penegakan hukum oleh kepolisian melalui

16
247 Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorave Jusce ... (Yunan Hilmy) Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013 PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL (Law Enforcement by Police Through Restorave Jusce Approach in Naonal Legal System) Yunan Hilmy Pusat Penelian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Jl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta Email: [email protected] Naskah diterima: 23 Juli 2013; revisi: 27 Juli 2013; disetujui: 1 Agustus 2013 Abstrak Sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepenngan hukum dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan penegakan hukum hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandai dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Kepolisian sebagai alat negara yang berperan dalam menegakkan hukum diharapkan dapat merespon hal ini dengan menggunakan mekanisme restorave jusce. Tulisan ini akan membahas mengapa mekanisme restorave jusce bisa dijadikan alternaf penegakan hukum oleh polisi; bagaimana prospek penerapan mekanisme restorave jusce yang dilakukan oleh Polisi; serta bagaimana mekanisme restorave jusce yang dilakukan oleh polisi dalam sistem hukum nasional. Dengan menggunakan metode yuridis normaf dapat disimpulkan bahwa dengan menjadikan restorave jusce sebagai pendekatan maka ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara dalam beberapa hal menjadi berkurang. Polisi dapat melaksanakan mekanisme restorave jusce melalui diskresi yang dimilikinya karena hal merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Pelaksanaan restorave jusce oleh Polri dalam perspekf sistem hukum nasional dapat diterima apabila dilaksanakan berdasar falsafah negara Pancasila, menjamin keadilan serta perlindungan hukum terhadap HAM. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasinya, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk memberikan legimasi agar segala ndakan yang dilakukan dalam implementasi restorave jusce dak dianggap ilegal. Kata Kunci : Keadilan, restorave, musyawarah, diskresi, pengawasan Abstract The Criminal Jusce System should be promong interest of law and jusce. However, there is a mistake of view that measuring success on law enforcement simply characterized with success filed a suspect to court and sentenced. Supposed to be success measure of law enforcement by law enforcement officers marked by the achievement of value of jusce in society. The police as a state of tool who role in enforcing the law are expected respond by using restorave jusce mechanism. Therefore, this paper focus on why restorave jusce mechanism could be an alternave on law enforcement by the police; and how the mechanisms of restorave jusce by the police in the naonal legal system. By using normave juridical methode, it can be conclude that by making restorave jusce as an approach of, there are several advantages which can be found. First, public givenits own space to handles with his legal issues which preceived fairly. Second, burden on th estate in some way be reduced. The police could be implemenng restorave jusce mechanism through discreonbecause it is the completeness of regulaon by the law itself. Implementaon of restorave jusce by the police in perspecve of naonal legal system is acceptable if carried out based on the state ohilosophy of Pancasila, ensures of jusce and legal protecon of human rights.To ensure uniformity in implementaon, needs a norm or rule to gave legimacy that all acons which taken in implementaon of restorave jusce ha snot considered illegal. Keywords : Jusce, restorave, deliberaon, discreon, supervision Jurnal RechtsVinding BPHN

Upload: doliem

Post on 31-Dec-2016

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

247Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

(Law Enforcement by Police Through Restorative Justice Approach in National Legal System)

Yunan HilmyPusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional

Badan Pembinaan Hukum NasionalJl. Mayjen Sutoyo No. 10 Cililitan Jakarta Email: [email protected]

Naskah diterima: 23 Juli 2013; revisi: 27 Juli 2013; disetujui: 1 Agustus 2013

AbstrakSistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan penegakan hukum hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandai dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Kepolisian sebagai alat negara yang berperan dalam menegakkan hukum diharapkan dapat merespon hal ini dengan menggunakan mekanisme restorative justice. Tulisan ini akan membahas mengapa mekanisme restorative justice bisa dijadikan alternatif penegakan hukum oleh polisi; bagaimana prospek penerapan mekanisme restorative justice yang dilakukan oleh Polisi; serta bagaimana mekanisme restorative justice yang dilakukan oleh polisi dalam sistem hukum nasional. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dapat disimpulkan bahwa dengan menjadikan restorative justice sebagai pendekatan maka ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara dalam beberapa hal menjadi berkurang. Polisi dapat melaksanakan mekanisme restorative justice melalui diskresi yang dimilikinya karena hal merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Pelaksanaan restorative justice oleh Polri dalam perspektif sistem hukum nasional dapat diterima apabila dilaksanakan berdasar falsafah negara Pancasila, menjamin keadilan serta perlindungan hukum terhadap HAM. Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasinya, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk memberikan legitimasi agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi restorative justice tidak dianggap ilegal. Kata Kunci : Keadilan, restorative, musyawarah, diskresi, pengawasan

