pemenuhan unsur “tipu muslihat” dalam tindak pidana sesuai

16
Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai Pasal 378 KUHP dengan Cara Hipnotis Annisa Nur Fitriyanti dan Theodora Yuni Shah Putri 1. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424, Indonesia 2. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Awal tahun 2000, kasus penipuan dengan menggunakan hipnotis mulai marak bermunculan. Biasanya, dalam kondisi “tidak sadar”, korban harus kehilangan barang berharga setelah sebelumnya berinteraksi dengan pelaku baik sekadar berkomunikasi ataupun bersentuhan langsung. Selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat. Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak memiliki daya untuk melawan. Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita, kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal 378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai Pasal 378 KUHP. The Fulfillment of Knavery Element in Criminal Offence Based on Article Number 378 of Indonesian Penal Code with Hypnotic Method Abstract In the beginning of year 2000, fraud cases which used hypnotic as its method were starting to emerge. Often, in the state of “unconsciousness”, the victims had to lost precious possessions after interracting with the perpetrators, whether it’s only by communicating or direct contact. Aside from being used in medical treatment, hypnotic practices had also been claimed as one of the means to do crime. Victims of fraud cases often claimed that they were being hypnotized to the point that they couldn’t fight back. But then, arise questions whether the use of hypnotic practice as a mean to do crimes is one of the offences regulated in Indonesian Penal Code or not. Many investigators from police force used the fraud article in Indonesian Penal Code to ensnare the perpetrators, that is Article 378 of Indonesian Penal Code with reasoning that hypnotic practices can be categorized as knavery, according to Article 378 of Indonesian Penal Code. Keywords: hypnotic, fraud, knavery Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai Pasal 378 KUHP dengan Cara Hipnotis

Annisa Nur Fitriyanti dan Theodora Yuni Shah Putri

1. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424,Indonesia

2. Department of Law, Faculty of Law, Universitas Indonesia, UI Depok Campus, Depok, 16424,Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Awal tahun 2000, kasus penipuan dengan menggunakan hipnotis mulai marak bermunculan. Biasanya, dalam kondisi “tidak sadar”, korban harus kehilangan barang berharga setelah sebelumnya berinteraksi dengan pelaku baik sekadar berkomunikasi ataupun bersentuhan langsung. Selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat. Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak memiliki daya untuk melawan. Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita, kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal 378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai Pasal 378 KUHP.

The Fulfillment of Knavery Element in Criminal Offence Based on Article Number 378 of Indonesian Penal Code with Hypnotic Method

Abstract

In the beginning of year 2000, fraud cases which used hypnotic as its method were starting to emerge. Often, in the state of “unconsciousness”, the victims had to lost precious possessions after interracting with the perpetrators, whether it’s only by communicating or direct contact. Aside from being used in medical treatment, hypnotic practices had also been claimed as one of the means to do crime. Victims of fraud cases often claimed that they were being hypnotized to the point that they couldn’t fight back. But then, arise questions whether the use of hypnotic practice as a mean to do crimes is one of the offences regulated in Indonesian Penal Code or not. Many investigators from police force used the fraud article in Indonesian Penal Code to ensnare the perpetrators, that is Article 378 of Indonesian Penal Code with reasoning that hypnotic practices can be categorized as knavery, according to Article 378 of Indonesian Penal Code. Keywords: hypnotic, fraud, knavery

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 2: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

Pendahuluan Kasus kejahatan menggunakan “hipnotis” menjadi lebih sering terjadi pada awal tahun

2000 dan hingga kini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang frekuensinya cukup tinggi.

Hipnotis dianggap sebagai sarana untuk melakukan kejahatan yang marak dilakukan oleh

pelaku kejahatan di masyarakat beberapa tahun belakangan.

Kejahatan dengan hipnotis seperti banyak jenis kejahatan lainnya ternyata juga

mengalami perkembangan. Cara yang dipakai para pelaku tidak lagi dibatasi hanya dengan

memandang mata calon korban. Tapi sudah lebih banyak dengan mempengaruhi pikiran lewat

dialog, walau sesekali masih dibarengi dengan cara menepuk pundak sang calon korban.

Taktiknya pun kian beragam, mulai dengan berpura-pura menanyakan sesuatu hingga menjadi

seseorang yang bisa mengobati suatu penyakit sebagai sarana mempengaruhi targetnya

dengan sihir yang dapat membuyarkan konsentrasi pikiran atau melemahkan logika. Korban

yang diincar biasanya adalah orang yang sedang berjalan sendirian ditengah keramaian,

kemudian diikuti dari belakang dan setelah sampai pada waktu dan tempat yang dianggap

tepat, pelaku pun mendekati korban. Dalam kondisi dibawah sadar setelah dikenai hipnotis,

korban kemudian menurut saja apa kata pelaku. Tidak jarang korban yang terkena hipnotis

kemudian mendapati dirinya berada di tempat asing dan kehilangan uang, perhiasan atau

kartu ATM lengkap bersama nomor PIN-nya.

Hipnosis atau hypnosis menurut Encyclopaedia Britannica adalah suatu keadaan

psikologis spesial dengan sifat fisiologis tertentu, yang menyerupai namun tidak benar-benar

seperti tidur dan ditandai oleh fungsi individual pada alternate state of consciousness.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnosis (hip·no·sis) adalah keadaan seperti tidur

karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada dibawah pengaruh orang yang

memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

Sedangkan hipnotis (hip·no·tis) adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam

keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis. Jika dilihat dari definisi yang digunakan dalam

Encyclopaedia Britannica dan KBBI tersebut, maka hipnosis adalah suatu keadaan psikologis

dimana seseorang menjadi berada di bawah pengaruh orang yang memberikan sugesti pada

dirinya dan pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.

