penerapan prinsip farmakologi dalam keperawatan

114
PENERAPAN KONSEP FARMAKOLOGI DALAM KEPERAWATAN Untuk Mahasiswa Diploma Keperawatan Oleh: Ns. Nur Falah Setyawati, S.Kep., MP !

Upload: nur-falah-setyawati

Post on 06-Oct-2015

565 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Ini merupakan rangkuman materi farmakologi untuk mahasiswa D3 keperawatan dalam aspek "fungsi perawat dalam pemberian obat-obatan"

TRANSCRIPT

PENERAPAN KONSEP FARMAKOLOGIDALAM KEPERAWATANUntuk Mahasiswa Diploma Keperawatan

Oleh:Ns. Nur Falah Setyawati, S.Kep., MPH

BAB IKONSEP DASAR FARMAKOLOGI,FARMAKODINAMIK, FARMAKOKINETIK

A. Pengantar Farmakologi

Pengobatan dengan menggunakan bahan-bahan dari alam telah berabad-abad lalu dilakukan. Bagian dari tumbuh-tumbuhan seperti akar-akaran, kulit kayu, dan biji-bijian maupun bagian dari hewan seperti lemak, hati dan mata menjadi bahan dasar yang diracik untuk menjadi bahan obat. Penemuan antibiotik pertama kali yaitu penicillin oleh Alexander Fleming (1881-1955) pada tahun 1928 dan dipublikasikan pada tahun 1929, kemudian penemuan ini dikembangkan oleh Howard Walter Florey dan Ernst Boris Chain pada akhir tahun 1930-an. Setelah masa ini pengobatan mengalami perkembangan yang pesat sampai dengan saat ini. Ilmu yang mempelajari tentang obat-obatan adalah Farmakologi. Berasal dari kata pharmacon yang artinya obat/racun dan logos yang berarti ilmu/pengetahuan. Secara umum farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada sistem biologi, selain itu juga dipelajari asal-usul obat, sifat fisika-kimia, cara pembuatan, efek biokimiawi dan fisiologi yang ditimbulkan, nasib obat dalam tubuh, dan kegunaan obat dalam terapi (Priyanto, 2010).Untuk mempelajari farmakologi ada beberapa istilah dasar yang perlu diketahui.

Tabel 1. Beberapa Istilah yang Berkaitan dengan Dasar FarmakologiNOIstilahArti/ Makna

1.Farmakologi klinikDisiplin dalam bidang kedokteran yang berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah menyatukan keahlian farmakologi dan keahlian klinik dengan tujuan akhir untuk meningkatkan manfaat dan keamanan pemakaian klinik obat (Kelompok kerja Farmakologi Klinik WHO-Eropa, 1988) dengan kata lain mempelajari dan mengembangkan cara-cara evaluasi untuk memilih obat yang memberikan efek pengobatan paling efektif dengan efek samping yang minimal pada pasien.

2.Farmakognosi Mempelajari tentang bagian-bagian tanaman atau hewan yang dapat digunakan sebagai obat alami yang telah melewati berbagai macam uji seperti uji farmakodinamik, uji toksikologi dan uji biofarmasetika.

3.Farmakologi TerapeutikMempelajari penggunaan obat untuk mengobati penyakit atau gejalanya. Penggunaan ini berdasarkan atas pengetahuan tentang khasiat obat dan sifat fisiologi atau mikrobiologinya.

4.Toksikologi Pengetahuan tentang efek racun dari obat terhadap tubuh, karena pada setiap obat dalam dosis yang tinggi atau tidak sesuai dengan dosis atau aturan yang dianjurkan oleh Dokter, dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme.

5.Farmakokinetik Meneliti perjalanan obat, mulai dari saat pemberiannya, sampai bagaimana absorpsi dari usus, transport dalam darah dan distrbusinya ketempat kerjanya dan jaringan lain. Singkatnya farmakokinetika mempelajari segala sesuatu tindakan yang dilakukan tubuh terhadap obat.

6.FarmakodinamikMempelajari kegiatan obat terhadap organisme hidup, terutama cara dan mekanisme kerjanya. Singkatnya farmakodinamika mencakup semua efek yang dilakukan oleh obat terhadap tubuh.

7.ObatObat ialah suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia (Kep. MenKes RI No.193/Kab/B.VII/71).

8.IndikasiAlasan untuk membenarkan pengobatan atau terapi tertentu.

9.Efek sampingSetiap respon tubuh terhadap obat yang bersifat merugikan/ berbahaya dan tidak diinginkan yang terjadi pada dosis normal yang biasa digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis, atau terapi terhadap penyakit, atau untuk memodifikasi fungsi fisiologis.

10.KontraindikasiSituasi di mana aplikasi obat atau terapi tertentu tidak dianjurkan, karena dapat meningkatkan risiko terhadap pasien.

11.Perhatian/ PeringatanPemakaian suatu obat harus dilakukan secara hati-hati pada kondisi tertentu karena dapat terjadi efek atau keadaan yang tidak diinginkan oleh pasien. Misalnya, peringatan pemakaian pada kondisi pasien gagal ginjal, hamil atau menyusui atau riwayat alergi. Selain itu, termasuk peringatan pemakaian obat secara bersamaan atau simultan dengan obat lain.

12.Interaksi obatSituasi di mana suatu zat memengaruhi aktivitas obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan atau direncanakan.

13.ToksisitasEfek yang terjadi akibat penggunaan dosis yang berlebih atau penggunaan pada jangka waktu yang lama sehingga menyebabkan akumulasi obat di dalam tubuh atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.

14.DosisTakaran obat yang menimbulkan efek farmakologi (khasiat) yang tepat dan aman bila dikonsumsi oleh pasien.

15.OnsetWaktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif tertinggi dicapai.

16.DurasiLama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar untuk menghasilkan suatu respons.

17.Waktu paruhWaktu yang dibutuhkan obat untuk mengurangi setengah dari konsentrasi jumlah awalnya dalam darah.

18.Indeks terapiPerbandingan antara dosis yang menghasilkan efek pada 50% hewanpercobaan (ED 50) dengan dosis yang mematikan 50% hewan percobaan (LD 50) Indeksterapi merupakan ukuran keamanan obat.

19.ProfilaksisSesuatu yang mencegah atau melindungi.

20.KuratifUsaha atau daya menyembuhkan suatu penyakit.

21.LokalHanya pada bagian tubuh tertentu saja yang dipengaruhi.

22.SistemikMempengaruhi tubuh secara umum.

23.KomposisiZat aktif/berkhasiat yang terkandung dalam obat.

B. FASE FARMASETIK/ DISOLUSI

Fase farmasetik adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorbsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, kecuali obat dalam bentuk cair karena sudah dalam bentuk larutan. Obat berubah menjadi larutan agar dapat menembus membran biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuskular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmasetik.Disintegrasi adalah pemecahan atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil ke dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorpsi oleh tubuh (Kee & Hayes, 1996).

TABLET DISINTEGRASI DISOLUSI

Gambar 1. Fase farmasetik pada obat dalam bentuk padat

Secara umum, obat oral dalam bentuk padat akan lebih cepat mengalami disintegrasi dan absorpsi dalam kondisi asam (pH 1 atau 2) dari pada basa. Kecuali obat-obat dengan enteric-coated (selaput enteric), tidak dapat didisintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya akan terjadi jika telah berada dalam kondisi basa yaitu di dalam usus halus. Tablet EC (enteric-coated) dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama, oleh karena itu obat-obat tersebut kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat. Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat mengganggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu. Tetapi untuk beberapa obat yang dapat mengiritasi mukosa lambung, cairan atau makanan diperlukan untuk mengencerkan konsentrasi obat.Secara teori obat yang cepat larut akan lebih cepat diabsorpsi dan memiliki onset yang relatif pendek (efek cepat terlihat). Sehingga bila dibuat urutan kecepatan absorpsi terhadap sediaan obat adalah sebagai berikut: larutan---> suspensi---> serbuk---> kapsul---> tablet---> tablet salut (EC).

C. FARMAKOKINETIK

Farmakokinetika merupakan fase farmakologi dimana obat yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian peristiwa yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) untuk mencapai kerja obat tersebut. Dapat dikatakan bahwa farmakokinetika mempelajari tentang pengaruh tubuh terhadap obat (nasib obat dalam tubuh). Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan proses farmakokinetika dan berjalan serentak seperti yang terlihat pada Gambar 2, di bawah ini.

