penatalaksanaan hiv
DESCRIPTION
TX HIVTRANSCRIPT
-
5/22/2018 Penatalaksanaan HIV
1/3
Penatalaksanaan HIV/AIDS
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV), pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi
opportunistik menyertai infeksi HIV/AIDS dan pengobatan suportif(Bertozzi et al.,2006).
1. a. Terapi antiretroviral (ARV)Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat
antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus
(viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi. Waktu memulai
terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat ARV akan
diberikan dalam jangka panjang. ARV dapat diberikan apabila infeksi HIV
telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan dibuktikan secara
laboratories (Hammer et al., 2008).
Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang telah menunjukkan
gejala yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan
gejala yang sangat berat tanpa melihat jumlah CD4+. Obat ini juga
direkomendasikan pada pasien asimptomatik dengan jumlah limfosit CD4
kurang dari 200 sel/mm3. Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-
350 sel/mm3 dapatditawarkan untuk memulai terapi. Pada pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load
lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun dapat pula
ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan jumlah
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000
kopi/ml (Dolin, 2008).
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat
ARV yang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini
adalah inhibitor dari enzim yang diperlukan untuk replikasi virus seperti
reverse transcriptase(RT) danprotease. Inhibitor RT ini terdiri dari
inhibitor dengan senyawa dasar nukleosid (nucleoside-based inhibitor) dan
nonnukleosid (nonnucleoside-based inhibitor). Obat ARV terdiri dari
beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor(NNRTI),protease
inhibitor(PI) (Gatell, 2010).
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor atau NRTI merupakan analog
nukleosida. Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reverse
transkriptaseselama proses transkripsi RNA virus pada DNA host. AnalogNRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian
secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai
DNA virus akan mengalami terminasi sedangkan analog NNRTI akan
berikatan langsung dengan enzim reversetranskriptase dan
menginaktifkannya. Obat yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain
Abacavir (ABC), Zidovudine (AZT), Emtricitabine (FTC), Didanosine
(ddI), Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir. Obat yang
termasuk NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP),
Delavirdine (Elzi et al., 2010).
Protese Inhibitor(PI) bekerja dengan cara menghambat protease HIV.
Setelah sintesis mRNA dan poliprotein HIV terjadi, tahap selanjutnyaprotease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein
fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan
sel pejamu masih terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius
terhadap sel. Yang termasuk golongan PI antara lain Ritonavir (RTV),
Atazanavir (ATV), Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir
(LPV) and Saquinavir (SQV) (Maggiolo, 2009).
Terapi lini pertama yang direkomendasikan WHO adalah kombinasi dua
obat golongan NRTI dengan satu obat golongan NNRTI. Kombinasi ini
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain
dan membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya.
Analog thiacytadine (3 TC atau FTC) merupakan obat pilihan dalam terapilini pertama. 3 TC atau FTC dapat dikombinasi dengan analog nukleosida
atau nukleotida seperti AZT, TDF, ABC atau d4T. Didanosine (ddI)
merupakan analog adenosine direkomendasikan untuk terapi lini kedua.
Obat golongan NNRTI, baik EFV atau NVP dapat dipilih untuk
dikombanasikan dengan obat NRTI sebagai terapi lini pertama. Terapi lini
pertama dapat juga dengan mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI
apabila obat golongan NNRTI sulit untuk diperoleh. Pemilihan regimen
obat ARV sebagai lini pertama dapat dilihat pada gambar 2.7.2. (Kitahata et
al. 2009).
-
5/22/2018 Penatalaksanaan HIV
2/3
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan
dapat digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh
akibat HIV. Kegagalan terapi dapat dilihat secara klinis dengan menilai
perkembangan penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4+ dan
atau secara virologi dengan mengukur viral-load. Kegagalan terapi terjadi
apabila terjadi penurunan jumlah CD4+. Selain itu terjadinya toksisitasterkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari obat,
sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat
dipantau secara klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisikpasien, atau dari hasil pemeriksaan laboratorium, tergantung dari macam
kombinasi obat yang dipakai (Maggiolo, 2009).
Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom pemulihan
kekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu
keadaan yang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini
ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART
dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap infeksi oportunistik yang
semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama pada pasien dengangangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi imunologi
dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik. Apabila
terjadi penurunan jumlah CD4+ dalam masa pengobatan terapi lini pertama
dan didapat tanda terjadinya toksisitas dapat dipertimbangkan untuk
mengganti terapi (Maggiolo, 2009)
1. b. Terapi Infeksi OpportunistikInfeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas
AIDS, dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik
disesuaikan dengan infeksi-infeksi yang sebetulnya berasal dari
mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita, sehinggajenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita
(Paterson et al., 2000).
Hampir 65% penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis
dimana pneumonia karenaP.cariniimerupakan infeksi oportunistik
tersering, diikuti oleh infeksiM tuberculosis, pneumonia bakterial dan
jamur, sedangkan pneumonia viral lebih jarang terjadi.Alasan terpenting
mengapa sering terjadi komplikasi pulmonologis pada infeksi HIV adalah
konsekuensi anatomis paru sehingga terpapar secara kronis terhadap bahan-
bahan infeksius maupun noninfeksius dari luar (eksogen), di sisi lain juga
terjadi paparan secara hematogen terhadap virus HIV (endogen) yang
melemahkan sistem imun. Komplikasi pulmonologis, terutama akibat
infeksi oportunistik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama
serta bisa terjadi pada semua s tadium dengan berbagai manifestasi (Paterson
et al.,2000).
