
55
berupa bunga kehidupan dunia, dan lebih kekal karena tidak terputus dan
tidak ada habisnya.19
Kemudian al-Sya’rāwī berpendapat bahwa sesungguhnya apa yang
mereka terima itu adalah cobaan dari Allah semata, dan segera akan
meninggalkan mereka. Menurutnya kata zahrah adalah simbol dari segala
berakhirnya kenikmatan yang diterima kaum kafir tersebut. Demikianlah
Allah memberikan kenikmatan dunia yang sementara dan hanya cobaan
belaka. Karena Allah hendak mencoba hamba-Nya dengan hal baik
maupun buruk.20 Sebagaimana firman Allah Swt:
لموت ٱنفسذائقةكل ونبلوكمب ر إوليناترجعونٱلخيروٱلش فتنة
٣١
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu
dikembalikan.” (QS. al-Anbiyā/21: 35).
Pada akhir penafsiran Kemenag dikatakan, Allah telah
menganugerahkan kepada Nabi sebagai ganti nikmat lahiriyah itu nikmat
yang lebih baik yaitu ketenangan hati dan kebahagiaan yang berupa
keridhaan Illahi.21
19 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 5, h. 234. 20 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 15, h. 9457. 21 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 6, h. 216.
56
Terkait hidup adalah sebuag ujian, hal ini juga termaktub dalam
firman Allah Swt., dalam surat al-Mulk ayat 1-2:
ديءقديرٱلملكبيدهٱل ايتبرك خلقٱل اي٥وهوعليكل
وهوٱلحيوةوٱلموت ا حس عملي كمأ
٠ٱلففورٱلعزيزليبلوكمأ
“Maha Pemberi berkah Tuhanmu, segala kekuasaan pada
hakikatnya ada di genggamanNya. Dia Maha Kuasa untuk
melakukan apa saja. Tuhanlah yang menjadikan kematian dan
kehidupan (dalam kerangka) untuk menguji diantara kamu siapa
yang paling bagus amalnya.” (QS. al-Mulk/67: 1-2)
Allah menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji
manusia, siapa diantara mereka yang beriman dan beramal saleh dengan
mengikuti petunjuk-petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad dan siapa
pula yang mengingkarinya. Kemudian dengan menciptakan kehidupan itu,
Allah memberi kesempatan yang sangat luas kepada manusia untuk
memilih mana yang baik menurut dirinya. Apakah ia akan mengikuti hawa
nafsunya, atau ia akan mengikuti petunjuk, hukum, dan ketentuan Allah
sebagai penguasa alam semesta ini. Seandainya manusia ditimpa azab
yang pedih di akhirat nanti, maka azab itu pada hakikatnya ditimpakan atas
kehendak diri mereka sendiri. Begitu juga jika mereka memperoleh
57
kebahagiaan, maka kebahagiaan itu datang karena kehendak diri mereka
sendiri sewaktu hidup di dunia.22
Menurut al-Qurṭubī, Allah menciptakan manusia untuk kematian dan
kehidupan. Maksudnya, untuk kematian di alam dunia dan kehidupan di
akhirat.23 Mengenai hal ini beliau menukil dari sahabat Qatādah berkata,
bahwa “Rasūlullah Saw., pernah bersabda;
“Sesungguhnya Allah telah menghinakan anak cucu Adam dengan
kematian dan menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan lalu
tempat kematian, serta menjadikan akhirat sebagai tempat
pembalasan lalu tempat kekekalan.
Supaya Allah dapat menguji seorang hamba dengan kematian orang
yang disayanginya, dimana tujuannya adalah agar kesabarannya terlihat jelas,
dan juga dengan kehidupan (orang yang disayanginya), dimana tujuannya
adalah agar syukurnya terlihat jelas.24
B. Ragam Kesenangan Kehidupan Dunia
Bila dunia ini diamati dari ufuk Barat sampai ufuk Timur, dari ufuk
Utara sampai ufuk Selatan, maka akan terlihat betapa dunia penuh dengan isi
yang beraneka ragam. Bila diperhatikan lagi apa yang terdapat di bumi ini
ternyata banyak kekayaan materi yang tak terhitung jumlahnya.25 Dunia
dengan segala isinya juga memiliki ragam kesenangan dan kenikmatan hidup
22 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid. 10, h. 225. 23 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 21, h. 110. 24 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an, Jilid 21,
h. 112. 25 Abdul Fatah, Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi (Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 45-46.
58
yang bisa dinikmati manusia saat hidup di dunia, dan ragam kesenangan
hidup itu disebutkan dalam al-Qur’an pada firman Allah Swt:
زي اسحب هوتللن ٱلقنطيروٱلبني وٱلن ساءم ٱلش م ٱلمقنطرة
هب ةوٱلا مةٱلخيلوٱلفض نعموٱلمسو ذلكمتعٱلحرث وٱلأ ٱلحيوة نيا ٱلد
و ٥١ا ٱلمحس ۥعندهٱلل
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Āli ‘Imrān/3: 14).