Gambar 2. Berbagai proses farmakokinetika obat1. Absorpsi dan Bioavailabilitas Absorpsi merupakan proses penyerapan partikel-partikel obat dari tempat pemberian ke dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif1, absorpsi aktif2 atau pinositosis3. Absorpsi menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses penyerapan. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Secara klinik, bioavailabilitas lebih penting. Bioavailabilitas dinyatakan sebagai jumlah obat dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Setelah diabsorpsi, partikel obat melewati lumen usus masuk ke dalam hati melalui vena porta. Di dalam hati, kebanyakan obat dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif untuk diekskresikan sehingga mengurangi jumlah zat yang aktif. Proses metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first-pass effect atau first-pass hepatic) atau eliminasi prasistemik. Contoh obat yang mengalami efek first pass yaitu, warfarin dan morfin. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya: lidokain), sublingual (misalnya: nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan. Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah (sirkulasi), tempat absorpsi, kelarutan, rasa nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriksi pembuluh darah, atau penyakit dapat menghambat absorpsi. Latihan dapat mengurangi aliran darah ke gastrointestinal karena darah lebih banyak dialihkan ke otot. Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan vili mukosa yang luas. Obat-obat yang diberikan melalui inhalasi juga diabsorpsi sangat cepat karena epitelium paru-paru sangat luas. Rasa nyeri, stres, serta makanan yang padat, pedas dan berlemak dapat memperlambat pengosongan lambung sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Kecepatan obat menembus membran dipengaruhi oleh pH obat dalam larutan dan pH lingkungan obat berada.

Tabel 2. Proses Absorpsi Obat Dalam Tubuh1. Absorpsi Pasif: terjadi melalui difusi (pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah), sehingga obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran.2. Absorpsi Aktif: membutuhkan carier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan konsentrasi, contoh: obat berikatan dengan enzim atau protein untuk menembus membran.3. Pinositosis: membawa obat menembus membran dengan proses menelan.

Obat yang bersifat asam lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana asam (pH lambung), sedangkan obat-obat yang bersifat basa lemah akan mudah menembus membran sel pada suasana basa (pH usus halus). Obat-obat yang larut dalam lemak dan tidak bermuatan (non ion) lebih cepat diabsorpsi daripada obat-obat yang larut dalam air dan bermuatan (ion).

2. Distribusi Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Distribusi adalah proses penyebaran obat dari pembuluh darah ke cairan tubuh, jaringan atau tempat kerjanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi adalah aliran darah (fungsi kardiovaskuler), afinitas terhadap jaringan, ikatan obat dengan protein plasma, sifat fisikokimia, dan adanya hambatan fisiologi tertentu, seperti abses atau kanker. Sedangkan kecepatan distribusi dipengaruhi oleh permeabilitas membran kapiler terhadap molekul obat. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik (suplai darah lebih banyak atau cepat) misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Jaringan yang mengalami penurunan perfusi (misalnya: kontraksi) atau kerusakan perfusi (misalnya: abses) akan mengalami hambatan dalam distribusi obat. Obat yang dapat menembus membran adalah obat dalam bentuk bebas (tidak terikat protein plasma). Karena ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan dengan protein (terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Sifat fisikokimia obat akan menentukan jumlah dan kuatnya ikatan dengan protein. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein.Jumlah atau besarnya obat yang terikat oleh protein plasma dinyatakan dalam persen (%). Hanya obat bebas (tidak terikat) yang dapat bersifat aktif dan dapat menimbulkan respon farmakologik. Obat bebas dapat mengalami metabolisme sehingga lebih mudah untuk diekskresikan. Jika obat bebas berkurang dalam tubuh karena proses ekskresi maka obat yang terikat protein akan dilepaskan untuk mencapai keseimbangan yang dinamis. Perbandingan antara obat bebas dengan obat terikat akan menentukan lama kerja obat (durasi). Hal ini yang digunakan sebagai penentuan besar dosis suatu obat oleh industri farmasi. Jika keseimbangan antara obat bebas dengan terikat terganggu dapat terjadi toksisitas. Gangguan keseimbangan dapat terjadi jika 2 obat atau lebih yang memiliki ikatan yang kuat dengan protein plasma diberikan secara bersama-sama, sehingga obat bebas dalam plasma akan meningkat. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Sawar darah otak (blood-brain barrier) dapat menghalangi distribusi obat ke jaringan otak. Plasenta juga dapat menghalangi obat tertentu dari ibu ke janin, tetapi selektivitasnya tidak sebesar sawar darah otak. Obat yang sangat lipofil mempunyai afinitas yang tinggi terhadap jaringan, sehingga cenderung tersimpan di jaringan. Karena jaringan memiliki peredaraan darah yang relatif sedikit, menyebabkan obat yang terikat dalam jaringan akan didistribusikan lebih lambat. Jika obat-obat demikian diberikan secara berulang dengan jarak waktu yang dekat akan terjadi akumulasi dan berpotensi menimbulkan efek toksik.

3. Biotransformasi / Metabolisme Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Sebagian besar biotransformasi berlangsung di bawah pengaruh enzim yang mendetoksifikasi, mengurai (memecah), dan melepas zat kimia aktif secara biologis. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma. Hati sangat penting karena strukturnya yang khusus mengoksidasi dan mengubah banyak zat toksik. Hati mengurai banyak zat kimia berbahaya sebelum didistribusi ke jaringan. Penurunan fungsi hati yang terjadi seiring penuaan atau disertai penyakit hati memengaruhi kecepatan eliminasi obat dari tubuh. Perlambatan metabolisme yang dihasilkan membuat obat terakumulasi di dalam tubuh, akibatnya klien lebih berisiko mengalami toksisitas obat.

4. Ekskresi Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Obat bebas, yang mudah larut dalam air difiltrasi di ginjal. Obat-obatan yang masih berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal. Setelah ikatan antara obat dan protein lepas maka obat baru dapat diekskresikan melalui urin. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan resultan dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. pH urin memengaruhi ekskresi obat. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

D. FARMAKODINAMIK

Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.

1. Mekanisme Kerja Obat Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional yang mencakup 2 konsep penting. Pertama, bahwa obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, bahwa obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor yang ligand endogen (hormon, neurotransmitor). Substansi yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis. Sebaliknya, senyawa yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik tetapi menghambat secara kompetitif efek suatu agonis di tempat ikatan agonis (agonist binding site) disebut antagonis.

2. Reseptor Obat Struktur kimia suatu obat berhubungan dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar dalam sidat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesis obat yang selektif terhadap jaringan tertentu. Dalam keadaan tertentu, molekul reseptor berinteraksi secara erat dengan protein seluler lain membentuk sistem reseptor-efektor sebelum menimbulkan respons. Reseptor obat yang paling baik adalah protein regulator, yang menjembatani kerja dan sinyal-sinyal bahan kimia endogen, seperti: neurotransmitter, autacoids, dan hormon. Kelompok reseptor ini menjembatani efek dari sebagian besar agen terapeutik yang paling bermanfaat. Kelompok protein lainnya yang telah dikenal jelas sebagai reseptor obat juga termasuk enzim, yang mungkin dihambat (atau, yang kurang umum, diaktifkan) dengan mengikat obat (misalnya dihydrofolate reductase, reseptor untuk obat antikanker methotrexate), protein pembawa/ transport protein (misalnya, Na+/ K+ ATPase, reseptor membran untuk digitalis, glikosid yang aktif pada jantung) dan protein struktural (misalnya: tubulin, reseptor untuk colchicine, agen antiinflamasi).Konsep reseptor mempunyai konsekuensi yang penting untuk perkembangan obat dan pengambilan keputusan terapeutik dalam praktek klinik. Pada dasarnya reseptor menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau konsentrasi obat dan efek farmakologi. Afinitas reseptor untuk mengikat obat menentukan konsentrasi obat yang diperlukan untuk membentuk kompleks obat-reseptor (drug-receptor complexes) dalam jumlah yang berarti, dan jumlah reseptor secara keseluruhan dapat membatasi efek maksimal yang ditimbulkan oleh obat.Reseptor bertanggung jawab pada selektivitas tindakan obat. Ukuran, bentuk dan muatan ion elektrik molekul obat menentukan bagaimana kecocokan atau kesesuaian molekul tersebut akan terikat pada reseptor tertentu diantara bermacam-macam tempat ikatan secara berbeda. Oleh karena itu, perubahan struktur kimia obat secara mencolok dapat menaikan atau menurunkan afinitas obat-obat baru terhadap golongan-golongan reseptor yang berbeda, yang mengakibatkan perubahan-perubahan dalam efek terapi dan toksiknya. Suatu obat dikatakan spesifik bila kerjanya terbatas pada satu jenis reseptor, dan dikatakan selektif bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan efek lain baru timbul pada dosis yang lebih besar. Obat yang spesifik belum tentu selektif tetapi obat yang tidak spesifik dangan sendirinya tidak selektif.Reseptor- reseptor menjembatani kerja antagonis farmakologi. Efek antagonis di dalam tubuh pasien bergantung pada pencegahan pengikatan molekul agonis dan penghambatan kerja biologisnya. Beberapa obat bermanfaat sebagai antagonis farmakologis dalam pengibatan klinik.

3. Transmisi Sinyal Biologis Penghantaran sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. Sistem hantaran ini dimulai dengan pendudukan reseptor yang terdapat di membran sel atau di dalam sitoplasma oleh transmitor. Kebanyakan messenger ini bersifat polar. Contoh, transmitor untuk reseptor yang terdapat di membran sel ialah katekolamin, TRH, LH. Sedangkan untuk reseptor yang terdapat dalam sitoplasma ialah steroid (adrenal dan gonadal), tiroksin, vitamin D.