AbstractThe Criminal Justice System should be promoting interest of law and justice. However, there is a mistake of view that measuring success on law enforcement simply characterized with success filed a suspect to court and sentenced. Supposed to be success measure of law enforcement by law enforcement officers marked by the achievement of value of justice in society. The police as a state of tool who role in enforcing the law are expected respond by using restorative justice mechanism. Therefore, this paper focus on why restorative justice mechanism could be an alternative on law enforcement by the police; and how the mechanisms of restorative justice by the police in the national legal system. By using normative juridical methode, it can be conclude that by making restorative justice as an approach of, there are several advantages which can be found. First, public givenits own space to handles with his legal issues which preceived fairly. Second, burden on th estate in some way be reduced. The police could be implementing restorative justice mechanism through discretionbecause it is the completeness of regulation by the law itself. Implementation of restorative justice by the police in perspective of national legal system is acceptable if carried out based on the state ohilosophy of Pancasila, ensures of justice and legal protection of human rights.To ensure uniformity in implementation, needs a norm or rule to gave legitimacy that all actions which taken in implementation of restorative justice ha snot considered illegal.Keywords : Justice, restorative, deliberation, discretion, supervision

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 2: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

248 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

A. Pendahuluan

Hukum tidak sekedar untuk mewujudkan ketertiban, lebih dari itu hukum harus memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum tidak dengan sendirinya akan melahirkan keadilan akan tetapi untuk tercapainya keadilan hukum harus ditegakkan. Fungsi dari penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang telah ditetapkan oleh suatu UU atau hukum. Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata manusia. Pada hakikatnya hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat, karena hukum dan masyarakat teradapat suatu interelasi. sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan. Apapun teori keadilan yang dipergunakan, definisi keadilan harus mencakup: kejujuran (fair-ness), tidak memihak (impartiality), dan pemberian sanksi dan hadiah yang patut (appropriate reward and punishment).

Selama ini peran penegak hukum dalam proses penegakan hukum pidana (integrated criminal justice system) adalah: pertama, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; kedua, memasyarakatkan terpidana

dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; ketiga, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; keempat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan memaafkan terpidana.

Restorative justice menjadi wacana yang sangat popular di tengah kejenuhan masyarakat yang melihat hukum formal didominasi aliran pemikiran positivisme dan tidak bisa optimal mengakomodir rasa keadilan masyarakat karena lebih mengedepankan kepastian hukum (Rechtssicherheit). Restorative justice hadir dengan menawarkan konsep penyelesaian tidak formalistik yang sekedar mengedepankan sisi legalistic formal, tetapi dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya). Selain itu, sistem peradilan pidana yang ada sekarang dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap HAM serta transparansi terhadap kepentingan umum yang semakin tidak dirasakan. Kenyataan menunjukan bahwa banyak masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara pidana yang dialaminya diluar sistem.1 Penyelesaian diluar sistem baik dilakukan oleh para pihak (pelaku dan korban secara mandiri)

1 Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Eva Ahjani Zulfa menunjukkan bahwa 62% responden memilih untuk tidak meneruskan perkaranya ke tahap penuntutan (perkara berhenti di tingkat kepolisian); 82% menyatakan bahwa upaya damai menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul atas tindak pidana yang terjadi. Upaya damai tersebut tidak melulu berupa ganti rugi tetapi lebih banyak dilakukan melalui permohonan maaf secara langsung. Inisiatif damai tersebut berasal dari kerabat (43%), aparat (35%) dan sisanya berasal dari teman ataupun pihak lawan. Lihat Eva Ahjani Zulfa, Keadilan Restorative, (Jakarta: Badan Penerbitan FH UI, 2011). Bandingkan juga dengan Eva Ahjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan (Bandung: Lubuk Agung, 2011).Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 3: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

249Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

ataupun dengan melibatkan petugas penegak hukum. Ketidakpuasan terhadap Sistem Peradilan Pidana dengan demikian terkait tidak saja dengan mekanisme penanganan perkara dan administrasi, tetapi juga Hasil akhir dari proses yang berjalan.