Mutawallī al-Sya’rāwī menerangkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini
mengandung penjelasan setiap peperangan yang memperjuangkan keimanan
membutuhkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, dan membutuhkan
keberanian mukmin untuk meninggalkan segala kenikmatan dunia. Siapapun
yang enggan untuk ikut ke medan perang, maka orang tersebut sudah pasti
dipengaruhi oleh nafsu dunia. Allah menurunkan ayat ini setelah menjelaskan
tentang menuju kemenangan bagi para mukmin, agar jangan sampai
terpengaruh oleh godaan nafsu duniawi.26
26 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 3. h. 1331.
59
Allah menjadikan tabiat manusia cinta kepada harta benda dan
kesenangan sebagai sarana menguji keimanan seseorang, apakah dia akan
menggunakan semua harta dan kesenangan itu untuk kehidupan duniawi saja,
ataukah dia akan menggunakan harta bendanya untuk mencapai keridhoan
Allah Swt.27
Dalam Tafsir Kemenag, terdapat perincian dari kesenangan-
kesenangan dunia yang terkandung dalam ayat ini, pertama: Perempuan
(istri), istri adalah tumpuan cinta dan kasih sayang, jiwa manusia selalu
cenderung tertuju kepada istri. Al-Qurṭubī mengatakan wanita menjadi salah
satu keindahan dunia karena wanita sering melunturkan hati, juga karena
wanita itu dapat menjadi fitnah bagi kaum laki-laki dan dapat menjadi tali
penghubung syaitan untuk menyesatkan.28 Rasūlullah Saw., bersabda:
)رواه البخاري( اء س الن ن م ال ج لر ى ال ع ضر أ ة ن ت ي ف د ع ب ت ك ر ا ت م
“Aku tidak meninggalkan fitnah yang lebih berat bagi kaum pria
setelahku daripada fitnah wanita.” (HR. al-Bukhārī)29
Fitnah yang ditimbulkan dari wanita yaitu, mereka dapat membuat
suaminya memutuskan tali silaturrahim, karena biasanya para wanita
menyuruh suaminya untuk berjauhan dengan ibu dan saudari-saudarinya.
Kedua, mereka dapat membuat suaminya mencari uang di jalan yang tidak
diperbolehkan, karena tuntutan mereka yang berlebihan.
27 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Kementrian Agama RI,
2010), Jilid 1, h. 463. 28Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 5, h. 43. 29 Muḥammad b. Ismā;īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), k. 7, b. 18, no.
5096, h. 1309.
60
Kedua: Anak, laki-laki atau perempuan. Cinta kepada anak adalah
fitrah manusia. Dan anak merupakan hiasan rumah tangga, penerus keturunan
dari generasi ke generasi. Ketiga: Harta kekayaan, menurut al-Rāzi yang
mengatakan dalam tafsirnya, “emas dan perak amat disenangi, karena
keduanya adalah alat penilai harga sesuatu. Orang yang memilikinya sama
dengan orang yang memiliki segala sesuatu. Memiliki berarti menguasai.
Berkuasa adalah salah satu kesempurnaan, dan kesempurnaan itu diinginkan
oleh semua manusia.” Keempat: Kuda yang dipelihara di padang rumput,
terutama kuda yang berwarna putih di bagian dahi dan kakinya, sehingga
tampak sebagai tanda. Bagi masyarakat Arab, kuda yang demikian itu adalah
kuda yang paling baik dan paling indah. Kelima: Binatang ternak lainnya,
seperti sapi, unta kambing, binatang ternak ini termasuk harta kekayaan Arab.
Kebutuhan hidup mereka seperti pakaian, makanan, alat-alat rumah tangga
dan sebagainya, sebagian besar terpenuhi dari hasil berternak binatang-
binatang itu. Keenam: Sawah ladang adalah sumber kehidupan manusia dan
hewan. Kebutuhan manusia kepada sawah ladang melebih kebutuhan mereka
kepada harta lainnya yang disenangi, karena sawah ladang adalah sumber
pemenuhan kebutuhan seseorang.30
Mengenai ayat ini, al-Qurṭubī mengatakan dalam tafsirnya, para ulama
berpendapat bahwa pada ayat ini ada empat macam jenis harta yang
disebutkan oleh Allah Swt., di mana setiap jenisnya ditransaksikan oleh
berbagai macam kelompok manusia. Yang pertama adalah emas dan perak,
dimana kedua jenis ini ditransaksikan oleh para pedagang. Yang kedua
30 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 3,h. 464-466.
61
adalah kuda pilihan, dimana kuda jenis ini ditransaksikan oleh para penguasa.
Yang ketiga adalah hewan ternak, yang ditransaksikan oleh penduduk kota.
Dan yang terakhir adalah sawah ladang, yang ditransaksikan oleh orang-
orang di pedesaan (rasātīq31). oleh karena itu, setiap jenis harta yang
disebutkan itu dapat menjadi fitnah bagi setiap kelompok yang
mentransaksikannya. 32
Tersirat juga perintah untuk berzuhud selama di dunia dan
mempersiapkan kehidupan akhirat, serta berlomba-lomba mencari tempat di
sisi Allah, karena hanya Allah sebaik-baik tempat kembali.
