penatalaksanaan hiv

3
Penatalaksanaan HIV/AIDS Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu  pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretrov iral (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif (Bertozzi et al., 2006). 1. a. Terapi antiretroviral (ARV) Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (  Highly Active  Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load ) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang . ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara laboratories (Hammer et al ., 2008). Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200- 350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 kopi/ml (Dolin, 2008). Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase (RT) dan protease. Inhibitor RT ini terdiri dari inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid ( nucleoside-based inhibitor ) dan nonnukleosid ( nonnucleoside-based inhibitor ). Obat ARV terdiri dari  beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor  (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor  (NNRTI), protease inhibitor  (PI) (Gatell, 2010).  Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA viru s pada DNA host. Analog  NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang k emudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan  berikatan langsung dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine (Elzi et al ., 2010).  Protese Inhibitor  (PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnya  protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan de ngan sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV) (Maggiolo, 2009). Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit kare na terdapat generiknya. Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapi lini pertama. 3 TC atau FTC dapa t dikombinasi dengan analog nukleosida atau nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI) merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua. Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini  pertama dapat juga dengan mengkombin asikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2. (Kitahata et al . 2009).

Upload: melissa-rosari

Post on 13-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

TX HIV

TRANSCRIPT

  • 5/22/2018 Penatalaksanaan HIV

    1/3

    Penatalaksanaan HIV/AIDS

    Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu

    pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral

    (ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi

    opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif(Bertozzi et al.,2006).

    1. a. Terapi antiretroviral (ARV)Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active

    Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat

    antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus

    (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai

    terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan

    diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV

    telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara

    laboratories (Hammer et al., 2008).

    Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan

    gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan

    gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga

    direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4

    kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-

    350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien

    asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load

    lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula

    ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah

    limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000

    kopi/ml (Dolin, 2008).

    Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat

    ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini

    adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti

    reverse transcriptase(RT) danprotease. Inhibitor RT ini terdiri dari

    inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan

    nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari

    beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor

    (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor(NNRTI),protease

    inhibitor(PI) (Gatell, 2010).

    Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog

    nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse

    transkriptaseselama proses transkripsi RNA virus pada DNA host. AnalogNRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian

    secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai

    DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan

    berikatan langsung dengan enzim reversetranskriptase dan

    menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain

    Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine

    (ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang

    termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP),

    Delavirdine (Elzi et al., 2010).

    Protese Inhibitor(PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV.

    Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnyaprotease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein

    fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan

    sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius

    terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV),

    Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir

    (LPV) and Saquinavir (SQV) (Maggiolo, 2009).

    Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua

    obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini

    mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain

    dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya.

    Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapilini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida

    atau nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI)

    merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua.

    Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk

    dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini

    pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI

    apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen

    obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2. (Kitahata et

    al. 2009).

  • 5/22/2018 Penatalaksanaan HIV

    2/3

    Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan

    dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh

    akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai

    perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan

    atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi

    apabila terjadi penurunan jumlah CD4+. Selain itu terjadinya toksisitasterkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,

    sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat

    dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisikpasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam

    kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo, 2009).

    Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan

    kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu

    keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini

    ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART

    dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang

    semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengangangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi

    dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Apabila

    terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama

    dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk

    mengganti terapi (Maggiolo, 2009)

    1. b. Terapi Infeksi OpportunistikInfeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas

    AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik

    disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari

    mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehinggajenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita

    (Paterson et al., 2000).

    Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis

    dimana pneumonia karenaP.cariniimerupakan infeksi oportunistik

    tersering, diikuti oleh infeksiM tuberculosis, pneumonia bakterial dan

    jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.Alasan terpenting

    mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah

    konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-

    bahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga

    terjadi paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang

    melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat

    infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama

    serta bisa terjadi pada semua s tadium dengan berbagai manifestasi (Paterson

    et al.,2000).

    Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang

    terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di

    rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator

    (sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis

    tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang

    berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi

    dengan antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia

    yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35),

    memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam)

    belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki

    prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikankotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif

    terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua)

    dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-

    sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus

    primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus leucovorin (Harris dan Bolus,

    2008).

    Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada

    infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11%

    penderita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir

    tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia

    mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko kematiansebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan

    derajat beratnya imunosupresi yang terjadi (Gatell, 2010).

    Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan

    tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus

    memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada.

    Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka kekambuhan

    pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6

    bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus, 2008).

  • 5/22/2018 Penatalaksanaan HIV

    3/3

    Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin

    karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450

    yang memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI

    dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat

    incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease

    inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistemenzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.

    Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi

    penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutikyang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.

    Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat

    sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.

    Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan

    terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga

    pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan (Gatell,

    2010).

    Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yangpaling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang

    disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di

    daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga

    mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna

    hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual.

    Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital;

    limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma

    serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang

    sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Seperti halnya keganasan lain,

    tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan

    besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah

    dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup,sehingga lama terapi sulit ditentukan (Sheng Wu et al., 2008).

    Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan

    sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B

    yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan

    dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita.Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan

    perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut

    dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah

    sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga

    kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan

    khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen

    yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu

    mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang

    jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan

    kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkenabahan/sampah penderita (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).