Terdapat pandangan salah bahwa seringkali ukuran keberhasilan penegakan hukum hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandai dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Lembaga Kepolisian adalah salah satu lembaga penegak hukum yang diharapkan dapat menjalankan mekanisme restorative justice ini. Tujuan dibentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.2 Dengan demikian Kepolisian Negara RI merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.3

B. Permasalahan

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:1. Mengapa mekanisme restorative justice bisa

dijadikan alternatif penegakan hukum oleh polisi?

2. Bagaimana prospek penerapan mekanisme restorative justice yang dilakukan oleh Polisi?

3. Bagaimana mekanisme restorative justice yang dilakukan oleh polisi dalam sistem hukum nasional ?

C. Metode Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan latar bela-kang di atas, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif4 karena menggunakan data sekunder. Sedangkan dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif analitis yakni akan menggambarkan secara keseluruhan obyek yang diteliti secara sistematis dengan menganalisis data yang diperoleh.

D. Pembahasan

1. Restorative justice sebagai Alternatif Penegakan Hukum

Minat Pendekatan RJ sejak Konggres 5 tahunan PBB: ”Congress on Crime Prevention and The Treatment of Offenders”. Tahun 1990 dan 1995, LSM dari beberapa negara mensponsori sejumlah sessi pertemuan untuk secara khusus

2 Lihat Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002.3 Lihat Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002.4 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder

belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4) perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, cet. V, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14. Lihat juga Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979) hlm.15Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 4: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

250 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

berdiskusi tentang restorative justice. Tahun 2000 dihasilkan UN, Basic Principles On The Use of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.5 Model pendekatan ini adalah upaya penyelesaian perkara pidana yang menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.

Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Dipihak lain, restorative justice juga merupakan suatu kerangka berfikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum. Dalam penerapannya, RJ menekankan:

adanya kemauan dari pelaku untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya sebagai bentuk rasa tanggung jawab, adanya kemauan dari korban untuk memberikan maaf, kemauan masyarakat untuk terlibat dalam penyelesaian perkara dan kemauan dari aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum secara adil.

Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku kepada masyarakat. Upaya ini membutuhkan kerja sama semua pihak dan aparat penegak hukum.

Restorative Justice menawarkan sesuatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Selain itu, tujuan akhir dari sistem berjalan dalam sistem peradilan pidana yaitu membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman di-ubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan. Tujuan pemidanaan diarahkan pada perbaikan hubungan sosial para pihak. Hal ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

5 Yunan Hilmy, “Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice” (makalah disampaikan Dalam Rakernis Fungsi Reserse Narkoba Jajaran PoldaKalsel, di Banjarmasin, 11 April 2012).

Tabel 1.: Perbandingan SPP dan Restorative JusticeSPP RJ

Tujuan Menanggulangi dan Mengendalikan kejahatan Mencari penyelesaian atas tindak pidana yang terjadi.

Tolok Ukur Keberhasilan Jumlah Perkara yang diproses dan pidana yang dijatuhkan Kesepakatan para pihak dapat dijalankan

Tujuan Akhir mengintegrasikan pelaku kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang baik Pemulihan hubungan sosial antar stake holder

Bentuk PenyelesaianPembalasan,Pemaksaan,Penderitaan bagi pelaku

Pemaafan,Sukarela,Perbaikan untuk semua

Sumber: Yunan Hilmy (makalah Rakernis Fungsi Reserse Narkoba di Polda Kalsel di Banjarmasin, 11 April 2012).

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 5: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

251Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain, restorative justice diterapkan secara berbeda-beda, tetapi semuanya diterapkan hanya tindak pidana tertentu. Di New Zealand, Inggris dan Wales, Philipina dan Canada misalnya, kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Di Afrika Selatan pendekatan restorative justice digunakan dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid. Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau Belgia, restorative justice digunakan dengan konsep mediasi. Sedangkan Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, digunakan dalam sistem pemidanaan. 6

Dengan menjadikan restorative justice sebagai pendekatan maka ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang. misalnya untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih berbahaya. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk kedalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan sebagaimana diungkapkan diatas menjadi berkurang. Dengan demikian beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan pun

akan berkurang. Sebagai contoh, Berdasarkan data Kementerian Hukum dan HAM, isi hunian Lembaga Pemasyarakatan ke Kalimantan Tengah hingga maret 2012 adalah 4.707 orang dengan diantaranya 1.968 orang kasus narkoba dan 170 orang anak. Padahal kapasitasnya hanya 1760 orang. Dengan demikian terdapat over capasitas sebesar 267,4 %.7

2. Prospek Mekanisme Restorative Justice Oleh Polisi

Selama ini aparat kepolisian harus bertanggung jawab terhadap proses bekerjanya hukum melalui sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.8 Pada dasarnya tugas dan wewenang polisi sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi.