C. Perumpamaan Kehidupan Dunia Seperti Air Hujan
Ketika Allah ingin menjelaskan sesuatu permasalahan yang masih
samar bagi sebagian manusia, Dia menerangkannya dengan perumpamaan
yang mereka ketahui. Karena itulah Allah membuat perumpamaan.33 Di
dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung perumpamaan
kehidupan dunia diantaranya :
ما مثلإن نياٱلحيوة نزلنهم ٱلد ماءكماءأ نباتۦبهٱختلطفٱلس
رضكلٱلأ
ايأ اسمم نعموٱلن
خاتٱلأ
إذاأ ي رضحت
نتزخرفهاوٱلأ ي ٱز
31 Rasātīq adalah bentuk jamak dari rastāq yang maknanya adalah orang-orang hitam
dan orang-orang kampung. 32 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 5, h. 56. 33 Syekh Mutawallī al-Sya’rāwī, Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an, terj.
Rohim Mukti (Jakarta: Granada Nadia, 1994), h. 13.
62
همقدرون ن هلهاأ
أ وظ اعليها افجعلنهاحصيد ونهار
مرناليلاأ
تىهاأ
أ
نل متف بمسكأ
لٱلأ رونٱأليتكذلكنفص ٠١لقوميتفك
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti
air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan
suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah
sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan
pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya, tiba-
tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu
Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah
disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
berfikir.” (QS. Yūnus/10: 24)
Ayat ini menerangkan sifat kehidupan dunia dan perumpamaan yang
ditijinjau dari segi kefanaannya, bahwa kehidupan dan kesenangan duniawi
dapat sirna seketika.34 Kefanaan hidup di dunia ini ditegaskan dengan firman
Allah:
34 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 4, h. 296.
63
م فأ
هلأ
اوهمنائمونٱلقرىأ سنابيت
تيهمبأ
نيأ
و٧٧أ
هلأ
م أ
أ
يوهميلعبونٱلقرى سناضحتيهمبأ
نيأ
٧٨أ
“Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari
kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu
mereka sedang tidur. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa
aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari
sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain.” (al-A’rāf/7: 97-
98)
Sejalan dengan ini, Mutawallī al-Sya’rāwī mengungkapkan bahwa
perumpamaan ayat ini adalah penyerupaan kehidupan dunia seperti air yang
diturunkan Allah dari langit hingga tumbuhan bias bercampur karenanya.
Setiap tumbuhan mengambil bagiannya dalam berkembang dan menjadi
indah kemudian berakhir, begitu pula dunia. Kemudian “hiasan” adalah
sesuatu yang indah yang disukai jiwa ketika melihatnya. Dunia berhias diri
dengan beragam warna yang indah, kemudian semuanya menjadi punah.
Begitulah yang kita lihat dalam kehidupan dunia. Jadi, dunia dengan segala
keindahannya akan punah, dan keindahan warnanya akan layu, maka tidak
sepantasnya manusia melampaui batas untuk meraih kesenangan duniawi
yang hina dan sementara.35
Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat 45:
35 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 5859-5860.
64
ثلوٱضر لهمم نياٱلحيوة نزلنهم ٱلد ماءكماءأ ۦبهٱختلطفٱلس
رضنباتاتاروهٱلأ صبحهشيم
يح فأ وكنٱلر ٱلل
قتدراعليكل ١١ديءم
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan
dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi
subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-
tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan
adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Kahfi/18: 45).
Mengenai ayat ini, Abū Ja’far mengatakan bahwa Allah memberikan
perumpamaan ini seperti tumbuhan yang semakin subur dengan turunnya
hujan, namun jika hujan itu berhenti maka dia tumbuh dengan lambat, dan
akhirnya musnah, kembali menjadi tanah kering yang diterbangkan oleh
angin, lalu rusak tidak indah dipandang mata. Oleh sebab itu, hendaklah
manusia bekerja untuk sesuatu yang abadi, tidak musnah, tidak berubah dan
tidak binasa.36
Dengan penjelasan perumpamaan ini, terdapat peringatan bagi
manusia untuk tidak tertipu dan teperdaya dengan beragam kesenangan dunia
yang pada hakikatnya hanya sementara dan tidak kekal sehingga berlomba-
lomba dan melampaui batas untuk mendapatkannya.
D. Perintah Mewaspadai Kehidupan Dunia
36 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 5, h. 106.
65
Kecintaan kepada dunia adalah sumber segala perbuatan dosa dan
penyebab terhapusnya pahala segala kebajikan. Sesuatu yang hukumnya
mubāḥ37 tetapi jumlahnya lebih dari pada yang dibutuhkan termasuk “dunia”,
itu dapat menjadi penyebab keterjauhan dari Allah Swt.38 Mengenai hal ini
Allah memerintahkan manusia untuk waspada tidak terlena dan tertipu
dengan kehidupan dunia. Sebgaimana firman Allah Swt:
ها ي أ اسي قوا ٱلن ٱخشوا رب كموٱت ال ايجزيوالدع ولده ولامولودۦيوم
وعدديۦهوجازع والده إن ا ن كمٱلل فلاتفر نياٱلحيوةحق ولاٱلد
ن كمب يفر ٣٣رورٱلفٱلل
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari
yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan
seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.
Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali
kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu
(syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS.
Luqmān/31: 33).
