pemenuhan unsur “tipu muslihat” dalam tindak pidana sesuai
TRANSCRIPT
Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai Pasal 378 KUHP dengan Cara Hipnotis
Annisa Nur Fitriyanti dan Theodora Yuni Shah Putri
1. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424,Indonesia
2. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424,Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Awal tahun 2000, kasus penipuan dengan menggunakan hipnotis mulai marak bermunculan. Biasanya, dalam kondisi “tidak sadar”, korban harus kehilangan barang berharga setelah sebelumnya berinteraksi dengan pelaku baik sekadar berkomunikasi ataupun bersentuhan langsung. Selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat. Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak memiliki daya untuk melawan. Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita, kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal 378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai Pasal 378 KUHP.
The Fulfillment of Knavery Element in Criminal Offence Based on Article Number 378 of Indonesian Penal Code with Hypnotic Method
Abstract
In the beginning of year 2000, fraud cases which used hypnotic as its method were starting to emerge. Often, in the state of “unconsciousness”, the victims had to lost precious possessions after interracting with the perpetrators, whether it’s only by communicating or direct contact. Aside from being used in medical treatment, hypnotic practices had also been claimed as one of the means to do crime. Victims of fraud cases often claimed that they were being hypnotized to the point that they couldn’t fight back. But then, arise questions whether the use of hypnotic practice as a mean to do crimes is one of the offences regulated in Indonesian Penal Code or not. Many investigators from police force used the fraud article in Indonesian Penal Code to ensnare the perpetrators, that is Article 378 of Indonesian Penal Code with reasoning that hypnotic practices can be categorized as knavery, according to Article 378 of Indonesian Penal Code. Keywords: hypnotic, fraud, knavery
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
Pendahuluan Kasus kejahatan menggunakan “hipnotis” menjadi lebih sering terjadi pada awal tahun
2000 dan hingga kini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang frekuensinya cukup tinggi.
Hipnotis dianggap sebagai sarana untuk melakukan kejahatan yang marak dilakukan oleh
pelaku kejahatan di masyarakat beberapa tahun belakangan.
Kejahatan dengan hipnotis seperti banyak jenis kejahatan lainnya ternyata juga
mengalami perkembangan. Cara yang dipakai para pelaku tidak lagi dibatasi hanya dengan
memandang mata calon korban. Tapi sudah lebih banyak dengan mempengaruhi pikiran lewat
dialog, walau sesekali masih dibarengi dengan cara menepuk pundak sang calon korban.
Taktiknya pun kian beragam, mulai dengan berpura-pura menanyakan sesuatu hingga menjadi
seseorang yang bisa mengobati suatu penyakit sebagai sarana mempengaruhi targetnya
dengan sihir yang dapat membuyarkan konsentrasi pikiran atau melemahkan logika. Korban
yang diincar biasanya adalah orang yang sedang berjalan sendirian ditengah keramaian,
kemudian diikuti dari belakang dan setelah sampai pada waktu dan tempat yang dianggap
tepat, pelaku pun mendekati korban. Dalam kondisi dibawah sadar setelah dikenai hipnotis,
korban kemudian menurut saja apa kata pelaku. Tidak jarang korban yang terkena hipnotis
kemudian mendapati dirinya berada di tempat asing dan kehilangan uang, perhiasan atau
kartu ATM lengkap bersama nomor PIN-nya.
Hipnosis atau hypnosis menurut Encyclopaedia Britannica adalah suatu keadaan
psikologis spesial dengan sifat fisiologis tertentu, yang menyerupai namun tidak benar-benar
seperti tidur dan ditandai oleh fungsi individual pada alternate state of consciousness.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnosis (hip·no·sis) adalah keadaan seperti tidur
karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada dibawah pengaruh orang yang
memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Sedangkan hipnotis (hip·no·tis) adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam
keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis. Jika dilihat dari definisi yang digunakan dalam
Encyclopaedia Britannica dan KBBI tersebut, maka hipnosis adalah suatu keadaan psikologis
dimana seseorang menjadi berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugesti pada
dirinya dan pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Dalam buku Psychology in Action oleh Huffman dan Williams Vernoy, hipnosis
dipercaya sebagai suatu alternate state of consciousness yang ditandai dengan satu atau
beberapa hal yaitu: (1) tingkat sugestibilitas yang meningkat (bertambahnya kesediaan untuk
menanggapi perubahan yang diusulkan dalam hal persepsi—misalnya “bawang ini adalah
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
sebuah apel”); (2) mempersempit dan memfokuskan perhatian (subyek dapat menghilangkan
rangsangan sensor yang tidak diperlukan); (3) penggunaan imajinasi dan halusinasi yang
mudah (dalam kasus halusinasi visual, subyek dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak
ada atau tidak melihat sesuatu yang sebenarnya ada); (4) sebuah sikap pasif dan menerima;
dan (5) berkurangnya respon terhadap rasa sakit. Dari penjelasan diatas, hipnosis adalah
istilah untuk keadaan dimana seseorang berada dibawah pengaruh hipnotis, sedangkan
hipnotis adalah perbuatan dimana seseorang dibuat agar berada di dalam keadaan sadar yang
berbeda dengan tingkat kesadaran biasa.