Tugas polisi yang ditetapkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah sebagai berikut: a. Tugas polisi sebagai penjaga keamanan

dan ketertiban masyarakat antara lain: Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebu-tuhan; menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hokum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap

6 Diambil Dari Presentasi Yunan Hilmy, Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice, Yang Disampaikan Dalam Rakernis Fungsi Reserse Narkoba Jajaran Polda Kalsel, Di Banjarmasin, 11 April 2012.

7 Ibid.8 Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 6: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

252 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

hukum dan peraturan perundang-undangan.

b. Tugas polisi sebagai penegak hukum antara lain: Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa; melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan untuk kepentingan tugas kepolisian.

c. Tugas polisi sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain: Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.Untuk dapat melaksanakan tugas seba-

gaimana diuraikan di atas (baik sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, maupun perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat), polisi diberi wewenang sebagai berikut: (1) menerima laporan dan/atau pengaduan; (2) membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (3) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya

penyakit-penyakit masyarakat; (4) mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (5) mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; (6) melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (7) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (8) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (9) mencari keterangan dan barang bukti; (10) menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional; (11) mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (12) memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instasi lain, serta kegiatan masyarakat; dan (13) menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu secara khusus untuk menjalankan tugas dalam bidang proses pidana atau proses penegakan hukum.

Selain itu polisi diberi wewenang sebagai ber-ikut: (1) Melakukan penangkapan, pena hanan, penggeledahan, dan penyitaan; melarang se tiap orang meninggalkan atau memasuki tempat ke-jadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (2) membawa dan menghadapkan orang kepa-da penyidik dalam rangka penyidikan; (3) me-nyuruh berhenti orang yang dicurigai dan me-nanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (4) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (5) mengadakan penghentian penyidikan; (6) menyerahkan ber-kas perkara kepada penuntut umum; mengaju-kan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 7: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

253Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

imigrasi dalam keadaan mendesak atau men-dadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindakan pidana; (7) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan ke-pada penyidik pegawai negeri sipil serta mene-rima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepda penuntut umum; dan (8) mengadakan tindakan lain menurut hu-kum yang bertanggung jawab.

Dengan demikian, kepolisian itu tidak perlu hanya memainkan peran yang bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif. Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja kepolisian bukan seperti ”pemadam kebakaran” yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.9

Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul ”Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” menggunakan istilah ”pembinaan masyarakat” (Binmas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif. Mengingat peran yang dimainkan oleh kepolisian secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh kepolisian (dan tentunya juga oleh perangkat

penegak hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan restoratif).10

Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya ”pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran kepolisian dalam model peradilan restoratif adalah sebagai ”fasilitator” dan bukan semata sebagai ”penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan restoratif adalah menggalang terwujudnya ”perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.11

Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh budaya harmoni. Budaya harmoni ini pulalah yang memiliki andil yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan ”peradilan mela sareka” atau ”peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai.12

9 Achmad Ali, ”Polisi dan Efektivitas Hukum dalam Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, (Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 1998), hlm. 221.

10 Awaloedin Djamin, 1986, hlm. 17.11 Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang ”Restorasi Sistem Keadilan: Restorative

Justice”.12 Karolus Kopong Medan, Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi

Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, (Semarang: PDIH Undip, 2006).Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 8: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

254 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model Lembaga Musyawarah. Masyarakat Indonesia mengenal adanya lembaga musyawarah sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Landasannya adalah Pancasila, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Pengadilan Anak, dll. Dengan demikian lembaga penegak hukum dapat menjadikannya sebagai solusi untuk mengatasi kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam mengimplementasikan restorative justice adalah melaui diversi, yaitu mengalihkan penyelesaian suatu perkara ke satu sistem ke sistem lainnya. Polisi dapat melakukan hal ini melalui diskresi yang dimilikinya.13