4. Interaksi Obat Interaksi obat adalah kerja atau efek obat yang berubah, atau mengalami modifikasi sebagai akibat interaksi obat dengan reseptor, proses kerja obat, atau obat yang lain. Interaksi ini dapat berbentuk saling menguatkan efek terapi dari obat atau saling bertentangan dengan efek terapi. Kadang-kadang makanan dapat juga mempengaruhi reaksi obat. Dalam beberapa kasus, juga terjadi reaksi penggumpalan zat-zat yang tedapat di dalam obat, hal ini disebut reaksi inkompabilitas obat. Hampir seluruh obat-obatan akan berefek buruk bila berinteraksi dengan obat lainnya, namun tidak selamanya dapat dihindarkan untuk memberikan obat yang tidak saling berefek merugikana. Interaksi obat-reseptorIkatan antara obat dan reseptor misalnya ikatan substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah (ikatan ion, hidrogen, hidrofobik, Van der Waals), dan jarang berupa ikatan kovalen.b. Interaksi farmakokinetik1) Absorbsi: waktu pengosongan lambung, kadar pHa) Jika 2 obat atau lebih dipakai secara bersamaan, maka laju absorbsi dari salah satu atau kedua obat itu dapat berubah.b) Obat yang satu dapat menghambat, menurunkan atau meningkatkan laju absorbsi obat yang lain.c) Dengan 3 cara: (1) memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung, (2) mengubah pH lambung, (3) membentuk kompleks obat.d) Obat-obatan yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan lambung: laksatif, meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi di usus halus;e) Obat-obatan untuk memperpendek waktu pengosongan lambung dan menurunkan motilitas gastrointestinal, sehingga menyebabkan peningkatkan laju absorbsi antara lain obat-obatan narkotik dan antikolinergik (atropin).f) Jika ph lambung menurun, obat asam lemah seperti aspirin akan lebih cepat diabsorbsi.g) Susu dan antasid akan meningkatkan pH getah lambung dan mengurangi absorbsi obat antibiotik antara lain: tetrasiklin, paling tidak dihindari selama 1 jam sebelum atau 2 jam setelah minum tetrasiklin.2) Distribusi: ikatan dengan protein.Dua obat yang berikatan dengan protein dan albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin dalam plasma, akibatnya terjadi penurunan dalam distribusi.3) Biotransformasi: enzim stimulan dan enzim penghambat.4) Ekskresi: meningkatkan atau menurunkan ekskresi urin, mengubah pH urin. c. Interaksi farmakodinamik1) Indifference : efek kombinasi sama dengan komponen yang paling aktif.2) Additive : efek kombinasi sama dengan jumlah efek setiap obat.3) Synergistic : efek kombinasi lebih besar efek masing-masing.4) Potentiation : satu obat meningkatkan kerja obat lain.5) Antagonistic : satu obat menurunkan kerja obat lain.

5. Antagonisme Farmakodinamika Secara farmakodinamika dapat dibedakan 2 jenis antagonisme, yaitu antagonisme fisiologik dan antagonisme pada reseptor. Selain itu, antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atau nonkompetitif. Antagonisme merupakan peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain. Peristiwa ini termasuk interaksi obat. Obat yang menyebabkan pengurangan efek disebut antagonis, sedang obat yang efeknya dikurangi atau ditiadakan disebut agonis. Secara umum obat yang efeknya dipengaruhi oleh obat lain disebut obat objek, sedangkan obat yang mempengaruhi efek obat lain disebut obat presipitan. Interaksi pada tingkat reseptor (antagonis pada reseptor), contoh:ReseptorAgonisAntagonis

Histamin H2HistaminSimetidin, Ranitidin, Nizatidin.

Interaksi fisiologis (antagonis fisiologis) yaitu bekerja pada organ yang organ sama, dengan reseptor berbeda, contoh:OBAT AOBAT BEfek

AntidiabetikBeta blokerEfek obat A meningkat

Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, terutama berpengaruh pada obat jantung jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal, contoh:OBAT AOBAT BEfek

DigitalisDiuretik, Amfoteresin BHipokalemi oleh obat B, toksisitas obat A meningkat

6. Kerja Obat yang tidak Diperantarai Reseptor Dalam menimbulkan efek, obat tertentu tidak berikatan dengan reseptor. Obat-obat ini mungkin mengubah sifat cairan tubuh, berinteraksi dengan ion atau molekul kecil, atau masuk ke komponen sel. a. Efek nonspesifik dan gangguan pada membran1) Perubahan sifat osmotik2) Osmotik-diuretik (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi efek diuretik.3) Perubahan sifat asam-basa4) Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antasid dalam menetralkan asam lambung.5) Kerusakan nonspesifik6) Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan serta kontrasepsi. Contohnya: detergen merusak intregitas membran lipoprotein.7) Gangguan fungsi membran8) Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran, dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga eksitabilitasnya menurun.b. Interaksi dengan molekul kecil atau ionKerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.c. Masuk ke dalam komponen selObat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkoporasi ke dalam asam nukleat sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit misalnya 6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

7. Awitan, Onset, Durasi Kerja Obata. Awitan (Mula) kerja obat: Waktu yang dibutuhkan obat sampai suatu respons muncul setelah obat diberikan.b. Onset (Puncak) kerja obat: Waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif tertinggi dicapai.c. Durasi kerja obat: Lama waktu obat terdapat dalam konsentrasi yang cukup besar untuk menghasilkan suatu respon.d. Plateau: Konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat yang sama kembali diberikan.e. Waktu Paruh: Interval waktu yang dibutuhkan utk proses eliminasi tubuh utk mengurangi konsentrasi obat di dalam tubuh separuhnya.

8. Efek Obat Reaksi kerja obat adalah hasil dari reaksi kimia antara zat-zat obat dengan sel-sel tubuh untuk menghasilkan respon biologis tubuh. Kebanyakan obat bereaksi dengan komponen sel untuk menstimulasi perubahan biokimia dan fisiologikal sehingga obat menjadi efektif bagi tubuh. Reaksi ini dapat terjadi secara lokal maupun sistemik di dalam tubuh. Efek obat yaitu perubahan fungsi struktur (organ)/proses/tingkah laku organisme hidup akibat kerja obat. Contohnya adalah efek lokal terlihat terjadi pada pemberian obat topikal pada kulit. Sedangkan pada pemberian obat analgesik, efeknya akan meliputi beberapa sistem, termasuk diantaranya yaitu sistem saraf (efek sedatif), paru-paru (depresi pernafasan), gastrointenstinal (konstipasi) walaupun efek yang diharapkan adalah pereda nyeri. Efek medikasi dapat dimonitor melalui perubahan klinis yang terjadi pada kondisi klien. Secara umum, peningkatan kualitas pada gejala dan hasil laboratorium menunjukkan efektivitas medikasi.a. Efek TerapeutikAdalah efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang diberikan. Efek tersebut bervariasi berdasarkan bahan dasar obat, lama penggunaan obat, dan kondisi fisik klien. Beberapa diantaranya juga dipengaruhi interaksi antar obat yang dikonsumsi. Puncak reaksi obat sangat bervariasi tergantung dari obat yang diberikan dan cara pemberian yang dilakukan.b. Efek MerugikanAdalah efek lain dari obat selain efek terapi yang diinginkan. Efek merugikan ini dapat merupakan efek lanjutan dari efek terapi, misalnya hipotensi dapat terjadi ketika pemberian antihipertensi. Beberapa efek yang merugikan ini dapat ditangani segeraseperti konstipasi, namun ada pula yang memerlukan perhatian lebih, misalnya depresi pernafasan. Efek ini sering terjadi pada klien yang sangat parah kondisi dan menerima banyak medikasi.c. Efek SampingEfek merugikan obat dengan skala kecil disebut juga efek samping obat. Banyak efek samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan, namun ada pula yang dapat membahayakan terutama ketika ada obat baru yang diberikan atau ditambahkan dosisnya. Perawat harus waspada terhadap efek merugikan dari obat ini.d. Reaksi HipersensitivitasReaksi hipersensitivitas terjadi bila klien sensitif terhadap efek dari pengobatan yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi bila dosis yang diberikan lebih dari kebutuhan klien sehingga menimbulkan efek lain yang tidak diinginkan. Contohnya adalah ketika seorang pria dewasa dengan berat badan normal biasanya dapat diberikan meperidin (sedatif) dengan dosis 75 100 mg, namun pada klien lansia dengan berat badan rendah akan mengalami durasi reaksi yang lebih lama dan dapat mengalami penurunan kesadaran dengan dosis meperidin yang sama. Biasanya, dengan menurunkan dosis dan meningkatkan interval waktu pemberian, maka obat tersebut dapat dikonsumsi dengan aman.e. Reaksi IdiosinkratikObat dapat menyebabkan timbulnya efek yang tidak diperkirakan, misalnya reaksi idiosinkratik, yang meliputi klien bereaksi berlebihan, tidak bereaksi atau bereaksi tidak normal terhadap obat. Contohnya, seorang anak yang menerima antihistamin menjadi sangat gelisah atau sangat gembira, bukan mengantuk.f. ToleransiAdalah reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon/tidak berespon terhadap obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat untuk mencapai efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat menimbulkan toleransi terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan barbiturat.g. Reaksi AlergiAdalah akibat dari respon imunologik terhadap medikasi. Tubuh menerima obat sebagai benda asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan gejala/reaksi alergi yang dapat berkisar dari ringan sampai berat. Reaksi alergi yang ringan diantaranya adalah gatal-gatal (urtikaria), pruritus atau rhinitis, dapat terjadi dalam hitungan menit sampai dengan 2 minggu pada klien setelah mengkonsumsi obat. Reaksi pada kulit (gatal-gatal, kemerahan, dan lesi) biasanya meningkat setelah klien menghentikan medikasi terutama obat yang memiliki kegunaan yang sama dengan antihistamin.Reaksi alergi yang parah dapat mengakibatkan gejala seperti sesak nafas (wheezing, dispneu), angioedema pada lidah dan orofaring, hipotensi, dan takikardia segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan membutuhkan tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang dapat dilakukan adalah menghentikan segera pemberian obat tersebut, segera berikan epinefrin, cairan infus (normal saline), steroid dan antihistamin.h. ToksisitasAtau keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi. Perhatian harus diberikan pada dosis dan tingkat toksik obat, dengan menevaluasi fungsi ginjal dan hepar. Beberapa obat dapat langsung berefek toksik setelah diberikan, namun obat lainnya tidak menimbulkan efek toksik apapun selama berhari-hari lamanya.Keracunan obat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang umum terjadi adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak), hepatotosisitas (hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan kardiotoksisitas (jantung). Pengetahuan tentang efek toksisitas obat akan membantu perawat untuk mendeteksi dini dan mencegah kerusakan organ secara permanen pada klien.