Umumnya aplikasi hipnotis dalam praktek dokter atau dunia kesehatan adalah untuk
manajemen nyeri, untuk menenangkan pasien yang cemas dan takut, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, memotivasi dan mengembangkan semangat hidup pasien, dan membantu
pasien untuk mengatasi perilaku buruk dan negatif. Misalnya, terapi hipnotis digunakan untuk
mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Beberapa kebiasaan buruk yang
bisa dihilangkan dengan hipnotis adalah merokok, kecanduan alkohol dan obat-obatan.
Namun dalam perkembangannya, selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata
juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat.
Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan
dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak
memiliki daya untuk melawan. Ada pula kasus dimana seseorang dihipnotis untuk melakukan
suatu tindak pidana. Kasusnya pun terjadi di berbagai daerah, mulai dari ibukota hingga kota-
kota kecil. Modusnya yang beragam membuat masyarakat awam terkadang sulit untuk
mencegahnya. Namun tertangkapnya sejumlah pelaku kejahatan penipuan dengan hipnotis
telah membuktikan bahwa kejahatan jenis ini dapat diberantas. Walaupun seperti diakui pihak
kepolisian, perlu kerja keras dan kesadaran pihak korban untuk melaporkan peristiwanya. Hal
ini karena terkadang korban penipuan merasa malu akan peristiwa yang menimpanya dan
enggan untuk melaporkannya ke polisi.
Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam
melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita,
kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal
378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai
Pasal 378 KUHP. Di Purwodadi, seorang wanita bernama Sutiyem mengalami penipuan
seperti ini dan mengaku dikenai hipnotis oleh pelaku yang bernama Rohmat. Sutiyem sedang
menyusuri lorong rumah sakit untuk menjenguk tetangganya yang sedang dirawat ketika
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
Rohmat dan Siswanto mendekatinya. Sutiyem kemudian sukses dibuat untuk menyerahkan
perhiasan serta dompet yang dibawanya. Rohmat kemudian dikenakan hukuman penjara
selama 8 bulan karena terbukti melakukan penipuan dengan tipu muslihat sebagai sarananya.
Hal ini sesuai dengan apa yang dipaparkan di dalam Putusan Nomor 91/Pid.B/2013/PN.Pwi.
Selain kasus yang terjadi di Purwodadi, ada pula kasus yang terjadi pada Sun Yun dan
Fu Chemi, dua warga negara Cina, serta rekannya Meliana dan Veronica yang dihukum 3
bulan 15 hari penjara oleh Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Medan. Majelis Hakim
menyatakan keempatnya bersalah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan cara
tipu muslihat. Unsur hipnotis disamakan dengan tipu muslihat dimana pelaku melakukan tipu
muslihat agar korbannya mau menyerahkan barang yang sebagian atau seluruhnya adalah
miliknya.
Adapun kerangka konsepsional dari penelitian ini adalah :
1. Keadaan Hipnosis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnosis (hip•no•sis) adalah keadaan seperti
tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada dibawah pengaruh orang
yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama
sekali.
2. Hipnosis
Hipnotis (hip•no•tis) adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam
keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis.
3. Membujuk atau Menggerakkan Orang untuk Menyerahkan Barang menurut Pasal
378 KUHP
Sebenarnya lebih tepat jika dipergunakan istilah menggerakkan daripada istilah
membujuk, untuk melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan (levering) dalam
pengertian hukum perdata. Dalam perbuatan menggerakkan orang untuk menyerahkan
harus disyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan
barang dan sebagainya. Penyerahan suatu barang yang telah terjadi sebagai akibat
penggunaan alat penggerak/pembujuk itu belum cukup terbukti tanpa mengemukakan
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakan alat-alat penggerak/pembujuk
itu. Alat-alat itu pertama-tama harus menimbulkan dorongan di dalam jiwa seseorang
untuk menyerahkan sesuatu barang. Psikis dari korban terpengaruhi karena adanya
penggunaan alat pembujuk/penggerak sedemikian rupa, hingga orang itu melakukan
penyerahan barang itu. Tanpa penggunaan alat atau cara itu, korban tidak akan tergerak
psikisnya dan penyerahan sesuatu tidak akan terjadi. Penggunaan cara-cara atau alat-alat
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
penggerak itu menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang
normal, hingga orang itu terperdaya karenanya.
4. Tipu Muslihat menurut Pasal 378 KUHP
Yang dimaksudkan dengan tipu muslihat disini bukanlah terdiri dari kata-kata, melainkan
terdiri dari perbuatan-perbuatan yang demikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan itu
menimbulkan suatu kepercayaan pada orang lain atau dengan perkataan lain, bahwa pada
orang yang digerakkan itu timbul kesan yang sesuai dengan kebenaran yang sah dan
benar.