Dalam buku Psychology in Action oleh Huffman dan Williams Vernoy, hipnosis

dipercaya sebagai suatu alternate state of consciousness yang ditandai dengan satu atau

beberapa hal yaitu: (1) tingkat sugestibilitas yang meningkat (bertambahnya kesediaan untuk

menanggapi perubahan yang diusulkan dalam hal persepsi—misalnya “bawang ini adalah

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 3: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

sebuah apel”); (2) mempersempit dan memfokuskan perhatian (subyek dapat menghilangkan

rangsangan sensor yang tidak diperlukan); (3) penggunaan imajinasi dan halusinasi yang

mudah (dalam kasus halusinasi visual, subyek dapat melihat sesuatu yang sebenarnya tidak

ada atau tidak melihat sesuatu yang sebenarnya ada); (4) sebuah sikap pasif dan menerima;

dan (5) berkurangnya respon terhadap rasa sakit. Dari penjelasan diatas, hipnosis adalah

istilah untuk keadaan dimana seseorang berada dibawah pengaruh hipnotis, sedangkan

hipnotis adalah perbuatan dimana seseorang dibuat agar berada di dalam keadaan sadar yang

berbeda dengan tingkat kesadaran biasa.

Umumnya aplikasi hipnotis dalam praktek dokter atau dunia kesehatan adalah untuk

manajemen nyeri, untuk menenangkan pasien yang cemas dan takut, meningkatkan sistem

kekebalan tubuh, memotivasi dan mengembangkan semangat hidup pasien, dan membantu

pasien untuk mengatasi perilaku buruk dan negatif. Misalnya, terapi hipnotis digunakan untuk

mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk dan perilaku negatif. Beberapa kebiasaan buruk yang

bisa dihilangkan dengan hipnotis adalah merokok, kecanduan alkohol dan obat-obatan.

Namun dalam perkembangannya, selain digunakan di dunia medis, hipnotis ternyata

juga diklaim sebagai salah satu cara untuk melakukan suatu tindak pidana oleh masyarakat.

Seringkali yang terjadi adalah seseorang menjadi korban dari suatu tindak pidana penipuan

dan mengklaim bahwa dirinya dikenai hipnotis oleh si pelaku tindak pidana sehingga tidak

memiliki daya untuk melawan. Ada pula kasus dimana seseorang dihipnotis untuk melakukan

suatu tindak pidana. Kasusnya pun terjadi di berbagai daerah, mulai dari ibukota hingga kota-

kota kecil. Modusnya yang beragam membuat masyarakat awam terkadang sulit untuk

mencegahnya. Namun tertangkapnya sejumlah pelaku kejahatan penipuan dengan hipnotis

telah membuktikan bahwa kejahatan jenis ini dapat diberantas. Walaupun seperti diakui pihak

kepolisian, perlu kerja keras dan kesadaran pihak korban untuk melaporkan peristiwanya. Hal

ini karena terkadang korban penipuan merasa malu akan peristiwa yang menimpanya dan

enggan untuk melaporkannya ke polisi.

Namun kemudian muncul pertanyaan bahwa apakah penggunaan hipnotis dalam

melakukan kejahatan ini merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia atau tidak. Jika melihat pada artikel-artikel berita,

kebanyakan polisi menggunakan pasal penipuan untuk menjerat pelaku hipnotis yaitu Pasal

378 KUHP dengan alasan bahwa hipnotis dapat dikategorikan sebagai tipu muslihat sesuai

Pasal 378 KUHP. Di Purwodadi, seorang wanita bernama Sutiyem mengalami penipuan

seperti ini dan mengaku dikenai hipnotis oleh pelaku yang bernama Rohmat. Sutiyem sedang

menyusuri lorong rumah sakit untuk menjenguk tetangganya yang sedang dirawat ketika

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 4: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

Rohmat dan Siswanto mendekatinya. Sutiyem kemudian sukses dibuat untuk menyerahkan

perhiasan serta dompet yang dibawanya. Rohmat kemudian dikenakan hukuman penjara

selama 8 bulan karena terbukti melakukan penipuan dengan tipu muslihat sebagai sarananya.

Hal ini sesuai dengan apa yang dipaparkan di dalam Putusan Nomor 91/Pid.B/2013/PN.Pwi.

Selain kasus yang terjadi di Purwodadi, ada pula kasus yang terjadi pada Sun Yun dan

Fu Chemi, dua warga negara Cina, serta rekannya Meliana dan Veronica yang dihukum 3

bulan 15 hari penjara oleh Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Medan. Majelis Hakim

menyatakan keempatnya bersalah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan dengan cara

tipu muslihat. Unsur hipnotis disamakan dengan tipu muslihat dimana pelaku melakukan tipu

muslihat agar korbannya mau menyerahkan barang yang sebagian atau seluruhnya adalah

miliknya.

Adapun kerangka konsepsional dari penelitian ini adalah :

1. Keadaan Hipnosis

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hipnosis (hip•no•sis) adalah keadaan seperti

tidur karena sugesti, yang pada taraf permulaan orang itu berada dibawah pengaruh orang

yang memberikan sugestinya, tetapi pada taraf berikutnya menjadi tidak sadar sama

sekali.