BAB IIPENGGOLONGAN OBAT

A. PERIHAL OBAT

Tidak ada obat yang sempurna, tetapi jika ada obat baru yang sedang dikembangkan, kita menginginkan obat tersebut akan menjadi yang terbaik. Untuk mendekati kesempurnaan, obat harus memiliki sifat tertentu yang menjadikan sebuah obat ideal. 1. Obat Ideala. Efektif. Obat yang efektif adalah obat yang menimbulkan respon sesuai dengan tujuannya diberikan. Efektivitas itu merupakan sifat yang penting dimiliki oleh obat. b. Aman. Sebuah obat yang aman didefinisikan sebagai obat yang tidak dapat menghasilkan efek berbahaya bahkan jika diberikan dalam dosis yang sangat tinggi dan untuk waktu yang sangat lama. Semua obat memiliki kemampuan untuk menyebabkan cedera, terutama dengan dosis tinggi dan penggunaan jangka panjang. Kemungkinan menghasilkan efek samping dapat dikurangi dengan pemilihan obat dan dosis yang tepat. Namun, risiko efek samping tidak pernah bisa dihilangkan. Contoh: obat anti kanker (mis., cyclophosphamide, methotrexate), pada dosis terapi biasa, selalu meningkatkan resiko infeksi yang serius; analgesik opioid (mis., morfin, meperidin) pada dosis terapi yang tinggi, dapat menyebabkan depresi pernapasan yang berpotensi fatal; Aspirin dan obat terkait, jika dikonsumsi berkesinambungan dengan dosis terapi yang tinggi, dapat menyebabkan ulserasi lambung yang mengancam jiwa, perforasi dan perdarahan.c. Selektif. Selektif didefinisikan sebagai obat yang hanya memunculkan respon sesuai dengan tujuannya diberikan. Sebuah obat selektif tidak akan menghasilkan efek samping. Tetapi tidak ada obat yang selektif: semua obat menimbulkan efek samping.

2. Sifat Tambahan Suatu Obat Ideala. Reversibel. Untuk sebagian besar obat, penting bahwa efeknya bersifat reversibel. Artinya, secara umum, kita menginginkan tindakan obat mereda dalam jangka waktu yang tepat. Tetapi untuk beberapa obat, sifat reversibel tidak diinginkan. Contoh: efek kontrasepsi oral tidak menyebabkan seorang wanita menjadi steril selamanya; tetapi efek toksik antibiotik terhadap mikroorganisme diharapkan bertahan selamanya (mikroorganisme tidak resisten). b. Dapat diprediksi. Akan sangat membantu jika sebelum pemberian obat, kita bisa tahu dengan pasti bagaimana tubuh pasien yang diberikanobat akan merespon. Sayangnya, karena setiap pasien unik, akurasi prediksi tidak dapat dijamin. Oleh karena itu, dalam rangka untuk memaksimalkan peluang menimbulkan respon yang diinginkan, kita harus menyesuaikan terapi untuk individu.c. Mudah dalam pemberian. Sebuah obat yang ideal harus sederhana untuk dikelola. Rute tersebut harus nyaman dan jumlah dosis per hari harus rendah. Selain kenyamanan, kemudahan administrasi memiliki dua manfaat lainnya: (1) dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan (2) dapat mengurangi kesalahan pemberian.d. Bebas dari interaksi obat. Bila pasien memakai dua atau lebih obat, obat tersebut dapat berinteraksi. Mereka yang berinteraksi dapat menambah atau mengurangi respon obat. Sebuah obat yang ideal tidak akan berinteraksi dengan agen lainnya. Sayangnya, beberapa obat-obatan tidak memiliki interaksi yang signifikan. Contoh: Efek antibakteri tetrasiklin dapat sangat berkurang karena mengonsumsi obat bersama suplemen zat besi atau kalsium.e. Biaya murah. Sebuah obat yang ideal akan mudah untuk dibeli. Biaya obat dapat menjadi beban keuangan yang substansial. Secara umum, pengeluaran berlebihan atau biaya yang mahal menjadi faktor yang signifikan ketika obat harus dikonsumsi secara berkesinambungan. Contoh: obat-obatan hipertensi, artritis, atau diabetes harus diminum setiap hari seumur hidup.f. Stabil secara kimia. Beberapa obat kehilangan efektivitasnya selama penyimpanan. Kehilangan dalam kemanjuran ini hasil dari ketidakstabilan kimia, stok obat-obatan tertentu harus dibuang secara berkala. Sebuah obat yang ideal akan mempertahankan aktivitasnya tanpa batas.g. Memiliki nama generik yang simpel. Nama generik obat biasanya kompleks dan karenanya sulit untuk diingat dan diucapkan. Sebagai aturan, nama dagang untuk suatu obat jauh lebih sederhana daripada nama generiknya. Sebuah obat yang ideal harus memiliki nama generik yang mudah untuk diingat dan diucapkan. Contoh: acetaminophen (Tylenol), ciprofloxacin (Cipro), Simvastatin (Zocor).

Obat yang ada saat ini masih jauh dari ideal. Tidak ada obat yang memenuhi semua kriteria obat ideal: tidak ada obat yang aman; semua obat menimbulkan efek samping; respons terhadap obat sulit diprediksi dan mungkin berubah sesuai dengan hasil interaksi obat; dan banyak obat yang mahal, tidak stabil, dan sulit diberikan.

3. Tujuan PengobatanMemberikan manfaat maksimal dengan bahaya minimal. Namun, karena obat tidak ada yang ideal, sebagai perawat kita harus melatih keterampilan dan kepedulian agar pengobatan dapat memberikan akibat yang lebih baik daripada berbahaya.B. PENGGOLONGAN OBAT1. Pengertian Obat Obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan (Ansel, 1985).Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992).Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/ 1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, 1995). Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005). Jika disimpulkan obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit. 2. Bahan Obat / Bahan Baku Semua bahan, baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat di dalam produk ruahan. Produk ruahan merupakan tiap bahan yang telah selesai diolah dan tinggal memerlukan pengemasan untuk menjadi obat jadi. 3. Penggolongan ObatPenggolongan obat secara luas dibedakan berdasarkan beberapa hal, diantaranya :a. Penggolongan obat berdasarkan jenisnya.b. Penggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat.c. Penggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian.d. Penggolongan obat berdasarkan cara pemakaian.e. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan.f. Penggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapi.g. Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannya.

Sesuai Permenkes No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi, yang dimaksud dengan golongan obat adalah penggolongan yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketetapan penggunaan serta pengamanan distribusi yang terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotek (obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotek, diserahkan oleh apoteker), obat keras, psikotropika dan narkotika. Untuk obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter maka pada kemasan dan etiketnya tertera tanda khusus.

a. Penggolongan Jenis Obat berdasarkan peraturan menteri kesehatan dibagi menjadi:1) Obat BebasGambar 3. Logo Obat Bebas

Obat bebas sering juga disebut OTC (Over The Counter) adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol, vitamin/multivitamin mis., Livron B pleks, Sangobion.Obat bebas ini dapat diperoleh di toko/warung, toko obat, dan apotik.

2) Obat Bebas Terbatas(Daftar W: Warschuwing)Gambar 4. Logo Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam,disertai tanda peringatan dalam kemasannya. Tanda peringatan diberi kotak dengan latar belakang berwarna hitam dengan tulisan dengan warna putih. Berisi petunjuk yang wajib dibaca sebelum obat digunakan.Contoh obat : Anti histamin (CTM/ Chlorpheniramine Maleate), Anti mabuk (Antimo), Antiinfluenza (Noza). Obat bebas terbatas dan obat bebas disebut juga OTC (Over The Counter).Obat bebas terbatas ini dapat diperoleh di toko obat, dan apotik tanpa resep dokter.