5. Memaksa Orang untuk Menyerahkan Barang
Seseorang melakukan penyerahan barang, penyerahan barang mana merupakan akibat
dipaksa dengan kekerasan. Dapat diperkirakan, bahwa seseorang yang dipaksa untuk
menyerahkan sesuatu barang, tidak akan memenuhinya tanpa dipergunakan alat-alat
paksa. Dengan demikian, hubungan kausal antara penyerahan barang dan kekerasan
dinyatakan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, dan untuk perbuatan memaksa
diperlukan alat paksa yaitu kekerasan atau ancaman kekerasan. Sebagai perluasan dari
pengertian kekerasan ditetapkan oleh Pasal 89, bahwa perbuatan yang mengakibatkan
orang pingsan, atau tidak sadarkan diri dan perbuatan yang menimbulkan orang tidak
berdaya lagi termasuk perbuatan kekerasan. Kekerasan itu harus ditujukan kepada
seseorang. Seseorang ini tidak perlu para pemilik barang, misalnya pelayan rumah, yang
menjaga rumah.
Sedangkan untuk metode penelitian, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis
normatif didasarkan pada hukum positif dan norma tertulis. Jenis data yang digunakan adalah
jenis data sekunder yang didapat dari bahan-bahan kepustakaan serta putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai bahan hukum yang digunakan, penulis
menggunakan tiga macam bahan hukum yang ada yaitu bahan hukum primer berupa
peraturan perundang-undangan. Kemudian untuk memunjang bahan primer tersebut akan
penulis gunakan bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap,
buku-buku, artikel-artikel dari internet dan skripsi, tesis serta jurnal. Kemudian untuk bahan
tersier untuk menunjang kedua bahan tersebut penulis akan menggunakan kamus.
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara. Studi
dokumen akan dilakukan dengan menelusuri bahan pustaka serta analisis putusan terkait
materi penelitian. Wawancara terhadap penegak hukum yaitu anggota kepolisian, hakim dan
jaksa dilakukan penulis agar penulis dapat mendapatkan perspektif penegak hukum terkait
penerapan hukum positif terhadap delik terhadap kekayaan yang menggunakan hipnotis
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
sebagai modus operandi. Sedangkan wawancara terhadap ahli psikologi dilakukan untuk
mengetahui apakah definisi hipnotis secara psikologis dan apakah hipnotis dapat digolongkan
sebagai tipu muslihat berdasarkan definisi tersebut.
Pembahasan
Penipuan adalah suatu perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP, dari segi
bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tipu berarti perbuatan atau perkataan yang
tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,
atau mencari untung; kecoh: --dibalas dengan--; --daya.Dengan demikian maka berarti bahwa
yang terlibat dalam penipuan adalah dua pihak yaitu orang menipu disebut dengan penipu
dan orang yang tertipu.
Kejahatan penipuan di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 Undang-
Undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hak, mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan
tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan
suatu piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya empat tahun.”
Kejahatan penipuan atau bedrog diatur di dalam Buku ke II Bab ke XXV Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dari Pasal 378 sampai dengan Pasal 395. Di dalam Bab ke
XXV tersebut dipergunakan perkataan “penipuan” atau “bedrog” karena sesungguhnya di
dalam Bab tersebut diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta-benda,
dalam mana oleh si pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau
dipergunakan tipu muslihat. Kata Penipuan mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu:
a. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab
XXV KUHP;
b. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang dirumuskan dalam
pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa
disebut dengan oplichting.
Sedangkan R. Sugandhi (1980 : 396-397) mengemukakan pengertian penipuan
sebagai berikut :
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
“Penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan
tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang
tersusun demikian rupa yang merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar”.
Menurut pengertian penipuan sesuai pendapat tersebut di atas tampak jelas bahwa
yang dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong
sehingga seseorang merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar. Biasanya
seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang seolah-olah betul
atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak sesuai dengan kenyataannya,
karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang yang menjadi sasaran agar diakui
keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang bersangkutan tidak diketahui
identitasnya, begitu pula dengan menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan
perkataannya.