Manajemen PCP tergantung dari derajat berat-ringannya pneumonia yang
terjadi. Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita harus di
rawat di rumah sakit karena mungkin memerlukan bantuan ventilator
(sekitar 40% kasus). Obat pilihan adalah kotrimoksazol intravena dosis
tinggi. Terapi antibiotika ini diberikan selama 21 hari. Penderita yang
berespon baik dengan antibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi
dengan antibiotika per oral untuk jika sudah memungkinkan. Hipoksemia
yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg atau gradien arterial-alveoler > 35),
memerlukan kortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam 72 jam)
belum terapi antibiotika untuk menekan risiko komplikasi dan memperbaiki
prognosis.16,18 Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikankotrimoksazol oral dengan dosis 2 x 960 mg selama 21 hari. Alternatif
terapi lainnya untuk PCP berat adalah pentamidin intravena (pilihan kedua)
dan klindamisin plus primakuin (pilihan ketiga), sedangkan PCP ringan-
sedang dapat diberikan dapsone plus trimetoprim, klindamisin plus
primakuin, atovaquone atau trimetrexate plus leucovorin (Harris dan Bolus,
2008).
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakan problem penting pada
infeksi HIV/AIDS dan menjadi penyebab kematian pada sekitar 11%
penderita. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada akhir
tahun 2000 kira-kira 11,5 juta orang penderita infeksi HIV di dunia
mengalami ko-infeksi M. tuberculosis dan meningkatkan risiko kematiansebesar 2 kali lipat dibandingkan tanpa tuberkulosis, dan seiring dengan
derajat beratnya imunosupresi yang terjadi (Gatell, 2010).
Penatalaksanaan TB paru dengan infeksi HIV pada dasarnya sama dengan
tanpa infeksi HIV. Saat pemberian obat pada koinfeksi TBC-HIV harus
memperhatikan jumlah CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada.
Namun pada beberapa atudi mendapatkan tingginya angka kekambuhan
pada penderita yang menerima Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama 6
bulan dibandingkan dengan 9-12 bulan (Harris dan Bolus, 2008).
-
5/22/2018 Penatalaksanaan HIV
3/3
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT, terutama rifampicin
karena rangsangannya terhadap aktivitas sistem enzim liver sitokrom P450
yang memetabolisme PI dan NNRTI, sehingga terjadi penurunan kadar PI
dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutik yang berakibat
incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat. Protease
inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat sistemenzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.
Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya sehingga terjadi
penurunan kadar PI dan NNRTI dalam darah sampai kadar sub-terapeutikyang berakibat incomplete viral suppresion dan timbulnya resistensi obat.
Protease inhibitor dan NNRTI dapat pula mempertinggi atau menghambat
sistem enzim ini dan berakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.
Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan
terapi tuberkulosis serta meningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga
pemakaian bersama obat-obat tersebut tidak direkomendasikan (Gatell,
2010).
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yangpaling sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang
disebabkan oleh Cytomegalovirus ini ditandai dengan lesi-lesi tersebar di
daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan bawah, muka dan rongga
mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul, berwarna
hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontak seksual.
Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital;
limfoma terutama neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma
serta nevus displastik dan melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang
sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Seperti halnya keganasan lain,
tetapi sarkoma Kaposi akan lebih efektif bila dalam keadaan baru dan
besarnya terbatas. Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon telah
dicoba, yang sebenarnya lebih ditujukan untuk memperpanjang masa hidup,sehingga lama terapi sulit ditentukan (Sheng Wu et al., 2008).
Dalam keadaan tidak dapat mengurus dirinya sendiri atau dikhawatirkan
sangat menular, sebaiknya penderita dirawat di Rumah Sakit tipe A atau B
yang mempunyai berbagai disiplin keahlian dan fasilitas ICU. Perawatan
dilakukan di Unit sesuai dengan gejala klinis yang menonjol pada penderita.Harapan untuk sembuh memang sulit, sehingga perlu perawatan dan
perhatian penuh, termasuk memberikan dukungan moral sehingga rasa takut
dan frustrasi penderita dapat dikurangi. Guna mencegah penularan di rumah
sakit terhadap penderita lain yang dirawat maupun terhadap tenaga
kesehatan dan keluarga penderita, perlu diberikan penjelasan-penjelasan
khusus. Perawatan khusus diperuntukkan dalam hal perlakuan spesimen
yang potensial sebagai sumber penularan. Petugas yang merawat perlu
mempergunakan alat-alat pelindung seperti masker, sarung tangan, yang
jasa pelindung, pelindung mata, melindungi kulit terluka dari kemungkinan
kontak dengan cairan tubuh penderita dan mencegah supaya tidak terkenabahan/sampah penderita (Martin-Carbonero and Soriano, 2010).