Gambar 5. Tanda Peringatan pada Etiket Obat Terbatas

3) Obat Keras (Daftar G : Gevarlijk : berbahaya) Gambar 6. Logo Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Anti nyeri (Asam Mefenamat), semua obatantibiotik (ampisilin, tetrasiklin, sefalosporin, penisilin, dll), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat diabetes, obat penenang, dll).Obat keras ini dapat diperoleh di apotik, harus dengan resep dokter. Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau dapat mematikan.

4) ObatPsikotropika danNarkotika(Daftar O)a) Obat-obat ini sama dengan narkoba yang kita kenal dapat menimbulkan ketagihan dengan segala konsekuensi yang sudah kita tahu. b) Karena itu, obat-obat ini mulai dari pembuatannya sampai pemakaiannya diawasi dengan ketat oleh Pemerintah dan hanya boleh diserahakan oleh apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan pemakaiannya pada pemerintah.

PsikotropikaObat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika), disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang)bagi para pemakainya.Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau ilmu pengetahuan. Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan. Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang (Pasal 4, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika).Psikotropika terbagi dalam empat golongan yaitu: Psikotropika golongan I Psikotropika golongan II Psikotropika golongan III Psikotropika golongan IVContoh: Ekstasi (gol.I), Shabu-shabu; Amfetamin (gol.II), Sedatin; Valium; Diazepam (gol.IV).Obat psikotropika ini dapat diperoleh di apotek, harus dengan resep dokter. 5) Narkotika Gambar 7. Logo Narkotika

Obat narkotika yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (Pasal 1, Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika). Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika tersebut adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan (Undang Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).Narkotika digolongkan menjadi 3 golongan : Narkotika golongan I, narkotika yang digunakan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, dan dilarang diproduksi atau digunakan untuk pengobatan.Contohnya:tanaman Papaver Somniferum L. kecuali bijinya,opium mentah,opium masak, candu, jicing, jicingko, tanaman kokain, daun kokain, kokain mentah, dll. Narkotika golongan II, narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan asalkan sudah memiliki ijin edar (nomor regitrasi).Contohnya:Alfasetilmetadol,Alfameprodina,Alfametadol,Alfaprodina, dll Narkotika golongan III, narkotika yang dapat digunakan untuk pengobatan asalkan sudah memiliki ijin edar (nomor regitrasi).Contohnya:Asetildihidrokodeina,Dekstropropoksifena,Dihidrokodeina,Etilmorfina, dllContoh macam-macam narkotika :a) Opiod (Opiat)Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan: Morfin Heroin (putaw) Codein Demerol (pethidina) Methadoneb) Kokainc) Cannabis (ganja)Obat narkotika ini dapat diperoleh di apotik, harus dengan resep dokter.

b. Penggolongan obat berdasarkanmekanisme kerja obatPenggolongan obat berdasarkan mekanisme kerja obat dibagi menjadi 5 jenis penggolongan antara lain :1) Obat yang bekerja pada penyebab penyakit, misalnya penyakit akibat bakteri atau mikroba, contoh antibiotik.2) Obat yang bekerja untuk mencegah kondisi patologis dari penyakit contoh vaksin, dan serum.3) Obat yang menghilangkan simtomatik/gejala, meredakan nyeri contoh analgesik.4) Obat yang bekerja menambah atau mengganti fungsi zat yang kurang, contoh vitamin dan hormon.5) Pemberian plasebo adalah pemberian obat yang tidak mengandung zat aktif, khususnya pada pasien normal yang menganggap dirinya dalam keadaan sakit. Contoh aqua pro injeksi dan tablet plasebo.Selain itu dapat dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, seperti obat antihipertensi, kardiak, diuretik, hipnotik, sedatif, dan lain lain.

c. Penggolongan obat berdasarkantempat atau lokasi pemakaianPenggolongan obat berdasarkan tempat atau lokasi pemakaian dibagi menjadi 2 golongan :1) Obat dalam yaitu obat obatan yang dikonsumsi peroral, masuk pada saluran gastrointestinal. Contoh tablet antibiotik, antipiretik tablet, obat batuk sirup.2) Obat luar yaitu obat obatan yang dipakai secara topikal/tubuh bagian luar. Contoh krim, salep, tetes mata/ hidung/ telinga, suppositoria, dll.

d. Penggolongan obat berdasarkan cara pemakaianPenggolongan obat berdasarkan cara pemakaian dibagi menjadi beberapa bagian, seperti :1) Oral: obat yang dikonsumsi melalui mulut kedalam saluran cerna. Contoh tablet, kapsul, serbuk, dll.2) Sublingual: pemakaian obat dengan meletakkannya dibawah lidah, masuk ke pembuluh darah, efeknya lebih cepat. Contoh: obat hipertensi, tablet hisap, hormon-hormon.3) Parenteral: obat yang disuntikkan melalui kulit ke aliran darah, baik secara intravena, subkutan, intramuskular, intrakardial. Contoh: injeksi antibiotik, injeksi vaksin, dll.4) Perektal: obat yang dipakai melalui rektum, biasanya digunakan pada pasien yang tidak bisa menelan, pingsan, atau menghendaki efek cepat dan terhindar dari pengaruh pH lambung, FFE di hati, maupun enzim-enzim di dalam tubuh. Contoh: diazepam rektal/ stesolid, mikrolax sup., dll5) Langsung ke organ, contoh intrakardial.6) Melalui selaput perut, contoh intra peritoneal.

e. Penggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkanPenggolongan obat berdasarkan efek yang ditimbulkan dibagi menjadi 2:1) Sistemik: obat/zat aktif yang masuk kedalam peredaran darah.a) Oral, pemberiannya melalui mulut.b) Oromukosal, pemberian melalui mukosa di rongga mulut, ada dua macam cara yaitu : (1) Sublingual : Obat ditaruh di bawah lidah.(2) Bucal : Obat diletakkan diantara pipi dan gusic) Injeksi, adalah pemberian obat secara parenteral atau di bawah atau menembus kulit/selaput lendir. Suntikan atau injeksi digunakan untuk memberikan efek dengan cepat.Macam macam jenis suntikan :(1) Subkutan/hipodermal (s.c): penyuntikan di bawah kulit.(2) Intra muscular (i.m): penyuntikan dilakukan kedalam otot.(3) Intra vena (i.v): penyuntikan dilakukan di dalam pembuluh darah.(4) Intra arteri (i.a): penyuntikan ke dalam pembuluh nadi (dilakukan untuk membanjiri suatu organ misalnya pada penderita kanker hati).(5) Intra cutan (i.c): penyuntikan dilakukan di dalam kulit.(6) Intra lumbal: penyuntikan dilakukan ke dalam ruas tulang belakang (sumsum tulang belakang). (7) Intra peritoneal: penyuntikan ke dalam ruang selaput (rongga) perut.(8) Intra cardial: penyuntikan ke dalam jantung.(9) Intra pleural: penyuntikan ke dalam rongga pleura.(10) Intra articuler: penyuntikan ke dalam celah celah sendi.d) Implantasi, Obat dalam bentuk pellet steril dimasukkan di bawah kulit dengan alat khusus (trocar), digunakan untuk efek yang lama.e) Rektal, pemberian obat melalui rectal atau dubur. Cara ini memiliki efek sistemik lebih cepat dan lebih besar dibandingkan peroral dan baik sekali digunakan untuk obat yang mudah dirusak asam lambung.f) Transdermal, cara pemakaian melalui permukaan kulit berupa plester, obat menyerap secara perlahan dan kontinue masuk ke dalam sistem peredaran darah, langsung ke jantung.2) Lokal: obat/zat aktif yang hanya berefek/menyebar /mempengaruhi bagian tertentu tempat obat tersebut berada, seperti pada hidung, mata, kulit, dll.a) Kulit (percutan), obat diberikan dengan jalan mengoleskan pada permukaan kulit, bentuk obat salep, cream dan lotion.b) Inhalasi, obat disemprotkan untuk disedot melalui hidung atau mulut dan penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut, ternggorokkan dan pernafasan.c) Mukosa mata dan telinga, obat ini diberikan melalui selaput/mukosa mata atau telinga, bentuknya obat tetes atau salep, obat direabsorpsi ke dalam darah dan menimbulkan efek.d) Intra vaginal, obat diberikan melalui selaput lendir mukosa vagina, biasanya berupa obat antifungi dan pencegah kehamilan.e) Intra nasal, obat ini diberikan melalui selaput lendir hidung untuk menciutkan selaput mukosa hidung yang membengkak, contohnya Otrivin.

f. Penggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapiPenggolongan obat berdasarkan daya kerja atau terapi dibagi menjadi 2 golongan:1) Farmakodinamik: obat-obatan yang bekerja mempengaruhi fisilogis tubuh. Contoh: hormon dan vitamin.2) Kemoterapi: obat-obatan yang bekerja secara kimia untuk membasmi parasit/bibit penyakit, mempunyai daya kerja kombinasi.g. Penggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannyaPenggolongan obat berdasarkan asal obat dan cara pembuatannya dibagi menjadi 2:1) Alamiah: obat obat yang berasal dari alam (tumbuhan, hewan dan mineral).a) Tumbuhan: obat dapat bersumber dari akar, batang, daun, dan biji tanaman tertentu. Contohnya jamur (antibiotik), kina (kinin), digitalis (glikosida jantung) dll. b) Hewan: dapat berupa organ, hormon atau enzim. Contohnya plasenta, otak menghasilkan serum rabies, kolagen.c) Mineral: dapat berupa elemen-elemen organic atau bentuk garamnya. Contohnya vaselin, parafin, talkum/silikat, alumunium hidroksida, natrium karbonat, garam inggris, dll.2) Sintetik: merupakan cara pembuatan obat dengan melakukan reaksi-reaksi kimia (semisintesis atau sintesis), kelebihan hasil sintesis dibandingkan dengan alamiah adalah lebih stabil, murni, dan dapat diperoleh dalam jumlah banyak. Contohnya minyak gandapura dihasilkan dengan mereaksikan metanol dan asam salisilat.