Adapun menurut Dading unsur-unsur dari tindak pidana penipuan menurut Pasal 378
KUHP adalah sebagai berikut :
A. Objektif :
1. membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/penggerak:
1.a. memakai nama palsu;
1.b. memakai keadaan palsu;
1.c. rangkaian kata-kata bohong;
1.d. tipu muslihat;
2. agar :
2.a. menyerahkan suatu barang;
2.b. membuat hutang;
2.c. menghapus piutang;
B. Subjektif : dengan maksud :
1. menguntungkan diri sendiri atau orang lain,
2. dengan melawan hukum
Tipu muslihat bukan hanya terdiri dari kata-kata, melainkan juga perbuatan-perbuatan
yang dirancang sedemikian rupa, sehingga rangkaian kata-kata yang diiringi perbuatan-
perbuatan itu menimbulkan suatu kepercayaan pada orang lain, atau pada orang yang
digerakkan itu timbul kesan yang sesuai dengan kebenaran yang sah dan benar. Perbedaan
antara tipu muslihat dengan rangkaian kebohongan terletak pada ada atau tidaknya perbuatan
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
yang mengiringi rangkaian kata-kata si pelaku. Apabila rangkaian kata-kata tersebut diikuti
oleh satu saja perbuatan, maka unsur tipu muslihat telah terpenuhi.
Terdapat persamaan antara penipuan, pemerasan dan pengancaman, yaitu akibat.
Akibat yang dituju dari ketiga perbuatan ini adalah sama, yaitu agar si korban menyerahkan
suatu barang atau membuat utang atau menghapuskan suatu piutang. Perbedaannya adalah
pada cara yang dipergunakan oleh si pelaku, yaitu mempergunakan kekerasan atau
pengancaman dengan kekerasan pada pemerasan, pengancaman dengan penistaan atau
pembukaan rahasia pada pengancaman, mempergunakan nama atau kedudukan palsu atau
perbuatan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan pada penipuan.
Perbedaan lainnya adalah bahwa pada pemerasan dan pengancaman ada unsur
paksaan, dan pada penipuan ada unsur pembohongan. Keduanya untuk menggerakkan korban
agar berbuat sesuatu. Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana pemerasan
menyebabkan tindak pidana ini dihukum lebih berat, yaitu dengan maksimum hukuman
penjara sembilan tahun, sedangkan tindak pidana pengancaman dan penipuan hanya diancam
dengan maksimum hukuman empat tahun penjara.
Perbedaan yang jelas antara pencurian, penggelapan dan penipuan terdapat di cara
perolehan barang. Jika di dalam pencurian pelaku aktif untuk mendapatkan barang atau
dengan kata lain melakukan penguasaan dengan tangannya sendiri (unsur “mengambil”),
maka di dalam penggelapan dan penipuan, pelakulah yang diserahi barang oleh korban atau
pemilik dari barang atau sebagian barang tersebut (unsur “memiliki barang sesuatu bukan
karena kejahatan” dan “menggerakkan untuk menyerahkan barang”).
Hipnotis dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi sosial dimana seseorang (subjek)
merespons terhadap sugesti yang diberikan oleh orang lain (ahli hipnotis) untuk pengalaman
yang melibatkan perubahan sudut pandang, ingatan dan tindakan sukarela. Pada kasus klasik,
pengalaman dan perilaku penyertanya itu disertai dengan keyakinan subjektif dan
kesukarelaan yang menyerupai keharusan.
Semua hipnotis adalah hipnotis yang dilakukan dan dikenakan terhadap diri sendiri
(self-hypnosis). Tidak ada seorangpun yang dapat dibujuk ke dalam keadaan hipnosis tanpa
kemauan mereka dan ahli hipnotis tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol pikiran
orang lain; mereka hanya dapat menunjukkan cara bagi sebuah pikiran masuk ke dalam
keadaan sangat rileks. Dibawah hipnotis, seseorang tidak dapat mengatakan atau melakukan
hal yang tidak mereka percayai.
Menurut pendekatan sosio-kognitif, suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan
terhipnotis, bukanlah sesuatu yang terjadi di luar kemauan si subyek, akan tetapi sesuatu yang
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
“memiliki tujuan, aksi yang diarahkan oleh suatu tujuan yang dapat dipahami dalam istilah
bagaimana subyek meninterpretasikan keadaan mereka dan bagaimana mereka mencoba
untuk menghadirkan diri mereka melalui tindakan mereka.”
Dari penjelasan diatas, kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu bahwa
seseorang yang menjadi subyek terhadap suatu kegiatan hipnotis, haruslah memiliki
pengetahuan bahwa mereka berada dibawah pengaruh hipnotis, untuk sugesti dari hipnotis
agar dapat bekerja, karena sifat hipnotis yang dua arah. Hipnotis bukanlah ilmu untuk
menguasai pikiran manusia.
Dalam kondisi hipnosis yang paling dalam sekalipun sesorang masih bisa menolak
sugesti yang diberikan, meski tidak dipungkiri sebenarnya sugesti tersebut sangatlah kuat
pengaruhnya. Berbagai kasus yang mengatasnamakan kejahatan hipnotis semuanya terungkap
hanyalah sebagai penipuan biasa atau pembiusan. Korban yang tidak sadar saat kejadian
menandakan bahwa Ia sebenarnya dibius karena hipnosis bukan berarti tidak sadar. Lantas
kenapa banyak laporan kejahatan yang mengatasnamakan hipnotis. Latar belakang mereka
tentu saja karena mereka tidak tahu apa dan bagaimana itu hipnotis. Selain itu anggapan
bahwa dengan dihipnotis seseorang bisa dikuasai oleh orang lain, sehingga banyak yang
melapor bahwa mereka telah dihipnotis padahal hanya penipuan biasa agar mendapat empati
dari orang lain dan tidak terkesan bodoh telah ditipu.