37Dari segi etimologi, mubāḥ melepaskan, atau mengizinkan. Sedang dari segi
terminology, yang dimaksud dengan mubah ialah, suatu perbuatan yang syar’ memberikan
pilihan kepada mukallaf untuk melakukannya atau meninggalkannya, yang jika ia
melakukan salah satunya, tidak diberi pahala dan tidak di pula diancam dengan dosa dan
siksa. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), h. 65. 38Al-Gazālī, Tahżīb al-Akhlāq wa Mu’ālajat Amrāḍ al-Qulūb, terj. Muhammad al-
Baqir (Bandung: Karisma, 2001), h. 85.
66
Mengenai ayat ini al-Qurṭubī memberikan sebuah peringatan jangan
sampai kehidupan dunia dengan segala perhiasannya memperdayakan
manusia, lalu mereka mengharapkannya, condong kepadanya dan
meninggalkan amal kebajikan untuk bekal akhirat.39 Begitu juga Abū Ja’far
dalam tafsirnya memberikan sebuah peringatan untuk jangan sampai tertipu
dengan perhiasan hidup dan kenikmatan dunia, sehingga lebih cenderung
kepadanya dan tidak mempersiapkan diri, agar dapat melepaskan diri dari
adzab Allah, jangan sampai juga tertipu oleh setan dalam menaati Allah
Swt.40 Hal ini sebagaimana al-Qurṭubī mengutip pendapat Mujāhid, bahwa
setan-lah yang memperdaya makhluk dan membangkitkan angan-angan
kosong dunia kepada mereka serta melalaikan mereka dari akhirat.41
Menurut Tafsir Kemenag, terdapat dua peringatan yang terkandung
dalam ayat ini, pertama peringatan kepada manusia jangan sampai tertipu
dengan kesenangan dunia dan segala kenikmatannya, sehingga manusia
menghabiskan seluruh waktunya untuk memperoleh dan menikmati
kesenagan-kesenangan duniawi. Akibatnya tidak ada waktu lagi untuk
beribadah kepada Allah serta mengerjakan amal saleh. Kedua, peringatan
untuk jangan teperdaya oleh setan yang selalu mencari-cari kesempatan
untuk memperdaya manusia. Karena setan menjadikan kehidupan dunia
39 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 495. 40 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 6, h. 138-139. 41 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 16, h. 496.
67
indah dalam pandangan matanya, sehingga manusia lupa kepada tugas yang
diamanahkan Allah sebagai khalīfah fī al-Arḍi.42
يعدهم يط يهمومايعدهمويمن ٥٠٢إل اغروراٱلش
“Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal
syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan
belaka.” (al-Nisā/4: 120).
E. Dunia Bukan Tujuan Hakiki
Seseorang akan mudah teperdaya jika dia menjadikan kemegahan
dunia sebagai tujuan akhirnya. Karena cintanya yang berlebihan terhadap
hal-hal yang bersifat duniawi, dia tidak akan bisa selalu introspeksi, bahkan
selalu mengulur-ngulur waktu untuk beramal saleh dan bertaubat.
Hal semacam ini tidak lepas dari perhatian al-Qur’an. Al-Qur’an
memperingatkan manusia yang beriman agar jangan sampai terlena dengan
kenikmatan dunia dan agar jangan sampai menjadikan dunia sebagai tujuan
akhir dari amal perbuatannya.43 Allah berfirman:
42 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 7, h. 574-575. 43 Sayyid Muhammad Nuh, Menggapai Rida Ilahi (Jakarta: Lentera, 2000), h. 98.
68
نياٱلحيوةكانيريدم عملهمفيهاوهمٱلد إليهمأ وزينتهانوف
ئك٥١فيهالايبخسون ل و ليسلهمفيٱل اي أ إل اٱألخرة ار وحبطماٱلن
يعملون اكانوا فيهاوبطلم ٥٢صنعوا
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan”
“Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan
di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Hūd/11: 15-16).
Mutawallī Sya’rāwī dalam tafsirnya menjelaskan, apabila manusia
telah melakukan usaha sesuai dengan sebab, maka Allah mewajibkan diri-
Nya untuk memberi hasil usaha secara lengkap tanpa pengurangan. Dalam
kehidupan dunia ini hak-hak mereka tidak akan dikurangi. Prinsipnya,
barangsiapa yang tekun bekerja, dia akan memetik hasilnya.44
Menurut Tafsir Kemenag, orang-orang yang amalnya hanya
diniatkan sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan
sebagai persiapan untuk menghadapi akhirat, tidak memperoleh apa pun
44 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 6383.