Dalam berbagai wacana aktual, restorative justice atau keadilan restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana diluar pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana bisa diterapkan dalam sistem ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses peradilan pidana yang konvensional. Jenis pidana ini dapat mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 12 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. Meskipun Perma ini hanya dapat diterapkan di lingkungan pengadilan, tetapi diharapkan implementasi Perma No. 02 Tahun 2012 dapat dikuatkan dengan nota kesepakatan

bersama (MoU) antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI menyangkut penerapan batasan jumlah denda dalam tindak pidana ringan (Tipiring) dapat mengimplementasikan restorative justice dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebut.14

Diskresi polisi tersebut dapat dilakukan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian yang mengatakan bahwa:15

pertama, untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Kedua, pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memerhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa:

”……hukum hanya dapat menuntut kehidupan bersama-sama secara umum sebab begitu ia mengatur secara rinci, dengan memberikan skenario langkah-langkah secara lengkap maka pada waktu itu pula kehidupan akan macet, oleh karena itu sesungguhnya diskresi itu merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.”16

Begitu juga dengan Farouk Muhammad yang mengatakan bahwa:

”….diskresi merupakan salah satu upaya untuk penyelesaian masalah dalam penegakan

13 Kewenangan melakukan diskresi ini juga dimiliki oleh jaksa melalui kewenangan deponir dengan asas oportunitas-nya.

14 Nota Kesepakatan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian RI No. 131/KMA/SKB/X/2012, No.M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, No.KEP-06/E/EJP/10/2012, No. B/39/X/2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

15 Lebih jauh lihat Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian.16 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis Hukum, (Bandung: Sinar Baru, 1983)

hlm. 11.Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 9: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

255Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

hukum.17 Dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan seperti dalam era reformasi, diskresi aparat penegak hukum menjadi penting untuk menerobos aturan-aturan hukum yang bersifat kaku. Penerapan diskresi akan mendorong terwujudnya keadilan sejalan dengan perubahan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat”.

Diskresi juga disebut dengan kebijakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia18, kata ”Kebijakan” dari akar kata ”bijak” sebagai ”rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan juga berarti; ”pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.

Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan sub sistem dari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni ”kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan ”perlindungan masyarakat” (social defence).

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain dengan ”Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence. Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy).

Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut. Tujuan social werfare (SW) dan social defence (SD) oleh Barda Nawawi Arief merupakan aspek immateriil terutama nilai kepercayaan, kebenaran atau kejujuran atau keadilan.19

Dalam pelaksanaan tugas polisi dalam masyarakat terutama sebagai penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka skema yang dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan antara penal policy dan non penal policy.21

Perlunya diskresi ini juga disampaikan oleh Soerjono Soekanto22 dengan menyitir Wayne R. La Favre (1986) yang mengatakan bahwa hal ini penting karena: pertama, tidak ada UU yang

17 Farouk Muhammad, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN), Kelompok Kerja Bidang Hukum Dan Polkam, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005.

18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 115.19 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 78. 20 Lihat Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 42. 21 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2008), hlm. 7. Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 10: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

256 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

demikian lengkap sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia. Kedua, adanya keterlambatan peraturan perundang-undangan menyesuaikan perkembangan di dalam masyarakat menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketiga, kurangnya biaya untuk menerapkan PUU sebagaimana dikehendaki oleh pembentuk UU. Keempat, adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. Prajudi Atmosudirjo menyebut hal ini sebagai pelengkap dari asas legalitas.22 Sedangkan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara Polisi di Lapangan (Surat Keputusan Kalemdiklat Polri No.Pol: SKEP/65/III/2003 tanggal 24 Maret 2003) diterjemahkan sebagai kewenangan yang dilaksanakan bilamana seorang petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban umum dan keamanan umum atau bila diperkirakan akan timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Dengan adanya pengaturan tentang diskresi kepolisian dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada polisi sebagai penyidik untuk menerapkan filosofi restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Dengan diskresi penyidik Polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, salah satu tindakan yang dapat diambil dalam implementasikan restorative justice adalah dengan mendudukkan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara

pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggungjawaban.

Dalam kaitannya dengan kinerja kepolisian, maka syarat ”kemampuan aparat penegak hukum” perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya. Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah personil, tetapi yang lebih utama justru pada kualitasnya. Kualitas personil kepolisian mencakup, tingkat intektualitas, moral, kinerja, kedisiplinan, ketegasan, keteladanan dan ketaqwaannya. Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana, G. Peter Hoefnogels menggambarkan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) mencakup; pertama, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa; kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga, pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik sosial, rencana kesehatan mental masyarakat, dan lainnya.23

Gambaran Hoefnagels mengenai pen-cegahan tanpa pidana, menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan sarana penal lebih bersifat represif. Sudarto memberikan pemahaman, bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini lebih bersifat pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.