4. Penggolongan Obat TradisionalPenggolongan obat di atas adalah obat yang berbasis kimia modern, padahal juga dikenal obat yang berasal dari alam, yang biasa dikenal sebagai obat tradisional. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.179/MENKES/Per/VII/ 1976 menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai obat tradisional adalah: obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari alam, baik tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman.Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, sayang pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan perkembangan penelitian sampai dengan uji klinik. Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu: jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka. Obat Bahan Alam Indonesia menurut Surat Keputusan Kepala BPPOM RI No.Hk.00.05.4.2411, Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia tertanggal 2 Maret 2005 adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia.

a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)

Gambar 8. Logo Jamu

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu. Contoh: jamu buyung upik, jamu nyonya menier, jamu kunyit asam, Tolak angin/Antangin.

b. Obat Herbal Terstandar (Scientific Based Herbal Medicine)

Gambar 9. Logo Obat Herbal Terstandar

Adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tanaman obat, standar pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis. Contoh: Lelap (kaplet salut), Diapet (kapsul), Kiranti sehat datang bulan.

c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)

Gambar 10. Logo Fitofarmaka

Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah. Contoh: nodiar (tablet), rheumaneer (kapsul), stimuno (sirup), tensigard agromed (kapsul).

5. Penggolongan Obat Berdasarkan Keamanan Jika Diberikan Selama Kehamilana. Kategori ASeperti yang diperlihatkan oleh berbagai penelitian yang adekuat dan terkontrol, makanan dan obat dalam kategori ini tidak berisiko terhadap janin pada trimester pertama. Selain itu, tidak tampak berisiko pada trimester kedua atau ketiga. b. Kategori BPenelitian pada hewan dapat memperlihatkan risiko, dapat juga tidak. Jika risikonya terlihat pada hewan, tidak begitu halnya pada penelitian manusia. Jika resikonya tidak terlihat pada hewan, maka tidak terdapat data yang mencukupi tentang risiko pada wanita hamil.c. Kategori CEfek merugikan terlihat pada hewan, namun belum tersedia cukup data tentang efeknya pada wanita hamil. Pada situasi klinis tertentu, manfaat dari penggunaan obat tersebut lebih tinggi dibandingkan kemungkinan risikonya.d. Kategori DBerdasarkan informasi yang dikumpulkan dari penelitian klinis atau survey pascapemasaran, terlihat risiko pada janin manusia. Pada situasi klinis tertentu, manfaat dari penggunaan obat tersebut lebih tinggi dari kemungkinan risikonya.e. Kategori XRisiko terhadap janin manusia telah didokumentasikan dengan jelas pada penelitian terhadap manusia, hewan, atau survei pasca- pemasaran. Kemungkinan risiko terhadap janin lebih tinggi dibandingkan potensi manfaatnya pada wanita hamil. Hindari penggunaan selama kehamilan.

C. OBAT GENERIKObat Generik Berlogo (OGB) diluncurkan pada tahun 1991 oleh pemerintah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Jenis obat ini mengacu pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang merupakan obat esensial untuk penyakit tertentu. Harga obat generik dikendalikan oleh pemerintah untuk menjamin akses masyarakat terhadap obat. Kemudian pemerintah juga menerbitkan kebijakan kewajiban penggunaan obat generik bagi institusi layanan medis pemerintah, melalui Permenkes nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010.

Gambar 11. Logo Obat Generik

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Setelah berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik. Obat generik ini dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk (branded generic).Obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Permenkes nomor HK.02.02/Menkes/068/I/2010). Obat generik bermerek/bernama dagang (branded generic) adalah obat generik dengan nama dagang yang menggunakan nama milik produsen obat yang bersangkutan, sedangkan Obat generik berlogo (OGB) adalah obat yang menggunakan logo lingkaran hijau bergaris-garis putih dengan tulisan Generik di bagian tengah lingkaran. Logo tersebut menunjukan bahwa OGB telah lulus uji kualitas, khasiat dan keamanan. Sedangkan garis-garis putih menunjukkan OGB dapat digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Kualitas obat generik tidak berbeda dengan obat bermerek lainnya. Hal ini dikarenakan proses pembuatannya mengikuti persyaratan dalam Cara Pembutan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Selain itu, obat generik juga harus lulus uji bioavailabilitas/bioekivalensi (BA/BE). Uji ini dilakukan untuk menjaga mutu obat generik. Studi bioekivalensi (BE) dilakukan untuk membandingkan profil pemaparan sistematik (darah) yang memiliki bentuk tampilan berbeda-beda (tablet, kapsul, sirup, salep, dan sebagainya) dan diberikan melalui rute pemberian yang berbeda-beda. Pengujian bioavailabilitas (BA) dilakukan untuk mengetahui kecepatan zat aktif dari produk obat diserap oleh tubuh ke sistem peredaran darah.Harga obat generik lebih murah dari pada obat bermerek lainnya tetapi memiliki kualitas yang sama baiknya. Hal ini dapat disebabkan karena:1. Harga obat generik dikendalikan pemerintah melalu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.01/Menkes/ 146/I/2010 Tentang Harga Obat Generik.2. Obat generik dijual dalam kemasan dengan jumlah besar.3. Obat generik tidak memerlukan biaya kemasan yang tinggi. Seperti kita ketahui bahwa perbedaan antara obat bermerek dan obat generik hanya terdapat pada tampilan obat yang lebih menawan dan kemasan yang lebih bagus sehingga terasa lebih istimewa. Obat generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa melindungi produk yang ada di dalamnya.4. Obat generik tidak memerlukan biaya promosi atau iklan.

D. OBAT ESENSIALObat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2500/Menkes/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional 2011).Kriteria Pemilihan Obat EsensialPemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut:1. Memiliki rasio manfaat - resiko (benefit - risk ratio) yang paling menguntungkan penderita.2. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas. 3. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan. 4. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan.5. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.6. Memiliki rasio manfaat - biaya (benefit - cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung. 7. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada:a. Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah;b. Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;c. Obat yang stabilitasnya lebih baik;d. Mudah diperoleh;e. Obat yang telah dikenal.8. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut:a. Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap;b. Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi dari pada masing - masing komponen;c. Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut;d. Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat - biaya (benefit - cost ratio);e. Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya.

BAB IIIPOSOLOGI

A. BENTUK SEDIAAN OBAT1. AerosolAdalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan, mengandung zat aktif terapeutik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan. Sediaan ini digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga untuk pemakaian lokal pada hidung (aerosol nasal), mulut (aerosol lingual) atau paru - paru (aerosol inhalasi).2. InhalasiAdalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau lebih bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk memperoleh efek lokal atau sistemik.3. Pulvis (Serbuk) Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. 4. Pulveres Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum. 5. Tablet (Compressi) Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. Macam tablet yaitu:a. Tablet kempa, paling banyak digunakan, ukuran dapat bervariasi, bentuk serta penandaannya tergantung desain cetakan. b. Tablet cetak, dibuat dengan memberikan tekanan rendah pada massa lembab dalam lubang cetakan. c. Tablet trikurat, tablet kempa atau cetak bentuk kecil umumnya silindris. Tetapi tablet untuk jenis ini sudah jarang ditemukan. d. Tablet hipodermik, dibuat dari bahan yang mudah larut atau melarut sempurna dalam air. Dulu untuk membuat sediaan injeksi hipodermik, sekarang diberikan secara oral. e. Tablet sublingual, dikehendaki berefek cepat (tidak dimetabolisme melalui hati). Digunakan dengan meletakkan tablet di bawah lidah. f. Tablet bukal, digunakan dengan meletakkan di antara pipi dan gusi. g. Tablet efervescen, tablet larut dalam air. Harus dikemas dalam wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab. Pada etiket tertulis tidak untuk langsung ditelan. h. Tablet kunyah, cara penggunaannya dikunyah. Meninggalkan sisa rasa enak di rongga mulut, mudah ditelan, tidak meninggalkan rasa pahit, atau tidak enak. 6. Pilulae (PIL) Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu. 7. Kapsulae (Kapsul) Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu: a. menutupi bau dan rasa yang tidak enak; b. menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari; c. lebih enak dipandang; d. dapat digunakan untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar; e. mudah ditelan. 8. Lozenges Lebih dikenal sebagai tablet hisap, adalah sediaan padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat membuat tablet melarut atau hancur perlahan dalam mulut.9. Solutiones (Larutan) Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut. Biasanya dilarutkan dalam air karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya. Dapat juga dikatakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Terbagi atas:a. Larutan oral, adalah sediaan cair yang dimaksudkan untuk pemberian oral. Termasuk ke dalam larutan oral ini adalah:1) Sirup, Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi. 2) Elixir, adalah larutan oral yang mengandung etanol sebagai pelarut.b. Larutan topikal, adalah sediaan cair yang dimaksudkan untuk penggunaan topikal pada kulit atau mukosa.c. Larutan otik, adalah sediaan cair yang dimaksudkan untuk penggunaan dalam telinga.d. Larutan optalmik, adalah sediaan cair yang digunakan pada mata.e. Spirit, adalah larutan mengandung etanol atau hidro alkohol dari zat yang mudah menguap, umumnya merupakan larutan tunggal atau campuran bahan.f. Tingtur, adalah larutan yang mengandung etanol atau hidro alkohol di buat dari bahan tumbuhan atau senyawa kimia.10. Suspensi Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair. Jenis suspensi antara lain: suspensi oral (juga termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering. 11. Emulsi Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi. 12. Krim Adalah sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.13. Gel (Jeli)Adalah sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.14. Pasta Adalah sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaian topikal.15. Transdermal patch, Plester Adalah bahan yang digunakan untuk pemakaian luar terbuat dari bahan yang dapat melekat pada kulit dan menempel pada pembalut.