69
kecuali neraka. Hal ini sejalan dengan Mutawallī Sya’rāwī yang mengatakan
neraka adalah tempat kembali bagi mereka yang bekerja hanya demi dunia,
tanpa iman kepada Allah. Mereka akan mengambil bagian mereka di dunia,
sedangkan akhirat pekerjaan mereka seperti hanya binatang ternak yang
gemuk karena memakan sesuatu yang belum matang. Maksudnya, di
perutnya terdapat angin hingga orang yang tidak tahu menyangka bahwa
binatang itu gemuk, padahal kegemukan ini akan hilang. Demikian halnya
dengan pekerjaan orang kafir akan sia-sia di akhirat, karena pekerjaan
tersebut tanpa di dasari iman kepada-Nya.45
Dalam Tafsir Kemenag dikatakan, mereka berusaha di dunia bukan
karena dorongan iman pada Allah dan bukan untuk membersihkan diri dari
dosa dan kejahatan dan bukan pula untuk mengejar keutamaan dan takwa,
akan tetapi semata-mata untuk memenuhi keinginan hawa nafsu sepuas-
puasnya. Itulah sebabnya Allah menjadikan apa yang telah mereka kerjakan
di dunia sia-sia belaka.46 Kemudian Abū Ja’far mengatakan, pekerjaan
mereka sia-sia karena mereka mengerjakan amal perbuatan itu bukan semata-
mata karena Allah. Kemudian Allah menghapus amal perbuatannya dan
menghilangkan pahala amal perbuatan yang telah dilakukannya.47
Dalam ayat lain yang senada tentang hal ini, Allah Swt., berfirman:
45 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 10, h. 6387. 46 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid. 4, h. 395-396. 47 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 263.
70
كانيريدحرثم فيحرثهۥنزدلهٱألخرة وم كانيريدحرثۦ
نيا فيۥمنهاومالهۦنؤتهٱلد ٠٢م ن صيبٱألخرة
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari
keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di
akhirat.” (QS. al-Syūrā/42: 20)
Al-Qurṭubī mengutip pendapat ulama yang mengatakan, bahwa yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang mukmin. Maknanya,
barangsiapa yang menghendaki balasan di dunia dari amalnya, maka akan
disegerakan balasan itu baginya dan tidak sedikit pun berkurang balasan itu
di dunia, akan tetapi kelak di akhirat dia mendapatkan azab, karena dia telah
menarik tujuannya ke dunia. Hal ini menurut al-Qurṭubī selaras dengan sabda
Nabi Saw:
ع مال ب الن ي ات إن ما ال
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat."48
Jadi, hamba itu diberi sesuai dengan maksud dan tujuannya dan
sesuai kehendak hatinya. Hal ini merupakan masalah yang telah disepakati
oleh semua umat dari setiap agama.
48Muḥammad b. Ismā’īl, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Dār al-Fikr, t.t) k. 1, bab. 1, no. 1,
h. 17.
71
Selanjutnya Firman Allah Swt., dalam surat al-Isrā‘ ayat 18:
لنالهٱلعاجلةكانيريدم ۥعج جعلنافيهامان شاءلم ن ريدثم
اۥله دحور ام ميصلىهاماموم ٥٨جهن
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka
Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi
orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka
jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.”
(QS. al-Isrā‘/17: 18)
Menurut Mutawallī Sya’rāwī seseorang yang menginginkan
kehidupan duniawi dan ingin mendapatkan kesenangan hidup, dan di dalam
pikirannya tidak terdapat akhirat, maka dia tidak berhak untuk mendapatkan
akhirat itu. Akan tetapi ketika hari tersebut datang, maka dia akan
menemukan amalannya nihil dan tidak berhak mendapatkan apa-apa, karena
manusia akan mendapat pahala dari apa yang dikerjakan.49
Balasan manusia di akhirat sesuai dengan apa yang dia kerjakan
selama di dunia, jika usahanya di dunia ditujukan hanya untuk mendapat
kenikmatan dunia maka di akhirat dia tidak mendapat apa-apa, sebaliknya
jika usahanya pekerjaannya di dunia ditujukan untuk kecukupan hidup
selama di dunia dan diniatkan untuk pahala akhirat maka dia akan
mendapatkan balasan kebaikan di dunia juga di akhirat. Mengenai hal ini
49 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm ) t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 14, h. 8450-8451.
72
sesuai dengan prinsip salah satu sahabat yang berdoa untuk menjadikan dunia
berada di genggaman tangan dan akhirat di hati.
F. Kehidupan Dunia Melupakan Manusia dari Ingat Kepada Allah Swt.
Kecenderungan terhadap kesenangan dan kenikmatan dunia
mempunyai dampak yang cukup banyak bagi manusia, salah satunya adalah
bisa menyebabkan seseorang lupa kepada Allah Swt.
Hendaknya jangan sampai perihal duniawi membuat manusia lupa
untuk berdzikir kepada Allah dan melakukan amal-amal yang mendekatkan
diri kepada Allah.50 Dalam hal ini Allah Swt., berfirman:
يحشرهمومايعبدونم دونويوم ضللتمٱلل نتمأ
فيقولءأ
وا مهمضل ؤلاءأ بيلعباديه نقالوا ٥٧ٱلس
سبحنكماكانينبفيلناأ
ينسوا عتهموءاباءهمحت ت ولياءولك م خام دونكم أ ت كرن ٱلا
اوكنو ابور قوم ٥٨ا
“Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta
apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang
disembah); "Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau
mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?"
50Sayyid ‘Abdullah b. Ḥusain, Menyingkap Diri Manusia Risalah Ilmu dan Akhlaq
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h. 36.
73
“Mereka (yang disembah itu) menjawab: "Maha Suci Engkau, tidaklah
patut bagi kami mengambil selain engkau (untuk jadi) pelindung, akan
tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan
hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum
yang binasa" (QS. al-Furqān/25:17-18).