2. Hipnosis

Hipnotis (hip•no•tis) adalah membuat atau menyebabkan seseorang berada dalam

keadaan hipnosis; berkenaan dengan hipnosis.

3. Membujuk atau Menggerakkan Orang untuk Menyerahkan Barang menurut Pasal

378 KUHP

Sebenarnya lebih tepat jika dipergunakan istilah menggerakkan daripada istilah

membujuk, untuk melepaskan setiap hubungan dengan penyerahan (levering) dalam

pengertian hukum perdata. Dalam perbuatan menggerakkan orang untuk menyerahkan

harus disyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan

barang dan sebagainya. Penyerahan suatu barang yang telah terjadi sebagai akibat

penggunaan alat penggerak/pembujuk itu belum cukup terbukti tanpa mengemukakan

pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakan alat-alat penggerak/pembujuk

itu. Alat-alat itu pertama-tama harus menimbulkan dorongan di dalam jiwa seseorang

untuk menyerahkan sesuatu barang. Psikis dari korban terpengaruhi karena adanya

penggunaan alat pembujuk/penggerak sedemikian rupa, hingga orang itu melakukan

penyerahan barang itu. Tanpa penggunaan alat atau cara itu, korban tidak akan tergerak

psikisnya dan penyerahan sesuatu tidak akan terjadi. Penggunaan cara-cara atau alat-alat

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 5: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

penggerak itu menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang

normal, hingga orang itu terperdaya karenanya.

4. Tipu Muslihat menurut Pasal 378 KUHP

Yang dimaksudkan dengan tipu muslihat disini bukanlah terdiri dari kata-kata, melainkan

terdiri dari perbuatan-perbuatan yang demikian rupa, sehingga perbuatan-perbuatan itu

menimbulkan suatu kepercayaan pada orang lain atau dengan perkataan lain, bahwa pada

orang yang digerakkan itu timbul kesan yang sesuai dengan kebenaran yang sah dan

benar.

5. Memaksa Orang untuk Menyerahkan Barang

Seseorang melakukan penyerahan barang, penyerahan barang mana merupakan akibat

dipaksa dengan kekerasan. Dapat diperkirakan, bahwa seseorang yang dipaksa untuk

menyerahkan sesuatu barang, tidak akan memenuhinya tanpa dipergunakan alat-alat

paksa. Dengan demikian, hubungan kausal antara penyerahan barang dan kekerasan

dinyatakan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, dan untuk perbuatan memaksa

diperlukan alat paksa yaitu kekerasan atau ancaman kekerasan. Sebagai perluasan dari

pengertian kekerasan ditetapkan oleh Pasal 89, bahwa perbuatan yang mengakibatkan

orang pingsan, atau tidak sadarkan diri dan perbuatan yang menimbulkan orang tidak

berdaya lagi termasuk perbuatan kekerasan. Kekerasan itu harus ditujukan kepada

seseorang. Seseorang ini tidak perlu para pemilik barang, misalnya pelayan rumah, yang

menjaga rumah.

Sedangkan untuk metode penelitian, penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis

normatif didasarkan pada hukum positif dan norma tertulis. Jenis data yang digunakan adalah

jenis data sekunder yang didapat dari bahan-bahan kepustakaan serta putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Mengenai bahan hukum yang digunakan, penulis

menggunakan tiga macam bahan hukum yang ada yaitu bahan hukum primer berupa

peraturan perundang-undangan. Kemudian untuk memunjang bahan primer tersebut akan

penulis gunakan bahan hukum sekunder berupa putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap,

buku-buku, artikel-artikel dari internet dan skripsi, tesis serta jurnal. Kemudian untuk bahan

tersier untuk menunjang kedua bahan tersebut penulis akan menggunakan kamus.

Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara. Studi

dokumen akan dilakukan dengan menelusuri bahan pustaka serta analisis putusan terkait

materi penelitian. Wawancara terhadap penegak hukum yaitu anggota kepolisian, hakim dan

jaksa dilakukan penulis agar penulis dapat mendapatkan perspektif penegak hukum terkait

penerapan hukum positif terhadap delik terhadap kekayaan yang menggunakan hipnotis

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 6: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

sebagai modus operandi. Sedangkan wawancara terhadap ahli psikologi dilakukan untuk

mengetahui apakah definisi hipnotis secara psikologis dan apakah hipnotis dapat digolongkan

sebagai tipu muslihat berdasarkan definisi tersebut.

Pembahasan

Penipuan adalah suatu perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP, dari segi

bahasa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tipu berarti perbuatan atau perkataan yang

tidak jujur (bohong, palsu, dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali,

atau mencari untung; kecoh: --dibalas dengan--; --daya.Dengan demikian maka berarti bahwa

yang terlibat dalam penipuan adalah dua pihak yaitu orang menipu disebut dengan penipu

dan orang yang tertipu.

Kejahatan penipuan di dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 378 Undang-

Undang Hukum Pidana yang berbunyi sebagai berikut :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hak, mempergunakan nama palsu atau sifat palsu ataupun mempergunakan

tipu muslihat atau susunan kata-kata bohong, menggerakkan orang lain untuk

menyerahkan suatu benda atau mengadakan suatu perjanjian hutang atau meniadakan

suatu piutang, karena salah telah melakukan penipuan, dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya empat tahun.”