16. Galenik Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari. 17. Extractum Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang ditetapkan. 18. Infusa Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90 0C selama 15 menit. 19. Immunosera (Imunoserum) Merupakan sediaan yang mengandung imunoglobin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman/virus/antigen. 20. Unguenta (Salep) Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. 21. Suppositoria Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu: a. penggunaan lokal, memudahkan defekasi serta mengobati gatal, iritasi, dan inflamasi karena hemoroid;b. penggunaan sistemik, aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hidrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik. 22. Guttae (Obat Tetes) Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmacope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tetes mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata). 23. Implan atau pelet Adalah sediaan dengan massa padat steril berukuran kecil, berisi obat dengan kemurnian tinggi (dengan atau tanpa eksipien), dibuat dengan cara pengempaan atau pencetakan. Implan atau pelet dimaksudkan untuk ditanam di dalam tubuh (biasanya secara sub kutan) dengan tujuan untuk memperoleh pelepasan obat secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama.24. Injectiones (Injeksi) Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parentral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi. Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila akan digunakan sediaan obat kering ditambahkan aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi. Cara penggunaan obat injeksi adalah dengan merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.25. IrigasiLarutan steril yang digunakan untuk mencuci atau membersihkan luka terbuka atau rongga - rongga tubuh, penggunaan adalah secara topikal.

Tabel 3. Penggunaan Bentuk SediaanCara PemberianBentuk Sediaan Utama

OralTablet, kapsul, larutan (sulotio), sirup, eliksir, suspensi, magma, jeli, bubuk

SublingualTablet, trokhisi dan tablet hisap

ParentralLarutan, suspensi

Epikutan/transdermalSalep, krim, pasta, plester, bubuk, aerosol, latio, tempelan transdermal, cakram, larutan, dan solutio

KonjungtivalSalep

Intraokular/intraauralLarutan, suspensi

IntranasalLarutan, semprot, inhalan, salep

IntrarespiratoriAerosol

RektalLarutan, salep, supositoria

VaginalLarutan, salep, busa-busa emulsi, tablet, sisipan, supositoria, spon

UretralLarutan, supositoria

Sumber: Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Howard C. Ansel)

B. CARA PEMBERIAN OBATBerikut ini adalah cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya: 1. Oral Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut. Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur. Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, pemberian obat melalui oral tidak dapat dilakukan. Pemberian obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan oleh klien, obat diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan di pipi bagian dalam (buccal) serta ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat secara oral juga dapat dilakukan melalui selang nasogastrik (NGT). Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan dengan efek samping yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan cara pemberian yang lain.Bila klien tidak dapat menelan air atau cairan lain atau merasa mual dan muntah, pemberian obat per oral segera dihentikan dan obat diberikan dengan cara lainnya. Jika klien dipuasakan (NPO Nothing Per Oral) sebelum dilakukan pembedahan, tim medis dapat memilih obat oral yang dapat diberikan dengan air yang terbatas. Atau obat per oral dapat ditunda pemberiannya atau diberikan dengan cara yang lain bila klien baru saja selesai mengalami pembedahan. Hal tersebut dilakukan sampai fungsi saluran pencernaan klien kembali normal.Bila klien dilakukan gastric suction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas lambung, pemberian obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang lain. Namun, beberapa dokter kadang tetap menginstruksikan pemberian obat melalui NGT dengan menghentikan sementara proses bilas lambung, caranya adalah dengan menutup selang NGT minimal selama 30 menit setelah diberikan obat melalui NGT.2. Sublingual Cara penggunaannya, obat ditaruh di bawah lidah. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih cepat yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke dalam pembuluh darah. Tujuannya agar efek obat lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah merupakan pusat sakit. Misalnya pada kasus pasien jantung yang mengalami nyeri dada akibat angina pectoris. Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi pembuluh darah. Keuntungan cara ini obat cepat diabsorpsi serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak melalui vena porta). Selain itu cara ini juga mudah dilakukan dan pasien tidak mengalami kesakitan. Jika obat diberikan pada pada pasien dengan cara sublingual, pasien diinformasikan untuk tidak menelan obat. Bila ditelan, obat menjadi tidak aktif oleh adanya proses kimiawi dengan cairan lambung. Untuk mencegah obat tidak ditelan, maka pasien diberitahu untuk membiarkan obat tetap di bawah lidah sampai obat menjadi hancur dan terserap. obat bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu tiga menit.3. Inhalasi Penggunaannya dengan cara disemprot ke mulut, diinhalasi melalui mesin ventilator, inhaler-nebulizer atau inhaler sekali pakai. Misalnya obat bronkodilator. Obat untuk inhalasi dalam bentuk cair dimasukkan kedalam mesin ventilator atau nebulizer dan kemudian akan dirubah menjadi partikel-partikel gas yang dapat dihirup melalui hidung dan mulut. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru-sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran mukosa pada perjalanan pernafasan. 4. Rektal dan pervaginamCara penggunaannya melalui rektum dan vagina. Tujuannya mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat diberikan per-rektal bila pemberian obat secara oral sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh: asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat. Sedangkan obat yang diberikan pervagina ditujukan untuk langsung ke organ sasaran, misalnya untuk keputihan atau jamur.5. Parenteral Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain melalui saluran cerna. Tujuannya tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah. Efeknya cepat dan langsung sampai pada sasaran. Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang mengiritasi lambung; dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien (nyeri), berbahaya (bekas tempat suntikan dapat beresiko infeksi).Pemberian obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau infus. Dapat diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC), intramuskular (IM) / jaringan intralesional, intravena (IV)/sirkulasi intra-arterial, intraspinal atau melalui ruang intra-artikular.Obat yang diberikan secara parenteral akan diabsorpsi lebih banyak dan bereaksi lebih cepat daripada obat yang diberikan secara topical atau oral. Pemberian obat parenteral dapat menyebabkan resiko infeksi bila perawat tidak memperhatikan dan melakukan teknik aseptik dan antiseptik pada saat pemberian obat. Karena pada pemberian parenteral, obat diinjeksikan melalui kulit, menembus sistem pertahanan kulit. Komplikasi yang sering terjadi adalah bila pH, osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diijeksikan tidak sesuai dengan kondisi tempat penusukkan, serta dapat mengakibatkan merusakan jaringan sekitar tempat insersi/injeksi. Peralatan yang khusus diperlukan untuk menunjang pemberian obat parenteral, sehingga membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan pemberian obat dengan cara yang lain.

a. b.

c. d.

Gambar 12. Lokasi penyuntikan intramuskular/IM: a. Ventrogluteal, b. Dorsogluteal, c. Vastus lateralisanak-anak, d. Deltoid (sumber: Kee & Hayes, 1996)

Gambar 13. Lokasi penyuntikan intravena/IV (sumber: Kee & Hayes, 1996)

6. Topikal/lokal Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat dengan cara mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran mukosa, dapat pula dilakukan melalui lubang yang terdapat pada tubuh.