22 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hlm 82.23 Barda nawawi, Op.Cit, hlm. 20.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 11: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

257Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

Meski demikian, praktik penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum sangat bergantung pada subyektivitas yang bersangkutan. Bila aparat penegak hukum menghayati nilai-nilai moral dan etika, maka penerapan diskresi akan melahirkan rasa keadilan dan ketenteraman dalam masyarakat. Tetapi bila sebaliknya, maka akan melahirkan kesewenang-wenangan. Hal ini selaras dengan pendapat Wayne R La Favre yang mengatakan bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara hukum dan moral sehingga penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.24

Untuk itu maka perlu pengawasan Komisi Kepolisian dengan berpedoman pada kode etik aparat penegak hukum dengan berpedoman pada kode etik aparat penegak hukum. Selain itu, untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi restorative justice di lingkungan kepolisian, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk menjamin kesamaan tindakan penyidik dalam penerapan konsep restorative justice pada penegakan hukum pidana, dan memberikan legitimasi kepada penyidik agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi restorative justice untuk kepentingan penyidikan tidak dicap ilegal atau menyimpang dari hukum acara yang berlaku.

3. Kedudukan Restorative Justice Oleh Polisi Dalam Sistem Hukum Nasional

Pada dasarnya hukum nasional adalah suatu sistem.25 Sistem adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.26 Sistem ini terdiri dari sejumlah unsur atau komponen atau fungsi/variabel yang selalu pengaruh-mempengaruhi, terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas dan berinteraksi.

Semua unsur/komponen/fungsi/variabel itu terpaut dan terorganisasi menurut suatu struktur atau pola yang tertentu, sehingga senantiasa saling pengaruh mempengaruhi dan berinteraksi. Asas utama yang mengaitkan semua unsur atau komponen hukum nasional itu ialah Pancasila dan UUD 1945, di samping sejumlah asas-asas hukum yang lain seperti asas kenusantaraan, kebangsaan, dan kebhinekaan. Sistem hukum nasional tidak hanya terdiri dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum belaka, tetapi juga mencakup seluruh lembaga aparatur dan organisasi, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum, termasuk juga perilaku hukum pemerintah dan masyarakat.

24 Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, ”Sistem Peradilan di Indonesia”, Serial Online 24 Maret 2008, (Cited 2010 Sept. 23), available from : URL: http://sudiknoartikel.blogspot.com/search?updated-min=2008-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&updated-max=2009-01-01T00%3A00%3A00-08%3A00&max-results=17

25 BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang, (Jakarta: BPHN, 1995/1996), hlm. 19.

26 Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang” (makalah Seminar Hukum Nasional IV, tahun 1979). Lihat juga Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah), (Surabaya: JP BOOKS, 2006), hlm. 75.Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 12: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

258 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

terakhir), yurisprudensi (lingkaran keempat), peraturan perundang-undangan (lingkaran ketiga), UUD 1945 (lingkaran kedua), dan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Dalam pengembangan sistem hukum tersebut perlu diperhatikan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pluralistik, bukan saja berkaitan dengan suku, ras, dan agama, tetapi juga mengenai pola piker dan tingkat pendidikannya. Pluralisme tatanan yang ada dalam masyarakat tidak hanya disebabkan oleh keragaman tatanan tingkah laku mayarakat yang telah diwariskan dalam beberapa

Gambaran Sistem Hukum Nasional tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 1: Sistem Hukum Nasional

Berdasarkan pandangan sistemik, Sistem Hukum Nasional mencakup berbagai sub bidang-bidang hukum dan berbagai bentuk hukum yang berlaku yang semuanya bersumber pada Pancasila. Keragaman hukum yang sebelumnya terjadi di Indonesia (pluralisme hukum) diusahakan dapat ditransformasikan dalam bidang-bidang hukum yang akan berkembang dan dikembangkan (ius constituendum).

Bidang-bidang hukum inilah yang merupakan fokus perhatian perkembangan dan pengembangan Hukum Nasional menuju pada tatanan Hukum Modern Indonesia yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan (lingkaran

Sumber: CFG Sunaryati Hartono, ”Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia” (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1991).