Hubungan hipnotis dengan kejahatan diantaranya dilihat dari penggunaannya dalam
ruang lingkup hukum dan penggunaannya dalam tindak pidana. Dalam ruang lingkup hukum
Amerika Serikat, hipnotis yang dilakukan oleh seorang ahli bersertifikat dapat digunakan
sebagai salah satu sarana untuk mengungkapkan informasi dalam proses penyidikan. Namun
penggunaannya di dalam suatu persidangan merupakan suatu hal yang masih diperdebatkan
oleh kalangan hakim.
Hipnotis terhadap seorang saksi seharusnya tidak perlu dilakukan kecuali jika memang
ada kebutuhan yang jelas atau mendesak terhadap informasi tambahan, dan bahwa hipnotis
dapat bermanfaat dalam membantu saksi untuk mengingat informasi tersebut (misalnya dalam
kasus perkosaan dimana korban menderita trauma berat sehingga jika korban diwawancarai
secara biasa akan memicu trauma). Seorang saksi tidak boleh dihipnotis kecuali dia tekah
memberikan izin secara tertulis (bahwa dirinya bersedia untuk dihipnotis demi kepentingan
proses hukum), dan saksi harus selalu diberikan penjelasan mengenai sifat dan efek hipnotis
sebelum dia dihipnotis.
Hanya seorang psikolog atau psikiater yang telah terlatih di bidang hipnotis forensik
yang diperbolehkan untuk melakukan hipnotis terhadap seorang saksi. Dalam proses
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
pemeriksaan, pertanyaan yang menjurus harus dihindari untuk menjamin kemungkinan
sugesti yang tidak pantas (yang merugikan terdakwa) atas jawaban dari saksi.
Sedangkan di Indonesia, penggunaan hipnotis di tahap penyidikan dapat digunakan
jika memang penyidik mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi, namun sifat dari
informasi yang didapatkan di bawah hipnotis ini hanya dapat dijadikan panduan dan tidak
akan memiliki kekuatan hukum. Penggunaan hipnotis ini dapat diterapkan di tahap
penyelidikan, jika memang penyelidik memiliki kesulitan untuk mengungkap apa yang
sebenarnya terjadi. Dapat juga hasilnya digunakan sebagai petunjuk untuk mengumpulkan
bukti, namun tidak akan memiliki kekuatan hukum di mata pengadilan jika dimasukkan ke
dalam BAP. Misalnya seorang korban perkosaan mengalami trauma sebagai akibat dari
perkosaan yang dilakukan oleh pelaku, akan tetapi mengalami kesulitan apabila diperiksa
secara sadar untuk memberitahukan siapa pelakunya dan bagaimana kronologi kejadiannya
karena akan memicu trauma untuk muncul. Ahli hipnotis yang memiliki kompetensi dapat
dihadirkan untuk memberikan hipnotis atas korban, dan keterangan hasil ini dapat dijadikan
panduan bersama dengan bukti lain untuk menentukan pelaku dan kronologi kejadian.
Penggunaan hipnotis terhadap terdakwa akan bertentangan dengan asas non self-
incrimination karena bisa saja dalam proses pemberian keterangan di bawah hipnotis, pelaku
mengakui kejahatannya. Jika terjadi hal seperti itu, tentunya keterangan ini tidak dapat
digunakan, kecuali jika detail-detail lain yang tidak bersifat menjerat terdakwa dapat
didapatkan lewat cara ini untuk memperlancar proses pengumpulan bukti lain.
Terkait penggunaan hipnotis dalam tindak pidana, perlu diingat bahwa :
1. Seseorang tidak dapat dihipnotis bertentangan dengan keinginannya. Tidak dapat pula
mereka dibuat untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan.
2. Meskipun kita tidak dapat menghipnotis seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kepercayaan dasar mereka, kita mungkin bisa mengubah
kepercayaan-kepercayaan tersebut dan mempengaruhi perilaku/perbuatan subjek
karena kepercayaan-kepercayaan (yang telah diubah tersebut).
3. Hipnotis tidaklah berbahaya, namun orang yang dapat melakukan hipnotis bisa
menjadi orang yang berbahaya
Menggunakan trik yang didukung oleh imajinasi korban, seorang pelaku dapat dengan
perlahan dan sistematis mempengaruhi seorang korban. Akan tetapi keadaan korban yang
terpengaruh nantinya bukanlah merupakan suatu hasil dari proses hipnotis. Perbedaan tipu
muslihat dan hipnotis terlihat jelas dari tujuannya. Tipu muslihat bertujuan untuk menguasai
suatu barang dengan melawan hukum, sedangkan dalam lingkup psikologi, tujuan hipnotis
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
yang utama adalah sebagai suatu sarana terapi. Dalam lingkup hukum, dapat digunakan
sebagai alat untuk memperoleh informasi dalam proses penyidikan.