Dalam Tafsir Kemenag dikatakan, ketika Allah bertanya kepada
yang disembah, mereka spontan menjawab pertanyaan Allah, bahwa
Mungkin Allah telah melimpahkan kepada mereka agar mereka bersyukur
kepada-Nya, tetapi mereka pergunakan nikmat itu untuk kepuasan hawa
nafsu mereka, sehingga mereka telah tenggelam dalam kesenangan, dan
akhirnya melupakan Allah dan jatuh ke jurang kesesatan.51
Mengenai hal ini Mutawallī al-Sya’rāwī mengungkapkan bahwa saat
Allah memberikan nikmat kepada mereka, mereka lebih menyibukkan diri
atas nikmat dari Allah, maka mereka tersesat. Mereka melupakan sang
Pemberi nikmat, hak nikmat adalah jangan sampai melupakan kepada sang
Pemberi nikmat.52 Hal ini sejalan dengan al-Qurṭubī yang mengatakan, ketika
mereka mendapatkan kenikmatan hidup, seperti kesehatan, kekayaan dan
panjang umur, mereka lupa mengingat Allah, meninggalkan berdzikir
kepada-Nya, sehingga mereka menyekutukan-Nya, baik karena sombong
maupun tidak tahu.
Menurut al-Qurṭubī terkait kata الذكر ada dua pendapat, yaitu :
51 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010). Jilid 6, h. 670. 52 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 17, h. 10394.
74
1. Al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasūlullah Saw., lalu mereka tidak
mengamalkannya.
2. Bersyukur atas kebaikan yang diberikan kepada mereka dan
memberikan kenikmatan kepada mereka.53
G. Mencintai Dunia Dapat Tersesat
Dunia dengan tipu dayanya menyesatkan orang yang tersesat, dengan
tipuannya juga menggelincirkan orang yang tergelincir. Mencintai dunia
merupakan pangkal dari segala keburukan. Dan tidak menyukainya menjadi
pokok ketaatan dan asas dari hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah
Swt.54 Tentang hal ini tertuang pada firman Allah Swt.
موتمافيۥلهٱل ايٱلل رض ومافيٱلس وويلل لكفري م عاا ٱلأ
نياٱلحيوةيستحب ونٱل اي ٠دديد عليٱلد ونع سبيلٱألخرة ويصد
ئكفيضللبعيدٱلل ل و أ ٣ويبفونهاعوجا
“Allah-lah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi.
Dan kecelakaanlah bagi orang-orang kafir karena siksaan yang
sangat pedih.”
“(yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari
pada kehidupan akhirat, dan menghalang-halangi (manusia) dari
53 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 15, h. 379. 54 Imām al-Gazālī, Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama, t.p
(Jakarta: Republika, 2013), h. 2.
75
jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok.
Mereka itu berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrāhīm/14:
2-3)
Al-Qurṭubī mengutip pendapat bahwa yang dimaskud lebih menyukai
kehidupan dunia ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dunia
serta perasaan lebih mencintai dunia dibanding kehidupan akhirat apalagi
sampai berpaling dari jalan Allah Swt., mereka mencari apa-apa yang ada di
dunia dengan cara yang tidak sepantasnya.55 Sejalan dengan ini Abū Ja’far
mengatakan, mereka yang lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat
itu berada di tempat yang jauh dari kebenaran, perilaku yang tidak mengikuti
petunjuk, dan menyimpang dari jalan yang lurus.56
Di jelaskan dalam Tafsir Kemenag, bahwa dalam ayat ini Allah
menjelaskan bahwa orang-orang yang lebih menyukai kehidupan duniawi
daripada kehidupan ukhrawi, menghalangi orang lain dari jalan Allah, dan
menginginkan agar orang-orang menjauhi jalan lurus yang diberikan Allah
kepada manusia, mereka itu sesat sejauh-jauhnya.
Orang kafir tidak hanya mengingkari al-Qur’an, tetapi juga
menghalang-halangi orang lain untuk mengikuti jalan yang benar. Mereka
juga berusaha dengan berbagai tipu daya agar jalan lurus yang ditunjukkan
Allah itu menjadi bengkok. Mereka menukar ayat-ayat Allah dengan apa
55 Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr al-Qurṭubī, Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an, (Beirut:
al-Risālah, 2006), Jilid 12, h. 104-105. 56Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān, (Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994), Jilid 4, h. 439.
76
yang sesuai dengan kehendak hawa nafsu mereka . dengan demikian mereka
adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan orang lain.57
Menurut Mutawallī al-Sya’rāwī dalam ayat ini terdapat tiga tingkatan
kesesatan, pertama, lebih mencintai dunia daripada akhirat, kedua,
menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, ketiga, mengaburkan manhaj
agar manusia menjadi tidak suka terhadap Islam.58
Dalam pembahasan ini terdapat kisah tentang seorang alim yang
tersesat sehingga rela menjual agamanya demi mendapat kenikmatan dunia,
dia adalah Ba’lam b. Bā’ūra, seorang laki-laki yang telah diberi Allah ilmu
pengetahuan tentang isi al-Kitab dan ke-Tuhan-an dan dia memahami dalil-
dalil keesaan Allah sehingga dia menjadi seorang yang alim. Tetapi laki-laki
itu telah menentukan pilihannya ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan
yang berlawanan dengan fitrahnya, berpaling dari ilmunya sendiri, karena
didorong oleh keingkaran pribadi, yakni kemewahan hidup duniawi. Dia
lebih merasa nyaman dengan kehidupan dunia dan lebih cenderung
kepadanya. Dia lebih memilih kelezatan dan nafsu duniawi daripada akhirat.