Kejahatan penipuan atau bedrog diatur di dalam Buku ke II Bab ke XXV Kitab

Undang-undang Hukum Pidana dari Pasal 378 sampai dengan Pasal 395. Di dalam Bab ke

XXV tersebut dipergunakan perkataan “penipuan” atau “bedrog” karena sesungguhnya di

dalam Bab tersebut diatur sejumlah perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap harta-benda,

dalam mana oleh si pelaku telah dipergunakan perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau

dipergunakan tipu muslihat. Kata Penipuan mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu:

a. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab

XXV KUHP;

b. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang dirumuskan dalam

pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa

disebut dengan oplichting.

Sedangkan R. Sugandhi (1980 : 396-397) mengemukakan pengertian penipuan

sebagai berikut :

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 7: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

“Penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan,

nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan

tiada hak. Rangkaian kebohongan ialah susunan kalimat-kalimat bohong yang

tersusun demikian rupa yang merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar”.

Menurut pengertian penipuan sesuai pendapat tersebut di atas tampak jelas bahwa

yang dimaksud dengan penipuan adalah tipu muslihat atau serangkaian perkataan bohong

sehingga seseorang merasa terpedaya karena omongan yang seakan-akan benar. Biasanya

seseorang yang melakukan penipuan, adalah menerangkan sesuatu yang seolah-olah betul

atau terjadi, tetapi sesungguhnya perkataannya itu adalah tidak sesuai dengan kenyataannya,

karena tujuannya hanya untuk meyakinkan orang yang menjadi sasaran agar diakui

keinginannya, sedangkan menggunakan nama palsu supaya yang bersangkutan tidak diketahui

identitasnya, begitu pula dengan menggunakan kedudukan palsu agar orang yakin akan

perkataannya.

Adapun menurut Dading unsur-unsur dari tindak pidana penipuan menurut Pasal 378

KUHP adalah sebagai berikut :

A. Objektif :

1. membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/penggerak:

1.a. memakai nama palsu;

1.b. memakai keadaan palsu;

1.c. rangkaian kata-kata bohong;

1.d. tipu muslihat;

2. agar :

2.a. menyerahkan suatu barang;

2.b. membuat hutang;

2.c. menghapus piutang;

B. Subjektif : dengan maksud :

1. menguntungkan diri sendiri atau orang lain,

2. dengan melawan hukum

Tipu muslihat bukan hanya terdiri dari kata-kata, melainkan juga perbuatan-perbuatan

yang dirancang sedemikian rupa, sehingga rangkaian kata-kata yang diiringi perbuatan-

perbuatan itu menimbulkan suatu kepercayaan pada orang lain, atau pada orang yang

digerakkan itu timbul kesan yang sesuai dengan kebenaran yang sah dan benar. Perbedaan

antara tipu muslihat dengan rangkaian kebohongan terletak pada ada atau tidaknya perbuatan

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 8: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

yang mengiringi rangkaian kata-kata si pelaku. Apabila rangkaian kata-kata tersebut diikuti

oleh satu saja perbuatan, maka unsur tipu muslihat telah terpenuhi.

Terdapat persamaan antara penipuan, pemerasan dan pengancaman, yaitu akibat.

Akibat yang dituju dari ketiga perbuatan ini adalah sama, yaitu agar si korban menyerahkan

suatu barang atau membuat utang atau menghapuskan suatu piutang. Perbedaannya adalah

pada cara yang dipergunakan oleh si pelaku, yaitu mempergunakan kekerasan atau

pengancaman dengan kekerasan pada pemerasan, pengancaman dengan penistaan atau

pembukaan rahasia pada pengancaman, mempergunakan nama atau kedudukan palsu atau

perbuatan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan pada penipuan.

Perbedaan lainnya adalah bahwa pada pemerasan dan pengancaman ada unsur

paksaan, dan pada penipuan ada unsur pembohongan. Keduanya untuk menggerakkan korban

agar berbuat sesuatu. Unsur kekerasan atau ancaman kekerasan pada tindak pidana pemerasan

menyebabkan tindak pidana ini dihukum lebih berat, yaitu dengan maksimum hukuman

penjara sembilan tahun, sedangkan tindak pidana pengancaman dan penipuan hanya diancam

dengan maksimum hukuman empat tahun penjara.

Perbedaan yang jelas antara pencurian, penggelapan dan penipuan terdapat di cara

perolehan barang. Jika di dalam pencurian pelaku aktif untuk mendapatkan barang atau

dengan kata lain melakukan penguasaan dengan tangannya sendiri (unsur “mengambil”),

maka di dalam penggelapan dan penipuan, pelakulah yang diserahi barang oleh korban atau

pemilik dari barang atau sebagian barang tersebut (unsur “memiliki barang sesuatu bukan

karena kejahatan” dan “menggerakkan untuk menyerahkan barang”).

Hipnotis dapat didefinisikan sebagai suatu interaksi sosial dimana seseorang (subjek)

merespons terhadap sugesti yang diberikan oleh orang lain (ahli hipnotis) untuk pengalaman

yang melibatkan perubahan sudut pandang, ingatan dan tindakan sukarela. Pada kasus klasik,

pengalaman dan perilaku penyertanya itu disertai dengan keyakinan subjektif dan

kesukarelaan yang menyerupai keharusan.

Semua hipnotis adalah hipnotis yang dilakukan dan dikenakan terhadap diri sendiri

(self-hypnosis). Tidak ada seorangpun yang dapat dibujuk ke dalam keadaan hipnosis tanpa

kemauan mereka dan ahli hipnotis tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol pikiran

orang lain; mereka hanya dapat menunjukkan cara bagi sebuah pikiran masuk ke dalam

keadaan sangat rileks. Dibawah hipnotis, seseorang tidak dapat mengatakan atau melakukan

hal yang tidak mereka percayai.