Tipu muslihat adalah rangkaian kata-kata yang diikuti dengan satu perbuatan atau
lebih, agar orang yang dikenai tipu muslihat mempercayai pelaku dan menyerahkan barang
dalam kondisi sadar sepenuhnya dengan memanfaatkan keadaan panik sesaat yang dialami
korban. Sedangkan orang yang dikenai hipnotis dibuat rileks dan berada dalam kondisi antara
sadar dan tidak sadar (alternate state of consciousness) agar lebih mudah untuk diberikan
sugesti dengan tujuan penyembuhan atau untuk memperoleh informasi yang akan sulit
diperoleh dalam keadaan sadar sepenuhnya.
Seorang pelaku kejahatan yang tidak mengakui kejahatannya ketika dalam keadaan
sadar sepenuhnya, maka upaya hipnotis terhadapnya pun akan sia-sia, karena seseorang tidak
dapat memaksakan suatu keadaan pikiran yang berbeda atas orang lain, kecuali orang tersebut
menghendakinya. Upaya hipnotis tidak akan bekerja pada otak yang tidak menginginkan efek
yang dihasilkan, seperti halnya sebuah spons yang dibaluri dengan kloroform dan digunakan
terhadap seseorang untuk membuat mereka tidak sadar tidak akan bekerja. Pada akhirnya,
apabila memang benar hipnotis dapat dipaksakan terhadap seseorang, maka tanpa perlu
dipertanyakan lagi dari segi moral dan hukum bahwa tidak akan ada pengadilan yang akan
menerima bukti yang didapatkan dengan cara paksa seperti itu.
Kemudian muncul suatu hal yang perlu lebih banyak perhatian, yaitu bagaimana
apabila seorang kriminal menghipnotis orang untuk kepentingan kejahatannya. Disini muncul
pula kesalahpahaman serupa; suatu ketakutan yang tidak jelas terhadap seseorang dengan
kekuatan untuk “melumpuhkan” keinginan korbannya. Seorang kriminal masuk ke dalam
suatu ruangan, dan ketika dia melihat ke arah korbannya, maka korbannya seketika berada
dalam keadaan tanpa daya; korban memberikan perhiasan dan kunci pada brankas milik
korban dan si pelaku kejahatan merampasnya dengan lembut tanpa korban mampu berbuat
apapun selain tersenyum, dan tidak akan mampu mengangkat tangannya sekalipun. Tentu
saja, siapa saja yang mau menggunakan hipnotis, haruslah mempelajari tekniknya terlebih
dahulu dan menerapkannya dengan kesabaran dan keahlian yang memadai; dan bahkan dalam
prakteknya pasti ada perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya. Tidak semua orang
dapat dihipnotis secara mendalam; seseorang bisa saja hanya dapat dihipnptis untuk tidak
dapat membuka matanya, sedangkan empat orang lain dapat masuk pada keadaan halusinasi
yang kuat dengan hipnotis. Namun memang pada prinsipnya semua orang dapat
menggunakan hipnotis dan dihipnotis, yang membedakannya adalah seberapa jauh dia dapat
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
memanfaatkan ilmu hipnotis ini dan apakah tingkat sugestibilitas orang yang dihipnotis cukup
tinggi atau tidak.
Namun tetap saja, sekalipun setiap orang dapat mencoba untuk menggunakan hipnotis,
bukan berarti bahwa orang itu dapat melakukannya hanya dengan kontak mata dengan orang
yang baru pertama kali ditemuinya. Pandangan mistis yang berbasis pada takhayul ini
mencapai puncaknya ketika seseorang dianggap dapat mempengaruhi seseorang dari jarak
yang jauh (tidak perlu bertatap muka), tanpa pengetahuan korban bahwa korban berada dalam
suatu pengaruh hipnotis, dan setiap kejahatan yang kejam dapat dilakukan atas alasan itu.
Bahwa seorang penghipnotis yang berada di jarak yang jauh dapat memberikan rasa sakit
pada musuhnya dan menyalahgunakan seseorang yang tidak bersalah sebagai alat untuk
melaksanakan kejahatannya.