Dia mengikuti hawa nafsunya dan menolak taat kepada Allah bahkan
menentang perintah-Nya.59
Kemudian Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya
sama saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-
laki yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling
57 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010), Jilid 5, h. 125-126. 58 Muḥammad Mutawallī al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-Qur’ān
al-Karīm )t.t: al-Azhar, 1991), Jilid 29, h. 7432. 59 Abū Ja’far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān (Beirūt: Mu‘assasah
al-Risālah, 1994), Jilid 3, h. 523.
77
buruk. Hal demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda
duniawi. Dia selalu menyibukkan jiwa dan raganya untuk memburu benda
duniawi, sehingga tampak sebagai seorang yang sedang lapar dan haus tak
mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang menjulurkan lidahnya,
tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan air dan
makanan.
Seseorang yang pada hatinya terdapat sifat ḥubbu al-dunia (cinta
dunia), selain bisa menyebabkan lupa kepada Allah Swt., juga bisa
menyebabkan dirinya terjerumus dalam kesesatan dan kepayahan. Karena
seseorang yang cinta dunia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan
yang ia inginkan di dunia, juga dikarenakan jika ia telah mendapatkan
sebagian dari duniawi maka nafsunya terus berambisi mengejar yang lebih
daripada itu.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab-bab sebelumnya, maka penulis
mengambil kesimpulan akhir sebagai berikut: yang dimaskud lebih mencintai
kehidupan dunia ialah segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan dunia
serta perasaan lebih mencintai dunia dibanding kehidupan akhirat apalagi sampai
berpaling dari jalan Allah Swt.
Di dalam al-Qur’an mengenai gambaran kehidupan dunia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Karakteristik kehidupan dunia diantaranya yaitu; kehidupan dunia adalah
kesenangan yang menipu, kehidupan dunia adalah kesenangan yang sedikit dan
bersifat sementara, bunga kehidupan dunia sebagai ujian, ragam kesenangan
kehidupan dunia, perumpamaan kehidupan dunia seperti air hujan.
2. Perintah mewaspadai kehidupan dunia, yakni peringatan kepada manusia jangan
sampai tertipu dengan kesenangan dunia serta segala kenikmatannya dan
kemudian peringatan untuk jangan terpedaya oleh setan yang selalu mencari-cari
kesempatan untuk memperdaya manusia.
3. Dunia bukan tujuan hakiki, yakni orang-orang yang amalnya hanya diniatkan
sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan sebagai
persiapan untuk menghadapi akhirat, maka amalannya sia-sia. Karena
sesungguhnya tujuan hidup hakiki adalah kehidupan akhirat.
4. Kehidupan dunia membuat manusia lupa dari ingat kepada Allah Swt., yakni
ketika mereka mendapatkan kenikmatan hidup, seperti kesehatan, kekayaan dan
78
panjang umur, mereka lupa mengingat Allah, meninggalkan berdzikir kepada-
Nya, sehingga mereka menyekutukan-Nya.
5. Mencintai dunia dapat tersesat, yakni orang-orang yang lebih mencintai
kehidupan dunia daripada akhirat itu berada di tempat yang jauh dari kebenaran,
perilaku yang tidak mengikuti petunjuk, dan menyimpang dari jalan yang lurus,
mereka mencari apa-apa yang ada di dunia dengan cara yang tidak sepantasnya,
mereka itu sesat sejauh-jauhnya.
B. Saran
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan tema ini
dengan lebih baik lagi, karena kajian ini masih kurang membahas penafsiran ayat-
ayat ḥayāt al-dunia secara mendetail, terkait tidak semua ayat penulis kaji
tafsirnya dan kitab tafsir yang penulis rujuk terbatas. Diharapkan juga hasil
penelitian ini sebaiknya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
menjadi ilmu yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup sebagai hamba
Allah Swt.
79
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Kementrian. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Lembaga Percetakan al-
Qur’an Kementrian Agama, 2010.
Agama RI, Kementrian. Hewan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011.
Agama RI, Kementrian. Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2010.
Agama RI, Kementrian. Tumbuhan dalam Perspektif al-Qur’an dan Sains, Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2011.
al-Aṣfahānī, Abī al-Qāsim al-Ḥusaini al-Rāgib. Mufradāt Fī Garīb al-Qur’an.
Cairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, 2013.
al-Bāqī, Muḥammad Fu‘ād ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an Al-
Karīm. Beirut Libanon: Dār al-Fikr, 1997.
al-Bāqī, Muḥammad Fu‘ād ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfāẓ al-Qur’an al-
Karīm. al-Qāhirah: Dār al-Ḥadīṡ 2007.
Dahlan, Abd. Rahman. Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014.
al-Farmawī, ‘Abdu al-Ḥayy. Metode Tafsir Mauḍū’ī. terj. Rohison Anwar,
Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Fatah, Abdul. Kehidupan Manusia di Tengah-Tengah Alam Materi. Jakarta: Rineka
Cipta, 1995.
al-Gazālī, Imām. Ihya ‘Ulumuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama. tp.