Menurut pendekatan sosio-kognitif, suatu perbuatan yang dilakukan dalam keadaan

terhipnotis, bukanlah sesuatu yang terjadi di luar kemauan si subyek, akan tetapi sesuatu yang

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 9: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

“memiliki tujuan, aksi yang diarahkan oleh suatu tujuan yang dapat dipahami dalam istilah

bagaimana subyek meninterpretasikan keadaan mereka dan bagaimana mereka mencoba

untuk menghadirkan diri mereka melalui tindakan mereka.”

Dari penjelasan diatas, kemudian dapat ditarik suatu kesimpulan, yaitu bahwa

seseorang yang menjadi subyek terhadap suatu kegiatan hipnotis, haruslah memiliki

pengetahuan bahwa mereka berada dibawah pengaruh hipnotis, untuk sugesti dari hipnotis

agar dapat bekerja, karena sifat hipnotis yang dua arah. Hipnotis bukanlah ilmu untuk

menguasai pikiran manusia.

Dalam kondisi hipnosis yang paling dalam sekalipun sesorang masih bisa menolak

sugesti yang diberikan, meski tidak dipungkiri sebenarnya sugesti tersebut sangatlah kuat

pengaruhnya. Berbagai kasus yang mengatasnamakan kejahatan hipnotis semuanya terungkap

hanyalah sebagai penipuan biasa atau pembiusan. Korban yang tidak sadar saat kejadian

menandakan bahwa Ia sebenarnya dibius karena hipnosis bukan berarti tidak sadar. Lantas

kenapa banyak laporan kejahatan yang mengatasnamakan hipnotis. Latar belakang mereka

tentu saja karena mereka tidak tahu apa dan bagaimana itu hipnotis. Selain itu anggapan

bahwa dengan dihipnotis seseorang bisa dikuasai oleh orang lain, sehingga banyak yang

melapor bahwa mereka telah dihipnotis padahal hanya penipuan biasa agar mendapat empati

dari orang lain dan tidak terkesan bodoh telah ditipu.

Hubungan hipnotis dengan kejahatan diantaranya dilihat dari penggunaannya dalam

ruang lingkup hukum dan penggunaannya dalam tindak pidana. Dalam ruang lingkup hukum

Amerika Serikat, hipnotis yang dilakukan oleh seorang ahli bersertifikat dapat digunakan

sebagai salah satu sarana untuk mengungkapkan informasi dalam proses penyidikan. Namun

penggunaannya di dalam suatu persidangan merupakan suatu hal yang masih diperdebatkan

oleh kalangan hakim.

Hipnotis terhadap seorang saksi seharusnya tidak perlu dilakukan kecuali jika memang

ada kebutuhan yang jelas atau mendesak terhadap informasi tambahan, dan bahwa hipnotis

dapat bermanfaat dalam membantu saksi untuk mengingat informasi tersebut (misalnya dalam

kasus perkosaan dimana korban menderita trauma berat sehingga jika korban diwawancarai

secara biasa akan memicu trauma). Seorang saksi tidak boleh dihipnotis kecuali dia tekah

memberikan izin secara tertulis (bahwa dirinya bersedia untuk dihipnotis demi kepentingan

proses hukum), dan saksi harus selalu diberikan penjelasan mengenai sifat dan efek hipnotis

sebelum dia dihipnotis.

Hanya seorang psikolog atau psikiater yang telah terlatih di bidang hipnotis forensik

yang diperbolehkan untuk melakukan hipnotis terhadap seorang saksi. Dalam proses

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 10: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

pemeriksaan, pertanyaan yang menjurus harus dihindari untuk menjamin kemungkinan

sugesti yang tidak pantas (yang merugikan terdakwa) atas jawaban dari saksi.

Sedangkan di Indonesia, penggunaan hipnotis di tahap penyidikan dapat digunakan

jika memang penyidik mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi, namun sifat dari

informasi yang didapatkan di bawah hipnotis ini hanya dapat dijadikan panduan dan tidak

akan memiliki kekuatan hukum. Penggunaan hipnotis ini dapat diterapkan di tahap

penyelidikan, jika memang penyelidik memiliki kesulitan untuk mengungkap apa yang

sebenarnya terjadi. Dapat juga hasilnya digunakan sebagai petunjuk untuk mengumpulkan

bukti, namun tidak akan memiliki kekuatan hukum di mata pengadilan jika dimasukkan ke

dalam BAP. Misalnya seorang korban perkosaan mengalami trauma sebagai akibat dari

perkosaan yang dilakukan oleh pelaku, akan tetapi mengalami kesulitan apabila diperiksa

secara sadar untuk memberitahukan siapa pelakunya dan bagaimana kronologi kejadiannya

karena akan memicu trauma untuk muncul. Ahli hipnotis yang memiliki kompetensi dapat

dihadirkan untuk memberikan hipnotis atas korban, dan keterangan hasil ini dapat dijadikan

panduan bersama dengan bukti lain untuk menentukan pelaku dan kronologi kejadian.

Penggunaan hipnotis terhadap terdakwa akan bertentangan dengan asas non self-

incrimination karena bisa saja dalam proses pemberian keterangan di bawah hipnotis, pelaku

mengakui kejahatannya. Jika terjadi hal seperti itu, tentunya keterangan ini tidak dapat

digunakan, kecuali jika detail-detail lain yang tidak bersifat menjerat terdakwa dapat

didapatkan lewat cara ini untuk memperlancar proses pengumpulan bukti lain.