Hukum Kriminal

Hukum Pertanahan

Hukum Pertanahan

Hukum HaKI

Hukum Ekonomi

Hukum Lingkungan

Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara

Dan Bidang-Bidang Hukum Sebagainya

UUD 1945

54

3

21

Pancasila

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN

Page 13: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

259Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

generasi, akan tetapi juga disebabkan oleh perbedaan-perbedaan terhadap perubahan dan perkembangan struktur masyarakat yang secara fungsional melahirkan kebutuhan-kebutuhan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan tujuan yang bervariasi antar kelompok masyarakat. Secara garis besar, ada tiga kelompok masyarakat, yaitu masyarakat tradisional, masyarakat transisi dan masyarakat modern.27 Ketiga kelompok besar masyarakat ini memiliki struktur yang berbeda-beda yang tentunya juga memiliki tatanan, kebutuhan, sistem nilai dan keyakinan yang berbeda pula. Ketiga kelompok masyarakat tersebut dapat digambarkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.: Klasifikasi kelompok masyarakat

Sumber: diolah dari Selo Sumardjan, Adat, Modernisasi dan Pembangunan, Dalam Kumpulan Tulisan Mengenang Teuku Mohamad Radhie. (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 1993), hlm. 77-87.

Dari kedua kutub budaya masyarakat tersebut terdapat suatu perbedaan-perbedaan

fundamental antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern yang bahkan kadang-kadang dapat dikatakan sebagai suatu yang terpisah baik secara struktur maupun fungsi-fungsi kelembagaannya. Dari kedua kutub budaya tersebut terdapat satu bentuk masyarakat yang disebut sebagai masyarakat transisi atau peralihan, dimana mereka menunjukkan gerak perubahan dengan meninggalkan tatanan adat menuju tatanan modern. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia dapat dikelompokkan dalam bentuk tipologi masyarakat ini.

Dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, kesadaran bahwa hukum adalah suatu sistem dapat diwujudkan dengan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terlebih dahulu. Istilah harmonisasi (penyesuaian) lebih menekankan pada keberadaan indikator-indikator dan karakteristik yang sama dalam suatu peraturan, sedang sinkronisasi (penyelarasan) lebih mementingkan bahwa suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lain.28

Dengan demikian pelaksanaan restorative justice oleh Polri dalam kebutuhan masyarakat modern sekaligus bagian dari sub sistem hukum nasional setidaknya mempunyai karakter dan alur pikir sebagai berikut:a. dilaksanakan berdasar falsafah negara

Pancasila;b. dirancang untuk mencapai tahap tertentu

dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;

27 CFG Sunaryati Hartono, Menentukan Politik Hukum Ekonomi Bagi Indonesia Dalam Kurun Waktu Tahun 2004-2009, dalam Laporan Forum dialog Nasional Hukum dan Non Hukum, 7-9 September 2004, (Jakarta: BPHN, 2004), lihat juga Selo Sumardjan, Adat, modernisasi dan pembangunan, Dalam Kumpulan tulisan mengenang Teuku Mohamad Radhie. (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 1993). hlm. 77-87.

28 Muladi, ”Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemberantasan Korupsi” (makalah pada Lokakarya Pembentukan Pengadilan Korupsi yang diselenggarakan Kelompok Kerja A1 KHN dari FH UNDIP dan BPHN, di Jakarta 30 Juli 2002).Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 14: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

260 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

c. Meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru;

d. Pembentukan hukumnya harus mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat melalui prosedur dan mekanisme yang fair, transparan dan akuntabel; dan berorientasi pada pembangunan keadilan sosial; serta menjamin hidupnya toleransi beragama yang berkeadaban; serta memperhatikan dan mengadopsi prinsip/kaidah konvensi internasional terkait yang telah diratifikasi.

e. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi konsep yang jelas, ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia dapat dirasakan oleh masyarakat;

E. Penutup

1. Kesimpulan

Restorative justice menjadi wacana yang sangat popular di tengah kejenuhan masyarakat yang melihat hukum formal didominasi aliran pemikiran positivisme dan tidak bisa optimal mengakomodir rasa keadilan masyarakat. Selain itu, sistem peradilan pidana yang ada sekarang dianggap tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap HAM serta transparansi terhadap kepentingan umum yang semakin tidak dirasakan. Kenyataan menunjukan bahwa banyak masyarakat lebih memilih menyelesaikan perkara pidana yang dialaminya diluar sistem. Dengan menjadikan restorative justice sebagai pendekatan maka ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan. Pertama, masyarakat

diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan hukumnya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang.

Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model Lembaga Musyawarah. Dengan demikian lembaga penegak hukum dapat menjadikannya sebagai solusi untuk mengatasi kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam mengimplementasikan restorative justice adalah melaui diversi, yaitu mengalihkan penyelesaian suatu perkara ke satu sistem ke sistem lainnya. Polisi dapat melakukan hal ini melalui diskresi yang dimilikinya karena hal merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri. Penerapan diskresi akan mendorong terwujudnya keadilan sejalan dengan perubahan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat. Meski demikian, praktik penerapan diskresi oleh aparat penegak hukum sangat bergantung pada subyektivitas yang bersangkutan. Untuk itu maka perlu pengawasan Komisi Kepolisian dengan berpedoman pada kode etik aparat penegak hukum dengan berpedoman pada kode etik aparat penegak hukum.

Pelaksanaan restorative justice oleh Polri dalam perspektif sistem hukum nasional dapat diterima apabila dilaksanakan berdasar falsafah negara Pancasila; dirancang untuk mencapai tahap tertentu dari tujuan negara sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; Meminimalisisasi pemberlakuan dan penerapan norma yang justru menimbulkan ketidakadilan, karena penerapan praktik hukum yang demikian akan menimbulkan ketidakadilan baru; penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi konsep yang jelas, ditujukan untuk meningkatkan jaminan Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 15: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

261Penegakan Hukum oleh Kepolisian melalui Pendekatan Restorative Justice ... (Yunan Hilmy)

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia dapat dirasakan oleh masyarakat.

2. Saran

Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi restorative justice di lingkungan POLRI, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk: pertama, menjamin kesamaan tindakan penyidik Polri dalam penerapan konsep restorative justice pada penegakan hukum pidana, dan memberikan legitimasi kepada penyidik Polri agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi restorative justice untuk kepentingan penyidikan tidak dicap ilegal atau menyimpang dari hukum acara yang berlaku.

Daftar Pustaka

BukuAli, Achmad, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap

Hukum (Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 1998).Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan

Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).

Atmosudirjo, S. Prajudi, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994).

BPHN, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka Panjang (Jakarta: BPHN, 1995/1996).

H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia (Jakarta: CV. Miswar, 1989).

Muladi, ”Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995).

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: The Habibie Center, 2002).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, edisi 1, Cet.V (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001).

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian

Hukum (Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979).

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008).

Kusnu Goesniadhie S, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah) (Surabaya: JP BOOKS, 2006).

Sumardjan, Selo, Adat, modernisasi dan pembangunan, Dalam Kumpulan tulisan mengenang Teuku Mohamad Radhie (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara, 1993).

Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995).

Makalah / Artikel / Prosiding / Hasil PenelitianHartono, CFG Sunaryati, Menentukan Politik Hukum

Ekonomi Bagi Indonesia Dalam Kurun Waktu Tahun 2004-2009, dalam Laporan Forum dialog Nasional Hukum dan Non Hukum, 7-9 September 2004, (Jakarta: BPHN, 2004)

Hartono, CFG Sunaryati, Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia. Pidato pengukuhan jabatan guru besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung 1991

Karolus Kopong Medan, Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, (Semarang: PDIH Undip, 2006)

Kf. Suparmin, Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung, Tesis Program Magister Ilmu Hukum (Semarang: Undip, 2000)

Muhammad, Farouk, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional (PPHN), Kelompok Kerja Bidang Hukum Dan Polkam, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005.

Muladi, ”Harmonisasi dan Sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan Tentang Pemberantasan Korupsi” (makalah pada Lokakarya Pembentukan Pengadilan Korupsi yang diselenggarakan Kelompok Kerja A1 KHN dari FH UNDIP dan BPHN, di Jakarta 30 Juli 2002).

Satjipto Rahardjo, ”Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI” (makalah Ju

rnal

Rech

tsVind

ing BP

HN

Page 16: PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN MELALUI

262 Jurnal RechtsVinding, Vol. 2 No. 2, Agustus 2013, hlm. 247-262

Volume 2 Nomor 2, Agustus 2013

seminar Nasional Polisi Indonesia III, diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, tanggal 22-23 Oktober 1998).

Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang” (makalah Seminar Hukum Nasional IV, tahun 1979).

PeraturanUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara PidanaUndang-Undang Nomor 2Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia

Jurn

al Re

chtsV

inding

BPHN