Seseorang yang pikirannya tidak sehat akan dengan mudah menganggap bahwa
dorongan aneh yang dialaminya terhadap pikirannya merupakan sesuatu yang dilakukan dari
jarak jauh oleh seseorang. Tentu saja tidak ada alasan untuk menolak bahwa seseorang dapat
masuk dalam kondisi hipnosis bahkan ketika orang yang menghipnotisnya berada di tempat
yang lain. Namun terdapat syarat untuk hal ini, yakni orang yang dihipnotis ini haruslah sudah
pernah dihipnotis oleh si pengguna hipnotis sebelumnya dan bahwa orang yang dihipnotis
menghendaki apa yang disugestikan atasnya. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan
menggunakan pesawat telepon. Pengguna hipnotis mungkin memang memiliki niatan yang
“jahat”, namun hal itu tidak terlepas dari apa yang diimajinasikan oleh orang yang terkena
hipnotis, karena kembali lagi bahwa seseorang tidaklah dapat dihipnotis untuk melakukan
suatu hal yang secara prinsipal ditolak olehnya.
Pengaruh hipnotis lewat media seperti ini memerlukan proses hipnotis yang berulang
sebelumnya untuk dapat mencapai keberhasilan. Dengan demikian, perhatian dan emosi dari
subjek hipnotis adalah hal yang lebih penting dibanding kekuatan hipnotis dari si pengguna
hipnotis. Namun hal ini tentunya tidak mengecualikan kemungkinan bahwa perhatian dan
emosi dari subjek atau korban dapat dikacaukan secara sengaja oleh si pelaku kejahatan,
bahkan dengan tujuan yang keji, tanpa si korban menyadarinya. Dalam cara ini, si pelaku
tidak perlu menunggu hingga korban berada dalam keadaan bahwa dia sadar dirinya telah
berada di bawah pengaruh si pelaku, namun dapat dipengaruhi dengan perlahan dan
sistematik dengan menggunakan ratusan trik yang didukung oleh imajinasi korban. Namun,
hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai hipnotis, karena kondisi terhipnotis penuh tidak
dapat diperoleh dengan cara ini; hal ini bergeser pada kondisi submisi yang ada dalam
kehidupan sosial dalam masyarakat yang normal; ada peningkatan tingkat sugestibilitas untuk
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
melakukan suatu, namun hal ini bukanlah muncul sebagai efek dari proses hipnotis. Inilah
yang kemudian disalahgunakan oleh pelaku kejahatan penipuan.
Sejauh mana suatu kondisi hipnotis penuh berada dalam lingkup tindak pidana
bergantung pada beberapa hal. Pertama satu hal sudah jelas, bahwa seseorang yang dihipnotis
bisa menjadi alat tanpa keinginan mandiri yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk
memenuhi niat jahat dari si pelaku yang menghipnotisnya. Orang yang dihipnotis mungkin
saja menekan pelatuk suatu pistol, mencampurkan racun ke dalam makanan, mencuri dan
memalsukan barang, dan tetap orang yang juga memiliki tanggungjawab, bukan saja yang
melakukan kejahatan tapi orang yang dilindungi dengan adanya sugesti hipnotis yang
dilakukannya pada pelaku lapangan. Suatu hal yang telah didemonstrasikan dengan penelitian
berulang kali. Tapi kembali lagi bahwa hal ini tidak mungkin dicapai imajinasi dari orang
yang dihipnotis, artinya sekalipun itu adalah suatu hal yang berada di bawah alam sadarnya,
dia tetap harus menghendakinya, entah itu dengan mempercayai sepenuhnya apa yang
diperintahkan atasnya oleh pengguna hipnotis atau memang dia sendiri menghendakinya.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka
ada beberapa hal yang penting untuk penulis simpulkan pada bagian ini untuk menjawab dua
pertanyaan dalam rumusan masalah, sebagai berikut:
1. Hipnotis sebagai salah satu cabang psikologi yang lebih dikenal dengan
hipnoterapi, adalah suatu hal yang bersifat dua arah. Seseorang tidak dapat
dihipnotis tanpa persetujuannya, begitupun seorang penghipnotis tidak dapat
menghipnotis seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.
Dalam perkembangannya, istilah ini mengalami distorsi atau penyimpangan
mengenai maknanya. Apa yang selama ini masyarakat sebut sebagai penipuan
dengan cara hipnotis, bukanlah hal yang benar. Jika merujuk pada pengertian
hipnotis menurut psikologi, maka sugesti merupakan penggunaan yang tepat untuk
mewakili penipuan dengan cara hipnotis yang diketahui oleh masyarakat ini.
Penyimpangan makna ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan yang dilakukan
oleh penyidik terdahulu untuk menjelaskan penipuan dengan kasus dimana korban
merasa seolah-olah dirinya tidak berdaya untuk menolak apa yang pelaku suruh
(dalam hal penipuan sesuai Pasal 378 KUHP, berarti menyerahkan barang kepada
pelaku atau orang lain).
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
Hipnotis tidak dapat dipersamakan dengan tipu muslihat karena :
a. Hipnotis yang digunakan dalam ruang lingkup hipnoterapi bukanlah suatu
bentu tipu muslihat karena tujuannya adalah untuk kesembuhan pasien, bukan
untuk menjadi sarana tindak pidana penipuan.
b. Tipu muslihat merupakan serangkaian kata-kata yang diiringi satu atau lebih
perbuatan dengan tujuan untuk membuat korban percaya terhadap apa yang
pelaku kemukakan, dan terjadi dalam keadaan korban sepenuhnya sadar.