Terkait penggunaan hipnotis dalam tindak pidana, perlu diingat bahwa :

1. Seseorang tidak dapat dihipnotis bertentangan dengan keinginannya. Tidak dapat pula

mereka dibuat untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin mereka lakukan.

2. Meskipun kita tidak dapat menghipnotis seseorang untuk melakukan sesuatu yang

bertentangan dengan kepercayaan dasar mereka, kita mungkin bisa mengubah

kepercayaan-kepercayaan tersebut dan mempengaruhi perilaku/perbuatan subjek

karena kepercayaan-kepercayaan (yang telah diubah tersebut).

3. Hipnotis tidaklah berbahaya, namun orang yang dapat melakukan hipnotis bisa

menjadi orang yang berbahaya

Menggunakan trik yang didukung oleh imajinasi korban, seorang pelaku dapat dengan

perlahan dan sistematis mempengaruhi seorang korban. Akan tetapi keadaan korban yang

terpengaruh nantinya bukanlah merupakan suatu hasil dari proses hipnotis. Perbedaan tipu

muslihat dan hipnotis terlihat jelas dari tujuannya. Tipu muslihat bertujuan untuk menguasai

suatu barang dengan melawan hukum, sedangkan dalam lingkup psikologi, tujuan hipnotis

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 11: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

yang utama adalah sebagai suatu sarana terapi. Dalam lingkup hukum, dapat digunakan

sebagai alat untuk memperoleh informasi dalam proses penyidikan.

Tipu muslihat adalah rangkaian kata-kata yang diikuti dengan satu perbuatan atau

lebih, agar orang yang dikenai tipu muslihat mempercayai pelaku dan menyerahkan barang

dalam kondisi sadar sepenuhnya dengan memanfaatkan keadaan panik sesaat yang dialami

korban. Sedangkan orang yang dikenai hipnotis dibuat rileks dan berada dalam kondisi antara

sadar dan tidak sadar (alternate state of consciousness) agar lebih mudah untuk diberikan

sugesti dengan tujuan penyembuhan atau untuk memperoleh informasi yang akan sulit

diperoleh dalam keadaan sadar sepenuhnya.

Seorang pelaku kejahatan yang tidak mengakui kejahatannya ketika dalam keadaan

sadar sepenuhnya, maka upaya hipnotis terhadapnya pun akan sia-sia, karena seseorang tidak

dapat memaksakan suatu keadaan pikiran yang berbeda atas orang lain, kecuali orang tersebut

menghendakinya. Upaya hipnotis tidak akan bekerja pada otak yang tidak menginginkan efek

yang dihasilkan, seperti halnya sebuah spons yang dibaluri dengan kloroform dan digunakan

terhadap seseorang untuk membuat mereka tidak sadar tidak akan bekerja. Pada akhirnya,

apabila memang benar hipnotis dapat dipaksakan terhadap seseorang, maka tanpa perlu

dipertanyakan lagi dari segi moral dan hukum bahwa tidak akan ada pengadilan yang akan

menerima bukti yang didapatkan dengan cara paksa seperti itu.

Kemudian muncul suatu hal yang perlu lebih banyak perhatian, yaitu bagaimana

apabila seorang kriminal menghipnotis orang untuk kepentingan kejahatannya. Disini muncul

pula kesalahpahaman serupa; suatu ketakutan yang tidak jelas terhadap seseorang dengan

kekuatan untuk “melumpuhkan” keinginan korbannya. Seorang kriminal masuk ke dalam

suatu ruangan, dan ketika dia melihat ke arah korbannya, maka korbannya seketika berada

dalam keadaan tanpa daya; korban memberikan perhiasan dan kunci pada brankas milik

korban dan si pelaku kejahatan merampasnya dengan lembut tanpa korban mampu berbuat

apapun selain tersenyum, dan tidak akan mampu mengangkat tangannya sekalipun. Tentu

saja, siapa saja yang mau menggunakan hipnotis, haruslah mempelajari tekniknya terlebih

dahulu dan menerapkannya dengan kesabaran dan keahlian yang memadai; dan bahkan dalam

prakteknya pasti ada perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya. Tidak semua orang

dapat dihipnotis secara mendalam; seseorang bisa saja hanya dapat dihipnptis untuk tidak

dapat membuka matanya, sedangkan empat orang lain dapat masuk pada keadaan halusinasi

yang kuat dengan hipnotis. Namun memang pada prinsipnya semua orang dapat

menggunakan hipnotis dan dihipnotis, yang membedakannya adalah seberapa jauh dia dapat

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 12: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

memanfaatkan ilmu hipnotis ini dan apakah tingkat sugestibilitas orang yang dihipnotis cukup

tinggi atau tidak.

Namun tetap saja, sekalipun setiap orang dapat mencoba untuk menggunakan hipnotis,

bukan berarti bahwa orang itu dapat melakukannya hanya dengan kontak mata dengan orang

yang baru pertama kali ditemuinya. Pandangan mistis yang berbasis pada takhayul ini

mencapai puncaknya ketika seseorang dianggap dapat mempengaruhi seseorang dari jarak

yang jauh (tidak perlu bertatap muka), tanpa pengetahuan korban bahwa korban berada dalam

suatu pengaruh hipnotis, dan setiap kejahatan yang kejam dapat dilakukan atas alasan itu.