Jakarta: Republika, 2013.
al-Gazālī, Imām. Minhāj al-‘Ābidīn. terj. Abul Hiyadh. Surabaya: Mutiara Ilmu,
2009.
al-Gazālī, Imām. Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūmiddīn. terj. Abu Madyan al-Qurthubi.
Depok: Keira Publishing, 2014.
al-Ghazālī. Tahżīb al-Akhlāq wa Mu’ālajat Amrāḍ al-Qulūb. terj. Muhammad al-
Baqir, Bandung: Karisma, 2001.
al-Ḥaddād, Ḥabīb ‘Abdullah. Mużakkarah Ḥabīb ‘Abdullah al-Ḥaddād
diterjemahkan dari Risalat al-Mużakkarah Ma’a al-Ikhwān wa al-Muḥibbīn
min Ahli al-Khair wa al-dīn. Bandung: Karisma, 2001.
al-Ḥaddād, Sayyid ‘Abdullāh b. Alwī. Risālah al-Muawwanah. terj. Munawwir az-
Zahidy. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2007.
80
Hadhiri, Choiruddin. Akhlak & Adab Islami Menuju Pribadi Muslim Ideal. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer.
al-Ḥafiẓ, Ḥabīb ‘Umar. al-Qabas al-Nūr al-Mubīn min Iḥya ‘Ulūmuddīn. terj.
Yunus b. Ali. Surabaya: Cahaya Ilmu, 2012.
al-Hajj, Hani. Mutiara Hikmah Kekasih Rasul. t.t: Ahsan Books, 2010.
Halim, Muhammad Abdul. Memahami al-Qur’an Pendekatan Gaya dan Tema.
Bandung: Marja, 2002.
Hamka, 1001 Soal Kehidupan. Jakarta: Gema Insani 2016.
Hasan, Muhammad Tholchah. Dinamika Kehidupan Religius. Jakarta: Listafariska
Putra, 2004.
Ibn Ḥajjāj, Abī al-Ḥusaini Muslim. Ṣaḥīḥ al-Muslim. Beirut: Dār al-Kutub, 1412.
Ibn Ḥusain, Sayyid ‘Abdullah. Menyingkap Diri Manusia Risalah Ilmu dan Akhlaq.
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Ibn, Ismā’īl Muḥammad. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.
Ibn Mājah, Abī ‘Abdillāh b. Yazīd al-Qazwīnī. Sunan Ibnu Mājah. Riyāḍ: Bait al-
Afkār al-Dauliyyah, t.t.
Izutsu, Toshihiko. Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap al-
Qur’an. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Jazuli, Ahzami Samiun. al-Ḥayāt Fī al-Qur’ān al-Karīm. terj. Sari Narulita. Depok:
Gema Insani, 2006.
Muhajir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,
1996.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1997.
al-Muyassar, Muhammad Sayyid. Buku Pintar Alam Gaib. Jakarta: Zaman, 2009.
al-Naisābūrī, Abī al-Ḥasan ‘Alī b, Aḥmad al-Wāḥidī. Asbāb al-Nuzūl. Beirut: al-
Maktabah al-Ṡaqāfiyyah, 1989.
Nasional, Pusat bahasa Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa, 2018.
Nuh, Sayyid Muhammad. Menggapai Rida Ilahi. Jakarta: Lentera, 2000.
Shidqiy, Ni’mat. Ni’mat al-Qur’an. terj. Hery Noer Aly. Bandung: Husaini 1998.
81
Shihab, M. Quraish dkk. Ensiklopedia al-Quran Kajian Kosa Kata. Jakarta: Lentera
Hati, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah vol. 14. Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Qur’an al-Karīm; Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.
al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Sebab Turunnya Ayat al-Qur’an. terj. Abdul Hayyie. Depok:
Gema Insani, 2009.
Syah, Amiruddin. Kunci Tasawuf. Jakarta: Institut Kajian Tasawuf, tanpa tahun.
al-Syajjar, Syaikh Aḥmad b. ‘Abdulkarim al-Hasawi. Pemantap Hati Mutiara Kata
dan Nasihat al-Imām Ḥabīb ‘Abdullah b. Alawi al-Ḥaddād. Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002.
al-Sya’rāwī, Muḥammad Mutawallī. Tafsīr al-Sya’rāwī Khawāṭiri Ḥaula al-
Qur’ān al-Karīm. t.t: al-Azhar, 1991.
al-Sya’rāwī, Syekh Mutawallī. Perumpamaan-perumpamaan dalam al-Qur’an.
terj. Rohim Mukti. Jakarta: Granada Nadia, 1994.
al-Ṭabarī, Abū Ja’far. Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta‘wīl Āyi al-Qur’ān. Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah, 1994.
al-Tirmiżī, Muḥammad b. ‘Īsā b. Saurah. Sunan al-Tirmiżī. al-Riyāḍ: Maktabah al-
Ma’ārif Linaṡīri wa al-Tawzī’i, t.t.
al-Qurṭubī, Muḥammad b. Aḥmad b. Abī Bakr. Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur‘an. Beirūt:
Mu‘assasah al-Risālah 2006.