Dalam penggunaan hipnotis, seseorang harus dibuat rileks dan berada dalam
kondisi sadar atau tidak sadar, sehingga tidak dapat dipersamakan dengan tipu
muslihat.
2. Penegakan hukum untuk perkara penipuan dengan menggunakan cara hipnotis
sudah baik, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara, dimana narasumber dari
lembaga penegak hukum telah memahami secara umum apa itu hipnotis dan dapat
membedakannya dengan unsur tipu muslihat dalam pasal 378 KUHP. Dengan
catatan bahwa hipnotis yang disebutkan disini tidaklah sesuai dengan definisi
hipnotis menurut psikologi, sehingga bukanlah hipnotis, akan tetapi lebih seperti
sugesti. Namun penegak hukum belum terlalu memahami bahwa hipnotis tidak
dapat dilakukan terhadap seseorang yang tidak menghendakinya, atau tidak dapat
dipaksakan.
Saran
1. Penegak hukum perlu mendapatkan lebih banyak penyuluhan dari ahli psikologi dan
psikiatri terkait istilah-istilah di dalam ruang lingkup psikoterapi, terutama hipnotis.
Sehingga penegak hukum dapat mengkonstruksikan dan membuktikan suatu tindak
pidana penipuan sesuai Pasal 378 KUHP dengan lebih baik tanpa menyalahartikannya
dengan hipnotis. Dalam hal pembuktian, aparat penegak hukum dapat bekerjasama
dengan ahli untuk membuktikan apakah perbuatan yang didakwakan adalah tipu
muslihat atau hipnotis. Jika penegak hukum telah memiliki pemahaman yang lebih
mendalam, maka mereka dapat menyampaikan pada korban dan masyarakat bahwa
suatu perbuatan adalah tipu muslihat, dan perbuatan tersebut berbeda dari hipnotis.
2. Kehadiran seorang ahli dapat menjadi suatu hal yang sangat bermanfaat dalam
pembuktian tindak pidana, terutama tindak pidana penipuan. Selain untuk mengetahui
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
motif pelaku, juga dapat memberikan kejelasan terkait penggunaan hipnotis oleh
masyarakat.
3. Diperlukan standarisasi istilah untuk menyebut penipuan dengan cara sugesti ini
sehingga tidak ada lagi kekeliruan dengan menyebutnya sebagai penipuan dengan cara
hipnotis.
4. Di dalam RKHUP di masa mendatang, dapat dimasukkan mengenai perbedaan
penipuan dengan sugesti ini dengan penipuan lain, sehingga masyarakat dapat
mengetahui mengenai perbedaannya. Ahli dapat menentukan apakah di dalam
penggunaannya di dalam penipuan, sugesti dapat menjadi dasar pemberat bagi
pelakunya.
Daftar Referensi
Books :
Anwar, Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II): Jilid I. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1994.
Atkinson, Rita L., et al. Introduction to Psychology. Diterjemahkan oleh Dr. Widjaja Kusuma
ke dalam Bahasa Indonesia dengan Judul Pengantar Psikologi Jilid Satu.
Baruss, Imant Baruss, Alteration of Consciousness: An Empirical Analysis for Social
Scientists.
C.P.M. Cleiren-F.J. Nijboer. Het Wetboek van Strafrecht, tekts en commentaar, Ed. 1997.
Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2003.
Hamzah, Andi. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Huffman, Karen, et.al.. Psychology in Action: Second Edition. California: John Wiley &
Sons, 2011.
Keeton, Joe dan Simon Petherick. The Power of The Mind: Healing Through Hypnosis and
Regression. Suffolk: St. Edmundsbury Press Limited, 1995.
Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus: Kejahatan yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung:
Tarsito, 1990.
Mamudji, Sri, et. al.. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016
Suwandi, Awie. Turbo Hipnotis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Online websites:
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/279820/hypnosis
http://kbbi.web.id/tipu
http://m.indosiar.com/ragam/penipuan-hipnotis-di-sekitar-kita_40953.html.
http://psychclassics.yorku.ca/Munster/Witness/hypnotism.htm
http://sinarharapan.co/news/read/17365/penipuan-lewat-telepon-begitu-menghipnotis
http://www.kbbi.web.id/hipnosis
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/10/05/mu4x69-ngeri-aksi-kejahatan-
hipnotis-marak-di-kota-ini.
http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=119031:-
modus-hipnotis-dua-warga-rrc-cuma-divonis-105-hari-&catid=103:hukum-a-
kriminal&Itemid=410
https://www.justice.gov/usam/criminal-resource-manual-289-hypnosis-prosecution-witness
www.psychoshare.com/file-450/psikologi-kepribadian/mengenal-hipnotis-lebih-jauh.html
Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016