Bahwa seorang penghipnotis yang berada di jarak yang jauh dapat memberikan rasa sakit

pada musuhnya dan menyalahgunakan seseorang yang tidak bersalah sebagai alat untuk

melaksanakan kejahatannya.

Seseorang yang pikirannya tidak sehat akan dengan mudah menganggap bahwa

dorongan aneh yang dialaminya terhadap pikirannya merupakan sesuatu yang dilakukan dari

jarak jauh oleh seseorang. Tentu saja tidak ada alasan untuk menolak bahwa seseorang dapat

masuk dalam kondisi hipnosis bahkan ketika orang yang menghipnotisnya berada di tempat

yang lain. Namun terdapat syarat untuk hal ini, yakni orang yang dihipnotis ini haruslah sudah

pernah dihipnotis oleh si pengguna hipnotis sebelumnya dan bahwa orang yang dihipnotis

menghendaki apa yang disugestikan atasnya. Hal ini dapat dicapai misalnya dengan

menggunakan pesawat telepon. Pengguna hipnotis mungkin memang memiliki niatan yang

“jahat”, namun hal itu tidak terlepas dari apa yang diimajinasikan oleh orang yang terkena

hipnotis, karena kembali lagi bahwa seseorang tidaklah dapat dihipnotis untuk melakukan

suatu hal yang secara prinsipal ditolak olehnya.

Pengaruh hipnotis lewat media seperti ini memerlukan proses hipnotis yang berulang

sebelumnya untuk dapat mencapai keberhasilan. Dengan demikian, perhatian dan emosi dari

subjek hipnotis adalah hal yang lebih penting dibanding kekuatan hipnotis dari si pengguna

hipnotis. Namun hal ini tentunya tidak mengecualikan kemungkinan bahwa perhatian dan

emosi dari subjek atau korban dapat dikacaukan secara sengaja oleh si pelaku kejahatan,

bahkan dengan tujuan yang keji, tanpa si korban menyadarinya. Dalam cara ini, si pelaku

tidak perlu menunggu hingga korban berada dalam keadaan bahwa dia sadar dirinya telah

berada di bawah pengaruh si pelaku, namun dapat dipengaruhi dengan perlahan dan

sistematik dengan menggunakan ratusan trik yang didukung oleh imajinasi korban. Namun,

hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai hipnotis, karena kondisi terhipnotis penuh tidak

dapat diperoleh dengan cara ini; hal ini bergeser pada kondisi submisi yang ada dalam

kehidupan sosial dalam masyarakat yang normal; ada peningkatan tingkat sugestibilitas untuk

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 13: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

melakukan suatu, namun hal ini bukanlah muncul sebagai efek dari proses hipnotis. Inilah

yang kemudian disalahgunakan oleh pelaku kejahatan penipuan.

Sejauh mana suatu kondisi hipnotis penuh berada dalam lingkup tindak pidana

bergantung pada beberapa hal. Pertama satu hal sudah jelas, bahwa seseorang yang dihipnotis

bisa menjadi alat tanpa keinginan mandiri yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk

memenuhi niat jahat dari si pelaku yang menghipnotisnya. Orang yang dihipnotis mungkin

saja menekan pelatuk suatu pistol, mencampurkan racun ke dalam makanan, mencuri dan

memalsukan barang, dan tetap orang yang juga memiliki tanggungjawab, bukan saja yang

melakukan kejahatan tapi orang yang dilindungi dengan adanya sugesti hipnotis yang

dilakukannya pada pelaku lapangan. Suatu hal yang telah didemonstrasikan dengan penelitian

berulang kali. Tapi kembali lagi bahwa hal ini tidak mungkin dicapai imajinasi dari orang

yang dihipnotis, artinya sekalipun itu adalah suatu hal yang berada di bawah alam sadarnya,

dia tetap harus menghendakinya, entah itu dengan mempercayai sepenuhnya apa yang

diperintahkan atasnya oleh pengguna hipnotis atau memang dia sendiri menghendakinya.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya, maka

ada beberapa hal yang penting untuk penulis simpulkan pada bagian ini untuk menjawab dua

pertanyaan dalam rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Hipnotis sebagai salah satu cabang psikologi yang lebih dikenal dengan

hipnoterapi, adalah suatu hal yang bersifat dua arah. Seseorang tidak dapat

dihipnotis tanpa persetujuannya, begitupun seorang penghipnotis tidak dapat

menghipnotis seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya.

Dalam perkembangannya, istilah ini mengalami distorsi atau penyimpangan

mengenai maknanya. Apa yang selama ini masyarakat sebut sebagai penipuan

dengan cara hipnotis, bukanlah hal yang benar. Jika merujuk pada pengertian

hipnotis menurut psikologi, maka sugesti merupakan penggunaan yang tepat untuk

mewakili penipuan dengan cara hipnotis yang diketahui oleh masyarakat ini.

Penyimpangan makna ini sebenarnya merupakan suatu kesalahan yang dilakukan

oleh penyidik terdahulu untuk menjelaskan penipuan dengan kasus dimana korban

merasa seolah-olah dirinya tidak berdaya untuk menolak apa yang pelaku suruh

(dalam hal penipuan sesuai Pasal 378 KUHP, berarti menyerahkan barang kepada

pelaku atau orang lain).

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 14: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

Hipnotis tidak dapat dipersamakan dengan tipu muslihat karena :

a. Hipnotis yang digunakan dalam ruang lingkup hipnoterapi bukanlah suatu

bentu tipu muslihat karena tujuannya adalah untuk kesembuhan pasien, bukan

untuk menjadi sarana tindak pidana penipuan.

b. Tipu muslihat merupakan serangkaian kata-kata yang diiringi satu atau lebih

perbuatan dengan tujuan untuk membuat korban percaya terhadap apa yang

pelaku kemukakan, dan terjadi dalam keadaan korban sepenuhnya sadar.