C. DOSIS OBAT1. PENGERTIAN DOSISPengertian umum dosis:Jumlah obat yang diberikan kepada penderita dalam satuan berat : g, mg, g atau satuan isi : ml, liter, ui (unit internasional). a. DOSIS : Sejumlah obat yang diberikan satu kali atau selama jangka waktu tertentu. Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi (khasiat) yang tepat dan aman bila dikonsumsi oleh pasien.b. DOSIS AWAL (LOADING DOSE) ATAU DOSIS PERMULAAN (INITIAL DOSE):Dosis obat untuk memulai terapi sehingga dapat mencapai konsentrasi terapeutik dalam tubuh yang menghasilkan efek klinis.c. DOSIS PEMELIHARAAN (MAINTENANCE DOSE): Dosis obat yang diperlukan untuk memelihara - mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan dosis regimen.d. DOSIS MEDICINALIS = DOSIS LAZIM:Dosis lazim adalah dosis yang diberikan berdasarkan petunjuk umum pengobatan yang biasa digunakan, referensinya bisa berbeda-beda, dan sifatnya tidak mengikat, selagi ukuran dosisnya diantara dosis maksimum dan dosis minimum obat.e. DOSIS TERAPEUTIK = TERAPI Dosis terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan pasien. Sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa.f. DOSIS MINIMUMDosis minimum adalah takaran dosis terendah yang masih dapat memberikan efek farmakologis (khasiat) kepada pasien apabila dikonsumsi.g. DOSIS MAKSIMUM Dosis maksimum adalah takaran dosis tertinggi yang masih boleh diberikan kepada pasien dan tidak menimbulkan keracunan.

h. DOSIS TOXICA = TOKSIK: Dosis toksik adalah takaran dosis yang apabila diberikan dalam keadaan biasa dapat menimbulkan keracunan pada pasien. (takaran lebih besar dari dosis maksimum).i. DOSIS LETALIS (LD) Dosis letalis adalah takaran obat yang apabila diberikan dalam keadaan biasa dapat menimbulkan kematian pada pasien. Dosis letal dibagi menjadi 2:1) Dosis letal 50: takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 50% hewan percobaan.2) Dosis letal 100:takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 100% hewan percobaan.

2. TUJUAN PENETAPAN DOSISTujuan dari penetapan dosis obat adalah untuk mendapatkan efek terapeutik dari suatu obat. Namun tidak semua obat bersifat betul-betul menyembuhkan penyakit, banyak diantaranya hanya meniadakan atau meringankan gejalanya. Oleh karena itu, terapi obat dapat dibedakan dalam tiga jenis pengobatan, yaitu:(1) Terapi Kausal, dimana penyebab penyakit ditiadakan, khususnya pemusnahan mikroorganisme yang merugikan. Contoh: obat kemoterapeutika (antibiotik, fungisida, obat-obat malaria, dan sebagainya).(2) Terapi Simptomatis, hanya gejala penyakit yang diobati dan diringankan, misalnya kerusakan pada suatu organ atau saraf. Contohnya: analgetik pada rematik, obat hipertensi dan obat jantung.(3) Terapi Substitusi, obat pengganti zat yang lazim dibuat oleh organ yang sakit. Misalnya insulin pada penderita diabetes.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MEMPENGARUHI OBATa. Faktor Obat1) Sifat Fisika: daya larut obat dalam air/lemak, kristal/amorf, dsb.2) Sifat Kimiawi: asam, basa, garam, ester, garam kompleks, pH, pKa.3) Toksisitas: dosis obat berbanding terbalik dgn toksisitasnya.b. Cara Pemberian Pada PenderitaRute pemberian obat, memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat.c. Faktor Penderita/ Karakteristik Penderita1) Umur Usia berdampak langsung pada kerja obat. Sejumlah perubahan fisiologis yang menyertai masa pertumbuhan dan penuaan memengaruhi respon terhadap terapi obat.2) Berat dan Komposisi Badan Ada hubungan langsung antara jumlah obat yang diberikan dan jumlah jaringan tubuh tempat obat didistribusikan. Kebanyakan obat diberikan berdasarkan berat dan komposisi tubuh dewasa. Perubahan komposisi tubuh dapat mempengaruhi distribusi obat secara bermakna, misalnya pada klien lansia. Semakin kecil berat badan klien, semakin besar konsentrasi obat di dalam jaringan tubuhnya, dan efek obat yang dihasilkan makin kuat.3) Jenis Kelamin Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mengubah metabolisme obat tertentu. Hormon dan obat saling bersaing dalam biotransformasi karena kedua senyawa tersebut terurai dalam proses metabolik yang sama.4) Ras5) ToleransiKemampuan klien untuk berespon terhadap dosis tertentu dari suatu obat dapat hilang setelah beberapa hari atau minggu setelah pemberian. Kombinasi obat-obatan dapat diberikan untuk mengurangi atau menunda terjadinya toleransi obat.6) Sensitivitas7) Keadaan Patofisiologi Kerusakan/gangguan pada hepar, ginjal, jantung, sirkulasi dan kelainan pada gastrointestinal mempengaruhi respon terhadap obat.8) Kehamilan dan Laktasi9) Perbedaan Genetik Susunan genetik mempengaruhi biotransformasi obat. Pola metabolik dalam keluarga seringkali sama, faktor genetik menentukan apakah enzim yang terbentuk secara alami ada untuk membantu penguraian obat, akibatnya ada anggota keluarga sensitiv terhadap suatu obat. 10) Faktor psikologis Sikap seseorang terhadap obat berakar dari pengalaman sebelumnya atau pengaruh keluarga, anak-anak yang sering melihat orang tuanya minum obat akan cepat terpengaruh dengan kebiasaan orang tuanya tersebut. Sebuah obat dapat digunakan untuk mengatasi rasa tidak aman, pada situasi ini, klien bergantung pada obat sebagai media koping dalam kehidupan. Sebaliknya jika klien kesal terhadap kondisi fisik mereka, rasa marah dan sikap bermusuhan dapat menimbulkan reaksi yang diinginkan terhadap obat. Obat seringkali memberi rasa aman. Penggunaan secara teratur obat tanpa resep atau obat yang dijual bebas, misalnya vitamin, laksatif dll. Perilaku perawat saat memberikan obat dapat berdampak secara signifikan pada respons klien terhadap pengobatan.11) Diet Interaksi obat dan nutrient dapat mengubah kerja obat atau efek nutrient. Contoh, vitamin K (terkandung dalam sayuran hijau berdaun), merupakan nutrient yang melawan efek warfarin natrium (Coumadin), mengurangi efeknya pada mekanisme pembekuan darah. Minyak mineral menurunkan absorpsi vitamin larut lemak. Klien membutuhkan nutrisi tambahan ketika mengonsumsi obat yang menurunkan efek nutrisi. Menahan konsumsi nutrient tertentu dapat menjamin efek terapeutik obat.12) Lingkungan Stres fisik dan emosi yang berat. Radiasi ion menghasilkan efek yang sama dengan mengubah kecepatan aktivitas enzim. Panas dan dingin. Klien hipertensi diberi vasodilator untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada cuaca panas, dosis perlu dikurangi karena suhu yang tinggi meningkatkan efek obat. Cuaca dingin cenderung meningkatkan vasokonstriksi, sehingga dosis perlu ditambah. Klien yang dirawat di ruang isolasi dan diberi obat analgesik memperoleh efek pereda nyeri lebih kecil dibanding klien yang dirawat di ruang biasa.

4. PERHITUNGAN DOSIS OBATa. Dosis obat untuk anakDosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Efek obat dan kaitannya dengan dosis tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, luas permukaan tubuh, berat penyakit dan keadaan daya tahan tubuh. Respon tubuh anak dan dewasa terhadap obat berbeda karena faktor-faktor endogen dan eksogen. Parameter-parameter perbedaan anak dan dewasa adalah : pola ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, Ekskresi); sensitivitas intrinsik berlainan terhadap bahan obat; redistribusi dari zat-zat endogen.Cara menghitung dosis obat untuk anak:1) Perhitungan dosis individual untuk bayi dan anak jika hanya dosis dewasa yang diketahui.a) Berdasarkan Luas Permukaan Tubuh DA = DD x KO 1,73 M2 DA= dosis anakDD= dosis dewasaKO= luas permukaan tubuh anak dalam m21,73 M2 = luas permukaan rata-rata orang dewasaLuas permukaan tubuh anak atau orang dewasa dapat dihitung dengan 3 cara, yaitu:(1) Menurut Wagner melalui persamaan :LP = 0,09 W 0.73W = Berat badan dalam KgLP = Luas permukaan tubuh dalam M2(2) Berdasarkan Hasil Perkalian antara tinggi badan (TB) dengan berat badan (BB)LPT = Akar dari TB (cm) x BB (Kg) 3600

LPT = Luas permukaan tubuh dalam M2 (3) Berdasarkan Nomogram WestCara menentukan luas permukaan tubuh berdasarkan nomogram West adalah:(a) ukur dan tentukan tinggi badan dalam cm,(b) ukur dan tentukan berat badan dalam kg,(c) tarik garis lurus yang menghubungkan tinggi badan (cm) dan berat badan (kg), titik potong garis yang ditarik dari titik tinggi badan sampai berat badan dengan garis BSA (M2) pada nomogram West menunjukkan luas permukaan tubuh. (Lihat Gambar 13).b) Berdasarkan BBPerhitungan dosis anak berdasarkan BB umumnya menggunakan rumus Clark, yaitu :DA = w x DD, atau BB (pound) x DD 70 150 poundKet:w = BB dalam kgDA = Dosis anakDD = Dosis dewasa

Gambar 13. Skala Nomogram Wes