Dalam penggunaan hipnotis, seseorang harus dibuat rileks dan berada dalam

kondisi sadar atau tidak sadar, sehingga tidak dapat dipersamakan dengan tipu

muslihat.

2. Penegakan hukum untuk perkara penipuan dengan menggunakan cara hipnotis

sudah baik, hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara, dimana narasumber dari

lembaga penegak hukum telah memahami secara umum apa itu hipnotis dan dapat

membedakannya dengan unsur tipu muslihat dalam pasal 378 KUHP. Dengan

catatan bahwa hipnotis yang disebutkan disini tidaklah sesuai dengan definisi

hipnotis menurut psikologi, sehingga bukanlah hipnotis, akan tetapi lebih seperti

sugesti. Namun penegak hukum belum terlalu memahami bahwa hipnotis tidak

dapat dilakukan terhadap seseorang yang tidak menghendakinya, atau tidak dapat

dipaksakan.

Saran

1. Penegak hukum perlu mendapatkan lebih banyak penyuluhan dari ahli psikologi dan

psikiatri terkait istilah-istilah di dalam ruang lingkup psikoterapi, terutama hipnotis.

Sehingga penegak hukum dapat mengkonstruksikan dan membuktikan suatu tindak

pidana penipuan sesuai Pasal 378 KUHP dengan lebih baik tanpa menyalahartikannya

dengan hipnotis. Dalam hal pembuktian, aparat penegak hukum dapat bekerjasama

dengan ahli untuk membuktikan apakah perbuatan yang didakwakan adalah tipu

muslihat atau hipnotis. Jika penegak hukum telah memiliki pemahaman yang lebih

mendalam, maka mereka dapat menyampaikan pada korban dan masyarakat bahwa

suatu perbuatan adalah tipu muslihat, dan perbuatan tersebut berbeda dari hipnotis.

2. Kehadiran seorang ahli dapat menjadi suatu hal yang sangat bermanfaat dalam

pembuktian tindak pidana, terutama tindak pidana penipuan. Selain untuk mengetahui

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 15: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

motif pelaku, juga dapat memberikan kejelasan terkait penggunaan hipnotis oleh

masyarakat.

3. Diperlukan standarisasi istilah untuk menyebut penipuan dengan cara sugesti ini

sehingga tidak ada lagi kekeliruan dengan menyebutnya sebagai penipuan dengan cara

hipnotis.

4. Di dalam RKHUP di masa mendatang, dapat dimasukkan mengenai perbedaan

penipuan dengan sugesti ini dengan penipuan lain, sehingga masyarakat dapat

mengetahui mengenai perbedaannya. Ahli dapat menentukan apakah di dalam

penggunaannya di dalam penipuan, sugesti dapat menjadi dasar pemberat bagi

pelakunya.

Daftar Referensi

Books :

Anwar, Moch. Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II): Jilid I. Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1994.

Atkinson, Rita L., et al. Introduction to Psychology. Diterjemahkan oleh Dr. Widjaja Kusuma

ke dalam Bahasa Indonesia dengan Judul Pengantar Psikologi Jilid Satu.

Baruss, Imant Baruss, Alteration of Consciousness: An Empirical Analysis for Social

Scientists.

C.P.M. Cleiren-F.J. Nijboer. Het Wetboek van Strafrecht, tekts en commentaar, Ed. 1997.

Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Harta Benda. Malang: Bayumedia, 2003.

Hamzah, Andi. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika,

2009.

Huffman, Karen, et.al.. Psychology in Action: Second Edition. California: John Wiley &

Sons, 2011.

Keeton, Joe dan Simon Petherick. The Power of The Mind: Healing Through Hypnosis and

Regression. Suffolk: St. Edmundsbury Press Limited, 1995.

Lamintang, P.A.F. dan C. Djisman Samosir. Delik-Delik Khusus: Kejahatan yang Ditujukan

Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung:

Tarsito, 1990.

Mamudji, Sri, et. al.. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Sugandhi, R. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016

Page 16: Pemenuhan Unsur “Tipu Muslihat” dalam Tindak Pidana Sesuai

Suwandi, Awie. Turbo Hipnotis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Online websites:

http://global.britannica.com/EBchecked/topic/279820/hypnosis

http://kbbi.web.id/tipu

http://m.indosiar.com/ragam/penipuan-hipnotis-di-sekitar-kita_40953.html.

http://psychclassics.yorku.ca/Munster/Witness/hypnotism.htm

http://sinarharapan.co/news/read/17365/penipuan-lewat-telepon-begitu-menghipnotis

http://www.kbbi.web.id/hipnosis

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/10/05/mu4x69-ngeri-aksi-kejahatan-

hipnotis-marak-di-kota-ini.

http://www.starberita.com/index.php?option=com_content&view=article&id=119031:-

modus-hipnotis-dua-warga-rrc-cuma-divonis-105-hari-&catid=103:hukum-a-

kriminal&Itemid=410

https://www.justice.gov/usam/criminal-resource-manual-289-hypnosis-prosecution-witness

www.psychoshare.com/file-450/psikologi-kepribadian/mengenal-hipnotis-lebih-jauh.html

Pemenuhan unsur ..., Annisa Nur Fitriyanti, FH UI, 2016